1. 23
Artikel 7
“WAJAH BARU PANGGUNG DEMOKRASI SEBAGAI PANGGUNG SANDIWARA”
Muhammad Mufti Syahreza
SMAN 10 Fajar Harapan Banda Aceh
Merujuk pada dasar demokrasi, demokrasi berasal dari kata yunani, “Demos”
yang berarti rakyat dan “Kratos” yang berarti kekuasaan. Secara bahasa demokrasi
adalah kekuasaan yang berada di tangan rakyat atau disebut juga pemerintahan
rakyat. Maksud dari pemerintahan rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat. Jadi, demokrasi adalah sebuah bentuk sistem pemerintahan
dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah. Atau
dengan kata lain, demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah di negara
tersebut.
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintah demokrasi adalah
pengakuan hakikat manusia yang pada dasarnya mempunyai kemampuan yang sama
dalam hubungan sosial.
Berdasarkan gagasan dasar tersebut, terdapat dua asas pokok demokrasi,
yaitu: yang pertama adalah pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan,
misalnya dalam pemilihan wakil-wakil untuk lembaga perwakilan rakyat secara
langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil. Dan yang kedua adalah
pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah
untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Menurut salah satu tokoh paham islam, demokrasi adalah wadah masyarakat
untuk memilih seseorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka.
Pimpinannya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang tidak mereka
kehendaki. Mereka juga berhak meminta pertanggung jawaban penguasa jika
pemimpin tersebut bersalah. Merekapun mempunyai hak untuk memecatnya jika
menyeleweng. Mereka juga boleh menuntut untuk tidak dibawa ke sebuah sistem
ekonomi, sosial, budaya, atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka
sukai.
Proses demokrasi memuat hal-hal yang mendukung terlaksananya demokrasi
itu sendiri. Salah satunya adalah pola pikir kita sebagai rakyat yang masih sangat
minim akan pengetahuan tentang proses demokrasi. Lantas apakah pengertian
demokrasi hanya sebatas apa yang telah diutarakan di atas? Jawaban yang tepatnya
adalah tidak. Proses demokrasi memuat satu hal penting yang terlahir secara
sendirinya dan berbentuk turunan demokrasi, yaitu kemampuan akal pikiran manusia
tentang berdemokrasi. Hal inilah yang sering disebut sebagai budaya demokrasi.
Selanjutnya muncul pertanyaan lain, apakah yang dimaksud dengan budaya
demokrasi tersebut? Jika kita melihat dari pengertian kata budaya secara harfiah,
budaya berasal dari kata budi (akal) dan daya (kemampuan). Maka budaya adalah
2. 24
kemampuan akal manusia. Dengan kata lain, budaya demokrasi adalah kemampuan
akal manusia dalam berdemokrasi.
Secara utuh pengertian budaya demokrasi dapat dilihat dari tiga sudut. Yang
pertama adalah budaya demokrasi formal, yaitu suatu sistem pemerintahan yang
hanya dilihat dari ada atau tidaknya lembaga politik demokrasi seperti perwakilan
rakyat. Yang kedua adalah budaya demokrasi wajah (permukaan), yaitu demokrasi
yang hanya tampak dari luar, sedangkan di dalamnya tidak ada unsur demokrasi sama
sekali. Yang ketiga, budaya demokrasi substantif, yaitu demokrasi yang memberikan
kesempatan (hak suara) untuk menentukan kebijakan kepada seluruh golongan
masyarakat tanpa memandang kedudukan atau apapun dengan tujuan menjalankan
agenda kerakyatan.
Budaya Demokrasi pada intinya adalah budaya yang menomorsatukan
kepentingan masyarakat dalam pembuatan keputusan mengenai kebijakan negara.
Budaya demokrasi dalam pelaksanaannya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan.
Adapun kelebihan budaya demokrasi adalah sebagai berikut :
- Demokrasi memberikan peluang untuk terciptanya perubahan dalam
pemerintahan dengan tidak menggunakan kekerasan.
- Terjadinya pemindahan kekuasaan yang dapat terlaksana melalui pemilihan
umum.
- Masyarakat diberikan kebebasan untuk berpartisipasi sehingga memunculkan
rasa memiliki terhadap negara.
Dan adapun beberapa kekurangannya adalah :
- Masyarakat dapat salah dalam menentukan pilihan dikarenakan isu-isu politik.
- Kefokusan pemerintah berkurang terhadap tata laksana pemerintahan ketika
menjelang pemilu berikutnya.
Pada dasarnya hal yang menyebabkan terlahirnya peristiwa budaya dalam
berdemokrasi tidak jauh dari peristiwa pesta demokrasi yang sering disebut dengan
pemilihan umum (pemilu). Pemilu itu sendiri mempunyai makna, suatu proses
dimana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik
tertentu. Jabatan-jabatan yang beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat,
jabatan di berbagai tingkat pemerintahan, sampai ke kepala desa. Dan asas yang
digunakan dalam pemilu adalah asas luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan
jurdil (jujur dan adil).
Dalam melaksanakan pemilu, para pemilih disebut sebagai konstituen, yang
kepada merekalah para calon kandidat pemerintah menawarkan janji-janji dan
program-programnya pada masa kampanye yang dilakukan selama beberapa waktu
yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara
dilaksanakan, proses perhitungan suara untuk pemenang pemilu ditentukan
berdasarkan aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah
ditetapkan dan telah disetujui oleh peserta, dan disosialisasikan kepada para pemilih.
Lalu mengapa pemilihan umum ini sering disebut dengan pesta demokrasi?
Mungkin layaknya sebuah pesta, pemilu hanyalah luapan kegembiraan sesaat.
3. 25
Kegembiraan itu ditandai dengan menjamurnya partai peserta pemilu, ribuan caleg,
jutaan spanduk, baliho dan stiker, ramainya media cetak dan elektronik oleh iklan
politik, hingar-bingar pidato dan janji-janji para tokoh partai dan para kandidat
politik.
Alasan tersebut bisa sangat tepat untuk menjawab pertanyaan di atas, demi
melihat pesta demokrasi yang telah diadakan sejak zaman dahulu di seluruh dunia
umumnya dan di Indonesia, khususnya.
Lantas apakah yang menyebabkan pemilu layak di sebutkan sebagai pesta
demokrasi? Itu semua terwujud karena pemilu diharapkan mampu menjadi sarana
pendorong dalam peningkatan kualitas berdemokrasi dengan meningkatkan
partisipasi politik masyarakat secara luas. Untuk itu diperlukan sebuah regulasi
strategis yang mendasar supaya pemilu ini menjadi lebih bermakna dalam
kepentingan demokrasi di Indonesia, sehingga layak disebut pesta demokrasi.
Suksesnya sebuah pesta demokrasi dalam panggung demokrasi sangat
bergantung kepada peran pelaku politik. Lantas siapakah pelaku politik tersebut?
Pelaku politik adalah politisi-politisi baik yang berasal dari sebuah partai politik atau
tidak, mulai dari presiden hingga orang biasa, mulai dari orang berada hingga orang
tak punya, yang mempunyai sebuah tujuan tertentu.
Secara alamiah tujuan mereka adalah mewujudkan aspirasi masyarakat yang
telah memilihnya. Ya, memang benar sebagian mereka melakukannya namun tentu
tidak semua, karena menurut pandangan agama, “Setiap insan memiliki nafsu”, dan
nafsu tersebut bisa mengarah ke arah positif atau ke arah negatif. Inilah yang terjadi
di tanah air kita Indonesia. Maraknya politisi yang menyeleweng atau menghancurkan
kaidah-kaidah politik. Para politisi cendrung mempunyai prinsip membeda-bedakan
antara orang yang berada di golongan atas dengan orang-orang berada di golongan
bawah. Dan masih banyak dari mereka yang mengekang hak-hak orang lain. Juga
masih kurangnya sifat toleransi di antara mereka dalam hal yang mengarah kepada
pluralisme.
Dan hasil dari semua perbuatan di atas, dapat dijawab dengan sebuah kata,
korupsi, yang terjadi karena mereka terlena akan nikmatnya kekayaan yang tak
cukup mereka nikmati sendiri. Mereka akan menawarkannya kepada kerabat dan
saudara dekatnya untuk berada di jalan yang sama sehingga memperbanyak tabungan
dosa mereka. Tidak hanya sampai di situ, di Indonesia banyak kasus korupsi yang
tidak hanya dilakukan oleh satu orang, namun berjamaah, sehingga membentuk suatu
kelompok pendosa yang lebih dikenal dengan kolusi. Dan hingga tahun 2014 ini hal-
hal tersebut masih sering dijumpai di negara kita. Lantas apa alasan mereka
melakukan semua ini?
Jawabannya dapat kita lihat bersama pada tahun 2014 ini, dimana bangsa
Indonesia telah melaksanakan pesta demokrasi, yang pemilu legislatifnya telah
dilaksanakan pada 9 April yang lalu.
Sebelum pemilihan tersebut digelar, seluruh lapisan masyarakat berharap
caleg yang akan terpilih nantinya merupakan insan- insan yang bertanggung jawab
atas ucapan yang telah mereka umbar ketika berkampanye dengan janji-janji yang
4. 26
sangat indah sehingga meluluhkan hati pemilih. Namun yang terjadi setelah mereka
terpilih adalah sebaliknya. Padahal Allah telah mewanti-wanti dalam firman-Nya :
“..ِدُﻮﻘُﻌْﻟِﺎﺑ ُﻮاﻓَْوأ ُﻮاﻨَﻣآ ِﯾﺬﱠﻟاَﻦ َﺎﮭﱡﯾَأ َﺎﯾ”
“Wahai orang-orang beriman, tepatilah janji…” (QS. Al Maidah/5:1)
Tapi, pada kenyataannya, tidak sedikit dari mereka yang ingkar dan
menjadikan perkataan meraka sebagai dusta. Maka rugilah mereka yang tidak
menepati janji dan ingkar terhadap perintah Allah.
Hal tersebut telah memberi citra buruk terhadap mereka para pelaku politik.
Dan hal yang paling patut disayangkan adalah ketika pamor mereka yang jujur
terlanjur tertutupi oleh para pendusta. Lalu dari semua ini dapat kita simpulkan
bahwa dalang dari semua yang terjadi ini adalah karena kurangnya akhlak atau adab.
Padahal dikatakan dalam agama, adab adalah segalanya.
Dan di zaman sekarang ini, para pelaku politik di Indonesia banyak yang
bermuka dua, sehingga para pelaku politik dikatakan sedang bersandiwara di dalam
jabatan mereka. Mereka hanya memperdulikan diri sendiri dan melupakan amanah
yang telah dibebankan kepada mereka sebagai wakil rakyat. Hal tersebut
menyebabkan proses demokrasi yang telah menghasilkan panggung demokrasi, kini
lebih cocok disebut sebagai panggung sandiwara. Ya, sebutan ini sangat tepat bagi
pelaku demokrasi zaman sekarang yang kebanyakannya sedang bersandiwara di luar
sana.
Semuanya telah terbukti dengan banyak pendusta yang berlakon di atas
pentas demokrasi. Seperti itulah wajah negara kita sekarang ini. Lantas apakah hal
tersebut bisa berubah setelah pemilu 2014 ini? Walaupun kita sebagai rakyat
Indonesia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, namun keinginan
luhur pemerintah untuk pesta demokrasi tahun 2014 ini adalah menjadikan negara
ini lebih baik dari sebelumnya. Hal tersebut tampak dengan jelas pada seruan pemilu
tahun ini, “UNTUK INDONESIA YANG LEBIH BAIK”.
Bagaimana hal ini bisa terwujud?
Indonesia harus berbenah dengan mengkoordinir gebrakan -gebrakan
cemerlang mulai dari lini yang sangat sederhana. Misalnya dalam hal penanaman
nilai-nilai akhlak bagi setiap pelaku demokrasi dengan meningkatkan pemahaman
agama, sehingga para pemimpin nantinya memiliki rasa takut terhadap perbuatan
salah yang akan mereka lakukan. Dan Indonesia harus tegas dalam menindak para
pelaku demokrasi yang bersalah. Satu hal yang paling penting, Indonesia harus
memiliki pelaku demokrasi yang bersih, jujur, dan adil. Dan jika semua itu telah
berhasil terwujud, maka citra panggung demokrasi akan kembali normal. Mungkin itu
menjadi harapan setiap warga negara, baik yang di kota maupun di pelosok, baik tua
maupun kaum muda yang merupakan generasi penerus, yang sedang mengambil
contoh pada yang tua. Oleh karena itu, yang generasi sebelumnya harus
mencontohkan hal-hal yang baik bagi generasi penerusnya.
5. 27
Penulis melihat dibutuhkan peningkatan peran keluarga dalam menerapkan
dan mengamalkan anti korupsi sebagai aspek penting dalam membangun mental
generasi muda untuk menciptakan Indonesia menjadi lebih baik. Dan penulis
menyarankan agar pemerintah sebaik mengevaluasi program pendidikan budaya anti
korupsi dengan kegiatan rutin di sekolah pada setiap minggu dengan menambahkan
pelajaran budaya anti korupsi sebagai mata pelajaran umum di setiap jenjang. Dan
pemerintah agar dapat lebih sering melakukan seminar yang berkenaan dengan
budaya demokrasi dan anti korupsi khusunya kita di Aceh. Dan dibutuhkan juga
peningkatan peran tenaga kependidikan dalam membimbing peserta didik untuk
mengimplementasikan sikap buadaya anti korupsi ke dalam kehidupan sehari-hari.
Dan Perlu pengembangan lebih lanjut mengenai pendidikan budaya demokrasi dan
anti korupsi tidak hanya di terapkan ke perguruan tinggi saja, tetapi juga ke seluruh
jenjang pendidikan seperti contohnya program yang telah saya sampaikan dan yang
terpenting dibutuhkan dukungan dari masyarakat dan berbagai pihak yang bersifat
membangun demi terwujudnya pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi (good
government). Sehingga PANGGUNG SANDIWARA segera berakhir, demi “INDONESIA
YANG LEBIH BAIK”.