SlideShare a Scribd company logo
1 of 154
1
DAFTAR ISI
MANAJER-MANAJER TUHAN
Komaruddin Hidayat 4
RAJA ABDULLAH DAN DIALOG ANTARAGAMA
Tom Saptaatmaja 7
CUCU
Sarlito Wirawan Sarwono 10
KEJARLAH DAKU, KAU KUTANGKAP
Dedi Mulyadi 13
PERSATUAN YANG BELUM TERWUJUD
Mohamad Sobary 17
DIPLOMASI HATI
Saifuddin Aswari Rivai 20
MANTRA SIHIR MENJADI GURU PROFESIONAL
Jejen Musfah 22
MENERTAWAKAN BANGSA SENDIRI
Komaruddin Hidayat 25
MALU
Sarlito Wirawan Sarwono 28
SERATUS HARI, KU HARUS KATAKAN APA?
Dedi Mulyadi 31
RA POPO ITU MANTRA SAKTI
Mohamad Sobary 35
KEMBALIKAN RUH PERJUANGAN HMI
Azhar Kahfi 38
MENGEMBALIKAN HMI KE TENGAH RAKYAT
Arief Rosyid Hasan 41
HUMPTY DUMPTY
Sarlito Wirawan Sarwono 45
JAKARTA, OH JAKARTA
Dedi Mulyadi 48
TAN MALAKA, J KASIMO, DAN GUS DUR
2
Mohamad Sobary 51
GAJI PNS
Rhenald Kasali 54
HARI ORANG SAKIT SEDUNIA
FX Wikan Indrarto 58
PRO-KONTRA ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Faisal Ismail 61
JAKARTA PERLU BELAJAR DARI KOTA LAIN
Ivan Hadar 64
PK
Sarlito Wirawan Sarwono 67
RADIO DAN SINGKONG
Eddy Koko 70
KASIH BERSEMI DI SAAT BANJIR
Dedi Mulyadi 74
MEMBAHAS TEMBAKAU DALAM PERSAHABATAN
Mohamad Sobary 77
RUU PERTEMBAKAUAN, CARA ELEGAN TOLAK IMPOR REGULASI
Zamhuri 80
GUS DUR, TIONGHOA, DAN PKB
A Halim Iskandar 84
IHWAL JARGON DI RANAH PUBLIK
Yuliz AR Komarawan 88
MENYELAMI PUSARAN BANJIR IBUKOTA
Anna Luthfie 91
BERHARAP RUPIAH, MENDAPAT MUSIBAH
Jejen Musfah 94
IMLEK DAN KESEJAHTERAAN
Tom Saptaatmaja 97
ENTREPRENEUR SPIRITUAL
Biyanto 100
DYSTOPIAN SOCIETY
Komaruddin Hidayat 103
3
DI BALIK SAKIT HATI
Yasmin Jamilah 106
MUBAHALAH DAN SUMPAH POCONG
Moh Mahfud MD 108
EKSEPSIONALISME INDONESIA
Faried F Saenong 111
SPRING ROLL
Sarlito Wirawan Sarwono 113
GONG XI FA CAI, HUJAN REZEKI SEPANJANG TAHUN
Dedi Mulyadi 115
MORALITAS POLITIK JOKOWI
Mohamad Sobary 118
RAPUHNYA PILAR NEGARA
Komaruddin Hidayat 121
DI SITU KADANG SAYA MERASA SEDIH
Sarlito Wirawan Sarwono 124
HUJAN BATU DI MUSIM PACEKLIK
Dedi Mulyadi 127
DEFISIT MORAL BERNEGARA
Komaruddin Hidayat 131
MENGUBAH PERILAKU BANGSA
Sudjito 133
KESADARAN MENGENAI WAKTU
Mudji Sutrisno 136
DO NO HARM
Dicky Pelupessy 140
BANGSA BERBUDAYA DAN BAHAGIA
Mohamad Sobary 143
IMAN PERKAWINAN
Sarlito Wirawan Sarwono 146
MAIN KAYU KE IBUKOTA, DI KAMPUNG BALIK KE KAYU BAKAR
Dedi Mulyadi 149
BUDAYA MEMANIPULASI
Mohamad Sobary 152
4
Manajer-Manajer Tuhan
Koran SINDO
23 Januari 2015
Tidak menyesal diprovokasi oleh Andy F Noya untuk menonton film Bollywood berjudul
PK. Film yang dibintangi Aamir Khan dan Anushka Sharma ini merupakan kritik tajam
terhadap intoleransi kehidupan beragama yang telah memecah belah persahabatan sesama
manusia, bahkan telah menimbulkan konflik berdarah-darah di berbagai belahan dunia.
Kritik itu disajikan secara jenaka, kocak, dan sangat filosofis sehingga film yang berdurasi
tiga jam ini terasa segar dan menghibur dari awal sampai akhir. Film ini mengingatkan saya
pada film serupa, yaitu My Name is Khan yang dibintangi Shah Rukh Khan. My Name is
Khan adalah kritik terhadap Barat yang selalu menaruh curiga pada Islam sebagai pemasok
teroris. Kritik-kritik dalam film itu disampaikan secara jenaka, namun sangat mengena dan
menghibur.
Iklim perfilman di India memang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki negara mana pun.
Mereka secara bebas bisa memperolok-olok pejabat negara semisal polisi yang brengsek
lewat film tanpa kena sensor. Begitu pun dalam film PK ini, berbagai simbol dan tokoh
agama yang bagaikan manajer-manajer Tuhan dikritik. Tokoh agama selama ini kerap
mencari untung dengan menjual kewibawaan, ajaran, dan simbol agama yang disakralkan,
padahal itu tak luput dari pabrikasi ulah manusia.
Ceritanya dimulai ketika PK (Aamir Khan) yang datang dari planet lain mendarat ke Bumi
untuk melakukan riset, namun dia tidak bisa kembali ke planet asalnya gara-gara jimat yang
berupa kalung dicopet orang dan dibawa lari entah ke mana. Sebagai sosok alien, meskipun
sangat cerdas, PK sama sekali tidak mengenal budaya manusia yang tinggal di Bumi.
Nama PK sendiri, atau Tipsy dalam bahasa Inggris, artinya orang yang setengah mabuk dan
perilakunya aneh. Dia telanjang dan tidak tahu bahasa manusia. Semuanya serbaasing,
sehingga orang memanggilnya PK. Beruntung dia bertemu seorang reporter TV cantik
bernama Jaggu (Anushka Sharma) yang setia menolongnya. Jaggu melihat PK memiliki
keunikan. Dia berempati dan berusaha bersahabat untuk menggali misteri siapa
sesungguhnya PK yang aneh namun cerdas itu.
Di planet PK berasal, semuanya tanpa busana. Mereka berkomunikasi melalui pikiran
langsung, tanpa sarana bahasa verbal. Oleh karena itu, dia heran dan merasa gaduh dengan
bahasa manusia yang sedemikian banyak diksinya, namun banyak sekali kata-kata itu
digunakan untuk menutupi kebohongannya. Antara pikiran, ucapan, dan tindakan tidak selalu
sinkron. Bahasa tidak selalu mendekatkan antarpribadi, tapi malah menutupi atau
menciptakan pertengkaran.
5
PK juga merasa aneh dan mulai belajar tentang busana. Antara laki-laki dan perempuan
dipisahkan dan dibedakan oleh busananya. Padahal aslinya manusia terlahir telanjang, hadir
dengan kelugasan dan kejujuran.
Lebih mengherankan lagi adalah pakaian dan tradisi keagamaan yang beraneka ragam di
mana antar kelompok justru mengklaim dirinya paling benar atau paling merasa dekat dengan
Tuhan. Kelompok-kelompok agama itu memiliki manajer yang meyakini dirinya sebagai
mandataris Tuhan. Para manajer itu sebagai perantara dan juru selamat untuk menyampaikan
keluh kesah dan permintaan kepada Tuhan.
Dengan cerdas dan jenaka, PK menjungkirbalikkan petuah-petuah para manajer Tuhan. Kalau
istri sakit, misalnya, PK melarang datang ke kuil dan minta tolong pendeta untuk
menyembuhkan dengan membayar uang. Namun, cintai dan rawatlah istri baik-baik dengan
konsultasi ke dokter dan dibelikan obat. Berbagai makanan sesajen untuk Tuhan itu lebih
baik dibagikan kepada orang miskin ketimbang dipersembahkan Tuhan yang tidak
memerlukan makan dan minum.
Ketika PK melihat orang berdoa di depan patung Tuhan, dan patung-patung itu pun dijual di
sekitar kuil, PK membelinya dan kemudian memanjatkan doa kepadanya. Tetapi ketika
doanya tidak terkabul, dia protes pada penjualnya dan ingin membeli yang lebih besar agar
doanya terkabul. Tetapi lagi-lagi doanya tidak terkabul, maka dia mengolok-olok penjual
patung Tuhan sebagai penipu. Adegan ini mengingatkan kita pada sosok Nabi Ibrahim ketika
berdialog dengan Raja Namrud yang penyembah patung. Secara cerdas, Ibrahim mematahkan
semua argumen Namrud yang kemudian marah dan Ibrahim dibakar, namun selamat.
Menurut PK, di sana ada dua macam Tuhan. Pertama, Tuhan di langit, yang mahagaib, yang
merupakan Tuhan sejati Pencipta semesta ini dan seluruh manusia. Kedua, ada Tuhan-Tuhan
yang diciptakan oleh manusia lalu disembah dan dibelanya seakan Tuhan lemah sehingga
memerlukan pembelaan manusia.
Maka di Bumi, lalu muncul banyak Tuhan dan banyak agama. Masing-masing komunitas
agama berdoa pada Tuhan ciptaannya sendiri. PK melihatnya dengan heran, ibarat melakukan
komunikasi via telepon pada Tuhan yang sejati, banyak yang salah nomor sehingga doanya
tidak sampai. Namun demikian, semuanya yakin bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah
Tuhan sejati.
Akibat adanya keragaman agama dengan doktrin dan pemeluknya yang militan, konflik
antarpemeluk agama tak terhindarkan. Ada agama yang menyucikan hewan sapi, tetapi ada
pula agama yang menyuruh menyembelih sapi agar dicintai Tuhannya. Masing-masing
kelompok menciptakan identitas masing-masing yang terlihat pada keunikan pakaiannya,
tempat sucinya dan adegan ritualnya. Padahal, kata PK, ketika semuanya telanjang seperti
penduduk planet dia berasal, semuanya sama karena di sana tak ada pakaian dan mereka
berkomunikasi langsung melalui pikiran sehingga tidak ruwet dan tidak menimbulkan salah
paham serta pertengkaran seperti di Bumi.
6
Perilaku dan dialog kritis PK dengan tokoh-tokoh agama itu menjadi tersebar luas berkat
inisiatif dan kecerdikan Jaggu sebagai reporter TV yang menyiarkannya secara
langsung. Pemirsa diajak membedakan antara substansi dan kemasan. Antara pembawa suara
kebenaran dan manajer-manajer Tuhan yang bertindak bagaikan CEO institusi keagamaan.
Setelah melakukan perjalanan panjang, lagi-lagi berkat bantuan Jaggu, jimatnya ketemu
sehingga PK bisa kembali lagi ke planet asalnya.
Dia berpesan pada temannya yang hendak melakukan ekspedisi ke bumi. Pertama, jangan
terlalu percaya pada bahasa manusia, karena tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Kedua, harus
mengetahui fungsi dan makna pakaian, karena jika salah memilih bisa menimbulkan
malapetaka. Ketiga, ini yang paling lucu dan pedas, kalau ada orang berbicara tentang Tuhan,
sebaiknya kamu menyingkir jauh-jauh saja.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
7
Raja Abdullah dan Dialog Antaragama
Koran SINDO
24 Januari 2015
Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz meninggal dunia dini hari tadi (23/1) pukul 01.00
waktu Arab Saudi. Berita meninggalnya raja kerajaan eksportir minyak utama dunia ini
disiarkan langsung oleh televisi pemerintah Saudi. Saudaranya, Salman bin Abdulaziz Al
Saud, otomatis menggantikannya sebagai raja Arab Saudi.
Abdullah sudah dirawat selama beberapa minggu terakhir di rumah sakit akibat infeksi paru-
paru. Ia juga mengalami sejumlah gangguan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Raja
Abdullah meninggalkan lebih dari 30 anak dari lebih sepuluh istri (Sindonews.com, 23/1).
Abdullah, yang diperkirakan lahir pada 1923, merupakan salah satu dari 12 putra Raja
Abdulaziz Al Saud. Dia terpilih menjadi putera mahkota tahun 1982 setelah kakak tirinya,
Fahd, naik takhta. Abdullah menjadi penguasa de facto di Arab Saudi tahun 1995 setelah
Raja Fahd terserang stroke.
Berkat kedekatannya dengan Amerika Serikat, Abdullah berhasil menekan Washington untuk
menarik mundur pasukan yang ditempatkan di negara itu sejak invasi Amerika ke Kuwait
tahun 1990. Amerika menarik seluruh pasukannya dari Arab Saudi tahun 1993. Meski
memiliki kedekatan dengan Amerika, Raja Abdullah dilaporkan kerap frustrasi dengan
kegagalan Amerika menjembatani konflik Israel-Palestina.
Media internasional seperti BBC dan CNN memuji Abdullah sebagai sosok reformis yang
mengizinkan kritik terbatas terhadap pemerintah negeri minyak ini, memberi kesempatan
kepada wanita untuk bekerja, serta melakukan reformasi pendidikan dan infrastruktur.
Dan di tengah hubungan antara Barat dan dunia Islam yang memanas akibat kasus Charlie
Hebdo, kita perlu mengenang sekaligus mengapresiasi langkah-langkah Raja Abdullah dalam
membangun dialog dan saling pengertian antar pemeluk ketiga agama samawi (Yahudi,
Kristen, dan Islam).
Simak saja sang raja berani menyapa para pemimpin Kristen atau Yahudi, guna membangun
jembatan dan masa depan dunia yang lebih baik. Ini terjadi ketika Raja Abdullah menggelar
dialog antaragama tingkat dunia pada 12- 13 November 2008 di Markas Besar PBB di New
York. Raja juga memprakarsai dialog perdamaian mengenai konflik di Timur Tengah.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, pada Selasa, 11/11/2008 di New York, AS, bahkan
mengundang Raja Arab Saudi Abdullah dan Presiden Israel Shimon Peres untuk menghadiri
8
acara makan malam yang diselenggarakan sekjen PBB. Acara itu menjadi ajang pertemuan
pertama antara Raja Arab Saudi dan Presiden Israel.
Yang monumental, Raja Saudi itu pernah bertemu Paus Benediktus XVI di Roma pada
6/11/2007. Media Eropa, khususnya Italia, menyebut pertemuan itu sebagai peristiwa terbesar
sepanjang 2007. Tentu Paus sangat gembira. Lagi pula, Gereja Katolik selalu mengapresiasi
agama-agama lain, seperti Islam, sebagaimana tertulis dalam dokumen Nostra Aetate yang
disahkan di Roma pada 28 Januari 1965.
Sebelum tanggal tersebut, Gereja Katolik memang memandang tidak ada kebenaran dalam
agama-agama lain. Namun Konsili Vatikan II, atas inisiatif Paus Yohannes XXIII lewat
dokumen Nostra Aetate, berani meralat pandangan yang salah yang berlangsung selama
berabad-abad. Mulai 28 Januari 1965, saat dokumen Nostra Aetate diresmikan, Gereja
Katolik berani mengakui kebenaran agama-agama lain, seperti Islam.
Bahkan menyangkut relasinya yang buruk di masa lalu dengan Islam, NA mencatat:
”Mengingat dalam peredaran zaman telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak
sedikit antara Islam dengan Kristen, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk melupakan
dan berani mengusahakan saling pengertian yang jujur serta mengajak memajukan keadilan
sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan persaudaraan antar manusia” (Dokumen Nostra
Aetate, Roma 28/1/1965).
Malah sebelum tahun 1965, Nabi Muhammad SAW pada abad VI sudah mengajarkan
bagaimana harus menyikapi perbedaan agama tanpa bersikap diskriminatif terhadap orang
yang berbeda agama dengan kita. Dalam hal interaksi dengan ”ahlul kitab”, Nabi Muhammad
memang sangat terkenal dengan toleransinya. Ini bisa dilihat dari adanya Pakta Madinah
yang terkenal itu.
Harold Coward juga menulis dalam bukunya Pluralisme-Tantangan bagi Agama-Agama
bahwa ”Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan dari tradisi
alkitabiah Yahudi dan Kristen. Rasa hormat beliau terhadap tradisi alkitabiah sungguh
diperlihatkan dalam ajarannya”.
Tentu rasa hormat itu tidak lepas dari sejarah ketika Muhammad memperjuangkan Islam.
Dalam perjuangan itu, ada ikatan historis tentang persaudaraan Muhammad dengan orang
Kristen yang sudah dimulai sejak abad ke-6 Masehi. Pernah dikisahkan, suatu hari Khadijah
mengajak nabi, suaminya, mengunjungi saudara sepupunya Waraqah Ibnu Naufal yang
menjadi rahib Kristen. Waraqah inilah yang menjelaskan makna kedatangan Gabriel atau
Malaikat Jibril sebagai isyarat bahwa Muhammad telah diangkat menjadi seorang nabi.
Bahkan ketika Muhammad muda sering ke Suriah untuk berdagang, para rahib Kristen, di
antaranya Bahira, juga sudah meramalkan tentang kenabian Muhammad. Dalam perjuangan
lebih lanjut, Muhammad juga pernah meminta perlindungan bagi para pengikutnya pada Raja
Abissinia atau Etiopia yang beragama Kristen.
9
Raja Abdullah dalam pertemuan dengan Paus pada 2007, juga mengaku tersentuh oleh kisah
yang menjadi fakta sejarah di atas. Maka semoga ini bisa menjadi pendorong untuk terus
membangun kerja sama dan dialog seperti pernah diprakarsai Raja Abdullah. Ketua Umum
PBNU KH Aqiel Siradj yang pernah berkhotbah di Gereja Algonz Surabaya, mengatakan,
”Bila kita tahu sejarah dan menjauhi perspektif adu domba, tak akan ada konflik antar agama,
khususnya antara Islam dan Kristen”.
Umat kristiani, Islam (bersama umat Yahudi) sebenarnya mewarisi satu warisan iman yang
sama dari Abraham atau Ibrahim, sehingga ketiga agama ini sering disebut sebagai
“Abrahamaic Religions”. Ibaratnya ketiga umat itu mendiami satu rumah besar Nabi Ibrahim
dengan tiga kamar besar yang dihuni oleh “anak-anaknya” yang beragama Yahudi, Kristen,
dan Islam.
Selama ini ketiga agama ini memang sering terlibat dalam perang dingin, apalagi dengan
munculnya kaum radikal yang mengharamkan dan menganggap dialog dan komunikasi
antarumat beragama tak ada gunanya. Maka guna menumbuhkan saling pengertian, “anak-
anak Nabi Ibrahim” khususnya di Tanah Air, perlu melanjutkan dialog yang sudah dirintis
oleh Raja Abdullah, dengan berani keluar dari kamar masing-masing dan duduk di ruang
tamu rumah Nabi Ibrahim.
Ketika berada di kamar masing-masing, tentu setiap aturan hidup dalam kamar itu harus
dipatuhi; tetapi ketika berada di ruang tamu, itulah kesempatan kita untuk menjalin dialog
dan saling pengertian sehingga segala prasangka dan benih konflik bisa dimatikan sejak dini.
Apalagi, daripada berlomba-lomba dalam konflik, kebencian dan permusuhan, mari kita
kembali kepada ajakan berlomba-lomba dalam kebaikan,seperti diamanatkan Taurat, Injil,
dan Alquran.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
10
Cucu
Koran SINDO
25 Januari 2015
Salah satu cucu saya bernama Ammar. Umurnya 3 tahun, tetapi dia fasih sekali bermain
gagdet. Yang paling disukainya adalah berbagai game tentang mobil.
Dia sama sekali belum bisa membaca, tetapi dia tahu persis mana-mana yang harus disentuh
dengan jari mungilnya untuk memunculkan merek mobil yang mana yang dia mau dan mau
balapan dengan mobil yang merek apa. Bukan itu saja, dia menirukan suara-suara yang
didengarnya, mulai dari bunyi tabrakan sampai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang
diucapkannya begitu saja tanpa dia mengerti artinya, persis seperti burung beo.
Cucu saya yang lain, sepupu Ammar, namanya Khalif. Umurnya 6 tahun, sudah di kelas 1
SD. Dia juga mulai kariernya seperti Ammar. Main gadget, dilanjutkan dengan nonton kartun
Spiderman dan Ben 10, menirukan kata-kata bahasa Inggris dari gadget dan film, maka ketika
masih di TK B, dia sudah fasih melafalkan Martin Luther King ”I have a dream” dalam
bahasa Inggris yang bebas dari aksen Tegal seperti kalau eyang kakung-nya ceramah bahasa
Inggris di Kongres Psikologi Internasional.
Di sisi lain, ketika saya seumur kedua cucu saya itu, saya tinggal di Tegal, dengan bahasa
Jawa Tegal yang kental. Ketika saya dites TOEFL untuk dikirim ke Amerika Serikat setelah
menyelesaikan pendidikan psikolog, saya tidak lulus karena berpikirnya pun masih bahasa
Jawa Tegal. Maka saya terpaksa les bahasa Inggris dulu di LIA (Lembaga Indonesia
Amerika) dan mengulang tes lagi, kali ini untuk ke Inggris.
Alhamdullilah, saya diterima belajar di Universitas Edinburgh, Skotlandia, dan di sanalah
saya baru belajar bahasa Inggris betulan, sampai bisa berdiskusi dan menulis makalah dan
makalah saya dimuat dalam jurnal internasional untuk yang pertama kali. Itu terjadi di awal
tahun 1970-an. Tetapi, karena saya sudah terlanjur beraksen Tegal, maka logat Tegal itu tidak
bisa lepas dari bahasa apa pun yang saya ucapkan.
Dalam hal teknologi informasi, sampai jadi mahasiswa tahun kedua, saya hanya tahu radio.
TVRI (hitam putih) baru ada ketika saya sudah kuliah di tingkat dua itu. TV berwarna baru
saya kenal ketika saya sudah punya dua anak, komputer baru saya tahu ketika saya belajar
lagi di Belanda untuk S-3 saya (akhir 1970-an), dan sejak 1980-an saya mulai menggunakan
radio panggil atau biasa disebut Starko (salah satu merek provider radio panggil ketika
itu), dan kemudian dengan cepat saya menggunakan internet, HP (handphone), email,
Twitter, Blog, Facebook dan tentu saja HP saya berganti menjadi smartphone yang bisa
untuk BBM, WA, selfie, bahkan untuk mencari jalan non-macet di Jakarta dengan
menggunakan fasilitas GPS Googlemap atau Waze. Pokoknya dibandingkan dengan profesor
11
lain seusia saya, saya tergolong paling canggih dalam ilmu per-gadget-an.
Tetapi dibandingkan dengan cucu-cucu saya, saya tetap kalah jauh. Baik dalam soal bahasa,
maupun dalam soal per-gadget-an. Ibaratnya, cucu-cucu saya ini adalah native speakers
dalam dunia bahasa Inggris dan per-gadget-an, karena sejak lahir sudah terpapar dengan
semua hal yang generasi saya baru mempelajarinya setelah jauh masuk ke usia dewasa.
Kesenjangan antara saya dan cucu saya memang sering dijadikan bahan lucu-lucuan kalau
seluruh keluarga sedang ngumpul, tetapi kesenjangan tersebut sebetulnya mencerminkan
perbedaan antar generasi yang di dunia sudah menimbulkan banyak problem yang serius.
Dalam ilmu kependudukan, generasi saya yang lahir di sekitar tahun 1940 hingga 1960-an
disebut generasi Baby Boomers (BB), anak-anak saya yang lahir antara 1960-1980-an disebut
Generasi X (Gen-X) dan generasi yang lahir setelah tahun 1980 biasa disebut Generasi Y
(Gen-Y). Ketiga generasi itu mempunyai cara pikir, perilaku dan gaya hidup serta artifak
(benda-benda yang digunakan sehari-hari) yang sangat berbeda, terutama di masyarakat
golongan menengah-atas yang rata-rata juga berpendidikan menengah-atas.
Dengan perkataan lain, secara antropologis, ketiga generasi itu hidup dalam budaya yang
berbeda. Artinya, ketiga generasi itu sebenarnya mengalami kesenjangan budaya, walaupun
mereka boleh jadi tinggal dalam satu rumah. Itulah sebabnya hampir setiap ABG (anak baru
gede) berkonflik dengan orangtuanya.
Di perusahaan-perusahaan, para direktur dari generasi BB yang biasa dengan keteraturan dan
disiplin, loyalitas serta kemapanan, tidak bisa mengikuti jalan pikiran para manajer dari Gen-
X yang serba mau cepat, serba terobosan, dan cepat pindah kerja kalau ada job yang lebih
baik. Gen-X lebih loyal pada dirinya sendiri bukan pada tempatnya dia bekerja.
Tetapi, Gen-Y lebih dahsyat lagi. Dunia mereka sudah masuk ke dunia virtual (maya), bukan
dunia nyata, apalagi lokal (keluarga, tetangga, teman sekolah dll.). Seorang Gen-Y bisa
duduk sama pacarnya di kafe, sambil masing-masing ngobrol melalui gadget masing-masing
dengan teman masing-masing yang berada di tempat lain, boleh jadi si teman maya itu ada di
negara lain, ribuan mil dari kafe tempat mereka pacaran.
Karena itu, Gen-Y disebut juga generasi milenial atau generasi internet atau bahkan generasi
autis. Karena dunia mereka adalah dunia global, dan pengaruh media sosial lebih kuat
daripada media massa, maka berbagai ide dan ideologi masuk ke kepala mereka. Kalau
globalisasi Gen-X masih terbatas pada budaya pop Amerika, termasuk McD dan KFC,
globalisasi Gen-Y sudah mengadopsi K-pop (Korea), komik Manga (Jepang), bahkan
radikalisme agama dari Timur Tengah.
Akibatnya, nilai-nilai Pancasila yang di-kamsud sebagai nilai-nilai pemersatu bangsa
Indonesia oleh para pendiri bangsa (generasi pra-BB), sekarang ini menghadapi tantangan
12
yang sangat berat, karena harus berhadapan dengan nilai-nilai global dari Gen-Y yang sangat
mungkin bisa mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara kita.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
13
Kejarlah Daku, Kau Kutangkap
Koran SINDO
26 Januari 2015
Air merupakan sumber inspirasi dari seluruh kehidupan di muka bumi ini. Dengan airlah
terciptanya asal mula kehidupan dunia, mulai dari penciptaan bumi dan seluruh isinya
termasuk tumbuhan, hewan, dan manusia di dalamnya. Betapa pentingnya peran air sehingga
tidak mungkin berlangsungnya sebuah kehidupan tanpa kehadiran air di dalamnya.
Kebutuhan air dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor hujan.
Kekuatan hujan itu menjadi penentu bagi keberlangsungan sistem tata kelola pertanian, tata
kelola peternakan, tata kelola industri, dan berbagai perangkat kegiatan kehidupan lain.
Kini semua tinggal cerita. Ketika hujan terjatuh ke bumi, air sulit mencari tempat
bersemayam karena gunung tak bisa lagi menjadi tempat berteduh, berlari ke sungai telah
penuh dengan sampah, di bukit berjejer vila-vila mewah, sehingga air berlarilah ke rawa-
rawa. Namun, semua sudah tertimbun menjadi rumah dan apartemen, seluruh tanah sudah
berbeton. Air pun berkumpul dan berserikat dalam sebuah ikatan persaudaraan yang bernama
“banjir”.
Jakarta salah satu daerah dataran yang satu hamparan dengan laut sehingga banjir menjadi
langganan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Ketika air ditanya, “Kenapa kamu datang
ke sini?” Air menjawab, “Rumahku telah kau gunduli, tempat bermainku telah kau huni, kini
izinkan aku untuk menginap di rumahmu sampai seluruh energiku habis terkuras.”
Musim hujan saat ini memang sangat berbeda. Curahnya kini tak sederas dulu, waktunya pun
berubah-ubah, hujannya pun tidak menentu. Entah apa sebabnya, saya tidak bisa menjelaskan
secara detail karena tidak punya kapasitas untuk menjelaskan itu. Secara umum orang
menyebutnya perubahan iklim dengan berbagai argumentasi teori dari efek rumah kaca,
pembakaran gas karbon, penggundulan hutan, dan berbagai teori lain.
Kegalauan ini kini melanda saudara-saudara kita di DPRD yang sangat terkejut dengan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Keluaran karena hari ini yang biasa dapat
lebih dari perjalanan luar kota kini ongkosnya pas-pasan, ditambah dengan semakin ketatnya
pertanggungjawaban administrasi keuangannya.
Duh, jangankan dapat untung, untuk balik modal saja sudah susah, tambah lagi konstituen
yang terus-menerus menagih, “Mana janjimu”. Mau dikasih bansos, kini sudah dilarang. Kata
teman saya, nyesel deh jadi anggota DPRD. Sudah jual sawah, jual mobil, tapi
penghasilannya tak sesuai impian. Tahu begini, dulu enggak akan nyalon anggota DPRD,
14
lebih baik menjadi calo anggota DPRD, tanpa modal hasilnya lumayan.
Kegalauan kini juga melanda masyarakat yang bermimpi ke luar negeri atau liburan dalam
setiap minggu dengan menggunakan pesawat karena fasilitas naik pesawat murah tidak akan
lagi bisa dijumpai. Jalan-jalan ke Singapura, Malaysia, Bali, Yogyakarta, dan berbagai tempat
lain kini akan sepi karena masyarakat kelas bawah tak akan mampu lagi membeli tiket
pesawat.
Kata Ma Icih, tetangga di kampung saya, “Duh, enggak jadi deh nini pergi ke Singapura
untuk melihat Orchard Road sama Marina Bay Sands Sky Park. Sekarang mah nini pergi ke
Singaparna saja, pulangnya mampir di Rajapolah beli boboko, hihid sama aseupan, biar cucu
nini yang perempuan bisa belajar masak seperti nini waktu muda. Cucu nini sekarang
memang aneh, pengen makanan enak, tapi tidak bisa memasak.”
“Kalau ngomong, selalu patriotisme dan nasionalisme serta semangat kebangsaan, tapi sangu
akeul dan pergulatan pangarih di dulang saja tidak tahu. Untuk ngakeul, pangarih, dan
dulang, nini menyampaikan permohonan maaf karena saking orisinalnya tak bisa nini
terjemahkan dalam Bahasa Indonesia.”
***
Ketika kemarau datang, Indonesia kerontang. Air menjadi kekuatan yang paling dicari, asap
pekat karena pembakaran gambut dan ilalang menghiasi wajah Indonesia. Riau, Singapura,
sebagian Malaysia, dan Kalimantan merupakan daerah-daerah langganan kabut asap.
Citra negara Indonesia seringkali tercoreng dan menjadi bulan-bulanan dalam media
diplomasi internasional karena dianggap tidak mampu menyelesaikan kebakaran dan
pembakaran hutan di Indonesia. Negara mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk
mengumpulkan awan, membuat hujan buatan. Ketegangan terjadi di mana-mana, panas yang
menyengat, air yang sulit dicari, berebutlah seluruh masyarakat yang seringkali berdampak
pada konflik sosial yang terjadi secara terbuka.
Berebut air untuk minum, untuk mandi, untuk ternak, untuk persawahan adalah pemandangan
yang umum kita jumpai ketika kemarau tiba. Air dikejar ke mana-mana, menjadi sosok
makhluk yang sangat dibutuhkan. Gemuruh doa diucapkan, menghiasi langit-langit
spiritualitas manusia yang meminta kepada Tuhan untuk menurunkan air dalam bentuk
hujan.
Pada saat seperti ini air bicara, “Kenapa ketika aku datang menyapa, kau sia-siakan aku, kau
benci aku, kau campakkan aku, kau khianati aku? Ketika aku pergi, kau kejar aku, kau
berusaha untuk menangkapku.”
Wajah itulah wajah politik kita. Ketika seorang pemimpin membutuhkan dukungan, dia
begitu penyayang dan memperlakukan masyarakat penuh kelembutan. Senyum, sapa, cinta
15
mengalir jernih dengan wajah tanpa kaca. Bergemuruhlah gairah demokrasi dalam cinta dan
kehangatan, berjanji saling menyayangi, saling mengasihi untuk mengantar ke taman
kemakmuran. Namun, kadang seluruh gairah itu sirna ketika seluruh hasrat bertepuk sebelah
tangan. Cinta berubah menjadi petaka, sanjungan berubah menjadi kebencian.
Seringkali dalam menjalani mahligai hidup bernegara, diakhiri dengan histeria kaum kritis
yang kecewa dengan berbagai cacian, makian, hujatan, bahkan kadang melampaui batas-
batas garis etika dan nalar intelektual. Sejumlah tokoh ternama yang penuh dengan karisma
terjatuh dari pelaminan kekuasaan dalam gemuruh sorak-sorai kegembiraan. Bung Karno,
Pak Harto, Gus Dur, adalah tokoh kharismatik yang begitu memiliki komitmen kebangsaan
yang kuat. Tapi, semua tak mampu menahan arus gempita histeria politik yang tak
menyukainya lagi.
Ujung dari kisah dramatik yang sering terlontar adalah sebuah penyesalan ketika menghadapi
era baru yang tidak sesuai harapan. Dalam setiap obrolan kecil seringkali ada kata terucap,
memuja pemimpin yang dulu pernah dilupakan. “Mending keneh zaman Bung Karno nya?”
Itulah yang terucap saat Orde Baru. “Piye kabare? Enak zamanku, toh?” Itulah seloroh yang
diucapkan pada Era Reformasi. Ketika terjadi ketegangan politik karena persoalan
pemahaman pluralisme, muncullah ucapan, “Gitu aja kok repot”, dan terbayanglah sosok Gus
Dur yang pluralis. Ketika kita mendengar pidato Pak SBY yang sering bercerita tentang keluh
kesah, kita membanggakan Ibu Mega yang banyak memendam kata dalam setiap menghadapi
problem negara sehingga ada idiom yang sering diucapkan bahwa diam itu emas.
Kini di tengah harapan kita, dalam gempita spirit kepemimpinan yang berbasis kerakyatan
yang telah mampu menggerakkan histeria akar rumput masyarakat Indonesia, mewujudkan
mimpi makmurnya kaum jelata, tak lama berselang kini suasananya kembali berubah.
Orang pintar dilanda kecemasan. Dalam lirih dia berkata, “Masih lebih bagus Pak SBY dalam
menghadapi setiap kegentingan.” Padahal pada saat yang lalu seluruh kebijakannya dihujat
seolah tak ada benarnya. Inilah tradisi kita, mudah menyela yang lama kadang melupakan
seluruh jasa dan kebaikannya, memberi harapan kepada yang baru dengan beban yang
berlebihan, lalu menyesali dan kembali berekspektasi ketika menemui kegagalan. Kemudian
bernostalgia bahwa seolah-olah masa lalu lebih baik dibanding hari ini.
Untuk mendengarkan rintihan nurani yang sebenarnya, marilah kita bertanya kepada Ma Icih,
“Enak mana zaman dulu dengan zaman sekarang, Mak?” Kemudian Ma Icih menjawab
dengan tegas tanpa ada keraguan sedikit pun, “Ya jelas masih enak zaman dulu karena zaman
dulu nini masih muda, hidup terasa indah. Kalau nangkeup (memeluk) si aki masih terasa
gagah.”
“Zaman sekarang mah tidak enak, makan daging enggak bisa karena nini sudah ompong, ke
salon juga buat apa nini sudah tidak menarik, malam-malam nini dilanda kegelisahan karena
si aki batuknya suka kambuh. Nonton TV juga nini suka pusing karena lagu keroncong dan
film Mak Uwo kegemaran nini sudah tidak ditayangkan lagi.”
16
“Apalagi minggu ini, nini semakin bingung karena film cicak dan buaya kok sudah ada jilid
yang kedua, padahal jilid pertama saja nini belum pernah nonton, atau mungkin film itu
hanya diputar di bioskop yang khusus untuk orang pintar ya sehingga nini yang bodoh belum
layak untuk nonton film itu?”
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
17
Persatuan yang Belum Terwujud
Koran SINDO
26 Januari 2015
Tak diragukan bahwa zaman berpengaruh pada manusia. Tiap zaman bahkan memiliki
“semangat” dan “logika” yang bukan hanya berpengaruh, melainkan juga “membentuk”
wawasan, sikap, dan tingkah laku para warga masyarakat yang hidup di zaman itu.
Di zaman Orde Lama dulu, kita berbicara mengenai revolusi yang belum selesai. Bung Karno
sering menyebut “revolusi multikompleks” atau “pancamuka” untuk menggambarkan
kompleksitas dan kedalaman revolusi yang sedang kita tempuh. Di zaman itu, hidup tanpa
revolusi bukan hidup. Bagi kita, hidup itu revolusi. Bung Karno juga bicara tentang
“merombak” dan “menjebol”. Itu inti sebuah revolusi.
Jauh sebelum maupun lama sesudah merdeka, kita tetap berevolusi. Ini agenda seluruh
bangsa. Oleh karena itu, persatuan bangsa diprioritaskan. Revolusi tidak akan terwujud kalau
bangsa kita tercerai-berai, tidak utuh, tidak menyatu. Tekad dan semangat untuk bersatu
harus bulat. Makna persatuan itu sendiri yaitu persatuan bangsa juga sebuah agenda kerja
yang belum selesai.
Bung Karno bekerja keras, lahir batin, untuk persatuan bangsa. Beliau disebut pemersatu
bangsa dan persatuan itu sudah terbentuk. Kesadaran kita, semua warga negara, bahwa kita
bangsa Indonesia, membahagiakan. Tapi wujud kesadaran itu masih bisa digoyahkan dan
dalam arti tertentu, seperti revolusi yang belum selesai tadi, persatuan bangsa pun bisa
disebut belum selesai. Persatuan kita belum teruji dengan sebaik-baiknya di dalam sejarah
kita sendiri.
Di zaman Orde Baru, dua agenda besar yang belum selesai itu diabaikan secara mutlak
karena alasan politik yang tak pernah dikemukakan secara jelas. Diam-diam Pak Harto
berniat “menghabisi” Bung Karno. Pengaruh besar politiknya yang luas dan mendasar
dihabisi. Idiom-idiom politik Bung Karno dihabisi. Gaya pemerintahan populis Bung Karno
dihapus bersih. Kalau pengaruh Bung Karno masih terasa, Pak Harto tak akan bisa berbuat
apa pun. Beliau akan “hilang” ditelan kewibawaan Bung Karno.
Tapi Pak Harto bukan tokoh biasa. Dilenyapkannya pengaruh politik Bung Karno membuat
Pak Harto mampu membangun suatu logika politik tersendiri. Beliau berbicara mengenai
pembangunan. Pidato pagi pembangunan. Pidato siang pembangunan dan pada malam hari
masih bicara pembangunan. Sepanjang zaman pemerintahannya hanya ada pembangunan dan
pembangunan semata.
18
Saat itu, terasa betul bahwa kata ‘pembangunan’ memang memiliki kekuatan sihir dan daya
pesona yang besar. Pak Harto menjadi pusat segalanya. Loyalitas kepada beliau menjadi
ukuran loyalitas kepada negara. Beliau galak kepada siapa pun yang memiliki pemikiran lain.
Itu tanda tidak loyal. Tapi kepada para penjilat dan siapa saja yang bersedia menjadi
“bayangannya”, Pak Harto murah hati. Ibaratnya, orang minta sebuah gunung dipindahkan
untuk kesenangan pribadinya, Pak Harto siap memenuhinya dengan sikap welas asih seorang
raja kepada hamba sahayanya yang setia.
Dan, pelan-pelan, setelah apa yang merupakan keagungan pribadi ini terpenuhi, Pak Harto
bicara pula tentang persatuan dan kesatuan. Pada saat itu, tiap makhluk yang bisa berbicara,
dalam kesempatan apa pun, pasti bicara pula persatuan dan kesatuan tadi. ABRI paling fasih
mengucapkan kata itu.
Di masa-masa sesudah reformasi di zaman kita “merdeka”, di masa keterbukaan yang
seterbuka-terbukanya, kalangan elite di berbagai daerah sebentar-sebentar meneriakkan
ancaman untuk memisahkan diri agar daerahnya bisa berdiri sebagai negara sendiri. Di sana
kelihatan dua jenis sikap politik yang menandakan watak anti-demokrasi.
Pertama, ada sikap “tengil” yang begitu arogan dan merasa pada tempatnya menggunakan
bahasa ancaman di dalam dialog kebangsaan untuk menata kehidupan lebih adil. Kedua,
sikap kekanak-kanakan yang mudah merajuk, mudah “menarik diri” tapi sebetulnya agresif,
yang bertentangan dengan jiwa demokrasi.
Bagi kita, esensinya jelas: “tengil” atau tidak, anti-demokrasi atau tidak, semua gejala tingkah
laku politik tadi menunjukkan bahwa agenda nasional kita mengenai persatuan dan kesatuan
bangsa itu sebetulnya belum “solid”, belum kukuh, dan masih mudah dimainkan untuk
digoyang-goyang. Dengan kata lain, ini juga agenda yang belum selesai.
Dan jika pemerintah tidak sensitif, kurang memberi perhatian serius terhadap kelompok-
kelompok rentan di dalam masyarakat, risikonya akan terasa besar. Mungkin pula bisa
menimbulkan rasa penyesalan kemudian, yang tak lagi berguna. Sampai hari ini, kita
memiliki cukup alasan, yang agak melimpah, untuk cemas memikirkan nasib persatuan
bangsa yang bisa dianggap belum menentu itu.
Sikap dan tingkah laku politisi yang main “geng-gengan”, klik-klikan, dan segenap tingkah
laku yang menunjukkan gejala mau menang sendiri, mau benar sendiri, dan mau enak sendiri,
jelas meresahkan. Andaikata mereka tak memiliki agenda merusak persatuan bangsa,
setidaknya jelas bahwa tingkah laku politik mereka itu tidak mendukung sama sekali agenda
persatuan itu. Ini juga tanda kekanak-kanakan yang sudah bukan masanya.
Mereka mengabaikan tanggug jawab politik. Panggung politik nasional, yang bergengsi dan
memiliki wibawa besar itu, dijadikan tempat “main-main” seenaknya. Belum lagi semangat
korup, yang selama ini terbukti dilakukan partai besar yang berkuasa. Kabinet yang bertekad
memberantas korupsi malah menyegarkan iklim korupsi. Di dalam kabinet itu hampir semua
19
tokoh pentingnya terlibat korupsi. Betapa mengerikannya.
Kecenderungan politik di kalangan politisi untuk membangun hubungan berdasarkan
perkawinan di antara anak-anak mereka, dan mereka sendiri bangga dengan hubungan “besan
dengan besanan” di dalam suatu partai politik atau antarpartai, bagi kita hanya kesan negatif
yang terasa. Orang tua dan menantu, besan dengan besan, bisa menggunakan posisi politik
partai mereka untuk bekerja sama dan saling melindungi di dalam kejahatan politik. Juga di
dalam korupsi.
Besan yang korup akan dilindungi oleh besan yang belum korup, tapi masih berkuasa.
Menantu yang korup bakal dilindungi dengan sepenuh hati oleh mertua yang merasa masih
jaya. Apa ini semua hubungannya dengan negara, dengan politik dan persatuan bangsa?
Politik besanan dan besanan politik memang mengandung persatuan. Tapi bukan wujud
persatuan bangsa. Kita belum pernah melihat suatu aliansi politik yang sungguh-sungguh
dibangun untuk suatu persatuan bangsa. Mungkin hal itu tidak akan pernah ada?
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com
20
Diplomasi Hati
Koran SINDO
28 Januari 2015
Hati. Jika ditelaah secara global, bagian tubuh manusia ini memiliki tugas dan makna
penting.
Meski posisinya “sedikit kalah” dari jantung, hati justru lebih banyak memainkan peran di
luar tubuh manusia. Jika ingin mengulas habis mengenai fungsi organ tubuh ini, kita bisa
mendapatkan informasinya dari berbagai sumber, mulai dari buku, internet, atau gadget.
Barang-barang itu tidaklah untuk sulit didapat.
Namun, terlepas dari ilmu kesehatan tersebut, hati juga bisa dilakukan sebagai media
diplomasi. Bagi sebagian orang, mungkin hal ini hanya sekadar bahasa klise ataupun teori
pencitraan. Tapi sama sekali tidak bagi saya, dan kabupaten kecil di Provinsi Sumatera
Selatan yang bernama Lahat. Diplomasi hati ini yang membantu saya menjalankan proses
pembangunan sehari-hari.
Diplomasi hati ini pula yang sedikit banyak membantu saya memenangkan pesta demokrasi
pemilihan bupati/wakil bupati Lahat selama dua periode. Banyak hal yang tidak bisa saya
ceritakan terkait diplomasi hati di sini. Namun, saya punya sedikit cerita yang sampai saat ini
sangat berguna bagi saya dan keluarga. Diplomasi hati ini saya terapkan kepada masyarakat
binaan yang “kebetulan” menginap di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II/A Lahat.
Dan, banyak hal yang bisa kita dapat dari mereka yang harus mengalami pemulihan jiwa di
sana. Saya, selaku pemimpin, wajib merangkul mereka agar tidak merasa dipandang sebelah
mata. Supaya mereka tetap dianggap ada, dan bisa kembali ke tengah-tengah kita.
Mungkin kalau ada kesempatan berkunjung ke sana, Anda bisa tanyakan sendiri bagaimana
respons mereka dalam setiap kunjungan Anda ke lapas. Mereka merasa diperhatikan dengan
kehadiran kita. Jika dipikir-pikir, itu sesuatu yang kecil, tapi ternyata sangat besar
manfaatnya. Anda bisa belikan mereka durian. Anda bisa ajak seluruh penghuni lapas makan
bersama dan sebagainya. Dan, saya juga sering mengimbau anak-anak saya, jika ingin
menggelar acara ulang tahun, lebih baik merayakannya bersama orang-orang lapas atau
dirayakan di panti asuhan.
Selain itu, saya juga ada sedikit cerita mengenai julukan “Bupati Ayam” yang diberikan
masyarakat kepada saya. Mereka menahbiskan seperti itu lantaran saya selalu menyempatkan
diri mengunjungi rumah warga yang tengah berduka karena salah satu anggota keluarga
mereka meninggal.
21
Namun, terlepas dari bantuan ayam serta uang duka, kehadiran sosok bupati dalam suasana
seperti itu tentu sangat membantu meringankan beban mereka. Bisa dibayangkan jika
kehilangan anggota keluarga, Anda mungkin tidak bisa berbuat banyak. Bingung. Namun,
suasana tentu akan berbeda ketika ada sosok yang berdiri di rumah mereka. Itu yang
membuat saya bersemangat dalam memimpin pemerintahan di Kabupaten Lahat.
Jika keluar rumah pada sore hari, saya juga sering melihat sekumpulan anak-anak kecil. Dan
ketika saya melintas, terdengar suara memanggil saya dengan sapaan “Wari-Wari”. Itu nama
panggilan saya sejak kecil dari orang tua. Sebagai pejabat, tentunya, saya berhak tersinggung,
apalagi saat mengetahui yang memanggil sebutan saya itu adalah anak-anak kecil.
Tapi di balik panggilan kecil itu, hikmahnya justru sangat besar. Saya jadi tahu bahwa
seluruh lapisan masyarakat mengenal saya mulai dari orang dewasa hingga anak-anak kecil.
Itu nilai plus bagi saya. Di sinilah diplomasi hati bermain. Lakukan pendekatan itu dari hati
ke hati dan dari hari ke hari. Insya Allah, amanah itu bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya,
bukan sekadar materi yang bisa datang dan pergi begitu saja.
Hal itu memang mudah untuk diucapkan, tapi sungguh sulit untuk dijalankan. Namun kalau
kita belajar memahami apa yang dirasakan orang yang kekurangan, diplomasi hati itu bisa
dijalankan. Bayangkan kalau Anda, anak Anda, ataupun keluarga Anda berada dalam posisi
kekurangan. Mungkin Anda akan tahu bagaimana caranya.
Cerita terakhir mengenai diplomasi hati, Anda mungkin tidak percaya jika setiap kali hendak
melakukan perjalanan dinas dengan menggunakan pesawat, saya selalu menyempatkan diri
ke toilet bandara. Selain memang kodratnya sebagai manusia yang kerap gugup ketika
hendak terbang sehingga harus buang air sebagai solusi terbaik, di toilet, saya juga belajar
mengenai perjuangan para petugas toilet dalam bekerja.
Di situlah hati nurani saya terketuk. Ternyata masih banyak orang Indonesia yang bisa
bertahan di tengah kerasnya kehidupan, meski harus bekerja hampir 16 jam di toilet. Tak
jarang saya mengajak mereka ngobrol. Dan, mereka sangat terharu ada pejabat Bupati kecil
seperti saya yang perhatian. Di situ, mereka bisa bercerita dengan siapa pun.
Saat ini Indonesia masih sangat minim pemimpin yang menjalankan diplomasi hati. Dan saya
pikir, mungkin itu harus dimulai dari Sumsel terlebih dahulu. Memang sulit jika dibayangkan
tanpa dilaksanakan. Butuh keyakinan yang kuat. Namun kalau tidak pernah dijalankan,
diplomasi hati itu hanya akan bersemayam di hati tanpa bisa terealisasi.
SAIFUDDIN ASWARI RIVAI
Bupati Lahat
22
Mantra Sihir Menjadi Guru Profesional
Koran SINDO
30 Januari 2015
Pada 2015 ini pemerintah akan menghapus sertifikasi guru melalui Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru (PLPG) dan akan menggantikannya dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Sebelumnya sertifikasi guru dilakukan melalui PLPG dan/atau PPG. Setelah mengikuti PLPG
atau PPG dan dinyatakan lulus, guru akan mendapatkan sertifikat guru profesional. Sertifikat
itu bukti tertulis bahwa ia kompeten dalam mengajar dan mendidik.
Benarkah setelah mendapatkan selembar sertifikat pendidik, guru yang tadinya dianggap
tidak profesional menjadi profesional? Jawabannya jelas tidak. Sekali, dua kali, atau bahkan
tiga kali pelatihan tidak akan menjadikan guru profesional. Menjadi guru profesional bukan
proses sebentar–seperti program PLPG dan PPG, melainkan membutuhkan proses yang
panjang dan penuh perjuangan tanpa henti.
Kompetensi guru berkaitan dengan kecerdasan, pendidikan, dan pengalaman guru. PLPG dan
PPG bertujuan meningkatkan kompetensi guru. Namun, apakah pelaksanaan keduanya sudah
sesuai prosedur standar dan harapan? Tidak semua LPTK mengasramakan peserta PPG
karena tidak punya asrama. PLPG juga tidak luput dari kekurangan. Proses transfer
pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak akan berhasil jika suasana pelatihan tidak
nyaman–baik saat pelatihan maupun di luar pelatihan.
Faktor penghambat efektivitas pelatihan tersebut seperti waktu yang padat (dari pagi hingga
malam hari), ruang kelas yang tidak nyaman, makanan, dosen yang tidak kompeten, dan
tempat menginap yang tidak layak. Aspek-aspek ini sangat bergantung pada LPTK pelaksana
PLPG.
Apakah mereka mau menyediakan fasilitas yang terbaik bagi guru agar nyaman selama
pelatihan atau mengambil keuntungan materi dari “perahu”– meminjam istilah seorang teman
dosen–bernama PLPG? Jika panitia (LPTK) memilih keuntungan materi, yang terjadi adalah
pengabaian mutu. Seolah membenarkan fakta selama ini bahwa budaya mutu lembaga
pendidikan kita sangat lemah. Maka itu, komplain berkali-kali dari peserta dan dosen setiap
pelatihan hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Sebagai pelatihan yang mengukur kompetensi guru, hampir semua peserta PLPG lulus–untuk
tidak mengatakan 100%. Padahal kompetensi awal peserta pasti sangat beragam. Kelulusan
jelas tidak menunjukkan kompetensi yang sesungguhnya. Ini karena penilaian dosen atau
pelatih tidak hanya menggunakan standar objektivitas, tapi juga subjektivitas seperti belas
23
kasihan. Ini bentuk dukungan dosen kepada guru terhadap kebijakan pemerintah yang belum
tentu 100% benar.
Pelatihan guru melalui PLPG oke, tapi lulus PLPG sebagai syarat menerima tunjangan
profesi no. Faktanya, banyak guru yang gajinya lebih rendah dari buruh, padahal ia
kompeten. Maka itu, sebaiknya pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada semua
guru terutama guru honorer dan guru swasta yang gajinya jauh dari standar minimal gaji guru
PNS.
Penguatan Lembaga
Pertanyaannya, program apa setelah guru memperoleh sertifikat guru? Pertama, perkuat dan
kembangkan lembaga pusat pelatihan guru. Guru mata pelajaran umum atau di bawah
Kemendikbud dilatih di Pusat Pelatihan dan Pengembangan Pendidik dan Kependidikan
(P4TK) dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP).
Dua lembaga tersebut sangat perlu dikembangkan agar bisa menjangkau guru yang belum
pernah mendapatkan pelatihan. Lembaga ini juga penting karena diperlukan lembaga kredibel
untuk melatih guru secara profesional, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi
pelatihan. Lembaga ini bahkan memiliki penginapan dan ruang kelas memadai yang akan
sangat memengaruhi kenyamanan peserta selama pelatihan.
Khusus untuk guru agama dan guru mata pelajaran dalam rumpun PAI (Bahasa Arab,
Akidah, Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam) di bawah Kemenag, mendesak
didirikan lembaga pelatihan yang bertugas mengembangkan kompetensi mereka. Hanya
dengan cara ini, prinsip keadilan bagi guru bisa ditegakkan.
Guru membutuhkan model pelatihan berjenjang, dari dasar, menengah, hingga lanjutan.
Pelatihan guru sebaiknya bukan hanya diinisiasi dan didanai oleh pemerintah pusat, tapi juga
oleh pemerintah daerah, dan sekolah.
Kedua, pemberdayaan kelompok kerja guru (KKG) dan musyawarah guru mata pelajaran
(MGMP). Dinas Pendidikan mengembangkan dan melibatkan KKG dan MGMP dalam
program kependidikan di kota dan provinsi masing-masing. KKG dan MGMP bekerja sama
dengan LPTK terdekat untuk pengembangan pendidikan. Dua organisasi guru tersebut
sumber data tentang kondisi sekolah yang otentik sehingga bisa dimanfaatkan untuk bahan
diskusi, seminar, workshop, penelitian, bahkan pengambilan kebijakan untuk pengembangan
pendidikan.
Sangat disayangkan bahwa kerja sama antara sekolah dan organisasi tersebut dengan LPTK
tidak terjalin maksimal. LPTK mengirim mahasiswa untuk praktik mengajar di sekolah setiap
semester. Tidak sebatas ini, mestinya LPTK dan sekolah melakukan kegiatan bersama untuk
pengembangan keilmuan bidang pendidikan dan pengajaran. Ia bisa berupa seminar,
workshop, atau penelitian.
24
Ketiga, benahi LPTK. Sudah saatnya sistem perekrutan calon guru diubah. Mahasiswa calon
guru harus diseleksi kemampuan bahasa asing (Inggris untuk guru umum dan Arab untuk
guru khusus [agama]), prestasi akademik dan non-akademik, dan bakatnya menjadi guru.
Penerimaan jumlah mahasiswa LPTK harus dibatasi sesuai kebutuhan.
Kita tahu lulusan LPTK lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan guru. Buat apa
menerima banyak mahasiswa calon guru jika akhirnya kita tahu bahwa mereka akan bekerja
selain menjadi guru.
Jika secara yuridis tertulis bahwa PPG dibiayai oleh pemerintah dan berasrama, perlu
dipertimbangkan kemungkinan pendidikan guru sejak di LPTK didesain seperti PPG.
Pendidikan di LPTK dan PPG dibiayai pemerintah dan berasrama. Artinya, pendidikan calon
guru adalah ikatan dinas. Pembangunan asrama di setiap LPTK penyelenggara PPG sesuai
amanah undang-undang guru dan dosen (No 14/2005) harus segera dimulai. Dampak
kebijakan ini akan terasa lima hingga 10 tahun ke depan.
Perbaikan selalu dimulai dari langkah awal dan niat yang baik. Maka itu, tidak ada alasan
menunda sesuatu yang baik bagi dunia pendidikan. Bukankah pendidikan adalah kunci
kemajuan bangsa.
Guru merupakan kunci utama mutu pendidikan suatu bangsa. Saya kira bangsa besar adalah
bangsa yang menyiapkan gurunya dengan baik dan menempatkan mereka dalam posisi yang
terhormat. Dengan demikian, tidak ada istilah simsalabim sebagai mantra sihir untuk
menyulap orang menjadi guru profesional dalam sembilan hari atau tiga minggu pelatihan.
Menjadi guru profesional adalah proses tak berkesudahan, di mana guru tidak boleh berhenti
belajar; membaca dan praktik. Tugas pemerintah dan sekolah adalah menyediakan
lingkungan yang nyaman bagi guru untuk melahirkan karya kreatif dan inovatif.
JEJEN MUSFAH
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
Menertawakan Bangsa Sendiri
Koran SINDO
30 Januari 2015
Dalam ilmu psikologi dikenal istilah ‘archetype’, yaitu sifat dan kecenderungan perilaku
laten yang melekat pada setiap orang yang merupakan bawaan turun-temurun, tanpa melalui
proses belajar.
Jenis archetype ini puluhan jumlahnya, salah satunya disebut ‘warrior’. Secara harfiah berarti
naluri prajurit atau petarung yang bertujuan untuk membela diri dan meraih kemenangan.
Seorang petarung akan merasa puas ketika berhasil menaklukkan lawannya.
Pada diri anak kecil naluri petarung itu sudah terlihat misalnya ketika mereka berebut mainan
yang berujung dengan berantem. Ketika menginjak remaja, bertarung memperebutkan piala
dalam sebuah pertandingan. Atau berebut untuk menjadi juara kelas. Mungkin juga
bertanding memperebutkan pacar.
Panggung kehidupan adalah panggung persaingan, kompetisi, peperangan, dan masing-
masing pihak ingin menang. Hanya, dengan majunya pendidikan dan kesadaran berbudaya,
peperangan yang dulunya bersifat primitif dan sadis kemudian dijinakkan dengan tambahan
unsur seni, wasit, dan sportivitas; misalnya saja dalam sepak bola atau pertandingan seni bela
diri. Nafsu bersaing untuk menang tetap difasilitasi, bahkan ditonton dan diberi insentif
hadiah, namun harus menjadi etika dan fairness.
Dalam konteks panggung kekuasaan, dengan dibuka lebar-lebar ruang demokrasi, perebutan
kekuasaan semakin seru, meriah, dan gegap gempita. Sejak perebutan posisi bupati, wali
kota, gubernur, DPR, hingga presiden. Bermunculan political warriors. Sayangnya, banyak
di antara petarung politik itu yang tidak menjaga seni dan etika dalam bertarung. Mereka
ingin menang, tetapi tidak dengan cara ksatria dan fair. Misalnya melancarkan fitnah, money
politics, mengancam, dan berbagai cara lain yang tidak rasional dan tidak etis dilakukan
semata untuk menang.
Kalaupun nanti dinyatakan sebagai pemenang, dia telah menipu dirinya dan rakyat. Lebih
runyam lagi jika ternyata nanti tidak mampu melaksanakan tugas dan amanat sebagai seorang
pemimpin atau penguasa.
Yang akhir-akhir ini muncul dan membuat bingung serta sedih masyarakat adalah konflik
antara lembaga Polri dan KPK. Akarnya adalah ada pemenang dalam panggung kekuasaan,
namun telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Mungkin saja sebagian uangnya untuk membayar biaya yang pernah dikeluarkan ketika
26
mereka memenangkan pertarungan. Ini jelas bukan seorang ksatria. Bukan pemenang dan
juara sejati. Bukan seorang warrior terhormat, melainkan pecundang dan koruptor.
Mental pecundang itu ingin hidup aman dan nyaman, berpenampilan keren, berpretensi
pejuang rakyat, namun semua itu semu. Ketika suatu saat ketahuan dan terendus oleh petugas
penegak hukum, mereka lalu bangkit melakukan upaya penyelamatan diri. Itu naluri dasar
manusia yang selalu ingin hidup dalam ruang nyaman (comfort zone).
Jika tidak bisa lari, ketika ada ancaman, muncul perlawanan. Terlepas siapa benar dan siapa
yang salah, setiap orang punya naluri warrior. Naluri berantem menaklukkan lawan.
Makanya, jangan heran kalau sekali-sekali terjadi perkelahian antara maling dan tukang
ronda. Antara penegak hukum dan penjahat.
Dalam konteks Polri versus KPK, sudah pasti yang terlibat pertengkaran dan permusuhan
adalah oknum. Namun, karena oknum, jabatan formal, legalitas, otoritas dan kekuasaan
berkait berkelindan makanya yang mesti diselamatkan adalah lembaganya, sedangkan
oknumnya mesti diamputasi.
Yang membuat masyarakat jengkel, marah, dan sedih adalah ketika mereka yang sudah
berpendidikan tinggi, tahu hukum, dan mengaku penegak hukum, tetapi malah
mempermainkan dan mengeksploitasi dalil-dalil hukum dan undang-undang semata untuk
melindungi dirinya karena terancam posisi dan harga dirinya akibat korupsi. Jadinya, kita
menonton adegan dan figur-figur publik yang norak, konyol, dan membuat malu kita semua.
Penyelenggaraan pemerintahan yang mestinya dilakukan dengan rasional, fair, dan efektif
untuk melayani rakyat akhirnya menjadi ruwet. Rakyat yang belum lama ini telah taat dan
berkorban menyukseskan pemilu, sekarang mulai merasa dikhianati dan dipermainkan.
Kita ini sudah lama merdeka. Di mana-mana berdiri perguruan tinggi. Untuk menjadi pejabat
negara pun disyaratkan sarjana, akhlak mulia, bahkan sudah berikrar sumpah jabatan untuk
tidak korupsi. Mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Lalu, mengapa
mereka yang sudah memenuhi persyaratan itu semua, sekarang malah membuat gaduh bangsa
dan rakyat? Ini kekonyolan yang tidak saja mesti ditertawakan, tetapi juga terkutuk.
Kapan kita ini akan dewasa dalam berbangsa dan bernegara secara rasional dan bermartabat?
Setiap tahun APBN keluar untuk penyelenggaraan pendidikan. Untuk gaji pejabat negara.
Untuk training dan pelatihan. Untuk studi banding ke luar negeri. Untuk membayar
konsultan. Tetapi, mengapa bangsa ini lari dan sibuk di tempat? Bahkan dibuat bising oleh
pertengkaran dan sandera-menyandera antarlembaga penegak hukum?
Lagi-lagi, ini bukan sekadar kelucuan dan kekonyolan yang mahal ongkosnya. Tetapi,
jangan-jangan lebih tepat disebut kedunguan karena akal sehat dan nuraninya tidak bekerja
normal.
27
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
28
Malu
Koran SINDO
1 Februari 2015
Gara-gara tak dibelikan sepeda motor, seorang siswa SMPN 43 Purworejo, Jawa Tengah,
Mukhammad Ikhsan, 15, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara terjun ke sungai
(11/04/2013). Melihat aksi nekat anaknya tersebut, kedua orang tua korban langsung shock.
Berdasarkan berita sebuah situs berita, korban ditemukan tewas tenggelam setelah melakukan
terjun bebas ke dalam Sungai Bogowonto. Menurut sejumlah saksi, tindakan nekat pelajar
SMP ini berawal dari keluhan korban karena tidak dibelikan motor oleh orang tuanya.
Sebelum peristiwa itu terjadi, korban dan anggota keluarganya menengok neneknya,
Rokhimah, di Desa Panungkulan, Purworejo. Selang tidak berapa lama, korban keluar rumah
dan teriak akan bunuh diri karena tidak dibelikan motor.
Berita-berita tragis seperti itu bukan sekali-dua kali saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus
lain, remaja yang keinginannya tak terpenuhi malah membunuh orang tua atau nenek sendiri
yang sejak kecil mengasuhnya. Atau mereka memalak temannya, merampas motor orang
lain, atau merampok ”ApaMart” atau ”IndiaMart”. Pokoknya: nekat! Nenek-nenek juga
disikat!
Banyak teori yang mencoba menjelaskan kelakuan remaja yang serbadestruktif (termasuk
tawuran antarmahasiswa atau antarsuporter bola, demo anarkistis, dll.), tetapi kebanyakan
teori itu melupakan satu faktor penyebab yang sangat penting, yaitu faktor ”malu”.
Berani taruhan, kalau kita bisa membangunkan kembali Mukhamad Ikhsan dari kuburnya dan
kita tanya almarhum kenapa dia nekat bunuh diri, jawabannya pasti, ”Aku malu sama teman-
teman. Semuanya sudah punya motor, hanya aku yang belum. Teman-teman akan
meninggalkanku karena aku nggak punya motor. Kan nggak mungkin lah, mereka ngebut ke
mana-mana naik motor, secara aku ngikutin naik becak bapakku!”
Nah, rasa malu itulah yang menyebabkan para anak muda bertawuran. Malu karena Arema
kalah dari Persib, malu karena nggak punya duit untuk jajanin pacarnya, malu sama teman-
teman kalau nggak ikutan merokok atau ngegele, bahkan baru-baru ini ada anak yang tewas
karena bertaruh Rp15.000 buat siapa yang berani berenang nyeberang kali yang arusnya
sedang deras. Maka tiga anak berumur 10 tahunan spontan nyemplung ke kali (malu kalau
nggak berani), 2 orang selamat, yang 1 lagi hanyut dan tewas.
***
29
Tapi kebiasaan nggak mau malu ini bukan hanya monopoli anak-anak. Orang dewasa pun
sama. Seorang ibu dilapori oleh guru bahwa anaknya tidak naik kelas. Ibu itu tidak
kehilangan akal.
Dia minta ibu guru wali kelas untuk membuatkan rapor aspal (asli-tapi-palsu) dari sekolah,
tetapi dengan nilai yang sudah dikatrol sehingga rapornya jadi bagus (tentu dengan
gratifikasi). Maka dengan rapor aspal itu si ibu memindahkan anaknya ke sekolah lain dan
naik kelas! Yang penting orang tua nggak malu. Salah, melanggar hukum, melanggar agama,
ga papa, yang penting gak malu-maluin!
Menurut Ruth Benedict dalam bukunya The Chrysanthemum and the Sword (1946), ada dua
cara masyarakat mengendalikan perilaku anggota masyarakatnya agar berjalan sesuai dengan
norma-norma. Cara yang pertama adalah dengan menerapkan ”budaya salah” (guilt culture).
Orang Amerika (Barat) dan agama-agama menggunakan pendekatan ini. Caranya adalah
dengan menerapkan aturan (undang-undang, kode etik, hukum agama) dan menetapkan
sanksinya (penjara, denda, neraka/surga, dll.).
Setelah beberapa generasi, aturan itu merasuk ke dalam hati individu sehingga pengemudi
orang Amerika otomatis akan berhenti jika lampu merah menyala walaupun lalu-lintas
sedang sepi di tengah malam. Pengemudi di Amerika otomatis akan merasa bersalah kalau
menyerobot lampu merah. Demikian pula mereka otomatis akan mengantre dengan tertib dan
tidak pernah ”jam karet” kalau berjanji dengan orang lain, mengembalikan buku ke
perpustakaan atau membayar pajak dengan tertib, karena mereka merasa bersalah kalau tidak
melakukannya.
Cara yang kedua, menurut Benedict, adalah seperti yang berlaku di Jepang (Timur) yang
memberlakukan ”budaya malu” (shame culture). Ketika Kaisar Jepang, Tenno Heika,
menyerah kepada Sekutu di akhir Perang Dunia II (1945), ratusan pria berbaju putih-putih
(tidak ada hubungannya dengan FPI di Jakarta) berbondong-bondong datang ke Istana Kaisar
dan secara spontan bersama-sama melakukan hara kiri (bunuh diri dengan menusuk perut
sendiri dengan sebilah samurai pendek). Alasannya mereka malu bahwa Jepang menyerah
walaupun lebih dari 2 juta penduduk Hiroshima dan Nagasaki tewas kena bom atom Amerika
Serikat.
Di sisi lain, budaya malu ini juga, yang dasarnya adalah gengsi, yang mendorong
perekonomian Jepang hanya membutuhkan waktu lima tahun untuk bangkit kembali dan
dalam waktu 30 tahun sudah menjadi produser barang-barang elektronik dan automotif
terbesar dan terbaik di dunia.
Budaya orang Indonesia sama dengan Jepang, sama-sama dari Timur, dan sama-sama
mengandalkan gengsi atau budaya malu. Tapi budaya malu di Indonesia mendorong perilaku
bangsa ini ke arah yang salah. Orang korupsi nggak apa-apa karena semuanya juga korupsi,
jadi nggak malu-maluin. Naik motor melawan arus atau angkot berhenti seenaknya atau
menyerobot antrean nggak apa-apa juga karena nggak malu-maluin. Tapi kalau disuruh
30
diskusi di kelas atau duduk paling depan kalau ada pertemuan, banyak yang tidak mau,
soalnya malu, takut dianggap sok tahu. Padahal justru itulah yang seharusnya dilakukan.
Agama pun gagal mendorong orang berprestasi karena walaupun agama mengajarkan amar
makruf nahi munkar, perilaku umatnya masih terkait terus di antara gengsi dan malu-maluin.
Di era Reformasi sekarang ini, kebiasaan orang Indonesia yang berasal dari budaya malu
harus diubah ke mentalitas budaya salah. Itulah sebabnya sekarang harus ada KPK, kapal
pencuri ikan dibom beneran, dan PT KAI (Kereta Api Indonesia) menggantikan Perumka
(Penumpang Ngerumpi di atas Kereta Api).
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
31
Seratus Hari, Ku Harus Katakan Apa?
Koran SINDO
2 Februari 2015
Dalam tradisi masyarakat kita, khususnya masyarakat tradisional Sunda dan Jawa, bilangan
seratus memiliki makna magis yang menjadi acuan dan standardisasi kebudayaan.
Apabila seseorang meninggal, bilangan kenduri atau selamatan sebagai bentuk refleksi
peringatan akan dimulai sejak angka satu atau sehari yang disebut dengan ‘sadugna’,
kemudian tiga hari yang disebut ‘tiluna’, tujuh hari disebut ‘tujuhna’, 40 hari disebut ‘matang
puluh’, dan terakhir adalah 100 hari, kemudian akan diperingati peristiwa tahunan yang
disebut dengan ‘mendak taun’.
Angka 100 mencerminkan kematangan kerangka awal dari sebuah peristiwa yang memiliki
implikasi yang cukup besar bagi perjalanan angka-angka berikutnya. Pada aspek penilaian,
angka 100 merupakan puncak penilaian tertinggi sehingga siapa pun yang mendapat nilai 100
sempurnalah dia untuk sebuah prestasi yang ditekuninya.
Saat ini kita disibukkan dengan 100 hari perjalanan pemerintahan Jokowi-JK sebagai bentuk
apresiasi dan harapan terhadap langkah-langkah berikutnya sebagaimana visi dan misi serta
janji kampanye yang pernah disampaikan. Gempita perjalanan politik sang fenomena adalah
harapan baru bagi masyarakat Indonesia.
Tentunya hal tersebut didasarkan pada literasi perjalanan politik yang cukup magis dan
atraktif dalam karier tangga jabatan di Indonesia. Betapa tidak, seorang wali kota pada
sebuah wilayah yang relatif kecil di Jawa Tengah melesat menjadi seorang gubernur
DKI. Selanjutnya dalam waktu yang relatif sangat pendek terpilih menjadi seorang presiden
dengan sokongan publik yang sangat luas, yang bertumpu pada spirit kebersamaan humanis,
spirit menghormati perbedaan atau pluralisme, dan spirit perubahan terhadap tata laku
aparatur dan komponen bangsa yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan
sebagai negara yang bersendikan Pancasila, berkitabkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan
prinsip spirit perubahan Nawacita yang bertumpu pada gerakan revolusi mental.
Berkaca pada seluruh problem bangsa yang sudah memasuki tahap akut pada seluruh sendi
kehidupan, memang tidak mudah melakukan perubahan terhadap struktur dan kultur yang
sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Pada tingkat elite, kita menghadapi politik
transaksional yang meletakkan aspek kompromi material sebagai pilar utama dalam
hubungan politik karena lenyapnya politik ideologis pasca-Reformasi ‘98.
Lumpuhnya politik ideologis telah melahirkan konsepsi politik tanpa arah yang meletakkan
seluruh kerangka pikir dan kerangka tindak pada negosiasi dan kompromi kapitalisasi. Ini
32
secara tidak langsung telah memarginalkan para politisi yang berbasis visi ideologis dan
memberikan ruang yang cukup terbuka pada kaum kapitalis untuk mengambil peran politik
dan menentukan seluruh kebijakan kenegaraan di Indonesia.
Dalam kehidupan masyarakat, kita berhadapan dengan semakin menurunnya kerangka hidup
yang bersifat gotong royong sebagai spirit ideologis dalam tata kehidupan masyarakat kita.
Bukan hanya di sudut-sudut kota, di sudut-sudut desa pun kini hampir tak dijumpai
kerumunan orang membersihkan selokan, membangun rumah, membangun jalan,
membangun irigasi, melaksanakan kegiatan kenduri yang didasarkan pada spirit keikhlasan
tanpa pamrih.
Dalam bidang politik, kita tidak lagi menjumpai orang yang rela menjual kambingnya,
menjual berasnya, menggadaikan surat keputusan penempatan kerjanya, yang seluruhnya
didedikasikan untuk memberikan dukungan sepenuhnya pada kandidat yang dipilihnya.
Topati jiwa raga demi menjaga marwah, martabat, dan kehormatan kandidat yang menjadi
pilihannya.
Kini semuanya sudah bertarif dengan label yang sering diucapkan secara terbuka oleh
masyarakat, “Wani piro?” Hampir semua kekuatan politik maju tak gentar, membela yang
bayar. Tetapi, tentu tidak semua, masih ada yang rela berkampanye tanpa ongkos, meski
memang jumlahnya sangat sedikit.
Tradisi hidup yang sangat kuat, budaya gotong-royong tanpa kasta, justru sangat terjaga di
kampung-kampung adat yang secara umum masyarakatnya berpegang teguh pada tradisi,
jarang nonton televisi, jarang baca koran, jarang berinteraksi melalui media sosial, tidak
pernah belajar Filsafat Pancasila, tetapi mereka tetap secara utuh dan menyeluruh berpegang
teguh pada seluruh nilai-nilai kebudayaan bangsa. Bukan hanya menjadi simbol persatuan,
melainkan menjadi spirit keyakinan yang sudah tidak lagi memilah aspek kebangsaan, aspek
ketuhanan, dan aspek keagamaan.
Proses perjalanan politik untuk mewujudkan kemenangan menjadi kandidat terpilih tidak bisa
dimungkiri pasti mendapat sokongan dari berbagai perangkat politik yang memiliki
kepentingan terhadap kekuasaan jabatan untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber-
sumber ekonomi strategis negara sehingga kekuatan politiknya diharapkan mampu
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan modal kebijakan strategis yang dinikmati
oleh masyarakat, serta kemampuan untuk menggerakkan sumber-sumber politik melalui
penguasaan sumber-sumber ekonomi strategis.
Kekuatan kapital politik yang memberikan partisipasi yang cukup besar dalam proses
pemenangan pilpres juga memiliki harapan yang cukup luas terhadap akses sumber daya
alam, penambahan jumlah kapital, pasar yang terbuka, serta berbagai fasilitas kebijakan
sebagai bentuk simbiosis antara kekuasaan dan dunia usaha.
Hal tersebut bentuk hubungan sosial-politik yang terbangun saat ini serta tidak bisa dibantah
33
dan tak terbantahkan oleh siapa pun yang menjadi kandidat atau pemenang kekuasaan politik.
Keluar dari seluruh komitmen tersebut akan menimbulkan kegaduhan politik sebagai
konsekuensi dari sebuah proses perjalanan transaksi kekuasaan.
Siapa pun dia, kekuatan apa pun dia, pasti melakukan hal yang sama. Akrobatik logika yang
membalikkan seluruh fakta yang terjadi pada proses perjalanan kampanye hanyalah bentuk
spirit idealisme kesendirian yang akhirnya akan terkepung oleh fakta-fakta politik yang
terjadi sebagai realitas dari sebuah investasi politik.
Berlari menghindari kepungan kekuasaan sebagai bentuk imbal jasa dari sebuah investasi
politik dan ekonomi hanya akan dianggap sebuah pengingkaran yang mengabaikan jasa-jasa
orang yang telah diterima. Nalar kemanusiaan kita akan selalu berkata secara jujur bahwa kita
akan memberikan prioritas bagi siapa pun yang telah memberikan andil dan jasa untuk
membuat kita seperti hari ini.
Kata Mang Udin, tetangga di kampung saya, “Kuring mah teu ngamasalahkeun saha waé nu
ngajabat, nu penting mah sing jalulur jeung nyaah ka masyarakat, pakulian kudu mayeng,
harga béas tong mahal teuing. Lamun mamangkatan ongkos tong nérékél waé. Apanan ieu
mah musingkeun, keur basa BBM naék ongkos ojég nuturkeun naék.” (Saya tidak
mempermasalahkan siapa yang menjabat, yang penting jujur dan sayang pada masyarakat,
ada pekerjaan tetap, harga beras tidak terlalu mahal, kalau bepergian ongkos jangan naik
melulu. Ini kan malah memusingkan, saat BBM naik ongkos ojek ikut naik).
“Giliran BBM turun, tukang ojek tetap saja tidak mau menurunkan. Kalau kira-kira bakal
diturunkan lagi, nanti enggak usah dinaikkan. Karena ada istilah ‘sawan kuya’, kalau naiknya
tidak jadi sampai atas, nanti turunnya juga tidak berani sampai ke tanah. Akhirnya diam di
tengah-tengah, jadi nyusahkeun saréréa (jadi bikin susah semua orang).”
Lain lagi dengan cerita Ma Icih. Dalam kurun waktu 100 hari ini hari-harinya dilanda
kebahagiaan. Entah kenapa dia kini senang bersolek ketika memasuki awal bulan. Gairah
hidupnya seperti membara, padahal dulu Ma Icih selalu melamun karena ditinggalkan oleh
Bah Jumanta, kekasih sejatinya.
Kebahagiaan Ma Icih tersebut ternyata bukan karena gelora cinta yang ada dalam dirinya,
melainkan tumbuhnya harapan baru karena dalam setiap bulan Ma Icih kini menjadi seorang
janda pensiunan, berhak mendapat jatah Kartu Keluarga Sejahtera sebesar Rp200.000 yang
diambil di Kantor Pos.
Kegembiraan itu bahkan kini semakin bertambah karena Ma Icih mendapat kabar akan
menjadi anak asuhnya Pak Kades yang berhak mendapat tambahan biaya hidup sebesar
Rp200.000 lagi per bulan karena gaji Pak Kades kini meningkat sebagai dampak dari
bertambahnya Anggaran Desa. Betapa bahagianya Ma Icih di perjalanan 100 hari ini
sehingga Ma Icih lirih berkata seperti anak muda yang dimabuk cinta, “100 hari ku merasa
bahagia... Berapa lagi yang akan kuterima?”
34
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
35
Ra Popo Itu Mantra Sakti
Koran SINDO
2 Februari 2015
Pasangan Jokowi-JK telah memenangkan kontes politik yang disebut pemilihan umum
dengan anggun, tapi dibuat ruwet oleh berbagai orang dengan berbagai kepentingan.
Dalam masa penuh ketegangan waktu itu, pikiran dan perasaan bangsa Indonesia terkuras.
Ada orang yang tak merasa malu, yang memperpanjang ketegangan itu dengan berbagai ulah
politik. Tapi, menang adalah menang. Pasangan Jokowi-JK menunjukkan dengan baik bahwa
mereka menang.
Jokowi difitnah secara keji lewat jalur umat Islam, tapi beliau tidak bereaksi. Ketika
wartawan bertanya, jawabnya pendek: “ra popo“, Prinsipnya, tidak apa-apa, tidak ada
masalah. Difitnah bahwa dirinya bukan muslim, reaksi beliau sama: “ra popo“. Banyak
tuduhan, yang bersifat fitnah, dijawab dengan kalem: “ra popo“ tadi.
Saat itu fenomena “ra popo“ itu tampak menonjol. Sikap percaya diri beliau sangat besar.
Sikap pemaafnya agak luar biasa. Sesudah kemenangannya bisa diterima oleh mereka yang
kalah, beliau betul-betul “ra popo“. Ini berarti beliau sehat, selamat, dan bahagia.
Ada tokoh yang tak setuju dengan sikap serba”ra popo“ itu. Baginya, ini dianggap
meremehkan persoalan penting. Seorang pemimpin, kata tokoh tersebut, tak boleh sebentar-
sebentar berkata “ra popo“. Baginya, ada persoalan-persoalan yang harus dihadapi dengan
sikap lebih serius dan menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar. Sikap serba ”ra popo“
itu dianggap tidak pantas.
Tapi, pendapat itu bukan satu-satunya kebenaran. Orang yang lapang dada dan berjiwa besar
mengapa tak boleh bersikap rileks, serileks-rileksnya, sehingga semua persoalan lalu dihadapi
dengan sikap “ra popo“? Apa serius dan rasa tanggung jawab itu berarti bahwa fitnah harus
dibalas fitnah? Apa bedanya tukang fitnah dengan orang baik, yang punya keluhuran dalam
politik? Mengapa marah harus dibalas marah?
Dalam mitologi Jawa, ada tokoh bernama Puntadewa. Ini tokoh serbatulus dan hidupnya
damai lahir-batin. Sikap Jokowi yang damai itu membuat konstelasi politik masa itu menjadi
lebih damai. Kalau menghadapi “serangan” lawan Jokowi ganti “menyerang”, suasana
kehidupan politik jelas akan bertambah panas.
Para empu kehidupan yaitu para tokoh dunia rohani berpendapat, kalau suatu persoalan
disikapi sebagai bukan persoalan, niscaya dia akan benar-benar menjadi bukan persoalan.
36
Menghadapi keruwetan hidup dengan sikap “ra popo“ itu memiliki dua kemungkinan:
pertama, itu menjadi “doa” yang dikabulkan, dan kedua, merupakan “mantra”. Boleh jadi
bahkan merupakan “mantra sakti”.
Orang baik dan tulus jiwanya selalu diberi keistimewaan untuk memiliki sejenis “mantra
sakti” itu. Kesaktian mantra itu bisa dibuktikan, tiap sabda menjadi fakta, tiap jenis cita-cita
bisa dicapai, dan apa pun yang diciptanya terwujud. Ini kearifan dan corak kesaktian orang-
orang zaman dulu.
Apakah Jokowi punya warisan darah orang arif-bijaksana dari masa lalu? Mengapa tiap yang
ditanggapi dengan sikap “ra popo“ lalu betul-betul “ra popo“ dan tidak menjadi masalah
sama sekali? Pak Presiden, ini daya energi macam apa?
Sekarang persoalannya agak lain. Ketika kebijakan beliau disorot publik dan di antara mereka
ada pula para pendukung setianya, Presiden dimohon mendengar suara rakyat yang tulus
memihak kepadanya. Jangan dengarkan menteri yang menganggap rakyat itu sesuatu yang
tak jelas. Presiden punya sikap sendiri yang lebih bagus dan lebih bijaksana.
Orang baik, bersih, dan bijaksana itu mahal sekali. Hebat. Tapi, pemimpin bangsa tidak
cukup sekadar baik, bersih, dan bijaksana. Posisi moral politiknya harus jelas. Pemihakannya
pada kebenaran tak perlu diragukan.
Maka, bila ada orang yang terindikasi apalagi sudah terbukti korup, pemimpin wajib
menghadapinya dengan tegas. Bahkan harus lebih tegas dibanding siapa pun di kolong langit
ini. Orang baik, bersih, dan bijaksana, serta tegas sikapnya, tak perlu dinasihati orang lain
karena sudah mampu menasihati diri sendiri. Beliau pun tak perlu diberi saran orang lain
karena sudah ahli memberi saran bagi dirinya sendiri.
Di masyarakat pun tak perlu ada keluhan karena beliau sudah mendengar sebelum orang
mengeluh. Pendeknya, beliau sudah mendengar apa yang tak terdengar. Ini memang
pekerjaan berat dan terasa agak istimewa. Ketika ada keluhan, orang yang korup jangan
dijadikan pejabat negara, jawabnya harus jelas: “memang tidak”. Boleh pula ditambah: “dan
saya tak berniat menjadikannya pejabat”.
Syukur bila kemudian berpidato untuk memberi penegasan: “Jangan khawatir. Apa yang anda
semua pikirkan juga hal yang saya pikirkan.” Wah, kalau begini keadaannya, betapa
mentereng pemimpin kita.
Tapi, kalau menghadapi keluhan tadi diam-diam jawabnya “ra popo“, saat itu beliau bukan
lagi “tulodho“, bukan teladan yang wajib didengar. Ini ibarat Subali yang sudah ditinggalkan
oleh Wisnu, yang semula, sejak lama, ada di dalam dirinya.
Kita tahu, Subali ditinggalkan Wisnu berarti kehilangan kedewataan. Watak dewa pada
makhluk biasa itu pendeknya tidak ada lagi. Kita juga tahu, kehilangan kedewataan itu
37
tinggal ibarat “kayu growong kanggonan tekek“, ibarat pohon besar berlubang yang ditempati
tokek. Ini kayu yang tak ada gunanya.
Sesudah 100 hari memerintah, Jokowi disorot mata publik, dengan pertanyaan, dengan
keraguan, dengan kritik, dan bahkan dengan kemarahan dan rasa kecewa. Tapi, ada juga yang
tetap berharap dengan sikap mendukung. Jangan risau Pak Presiden, mereka berhak berbuat
begitu. Tapi, 100 hari itu belum apa-apa. Prestasi seseorang belum bisa ditentukan dalam
masa sependek itu.
Mungkin ada jawaban psikologis yang menyenangkan: jangan jadi Subali yang ditinggalkan
Wisnu. Jangan menjadi “kayu growong dinggoni tekek“tadi. Orang baik, bersih, dan
bijaksana, yang sudah belajar bersikap tegas, niscaya tak khawatir menghadapi apa yang bisa
dianggap “tim penilai” tadi. Silakan menilai, “ra popo“. Lakukan saja.
Jangan lupa, “ra popo“ itu seonggok kata yang memiliki kekuatan mantra sakti seperti sudah
terbukti pada masa pemilu tempo hari. “Ra popo“ bukan sembarang kata. Dia punya
pengaruh, dia punya wibawa. Tapi, saat ini, ketika keadaan terasa agak genting dan
mencemaskan, kata sebagai sekadar kata tak cukup.
Suara rakyat harus didengar. Kalau ada menteri bilang: “rakyat yang tak jelas” jangan
didengar, Pak Presiden boleh bilang: “ra popo“. Saya mendoakan, semoga “ra popo“ ini
menjadi kekuatan “mantra sakti”.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: dandanggula@hotmail.com
38
Kembalikan Ruh Perjuangan HMI
Koran SINDO
5 Februari 2015
“Kegagalan HMI kegagalan satu generasi, keberhasilan HMI keberhasilan satu generasi”
(Ahmad Wahib)
Di Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ke-68 tahun ini, penting mengetengahkan
kegelisahan Ahmad Wahib tersebut.
Maknanya, HMI sebagai representasi gerakan kaum menengah intelektual merupakan alat
perjuangan. Namun, alat itu kini sudah mulai tumpul bersamaan dengan dominasi warna
politik di HMI dan hampir semua gerakan mahasiswa dan pemuda lainnya.
Musti diakui, gerakan mahasiswa dan pemuda pasca 1998 telah kehilangan ruh
perjuangannya. Idealisme ekstraparlementer, gerakan politik moral, dan produktivitas
intelektual kini hanya mampu diwiridkan tanpa pernah hidup di dalam sanubari anak negeri.
Inilah yang terjadi pada para kader HMI dan mayoritas gerakan pemuda di negeri ini.
Mahasiswa dan pemuda yang semestinya mengambil peran kepeloporan, seolah kehilangan
keberdayaannya.
Di tengah kelesuan gerakan HMI, kita merindukan gagasan visioner baru yang kontekstual
dengan kondisi kebangsaan saat ini. Sudah waktunya mengembalikan HMI sebagai sentrum
gerakan pencerahan dan laboratorium intelektual demi melahirkan pemimpin muda yang
visioner, bermoral, dan berintegritas. Sebuah investasi kepemimpinan bangsa di masa depan.
Mari sejenak berkontemplasi. Luruhnya ruh perjuangan dan peran kepeloporan HMI
setidaknya dapat dinapaktilasi dari tiga indikator.
Pertama, pascagerakan reformasi 1998, HMI, dan mayoritas organisasi pemuda mengalami
antiklimaks. Beragam action, semisal demonstrasi, tak lagi murni mencerminkan kepentingan
rakyat, melainkan lebih diwarnai oleh rekayasa pesanan politik. Gerakan mahasiswa dan
pemuda kerap mengatasnamakan perjuangan hak rakyat, namun rakyat tidak pernah merasa
diperjuangkan hak-haknya.
Di satu sisi, HMI dan gerakan pemuda lebih mengandalkan hadirnya musuh bersama
(common enemy) di domain kekuasaan secara oposisional, ketimbang mengusung cita-cita
bersama secara konstruksional. Nah, pada saat siklus kekuasaan berubah dari sentralisme
menuju desentralisme, pola gerakan HMI pun ikut berubah mengikuti peta fragmentasi
39
kekuasaan. Akibatnya terjadi bias arah perjuangan.
Di sisi lain, tingginya libido politik praktis seolah menjadi wabah yang tak terelakkan dari
jantung organisasi HMI sehingga orientasi organisatoris kian pragmatis dan kehilangan
independensi karena larut di arus besar permainan politik (political mainstream). Itu terbukti
dari kecenderungan perpecahan (mufaraqah) organisatoris yang dipantik oleh momentum
peralihan kekuasaan (politik internal organisasi). Kelompok yang kalah biasanya tidak mau
menerima secara fair kekalahannya. Sebaliknya kelompok yang menang tidak mau
mengakomodasi kelompok kalah karena aspek rivalitas. Ujungnya, terjadi perpecahan di
mana masing-masing top leader berebut legitimasi kekuasaan.
Kedua, aktivitas kajian strategis-konseptual, penyamaan isu maupun pemetaan potensi kader
kian jarang dilakukan, kecuali hanya untuk menyangga kebutuhan struktural dan jauh dari
dimensi substansial.
Kader HMI saat ini lebih nyaman memilih pola pikir instan, ketimbang rumusan programatik
yang dianggap terlampau rumit dan bertele-tele. Maka wajar bila capaian gerakan kita hanya
sebatas tujuan “antara”. Artinya, kita piawai menggoyang ataupun menurunkan sebuah rezim
kuasa. Namun, tidak siap dengan grand design konsep restrukturisasi pasca runtuhnya rezim.
Pola gerakan yang digunakan lebih bersifat konfrontatif, ketimbang diplomatis. Semestinya
pola diplomasi dengan menyodorkan desain konsep dapat berimplikasi lebih sistemik
daripada harus selalu berkonfrontasi.
Ketiga, HMI dan organisasi pemuda sebagai entitas menengah intelektual belum mampu
memfungsikan diri sebagai jembatan yang menyambungkan jurang kesenjangan antara rakyat
(grassroots) dengan elite. Kita seolah lebih nyaman menjadi komunitas eksklusif yang
terpisah dari grassroots. Sebaliknya, kita kerap berposisi “butuh” kepada elite. Tidak terjadi
relasi yang integrated individual and community level empowerment, sebagaimana
dipesankan Louise Jennings dalam Toward a Critical Social Theory of Youth Empowerment.
Semangat Zaman HMI
Ada tiga hal yang melatarbelakangi berdirinya HMI, yakni dunia Islam, kebangsaan, dan
kemahasiswaan. Tiga ladang pengabdian ini senyatanya belumlah digarap secara maksimal.
Kondisi dunia Islam, sebagaimana diketahui, hingga kini masih diselimuti awan kegelapan.
Terorisme berbasis agama tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Paham anti-
pluralisme merebak di mana-mana dan siap mengoyak keragaman yang sudah sekian lama
terajut di negeri ini.
Di titik ini, HMI musti berada di garis depan mencegah munculnya virus-virus kedengkian
yang dibalut ajaran dan dogma agama. Nilai-nilai Islam inklusif, toleran, dan humanis
niscaya di-landing-kan dalam kenyataan berbangsa dan bernegara.
40
Pada kondisi kebangsaan kita saat ini, perilaku korupsi mewabah dari pusat hingga
daerah. Ini menyebabkan proses pembangunan menjadi terhambat karena dikemplangnya
kekayaan negara oleh segelintir elite negeri ini. Mereka memperkaya diri secara membabi
buta tanpa menyadari bahwa ada hak orang lain yang dirampasnya. HMI seharusnya
mengambil kembali semangat perjuangan yang dulu pernah dilakukan di masa kemerdekaan.
Sementara kondisi kemahasiswaan Indonesia saat ini masih dibelit krisis
identitas. Mahasiswa hari ini cenderung bergaya hidup hedonistis akibat infiltrasi globalisasi
melalui alat teknologi informasi dan komunikasi.
Mengambil kembali kendali nilai intelektualitas yang selama ini menjadi ciri khas HMI,
tidaklah bisa ditawar sebab keberadaannya inheren dalam diri seorang kader HMI. Mengutip
apa yang pernah dituturkan Cak Nur, “HMI adalah organisasi elite.” Elite bagi Cak Nur
bermakna kualitas intelektual individu dan kolektif berada di atas rata-rata kemampuan kader
organisasi mahasiswa dan kepemudaan secara umum.
Dengan kemampuan intelektual, kader HMI mampu membaca tanda-tanda perubahan zaman
yang semakin bergerak maju. Ia juga harus mampu menganalisis apa yang akan menjadi
tantangan ke depan untuk kemudian mempersiapkannya. Apalagi saat ini era pasar bebas
sudah dimulai dengan dicanangkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Yang
diperdagangkan tak hanya barang dan jasa, tapi juga tenaga kerja.
Jangan sampai HMI menjadi beban sejarah bangsa ini. Dengan jumlah anggota tersebar di
berbagai pelosok di Indonesia, peran HMI sebagai motor penggerak pembangunan bangsa
harus dibangkitkan kembali. Menjelang satu abad Indonesia, ruh perjuangan dan kiprah
intelektualisme HMI musti dikibarkan!!
AZHAR KAHFI
Ketua Bidang PTKP PB HMI
41
Mengembalikan HMI ke Tengah Rakyat
Koran SINDO
6 Februari 2015
Himpunan Mahasiswa Islam pada 5 Februari 2015 genap berusia 68 tahun. Usianya hanya
terpaut 18 bulan dengan usia Republik Indonesia.
Kita bersyukur hingga kini HMI tetap hadir dengan kiprah kader beserta alumninya yang
membanggakan. Dalam lingkungan kebangsaan yang terus mengalami dinamika dan
perubahan, HMI tetap mampu memerankan diri dan memberi kontribusi kepada kemajuan
masyarakat dan bangsa Indonesia secara produktif. Sepanjang usianya, HMI telah melahirkan
begitu banyak intelektual, pemimpin politik, aktivis sosial, birokrat, pengusaha, dan kaum
profesional lainnya.
Sejarah HMI menjadi berharga karena dukungannya secara terus-menerus terhadap
perkembangan bangsa Indonesia. Figur-figur besar seperti Lafran Pane, Ahmad Dahlan
Ranuwihardjo, Nurcholish Madjid, atau para syahid seperti Ahmad Wahib dan Munir, adalah
telaga hikmah yang menyediakan teladan bagi kita untuk terus menyegarkan semangat dalam
berjuang bagi kemajuan masyarakat.
Dari mereka kita belajar, siapa mau berjuang niscaya harus bersedia menanggung kerugian
kecil dan bersifat sementara untuk diri sendiri, dengan berani memusatkan perhatian pada
usaha mewujudkan kebajikan bagi orang banyak. Suatu usaha yang dilandasi keyakinan
bahwa tidak ada keberhasilan tanpa jerih payah, sebagaimana tidak akan ada bahagia hari
raya tanpa berpuasa.
Independensi adalah khitah, yaitu sikap terbuka dan selalu sedia menjaga jarak yang sama
dengan segala hal, kecuali kebenaran. Independensi bukanlah sikap pasif menunggu ke mana
embusan angin, namun berwujud pada kerja amar makruf. Dalam bingkai kekinian, amar
makruf berarti proaktif, saling membantu, bergotong royong, membangun, dan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat.
Dalam lapangan pengabdian masa kini, amar makruf tak bisa lagi sekedar mengandalkan
semangat berkobar saja, namun juga mensyaratkan wawasan keilmuan mendalam dan
kemampuan teknis yang mumpuni. Keduanya menjadi prasyarat dari profesionalitas dalam
sebuah bidang spesialisasi. Tentu bukan profesional yang tinggal di menara gading, namun
seorang spesialis yang tekun dan konsisten, yang membaktikan kemahirannya secara tulus
dalam memecahkan masalah kemasyarakatan.
Dengan semangat tersebut, kami menyelenggarakan kepengurusan PB HMI periode 2013-
2015, yang alhamdulillah telah menginjak akhir tahun kedua. Berkat perhatian dan bantuan
42
dari banyak pihak, kepengurusan PB HMI kali ini dapat berlangsung kondusif dan
kontributif. Independensi organisasi dan soliditas kepengurusan relatif terjaga sepanjang
momentum politik yang telah berlalu.
Melalui kepengurusan ini, PB HMI telah memiliki kantor/sekretariat baru di Jln. Sultan
Agung 25A, beranjak dari kantor lama di Jln. Diponegoro 16A. Untuk menunjang
konsolidasi, kami segera luncurkan insancita.co, portal jejaring sosial khusus HMI.
Penataan pranata organisasi juga terus dilakukan melalui peningkatan kapasitas pengurus,
pembaruan pedoman perkaderan, dan penguatan lembaga-lembaga profesi serta badan
penelitian dan pengembangan. Juga yang sedang berjalan, yaitu pendalaman demokrasi
substansial melalui pendampingan komunitas, masih akan terus dilaksanakan.
***
Membincang HMI adalah membincang wajah-wajah optimistis bagi keindonesiaan. Tidak
saja karena sejarah HMI, pada tapal-tapal sejarah dan momentumnya yang paling
menentukan, berjalin erat dengan sejarah bangsa ini. Juga karena HMI akan terus menjadi
ruang belajar bagi mahasiswa Islam untuk mendidik diri dan berkontribusi aktif bagi
pembangunan bangsa.
Indonesia kini selayaknya diberi nama Indonesia pasca-Reformasi. Dengan segala
kekurangannya, impian-impian yang mengemuka pada gerakan Reformasi 1998 bisa
dikatakan sudah berakhir. Periode perubahan rezim sudah berlalu dan menghasilkan banyak
perubahan: kebebasan sipil-politik yang meluas, luruhnya supremasi militer, dan bangkitnya
politik sipil melalui gerakan kesukarelawanan dan sistem multipartai.
Indonesia kini telah mantap berada di jalur konsolidasi demokrasi. Tantangan terbesar
menuju demokrasi yang bermutu tinggi adalah masalah pembagian sumber daya politik yang
timpang. Secara ideal, mestinya setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk
menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negara.
Tugas pemerintah adalah mengeliminasi jarak yang menganga, di antara aspirasi rakyat dan
kebijakan negara. Dalam hal ini, kita selalu membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan
aspiratif. Kepemimpinan yang tangguh bukan hanya karena dukungan koalisi politik, namun
karena berpegang teguh pada konstitusi, sambil merendahkan telinganya pada jerit aspirasi
masyarakat.
Demokrasi kita melalui pemilukada langsung, dengan segala kurang di segala sisinya, telah
menerbitkan harapan. Sejalan dengan desentralisasi kekuasaan, muncul banyak kepala daerah
yang menunjukkan kepemimpinan yang berkomitmen dan mengakar kuat pada aspirasi lokal.
Sejak awal kemerdekaan Republik, sirkulasi kepemimpinan nasional selalu berasal dari jalur
pendidikan, militer, organisasi massa, dan dunia bisnis. Kepemimpinan daerah kini telah
43
menjadi rahim baru bagi kepemimpinan nasional. Prospek dan keberhasilan model
kepemimpinan ini, kita sedang menunggu pembuktiannya, tak lain tak bukan adalah pada
figur presiden kita saat ini, Bapak Ir. Joko Widodo.
Penguatan kelembagaan demokratis dan pembagian sumber daya politik melalui emansipasi
rakyat adalah pilihan model perjuangan HMI yang relevan untuk dilaksanakan. Inilah saatnya
mobilitas HMI dikembalikan ke tengah-tengah rakyat.
Dalam hal ini, HMI dapat bekerja memperkuat masyarakat madani (civil society) sebagai
pengimbang kekuasaan negara dan pasar. Dengan mengisi ruang kosong dalam sistem
demokrasi, tentunya peran HMI semakin menemukan relevansinya dengan keinginan untuk
memenuhi kesejahteraan rakyat.
***
Bangsa Indonesia sedang berada pada kesempatan emas untuk segera melenting menjadi
bangsa yang maju dan sejahtera. Struktur penduduk Indonesia sedang menjanjikan
kesempatan untuk segera mencapai masa gemilang tersebut. Bonus demografi yang kita
peroleh sejak 2012 perlu dimanfaatkan segera, untuk memacu produktivitas angkatan kerja
dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Pada puncaknya kelak di tahun 2028, jumlah angkatan kerja mencapai 67% dari seluruh
penduduk, dan rasio kebergantungan jatuh hingga titik terendah 47%, artinya 100 penduduk
usia produktif hanya menanggung 47 usia non-produktif. Tulang punggung pemanfaatan
bonus demografi adalah pemuda. Konsentrasi pembangunan pemuda menjadi strategis bukan
hanya karena jumlahnya, karena inilah masa penentuan kualitas dalam kehidupan seseorang.
Perubahan kondisi sosial-ekonomi yang terjadi pada pemuda akan menentukan perubahan
yang berlangsung sepanjang hidupnya. Kunci utamanya adalah pendidikan yang berkualitas
dan terbuka bagi semua. Tak boleh ada satu pun remaja yang luput dari akses terhadap
lembaga pendidikan.
Metode belajar harus diusahakan dapat sesuai dengan kebutuhan sosial dan menekankan pada
keterampilan hidup (life skill), yaitu penguatan karakter dan kemampuan sosial. Selain itu,
kita perlu segera mengubah paradigma, dengan memperlakukan pemuda sebagai aset dan
kekuatan, bukan beban masalah. Memandang pemuda sebagai beban masalah hanya akan
membawa pada kebijakan jangka pendek yang reaksioner, sekadar anti-ini dan anti-itu.
Sebaliknya dengan memperlakukan pemuda sebagai aset dan kekuatan masa depan, niscaya
membawa pada model kebijakan yang sistematis dan berorientasi pembangunan jangka
panjang.
HMI sebagai organisasi mahasiswa, dengan kesempatan mengakses pendidikan dan
pekerjaan lebih tinggi dibanding sebayanya, diminta atau tidak, akan selalu ikut bertanggung
jawab untuk melakukan pendampingan terhadap pemuda yang tak berkesempatan.
44
Dengan potensi dan sebaran kader dan alumni HMI di seluruh Indonesia, kita sesungguhnya
bisa berbuat lebih banyak untuk membantu penyediaan ruang belajar dan beraktualisasi bagi
peningkatan kapasitas SDM pemuda. Jika satu cabang HMI minimal memiliki satu model
pendampingan komunitas. Dengan 200 lebih cabang yang kita miliki saat ini, ditambah
gandeng tangan dari alumni dan lembaga yang ikut berpihak, maka sesungguhnya satu
pekerjaan besar sedang kita bangun; menyiapkan generasi masa depan Indonesia yang
unggul.
Setiap organisasi barangkali tak bisa berkelit untuk melaksanakan tugas sejarahnya. Merawat
warisan nilai dan teladan dari para pendahulu yang baik, sambil menerima perubahan di masa
kini untuk kemajuan yang lebih baik. Semoga penyampaian ini mendapat perkenan, dalam
konteks saling mengingatkan dalam kebenaran, untuk memandu kita semua pada citacita
masyarakat adil dan makmur yang diridai oleh Allah SWT. Yakin Usaha Sampai.
ARIEF ROSYID HASAN
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)
45
Humpty Dumpty
Koran SINDO
8 Februari 2015
Humpty Dumpty adalah makhluk dalam lagu nina bobok-nya orang Inggris. Lagu tradisional
rakyat Inggris yang diperkirakan sudah populer sejak 1797 itu tidak jelas siapa pengarangnya,
tetapi setiap ibu di Inggris, hafal lirik itu yang salah satu versinya seperti ini: Humpty Dumpty
sat on a wall, Humpty Dumpty had a great fall. All the kings horses and all the kings men
Couldnt put Humpty together again.
Kalau saya terjemahkan bebas, kira-kira versi bahasa Indonesia-nya seperti ini: Humpty
Dumpty duduk di dinding tinggi, Humpty Dumpty jatuh tak bisa bangun lagi. Semua kuda
dan tentara raja tak bisa jadikan Humpty Dumpty seperti semula.
Tidak ada yang tahu Humpty Dumpty itu makhluk apa dan bentuknya seperti apa, tetapi pada
1904 seorang artis membuat buku cerita tentang Humpty Dumpty yang digambarkannya
sebagai makhluk anthropomorphic egg atau makhluk berbentuk telur yang mirip manusia
yaitu bisa berbicara dan bertingkah laku seperti manusia.
Di Amerika Serikat, sosok Humpty Dumpty sudah dimasukkan ke dalam lagu-lagu, dongeng,
buku, dan film, bahkan kajian filsafat dan etika. Tak terhitung jumlahnya. Tetapi, salah satu
yang menarik adalah seperti yang diceritakan dalam literatur klasik In Through the Looking-
Glass (Masuk melalui Gelas Kaca), di mana si makhluk telur itu bertemu seorang gadis kecil
bernama Alice (kalau tidak salah adegan ini ada dalam film kartun Walt Disney Alice in the
Wonderland) dan mereka mengobrol.
“Aku benar-benar tak mengerti apa arti kejayaan,” kata Alice. Humpty Dumpty menjawab
dengan angkuh, “Pasti kamu tidak akan mengerti, sampai suatu saat saya kasih tahu artinya.
Jadi bagiku itu pukulan yang mematikan untukmu.”
“Tetapi, arti kejayaan kan bukan pukulan yang mematikan?” Alice memprotes. Humpty
Dumpty tersenyum sinis. “Ketika saya menggunakan satu kata,” katanya, “Arti kata itu
tergantung pada saya sendiri. Tidak kurang dan tidak lebih.”
“Jadi, kamu boleh membuat kata dengan arti apa saja sesukamu?” Alice bertanya lagi karena
tidak mengerti. “Jadi, tergantung siapa yang berkuasa, dialah yang memberi arti pada suatu
kata,” ucap Humpty Dumpty masih tetap sinis, “Apa mau dikata, kata-kata itu memang
misteri.”
***
46
Maka itu, dialog ini sampai dibahas dalam ilmu filsafat segala karena maknanya dalam
banget. Buat saya saja (yang, maaf, profesor) diperlukan pemikiran yang mendalam untuk
memahami dialog itu, apalagi buat orang awam.
Tetapi, dialog itu di dalam buku maupun film ditujukan untuk anak-anak. Barangkali anak-
anak yang otaknya belum terlalu ruwet seperti orang dewasa malah lebih bisa memahaminya
karena anak-anak itu selalu dalam posisi bawahan, yang harus selalu menurut apa kata
penguasa, termasuk papa, mama, opa, oma, ibu dan bapak guru, dan sebagainya.
Misalnya kejadian yang baru-baru ini dialami Valerie. Sepulang dari sekolah (dia kelas V
SD), baru saja masuk rumah terdengar suara klakson penjual es krim kesukaan dia. Segera
dia bilang pada mamanya, “Ma, beli es krim, ya?” Mamanya yang sedang asyik ngerumpi
sama tetangga yang suaminya selingkuh, segera menjawab, “Iya, sana-sana, ambil duitnya di
dapur.” Maka Valerie segera memanggil tukang es krim, melesat mengambil uang di dapur,
dan sekejap kemudian dia sibuk menjilati es krim kesukaannya.
Esoknya, pas pulang sekolah juga, si tukang es krim lewat lagi. Es kriimmm...tot...tot...tot.
Karena pengalaman kemarin, otomatis Valerie minta mamanya lagi, dong, “Ma, beli es krim,
ya?”. Tapi, kali ini Mama sedang kesal karena suaminya tidak menjawab ketika ditelepon dan
di-SMS, “Jangan-jangan dia lagi selingkuh juga seperti suaminya Ibu Ayub, tetangga
sebelah,” pikir Mama. Maka dengan jengkel dia menjawab permintaan Valerie, “Apaa?
Eeeh... udah ... sana-sana!” Dengan gembira Valerie berlari hendak menyetop si tukang es
krim lagi. Tetapi, mamanya segera memanggilnya kembali, “Heeh, Valerie!! Mau ke mana
kamu?” “Mau manggil es krim, Ma,” Valerie menjawab sambil menghentikan larinya. “Siapa
yang suruh kamu beli es krim? Ini kan jam tidur siang. Sana-sana kamu tidur siang, nanti sore
belajar, besok kan ulangan!” perintah si Mama tegas.
Siapa yang tidak bingung coba. Kemarin ‘sana-sana’ artinya ‘boleh beli es krim’, sekarang
‘sana-sana’ artinya ‘harus tidur siang’. Itulah yang dimaksud oleh Humpty Dumpty bahwa
penguasa suka mainkan arti kata-kata seenaknya sendiri. Selama dia yang berkuasa, dialah
yang menentukan arti-arti kata-kata itu.
Di dunia birokrasi ada dialog seperti ini. Lurah: Jadi mulai hari ini, kita bisa deklarasikan
bahwa kelurahan kita bebas banjir. Nanti akan saya laporkan ke Pak Wali agar kota kita
mendapat penghargaan Adipura. // Ketua RW 04: Belum bisa Pak Lurah. Di RW saya, RT 12
dan sebagian RT 13 masih kebanjiran.// Lurah: Aaah... itu mah cuma air tergenang namanya,
bukan banjir. Sebentar lagi juga surut. Udah, pokoknya tanda tangan saja, deklarasinya ya
Pak RW. Nanti kalau kita menang Adipura, kita potong kambing, sekalian doakan saya
supaya SK pengusulan saya jadi camat cepat ditandatangani Pak Wali.
Jadi kata ‘banjir’ pun bisa banyak artinya.
***
47
Kalau kita tarik lagi ke bidang politik, kita akan tambah mumet lagi. Misalnya istilah-istilah
seperti: koalisi abadi, Plt (pelaksana tugas), seratus hari, menunda, tidak memberhentikan,
kader partai atau petugas partai, revolusi mental, dan seterusnya. Semua membingungkan.
Bagaimana kita bisa membangun bangsa dan negara kalau semua kebingungan.
Ibaratnya pasukan tentara, kalau ada aba-aba “Siaaap...grak!” Otomatis diikuti oleh seluruh
pasukan dengan serempak karena aba-aba itu hanya satu artinya. Kalau aba-aba itu boleh
dikritisi oleh setiap anggota pasukan, pasti pasukan akan berantakan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
48
Jakarta, Oh Jakarta
Koran SINDO
9 Februari 2015
Jakarta adalah sebuah nama yang begitu melekat di seluruh telinga rakyat Indonesia. Kota
yang menjanjikan segudang harapan bagi siapa pun yang berani bertaruh jiwa, merenda nasib
untuk memenuhi hasrat khayali kehidupan di alam imajinasi.
Daerah yang tumbuh menjadi ibu kota negara ini tumbuh menjadi raksasa Nusantara di
tengah inferiornya berbagai daerah dengan kekuatan yang tak tertandingi yang dimilikinya.
Jakarta adalah pusat kekuasaan, di mana seluruh jaringan kekuasaan di berbagai daerah di
seluruh negeri ini keputusannya ditetapkan di Jakarta. Hampir seluruh kekuatan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, di Jakartalah ditentukan keputusannya. Hampir seluruh kerajaan
bisnis dari mulai pertanian, kehutanan, pertambangan, energi, hiburan, televisi, perfilman,
dan perbankan, semuanya terpusat di Jakarta.
Jakarta menjadi ”tuhannya” orang Indonesia. Jakarta tumbuh menjadi kekuatan yang
dipertuhan, yang mampu menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia.
Keperkasaan Jakarta sebagai pusat dari segala-galanya telah memberikan berkah bagi
melimpahnya rezeki Pemerintah Sang Ibu Kota. Rp79,6 triliun adalah sebuah anggaran yang
cukup fantastik untuk menjadi kekuatan penggerak kesejahteraan dari wilayah yang
penduduknya kurang lebih 10 juta jiwa. Dari penduduk itu pun, sudah didominasi oleh orang-
orang kaya, para pemegang sumber otoritas keuangan di negeri ini. Bandingkan dengan kami,
Rp1,8 triliun untuk penduduk kurang lebih 1 juta jiwa.
Kecukupan tersebut telah melahirkan kebingungan pengelolaan keuangan sehingga
keuangannya nyaris tidak terserap. Ketidakterserapan melahirkan kegamangan, melahirkan
kegalauan, lahirlah angka fantastik untuk gaji para pegawai negeri yang membikin iri seluruh
penghuni negeri Indonesia. Betapa tidak, gaji seorang lurah Rp33 juta, gaji seorang camat
Rp48 juta, gaji seorang wali kota Rp75 juta. Andaikata kami harus mengikutinya, sudah
dapat dibayangkan, seluruh pelayanan pemerintah akan terhenti karena uang kami habis
hanya untuk membayar gaji para pegawai negeri.
Kini kami hanya menanti penuh harap aliran mobil yang berpelat nomor B agar mau mampir
makan di warung-warung kami, menginap di hotel-hotel melati kami, sehingga kami bisa
mendapatkan 10% pajak hotel dan restoran. Itu pun kalau mereka mau membayarnya.
Pabrik-pabrik di kampung kami yang mengepulkan asap pekat, limbah yang berlimpah,
sering menimbulkan keracunan bagi warga kami dan matinya ikan-ikan di sungai kami serta
tumbuhnya kemiskinan baru karena ladang penghidupan yang tergusur dan tradisi yang
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

More Related Content

What's hot

Sejarah ringkas nabi muhammad saw sejak lahir sampai wafat
Sejarah ringkas nabi muhammad saw sejak lahir sampai wafatSejarah ringkas nabi muhammad saw sejak lahir sampai wafat
Sejarah ringkas nabi muhammad saw sejak lahir sampai wafatMuthohharul Janan
 
Sejarah nabi muhammad saw
Sejarah nabi muhammad sawSejarah nabi muhammad saw
Sejarah nabi muhammad sawdeliah cute
 
Kisah nabi muhammad
Kisah nabi muhammadKisah nabi muhammad
Kisah nabi muhammadcahgresik
 
Kelas 07 SMP Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Siswa Bab 5
Kelas 07 SMP Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Siswa Bab 5Kelas 07 SMP Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Siswa Bab 5
Kelas 07 SMP Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Siswa Bab 5sitisarahrahmania
 
Kisah nabi muhammad saw
Kisah nabi muhammad sawKisah nabi muhammad saw
Kisah nabi muhammad saweka_setyawati
 
Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAWSejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAWFirdika Arini
 
Musni Umar: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pembebasan Indonesia dari Penjajaha...
Musni Umar: Maulid Nabi Muhammad  SAW dan Pembebasan Indonesia dari Penjajaha...Musni Umar: Maulid Nabi Muhammad  SAW dan Pembebasan Indonesia dari Penjajaha...
Musni Umar: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pembebasan Indonesia dari Penjajaha...musniumar
 
Riwayat hidup rasulullah s
Riwayat hidup rasulullah  sRiwayat hidup rasulullah  s
Riwayat hidup rasulullah ssiti yaakob
 
Kelahiran nabi
Kelahiran nabiKelahiran nabi
Kelahiran nabiselikurfa
 
Selamat datang-nabi-muhammad-saw-kekasihku
Selamat datang-nabi-muhammad-saw-kekasihkuSelamat datang-nabi-muhammad-saw-kekasihku
Selamat datang-nabi-muhammad-saw-kekasihkumateriumat
 
10 sahabat yang dijamin masuk surga
10 sahabat yang dijamin masuk surga10 sahabat yang dijamin masuk surga
10 sahabat yang dijamin masuk surgaBahRum Subagia
 
Materi PAI Kelas 7 BAB V
Materi PAI Kelas 7 BAB VMateri PAI Kelas 7 BAB V
Materi PAI Kelas 7 BAB VFaridAtoz
 

What's hot (18)

Sejarah ringkas nabi muhammad saw sejak lahir sampai wafat
Sejarah ringkas nabi muhammad saw sejak lahir sampai wafatSejarah ringkas nabi muhammad saw sejak lahir sampai wafat
Sejarah ringkas nabi muhammad saw sejak lahir sampai wafat
 
Sejarah nabi muhammad saw
Sejarah nabi muhammad sawSejarah nabi muhammad saw
Sejarah nabi muhammad saw
 
Kisah nabi muhammad
Kisah nabi muhammadKisah nabi muhammad
Kisah nabi muhammad
 
Bab xii
Bab xiiBab xii
Bab xii
 
Bab 8 Sejarah Nabi Muhammad SAW
Bab 8  Sejarah Nabi Muhammad SAWBab 8  Sejarah Nabi Muhammad SAW
Bab 8 Sejarah Nabi Muhammad SAW
 
Kisah Nabi Muhammad Saw
Kisah Nabi Muhammad SawKisah Nabi Muhammad Saw
Kisah Nabi Muhammad Saw
 
Bab xi
Bab xiBab xi
Bab xi
 
Kelas 07 SMP Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Siswa Bab 5
Kelas 07 SMP Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Siswa Bab 5Kelas 07 SMP Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Siswa Bab 5
Kelas 07 SMP Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Siswa Bab 5
 
Kisah nabi muhammad saw
Kisah nabi muhammad sawKisah nabi muhammad saw
Kisah nabi muhammad saw
 
Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAWSejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW
 
Musni Umar: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pembebasan Indonesia dari Penjajaha...
Musni Umar: Maulid Nabi Muhammad  SAW dan Pembebasan Indonesia dari Penjajaha...Musni Umar: Maulid Nabi Muhammad  SAW dan Pembebasan Indonesia dari Penjajaha...
Musni Umar: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pembebasan Indonesia dari Penjajaha...
 
Riwayat hidup rasulullah s
Riwayat hidup rasulullah  sRiwayat hidup rasulullah  s
Riwayat hidup rasulullah s
 
Kelahiran nabi
Kelahiran nabiKelahiran nabi
Kelahiran nabi
 
Kisah nabi muhammad 2
Kisah nabi muhammad 2Kisah nabi muhammad 2
Kisah nabi muhammad 2
 
Selamat datang-nabi-muhammad-saw-kekasihku
Selamat datang-nabi-muhammad-saw-kekasihkuSelamat datang-nabi-muhammad-saw-kekasihku
Selamat datang-nabi-muhammad-saw-kekasihku
 
10 sahabat yang dijamin masuk surga
10 sahabat yang dijamin masuk surga10 sahabat yang dijamin masuk surga
10 sahabat yang dijamin masuk surga
 
Materi PAI Kelas 7 BAB V
Materi PAI Kelas 7 BAB VMateri PAI Kelas 7 BAB V
Materi PAI Kelas 7 BAB V
 
Kisah nabi muhammad
Kisah nabi muhammadKisah nabi muhammad
Kisah nabi muhammad
 

Similar to (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

76 karakter2 yahudi dalam al-Qur'an
76 karakter2 yahudi dalam al-Qur'an76 karakter2 yahudi dalam al-Qur'an
76 karakter2 yahudi dalam al-Qur'anSultan Aziansyah
 
SEPULUH WAJAH ISLAM.docx
SEPULUH WAJAH ISLAM.docxSEPULUH WAJAH ISLAM.docx
SEPULUH WAJAH ISLAM.docxSatyaWati3
 
ISLAM TIDAK COCOK UNTUK WANITA INDONESIA
ISLAM TIDAK COCOK UNTUK WANITA INDONESIAISLAM TIDAK COCOK UNTUK WANITA INDONESIA
ISLAM TIDAK COCOK UNTUK WANITA INDONESIASatyaWati3
 
Syahadat Sempurna - Langkah Kecil Kokohkan Iman
Syahadat Sempurna - Langkah Kecil Kokohkan ImanSyahadat Sempurna - Langkah Kecil Kokohkan Iman
Syahadat Sempurna - Langkah Kecil Kokohkan ImanSuryono .
 
KESURUPAN ALLOH VS SETAN.docx
KESURUPAN ALLOH VS SETAN.docxKESURUPAN ALLOH VS SETAN.docx
KESURUPAN ALLOH VS SETAN.docxSatyaWati3
 
Pendidikan Pancasila Kelompok 1 Sila Pertama.pptx
Pendidikan Pancasila Kelompok 1 Sila Pertama.pptxPendidikan Pancasila Kelompok 1 Sila Pertama.pptx
Pendidikan Pancasila Kelompok 1 Sila Pertama.pptxMukhamadMuslim
 
Novel my heart to you (novel dakwah dan cinta).pdf
Novel my heart to you (novel dakwah dan cinta).pdfNovel my heart to you (novel dakwah dan cinta).pdf
Novel my heart to you (novel dakwah dan cinta).pdfHabilihAbdulrojak
 
AHMADIYAH (QADIYANIYAH)
AHMADIYAH (QADIYANIYAH)AHMADIYAH (QADIYANIYAH)
AHMADIYAH (QADIYANIYAH)aswajanu
 
Iman kepada kitab kitab allah
Iman kepada kitab kitab allahIman kepada kitab kitab allah
Iman kepada kitab kitab allahnuridabudi
 
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015ekho109
 
KUDETA MUHAMMAD TERHADAP YESUS
KUDETA MUHAMMAD TERHADAP YESUSKUDETA MUHAMMAD TERHADAP YESUS
KUDETA MUHAMMAD TERHADAP YESUSSatyaWati3
 
PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docxPERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docxSatyaWati3
 
COVER B PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
COVER B PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docxCOVER B PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
COVER B PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docxSatyaWati3
 

Similar to (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015 (19)

76 karakter2 yahudi dalam al-Qur'an
76 karakter2 yahudi dalam al-Qur'an76 karakter2 yahudi dalam al-Qur'an
76 karakter2 yahudi dalam al-Qur'an
 
SEPULUH WAJAH ISLAM.docx
SEPULUH WAJAH ISLAM.docxSEPULUH WAJAH ISLAM.docx
SEPULUH WAJAH ISLAM.docx
 
ISLAM TIDAK COCOK UNTUK WANITA INDONESIA
ISLAM TIDAK COCOK UNTUK WANITA INDONESIAISLAM TIDAK COCOK UNTUK WANITA INDONESIA
ISLAM TIDAK COCOK UNTUK WANITA INDONESIA
 
Syahadat Sempurna - Langkah Kecil Kokohkan Iman
Syahadat Sempurna - Langkah Kecil Kokohkan ImanSyahadat Sempurna - Langkah Kecil Kokohkan Iman
Syahadat Sempurna - Langkah Kecil Kokohkan Iman
 
KESURUPAN ALLOH VS SETAN.docx
KESURUPAN ALLOH VS SETAN.docxKESURUPAN ALLOH VS SETAN.docx
KESURUPAN ALLOH VS SETAN.docx
 
Barahini Ahmadiyah
Barahini Ahmadiyah Barahini Ahmadiyah
Barahini Ahmadiyah
 
Pendidikan Pancasila Kelompok 1 Sila Pertama.pptx
Pendidikan Pancasila Kelompok 1 Sila Pertama.pptxPendidikan Pancasila Kelompok 1 Sila Pertama.pptx
Pendidikan Pancasila Kelompok 1 Sila Pertama.pptx
 
Novel my heart to you (novel dakwah dan cinta).pdf
Novel my heart to you (novel dakwah dan cinta).pdfNovel my heart to you (novel dakwah dan cinta).pdf
Novel my heart to you (novel dakwah dan cinta).pdf
 
AHMADIYAH (QADIYANIYAH)
AHMADIYAH (QADIYANIYAH)AHMADIYAH (QADIYANIYAH)
AHMADIYAH (QADIYANIYAH)
 
Iman kepada kitab kitab allah
Iman kepada kitab kitab allahIman kepada kitab kitab allah
Iman kepada kitab kitab allah
 
Modul PIM 3123 SEM6
Modul PIM 3123 SEM6Modul PIM 3123 SEM6
Modul PIM 3123 SEM6
 
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
 
Obsesi 28 azam
Obsesi 28 azamObsesi 28 azam
Obsesi 28 azam
 
fihi ma fihi.pdf
fihi ma fihi.pdffihi ma fihi.pdf
fihi ma fihi.pdf
 
Mengenal pemikiran gus dur
Mengenal pemikiran gus durMengenal pemikiran gus dur
Mengenal pemikiran gus dur
 
KUDETA MUHAMMAD TERHADAP YESUS
KUDETA MUHAMMAD TERHADAP YESUSKUDETA MUHAMMAD TERHADAP YESUS
KUDETA MUHAMMAD TERHADAP YESUS
 
PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docxPERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
 
COVER B PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
COVER B PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docxCOVER B PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
COVER B PERANG BHARATA YUDHA DIGITAL.docx
 
Tokoh Sahabat : Abu Hurairah R.A
Tokoh Sahabat : Abu Hurairah R.ATokoh Sahabat : Abu Hurairah R.A
Tokoh Sahabat : Abu Hurairah R.A
 

Recently uploaded

ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxawaldarmawan3
 
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau tripletMelianaJayasaputra
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapsefrida3
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxbkandrisaputra
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptxGiftaJewela
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxnerow98
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxSyaimarChandra1
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 

Recently uploaded (20)

ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
 
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 

(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

  • 1. 1 DAFTAR ISI MANAJER-MANAJER TUHAN Komaruddin Hidayat 4 RAJA ABDULLAH DAN DIALOG ANTARAGAMA Tom Saptaatmaja 7 CUCU Sarlito Wirawan Sarwono 10 KEJARLAH DAKU, KAU KUTANGKAP Dedi Mulyadi 13 PERSATUAN YANG BELUM TERWUJUD Mohamad Sobary 17 DIPLOMASI HATI Saifuddin Aswari Rivai 20 MANTRA SIHIR MENJADI GURU PROFESIONAL Jejen Musfah 22 MENERTAWAKAN BANGSA SENDIRI Komaruddin Hidayat 25 MALU Sarlito Wirawan Sarwono 28 SERATUS HARI, KU HARUS KATAKAN APA? Dedi Mulyadi 31 RA POPO ITU MANTRA SAKTI Mohamad Sobary 35 KEMBALIKAN RUH PERJUANGAN HMI Azhar Kahfi 38 MENGEMBALIKAN HMI KE TENGAH RAKYAT Arief Rosyid Hasan 41 HUMPTY DUMPTY Sarlito Wirawan Sarwono 45 JAKARTA, OH JAKARTA Dedi Mulyadi 48 TAN MALAKA, J KASIMO, DAN GUS DUR
  • 2. 2 Mohamad Sobary 51 GAJI PNS Rhenald Kasali 54 HARI ORANG SAKIT SEDUNIA FX Wikan Indrarto 58 PRO-KONTRA ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN Faisal Ismail 61 JAKARTA PERLU BELAJAR DARI KOTA LAIN Ivan Hadar 64 PK Sarlito Wirawan Sarwono 67 RADIO DAN SINGKONG Eddy Koko 70 KASIH BERSEMI DI SAAT BANJIR Dedi Mulyadi 74 MEMBAHAS TEMBAKAU DALAM PERSAHABATAN Mohamad Sobary 77 RUU PERTEMBAKAUAN, CARA ELEGAN TOLAK IMPOR REGULASI Zamhuri 80 GUS DUR, TIONGHOA, DAN PKB A Halim Iskandar 84 IHWAL JARGON DI RANAH PUBLIK Yuliz AR Komarawan 88 MENYELAMI PUSARAN BANJIR IBUKOTA Anna Luthfie 91 BERHARAP RUPIAH, MENDAPAT MUSIBAH Jejen Musfah 94 IMLEK DAN KESEJAHTERAAN Tom Saptaatmaja 97 ENTREPRENEUR SPIRITUAL Biyanto 100 DYSTOPIAN SOCIETY Komaruddin Hidayat 103
  • 3. 3 DI BALIK SAKIT HATI Yasmin Jamilah 106 MUBAHALAH DAN SUMPAH POCONG Moh Mahfud MD 108 EKSEPSIONALISME INDONESIA Faried F Saenong 111 SPRING ROLL Sarlito Wirawan Sarwono 113 GONG XI FA CAI, HUJAN REZEKI SEPANJANG TAHUN Dedi Mulyadi 115 MORALITAS POLITIK JOKOWI Mohamad Sobary 118 RAPUHNYA PILAR NEGARA Komaruddin Hidayat 121 DI SITU KADANG SAYA MERASA SEDIH Sarlito Wirawan Sarwono 124 HUJAN BATU DI MUSIM PACEKLIK Dedi Mulyadi 127 DEFISIT MORAL BERNEGARA Komaruddin Hidayat 131 MENGUBAH PERILAKU BANGSA Sudjito 133 KESADARAN MENGENAI WAKTU Mudji Sutrisno 136 DO NO HARM Dicky Pelupessy 140 BANGSA BERBUDAYA DAN BAHAGIA Mohamad Sobary 143 IMAN PERKAWINAN Sarlito Wirawan Sarwono 146 MAIN KAYU KE IBUKOTA, DI KAMPUNG BALIK KE KAYU BAKAR Dedi Mulyadi 149 BUDAYA MEMANIPULASI Mohamad Sobary 152
  • 4. 4 Manajer-Manajer Tuhan Koran SINDO 23 Januari 2015 Tidak menyesal diprovokasi oleh Andy F Noya untuk menonton film Bollywood berjudul PK. Film yang dibintangi Aamir Khan dan Anushka Sharma ini merupakan kritik tajam terhadap intoleransi kehidupan beragama yang telah memecah belah persahabatan sesama manusia, bahkan telah menimbulkan konflik berdarah-darah di berbagai belahan dunia. Kritik itu disajikan secara jenaka, kocak, dan sangat filosofis sehingga film yang berdurasi tiga jam ini terasa segar dan menghibur dari awal sampai akhir. Film ini mengingatkan saya pada film serupa, yaitu My Name is Khan yang dibintangi Shah Rukh Khan. My Name is Khan adalah kritik terhadap Barat yang selalu menaruh curiga pada Islam sebagai pemasok teroris. Kritik-kritik dalam film itu disampaikan secara jenaka, namun sangat mengena dan menghibur. Iklim perfilman di India memang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki negara mana pun. Mereka secara bebas bisa memperolok-olok pejabat negara semisal polisi yang brengsek lewat film tanpa kena sensor. Begitu pun dalam film PK ini, berbagai simbol dan tokoh agama yang bagaikan manajer-manajer Tuhan dikritik. Tokoh agama selama ini kerap mencari untung dengan menjual kewibawaan, ajaran, dan simbol agama yang disakralkan, padahal itu tak luput dari pabrikasi ulah manusia. Ceritanya dimulai ketika PK (Aamir Khan) yang datang dari planet lain mendarat ke Bumi untuk melakukan riset, namun dia tidak bisa kembali ke planet asalnya gara-gara jimat yang berupa kalung dicopet orang dan dibawa lari entah ke mana. Sebagai sosok alien, meskipun sangat cerdas, PK sama sekali tidak mengenal budaya manusia yang tinggal di Bumi. Nama PK sendiri, atau Tipsy dalam bahasa Inggris, artinya orang yang setengah mabuk dan perilakunya aneh. Dia telanjang dan tidak tahu bahasa manusia. Semuanya serbaasing, sehingga orang memanggilnya PK. Beruntung dia bertemu seorang reporter TV cantik bernama Jaggu (Anushka Sharma) yang setia menolongnya. Jaggu melihat PK memiliki keunikan. Dia berempati dan berusaha bersahabat untuk menggali misteri siapa sesungguhnya PK yang aneh namun cerdas itu. Di planet PK berasal, semuanya tanpa busana. Mereka berkomunikasi melalui pikiran langsung, tanpa sarana bahasa verbal. Oleh karena itu, dia heran dan merasa gaduh dengan bahasa manusia yang sedemikian banyak diksinya, namun banyak sekali kata-kata itu digunakan untuk menutupi kebohongannya. Antara pikiran, ucapan, dan tindakan tidak selalu sinkron. Bahasa tidak selalu mendekatkan antarpribadi, tapi malah menutupi atau menciptakan pertengkaran.
  • 5. 5 PK juga merasa aneh dan mulai belajar tentang busana. Antara laki-laki dan perempuan dipisahkan dan dibedakan oleh busananya. Padahal aslinya manusia terlahir telanjang, hadir dengan kelugasan dan kejujuran. Lebih mengherankan lagi adalah pakaian dan tradisi keagamaan yang beraneka ragam di mana antar kelompok justru mengklaim dirinya paling benar atau paling merasa dekat dengan Tuhan. Kelompok-kelompok agama itu memiliki manajer yang meyakini dirinya sebagai mandataris Tuhan. Para manajer itu sebagai perantara dan juru selamat untuk menyampaikan keluh kesah dan permintaan kepada Tuhan. Dengan cerdas dan jenaka, PK menjungkirbalikkan petuah-petuah para manajer Tuhan. Kalau istri sakit, misalnya, PK melarang datang ke kuil dan minta tolong pendeta untuk menyembuhkan dengan membayar uang. Namun, cintai dan rawatlah istri baik-baik dengan konsultasi ke dokter dan dibelikan obat. Berbagai makanan sesajen untuk Tuhan itu lebih baik dibagikan kepada orang miskin ketimbang dipersembahkan Tuhan yang tidak memerlukan makan dan minum. Ketika PK melihat orang berdoa di depan patung Tuhan, dan patung-patung itu pun dijual di sekitar kuil, PK membelinya dan kemudian memanjatkan doa kepadanya. Tetapi ketika doanya tidak terkabul, dia protes pada penjualnya dan ingin membeli yang lebih besar agar doanya terkabul. Tetapi lagi-lagi doanya tidak terkabul, maka dia mengolok-olok penjual patung Tuhan sebagai penipu. Adegan ini mengingatkan kita pada sosok Nabi Ibrahim ketika berdialog dengan Raja Namrud yang penyembah patung. Secara cerdas, Ibrahim mematahkan semua argumen Namrud yang kemudian marah dan Ibrahim dibakar, namun selamat. Menurut PK, di sana ada dua macam Tuhan. Pertama, Tuhan di langit, yang mahagaib, yang merupakan Tuhan sejati Pencipta semesta ini dan seluruh manusia. Kedua, ada Tuhan-Tuhan yang diciptakan oleh manusia lalu disembah dan dibelanya seakan Tuhan lemah sehingga memerlukan pembelaan manusia. Maka di Bumi, lalu muncul banyak Tuhan dan banyak agama. Masing-masing komunitas agama berdoa pada Tuhan ciptaannya sendiri. PK melihatnya dengan heran, ibarat melakukan komunikasi via telepon pada Tuhan yang sejati, banyak yang salah nomor sehingga doanya tidak sampai. Namun demikian, semuanya yakin bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan sejati. Akibat adanya keragaman agama dengan doktrin dan pemeluknya yang militan, konflik antarpemeluk agama tak terhindarkan. Ada agama yang menyucikan hewan sapi, tetapi ada pula agama yang menyuruh menyembelih sapi agar dicintai Tuhannya. Masing-masing kelompok menciptakan identitas masing-masing yang terlihat pada keunikan pakaiannya, tempat sucinya dan adegan ritualnya. Padahal, kata PK, ketika semuanya telanjang seperti penduduk planet dia berasal, semuanya sama karena di sana tak ada pakaian dan mereka berkomunikasi langsung melalui pikiran sehingga tidak ruwet dan tidak menimbulkan salah paham serta pertengkaran seperti di Bumi.
  • 6. 6 Perilaku dan dialog kritis PK dengan tokoh-tokoh agama itu menjadi tersebar luas berkat inisiatif dan kecerdikan Jaggu sebagai reporter TV yang menyiarkannya secara langsung. Pemirsa diajak membedakan antara substansi dan kemasan. Antara pembawa suara kebenaran dan manajer-manajer Tuhan yang bertindak bagaikan CEO institusi keagamaan. Setelah melakukan perjalanan panjang, lagi-lagi berkat bantuan Jaggu, jimatnya ketemu sehingga PK bisa kembali lagi ke planet asalnya. Dia berpesan pada temannya yang hendak melakukan ekspedisi ke bumi. Pertama, jangan terlalu percaya pada bahasa manusia, karena tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Kedua, harus mengetahui fungsi dan makna pakaian, karena jika salah memilih bisa menimbulkan malapetaka. Ketiga, ini yang paling lucu dan pedas, kalau ada orang berbicara tentang Tuhan, sebaiknya kamu menyingkir jauh-jauh saja. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 7. 7 Raja Abdullah dan Dialog Antaragama Koran SINDO 24 Januari 2015 Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz meninggal dunia dini hari tadi (23/1) pukul 01.00 waktu Arab Saudi. Berita meninggalnya raja kerajaan eksportir minyak utama dunia ini disiarkan langsung oleh televisi pemerintah Saudi. Saudaranya, Salman bin Abdulaziz Al Saud, otomatis menggantikannya sebagai raja Arab Saudi. Abdullah sudah dirawat selama beberapa minggu terakhir di rumah sakit akibat infeksi paru- paru. Ia juga mengalami sejumlah gangguan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Raja Abdullah meninggalkan lebih dari 30 anak dari lebih sepuluh istri (Sindonews.com, 23/1). Abdullah, yang diperkirakan lahir pada 1923, merupakan salah satu dari 12 putra Raja Abdulaziz Al Saud. Dia terpilih menjadi putera mahkota tahun 1982 setelah kakak tirinya, Fahd, naik takhta. Abdullah menjadi penguasa de facto di Arab Saudi tahun 1995 setelah Raja Fahd terserang stroke. Berkat kedekatannya dengan Amerika Serikat, Abdullah berhasil menekan Washington untuk menarik mundur pasukan yang ditempatkan di negara itu sejak invasi Amerika ke Kuwait tahun 1990. Amerika menarik seluruh pasukannya dari Arab Saudi tahun 1993. Meski memiliki kedekatan dengan Amerika, Raja Abdullah dilaporkan kerap frustrasi dengan kegagalan Amerika menjembatani konflik Israel-Palestina. Media internasional seperti BBC dan CNN memuji Abdullah sebagai sosok reformis yang mengizinkan kritik terbatas terhadap pemerintah negeri minyak ini, memberi kesempatan kepada wanita untuk bekerja, serta melakukan reformasi pendidikan dan infrastruktur. Dan di tengah hubungan antara Barat dan dunia Islam yang memanas akibat kasus Charlie Hebdo, kita perlu mengenang sekaligus mengapresiasi langkah-langkah Raja Abdullah dalam membangun dialog dan saling pengertian antar pemeluk ketiga agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam). Simak saja sang raja berani menyapa para pemimpin Kristen atau Yahudi, guna membangun jembatan dan masa depan dunia yang lebih baik. Ini terjadi ketika Raja Abdullah menggelar dialog antaragama tingkat dunia pada 12- 13 November 2008 di Markas Besar PBB di New York. Raja juga memprakarsai dialog perdamaian mengenai konflik di Timur Tengah. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, pada Selasa, 11/11/2008 di New York, AS, bahkan mengundang Raja Arab Saudi Abdullah dan Presiden Israel Shimon Peres untuk menghadiri
  • 8. 8 acara makan malam yang diselenggarakan sekjen PBB. Acara itu menjadi ajang pertemuan pertama antara Raja Arab Saudi dan Presiden Israel. Yang monumental, Raja Saudi itu pernah bertemu Paus Benediktus XVI di Roma pada 6/11/2007. Media Eropa, khususnya Italia, menyebut pertemuan itu sebagai peristiwa terbesar sepanjang 2007. Tentu Paus sangat gembira. Lagi pula, Gereja Katolik selalu mengapresiasi agama-agama lain, seperti Islam, sebagaimana tertulis dalam dokumen Nostra Aetate yang disahkan di Roma pada 28 Januari 1965. Sebelum tanggal tersebut, Gereja Katolik memang memandang tidak ada kebenaran dalam agama-agama lain. Namun Konsili Vatikan II, atas inisiatif Paus Yohannes XXIII lewat dokumen Nostra Aetate, berani meralat pandangan yang salah yang berlangsung selama berabad-abad. Mulai 28 Januari 1965, saat dokumen Nostra Aetate diresmikan, Gereja Katolik berani mengakui kebenaran agama-agama lain, seperti Islam. Bahkan menyangkut relasinya yang buruk di masa lalu dengan Islam, NA mencatat: ”Mengingat dalam peredaran zaman telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara Islam dengan Kristen, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk melupakan dan berani mengusahakan saling pengertian yang jujur serta mengajak memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan persaudaraan antar manusia” (Dokumen Nostra Aetate, Roma 28/1/1965). Malah sebelum tahun 1965, Nabi Muhammad SAW pada abad VI sudah mengajarkan bagaimana harus menyikapi perbedaan agama tanpa bersikap diskriminatif terhadap orang yang berbeda agama dengan kita. Dalam hal interaksi dengan ”ahlul kitab”, Nabi Muhammad memang sangat terkenal dengan toleransinya. Ini bisa dilihat dari adanya Pakta Madinah yang terkenal itu. Harold Coward juga menulis dalam bukunya Pluralisme-Tantangan bagi Agama-Agama bahwa ”Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan dari tradisi alkitabiah Yahudi dan Kristen. Rasa hormat beliau terhadap tradisi alkitabiah sungguh diperlihatkan dalam ajarannya”. Tentu rasa hormat itu tidak lepas dari sejarah ketika Muhammad memperjuangkan Islam. Dalam perjuangan itu, ada ikatan historis tentang persaudaraan Muhammad dengan orang Kristen yang sudah dimulai sejak abad ke-6 Masehi. Pernah dikisahkan, suatu hari Khadijah mengajak nabi, suaminya, mengunjungi saudara sepupunya Waraqah Ibnu Naufal yang menjadi rahib Kristen. Waraqah inilah yang menjelaskan makna kedatangan Gabriel atau Malaikat Jibril sebagai isyarat bahwa Muhammad telah diangkat menjadi seorang nabi. Bahkan ketika Muhammad muda sering ke Suriah untuk berdagang, para rahib Kristen, di antaranya Bahira, juga sudah meramalkan tentang kenabian Muhammad. Dalam perjuangan lebih lanjut, Muhammad juga pernah meminta perlindungan bagi para pengikutnya pada Raja Abissinia atau Etiopia yang beragama Kristen.
  • 9. 9 Raja Abdullah dalam pertemuan dengan Paus pada 2007, juga mengaku tersentuh oleh kisah yang menjadi fakta sejarah di atas. Maka semoga ini bisa menjadi pendorong untuk terus membangun kerja sama dan dialog seperti pernah diprakarsai Raja Abdullah. Ketua Umum PBNU KH Aqiel Siradj yang pernah berkhotbah di Gereja Algonz Surabaya, mengatakan, ”Bila kita tahu sejarah dan menjauhi perspektif adu domba, tak akan ada konflik antar agama, khususnya antara Islam dan Kristen”. Umat kristiani, Islam (bersama umat Yahudi) sebenarnya mewarisi satu warisan iman yang sama dari Abraham atau Ibrahim, sehingga ketiga agama ini sering disebut sebagai “Abrahamaic Religions”. Ibaratnya ketiga umat itu mendiami satu rumah besar Nabi Ibrahim dengan tiga kamar besar yang dihuni oleh “anak-anaknya” yang beragama Yahudi, Kristen, dan Islam. Selama ini ketiga agama ini memang sering terlibat dalam perang dingin, apalagi dengan munculnya kaum radikal yang mengharamkan dan menganggap dialog dan komunikasi antarumat beragama tak ada gunanya. Maka guna menumbuhkan saling pengertian, “anak- anak Nabi Ibrahim” khususnya di Tanah Air, perlu melanjutkan dialog yang sudah dirintis oleh Raja Abdullah, dengan berani keluar dari kamar masing-masing dan duduk di ruang tamu rumah Nabi Ibrahim. Ketika berada di kamar masing-masing, tentu setiap aturan hidup dalam kamar itu harus dipatuhi; tetapi ketika berada di ruang tamu, itulah kesempatan kita untuk menjalin dialog dan saling pengertian sehingga segala prasangka dan benih konflik bisa dimatikan sejak dini. Apalagi, daripada berlomba-lomba dalam konflik, kebencian dan permusuhan, mari kita kembali kepada ajakan berlomba-lomba dalam kebaikan,seperti diamanatkan Taurat, Injil, dan Alquran. TOM SAPTAATMAJA Teolog
  • 10. 10 Cucu Koran SINDO 25 Januari 2015 Salah satu cucu saya bernama Ammar. Umurnya 3 tahun, tetapi dia fasih sekali bermain gagdet. Yang paling disukainya adalah berbagai game tentang mobil. Dia sama sekali belum bisa membaca, tetapi dia tahu persis mana-mana yang harus disentuh dengan jari mungilnya untuk memunculkan merek mobil yang mana yang dia mau dan mau balapan dengan mobil yang merek apa. Bukan itu saja, dia menirukan suara-suara yang didengarnya, mulai dari bunyi tabrakan sampai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang diucapkannya begitu saja tanpa dia mengerti artinya, persis seperti burung beo. Cucu saya yang lain, sepupu Ammar, namanya Khalif. Umurnya 6 tahun, sudah di kelas 1 SD. Dia juga mulai kariernya seperti Ammar. Main gadget, dilanjutkan dengan nonton kartun Spiderman dan Ben 10, menirukan kata-kata bahasa Inggris dari gadget dan film, maka ketika masih di TK B, dia sudah fasih melafalkan Martin Luther King ”I have a dream” dalam bahasa Inggris yang bebas dari aksen Tegal seperti kalau eyang kakung-nya ceramah bahasa Inggris di Kongres Psikologi Internasional. Di sisi lain, ketika saya seumur kedua cucu saya itu, saya tinggal di Tegal, dengan bahasa Jawa Tegal yang kental. Ketika saya dites TOEFL untuk dikirim ke Amerika Serikat setelah menyelesaikan pendidikan psikolog, saya tidak lulus karena berpikirnya pun masih bahasa Jawa Tegal. Maka saya terpaksa les bahasa Inggris dulu di LIA (Lembaga Indonesia Amerika) dan mengulang tes lagi, kali ini untuk ke Inggris. Alhamdullilah, saya diterima belajar di Universitas Edinburgh, Skotlandia, dan di sanalah saya baru belajar bahasa Inggris betulan, sampai bisa berdiskusi dan menulis makalah dan makalah saya dimuat dalam jurnal internasional untuk yang pertama kali. Itu terjadi di awal tahun 1970-an. Tetapi, karena saya sudah terlanjur beraksen Tegal, maka logat Tegal itu tidak bisa lepas dari bahasa apa pun yang saya ucapkan. Dalam hal teknologi informasi, sampai jadi mahasiswa tahun kedua, saya hanya tahu radio. TVRI (hitam putih) baru ada ketika saya sudah kuliah di tingkat dua itu. TV berwarna baru saya kenal ketika saya sudah punya dua anak, komputer baru saya tahu ketika saya belajar lagi di Belanda untuk S-3 saya (akhir 1970-an), dan sejak 1980-an saya mulai menggunakan radio panggil atau biasa disebut Starko (salah satu merek provider radio panggil ketika itu), dan kemudian dengan cepat saya menggunakan internet, HP (handphone), email, Twitter, Blog, Facebook dan tentu saja HP saya berganti menjadi smartphone yang bisa untuk BBM, WA, selfie, bahkan untuk mencari jalan non-macet di Jakarta dengan menggunakan fasilitas GPS Googlemap atau Waze. Pokoknya dibandingkan dengan profesor
  • 11. 11 lain seusia saya, saya tergolong paling canggih dalam ilmu per-gadget-an. Tetapi dibandingkan dengan cucu-cucu saya, saya tetap kalah jauh. Baik dalam soal bahasa, maupun dalam soal per-gadget-an. Ibaratnya, cucu-cucu saya ini adalah native speakers dalam dunia bahasa Inggris dan per-gadget-an, karena sejak lahir sudah terpapar dengan semua hal yang generasi saya baru mempelajarinya setelah jauh masuk ke usia dewasa. Kesenjangan antara saya dan cucu saya memang sering dijadikan bahan lucu-lucuan kalau seluruh keluarga sedang ngumpul, tetapi kesenjangan tersebut sebetulnya mencerminkan perbedaan antar generasi yang di dunia sudah menimbulkan banyak problem yang serius. Dalam ilmu kependudukan, generasi saya yang lahir di sekitar tahun 1940 hingga 1960-an disebut generasi Baby Boomers (BB), anak-anak saya yang lahir antara 1960-1980-an disebut Generasi X (Gen-X) dan generasi yang lahir setelah tahun 1980 biasa disebut Generasi Y (Gen-Y). Ketiga generasi itu mempunyai cara pikir, perilaku dan gaya hidup serta artifak (benda-benda yang digunakan sehari-hari) yang sangat berbeda, terutama di masyarakat golongan menengah-atas yang rata-rata juga berpendidikan menengah-atas. Dengan perkataan lain, secara antropologis, ketiga generasi itu hidup dalam budaya yang berbeda. Artinya, ketiga generasi itu sebenarnya mengalami kesenjangan budaya, walaupun mereka boleh jadi tinggal dalam satu rumah. Itulah sebabnya hampir setiap ABG (anak baru gede) berkonflik dengan orangtuanya. Di perusahaan-perusahaan, para direktur dari generasi BB yang biasa dengan keteraturan dan disiplin, loyalitas serta kemapanan, tidak bisa mengikuti jalan pikiran para manajer dari Gen- X yang serba mau cepat, serba terobosan, dan cepat pindah kerja kalau ada job yang lebih baik. Gen-X lebih loyal pada dirinya sendiri bukan pada tempatnya dia bekerja. Tetapi, Gen-Y lebih dahsyat lagi. Dunia mereka sudah masuk ke dunia virtual (maya), bukan dunia nyata, apalagi lokal (keluarga, tetangga, teman sekolah dll.). Seorang Gen-Y bisa duduk sama pacarnya di kafe, sambil masing-masing ngobrol melalui gadget masing-masing dengan teman masing-masing yang berada di tempat lain, boleh jadi si teman maya itu ada di negara lain, ribuan mil dari kafe tempat mereka pacaran. Karena itu, Gen-Y disebut juga generasi milenial atau generasi internet atau bahkan generasi autis. Karena dunia mereka adalah dunia global, dan pengaruh media sosial lebih kuat daripada media massa, maka berbagai ide dan ideologi masuk ke kepala mereka. Kalau globalisasi Gen-X masih terbatas pada budaya pop Amerika, termasuk McD dan KFC, globalisasi Gen-Y sudah mengadopsi K-pop (Korea), komik Manga (Jepang), bahkan radikalisme agama dari Timur Tengah. Akibatnya, nilai-nilai Pancasila yang di-kamsud sebagai nilai-nilai pemersatu bangsa Indonesia oleh para pendiri bangsa (generasi pra-BB), sekarang ini menghadapi tantangan
  • 12. 12 yang sangat berat, karena harus berhadapan dengan nilai-nilai global dari Gen-Y yang sangat mungkin bisa mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara kita. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 13. 13 Kejarlah Daku, Kau Kutangkap Koran SINDO 26 Januari 2015 Air merupakan sumber inspirasi dari seluruh kehidupan di muka bumi ini. Dengan airlah terciptanya asal mula kehidupan dunia, mulai dari penciptaan bumi dan seluruh isinya termasuk tumbuhan, hewan, dan manusia di dalamnya. Betapa pentingnya peran air sehingga tidak mungkin berlangsungnya sebuah kehidupan tanpa kehadiran air di dalamnya. Kebutuhan air dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor hujan. Kekuatan hujan itu menjadi penentu bagi keberlangsungan sistem tata kelola pertanian, tata kelola peternakan, tata kelola industri, dan berbagai perangkat kegiatan kehidupan lain. Kini semua tinggal cerita. Ketika hujan terjatuh ke bumi, air sulit mencari tempat bersemayam karena gunung tak bisa lagi menjadi tempat berteduh, berlari ke sungai telah penuh dengan sampah, di bukit berjejer vila-vila mewah, sehingga air berlarilah ke rawa- rawa. Namun, semua sudah tertimbun menjadi rumah dan apartemen, seluruh tanah sudah berbeton. Air pun berkumpul dan berserikat dalam sebuah ikatan persaudaraan yang bernama “banjir”. Jakarta salah satu daerah dataran yang satu hamparan dengan laut sehingga banjir menjadi langganan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Ketika air ditanya, “Kenapa kamu datang ke sini?” Air menjawab, “Rumahku telah kau gunduli, tempat bermainku telah kau huni, kini izinkan aku untuk menginap di rumahmu sampai seluruh energiku habis terkuras.” Musim hujan saat ini memang sangat berbeda. Curahnya kini tak sederas dulu, waktunya pun berubah-ubah, hujannya pun tidak menentu. Entah apa sebabnya, saya tidak bisa menjelaskan secara detail karena tidak punya kapasitas untuk menjelaskan itu. Secara umum orang menyebutnya perubahan iklim dengan berbagai argumentasi teori dari efek rumah kaca, pembakaran gas karbon, penggundulan hutan, dan berbagai teori lain. Kegalauan ini kini melanda saudara-saudara kita di DPRD yang sangat terkejut dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Keluaran karena hari ini yang biasa dapat lebih dari perjalanan luar kota kini ongkosnya pas-pasan, ditambah dengan semakin ketatnya pertanggungjawaban administrasi keuangannya. Duh, jangankan dapat untung, untuk balik modal saja sudah susah, tambah lagi konstituen yang terus-menerus menagih, “Mana janjimu”. Mau dikasih bansos, kini sudah dilarang. Kata teman saya, nyesel deh jadi anggota DPRD. Sudah jual sawah, jual mobil, tapi penghasilannya tak sesuai impian. Tahu begini, dulu enggak akan nyalon anggota DPRD,
  • 14. 14 lebih baik menjadi calo anggota DPRD, tanpa modal hasilnya lumayan. Kegalauan kini juga melanda masyarakat yang bermimpi ke luar negeri atau liburan dalam setiap minggu dengan menggunakan pesawat karena fasilitas naik pesawat murah tidak akan lagi bisa dijumpai. Jalan-jalan ke Singapura, Malaysia, Bali, Yogyakarta, dan berbagai tempat lain kini akan sepi karena masyarakat kelas bawah tak akan mampu lagi membeli tiket pesawat. Kata Ma Icih, tetangga di kampung saya, “Duh, enggak jadi deh nini pergi ke Singapura untuk melihat Orchard Road sama Marina Bay Sands Sky Park. Sekarang mah nini pergi ke Singaparna saja, pulangnya mampir di Rajapolah beli boboko, hihid sama aseupan, biar cucu nini yang perempuan bisa belajar masak seperti nini waktu muda. Cucu nini sekarang memang aneh, pengen makanan enak, tapi tidak bisa memasak.” “Kalau ngomong, selalu patriotisme dan nasionalisme serta semangat kebangsaan, tapi sangu akeul dan pergulatan pangarih di dulang saja tidak tahu. Untuk ngakeul, pangarih, dan dulang, nini menyampaikan permohonan maaf karena saking orisinalnya tak bisa nini terjemahkan dalam Bahasa Indonesia.” *** Ketika kemarau datang, Indonesia kerontang. Air menjadi kekuatan yang paling dicari, asap pekat karena pembakaran gambut dan ilalang menghiasi wajah Indonesia. Riau, Singapura, sebagian Malaysia, dan Kalimantan merupakan daerah-daerah langganan kabut asap. Citra negara Indonesia seringkali tercoreng dan menjadi bulan-bulanan dalam media diplomasi internasional karena dianggap tidak mampu menyelesaikan kebakaran dan pembakaran hutan di Indonesia. Negara mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk mengumpulkan awan, membuat hujan buatan. Ketegangan terjadi di mana-mana, panas yang menyengat, air yang sulit dicari, berebutlah seluruh masyarakat yang seringkali berdampak pada konflik sosial yang terjadi secara terbuka. Berebut air untuk minum, untuk mandi, untuk ternak, untuk persawahan adalah pemandangan yang umum kita jumpai ketika kemarau tiba. Air dikejar ke mana-mana, menjadi sosok makhluk yang sangat dibutuhkan. Gemuruh doa diucapkan, menghiasi langit-langit spiritualitas manusia yang meminta kepada Tuhan untuk menurunkan air dalam bentuk hujan. Pada saat seperti ini air bicara, “Kenapa ketika aku datang menyapa, kau sia-siakan aku, kau benci aku, kau campakkan aku, kau khianati aku? Ketika aku pergi, kau kejar aku, kau berusaha untuk menangkapku.” Wajah itulah wajah politik kita. Ketika seorang pemimpin membutuhkan dukungan, dia begitu penyayang dan memperlakukan masyarakat penuh kelembutan. Senyum, sapa, cinta
  • 15. 15 mengalir jernih dengan wajah tanpa kaca. Bergemuruhlah gairah demokrasi dalam cinta dan kehangatan, berjanji saling menyayangi, saling mengasihi untuk mengantar ke taman kemakmuran. Namun, kadang seluruh gairah itu sirna ketika seluruh hasrat bertepuk sebelah tangan. Cinta berubah menjadi petaka, sanjungan berubah menjadi kebencian. Seringkali dalam menjalani mahligai hidup bernegara, diakhiri dengan histeria kaum kritis yang kecewa dengan berbagai cacian, makian, hujatan, bahkan kadang melampaui batas- batas garis etika dan nalar intelektual. Sejumlah tokoh ternama yang penuh dengan karisma terjatuh dari pelaminan kekuasaan dalam gemuruh sorak-sorai kegembiraan. Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, adalah tokoh kharismatik yang begitu memiliki komitmen kebangsaan yang kuat. Tapi, semua tak mampu menahan arus gempita histeria politik yang tak menyukainya lagi. Ujung dari kisah dramatik yang sering terlontar adalah sebuah penyesalan ketika menghadapi era baru yang tidak sesuai harapan. Dalam setiap obrolan kecil seringkali ada kata terucap, memuja pemimpin yang dulu pernah dilupakan. “Mending keneh zaman Bung Karno nya?” Itulah yang terucap saat Orde Baru. “Piye kabare? Enak zamanku, toh?” Itulah seloroh yang diucapkan pada Era Reformasi. Ketika terjadi ketegangan politik karena persoalan pemahaman pluralisme, muncullah ucapan, “Gitu aja kok repot”, dan terbayanglah sosok Gus Dur yang pluralis. Ketika kita mendengar pidato Pak SBY yang sering bercerita tentang keluh kesah, kita membanggakan Ibu Mega yang banyak memendam kata dalam setiap menghadapi problem negara sehingga ada idiom yang sering diucapkan bahwa diam itu emas. Kini di tengah harapan kita, dalam gempita spirit kepemimpinan yang berbasis kerakyatan yang telah mampu menggerakkan histeria akar rumput masyarakat Indonesia, mewujudkan mimpi makmurnya kaum jelata, tak lama berselang kini suasananya kembali berubah. Orang pintar dilanda kecemasan. Dalam lirih dia berkata, “Masih lebih bagus Pak SBY dalam menghadapi setiap kegentingan.” Padahal pada saat yang lalu seluruh kebijakannya dihujat seolah tak ada benarnya. Inilah tradisi kita, mudah menyela yang lama kadang melupakan seluruh jasa dan kebaikannya, memberi harapan kepada yang baru dengan beban yang berlebihan, lalu menyesali dan kembali berekspektasi ketika menemui kegagalan. Kemudian bernostalgia bahwa seolah-olah masa lalu lebih baik dibanding hari ini. Untuk mendengarkan rintihan nurani yang sebenarnya, marilah kita bertanya kepada Ma Icih, “Enak mana zaman dulu dengan zaman sekarang, Mak?” Kemudian Ma Icih menjawab dengan tegas tanpa ada keraguan sedikit pun, “Ya jelas masih enak zaman dulu karena zaman dulu nini masih muda, hidup terasa indah. Kalau nangkeup (memeluk) si aki masih terasa gagah.” “Zaman sekarang mah tidak enak, makan daging enggak bisa karena nini sudah ompong, ke salon juga buat apa nini sudah tidak menarik, malam-malam nini dilanda kegelisahan karena si aki batuknya suka kambuh. Nonton TV juga nini suka pusing karena lagu keroncong dan film Mak Uwo kegemaran nini sudah tidak ditayangkan lagi.”
  • 16. 16 “Apalagi minggu ini, nini semakin bingung karena film cicak dan buaya kok sudah ada jilid yang kedua, padahal jilid pertama saja nini belum pernah nonton, atau mungkin film itu hanya diputar di bioskop yang khusus untuk orang pintar ya sehingga nini yang bodoh belum layak untuk nonton film itu?” DEDI MULYADI Bupati Purwakarta
  • 17. 17 Persatuan yang Belum Terwujud Koran SINDO 26 Januari 2015 Tak diragukan bahwa zaman berpengaruh pada manusia. Tiap zaman bahkan memiliki “semangat” dan “logika” yang bukan hanya berpengaruh, melainkan juga “membentuk” wawasan, sikap, dan tingkah laku para warga masyarakat yang hidup di zaman itu. Di zaman Orde Lama dulu, kita berbicara mengenai revolusi yang belum selesai. Bung Karno sering menyebut “revolusi multikompleks” atau “pancamuka” untuk menggambarkan kompleksitas dan kedalaman revolusi yang sedang kita tempuh. Di zaman itu, hidup tanpa revolusi bukan hidup. Bagi kita, hidup itu revolusi. Bung Karno juga bicara tentang “merombak” dan “menjebol”. Itu inti sebuah revolusi. Jauh sebelum maupun lama sesudah merdeka, kita tetap berevolusi. Ini agenda seluruh bangsa. Oleh karena itu, persatuan bangsa diprioritaskan. Revolusi tidak akan terwujud kalau bangsa kita tercerai-berai, tidak utuh, tidak menyatu. Tekad dan semangat untuk bersatu harus bulat. Makna persatuan itu sendiri yaitu persatuan bangsa juga sebuah agenda kerja yang belum selesai. Bung Karno bekerja keras, lahir batin, untuk persatuan bangsa. Beliau disebut pemersatu bangsa dan persatuan itu sudah terbentuk. Kesadaran kita, semua warga negara, bahwa kita bangsa Indonesia, membahagiakan. Tapi wujud kesadaran itu masih bisa digoyahkan dan dalam arti tertentu, seperti revolusi yang belum selesai tadi, persatuan bangsa pun bisa disebut belum selesai. Persatuan kita belum teruji dengan sebaik-baiknya di dalam sejarah kita sendiri. Di zaman Orde Baru, dua agenda besar yang belum selesai itu diabaikan secara mutlak karena alasan politik yang tak pernah dikemukakan secara jelas. Diam-diam Pak Harto berniat “menghabisi” Bung Karno. Pengaruh besar politiknya yang luas dan mendasar dihabisi. Idiom-idiom politik Bung Karno dihabisi. Gaya pemerintahan populis Bung Karno dihapus bersih. Kalau pengaruh Bung Karno masih terasa, Pak Harto tak akan bisa berbuat apa pun. Beliau akan “hilang” ditelan kewibawaan Bung Karno. Tapi Pak Harto bukan tokoh biasa. Dilenyapkannya pengaruh politik Bung Karno membuat Pak Harto mampu membangun suatu logika politik tersendiri. Beliau berbicara mengenai pembangunan. Pidato pagi pembangunan. Pidato siang pembangunan dan pada malam hari masih bicara pembangunan. Sepanjang zaman pemerintahannya hanya ada pembangunan dan pembangunan semata.
  • 18. 18 Saat itu, terasa betul bahwa kata ‘pembangunan’ memang memiliki kekuatan sihir dan daya pesona yang besar. Pak Harto menjadi pusat segalanya. Loyalitas kepada beliau menjadi ukuran loyalitas kepada negara. Beliau galak kepada siapa pun yang memiliki pemikiran lain. Itu tanda tidak loyal. Tapi kepada para penjilat dan siapa saja yang bersedia menjadi “bayangannya”, Pak Harto murah hati. Ibaratnya, orang minta sebuah gunung dipindahkan untuk kesenangan pribadinya, Pak Harto siap memenuhinya dengan sikap welas asih seorang raja kepada hamba sahayanya yang setia. Dan, pelan-pelan, setelah apa yang merupakan keagungan pribadi ini terpenuhi, Pak Harto bicara pula tentang persatuan dan kesatuan. Pada saat itu, tiap makhluk yang bisa berbicara, dalam kesempatan apa pun, pasti bicara pula persatuan dan kesatuan tadi. ABRI paling fasih mengucapkan kata itu. Di masa-masa sesudah reformasi di zaman kita “merdeka”, di masa keterbukaan yang seterbuka-terbukanya, kalangan elite di berbagai daerah sebentar-sebentar meneriakkan ancaman untuk memisahkan diri agar daerahnya bisa berdiri sebagai negara sendiri. Di sana kelihatan dua jenis sikap politik yang menandakan watak anti-demokrasi. Pertama, ada sikap “tengil” yang begitu arogan dan merasa pada tempatnya menggunakan bahasa ancaman di dalam dialog kebangsaan untuk menata kehidupan lebih adil. Kedua, sikap kekanak-kanakan yang mudah merajuk, mudah “menarik diri” tapi sebetulnya agresif, yang bertentangan dengan jiwa demokrasi. Bagi kita, esensinya jelas: “tengil” atau tidak, anti-demokrasi atau tidak, semua gejala tingkah laku politik tadi menunjukkan bahwa agenda nasional kita mengenai persatuan dan kesatuan bangsa itu sebetulnya belum “solid”, belum kukuh, dan masih mudah dimainkan untuk digoyang-goyang. Dengan kata lain, ini juga agenda yang belum selesai. Dan jika pemerintah tidak sensitif, kurang memberi perhatian serius terhadap kelompok- kelompok rentan di dalam masyarakat, risikonya akan terasa besar. Mungkin pula bisa menimbulkan rasa penyesalan kemudian, yang tak lagi berguna. Sampai hari ini, kita memiliki cukup alasan, yang agak melimpah, untuk cemas memikirkan nasib persatuan bangsa yang bisa dianggap belum menentu itu. Sikap dan tingkah laku politisi yang main “geng-gengan”, klik-klikan, dan segenap tingkah laku yang menunjukkan gejala mau menang sendiri, mau benar sendiri, dan mau enak sendiri, jelas meresahkan. Andaikata mereka tak memiliki agenda merusak persatuan bangsa, setidaknya jelas bahwa tingkah laku politik mereka itu tidak mendukung sama sekali agenda persatuan itu. Ini juga tanda kekanak-kanakan yang sudah bukan masanya. Mereka mengabaikan tanggug jawab politik. Panggung politik nasional, yang bergengsi dan memiliki wibawa besar itu, dijadikan tempat “main-main” seenaknya. Belum lagi semangat korup, yang selama ini terbukti dilakukan partai besar yang berkuasa. Kabinet yang bertekad memberantas korupsi malah menyegarkan iklim korupsi. Di dalam kabinet itu hampir semua
  • 19. 19 tokoh pentingnya terlibat korupsi. Betapa mengerikannya. Kecenderungan politik di kalangan politisi untuk membangun hubungan berdasarkan perkawinan di antara anak-anak mereka, dan mereka sendiri bangga dengan hubungan “besan dengan besanan” di dalam suatu partai politik atau antarpartai, bagi kita hanya kesan negatif yang terasa. Orang tua dan menantu, besan dengan besan, bisa menggunakan posisi politik partai mereka untuk bekerja sama dan saling melindungi di dalam kejahatan politik. Juga di dalam korupsi. Besan yang korup akan dilindungi oleh besan yang belum korup, tapi masih berkuasa. Menantu yang korup bakal dilindungi dengan sepenuh hati oleh mertua yang merasa masih jaya. Apa ini semua hubungannya dengan negara, dengan politik dan persatuan bangsa? Politik besanan dan besanan politik memang mengandung persatuan. Tapi bukan wujud persatuan bangsa. Kita belum pernah melihat suatu aliansi politik yang sungguh-sungguh dibangun untuk suatu persatuan bangsa. Mungkin hal itu tidak akan pernah ada? MOHAMAD SOBARY Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
  • 20. 20 Diplomasi Hati Koran SINDO 28 Januari 2015 Hati. Jika ditelaah secara global, bagian tubuh manusia ini memiliki tugas dan makna penting. Meski posisinya “sedikit kalah” dari jantung, hati justru lebih banyak memainkan peran di luar tubuh manusia. Jika ingin mengulas habis mengenai fungsi organ tubuh ini, kita bisa mendapatkan informasinya dari berbagai sumber, mulai dari buku, internet, atau gadget. Barang-barang itu tidaklah untuk sulit didapat. Namun, terlepas dari ilmu kesehatan tersebut, hati juga bisa dilakukan sebagai media diplomasi. Bagi sebagian orang, mungkin hal ini hanya sekadar bahasa klise ataupun teori pencitraan. Tapi sama sekali tidak bagi saya, dan kabupaten kecil di Provinsi Sumatera Selatan yang bernama Lahat. Diplomasi hati ini yang membantu saya menjalankan proses pembangunan sehari-hari. Diplomasi hati ini pula yang sedikit banyak membantu saya memenangkan pesta demokrasi pemilihan bupati/wakil bupati Lahat selama dua periode. Banyak hal yang tidak bisa saya ceritakan terkait diplomasi hati di sini. Namun, saya punya sedikit cerita yang sampai saat ini sangat berguna bagi saya dan keluarga. Diplomasi hati ini saya terapkan kepada masyarakat binaan yang “kebetulan” menginap di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II/A Lahat. Dan, banyak hal yang bisa kita dapat dari mereka yang harus mengalami pemulihan jiwa di sana. Saya, selaku pemimpin, wajib merangkul mereka agar tidak merasa dipandang sebelah mata. Supaya mereka tetap dianggap ada, dan bisa kembali ke tengah-tengah kita. Mungkin kalau ada kesempatan berkunjung ke sana, Anda bisa tanyakan sendiri bagaimana respons mereka dalam setiap kunjungan Anda ke lapas. Mereka merasa diperhatikan dengan kehadiran kita. Jika dipikir-pikir, itu sesuatu yang kecil, tapi ternyata sangat besar manfaatnya. Anda bisa belikan mereka durian. Anda bisa ajak seluruh penghuni lapas makan bersama dan sebagainya. Dan, saya juga sering mengimbau anak-anak saya, jika ingin menggelar acara ulang tahun, lebih baik merayakannya bersama orang-orang lapas atau dirayakan di panti asuhan. Selain itu, saya juga ada sedikit cerita mengenai julukan “Bupati Ayam” yang diberikan masyarakat kepada saya. Mereka menahbiskan seperti itu lantaran saya selalu menyempatkan diri mengunjungi rumah warga yang tengah berduka karena salah satu anggota keluarga mereka meninggal.
  • 21. 21 Namun, terlepas dari bantuan ayam serta uang duka, kehadiran sosok bupati dalam suasana seperti itu tentu sangat membantu meringankan beban mereka. Bisa dibayangkan jika kehilangan anggota keluarga, Anda mungkin tidak bisa berbuat banyak. Bingung. Namun, suasana tentu akan berbeda ketika ada sosok yang berdiri di rumah mereka. Itu yang membuat saya bersemangat dalam memimpin pemerintahan di Kabupaten Lahat. Jika keluar rumah pada sore hari, saya juga sering melihat sekumpulan anak-anak kecil. Dan ketika saya melintas, terdengar suara memanggil saya dengan sapaan “Wari-Wari”. Itu nama panggilan saya sejak kecil dari orang tua. Sebagai pejabat, tentunya, saya berhak tersinggung, apalagi saat mengetahui yang memanggil sebutan saya itu adalah anak-anak kecil. Tapi di balik panggilan kecil itu, hikmahnya justru sangat besar. Saya jadi tahu bahwa seluruh lapisan masyarakat mengenal saya mulai dari orang dewasa hingga anak-anak kecil. Itu nilai plus bagi saya. Di sinilah diplomasi hati bermain. Lakukan pendekatan itu dari hati ke hati dan dari hari ke hari. Insya Allah, amanah itu bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya, bukan sekadar materi yang bisa datang dan pergi begitu saja. Hal itu memang mudah untuk diucapkan, tapi sungguh sulit untuk dijalankan. Namun kalau kita belajar memahami apa yang dirasakan orang yang kekurangan, diplomasi hati itu bisa dijalankan. Bayangkan kalau Anda, anak Anda, ataupun keluarga Anda berada dalam posisi kekurangan. Mungkin Anda akan tahu bagaimana caranya. Cerita terakhir mengenai diplomasi hati, Anda mungkin tidak percaya jika setiap kali hendak melakukan perjalanan dinas dengan menggunakan pesawat, saya selalu menyempatkan diri ke toilet bandara. Selain memang kodratnya sebagai manusia yang kerap gugup ketika hendak terbang sehingga harus buang air sebagai solusi terbaik, di toilet, saya juga belajar mengenai perjuangan para petugas toilet dalam bekerja. Di situlah hati nurani saya terketuk. Ternyata masih banyak orang Indonesia yang bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan, meski harus bekerja hampir 16 jam di toilet. Tak jarang saya mengajak mereka ngobrol. Dan, mereka sangat terharu ada pejabat Bupati kecil seperti saya yang perhatian. Di situ, mereka bisa bercerita dengan siapa pun. Saat ini Indonesia masih sangat minim pemimpin yang menjalankan diplomasi hati. Dan saya pikir, mungkin itu harus dimulai dari Sumsel terlebih dahulu. Memang sulit jika dibayangkan tanpa dilaksanakan. Butuh keyakinan yang kuat. Namun kalau tidak pernah dijalankan, diplomasi hati itu hanya akan bersemayam di hati tanpa bisa terealisasi. SAIFUDDIN ASWARI RIVAI Bupati Lahat
  • 22. 22 Mantra Sihir Menjadi Guru Profesional Koran SINDO 30 Januari 2015 Pada 2015 ini pemerintah akan menghapus sertifikasi guru melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dan akan menggantikannya dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sebelumnya sertifikasi guru dilakukan melalui PLPG dan/atau PPG. Setelah mengikuti PLPG atau PPG dan dinyatakan lulus, guru akan mendapatkan sertifikat guru profesional. Sertifikat itu bukti tertulis bahwa ia kompeten dalam mengajar dan mendidik. Benarkah setelah mendapatkan selembar sertifikat pendidik, guru yang tadinya dianggap tidak profesional menjadi profesional? Jawabannya jelas tidak. Sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali pelatihan tidak akan menjadikan guru profesional. Menjadi guru profesional bukan proses sebentar–seperti program PLPG dan PPG, melainkan membutuhkan proses yang panjang dan penuh perjuangan tanpa henti. Kompetensi guru berkaitan dengan kecerdasan, pendidikan, dan pengalaman guru. PLPG dan PPG bertujuan meningkatkan kompetensi guru. Namun, apakah pelaksanaan keduanya sudah sesuai prosedur standar dan harapan? Tidak semua LPTK mengasramakan peserta PPG karena tidak punya asrama. PLPG juga tidak luput dari kekurangan. Proses transfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak akan berhasil jika suasana pelatihan tidak nyaman–baik saat pelatihan maupun di luar pelatihan. Faktor penghambat efektivitas pelatihan tersebut seperti waktu yang padat (dari pagi hingga malam hari), ruang kelas yang tidak nyaman, makanan, dosen yang tidak kompeten, dan tempat menginap yang tidak layak. Aspek-aspek ini sangat bergantung pada LPTK pelaksana PLPG. Apakah mereka mau menyediakan fasilitas yang terbaik bagi guru agar nyaman selama pelatihan atau mengambil keuntungan materi dari “perahu”– meminjam istilah seorang teman dosen–bernama PLPG? Jika panitia (LPTK) memilih keuntungan materi, yang terjadi adalah pengabaian mutu. Seolah membenarkan fakta selama ini bahwa budaya mutu lembaga pendidikan kita sangat lemah. Maka itu, komplain berkali-kali dari peserta dan dosen setiap pelatihan hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sebagai pelatihan yang mengukur kompetensi guru, hampir semua peserta PLPG lulus–untuk tidak mengatakan 100%. Padahal kompetensi awal peserta pasti sangat beragam. Kelulusan jelas tidak menunjukkan kompetensi yang sesungguhnya. Ini karena penilaian dosen atau pelatih tidak hanya menggunakan standar objektivitas, tapi juga subjektivitas seperti belas
  • 23. 23 kasihan. Ini bentuk dukungan dosen kepada guru terhadap kebijakan pemerintah yang belum tentu 100% benar. Pelatihan guru melalui PLPG oke, tapi lulus PLPG sebagai syarat menerima tunjangan profesi no. Faktanya, banyak guru yang gajinya lebih rendah dari buruh, padahal ia kompeten. Maka itu, sebaiknya pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada semua guru terutama guru honorer dan guru swasta yang gajinya jauh dari standar minimal gaji guru PNS. Penguatan Lembaga Pertanyaannya, program apa setelah guru memperoleh sertifikat guru? Pertama, perkuat dan kembangkan lembaga pusat pelatihan guru. Guru mata pelajaran umum atau di bawah Kemendikbud dilatih di Pusat Pelatihan dan Pengembangan Pendidik dan Kependidikan (P4TK) dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Dua lembaga tersebut sangat perlu dikembangkan agar bisa menjangkau guru yang belum pernah mendapatkan pelatihan. Lembaga ini juga penting karena diperlukan lembaga kredibel untuk melatih guru secara profesional, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pelatihan. Lembaga ini bahkan memiliki penginapan dan ruang kelas memadai yang akan sangat memengaruhi kenyamanan peserta selama pelatihan. Khusus untuk guru agama dan guru mata pelajaran dalam rumpun PAI (Bahasa Arab, Akidah, Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam) di bawah Kemenag, mendesak didirikan lembaga pelatihan yang bertugas mengembangkan kompetensi mereka. Hanya dengan cara ini, prinsip keadilan bagi guru bisa ditegakkan. Guru membutuhkan model pelatihan berjenjang, dari dasar, menengah, hingga lanjutan. Pelatihan guru sebaiknya bukan hanya diinisiasi dan didanai oleh pemerintah pusat, tapi juga oleh pemerintah daerah, dan sekolah. Kedua, pemberdayaan kelompok kerja guru (KKG) dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Dinas Pendidikan mengembangkan dan melibatkan KKG dan MGMP dalam program kependidikan di kota dan provinsi masing-masing. KKG dan MGMP bekerja sama dengan LPTK terdekat untuk pengembangan pendidikan. Dua organisasi guru tersebut sumber data tentang kondisi sekolah yang otentik sehingga bisa dimanfaatkan untuk bahan diskusi, seminar, workshop, penelitian, bahkan pengambilan kebijakan untuk pengembangan pendidikan. Sangat disayangkan bahwa kerja sama antara sekolah dan organisasi tersebut dengan LPTK tidak terjalin maksimal. LPTK mengirim mahasiswa untuk praktik mengajar di sekolah setiap semester. Tidak sebatas ini, mestinya LPTK dan sekolah melakukan kegiatan bersama untuk pengembangan keilmuan bidang pendidikan dan pengajaran. Ia bisa berupa seminar, workshop, atau penelitian.
  • 24. 24 Ketiga, benahi LPTK. Sudah saatnya sistem perekrutan calon guru diubah. Mahasiswa calon guru harus diseleksi kemampuan bahasa asing (Inggris untuk guru umum dan Arab untuk guru khusus [agama]), prestasi akademik dan non-akademik, dan bakatnya menjadi guru. Penerimaan jumlah mahasiswa LPTK harus dibatasi sesuai kebutuhan. Kita tahu lulusan LPTK lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan guru. Buat apa menerima banyak mahasiswa calon guru jika akhirnya kita tahu bahwa mereka akan bekerja selain menjadi guru. Jika secara yuridis tertulis bahwa PPG dibiayai oleh pemerintah dan berasrama, perlu dipertimbangkan kemungkinan pendidikan guru sejak di LPTK didesain seperti PPG. Pendidikan di LPTK dan PPG dibiayai pemerintah dan berasrama. Artinya, pendidikan calon guru adalah ikatan dinas. Pembangunan asrama di setiap LPTK penyelenggara PPG sesuai amanah undang-undang guru dan dosen (No 14/2005) harus segera dimulai. Dampak kebijakan ini akan terasa lima hingga 10 tahun ke depan. Perbaikan selalu dimulai dari langkah awal dan niat yang baik. Maka itu, tidak ada alasan menunda sesuatu yang baik bagi dunia pendidikan. Bukankah pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Guru merupakan kunci utama mutu pendidikan suatu bangsa. Saya kira bangsa besar adalah bangsa yang menyiapkan gurunya dengan baik dan menempatkan mereka dalam posisi yang terhormat. Dengan demikian, tidak ada istilah simsalabim sebagai mantra sihir untuk menyulap orang menjadi guru profesional dalam sembilan hari atau tiga minggu pelatihan. Menjadi guru profesional adalah proses tak berkesudahan, di mana guru tidak boleh berhenti belajar; membaca dan praktik. Tugas pemerintah dan sekolah adalah menyediakan lingkungan yang nyaman bagi guru untuk melahirkan karya kreatif dan inovatif. JEJEN MUSFAH Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
  • 25. 25 Menertawakan Bangsa Sendiri Koran SINDO 30 Januari 2015 Dalam ilmu psikologi dikenal istilah ‘archetype’, yaitu sifat dan kecenderungan perilaku laten yang melekat pada setiap orang yang merupakan bawaan turun-temurun, tanpa melalui proses belajar. Jenis archetype ini puluhan jumlahnya, salah satunya disebut ‘warrior’. Secara harfiah berarti naluri prajurit atau petarung yang bertujuan untuk membela diri dan meraih kemenangan. Seorang petarung akan merasa puas ketika berhasil menaklukkan lawannya. Pada diri anak kecil naluri petarung itu sudah terlihat misalnya ketika mereka berebut mainan yang berujung dengan berantem. Ketika menginjak remaja, bertarung memperebutkan piala dalam sebuah pertandingan. Atau berebut untuk menjadi juara kelas. Mungkin juga bertanding memperebutkan pacar. Panggung kehidupan adalah panggung persaingan, kompetisi, peperangan, dan masing- masing pihak ingin menang. Hanya, dengan majunya pendidikan dan kesadaran berbudaya, peperangan yang dulunya bersifat primitif dan sadis kemudian dijinakkan dengan tambahan unsur seni, wasit, dan sportivitas; misalnya saja dalam sepak bola atau pertandingan seni bela diri. Nafsu bersaing untuk menang tetap difasilitasi, bahkan ditonton dan diberi insentif hadiah, namun harus menjadi etika dan fairness. Dalam konteks panggung kekuasaan, dengan dibuka lebar-lebar ruang demokrasi, perebutan kekuasaan semakin seru, meriah, dan gegap gempita. Sejak perebutan posisi bupati, wali kota, gubernur, DPR, hingga presiden. Bermunculan political warriors. Sayangnya, banyak di antara petarung politik itu yang tidak menjaga seni dan etika dalam bertarung. Mereka ingin menang, tetapi tidak dengan cara ksatria dan fair. Misalnya melancarkan fitnah, money politics, mengancam, dan berbagai cara lain yang tidak rasional dan tidak etis dilakukan semata untuk menang. Kalaupun nanti dinyatakan sebagai pemenang, dia telah menipu dirinya dan rakyat. Lebih runyam lagi jika ternyata nanti tidak mampu melaksanakan tugas dan amanat sebagai seorang pemimpin atau penguasa. Yang akhir-akhir ini muncul dan membuat bingung serta sedih masyarakat adalah konflik antara lembaga Polri dan KPK. Akarnya adalah ada pemenang dalam panggung kekuasaan, namun telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Mungkin saja sebagian uangnya untuk membayar biaya yang pernah dikeluarkan ketika
  • 26. 26 mereka memenangkan pertarungan. Ini jelas bukan seorang ksatria. Bukan pemenang dan juara sejati. Bukan seorang warrior terhormat, melainkan pecundang dan koruptor. Mental pecundang itu ingin hidup aman dan nyaman, berpenampilan keren, berpretensi pejuang rakyat, namun semua itu semu. Ketika suatu saat ketahuan dan terendus oleh petugas penegak hukum, mereka lalu bangkit melakukan upaya penyelamatan diri. Itu naluri dasar manusia yang selalu ingin hidup dalam ruang nyaman (comfort zone). Jika tidak bisa lari, ketika ada ancaman, muncul perlawanan. Terlepas siapa benar dan siapa yang salah, setiap orang punya naluri warrior. Naluri berantem menaklukkan lawan. Makanya, jangan heran kalau sekali-sekali terjadi perkelahian antara maling dan tukang ronda. Antara penegak hukum dan penjahat. Dalam konteks Polri versus KPK, sudah pasti yang terlibat pertengkaran dan permusuhan adalah oknum. Namun, karena oknum, jabatan formal, legalitas, otoritas dan kekuasaan berkait berkelindan makanya yang mesti diselamatkan adalah lembaganya, sedangkan oknumnya mesti diamputasi. Yang membuat masyarakat jengkel, marah, dan sedih adalah ketika mereka yang sudah berpendidikan tinggi, tahu hukum, dan mengaku penegak hukum, tetapi malah mempermainkan dan mengeksploitasi dalil-dalil hukum dan undang-undang semata untuk melindungi dirinya karena terancam posisi dan harga dirinya akibat korupsi. Jadinya, kita menonton adegan dan figur-figur publik yang norak, konyol, dan membuat malu kita semua. Penyelenggaraan pemerintahan yang mestinya dilakukan dengan rasional, fair, dan efektif untuk melayani rakyat akhirnya menjadi ruwet. Rakyat yang belum lama ini telah taat dan berkorban menyukseskan pemilu, sekarang mulai merasa dikhianati dan dipermainkan. Kita ini sudah lama merdeka. Di mana-mana berdiri perguruan tinggi. Untuk menjadi pejabat negara pun disyaratkan sarjana, akhlak mulia, bahkan sudah berikrar sumpah jabatan untuk tidak korupsi. Mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Lalu, mengapa mereka yang sudah memenuhi persyaratan itu semua, sekarang malah membuat gaduh bangsa dan rakyat? Ini kekonyolan yang tidak saja mesti ditertawakan, tetapi juga terkutuk. Kapan kita ini akan dewasa dalam berbangsa dan bernegara secara rasional dan bermartabat? Setiap tahun APBN keluar untuk penyelenggaraan pendidikan. Untuk gaji pejabat negara. Untuk training dan pelatihan. Untuk studi banding ke luar negeri. Untuk membayar konsultan. Tetapi, mengapa bangsa ini lari dan sibuk di tempat? Bahkan dibuat bising oleh pertengkaran dan sandera-menyandera antarlembaga penegak hukum? Lagi-lagi, ini bukan sekadar kelucuan dan kekonyolan yang mahal ongkosnya. Tetapi, jangan-jangan lebih tepat disebut kedunguan karena akal sehat dan nuraninya tidak bekerja normal.
  • 27. 27 PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 28. 28 Malu Koran SINDO 1 Februari 2015 Gara-gara tak dibelikan sepeda motor, seorang siswa SMPN 43 Purworejo, Jawa Tengah, Mukhammad Ikhsan, 15, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara terjun ke sungai (11/04/2013). Melihat aksi nekat anaknya tersebut, kedua orang tua korban langsung shock. Berdasarkan berita sebuah situs berita, korban ditemukan tewas tenggelam setelah melakukan terjun bebas ke dalam Sungai Bogowonto. Menurut sejumlah saksi, tindakan nekat pelajar SMP ini berawal dari keluhan korban karena tidak dibelikan motor oleh orang tuanya. Sebelum peristiwa itu terjadi, korban dan anggota keluarganya menengok neneknya, Rokhimah, di Desa Panungkulan, Purworejo. Selang tidak berapa lama, korban keluar rumah dan teriak akan bunuh diri karena tidak dibelikan motor. Berita-berita tragis seperti itu bukan sekali-dua kali saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus lain, remaja yang keinginannya tak terpenuhi malah membunuh orang tua atau nenek sendiri yang sejak kecil mengasuhnya. Atau mereka memalak temannya, merampas motor orang lain, atau merampok ”ApaMart” atau ”IndiaMart”. Pokoknya: nekat! Nenek-nenek juga disikat! Banyak teori yang mencoba menjelaskan kelakuan remaja yang serbadestruktif (termasuk tawuran antarmahasiswa atau antarsuporter bola, demo anarkistis, dll.), tetapi kebanyakan teori itu melupakan satu faktor penyebab yang sangat penting, yaitu faktor ”malu”. Berani taruhan, kalau kita bisa membangunkan kembali Mukhamad Ikhsan dari kuburnya dan kita tanya almarhum kenapa dia nekat bunuh diri, jawabannya pasti, ”Aku malu sama teman- teman. Semuanya sudah punya motor, hanya aku yang belum. Teman-teman akan meninggalkanku karena aku nggak punya motor. Kan nggak mungkin lah, mereka ngebut ke mana-mana naik motor, secara aku ngikutin naik becak bapakku!” Nah, rasa malu itulah yang menyebabkan para anak muda bertawuran. Malu karena Arema kalah dari Persib, malu karena nggak punya duit untuk jajanin pacarnya, malu sama teman- teman kalau nggak ikutan merokok atau ngegele, bahkan baru-baru ini ada anak yang tewas karena bertaruh Rp15.000 buat siapa yang berani berenang nyeberang kali yang arusnya sedang deras. Maka tiga anak berumur 10 tahunan spontan nyemplung ke kali (malu kalau nggak berani), 2 orang selamat, yang 1 lagi hanyut dan tewas. ***
  • 29. 29 Tapi kebiasaan nggak mau malu ini bukan hanya monopoli anak-anak. Orang dewasa pun sama. Seorang ibu dilapori oleh guru bahwa anaknya tidak naik kelas. Ibu itu tidak kehilangan akal. Dia minta ibu guru wali kelas untuk membuatkan rapor aspal (asli-tapi-palsu) dari sekolah, tetapi dengan nilai yang sudah dikatrol sehingga rapornya jadi bagus (tentu dengan gratifikasi). Maka dengan rapor aspal itu si ibu memindahkan anaknya ke sekolah lain dan naik kelas! Yang penting orang tua nggak malu. Salah, melanggar hukum, melanggar agama, ga papa, yang penting gak malu-maluin! Menurut Ruth Benedict dalam bukunya The Chrysanthemum and the Sword (1946), ada dua cara masyarakat mengendalikan perilaku anggota masyarakatnya agar berjalan sesuai dengan norma-norma. Cara yang pertama adalah dengan menerapkan ”budaya salah” (guilt culture). Orang Amerika (Barat) dan agama-agama menggunakan pendekatan ini. Caranya adalah dengan menerapkan aturan (undang-undang, kode etik, hukum agama) dan menetapkan sanksinya (penjara, denda, neraka/surga, dll.). Setelah beberapa generasi, aturan itu merasuk ke dalam hati individu sehingga pengemudi orang Amerika otomatis akan berhenti jika lampu merah menyala walaupun lalu-lintas sedang sepi di tengah malam. Pengemudi di Amerika otomatis akan merasa bersalah kalau menyerobot lampu merah. Demikian pula mereka otomatis akan mengantre dengan tertib dan tidak pernah ”jam karet” kalau berjanji dengan orang lain, mengembalikan buku ke perpustakaan atau membayar pajak dengan tertib, karena mereka merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Cara yang kedua, menurut Benedict, adalah seperti yang berlaku di Jepang (Timur) yang memberlakukan ”budaya malu” (shame culture). Ketika Kaisar Jepang, Tenno Heika, menyerah kepada Sekutu di akhir Perang Dunia II (1945), ratusan pria berbaju putih-putih (tidak ada hubungannya dengan FPI di Jakarta) berbondong-bondong datang ke Istana Kaisar dan secara spontan bersama-sama melakukan hara kiri (bunuh diri dengan menusuk perut sendiri dengan sebilah samurai pendek). Alasannya mereka malu bahwa Jepang menyerah walaupun lebih dari 2 juta penduduk Hiroshima dan Nagasaki tewas kena bom atom Amerika Serikat. Di sisi lain, budaya malu ini juga, yang dasarnya adalah gengsi, yang mendorong perekonomian Jepang hanya membutuhkan waktu lima tahun untuk bangkit kembali dan dalam waktu 30 tahun sudah menjadi produser barang-barang elektronik dan automotif terbesar dan terbaik di dunia. Budaya orang Indonesia sama dengan Jepang, sama-sama dari Timur, dan sama-sama mengandalkan gengsi atau budaya malu. Tapi budaya malu di Indonesia mendorong perilaku bangsa ini ke arah yang salah. Orang korupsi nggak apa-apa karena semuanya juga korupsi, jadi nggak malu-maluin. Naik motor melawan arus atau angkot berhenti seenaknya atau menyerobot antrean nggak apa-apa juga karena nggak malu-maluin. Tapi kalau disuruh
  • 30. 30 diskusi di kelas atau duduk paling depan kalau ada pertemuan, banyak yang tidak mau, soalnya malu, takut dianggap sok tahu. Padahal justru itulah yang seharusnya dilakukan. Agama pun gagal mendorong orang berprestasi karena walaupun agama mengajarkan amar makruf nahi munkar, perilaku umatnya masih terkait terus di antara gengsi dan malu-maluin. Di era Reformasi sekarang ini, kebiasaan orang Indonesia yang berasal dari budaya malu harus diubah ke mentalitas budaya salah. Itulah sebabnya sekarang harus ada KPK, kapal pencuri ikan dibom beneran, dan PT KAI (Kereta Api Indonesia) menggantikan Perumka (Penumpang Ngerumpi di atas Kereta Api). SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 31. 31 Seratus Hari, Ku Harus Katakan Apa? Koran SINDO 2 Februari 2015 Dalam tradisi masyarakat kita, khususnya masyarakat tradisional Sunda dan Jawa, bilangan seratus memiliki makna magis yang menjadi acuan dan standardisasi kebudayaan. Apabila seseorang meninggal, bilangan kenduri atau selamatan sebagai bentuk refleksi peringatan akan dimulai sejak angka satu atau sehari yang disebut dengan ‘sadugna’, kemudian tiga hari yang disebut ‘tiluna’, tujuh hari disebut ‘tujuhna’, 40 hari disebut ‘matang puluh’, dan terakhir adalah 100 hari, kemudian akan diperingati peristiwa tahunan yang disebut dengan ‘mendak taun’. Angka 100 mencerminkan kematangan kerangka awal dari sebuah peristiwa yang memiliki implikasi yang cukup besar bagi perjalanan angka-angka berikutnya. Pada aspek penilaian, angka 100 merupakan puncak penilaian tertinggi sehingga siapa pun yang mendapat nilai 100 sempurnalah dia untuk sebuah prestasi yang ditekuninya. Saat ini kita disibukkan dengan 100 hari perjalanan pemerintahan Jokowi-JK sebagai bentuk apresiasi dan harapan terhadap langkah-langkah berikutnya sebagaimana visi dan misi serta janji kampanye yang pernah disampaikan. Gempita perjalanan politik sang fenomena adalah harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Tentunya hal tersebut didasarkan pada literasi perjalanan politik yang cukup magis dan atraktif dalam karier tangga jabatan di Indonesia. Betapa tidak, seorang wali kota pada sebuah wilayah yang relatif kecil di Jawa Tengah melesat menjadi seorang gubernur DKI. Selanjutnya dalam waktu yang relatif sangat pendek terpilih menjadi seorang presiden dengan sokongan publik yang sangat luas, yang bertumpu pada spirit kebersamaan humanis, spirit menghormati perbedaan atau pluralisme, dan spirit perubahan terhadap tata laku aparatur dan komponen bangsa yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan sebagai negara yang bersendikan Pancasila, berkitabkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan prinsip spirit perubahan Nawacita yang bertumpu pada gerakan revolusi mental. Berkaca pada seluruh problem bangsa yang sudah memasuki tahap akut pada seluruh sendi kehidupan, memang tidak mudah melakukan perubahan terhadap struktur dan kultur yang sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Pada tingkat elite, kita menghadapi politik transaksional yang meletakkan aspek kompromi material sebagai pilar utama dalam hubungan politik karena lenyapnya politik ideologis pasca-Reformasi ‘98. Lumpuhnya politik ideologis telah melahirkan konsepsi politik tanpa arah yang meletakkan seluruh kerangka pikir dan kerangka tindak pada negosiasi dan kompromi kapitalisasi. Ini
  • 32. 32 secara tidak langsung telah memarginalkan para politisi yang berbasis visi ideologis dan memberikan ruang yang cukup terbuka pada kaum kapitalis untuk mengambil peran politik dan menentukan seluruh kebijakan kenegaraan di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat, kita berhadapan dengan semakin menurunnya kerangka hidup yang bersifat gotong royong sebagai spirit ideologis dalam tata kehidupan masyarakat kita. Bukan hanya di sudut-sudut kota, di sudut-sudut desa pun kini hampir tak dijumpai kerumunan orang membersihkan selokan, membangun rumah, membangun jalan, membangun irigasi, melaksanakan kegiatan kenduri yang didasarkan pada spirit keikhlasan tanpa pamrih. Dalam bidang politik, kita tidak lagi menjumpai orang yang rela menjual kambingnya, menjual berasnya, menggadaikan surat keputusan penempatan kerjanya, yang seluruhnya didedikasikan untuk memberikan dukungan sepenuhnya pada kandidat yang dipilihnya. Topati jiwa raga demi menjaga marwah, martabat, dan kehormatan kandidat yang menjadi pilihannya. Kini semuanya sudah bertarif dengan label yang sering diucapkan secara terbuka oleh masyarakat, “Wani piro?” Hampir semua kekuatan politik maju tak gentar, membela yang bayar. Tetapi, tentu tidak semua, masih ada yang rela berkampanye tanpa ongkos, meski memang jumlahnya sangat sedikit. Tradisi hidup yang sangat kuat, budaya gotong-royong tanpa kasta, justru sangat terjaga di kampung-kampung adat yang secara umum masyarakatnya berpegang teguh pada tradisi, jarang nonton televisi, jarang baca koran, jarang berinteraksi melalui media sosial, tidak pernah belajar Filsafat Pancasila, tetapi mereka tetap secara utuh dan menyeluruh berpegang teguh pada seluruh nilai-nilai kebudayaan bangsa. Bukan hanya menjadi simbol persatuan, melainkan menjadi spirit keyakinan yang sudah tidak lagi memilah aspek kebangsaan, aspek ketuhanan, dan aspek keagamaan. Proses perjalanan politik untuk mewujudkan kemenangan menjadi kandidat terpilih tidak bisa dimungkiri pasti mendapat sokongan dari berbagai perangkat politik yang memiliki kepentingan terhadap kekuasaan jabatan untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber- sumber ekonomi strategis negara sehingga kekuatan politiknya diharapkan mampu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan modal kebijakan strategis yang dinikmati oleh masyarakat, serta kemampuan untuk menggerakkan sumber-sumber politik melalui penguasaan sumber-sumber ekonomi strategis. Kekuatan kapital politik yang memberikan partisipasi yang cukup besar dalam proses pemenangan pilpres juga memiliki harapan yang cukup luas terhadap akses sumber daya alam, penambahan jumlah kapital, pasar yang terbuka, serta berbagai fasilitas kebijakan sebagai bentuk simbiosis antara kekuasaan dan dunia usaha. Hal tersebut bentuk hubungan sosial-politik yang terbangun saat ini serta tidak bisa dibantah
  • 33. 33 dan tak terbantahkan oleh siapa pun yang menjadi kandidat atau pemenang kekuasaan politik. Keluar dari seluruh komitmen tersebut akan menimbulkan kegaduhan politik sebagai konsekuensi dari sebuah proses perjalanan transaksi kekuasaan. Siapa pun dia, kekuatan apa pun dia, pasti melakukan hal yang sama. Akrobatik logika yang membalikkan seluruh fakta yang terjadi pada proses perjalanan kampanye hanyalah bentuk spirit idealisme kesendirian yang akhirnya akan terkepung oleh fakta-fakta politik yang terjadi sebagai realitas dari sebuah investasi politik. Berlari menghindari kepungan kekuasaan sebagai bentuk imbal jasa dari sebuah investasi politik dan ekonomi hanya akan dianggap sebuah pengingkaran yang mengabaikan jasa-jasa orang yang telah diterima. Nalar kemanusiaan kita akan selalu berkata secara jujur bahwa kita akan memberikan prioritas bagi siapa pun yang telah memberikan andil dan jasa untuk membuat kita seperti hari ini. Kata Mang Udin, tetangga di kampung saya, “Kuring mah teu ngamasalahkeun saha waé nu ngajabat, nu penting mah sing jalulur jeung nyaah ka masyarakat, pakulian kudu mayeng, harga béas tong mahal teuing. Lamun mamangkatan ongkos tong nérékél waé. Apanan ieu mah musingkeun, keur basa BBM naék ongkos ojég nuturkeun naék.” (Saya tidak mempermasalahkan siapa yang menjabat, yang penting jujur dan sayang pada masyarakat, ada pekerjaan tetap, harga beras tidak terlalu mahal, kalau bepergian ongkos jangan naik melulu. Ini kan malah memusingkan, saat BBM naik ongkos ojek ikut naik). “Giliran BBM turun, tukang ojek tetap saja tidak mau menurunkan. Kalau kira-kira bakal diturunkan lagi, nanti enggak usah dinaikkan. Karena ada istilah ‘sawan kuya’, kalau naiknya tidak jadi sampai atas, nanti turunnya juga tidak berani sampai ke tanah. Akhirnya diam di tengah-tengah, jadi nyusahkeun saréréa (jadi bikin susah semua orang).” Lain lagi dengan cerita Ma Icih. Dalam kurun waktu 100 hari ini hari-harinya dilanda kebahagiaan. Entah kenapa dia kini senang bersolek ketika memasuki awal bulan. Gairah hidupnya seperti membara, padahal dulu Ma Icih selalu melamun karena ditinggalkan oleh Bah Jumanta, kekasih sejatinya. Kebahagiaan Ma Icih tersebut ternyata bukan karena gelora cinta yang ada dalam dirinya, melainkan tumbuhnya harapan baru karena dalam setiap bulan Ma Icih kini menjadi seorang janda pensiunan, berhak mendapat jatah Kartu Keluarga Sejahtera sebesar Rp200.000 yang diambil di Kantor Pos. Kegembiraan itu bahkan kini semakin bertambah karena Ma Icih mendapat kabar akan menjadi anak asuhnya Pak Kades yang berhak mendapat tambahan biaya hidup sebesar Rp200.000 lagi per bulan karena gaji Pak Kades kini meningkat sebagai dampak dari bertambahnya Anggaran Desa. Betapa bahagianya Ma Icih di perjalanan 100 hari ini sehingga Ma Icih lirih berkata seperti anak muda yang dimabuk cinta, “100 hari ku merasa bahagia... Berapa lagi yang akan kuterima?”
  • 35. 35 Ra Popo Itu Mantra Sakti Koran SINDO 2 Februari 2015 Pasangan Jokowi-JK telah memenangkan kontes politik yang disebut pemilihan umum dengan anggun, tapi dibuat ruwet oleh berbagai orang dengan berbagai kepentingan. Dalam masa penuh ketegangan waktu itu, pikiran dan perasaan bangsa Indonesia terkuras. Ada orang yang tak merasa malu, yang memperpanjang ketegangan itu dengan berbagai ulah politik. Tapi, menang adalah menang. Pasangan Jokowi-JK menunjukkan dengan baik bahwa mereka menang. Jokowi difitnah secara keji lewat jalur umat Islam, tapi beliau tidak bereaksi. Ketika wartawan bertanya, jawabnya pendek: “ra popo“, Prinsipnya, tidak apa-apa, tidak ada masalah. Difitnah bahwa dirinya bukan muslim, reaksi beliau sama: “ra popo“. Banyak tuduhan, yang bersifat fitnah, dijawab dengan kalem: “ra popo“ tadi. Saat itu fenomena “ra popo“ itu tampak menonjol. Sikap percaya diri beliau sangat besar. Sikap pemaafnya agak luar biasa. Sesudah kemenangannya bisa diterima oleh mereka yang kalah, beliau betul-betul “ra popo“. Ini berarti beliau sehat, selamat, dan bahagia. Ada tokoh yang tak setuju dengan sikap serba”ra popo“ itu. Baginya, ini dianggap meremehkan persoalan penting. Seorang pemimpin, kata tokoh tersebut, tak boleh sebentar- sebentar berkata “ra popo“. Baginya, ada persoalan-persoalan yang harus dihadapi dengan sikap lebih serius dan menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar. Sikap serba ”ra popo“ itu dianggap tidak pantas. Tapi, pendapat itu bukan satu-satunya kebenaran. Orang yang lapang dada dan berjiwa besar mengapa tak boleh bersikap rileks, serileks-rileksnya, sehingga semua persoalan lalu dihadapi dengan sikap “ra popo“? Apa serius dan rasa tanggung jawab itu berarti bahwa fitnah harus dibalas fitnah? Apa bedanya tukang fitnah dengan orang baik, yang punya keluhuran dalam politik? Mengapa marah harus dibalas marah? Dalam mitologi Jawa, ada tokoh bernama Puntadewa. Ini tokoh serbatulus dan hidupnya damai lahir-batin. Sikap Jokowi yang damai itu membuat konstelasi politik masa itu menjadi lebih damai. Kalau menghadapi “serangan” lawan Jokowi ganti “menyerang”, suasana kehidupan politik jelas akan bertambah panas. Para empu kehidupan yaitu para tokoh dunia rohani berpendapat, kalau suatu persoalan disikapi sebagai bukan persoalan, niscaya dia akan benar-benar menjadi bukan persoalan.
  • 36. 36 Menghadapi keruwetan hidup dengan sikap “ra popo“ itu memiliki dua kemungkinan: pertama, itu menjadi “doa” yang dikabulkan, dan kedua, merupakan “mantra”. Boleh jadi bahkan merupakan “mantra sakti”. Orang baik dan tulus jiwanya selalu diberi keistimewaan untuk memiliki sejenis “mantra sakti” itu. Kesaktian mantra itu bisa dibuktikan, tiap sabda menjadi fakta, tiap jenis cita-cita bisa dicapai, dan apa pun yang diciptanya terwujud. Ini kearifan dan corak kesaktian orang- orang zaman dulu. Apakah Jokowi punya warisan darah orang arif-bijaksana dari masa lalu? Mengapa tiap yang ditanggapi dengan sikap “ra popo“ lalu betul-betul “ra popo“ dan tidak menjadi masalah sama sekali? Pak Presiden, ini daya energi macam apa? Sekarang persoalannya agak lain. Ketika kebijakan beliau disorot publik dan di antara mereka ada pula para pendukung setianya, Presiden dimohon mendengar suara rakyat yang tulus memihak kepadanya. Jangan dengarkan menteri yang menganggap rakyat itu sesuatu yang tak jelas. Presiden punya sikap sendiri yang lebih bagus dan lebih bijaksana. Orang baik, bersih, dan bijaksana itu mahal sekali. Hebat. Tapi, pemimpin bangsa tidak cukup sekadar baik, bersih, dan bijaksana. Posisi moral politiknya harus jelas. Pemihakannya pada kebenaran tak perlu diragukan. Maka, bila ada orang yang terindikasi apalagi sudah terbukti korup, pemimpin wajib menghadapinya dengan tegas. Bahkan harus lebih tegas dibanding siapa pun di kolong langit ini. Orang baik, bersih, dan bijaksana, serta tegas sikapnya, tak perlu dinasihati orang lain karena sudah mampu menasihati diri sendiri. Beliau pun tak perlu diberi saran orang lain karena sudah ahli memberi saran bagi dirinya sendiri. Di masyarakat pun tak perlu ada keluhan karena beliau sudah mendengar sebelum orang mengeluh. Pendeknya, beliau sudah mendengar apa yang tak terdengar. Ini memang pekerjaan berat dan terasa agak istimewa. Ketika ada keluhan, orang yang korup jangan dijadikan pejabat negara, jawabnya harus jelas: “memang tidak”. Boleh pula ditambah: “dan saya tak berniat menjadikannya pejabat”. Syukur bila kemudian berpidato untuk memberi penegasan: “Jangan khawatir. Apa yang anda semua pikirkan juga hal yang saya pikirkan.” Wah, kalau begini keadaannya, betapa mentereng pemimpin kita. Tapi, kalau menghadapi keluhan tadi diam-diam jawabnya “ra popo“, saat itu beliau bukan lagi “tulodho“, bukan teladan yang wajib didengar. Ini ibarat Subali yang sudah ditinggalkan oleh Wisnu, yang semula, sejak lama, ada di dalam dirinya. Kita tahu, Subali ditinggalkan Wisnu berarti kehilangan kedewataan. Watak dewa pada makhluk biasa itu pendeknya tidak ada lagi. Kita juga tahu, kehilangan kedewataan itu
  • 37. 37 tinggal ibarat “kayu growong kanggonan tekek“, ibarat pohon besar berlubang yang ditempati tokek. Ini kayu yang tak ada gunanya. Sesudah 100 hari memerintah, Jokowi disorot mata publik, dengan pertanyaan, dengan keraguan, dengan kritik, dan bahkan dengan kemarahan dan rasa kecewa. Tapi, ada juga yang tetap berharap dengan sikap mendukung. Jangan risau Pak Presiden, mereka berhak berbuat begitu. Tapi, 100 hari itu belum apa-apa. Prestasi seseorang belum bisa ditentukan dalam masa sependek itu. Mungkin ada jawaban psikologis yang menyenangkan: jangan jadi Subali yang ditinggalkan Wisnu. Jangan menjadi “kayu growong dinggoni tekek“tadi. Orang baik, bersih, dan bijaksana, yang sudah belajar bersikap tegas, niscaya tak khawatir menghadapi apa yang bisa dianggap “tim penilai” tadi. Silakan menilai, “ra popo“. Lakukan saja. Jangan lupa, “ra popo“ itu seonggok kata yang memiliki kekuatan mantra sakti seperti sudah terbukti pada masa pemilu tempo hari. “Ra popo“ bukan sembarang kata. Dia punya pengaruh, dia punya wibawa. Tapi, saat ini, ketika keadaan terasa agak genting dan mencemaskan, kata sebagai sekadar kata tak cukup. Suara rakyat harus didengar. Kalau ada menteri bilang: “rakyat yang tak jelas” jangan didengar, Pak Presiden boleh bilang: “ra popo“. Saya mendoakan, semoga “ra popo“ ini menjadi kekuatan “mantra sakti”. MOHAMAD SOBARY Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
  • 38. 38 Kembalikan Ruh Perjuangan HMI Koran SINDO 5 Februari 2015 “Kegagalan HMI kegagalan satu generasi, keberhasilan HMI keberhasilan satu generasi” (Ahmad Wahib) Di Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ke-68 tahun ini, penting mengetengahkan kegelisahan Ahmad Wahib tersebut. Maknanya, HMI sebagai representasi gerakan kaum menengah intelektual merupakan alat perjuangan. Namun, alat itu kini sudah mulai tumpul bersamaan dengan dominasi warna politik di HMI dan hampir semua gerakan mahasiswa dan pemuda lainnya. Musti diakui, gerakan mahasiswa dan pemuda pasca 1998 telah kehilangan ruh perjuangannya. Idealisme ekstraparlementer, gerakan politik moral, dan produktivitas intelektual kini hanya mampu diwiridkan tanpa pernah hidup di dalam sanubari anak negeri. Inilah yang terjadi pada para kader HMI dan mayoritas gerakan pemuda di negeri ini. Mahasiswa dan pemuda yang semestinya mengambil peran kepeloporan, seolah kehilangan keberdayaannya. Di tengah kelesuan gerakan HMI, kita merindukan gagasan visioner baru yang kontekstual dengan kondisi kebangsaan saat ini. Sudah waktunya mengembalikan HMI sebagai sentrum gerakan pencerahan dan laboratorium intelektual demi melahirkan pemimpin muda yang visioner, bermoral, dan berintegritas. Sebuah investasi kepemimpinan bangsa di masa depan. Mari sejenak berkontemplasi. Luruhnya ruh perjuangan dan peran kepeloporan HMI setidaknya dapat dinapaktilasi dari tiga indikator. Pertama, pascagerakan reformasi 1998, HMI, dan mayoritas organisasi pemuda mengalami antiklimaks. Beragam action, semisal demonstrasi, tak lagi murni mencerminkan kepentingan rakyat, melainkan lebih diwarnai oleh rekayasa pesanan politik. Gerakan mahasiswa dan pemuda kerap mengatasnamakan perjuangan hak rakyat, namun rakyat tidak pernah merasa diperjuangkan hak-haknya. Di satu sisi, HMI dan gerakan pemuda lebih mengandalkan hadirnya musuh bersama (common enemy) di domain kekuasaan secara oposisional, ketimbang mengusung cita-cita bersama secara konstruksional. Nah, pada saat siklus kekuasaan berubah dari sentralisme menuju desentralisme, pola gerakan HMI pun ikut berubah mengikuti peta fragmentasi
  • 39. 39 kekuasaan. Akibatnya terjadi bias arah perjuangan. Di sisi lain, tingginya libido politik praktis seolah menjadi wabah yang tak terelakkan dari jantung organisasi HMI sehingga orientasi organisatoris kian pragmatis dan kehilangan independensi karena larut di arus besar permainan politik (political mainstream). Itu terbukti dari kecenderungan perpecahan (mufaraqah) organisatoris yang dipantik oleh momentum peralihan kekuasaan (politik internal organisasi). Kelompok yang kalah biasanya tidak mau menerima secara fair kekalahannya. Sebaliknya kelompok yang menang tidak mau mengakomodasi kelompok kalah karena aspek rivalitas. Ujungnya, terjadi perpecahan di mana masing-masing top leader berebut legitimasi kekuasaan. Kedua, aktivitas kajian strategis-konseptual, penyamaan isu maupun pemetaan potensi kader kian jarang dilakukan, kecuali hanya untuk menyangga kebutuhan struktural dan jauh dari dimensi substansial. Kader HMI saat ini lebih nyaman memilih pola pikir instan, ketimbang rumusan programatik yang dianggap terlampau rumit dan bertele-tele. Maka wajar bila capaian gerakan kita hanya sebatas tujuan “antara”. Artinya, kita piawai menggoyang ataupun menurunkan sebuah rezim kuasa. Namun, tidak siap dengan grand design konsep restrukturisasi pasca runtuhnya rezim. Pola gerakan yang digunakan lebih bersifat konfrontatif, ketimbang diplomatis. Semestinya pola diplomasi dengan menyodorkan desain konsep dapat berimplikasi lebih sistemik daripada harus selalu berkonfrontasi. Ketiga, HMI dan organisasi pemuda sebagai entitas menengah intelektual belum mampu memfungsikan diri sebagai jembatan yang menyambungkan jurang kesenjangan antara rakyat (grassroots) dengan elite. Kita seolah lebih nyaman menjadi komunitas eksklusif yang terpisah dari grassroots. Sebaliknya, kita kerap berposisi “butuh” kepada elite. Tidak terjadi relasi yang integrated individual and community level empowerment, sebagaimana dipesankan Louise Jennings dalam Toward a Critical Social Theory of Youth Empowerment. Semangat Zaman HMI Ada tiga hal yang melatarbelakangi berdirinya HMI, yakni dunia Islam, kebangsaan, dan kemahasiswaan. Tiga ladang pengabdian ini senyatanya belumlah digarap secara maksimal. Kondisi dunia Islam, sebagaimana diketahui, hingga kini masih diselimuti awan kegelapan. Terorisme berbasis agama tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Paham anti- pluralisme merebak di mana-mana dan siap mengoyak keragaman yang sudah sekian lama terajut di negeri ini. Di titik ini, HMI musti berada di garis depan mencegah munculnya virus-virus kedengkian yang dibalut ajaran dan dogma agama. Nilai-nilai Islam inklusif, toleran, dan humanis niscaya di-landing-kan dalam kenyataan berbangsa dan bernegara.
  • 40. 40 Pada kondisi kebangsaan kita saat ini, perilaku korupsi mewabah dari pusat hingga daerah. Ini menyebabkan proses pembangunan menjadi terhambat karena dikemplangnya kekayaan negara oleh segelintir elite negeri ini. Mereka memperkaya diri secara membabi buta tanpa menyadari bahwa ada hak orang lain yang dirampasnya. HMI seharusnya mengambil kembali semangat perjuangan yang dulu pernah dilakukan di masa kemerdekaan. Sementara kondisi kemahasiswaan Indonesia saat ini masih dibelit krisis identitas. Mahasiswa hari ini cenderung bergaya hidup hedonistis akibat infiltrasi globalisasi melalui alat teknologi informasi dan komunikasi. Mengambil kembali kendali nilai intelektualitas yang selama ini menjadi ciri khas HMI, tidaklah bisa ditawar sebab keberadaannya inheren dalam diri seorang kader HMI. Mengutip apa yang pernah dituturkan Cak Nur, “HMI adalah organisasi elite.” Elite bagi Cak Nur bermakna kualitas intelektual individu dan kolektif berada di atas rata-rata kemampuan kader organisasi mahasiswa dan kepemudaan secara umum. Dengan kemampuan intelektual, kader HMI mampu membaca tanda-tanda perubahan zaman yang semakin bergerak maju. Ia juga harus mampu menganalisis apa yang akan menjadi tantangan ke depan untuk kemudian mempersiapkannya. Apalagi saat ini era pasar bebas sudah dimulai dengan dicanangkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Yang diperdagangkan tak hanya barang dan jasa, tapi juga tenaga kerja. Jangan sampai HMI menjadi beban sejarah bangsa ini. Dengan jumlah anggota tersebar di berbagai pelosok di Indonesia, peran HMI sebagai motor penggerak pembangunan bangsa harus dibangkitkan kembali. Menjelang satu abad Indonesia, ruh perjuangan dan kiprah intelektualisme HMI musti dikibarkan!! AZHAR KAHFI Ketua Bidang PTKP PB HMI
  • 41. 41 Mengembalikan HMI ke Tengah Rakyat Koran SINDO 6 Februari 2015 Himpunan Mahasiswa Islam pada 5 Februari 2015 genap berusia 68 tahun. Usianya hanya terpaut 18 bulan dengan usia Republik Indonesia. Kita bersyukur hingga kini HMI tetap hadir dengan kiprah kader beserta alumninya yang membanggakan. Dalam lingkungan kebangsaan yang terus mengalami dinamika dan perubahan, HMI tetap mampu memerankan diri dan memberi kontribusi kepada kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia secara produktif. Sepanjang usianya, HMI telah melahirkan begitu banyak intelektual, pemimpin politik, aktivis sosial, birokrat, pengusaha, dan kaum profesional lainnya. Sejarah HMI menjadi berharga karena dukungannya secara terus-menerus terhadap perkembangan bangsa Indonesia. Figur-figur besar seperti Lafran Pane, Ahmad Dahlan Ranuwihardjo, Nurcholish Madjid, atau para syahid seperti Ahmad Wahib dan Munir, adalah telaga hikmah yang menyediakan teladan bagi kita untuk terus menyegarkan semangat dalam berjuang bagi kemajuan masyarakat. Dari mereka kita belajar, siapa mau berjuang niscaya harus bersedia menanggung kerugian kecil dan bersifat sementara untuk diri sendiri, dengan berani memusatkan perhatian pada usaha mewujudkan kebajikan bagi orang banyak. Suatu usaha yang dilandasi keyakinan bahwa tidak ada keberhasilan tanpa jerih payah, sebagaimana tidak akan ada bahagia hari raya tanpa berpuasa. Independensi adalah khitah, yaitu sikap terbuka dan selalu sedia menjaga jarak yang sama dengan segala hal, kecuali kebenaran. Independensi bukanlah sikap pasif menunggu ke mana embusan angin, namun berwujud pada kerja amar makruf. Dalam bingkai kekinian, amar makruf berarti proaktif, saling membantu, bergotong royong, membangun, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dalam lapangan pengabdian masa kini, amar makruf tak bisa lagi sekedar mengandalkan semangat berkobar saja, namun juga mensyaratkan wawasan keilmuan mendalam dan kemampuan teknis yang mumpuni. Keduanya menjadi prasyarat dari profesionalitas dalam sebuah bidang spesialisasi. Tentu bukan profesional yang tinggal di menara gading, namun seorang spesialis yang tekun dan konsisten, yang membaktikan kemahirannya secara tulus dalam memecahkan masalah kemasyarakatan. Dengan semangat tersebut, kami menyelenggarakan kepengurusan PB HMI periode 2013- 2015, yang alhamdulillah telah menginjak akhir tahun kedua. Berkat perhatian dan bantuan
  • 42. 42 dari banyak pihak, kepengurusan PB HMI kali ini dapat berlangsung kondusif dan kontributif. Independensi organisasi dan soliditas kepengurusan relatif terjaga sepanjang momentum politik yang telah berlalu. Melalui kepengurusan ini, PB HMI telah memiliki kantor/sekretariat baru di Jln. Sultan Agung 25A, beranjak dari kantor lama di Jln. Diponegoro 16A. Untuk menunjang konsolidasi, kami segera luncurkan insancita.co, portal jejaring sosial khusus HMI. Penataan pranata organisasi juga terus dilakukan melalui peningkatan kapasitas pengurus, pembaruan pedoman perkaderan, dan penguatan lembaga-lembaga profesi serta badan penelitian dan pengembangan. Juga yang sedang berjalan, yaitu pendalaman demokrasi substansial melalui pendampingan komunitas, masih akan terus dilaksanakan. *** Membincang HMI adalah membincang wajah-wajah optimistis bagi keindonesiaan. Tidak saja karena sejarah HMI, pada tapal-tapal sejarah dan momentumnya yang paling menentukan, berjalin erat dengan sejarah bangsa ini. Juga karena HMI akan terus menjadi ruang belajar bagi mahasiswa Islam untuk mendidik diri dan berkontribusi aktif bagi pembangunan bangsa. Indonesia kini selayaknya diberi nama Indonesia pasca-Reformasi. Dengan segala kekurangannya, impian-impian yang mengemuka pada gerakan Reformasi 1998 bisa dikatakan sudah berakhir. Periode perubahan rezim sudah berlalu dan menghasilkan banyak perubahan: kebebasan sipil-politik yang meluas, luruhnya supremasi militer, dan bangkitnya politik sipil melalui gerakan kesukarelawanan dan sistem multipartai. Indonesia kini telah mantap berada di jalur konsolidasi demokrasi. Tantangan terbesar menuju demokrasi yang bermutu tinggi adalah masalah pembagian sumber daya politik yang timpang. Secara ideal, mestinya setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negara. Tugas pemerintah adalah mengeliminasi jarak yang menganga, di antara aspirasi rakyat dan kebijakan negara. Dalam hal ini, kita selalu membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan aspiratif. Kepemimpinan yang tangguh bukan hanya karena dukungan koalisi politik, namun karena berpegang teguh pada konstitusi, sambil merendahkan telinganya pada jerit aspirasi masyarakat. Demokrasi kita melalui pemilukada langsung, dengan segala kurang di segala sisinya, telah menerbitkan harapan. Sejalan dengan desentralisasi kekuasaan, muncul banyak kepala daerah yang menunjukkan kepemimpinan yang berkomitmen dan mengakar kuat pada aspirasi lokal. Sejak awal kemerdekaan Republik, sirkulasi kepemimpinan nasional selalu berasal dari jalur pendidikan, militer, organisasi massa, dan dunia bisnis. Kepemimpinan daerah kini telah
  • 43. 43 menjadi rahim baru bagi kepemimpinan nasional. Prospek dan keberhasilan model kepemimpinan ini, kita sedang menunggu pembuktiannya, tak lain tak bukan adalah pada figur presiden kita saat ini, Bapak Ir. Joko Widodo. Penguatan kelembagaan demokratis dan pembagian sumber daya politik melalui emansipasi rakyat adalah pilihan model perjuangan HMI yang relevan untuk dilaksanakan. Inilah saatnya mobilitas HMI dikembalikan ke tengah-tengah rakyat. Dalam hal ini, HMI dapat bekerja memperkuat masyarakat madani (civil society) sebagai pengimbang kekuasaan negara dan pasar. Dengan mengisi ruang kosong dalam sistem demokrasi, tentunya peran HMI semakin menemukan relevansinya dengan keinginan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. *** Bangsa Indonesia sedang berada pada kesempatan emas untuk segera melenting menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Struktur penduduk Indonesia sedang menjanjikan kesempatan untuk segera mencapai masa gemilang tersebut. Bonus demografi yang kita peroleh sejak 2012 perlu dimanfaatkan segera, untuk memacu produktivitas angkatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pada puncaknya kelak di tahun 2028, jumlah angkatan kerja mencapai 67% dari seluruh penduduk, dan rasio kebergantungan jatuh hingga titik terendah 47%, artinya 100 penduduk usia produktif hanya menanggung 47 usia non-produktif. Tulang punggung pemanfaatan bonus demografi adalah pemuda. Konsentrasi pembangunan pemuda menjadi strategis bukan hanya karena jumlahnya, karena inilah masa penentuan kualitas dalam kehidupan seseorang. Perubahan kondisi sosial-ekonomi yang terjadi pada pemuda akan menentukan perubahan yang berlangsung sepanjang hidupnya. Kunci utamanya adalah pendidikan yang berkualitas dan terbuka bagi semua. Tak boleh ada satu pun remaja yang luput dari akses terhadap lembaga pendidikan. Metode belajar harus diusahakan dapat sesuai dengan kebutuhan sosial dan menekankan pada keterampilan hidup (life skill), yaitu penguatan karakter dan kemampuan sosial. Selain itu, kita perlu segera mengubah paradigma, dengan memperlakukan pemuda sebagai aset dan kekuatan, bukan beban masalah. Memandang pemuda sebagai beban masalah hanya akan membawa pada kebijakan jangka pendek yang reaksioner, sekadar anti-ini dan anti-itu. Sebaliknya dengan memperlakukan pemuda sebagai aset dan kekuatan masa depan, niscaya membawa pada model kebijakan yang sistematis dan berorientasi pembangunan jangka panjang. HMI sebagai organisasi mahasiswa, dengan kesempatan mengakses pendidikan dan pekerjaan lebih tinggi dibanding sebayanya, diminta atau tidak, akan selalu ikut bertanggung jawab untuk melakukan pendampingan terhadap pemuda yang tak berkesempatan.
  • 44. 44 Dengan potensi dan sebaran kader dan alumni HMI di seluruh Indonesia, kita sesungguhnya bisa berbuat lebih banyak untuk membantu penyediaan ruang belajar dan beraktualisasi bagi peningkatan kapasitas SDM pemuda. Jika satu cabang HMI minimal memiliki satu model pendampingan komunitas. Dengan 200 lebih cabang yang kita miliki saat ini, ditambah gandeng tangan dari alumni dan lembaga yang ikut berpihak, maka sesungguhnya satu pekerjaan besar sedang kita bangun; menyiapkan generasi masa depan Indonesia yang unggul. Setiap organisasi barangkali tak bisa berkelit untuk melaksanakan tugas sejarahnya. Merawat warisan nilai dan teladan dari para pendahulu yang baik, sambil menerima perubahan di masa kini untuk kemajuan yang lebih baik. Semoga penyampaian ini mendapat perkenan, dalam konteks saling mengingatkan dalam kebenaran, untuk memandu kita semua pada citacita masyarakat adil dan makmur yang diridai oleh Allah SWT. Yakin Usaha Sampai. ARIEF ROSYID HASAN Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)
  • 45. 45 Humpty Dumpty Koran SINDO 8 Februari 2015 Humpty Dumpty adalah makhluk dalam lagu nina bobok-nya orang Inggris. Lagu tradisional rakyat Inggris yang diperkirakan sudah populer sejak 1797 itu tidak jelas siapa pengarangnya, tetapi setiap ibu di Inggris, hafal lirik itu yang salah satu versinya seperti ini: Humpty Dumpty sat on a wall, Humpty Dumpty had a great fall. All the kings horses and all the kings men Couldnt put Humpty together again. Kalau saya terjemahkan bebas, kira-kira versi bahasa Indonesia-nya seperti ini: Humpty Dumpty duduk di dinding tinggi, Humpty Dumpty jatuh tak bisa bangun lagi. Semua kuda dan tentara raja tak bisa jadikan Humpty Dumpty seperti semula. Tidak ada yang tahu Humpty Dumpty itu makhluk apa dan bentuknya seperti apa, tetapi pada 1904 seorang artis membuat buku cerita tentang Humpty Dumpty yang digambarkannya sebagai makhluk anthropomorphic egg atau makhluk berbentuk telur yang mirip manusia yaitu bisa berbicara dan bertingkah laku seperti manusia. Di Amerika Serikat, sosok Humpty Dumpty sudah dimasukkan ke dalam lagu-lagu, dongeng, buku, dan film, bahkan kajian filsafat dan etika. Tak terhitung jumlahnya. Tetapi, salah satu yang menarik adalah seperti yang diceritakan dalam literatur klasik In Through the Looking- Glass (Masuk melalui Gelas Kaca), di mana si makhluk telur itu bertemu seorang gadis kecil bernama Alice (kalau tidak salah adegan ini ada dalam film kartun Walt Disney Alice in the Wonderland) dan mereka mengobrol. “Aku benar-benar tak mengerti apa arti kejayaan,” kata Alice. Humpty Dumpty menjawab dengan angkuh, “Pasti kamu tidak akan mengerti, sampai suatu saat saya kasih tahu artinya. Jadi bagiku itu pukulan yang mematikan untukmu.” “Tetapi, arti kejayaan kan bukan pukulan yang mematikan?” Alice memprotes. Humpty Dumpty tersenyum sinis. “Ketika saya menggunakan satu kata,” katanya, “Arti kata itu tergantung pada saya sendiri. Tidak kurang dan tidak lebih.” “Jadi, kamu boleh membuat kata dengan arti apa saja sesukamu?” Alice bertanya lagi karena tidak mengerti. “Jadi, tergantung siapa yang berkuasa, dialah yang memberi arti pada suatu kata,” ucap Humpty Dumpty masih tetap sinis, “Apa mau dikata, kata-kata itu memang misteri.” ***
  • 46. 46 Maka itu, dialog ini sampai dibahas dalam ilmu filsafat segala karena maknanya dalam banget. Buat saya saja (yang, maaf, profesor) diperlukan pemikiran yang mendalam untuk memahami dialog itu, apalagi buat orang awam. Tetapi, dialog itu di dalam buku maupun film ditujukan untuk anak-anak. Barangkali anak- anak yang otaknya belum terlalu ruwet seperti orang dewasa malah lebih bisa memahaminya karena anak-anak itu selalu dalam posisi bawahan, yang harus selalu menurut apa kata penguasa, termasuk papa, mama, opa, oma, ibu dan bapak guru, dan sebagainya. Misalnya kejadian yang baru-baru ini dialami Valerie. Sepulang dari sekolah (dia kelas V SD), baru saja masuk rumah terdengar suara klakson penjual es krim kesukaan dia. Segera dia bilang pada mamanya, “Ma, beli es krim, ya?” Mamanya yang sedang asyik ngerumpi sama tetangga yang suaminya selingkuh, segera menjawab, “Iya, sana-sana, ambil duitnya di dapur.” Maka Valerie segera memanggil tukang es krim, melesat mengambil uang di dapur, dan sekejap kemudian dia sibuk menjilati es krim kesukaannya. Esoknya, pas pulang sekolah juga, si tukang es krim lewat lagi. Es kriimmm...tot...tot...tot. Karena pengalaman kemarin, otomatis Valerie minta mamanya lagi, dong, “Ma, beli es krim, ya?”. Tapi, kali ini Mama sedang kesal karena suaminya tidak menjawab ketika ditelepon dan di-SMS, “Jangan-jangan dia lagi selingkuh juga seperti suaminya Ibu Ayub, tetangga sebelah,” pikir Mama. Maka dengan jengkel dia menjawab permintaan Valerie, “Apaa? Eeeh... udah ... sana-sana!” Dengan gembira Valerie berlari hendak menyetop si tukang es krim lagi. Tetapi, mamanya segera memanggilnya kembali, “Heeh, Valerie!! Mau ke mana kamu?” “Mau manggil es krim, Ma,” Valerie menjawab sambil menghentikan larinya. “Siapa yang suruh kamu beli es krim? Ini kan jam tidur siang. Sana-sana kamu tidur siang, nanti sore belajar, besok kan ulangan!” perintah si Mama tegas. Siapa yang tidak bingung coba. Kemarin ‘sana-sana’ artinya ‘boleh beli es krim’, sekarang ‘sana-sana’ artinya ‘harus tidur siang’. Itulah yang dimaksud oleh Humpty Dumpty bahwa penguasa suka mainkan arti kata-kata seenaknya sendiri. Selama dia yang berkuasa, dialah yang menentukan arti-arti kata-kata itu. Di dunia birokrasi ada dialog seperti ini. Lurah: Jadi mulai hari ini, kita bisa deklarasikan bahwa kelurahan kita bebas banjir. Nanti akan saya laporkan ke Pak Wali agar kota kita mendapat penghargaan Adipura. // Ketua RW 04: Belum bisa Pak Lurah. Di RW saya, RT 12 dan sebagian RT 13 masih kebanjiran.// Lurah: Aaah... itu mah cuma air tergenang namanya, bukan banjir. Sebentar lagi juga surut. Udah, pokoknya tanda tangan saja, deklarasinya ya Pak RW. Nanti kalau kita menang Adipura, kita potong kambing, sekalian doakan saya supaya SK pengusulan saya jadi camat cepat ditandatangani Pak Wali. Jadi kata ‘banjir’ pun bisa banyak artinya. ***
  • 47. 47 Kalau kita tarik lagi ke bidang politik, kita akan tambah mumet lagi. Misalnya istilah-istilah seperti: koalisi abadi, Plt (pelaksana tugas), seratus hari, menunda, tidak memberhentikan, kader partai atau petugas partai, revolusi mental, dan seterusnya. Semua membingungkan. Bagaimana kita bisa membangun bangsa dan negara kalau semua kebingungan. Ibaratnya pasukan tentara, kalau ada aba-aba “Siaaap...grak!” Otomatis diikuti oleh seluruh pasukan dengan serempak karena aba-aba itu hanya satu artinya. Kalau aba-aba itu boleh dikritisi oleh setiap anggota pasukan, pasti pasukan akan berantakan. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 48. 48 Jakarta, Oh Jakarta Koran SINDO 9 Februari 2015 Jakarta adalah sebuah nama yang begitu melekat di seluruh telinga rakyat Indonesia. Kota yang menjanjikan segudang harapan bagi siapa pun yang berani bertaruh jiwa, merenda nasib untuk memenuhi hasrat khayali kehidupan di alam imajinasi. Daerah yang tumbuh menjadi ibu kota negara ini tumbuh menjadi raksasa Nusantara di tengah inferiornya berbagai daerah dengan kekuatan yang tak tertandingi yang dimilikinya. Jakarta adalah pusat kekuasaan, di mana seluruh jaringan kekuasaan di berbagai daerah di seluruh negeri ini keputusannya ditetapkan di Jakarta. Hampir seluruh kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di Jakartalah ditentukan keputusannya. Hampir seluruh kerajaan bisnis dari mulai pertanian, kehutanan, pertambangan, energi, hiburan, televisi, perfilman, dan perbankan, semuanya terpusat di Jakarta. Jakarta menjadi ”tuhannya” orang Indonesia. Jakarta tumbuh menjadi kekuatan yang dipertuhan, yang mampu menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia. Keperkasaan Jakarta sebagai pusat dari segala-galanya telah memberikan berkah bagi melimpahnya rezeki Pemerintah Sang Ibu Kota. Rp79,6 triliun adalah sebuah anggaran yang cukup fantastik untuk menjadi kekuatan penggerak kesejahteraan dari wilayah yang penduduknya kurang lebih 10 juta jiwa. Dari penduduk itu pun, sudah didominasi oleh orang- orang kaya, para pemegang sumber otoritas keuangan di negeri ini. Bandingkan dengan kami, Rp1,8 triliun untuk penduduk kurang lebih 1 juta jiwa. Kecukupan tersebut telah melahirkan kebingungan pengelolaan keuangan sehingga keuangannya nyaris tidak terserap. Ketidakterserapan melahirkan kegamangan, melahirkan kegalauan, lahirlah angka fantastik untuk gaji para pegawai negeri yang membikin iri seluruh penghuni negeri Indonesia. Betapa tidak, gaji seorang lurah Rp33 juta, gaji seorang camat Rp48 juta, gaji seorang wali kota Rp75 juta. Andaikata kami harus mengikutinya, sudah dapat dibayangkan, seluruh pelayanan pemerintah akan terhenti karena uang kami habis hanya untuk membayar gaji para pegawai negeri. Kini kami hanya menanti penuh harap aliran mobil yang berpelat nomor B agar mau mampir makan di warung-warung kami, menginap di hotel-hotel melati kami, sehingga kami bisa mendapatkan 10% pajak hotel dan restoran. Itu pun kalau mereka mau membayarnya. Pabrik-pabrik di kampung kami yang mengepulkan asap pekat, limbah yang berlimpah, sering menimbulkan keracunan bagi warga kami dan matinya ikan-ikan di sungai kami serta tumbuhnya kemiskinan baru karena ladang penghidupan yang tergusur dan tradisi yang