Tiga kalimat ringkasan artikel tersebut adalah:
Artikel ini membahas tentang acara "Malam Apresiasi Inspirasi Indonesia 2014" yang diselenggarakan oleh Koran Sindo untuk memberikan penghargaan kepada 11 orang Indonesia yang dianggap sebagai inspirator bangsa dari berbagai bidang seperti balap mobil, bisnis kosmetik, konservasi kupu-kupu, dan lainnya.
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
1. 1
DAFTAR ISI
MENATA REPUBLIK, MEMULIAKAN INTELEKTUAL
Airlangga Pribadi Kusman 4
INSPIRASI
Sarlito Wirawan Sarwono 7
MULIA KOK KORUP
Mohamad Sobary 10
KAMPUNG, IBUNYA KOTA
Budikarya Sumadi 13
MANUSIA DALAM BENCANA ASAP
Hadi S Alikodra 16
NEGOSIASI RENDAH KARBON
Dinna Wisnu 19
DEMOKRASI DAN BATAS KEBEBASAN
Victor Silaen 22
MENIMBANG PENDIDIKAN INDONESIA
Komaruddin Hidayat 25
IBUKU SAYANG IBUKU MALANG
Nuraini Ahmad 28
KURBAN DAN TRANSFORMASI KESALEHAN SOSIAL
Achmad M Akung 32
MENGUNGKIT IPM
Ali Khomsan 36
IDUL KURBAN
Sarlito Wirawan Sarwono 39
REJUVINASI SEMANGAT TRISAKTI
Muchlas Rowi 42
MENGAWAL KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI
Abdul Hamid 45
DOSEN & PENGEMBANGAN UKM
Bambang Setiaji 48
2. 2
KONFERENSI JURNALIS TV ASIA-PASIFIK; HARAPAN
DAN TANTANGAN
Fajar Kurniawan 51
TARGET PENINGKATAN KESEHATAN IBU & ANAK
Dinna Wisnu 54
STRAWBERRY GENERATION
Rhenald Kasali 57
DIPLOMASI KURBAN
Ahyudin 60
BERKORBAN DEMI INDONESIA
Mohamad Sobary 63
SISI GELAP DEMOKRASI
Komaruddin Hidayat 66
DARI MASJID?
Sarlito Wirawan Sarwono 68
DEMOKRASI YANG KSATRIA
Abdul Muti 71
MENIMBANG KEBERHASILAN ORANG TUA
Komaruddin Hidayat 74
PEMIMPIN YANG KHUSNUL KHATIMAH
Abdul Muti 77
HIJRAH MULTIDIMENSI
Faisal Ismail 80
HIJRAH DARI PENCITRAAN KE KERJA
Biyanto 83
HIJRAH DEMI KESUKSESAN
Ilham Kadir 86
SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA
Sarlito Wirawan Sarwono 89
PUSAT KESEHATAN ATAU KESAKITAN?
Dedi Mulyadi 92
KAWAN DAN LAWAN POLITIK
Mohamad Sobary 96
KAKAK BERADIK YANG SALING PEDULI
3. 3
Andrie Wongso 99
SUMPAH PEMUDA & PEMANFAATAN BONUS DEMOGRAFI
M Arief Rosyid Hasan 101
RISIKO: DIHINDARI ATAU TAK TERHINDARKAN?
Muk Kuang 104
PEMBANGUNAN SEMESTA BERENCANA
Arif Budimanta 106
REVOLUSI MEDIA SOSIAL & APLIKASI MOBILE
Riri Fitri Sari 109
ENTRY POINT PENGENTASAN KEMISKINAN
Ali Khomsan 113
MENGAPA BEREBUT JABATAN
Komaruddin Hidayat 116
APAKAH ANDA MASIH MEMIMPIN?
Eliezer H Hardjo 119
GENETIC SPIRIT KAUM MUDA INDONESIA
Edrida Pulungan 122
HP
Sarlito Wirawan Sarwono 124
DOSA LIMA PERKARA
Mohamad Sobary 127
SUSI: ANTARA STATUS, PENDIDIKAN, ROKOK, DAN TATO
Dedi Mulyadi 130
PENGUKURAN KINERJA: KUNCI SUKSES KABINET JOKOWI
Handi Sapta Mukti 133
TITIK BALIK
Sudjito 136
MENGUKUR KEBAHAGIAAN
Komaruddin Hidayat 139
SPIRIT KEMANDIRIAN MUHAMMADIYAH
Biyanto 142
4. 4
Menata Republik, Memuliakan Intelektual
Koran SINDO
26 September 2014
Salah satu wacana yang tengah meledak menjadi kontroversi dalam pengumuman postur
kabinet adalah pembelahan kabinet pendidikan dan penggabungan Ditjen Pendidikan Tinggi
dengan Kementerian Riset menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset.
Inisiatif melahirkan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset ini di satu sisi menjadi jalan
pembuka untuk memberdayakan kontribusi intelektual dalam kerja-kerja risetnya. Namun
demikian, inisiatif di atas tanpa memperhitungkan persoalan pertautan relasi kuasa politik dan
intelektual tidak akan memberikan pengaruh besar bagi penguatan peran intelektual bagi
pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Enam belas tahun era reformasi telah berkali-kali kita dipertontonkan oleh janji-janji politik
dan bongkar-pasang kebijakan. Di tengah perubahan pada tiap-tiap pemerintahan, pemimpin
masih absen melakukan inisiatif untuk memanfaatkan peran dan kontribusi dari kalangan
intelektual, akademisi, maupun peneliti dalam memberikan solusi dan kritik secara integratif
terhadap perjalanan pembangunan dan penataan negara (state building).
Adalah benar bahwa selama ini pemerintah baik pihak eksekutif maupun legislatif
menyertakan kalangan akademisi dalam pembuatan undang-undang. Kementerian selalu
melibatkan akademisi dalam memoles kebijakan, pemerintahan daerah juga mengajak
kalangan intelektual dalam penyusunan peraturan daerah dan kebijakan di tingkat lokal.
Namun demikian, yang dibutuhkan untuk penataan negara dan perumusan agenda
pembangunan nasional lebih dari hal itu.
Peran-peran intelektual dan akademisi dalam proses bina negara (statecraft) jauh dari
memadai ketika ditempatkan pada peran-peran peripheral seperti di atas yang kerap hanya
diposisikan sebagai pemberi legitimasi dari arahan kebijakan yang menjadi turunan agenda
politis dari elite-elite yang berkuasa. Seperti diutarakan oleh Daniel Dhakidae dan Vedi R
Hadiz (2005) bahwa posisi kalangan intelektual sejak era rezim Soeharto telah ditempatkan
secara struktural sebagai instrumen atau tukang dari kekuasaan politik, yang mengintervensi
kehidupan pendidikan dan pengetahuan serta memotong kalangan intelektual dari basis-basis
sosial yang memungkinkan mereka bersikap kritis dan berperan independen.
Runtuhnya “raja besar” Soeharto yang tidak mengubah pola-pola relasi ekonomi-politik
Indonesia pasca-otoritarianisme dan lahirnya raja-raja baru di tingkat lokal maupun oligarki-oligarki
nasional baru yang muncul dari proteksi ekonomi-politik sejak era Soeharto. Dalam
konstelasi politik baru inilah, sebagian besar kalangan intelektual berkumpul dan berkerumun
5. 5
di seputar aliansi-aliansi politik-bisnis baru menjadi bagian integral di dalamnya sebagai
kekuatan hegemoni yang memproduksi pengetahuan dan legitimasi terhadap manuver-manuver
para elite politik maupun korporasi. Akibat relasi intelektual dan aliansi oligarki ini
fatal bagi dunia akademik.
Hal ini tampak dari laporan yang dilansir oleh UNESCO pada tahun 2010 menunjukkan
bahwa kontribusi peneliti Indonesia dalam penerbitan jurnal ilmiah bahasa Inggris di Asia
Tenggara selama periode 1998-2008 (10 tahun) sangatlah minim, tercatat kontribusi
intelektual Indonesia (5.212) di bawah Malaysia (14.731), Singapura (51.762), Thailand
(23.163), dan hanya sedikit di atas Vietnam (5070) maupun Kamboja (401).
Rendahnya kontribusi ilmiah dari kalangan intelektual Indonesia ini juga tidak dapat
dilepaskan dari rendahnya Growth Expenditure of Research and Development (GERD) atau
bujet anggaran berbanding GDP untuk riset dari negara yang masih di bawah 1% (Riefqi
Muna, 2014).
Filosof Raja
Untuk mempertimbangkan kembali betapa pentingnya peran kalangan intelektual, ilmuwan,
dan peneliti dalam penataan republik, maka hendaknya kita memikirkan kembali konsep dari
kebijaksanaan filosofis tua dari Plato yakni raja filosof (philosopher king). Dalam
pemahaman umum selama ini pengertian raja filosof sebatas konsep pemerintahan tentang
tatanan negara yang dipimpin oleh seorang raja yang cerdas dan pintar, seperti profesor
menjadi presiden.
Padahal, konsep raja filosof tadi memiliki makna yang lebih luas yakni bahwa sebuah negara
akan mampu memberikan kemajuan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi rakyatnya ketika
pemimpinnya memuliakan kalangan intelektual dan menempatkan hasil riset dan
pengetahuan mereka sebagai pandu bagi perjalanan penataan republik dan pembangunan,
bukan sebaliknya. (Plato 2013, Muthahhari 1996).
Kebutuhan mendesak kepemimpinan nasional saat ini terkait dengan relasi antara intelektual
dan kuasa negara adalah bagaimana negara mampu memobilisasi dan mengonsolidasikan
kalangan ilmuwan untuk memberi arah dan orientasi pembangunan nasional (Jeffrey Sachs
2011). Kalau kita ambil contoh untuk merealisasikan tujuan pembangunan mencapai
kedaulatan pangan, hal itu tidak bisa dilakukan tanpa mengonsolidasikan kontribusi integratif
dari kaum intelektual yang berbasis di universitas.
Program kedaulatan pangan membutuhkan riset di bidang ekonomi-politik untuk melihat
relasi produktif yang terjalin antara petani, aparat pedesaan, para penghubung komoditi dan
struktur politik desa, riset ekonomi kerakyatan untuk memahami misalnya bagaimana
pemberdayaan koperasi sebagai institusi produksi bagi petani, riset teknologi- industri untuk
penyediaan infrastruktur perangkat modern pertanian bagi petani, riset agraria terkait
pemberdayaan kapasitas produksi dan struktur kepemilikan tanah.
6. Persoalannya adalah reformasi kelembagaan dengan penataan postur kabinet ini masih belum
cukup untuk menjadi formula solutif bagi pemberdayaan kaum intelektual. Tatanan ekonomi-politik
6
Indonesia pasca-otoritarianisme menyisakan relasi-relasi pemanfaatan akses terhadap
sumber daya publik dan kekuasaan bagi kepentingan segelintir oligarki, di mana intelektual
kerap menjadi tukang dari manuver-manuver oligarki.
Satu hal yang patut diamati secara kritis, bukanlah tidak mungkin kepentingan privat yang
mendistorsi kontribusi intelektual ini menyelinap lincah dalam desain kelembagaan yang
direformulasi oleh pemerintahan Jokowi-JK. ●
AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya; Kandidat PhD Asia
Research Center Murdoch University, Australia
7. 7
Inspirasi
Koran SINDO
28 September 2014
Sarapan saya setiap hari adalah infotainment. Bagaimana tidak? Di depan meja makan kami
(istri saya dan saya) ada layar TV plasma yang tergantung di dinding.
Biasanya saya sudah kenyang nonton berita CNN di pesawat TV lain di ruang kerja saya
sejak 03.00 pagi dan pada 04.30 pindah ke TV nasional. Jadi, pas sarapan, apa pun
makanannya, atraksinya selalu infotainment.
Salah satu topik yang sedang banyak ditayangkan infotainment belakangan ini adalah kisah
selebritas remaja yang sedang naik daun, Prilly Latuconsina. Kabarnya dia cinlok (buat
pembaca yang gak gaul, cinlok itu artinya cinta lokasi) dengan teman mainnya di salah satu
sinetron, Aliando Syarif, walaupun konon kabar burung ini sudah dibantah.
Tapi cinlok beneran atau bohongan, buat saya, tidak penting. Yang ingin saya ceritakan
adalah ketika Aliando Syarif, di hadapan Prilly, secara spontan dengan gitarnya menciptakan
lagu cinta yang indah buat Prilly. Dalam psikologi, inilah yang namanya ”inspirasi”. Prilly
telah memicu inspirasi (motivasi yang memunculkan gagasan sehingga menjadi karya)
Aliando sehingga cowok ini bisa menuangkan bakatnya yang paling top ke dalam lagu dan
syair yang top juga (top menurut penggemarnya, loh; buat saya jujur saja, gak nyambung,
karena genre musik saya beda dari musik Aliando). Nah, kalau kemudian ada produser yang
terinspirasi oleh lagu Aliando tadi, dalam waktu tidak lama lagi lagu itu akan membanjiri
belantika musik pop Indonesia.
***
Selasa malam yang lalu, tanggal 23 September 2014, saya diundang KORAN SINDO yang
menyelenggarakan sebuah acara yang mereka namakan ”Malam Apresiasi Inspirasi Indonesia
2014” di sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Saya datang dengan rasa ingin tahu yang besar
(sebagai ilmuwan modal saya cuma keingintahuan). Di situ saya bertemu dengan Prof
Komaruddin Hidayat yang sesama kolumnis tetap di KORAN SINDO. Beliau ternyata juga
tidak tahu acara apa ini dan datang karena sangat ingin tahu, sama seperti saya (karena itulah
beliau jadi profesor, kalau modal beliau enggak mau tahu, mungkin sekarang beliau sudah
jadi politisi).
Ternyata, sesuai dengan judulnya, malam itu adalah ajang pemberian penghargaan kepada 11
orang Indonesia yang dianggap inspirator buat bangsa ini. Ke-11 orang itu (tentunya sesudah
melalui saringan dan ujian yang ketat) adalah campuran dari orang-orang dari berbagai
8. 8
daerah (termasuk Jakarta), usia (dari umur 20-an sampai 70-an), laki-laki dan perempuan,
serta aneka bidang karya. Ada pembalap mobil (Rio Haryanto), ada pengusaha kosmetika
(Martha Tilaar), ilmuwan yang mengonservasi kupu-kupu (Dr Herawati Soekardi), dan
seterusnya.
Dengan segala hormat, kepada ke-11 pemenang penghargaan tersebut, saya tidak hendak
menyebut mereka satu per satu dengan prestasi masing-masing karena yang ingin saya
bicarakan adalah ”inspirasi”-nya, bukan orangnya. Tapi untuk membicarakan inspirasi itu,
mau tidak mau saya harus menggunakan contoh konkret. Maka dari 11 pemenang itu, saya
bikin lotre sendiri dan yang terpilih secara acak adalah Muhamad Arif Kirdiat, relawan
kampung dari Banten. Arif, bersama dengan sejumlah temannya dari berbagai kalangan
(mulai dari karyawan sampai bankir), sejak 2009 fokus pada perbaikan jembatan-jembatan
antarkampung yang di Banten (dan di daerah lain se-Indonesia tentunya) banyak yang rusak,
hampir putus, bahkan sudah putus sama sekali.
Saya sering melihat di TV betapa ibu-ibu, pedagang, petani, bahkan anak sekolah, harus
melewati jembatan gantung yang bergoyang-goyang hampir putus, tetapi tetap dilalui juga.
Di tempat lain, mereka menyeberang sungai yang arusnya cukup deras dengan menggulung
celana atau roknya, anak-anak sekolah menjinjing tas sekolahnya di atas kepala supaya tidak
basah, sepatu dibungkus plastik, karena jembatan di situ sudah lama putus dan tidak ada
perbaikan dari pemerintah. Kalau mereka tidak nekat menyeberang, mungkin mereka harus
berjalan memutar beberapa kilometer.
Arif terinspirasi oleh keadaan itu. Sama keadaan jiwanya dengan Aliando ketika terinspirasi
oleh Prilly. Bedanya adalah Aliando membuat lagu, Arif membuat jembatan. Maka dia
mengajak kawan-kawannya untuk membentuk kelompok Relawan Kampung yang visi dan
misinya adalah memperbaiki jembatan-jembatan agar mobilitas masyarakat bisa lebih
optimal yang dampaknya langsung akan meningkatkan kesejahteraan, taraf kehidupan, dan
kecerdasan mereka.
Luar biasa! Saya sering menonton TV tentang jembatan-jembatan yang rusak atau putus,
tetapi tidak terinspirasi, karena minat, bakat, dan profesi saya memang bukan di situ. Sama
juga jika saya ketemu Prilly berduaan, tidak mungkin saya menciptakan lagu apa-apa karena
minat saya bukan pada Prilly dan bakat saya bukan menciptakan lagu. Jadi harus ada sinergi
antara beberapa faktor (dalam ilmu disebut ”variabel”) agar orang terpicu inspirasinya dan
selanjutnya inspirasi itu bisa tertuang dalam suatu karya tertentu.
Yang menjadi pertanyaan saya kemudian adalah mengapa inspirator- inspirator hebat ini tidak
menginspirasi pemerintah, khususnya pemerintah daerah? Mengapa justru KORAN SINDO
(sebuah media massa biasa) yang mendongkrak mereka ke permukaan agar menginspirasi
wargabangsa yang lain? Ke mana pemerintah? Para inspirator ini telah melakukan hal-hal
yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang mencerdaskan bangsa, dan yang
mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
9. 9
Semua itu dengan kekuatan sendiri, modal sendiri, duit sendiri. Sama sekali tidak makan duit
rakyat, tidak minta imbalan posisi menteri, tidak memerlukan peningkatan pajak, dan
penurunan subsidi BBM, toh berhasil. Mengapa para pejabat pemerintah dan PNS tidak
terinspirasi? Konon triliunan rupiah per tahunnya telah dihabiskan pemerintah untuk rapat-rapat.
Apa yang dihasilkan oleh rapat-rapat itu? Pantaslah kalau akhirnya begitu banyak
pejabat yang harus mengakhiri kariernya sebagai tersangka KPK.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
10. 10
Mulia Kok Korup
Koran SINDO
29 September 2014
Memberi makan anak yatim, yaitu golongan lemah di dalam masyarakat, merupakan
kewajiban agama. Memberi makan di sini bukan hanya makan, tetapi juga menyediakan
segenap penghidupan lain. Menyayangi mereka, memberi mereka rumah atau tempat tinggal
yang layak, dan pendidikan agar mereka menjadi manusia secara utuh, yaitu manusia
biologis, manusia sosial, manusia berbudaya, dan religius. Tidak keliru bila orang yang
bersembahyang disebut celaka sembahyangnya bila dia beragama dan tertib menjalankan
salat, tapi mengabaikan kaum miskin dan tak memberi mereka yang lapar itu makanan.
Ketika kita dicekam ketegangan menjelang tahun 1965, yang dalam kajian ilmu- ilmu sosial
disebut zaman cultural schism, yaitu kehidupan yang penuh perpecahan budaya, ayat ini
pernah dikorup untuk menjelekkan kaum beragama dengan memotong sepenggal ayatnya
sehingga tak komplet: maka celakalah orang-orang yang bersembahyang.
Yang melakukan korupsi ayat ini pun menegaskan: ini bunyi kitab suci, Surat Al-Maun.
Padahal, utuhnya, celakalah orang yang bersembahyang, yang tak menaruh peduli, seperti
disebut sedikit di atas, kepada kaum miskin.
***
Organisasi sosial keagamaan yang besar, Muhammadiyah, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan
demi panggilan ayat tersebut. Tidaklah memahami agama bila kita hanya menghafal ayat
tersebut, tetapi tidak mampu mengamalkannya. Begitu argumen beliau. Memberi tempat,
pendidikan, dan kehidupan bagi anak yatim dan kaum miskin itu perintah agama. Jadi, jelas
merupakan sebuah kemuliaan.
Kalau mereka diberi pendidikan secukupnya, lalu dilatih bekerja, dan menjadi kaya, itu amal
saleh demi perintah agama. Di sini memperkaya orang lain dianggap sebuah kemuliaan.
Derajatnya mulia di bumi, mulia di langit. Mulia di dunia ini, mulia pula di hari akhir.
Membikin longgar bagi orang lain yang dalam kesempitan, sempit sosial, sempit politik,
sempit ekonomi, itu perbuatan mulia. Menolong orang lain untuk memperoleh lapangan
kerja, itu amal mulia.
Meminjami orang lain modal untuk membuka warung, restoran, atau kafe, pendeknya untuk
berbisnis, itu termasuk kategori amal saleh dan amal saleh seperti itu mulia sekali. Jika orang
bersangkutan menjadi kaya dan kita, yang memberi pinjaman modal tadi disebut
memperkaya orang lain, itu mulia di atas mulia. Jaranglah ada bandingan yang setara dengan
kemuliaan itu.
11. Kredit untuk rakyat kecil jarang yang berhasil memperkaya mereka. Kredit usaha menengah
pun jarang yang bisa membuat penerima kredit tadi memperoleh sukses besar yang layak
menjadi contoh. Kalau ada yang sukses, itu pun harus didaftar sebagai bagian dari kemuliaan
duniawi yang dampaknya jauh sekali ke dunia yang akan datang dan balasan bagi kemuliaan
itu luar biasa besarnya. Kita perlu memperbanyak kemuliaan di sekitar kita. Banyak orang
yang sudah melakukannya.
11
Rumah singgah, yang memberi pendidikan kepada anak-anak jalanan, itu kemuliaan. Kalau
beberapa di antara mereka kelak bisa maju, pendidikan mereka tinggi, lalu mereka sukses
dalam kehidupan, mulialah usaha itu. Mulia tanpa bandingan pula karena hanya sedikit
jumlah amalan seperti itu dan yang sedikit itu hanya kecil, lebih sedikit, yang sukses.
***
Zaman Reformasi ini dipenuhi semangat membikin baru begitu banyak segi kehidupan. Apa
yang dulu boleh dan berjalan aman sekarang digugat demi cara pandang yang lebih adil, lebih
demokratis, lebih manusiawi. Kaum tua yang sudah mapan lebih dari 30 tahun dalam
kekuasaan Orde Baru yang dianggap setengah suci terkaget-kaget menghadapi semangat
reformasi.
Memperkaya diri sendiri, dipandang dari sudut Undang-Undang Antikorupsi, tidak boleh. Itu
termasuk korupsi. Memperkaya orang lain itu mulia dan terpuji, mungkin setinggi langit, tapi
sekarang dianggap bagian dari tindak pidana korupsi. Memperkaya orang lain dianggap
korupsi? Tindakan mulia itu dianggap korup? Ya, ya. Jelas korup kalau yang menyebabkan
orang lain menjadi kaya itu seorang pejabat yang menggunakan fasilitas negara, kebijakan
negara, aturan negara, dan uang negara untuk seseorang.
Di sini, seseorang itu boleh siapa saja, tak peduli itu istrinya, anaknya, saudara kandungnya,
pamannya, atau mertuanya, bahkan musuh politiknya. Memperkaya musuh politik itu
kelihatannya merupakan suatu perbuatan hebat. Tapi kehebatan itu dianggap termasuk dalam
tindakan pidana korupsi. Memperbanyak jumlah dana khusus untuk menteri, agar sang
menteri bisa berbelanja secara leluasa dengan dana tersebut, tidak salah kalau ada aturan yang
menyatakan hal itu benar.
Kalau dana dihimpun dari berbagai pihak, termasuk pihak swasta, jadi tak merugikan uang
negara? Uang swasta pun harus diwaspadai. Swasta yang bagaimana? Dia menyumbang
secara sukarela? Dia memiliki kepentingan bisnis dengan sang menteri? Sumbangan itu
mulia. Tapi jika di belakangnya ada unsur kepentingan bisnis, kemuliaan itu diragukan.
Bahkan langsung tak bisa diterima.Itu kemuliaan yang mengandung unsur kongkalikong,
yang pada akhirnya bisa merugikan kepentingan negara. Apalagi bila pihak swasta tadi
ternyata kemudian mengaku dia diperas sang menteri secara habis-habisan, termasuk dengan
berbagai ancaman. Dia tak berdaya.
12. 12
Menyumbang seorang menteri agar yang mulia menteri bisa leluasa berbelanja, itu mulia
sekali dilihat dari satu sudut. Tapi dilihat dari sudut KPK itu durjana karena “mulia kok
korup”. Mulia ya mulia, korup ya korup. Dua-duanya menghuni wilayah moral-politik yang
berbeda. Jangan dicampuradukkan begitu saja.
Menyumbang panitia pembangunan rumah ibadah dengan jumlah besar dan diumumkan
lewat siaran televisi bahwa seorang hamba Allah dengan tulus ikhlas menyumbang sejumlah
besar uang, itu mulia di mata panitia pembangunan yang sudah lelah mencari dana. Tapi
tunggu dulu. Siapa yang mengaku “hamba Allah” itu? Apa pekerjaannya, apa jabatannya, di
mana kantornya. Semua harus jelas. Bahkan semua catatan dan bentuk transaksi keuangannya
harus diteliti. Kalau dia ternyata menyumbang dengan uang negara yang untuk beberapa lama
sudah dianggap miliknya dan sebagian sudah dinikmatinya, tetapi sebenarnya itu uang negara
juga, para ahli di bidang antikorupsi niscaya paham bahwa amal saleh itu batil.
Kedudukannya bukan lagi merupakan suatu corak kesalehan, tapi termasuk korupsi.
Kesalehan ya kesalehan. Itu amal mulia dan umat beragama didorong untuk terus
melakukannya. Tapi korupsi ya korupsi. Tindakan itu harus dibatasi. Pelakunya diadili dan
dihukum. KPK yang harus melakukannya tanpa henti, tanpa kenal lelah. Mulia ya mulia.
Tapi tak boleh ada unsur korupsi di dalamnya. Mulia kok korup. ●
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: dandanggula@hotmail.com
13. 13
Kampung, Ibunya Kota
Koran SINDO
30 September 2014
Masalah permukiman kumuh seolah-olah telah mengakar dalam kehidupan masyarakat,
terutama di perkotaan, seperti DKI Jakarta, Surabaya, Yogyakarta.
Pada umumnya, sekelumit problem permukiman kumuh di perkotaan mudah sekali dijumpai
dalam area yang dinamakan kampung. Istilah kampung sering dikontraskan dengan
perumahan real estat yang penghuninya didominasi masyarakat miskin, warga biasa, atau
wong cilik (Setiawan, 2010: 12). Kurang dan lemahnya aset masyarakat kampung tersebut
menyebabkan jaring-jaring kemiskinan muncul dan disertai dengan kondisi rumah yang tidak
layak huni.
Secara fisik, wajah kampung kota hanya dipandang sebagai bentukan ruang yang padat tanpa
ketersediaan ruang terbuka karena himpitan bangunan rumah masyarakat, minimnya akses
infrastruktur dasar sebagai penunjang, pendorong, dan pelengkap kehidupan para
penghuninya, serta mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor informal yang kondisi
ekonominya terbilang perlu upaya tindakan stimulan agar kehidupannya menjadi lebih baik.
Kampung Tematik Jadi Solusi
Dalam kondisi yang memiriskan, kampung memiliki daya tarik untuk dikaji lebih dalam oleh
beberapa organisasi nonpemerintah (NGO) maupun akademisi untuk mengetahui seluk-beluk
dan solusi inovatif dalam menjawab tantangan pertumbuhan luasan permukiman kumuh. Hal
ini dapat dilihat dari kampung-kampung di Yogyakarta terutama di bantaran Sungai Code,
Sungai Winongo, dan Sungai Gadjahwong.
Walaupun menjadi lokasi studi berkaitan dengan kemiskinan dan kekumuhan, masyarakat
kampung tak dapat dimungkiri memiliki kekuatan untuk mengubah tatanan lingkungannya
melalui perencanaan kampung-kampung tematik sesuai dengan potensi dan komoditas utama
yang dimiliki kampung tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari kampung-kampung di berbagai daerah seperti Kota Surabaya
(Kampung Lontong, Kampung Limbah, Kampung Batik), Kota Yogyakarta (Kampung Batik,
Kampung Wijilan/Gudeg, Kampung Jamu, Kampung Backpakers, Kampung Wisata Sungai,
Kampung Daur), dan DKI Jakarta (Kampung Panggung, Kampung Stasiun, Kampung
Kampus, Kampung Tekstil).
14. Bahkan penamaan kampung-kampung tersebut (kampung tematik) atau karakteristik
kekhasan dan kekuatan lokal mampu dioptimalkan fungsinya menjadi aset wisata untuk
mendatangkan wisatawan. Jepang, misalnya, memiliki perencanaan ruang di bidang ekonomi
dengan nama One Village One Product atau satu desa satu produk guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tidak hanya sektor perumahan, melainkan juga mencakup berbagai
sektor.
14
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dikatakan sebenarnya keberadaan kampung sangat
berpotensi dikembangkan dan mampu menjadi sebuah wajah dan identitas kota. Mengutip
pendapat Romo Mangun, kampung adalah ibunya kota dan hal itu benar adanya lantaran
adanya hubungan antara tatanan kampung dan kesejahteraan penghuninya dengan masa
depan kota tersebut.
Wajah kota yang dapat diinterpretasikan oleh keberadaan kampung menjadi mutlak untuk
ditata dan berguna baik dari segi fisik, ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan kampung
tersebut. Di sisi lain, karakteristik masyarakat kampung kota yang mengutamakan
kegotongroyongan menjadi kelebihan tersendiri dalam mengupayakan peningkatan kualitas
kampung kota.
Bahkan tingkat sosial masyarakat kampung kota dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan
masyarakat perkotaan pada umumnya. Bahkan secara konseptual, budaya hidup saling
gotong-royong di kampung selalu diposisikan sebagai modal sosial yang mampu
berkontribusi untuk mengakselerasi tujuan-tujuan pembangunan kemasyarakatan. Sejauh ini,
berbagai aktor pemangku kebijakan bidang perumahan telah berupaya memenuhi kebutuhan
perumahan layak huni.
Berbagai pendekatan yang telah dilakukan dengan melihat keberhasilan dari negara- negara
penggagas seakan menjadi penggairah stakeholders untuk diadopsi ke daerah-daerah
Indonesia. Proses adopsi maupun adaptasi dari berbagai benchmark keberhasilan negara-negara
lain sudah banyak dilakukan. Hanya saja, implementasinya di lapangan kerap
menemui halangan karena beberapa alasan seperti kondisi geografis, masyarakat penghuni
kampung, kapasitas baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA),
serta tataran birokrasi yang mampu memperlama pelaksanaan bahkan meniadakan
perencanaan.
Dengan kata lain dapat disebutkan, perbedaan karakteristik antarnegara membuat upaya
adopsi dan adaptasi keberhasilan negara-negara lain tidak secara given menghadirkan
problem solving terhadap kompleksitas permasalahan perumahan tersebut. Sudah saatnya
mengubah pola pikir yang saat ini mengacu pada program-program yang telah dilaksanakan
negara-negara maju yang sarat dengan adidaya teknologi dan SDM dengan memanfaatkan
potensi lokal. Karena pada akhirnya mereplikasi program-program luar dianggap tidak begitu
mampu memberikan hasil dalam penyelesaian permasalahan perumahan secara
komprehensif.
15. Salah satu alternatif yang dianggap mampu menjadi solusi inovatif adalah menggunakan
pendekatan lokalitas. Pendekatan ini mengupayakan pemanfaatan segala sumber daya lokal
dengan tujuan meningkatkan kualitas yang tidak hanya pada sektor papan saja, tetapi meluas
hingga ekonomi dan lingkungannya sehingga lebih ada kejelasan bentuk jaminan
kesejahteraan bagi masyarakat. Pendekatan lokal yang pernah menjadi kekuatan bagi
Indonesia dan merupakan salah satu program untuk direplikasi di negara lain seperti
Kampoeng Improvement Program atau lebih dikenal dengan nama KIP.
Program unggulan ini awalnya hanya dilakukan di dua kota sebagai pilot project, yaitu
Jakarta dan Surabaya. Program tersebut menggunakan pendekatan tribina yang meliputi bina
manusia, usaha, dan lingkungan. Harmonisasi ketiga bina inilah yang menjadi kekuatan untuk
memecahkan penanganan permukiman kumuh dan pemenuhan kebutuhan perumahan yang
layak huni dengan diimbangi peningkatan ekonomi demi mewujudkan keberlanjutan
kehidupan masyarakatnya.
15
Bahkan kesuksesan program KIP telah menginspirasi Thailand untuk mengadopsi program
KIP dengan nama sendiri, yaitu Program Baan Mankong, oleh Community Organization
Development Institute/CODI pada 2000. CODI merupakan organisasi otonom publik di
bawah pengawasan Kementerian Pembangunan Sosial dengan tujuan mendukung dan
memberdayakan organisasi masyarakat dan jaringan dalam meningkatkan taraf hidup,
meningkatkan pendapatan, penyediaan perumahan, dan perbaikan lingkungan anggotanya.
Keberhasilan CODI dalam mereduksi berbagai problem perumahan di Thailand seperti
reduksi hunian tidak layak dan permukiman kumuh dengan berbasis lokalitas menunjukkan
akomodasi terhadap sumber daya lokal secara empiris mampu mengakselerasi pencapaian
tujuan pembangunan. Pendekatan lokalitas yang melibatkan banyak aktor dan nilai-nilai lokal
berpotensi melahirkan resistensi publik yang lebih kecil.
Sebaliknya justru akomodasi terhadap sumber daya lokal tersebut lebih memicu terbentuknya
legitimasi kebijakan yang datang tidak hanya dari kelompok sasaran program, melainkan juga
dari seluruh elemen yang terlibat dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan
perumahan.
16. 16
Manusia dalam Bencana Asap
Koran SINDO
1 Oktober 2014
Ada asap ada api. Begitulah peribahasa yang amat populer di Indonesia. Peribahasa ini
biasanya diucapkan orang ketika ada suatu masalah yang penyebabnya tidak jelas. Dengan
peribahasa itu, orang yang yakin bahwa misteri masalah itu akan terkuak. Karena itu,
peribahasa ada asap ada api menggambarkan bahwa segala sesuatu pasti ada sebab akibatnya.
Hari-hari ini di Riau dan Kalimantan Timur asap yang berasal dari hutan terus mengepul dan
“migrasi” ke mana-mana. Ke kampung, ke kota, ke bandara, bahkan ke Singapura dan
Malaysia. Tak ada orang yang bisa menghalangi “migrasi” asap. Ia akan migrasi ke mana pun
arah angin berembus.
Tapi, kali ini ada persoalan besar yang muncul. Asap itu “menggelapkan” bandara di
Singapura dan Malaysia. Ini sangat berbahaya karena bisa membuat celaka pesawat terbang.
Singapura dan Kuala Lumpur mengeluh dan protes kepada Jakarta karena banyak asap yang
“migrasi” dari Indonesia ke wilayah mereka. Tapi, apa yang bisa dilakukan Indonesia?
Nyaris mustahil menyetop migrasi asap tersebut. Pinjam istilah Jusuf Kalla, cawapres
terpilih, Singapura dan Kuala Lumpur seharusnya tidak perlu protes karena dalam satu tahun
mereka lebih banyak mendapat migrasi udara segar dan banyak oksigen dari hutan di
Sumatera dan Kalimantan ketimbang migrasi udara berasap tersebut. Yang seharusnya
mereka lakukan, bagaimana membantu mengatasi kebakaran hutan di dua pulau itu dengan
menegur keras para pengusaha perkebunan sawit mereka yang nakal.
Ini karena pengusaha-pengusaha perkebunan sawit dari dua negara tetangga tadi menjadi
pemicu kebakaran hutan akibat mencari cara land clearing dengan mudah dan murah yaitu
membakar hutan! Memang benar, kebakaran hutan bisa terjadi secara alami. Penyebabnya
beragam. Petir, letusan gunung api, dan batu bara dangkal bisa menjadi penyebab kebakaran
hutan. Di negara-negara subtropis, faktor-faktor alam tersebut di atas menjadi penyebab
utama kebakaran hutan.
Petir misalnya sering menjadi pemicu kebakaran di negara-negara subtropis. Hampir 50%
kebakaran hutan di Kanada penyebabnya adalah petir. Di wilayah Rocky Mountain, Kanada,
65% penyebab kebakaran hutan adalah petir itu tadi. Tapi, kondisi seperti itu nyaris tak
mungkin terjadi di Indonesia yang beriklim tropis. Kenapa? Karena, muncul petir di
Indonesia hampir selalu berbarengan dengan muncul hujan. Dengan demikian, kilatan api
dari petir yang bisa menimbulkan kebakaran hutan “ternetralisasi” oleh muncul hujan
sehingga kebakaran hutan tidak berkembang luas.
17. Kebakaran hutan juga sering dipicu letusan gunung berapi. Aliran lahar panas misalnya
sering menjadi pemicu kebakaran hutan di lereng-lereng gunung berapi. Meletusnya Gunung
Merapi misalnya menjadi penyebab utama kebakaran hutan di desa-desa sekitar lereng
gunung tersebut. Kebakaran hutan di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten
Sleman, Yogyakarta dan Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah pada
Oktober 2010 misalnya akibat turun awan panas “wedus gembel“ yang berasal dari letusan
Merapi.
17
Sedangkan batu bara dangkal (yang terdeposit beberapa meter dari permukaan tanah) juga
acap menjadi pemicu kebakaran hutan. Pada kondisi cuaca kering dan panas, deposit batu
bara ini memanas sehingga melampaui titik bakarnya. Akibat itu, bahan bakar yang ada di
atas permukaan tanah seperti daun, ranting, dan kayu kering terbakar. Fenomena ini banyak
terjadi di Kalimantan dan Sumatera - dua pulau yang terkenal sebagai penghasil batu bara
terbesar di Indonesia.
Tapi, betulkah kebakaran hutan penyebab utamanya adalah iklim kemarau? Nanti dulu.
Berbagai studi dan analisis lembaga-lembaga kajian, baik LSM, perguruan tinggi, maupun
riset-riset independen menyimpulkan hampir 100% kebakaran hutan di Indonesia disebabkan
perbuatan manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja. Lebih jauh lagi, kebakaran hutan itu
disebabkan perbuatan manusia yang disengaja.
Penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 1998 di 10 wilayah di
Sumatera dan Kalimantan seperti Lampung, Jambi, Sumbagsel, Riau, Kalbar, dan Kaltim
menemukan bahwa penyebab secara langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah
(a) api yang sengaja dipakai untuk pembukaan hutan (land clearing); (b) api yang sengaja
dipakai untuk menyelesaikan masalah dalam konflik tanah dan lahan; (c) api yang dipakai
untuk ekstraksi sumber daya alam (industri); dan (d) penyebaran api secara tidak sengaja.
Sedangkan penyebab kebakaran hutan secara tidak langsung adalah (a) penguasaan lahan; (b)
alokasi penggunaan lahan; (c) insentif/disentif ekonomi; (d) degradasi hutan dan lahan; (c)
dampak perubahan karakteristik kependudukan; dan (f) lemahnya kapasitas kelembagaan
(Syaufina, 2008).
Jelas sekali, penyebab utama kebakaran hutan adalah kegiatan manusia dalam penyiapan
lahan dan konversi lahan hutan menjadi nonhutan. Kegiatan tersebut sebagian besar
dilakukan perusahaan perkebunan. Dalam beberapa tahun terakhir, kebakaran hutan ini sudah
demikian meluas hingga menghanguskan hutan lindung dan hutan konservasi. Kondisi
tersebut jelas sangat memprihatinkan.
Jika pada 1980-an laju deforestasi mencapai 1 juta hektare per tahun, pada era 1990-an laju
deforestasi itu mencapai 1,7 juta hektare per tahun. Menurut catatan Kementerian Kehutanan
pada 2006, laju deforestasi bahkan telah mencapai 2,83 juta hektare per tahun atau sekitar 3-5
hektare (3-5 kali luas lapangan sepak bola) per menit. Jika kondisi yang amat
memprihatinkan itu tidak bisa dicegah, Indonesia dalam 50 tahun ke depan akan kehilangan
hutan dan berubah menjadi negeri kering kerontang yang panas, berdebu, dan kering tanpa
18. 18
air.
Dalam kaitan “asap di Singapura dan Malaysia” itu kemudian terungkap apa dan siapa saja
yang sering membakar hutan. Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menyatakan,
delapan dari 14 perusahaan yang diduga kuat membakar lahan dan hutan di Riau berasal dari
Malaysia dan Singapura. Semua perusahaan negara tetangga itu bergerak di bidang
perkebunan kelapa sawit.
Mereka antara lain PT Langgam Inti Hiberida (Malaysia), PT Bumi Raksa Sejati (Singapura),
PT Tunggal Mitra Plantation (Malaysia), PT Udaya Loh Dinawi (Malaysia), PT Adei
Plantation (Malaysia), PT Jatim Jaya Perkasa (Singapura), PT Multi Gambut Industri
(Malaysia), dan PT Mustika Agro Lestari (Malaysia), PT Bumi Reksa Nusa Sejati
(Singapura), PT Sumatera Riang Lestari (Singapura), dan PT Sakato Prama Makmur
(Singapura). Balthasar mendesak Pemerintah Singapura dan Malaysia menghukum mereka
jika nanti terbukti terlibat dalam pembakaran hutan (22/6/2013).
Salah satu perusahaan perkebunan sawit asal Malaysia, PT Adei Plantation, misalnya sudah
lama ditengarai penduduk dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat sebagai
pembakar hutan. Saat ini PT Adei sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri Pelalawan.
Rupanya PT Adei ini pada 2003 pernah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri
Bangkinang dan pengadilan menetapkan manajer mereka Mr Goby divonis empat
tahun. Tapi, Mr Goby tidak pernah masuk penjara. Ia lari ke Malaysia dan anehnya
perusahaan mereka masih beroperasi dan terus membakar hutan sampai sekarang.
Udara berasap akibat kebakaran hutan memang bencana bagi manusia. Tapi, ada lagi bencana
besar bagi manusia jika hutan tropis terbakar yaitu musnahnya kekayaan biodiversitas
(keanekaragaman jenis hayati). Hutan tropis Indonesia diketahui menyimpan 70% lebih
kekayaan biodiversitas yang ada di muka bumi.
Kekayaan biodiversitas ini aset nasional yang amat mahal untuk pembangunan masa depan,
terutama untuk pangan dan obat-obatan. Jika salah satu program unggulan pemerintahan
Jokowi-JK adalah kemandirian pangan dan pembangunan kesehatan, kekayaan biodiversitas
adalah penunjang utamanya. ●
HADI S ALIKODRA
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, Mantan Wakil Ketua Bapedal
19. 19
Negosiasi Rendah Karbon
Koran SINDO
1 Oktober 2014
Adu kuat kepentingan antara satu koalisi melawan koalisi lain bukanlah monopoli kehidupan
politik di negara kita. Adu kuat kepentingan satu negara terhadap negara lain atau satu
kelompok kelas tertentu dengan kelas lain adalah bagian dari sejarah peradaban manusia.
Kita dapat melihat ketika para pihak yang saling bertarung kepentingan mencapai kata
kesepakatan untuk mencapai sebuah perdamaian, ada hal-hal positif yang dihasilkan,
termasuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya apabila para pihak yang
bertikai tidak menemukan jalan untuk menghentikan perselisihan melalui rumusan
kesepakatan, sudah pasti kehancuran ada di depan mata; bukan hanya bagi pihak yang
dikalahkan, tetapi pihak yang menang juga akan merasakan kerugiannya.
Fakta itu dapat kita lihat dalam krisis iklim yang terjadi saat ini. Negara-negara industri besar
seperti Amerika Serikat (AS) dan China tidak mau menunjukkan komitmen mereka untuk
menurunkan emisi karbon. Mereka khawatir komitmen itu akan memperlambat laju
pertumbuhan ekonomi. Sikap negara industri tersebut menjadi alasan bagi negara-negara lain
untuk mengikuti jejak mereka dan tidak peduli dengan nasib bumi.
Menurut The Washington Times, tingkat emisi karbon dari bahan bakar berbasis fosil justru
meningkat 2,4% dibandingkan tahun 2013. Program Lingkungan Hidup PBB mengungkap
kalaupun seluruh negara memenuhi target janji penurunan emisi gas rumah kaca, suhu bumi
telanjur akan naik lebih dari 2 derajat Celsius karena pola hidup modern saat ini.
Lomba untuk saling menaikkan angka pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara di
dunia mempercepat emisi karbon. Karena setiap negara mendorong pola hidup konsumtif
agar produksi barang-barang dapat diserap pasar. Oleh sebab itu, wajar bila kelebihan
pembuangan gas karbon dioksida akan mencapai 8-12 gigaton!
Negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan basah juga tidak mau ketinggalan.
Mereka melakukan revolusi industri dengan jalan membuka industri- industri perkebunan atau
industri kayu yang mengakibatkan penggundulan hutan yang menjadi terkendali. Protes
negara-negara maju tidak diindahkan karena mereka juga melakukan hal yang sama 100
tahun yang lalu.
Efeknya akan sangat buruk bagi anak cucu. Misalnya mengenai keanekaragaman hayati,
khususnya hewan liar. Setengah dari binatang liar di dunia telah musnah dalam kurun waktu
40 tahun terakhir, misalnya jumlah singa menurun 90%. Sementara itu populasi harimau
20. menurun 97% dalam kurun waktu 100 tahun dan gajah menghilang 60% sejak
2002. Demikian kutipan dari The Living Planet Report 2014 yang dirilis oleh World Wildlife
Fund dan Komunitas Zoologi London. Artinya, tidak mustahil anak cucu kita sekadar
membaca sejarah tentang hewan-hewan liar bila para orang tuanya tak berbuat sesuatu pun.
Dari segi diplomasi, mekanisme dialog antarperwakilan negara sudah tersedia. Kesepakatan
atas dasar pikiran dan akal sehat telah dirumuskan sejak UNFCCC (Kerangka Kerja
Konvensi Perubahan Iklim PBB) diterapkan pada 21 Maret 1994.
Saat ini keanggotaan negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim telah mencapai 195
negara; jadi hampir semua negara. Skemanya cukup lengkap meliputi Kyoto Protokol sebagai
dasar yang mengikat anggotanya dalam menentukan target penurunan emisi dan Kesepakatan
Marrakesh 2001 yang memuat aturan detail implementasi protokol. Kesepakatan juga
menoleransi penerapan mengingat kondisi politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda dari
setiap negara.
20
Pada Desember 2012 di Doha, Kyoto Protokol diamendemen. Intinya diizinkan adanya
kelonggaran pelaksanaan komitmen bagi negara maju. Ada mekanisme pelaporan rutin
tentang kemajuan penerapan komitmen. Bagi negara berkembang, disediakan skema dana
bantuan (hibah maupun pinjaman) untuk kegiatan menekan perubahan iklim. Sejumlah
negara maju juga sepakat atas berbagi teknologi untuk mendukung kegiatan tersebut.
Mengenai penerapan komitmen, disediakan pula tunjangan dan panduan teknis. Komitmen
negara anggota akan dibahas lagi dalam Konferensi Ke-20 UNFCCC 2014 di Lima, Peru,
pada 1-12 Desember 2014.
Dibandingkan 20 tahun lalu, bukti-bukti terjadinya perubahan iklim dan bahayanya bagi umat
manusia maupun keanekaragaman hayati sudah makin nyata. Permasalahannya adalah
menjadikan bukti tersebut sebagai basis untuk bergerak bersama secara serentak dalam skala
besar dan konsisten untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru.
Sampai saat ini selain masih ada pertentangan tentang siapa yang harus lebih dahulu mulai
menerapkan komitmen, ada masalah juga mengenai kemauan pemerintah maupun kalangan
swasta untuk mengubah kebiasaan. Ibaratnya begini: jika orang lain belum mengubah gaya
hidup dan kebiasaannya dan saya serta perusahaan atau negara saya harus berubah terlebih
dahulu, rugi dong. Itu sebabnya para diplomat mengalami kebuntuan dalam negosiasi karena
pada akhirnya kesepakatan yang mereka buat harus diterapkan di dalam negeri.
Di tingkat bisnis, mengubah pola hidup memang bukan hal mudah. Yang biasa menggunakan
mesin berbahan bakar bensin harus berinvestasi dulu menciptakan mesin baru tanpa bensin
supaya lebih ramah lingkungan. Kalau harus menunggu satu per satu perusahaan bergerak,
efeknya tidak akan signifikan dalam kurun waktu yang diinginkan. Jika diwajibkan
pemerintah, misalnya lewat pajak karbon, seluruh sistem pajak mengenai penggunaan energi
di segala sektor usaha dan skala usaha juga perlu diubah.
21. Katakanlah parlemennya kooperatif mendukung pihak eksekutif, maka inventarisasi
perubahan aturan pun harus lengkap. Efeknya pasti langsung terasa sampai ke konsumen dan
dianggap memberatkan. Itu sebabnya di Australia, misalnya, pajak karbon yang diterapkan
tahun 2012 akhirnya dicabut pada 2014. Apakah Indonesia akan terbawa mengikuti arus
penolakan tersebut?
Kalau semua negara berkeras hati, Indonesia juga akan merasakan ruginya. Kalau kita
sekadar ikut-ikutan mengadopsi bentuk disinsentif yang diterapkan di negara lain demi
memenuhi komitmen internasional, saya hampir yakin, pasti penolakannya keras. Tapi kalau
kita bangun gerakannya sebagai upaya memurahkan biaya hidup dan membangun harmoni
dengan alam, seharusnya lebih bisa diterima khalayak.
21
Misalnya saja sejumlah gerakan hemat listrik, hemat kertas, hemat AC, dan mengurangi
konsumsi BBM dimasyarakatkan dengan lebih luas. Bisa dimulai dari seluruh pegawai
pemerintah dan keluarganya, sekolah-sekolah, pusat rekreasi, dan kawasan industri.
Ketentuan pembuatan taman di kompleks perumahan ditegakkan dan tiap izin membangun
wajib dicek kepatuhannya untuk menyediakan lahan untuk taman rumah.
Gerakan-gerakan macam itu akan sangat membantu para diplomat yang bernegosiasi dalam
sidang perubahan iklim. Jangan lupa, negosiasi perubahan iklim ini menggunakan kerangka
kerja skala jangka panjang. Jadi selain stamina Indonesia dalam negosiasi harus prima,
masyarakatnya perlu lebih ”tahan banting” menghadapi tuntutan perubahan pola hidup demi
alam yang lebih bersahabat.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
22. 22
Demokrasi dan Batas Kebebasan
Koran SINDO
2 Oktober 2014
Demokratisasi yang bergulir deras lebih dari sewindu terakhir telah membuat masyarakat
Indonesia pada umumnya sangat menikmati kebebasan.
Pertanyaannya, apakah demokrasi identik dengan kebebasan? Betul, di tataran budaya, nilai
utama dari demokrasi adalah kebebasan, yang berdimensi dua: bebas dari (tekanan, paksaan,
ancaman) dan bebas untuk (bicara, berpikir, berekspresi). Memang, masih ada dua perspektif
demokrasi yang lain, yakni sistemik (menyangkut struktur dan institusi) dan prosedural
(mekanisme dalam menentukan maupun memilih kebijakan dan elite-elite yang akan
memimpin publik). Namun, dua perspektif itu niscaya membuat demokrasi semu jika tak
disertai dengan penghayatan yang mendalam oleh masyarakat akan keniscayaan nilai- nilai
demokrasi (selain kebebasan ada lagi kesetaraan, independens i, pluralisme dan
individualistis) itu.
Pertanyaannya, apakah kebebasan merupakan sesuatu yang tanpa batas? Dibenarkankah,
misalnya, seseorang dengan mengatasnamakan kebebasan lalu berteriak-teriak semaunya
sendiri, padahal di sekelilingnya ada banyak orang yang merasa terganggu? Bolehkah orang
banyak menutup jalan tol atas nama kebebasan yang bahkan dirasionalisasi dengan “motif
baik” demi menuntut tarif tol tidak dinaikkan?
Dalam beberapa minggu terakhir ini, wacana publik sempat diramaikan oleh dua isu yang
berkaitan dengan kebebasan berekspresi. Pertama, seorang mahasiswi pascasarjana bernama
Florence Sihombing yang menulis sesuatu di jejaring sosial, Path, yang dianggap menghina
Yogyakarta. Ia lalu dilaporkan ke polisi dan sempat ditahan, tapi tak lama kemudian
dilepaskan. Florence sendiri kemudian minta maaf kepada Sultan HB X dan kepada warga
Yogyakarta.
Kedua, seorang pemilik akun Twitter dengan nama @kemalsept, yang karena dianggap telah
menghina Kota Bandung dan wali kota Bandung lalu secara resmi dilaporkan Wali Kota
Bandung Ridwan Kamil ke polisi. “@kemalsept Anda secara resmi saya laporkan ke
kepolisian, untuk tweet-tweet penghinaan Pasal 27 UU 11 tahun 2008,” tulis Ridwan dalam
akun Twitter resminya, 5 September lalu. Tak hanya itu, dalam statusnya, Ridwan juga
mengunggah foto screen capture lini masa Twitter yang bersangkutan. Dalam foto itu tampak
pemilik akun @kemalsept menghina Bandung dengan kata-kata kasar. Semuanya ditulis
dengan huruf kapital.
“Kritik ada tempat dan etikanya. Kalau menyerang pribadi tentu ada kehormatan yang harus
dijaga. Beda, kan, kritikan dan cacian, apalagi ke pribadi,” ujar Ridwan. “Ini jadi
23. pembelajaran. Dimaafkan ya dimaafkan,” katanya. Namun, ia berharap agar hal serupa tidak
terjadi lagi di masa mendatang.
Lebih dari demokrasi di tataran sistemik dan prosedural, demokrasi di tataran budaya
lazimnya membutuhkan waktu relatif panjang untuk mencapai situasi dan kondisinya yang
ideal. Pasalnya, kebebasan memang cenderung disalahpahami dan disalahgunakan jika tidak
didukung dengan dua nilai lainnya, yakni rasionalitas dan moralitas.
Dengan rasionalitas, niscaya setiap orang menggunakan hak-hak asasinya secara bertanggung
jawab. Sebaliknya tanpa rasionalitas orang-orang cenderung bertindak dan berperilaku
semau-maunya sendiri. Dengan moralitas, niscaya setiap orang menjalani hidupnya secara
tertib dan tak ingin meremehkan atau mengabaikan orang-orang lain di
sekitarnya. Sebaliknya tanpa moralitas, orang-orang cenderung hidup tak teratur dan tak
memedulikan kehadiran orang-orang lain di sekitarnya.
Dengan demikian maka demokrasi niscaya berkembang sehat jika pilarnya adalah masyarakat
sipil yang nalarnya telah akil balig, telah mampu berpikir rasional dan mandiri. Atas dasar
itulah, niscaya orang-orang tak cenderung salah mengerti dan menyalahgunakan kebebasan di
tengah demokratisasi yang bergulir deras ini.
23
Maka di dalam kehidupan sesehari, komunikasi yang terjalin niscaya juga menjadi sarat
makna alih-alih ngalor-ngidul tanpa arah. Hal itu bukan hanya menjadi keharusan di dalam
komunikasi di dunia nyata (secara lisan), tetapi juga di dunia maya (secara tulisan).
Pertanyaannya, itu gampang atau sulit? Jawabannya, mungkin agak sulit karena diperlukan
dua nilai pendukung itu tadi: rasionalitas dan moralitas. Dengan kedua nilai yang telah
dihayati itulah komunikasi yang sebelumnya berwujud talking (nirmakna) niscaya menjadi
speaking (sarat makna).
Memang, dengan semua nilai demokrasi yang disebutkan tadi maka demokrasi di dalam
kehidupan sehari-hari menjadi rawan konflik. Kendati begitu, demokrasi tetap merupakan
alternatif sistem dan way of life yang terbaik demi menghindarkan terjadinya monopoli dalam
menginterpretasi kebenaran.
Demokrasi juga niscaya menjadikan kita mampu bersikap toleran dan apresiatif terhadap
segala macam perbedaan. Pada akhirnya, bukankah itu juga yang niscaya membuat kita
rendah hati karena merasa orang-orang lain juga memiliki kebenaran? Bukankah karakter
seperti itu sangat baik dan terpuji?
Jadi, apakah kebebasan dalam demokrasi itu tanpa batas? Tentu tidak. Ia bahkan penuh batas
di sana-sini. Pertama, karena kita hidup di tengah masyarakat yang memiliki hukum
(Costello, 2000). Itulah yang otomatis membatasi setiap orang. Kedua, karena demokrasi
harus seiring sejalan dengan hak asasi manusia. Kesadaran akan hak asasi orang-orang lain
itulah yang memunculkan kesadaran bahwa kita harus membatasi kebebasan diri sendiri demi
menghormati orang-orang lain itu.
24. Ketiga, karena dengan dipandu moralitas dan rasionalitas, kita harus senantiasa
mempertimbangkan hal-hal yang benar dan baik yang sepatutnya dilakukan. Keempat, karena
sadar akan kehadiran orang-orang lain di tengah masyarakat maka kita niscaya berpedoman
pada etiket dan etika yang dengan sendirinya membatasi kebebasan.
24
Dengan alasan-alasan itulah maka demokrasi selalu ada batasnya, bahkan banyak. Maka,
adalah salah jika sebagian orang mengatakan kebebasan dalam demokrasi itu liar.
Sebaliknya, justru demokrasi yang rasional dan bermoral menjadikan kebebasan itu
bertanggung jawab.
Maka jika hingga kini kita masih kerap membaca kata-kata yang tak sopan, penuh caci maki
dan hinaan, atau bahkan disertai dusta tanpa data, yang ada di berbagai media jejaring sosial,
anggap saja si pemilik akun yang bersangkutan belum cukup rasional dan kurang bermoral. ●
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
25. 25
Menimbang Pendidikan Indonesia
Koran SINDO
3 Oktober 2014
Pekan lalu Anindiya, alumnus SMU Madania Parung, Bogor, yang sudah dua tahun berkuliah
di Ritsumeikan APU, Jepang, sengaja datang ke kantor saya di sela-sela liburannya ke
Jakarta.
Dia datang untuk berbagi kegelisahan mengenai pendidikan Indonesia yang menurutnya
tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sebagai aktivis, Anin banyak bergaul dan
diskusi dengan sesama mahasiswa Asia. Yang membuatnya gelisah, mahasiswa lain lebih
siap menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).
Di Thailand misalnya sejak SMU anak-anak sudah mulai belajar bahasa dan peta bumi
Indonesia. Mereka mulai dipersiapkan mengenal potensi ekonomi dan lapangan kerja di
Indonesia ketika nanti dibuka pasar bebas ASEAN yang memungkinkan tenaga kerja asing
bekerja dan bersaing dengan putra-putra di negara kita. Anin sangat khawatir sarjana-sarjana
Indonesia sulit bersaing dengan sarjana Jepang, Korea, Filipina, Thailand, Malaysia, dan
Singapura dan kualitas pendidikan Indonesia tidak mengalami perbaikan serius dan segera.
Di Indonesia terdapat sekitar 3.500 perguruan tinggi negeri dan swasta, lulusannya akan
bersaing ketat memperebutkan lapangan kerja dengan lulusan perguruan tinggi di ASEAN.
Ini sebuah tantangan dan sekaligus mimpi buruk mengingat sebagian perguruan tinggi kita
sekadar memberikan ijazah, namun miskin kompetensi. Sekarang ini diperkirakan setiap
tahun terdapat satu juta sarjana baru.
Dibanding Malaysia dan Singapura, angkatan kerja mereka terbanyak diisi sarjana dan
tamatan sekolah menengah kejuruan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari
2014, jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak 118,17 juta orang. Sungguh fantastis, suatu
bonus demografi yang tidak dimiliki bangsa Jepang, Korea, dan negara-negara tetangga.
Namun, itu semua akan berbalik menjadi beban jika ternyata miskin kompetensi dan kalah
bersaing dalam panggung MEA nanti.
Diberitakan, sedikitnya 600.000 lulusan perguruan tinggi menganggur yang sekarang tengah
berjuang mendapatkan lapangan kerja. Terdapat lima fungsi utama yang mesti diperhatikan
oleh lembaga pendidikan pada setiap jenjang. Pertama, sebagai tempat pembentukan
karakter. Lewat pendidikan seseorang diharapkan mendapatkan lingkungan dan keteladanan
yang baik agar tumbuh menjadi pribadi yang terpuji. Makanya sekolah disebut almamater,
bagaikan sosok ibu kandung yang membesarkan dan mendidik kita semua agar jadi anak
yang mandiri dan berkepribadian baik.
26. 26
Kedua, lembaga pendidikan adalah tempat transfer ilmu pengetahuan dari para guru pada
anak didiknya. Jika guru atau dosen tidak menguasai dan menambah ilmu, lalu apa yang
hendak ditransfer? Tidak sebatas transfer, tetapi para guru dan dosen itu juga mengajari
bagaimana berburu ilmu pengetahuan atau riset (re-search), sebuah usaha tanpa henti,
mencari dan kembali mencari, untuk selalu memperluas cakrawala pengetahuan sehingga
dunianya semakin luas dan kaya.
Menguasai metode menggali ilmu tidak kalah pentingnya dari sekadar menerima ilmu.
Seseorang yang kaya ilmu pasti akan banyak referensi dan komparasi ketika membuat sebuah
keputusan dalam hidupnya.
Ketiga, lembaga pendidikan adalah juga tempat untuk melatih peserta didik mengembangkan
keterampilan sosialnya. Keterampilan dan keluwesan berkomunikasi dan bersosialisasi sangat
penting bagi kehidupan seseorang. Profesi apa pun, terlebih di zaman yang serbaterbuka dan
kompetitif ini, keterampilan berkomunikasi (communication skill) sangat diperlukan. Tidak
lagi zamannya berpikir ”diam itu emas”.
Keempat, lembaga pendidikan juga berperan memberikan skill pada seseorang sehingga
dengan keahlian yang dimiliki diharapkan akan bisa hidup produktif dan mandiri agar
hidupnya tidak menjadi beban orang lain. Syukur-syukur bisa menciptakan lapangan kerja
bagi orang lain.
Kelima, lembaga pendidikan hendaknya secara sadar membantu menganta rkan agar
seseorang tumbuh menjadi seorang pemimpin. Sikap kepemimpinan (leadership) akan
diperlukan oleh siapa pun, minimal sekali kepemimpinan dalam rumah tangga. Lebih dari itu,
setiap posisi atau karier seseorang sesungguhnya memerlukan kualitas kepemimpinan.
Karena itu, menjadi sangat penting pelajaran dan latihan kepemimpinan di sekolah dan
perguruan tinggi.
Salah satu ciri seorang pemimpin adalah memiliki inisiatif, memiliki kepekaan sosial, peduli
pada nasib orang lain, memiliki rasa tanggung jawab, dan berani ambil risiko atas keputusan
yang diambilnya. Pelatihan kepemimpinan ini semakin kurang memperoleh perhatian di
sekolah.
Keenam, tidak kalah pentingnya dari semua itu, peran lembaga pendidikan adalah juga
mendidik anak agar tumbuh menjadi pejuang kehidupan. Agar memiliki climber mentality.
Pendaki dan penakluk gunung kehidupan yang tak mudah menyerah ketika menghadapi
berbagai rintangan. Banyak anak-anak yang bermental quitter, mudah takluk ketika
dihadapkan problem.
Demikianlah, sebagai orang tua kita pasti memiliki harapan pada anak-anak kita agar tumbuh
menjadi pribadi seperti yang saya kemukakan di atas. Kewajiban pendidik itu sebagian
diserahkan pada lembaga pendidikan. Orang tua dan guru merupakan mitra coeducator bagi
anak didik.
27. Dulu ada ungkapan: al-ummu madrasatul ula. Sosok ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
27
Sekarang tidak bisa lagi diandalkan karena banyak ibu yang juga aktif bekerja di
luar, lalu peran pendidik diambil guru di sekolah, oleh pembantu rumah tangga, dan TV.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
28. 28
Ibuku Sayang Ibuku Malang
Koran SINDO
4 Oktober 2014
Betapa malang nasib Ibu Fatimah di usia senjanya (kini 90 tahun) menjadi tergugat oleh anak
kandung dan menantu sendiri, yaitu oleh anak keempatnya bernama Suhana dan menantunya
bernama Nurhakim, akibat sengketa tanah di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang hari Rabu
minggu lalu.
Sungguh malang nasib nenek ini menjadi tergugat. Seharusnya sang anak dan menantu
melindunginya, di mana letak perikemanusiaan sang anak dan menantunya, setan apa yang
telah merasuki hati keduanya? Materi ternyata bisa memutus tali silaturahmi, tak terkecuali
antara ibu dan anak serta menantunya. Hati siapa yang tak tersentuh dan pilu melihat kejadian
yang memalukan dan menjijikkan, tega-teganya sang anak dan menantu berbuat demikian.
Nauzubilllahi minzalik.
Sungguh malang nasib Ibu Fatimah yang merupakan janda beranak delapan, sebidang tanah
yang dibeli oleh suaminya ketika masih hidup kini membawa dirinya menjadi tergugat,
sementara penggugat adalah anak kandung dan menantu sendiri. Bagaimana akhir kisah ini?
Apakah Ibu Fatimah kalah dalam mempertahankan haknya? Akankah keadilan itu berpihak
kepada Ibu Fatimah sebagai tergugat?
Relevan juga bagi kita untuk merenungkan kembali sampai di mana tanggung jawab anak
yang seharusnya membela orang tua di kala orang tuanya telah uzur itu? Bagaimana pula
tuntunan agama Islam dalam membela hak dan memelihara orang tua ketika sudah uzur?
Tuntunan Islam terhadap Kedua Orang Tua
Masih relevan mengungkapkan kembali apa yang pernah dikemukakan Prof Komaruddin
Hidayat ( Rektor UIN Jakarta) dalam tulisannya di harian ini berjudul ”Menimang Kasih Ibu”
(19 Desember 2008) bahwa sosok ibu memiliki kualitas agung. Padanya melekat sifat kasih
Ilahi yang tak pernah padam. Bahkan sebelum terlahir ke dunia ini kita tinggal dalam gerbang
surgawi yang disebut alam rahim ibu.
Kata rahim itu sendiri merupakan salah satu asma Allah. Ini secara jelas menunjukkan
keterkaitan kualitas yang amat dalam dan lembut sekali bahwa sebagian kasih Allah terpancar
ke dunia melalui sosok ibu sebagai transmitter-nya yang dalam istilah tasawuf disebut tajalli
Ilahi. Seorang ibu senantiasa memancarkan keindahan dan kasih Ilahi, bagaikan surya
menyinari dunia yang selalu memberi tak harap kembali.
29. Agama Islam memberikan tuntunan dalam hubungan anak dengan orang tua dapat kita simak
dalam QS Al-Isra ayat 23 yang artinya: ”Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di
antara keduanya sampai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali jangan engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya
dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”
Lanjutnya pada ayat 24 surat yang sama Allah menyerukan: ”Rendahkanlah dirimu terhadap
keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah
keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil’.”
Dengan memahami dua ayat yang telah disebutkan di atas, sungguh kisah Suhana dan
suaminya kepada ibu kandungnya jelas-jelas bertentangan dengan Firman Allah di atas.
Kenapa anak ini tega-teganya membuat hidup ibunya menjadi terdakwa? Hati manusia mana
yang tak sedih dan trenyuh mendengar dan menyaksikan peristiwa ini? Ya Allah jangan
sampai ada Suhana dan Nurhakim-Nurhakim selanjutnya yang tega berbuat nista kepada
ibunya.
29
Apakah ini sebuah tanda-tanda sudah dekatnya hari kiamat, di mana anak sudah tidak
menyayangi orang tua, anak sudah menjadi raja terhadap orang tuanya? Kisah ini sudah
seharusnya menjadi pelajaran buat anak-anak manusia selanjutnya dan kisah sedih ini tak
perlu dicontoh, nauzubillah.
Hati Ibu yang Terluka dan Tersakiti
Hati ibu yang mana yang tak merasakan sakit, sedih, pilu, dan kecewa menghadapi perilaku
anak dan menantunya yang tidak etis dan tak bermoral yang seharusnya melindungi tetapi
malah menzalimi. Sebagai anak manusia tentu kita semua sadar dan tahu bagaimana
perjuangan ibu dalam membesarkan kita, ibu berjuang tanpa kenal lelah, berjuang tanpa
mengharap imbalan jasa.
Ibu yang selalu melindungimu, merawat dan menjagamu dari tidurmu yang lelap, merawatmu
ketika kamu sedang sakit. Setiap napasnya senantiasa mendoakan agar kau selamat. Ibumu
adalah malaikatmu yang selalu menjagamu. Ia tertawa ketika kamu tertawa, dia sedih ketika
kamu sedih. Apa pun dilakukannya demi masa depanmu yang cerah. Bahkan ibu rela
sekalipun jiwanya menjadi taruhan.
Semua agama mengajarkan untuk menghormati ibu. Bahkan agama Islam mengajarkan,
aljannaatu tahta aqdaami alummahat (surga di bawah telapak kaki ibu). Dalam sebuah kisah
seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, siapa orang yang harus saya hormati ya
Rasul? Jawabannya: ibumu. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi: siapa orang yang harus
saya hormati ya Rasulullah? Jawabannya: ibumu. Kemudian siapa lagi ya Rasul? Ibumu.
Kemudian siapa lagi ya Rasul? Ayahmu. Nah, begitulah, betapa tingginya nilai seorang ibu di
30. 30
hadapan Allah, bahkan rida Allah adalah ridha bilwalidain (rida Allah berdasarkan rida
kedua orang tua).
Andaikan pengadilan mengabulkan bahwa kamu di pihak yang benar dan ibumu harus
memenuhi tuntutan kamu dan suamimu, bahkan diusir dari tempat yang semula telah ikut
andil dalam membesarkanmu, sungguh tega dan hebat engkau memperlakukan ibu
kandungmu seperti itu.
Di mana letak hati nuranimu, masihkah kau punya hati nurani? Coba kau pandang wajah
ibumu dengan dalam, dengan baik, sampai berapa waktu lagi ibumu mungkin ada di depan
matamu? Bertobatlah sebelum kau terlambat. Sudah banyak kisah nyata bagaimana nasib
anak-anak yang durhaka kepada ibu bapaknya hidupnya kemudian menjadi tak bahagia dan
malah sengsara karena kualat kepada orang tua.
Harta dan Anak adalah Hiasan dan Ujian
Harta anak adalah hiasan dan sekaligus cobaan. Ini kita coba merenungkan firman Allah yang
artinya: ”Sesungguhnya hartamu, istrimu dan anakmu adalah hiasanmu, artinya hiasan adalah
sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Untuk itu orang tua, Ibu pemegang peran
utama dalam pendidikan anak, sedangkan ayah berfungsi sebagai pelindung dan pengayom
anak-anaknya.”
Oleh karena itu orang tua harus bersungguh-sungguh menjaga anak dari segala marabahaya
baik marabahaya neraka dunia maupun marabahaya neraka akhirat (azab neraka). Caranya
dengan jalan menanamkan keimanan yang kemudian berfungsi sebagai benteng dalam
kehidupan anak di masa datang, mengajarkan sopan santun mengajarkan akhlak yang baik,
menjauhkan anak dari akhlak yang tidak baik, membiasakan anak tidak bermewah-mewah
dan sesuatu yang melalaikan anak.
Dalam ajaran Islam orang tua bertanggung jawab sebagai pendidik pertama dan utama
terhadap pendidikan anak-anaknya. Salah satu tanggung jawab orang tua adalah mendidik
anak-anaknya dengan baik. Anak itu bagaikan mutiara yang bersih dari kotoran-kotoran, bila
anak dididik pada kebaikan, ia akan tumbuh di dunia dan akhirat dalam keadaan bahagia dan
akan dapat mewariskan pahala kepada orang tua dan gurunya. Sebaliknya jika anak itu diajar
pada kejahatan, semua akan celaka. Anak akan mendapat siksa atas perbuatannya demikian
juga orang tuanya (pendidiknya).
Orang tua berperan sebagai pendidik pertama yang harus bertanggung jawab terhadap
pendidikan anak-anaknya, sesuai dengan Firman Allah yang artinya: ”Jagalah dirimu dan
keluargamu dari azab neraka. ” Di sisi lain Allah juga berfirman yang artinya:”Sesungguhnya
hartamu, anak-anakmu dan istrimu adalah fitnah (ujian) karena itu hati-hatilah.”
Jika ibu memaafkan itu lebih baik di sisi Allah. Maka bersabarlah ibu menghadapi ujian ini,
berdoalah kepada Allah sembari mohon ampunan-Nya. Semoga Allah yang menjadi
pelindung dan tempat ibu mengadu.
31. 31
NURAINI AHMAD
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, Ketua DPP Perwati
32. 32
Kurban & Transformasi Kesalehan Sosial
Koran SINDO
4 Oktober 2014
Ibrahim berkata, ”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” Berkatalah Ismail, ”Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”.... Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang
besar.
Kisah keikhlasan yang dramatis dan mengharukan itu dikemas melalui bahasa Alquran yang
apik dalam rangkaian Surat Ash Shaffat, ayat 100-107. Rangkaian ayat ini pulalah yang
kemudian dijadikan sebagai dasar hukum ibadah kurban, menapaktilasi jejak keagungan Nabi
Ibrahim dan Ismail.
Sebagian ulama menghukumi ibadah kurban sebagai ibadah sunnah muakkadah, sedangkan
sebagian yang lain malah menganggapnya sebagai wajib, yakni bagi yang mampu. Terlepas
dari masalah khilafiah tersebut, kurban adalah ibadah agung dalam syariat agama Islam.
Ibadah kurban sejatinya telah dikenal semenjak zaman Qabil dan Habil, putra-putra Adam.
Kurban Qabil yang tamak tertolak, sedangkan kurban Habil diterima Allah. Berkata Habil,
”Sesungguhnya Allah hanya akan menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa.” (Al
Maidah: 27)
Membumikan Kurban
Sementara pihak yang tidak memahami Islam sering kali menjadikan ibadah kurban sebagai
pembenar bahwa Islam adalah agama yang tidak ”berperikehewanan”. Bayangkan, tiap
tahun, jutaan hewan ternak dibantai atas nama persembahan kepada Tuhan. Seakan-akan
Tuhan orang Islam adalah sosok yang kejam dan haus darah.
Kurban konon mengajarkan kekejaman yang sadis. Padahal, dalam perspektif Islam, hewan
kurban memang diamanahkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh umat manusia dengan
tata cara yang telah diatur secara sempurna. Misalnya penyembelihan dengan menyebut asma
Allah, menajamkan pisau, larangan menyiksa atau memubazirkannya.
Menariknya, dalam Islam, ibadah kurban bukanlah persembahan (offering) atau sesaji
sebagaimana ada dalam keyakinan umat yang lain, dengan cara melarung atau
menempatkannya di altar pemujaan. Kurban justru diberikan kepada manusia, tidak kepada
Tuhan secara langsung. Alquran menyebutkan, ”Tidak sampai kepada Allah daging dan
darahnya. Tapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.” (Al Hajj, 37). Sebuah bukti
bahwa Allah sama sekali tidak haus darah sebagaimana dituduhkan adalah karena daging
33. 33
kurban justru di-tasharruf-kan, dibagi-bagikan untuk dinikmati oleh siapa saja yang
membutuhkan.
Islam bukan agama yang semata-mata mengutamakan hubungan antara manusia dengan
Tuhan (hablumminallah), yang mengajari orang menjadi rahib dan petapa. Islam juga bukan
agama yang semata-mata mengajarkan berbuat baik kepada sesama manusia, menjadi
seorang yang humanis tetapi justru melupakan Tuhannya. Namun Islam adalah agama yang
membumi (down to earth). Keseimbangan perpaduan antara dimensi kesalehan (religiositas)
vertikal dan transenden yang berhubungan dengan Tuhan serta dimensi kesalehan yang
horizontal yang bersifat sosial karena terkait dengan hubungan antarmanusia.
Mereka yang saleh adalah mereka yang mampu membangun hubungan baik dengan
Tuhannya (hablumminallah) dengan sesama manusia (hablumminannas) yang terwujud
dalam kesalehan sosial dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Ibadah kurban hanyalah salah satu contoh kecil dari ibadah yang mengajarkan kepada kita
bagaimana hubungan yang indah dengan Tuhan justru bisa didapatkan melalui membangun
kesalehan (religiositas) sosial dengan sesama manusia.
Memang, syariat Islam sangat sulit kita pisahkan dari dimensi yang bersifat sosial. Rasanya
kita akan sulit menemukan ajaran agama Islam yang hanya mengedepankan hubungan
dengan Tuhan semata, tetapi abai pada sekeliling. Setiap ritual ibadah sesungguhnya, apabila
kita cermat melihat dengan mata hati, akan kita dapati di dalamnya makna dan hikmah yang
mendalam bagi kehidupan. Ibadah kurban misalnya tidak semata-mata kita lihat dari
kemampuan untuk membeli hewan ternak yang akan dikurbankan. Lebih indah bila kita
berkenan melihat esensi dan makna yang terkandung dalam ibadah tersebut. Dengan
demikian semoga kita tidak terjebak pada nawaitu yang keliru ketika kita dimampukan
menjalankan syariat kurban.
Pelajaran paling utama dari ibadah kurban adalah tentang keimanan dan keikhlasan yang
hanya kepada Allah semata. Ketika Nabi Ibrahim memutuskan untuk menyembelih Nabi
Ismail, tentu saja keputusan tersebut sangatlah tidak sederhana. Adalah manusiawi manakala
rasa cinta dan sayang Ibrahim kepada putra yang semata wayang, Ismail, mengalahkan
sekadar mimpi. Juga adalah manusiawi apabila seseorang mempertahankan kehidupannya,
menolak disembelih oleh ayah kandungnya, hanya lantaran sebuah mimpi. Alquran sendiri
telah menyatakan,”Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang
diingini yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang ternak dan sawah ladang.” (Ali Imran: 14).
Namun kisah anak-beranak yang kita simak dalam Alquran sebagaimana pembuka wacana
ini adalah hal yang teramat luar biasa, jauh dari takaran manusia kontemporer. Ibrahim dan
Ismail dengan sempurna berhasil melewati ujian yang mahaberat itu. Ujian yang mungkin
hanya untuk maqam para nabi dan orang saleh yang kadar keimanan dan keikhlasannya telah
sempurna. Kita mungkin perlu bersyukur karena hal seberat ini tidaklah diujikan kepada kita,
manusia modern yang dhaif.
34. Kita memang perlu belajar arti pengorbanan dan keikhlasan, tetapi tidak dengan
menyembelih anak atau disembelih bapak. Kita hanya disyariatkan untuk berkurban dengan
menyembelih hewan. Namun esensi sejatinya adalah kita harus belajar menjadi pribadi yang
sanggup berkurban untuk Allah dan kemaslahatan umat meski kadang terasa berat.
Pelajaran berharga lainnya yang dapat kita petik dari ibadah kurban adalah dimensi sosial,
khususnya yang berhubungan dengan realitas kemiskinan yang masih mendera sementara
saudara kita. Islam sungguh sangat memperhatikan kehidupan kaum yang kurang beruntung,
yang umumnya menjadi komunitas terbesar suatu negeri, yakni kaum miskin. Sesungguhnya
di balik rezeki yang Allah amanahkan kepada kita terdapat hak-hak kaum miskin yang harus
kita tunaikan. Harapannya tentu bukan agar kita kelak menjadi orang miskin, tetapi
bagaimana kita bisa memperlakukan orang lain secara semestinya tanpa harus melihat
pangkat, derajat, dan semat.
34
Rasanya memang sulit ditemukan karena alam kehidupan yang materialistis telah
mengajarkan kepada kita untuk memandang segala sesuatu dari sisi materi yang kasatmata
saja. Padahal Islam mengajarkan kepada kita arti empati, solidaritas, kebersamaan, dan
kesetiakawanan terhadap mereka yang papa.
Satu hal yang tidak boleh terlupa, kita mungkin dapat memaknai ibadah kurban sebagai
sebuah simbol pemenggalan dan pembunuhan terhadap karakter kebinatangan yang
bersemayam dalam jiwa kita. Sifat-sifat kebinatangan yang tidak semestinya dimiliki
manusia yang beradab sudah saatnya kita singkirkan.
Kehidupan yang tanpa norma, yang adalah khas milik dunia hewan yang menghamba pada
keserakahan nafsu tanpa budi pekerti, marilah kita tinggalkan. Bertransformasi menuju
kehidupan yang bijak, cerdas, dan beradab sehingga kita bisa menata kehidupan menjadi
lebih baik dan lebih indah.
Sebagai catatan akhir, ibadah kurban semestinya diajarkan kepada putra-putri kita semenjak
dini. Sungguh sangat naif apabila ada seorang pejabat publik yang melarang penyembelihan
hewan kurban di sekolah dengan alasan pembenar bahwa kurban akan menjadi pengalaman
traumatis bagi anak. Menyaksikan prosesi penyembelihan hewan konon juga akan
membentuk mereka menjadi pribadi yang sadis dan kejam.
Padahal, realitasnya sungguh sangat jauh dari tuduhan picik ini. Jika pejabat yang
berangkutan adalah seorang muslim, sungguh ia perlu beristigfar memohon ampunan karena
menyelisihi perintah Allah dan teladan Rasulnya. Tanpa sadar, ia tengah menjauhkan
generasi Islam dari syariat kurban yang agung ini. Namun jika ia adalah seorang nonmuslim,
sudah seyogianya didoakan agar mendapatkan hidayah.
Tapi, setidaknya ia harus belajar kembali tentang etika dan memahami toleransi agar tidak
jumawa membuat kebijakan yang syariat dan maknanya bahkan belum pernah ia pahami.
Kecuali jika memang bersengaja hendak mengabarkan arogansi kuasanya untuk melecehkan
dan memprovokasi umat Islam Indonesia. Wallahu alam.
35. 35
ACHMAD M AKUNG
Dosen Psikologi Agama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
36. 36
Mengungkit IPM
Koran SINDO
4 Oktober 2014
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2014 yang dilansir UNDP menempatkan Indonesia di
posisi ke-108 dari 287 negara. Peringkat negara kita masih kalah dibandingkan Singapura
(peringkat kesembilan), Malaysia (62), dan Thailand (89), tetapi kita masih lebih baik
daripada Filipina (117) dan Vietnam (121).
IPM mengukur kemajuan dari tiga dimensi utama pembangunan manusia, yaitu hidup
panjang dan sehat, akses pendidikan, dan standar kehidupan yang layak. Rata-rata umur
harapan hidup orang Indonesia adalah 70,8 tahun dan rata-rata lama bersekolah 7,5 tahun.
Sementara itu, jumlah orang miskin telah berkurang menjadi ”hanya” 28 juta orang atau
11,25% dari total penduduk.
Gizi erat kaitannya dengan kesehatan. Lebih dari 50% kematian balita berhubungan dengan
masalah gizi kurang. Artinya, harapan hidup akan semakin panjang bila bangsa ini mampu
mengentaskan anak-anak dari ancaman kurang gizi. Kita perlu merenung kembali pencapaian
kualitas gizi bangsa. Sudahkah berbagai persoalan gizi dapat diatasi dengan baik?
Pada 18-20 Januari 2012 telah diselenggarakan Seminar Nasional Pangan dan Gizi di
Jakarta. Dalam pertemuan ilmiah tiga hari tersebut tergambar kemitraan yang harmonis
antara para ahli gizi, dosen, peneliti, mahasiswa, birokrat, dan industri pangan untuk
mengupas tuntas masalah gizi yang dihadapi bangsa ini. Pandangan pentingnya optimalisasi
tumbuh kembang anak pada 1.000 hari pertama kehidupan cukup mengemuka dalam seminar
tersebut. Para ahli kesehatan dan gizi tentu bersepakat bahwa 1.000 hari pertama usia anak
adalah periode emas. Masalah gizi yang terjadi pada rentang usia tersebut menyebabkan
seorang anak berada pada posisi the point of no return, apakah kelak anak-anak tersebut akan
menjadi aset nasional atau justru menjadi beban bangsa.
Kita semua menyadari keterbatasan pemerintah dalam memerangi masalah gizi di tingkat
masyarakat. Persoalan gizi kurang dan gizi buruk di kalangan anak balita tidak mampu
diturunkan secara signifikan, demikian pula anemia gizi besi yang prevalensinya di kalangan
ibu hamil masih tinggi. Selain itu, gambaran pencapaian ASI eksklusif yang masih rendah
tentu memunculkan kekhawatiran tentang bagaimana nasib masa depan bangsa ini.
Sebagian jajaran kesehatan agak ”alergi” terhadap industri susu. Apalagi kalau ada
pandangan bahwa sosialisasi minum susu tidak menyejahterakan peternak sapi perah lokal,
tetapi hanya memperkaya importir susu. Padahal, peran susu bagi gizi bangsa jelas ada.
Penelitian Dr Muzal Kadim mengungkapkan peran penting susu yang difortifikasi dengan
37. gizi mikro dan sinbiotik mampu meningkatkan pertumbuhan fisik anak. Bapak Gizi Indonesia
Prof Poerwo Sudarmo tidak ragu-ragu mencetuskan Empat Sehat Lima Sempurna yang
memasukkan susu sebagai produk pangan penting penunjang kesehatan. Sudah saatnya kita
merangkul industri- industri nasional maupun multinasional untuk bersama-sama
memecahkan persoalan gizi masyarakat.
37
Saya terlibat dalam penyusunan modul pemberdayaan kader posyandu bersama TP PKK
Pusat dan PT Nestle Indonesia. Salah satu materi utama modul tersebut adalah inisiasi
menyusu dini dan penerapan ASI eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa industri susu telah
secara nyata berkiprah meningkatkan keterampilan SDM gizi melalui pelatihan kader untuk
revitalisasi posyandu. Hasilnya adalah terbentuknya posyandu peduli tumbuh-aktif-tanggap
(TAT) yang tersebar di 19 provinsi.
Posyandu peduli TAT merupakan pengembangan posyandu yang telah ada, tetapi pelayanan
yang diberikan telah mencakup pertumbuhan dan perkembangan anak. Banyak industri-industri
dengan dana corporate social responsibility (CSR) sangat besar yang sebenarnya
dapat dirangkul dan diarahkan untuk menggelar program mengatasi gizi kurang di perdesaan
atau di daerah kumuh perkotaan. CSR adalah sumber daya potensial yang dapat membantu
pembiayaan program gizi.
Di saat pemerintah tidak bisa secara maksimal menganggarkan pembangunan gizi,
seyogianya kita harus pandai-pandai bersanding dengan industri swasta atau non-governmental
organization (NGO). Kebersamaan ini tidak hanya akan membahagiakan
rakyat korban busung lapang atau malanutrisi, tetapi juga akan memperkuat kemitraan yang
selama ini terkadang masih terkendala syak wasangka. Benarkah industri pangan tidak pernah
tulus dalam program-program kemasyarakatan? Benarkah motivasi mereka hanya bertujuan
meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan memasarkan produk-produk pangan di tengah
masyarakat?
Pemerintah kini telah merumuskan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) dan
nantinya setiap provinsi/kabupaten juga akan membuat rencana aksi daerah. Kalaulah
rencana aksi ini hanya menjadi komoditas pemerintah, mungkin hasilnya bisa tetap bagus
bilamana pihak eksekutif dan legislatif sama-sama memandang persoalan gizi sebagai
masalah besar sehingga pasti juga memerlukan anggaran besar. Namun mengalokasikan dana
pembangunan gizi sesuai dengan besaran masalah gizi yang diderita masyarakat ternyata
bukan hal sepele.
Itulah sebabnya mengapa cakupan program gizi sulit mencapai maksimal. Di salah satu
pemerintahan daerah revitalisasi posyandu dilakukan dengan menganggarkan dana hanya
Rp800.000 per tahun, program Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sering kali cakupannya
kurang dari 50% balita, anak-anak drop out dari posyandu sebelum usia 5 tahun karena
layanan yang kurang berkualitas, dll.
Oleh sebab itu RAN-PG juga harus disosialisasi kepada pihak industri swasta atau NGO
38. 38
sehingga mereka bisa mengisi matriks mana yang bisa menjadi tanggung jawabnya
membangun gizi masyarakat. Sinergi birokrasi dan industri dalam penanganan masalah gizi
bukan hal yang tabu. Meraih kualitas gizi bangsa adalah tanggung jawab kita semua.
Pada dasarnya bangsa Indonesia tidak sekadar menghadapi masalah gizi makro seperti
kekurangan kalori dan protein. Persoalan gizi mikro yang merupakan fenomena masalah gizi
tersembunyi seperti defisiensi zat besi, folat, atau mungkin juga selenium dapat menjadi
ancaman nyata yang menyebabkan gagal tumbuh di kalangan anak-anak usia dini.
Meningkatkan peringkat IPM menjadi PR besar bangsa kita. Kelalaian membangun SDM
akan menjadi malapetaka dan menyebabkan generasi muda Indonesia tidak mampu bersaing
menghadapi pasar bebas di tahun-tahun yang akan datang.
ALI KHOMSAN
Guru Besar dan Ketua Program Ilmu Gizi, FEMA IPB
39. 39
Idul Kurban
Koran SINDO
5 Oktober 2014
Pada hari ini kita merayakan Idul Adha yang disebut juga Idul Kurban, Idul Haj, atau Idul
Akbar. Banyak sekali kisah dan pelajaran yang biasa disampaikan dalam setiap khotbah Idul
Adha seperti hari ini. Mulai dari riwayat Siti Hajar yang berlari-lari kecil, bolak-balik antara
bukit Al-Safa dan Al-Marwah, sampai puncak riwayat yaitu ketika Nabi Ibrahim AS dengan
ikhlas menyembelih putranya, Nabi Ismail AS demi kecintaannya pada Allah SWT, tetapi
dengan mukjizat dari Allah, ternyata yang disembelih itu seekor domba.
Salah satu surat Alquran yang terkait dengan Hari Raya Kurban adalah surat ke-108 dalam
Alquran yang dikenal dengan nama Al-Kautsar. Istilah Al-Kautsar ini hanya sekali
disebutkan di dalam seluruh bacaan Alquran. Surat ini hanya terdiri atas tiga ayat pendek,
tetapi punya makna yang sangat dalam dan sangat relevan (terkait) dengan kehidupan bangsa
dan masyarakat Indonesia pada masa-masa terakhir ini. Ayat kedua (dari tiga ayat) dari surat
ke-108 itu berbunyi sebagai berikut: ”Fasollilirobbika wanhar”, yang artinya ”Maka
dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah”, yang merupakan inti dari surat Al-
Kautsar terebut dan mengandung dua pesan Allah SWT yaitu agar kita mendirikan salat dan
berkurban.
Tentang mendirikan salat, saya sangat percaya bahwa umat Islam di Indonesia adalah yang
paling top markotop. Di kampus, di kantor, atau di mal, hampir setiap azan terdengar,
langsung musala penuh. Yang belum kebagian salat, duduk melepas sepatu, atau mengambil
air wudu, terkadang dengan menaikkan kaki ke wastafel sehingga becek semua. Salat Jumat
selalu dipenuhi umat, bukan hanya di masjid-masjid, tetapi juga di tempat-tempat parkir di
mal atau aula di kantor atau di kampus yang disulap menjadi ”masjid” darurat. Apalagi dalam
kesempatan salat-salat Idul Fitri dan Idul Adha seperti hari ini. Hampir tidak ada yang ingin
membolos karena di situlah kesempatan untuk berjumpa dengan kerabat, tetangga, dan
handai taulan.
Di sisi lain, kita pun tahu bahwa tidak kurang dari lima kali atau 17 rakaat setiap hari umat
Islam menegakkan salat setiap hari, yang artinya 17 kali juga umat membaca Al-Fatihah, 17
kali per hari umat memuji dan bersyukur kepada Allah, dan 17 kali juga meminta ditunjuki
jalan yang benar.
Itu baru per hari, berapa kalau per bulan? Per tahun? Ditambah lagi dengan salat-salat sunah?
Hitung saja sendiri. Tetapi, mengapa tetap saja begitu banyak maksiat, korupsi, dan kejahatan
lain di Indonesia. Bukan hanya oleh orang awam, melainkan juga oleh para pemuka agama,
para ustaz, para pemimpin partai politik, bahkan para menteri dari partai-partai?
40. Dalam bentuknya yang lebih mikro, kejahatan dan kecurangan juga dilakukan oleh hampir
setiap orang seperti pelajar atau mahasiswa yang menyontek, pak RT/RW meminta ongkos
untuk pengurusan KTP, karaoke yang disalahgunakan menjadi lokalisasi, suami dan istri
yang selingkuh, dan sebagainya. Maka, di sinilah maksud Allah dalam menyuruh umat-Nya,
melalui surat Al-Kautsar tersebut di atas, untuk berkurban.
Sekali lagi, berkurban. Bukan sekadar ikhlas dan bersabar, tetapi berkurban. Tetapi, sejauh
mana kita sudah rela berkurban. Kurban bukan hanya memotong kambing atau sapi untuk
dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Sekali lagi, itu hanya ritual. Kurban sebenarnya yang
harus kita lakukan adalah berkurban tentang ihwal yang kecil-kecil sampai yang besar, yang
kita lakukan setiap hari. Misalnya, dalam hal antre.
Prinsip dalam antre adalah yang datang lebih dulu didahulukan dan yang datang belakangan
harus mengalah, berkurban untuk mendahulukan yang datang lebih awal. Semua kepentingan
pribadi pada saat mengantre, termasuk yang sudah sakit perut mau ke toilet harus
dikurbankan demi kepentingan bersama. Dengan begitu, antrean akan berjalan tertib dan
cepat.
Kalau kebetulan kita tidak mendapat bagian atau giliran, ya harus kita ikhlaskan karena
memang kita terlambat. Kalau mau dapat, datanglah lebih pagi. Kalau bisa paling pagi, yang
artinya adalah berkurban lagi, paling sedikit berkurban waktu.
40
Memang berkurban itu berat. Tetapi, Islam mengajarkan bahwa berkurban itu mungkin dan
bisa terjadi karena semua manusia pada dasarnya punya semangat berkurban. Lihatlah para
ibu yang rela mengurbankan apa saja, ketika anaknya sakit, atau seorang pemuda yang rela
berkurban apa saja demi kekasih hatinya yang cantik jelita. Sayang sekali, dalam realitanya,
kita masih harus banyak belajar dari negara-negara dan bangsa-bangsa nonmuslim.
Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries ” yang dilakukan oleh
Profesor SS Rehman dan Profesor Hossein Askari (kedua-duanya muslim) dari The George
Washington University menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling
islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Indonesia yang mayoritas
penduduknya muslim menempati urutan ke-140. Ternyata juga 56 negara muslim yang
menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) rata-rata berada di urutan ke-139 dari
sebanyak 208 negara yang disurvei.
Kalau orang lain bisa, mengapa kita yang mayoritas umat Islam, umat Muhammad SAW,
yang mendapat wahyu-wahyu langsung dari Allah SWT mengenai nilai-nilai islami,
termasuk berkurban, tidak bisa melakukannya?
Karena itulah, bagi mereka yang saat ini sedang melaksanakan ibadah haji, kita doakan
semoga semua akan pulang kembali ke Tanah Air sebagai haji yang mabrur, bukan sebagai
41. 41
haji tomat, yang berangkat tobat, tetapi pulangnya kumat.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
42. 42
Rejuvinasi Semangat Trisakti
Koran SINDO
6 Oktober 2014
Penyelenggaraan pilpres beberapa waktu lalu menegaskan kepada masyarakat internasional
bahwa Indonesia merupakan negara yang sukses mengimplementasikan praktik demokrasi.
Meski ada “riak-riak” sedikit, perkara itu tak membuat negara ini terancam akibat perseteruan
dua kubu pendukung calon presiden masing-masing.
Keterpilihan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih membawa angin segar
perubahan. Muncul harapan baru supaya pasangan ini mampu melaksanakan agenda
transformatif dan meneruskan prestasi pembangunan di bidang ekonomi, politik, budaya,
sosial, pertahanan, dan keamanan yang berhasil dicapai pemerintahan sebelumnya. Karena
itu, sebagai bagian dari upaya memikirkan kebaikan bersama, setiap warga negara dan
organisasi masyarakat diperkenankan untuk mengusulkan kader-kader terbaiknya untuk
masuk dalam pemerintahan.
Beberapa waktu lalu, IndoStrategi Research and Consulting merilis hasil riset tentang siapa
saja yang dianggap layak masuk dalam jajaran kabinet Jokowi-JK. Penelitian mengenai
desain kabinet 2014-2019 tersebut dilakukan selama satu bulan (5/8-5/9/2014). Berbeda
dengan lembaga riset politik yang lain, IndoStrategi menggunakan metode penggalian data
berupa: (a) biografi dari tokoh-tokoh potensial yang selama ini muncul di publik; (b)
wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap 30 pakar di berbagai bidang; (c) focus
group discussion tiga kali dengan mengundang para pakar di bidangnya; dan (d) metaanalisis
media.
Riset yang diluncurkan ke publik pada 9 September 2014 itu menyebut kabinet Jokowi-JK
sebagai Kabinet Trisakti. Pemilihan nama “Trisakti” bukan tanpa alasan, melainkan berdasar
pada kajian mendalam dan komprehensif: IndoStrategi berharap semangat Tri Sakti yang
dipidatokan Soekarno pada 17 Agustus 1964 tersebut kembali memotivasi pemerintahan
mendatang. Saat itu, Bung Karno menyampaikan pidato dengan judul “Tahun Vivere
Pericoloso” yang menyebut tiga paradigma besar yang hingga kini menggema dan senantiasa
menginspirasi anak bangsa di era kontemporer sekarang.
Bapak pendiri bangsa (founding father) tersebut mencita-citakan supaya Indonesia berdaulat
secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Bung
Karno menegaskan bahwa kedaulatan politik bangsa Indonesia mutlak diwujudkan dengan
menolak segala bentuk intervensi bangsa lain. Dalam ungkapan Bung Karno, nation building
dan character building harus diteruskan sehebat-hebatnya demi menunjang kedaulatan politik
kita.
43. Sementara itu, Indonesia yang memiliki kekayaan alam mesti dikelola sendiri bagi
kesejahteraan masyarakat secara utuh. Tingkat ketergantungan kita terhadap pihak asing (dari
segi modal maupun dari segi teknologi) selama ini sangat tinggi. Akhirnya, sumber daya
alam yang tersedia masih belum bisa dinikmati masyarakat. sebaliknya justru kekayaan ini
lebih banyak dinikmati bangsa lain. Tak ayal, bila Bung Karno pernah mengungkapkan
bahwa ketergantungan terhadap bangsa lain tidak akan menjamin kesejahteraan rakyat
meningkat.
43
Selain itu, di bidang kebudayaan Bung Karno menginginkan supaya bangsa ini
berkepribadian di bidang ini. Dia beranggapan bahwa kebudayaan tidak kalah pentingnya
dibandingkan kedua aspek sebelumnya, politik dan ekonomi. Sebagai sebuah bangsa,
Indonesia harus menghormati budaya warisan nenek-moyang dan menghargai nilai-nilai
luhur kebudayaan yang ada di masyarakat, karena hal itu akan membawa bangsa ke arah
kemajuan.
Dari itu, perlu meremajakan kembali (rejuvinasi) semangat Trisakti agar nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya dapat memberi motivasi bagi pemerintahan yang baru. Sebab untuk
mencapai kemajuan dan kesejahteraan, sebuah bangsa pertama-tama mesti berdaulat secara
politik. Kedaulatan politik ini adalah syarat mutlak agar bangsa itu merdeka atau bisa bebas
mengatur dirinya sendiri.
Jika kedaulatan politik didapat, langkah berikutnya adalah menjadikan Indonesia sebagai
bangsa yang mandiri dan berdikari secara ekonomi. Kita tentu mafhum bahwa tingkat
kesejahteraan ekonomi sangat berpengaruh pada berbagai aspek lain dari sebuah bangsa. Hal
ini tentu tidak sulit dilakukan jika pemerintah serius membenahi moral dan karakter bangsa
untuk menjadi negara maju. Dengan begitu, para generasi bangsa saat ini dapat mengelola
dan memanfaatkan sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat.
Saat ini, publik seolah merasakan falsafah Trisakti yang disuarakan Bung Karno semakin
terkikis. Para pengelola pemerintahan dan mereka yang terlibat di wilayah politik hanya
sibuk memikirkan kepentingan pribadi dan golongannya hingga sering kali abai terhadap
kebaikan dan kemajuan bangsa. Akibatnya, Indonesia sebagai sebuah bangsa semakin hari
semakin terasa tersegmentasi dan mudah dipicu untuk melakukan aksi-aksi anarkistis.
Ironisnya, kondisi seperti ini semakin diperburuk dengan adanya praktik korupsi yang
semakin “membudaya”. Tak bisa dimungkiri, saat ini tindak korupsi semakin terstruktur
hingga ke berbagai lembaga pemerintahan, legislatif maupun yudikatif. Pemerintahan
Jokowi-JK mendatang, dengan dukungan yang luas dari masyarakat, diharapkan dapat
membentuk struktur kabinet yang mampu menjawab tantangan dan masalah yang dihadapi
masyarakat.
Memang, berbagai soal tersebut bukan hal mudah untuk dipecahkan. Namun dengan kembali
menghidupkan dan berpegang teguh pada falsafah Trisakti, tantangan untuk membawa
Indonesia berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di bidang
budaya, mampu menjawab tantangan lokal dan global, dan memiliki kedudukan setara di
44. 44
dunia internasional, tentu bukan impian yang tak bisa diwujudkan. ●
MUCHLAS ROWI
Peneliti Senior IndoStrategi Research and Consulting
45. 45
Mengawal Kementerian Riset dan
Pendidikan Tinggi
Koran SINDO
7 Oktober 2014
Menurut kabar, Jokowi akan memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi
dua kementerian: “Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah” dan “Kementerian Riset
dan Pendidikan Tinggi”. Ide ini menarik untuk menarik gerbong pendidikan tinggi kita dari
situasi tidak menguntungkan belakangan ini.
Ketertinggalan
Dunia pendidikan tinggi kita jauh tertinggal dari negara-negara lain. Berdasar data Scimago
JR, jumlah publikasi ilmiah Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia. Padahal tahun 1996,
Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. Indonesia memproduksi 540 paper ilmiah,
sementara Malaysia 961. Jarak terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di
Malaysia mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu
memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190.
Hal serupa juga ditunjukkan oleh berbagai pemeringkatan universitas di dunia. QS misalnya,
baru-baru ini melansir peringkat universitas di Asia pada 2014. Universitas di Indonesia yang
masuk 100 besar hanyalah UI di peringkat 71. ITB dan UGM hanya berada di peringkat 125
dan 145. Bandingkan sekali lagi dengan Malaysia yang menempatkan tiga universitasnya di
atas UI, masing-masing UM, UKM, dan UTM di peringkat 32, 56, dan 66.
Penyebab Ketertinggalan
Salah satu hal yang menyebabkan situasi di atas bertahan adalah paradigma dunia pendidikan
tinggi kita masih tak berbeda jauh dengan sekolah dasar dan menengah, yaitu
mengedepankan belajar-mengajar. Dosen masih dianggap sebagai pengajar yang tugasnya
hanyalah mengajar. Datang ke kampus untuk mengajar dan kemudian kembali beraktivitas di
luar kampus. Hal ini ditunjang oleh masih kurangnya fasilitas untuk melakukan kegiatan
riset, membaca ataupun menulis.
Sebuah survei dengan populasi dosen-dosen yang tergabung di Grup Dosen Indonesia
menunjukkan 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai
bersama-sama. Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja,
dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua
orang dosen. Jadi, bagaimana kita mau berbicara hal-hal yang canggih di dunia pendidikan
tinggi ketika sarana dasar berupa meja kerja untuk membaca, menulis, atau membimbing
46. 46
mahasiswa dengan layak saja masih jadi persoalan besar bagi sebagian besar dosen di
Indonesia?
Minimnya aktivitas dosen di dalam kampus selain untuk mengajar juga berangkat dari
rendahnya tingkat kesejahteraan. Rendahnya kesejahteraan memaksa banyak dosen memiliki
kesibukan ekstra menambah pendapatan, mulai jadi pengamat, buka warung, sampai menjadi
konsultan. Dosen seharusnya bisa fokus bekerja di satu tempat. Energinya bisa dicurahkan
secara maksimal sehingga bisa menghasilkan karya-karya ilmiah berkualitas.
Pemerintah memang memiliki proyek sertifikasi dosen. Namun antrean dosen mengikuti
sertifikasi ini amat panjang. Menurut data Dikti (2014) jumlah dosen di Indonesia yang
belum tersertifikasi mencapai 61%. Jikapun sudah bersertifikasi, tunjangan profesi dihentikan
ketika menjalankan tugas belajar. Ironisnya lagi, bagi dosen berstatus PNS, mereka juga
didiskriminasikan dengan tidak diberikannya tunjangan kinerja yang secara umum menjadi
hak sebagai PNS. Sementara itu, tunjangan fungsional dosen tidak pernah dinaikkan sejak
2007 sampai sekarang. Situasi ini tentu saja sulit menarik anak-anak muda terbaik bangsa
untuk berkarier di dunia akademik.
Beban Administratif
Persoalan lain juga adalah banyaknya beban administratif. Selain disibukkan dengan
penelitian dan pengajaran, dosen juga disibukkan dengan mengisi berbagai isian dan berkas-berkas.
Belum lupa rasanya bagaimana dunia pendidikan tinggi dihebohkan oleh kewajiban
bagi seluruh dosen untuk mengisi Sistem Informasi Pengembangan Karier Dosen (SIPKD).
Kewajiban tersebut membuat para dosen pontang-panting memindai berbagai berkas seperti
SK dan berbagai sertifikat, kemudian mengunduhnya ke laman SIPKD. Akibatnya server
jebol berulang kali dan program tersebut tak jelas rimbanya.
Aspek-aspek administratif yang melelahkan juga akan terus terjadi sepanjang karier dosen
dalam proses pengajuan kenaikan jabatan fungsional. Berniat naik jabatan fungsional berarti
juga menyiapkan diri mengumpulkan berkas yang tercecer mulai dari ijazah, jurnal, SK
mengajar, jadwal mengajar, sampai sertifikat menjadi pembicara di berbagai seminar.
Upaya Pemerintah
Celakanya, cara pemerintah menyikapi rendahnya kualitas dan kuantitas riset dan publikasi
dilakukan dengan cara yang cenderung instan. Dirjen Dikti, misalnya, mengeluarkan Surat
Edaran SE152/E/T/2012 tentang kewajiban menerbitkan jurnal ilmiah bagi mahasiswa S- 1,
S-2, dan S-3 dengan alasan ketertinggalan dari Malaysia. Akibatnya, di berbagai kampus
dibuatlah jurnal-jurnal tanpa proses peer review untuk menampung skripsi dan tesis
mahasiswa.
Namun, tak banyak program S-3 yang mengikuti kewajiban publikasi di jurnal
internasional. Bagi yang menerapkan, ada yang kemudian asal terbit dan jatuh ke dalam
perangkap jurnal predator.
47. Namun, yang harus dihargai dari upaya pemerintah adalah memberikan beasiswa kepada para
dosen dan calon dosen. Ribuan dosen mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di dalam dan
luar negeri baik di tingkat master dan doktoral, walaupun pengelolaan beasiswanya masih
jauh dari harapan. Bagaimanapun, ini menjadi investasi yang luar biasa di tengah postur
dosen Indonesia yang didominasi oleh dosen bergelar S-2 yang mencapai 59%, diikuti S-1
(25%) dan S-3 yang hanya 11%.
47
Peluang
Apakah lantas tak ada peluang bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia untuk menggeliat dan
bangkit? Tentu saja ada. Jika jadi dibentuk, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi mesti
mulai menata ulang dunia pendidikan tinggi. Harus ada cetak biru yang didasarkan pada akar
persoalan di lapangan. Pembenahan infrastruktur riset, fasilitas dasar bekerja bagi dosen,
peningkatan kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan menjadi hal yang utama. Harus
ada juga terobosan administratif sehingga terbuka ruang bagi ilmuwan cemerlang dan anak-anak
muda berpotensi untuk terserap menjadi dosen tetap.
Ya, sistem rekrutmen dosen yang kaku (seperti rekrutmen birokrat) dan mengedepankan
aspek administratif justru menghambat para ilmuwan dan calon ilmuwan cemerlang untuk
berkarier di dunia akademik di Indonesia. Hambatan administratif ini mesti dibongkar karena
dalam beberapa tahun ke depan Indonesia sesungguhnya akan mengalami keberlimpahan
anak muda bertitel doktor dari dalam dan luar negeri, dari berbagai program beasiswa.
Selain itu, terbuka pada pengembangan keilmuan yang semakin multidisiplin juga menjadi
hal yang utama. Pendekatan jurusan/departemen secara kaku dalam proses rekrutmen dosen
mesti digantikan dengan rekrutmen berdasarkan keahlian dan portofolio. Berdasarkan
portofolio, seorang ilmuwan cemerlang bereputasi internasional yang telah menghasilkan
puluhan paper di jurnal bereputasi tak harus memulai dari jenjang asisten ahli, tapi bisa
langsung menjadi lektor kepala atau profesor.
Jika hal-hal di atas bisa jadi komitmen pemerintahan baru, bolehlah kita berharap pada
Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang akan dibentuk. Jika diabaikan maka yang
terjadi hanya memindahkan masalah, atau bahkan memperpanjang jalur birokrasi pendidikan
tinggi belaka. ●
ABDUL HAMID
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten; dan kandidat Doktor di Doshisha
University, Jepang
48. 48
Dosen & Pengembangan UKM
Koran SINDO
7 Oktober 2014
Jumlah perguruan tinggi kita 3.200 lebih, dengan 100 di antaranya PTN dan 52 perguruan
tinggi negeri di bawah Departemen Agama, tentu saja sisanya swasta. Jumlah dosen tetapnya
mendekati 300.000 dan hampir dua kali bila ditambah dosen tidak tetap.
Tugas pokok dosen adalah mengajar, riset, dan melakukan pengabdian masyarakat. Apabila
empat dosen menghasilkan satu penelitian maka hampir 75.000 judul riset dihasilkan setiap
tahun. Ke mana saja larinya judul riset yang begitu banyak ini? Mengapa tidak menghasilkan
perbaikan teknologi yang signifikan pada pengembangan industri? Atau mengapa industri
kita stuck pada industri lama, misalnya batik, garmen, kayu, dan rotan, dan tentu saja industri
makanan terutama industri makanan oleh UKM yang di antaranya banyak menggunakan zat
berbahaya yang meledak seperti teror senjata kimia? Ke mana saja 300.000 dosen kita?
Pertanyaan provokatif tersebut pantas direnungkan. Dan jawabannya sangat sederhana,
sebagian besar riset dosen digunakan untuk tujuan administratif– naik pangkat.
Mungkin kita bisa menyalahkan swasta yang lebih baik membeli lisensi riset keluar daripada
menggunakan formula yang dengan susah payah dihasilkan para peneliti kita, kejadian ini
misalnya di industri farmasi. Tetapi jutaan usaha swasta kita adalah UKM, tentu terlalu mahal
bagi mereka atau tidak tahu jalan berkonsultasi kepada para dosen yang berada di dalam
tembok-tembok universitas yang megah.
Reformasi Pengabdian Masyarakat
Dosen sebenarnya memiliki skema untuk turun kepada UKM-UKM dengan darma ketiga,
yaitu pengabdian masyarakat. Tetapi darma ketiga ini merupakan darma yang dianaktirikan.
Anggarannya jauh di bawah kegiatan penelitian, poin penghargaannya untuk naik pangkat
yang banyak menjadi orientasi dosen juga lebih rendah, dan bahkan boleh tidak ada atau
tidak dilakukan. Pengabdian masyarakat perlu diganti saja dengan semacam riset inovasi
teknologi untuk industri. Dengan demikian tridarma dosen akan berubah menjadi mengajar,
melakukan riset dasar, dan riset aplikasi atau inovasi teknologi bagi industri di jutaan UKM.
Kalau hal ini terjadi bisa dibayangkan betapa indahnya hubungan dosen yang berada di balik
tembok megah universitas dengan UKM-UKM. Regulasilah yang memaksa para dosen
nongkrong di UKM-UKM, mewajibkannya melaporkan keadaannya dan tahap berikutnya
memikirkan pengembangan baik teknologi, manajemen, akunting, marketing dengan IT-base,
kesehatan, penggunaan bahan yang aman, tingkat kekeringan bahan dan seterusnya. Kualitas
UKM tentu akan meningkat dan kualitas hidup kita sebagai konsumen UKM tentu akan