SlideShare a Scribd company logo
1 of 144
1 
DAFTAR ISI 
MENATA REPUBLIK, MEMULIAKAN INTELEKTUAL 
Airlangga Pribadi Kusman 4 
INSPIRASI 
Sarlito Wirawan Sarwono 7 
MULIA KOK KORUP 
Mohamad Sobary 10 
KAMPUNG, IBUNYA KOTA 
Budikarya Sumadi 13 
MANUSIA DALAM BENCANA ASAP 
Hadi S Alikodra 16 
NEGOSIASI RENDAH KARBON 
Dinna Wisnu 19 
DEMOKRASI DAN BATAS KEBEBASAN 
Victor Silaen 22 
MENIMBANG PENDIDIKAN INDONESIA 
Komaruddin Hidayat 25 
IBUKU SAYANG IBUKU MALANG 
Nuraini Ahmad 28 
KURBAN DAN TRANSFORMASI KESALEHAN SOSIAL 
Achmad M Akung 32 
MENGUNGKIT IPM 
Ali Khomsan 36 
IDUL KURBAN 
Sarlito Wirawan Sarwono 39 
REJUVINASI SEMANGAT TRISAKTI 
Muchlas Rowi 42 
MENGAWAL KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI 
Abdul Hamid 45 
DOSEN & PENGEMBANGAN UKM 
Bambang Setiaji 48
2 
KONFERENSI JURNALIS TV ASIA-PASIFIK; HARAPAN 
DAN TANTANGAN 
Fajar Kurniawan 51 
TARGET PENINGKATAN KESEHATAN IBU & ANAK 
Dinna Wisnu 54 
STRAWBERRY GENERATION 
Rhenald Kasali 57 
DIPLOMASI KURBAN 
Ahyudin 60 
BERKORBAN DEMI INDONESIA 
Mohamad Sobary 63 
SISI GELAP DEMOKRASI 
Komaruddin Hidayat 66 
DARI MASJID? 
Sarlito Wirawan Sarwono 68 
DEMOKRASI YANG KSATRIA 
Abdul Muti 71 
MENIMBANG KEBERHASILAN ORANG TUA 
Komaruddin Hidayat 74 
PEMIMPIN YANG KHUSNUL KHATIMAH 
Abdul Muti 77 
HIJRAH MULTIDIMENSI 
Faisal Ismail 80 
HIJRAH DARI PENCITRAAN KE KERJA 
Biyanto 83 
HIJRAH DEMI KESUKSESAN 
Ilham Kadir 86 
SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA 
Sarlito Wirawan Sarwono 89 
PUSAT KESEHATAN ATAU KESAKITAN? 
Dedi Mulyadi 92 
KAWAN DAN LAWAN POLITIK 
Mohamad Sobary 96 
KAKAK BERADIK YANG SALING PEDULI
3 
Andrie Wongso 99 
SUMPAH PEMUDA & PEMANFAATAN BONUS DEMOGRAFI 
M Arief Rosyid Hasan 101 
RISIKO: DIHINDARI ATAU TAK TERHINDARKAN? 
Muk Kuang 104 
PEMBANGUNAN SEMESTA BERENCANA 
Arif Budimanta 106 
REVOLUSI MEDIA SOSIAL & APLIKASI MOBILE 
Riri Fitri Sari 109 
ENTRY POINT PENGENTASAN KEMISKINAN 
Ali Khomsan 113 
MENGAPA BEREBUT JABATAN 
Komaruddin Hidayat 116 
APAKAH ANDA MASIH MEMIMPIN? 
Eliezer H Hardjo 119 
GENETIC SPIRIT KAUM MUDA INDONESIA 
Edrida Pulungan 122 
HP 
Sarlito Wirawan Sarwono 124 
DOSA LIMA PERKARA 
Mohamad Sobary 127 
SUSI: ANTARA STATUS, PENDIDIKAN, ROKOK, DAN TATO 
Dedi Mulyadi 130 
PENGUKURAN KINERJA: KUNCI SUKSES KABINET JOKOWI 
Handi Sapta Mukti 133 
TITIK BALIK 
Sudjito 136 
MENGUKUR KEBAHAGIAAN 
Komaruddin Hidayat 139 
SPIRIT KEMANDIRIAN MUHAMMADIYAH 
Biyanto 142
4 
Menata Republik, Memuliakan Intelektual 
Koran SINDO 
26 September 2014 
Salah satu wacana yang tengah meledak menjadi kontroversi dalam pengumuman postur 
kabinet adalah pembelahan kabinet pendidikan dan penggabungan Ditjen Pendidikan Tinggi 
dengan Kementerian Riset menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset. 
Inisiatif melahirkan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset ini di satu sisi menjadi jalan 
pembuka untuk memberdayakan kontribusi intelektual dalam kerja-kerja risetnya. Namun 
demikian, inisiatif di atas tanpa memperhitungkan persoalan pertautan relasi kuasa politik dan 
intelektual tidak akan memberikan pengaruh besar bagi penguatan peran intelektual bagi 
pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
Enam belas tahun era reformasi telah berkali-kali kita dipertontonkan oleh janji-janji politik 
dan bongkar-pasang kebijakan. Di tengah perubahan pada tiap-tiap pemerintahan, pemimpin 
masih absen melakukan inisiatif untuk memanfaatkan peran dan kontribusi dari kalangan 
intelektual, akademisi, maupun peneliti dalam memberikan solusi dan kritik secara integratif 
terhadap perjalanan pembangunan dan penataan negara (state building). 
Adalah benar bahwa selama ini pemerintah baik pihak eksekutif maupun legislatif 
menyertakan kalangan akademisi dalam pembuatan undang-undang. Kementerian selalu 
melibatkan akademisi dalam memoles kebijakan, pemerintahan daerah juga mengajak 
kalangan intelektual dalam penyusunan peraturan daerah dan kebijakan di tingkat lokal. 
Namun demikian, yang dibutuhkan untuk penataan negara dan perumusan agenda 
pembangunan nasional lebih dari hal itu. 
Peran-peran intelektual dan akademisi dalam proses bina negara (statecraft) jauh dari 
memadai ketika ditempatkan pada peran-peran peripheral seperti di atas yang kerap hanya 
diposisikan sebagai pemberi legitimasi dari arahan kebijakan yang menjadi turunan agenda 
politis dari elite-elite yang berkuasa. Seperti diutarakan oleh Daniel Dhakidae dan Vedi R 
Hadiz (2005) bahwa posisi kalangan intelektual sejak era rezim Soeharto telah ditempatkan 
secara struktural sebagai instrumen atau tukang dari kekuasaan politik, yang mengintervensi 
kehidupan pendidikan dan pengetahuan serta memotong kalangan intelektual dari basis-basis 
sosial yang memungkinkan mereka bersikap kritis dan berperan independen. 
Runtuhnya “raja besar” Soeharto yang tidak mengubah pola-pola relasi ekonomi-politik 
Indonesia pasca-otoritarianisme dan lahirnya raja-raja baru di tingkat lokal maupun oligarki-oligarki 
nasional baru yang muncul dari proteksi ekonomi-politik sejak era Soeharto. Dalam 
konstelasi politik baru inilah, sebagian besar kalangan intelektual berkumpul dan berkerumun
5 
di seputar aliansi-aliansi politik-bisnis baru menjadi bagian integral di dalamnya sebagai 
kekuatan hegemoni yang memproduksi pengetahuan dan legitimasi terhadap manuver-manuver 
para elite politik maupun korporasi. Akibat relasi intelektual dan aliansi oligarki ini 
fatal bagi dunia akademik. 
Hal ini tampak dari laporan yang dilansir oleh UNESCO pada tahun 2010 menunjukkan 
bahwa kontribusi peneliti Indonesia dalam penerbitan jurnal ilmiah bahasa Inggris di Asia 
Tenggara selama periode 1998-2008 (10 tahun) sangatlah minim, tercatat kontribusi 
intelektual Indonesia (5.212) di bawah Malaysia (14.731), Singapura (51.762), Thailand 
(23.163), dan hanya sedikit di atas Vietnam (5070) maupun Kamboja (401). 
Rendahnya kontribusi ilmiah dari kalangan intelektual Indonesia ini juga tidak dapat 
dilepaskan dari rendahnya Growth Expenditure of Research and Development (GERD) atau 
bujet anggaran berbanding GDP untuk riset dari negara yang masih di bawah 1% (Riefqi 
Muna, 2014). 
Filosof Raja 
Untuk mempertimbangkan kembali betapa pentingnya peran kalangan intelektual, ilmuwan, 
dan peneliti dalam penataan republik, maka hendaknya kita memikirkan kembali konsep dari 
kebijaksanaan filosofis tua dari Plato yakni raja filosof (philosopher king). Dalam 
pemahaman umum selama ini pengertian raja filosof sebatas konsep pemerintahan tentang 
tatanan negara yang dipimpin oleh seorang raja yang cerdas dan pintar, seperti profesor 
menjadi presiden. 
Padahal, konsep raja filosof tadi memiliki makna yang lebih luas yakni bahwa sebuah negara 
akan mampu memberikan kemajuan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi rakyatnya ketika 
pemimpinnya memuliakan kalangan intelektual dan menempatkan hasil riset dan 
pengetahuan mereka sebagai pandu bagi perjalanan penataan republik dan pembangunan, 
bukan sebaliknya. (Plato 2013, Muthahhari 1996). 
Kebutuhan mendesak kepemimpinan nasional saat ini terkait dengan relasi antara intelektual 
dan kuasa negara adalah bagaimana negara mampu memobilisasi dan mengonsolidasikan 
kalangan ilmuwan untuk memberi arah dan orientasi pembangunan nasional (Jeffrey Sachs 
2011). Kalau kita ambil contoh untuk merealisasikan tujuan pembangunan mencapai 
kedaulatan pangan, hal itu tidak bisa dilakukan tanpa mengonsolidasikan kontribusi integratif 
dari kaum intelektual yang berbasis di universitas. 
Program kedaulatan pangan membutuhkan riset di bidang ekonomi-politik untuk melihat 
relasi produktif yang terjalin antara petani, aparat pedesaan, para penghubung komoditi dan 
struktur politik desa, riset ekonomi kerakyatan untuk memahami misalnya bagaimana 
pemberdayaan koperasi sebagai institusi produksi bagi petani, riset teknologi- industri untuk 
penyediaan infrastruktur perangkat modern pertanian bagi petani, riset agraria terkait 
pemberdayaan kapasitas produksi dan struktur kepemilikan tanah.
Persoalannya adalah reformasi kelembagaan dengan penataan postur kabinet ini masih belum 
cukup untuk menjadi formula solutif bagi pemberdayaan kaum intelektual. Tatanan ekonomi-politik 
6 
Indonesia pasca-otoritarianisme menyisakan relasi-relasi pemanfaatan akses terhadap 
sumber daya publik dan kekuasaan bagi kepentingan segelintir oligarki, di mana intelektual 
kerap menjadi tukang dari manuver-manuver oligarki. 
Satu hal yang patut diamati secara kritis, bukanlah tidak mungkin kepentingan privat yang 
mendistorsi kontribusi intelektual ini menyelinap lincah dalam desain kelembagaan yang 
direformulasi oleh pemerintahan Jokowi-JK. ● 
AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN 
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya; Kandidat PhD Asia 
Research Center Murdoch University, Australia
7 
Inspirasi 
Koran SINDO 
28 September 2014 
Sarapan saya setiap hari adalah infotainment. Bagaimana tidak? Di depan meja makan kami 
(istri saya dan saya) ada layar TV plasma yang tergantung di dinding. 
Biasanya saya sudah kenyang nonton berita CNN di pesawat TV lain di ruang kerja saya 
sejak 03.00 pagi dan pada 04.30 pindah ke TV nasional. Jadi, pas sarapan, apa pun 
makanannya, atraksinya selalu infotainment. 
Salah satu topik yang sedang banyak ditayangkan infotainment belakangan ini adalah kisah 
selebritas remaja yang sedang naik daun, Prilly Latuconsina. Kabarnya dia cinlok (buat 
pembaca yang gak gaul, cinlok itu artinya cinta lokasi) dengan teman mainnya di salah satu 
sinetron, Aliando Syarif, walaupun konon kabar burung ini sudah dibantah. 
Tapi cinlok beneran atau bohongan, buat saya, tidak penting. Yang ingin saya ceritakan 
adalah ketika Aliando Syarif, di hadapan Prilly, secara spontan dengan gitarnya menciptakan 
lagu cinta yang indah buat Prilly. Dalam psikologi, inilah yang namanya ”inspirasi”. Prilly 
telah memicu inspirasi (motivasi yang memunculkan gagasan sehingga menjadi karya) 
Aliando sehingga cowok ini bisa menuangkan bakatnya yang paling top ke dalam lagu dan 
syair yang top juga (top menurut penggemarnya, loh; buat saya jujur saja, gak nyambung, 
karena genre musik saya beda dari musik Aliando). Nah, kalau kemudian ada produser yang 
terinspirasi oleh lagu Aliando tadi, dalam waktu tidak lama lagi lagu itu akan membanjiri 
belantika musik pop Indonesia. 
*** 
Selasa malam yang lalu, tanggal 23 September 2014, saya diundang KORAN SINDO yang 
menyelenggarakan sebuah acara yang mereka namakan ”Malam Apresiasi Inspirasi Indonesia 
2014” di sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Saya datang dengan rasa ingin tahu yang besar 
(sebagai ilmuwan modal saya cuma keingintahuan). Di situ saya bertemu dengan Prof 
Komaruddin Hidayat yang sesama kolumnis tetap di KORAN SINDO. Beliau ternyata juga 
tidak tahu acara apa ini dan datang karena sangat ingin tahu, sama seperti saya (karena itulah 
beliau jadi profesor, kalau modal beliau enggak mau tahu, mungkin sekarang beliau sudah 
jadi politisi). 
Ternyata, sesuai dengan judulnya, malam itu adalah ajang pemberian penghargaan kepada 11 
orang Indonesia yang dianggap inspirator buat bangsa ini. Ke-11 orang itu (tentunya sesudah 
melalui saringan dan ujian yang ketat) adalah campuran dari orang-orang dari berbagai
8 
daerah (termasuk Jakarta), usia (dari umur 20-an sampai 70-an), laki-laki dan perempuan, 
serta aneka bidang karya. Ada pembalap mobil (Rio Haryanto), ada pengusaha kosmetika 
(Martha Tilaar), ilmuwan yang mengonservasi kupu-kupu (Dr Herawati Soekardi), dan 
seterusnya. 
Dengan segala hormat, kepada ke-11 pemenang penghargaan tersebut, saya tidak hendak 
menyebut mereka satu per satu dengan prestasi masing-masing karena yang ingin saya 
bicarakan adalah ”inspirasi”-nya, bukan orangnya. Tapi untuk membicarakan inspirasi itu, 
mau tidak mau saya harus menggunakan contoh konkret. Maka dari 11 pemenang itu, saya 
bikin lotre sendiri dan yang terpilih secara acak adalah Muhamad Arif Kirdiat, relawan 
kampung dari Banten. Arif, bersama dengan sejumlah temannya dari berbagai kalangan 
(mulai dari karyawan sampai bankir), sejak 2009 fokus pada perbaikan jembatan-jembatan 
antarkampung yang di Banten (dan di daerah lain se-Indonesia tentunya) banyak yang rusak, 
hampir putus, bahkan sudah putus sama sekali. 
Saya sering melihat di TV betapa ibu-ibu, pedagang, petani, bahkan anak sekolah, harus 
melewati jembatan gantung yang bergoyang-goyang hampir putus, tetapi tetap dilalui juga. 
Di tempat lain, mereka menyeberang sungai yang arusnya cukup deras dengan menggulung 
celana atau roknya, anak-anak sekolah menjinjing tas sekolahnya di atas kepala supaya tidak 
basah, sepatu dibungkus plastik, karena jembatan di situ sudah lama putus dan tidak ada 
perbaikan dari pemerintah. Kalau mereka tidak nekat menyeberang, mungkin mereka harus 
berjalan memutar beberapa kilometer. 
Arif terinspirasi oleh keadaan itu. Sama keadaan jiwanya dengan Aliando ketika terinspirasi 
oleh Prilly. Bedanya adalah Aliando membuat lagu, Arif membuat jembatan. Maka dia 
mengajak kawan-kawannya untuk membentuk kelompok Relawan Kampung yang visi dan 
misinya adalah memperbaiki jembatan-jembatan agar mobilitas masyarakat bisa lebih 
optimal yang dampaknya langsung akan meningkatkan kesejahteraan, taraf kehidupan, dan 
kecerdasan mereka. 
Luar biasa! Saya sering menonton TV tentang jembatan-jembatan yang rusak atau putus, 
tetapi tidak terinspirasi, karena minat, bakat, dan profesi saya memang bukan di situ. Sama 
juga jika saya ketemu Prilly berduaan, tidak mungkin saya menciptakan lagu apa-apa karena 
minat saya bukan pada Prilly dan bakat saya bukan menciptakan lagu. Jadi harus ada sinergi 
antara beberapa faktor (dalam ilmu disebut ”variabel”) agar orang terpicu inspirasinya dan 
selanjutnya inspirasi itu bisa tertuang dalam suatu karya tertentu. 
Yang menjadi pertanyaan saya kemudian adalah mengapa inspirator- inspirator hebat ini tidak 
menginspirasi pemerintah, khususnya pemerintah daerah? Mengapa justru KORAN SINDO 
(sebuah media massa biasa) yang mendongkrak mereka ke permukaan agar menginspirasi 
wargabangsa yang lain? Ke mana pemerintah? Para inspirator ini telah melakukan hal-hal 
yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang mencerdaskan bangsa, dan yang 
mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
9 
Semua itu dengan kekuatan sendiri, modal sendiri, duit sendiri. Sama sekali tidak makan duit 
rakyat, tidak minta imbalan posisi menteri, tidak memerlukan peningkatan pajak, dan 
penurunan subsidi BBM, toh berhasil. Mengapa para pejabat pemerintah dan PNS tidak 
terinspirasi? Konon triliunan rupiah per tahunnya telah dihabiskan pemerintah untuk rapat-rapat. 
Apa yang dihasilkan oleh rapat-rapat itu? Pantaslah kalau akhirnya begitu banyak 
pejabat yang harus mengakhiri kariernya sebagai tersangka KPK. 
SARLITO WIRAWAN SARWONO 
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
10 
Mulia Kok Korup 
Koran SINDO 
29 September 2014 
Memberi makan anak yatim, yaitu golongan lemah di dalam masyarakat, merupakan 
kewajiban agama. Memberi makan di sini bukan hanya makan, tetapi juga menyediakan 
segenap penghidupan lain. Menyayangi mereka, memberi mereka rumah atau tempat tinggal 
yang layak, dan pendidikan agar mereka menjadi manusia secara utuh, yaitu manusia 
biologis, manusia sosial, manusia berbudaya, dan religius. Tidak keliru bila orang yang 
bersembahyang disebut celaka sembahyangnya bila dia beragama dan tertib menjalankan 
salat, tapi mengabaikan kaum miskin dan tak memberi mereka yang lapar itu makanan. 
Ketika kita dicekam ketegangan menjelang tahun 1965, yang dalam kajian ilmu- ilmu sosial 
disebut zaman cultural schism, yaitu kehidupan yang penuh perpecahan budaya, ayat ini 
pernah dikorup untuk menjelekkan kaum beragama dengan memotong sepenggal ayatnya 
sehingga tak komplet: maka celakalah orang-orang yang bersembahyang. 
Yang melakukan korupsi ayat ini pun menegaskan: ini bunyi kitab suci, Surat Al-Maun. 
Padahal, utuhnya, celakalah orang yang bersembahyang, yang tak menaruh peduli, seperti 
disebut sedikit di atas, kepada kaum miskin. 
*** 
Organisasi sosial keagamaan yang besar, Muhammadiyah, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan 
demi panggilan ayat tersebut. Tidaklah memahami agama bila kita hanya menghafal ayat 
tersebut, tetapi tidak mampu mengamalkannya. Begitu argumen beliau. Memberi tempat, 
pendidikan, dan kehidupan bagi anak yatim dan kaum miskin itu perintah agama. Jadi, jelas 
merupakan sebuah kemuliaan. 
Kalau mereka diberi pendidikan secukupnya, lalu dilatih bekerja, dan menjadi kaya, itu amal 
saleh demi perintah agama. Di sini memperkaya orang lain dianggap sebuah kemuliaan. 
Derajatnya mulia di bumi, mulia di langit. Mulia di dunia ini, mulia pula di hari akhir. 
Membikin longgar bagi orang lain yang dalam kesempitan, sempit sosial, sempit politik, 
sempit ekonomi, itu perbuatan mulia. Menolong orang lain untuk memperoleh lapangan 
kerja, itu amal mulia. 
Meminjami orang lain modal untuk membuka warung, restoran, atau kafe, pendeknya untuk 
berbisnis, itu termasuk kategori amal saleh dan amal saleh seperti itu mulia sekali. Jika orang 
bersangkutan menjadi kaya dan kita, yang memberi pinjaman modal tadi disebut 
memperkaya orang lain, itu mulia di atas mulia. Jaranglah ada bandingan yang setara dengan 
kemuliaan itu.
Kredit untuk rakyat kecil jarang yang berhasil memperkaya mereka. Kredit usaha menengah 
pun jarang yang bisa membuat penerima kredit tadi memperoleh sukses besar yang layak 
menjadi contoh. Kalau ada yang sukses, itu pun harus didaftar sebagai bagian dari kemuliaan 
duniawi yang dampaknya jauh sekali ke dunia yang akan datang dan balasan bagi kemuliaan 
itu luar biasa besarnya. Kita perlu memperbanyak kemuliaan di sekitar kita. Banyak orang 
yang sudah melakukannya. 
11 
Rumah singgah, yang memberi pendidikan kepada anak-anak jalanan, itu kemuliaan. Kalau 
beberapa di antara mereka kelak bisa maju, pendidikan mereka tinggi, lalu mereka sukses 
dalam kehidupan, mulialah usaha itu. Mulia tanpa bandingan pula karena hanya sedikit 
jumlah amalan seperti itu dan yang sedikit itu hanya kecil, lebih sedikit, yang sukses. 
*** 
Zaman Reformasi ini dipenuhi semangat membikin baru begitu banyak segi kehidupan. Apa 
yang dulu boleh dan berjalan aman sekarang digugat demi cara pandang yang lebih adil, lebih 
demokratis, lebih manusiawi. Kaum tua yang sudah mapan lebih dari 30 tahun dalam 
kekuasaan Orde Baru yang dianggap setengah suci terkaget-kaget menghadapi semangat 
reformasi. 
Memperkaya diri sendiri, dipandang dari sudut Undang-Undang Antikorupsi, tidak boleh. Itu 
termasuk korupsi. Memperkaya orang lain itu mulia dan terpuji, mungkin setinggi langit, tapi 
sekarang dianggap bagian dari tindak pidana korupsi. Memperkaya orang lain dianggap 
korupsi? Tindakan mulia itu dianggap korup? Ya, ya. Jelas korup kalau yang menyebabkan 
orang lain menjadi kaya itu seorang pejabat yang menggunakan fasilitas negara, kebijakan 
negara, aturan negara, dan uang negara untuk seseorang. 
Di sini, seseorang itu boleh siapa saja, tak peduli itu istrinya, anaknya, saudara kandungnya, 
pamannya, atau mertuanya, bahkan musuh politiknya. Memperkaya musuh politik itu 
kelihatannya merupakan suatu perbuatan hebat. Tapi kehebatan itu dianggap termasuk dalam 
tindakan pidana korupsi. Memperbanyak jumlah dana khusus untuk menteri, agar sang 
menteri bisa berbelanja secara leluasa dengan dana tersebut, tidak salah kalau ada aturan yang 
menyatakan hal itu benar. 
Kalau dana dihimpun dari berbagai pihak, termasuk pihak swasta, jadi tak merugikan uang 
negara? Uang swasta pun harus diwaspadai. Swasta yang bagaimana? Dia menyumbang 
secara sukarela? Dia memiliki kepentingan bisnis dengan sang menteri? Sumbangan itu 
mulia. Tapi jika di belakangnya ada unsur kepentingan bisnis, kemuliaan itu diragukan. 
Bahkan langsung tak bisa diterima.Itu kemuliaan yang mengandung unsur kongkalikong, 
yang pada akhirnya bisa merugikan kepentingan negara. Apalagi bila pihak swasta tadi 
ternyata kemudian mengaku dia diperas sang menteri secara habis-habisan, termasuk dengan 
berbagai ancaman. Dia tak berdaya.
12 
Menyumbang seorang menteri agar yang mulia menteri bisa leluasa berbelanja, itu mulia 
sekali dilihat dari satu sudut. Tapi dilihat dari sudut KPK itu durjana karena “mulia kok 
korup”. Mulia ya mulia, korup ya korup. Dua-duanya menghuni wilayah moral-politik yang 
berbeda. Jangan dicampuradukkan begitu saja. 
Menyumbang panitia pembangunan rumah ibadah dengan jumlah besar dan diumumkan 
lewat siaran televisi bahwa seorang hamba Allah dengan tulus ikhlas menyumbang sejumlah 
besar uang, itu mulia di mata panitia pembangunan yang sudah lelah mencari dana. Tapi 
tunggu dulu. Siapa yang mengaku “hamba Allah” itu? Apa pekerjaannya, apa jabatannya, di 
mana kantornya. Semua harus jelas. Bahkan semua catatan dan bentuk transaksi keuangannya 
harus diteliti. Kalau dia ternyata menyumbang dengan uang negara yang untuk beberapa lama 
sudah dianggap miliknya dan sebagian sudah dinikmatinya, tetapi sebenarnya itu uang negara 
juga, para ahli di bidang antikorupsi niscaya paham bahwa amal saleh itu batil. 
Kedudukannya bukan lagi merupakan suatu corak kesalehan, tapi termasuk korupsi. 
Kesalehan ya kesalehan. Itu amal mulia dan umat beragama didorong untuk terus 
melakukannya. Tapi korupsi ya korupsi. Tindakan itu harus dibatasi. Pelakunya diadili dan 
dihukum. KPK yang harus melakukannya tanpa henti, tanpa kenal lelah. Mulia ya mulia. 
Tapi tak boleh ada unsur korupsi di dalamnya. Mulia kok korup. ● 
MOHAMAD SOBARY 
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, 
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. 
Email: dandanggula@hotmail.com
13 
Kampung, Ibunya Kota 
Koran SINDO 
30 September 2014 
Masalah permukiman kumuh seolah-olah telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, 
terutama di perkotaan, seperti DKI Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. 
Pada umumnya, sekelumit problem permukiman kumuh di perkotaan mudah sekali dijumpai 
dalam area yang dinamakan kampung. Istilah kampung sering dikontraskan dengan 
perumahan real estat yang penghuninya didominasi masyarakat miskin, warga biasa, atau 
wong cilik (Setiawan, 2010: 12). Kurang dan lemahnya aset masyarakat kampung tersebut 
menyebabkan jaring-jaring kemiskinan muncul dan disertai dengan kondisi rumah yang tidak 
layak huni. 
Secara fisik, wajah kampung kota hanya dipandang sebagai bentukan ruang yang padat tanpa 
ketersediaan ruang terbuka karena himpitan bangunan rumah masyarakat, minimnya akses 
infrastruktur dasar sebagai penunjang, pendorong, dan pelengkap kehidupan para 
penghuninya, serta mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor informal yang kondisi 
ekonominya terbilang perlu upaya tindakan stimulan agar kehidupannya menjadi lebih baik. 
Kampung Tematik Jadi Solusi 
Dalam kondisi yang memiriskan, kampung memiliki daya tarik untuk dikaji lebih dalam oleh 
beberapa organisasi nonpemerintah (NGO) maupun akademisi untuk mengetahui seluk-beluk 
dan solusi inovatif dalam menjawab tantangan pertumbuhan luasan permukiman kumuh. Hal 
ini dapat dilihat dari kampung-kampung di Yogyakarta terutama di bantaran Sungai Code, 
Sungai Winongo, dan Sungai Gadjahwong. 
Walaupun menjadi lokasi studi berkaitan dengan kemiskinan dan kekumuhan, masyarakat 
kampung tak dapat dimungkiri memiliki kekuatan untuk mengubah tatanan lingkungannya 
melalui perencanaan kampung-kampung tematik sesuai dengan potensi dan komoditas utama 
yang dimiliki kampung tersebut. 
Hal ini dapat dilihat dari kampung-kampung di berbagai daerah seperti Kota Surabaya 
(Kampung Lontong, Kampung Limbah, Kampung Batik), Kota Yogyakarta (Kampung Batik, 
Kampung Wijilan/Gudeg, Kampung Jamu, Kampung Backpakers, Kampung Wisata Sungai, 
Kampung Daur), dan DKI Jakarta (Kampung Panggung, Kampung Stasiun, Kampung 
Kampus, Kampung Tekstil).
Bahkan penamaan kampung-kampung tersebut (kampung tematik) atau karakteristik 
kekhasan dan kekuatan lokal mampu dioptimalkan fungsinya menjadi aset wisata untuk 
mendatangkan wisatawan. Jepang, misalnya, memiliki perencanaan ruang di bidang ekonomi 
dengan nama One Village One Product atau satu desa satu produk guna meningkatkan 
kesejahteraan masyarakat tidak hanya sektor perumahan, melainkan juga mencakup berbagai 
sektor. 
14 
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dikatakan sebenarnya keberadaan kampung sangat 
berpotensi dikembangkan dan mampu menjadi sebuah wajah dan identitas kota. Mengutip 
pendapat Romo Mangun, kampung adalah ibunya kota dan hal itu benar adanya lantaran 
adanya hubungan antara tatanan kampung dan kesejahteraan penghuninya dengan masa 
depan kota tersebut. 
Wajah kota yang dapat diinterpretasikan oleh keberadaan kampung menjadi mutlak untuk 
ditata dan berguna baik dari segi fisik, ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan kampung 
tersebut. Di sisi lain, karakteristik masyarakat kampung kota yang mengutamakan 
kegotongroyongan menjadi kelebihan tersendiri dalam mengupayakan peningkatan kualitas 
kampung kota. 
Bahkan tingkat sosial masyarakat kampung kota dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan 
masyarakat perkotaan pada umumnya. Bahkan secara konseptual, budaya hidup saling 
gotong-royong di kampung selalu diposisikan sebagai modal sosial yang mampu 
berkontribusi untuk mengakselerasi tujuan-tujuan pembangunan kemasyarakatan. Sejauh ini, 
berbagai aktor pemangku kebijakan bidang perumahan telah berupaya memenuhi kebutuhan 
perumahan layak huni. 
Berbagai pendekatan yang telah dilakukan dengan melihat keberhasilan dari negara- negara 
penggagas seakan menjadi penggairah stakeholders untuk diadopsi ke daerah-daerah 
Indonesia. Proses adopsi maupun adaptasi dari berbagai benchmark keberhasilan negara-negara 
lain sudah banyak dilakukan. Hanya saja, implementasinya di lapangan kerap 
menemui halangan karena beberapa alasan seperti kondisi geografis, masyarakat penghuni 
kampung, kapasitas baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA), 
serta tataran birokrasi yang mampu memperlama pelaksanaan bahkan meniadakan 
perencanaan. 
Dengan kata lain dapat disebutkan, perbedaan karakteristik antarnegara membuat upaya 
adopsi dan adaptasi keberhasilan negara-negara lain tidak secara given menghadirkan 
problem solving terhadap kompleksitas permasalahan perumahan tersebut. Sudah saatnya 
mengubah pola pikir yang saat ini mengacu pada program-program yang telah dilaksanakan 
negara-negara maju yang sarat dengan adidaya teknologi dan SDM dengan memanfaatkan 
potensi lokal. Karena pada akhirnya mereplikasi program-program luar dianggap tidak begitu 
mampu memberikan hasil dalam penyelesaian permasalahan perumahan secara 
komprehensif.
Salah satu alternatif yang dianggap mampu menjadi solusi inovatif adalah menggunakan 
pendekatan lokalitas. Pendekatan ini mengupayakan pemanfaatan segala sumber daya lokal 
dengan tujuan meningkatkan kualitas yang tidak hanya pada sektor papan saja, tetapi meluas 
hingga ekonomi dan lingkungannya sehingga lebih ada kejelasan bentuk jaminan 
kesejahteraan bagi masyarakat. Pendekatan lokal yang pernah menjadi kekuatan bagi 
Indonesia dan merupakan salah satu program untuk direplikasi di negara lain seperti 
Kampoeng Improvement Program atau lebih dikenal dengan nama KIP. 
Program unggulan ini awalnya hanya dilakukan di dua kota sebagai pilot project, yaitu 
Jakarta dan Surabaya. Program tersebut menggunakan pendekatan tribina yang meliputi bina 
manusia, usaha, dan lingkungan. Harmonisasi ketiga bina inilah yang menjadi kekuatan untuk 
memecahkan penanganan permukiman kumuh dan pemenuhan kebutuhan perumahan yang 
layak huni dengan diimbangi peningkatan ekonomi demi mewujudkan keberlanjutan 
kehidupan masyarakatnya. 
15 
Bahkan kesuksesan program KIP telah menginspirasi Thailand untuk mengadopsi program 
KIP dengan nama sendiri, yaitu Program Baan Mankong, oleh Community Organization 
Development Institute/CODI pada 2000. CODI merupakan organisasi otonom publik di 
bawah pengawasan Kementerian Pembangunan Sosial dengan tujuan mendukung dan 
memberdayakan organisasi masyarakat dan jaringan dalam meningkatkan taraf hidup, 
meningkatkan pendapatan, penyediaan perumahan, dan perbaikan lingkungan anggotanya. 
Keberhasilan CODI dalam mereduksi berbagai problem perumahan di Thailand seperti 
reduksi hunian tidak layak dan permukiman kumuh dengan berbasis lokalitas menunjukkan 
akomodasi terhadap sumber daya lokal secara empiris mampu mengakselerasi pencapaian 
tujuan pembangunan. Pendekatan lokalitas yang melibatkan banyak aktor dan nilai-nilai lokal 
berpotensi melahirkan resistensi publik yang lebih kecil. 
Sebaliknya justru akomodasi terhadap sumber daya lokal tersebut lebih memicu terbentuknya 
legitimasi kebijakan yang datang tidak hanya dari kelompok sasaran program, melainkan juga 
dari seluruh elemen yang terlibat dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan 
perumahan.
16 
Manusia dalam Bencana Asap 
Koran SINDO 
1 Oktober 2014 
Ada asap ada api. Begitulah peribahasa yang amat populer di Indonesia. Peribahasa ini 
biasanya diucapkan orang ketika ada suatu masalah yang penyebabnya tidak jelas. Dengan 
peribahasa itu, orang yang yakin bahwa misteri masalah itu akan terkuak. Karena itu, 
peribahasa ada asap ada api menggambarkan bahwa segala sesuatu pasti ada sebab akibatnya. 
Hari-hari ini di Riau dan Kalimantan Timur asap yang berasal dari hutan terus mengepul dan 
“migrasi” ke mana-mana. Ke kampung, ke kota, ke bandara, bahkan ke Singapura dan 
Malaysia. Tak ada orang yang bisa menghalangi “migrasi” asap. Ia akan migrasi ke mana pun 
arah angin berembus. 
Tapi, kali ini ada persoalan besar yang muncul. Asap itu “menggelapkan” bandara di 
Singapura dan Malaysia. Ini sangat berbahaya karena bisa membuat celaka pesawat terbang. 
Singapura dan Kuala Lumpur mengeluh dan protes kepada Jakarta karena banyak asap yang 
“migrasi” dari Indonesia ke wilayah mereka. Tapi, apa yang bisa dilakukan Indonesia? 
Nyaris mustahil menyetop migrasi asap tersebut. Pinjam istilah Jusuf Kalla, cawapres 
terpilih, Singapura dan Kuala Lumpur seharusnya tidak perlu protes karena dalam satu tahun 
mereka lebih banyak mendapat migrasi udara segar dan banyak oksigen dari hutan di 
Sumatera dan Kalimantan ketimbang migrasi udara berasap tersebut. Yang seharusnya 
mereka lakukan, bagaimana membantu mengatasi kebakaran hutan di dua pulau itu dengan 
menegur keras para pengusaha perkebunan sawit mereka yang nakal. 
Ini karena pengusaha-pengusaha perkebunan sawit dari dua negara tetangga tadi menjadi 
pemicu kebakaran hutan akibat mencari cara land clearing dengan mudah dan murah yaitu 
membakar hutan! Memang benar, kebakaran hutan bisa terjadi secara alami. Penyebabnya 
beragam. Petir, letusan gunung api, dan batu bara dangkal bisa menjadi penyebab kebakaran 
hutan. Di negara-negara subtropis, faktor-faktor alam tersebut di atas menjadi penyebab 
utama kebakaran hutan. 
Petir misalnya sering menjadi pemicu kebakaran di negara-negara subtropis. Hampir 50% 
kebakaran hutan di Kanada penyebabnya adalah petir. Di wilayah Rocky Mountain, Kanada, 
65% penyebab kebakaran hutan adalah petir itu tadi. Tapi, kondisi seperti itu nyaris tak 
mungkin terjadi di Indonesia yang beriklim tropis. Kenapa? Karena, muncul petir di 
Indonesia hampir selalu berbarengan dengan muncul hujan. Dengan demikian, kilatan api 
dari petir yang bisa menimbulkan kebakaran hutan “ternetralisasi” oleh muncul hujan 
sehingga kebakaran hutan tidak berkembang luas.
Kebakaran hutan juga sering dipicu letusan gunung berapi. Aliran lahar panas misalnya 
sering menjadi pemicu kebakaran hutan di lereng-lereng gunung berapi. Meletusnya Gunung 
Merapi misalnya menjadi penyebab utama kebakaran hutan di desa-desa sekitar lereng 
gunung tersebut. Kebakaran hutan di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten 
Sleman, Yogyakarta dan Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah pada 
Oktober 2010 misalnya akibat turun awan panas “wedus gembel“ yang berasal dari letusan 
Merapi. 
17 
Sedangkan batu bara dangkal (yang terdeposit beberapa meter dari permukaan tanah) juga 
acap menjadi pemicu kebakaran hutan. Pada kondisi cuaca kering dan panas, deposit batu 
bara ini memanas sehingga melampaui titik bakarnya. Akibat itu, bahan bakar yang ada di 
atas permukaan tanah seperti daun, ranting, dan kayu kering terbakar. Fenomena ini banyak 
terjadi di Kalimantan dan Sumatera - dua pulau yang terkenal sebagai penghasil batu bara 
terbesar di Indonesia. 
Tapi, betulkah kebakaran hutan penyebab utamanya adalah iklim kemarau? Nanti dulu. 
Berbagai studi dan analisis lembaga-lembaga kajian, baik LSM, perguruan tinggi, maupun 
riset-riset independen menyimpulkan hampir 100% kebakaran hutan di Indonesia disebabkan 
perbuatan manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja. Lebih jauh lagi, kebakaran hutan itu 
disebabkan perbuatan manusia yang disengaja. 
Penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 1998 di 10 wilayah di 
Sumatera dan Kalimantan seperti Lampung, Jambi, Sumbagsel, Riau, Kalbar, dan Kaltim 
menemukan bahwa penyebab secara langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah 
(a) api yang sengaja dipakai untuk pembukaan hutan (land clearing); (b) api yang sengaja 
dipakai untuk menyelesaikan masalah dalam konflik tanah dan lahan; (c) api yang dipakai 
untuk ekstraksi sumber daya alam (industri); dan (d) penyebaran api secara tidak sengaja. 
Sedangkan penyebab kebakaran hutan secara tidak langsung adalah (a) penguasaan lahan; (b) 
alokasi penggunaan lahan; (c) insentif/disentif ekonomi; (d) degradasi hutan dan lahan; (c) 
dampak perubahan karakteristik kependudukan; dan (f) lemahnya kapasitas kelembagaan 
(Syaufina, 2008). 
Jelas sekali, penyebab utama kebakaran hutan adalah kegiatan manusia dalam penyiapan 
lahan dan konversi lahan hutan menjadi nonhutan. Kegiatan tersebut sebagian besar 
dilakukan perusahaan perkebunan. Dalam beberapa tahun terakhir, kebakaran hutan ini sudah 
demikian meluas hingga menghanguskan hutan lindung dan hutan konservasi. Kondisi 
tersebut jelas sangat memprihatinkan. 
Jika pada 1980-an laju deforestasi mencapai 1 juta hektare per tahun, pada era 1990-an laju 
deforestasi itu mencapai 1,7 juta hektare per tahun. Menurut catatan Kementerian Kehutanan 
pada 2006, laju deforestasi bahkan telah mencapai 2,83 juta hektare per tahun atau sekitar 3-5 
hektare (3-5 kali luas lapangan sepak bola) per menit. Jika kondisi yang amat 
memprihatinkan itu tidak bisa dicegah, Indonesia dalam 50 tahun ke depan akan kehilangan 
hutan dan berubah menjadi negeri kering kerontang yang panas, berdebu, dan kering tanpa
18 
air. 
Dalam kaitan “asap di Singapura dan Malaysia” itu kemudian terungkap apa dan siapa saja 
yang sering membakar hutan. Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menyatakan, 
delapan dari 14 perusahaan yang diduga kuat membakar lahan dan hutan di Riau berasal dari 
Malaysia dan Singapura. Semua perusahaan negara tetangga itu bergerak di bidang 
perkebunan kelapa sawit. 
Mereka antara lain PT Langgam Inti Hiberida (Malaysia), PT Bumi Raksa Sejati (Singapura), 
PT Tunggal Mitra Plantation (Malaysia), PT Udaya Loh Dinawi (Malaysia), PT Adei 
Plantation (Malaysia), PT Jatim Jaya Perkasa (Singapura), PT Multi Gambut Industri 
(Malaysia), dan PT Mustika Agro Lestari (Malaysia), PT Bumi Reksa Nusa Sejati 
(Singapura), PT Sumatera Riang Lestari (Singapura), dan PT Sakato Prama Makmur 
(Singapura). Balthasar mendesak Pemerintah Singapura dan Malaysia menghukum mereka 
jika nanti terbukti terlibat dalam pembakaran hutan (22/6/2013). 
Salah satu perusahaan perkebunan sawit asal Malaysia, PT Adei Plantation, misalnya sudah 
lama ditengarai penduduk dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat sebagai 
pembakar hutan. Saat ini PT Adei sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri Pelalawan. 
Rupanya PT Adei ini pada 2003 pernah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri 
Bangkinang dan pengadilan menetapkan manajer mereka Mr Goby divonis empat 
tahun. Tapi, Mr Goby tidak pernah masuk penjara. Ia lari ke Malaysia dan anehnya 
perusahaan mereka masih beroperasi dan terus membakar hutan sampai sekarang. 
Udara berasap akibat kebakaran hutan memang bencana bagi manusia. Tapi, ada lagi bencana 
besar bagi manusia jika hutan tropis terbakar yaitu musnahnya kekayaan biodiversitas 
(keanekaragaman jenis hayati). Hutan tropis Indonesia diketahui menyimpan 70% lebih 
kekayaan biodiversitas yang ada di muka bumi. 
Kekayaan biodiversitas ini aset nasional yang amat mahal untuk pembangunan masa depan, 
terutama untuk pangan dan obat-obatan. Jika salah satu program unggulan pemerintahan 
Jokowi-JK adalah kemandirian pangan dan pembangunan kesehatan, kekayaan biodiversitas 
adalah penunjang utamanya. ● 
HADI S ALIKODRA 
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, Mantan Wakil Ketua Bapedal
19 
Negosiasi Rendah Karbon 
Koran SINDO 
1 Oktober 2014 
Adu kuat kepentingan antara satu koalisi melawan koalisi lain bukanlah monopoli kehidupan 
politik di negara kita. Adu kuat kepentingan satu negara terhadap negara lain atau satu 
kelompok kelas tertentu dengan kelas lain adalah bagian dari sejarah peradaban manusia. 
Kita dapat melihat ketika para pihak yang saling bertarung kepentingan mencapai kata 
kesepakatan untuk mencapai sebuah perdamaian, ada hal-hal positif yang dihasilkan, 
termasuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya apabila para pihak yang 
bertikai tidak menemukan jalan untuk menghentikan perselisihan melalui rumusan 
kesepakatan, sudah pasti kehancuran ada di depan mata; bukan hanya bagi pihak yang 
dikalahkan, tetapi pihak yang menang juga akan merasakan kerugiannya. 
Fakta itu dapat kita lihat dalam krisis iklim yang terjadi saat ini. Negara-negara industri besar 
seperti Amerika Serikat (AS) dan China tidak mau menunjukkan komitmen mereka untuk 
menurunkan emisi karbon. Mereka khawatir komitmen itu akan memperlambat laju 
pertumbuhan ekonomi. Sikap negara industri tersebut menjadi alasan bagi negara-negara lain 
untuk mengikuti jejak mereka dan tidak peduli dengan nasib bumi. 
Menurut The Washington Times, tingkat emisi karbon dari bahan bakar berbasis fosil justru 
meningkat 2,4% dibandingkan tahun 2013. Program Lingkungan Hidup PBB mengungkap 
kalaupun seluruh negara memenuhi target janji penurunan emisi gas rumah kaca, suhu bumi 
telanjur akan naik lebih dari 2 derajat Celsius karena pola hidup modern saat ini. 
Lomba untuk saling menaikkan angka pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara di 
dunia mempercepat emisi karbon. Karena setiap negara mendorong pola hidup konsumtif 
agar produksi barang-barang dapat diserap pasar. Oleh sebab itu, wajar bila kelebihan 
pembuangan gas karbon dioksida akan mencapai 8-12 gigaton! 
Negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan basah juga tidak mau ketinggalan. 
Mereka melakukan revolusi industri dengan jalan membuka industri- industri perkebunan atau 
industri kayu yang mengakibatkan penggundulan hutan yang menjadi terkendali. Protes 
negara-negara maju tidak diindahkan karena mereka juga melakukan hal yang sama 100 
tahun yang lalu. 
Efeknya akan sangat buruk bagi anak cucu. Misalnya mengenai keanekaragaman hayati, 
khususnya hewan liar. Setengah dari binatang liar di dunia telah musnah dalam kurun waktu 
40 tahun terakhir, misalnya jumlah singa menurun 90%. Sementara itu populasi harimau
menurun 97% dalam kurun waktu 100 tahun dan gajah menghilang 60% sejak 
2002. Demikian kutipan dari The Living Planet Report 2014 yang dirilis oleh World Wildlife 
Fund dan Komunitas Zoologi London. Artinya, tidak mustahil anak cucu kita sekadar 
membaca sejarah tentang hewan-hewan liar bila para orang tuanya tak berbuat sesuatu pun. 
Dari segi diplomasi, mekanisme dialog antarperwakilan negara sudah tersedia. Kesepakatan 
atas dasar pikiran dan akal sehat telah dirumuskan sejak UNFCCC (Kerangka Kerja 
Konvensi Perubahan Iklim PBB) diterapkan pada 21 Maret 1994. 
Saat ini keanggotaan negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim telah mencapai 195 
negara; jadi hampir semua negara. Skemanya cukup lengkap meliputi Kyoto Protokol sebagai 
dasar yang mengikat anggotanya dalam menentukan target penurunan emisi dan Kesepakatan 
Marrakesh 2001 yang memuat aturan detail implementasi protokol. Kesepakatan juga 
menoleransi penerapan mengingat kondisi politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda dari 
setiap negara. 
20 
Pada Desember 2012 di Doha, Kyoto Protokol diamendemen. Intinya diizinkan adanya 
kelonggaran pelaksanaan komitmen bagi negara maju. Ada mekanisme pelaporan rutin 
tentang kemajuan penerapan komitmen. Bagi negara berkembang, disediakan skema dana 
bantuan (hibah maupun pinjaman) untuk kegiatan menekan perubahan iklim. Sejumlah 
negara maju juga sepakat atas berbagi teknologi untuk mendukung kegiatan tersebut. 
Mengenai penerapan komitmen, disediakan pula tunjangan dan panduan teknis. Komitmen 
negara anggota akan dibahas lagi dalam Konferensi Ke-20 UNFCCC 2014 di Lima, Peru, 
pada 1-12 Desember 2014. 
Dibandingkan 20 tahun lalu, bukti-bukti terjadinya perubahan iklim dan bahayanya bagi umat 
manusia maupun keanekaragaman hayati sudah makin nyata. Permasalahannya adalah 
menjadikan bukti tersebut sebagai basis untuk bergerak bersama secara serentak dalam skala 
besar dan konsisten untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru. 
Sampai saat ini selain masih ada pertentangan tentang siapa yang harus lebih dahulu mulai 
menerapkan komitmen, ada masalah juga mengenai kemauan pemerintah maupun kalangan 
swasta untuk mengubah kebiasaan. Ibaratnya begini: jika orang lain belum mengubah gaya 
hidup dan kebiasaannya dan saya serta perusahaan atau negara saya harus berubah terlebih 
dahulu, rugi dong. Itu sebabnya para diplomat mengalami kebuntuan dalam negosiasi karena 
pada akhirnya kesepakatan yang mereka buat harus diterapkan di dalam negeri. 
Di tingkat bisnis, mengubah pola hidup memang bukan hal mudah. Yang biasa menggunakan 
mesin berbahan bakar bensin harus berinvestasi dulu menciptakan mesin baru tanpa bensin 
supaya lebih ramah lingkungan. Kalau harus menunggu satu per satu perusahaan bergerak, 
efeknya tidak akan signifikan dalam kurun waktu yang diinginkan. Jika diwajibkan 
pemerintah, misalnya lewat pajak karbon, seluruh sistem pajak mengenai penggunaan energi 
di segala sektor usaha dan skala usaha juga perlu diubah.
Katakanlah parlemennya kooperatif mendukung pihak eksekutif, maka inventarisasi 
perubahan aturan pun harus lengkap. Efeknya pasti langsung terasa sampai ke konsumen dan 
dianggap memberatkan. Itu sebabnya di Australia, misalnya, pajak karbon yang diterapkan 
tahun 2012 akhirnya dicabut pada 2014. Apakah Indonesia akan terbawa mengikuti arus 
penolakan tersebut? 
Kalau semua negara berkeras hati, Indonesia juga akan merasakan ruginya. Kalau kita 
sekadar ikut-ikutan mengadopsi bentuk disinsentif yang diterapkan di negara lain demi 
memenuhi komitmen internasional, saya hampir yakin, pasti penolakannya keras. Tapi kalau 
kita bangun gerakannya sebagai upaya memurahkan biaya hidup dan membangun harmoni 
dengan alam, seharusnya lebih bisa diterima khalayak. 
21 
Misalnya saja sejumlah gerakan hemat listrik, hemat kertas, hemat AC, dan mengurangi 
konsumsi BBM dimasyarakatkan dengan lebih luas. Bisa dimulai dari seluruh pegawai 
pemerintah dan keluarganya, sekolah-sekolah, pusat rekreasi, dan kawasan industri. 
Ketentuan pembuatan taman di kompleks perumahan ditegakkan dan tiap izin membangun 
wajib dicek kepatuhannya untuk menyediakan lahan untuk taman rumah. 
Gerakan-gerakan macam itu akan sangat membantu para diplomat yang bernegosiasi dalam 
sidang perubahan iklim. Jangan lupa, negosiasi perubahan iklim ini menggunakan kerangka 
kerja skala jangka panjang. Jadi selain stamina Indonesia dalam negosiasi harus prima, 
masyarakatnya perlu lebih ”tahan banting” menghadapi tuntutan perubahan pola hidup demi 
alam yang lebih bersahabat. 
DINNA WISNU, PhD 
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina 
@dinnawisnu
22 
Demokrasi dan Batas Kebebasan 
Koran SINDO 
2 Oktober 2014 
Demokratisasi yang bergulir deras lebih dari sewindu terakhir telah membuat masyarakat 
Indonesia pada umumnya sangat menikmati kebebasan. 
Pertanyaannya, apakah demokrasi identik dengan kebebasan? Betul, di tataran budaya, nilai 
utama dari demokrasi adalah kebebasan, yang berdimensi dua: bebas dari (tekanan, paksaan, 
ancaman) dan bebas untuk (bicara, berpikir, berekspresi). Memang, masih ada dua perspektif 
demokrasi yang lain, yakni sistemik (menyangkut struktur dan institusi) dan prosedural 
(mekanisme dalam menentukan maupun memilih kebijakan dan elite-elite yang akan 
memimpin publik). Namun, dua perspektif itu niscaya membuat demokrasi semu jika tak 
disertai dengan penghayatan yang mendalam oleh masyarakat akan keniscayaan nilai- nilai 
demokrasi (selain kebebasan ada lagi kesetaraan, independens i, pluralisme dan 
individualistis) itu. 
Pertanyaannya, apakah kebebasan merupakan sesuatu yang tanpa batas? Dibenarkankah, 
misalnya, seseorang dengan mengatasnamakan kebebasan lalu berteriak-teriak semaunya 
sendiri, padahal di sekelilingnya ada banyak orang yang merasa terganggu? Bolehkah orang 
banyak menutup jalan tol atas nama kebebasan yang bahkan dirasionalisasi dengan “motif 
baik” demi menuntut tarif tol tidak dinaikkan? 
Dalam beberapa minggu terakhir ini, wacana publik sempat diramaikan oleh dua isu yang 
berkaitan dengan kebebasan berekspresi. Pertama, seorang mahasiswi pascasarjana bernama 
Florence Sihombing yang menulis sesuatu di jejaring sosial, Path, yang dianggap menghina 
Yogyakarta. Ia lalu dilaporkan ke polisi dan sempat ditahan, tapi tak lama kemudian 
dilepaskan. Florence sendiri kemudian minta maaf kepada Sultan HB X dan kepada warga 
Yogyakarta. 
Kedua, seorang pemilik akun Twitter dengan nama @kemalsept, yang karena dianggap telah 
menghina Kota Bandung dan wali kota Bandung lalu secara resmi dilaporkan Wali Kota 
Bandung Ridwan Kamil ke polisi. “@kemalsept Anda secara resmi saya laporkan ke 
kepolisian, untuk tweet-tweet penghinaan Pasal 27 UU 11 tahun 2008,” tulis Ridwan dalam 
akun Twitter resminya, 5 September lalu. Tak hanya itu, dalam statusnya, Ridwan juga 
mengunggah foto screen capture lini masa Twitter yang bersangkutan. Dalam foto itu tampak 
pemilik akun @kemalsept menghina Bandung dengan kata-kata kasar. Semuanya ditulis 
dengan huruf kapital. 
“Kritik ada tempat dan etikanya. Kalau menyerang pribadi tentu ada kehormatan yang harus 
dijaga. Beda, kan, kritikan dan cacian, apalagi ke pribadi,” ujar Ridwan. “Ini jadi
pembelajaran. Dimaafkan ya dimaafkan,” katanya. Namun, ia berharap agar hal serupa tidak 
terjadi lagi di masa mendatang. 
Lebih dari demokrasi di tataran sistemik dan prosedural, demokrasi di tataran budaya 
lazimnya membutuhkan waktu relatif panjang untuk mencapai situasi dan kondisinya yang 
ideal. Pasalnya, kebebasan memang cenderung disalahpahami dan disalahgunakan jika tidak 
didukung dengan dua nilai lainnya, yakni rasionalitas dan moralitas. 
Dengan rasionalitas, niscaya setiap orang menggunakan hak-hak asasinya secara bertanggung 
jawab. Sebaliknya tanpa rasionalitas orang-orang cenderung bertindak dan berperilaku 
semau-maunya sendiri. Dengan moralitas, niscaya setiap orang menjalani hidupnya secara 
tertib dan tak ingin meremehkan atau mengabaikan orang-orang lain di 
sekitarnya. Sebaliknya tanpa moralitas, orang-orang cenderung hidup tak teratur dan tak 
memedulikan kehadiran orang-orang lain di sekitarnya. 
Dengan demikian maka demokrasi niscaya berkembang sehat jika pilarnya adalah masyarakat 
sipil yang nalarnya telah akil balig, telah mampu berpikir rasional dan mandiri. Atas dasar 
itulah, niscaya orang-orang tak cenderung salah mengerti dan menyalahgunakan kebebasan di 
tengah demokratisasi yang bergulir deras ini. 
23 
Maka di dalam kehidupan sesehari, komunikasi yang terjalin niscaya juga menjadi sarat 
makna alih-alih ngalor-ngidul tanpa arah. Hal itu bukan hanya menjadi keharusan di dalam 
komunikasi di dunia nyata (secara lisan), tetapi juga di dunia maya (secara tulisan). 
Pertanyaannya, itu gampang atau sulit? Jawabannya, mungkin agak sulit karena diperlukan 
dua nilai pendukung itu tadi: rasionalitas dan moralitas. Dengan kedua nilai yang telah 
dihayati itulah komunikasi yang sebelumnya berwujud talking (nirmakna) niscaya menjadi 
speaking (sarat makna). 
Memang, dengan semua nilai demokrasi yang disebutkan tadi maka demokrasi di dalam 
kehidupan sehari-hari menjadi rawan konflik. Kendati begitu, demokrasi tetap merupakan 
alternatif sistem dan way of life yang terbaik demi menghindarkan terjadinya monopoli dalam 
menginterpretasi kebenaran. 
Demokrasi juga niscaya menjadikan kita mampu bersikap toleran dan apresiatif terhadap 
segala macam perbedaan. Pada akhirnya, bukankah itu juga yang niscaya membuat kita 
rendah hati karena merasa orang-orang lain juga memiliki kebenaran? Bukankah karakter 
seperti itu sangat baik dan terpuji? 
Jadi, apakah kebebasan dalam demokrasi itu tanpa batas? Tentu tidak. Ia bahkan penuh batas 
di sana-sini. Pertama, karena kita hidup di tengah masyarakat yang memiliki hukum 
(Costello, 2000). Itulah yang otomatis membatasi setiap orang. Kedua, karena demokrasi 
harus seiring sejalan dengan hak asasi manusia. Kesadaran akan hak asasi orang-orang lain 
itulah yang memunculkan kesadaran bahwa kita harus membatasi kebebasan diri sendiri demi 
menghormati orang-orang lain itu.
Ketiga, karena dengan dipandu moralitas dan rasionalitas, kita harus senantiasa 
mempertimbangkan hal-hal yang benar dan baik yang sepatutnya dilakukan. Keempat, karena 
sadar akan kehadiran orang-orang lain di tengah masyarakat maka kita niscaya berpedoman 
pada etiket dan etika yang dengan sendirinya membatasi kebebasan. 
24 
Dengan alasan-alasan itulah maka demokrasi selalu ada batasnya, bahkan banyak. Maka, 
adalah salah jika sebagian orang mengatakan kebebasan dalam demokrasi itu liar. 
Sebaliknya, justru demokrasi yang rasional dan bermoral menjadikan kebebasan itu 
bertanggung jawab. 
Maka jika hingga kini kita masih kerap membaca kata-kata yang tak sopan, penuh caci maki 
dan hinaan, atau bahkan disertai dusta tanpa data, yang ada di berbagai media jejaring sosial, 
anggap saja si pemilik akun yang bersangkutan belum cukup rasional dan kurang bermoral. ● 
VICTOR SILAEN 
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
25 
Menimbang Pendidikan Indonesia 
Koran SINDO 
3 Oktober 2014 
Pekan lalu Anindiya, alumnus SMU Madania Parung, Bogor, yang sudah dua tahun berkuliah 
di Ritsumeikan APU, Jepang, sengaja datang ke kantor saya di sela-sela liburannya ke 
Jakarta. 
Dia datang untuk berbagi kegelisahan mengenai pendidikan Indonesia yang menurutnya 
tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sebagai aktivis, Anin banyak bergaul dan 
diskusi dengan sesama mahasiswa Asia. Yang membuatnya gelisah, mahasiswa lain lebih 
siap menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). 
Di Thailand misalnya sejak SMU anak-anak sudah mulai belajar bahasa dan peta bumi 
Indonesia. Mereka mulai dipersiapkan mengenal potensi ekonomi dan lapangan kerja di 
Indonesia ketika nanti dibuka pasar bebas ASEAN yang memungkinkan tenaga kerja asing 
bekerja dan bersaing dengan putra-putra di negara kita. Anin sangat khawatir sarjana-sarjana 
Indonesia sulit bersaing dengan sarjana Jepang, Korea, Filipina, Thailand, Malaysia, dan 
Singapura dan kualitas pendidikan Indonesia tidak mengalami perbaikan serius dan segera. 
Di Indonesia terdapat sekitar 3.500 perguruan tinggi negeri dan swasta, lulusannya akan 
bersaing ketat memperebutkan lapangan kerja dengan lulusan perguruan tinggi di ASEAN. 
Ini sebuah tantangan dan sekaligus mimpi buruk mengingat sebagian perguruan tinggi kita 
sekadar memberikan ijazah, namun miskin kompetensi. Sekarang ini diperkirakan setiap 
tahun terdapat satu juta sarjana baru. 
Dibanding Malaysia dan Singapura, angkatan kerja mereka terbanyak diisi sarjana dan 
tamatan sekolah menengah kejuruan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 
2014, jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak 118,17 juta orang. Sungguh fantastis, suatu 
bonus demografi yang tidak dimiliki bangsa Jepang, Korea, dan negara-negara tetangga. 
Namun, itu semua akan berbalik menjadi beban jika ternyata miskin kompetensi dan kalah 
bersaing dalam panggung MEA nanti. 
Diberitakan, sedikitnya 600.000 lulusan perguruan tinggi menganggur yang sekarang tengah 
berjuang mendapatkan lapangan kerja. Terdapat lima fungsi utama yang mesti diperhatikan 
oleh lembaga pendidikan pada setiap jenjang. Pertama, sebagai tempat pembentukan 
karakter. Lewat pendidikan seseorang diharapkan mendapatkan lingkungan dan keteladanan 
yang baik agar tumbuh menjadi pribadi yang terpuji. Makanya sekolah disebut almamater, 
bagaikan sosok ibu kandung yang membesarkan dan mendidik kita semua agar jadi anak 
yang mandiri dan berkepribadian baik.
26 
Kedua, lembaga pendidikan adalah tempat transfer ilmu pengetahuan dari para guru pada 
anak didiknya. Jika guru atau dosen tidak menguasai dan menambah ilmu, lalu apa yang 
hendak ditransfer? Tidak sebatas transfer, tetapi para guru dan dosen itu juga mengajari 
bagaimana berburu ilmu pengetahuan atau riset (re-search), sebuah usaha tanpa henti, 
mencari dan kembali mencari, untuk selalu memperluas cakrawala pengetahuan sehingga 
dunianya semakin luas dan kaya. 
Menguasai metode menggali ilmu tidak kalah pentingnya dari sekadar menerima ilmu. 
Seseorang yang kaya ilmu pasti akan banyak referensi dan komparasi ketika membuat sebuah 
keputusan dalam hidupnya. 
Ketiga, lembaga pendidikan adalah juga tempat untuk melatih peserta didik mengembangkan 
keterampilan sosialnya. Keterampilan dan keluwesan berkomunikasi dan bersosialisasi sangat 
penting bagi kehidupan seseorang. Profesi apa pun, terlebih di zaman yang serbaterbuka dan 
kompetitif ini, keterampilan berkomunikasi (communication skill) sangat diperlukan. Tidak 
lagi zamannya berpikir ”diam itu emas”. 
Keempat, lembaga pendidikan juga berperan memberikan skill pada seseorang sehingga 
dengan keahlian yang dimiliki diharapkan akan bisa hidup produktif dan mandiri agar 
hidupnya tidak menjadi beban orang lain. Syukur-syukur bisa menciptakan lapangan kerja 
bagi orang lain. 
Kelima, lembaga pendidikan hendaknya secara sadar membantu menganta rkan agar 
seseorang tumbuh menjadi seorang pemimpin. Sikap kepemimpinan (leadership) akan 
diperlukan oleh siapa pun, minimal sekali kepemimpinan dalam rumah tangga. Lebih dari itu, 
setiap posisi atau karier seseorang sesungguhnya memerlukan kualitas kepemimpinan. 
Karena itu, menjadi sangat penting pelajaran dan latihan kepemimpinan di sekolah dan 
perguruan tinggi. 
Salah satu ciri seorang pemimpin adalah memiliki inisiatif, memiliki kepekaan sosial, peduli 
pada nasib orang lain, memiliki rasa tanggung jawab, dan berani ambil risiko atas keputusan 
yang diambilnya. Pelatihan kepemimpinan ini semakin kurang memperoleh perhatian di 
sekolah. 
Keenam, tidak kalah pentingnya dari semua itu, peran lembaga pendidikan adalah juga 
mendidik anak agar tumbuh menjadi pejuang kehidupan. Agar memiliki climber mentality. 
Pendaki dan penakluk gunung kehidupan yang tak mudah menyerah ketika menghadapi 
berbagai rintangan. Banyak anak-anak yang bermental quitter, mudah takluk ketika 
dihadapkan problem. 
Demikianlah, sebagai orang tua kita pasti memiliki harapan pada anak-anak kita agar tumbuh 
menjadi pribadi seperti yang saya kemukakan di atas. Kewajiban pendidik itu sebagian 
diserahkan pada lembaga pendidikan. Orang tua dan guru merupakan mitra coeducator bagi 
anak didik.
Dulu ada ungkapan: al-ummu madrasatul ula. Sosok ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. 
27 
Sekarang tidak bisa lagi diandalkan karena banyak ibu yang juga aktif bekerja di 
luar, lalu peran pendidik diambil guru di sekolah, oleh pembantu rumah tangga, dan TV. 
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT 
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah 
@komar_hidayat
28 
Ibuku Sayang Ibuku Malang 
Koran SINDO 
4 Oktober 2014 
Betapa malang nasib Ibu Fatimah di usia senjanya (kini 90 tahun) menjadi tergugat oleh anak 
kandung dan menantu sendiri, yaitu oleh anak keempatnya bernama Suhana dan menantunya 
bernama Nurhakim, akibat sengketa tanah di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang hari Rabu 
minggu lalu. 
Sungguh malang nasib nenek ini menjadi tergugat. Seharusnya sang anak dan menantu 
melindunginya, di mana letak perikemanusiaan sang anak dan menantunya, setan apa yang 
telah merasuki hati keduanya? Materi ternyata bisa memutus tali silaturahmi, tak terkecuali 
antara ibu dan anak serta menantunya. Hati siapa yang tak tersentuh dan pilu melihat kejadian 
yang memalukan dan menjijikkan, tega-teganya sang anak dan menantu berbuat demikian. 
Nauzubilllahi minzalik. 
Sungguh malang nasib Ibu Fatimah yang merupakan janda beranak delapan, sebidang tanah 
yang dibeli oleh suaminya ketika masih hidup kini membawa dirinya menjadi tergugat, 
sementara penggugat adalah anak kandung dan menantu sendiri. Bagaimana akhir kisah ini? 
Apakah Ibu Fatimah kalah dalam mempertahankan haknya? Akankah keadilan itu berpihak 
kepada Ibu Fatimah sebagai tergugat? 
Relevan juga bagi kita untuk merenungkan kembali sampai di mana tanggung jawab anak 
yang seharusnya membela orang tua di kala orang tuanya telah uzur itu? Bagaimana pula 
tuntunan agama Islam dalam membela hak dan memelihara orang tua ketika sudah uzur? 
Tuntunan Islam terhadap Kedua Orang Tua 
Masih relevan mengungkapkan kembali apa yang pernah dikemukakan Prof Komaruddin 
Hidayat ( Rektor UIN Jakarta) dalam tulisannya di harian ini berjudul ”Menimang Kasih Ibu” 
(19 Desember 2008) bahwa sosok ibu memiliki kualitas agung. Padanya melekat sifat kasih 
Ilahi yang tak pernah padam. Bahkan sebelum terlahir ke dunia ini kita tinggal dalam gerbang 
surgawi yang disebut alam rahim ibu. 
Kata rahim itu sendiri merupakan salah satu asma Allah. Ini secara jelas menunjukkan 
keterkaitan kualitas yang amat dalam dan lembut sekali bahwa sebagian kasih Allah terpancar 
ke dunia melalui sosok ibu sebagai transmitter-nya yang dalam istilah tasawuf disebut tajalli 
Ilahi. Seorang ibu senantiasa memancarkan keindahan dan kasih Ilahi, bagaikan surya 
menyinari dunia yang selalu memberi tak harap kembali.
Agama Islam memberikan tuntunan dalam hubungan anak dengan orang tua dapat kita simak 
dalam QS Al-Isra ayat 23 yang artinya: ”Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan 
menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di 
antara keduanya sampai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali jangan engkau 
mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya 
dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” 
Lanjutnya pada ayat 24 surat yang sama Allah menyerukan: ”Rendahkanlah dirimu terhadap 
keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah 
keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil’.” 
Dengan memahami dua ayat yang telah disebutkan di atas, sungguh kisah Suhana dan 
suaminya kepada ibu kandungnya jelas-jelas bertentangan dengan Firman Allah di atas. 
Kenapa anak ini tega-teganya membuat hidup ibunya menjadi terdakwa? Hati manusia mana 
yang tak sedih dan trenyuh mendengar dan menyaksikan peristiwa ini? Ya Allah jangan 
sampai ada Suhana dan Nurhakim-Nurhakim selanjutnya yang tega berbuat nista kepada 
ibunya. 
29 
Apakah ini sebuah tanda-tanda sudah dekatnya hari kiamat, di mana anak sudah tidak 
menyayangi orang tua, anak sudah menjadi raja terhadap orang tuanya? Kisah ini sudah 
seharusnya menjadi pelajaran buat anak-anak manusia selanjutnya dan kisah sedih ini tak 
perlu dicontoh, nauzubillah. 
Hati Ibu yang Terluka dan Tersakiti 
Hati ibu yang mana yang tak merasakan sakit, sedih, pilu, dan kecewa menghadapi perilaku 
anak dan menantunya yang tidak etis dan tak bermoral yang seharusnya melindungi tetapi 
malah menzalimi. Sebagai anak manusia tentu kita semua sadar dan tahu bagaimana 
perjuangan ibu dalam membesarkan kita, ibu berjuang tanpa kenal lelah, berjuang tanpa 
mengharap imbalan jasa. 
Ibu yang selalu melindungimu, merawat dan menjagamu dari tidurmu yang lelap, merawatmu 
ketika kamu sedang sakit. Setiap napasnya senantiasa mendoakan agar kau selamat. Ibumu 
adalah malaikatmu yang selalu menjagamu. Ia tertawa ketika kamu tertawa, dia sedih ketika 
kamu sedih. Apa pun dilakukannya demi masa depanmu yang cerah. Bahkan ibu rela 
sekalipun jiwanya menjadi taruhan. 
Semua agama mengajarkan untuk menghormati ibu. Bahkan agama Islam mengajarkan, 
aljannaatu tahta aqdaami alummahat (surga di bawah telapak kaki ibu). Dalam sebuah kisah 
seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, siapa orang yang harus saya hormati ya 
Rasul? Jawabannya: ibumu. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi: siapa orang yang harus 
saya hormati ya Rasulullah? Jawabannya: ibumu. Kemudian siapa lagi ya Rasul? Ibumu. 
Kemudian siapa lagi ya Rasul? Ayahmu. Nah, begitulah, betapa tingginya nilai seorang ibu di
30 
hadapan Allah, bahkan rida Allah adalah ridha bilwalidain (rida Allah berdasarkan rida 
kedua orang tua). 
Andaikan pengadilan mengabulkan bahwa kamu di pihak yang benar dan ibumu harus 
memenuhi tuntutan kamu dan suamimu, bahkan diusir dari tempat yang semula telah ikut 
andil dalam membesarkanmu, sungguh tega dan hebat engkau memperlakukan ibu 
kandungmu seperti itu. 
Di mana letak hati nuranimu, masihkah kau punya hati nurani? Coba kau pandang wajah 
ibumu dengan dalam, dengan baik, sampai berapa waktu lagi ibumu mungkin ada di depan 
matamu? Bertobatlah sebelum kau terlambat. Sudah banyak kisah nyata bagaimana nasib 
anak-anak yang durhaka kepada ibu bapaknya hidupnya kemudian menjadi tak bahagia dan 
malah sengsara karena kualat kepada orang tua. 
Harta dan Anak adalah Hiasan dan Ujian 
Harta anak adalah hiasan dan sekaligus cobaan. Ini kita coba merenungkan firman Allah yang 
artinya: ”Sesungguhnya hartamu, istrimu dan anakmu adalah hiasanmu, artinya hiasan adalah 
sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Untuk itu orang tua, Ibu pemegang peran 
utama dalam pendidikan anak, sedangkan ayah berfungsi sebagai pelindung dan pengayom 
anak-anaknya.” 
Oleh karena itu orang tua harus bersungguh-sungguh menjaga anak dari segala marabahaya 
baik marabahaya neraka dunia maupun marabahaya neraka akhirat (azab neraka). Caranya 
dengan jalan menanamkan keimanan yang kemudian berfungsi sebagai benteng dalam 
kehidupan anak di masa datang, mengajarkan sopan santun mengajarkan akhlak yang baik, 
menjauhkan anak dari akhlak yang tidak baik, membiasakan anak tidak bermewah-mewah 
dan sesuatu yang melalaikan anak. 
Dalam ajaran Islam orang tua bertanggung jawab sebagai pendidik pertama dan utama 
terhadap pendidikan anak-anaknya. Salah satu tanggung jawab orang tua adalah mendidik 
anak-anaknya dengan baik. Anak itu bagaikan mutiara yang bersih dari kotoran-kotoran, bila 
anak dididik pada kebaikan, ia akan tumbuh di dunia dan akhirat dalam keadaan bahagia dan 
akan dapat mewariskan pahala kepada orang tua dan gurunya. Sebaliknya jika anak itu diajar 
pada kejahatan, semua akan celaka. Anak akan mendapat siksa atas perbuatannya demikian 
juga orang tuanya (pendidiknya). 
Orang tua berperan sebagai pendidik pertama yang harus bertanggung jawab terhadap 
pendidikan anak-anaknya, sesuai dengan Firman Allah yang artinya: ”Jagalah dirimu dan 
keluargamu dari azab neraka. ” Di sisi lain Allah juga berfirman yang artinya:”Sesungguhnya 
hartamu, anak-anakmu dan istrimu adalah fitnah (ujian) karena itu hati-hatilah.” 
Jika ibu memaafkan itu lebih baik di sisi Allah. Maka bersabarlah ibu menghadapi ujian ini, 
berdoalah kepada Allah sembari mohon ampunan-Nya. Semoga Allah yang menjadi 
pelindung dan tempat ibu mengadu.
31 
NURAINI AHMAD 
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, Ketua DPP Perwati
32 
Kurban & Transformasi Kesalehan Sosial 
Koran SINDO 
4 Oktober 2014 
Ibrahim berkata, ”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku 
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” Berkatalah Ismail, ”Hai bapakku, 
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku 
termasuk orang-orang yang sabar”.... Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang 
besar. 
Kisah keikhlasan yang dramatis dan mengharukan itu dikemas melalui bahasa Alquran yang 
apik dalam rangkaian Surat Ash Shaffat, ayat 100-107. Rangkaian ayat ini pulalah yang 
kemudian dijadikan sebagai dasar hukum ibadah kurban, menapaktilasi jejak keagungan Nabi 
Ibrahim dan Ismail. 
Sebagian ulama menghukumi ibadah kurban sebagai ibadah sunnah muakkadah, sedangkan 
sebagian yang lain malah menganggapnya sebagai wajib, yakni bagi yang mampu. Terlepas 
dari masalah khilafiah tersebut, kurban adalah ibadah agung dalam syariat agama Islam. 
Ibadah kurban sejatinya telah dikenal semenjak zaman Qabil dan Habil, putra-putra Adam. 
Kurban Qabil yang tamak tertolak, sedangkan kurban Habil diterima Allah. Berkata Habil, 
”Sesungguhnya Allah hanya akan menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa.” (Al 
Maidah: 27) 
Membumikan Kurban 
Sementara pihak yang tidak memahami Islam sering kali menjadikan ibadah kurban sebagai 
pembenar bahwa Islam adalah agama yang tidak ”berperikehewanan”. Bayangkan, tiap 
tahun, jutaan hewan ternak dibantai atas nama persembahan kepada Tuhan. Seakan-akan 
Tuhan orang Islam adalah sosok yang kejam dan haus darah. 
Kurban konon mengajarkan kekejaman yang sadis. Padahal, dalam perspektif Islam, hewan 
kurban memang diamanahkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh umat manusia dengan 
tata cara yang telah diatur secara sempurna. Misalnya penyembelihan dengan menyebut asma 
Allah, menajamkan pisau, larangan menyiksa atau memubazirkannya. 
Menariknya, dalam Islam, ibadah kurban bukanlah persembahan (offering) atau sesaji 
sebagaimana ada dalam keyakinan umat yang lain, dengan cara melarung atau 
menempatkannya di altar pemujaan. Kurban justru diberikan kepada manusia, tidak kepada 
Tuhan secara langsung. Alquran menyebutkan, ”Tidak sampai kepada Allah daging dan 
darahnya. Tapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.” (Al Hajj, 37). Sebuah bukti 
bahwa Allah sama sekali tidak haus darah sebagaimana dituduhkan adalah karena daging
33 
kurban justru di-tasharruf-kan, dibagi-bagikan untuk dinikmati oleh siapa saja yang 
membutuhkan. 
Islam bukan agama yang semata-mata mengutamakan hubungan antara manusia dengan 
Tuhan (hablumminallah), yang mengajari orang menjadi rahib dan petapa. Islam juga bukan 
agama yang semata-mata mengajarkan berbuat baik kepada sesama manusia, menjadi 
seorang yang humanis tetapi justru melupakan Tuhannya. Namun Islam adalah agama yang 
membumi (down to earth). Keseimbangan perpaduan antara dimensi kesalehan (religiositas) 
vertikal dan transenden yang berhubungan dengan Tuhan serta dimensi kesalehan yang 
horizontal yang bersifat sosial karena terkait dengan hubungan antarmanusia. 
Mereka yang saleh adalah mereka yang mampu membangun hubungan baik dengan 
Tuhannya (hablumminallah) dengan sesama manusia (hablumminannas) yang terwujud 
dalam kesalehan sosial dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). 
Ibadah kurban hanyalah salah satu contoh kecil dari ibadah yang mengajarkan kepada kita 
bagaimana hubungan yang indah dengan Tuhan justru bisa didapatkan melalui membangun 
kesalehan (religiositas) sosial dengan sesama manusia. 
Memang, syariat Islam sangat sulit kita pisahkan dari dimensi yang bersifat sosial. Rasanya 
kita akan sulit menemukan ajaran agama Islam yang hanya mengedepankan hubungan 
dengan Tuhan semata, tetapi abai pada sekeliling. Setiap ritual ibadah sesungguhnya, apabila 
kita cermat melihat dengan mata hati, akan kita dapati di dalamnya makna dan hikmah yang 
mendalam bagi kehidupan. Ibadah kurban misalnya tidak semata-mata kita lihat dari 
kemampuan untuk membeli hewan ternak yang akan dikurbankan. Lebih indah bila kita 
berkenan melihat esensi dan makna yang terkandung dalam ibadah tersebut. Dengan 
demikian semoga kita tidak terjebak pada nawaitu yang keliru ketika kita dimampukan 
menjalankan syariat kurban. 
Pelajaran paling utama dari ibadah kurban adalah tentang keimanan dan keikhlasan yang 
hanya kepada Allah semata. Ketika Nabi Ibrahim memutuskan untuk menyembelih Nabi 
Ismail, tentu saja keputusan tersebut sangatlah tidak sederhana. Adalah manusiawi manakala 
rasa cinta dan sayang Ibrahim kepada putra yang semata wayang, Ismail, mengalahkan 
sekadar mimpi. Juga adalah manusiawi apabila seseorang mempertahankan kehidupannya, 
menolak disembelih oleh ayah kandungnya, hanya lantaran sebuah mimpi. Alquran sendiri 
telah menyatakan,”Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang 
diingini yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, 
binatang ternak dan sawah ladang.” (Ali Imran: 14). 
Namun kisah anak-beranak yang kita simak dalam Alquran sebagaimana pembuka wacana 
ini adalah hal yang teramat luar biasa, jauh dari takaran manusia kontemporer. Ibrahim dan 
Ismail dengan sempurna berhasil melewati ujian yang mahaberat itu. Ujian yang mungkin 
hanya untuk maqam para nabi dan orang saleh yang kadar keimanan dan keikhlasannya telah 
sempurna. Kita mungkin perlu bersyukur karena hal seberat ini tidaklah diujikan kepada kita, 
manusia modern yang dhaif.
Kita memang perlu belajar arti pengorbanan dan keikhlasan, tetapi tidak dengan 
menyembelih anak atau disembelih bapak. Kita hanya disyariatkan untuk berkurban dengan 
menyembelih hewan. Namun esensi sejatinya adalah kita harus belajar menjadi pribadi yang 
sanggup berkurban untuk Allah dan kemaslahatan umat meski kadang terasa berat. 
Pelajaran berharga lainnya yang dapat kita petik dari ibadah kurban adalah dimensi sosial, 
khususnya yang berhubungan dengan realitas kemiskinan yang masih mendera sementara 
saudara kita. Islam sungguh sangat memperhatikan kehidupan kaum yang kurang beruntung, 
yang umumnya menjadi komunitas terbesar suatu negeri, yakni kaum miskin. Sesungguhnya 
di balik rezeki yang Allah amanahkan kepada kita terdapat hak-hak kaum miskin yang harus 
kita tunaikan. Harapannya tentu bukan agar kita kelak menjadi orang miskin, tetapi 
bagaimana kita bisa memperlakukan orang lain secara semestinya tanpa harus melihat 
pangkat, derajat, dan semat. 
34 
Rasanya memang sulit ditemukan karena alam kehidupan yang materialistis telah 
mengajarkan kepada kita untuk memandang segala sesuatu dari sisi materi yang kasatmata 
saja. Padahal Islam mengajarkan kepada kita arti empati, solidaritas, kebersamaan, dan 
kesetiakawanan terhadap mereka yang papa. 
Satu hal yang tidak boleh terlupa, kita mungkin dapat memaknai ibadah kurban sebagai 
sebuah simbol pemenggalan dan pembunuhan terhadap karakter kebinatangan yang 
bersemayam dalam jiwa kita. Sifat-sifat kebinatangan yang tidak semestinya dimiliki 
manusia yang beradab sudah saatnya kita singkirkan. 
Kehidupan yang tanpa norma, yang adalah khas milik dunia hewan yang menghamba pada 
keserakahan nafsu tanpa budi pekerti, marilah kita tinggalkan. Bertransformasi menuju 
kehidupan yang bijak, cerdas, dan beradab sehingga kita bisa menata kehidupan menjadi 
lebih baik dan lebih indah. 
Sebagai catatan akhir, ibadah kurban semestinya diajarkan kepada putra-putri kita semenjak 
dini. Sungguh sangat naif apabila ada seorang pejabat publik yang melarang penyembelihan 
hewan kurban di sekolah dengan alasan pembenar bahwa kurban akan menjadi pengalaman 
traumatis bagi anak. Menyaksikan prosesi penyembelihan hewan konon juga akan 
membentuk mereka menjadi pribadi yang sadis dan kejam. 
Padahal, realitasnya sungguh sangat jauh dari tuduhan picik ini. Jika pejabat yang 
berangkutan adalah seorang muslim, sungguh ia perlu beristigfar memohon ampunan karena 
menyelisihi perintah Allah dan teladan Rasulnya. Tanpa sadar, ia tengah menjauhkan 
generasi Islam dari syariat kurban yang agung ini. Namun jika ia adalah seorang nonmuslim, 
sudah seyogianya didoakan agar mendapatkan hidayah. 
Tapi, setidaknya ia harus belajar kembali tentang etika dan memahami toleransi agar tidak 
jumawa membuat kebijakan yang syariat dan maknanya bahkan belum pernah ia pahami. 
Kecuali jika memang bersengaja hendak mengabarkan arogansi kuasanya untuk melecehkan 
dan memprovokasi umat Islam Indonesia. Wallahu alam.
35 
ACHMAD M AKUNG 
Dosen Psikologi Agama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
36 
Mengungkit IPM 
Koran SINDO 
4 Oktober 2014 
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2014 yang dilansir UNDP menempatkan Indonesia di 
posisi ke-108 dari 287 negara. Peringkat negara kita masih kalah dibandingkan Singapura 
(peringkat kesembilan), Malaysia (62), dan Thailand (89), tetapi kita masih lebih baik 
daripada Filipina (117) dan Vietnam (121). 
IPM mengukur kemajuan dari tiga dimensi utama pembangunan manusia, yaitu hidup 
panjang dan sehat, akses pendidikan, dan standar kehidupan yang layak. Rata-rata umur 
harapan hidup orang Indonesia adalah 70,8 tahun dan rata-rata lama bersekolah 7,5 tahun. 
Sementara itu, jumlah orang miskin telah berkurang menjadi ”hanya” 28 juta orang atau 
11,25% dari total penduduk. 
Gizi erat kaitannya dengan kesehatan. Lebih dari 50% kematian balita berhubungan dengan 
masalah gizi kurang. Artinya, harapan hidup akan semakin panjang bila bangsa ini mampu 
mengentaskan anak-anak dari ancaman kurang gizi. Kita perlu merenung kembali pencapaian 
kualitas gizi bangsa. Sudahkah berbagai persoalan gizi dapat diatasi dengan baik? 
Pada 18-20 Januari 2012 telah diselenggarakan Seminar Nasional Pangan dan Gizi di 
Jakarta. Dalam pertemuan ilmiah tiga hari tersebut tergambar kemitraan yang harmonis 
antara para ahli gizi, dosen, peneliti, mahasiswa, birokrat, dan industri pangan untuk 
mengupas tuntas masalah gizi yang dihadapi bangsa ini. Pandangan pentingnya optimalisasi 
tumbuh kembang anak pada 1.000 hari pertama kehidupan cukup mengemuka dalam seminar 
tersebut. Para ahli kesehatan dan gizi tentu bersepakat bahwa 1.000 hari pertama usia anak 
adalah periode emas. Masalah gizi yang terjadi pada rentang usia tersebut menyebabkan 
seorang anak berada pada posisi the point of no return, apakah kelak anak-anak tersebut akan 
menjadi aset nasional atau justru menjadi beban bangsa. 
Kita semua menyadari keterbatasan pemerintah dalam memerangi masalah gizi di tingkat 
masyarakat. Persoalan gizi kurang dan gizi buruk di kalangan anak balita tidak mampu 
diturunkan secara signifikan, demikian pula anemia gizi besi yang prevalensinya di kalangan 
ibu hamil masih tinggi. Selain itu, gambaran pencapaian ASI eksklusif yang masih rendah 
tentu memunculkan kekhawatiran tentang bagaimana nasib masa depan bangsa ini. 
Sebagian jajaran kesehatan agak ”alergi” terhadap industri susu. Apalagi kalau ada 
pandangan bahwa sosialisasi minum susu tidak menyejahterakan peternak sapi perah lokal, 
tetapi hanya memperkaya importir susu. Padahal, peran susu bagi gizi bangsa jelas ada. 
Penelitian Dr Muzal Kadim mengungkapkan peran penting susu yang difortifikasi dengan
gizi mikro dan sinbiotik mampu meningkatkan pertumbuhan fisik anak. Bapak Gizi Indonesia 
Prof Poerwo Sudarmo tidak ragu-ragu mencetuskan Empat Sehat Lima Sempurna yang 
memasukkan susu sebagai produk pangan penting penunjang kesehatan. Sudah saatnya kita 
merangkul industri- industri nasional maupun multinasional untuk bersama-sama 
memecahkan persoalan gizi masyarakat. 
37 
Saya terlibat dalam penyusunan modul pemberdayaan kader posyandu bersama TP PKK 
Pusat dan PT Nestle Indonesia. Salah satu materi utama modul tersebut adalah inisiasi 
menyusu dini dan penerapan ASI eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa industri susu telah 
secara nyata berkiprah meningkatkan keterampilan SDM gizi melalui pelatihan kader untuk 
revitalisasi posyandu. Hasilnya adalah terbentuknya posyandu peduli tumbuh-aktif-tanggap 
(TAT) yang tersebar di 19 provinsi. 
Posyandu peduli TAT merupakan pengembangan posyandu yang telah ada, tetapi pelayanan 
yang diberikan telah mencakup pertumbuhan dan perkembangan anak. Banyak industri-industri 
dengan dana corporate social responsibility (CSR) sangat besar yang sebenarnya 
dapat dirangkul dan diarahkan untuk menggelar program mengatasi gizi kurang di perdesaan 
atau di daerah kumuh perkotaan. CSR adalah sumber daya potensial yang dapat membantu 
pembiayaan program gizi. 
Di saat pemerintah tidak bisa secara maksimal menganggarkan pembangunan gizi, 
seyogianya kita harus pandai-pandai bersanding dengan industri swasta atau non-governmental 
organization (NGO). Kebersamaan ini tidak hanya akan membahagiakan 
rakyat korban busung lapang atau malanutrisi, tetapi juga akan memperkuat kemitraan yang 
selama ini terkadang masih terkendala syak wasangka. Benarkah industri pangan tidak pernah 
tulus dalam program-program kemasyarakatan? Benarkah motivasi mereka hanya bertujuan 
meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan memasarkan produk-produk pangan di tengah 
masyarakat? 
Pemerintah kini telah merumuskan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) dan 
nantinya setiap provinsi/kabupaten juga akan membuat rencana aksi daerah. Kalaulah 
rencana aksi ini hanya menjadi komoditas pemerintah, mungkin hasilnya bisa tetap bagus 
bilamana pihak eksekutif dan legislatif sama-sama memandang persoalan gizi sebagai 
masalah besar sehingga pasti juga memerlukan anggaran besar. Namun mengalokasikan dana 
pembangunan gizi sesuai dengan besaran masalah gizi yang diderita masyarakat ternyata 
bukan hal sepele. 
Itulah sebabnya mengapa cakupan program gizi sulit mencapai maksimal. Di salah satu 
pemerintahan daerah revitalisasi posyandu dilakukan dengan menganggarkan dana hanya 
Rp800.000 per tahun, program Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sering kali cakupannya 
kurang dari 50% balita, anak-anak drop out dari posyandu sebelum usia 5 tahun karena 
layanan yang kurang berkualitas, dll. 
Oleh sebab itu RAN-PG juga harus disosialisasi kepada pihak industri swasta atau NGO
38 
sehingga mereka bisa mengisi matriks mana yang bisa menjadi tanggung jawabnya 
membangun gizi masyarakat. Sinergi birokrasi dan industri dalam penanganan masalah gizi 
bukan hal yang tabu. Meraih kualitas gizi bangsa adalah tanggung jawab kita semua. 
Pada dasarnya bangsa Indonesia tidak sekadar menghadapi masalah gizi makro seperti 
kekurangan kalori dan protein. Persoalan gizi mikro yang merupakan fenomena masalah gizi 
tersembunyi seperti defisiensi zat besi, folat, atau mungkin juga selenium dapat menjadi 
ancaman nyata yang menyebabkan gagal tumbuh di kalangan anak-anak usia dini. 
Meningkatkan peringkat IPM menjadi PR besar bangsa kita. Kelalaian membangun SDM 
akan menjadi malapetaka dan menyebabkan generasi muda Indonesia tidak mampu bersaing 
menghadapi pasar bebas di tahun-tahun yang akan datang. 
ALI KHOMSAN 
Guru Besar dan Ketua Program Ilmu Gizi, FEMA IPB
39 
Idul Kurban 
Koran SINDO 
5 Oktober 2014 
Pada hari ini kita merayakan Idul Adha yang disebut juga Idul Kurban, Idul Haj, atau Idul 
Akbar. Banyak sekali kisah dan pelajaran yang biasa disampaikan dalam setiap khotbah Idul 
Adha seperti hari ini. Mulai dari riwayat Siti Hajar yang berlari-lari kecil, bolak-balik antara 
bukit Al-Safa dan Al-Marwah, sampai puncak riwayat yaitu ketika Nabi Ibrahim AS dengan 
ikhlas menyembelih putranya, Nabi Ismail AS demi kecintaannya pada Allah SWT, tetapi 
dengan mukjizat dari Allah, ternyata yang disembelih itu seekor domba. 
Salah satu surat Alquran yang terkait dengan Hari Raya Kurban adalah surat ke-108 dalam 
Alquran yang dikenal dengan nama Al-Kautsar. Istilah Al-Kautsar ini hanya sekali 
disebutkan di dalam seluruh bacaan Alquran. Surat ini hanya terdiri atas tiga ayat pendek, 
tetapi punya makna yang sangat dalam dan sangat relevan (terkait) dengan kehidupan bangsa 
dan masyarakat Indonesia pada masa-masa terakhir ini. Ayat kedua (dari tiga ayat) dari surat 
ke-108 itu berbunyi sebagai berikut: ”Fasollilirobbika wanhar”, yang artinya ”Maka 
dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah”, yang merupakan inti dari surat Al- 
Kautsar terebut dan mengandung dua pesan Allah SWT yaitu agar kita mendirikan salat dan 
berkurban. 
Tentang mendirikan salat, saya sangat percaya bahwa umat Islam di Indonesia adalah yang 
paling top markotop. Di kampus, di kantor, atau di mal, hampir setiap azan terdengar, 
langsung musala penuh. Yang belum kebagian salat, duduk melepas sepatu, atau mengambil 
air wudu, terkadang dengan menaikkan kaki ke wastafel sehingga becek semua. Salat Jumat 
selalu dipenuhi umat, bukan hanya di masjid-masjid, tetapi juga di tempat-tempat parkir di 
mal atau aula di kantor atau di kampus yang disulap menjadi ”masjid” darurat. Apalagi dalam 
kesempatan salat-salat Idul Fitri dan Idul Adha seperti hari ini. Hampir tidak ada yang ingin 
membolos karena di situlah kesempatan untuk berjumpa dengan kerabat, tetangga, dan 
handai taulan. 
Di sisi lain, kita pun tahu bahwa tidak kurang dari lima kali atau 17 rakaat setiap hari umat 
Islam menegakkan salat setiap hari, yang artinya 17 kali juga umat membaca Al-Fatihah, 17 
kali per hari umat memuji dan bersyukur kepada Allah, dan 17 kali juga meminta ditunjuki 
jalan yang benar. 
Itu baru per hari, berapa kalau per bulan? Per tahun? Ditambah lagi dengan salat-salat sunah? 
Hitung saja sendiri. Tetapi, mengapa tetap saja begitu banyak maksiat, korupsi, dan kejahatan 
lain di Indonesia. Bukan hanya oleh orang awam, melainkan juga oleh para pemuka agama, 
para ustaz, para pemimpin partai politik, bahkan para menteri dari partai-partai?
Dalam bentuknya yang lebih mikro, kejahatan dan kecurangan juga dilakukan oleh hampir 
setiap orang seperti pelajar atau mahasiswa yang menyontek, pak RT/RW meminta ongkos 
untuk pengurusan KTP, karaoke yang disalahgunakan menjadi lokalisasi, suami dan istri 
yang selingkuh, dan sebagainya. Maka, di sinilah maksud Allah dalam menyuruh umat-Nya, 
melalui surat Al-Kautsar tersebut di atas, untuk berkurban. 
Sekali lagi, berkurban. Bukan sekadar ikhlas dan bersabar, tetapi berkurban. Tetapi, sejauh 
mana kita sudah rela berkurban. Kurban bukan hanya memotong kambing atau sapi untuk 
dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Sekali lagi, itu hanya ritual. Kurban sebenarnya yang 
harus kita lakukan adalah berkurban tentang ihwal yang kecil-kecil sampai yang besar, yang 
kita lakukan setiap hari. Misalnya, dalam hal antre. 
Prinsip dalam antre adalah yang datang lebih dulu didahulukan dan yang datang belakangan 
harus mengalah, berkurban untuk mendahulukan yang datang lebih awal. Semua kepentingan 
pribadi pada saat mengantre, termasuk yang sudah sakit perut mau ke toilet harus 
dikurbankan demi kepentingan bersama. Dengan begitu, antrean akan berjalan tertib dan 
cepat. 
Kalau kebetulan kita tidak mendapat bagian atau giliran, ya harus kita ikhlaskan karena 
memang kita terlambat. Kalau mau dapat, datanglah lebih pagi. Kalau bisa paling pagi, yang 
artinya adalah berkurban lagi, paling sedikit berkurban waktu. 
40 
Memang berkurban itu berat. Tetapi, Islam mengajarkan bahwa berkurban itu mungkin dan 
bisa terjadi karena semua manusia pada dasarnya punya semangat berkurban. Lihatlah para 
ibu yang rela mengurbankan apa saja, ketika anaknya sakit, atau seorang pemuda yang rela 
berkurban apa saja demi kekasih hatinya yang cantik jelita. Sayang sekali, dalam realitanya, 
kita masih harus banyak belajar dari negara-negara dan bangsa-bangsa nonmuslim. 
Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries ” yang dilakukan oleh 
Profesor SS Rehman dan Profesor Hossein Askari (kedua-duanya muslim) dari The George 
Washington University menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling 
islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Indonesia yang mayoritas 
penduduknya muslim menempati urutan ke-140. Ternyata juga 56 negara muslim yang 
menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) rata-rata berada di urutan ke-139 dari 
sebanyak 208 negara yang disurvei. 
Kalau orang lain bisa, mengapa kita yang mayoritas umat Islam, umat Muhammad SAW, 
yang mendapat wahyu-wahyu langsung dari Allah SWT mengenai nilai-nilai islami, 
termasuk berkurban, tidak bisa melakukannya? 
Karena itulah, bagi mereka yang saat ini sedang melaksanakan ibadah haji, kita doakan 
semoga semua akan pulang kembali ke Tanah Air sebagai haji yang mabrur, bukan sebagai
41 
haji tomat, yang berangkat tobat, tetapi pulangnya kumat. 
SARLITO WIRAWAN SARWONO 
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
42 
Rejuvinasi Semangat Trisakti 
Koran SINDO 
6 Oktober 2014 
Penyelenggaraan pilpres beberapa waktu lalu menegaskan kepada masyarakat internasional 
bahwa Indonesia merupakan negara yang sukses mengimplementasikan praktik demokrasi. 
Meski ada “riak-riak” sedikit, perkara itu tak membuat negara ini terancam akibat perseteruan 
dua kubu pendukung calon presiden masing-masing. 
Keterpilihan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih membawa angin segar 
perubahan. Muncul harapan baru supaya pasangan ini mampu melaksanakan agenda 
transformatif dan meneruskan prestasi pembangunan di bidang ekonomi, politik, budaya, 
sosial, pertahanan, dan keamanan yang berhasil dicapai pemerintahan sebelumnya. Karena 
itu, sebagai bagian dari upaya memikirkan kebaikan bersama, setiap warga negara dan 
organisasi masyarakat diperkenankan untuk mengusulkan kader-kader terbaiknya untuk 
masuk dalam pemerintahan. 
Beberapa waktu lalu, IndoStrategi Research and Consulting merilis hasil riset tentang siapa 
saja yang dianggap layak masuk dalam jajaran kabinet Jokowi-JK. Penelitian mengenai 
desain kabinet 2014-2019 tersebut dilakukan selama satu bulan (5/8-5/9/2014). Berbeda 
dengan lembaga riset politik yang lain, IndoStrategi menggunakan metode penggalian data 
berupa: (a) biografi dari tokoh-tokoh potensial yang selama ini muncul di publik; (b) 
wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap 30 pakar di berbagai bidang; (c) focus 
group discussion tiga kali dengan mengundang para pakar di bidangnya; dan (d) metaanalisis 
media. 
Riset yang diluncurkan ke publik pada 9 September 2014 itu menyebut kabinet Jokowi-JK 
sebagai Kabinet Trisakti. Pemilihan nama “Trisakti” bukan tanpa alasan, melainkan berdasar 
pada kajian mendalam dan komprehensif: IndoStrategi berharap semangat Tri Sakti yang 
dipidatokan Soekarno pada 17 Agustus 1964 tersebut kembali memotivasi pemerintahan 
mendatang. Saat itu, Bung Karno menyampaikan pidato dengan judul “Tahun Vivere 
Pericoloso” yang menyebut tiga paradigma besar yang hingga kini menggema dan senantiasa 
menginspirasi anak bangsa di era kontemporer sekarang. 
Bapak pendiri bangsa (founding father) tersebut mencita-citakan supaya Indonesia berdaulat 
secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Bung 
Karno menegaskan bahwa kedaulatan politik bangsa Indonesia mutlak diwujudkan dengan 
menolak segala bentuk intervensi bangsa lain. Dalam ungkapan Bung Karno, nation building 
dan character building harus diteruskan sehebat-hebatnya demi menunjang kedaulatan politik 
kita.
Sementara itu, Indonesia yang memiliki kekayaan alam mesti dikelola sendiri bagi 
kesejahteraan masyarakat secara utuh. Tingkat ketergantungan kita terhadap pihak asing (dari 
segi modal maupun dari segi teknologi) selama ini sangat tinggi. Akhirnya, sumber daya 
alam yang tersedia masih belum bisa dinikmati masyarakat. sebaliknya justru kekayaan ini 
lebih banyak dinikmati bangsa lain. Tak ayal, bila Bung Karno pernah mengungkapkan 
bahwa ketergantungan terhadap bangsa lain tidak akan menjamin kesejahteraan rakyat 
meningkat. 
43 
Selain itu, di bidang kebudayaan Bung Karno menginginkan supaya bangsa ini 
berkepribadian di bidang ini. Dia beranggapan bahwa kebudayaan tidak kalah pentingnya 
dibandingkan kedua aspek sebelumnya, politik dan ekonomi. Sebagai sebuah bangsa, 
Indonesia harus menghormati budaya warisan nenek-moyang dan menghargai nilai-nilai 
luhur kebudayaan yang ada di masyarakat, karena hal itu akan membawa bangsa ke arah 
kemajuan. 
Dari itu, perlu meremajakan kembali (rejuvinasi) semangat Trisakti agar nilai-nilai yang 
terkandung di dalamnya dapat memberi motivasi bagi pemerintahan yang baru. Sebab untuk 
mencapai kemajuan dan kesejahteraan, sebuah bangsa pertama-tama mesti berdaulat secara 
politik. Kedaulatan politik ini adalah syarat mutlak agar bangsa itu merdeka atau bisa bebas 
mengatur dirinya sendiri. 
Jika kedaulatan politik didapat, langkah berikutnya adalah menjadikan Indonesia sebagai 
bangsa yang mandiri dan berdikari secara ekonomi. Kita tentu mafhum bahwa tingkat 
kesejahteraan ekonomi sangat berpengaruh pada berbagai aspek lain dari sebuah bangsa. Hal 
ini tentu tidak sulit dilakukan jika pemerintah serius membenahi moral dan karakter bangsa 
untuk menjadi negara maju. Dengan begitu, para generasi bangsa saat ini dapat mengelola 
dan memanfaatkan sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat. 
Saat ini, publik seolah merasakan falsafah Trisakti yang disuarakan Bung Karno semakin 
terkikis. Para pengelola pemerintahan dan mereka yang terlibat di wilayah politik hanya 
sibuk memikirkan kepentingan pribadi dan golongannya hingga sering kali abai terhadap 
kebaikan dan kemajuan bangsa. Akibatnya, Indonesia sebagai sebuah bangsa semakin hari 
semakin terasa tersegmentasi dan mudah dipicu untuk melakukan aksi-aksi anarkistis. 
Ironisnya, kondisi seperti ini semakin diperburuk dengan adanya praktik korupsi yang 
semakin “membudaya”. Tak bisa dimungkiri, saat ini tindak korupsi semakin terstruktur 
hingga ke berbagai lembaga pemerintahan, legislatif maupun yudikatif. Pemerintahan 
Jokowi-JK mendatang, dengan dukungan yang luas dari masyarakat, diharapkan dapat 
membentuk struktur kabinet yang mampu menjawab tantangan dan masalah yang dihadapi 
masyarakat. 
Memang, berbagai soal tersebut bukan hal mudah untuk dipecahkan. Namun dengan kembali 
menghidupkan dan berpegang teguh pada falsafah Trisakti, tantangan untuk membawa 
Indonesia berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di bidang 
budaya, mampu menjawab tantangan lokal dan global, dan memiliki kedudukan setara di
44 
dunia internasional, tentu bukan impian yang tak bisa diwujudkan. ● 
MUCHLAS ROWI 
Peneliti Senior IndoStrategi Research and Consulting
45 
Mengawal Kementerian Riset dan 
Pendidikan Tinggi 
Koran SINDO 
7 Oktober 2014 
Menurut kabar, Jokowi akan memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi 
dua kementerian: “Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah” dan “Kementerian Riset 
dan Pendidikan Tinggi”. Ide ini menarik untuk menarik gerbong pendidikan tinggi kita dari 
situasi tidak menguntungkan belakangan ini. 
Ketertinggalan 
Dunia pendidikan tinggi kita jauh tertinggal dari negara-negara lain. Berdasar data Scimago 
JR, jumlah publikasi ilmiah Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia. Padahal tahun 1996, 
Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. Indonesia memproduksi 540 paper ilmiah, 
sementara Malaysia 961. Jarak terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di 
Malaysia mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu 
memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190. 
Hal serupa juga ditunjukkan oleh berbagai pemeringkatan universitas di dunia. QS misalnya, 
baru-baru ini melansir peringkat universitas di Asia pada 2014. Universitas di Indonesia yang 
masuk 100 besar hanyalah UI di peringkat 71. ITB dan UGM hanya berada di peringkat 125 
dan 145. Bandingkan sekali lagi dengan Malaysia yang menempatkan tiga universitasnya di 
atas UI, masing-masing UM, UKM, dan UTM di peringkat 32, 56, dan 66. 
Penyebab Ketertinggalan 
Salah satu hal yang menyebabkan situasi di atas bertahan adalah paradigma dunia pendidikan 
tinggi kita masih tak berbeda jauh dengan sekolah dasar dan menengah, yaitu 
mengedepankan belajar-mengajar. Dosen masih dianggap sebagai pengajar yang tugasnya 
hanyalah mengajar. Datang ke kampus untuk mengajar dan kemudian kembali beraktivitas di 
luar kampus. Hal ini ditunjang oleh masih kurangnya fasilitas untuk melakukan kegiatan 
riset, membaca ataupun menulis. 
Sebuah survei dengan populasi dosen-dosen yang tergabung di Grup Dosen Indonesia 
menunjukkan 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai 
bersama-sama. Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, 
dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua 
orang dosen. Jadi, bagaimana kita mau berbicara hal-hal yang canggih di dunia pendidikan 
tinggi ketika sarana dasar berupa meja kerja untuk membaca, menulis, atau membimbing
46 
mahasiswa dengan layak saja masih jadi persoalan besar bagi sebagian besar dosen di 
Indonesia? 
Minimnya aktivitas dosen di dalam kampus selain untuk mengajar juga berangkat dari 
rendahnya tingkat kesejahteraan. Rendahnya kesejahteraan memaksa banyak dosen memiliki 
kesibukan ekstra menambah pendapatan, mulai jadi pengamat, buka warung, sampai menjadi 
konsultan. Dosen seharusnya bisa fokus bekerja di satu tempat. Energinya bisa dicurahkan 
secara maksimal sehingga bisa menghasilkan karya-karya ilmiah berkualitas. 
Pemerintah memang memiliki proyek sertifikasi dosen. Namun antrean dosen mengikuti 
sertifikasi ini amat panjang. Menurut data Dikti (2014) jumlah dosen di Indonesia yang 
belum tersertifikasi mencapai 61%. Jikapun sudah bersertifikasi, tunjangan profesi dihentikan 
ketika menjalankan tugas belajar. Ironisnya lagi, bagi dosen berstatus PNS, mereka juga 
didiskriminasikan dengan tidak diberikannya tunjangan kinerja yang secara umum menjadi 
hak sebagai PNS. Sementara itu, tunjangan fungsional dosen tidak pernah dinaikkan sejak 
2007 sampai sekarang. Situasi ini tentu saja sulit menarik anak-anak muda terbaik bangsa 
untuk berkarier di dunia akademik. 
Beban Administratif 
Persoalan lain juga adalah banyaknya beban administratif. Selain disibukkan dengan 
penelitian dan pengajaran, dosen juga disibukkan dengan mengisi berbagai isian dan berkas-berkas. 
Belum lupa rasanya bagaimana dunia pendidikan tinggi dihebohkan oleh kewajiban 
bagi seluruh dosen untuk mengisi Sistem Informasi Pengembangan Karier Dosen (SIPKD). 
Kewajiban tersebut membuat para dosen pontang-panting memindai berbagai berkas seperti 
SK dan berbagai sertifikat, kemudian mengunduhnya ke laman SIPKD. Akibatnya server 
jebol berulang kali dan program tersebut tak jelas rimbanya. 
Aspek-aspek administratif yang melelahkan juga akan terus terjadi sepanjang karier dosen 
dalam proses pengajuan kenaikan jabatan fungsional. Berniat naik jabatan fungsional berarti 
juga menyiapkan diri mengumpulkan berkas yang tercecer mulai dari ijazah, jurnal, SK 
mengajar, jadwal mengajar, sampai sertifikat menjadi pembicara di berbagai seminar. 
Upaya Pemerintah 
Celakanya, cara pemerintah menyikapi rendahnya kualitas dan kuantitas riset dan publikasi 
dilakukan dengan cara yang cenderung instan. Dirjen Dikti, misalnya, mengeluarkan Surat 
Edaran SE152/E/T/2012 tentang kewajiban menerbitkan jurnal ilmiah bagi mahasiswa S- 1, 
S-2, dan S-3 dengan alasan ketertinggalan dari Malaysia. Akibatnya, di berbagai kampus 
dibuatlah jurnal-jurnal tanpa proses peer review untuk menampung skripsi dan tesis 
mahasiswa. 
Namun, tak banyak program S-3 yang mengikuti kewajiban publikasi di jurnal 
internasional. Bagi yang menerapkan, ada yang kemudian asal terbit dan jatuh ke dalam 
perangkap jurnal predator.
Namun, yang harus dihargai dari upaya pemerintah adalah memberikan beasiswa kepada para 
dosen dan calon dosen. Ribuan dosen mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di dalam dan 
luar negeri baik di tingkat master dan doktoral, walaupun pengelolaan beasiswanya masih 
jauh dari harapan. Bagaimanapun, ini menjadi investasi yang luar biasa di tengah postur 
dosen Indonesia yang didominasi oleh dosen bergelar S-2 yang mencapai 59%, diikuti S-1 
(25%) dan S-3 yang hanya 11%. 
47 
Peluang 
Apakah lantas tak ada peluang bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia untuk menggeliat dan 
bangkit? Tentu saja ada. Jika jadi dibentuk, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi mesti 
mulai menata ulang dunia pendidikan tinggi. Harus ada cetak biru yang didasarkan pada akar 
persoalan di lapangan. Pembenahan infrastruktur riset, fasilitas dasar bekerja bagi dosen, 
peningkatan kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan menjadi hal yang utama. Harus 
ada juga terobosan administratif sehingga terbuka ruang bagi ilmuwan cemerlang dan anak-anak 
muda berpotensi untuk terserap menjadi dosen tetap. 
Ya, sistem rekrutmen dosen yang kaku (seperti rekrutmen birokrat) dan mengedepankan 
aspek administratif justru menghambat para ilmuwan dan calon ilmuwan cemerlang untuk 
berkarier di dunia akademik di Indonesia. Hambatan administratif ini mesti dibongkar karena 
dalam beberapa tahun ke depan Indonesia sesungguhnya akan mengalami keberlimpahan 
anak muda bertitel doktor dari dalam dan luar negeri, dari berbagai program beasiswa. 
Selain itu, terbuka pada pengembangan keilmuan yang semakin multidisiplin juga menjadi 
hal yang utama. Pendekatan jurusan/departemen secara kaku dalam proses rekrutmen dosen 
mesti digantikan dengan rekrutmen berdasarkan keahlian dan portofolio. Berdasarkan 
portofolio, seorang ilmuwan cemerlang bereputasi internasional yang telah menghasilkan 
puluhan paper di jurnal bereputasi tak harus memulai dari jenjang asisten ahli, tapi bisa 
langsung menjadi lektor kepala atau profesor. 
Jika hal-hal di atas bisa jadi komitmen pemerintahan baru, bolehlah kita berharap pada 
Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang akan dibentuk. Jika diabaikan maka yang 
terjadi hanya memindahkan masalah, atau bahkan memperpanjang jalur birokrasi pendidikan 
tinggi belaka. ● 
ABDUL HAMID 
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten; dan kandidat Doktor di Doshisha 
University, Jepang
48 
Dosen & Pengembangan UKM 
Koran SINDO 
7 Oktober 2014 
Jumlah perguruan tinggi kita 3.200 lebih, dengan 100 di antaranya PTN dan 52 perguruan 
tinggi negeri di bawah Departemen Agama, tentu saja sisanya swasta. Jumlah dosen tetapnya 
mendekati 300.000 dan hampir dua kali bila ditambah dosen tidak tetap. 
Tugas pokok dosen adalah mengajar, riset, dan melakukan pengabdian masyarakat. Apabila 
empat dosen menghasilkan satu penelitian maka hampir 75.000 judul riset dihasilkan setiap 
tahun. Ke mana saja larinya judul riset yang begitu banyak ini? Mengapa tidak menghasilkan 
perbaikan teknologi yang signifikan pada pengembangan industri? Atau mengapa industri 
kita stuck pada industri lama, misalnya batik, garmen, kayu, dan rotan, dan tentu saja industri 
makanan terutama industri makanan oleh UKM yang di antaranya banyak menggunakan zat 
berbahaya yang meledak seperti teror senjata kimia? Ke mana saja 300.000 dosen kita? 
Pertanyaan provokatif tersebut pantas direnungkan. Dan jawabannya sangat sederhana, 
sebagian besar riset dosen digunakan untuk tujuan administratif– naik pangkat. 
Mungkin kita bisa menyalahkan swasta yang lebih baik membeli lisensi riset keluar daripada 
menggunakan formula yang dengan susah payah dihasilkan para peneliti kita, kejadian ini 
misalnya di industri farmasi. Tetapi jutaan usaha swasta kita adalah UKM, tentu terlalu mahal 
bagi mereka atau tidak tahu jalan berkonsultasi kepada para dosen yang berada di dalam 
tembok-tembok universitas yang megah. 
Reformasi Pengabdian Masyarakat 
Dosen sebenarnya memiliki skema untuk turun kepada UKM-UKM dengan darma ketiga, 
yaitu pengabdian masyarakat. Tetapi darma ketiga ini merupakan darma yang dianaktirikan. 
Anggarannya jauh di bawah kegiatan penelitian, poin penghargaannya untuk naik pangkat 
yang banyak menjadi orientasi dosen juga lebih rendah, dan bahkan boleh tidak ada atau 
tidak dilakukan. Pengabdian masyarakat perlu diganti saja dengan semacam riset inovasi 
teknologi untuk industri. Dengan demikian tridarma dosen akan berubah menjadi mengajar, 
melakukan riset dasar, dan riset aplikasi atau inovasi teknologi bagi industri di jutaan UKM. 
Kalau hal ini terjadi bisa dibayangkan betapa indahnya hubungan dosen yang berada di balik 
tembok megah universitas dengan UKM-UKM. Regulasilah yang memaksa para dosen 
nongkrong di UKM-UKM, mewajibkannya melaporkan keadaannya dan tahap berikutnya 
memikirkan pengembangan baik teknologi, manajemen, akunting, marketing dengan IT-base, 
kesehatan, penggunaan bahan yang aman, tingkat kekeringan bahan dan seterusnya. Kualitas 
UKM tentu akan meningkat dan kualitas hidup kita sebagai konsumen UKM tentu akan
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014

More Related Content

Similar to Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014

(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016ekho109
 
Konstribusi pemuda pancasila jadi
Konstribusi pemuda pancasila jadiKonstribusi pemuda pancasila jadi
Konstribusi pemuda pancasila jadikerniaElvianaSari
 
PANCASILA_MENJADI_DASAR_PENGEMBANGAN_ILMU_oleh_eris_r_1.pptx
PANCASILA_MENJADI_DASAR_PENGEMBANGAN_ILMU_oleh_eris_r_1.pptxPANCASILA_MENJADI_DASAR_PENGEMBANGAN_ILMU_oleh_eris_r_1.pptx
PANCASILA_MENJADI_DASAR_PENGEMBANGAN_ILMU_oleh_eris_r_1.pptxlostsagacmd
 
PANCASILA pendidikan kewarganegaraan, Pancasila Menjadi Dasar Nilai Pengemban...
PANCASILA pendidikan kewarganegaraan, Pancasila Menjadi Dasar Nilai Pengemban...PANCASILA pendidikan kewarganegaraan, Pancasila Menjadi Dasar Nilai Pengemban...
PANCASILA pendidikan kewarganegaraan, Pancasila Menjadi Dasar Nilai Pengemban...DekyaSintya
 
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptxPancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptxDataWaruwu
 
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdfssuser5713c0
 
Paradigma Pancasila.pptx
Paradigma Pancasila.pptxParadigma Pancasila.pptx
Paradigma Pancasila.pptxFajarSyahfanilV
 
PENDIDIKAN PANCASILA - SILA PERSATUAN INDONESIA sebagai PARADIGMA KEHIDUPAN ...
PENDIDIKAN PANCASILA - SILA PERSATUAN INDONESIA sebagai PARADIGMA KEHIDUPAN ...PENDIDIKAN PANCASILA - SILA PERSATUAN INDONESIA sebagai PARADIGMA KEHIDUPAN ...
PENDIDIKAN PANCASILA - SILA PERSATUAN INDONESIA sebagai PARADIGMA KEHIDUPAN ...Ahmad Ahadi Yusuf
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016ekho109
 
1_PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA.pptx
1_PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA.pptx1_PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA.pptx
1_PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA.pptxRADwiCahyaFitria
 
Tugas 1 PKn 857081831 Vito.docx
Tugas 1 PKn 857081831 Vito.docxTugas 1 PKn 857081831 Vito.docx
Tugas 1 PKn 857081831 Vito.docxayiknina
 
Mengkaji pidato bungkarno.
Mengkaji pidato bungkarno.Mengkaji pidato bungkarno.
Mengkaji pidato bungkarno.rifaldynawawi
 
Prosiding bambang shergi
Prosiding  bambang shergiProsiding  bambang shergi
Prosiding bambang shergiSTISIPWIDURI
 
Prosiding bambang shergi
Prosiding  bambang shergiProsiding  bambang shergi
Prosiding bambang shergiiwan setiawan
 
Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa...
Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa...Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa...
Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa...Yogyakarta State University
 
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
 Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial  Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial musniumar
 
Ideologi Pancasila.pptx
Ideologi Pancasila.pptxIdeologi Pancasila.pptx
Ideologi Pancasila.pptxEkaSuwirza2
 
Memperkasakan orang asli
Memperkasakan orang asliMemperkasakan orang asli
Memperkasakan orang asliBe Susantyo
 

Similar to Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014 (20)

(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
 
Konstribusi pemuda pancasila jadi
Konstribusi pemuda pancasila jadiKonstribusi pemuda pancasila jadi
Konstribusi pemuda pancasila jadi
 
PANCASILA_MENJADI_DASAR_PENGEMBANGAN_ILMU_oleh_eris_r_1.pptx
PANCASILA_MENJADI_DASAR_PENGEMBANGAN_ILMU_oleh_eris_r_1.pptxPANCASILA_MENJADI_DASAR_PENGEMBANGAN_ILMU_oleh_eris_r_1.pptx
PANCASILA_MENJADI_DASAR_PENGEMBANGAN_ILMU_oleh_eris_r_1.pptx
 
PANCASILA pendidikan kewarganegaraan, Pancasila Menjadi Dasar Nilai Pengemban...
PANCASILA pendidikan kewarganegaraan, Pancasila Menjadi Dasar Nilai Pengemban...PANCASILA pendidikan kewarganegaraan, Pancasila Menjadi Dasar Nilai Pengemban...
PANCASILA pendidikan kewarganegaraan, Pancasila Menjadi Dasar Nilai Pengemban...
 
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptxPancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
 
Bab i pkn di pt
Bab i pkn di ptBab i pkn di pt
Bab i pkn di pt
 
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
 
Paradigma Pancasila.pptx
Paradigma Pancasila.pptxParadigma Pancasila.pptx
Paradigma Pancasila.pptx
 
PENDIDIKAN PANCASILA - SILA PERSATUAN INDONESIA sebagai PARADIGMA KEHIDUPAN ...
PENDIDIKAN PANCASILA - SILA PERSATUAN INDONESIA sebagai PARADIGMA KEHIDUPAN ...PENDIDIKAN PANCASILA - SILA PERSATUAN INDONESIA sebagai PARADIGMA KEHIDUPAN ...
PENDIDIKAN PANCASILA - SILA PERSATUAN INDONESIA sebagai PARADIGMA KEHIDUPAN ...
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
 
1_PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA.pptx
1_PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA.pptx1_PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA.pptx
1_PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA.pptx
 
Tugas 1 PKn 857081831 Vito.docx
Tugas 1 PKn 857081831 Vito.docxTugas 1 PKn 857081831 Vito.docx
Tugas 1 PKn 857081831 Vito.docx
 
Mengkaji pidato bungkarno.
Mengkaji pidato bungkarno.Mengkaji pidato bungkarno.
Mengkaji pidato bungkarno.
 
PPT DK 6.pptx
PPT DK 6.pptxPPT DK 6.pptx
PPT DK 6.pptx
 
Prosiding bambang shergi
Prosiding  bambang shergiProsiding  bambang shergi
Prosiding bambang shergi
 
Prosiding bambang shergi
Prosiding  bambang shergiProsiding  bambang shergi
Prosiding bambang shergi
 
Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa...
Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa...Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa...
Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa...
 
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
 Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial  Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
 
Ideologi Pancasila.pptx
Ideologi Pancasila.pptxIdeologi Pancasila.pptx
Ideologi Pancasila.pptx
 
Memperkasakan orang asli
Memperkasakan orang asliMemperkasakan orang asli
Memperkasakan orang asli
 

Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014

  • 1. 1 DAFTAR ISI MENATA REPUBLIK, MEMULIAKAN INTELEKTUAL Airlangga Pribadi Kusman 4 INSPIRASI Sarlito Wirawan Sarwono 7 MULIA KOK KORUP Mohamad Sobary 10 KAMPUNG, IBUNYA KOTA Budikarya Sumadi 13 MANUSIA DALAM BENCANA ASAP Hadi S Alikodra 16 NEGOSIASI RENDAH KARBON Dinna Wisnu 19 DEMOKRASI DAN BATAS KEBEBASAN Victor Silaen 22 MENIMBANG PENDIDIKAN INDONESIA Komaruddin Hidayat 25 IBUKU SAYANG IBUKU MALANG Nuraini Ahmad 28 KURBAN DAN TRANSFORMASI KESALEHAN SOSIAL Achmad M Akung 32 MENGUNGKIT IPM Ali Khomsan 36 IDUL KURBAN Sarlito Wirawan Sarwono 39 REJUVINASI SEMANGAT TRISAKTI Muchlas Rowi 42 MENGAWAL KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI Abdul Hamid 45 DOSEN & PENGEMBANGAN UKM Bambang Setiaji 48
  • 2. 2 KONFERENSI JURNALIS TV ASIA-PASIFIK; HARAPAN DAN TANTANGAN Fajar Kurniawan 51 TARGET PENINGKATAN KESEHATAN IBU & ANAK Dinna Wisnu 54 STRAWBERRY GENERATION Rhenald Kasali 57 DIPLOMASI KURBAN Ahyudin 60 BERKORBAN DEMI INDONESIA Mohamad Sobary 63 SISI GELAP DEMOKRASI Komaruddin Hidayat 66 DARI MASJID? Sarlito Wirawan Sarwono 68 DEMOKRASI YANG KSATRIA Abdul Muti 71 MENIMBANG KEBERHASILAN ORANG TUA Komaruddin Hidayat 74 PEMIMPIN YANG KHUSNUL KHATIMAH Abdul Muti 77 HIJRAH MULTIDIMENSI Faisal Ismail 80 HIJRAH DARI PENCITRAAN KE KERJA Biyanto 83 HIJRAH DEMI KESUKSESAN Ilham Kadir 86 SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA Sarlito Wirawan Sarwono 89 PUSAT KESEHATAN ATAU KESAKITAN? Dedi Mulyadi 92 KAWAN DAN LAWAN POLITIK Mohamad Sobary 96 KAKAK BERADIK YANG SALING PEDULI
  • 3. 3 Andrie Wongso 99 SUMPAH PEMUDA & PEMANFAATAN BONUS DEMOGRAFI M Arief Rosyid Hasan 101 RISIKO: DIHINDARI ATAU TAK TERHINDARKAN? Muk Kuang 104 PEMBANGUNAN SEMESTA BERENCANA Arif Budimanta 106 REVOLUSI MEDIA SOSIAL & APLIKASI MOBILE Riri Fitri Sari 109 ENTRY POINT PENGENTASAN KEMISKINAN Ali Khomsan 113 MENGAPA BEREBUT JABATAN Komaruddin Hidayat 116 APAKAH ANDA MASIH MEMIMPIN? Eliezer H Hardjo 119 GENETIC SPIRIT KAUM MUDA INDONESIA Edrida Pulungan 122 HP Sarlito Wirawan Sarwono 124 DOSA LIMA PERKARA Mohamad Sobary 127 SUSI: ANTARA STATUS, PENDIDIKAN, ROKOK, DAN TATO Dedi Mulyadi 130 PENGUKURAN KINERJA: KUNCI SUKSES KABINET JOKOWI Handi Sapta Mukti 133 TITIK BALIK Sudjito 136 MENGUKUR KEBAHAGIAAN Komaruddin Hidayat 139 SPIRIT KEMANDIRIAN MUHAMMADIYAH Biyanto 142
  • 4. 4 Menata Republik, Memuliakan Intelektual Koran SINDO 26 September 2014 Salah satu wacana yang tengah meledak menjadi kontroversi dalam pengumuman postur kabinet adalah pembelahan kabinet pendidikan dan penggabungan Ditjen Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Riset menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset. Inisiatif melahirkan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset ini di satu sisi menjadi jalan pembuka untuk memberdayakan kontribusi intelektual dalam kerja-kerja risetnya. Namun demikian, inisiatif di atas tanpa memperhitungkan persoalan pertautan relasi kuasa politik dan intelektual tidak akan memberikan pengaruh besar bagi penguatan peran intelektual bagi pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Enam belas tahun era reformasi telah berkali-kali kita dipertontonkan oleh janji-janji politik dan bongkar-pasang kebijakan. Di tengah perubahan pada tiap-tiap pemerintahan, pemimpin masih absen melakukan inisiatif untuk memanfaatkan peran dan kontribusi dari kalangan intelektual, akademisi, maupun peneliti dalam memberikan solusi dan kritik secara integratif terhadap perjalanan pembangunan dan penataan negara (state building). Adalah benar bahwa selama ini pemerintah baik pihak eksekutif maupun legislatif menyertakan kalangan akademisi dalam pembuatan undang-undang. Kementerian selalu melibatkan akademisi dalam memoles kebijakan, pemerintahan daerah juga mengajak kalangan intelektual dalam penyusunan peraturan daerah dan kebijakan di tingkat lokal. Namun demikian, yang dibutuhkan untuk penataan negara dan perumusan agenda pembangunan nasional lebih dari hal itu. Peran-peran intelektual dan akademisi dalam proses bina negara (statecraft) jauh dari memadai ketika ditempatkan pada peran-peran peripheral seperti di atas yang kerap hanya diposisikan sebagai pemberi legitimasi dari arahan kebijakan yang menjadi turunan agenda politis dari elite-elite yang berkuasa. Seperti diutarakan oleh Daniel Dhakidae dan Vedi R Hadiz (2005) bahwa posisi kalangan intelektual sejak era rezim Soeharto telah ditempatkan secara struktural sebagai instrumen atau tukang dari kekuasaan politik, yang mengintervensi kehidupan pendidikan dan pengetahuan serta memotong kalangan intelektual dari basis-basis sosial yang memungkinkan mereka bersikap kritis dan berperan independen. Runtuhnya “raja besar” Soeharto yang tidak mengubah pola-pola relasi ekonomi-politik Indonesia pasca-otoritarianisme dan lahirnya raja-raja baru di tingkat lokal maupun oligarki-oligarki nasional baru yang muncul dari proteksi ekonomi-politik sejak era Soeharto. Dalam konstelasi politik baru inilah, sebagian besar kalangan intelektual berkumpul dan berkerumun
  • 5. 5 di seputar aliansi-aliansi politik-bisnis baru menjadi bagian integral di dalamnya sebagai kekuatan hegemoni yang memproduksi pengetahuan dan legitimasi terhadap manuver-manuver para elite politik maupun korporasi. Akibat relasi intelektual dan aliansi oligarki ini fatal bagi dunia akademik. Hal ini tampak dari laporan yang dilansir oleh UNESCO pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kontribusi peneliti Indonesia dalam penerbitan jurnal ilmiah bahasa Inggris di Asia Tenggara selama periode 1998-2008 (10 tahun) sangatlah minim, tercatat kontribusi intelektual Indonesia (5.212) di bawah Malaysia (14.731), Singapura (51.762), Thailand (23.163), dan hanya sedikit di atas Vietnam (5070) maupun Kamboja (401). Rendahnya kontribusi ilmiah dari kalangan intelektual Indonesia ini juga tidak dapat dilepaskan dari rendahnya Growth Expenditure of Research and Development (GERD) atau bujet anggaran berbanding GDP untuk riset dari negara yang masih di bawah 1% (Riefqi Muna, 2014). Filosof Raja Untuk mempertimbangkan kembali betapa pentingnya peran kalangan intelektual, ilmuwan, dan peneliti dalam penataan republik, maka hendaknya kita memikirkan kembali konsep dari kebijaksanaan filosofis tua dari Plato yakni raja filosof (philosopher king). Dalam pemahaman umum selama ini pengertian raja filosof sebatas konsep pemerintahan tentang tatanan negara yang dipimpin oleh seorang raja yang cerdas dan pintar, seperti profesor menjadi presiden. Padahal, konsep raja filosof tadi memiliki makna yang lebih luas yakni bahwa sebuah negara akan mampu memberikan kemajuan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi rakyatnya ketika pemimpinnya memuliakan kalangan intelektual dan menempatkan hasil riset dan pengetahuan mereka sebagai pandu bagi perjalanan penataan republik dan pembangunan, bukan sebaliknya. (Plato 2013, Muthahhari 1996). Kebutuhan mendesak kepemimpinan nasional saat ini terkait dengan relasi antara intelektual dan kuasa negara adalah bagaimana negara mampu memobilisasi dan mengonsolidasikan kalangan ilmuwan untuk memberi arah dan orientasi pembangunan nasional (Jeffrey Sachs 2011). Kalau kita ambil contoh untuk merealisasikan tujuan pembangunan mencapai kedaulatan pangan, hal itu tidak bisa dilakukan tanpa mengonsolidasikan kontribusi integratif dari kaum intelektual yang berbasis di universitas. Program kedaulatan pangan membutuhkan riset di bidang ekonomi-politik untuk melihat relasi produktif yang terjalin antara petani, aparat pedesaan, para penghubung komoditi dan struktur politik desa, riset ekonomi kerakyatan untuk memahami misalnya bagaimana pemberdayaan koperasi sebagai institusi produksi bagi petani, riset teknologi- industri untuk penyediaan infrastruktur perangkat modern pertanian bagi petani, riset agraria terkait pemberdayaan kapasitas produksi dan struktur kepemilikan tanah.
  • 6. Persoalannya adalah reformasi kelembagaan dengan penataan postur kabinet ini masih belum cukup untuk menjadi formula solutif bagi pemberdayaan kaum intelektual. Tatanan ekonomi-politik 6 Indonesia pasca-otoritarianisme menyisakan relasi-relasi pemanfaatan akses terhadap sumber daya publik dan kekuasaan bagi kepentingan segelintir oligarki, di mana intelektual kerap menjadi tukang dari manuver-manuver oligarki. Satu hal yang patut diamati secara kritis, bukanlah tidak mungkin kepentingan privat yang mendistorsi kontribusi intelektual ini menyelinap lincah dalam desain kelembagaan yang direformulasi oleh pemerintahan Jokowi-JK. ● AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya; Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University, Australia
  • 7. 7 Inspirasi Koran SINDO 28 September 2014 Sarapan saya setiap hari adalah infotainment. Bagaimana tidak? Di depan meja makan kami (istri saya dan saya) ada layar TV plasma yang tergantung di dinding. Biasanya saya sudah kenyang nonton berita CNN di pesawat TV lain di ruang kerja saya sejak 03.00 pagi dan pada 04.30 pindah ke TV nasional. Jadi, pas sarapan, apa pun makanannya, atraksinya selalu infotainment. Salah satu topik yang sedang banyak ditayangkan infotainment belakangan ini adalah kisah selebritas remaja yang sedang naik daun, Prilly Latuconsina. Kabarnya dia cinlok (buat pembaca yang gak gaul, cinlok itu artinya cinta lokasi) dengan teman mainnya di salah satu sinetron, Aliando Syarif, walaupun konon kabar burung ini sudah dibantah. Tapi cinlok beneran atau bohongan, buat saya, tidak penting. Yang ingin saya ceritakan adalah ketika Aliando Syarif, di hadapan Prilly, secara spontan dengan gitarnya menciptakan lagu cinta yang indah buat Prilly. Dalam psikologi, inilah yang namanya ”inspirasi”. Prilly telah memicu inspirasi (motivasi yang memunculkan gagasan sehingga menjadi karya) Aliando sehingga cowok ini bisa menuangkan bakatnya yang paling top ke dalam lagu dan syair yang top juga (top menurut penggemarnya, loh; buat saya jujur saja, gak nyambung, karena genre musik saya beda dari musik Aliando). Nah, kalau kemudian ada produser yang terinspirasi oleh lagu Aliando tadi, dalam waktu tidak lama lagi lagu itu akan membanjiri belantika musik pop Indonesia. *** Selasa malam yang lalu, tanggal 23 September 2014, saya diundang KORAN SINDO yang menyelenggarakan sebuah acara yang mereka namakan ”Malam Apresiasi Inspirasi Indonesia 2014” di sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Saya datang dengan rasa ingin tahu yang besar (sebagai ilmuwan modal saya cuma keingintahuan). Di situ saya bertemu dengan Prof Komaruddin Hidayat yang sesama kolumnis tetap di KORAN SINDO. Beliau ternyata juga tidak tahu acara apa ini dan datang karena sangat ingin tahu, sama seperti saya (karena itulah beliau jadi profesor, kalau modal beliau enggak mau tahu, mungkin sekarang beliau sudah jadi politisi). Ternyata, sesuai dengan judulnya, malam itu adalah ajang pemberian penghargaan kepada 11 orang Indonesia yang dianggap inspirator buat bangsa ini. Ke-11 orang itu (tentunya sesudah melalui saringan dan ujian yang ketat) adalah campuran dari orang-orang dari berbagai
  • 8. 8 daerah (termasuk Jakarta), usia (dari umur 20-an sampai 70-an), laki-laki dan perempuan, serta aneka bidang karya. Ada pembalap mobil (Rio Haryanto), ada pengusaha kosmetika (Martha Tilaar), ilmuwan yang mengonservasi kupu-kupu (Dr Herawati Soekardi), dan seterusnya. Dengan segala hormat, kepada ke-11 pemenang penghargaan tersebut, saya tidak hendak menyebut mereka satu per satu dengan prestasi masing-masing karena yang ingin saya bicarakan adalah ”inspirasi”-nya, bukan orangnya. Tapi untuk membicarakan inspirasi itu, mau tidak mau saya harus menggunakan contoh konkret. Maka dari 11 pemenang itu, saya bikin lotre sendiri dan yang terpilih secara acak adalah Muhamad Arif Kirdiat, relawan kampung dari Banten. Arif, bersama dengan sejumlah temannya dari berbagai kalangan (mulai dari karyawan sampai bankir), sejak 2009 fokus pada perbaikan jembatan-jembatan antarkampung yang di Banten (dan di daerah lain se-Indonesia tentunya) banyak yang rusak, hampir putus, bahkan sudah putus sama sekali. Saya sering melihat di TV betapa ibu-ibu, pedagang, petani, bahkan anak sekolah, harus melewati jembatan gantung yang bergoyang-goyang hampir putus, tetapi tetap dilalui juga. Di tempat lain, mereka menyeberang sungai yang arusnya cukup deras dengan menggulung celana atau roknya, anak-anak sekolah menjinjing tas sekolahnya di atas kepala supaya tidak basah, sepatu dibungkus plastik, karena jembatan di situ sudah lama putus dan tidak ada perbaikan dari pemerintah. Kalau mereka tidak nekat menyeberang, mungkin mereka harus berjalan memutar beberapa kilometer. Arif terinspirasi oleh keadaan itu. Sama keadaan jiwanya dengan Aliando ketika terinspirasi oleh Prilly. Bedanya adalah Aliando membuat lagu, Arif membuat jembatan. Maka dia mengajak kawan-kawannya untuk membentuk kelompok Relawan Kampung yang visi dan misinya adalah memperbaiki jembatan-jembatan agar mobilitas masyarakat bisa lebih optimal yang dampaknya langsung akan meningkatkan kesejahteraan, taraf kehidupan, dan kecerdasan mereka. Luar biasa! Saya sering menonton TV tentang jembatan-jembatan yang rusak atau putus, tetapi tidak terinspirasi, karena minat, bakat, dan profesi saya memang bukan di situ. Sama juga jika saya ketemu Prilly berduaan, tidak mungkin saya menciptakan lagu apa-apa karena minat saya bukan pada Prilly dan bakat saya bukan menciptakan lagu. Jadi harus ada sinergi antara beberapa faktor (dalam ilmu disebut ”variabel”) agar orang terpicu inspirasinya dan selanjutnya inspirasi itu bisa tertuang dalam suatu karya tertentu. Yang menjadi pertanyaan saya kemudian adalah mengapa inspirator- inspirator hebat ini tidak menginspirasi pemerintah, khususnya pemerintah daerah? Mengapa justru KORAN SINDO (sebuah media massa biasa) yang mendongkrak mereka ke permukaan agar menginspirasi wargabangsa yang lain? Ke mana pemerintah? Para inspirator ini telah melakukan hal-hal yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang mencerdaskan bangsa, dan yang mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
  • 9. 9 Semua itu dengan kekuatan sendiri, modal sendiri, duit sendiri. Sama sekali tidak makan duit rakyat, tidak minta imbalan posisi menteri, tidak memerlukan peningkatan pajak, dan penurunan subsidi BBM, toh berhasil. Mengapa para pejabat pemerintah dan PNS tidak terinspirasi? Konon triliunan rupiah per tahunnya telah dihabiskan pemerintah untuk rapat-rapat. Apa yang dihasilkan oleh rapat-rapat itu? Pantaslah kalau akhirnya begitu banyak pejabat yang harus mengakhiri kariernya sebagai tersangka KPK. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 10. 10 Mulia Kok Korup Koran SINDO 29 September 2014 Memberi makan anak yatim, yaitu golongan lemah di dalam masyarakat, merupakan kewajiban agama. Memberi makan di sini bukan hanya makan, tetapi juga menyediakan segenap penghidupan lain. Menyayangi mereka, memberi mereka rumah atau tempat tinggal yang layak, dan pendidikan agar mereka menjadi manusia secara utuh, yaitu manusia biologis, manusia sosial, manusia berbudaya, dan religius. Tidak keliru bila orang yang bersembahyang disebut celaka sembahyangnya bila dia beragama dan tertib menjalankan salat, tapi mengabaikan kaum miskin dan tak memberi mereka yang lapar itu makanan. Ketika kita dicekam ketegangan menjelang tahun 1965, yang dalam kajian ilmu- ilmu sosial disebut zaman cultural schism, yaitu kehidupan yang penuh perpecahan budaya, ayat ini pernah dikorup untuk menjelekkan kaum beragama dengan memotong sepenggal ayatnya sehingga tak komplet: maka celakalah orang-orang yang bersembahyang. Yang melakukan korupsi ayat ini pun menegaskan: ini bunyi kitab suci, Surat Al-Maun. Padahal, utuhnya, celakalah orang yang bersembahyang, yang tak menaruh peduli, seperti disebut sedikit di atas, kepada kaum miskin. *** Organisasi sosial keagamaan yang besar, Muhammadiyah, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan demi panggilan ayat tersebut. Tidaklah memahami agama bila kita hanya menghafal ayat tersebut, tetapi tidak mampu mengamalkannya. Begitu argumen beliau. Memberi tempat, pendidikan, dan kehidupan bagi anak yatim dan kaum miskin itu perintah agama. Jadi, jelas merupakan sebuah kemuliaan. Kalau mereka diberi pendidikan secukupnya, lalu dilatih bekerja, dan menjadi kaya, itu amal saleh demi perintah agama. Di sini memperkaya orang lain dianggap sebuah kemuliaan. Derajatnya mulia di bumi, mulia di langit. Mulia di dunia ini, mulia pula di hari akhir. Membikin longgar bagi orang lain yang dalam kesempitan, sempit sosial, sempit politik, sempit ekonomi, itu perbuatan mulia. Menolong orang lain untuk memperoleh lapangan kerja, itu amal mulia. Meminjami orang lain modal untuk membuka warung, restoran, atau kafe, pendeknya untuk berbisnis, itu termasuk kategori amal saleh dan amal saleh seperti itu mulia sekali. Jika orang bersangkutan menjadi kaya dan kita, yang memberi pinjaman modal tadi disebut memperkaya orang lain, itu mulia di atas mulia. Jaranglah ada bandingan yang setara dengan kemuliaan itu.
  • 11. Kredit untuk rakyat kecil jarang yang berhasil memperkaya mereka. Kredit usaha menengah pun jarang yang bisa membuat penerima kredit tadi memperoleh sukses besar yang layak menjadi contoh. Kalau ada yang sukses, itu pun harus didaftar sebagai bagian dari kemuliaan duniawi yang dampaknya jauh sekali ke dunia yang akan datang dan balasan bagi kemuliaan itu luar biasa besarnya. Kita perlu memperbanyak kemuliaan di sekitar kita. Banyak orang yang sudah melakukannya. 11 Rumah singgah, yang memberi pendidikan kepada anak-anak jalanan, itu kemuliaan. Kalau beberapa di antara mereka kelak bisa maju, pendidikan mereka tinggi, lalu mereka sukses dalam kehidupan, mulialah usaha itu. Mulia tanpa bandingan pula karena hanya sedikit jumlah amalan seperti itu dan yang sedikit itu hanya kecil, lebih sedikit, yang sukses. *** Zaman Reformasi ini dipenuhi semangat membikin baru begitu banyak segi kehidupan. Apa yang dulu boleh dan berjalan aman sekarang digugat demi cara pandang yang lebih adil, lebih demokratis, lebih manusiawi. Kaum tua yang sudah mapan lebih dari 30 tahun dalam kekuasaan Orde Baru yang dianggap setengah suci terkaget-kaget menghadapi semangat reformasi. Memperkaya diri sendiri, dipandang dari sudut Undang-Undang Antikorupsi, tidak boleh. Itu termasuk korupsi. Memperkaya orang lain itu mulia dan terpuji, mungkin setinggi langit, tapi sekarang dianggap bagian dari tindak pidana korupsi. Memperkaya orang lain dianggap korupsi? Tindakan mulia itu dianggap korup? Ya, ya. Jelas korup kalau yang menyebabkan orang lain menjadi kaya itu seorang pejabat yang menggunakan fasilitas negara, kebijakan negara, aturan negara, dan uang negara untuk seseorang. Di sini, seseorang itu boleh siapa saja, tak peduli itu istrinya, anaknya, saudara kandungnya, pamannya, atau mertuanya, bahkan musuh politiknya. Memperkaya musuh politik itu kelihatannya merupakan suatu perbuatan hebat. Tapi kehebatan itu dianggap termasuk dalam tindakan pidana korupsi. Memperbanyak jumlah dana khusus untuk menteri, agar sang menteri bisa berbelanja secara leluasa dengan dana tersebut, tidak salah kalau ada aturan yang menyatakan hal itu benar. Kalau dana dihimpun dari berbagai pihak, termasuk pihak swasta, jadi tak merugikan uang negara? Uang swasta pun harus diwaspadai. Swasta yang bagaimana? Dia menyumbang secara sukarela? Dia memiliki kepentingan bisnis dengan sang menteri? Sumbangan itu mulia. Tapi jika di belakangnya ada unsur kepentingan bisnis, kemuliaan itu diragukan. Bahkan langsung tak bisa diterima.Itu kemuliaan yang mengandung unsur kongkalikong, yang pada akhirnya bisa merugikan kepentingan negara. Apalagi bila pihak swasta tadi ternyata kemudian mengaku dia diperas sang menteri secara habis-habisan, termasuk dengan berbagai ancaman. Dia tak berdaya.
  • 12. 12 Menyumbang seorang menteri agar yang mulia menteri bisa leluasa berbelanja, itu mulia sekali dilihat dari satu sudut. Tapi dilihat dari sudut KPK itu durjana karena “mulia kok korup”. Mulia ya mulia, korup ya korup. Dua-duanya menghuni wilayah moral-politik yang berbeda. Jangan dicampuradukkan begitu saja. Menyumbang panitia pembangunan rumah ibadah dengan jumlah besar dan diumumkan lewat siaran televisi bahwa seorang hamba Allah dengan tulus ikhlas menyumbang sejumlah besar uang, itu mulia di mata panitia pembangunan yang sudah lelah mencari dana. Tapi tunggu dulu. Siapa yang mengaku “hamba Allah” itu? Apa pekerjaannya, apa jabatannya, di mana kantornya. Semua harus jelas. Bahkan semua catatan dan bentuk transaksi keuangannya harus diteliti. Kalau dia ternyata menyumbang dengan uang negara yang untuk beberapa lama sudah dianggap miliknya dan sebagian sudah dinikmatinya, tetapi sebenarnya itu uang negara juga, para ahli di bidang antikorupsi niscaya paham bahwa amal saleh itu batil. Kedudukannya bukan lagi merupakan suatu corak kesalehan, tapi termasuk korupsi. Kesalehan ya kesalehan. Itu amal mulia dan umat beragama didorong untuk terus melakukannya. Tapi korupsi ya korupsi. Tindakan itu harus dibatasi. Pelakunya diadili dan dihukum. KPK yang harus melakukannya tanpa henti, tanpa kenal lelah. Mulia ya mulia. Tapi tak boleh ada unsur korupsi di dalamnya. Mulia kok korup. ● MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
  • 13. 13 Kampung, Ibunya Kota Koran SINDO 30 September 2014 Masalah permukiman kumuh seolah-olah telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, terutama di perkotaan, seperti DKI Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. Pada umumnya, sekelumit problem permukiman kumuh di perkotaan mudah sekali dijumpai dalam area yang dinamakan kampung. Istilah kampung sering dikontraskan dengan perumahan real estat yang penghuninya didominasi masyarakat miskin, warga biasa, atau wong cilik (Setiawan, 2010: 12). Kurang dan lemahnya aset masyarakat kampung tersebut menyebabkan jaring-jaring kemiskinan muncul dan disertai dengan kondisi rumah yang tidak layak huni. Secara fisik, wajah kampung kota hanya dipandang sebagai bentukan ruang yang padat tanpa ketersediaan ruang terbuka karena himpitan bangunan rumah masyarakat, minimnya akses infrastruktur dasar sebagai penunjang, pendorong, dan pelengkap kehidupan para penghuninya, serta mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor informal yang kondisi ekonominya terbilang perlu upaya tindakan stimulan agar kehidupannya menjadi lebih baik. Kampung Tematik Jadi Solusi Dalam kondisi yang memiriskan, kampung memiliki daya tarik untuk dikaji lebih dalam oleh beberapa organisasi nonpemerintah (NGO) maupun akademisi untuk mengetahui seluk-beluk dan solusi inovatif dalam menjawab tantangan pertumbuhan luasan permukiman kumuh. Hal ini dapat dilihat dari kampung-kampung di Yogyakarta terutama di bantaran Sungai Code, Sungai Winongo, dan Sungai Gadjahwong. Walaupun menjadi lokasi studi berkaitan dengan kemiskinan dan kekumuhan, masyarakat kampung tak dapat dimungkiri memiliki kekuatan untuk mengubah tatanan lingkungannya melalui perencanaan kampung-kampung tematik sesuai dengan potensi dan komoditas utama yang dimiliki kampung tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kampung-kampung di berbagai daerah seperti Kota Surabaya (Kampung Lontong, Kampung Limbah, Kampung Batik), Kota Yogyakarta (Kampung Batik, Kampung Wijilan/Gudeg, Kampung Jamu, Kampung Backpakers, Kampung Wisata Sungai, Kampung Daur), dan DKI Jakarta (Kampung Panggung, Kampung Stasiun, Kampung Kampus, Kampung Tekstil).
  • 14. Bahkan penamaan kampung-kampung tersebut (kampung tematik) atau karakteristik kekhasan dan kekuatan lokal mampu dioptimalkan fungsinya menjadi aset wisata untuk mendatangkan wisatawan. Jepang, misalnya, memiliki perencanaan ruang di bidang ekonomi dengan nama One Village One Product atau satu desa satu produk guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak hanya sektor perumahan, melainkan juga mencakup berbagai sektor. 14 Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dikatakan sebenarnya keberadaan kampung sangat berpotensi dikembangkan dan mampu menjadi sebuah wajah dan identitas kota. Mengutip pendapat Romo Mangun, kampung adalah ibunya kota dan hal itu benar adanya lantaran adanya hubungan antara tatanan kampung dan kesejahteraan penghuninya dengan masa depan kota tersebut. Wajah kota yang dapat diinterpretasikan oleh keberadaan kampung menjadi mutlak untuk ditata dan berguna baik dari segi fisik, ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan kampung tersebut. Di sisi lain, karakteristik masyarakat kampung kota yang mengutamakan kegotongroyongan menjadi kelebihan tersendiri dalam mengupayakan peningkatan kualitas kampung kota. Bahkan tingkat sosial masyarakat kampung kota dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan masyarakat perkotaan pada umumnya. Bahkan secara konseptual, budaya hidup saling gotong-royong di kampung selalu diposisikan sebagai modal sosial yang mampu berkontribusi untuk mengakselerasi tujuan-tujuan pembangunan kemasyarakatan. Sejauh ini, berbagai aktor pemangku kebijakan bidang perumahan telah berupaya memenuhi kebutuhan perumahan layak huni. Berbagai pendekatan yang telah dilakukan dengan melihat keberhasilan dari negara- negara penggagas seakan menjadi penggairah stakeholders untuk diadopsi ke daerah-daerah Indonesia. Proses adopsi maupun adaptasi dari berbagai benchmark keberhasilan negara-negara lain sudah banyak dilakukan. Hanya saja, implementasinya di lapangan kerap menemui halangan karena beberapa alasan seperti kondisi geografis, masyarakat penghuni kampung, kapasitas baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA), serta tataran birokrasi yang mampu memperlama pelaksanaan bahkan meniadakan perencanaan. Dengan kata lain dapat disebutkan, perbedaan karakteristik antarnegara membuat upaya adopsi dan adaptasi keberhasilan negara-negara lain tidak secara given menghadirkan problem solving terhadap kompleksitas permasalahan perumahan tersebut. Sudah saatnya mengubah pola pikir yang saat ini mengacu pada program-program yang telah dilaksanakan negara-negara maju yang sarat dengan adidaya teknologi dan SDM dengan memanfaatkan potensi lokal. Karena pada akhirnya mereplikasi program-program luar dianggap tidak begitu mampu memberikan hasil dalam penyelesaian permasalahan perumahan secara komprehensif.
  • 15. Salah satu alternatif yang dianggap mampu menjadi solusi inovatif adalah menggunakan pendekatan lokalitas. Pendekatan ini mengupayakan pemanfaatan segala sumber daya lokal dengan tujuan meningkatkan kualitas yang tidak hanya pada sektor papan saja, tetapi meluas hingga ekonomi dan lingkungannya sehingga lebih ada kejelasan bentuk jaminan kesejahteraan bagi masyarakat. Pendekatan lokal yang pernah menjadi kekuatan bagi Indonesia dan merupakan salah satu program untuk direplikasi di negara lain seperti Kampoeng Improvement Program atau lebih dikenal dengan nama KIP. Program unggulan ini awalnya hanya dilakukan di dua kota sebagai pilot project, yaitu Jakarta dan Surabaya. Program tersebut menggunakan pendekatan tribina yang meliputi bina manusia, usaha, dan lingkungan. Harmonisasi ketiga bina inilah yang menjadi kekuatan untuk memecahkan penanganan permukiman kumuh dan pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak huni dengan diimbangi peningkatan ekonomi demi mewujudkan keberlanjutan kehidupan masyarakatnya. 15 Bahkan kesuksesan program KIP telah menginspirasi Thailand untuk mengadopsi program KIP dengan nama sendiri, yaitu Program Baan Mankong, oleh Community Organization Development Institute/CODI pada 2000. CODI merupakan organisasi otonom publik di bawah pengawasan Kementerian Pembangunan Sosial dengan tujuan mendukung dan memberdayakan organisasi masyarakat dan jaringan dalam meningkatkan taraf hidup, meningkatkan pendapatan, penyediaan perumahan, dan perbaikan lingkungan anggotanya. Keberhasilan CODI dalam mereduksi berbagai problem perumahan di Thailand seperti reduksi hunian tidak layak dan permukiman kumuh dengan berbasis lokalitas menunjukkan akomodasi terhadap sumber daya lokal secara empiris mampu mengakselerasi pencapaian tujuan pembangunan. Pendekatan lokalitas yang melibatkan banyak aktor dan nilai-nilai lokal berpotensi melahirkan resistensi publik yang lebih kecil. Sebaliknya justru akomodasi terhadap sumber daya lokal tersebut lebih memicu terbentuknya legitimasi kebijakan yang datang tidak hanya dari kelompok sasaran program, melainkan juga dari seluruh elemen yang terlibat dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan perumahan.
  • 16. 16 Manusia dalam Bencana Asap Koran SINDO 1 Oktober 2014 Ada asap ada api. Begitulah peribahasa yang amat populer di Indonesia. Peribahasa ini biasanya diucapkan orang ketika ada suatu masalah yang penyebabnya tidak jelas. Dengan peribahasa itu, orang yang yakin bahwa misteri masalah itu akan terkuak. Karena itu, peribahasa ada asap ada api menggambarkan bahwa segala sesuatu pasti ada sebab akibatnya. Hari-hari ini di Riau dan Kalimantan Timur asap yang berasal dari hutan terus mengepul dan “migrasi” ke mana-mana. Ke kampung, ke kota, ke bandara, bahkan ke Singapura dan Malaysia. Tak ada orang yang bisa menghalangi “migrasi” asap. Ia akan migrasi ke mana pun arah angin berembus. Tapi, kali ini ada persoalan besar yang muncul. Asap itu “menggelapkan” bandara di Singapura dan Malaysia. Ini sangat berbahaya karena bisa membuat celaka pesawat terbang. Singapura dan Kuala Lumpur mengeluh dan protes kepada Jakarta karena banyak asap yang “migrasi” dari Indonesia ke wilayah mereka. Tapi, apa yang bisa dilakukan Indonesia? Nyaris mustahil menyetop migrasi asap tersebut. Pinjam istilah Jusuf Kalla, cawapres terpilih, Singapura dan Kuala Lumpur seharusnya tidak perlu protes karena dalam satu tahun mereka lebih banyak mendapat migrasi udara segar dan banyak oksigen dari hutan di Sumatera dan Kalimantan ketimbang migrasi udara berasap tersebut. Yang seharusnya mereka lakukan, bagaimana membantu mengatasi kebakaran hutan di dua pulau itu dengan menegur keras para pengusaha perkebunan sawit mereka yang nakal. Ini karena pengusaha-pengusaha perkebunan sawit dari dua negara tetangga tadi menjadi pemicu kebakaran hutan akibat mencari cara land clearing dengan mudah dan murah yaitu membakar hutan! Memang benar, kebakaran hutan bisa terjadi secara alami. Penyebabnya beragam. Petir, letusan gunung api, dan batu bara dangkal bisa menjadi penyebab kebakaran hutan. Di negara-negara subtropis, faktor-faktor alam tersebut di atas menjadi penyebab utama kebakaran hutan. Petir misalnya sering menjadi pemicu kebakaran di negara-negara subtropis. Hampir 50% kebakaran hutan di Kanada penyebabnya adalah petir. Di wilayah Rocky Mountain, Kanada, 65% penyebab kebakaran hutan adalah petir itu tadi. Tapi, kondisi seperti itu nyaris tak mungkin terjadi di Indonesia yang beriklim tropis. Kenapa? Karena, muncul petir di Indonesia hampir selalu berbarengan dengan muncul hujan. Dengan demikian, kilatan api dari petir yang bisa menimbulkan kebakaran hutan “ternetralisasi” oleh muncul hujan sehingga kebakaran hutan tidak berkembang luas.
  • 17. Kebakaran hutan juga sering dipicu letusan gunung berapi. Aliran lahar panas misalnya sering menjadi pemicu kebakaran hutan di lereng-lereng gunung berapi. Meletusnya Gunung Merapi misalnya menjadi penyebab utama kebakaran hutan di desa-desa sekitar lereng gunung tersebut. Kebakaran hutan di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah pada Oktober 2010 misalnya akibat turun awan panas “wedus gembel“ yang berasal dari letusan Merapi. 17 Sedangkan batu bara dangkal (yang terdeposit beberapa meter dari permukaan tanah) juga acap menjadi pemicu kebakaran hutan. Pada kondisi cuaca kering dan panas, deposit batu bara ini memanas sehingga melampaui titik bakarnya. Akibat itu, bahan bakar yang ada di atas permukaan tanah seperti daun, ranting, dan kayu kering terbakar. Fenomena ini banyak terjadi di Kalimantan dan Sumatera - dua pulau yang terkenal sebagai penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Tapi, betulkah kebakaran hutan penyebab utamanya adalah iklim kemarau? Nanti dulu. Berbagai studi dan analisis lembaga-lembaga kajian, baik LSM, perguruan tinggi, maupun riset-riset independen menyimpulkan hampir 100% kebakaran hutan di Indonesia disebabkan perbuatan manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja. Lebih jauh lagi, kebakaran hutan itu disebabkan perbuatan manusia yang disengaja. Penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 1998 di 10 wilayah di Sumatera dan Kalimantan seperti Lampung, Jambi, Sumbagsel, Riau, Kalbar, dan Kaltim menemukan bahwa penyebab secara langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah (a) api yang sengaja dipakai untuk pembukaan hutan (land clearing); (b) api yang sengaja dipakai untuk menyelesaikan masalah dalam konflik tanah dan lahan; (c) api yang dipakai untuk ekstraksi sumber daya alam (industri); dan (d) penyebaran api secara tidak sengaja. Sedangkan penyebab kebakaran hutan secara tidak langsung adalah (a) penguasaan lahan; (b) alokasi penggunaan lahan; (c) insentif/disentif ekonomi; (d) degradasi hutan dan lahan; (c) dampak perubahan karakteristik kependudukan; dan (f) lemahnya kapasitas kelembagaan (Syaufina, 2008). Jelas sekali, penyebab utama kebakaran hutan adalah kegiatan manusia dalam penyiapan lahan dan konversi lahan hutan menjadi nonhutan. Kegiatan tersebut sebagian besar dilakukan perusahaan perkebunan. Dalam beberapa tahun terakhir, kebakaran hutan ini sudah demikian meluas hingga menghanguskan hutan lindung dan hutan konservasi. Kondisi tersebut jelas sangat memprihatinkan. Jika pada 1980-an laju deforestasi mencapai 1 juta hektare per tahun, pada era 1990-an laju deforestasi itu mencapai 1,7 juta hektare per tahun. Menurut catatan Kementerian Kehutanan pada 2006, laju deforestasi bahkan telah mencapai 2,83 juta hektare per tahun atau sekitar 3-5 hektare (3-5 kali luas lapangan sepak bola) per menit. Jika kondisi yang amat memprihatinkan itu tidak bisa dicegah, Indonesia dalam 50 tahun ke depan akan kehilangan hutan dan berubah menjadi negeri kering kerontang yang panas, berdebu, dan kering tanpa
  • 18. 18 air. Dalam kaitan “asap di Singapura dan Malaysia” itu kemudian terungkap apa dan siapa saja yang sering membakar hutan. Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menyatakan, delapan dari 14 perusahaan yang diduga kuat membakar lahan dan hutan di Riau berasal dari Malaysia dan Singapura. Semua perusahaan negara tetangga itu bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Mereka antara lain PT Langgam Inti Hiberida (Malaysia), PT Bumi Raksa Sejati (Singapura), PT Tunggal Mitra Plantation (Malaysia), PT Udaya Loh Dinawi (Malaysia), PT Adei Plantation (Malaysia), PT Jatim Jaya Perkasa (Singapura), PT Multi Gambut Industri (Malaysia), dan PT Mustika Agro Lestari (Malaysia), PT Bumi Reksa Nusa Sejati (Singapura), PT Sumatera Riang Lestari (Singapura), dan PT Sakato Prama Makmur (Singapura). Balthasar mendesak Pemerintah Singapura dan Malaysia menghukum mereka jika nanti terbukti terlibat dalam pembakaran hutan (22/6/2013). Salah satu perusahaan perkebunan sawit asal Malaysia, PT Adei Plantation, misalnya sudah lama ditengarai penduduk dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat sebagai pembakar hutan. Saat ini PT Adei sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri Pelalawan. Rupanya PT Adei ini pada 2003 pernah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bangkinang dan pengadilan menetapkan manajer mereka Mr Goby divonis empat tahun. Tapi, Mr Goby tidak pernah masuk penjara. Ia lari ke Malaysia dan anehnya perusahaan mereka masih beroperasi dan terus membakar hutan sampai sekarang. Udara berasap akibat kebakaran hutan memang bencana bagi manusia. Tapi, ada lagi bencana besar bagi manusia jika hutan tropis terbakar yaitu musnahnya kekayaan biodiversitas (keanekaragaman jenis hayati). Hutan tropis Indonesia diketahui menyimpan 70% lebih kekayaan biodiversitas yang ada di muka bumi. Kekayaan biodiversitas ini aset nasional yang amat mahal untuk pembangunan masa depan, terutama untuk pangan dan obat-obatan. Jika salah satu program unggulan pemerintahan Jokowi-JK adalah kemandirian pangan dan pembangunan kesehatan, kekayaan biodiversitas adalah penunjang utamanya. ● HADI S ALIKODRA Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, Mantan Wakil Ketua Bapedal
  • 19. 19 Negosiasi Rendah Karbon Koran SINDO 1 Oktober 2014 Adu kuat kepentingan antara satu koalisi melawan koalisi lain bukanlah monopoli kehidupan politik di negara kita. Adu kuat kepentingan satu negara terhadap negara lain atau satu kelompok kelas tertentu dengan kelas lain adalah bagian dari sejarah peradaban manusia. Kita dapat melihat ketika para pihak yang saling bertarung kepentingan mencapai kata kesepakatan untuk mencapai sebuah perdamaian, ada hal-hal positif yang dihasilkan, termasuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya apabila para pihak yang bertikai tidak menemukan jalan untuk menghentikan perselisihan melalui rumusan kesepakatan, sudah pasti kehancuran ada di depan mata; bukan hanya bagi pihak yang dikalahkan, tetapi pihak yang menang juga akan merasakan kerugiannya. Fakta itu dapat kita lihat dalam krisis iklim yang terjadi saat ini. Negara-negara industri besar seperti Amerika Serikat (AS) dan China tidak mau menunjukkan komitmen mereka untuk menurunkan emisi karbon. Mereka khawatir komitmen itu akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Sikap negara industri tersebut menjadi alasan bagi negara-negara lain untuk mengikuti jejak mereka dan tidak peduli dengan nasib bumi. Menurut The Washington Times, tingkat emisi karbon dari bahan bakar berbasis fosil justru meningkat 2,4% dibandingkan tahun 2013. Program Lingkungan Hidup PBB mengungkap kalaupun seluruh negara memenuhi target janji penurunan emisi gas rumah kaca, suhu bumi telanjur akan naik lebih dari 2 derajat Celsius karena pola hidup modern saat ini. Lomba untuk saling menaikkan angka pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara di dunia mempercepat emisi karbon. Karena setiap negara mendorong pola hidup konsumtif agar produksi barang-barang dapat diserap pasar. Oleh sebab itu, wajar bila kelebihan pembuangan gas karbon dioksida akan mencapai 8-12 gigaton! Negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan basah juga tidak mau ketinggalan. Mereka melakukan revolusi industri dengan jalan membuka industri- industri perkebunan atau industri kayu yang mengakibatkan penggundulan hutan yang menjadi terkendali. Protes negara-negara maju tidak diindahkan karena mereka juga melakukan hal yang sama 100 tahun yang lalu. Efeknya akan sangat buruk bagi anak cucu. Misalnya mengenai keanekaragaman hayati, khususnya hewan liar. Setengah dari binatang liar di dunia telah musnah dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, misalnya jumlah singa menurun 90%. Sementara itu populasi harimau
  • 20. menurun 97% dalam kurun waktu 100 tahun dan gajah menghilang 60% sejak 2002. Demikian kutipan dari The Living Planet Report 2014 yang dirilis oleh World Wildlife Fund dan Komunitas Zoologi London. Artinya, tidak mustahil anak cucu kita sekadar membaca sejarah tentang hewan-hewan liar bila para orang tuanya tak berbuat sesuatu pun. Dari segi diplomasi, mekanisme dialog antarperwakilan negara sudah tersedia. Kesepakatan atas dasar pikiran dan akal sehat telah dirumuskan sejak UNFCCC (Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB) diterapkan pada 21 Maret 1994. Saat ini keanggotaan negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim telah mencapai 195 negara; jadi hampir semua negara. Skemanya cukup lengkap meliputi Kyoto Protokol sebagai dasar yang mengikat anggotanya dalam menentukan target penurunan emisi dan Kesepakatan Marrakesh 2001 yang memuat aturan detail implementasi protokol. Kesepakatan juga menoleransi penerapan mengingat kondisi politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda dari setiap negara. 20 Pada Desember 2012 di Doha, Kyoto Protokol diamendemen. Intinya diizinkan adanya kelonggaran pelaksanaan komitmen bagi negara maju. Ada mekanisme pelaporan rutin tentang kemajuan penerapan komitmen. Bagi negara berkembang, disediakan skema dana bantuan (hibah maupun pinjaman) untuk kegiatan menekan perubahan iklim. Sejumlah negara maju juga sepakat atas berbagi teknologi untuk mendukung kegiatan tersebut. Mengenai penerapan komitmen, disediakan pula tunjangan dan panduan teknis. Komitmen negara anggota akan dibahas lagi dalam Konferensi Ke-20 UNFCCC 2014 di Lima, Peru, pada 1-12 Desember 2014. Dibandingkan 20 tahun lalu, bukti-bukti terjadinya perubahan iklim dan bahayanya bagi umat manusia maupun keanekaragaman hayati sudah makin nyata. Permasalahannya adalah menjadikan bukti tersebut sebagai basis untuk bergerak bersama secara serentak dalam skala besar dan konsisten untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru. Sampai saat ini selain masih ada pertentangan tentang siapa yang harus lebih dahulu mulai menerapkan komitmen, ada masalah juga mengenai kemauan pemerintah maupun kalangan swasta untuk mengubah kebiasaan. Ibaratnya begini: jika orang lain belum mengubah gaya hidup dan kebiasaannya dan saya serta perusahaan atau negara saya harus berubah terlebih dahulu, rugi dong. Itu sebabnya para diplomat mengalami kebuntuan dalam negosiasi karena pada akhirnya kesepakatan yang mereka buat harus diterapkan di dalam negeri. Di tingkat bisnis, mengubah pola hidup memang bukan hal mudah. Yang biasa menggunakan mesin berbahan bakar bensin harus berinvestasi dulu menciptakan mesin baru tanpa bensin supaya lebih ramah lingkungan. Kalau harus menunggu satu per satu perusahaan bergerak, efeknya tidak akan signifikan dalam kurun waktu yang diinginkan. Jika diwajibkan pemerintah, misalnya lewat pajak karbon, seluruh sistem pajak mengenai penggunaan energi di segala sektor usaha dan skala usaha juga perlu diubah.
  • 21. Katakanlah parlemennya kooperatif mendukung pihak eksekutif, maka inventarisasi perubahan aturan pun harus lengkap. Efeknya pasti langsung terasa sampai ke konsumen dan dianggap memberatkan. Itu sebabnya di Australia, misalnya, pajak karbon yang diterapkan tahun 2012 akhirnya dicabut pada 2014. Apakah Indonesia akan terbawa mengikuti arus penolakan tersebut? Kalau semua negara berkeras hati, Indonesia juga akan merasakan ruginya. Kalau kita sekadar ikut-ikutan mengadopsi bentuk disinsentif yang diterapkan di negara lain demi memenuhi komitmen internasional, saya hampir yakin, pasti penolakannya keras. Tapi kalau kita bangun gerakannya sebagai upaya memurahkan biaya hidup dan membangun harmoni dengan alam, seharusnya lebih bisa diterima khalayak. 21 Misalnya saja sejumlah gerakan hemat listrik, hemat kertas, hemat AC, dan mengurangi konsumsi BBM dimasyarakatkan dengan lebih luas. Bisa dimulai dari seluruh pegawai pemerintah dan keluarganya, sekolah-sekolah, pusat rekreasi, dan kawasan industri. Ketentuan pembuatan taman di kompleks perumahan ditegakkan dan tiap izin membangun wajib dicek kepatuhannya untuk menyediakan lahan untuk taman rumah. Gerakan-gerakan macam itu akan sangat membantu para diplomat yang bernegosiasi dalam sidang perubahan iklim. Jangan lupa, negosiasi perubahan iklim ini menggunakan kerangka kerja skala jangka panjang. Jadi selain stamina Indonesia dalam negosiasi harus prima, masyarakatnya perlu lebih ”tahan banting” menghadapi tuntutan perubahan pola hidup demi alam yang lebih bersahabat. DINNA WISNU, PhD Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
  • 22. 22 Demokrasi dan Batas Kebebasan Koran SINDO 2 Oktober 2014 Demokratisasi yang bergulir deras lebih dari sewindu terakhir telah membuat masyarakat Indonesia pada umumnya sangat menikmati kebebasan. Pertanyaannya, apakah demokrasi identik dengan kebebasan? Betul, di tataran budaya, nilai utama dari demokrasi adalah kebebasan, yang berdimensi dua: bebas dari (tekanan, paksaan, ancaman) dan bebas untuk (bicara, berpikir, berekspresi). Memang, masih ada dua perspektif demokrasi yang lain, yakni sistemik (menyangkut struktur dan institusi) dan prosedural (mekanisme dalam menentukan maupun memilih kebijakan dan elite-elite yang akan memimpin publik). Namun, dua perspektif itu niscaya membuat demokrasi semu jika tak disertai dengan penghayatan yang mendalam oleh masyarakat akan keniscayaan nilai- nilai demokrasi (selain kebebasan ada lagi kesetaraan, independens i, pluralisme dan individualistis) itu. Pertanyaannya, apakah kebebasan merupakan sesuatu yang tanpa batas? Dibenarkankah, misalnya, seseorang dengan mengatasnamakan kebebasan lalu berteriak-teriak semaunya sendiri, padahal di sekelilingnya ada banyak orang yang merasa terganggu? Bolehkah orang banyak menutup jalan tol atas nama kebebasan yang bahkan dirasionalisasi dengan “motif baik” demi menuntut tarif tol tidak dinaikkan? Dalam beberapa minggu terakhir ini, wacana publik sempat diramaikan oleh dua isu yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi. Pertama, seorang mahasiswi pascasarjana bernama Florence Sihombing yang menulis sesuatu di jejaring sosial, Path, yang dianggap menghina Yogyakarta. Ia lalu dilaporkan ke polisi dan sempat ditahan, tapi tak lama kemudian dilepaskan. Florence sendiri kemudian minta maaf kepada Sultan HB X dan kepada warga Yogyakarta. Kedua, seorang pemilik akun Twitter dengan nama @kemalsept, yang karena dianggap telah menghina Kota Bandung dan wali kota Bandung lalu secara resmi dilaporkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil ke polisi. “@kemalsept Anda secara resmi saya laporkan ke kepolisian, untuk tweet-tweet penghinaan Pasal 27 UU 11 tahun 2008,” tulis Ridwan dalam akun Twitter resminya, 5 September lalu. Tak hanya itu, dalam statusnya, Ridwan juga mengunggah foto screen capture lini masa Twitter yang bersangkutan. Dalam foto itu tampak pemilik akun @kemalsept menghina Bandung dengan kata-kata kasar. Semuanya ditulis dengan huruf kapital. “Kritik ada tempat dan etikanya. Kalau menyerang pribadi tentu ada kehormatan yang harus dijaga. Beda, kan, kritikan dan cacian, apalagi ke pribadi,” ujar Ridwan. “Ini jadi
  • 23. pembelajaran. Dimaafkan ya dimaafkan,” katanya. Namun, ia berharap agar hal serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Lebih dari demokrasi di tataran sistemik dan prosedural, demokrasi di tataran budaya lazimnya membutuhkan waktu relatif panjang untuk mencapai situasi dan kondisinya yang ideal. Pasalnya, kebebasan memang cenderung disalahpahami dan disalahgunakan jika tidak didukung dengan dua nilai lainnya, yakni rasionalitas dan moralitas. Dengan rasionalitas, niscaya setiap orang menggunakan hak-hak asasinya secara bertanggung jawab. Sebaliknya tanpa rasionalitas orang-orang cenderung bertindak dan berperilaku semau-maunya sendiri. Dengan moralitas, niscaya setiap orang menjalani hidupnya secara tertib dan tak ingin meremehkan atau mengabaikan orang-orang lain di sekitarnya. Sebaliknya tanpa moralitas, orang-orang cenderung hidup tak teratur dan tak memedulikan kehadiran orang-orang lain di sekitarnya. Dengan demikian maka demokrasi niscaya berkembang sehat jika pilarnya adalah masyarakat sipil yang nalarnya telah akil balig, telah mampu berpikir rasional dan mandiri. Atas dasar itulah, niscaya orang-orang tak cenderung salah mengerti dan menyalahgunakan kebebasan di tengah demokratisasi yang bergulir deras ini. 23 Maka di dalam kehidupan sesehari, komunikasi yang terjalin niscaya juga menjadi sarat makna alih-alih ngalor-ngidul tanpa arah. Hal itu bukan hanya menjadi keharusan di dalam komunikasi di dunia nyata (secara lisan), tetapi juga di dunia maya (secara tulisan). Pertanyaannya, itu gampang atau sulit? Jawabannya, mungkin agak sulit karena diperlukan dua nilai pendukung itu tadi: rasionalitas dan moralitas. Dengan kedua nilai yang telah dihayati itulah komunikasi yang sebelumnya berwujud talking (nirmakna) niscaya menjadi speaking (sarat makna). Memang, dengan semua nilai demokrasi yang disebutkan tadi maka demokrasi di dalam kehidupan sehari-hari menjadi rawan konflik. Kendati begitu, demokrasi tetap merupakan alternatif sistem dan way of life yang terbaik demi menghindarkan terjadinya monopoli dalam menginterpretasi kebenaran. Demokrasi juga niscaya menjadikan kita mampu bersikap toleran dan apresiatif terhadap segala macam perbedaan. Pada akhirnya, bukankah itu juga yang niscaya membuat kita rendah hati karena merasa orang-orang lain juga memiliki kebenaran? Bukankah karakter seperti itu sangat baik dan terpuji? Jadi, apakah kebebasan dalam demokrasi itu tanpa batas? Tentu tidak. Ia bahkan penuh batas di sana-sini. Pertama, karena kita hidup di tengah masyarakat yang memiliki hukum (Costello, 2000). Itulah yang otomatis membatasi setiap orang. Kedua, karena demokrasi harus seiring sejalan dengan hak asasi manusia. Kesadaran akan hak asasi orang-orang lain itulah yang memunculkan kesadaran bahwa kita harus membatasi kebebasan diri sendiri demi menghormati orang-orang lain itu.
  • 24. Ketiga, karena dengan dipandu moralitas dan rasionalitas, kita harus senantiasa mempertimbangkan hal-hal yang benar dan baik yang sepatutnya dilakukan. Keempat, karena sadar akan kehadiran orang-orang lain di tengah masyarakat maka kita niscaya berpedoman pada etiket dan etika yang dengan sendirinya membatasi kebebasan. 24 Dengan alasan-alasan itulah maka demokrasi selalu ada batasnya, bahkan banyak. Maka, adalah salah jika sebagian orang mengatakan kebebasan dalam demokrasi itu liar. Sebaliknya, justru demokrasi yang rasional dan bermoral menjadikan kebebasan itu bertanggung jawab. Maka jika hingga kini kita masih kerap membaca kata-kata yang tak sopan, penuh caci maki dan hinaan, atau bahkan disertai dusta tanpa data, yang ada di berbagai media jejaring sosial, anggap saja si pemilik akun yang bersangkutan belum cukup rasional dan kurang bermoral. ● VICTOR SILAEN Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
  • 25. 25 Menimbang Pendidikan Indonesia Koran SINDO 3 Oktober 2014 Pekan lalu Anindiya, alumnus SMU Madania Parung, Bogor, yang sudah dua tahun berkuliah di Ritsumeikan APU, Jepang, sengaja datang ke kantor saya di sela-sela liburannya ke Jakarta. Dia datang untuk berbagi kegelisahan mengenai pendidikan Indonesia yang menurutnya tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sebagai aktivis, Anin banyak bergaul dan diskusi dengan sesama mahasiswa Asia. Yang membuatnya gelisah, mahasiswa lain lebih siap menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Di Thailand misalnya sejak SMU anak-anak sudah mulai belajar bahasa dan peta bumi Indonesia. Mereka mulai dipersiapkan mengenal potensi ekonomi dan lapangan kerja di Indonesia ketika nanti dibuka pasar bebas ASEAN yang memungkinkan tenaga kerja asing bekerja dan bersaing dengan putra-putra di negara kita. Anin sangat khawatir sarjana-sarjana Indonesia sulit bersaing dengan sarjana Jepang, Korea, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura dan kualitas pendidikan Indonesia tidak mengalami perbaikan serius dan segera. Di Indonesia terdapat sekitar 3.500 perguruan tinggi negeri dan swasta, lulusannya akan bersaing ketat memperebutkan lapangan kerja dengan lulusan perguruan tinggi di ASEAN. Ini sebuah tantangan dan sekaligus mimpi buruk mengingat sebagian perguruan tinggi kita sekadar memberikan ijazah, namun miskin kompetensi. Sekarang ini diperkirakan setiap tahun terdapat satu juta sarjana baru. Dibanding Malaysia dan Singapura, angkatan kerja mereka terbanyak diisi sarjana dan tamatan sekolah menengah kejuruan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2014, jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak 118,17 juta orang. Sungguh fantastis, suatu bonus demografi yang tidak dimiliki bangsa Jepang, Korea, dan negara-negara tetangga. Namun, itu semua akan berbalik menjadi beban jika ternyata miskin kompetensi dan kalah bersaing dalam panggung MEA nanti. Diberitakan, sedikitnya 600.000 lulusan perguruan tinggi menganggur yang sekarang tengah berjuang mendapatkan lapangan kerja. Terdapat lima fungsi utama yang mesti diperhatikan oleh lembaga pendidikan pada setiap jenjang. Pertama, sebagai tempat pembentukan karakter. Lewat pendidikan seseorang diharapkan mendapatkan lingkungan dan keteladanan yang baik agar tumbuh menjadi pribadi yang terpuji. Makanya sekolah disebut almamater, bagaikan sosok ibu kandung yang membesarkan dan mendidik kita semua agar jadi anak yang mandiri dan berkepribadian baik.
  • 26. 26 Kedua, lembaga pendidikan adalah tempat transfer ilmu pengetahuan dari para guru pada anak didiknya. Jika guru atau dosen tidak menguasai dan menambah ilmu, lalu apa yang hendak ditransfer? Tidak sebatas transfer, tetapi para guru dan dosen itu juga mengajari bagaimana berburu ilmu pengetahuan atau riset (re-search), sebuah usaha tanpa henti, mencari dan kembali mencari, untuk selalu memperluas cakrawala pengetahuan sehingga dunianya semakin luas dan kaya. Menguasai metode menggali ilmu tidak kalah pentingnya dari sekadar menerima ilmu. Seseorang yang kaya ilmu pasti akan banyak referensi dan komparasi ketika membuat sebuah keputusan dalam hidupnya. Ketiga, lembaga pendidikan adalah juga tempat untuk melatih peserta didik mengembangkan keterampilan sosialnya. Keterampilan dan keluwesan berkomunikasi dan bersosialisasi sangat penting bagi kehidupan seseorang. Profesi apa pun, terlebih di zaman yang serbaterbuka dan kompetitif ini, keterampilan berkomunikasi (communication skill) sangat diperlukan. Tidak lagi zamannya berpikir ”diam itu emas”. Keempat, lembaga pendidikan juga berperan memberikan skill pada seseorang sehingga dengan keahlian yang dimiliki diharapkan akan bisa hidup produktif dan mandiri agar hidupnya tidak menjadi beban orang lain. Syukur-syukur bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Kelima, lembaga pendidikan hendaknya secara sadar membantu menganta rkan agar seseorang tumbuh menjadi seorang pemimpin. Sikap kepemimpinan (leadership) akan diperlukan oleh siapa pun, minimal sekali kepemimpinan dalam rumah tangga. Lebih dari itu, setiap posisi atau karier seseorang sesungguhnya memerlukan kualitas kepemimpinan. Karena itu, menjadi sangat penting pelajaran dan latihan kepemimpinan di sekolah dan perguruan tinggi. Salah satu ciri seorang pemimpin adalah memiliki inisiatif, memiliki kepekaan sosial, peduli pada nasib orang lain, memiliki rasa tanggung jawab, dan berani ambil risiko atas keputusan yang diambilnya. Pelatihan kepemimpinan ini semakin kurang memperoleh perhatian di sekolah. Keenam, tidak kalah pentingnya dari semua itu, peran lembaga pendidikan adalah juga mendidik anak agar tumbuh menjadi pejuang kehidupan. Agar memiliki climber mentality. Pendaki dan penakluk gunung kehidupan yang tak mudah menyerah ketika menghadapi berbagai rintangan. Banyak anak-anak yang bermental quitter, mudah takluk ketika dihadapkan problem. Demikianlah, sebagai orang tua kita pasti memiliki harapan pada anak-anak kita agar tumbuh menjadi pribadi seperti yang saya kemukakan di atas. Kewajiban pendidik itu sebagian diserahkan pada lembaga pendidikan. Orang tua dan guru merupakan mitra coeducator bagi anak didik.
  • 27. Dulu ada ungkapan: al-ummu madrasatul ula. Sosok ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. 27 Sekarang tidak bisa lagi diandalkan karena banyak ibu yang juga aktif bekerja di luar, lalu peran pendidik diambil guru di sekolah, oleh pembantu rumah tangga, dan TV. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 28. 28 Ibuku Sayang Ibuku Malang Koran SINDO 4 Oktober 2014 Betapa malang nasib Ibu Fatimah di usia senjanya (kini 90 tahun) menjadi tergugat oleh anak kandung dan menantu sendiri, yaitu oleh anak keempatnya bernama Suhana dan menantunya bernama Nurhakim, akibat sengketa tanah di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang hari Rabu minggu lalu. Sungguh malang nasib nenek ini menjadi tergugat. Seharusnya sang anak dan menantu melindunginya, di mana letak perikemanusiaan sang anak dan menantunya, setan apa yang telah merasuki hati keduanya? Materi ternyata bisa memutus tali silaturahmi, tak terkecuali antara ibu dan anak serta menantunya. Hati siapa yang tak tersentuh dan pilu melihat kejadian yang memalukan dan menjijikkan, tega-teganya sang anak dan menantu berbuat demikian. Nauzubilllahi minzalik. Sungguh malang nasib Ibu Fatimah yang merupakan janda beranak delapan, sebidang tanah yang dibeli oleh suaminya ketika masih hidup kini membawa dirinya menjadi tergugat, sementara penggugat adalah anak kandung dan menantu sendiri. Bagaimana akhir kisah ini? Apakah Ibu Fatimah kalah dalam mempertahankan haknya? Akankah keadilan itu berpihak kepada Ibu Fatimah sebagai tergugat? Relevan juga bagi kita untuk merenungkan kembali sampai di mana tanggung jawab anak yang seharusnya membela orang tua di kala orang tuanya telah uzur itu? Bagaimana pula tuntunan agama Islam dalam membela hak dan memelihara orang tua ketika sudah uzur? Tuntunan Islam terhadap Kedua Orang Tua Masih relevan mengungkapkan kembali apa yang pernah dikemukakan Prof Komaruddin Hidayat ( Rektor UIN Jakarta) dalam tulisannya di harian ini berjudul ”Menimang Kasih Ibu” (19 Desember 2008) bahwa sosok ibu memiliki kualitas agung. Padanya melekat sifat kasih Ilahi yang tak pernah padam. Bahkan sebelum terlahir ke dunia ini kita tinggal dalam gerbang surgawi yang disebut alam rahim ibu. Kata rahim itu sendiri merupakan salah satu asma Allah. Ini secara jelas menunjukkan keterkaitan kualitas yang amat dalam dan lembut sekali bahwa sebagian kasih Allah terpancar ke dunia melalui sosok ibu sebagai transmitter-nya yang dalam istilah tasawuf disebut tajalli Ilahi. Seorang ibu senantiasa memancarkan keindahan dan kasih Ilahi, bagaikan surya menyinari dunia yang selalu memberi tak harap kembali.
  • 29. Agama Islam memberikan tuntunan dalam hubungan anak dengan orang tua dapat kita simak dalam QS Al-Isra ayat 23 yang artinya: ”Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya sampai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali jangan engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” Lanjutnya pada ayat 24 surat yang sama Allah menyerukan: ”Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil’.” Dengan memahami dua ayat yang telah disebutkan di atas, sungguh kisah Suhana dan suaminya kepada ibu kandungnya jelas-jelas bertentangan dengan Firman Allah di atas. Kenapa anak ini tega-teganya membuat hidup ibunya menjadi terdakwa? Hati manusia mana yang tak sedih dan trenyuh mendengar dan menyaksikan peristiwa ini? Ya Allah jangan sampai ada Suhana dan Nurhakim-Nurhakim selanjutnya yang tega berbuat nista kepada ibunya. 29 Apakah ini sebuah tanda-tanda sudah dekatnya hari kiamat, di mana anak sudah tidak menyayangi orang tua, anak sudah menjadi raja terhadap orang tuanya? Kisah ini sudah seharusnya menjadi pelajaran buat anak-anak manusia selanjutnya dan kisah sedih ini tak perlu dicontoh, nauzubillah. Hati Ibu yang Terluka dan Tersakiti Hati ibu yang mana yang tak merasakan sakit, sedih, pilu, dan kecewa menghadapi perilaku anak dan menantunya yang tidak etis dan tak bermoral yang seharusnya melindungi tetapi malah menzalimi. Sebagai anak manusia tentu kita semua sadar dan tahu bagaimana perjuangan ibu dalam membesarkan kita, ibu berjuang tanpa kenal lelah, berjuang tanpa mengharap imbalan jasa. Ibu yang selalu melindungimu, merawat dan menjagamu dari tidurmu yang lelap, merawatmu ketika kamu sedang sakit. Setiap napasnya senantiasa mendoakan agar kau selamat. Ibumu adalah malaikatmu yang selalu menjagamu. Ia tertawa ketika kamu tertawa, dia sedih ketika kamu sedih. Apa pun dilakukannya demi masa depanmu yang cerah. Bahkan ibu rela sekalipun jiwanya menjadi taruhan. Semua agama mengajarkan untuk menghormati ibu. Bahkan agama Islam mengajarkan, aljannaatu tahta aqdaami alummahat (surga di bawah telapak kaki ibu). Dalam sebuah kisah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, siapa orang yang harus saya hormati ya Rasul? Jawabannya: ibumu. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi: siapa orang yang harus saya hormati ya Rasulullah? Jawabannya: ibumu. Kemudian siapa lagi ya Rasul? Ibumu. Kemudian siapa lagi ya Rasul? Ayahmu. Nah, begitulah, betapa tingginya nilai seorang ibu di
  • 30. 30 hadapan Allah, bahkan rida Allah adalah ridha bilwalidain (rida Allah berdasarkan rida kedua orang tua). Andaikan pengadilan mengabulkan bahwa kamu di pihak yang benar dan ibumu harus memenuhi tuntutan kamu dan suamimu, bahkan diusir dari tempat yang semula telah ikut andil dalam membesarkanmu, sungguh tega dan hebat engkau memperlakukan ibu kandungmu seperti itu. Di mana letak hati nuranimu, masihkah kau punya hati nurani? Coba kau pandang wajah ibumu dengan dalam, dengan baik, sampai berapa waktu lagi ibumu mungkin ada di depan matamu? Bertobatlah sebelum kau terlambat. Sudah banyak kisah nyata bagaimana nasib anak-anak yang durhaka kepada ibu bapaknya hidupnya kemudian menjadi tak bahagia dan malah sengsara karena kualat kepada orang tua. Harta dan Anak adalah Hiasan dan Ujian Harta anak adalah hiasan dan sekaligus cobaan. Ini kita coba merenungkan firman Allah yang artinya: ”Sesungguhnya hartamu, istrimu dan anakmu adalah hiasanmu, artinya hiasan adalah sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Untuk itu orang tua, Ibu pemegang peran utama dalam pendidikan anak, sedangkan ayah berfungsi sebagai pelindung dan pengayom anak-anaknya.” Oleh karena itu orang tua harus bersungguh-sungguh menjaga anak dari segala marabahaya baik marabahaya neraka dunia maupun marabahaya neraka akhirat (azab neraka). Caranya dengan jalan menanamkan keimanan yang kemudian berfungsi sebagai benteng dalam kehidupan anak di masa datang, mengajarkan sopan santun mengajarkan akhlak yang baik, menjauhkan anak dari akhlak yang tidak baik, membiasakan anak tidak bermewah-mewah dan sesuatu yang melalaikan anak. Dalam ajaran Islam orang tua bertanggung jawab sebagai pendidik pertama dan utama terhadap pendidikan anak-anaknya. Salah satu tanggung jawab orang tua adalah mendidik anak-anaknya dengan baik. Anak itu bagaikan mutiara yang bersih dari kotoran-kotoran, bila anak dididik pada kebaikan, ia akan tumbuh di dunia dan akhirat dalam keadaan bahagia dan akan dapat mewariskan pahala kepada orang tua dan gurunya. Sebaliknya jika anak itu diajar pada kejahatan, semua akan celaka. Anak akan mendapat siksa atas perbuatannya demikian juga orang tuanya (pendidiknya). Orang tua berperan sebagai pendidik pertama yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya, sesuai dengan Firman Allah yang artinya: ”Jagalah dirimu dan keluargamu dari azab neraka. ” Di sisi lain Allah juga berfirman yang artinya:”Sesungguhnya hartamu, anak-anakmu dan istrimu adalah fitnah (ujian) karena itu hati-hatilah.” Jika ibu memaafkan itu lebih baik di sisi Allah. Maka bersabarlah ibu menghadapi ujian ini, berdoalah kepada Allah sembari mohon ampunan-Nya. Semoga Allah yang menjadi pelindung dan tempat ibu mengadu.
  • 31. 31 NURAINI AHMAD Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, Ketua DPP Perwati
  • 32. 32 Kurban & Transformasi Kesalehan Sosial Koran SINDO 4 Oktober 2014 Ibrahim berkata, ”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” Berkatalah Ismail, ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.... Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar. Kisah keikhlasan yang dramatis dan mengharukan itu dikemas melalui bahasa Alquran yang apik dalam rangkaian Surat Ash Shaffat, ayat 100-107. Rangkaian ayat ini pulalah yang kemudian dijadikan sebagai dasar hukum ibadah kurban, menapaktilasi jejak keagungan Nabi Ibrahim dan Ismail. Sebagian ulama menghukumi ibadah kurban sebagai ibadah sunnah muakkadah, sedangkan sebagian yang lain malah menganggapnya sebagai wajib, yakni bagi yang mampu. Terlepas dari masalah khilafiah tersebut, kurban adalah ibadah agung dalam syariat agama Islam. Ibadah kurban sejatinya telah dikenal semenjak zaman Qabil dan Habil, putra-putra Adam. Kurban Qabil yang tamak tertolak, sedangkan kurban Habil diterima Allah. Berkata Habil, ”Sesungguhnya Allah hanya akan menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa.” (Al Maidah: 27) Membumikan Kurban Sementara pihak yang tidak memahami Islam sering kali menjadikan ibadah kurban sebagai pembenar bahwa Islam adalah agama yang tidak ”berperikehewanan”. Bayangkan, tiap tahun, jutaan hewan ternak dibantai atas nama persembahan kepada Tuhan. Seakan-akan Tuhan orang Islam adalah sosok yang kejam dan haus darah. Kurban konon mengajarkan kekejaman yang sadis. Padahal, dalam perspektif Islam, hewan kurban memang diamanahkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh umat manusia dengan tata cara yang telah diatur secara sempurna. Misalnya penyembelihan dengan menyebut asma Allah, menajamkan pisau, larangan menyiksa atau memubazirkannya. Menariknya, dalam Islam, ibadah kurban bukanlah persembahan (offering) atau sesaji sebagaimana ada dalam keyakinan umat yang lain, dengan cara melarung atau menempatkannya di altar pemujaan. Kurban justru diberikan kepada manusia, tidak kepada Tuhan secara langsung. Alquran menyebutkan, ”Tidak sampai kepada Allah daging dan darahnya. Tapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.” (Al Hajj, 37). Sebuah bukti bahwa Allah sama sekali tidak haus darah sebagaimana dituduhkan adalah karena daging
  • 33. 33 kurban justru di-tasharruf-kan, dibagi-bagikan untuk dinikmati oleh siapa saja yang membutuhkan. Islam bukan agama yang semata-mata mengutamakan hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablumminallah), yang mengajari orang menjadi rahib dan petapa. Islam juga bukan agama yang semata-mata mengajarkan berbuat baik kepada sesama manusia, menjadi seorang yang humanis tetapi justru melupakan Tuhannya. Namun Islam adalah agama yang membumi (down to earth). Keseimbangan perpaduan antara dimensi kesalehan (religiositas) vertikal dan transenden yang berhubungan dengan Tuhan serta dimensi kesalehan yang horizontal yang bersifat sosial karena terkait dengan hubungan antarmanusia. Mereka yang saleh adalah mereka yang mampu membangun hubungan baik dengan Tuhannya (hablumminallah) dengan sesama manusia (hablumminannas) yang terwujud dalam kesalehan sosial dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Ibadah kurban hanyalah salah satu contoh kecil dari ibadah yang mengajarkan kepada kita bagaimana hubungan yang indah dengan Tuhan justru bisa didapatkan melalui membangun kesalehan (religiositas) sosial dengan sesama manusia. Memang, syariat Islam sangat sulit kita pisahkan dari dimensi yang bersifat sosial. Rasanya kita akan sulit menemukan ajaran agama Islam yang hanya mengedepankan hubungan dengan Tuhan semata, tetapi abai pada sekeliling. Setiap ritual ibadah sesungguhnya, apabila kita cermat melihat dengan mata hati, akan kita dapati di dalamnya makna dan hikmah yang mendalam bagi kehidupan. Ibadah kurban misalnya tidak semata-mata kita lihat dari kemampuan untuk membeli hewan ternak yang akan dikurbankan. Lebih indah bila kita berkenan melihat esensi dan makna yang terkandung dalam ibadah tersebut. Dengan demikian semoga kita tidak terjebak pada nawaitu yang keliru ketika kita dimampukan menjalankan syariat kurban. Pelajaran paling utama dari ibadah kurban adalah tentang keimanan dan keikhlasan yang hanya kepada Allah semata. Ketika Nabi Ibrahim memutuskan untuk menyembelih Nabi Ismail, tentu saja keputusan tersebut sangatlah tidak sederhana. Adalah manusiawi manakala rasa cinta dan sayang Ibrahim kepada putra yang semata wayang, Ismail, mengalahkan sekadar mimpi. Juga adalah manusiawi apabila seseorang mempertahankan kehidupannya, menolak disembelih oleh ayah kandungnya, hanya lantaran sebuah mimpi. Alquran sendiri telah menyatakan,”Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang.” (Ali Imran: 14). Namun kisah anak-beranak yang kita simak dalam Alquran sebagaimana pembuka wacana ini adalah hal yang teramat luar biasa, jauh dari takaran manusia kontemporer. Ibrahim dan Ismail dengan sempurna berhasil melewati ujian yang mahaberat itu. Ujian yang mungkin hanya untuk maqam para nabi dan orang saleh yang kadar keimanan dan keikhlasannya telah sempurna. Kita mungkin perlu bersyukur karena hal seberat ini tidaklah diujikan kepada kita, manusia modern yang dhaif.
  • 34. Kita memang perlu belajar arti pengorbanan dan keikhlasan, tetapi tidak dengan menyembelih anak atau disembelih bapak. Kita hanya disyariatkan untuk berkurban dengan menyembelih hewan. Namun esensi sejatinya adalah kita harus belajar menjadi pribadi yang sanggup berkurban untuk Allah dan kemaslahatan umat meski kadang terasa berat. Pelajaran berharga lainnya yang dapat kita petik dari ibadah kurban adalah dimensi sosial, khususnya yang berhubungan dengan realitas kemiskinan yang masih mendera sementara saudara kita. Islam sungguh sangat memperhatikan kehidupan kaum yang kurang beruntung, yang umumnya menjadi komunitas terbesar suatu negeri, yakni kaum miskin. Sesungguhnya di balik rezeki yang Allah amanahkan kepada kita terdapat hak-hak kaum miskin yang harus kita tunaikan. Harapannya tentu bukan agar kita kelak menjadi orang miskin, tetapi bagaimana kita bisa memperlakukan orang lain secara semestinya tanpa harus melihat pangkat, derajat, dan semat. 34 Rasanya memang sulit ditemukan karena alam kehidupan yang materialistis telah mengajarkan kepada kita untuk memandang segala sesuatu dari sisi materi yang kasatmata saja. Padahal Islam mengajarkan kepada kita arti empati, solidaritas, kebersamaan, dan kesetiakawanan terhadap mereka yang papa. Satu hal yang tidak boleh terlupa, kita mungkin dapat memaknai ibadah kurban sebagai sebuah simbol pemenggalan dan pembunuhan terhadap karakter kebinatangan yang bersemayam dalam jiwa kita. Sifat-sifat kebinatangan yang tidak semestinya dimiliki manusia yang beradab sudah saatnya kita singkirkan. Kehidupan yang tanpa norma, yang adalah khas milik dunia hewan yang menghamba pada keserakahan nafsu tanpa budi pekerti, marilah kita tinggalkan. Bertransformasi menuju kehidupan yang bijak, cerdas, dan beradab sehingga kita bisa menata kehidupan menjadi lebih baik dan lebih indah. Sebagai catatan akhir, ibadah kurban semestinya diajarkan kepada putra-putri kita semenjak dini. Sungguh sangat naif apabila ada seorang pejabat publik yang melarang penyembelihan hewan kurban di sekolah dengan alasan pembenar bahwa kurban akan menjadi pengalaman traumatis bagi anak. Menyaksikan prosesi penyembelihan hewan konon juga akan membentuk mereka menjadi pribadi yang sadis dan kejam. Padahal, realitasnya sungguh sangat jauh dari tuduhan picik ini. Jika pejabat yang berangkutan adalah seorang muslim, sungguh ia perlu beristigfar memohon ampunan karena menyelisihi perintah Allah dan teladan Rasulnya. Tanpa sadar, ia tengah menjauhkan generasi Islam dari syariat kurban yang agung ini. Namun jika ia adalah seorang nonmuslim, sudah seyogianya didoakan agar mendapatkan hidayah. Tapi, setidaknya ia harus belajar kembali tentang etika dan memahami toleransi agar tidak jumawa membuat kebijakan yang syariat dan maknanya bahkan belum pernah ia pahami. Kecuali jika memang bersengaja hendak mengabarkan arogansi kuasanya untuk melecehkan dan memprovokasi umat Islam Indonesia. Wallahu alam.
  • 35. 35 ACHMAD M AKUNG Dosen Psikologi Agama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
  • 36. 36 Mengungkit IPM Koran SINDO 4 Oktober 2014 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2014 yang dilansir UNDP menempatkan Indonesia di posisi ke-108 dari 287 negara. Peringkat negara kita masih kalah dibandingkan Singapura (peringkat kesembilan), Malaysia (62), dan Thailand (89), tetapi kita masih lebih baik daripada Filipina (117) dan Vietnam (121). IPM mengukur kemajuan dari tiga dimensi utama pembangunan manusia, yaitu hidup panjang dan sehat, akses pendidikan, dan standar kehidupan yang layak. Rata-rata umur harapan hidup orang Indonesia adalah 70,8 tahun dan rata-rata lama bersekolah 7,5 tahun. Sementara itu, jumlah orang miskin telah berkurang menjadi ”hanya” 28 juta orang atau 11,25% dari total penduduk. Gizi erat kaitannya dengan kesehatan. Lebih dari 50% kematian balita berhubungan dengan masalah gizi kurang. Artinya, harapan hidup akan semakin panjang bila bangsa ini mampu mengentaskan anak-anak dari ancaman kurang gizi. Kita perlu merenung kembali pencapaian kualitas gizi bangsa. Sudahkah berbagai persoalan gizi dapat diatasi dengan baik? Pada 18-20 Januari 2012 telah diselenggarakan Seminar Nasional Pangan dan Gizi di Jakarta. Dalam pertemuan ilmiah tiga hari tersebut tergambar kemitraan yang harmonis antara para ahli gizi, dosen, peneliti, mahasiswa, birokrat, dan industri pangan untuk mengupas tuntas masalah gizi yang dihadapi bangsa ini. Pandangan pentingnya optimalisasi tumbuh kembang anak pada 1.000 hari pertama kehidupan cukup mengemuka dalam seminar tersebut. Para ahli kesehatan dan gizi tentu bersepakat bahwa 1.000 hari pertama usia anak adalah periode emas. Masalah gizi yang terjadi pada rentang usia tersebut menyebabkan seorang anak berada pada posisi the point of no return, apakah kelak anak-anak tersebut akan menjadi aset nasional atau justru menjadi beban bangsa. Kita semua menyadari keterbatasan pemerintah dalam memerangi masalah gizi di tingkat masyarakat. Persoalan gizi kurang dan gizi buruk di kalangan anak balita tidak mampu diturunkan secara signifikan, demikian pula anemia gizi besi yang prevalensinya di kalangan ibu hamil masih tinggi. Selain itu, gambaran pencapaian ASI eksklusif yang masih rendah tentu memunculkan kekhawatiran tentang bagaimana nasib masa depan bangsa ini. Sebagian jajaran kesehatan agak ”alergi” terhadap industri susu. Apalagi kalau ada pandangan bahwa sosialisasi minum susu tidak menyejahterakan peternak sapi perah lokal, tetapi hanya memperkaya importir susu. Padahal, peran susu bagi gizi bangsa jelas ada. Penelitian Dr Muzal Kadim mengungkapkan peran penting susu yang difortifikasi dengan
  • 37. gizi mikro dan sinbiotik mampu meningkatkan pertumbuhan fisik anak. Bapak Gizi Indonesia Prof Poerwo Sudarmo tidak ragu-ragu mencetuskan Empat Sehat Lima Sempurna yang memasukkan susu sebagai produk pangan penting penunjang kesehatan. Sudah saatnya kita merangkul industri- industri nasional maupun multinasional untuk bersama-sama memecahkan persoalan gizi masyarakat. 37 Saya terlibat dalam penyusunan modul pemberdayaan kader posyandu bersama TP PKK Pusat dan PT Nestle Indonesia. Salah satu materi utama modul tersebut adalah inisiasi menyusu dini dan penerapan ASI eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa industri susu telah secara nyata berkiprah meningkatkan keterampilan SDM gizi melalui pelatihan kader untuk revitalisasi posyandu. Hasilnya adalah terbentuknya posyandu peduli tumbuh-aktif-tanggap (TAT) yang tersebar di 19 provinsi. Posyandu peduli TAT merupakan pengembangan posyandu yang telah ada, tetapi pelayanan yang diberikan telah mencakup pertumbuhan dan perkembangan anak. Banyak industri-industri dengan dana corporate social responsibility (CSR) sangat besar yang sebenarnya dapat dirangkul dan diarahkan untuk menggelar program mengatasi gizi kurang di perdesaan atau di daerah kumuh perkotaan. CSR adalah sumber daya potensial yang dapat membantu pembiayaan program gizi. Di saat pemerintah tidak bisa secara maksimal menganggarkan pembangunan gizi, seyogianya kita harus pandai-pandai bersanding dengan industri swasta atau non-governmental organization (NGO). Kebersamaan ini tidak hanya akan membahagiakan rakyat korban busung lapang atau malanutrisi, tetapi juga akan memperkuat kemitraan yang selama ini terkadang masih terkendala syak wasangka. Benarkah industri pangan tidak pernah tulus dalam program-program kemasyarakatan? Benarkah motivasi mereka hanya bertujuan meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan memasarkan produk-produk pangan di tengah masyarakat? Pemerintah kini telah merumuskan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) dan nantinya setiap provinsi/kabupaten juga akan membuat rencana aksi daerah. Kalaulah rencana aksi ini hanya menjadi komoditas pemerintah, mungkin hasilnya bisa tetap bagus bilamana pihak eksekutif dan legislatif sama-sama memandang persoalan gizi sebagai masalah besar sehingga pasti juga memerlukan anggaran besar. Namun mengalokasikan dana pembangunan gizi sesuai dengan besaran masalah gizi yang diderita masyarakat ternyata bukan hal sepele. Itulah sebabnya mengapa cakupan program gizi sulit mencapai maksimal. Di salah satu pemerintahan daerah revitalisasi posyandu dilakukan dengan menganggarkan dana hanya Rp800.000 per tahun, program Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sering kali cakupannya kurang dari 50% balita, anak-anak drop out dari posyandu sebelum usia 5 tahun karena layanan yang kurang berkualitas, dll. Oleh sebab itu RAN-PG juga harus disosialisasi kepada pihak industri swasta atau NGO
  • 38. 38 sehingga mereka bisa mengisi matriks mana yang bisa menjadi tanggung jawabnya membangun gizi masyarakat. Sinergi birokrasi dan industri dalam penanganan masalah gizi bukan hal yang tabu. Meraih kualitas gizi bangsa adalah tanggung jawab kita semua. Pada dasarnya bangsa Indonesia tidak sekadar menghadapi masalah gizi makro seperti kekurangan kalori dan protein. Persoalan gizi mikro yang merupakan fenomena masalah gizi tersembunyi seperti defisiensi zat besi, folat, atau mungkin juga selenium dapat menjadi ancaman nyata yang menyebabkan gagal tumbuh di kalangan anak-anak usia dini. Meningkatkan peringkat IPM menjadi PR besar bangsa kita. Kelalaian membangun SDM akan menjadi malapetaka dan menyebabkan generasi muda Indonesia tidak mampu bersaing menghadapi pasar bebas di tahun-tahun yang akan datang. ALI KHOMSAN Guru Besar dan Ketua Program Ilmu Gizi, FEMA IPB
  • 39. 39 Idul Kurban Koran SINDO 5 Oktober 2014 Pada hari ini kita merayakan Idul Adha yang disebut juga Idul Kurban, Idul Haj, atau Idul Akbar. Banyak sekali kisah dan pelajaran yang biasa disampaikan dalam setiap khotbah Idul Adha seperti hari ini. Mulai dari riwayat Siti Hajar yang berlari-lari kecil, bolak-balik antara bukit Al-Safa dan Al-Marwah, sampai puncak riwayat yaitu ketika Nabi Ibrahim AS dengan ikhlas menyembelih putranya, Nabi Ismail AS demi kecintaannya pada Allah SWT, tetapi dengan mukjizat dari Allah, ternyata yang disembelih itu seekor domba. Salah satu surat Alquran yang terkait dengan Hari Raya Kurban adalah surat ke-108 dalam Alquran yang dikenal dengan nama Al-Kautsar. Istilah Al-Kautsar ini hanya sekali disebutkan di dalam seluruh bacaan Alquran. Surat ini hanya terdiri atas tiga ayat pendek, tetapi punya makna yang sangat dalam dan sangat relevan (terkait) dengan kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada masa-masa terakhir ini. Ayat kedua (dari tiga ayat) dari surat ke-108 itu berbunyi sebagai berikut: ”Fasollilirobbika wanhar”, yang artinya ”Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah”, yang merupakan inti dari surat Al- Kautsar terebut dan mengandung dua pesan Allah SWT yaitu agar kita mendirikan salat dan berkurban. Tentang mendirikan salat, saya sangat percaya bahwa umat Islam di Indonesia adalah yang paling top markotop. Di kampus, di kantor, atau di mal, hampir setiap azan terdengar, langsung musala penuh. Yang belum kebagian salat, duduk melepas sepatu, atau mengambil air wudu, terkadang dengan menaikkan kaki ke wastafel sehingga becek semua. Salat Jumat selalu dipenuhi umat, bukan hanya di masjid-masjid, tetapi juga di tempat-tempat parkir di mal atau aula di kantor atau di kampus yang disulap menjadi ”masjid” darurat. Apalagi dalam kesempatan salat-salat Idul Fitri dan Idul Adha seperti hari ini. Hampir tidak ada yang ingin membolos karena di situlah kesempatan untuk berjumpa dengan kerabat, tetangga, dan handai taulan. Di sisi lain, kita pun tahu bahwa tidak kurang dari lima kali atau 17 rakaat setiap hari umat Islam menegakkan salat setiap hari, yang artinya 17 kali juga umat membaca Al-Fatihah, 17 kali per hari umat memuji dan bersyukur kepada Allah, dan 17 kali juga meminta ditunjuki jalan yang benar. Itu baru per hari, berapa kalau per bulan? Per tahun? Ditambah lagi dengan salat-salat sunah? Hitung saja sendiri. Tetapi, mengapa tetap saja begitu banyak maksiat, korupsi, dan kejahatan lain di Indonesia. Bukan hanya oleh orang awam, melainkan juga oleh para pemuka agama, para ustaz, para pemimpin partai politik, bahkan para menteri dari partai-partai?
  • 40. Dalam bentuknya yang lebih mikro, kejahatan dan kecurangan juga dilakukan oleh hampir setiap orang seperti pelajar atau mahasiswa yang menyontek, pak RT/RW meminta ongkos untuk pengurusan KTP, karaoke yang disalahgunakan menjadi lokalisasi, suami dan istri yang selingkuh, dan sebagainya. Maka, di sinilah maksud Allah dalam menyuruh umat-Nya, melalui surat Al-Kautsar tersebut di atas, untuk berkurban. Sekali lagi, berkurban. Bukan sekadar ikhlas dan bersabar, tetapi berkurban. Tetapi, sejauh mana kita sudah rela berkurban. Kurban bukan hanya memotong kambing atau sapi untuk dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Sekali lagi, itu hanya ritual. Kurban sebenarnya yang harus kita lakukan adalah berkurban tentang ihwal yang kecil-kecil sampai yang besar, yang kita lakukan setiap hari. Misalnya, dalam hal antre. Prinsip dalam antre adalah yang datang lebih dulu didahulukan dan yang datang belakangan harus mengalah, berkurban untuk mendahulukan yang datang lebih awal. Semua kepentingan pribadi pada saat mengantre, termasuk yang sudah sakit perut mau ke toilet harus dikurbankan demi kepentingan bersama. Dengan begitu, antrean akan berjalan tertib dan cepat. Kalau kebetulan kita tidak mendapat bagian atau giliran, ya harus kita ikhlaskan karena memang kita terlambat. Kalau mau dapat, datanglah lebih pagi. Kalau bisa paling pagi, yang artinya adalah berkurban lagi, paling sedikit berkurban waktu. 40 Memang berkurban itu berat. Tetapi, Islam mengajarkan bahwa berkurban itu mungkin dan bisa terjadi karena semua manusia pada dasarnya punya semangat berkurban. Lihatlah para ibu yang rela mengurbankan apa saja, ketika anaknya sakit, atau seorang pemuda yang rela berkurban apa saja demi kekasih hatinya yang cantik jelita. Sayang sekali, dalam realitanya, kita masih harus banyak belajar dari negara-negara dan bangsa-bangsa nonmuslim. Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries ” yang dilakukan oleh Profesor SS Rehman dan Profesor Hossein Askari (kedua-duanya muslim) dari The George Washington University menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim menempati urutan ke-140. Ternyata juga 56 negara muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei. Kalau orang lain bisa, mengapa kita yang mayoritas umat Islam, umat Muhammad SAW, yang mendapat wahyu-wahyu langsung dari Allah SWT mengenai nilai-nilai islami, termasuk berkurban, tidak bisa melakukannya? Karena itulah, bagi mereka yang saat ini sedang melaksanakan ibadah haji, kita doakan semoga semua akan pulang kembali ke Tanah Air sebagai haji yang mabrur, bukan sebagai
  • 41. 41 haji tomat, yang berangkat tobat, tetapi pulangnya kumat. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 42. 42 Rejuvinasi Semangat Trisakti Koran SINDO 6 Oktober 2014 Penyelenggaraan pilpres beberapa waktu lalu menegaskan kepada masyarakat internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang sukses mengimplementasikan praktik demokrasi. Meski ada “riak-riak” sedikit, perkara itu tak membuat negara ini terancam akibat perseteruan dua kubu pendukung calon presiden masing-masing. Keterpilihan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih membawa angin segar perubahan. Muncul harapan baru supaya pasangan ini mampu melaksanakan agenda transformatif dan meneruskan prestasi pembangunan di bidang ekonomi, politik, budaya, sosial, pertahanan, dan keamanan yang berhasil dicapai pemerintahan sebelumnya. Karena itu, sebagai bagian dari upaya memikirkan kebaikan bersama, setiap warga negara dan organisasi masyarakat diperkenankan untuk mengusulkan kader-kader terbaiknya untuk masuk dalam pemerintahan. Beberapa waktu lalu, IndoStrategi Research and Consulting merilis hasil riset tentang siapa saja yang dianggap layak masuk dalam jajaran kabinet Jokowi-JK. Penelitian mengenai desain kabinet 2014-2019 tersebut dilakukan selama satu bulan (5/8-5/9/2014). Berbeda dengan lembaga riset politik yang lain, IndoStrategi menggunakan metode penggalian data berupa: (a) biografi dari tokoh-tokoh potensial yang selama ini muncul di publik; (b) wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap 30 pakar di berbagai bidang; (c) focus group discussion tiga kali dengan mengundang para pakar di bidangnya; dan (d) metaanalisis media. Riset yang diluncurkan ke publik pada 9 September 2014 itu menyebut kabinet Jokowi-JK sebagai Kabinet Trisakti. Pemilihan nama “Trisakti” bukan tanpa alasan, melainkan berdasar pada kajian mendalam dan komprehensif: IndoStrategi berharap semangat Tri Sakti yang dipidatokan Soekarno pada 17 Agustus 1964 tersebut kembali memotivasi pemerintahan mendatang. Saat itu, Bung Karno menyampaikan pidato dengan judul “Tahun Vivere Pericoloso” yang menyebut tiga paradigma besar yang hingga kini menggema dan senantiasa menginspirasi anak bangsa di era kontemporer sekarang. Bapak pendiri bangsa (founding father) tersebut mencita-citakan supaya Indonesia berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Bung Karno menegaskan bahwa kedaulatan politik bangsa Indonesia mutlak diwujudkan dengan menolak segala bentuk intervensi bangsa lain. Dalam ungkapan Bung Karno, nation building dan character building harus diteruskan sehebat-hebatnya demi menunjang kedaulatan politik kita.
  • 43. Sementara itu, Indonesia yang memiliki kekayaan alam mesti dikelola sendiri bagi kesejahteraan masyarakat secara utuh. Tingkat ketergantungan kita terhadap pihak asing (dari segi modal maupun dari segi teknologi) selama ini sangat tinggi. Akhirnya, sumber daya alam yang tersedia masih belum bisa dinikmati masyarakat. sebaliknya justru kekayaan ini lebih banyak dinikmati bangsa lain. Tak ayal, bila Bung Karno pernah mengungkapkan bahwa ketergantungan terhadap bangsa lain tidak akan menjamin kesejahteraan rakyat meningkat. 43 Selain itu, di bidang kebudayaan Bung Karno menginginkan supaya bangsa ini berkepribadian di bidang ini. Dia beranggapan bahwa kebudayaan tidak kalah pentingnya dibandingkan kedua aspek sebelumnya, politik dan ekonomi. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia harus menghormati budaya warisan nenek-moyang dan menghargai nilai-nilai luhur kebudayaan yang ada di masyarakat, karena hal itu akan membawa bangsa ke arah kemajuan. Dari itu, perlu meremajakan kembali (rejuvinasi) semangat Trisakti agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat memberi motivasi bagi pemerintahan yang baru. Sebab untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan, sebuah bangsa pertama-tama mesti berdaulat secara politik. Kedaulatan politik ini adalah syarat mutlak agar bangsa itu merdeka atau bisa bebas mengatur dirinya sendiri. Jika kedaulatan politik didapat, langkah berikutnya adalah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdikari secara ekonomi. Kita tentu mafhum bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi sangat berpengaruh pada berbagai aspek lain dari sebuah bangsa. Hal ini tentu tidak sulit dilakukan jika pemerintah serius membenahi moral dan karakter bangsa untuk menjadi negara maju. Dengan begitu, para generasi bangsa saat ini dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat. Saat ini, publik seolah merasakan falsafah Trisakti yang disuarakan Bung Karno semakin terkikis. Para pengelola pemerintahan dan mereka yang terlibat di wilayah politik hanya sibuk memikirkan kepentingan pribadi dan golongannya hingga sering kali abai terhadap kebaikan dan kemajuan bangsa. Akibatnya, Indonesia sebagai sebuah bangsa semakin hari semakin terasa tersegmentasi dan mudah dipicu untuk melakukan aksi-aksi anarkistis. Ironisnya, kondisi seperti ini semakin diperburuk dengan adanya praktik korupsi yang semakin “membudaya”. Tak bisa dimungkiri, saat ini tindak korupsi semakin terstruktur hingga ke berbagai lembaga pemerintahan, legislatif maupun yudikatif. Pemerintahan Jokowi-JK mendatang, dengan dukungan yang luas dari masyarakat, diharapkan dapat membentuk struktur kabinet yang mampu menjawab tantangan dan masalah yang dihadapi masyarakat. Memang, berbagai soal tersebut bukan hal mudah untuk dipecahkan. Namun dengan kembali menghidupkan dan berpegang teguh pada falsafah Trisakti, tantangan untuk membawa Indonesia berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di bidang budaya, mampu menjawab tantangan lokal dan global, dan memiliki kedudukan setara di
  • 44. 44 dunia internasional, tentu bukan impian yang tak bisa diwujudkan. ● MUCHLAS ROWI Peneliti Senior IndoStrategi Research and Consulting
  • 45. 45 Mengawal Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi Koran SINDO 7 Oktober 2014 Menurut kabar, Jokowi akan memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian: “Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah” dan “Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi”. Ide ini menarik untuk menarik gerbong pendidikan tinggi kita dari situasi tidak menguntungkan belakangan ini. Ketertinggalan Dunia pendidikan tinggi kita jauh tertinggal dari negara-negara lain. Berdasar data Scimago JR, jumlah publikasi ilmiah Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia. Padahal tahun 1996, Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. Indonesia memproduksi 540 paper ilmiah, sementara Malaysia 961. Jarak terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di Malaysia mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190. Hal serupa juga ditunjukkan oleh berbagai pemeringkatan universitas di dunia. QS misalnya, baru-baru ini melansir peringkat universitas di Asia pada 2014. Universitas di Indonesia yang masuk 100 besar hanyalah UI di peringkat 71. ITB dan UGM hanya berada di peringkat 125 dan 145. Bandingkan sekali lagi dengan Malaysia yang menempatkan tiga universitasnya di atas UI, masing-masing UM, UKM, dan UTM di peringkat 32, 56, dan 66. Penyebab Ketertinggalan Salah satu hal yang menyebabkan situasi di atas bertahan adalah paradigma dunia pendidikan tinggi kita masih tak berbeda jauh dengan sekolah dasar dan menengah, yaitu mengedepankan belajar-mengajar. Dosen masih dianggap sebagai pengajar yang tugasnya hanyalah mengajar. Datang ke kampus untuk mengajar dan kemudian kembali beraktivitas di luar kampus. Hal ini ditunjang oleh masih kurangnya fasilitas untuk melakukan kegiatan riset, membaca ataupun menulis. Sebuah survei dengan populasi dosen-dosen yang tergabung di Grup Dosen Indonesia menunjukkan 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai bersama-sama. Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua orang dosen. Jadi, bagaimana kita mau berbicara hal-hal yang canggih di dunia pendidikan tinggi ketika sarana dasar berupa meja kerja untuk membaca, menulis, atau membimbing
  • 46. 46 mahasiswa dengan layak saja masih jadi persoalan besar bagi sebagian besar dosen di Indonesia? Minimnya aktivitas dosen di dalam kampus selain untuk mengajar juga berangkat dari rendahnya tingkat kesejahteraan. Rendahnya kesejahteraan memaksa banyak dosen memiliki kesibukan ekstra menambah pendapatan, mulai jadi pengamat, buka warung, sampai menjadi konsultan. Dosen seharusnya bisa fokus bekerja di satu tempat. Energinya bisa dicurahkan secara maksimal sehingga bisa menghasilkan karya-karya ilmiah berkualitas. Pemerintah memang memiliki proyek sertifikasi dosen. Namun antrean dosen mengikuti sertifikasi ini amat panjang. Menurut data Dikti (2014) jumlah dosen di Indonesia yang belum tersertifikasi mencapai 61%. Jikapun sudah bersertifikasi, tunjangan profesi dihentikan ketika menjalankan tugas belajar. Ironisnya lagi, bagi dosen berstatus PNS, mereka juga didiskriminasikan dengan tidak diberikannya tunjangan kinerja yang secara umum menjadi hak sebagai PNS. Sementara itu, tunjangan fungsional dosen tidak pernah dinaikkan sejak 2007 sampai sekarang. Situasi ini tentu saja sulit menarik anak-anak muda terbaik bangsa untuk berkarier di dunia akademik. Beban Administratif Persoalan lain juga adalah banyaknya beban administratif. Selain disibukkan dengan penelitian dan pengajaran, dosen juga disibukkan dengan mengisi berbagai isian dan berkas-berkas. Belum lupa rasanya bagaimana dunia pendidikan tinggi dihebohkan oleh kewajiban bagi seluruh dosen untuk mengisi Sistem Informasi Pengembangan Karier Dosen (SIPKD). Kewajiban tersebut membuat para dosen pontang-panting memindai berbagai berkas seperti SK dan berbagai sertifikat, kemudian mengunduhnya ke laman SIPKD. Akibatnya server jebol berulang kali dan program tersebut tak jelas rimbanya. Aspek-aspek administratif yang melelahkan juga akan terus terjadi sepanjang karier dosen dalam proses pengajuan kenaikan jabatan fungsional. Berniat naik jabatan fungsional berarti juga menyiapkan diri mengumpulkan berkas yang tercecer mulai dari ijazah, jurnal, SK mengajar, jadwal mengajar, sampai sertifikat menjadi pembicara di berbagai seminar. Upaya Pemerintah Celakanya, cara pemerintah menyikapi rendahnya kualitas dan kuantitas riset dan publikasi dilakukan dengan cara yang cenderung instan. Dirjen Dikti, misalnya, mengeluarkan Surat Edaran SE152/E/T/2012 tentang kewajiban menerbitkan jurnal ilmiah bagi mahasiswa S- 1, S-2, dan S-3 dengan alasan ketertinggalan dari Malaysia. Akibatnya, di berbagai kampus dibuatlah jurnal-jurnal tanpa proses peer review untuk menampung skripsi dan tesis mahasiswa. Namun, tak banyak program S-3 yang mengikuti kewajiban publikasi di jurnal internasional. Bagi yang menerapkan, ada yang kemudian asal terbit dan jatuh ke dalam perangkap jurnal predator.
  • 47. Namun, yang harus dihargai dari upaya pemerintah adalah memberikan beasiswa kepada para dosen dan calon dosen. Ribuan dosen mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di dalam dan luar negeri baik di tingkat master dan doktoral, walaupun pengelolaan beasiswanya masih jauh dari harapan. Bagaimanapun, ini menjadi investasi yang luar biasa di tengah postur dosen Indonesia yang didominasi oleh dosen bergelar S-2 yang mencapai 59%, diikuti S-1 (25%) dan S-3 yang hanya 11%. 47 Peluang Apakah lantas tak ada peluang bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia untuk menggeliat dan bangkit? Tentu saja ada. Jika jadi dibentuk, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi mesti mulai menata ulang dunia pendidikan tinggi. Harus ada cetak biru yang didasarkan pada akar persoalan di lapangan. Pembenahan infrastruktur riset, fasilitas dasar bekerja bagi dosen, peningkatan kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan menjadi hal yang utama. Harus ada juga terobosan administratif sehingga terbuka ruang bagi ilmuwan cemerlang dan anak-anak muda berpotensi untuk terserap menjadi dosen tetap. Ya, sistem rekrutmen dosen yang kaku (seperti rekrutmen birokrat) dan mengedepankan aspek administratif justru menghambat para ilmuwan dan calon ilmuwan cemerlang untuk berkarier di dunia akademik di Indonesia. Hambatan administratif ini mesti dibongkar karena dalam beberapa tahun ke depan Indonesia sesungguhnya akan mengalami keberlimpahan anak muda bertitel doktor dari dalam dan luar negeri, dari berbagai program beasiswa. Selain itu, terbuka pada pengembangan keilmuan yang semakin multidisiplin juga menjadi hal yang utama. Pendekatan jurusan/departemen secara kaku dalam proses rekrutmen dosen mesti digantikan dengan rekrutmen berdasarkan keahlian dan portofolio. Berdasarkan portofolio, seorang ilmuwan cemerlang bereputasi internasional yang telah menghasilkan puluhan paper di jurnal bereputasi tak harus memulai dari jenjang asisten ahli, tapi bisa langsung menjadi lektor kepala atau profesor. Jika hal-hal di atas bisa jadi komitmen pemerintahan baru, bolehlah kita berharap pada Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang akan dibentuk. Jika diabaikan maka yang terjadi hanya memindahkan masalah, atau bahkan memperpanjang jalur birokrasi pendidikan tinggi belaka. ● ABDUL HAMID Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten; dan kandidat Doktor di Doshisha University, Jepang
  • 48. 48 Dosen & Pengembangan UKM Koran SINDO 7 Oktober 2014 Jumlah perguruan tinggi kita 3.200 lebih, dengan 100 di antaranya PTN dan 52 perguruan tinggi negeri di bawah Departemen Agama, tentu saja sisanya swasta. Jumlah dosen tetapnya mendekati 300.000 dan hampir dua kali bila ditambah dosen tidak tetap. Tugas pokok dosen adalah mengajar, riset, dan melakukan pengabdian masyarakat. Apabila empat dosen menghasilkan satu penelitian maka hampir 75.000 judul riset dihasilkan setiap tahun. Ke mana saja larinya judul riset yang begitu banyak ini? Mengapa tidak menghasilkan perbaikan teknologi yang signifikan pada pengembangan industri? Atau mengapa industri kita stuck pada industri lama, misalnya batik, garmen, kayu, dan rotan, dan tentu saja industri makanan terutama industri makanan oleh UKM yang di antaranya banyak menggunakan zat berbahaya yang meledak seperti teror senjata kimia? Ke mana saja 300.000 dosen kita? Pertanyaan provokatif tersebut pantas direnungkan. Dan jawabannya sangat sederhana, sebagian besar riset dosen digunakan untuk tujuan administratif– naik pangkat. Mungkin kita bisa menyalahkan swasta yang lebih baik membeli lisensi riset keluar daripada menggunakan formula yang dengan susah payah dihasilkan para peneliti kita, kejadian ini misalnya di industri farmasi. Tetapi jutaan usaha swasta kita adalah UKM, tentu terlalu mahal bagi mereka atau tidak tahu jalan berkonsultasi kepada para dosen yang berada di dalam tembok-tembok universitas yang megah. Reformasi Pengabdian Masyarakat Dosen sebenarnya memiliki skema untuk turun kepada UKM-UKM dengan darma ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Tetapi darma ketiga ini merupakan darma yang dianaktirikan. Anggarannya jauh di bawah kegiatan penelitian, poin penghargaannya untuk naik pangkat yang banyak menjadi orientasi dosen juga lebih rendah, dan bahkan boleh tidak ada atau tidak dilakukan. Pengabdian masyarakat perlu diganti saja dengan semacam riset inovasi teknologi untuk industri. Dengan demikian tridarma dosen akan berubah menjadi mengajar, melakukan riset dasar, dan riset aplikasi atau inovasi teknologi bagi industri di jutaan UKM. Kalau hal ini terjadi bisa dibayangkan betapa indahnya hubungan dosen yang berada di balik tembok megah universitas dengan UKM-UKM. Regulasilah yang memaksa para dosen nongkrong di UKM-UKM, mewajibkannya melaporkan keadaannya dan tahap berikutnya memikirkan pengembangan baik teknologi, manajemen, akunting, marketing dengan IT-base, kesehatan, penggunaan bahan yang aman, tingkat kekeringan bahan dan seterusnya. Kualitas UKM tentu akan meningkat dan kualitas hidup kita sebagai konsumen UKM tentu akan