SlideShare a Scribd company logo
1 of 146
1
DAFTAR ISI
ASAP KEBAKARAN HUTAN DAN KESEHATAN
Tjandra Yoga Aditama 4
MAKHLUK PEZIARAH
Komaruddin Hidayat 7
ISLAM NUSANTARA
Sarlito Wirawan Sarwono 9
ISLAM NUSANTARA II
Sarlito Wirawan Sarwono 12
DEFISIT KEPERCAYAAN
Komaruddin Hidayat 15
LIE DETECTOR
Sarlito Wirawan Sarwono 19
MINAL AIDIN WALFAIZIN
Sarlito Wirawan Sarwono 22
JASMERAH BUNG KARNO DI AL-QURAN SUCI
Moh Mahfud MD 25
FENOMENA AROUSAL DAN PILKADA SERENTAK
Rhenald Kasali 28
MENYOAL KEBEBASAN
Komaruddin Hidayat 31
TRIALOG
Sarlito Wirawan Sarwono 34
BELAJAR DARI KUCING
Sarlito Wirawan Sarwono 37
COMPASSION FATIGUE
Komaruddin Hidayat 40
KAPAN SELESAI MERDEKA?
Moh Mahfud MD 42
ANJING
Sarlito Wirawan Sarwono 45
JARAK
2
Komaruddin Hidayat 48
KARATEKA
Sarlito Wirawan Sarwono 50
PEMERINTAH MELANGGAR UU BAHASA
S Sahala Tua Saragih 53
PORTUGAL
Sarlito Wirawan Sarwono 57
TANGANI KABUT ASAP, SELAMATKAN EKONOMI
Firmanzah 60
MARK HANUSZ DAN PRAMUDYA ANANTA TOER
Mohamad Sobary 63
OPTIMISTIS HADAPI KRISIS MULTIDIMENSI
A Helmy Faishal Zaini 66
PERLINDUNGAN PENGUNGSI
Dinna Wisnu 69
KRISIS PROTEIN: KENDALA AKSES PANGAN
Ali Khomsan 72
MANUSIA PENCARI TUHAN
Komaruddin Hidayat 75
KALAU PAK JOKOWI PIDATO LEWAT RADIO
Eddy Koko 78
REKONSTRUKSI SEJARAH KAKBAH DAN HAJI
Faisal Ismail 82
MAFIA ASAP HARUS DIPERANGI TOTAL
Tjipta Lesmana 85
ANJING II
Sarlito Wirawan Sarwono 88
POLITIK BANTING SETIR
Mohamad Sobary 91
LAMPU MERAH KEJAHATAN SEKSUAL ANAK
Asrorun Ni’am Sholeh 94
DIBEKAP ASAP
Reza Indragiri Amriel 97
3
KEADILAN DAN KEBAIKAN
Komaruddin Hidayat 100
FATAYAT NU DAN TANTANGAN KONTEMPORER
Anggia Ermarini 102
IBADAH HAJI & FAKTOR KESELAMATAN
Nurul Wahdah 105
PENGUNGSI: ISU KEMANUSIAAN DAN PERAN NEGARA TELUK
Ali Maksum 108
KANCIL DAN MACAN
Sarlito Wirawan Sarwono 111
REVITALISASI IDEOLOGI GOTONG ROYONG
Anna Luthfie 114
KETAKWAAN, BEKAL YANG UTAMA
Biyanto 117
KURBAN DAN PENDIDIKAN CINTA
Muhbib Abdul Wahab 120
PERANGKAT DESA DAN KEBAKARAN HUTAN
Amzulian Rifai 124
MUSIBAH HAJI
Komaruddin Hidayat 128
MENYEMBELIH KEBINATANGAN MANUSIA
Moh Mahfud MD 130
EFEK ZEIGARNIK
Sarlito Wirawan Sarwono 133
PELAJARAN DARI JAMARAT
Abdul Mu’ti 136
DI DEPAN RUMAH TUHAN
Mohamad Sobary 138
MELAMPAUI RASA INGIN TAHU
Jejen Musfah 141
LOGIKA HUKUM PERISTIWA MINA
Sudjito 144
4
Asap Kebakaran Hutan dan Kesehatan
Koran SINDO
4 September 2015
Hari-hari ini dilaporkan peningkatan kabut asap kebakaran hutan, utamanya di sebagian
Sumatera dan Kalimantan. Pada 1 September 2015 KORAN SINDO halaman lima juga
memuat berita bahwa ada 1.438 titik api yang mengepung Sumatera dan Kalimantan. Musim
kemarau sudah melanda kita dengan berbagai akibatnya seperti kekeringan, gagal panen,
kekurangan air bersih, dan sampai terjadinya kebakaran hutan.
Gangguan Kesehatan
Ada berbagai masalah kesehatan yang dapat terjadi akibat kabut asap kebakaran hutan.
Gangguan yang timbul dapat dikelompokkan menjadi tiga hal, yaitu dampak lokal (langsung
terkena asap di kulit, hidung, mata dll.), dampak sistemik tubuh (penyakit pada organ tubuh
lain secara umum) dan dampak tidak langsung seperti kontaminasi pada tanaman dan sumur
air, dll.
Kabut asap dapat menyebabkan iritasi lokal/setempat pada selaput lendir di hidung, mulut
dan tenggorokan yang memang langsung kena asap kebakaran hutan, serta menyebabkan
reaksi alergi, peradangan, dan mungkin juga infeksi. Gangguan serupa juga dapat terjadi di
mata dan kulit yang langsung kontak dengan asap kebakaran hutan, menimbulkan keluhan
gatal, mata berair, peradangan dan infeksi yang memberat.
Kabut asap dapat pula memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis
kronis, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dll. Kemampuan kerja paru menjadi
berkurang dan menyebabkan orang mudah lelah dan mengalami kesulitan bernapas. Infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) jadi lebih mudah terjadi, utamanya karena
ketidakseimbangan daya tahan tubuh (host), pola bakteri/virus dan lain-lain penyebab
penyakit (agent) dan buruknya lingkungan (environment).
Sementara itu, bahan polutan pada asap kebakaran hutan yang jatuh ke permukaan Bumi juga
mungkin dapat menjadi sumber polutan di sarana air bersih dan makanan yang tidak
terlindungi. Kalau kemudian air dan makanan terkontaminasi itu dikonsumsi masyarakat,
bukan tidak mungkin terjadi gangguan saluran cerna dan penyakit lainnya.
Dapat dikatakan bahwa secara umum berbagai penyakit kronis di berbagai organ tubuh
(jantung, hati, ginjal, dll.) juga dapat saja memburuk. Ini terjadi karena dampak langsung
kabut asap maupun dampak tidak langsung di mana kabut asap menurunkan daya tahan tubuh
dan juga menimbulkan stres. Mereka yang berusia lanjut dan anak-anak (juga mereka yang
5
punya penyakit kronik) dengan daya tahan tubuh rendah akan lebih rentan untuk mendapat
gangguan kesehatan.
Upaya Pencegahan
Kebakaran hutan ini tentu perlu diatasi secara menyeluruh, mulai dari pencegahan, tidak
membakar hutan untuk mendapatkan lahan kebun, upaya pemadaman kebakaran hutan,
rekayasa lingkungan, serta hal mendasar lainnya. Di sisi lain, untuk perlindungan kesehatan
ada beberapa hal yang dapat dilakukan masyarakat luas yang terdampak asap kebakaran
hutan ini.
Hindari atau kurangi aktivitas di luar rumah/gedung, terutama bagi mereka yang menderita
penyakit jantung dan gangguan pernafasan. Hal ini memang tidak terlalu mudah dilakukan,
tapi perlu diupayakan maksimal. Upayakan agar polusi di luar tidak masuk ke dalam
rumah/sekolah/kantor dan ruang tertutup lainnya. Jika terpaksa harus pergi ke luar
rumah/gedung sebaiknya menggunakan masker.
Selalu lakukan perilaku hidup bersih sehat (PHBS), seperti mengonsumsi makan bergizi,
tidak merokok, istirahat yang cukup, dll. Bagi mereka yang telah mempunyai gangguan paru-
paru dan jantung sebelumnya, mintalah nasihat kepada dokter untuk perlindungan tambahan
sesuai kondisi. Segera berobat ke dokter atau sarana pelayanan kesehatan terdekat bila
mengalami kesulitan bernapas atau gangguan kesehatan lain.
Lingkungan Hidup
Asap kebakaran hutan memang mempunyai komposisi berbeda dengan asap gunung berapi
misalnya, atau asap polusi pabrik dan atau kendaraan bermotor. Asap kebakaran hutan lebih
bersifat biomass karena yang terbakar adalah pohon-pohonan yang hidup. Memang gangguan
kesehatan biasanya baru akan timbul kalau seseorang cukup lama kontak dengan asap
kebakaran hutan.
Sejauh ini belum ada peningkatan masalah kesehatan yang berarti di daerah-daerah yang kini
ada asap kebakaran hutannya, tapi kita tentu perlu waspada. Petugas kesehatan di daerah-
daerah tentu sudah siap untuk antisipasi kemungkinan gangguan kesehatan yang ada.
Di sisi lain, kejadian kebakaran hutan yang berulang setiap tahun pada daerah yang sama
bukan tidak mungkin akan menimbulkan dampak kronik pula, walau hal ini tentu perlu
diteliti lebih lanjut. Juga, keadaan kebakaran hutan di musim panas berkepanjangan seperti
sekarang ini juga punya dampak kesehatan lain, seperti keterbatasan persediaan air, gagal
panen yang mungkin mengancam ketersediaan pangan dan kemungkinan gangguan kesehatan
akibat cuaca yang panas.
Perubahan cuaca berlebihan dan musim kering berkepanjangan tentu punya dampak buruk
bagi kehidupan. Harus pula disadari bahwa climate change tidak sepenuhnya terjadi akibat
6
alamiah semata, tapi juga banyak akibat ulah manusia. Salah satu kunci utamanya adalah
marilah kita selalu bersahabat dengan lingkungan serta menjaga kelestarian lingkungan
hidup, demi kebahagiaan hidup umat manusia.
PROF DR TJANDRA YOGA ADITAMA
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian
Kesehatan RI
7
Makhluk Peziarah
Koran SINDO
4 September 2015
Hidup itu gerak. Ke mana pun mata memandang selalu melihat manusia bergerak, baik
sendiri-sendiri maupun berkelompok.
Ketika seseorang terlihat diam atau tidur pun dalam dirinya berlangsung prosesi dan peristiwa
gerak, utamanya jantung dan pernafasan. Juga pikiran dan emosinya. Betapa kompleks dan
sibuknya organ-organ tubuh kita yang tak pernah diam. Sejak dari mata, jari, mulut, kaki,
tangan, semuanya tak pernah diam.
Terlebih emosi, yang terdiri atas kata energy and motion—sebuah daya jiwa yang selalu
bergerak dan menggerakkan, sehingga menimbulkan perasaan suka dan duka, senang dan
benci, serta sekian banyak perasaan lain yang setiap saat hadir, di mana pun seseorang
berada.
Bahkan tanpa kita sadari Bumi tempat kita berada ini juga selalu dalam posisi bergerak.
Bertawaf mengelilingi matahari.
***
Kuriositas (curiosity) atau dorongan untuk selalu ingin mengetahui hal-hal baru merupakan
ciri manusia. Dorongan ini difasilitasi oleh mata, telinga, dan kaki sehingga setiap ada
kesempatan seseorang selalu ingin berziarah, jalan-jalan, rekreasi, atau berpetualang
memperluas wawasan dan pengalaman hidupnya.
Pengalaman artinya sesuatu yang pernah dijalani, dirasakan, dan diketahui. Dalam
pengembaraan ini faktor imajinasi sangat besar pengaruhnya. Sekian banyak inovasi sains
dan teknologi supermodern pada awalnya distimulasi oleh kekuatan imajinasi manusia yang
tak ada batasnya. Makanya, dalam sejarah pemikiran manusia dikenal istilah mitos dan logos.
Mitos merupakan sebuah daya khayal manusia yang sangat liar dan bebas tak terstruktur.
Manusia bebas membayangkan dan mengkhayalkan apa saja. Dulu orang membayangkan
jalan-jalan ke angkasa mengendarai karpet. Orang Jawa membayangkan Gatotkaca terbang
ke angkasa. Lalu Ontorejo bisa menghilang masuk ke bumi.
Seiring dengan perjalanan dan pengalaman panjang hidup manusia yang disertai daya nalar
yang logis, maka logos berusaha menstrukturkan daya-daya imajinasi yang liar itu agar bisa
diwujudkan dalam realitas empiris. Logos ini pada urutannya melahirkan formula ilmu
8
pengetahuan sehingga imajinasi tentang karpet terbang atau Gatotkaca jalan-jalan ke angkasa
sekarang tergantikan oleh pesawat terbang berkat dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Begitu pun sosok imajinasi Ontorejo masuk dan menghilang ke perut bumi, sekarang
diperankan oleh para insinyur pertambangan untuk berburu tambang di dalam perut bumi
atau para penyelam lautan mencari mutiara.
Manusia melakukan ziarah karena berbagai motif dan pertimbangan. Ada motivasi bisnis,
rekreasi, keilmuan, tugas negara, riset, dan motif lain. Yang sangat fenomenal adalah ziarah
ke planet lain. Namun, sesungguhnya tanpa kita sadari kita semua hampir setiap hari
melakukan ziarah, bertemu orang lain dan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru.
Terlebih mereka yang hidup di kota metropolitan, sering kali berjumpa kenalan dan
komunitas baru, termasuk komunitas berbeda profesi, agama, budaya, dan bahasa. Semua
pengalaman itu pasti memperkaya wawasan hidup seseorang. Ada pula yang membuat
gelisah setelah melihat komunitas lain yang lebih maju, membuat seseorang menjadi iri,
rendah diri, ataupun sebaliknya menjadi terpacu untuk mengejar ketertinggalannya.
Ketika kita mempelajari sejarah dan ilmu bumi, sesungguhnya kita juga tengah berziarah ke
masa lalu dan jalan-jalan secara virtual ke negara orang untuk mengenal alam dan budayanya.
Dengan semakin banyak stasiun televisi, semakin banyak sajian acara yang mengajak
pemirsa untuk berziarah, berwisata, dan istilah lain yang spirit dan maknanya sama.
Implikasi sosial lebih jauh, sekarang ini apa yang dahulu disebut ”budaya asli” suatu
masyarakat, lama-lama tak bisa lagi dipertahankan karena muncul budaya hibrida dan
eklektik. Campuran, perjumpaan, asimilasi, dan integrasi dari berbagai elemen budaya yang
berbeda-beda. Termasuk juga budaya yang bernuansa agama.
Misalnya tradisi perayaan tahun baru Masehi, yang awalnya bagian dari budaya Barat-
Kristen, sekarang telah menjadi agenda tahunan di lingkungan masyarakat Islam. Begitu pun
Valentine Day. Sebaliknya, umat non-muslim juga telah akrab dan partisipasi ikut
memeriahkan hari-hari besar Islam, utamanya Idul Fitri.
Dunia semakin pendek jaraknya dan mudah dijangkau. Sekaligus juga semakin plural dan
warna-warni. Jumlah penduduk bumi bertambah setiap menit. Artinya, objek ziarah budaya
juga semakin banyak yang menarik dikunjungi.
Secara teologis, hidup ini pun sebuah ziarah. Namun ziarah bukan sekadar rekreatif,
melainkan dengan visi dan misi yang mulia. Yaitu memakmurkan bumi, menyejahterakan
sesama makhluk Ilahi yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban Tuhan di akhirat
nanti.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
9
Islam Nusantara
Koran SINDO
21 Juni 2015
Saya punya kebiasaan jalan kaki santai setiap pagi di kompleks perumahan tempat tinggal
saya dan kampung sekitarnya. Maka, pada hari pertama Ramadan 1436 H (18 Juni 2015) ini,
saya pun tetap melakukan kebiasaan saya itu.
Tetapi, berbeda dari biasanya, pada pagi ini warung-warung makan dan pedagang kaki lima
(PKL) penjual gorengan semuanya tutup. PKL tukang sayur yang biasanya ada beberapa,
cuma tinggal satu. Begitu juga orang-orang yang biasa berolahraga pagi bersama saya (ada
yang joging, bersepeda, ada yang mengajak anjingnya, ada yang mengajak dua anjingnya,
ada yang mengajak istrinya, bahkan ada yang mengajak dua istrinya... jangan ketawa, ini
serius, loh), tiba-tiba sebagian besar menghilang. Digantikan oleh beberapa kelompok anak-
anak yang sepertinya libur sekolah dan memilih untuk tidak tidur lagi sesudah sahur,
melainkan berjalan-jalan bersama teman-teman.
Tampak ada perubahan drastis antara hari biasa dan hari Ramadan. Seperti di Arab Saudi
yang pernah saya dengar. Di Saudi selama bulan puasa orang membalikkan hari. Siang jadi
malam (orang tidur saja karena dipercaya tidur pun berpahala selama Ramadan) dan malam
jadi siang (kantor-kantor, perdagangan, jual-beli dilaksanakan pada malam hari).
Tetapi, yang terjadi di lingkungan rumah saya bukan arabisasi. Warung makan dan PKL
tutup karena captive market-nya hilang (tidak ada yang beli), bukan karena larangan menutup
tempat makan selama Ramadan. Bapak-bapak pada umumnya melanjutkan tidur dulu
sesudah sahur agar nanti fresh untuk ke kantor.
***
Setelah lelah berjalan kaki, seperti biasa saya duduk di depan TV sambil mengobrol dengan
istri saya. Kebetulan tayangan infotainment pagi itu adalah tentang artis bernama LCB yang
membuka butik baju muslimah. Artis ini belum setahun berjilbab, setelah sebelumnya dia
berpacaran dengan pria non-Indonesia dan non-muslim pula, tetapi dalam tayangan
infotainment pagi itu ia mendemonstrasikan cara memakai jilbab (atau sering disebut juga
”hijab”) cantik dengan menggunakan sedikit saja jarum pentol.
Ini pekerjaan yang menakjubkan karena pengalaman saya dengan anak saya, dia selalu mau
pinjam jarum pentol dari ibunya, setiap kali mau memasang jilbabnya (kalau pas sedang
menginap di rumah kami) dan selalu dijawab istri saya, ”Enggak ada”, padahal ada (indahnya
tidak berbagi... daripada kehabisan sendiri...).
10
Tetapi, jujur saja pada 1980-an, makin maraknya perempuan berhijab ketika itu pernah saya
cemaskan sebagai ancaman arabisasi. Usaha perlawanan dari pemerintah lumayan keras
misalnya dengan melarang siswi-siswi sekolah-sekolah negeri untuk berhijab di sekolah-
sekolah negeri. Kekhawatiran saya dan saya kira pemerintah juga adalah terancamnya budaya
Indonesia, termasuk merosotnya harkat wanita Indonesia, yang turun menjadi seperti wanita-
wanita di Arab Saudi, yang tidak punya hak suara atau hak pilih, tidak boleh mengemudi
kendaraan, dan harus memakai gamis serbahitam dan bercadar walaupun di dalamnya dia
memakai tank top atau bahkan hanya berbikini (wanita Arab berdandan hanya untuk pamer
kepada sesama wanita atau suami).
Memang sejak 30 tahunan yang lalu itu, sampai sekarang, makin marak perempuan Indonesia
berjilbab. Tetapi, jilbab di Indonesia masih memungkinkan kita melihat kecantikan wanita
Indonesia. Wajah tidak ditutup cadar dan full make up (termasuk bulu mata palsu) masih
dapat kita saksikan. Selain itu, hijab pun bisa dimodel-modelkan, dengan teknik pemakaian
atau pun pemilihan warna-warninya agar sesuai dengan busana, tas, sepatu, dan aksesoris
lainnya. Kalau belum puas melihat di TV, bisa masuk ke butik busana muslim dan di sana
semuanya ada dan serbacantik.
Wanita-wanita Indonesia pemakai hijab pun tidak serta-merta terdegradasi harkatnya. Anak
saya (yang suka pinjam jarum pentol itu) masih associate director di tempat kerjanya dan
masih berenang dengan baju renang khusus muslimah yang menutup aurat dari ujung ke
ujung. Bahkan sekarang Polwan, yang sudah diizinkan berjilbab, bisa mengatur lalu lintas
dengan full jilbab. Alhamdullilah, naluri budaya lokal masih kuat dan melawan dengan cerdik
tekanan arabisasi dalam tradisi berbusana.
***
Beberapa hari yang lalu, dalam rangka Munas NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Presiden Jokowi
melontarkan istilah ”Islam Nusantara”. Maksudnya adalah Islam di Indonesia punya model
sendiri yang tidak usah meniru-niru Arab. Islam Nusantara adalah Islam yang dipraktikkan di
Indonesia yang bersifat toleran, moderat, damai, inklusif, dan membaur dengan budaya
lokal.
Istilah ini langsung menimbulkan protes. Alasannya adalah di Alquran tidak ada kata “Islam
Nusantara”. Islam Nusantara juga tidak diperlukan karena Islam ya Islam, tidak perlu dikasih
embel-embel apa pun, karena Islam itu universal. Pertanyaannya sekarang, adakah Islam
universal itu?
Walaupun agama datang dari langit, dari Allah, tetapi ketika dipraktikkan oleh manusia di
bumi, mau atau tidak mesti berangkulan dengan budaya. Karena itulah, di Sumatera Barat ada
Islam yang matriakhal, di Jawa ada Islam yang percaya pada Nyai Loro Kidul, menara
Masjid Kudus berbentuk seperti pura Hindu, pancuran tempat umat berwudu berornamen
kepala arca (dan tidak satu pun umat yang kemudian memuja arca itu), dan lainnya. Tetapi,
Islam Nusantara memang tidak bisa dipaksakan di Afghanistan atau Pakistan atau Arab Saudi
11
sendiri. Tetapi juga tidak bisa Islamnya Arab dipaksakan di Indonesia.
Indonesia mengenal Islam melalui jalur damai dengan gaya dakwah Wali Songo, padahal
universalisasi atau arabisasi Islam selalu dengan kekerasan (sweeping, teror, dan sebagainya).
Karena itulah, Islam Nusantara (termasuk mengaji dengan langgam Jawa) secara refleks
menolak universalisasi Islam melalui caranya artis LCB mempromosikan teknik berhijab-
minimum jarum pentol.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
12
Islam Nusantara II
Koran SINDO
28 Juni 2015
Semasa SMA saya paling payah dalam ilmu kimia. Meski begitu saya masih ingat bahwa O2
disebut oksigen atau zat asam. Tapi kalau sudah ditambah dengan hidrogen (zat air) menjadi
H2O, namanya sudah berubah menjadi air dan kalau ditambah lagi dengan sulfur menjadi
H2S04, namanya berubah lagi menjadi asam sulfat walaupun dalam kedua senyawa itu masih
ada unsur oksigen.
Hakikat dari suatu zat akan langsung hilang begitu dicampur dengan unsur lain. Jadi kalau
oksigen ya oksigenlah. Tidak ada oksigen Arab, oksigen Pakistan, atau oksigen Nusantara.
Tapi itu dalam ilmu kimia, satu cabang dari ilmu fisika. Coba sekarang kita beralih ke luar
ilmu kimia. Kita semua tahu “kursi”, kan? Kursi di mana-mana juga kursi, yaitu suatu benda
yang dibuat manusia untuk dijadikan tempat duduk. Mau di Mekkah atau di Cibinong, yang
namanya kursi ya kursi. Tapi coba sekarang tambahkan unsur lain, misalnya “kayu”, kursi
kita menjadi kursi kayu, ada sifat kayunya tetapi masih tetap kursi, kan? Atau boleh kita
tambah lagi dengan “hijau”, menjadi “kursi kayu hijau”, tetapi sifat kekursiannya masih
melekat. Atau boleh ditambah terus sehingga menjadi misalnya “kursi kayu hijau saya di
sudut kamar tidur mama”. Banyak sekali tambahan unsurnya, tetapi tetap tidak kehilangan
sifat kekursiannya. Itulah yang ada dalam ilmu metafisika atau filsafat.
Filsafat adalah ilmu tentang berpikir. Dalam berpikir, manusia menggunakan ide yang
diwujudkan dalam kata atau istilah. Ada ide-ide yang bersifat universal (berlaku di mana saja,
kapan saja, di seluruh dunia), ada yang bersifat partikular (khusus, bagian dari universal),
bahkan ada yang singular (individual).
“Kursi”, misalnya, adalah ide universal, sedangkan “kursi hijau” adalah ide partikular
(khusus kursi yang berwarna hijau, tidak termasuk yang warna lain), sedangkan “kursi hijau
saya” adalah ide singular, hanya ada satu-satunya, yaitu kursi hijau yang itu, yang ada di
kamar mama. Tapi khususnya dalam ilmu kimia tidak ada universal, partikular, singular,
karena hal-hal yang lebih khusus (partikular) itu senantiasa identik dengan yang umum
(universal).
Begitu juga dalam matematika, angka “2” berarti dua, kapan saja, di mana saja, apakah dia
umum maupun khusus. Ketika ditambah dengan angka lain, hakikatnya langsung berubah,
misalnya 22, 2.000, 2.000.000 (semua berubah hakikat, bukan lagi dua).
***
13
Begitu juga dengan ide tentang Islam Nusantara. Beberapa waktu lalu, sebelum puasa, di
depan Munas NU diMasjid Istiqlal, Presiden Jokowi meluncurkan istilah baru
itu. Maksudnya tentu saja adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia, yang sejuk, damai,
inklusif, moderat, dan toleran.
Istilah ini langsung jadi kontroversial. Mereka yang tidak setuju melayangkan protes kepada
Presiden Jokowi. Argumentasi mereka, Islam ya Islam, tidak perlu ditambah embel-embel,
karena rujukannya sudah jelas: Alquran dan hadis. Yang keluar dari itu malah bisa menjadi
aliran sesat.
Tapi argumentasi seperti itu salah karena agama bukan tergolong ilmu kimia atau
matematika. Dalam ilmu kimia, memang benar tidak ada O2 lain dan dalam matematika tidak
ada angka 2 lain, selain yang sudah dimaksud dari sono-nya karena memang tidak ada
partikular atau singular yang berbeda dari universalnya. Namun agama bukan kimia dan juga
bukan matematika.
Analogi agama (termasuk Islam) yang lebih tepat adalah “kursi” bukan “oksigen”. Islam
yang universal memang ada, yaitu hakikat yang diturunkan oleh Allah SWT melalui
Rasulullah Muhammad SAW. Tapi ketika Islam itu dipraktikkan oleh manusia biasa,
langsung terjadi Islam yang partikular.
Masalahnya, dalam mempraktikkan agama, manusia selalu mengandalkan pikirannya (satu-
satunya alat dalam sistem psiko-fisik manusia untuk menganalisis masalah), maka terjadilah
penafsiran. Ketika masuk unsur tafsir, masuklah faktor kebiasaan, adat, kesenangan,
kepentingan kelompok, kebudayaan, dan 1.001 faktor lain yang memecah-mecah
keuniversalan Islam menjadi partikular, bahkan individual atau singular.
Karena itulah ada Islam Sunni, Islam Syiah. Islam mazhab Syafii, Islam mazhab Hambali,
Islam Afghanistan, Islam Arab Saudi, dan Islam Nusantara. Di Nusantara ada Islam
Minangkabau yang matriarkat, Islam Tapanuli yang beradat persis sama dengan Kristen
Batak, Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Loro Kidul, dan bertradisi selamatan
seperti orang Hindu, Islam Kudus yang masjidnya bermenara seperti kuil Hindu dan tempat
wudunya berornamen arca Hindu, dan masih banyak lagi. Semua itu tidak kehilangan hakikat
keislamannya walaupun tidak sama dengan Islam yang di Arab.
***
Pada suatu waktu di masa lalu, kebetulan saya dan dua orang Indonesia lain pernah salat Idul
Fitri di sebuah masjid di Birmingham, Inggris. Masjid itu adalah masjid komunitas Pakistan
setempat. Banyak penganan dijajakan (namanya juga Lebaran), tetapi kami tidak tertarik
karena penganan-penganan itu terlalu manis buat lidah kami.
Maka kami pun langsung masuk dan duduk mengambil tempat di dalam masjid dan
mendengarkan khotbah dalam bahasa Urdu yang tidak kami pahami. Untunglah ketika takbir
14
dan salat dimulai, ayat Alfatihah yang dibacakan akrab di telinga kami sehingga kami pun
merasa khusuk seperti di rumah sendiri, sampai tibalah saatnya di pengujung surat Alfatihah
imam membaca ... “waladhdhoollin”..., maka dengan semangat ‘45 kami bertiga yang
berislam Nusantara segera menyahut keras-keras beramai-ramai ... “amiiinnn“. Tapi ternyata
hanya kami bertiga yang mengamini secara penuh semangat. Jamaah yang lain diam saja. Di
situlah kami bertiga menyadari bahwa Islam Nusantara ya hanya berlaku di Indonesia dan
tentunya Islam yang non-Nusantara tidak bisa dimasukkan ke Indonesia, apalagi dengan cara
paksaan dan kekerasan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
15
Defisit Kepercayaan
Koran SINDO
3 Juli 2015
Berbagai penelitian sosial menunjukkan masyarakat yang tingkat amanah dan
akuntabilitasnya rendah, yang biasa disebut sebagai the low trust society, akan sulit bersaing
dalam persaingan dunia karena produk yang dihasilkan kualitasnya rendah, tetapi biayanya
tinggi.
Ini bisa dilihat baik dalam bidang manufaktur, industri, pendidikan, jasa maupun bidang lain.
Jalur birokrasi yang panjang, ditambah lagi adanya pungutan biaya siluman, semua itu akan
menambah mahal ongkos produksi sehingga hasil akhirnya mahal, tidak kompetitif di pasar.
Kekhawatiran ini muncul ketika kita sebentar lagi memasuki pasar bebas.
Di Jepang, misalnya, yang birokrasinya dikenal bersih dan akuntabel, beberapa perusahaan
industri mengalami penurunan karena disalip Korea Selatan. Salah satu sebabnya adalah mata
rantai birokrasi yang dinilai lebih panjang dan memerlukan waktu lebih lama dalam
mengambil keputusan dibandingkan Korea Selatan sebagai pesaingnya. Jadi, Jepang yang
dikenal bangsa pekerja keras, teliti, dan menjaga kualitas pun mesti menambahkan satu faktor
lagi, yaitu cepat, agar kompetitif dalam mengawal dan mengembangkan industrinya.
Kita sedih dan malu kalau mengamati bagaimana budaya birokrasi yang berkembang di
Indonesia, yang lambat dan mahal. Selalu saja ada tambahan biaya tak terduga, baik waktu,
uang maupun emosi. Akibatnya melahirkan realitas pahit yang paradoksal. Banyak rakyat
miskin yang hidup di negeri yang kaya sumber daya alam. Bonus demografi yang mestinya
menjadi sumber kekuatan untuk memajukan kemakmuran rakyat jangan-jangan berbalik
menjadi beban negara.
Kenaikan anggaran pendidikan yang mestinya memiliki korelasi dengan pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan rakyat malah memberikan harapan yang masih jauh dari
kenyataan. Sebagaimana diulas Francis Fukuyama dalam bukunya Trust (1995), kemajuan
teknologi informatika telah membuat struktur organisasi semakin linier, tak lagi hierarkis.
Dalam konteks politik di Indonesia, hal ini seiring dengan keputusan politik desentralisasi.
Hanya saja jika tidak dibarengi penerapan GCG, pemerintahan yang bersih dan efektif, yang
terjadi justru pemerataan korupsi.
Fukuyama mengingatkan, salah satu prinsip yang tidak kenal kompromi adalah penerapan
etika agar tercipta pemerintahan yang tepercaya dan dapat dipercaya. Kita mesti belajar dari
negara-negara baru yang dulunya di bawah cengkeraman Uni Soviet. Korupsi menyebar ke
16
mana-mana, tidak mudah menemukan pemimpin berwibawa yang sanggup menciptakan
pemerintahan efektif. Dalam era transisi, bermunculan penumpang gelap yang hanya
memikirkan kepentingan pribadi.
Transisi dan Kompromi
Secara historis perjalanan negara ini relatif masih muda. Mengelola masyarakat dan
kelompok sosial yang sedemikian besar dan majemuk sungguh tidak mudah. Semangat dan
identitas keindonesiaan belum solid. Kesadaran dan disiplin kewarganegaraan (citizenship)
belum mapan. Dalam waktu yang sama ikatan kedaerahan kian longgar.
Dalam situasi transisional yang cair ini, jika pemerintah tidak efektif dan berwibawa, yang
mengemuka bangsa ini bagaikan masyarakat kerumunan yang gaduh tidak jelas arahnya.
Panggung politik diramaikan oleh persaingan dan pertunjukan tokoh-tokoh parpol dalam
memperebutkan kekuasaan yang dikondisikan oleh jargon demokrasi dan reformasi.
Dari segi instrumen hukum dan undang-undang, negara ini cukup lengkap. Bahkan
dilengkapi oleh sekian puluh komisioner, yang paling ikonik tentunya KPK. Meski begitu,
mengingat tradisi bernegara belum cukup mengakar, sekian banyak instrumen hukum yang
ada tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
Mengutip sinyalemen almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), jika dilihat ke belakang,
setiap tampil generasi baru, yaitu antara 20 hingga 25 tahun, selalu terjadi gejolak transisi
nasional, tetapi tidak selalu dikelola dengan cerdas dan terencana. Jika asumsi itu benar,
misalnya kebangkitan politik pada 1908, 1928, 1945, 1965, maka pada dekade 1980-an
sesungguhnya bangsa ini panen generasi baru yang tamat universitas, tetapi rezim Soeharto
waktu itu kurang menyadarinya. Mereka anak-anak bangsa yang mengenal teori
berdemokrasi dan paham makna akuntabilitas publik yang mesti didengarkan
aspirasinya. Karena salah dan lambat membaca suara zaman, tahun 1998 Presiden Soeharto
dipaksa turun oleh anak-anak sendiri yang mengenyam pendidikan di era Orde Baru.
Baru tahun 2004 diselenggarakan pemilu secara langsung dan menghasilkan SBY sebagai
presiden dengan UUD baru yang membatasi masa kepresidenan paling lama dua kali. Jadi,
secara textbook demokrasi, baru SBY merupakan presiden pertama yang naik dan turun
sesuai dengan kaidah pemilu setiap lima tahun.
Dengan cerita singkat ini saya ingin mengingatkan, kita baru mulai membangun tradisi baru
tentang akuntabilitas publik. Jika seorang presiden, gubernur, bupati, dan anggota DPR tidak
performed, mestinya publik akan menghukumnya untuk tidak memilih kembali pada periode
berikutnya.
Prestasi dan warisan dari gerakan reformasi yang mesti kita apresiasi adalah iklim kebebasan
pers. Ini merupakan modal sosial bagi gerakan akuntabilitas publik. Rakyat memiliki
kebebasan dan keberanian berbicara serta mengkritik pemerintah, suatu situasi yang tidak
17
ditemukan semasa Orde Lama dan Orde Baru. Masalahnya adalah, meski kita bebas
mengkritik, tiba-tiba kita dihadapkan kenyataan menjamurnya tindakan korupsi baik di pusat
maupun daerah yang terjadi hampir di semua lini birokrasi.
Suara dan gerakan anti-korupsi setiap hari kita dengar, bersamaan dengan berita temuan
tindakan korupsi. Kita belum menemukan formula yang jitu bagaimana mengatasi proses
pembusukan yang terjadi dalam tubuh birokrasi maupun politik. Gerakan anti-korupsi untuk
mewujudkan akuntabilitas publik sering kali memperoleh hambatan justru karena pihak-
pihak yang sering jadi korban tidak mau dan tidak berani melaporkan kepada media massa
maupun instansi berwenang. Lebih repot lagi ketika terjadi sengketa yang berakar pada
korupsi, penyelesaiannya dengan jalan kompromi antaraktor yang mestinya konsisten
menegakkan hukum dan pemerintahan bersih.
Rasa malu bagi koruptor semakin tipis. Mereka membuat kalkulasi durasi waktu berapa lama
harus menjalani tahanan dan jumlah tabungan hasil korupsinya ketika masa tahanan sudah
berakhir. Dengan demikian yang namanya proses pengadilan sering kali tidak luput dari
proses tawar-menawar yang mengarah pada jual beli pasal. Konsep harga diri yang mestinya
didasarkan pada integritas berubah artinya menjadi berapa juta rupiah harga diri penegak
hukum. Tragis dan ironis. Yang mengemuka bukannya akuntabilitas publik, melainkan
pengkhianatan publik.
Akuntabilitas Administrasi dan Moral
Kita sangat merindukan sebuah pemerintahan yang efektif, bersih, dan berwibawa sehingga
sanggup menggerakkan dan memberdayakan rakyatnya. Sebuah pemerintahan yang bukan
untuk ditakuti, tetapi yang menginspirasi dan memotivasi warganya untuk bangkit. Sebuah
pemerintahan yang menampilkan sosok-sosok role model bagi anak-anak bangsa mengingat
saat ini masyarakat sangat haus akan sebuah kemenangan dan kebanggaan sebagai anak
bangsa yang besar ini.
Peran ini hanya bisa dilakukan jika terjalin hubungan saling percaya (trust) antara rakyat dan
pemerintah. Sebuah kepercayaan akan muncul jika seseorang diyakini memiliki kompetensi,
integritas, visi dan mimpi besar untuk membawa perubahan ke arah keunggulan. Oleh karena
itu, sesungguhnya yang diharapkan rakyat terhadap pemerintah bukan sekadar menyajikan
pertanggungjawaban berupa akuntabilitas administratif dalam hal penggunaan anggaran
negara.
Pemberantasan korupsi itu hanyalah prasyarat bagi kemajuan sebuah bangsa. Sekadar baik
dan jujur tidaklah cukup, kita juga memerlukan akuntabilitas intelektual dan kompetensi dari
penyelenggara negara. Persaingan antarbangsa tidak lagi mengandalkan seberapa kaya
sumber daya alam suatu negara, melainkan mencakup pula apa yang sering disebut sebagai
intellectual capital, moral capital, dan social capital.
Bangsa ini sangat kaya dengan aset budaya dan pengalaman panjang meraih kemerdekaan.
18
Bahkan juga berhasil melakukan ijtihad politik menjaga pluralisme agama, bahasa, dan
budaya. Tapi, lagi-lagi, semua itu belum dikapitalisasi secara optimal bagi kemajuan dan
kemakmuran warganya. Kita rindu untuk melihat bangsa dan negara ini berdiri tegak dengan
percaya diri, bermartabat, dan disegani dalam pergaulan dunia.
Kita mendambakan terealisasinya mimpi dan cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa
sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat Indonesia yang cerdas, mampu
melaksanakan nilai kebertuhanan yang memunculkan sikap kemanusiaan untuk keadilan dan
kesejahteraan bangsa.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
19
Lie Detector
Koran SINDO
5 Juli 2015
Salah satu isu yang cukup menarik dalam kasus terbunuhnya Engeline, bocah umur 8 tahun,
di Bali adalah digunakannya lie detector oleh polisi untuk menguji apakah tersangka jujur
atau bohong dalam memberikan keterangan.
Alat pendeteksi kebohongan, atau alat tes kejujuran mulai digunakan pada awal abad ke-20.
Prinsip yang digunakan adalah teori psikologi yang paling dasar, yang kita alami sehari-hari,
yaitu bahwa antara badan dan jiwa ada hubungan yang sangat erat, khususnya dengan sistem
syaraf otonom (syaraf yang tidak dikendalikan oleh otak, melainkan berlangsung secara
otomatis).
Seorang gadis yang dilamar kekasihnya mungkin hanya tersipu, tetapi wajahnya memerah
jambu, atau orang yang ketakutan dikejar anjing bisa terkencing-kencing. Demikian pula
orang yang berbohong tentu akan menunjukkan reaksi tubuh yang berbeda dari ketika ia
berbicara jujur. Orang yang berbohong, misalnya, jantungnya berdebar lebih keras, nafasnya
lebih cepat, pupil matanya lebih besar, suaranya bergetar dsb.
Karena itu, pada tahun 1921 John August Larson, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Berkeley (tidak ada hubungannya dengan Universitas “Berkley”, Michigan, yang
meluluskan doktor dan profesor aspal di Indonesia) menciptakan alat yang dinamakan
poligraph (berasal dari kata “poly” yang artinya “lebih dari satu” dan grafik atau “gambar”),
yang ditempelkan di bagian-bagian tubuh tertentu dan bisa mencetak grafik berbagai
perubahan faal tubuh (untuk pasien jantung, tentu pernah mengalami dipasangi alat yang
bernama EKG atau elektro kardiogram, nah, kurang-lebih seperti itulah alatnya).
Sesudah dipasangi alat itu, kemudian kepada tersangka diajukan serangkaian pertanyaan,
yang terkait maupun tidak terkait dengan kasus. Ketika terdakwa menjawab dengan bohong,
maka grafik yang tercetak menunjukkan lonjakan-lonjakan tertentu sehingga pemeriksa bisa
membedakan mana jawaban yang benar dan mana yang tidak jujur. Mudah sekali bukan?
Karena itulah di Amerika Serikat alat ini cukup populer. Selain kepolisian, juga FBI, CIA,
imigrasi, penjaga perbatasan, bea-cukai, kementerian pertahanan, dll. sering menggunakan
alat ini.
Berbagai penelitian pun diadakan untuk menunjang kesahihan alat ini. Bahkan para operator
poligraf ini di negeri Paman Sam itu sudah mempunyai organisasi profesional yang mereka
20
namakan the American Polygraph Association.
***
Di sisi lain, hasil alat tes kebohongan (atau kejujuran?) ini sampai hari ini belum diterima
oleh pengadilan Amerika sebagai alat bukti. Begitu juga di pengadilan-pengadilan di seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Sepanjang yang saya ketahui, hanya pengadilan di Jepang yang
pernah menggunakan poligraf sebagai salah satu alat bukti dalam sidangnya. Alasannya juga
sederhana.
Memang benar kondisi jiwa berhubungan dan berpengaruh pada sistem syaraf otonom, tetapi
perubahan faal tubuh bukan alat yang bisa membedakan antarkondisi jiwa yang berbeda-
beda. Wajah yang memerah pada gadis karena tersipu dilamar kekasih sama merahnya
dengan wajah siswa SMA yang selalu top ranking di kelas, yang tiba-tiba ketahuan
mencontek. Juga bukan hanya orang ketakutan yang terkencing-kencing. Pelawak Nunung
sering tertawa sendiri di panggung sampai terkencing-kencing sehingga ia terpaksa lari keluar
panggung dulu untuk menyelesaikan hajatnya.
Maka, di Amerika pun sudah lama diadakan penelitian yang hasilnya menolak poligraf.
Dikatakan bahwa poligraf memang bisa membedakan kondisi kejiwaan, tetapi akurasinya
sangat rendah. Kurang dari 95% sebagaimana dipersyaratkan untuk suatu penelitian ilmiah.
Bahkan, untuk tes kebohongan dibutuhkan akurasi atau derajat kepercayaan 100%.
Bayangkan, kalau polisi mau menjaring seorang teroris dari seratus tersangka, maka
kemungkinan teroris itu akan lolos kalau derajat kepercayaan alat itu tidak 100%. Demikian
juga seseorang bisa kena hukuman mati, meskipun tidak bersalah.
Karena itu, pada tahun 1983 sebuah komisi dari Kongres AS dibentuk untuk mengetes
kesahihan alat tes kebohongan ini. Sebagai hasilnya mereka menyatakan alat itu tidak sahih
(tidak valid). Pernyataan ini disusul dengan publikasi oleh APA (Asosiasi Psikologi Amerika)
dalam majalah mereka, Monitor on Psychology, yang menyimpulkan bahwa hasil poligraf
diragukan. Maka status ilmu poligrafi dalam psikologi digolongkan ke dalam pseudo science
(ilmu semu) sama dengan palmistri (ilmu tentang rajah tangan), astrologi atau tarrot.
Kalaupun masih tetap digunakan oleh aparat-aparat penegak hukum itu adalah karena alat ini
bisa digunakan untuk menakut-nakuti tersangka, sehingga mereka takut bohongnya ketahuan,
sehingga terpaksa bicara jujur. Jadi bukan karena kecanggihan alat itu sendiri, namun karena
perang urat syaraf (psywar) saja.
Tetapi sekarang bagaimana kalau alat poligraf ini digunakan di luar kepolisian? Sekarang
sudah ada poligraf berukuran mini, sebesar gadget. Kalau ini dipakai oleh orang tua pada
anaknya yang sering berbohong atau istri pada suami yang dicurigainya, akan jadi baikkah
atau malah membuat runyam hubungan yang tadinya harmonis?
21
Dalam psikologi dikenal paradigma bahwa lebih baik sebuah hubungan didasari oleh
kepercayaan daripada kecurigaan (karena itu cukup dengan cinta kasih, tidak perlu poligraf),
sementara jika berhubungan dengan penjahat justru jangan terlalu percaya. Di situlah kadang
kita perlu alat tes kebohongan, walaupun hanya sebagai psywar.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
22
Minal Aidin Walfaizin
Koran SINDO
16 Juli 2015
Dari zaman saya bersekolah sampai hari ini, ucapan minal aidin walfaizin adalah ucapan
yang khas untuk Lebaran. Saya kira bukan hanya di Jawa Tengah, tempat saya dulu
bersekolah sampai kelas 1 SMA, tetapi juga di seluruh Indonesia karena kalau kami (saya
dan keluarga) berkirim atau menerima kartu Lebaran, selain ada gambar-gambar masjid,
ketupat dan/atau orang-orang bersalaman, ada kaligrafi dalam huruf Latin yang bunyinya
minal aidin walfaizin.
Saya tidak tahu arti yang sebenarnya dari kata-kata yang konon adalah bahasa Arab
itu. Meskipun demikian, menurut para ustaz yang lebih tahu, arti kata-kata itu jika dirangkai
dengan kalimat asli selengkapnya bermakna doa semoga Allah menjadikan kita sebagai
orang-orang yang beruntung. Tapi kata-kata itu, dalam tradisi Indonesia, selalu bersambung
dengan sebuah kalimat lain sehingga membentuk pantun sebagai berikut ”minal aidin
walfaizin, mohon maaf lahir batin”. Karena itu saya selalu mengartikan kalimat minal aidin
walfaizin sebagai mohon maaf lahir batin. Namanya juga Lebaran, yaitu hari bermaaf-
maafan.
Tapi beberapa belas atau puluh tahun yang terakhir ini, secara perlahan tapi pasti kata-kata
minal aidin walfaizin digeser oleh kalimat Arab yang lain, yang konon asli diajarkan oleh
Rasulullah, yaitu taqabbalallahu minna waminkum, yang artinya ”semoga Allah menerima
amalan aku dan kamu”, jadi juga tidak berarti saling memaafkan.
Dan memang benar, di Arab sana, Idul Fitri memang tidak ada kaitannya dengan hari saling
memaafkan. Bahkan mungkin dalam budaya Arab (bukan dalam agama Islam, loh), tidak ada
kebiasaan saling memaafkan sama sekali. Karena itulah Timur Tengah tidak pernah lepas
dari konflik dan perang.
Lain dengan Indonesia yang masyarakatnya pada dasarnya memang pemaaf sehingga bangsa
Indonesia yang sangat multietnik, multibahasa, dan multiagama bisa hidup rukun, sementara
di Arab yang monoetnik dan monobahasa, walaupun berbeda-beda negara, tidak ada saling
memaafkan untuk mengantarkan mereka pada situasi perdamaian.
***
Tulisan saya kali ini tidak hendak membahas perbedaan makna antara minal aidin dan
taqabbalallahu minna. Saya justru ingin membahas tradisi Lebaran (mungkin dari kata
23
”lebur”, yaitu meleburkan kesalahan masa lalu) itu sendiri yang intinya adalah saling
bermaafan.
Memaafkan, memberi atau meminta maaf sering dianggap barang gampang. Pokoknya mau
duduk bersama, saling mengakui kesalahan, ikhlas dan islah, maka selesai. Padahal
kenyataannya jauh dari itu. Konflik sektarian di Ambon dan Maluku akhirnya selesai setelah
empat tahun dan ribuan korban berjatuhan dari pihak Islam maupun Kristen. Tapi
di Kalimantan Barat, sampai hari ini (sudah 15 tahun), orang Madura belum berani masuk ke
bekas kampung dan kebun mereka di wilayah Dayak atau Melayu karena sudah banyak yang
coba-coba dan pulang hanya nama.
Pada tingkat antarindividu, ada istri-istri yang tidak mau memaafkan suaminya yang
selingkuh walaupun suami sudah mengakui kesalahan dan berkali-kali minta maaf. Kata
sang istri setiap kali melihat wajah suaminya, ia terbayang wajah selingkuhan suaminya
sehingga ia merasa muak. Bahkan sang istri selalu menghindari mal tempat ia memergoki
suaminya sedang berduaan dengan selingkuhannya karena setiap kali lewat mal itu, dia juga
muak, bahkan mau muntah. Padahal mal itu salah apa?
Sebaliknya pelaku-pelaku kerusuhan Tanjung Priok tahun 1984, baik pihak tokoh dan umat
Islam setempat maupun para mantan pimpinan tentara pada waktu itu bisa islah dan
menuntaskan konflik dengan damai, walaupun prosesnya bertahun-tahun lamanya. Demikian
juga putra-putri pahlawan revolusi dan anak-anak tokoh yang pernah dianggap
sebagai pelaku G-30-S PKI tahun 1965 sekarang punya forum komunikasi tempat mereka
saling berbagi perasaan dan pikiran.
Dan jangan lupa, tokoh yang paling fenomenal dalam soal maaf-memaafkan ini adalah
almarhum Nelson Mandela, yang selama 25 tahun dipenjara dan disiksa oleh penguasa-
penguasa negara Afrika Selatan yang rasis itu, tetapi justru mengundang kepala penjara
(kulit putih) yang dulu menyiksanya untuk hadir di upacara pelantikannya sebagai presiden
dan mengumumkan kepada khalayak bahwa ia sudah memaafkan sang sipir penjara
(padahal hari itu bukan hari Lebaran) dan sejak itu, diskriminasi di Afrika Selatan lenyap
seketika.
Jadi saling memaafkan adalah soal psikologis. Dia tidak bisa diselesaikan pada tingkat rasio
seperti membuat Tim Pencari Fakta (setiap temuan fakta bisa diingkari lagi oleh salah satu
pihak) atau menandatangani prasasti perdamaian atau tanda tangan kontrak damai dan
sebagainya. Di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat, misalnya, masih berdiri tegak tugu
perdamaian antara suku Dayak dan Madura, tetapi permusuhan terus saja
berlangsung. Sebaliknya, kalau hati sedang senang dan pikiran sedang positif, lebih mudah
seseorang memberi maaf atau minta maaf.
Fakta-fakta bukannya dilupakan karena memang sulit melupakan peristiwa traumatis, tetapi
pemaafan tetap terjadi. Forgive although not forget. Nah, di sinilah hebatnya orang
Indonesia. Idul Fitri yang aslinya hanya penutup ibadah puasa, dan karena itu juga ditutup
24
dengan doa mohon rahmat puasa, dijadikan Lebaran yang penuh suasana bermaafan. Maka
tidak ada lagi gengsi-gengsian (yang biasanya menjadi kendala utama pemaafan) karena
semua orang bermaafan. Orang-orang yang paling heboh bermusuhan pun bisa dengan enteng
saling memaafkan karena semua orang memang saling memaafkan.
Karena itu, menghilangkan minal aidin walfaizin dalam artian saling maaf lahir batin dan
mengembalikannya ke ajaran Islam murni tanpa tradisi permaafan sebenarnya merugikan
syiar Islam itu sendiri karena Islam mengamanatkan perdamaian dan kedamaian, rahmatan lil
alamin, yang tentu saja intinya adalah saling memaafkan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
25
Jasmerah Bung Karno di Alquran Suci
Koran SINDO
21 Juli 2015
”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”. Itulah
salah satu inti pesan yang disampaikan oleh Bung Karno pada pidato di depan MPRS, 17
Agustus 1966, yang kemudian dikenal sebagai pidato Jasmerah.
Menurut AH Nasution, Jasmerah merupakan akronim (singkatan) yang dibuat oleh Kesatuan
Aksi, sedangkan Bung Kano sendiri memberi judul agak panjang atas pidatonya tersebut
yakni ”Karno Mempertahankan Garis Politiknya yang Berlaku, Jangan Sekali-kali
Meninggalkan Sejarah”.
Pidato Jasmerah merupakan pidato resmi terakhir Bung Karno sebagai presiden menyusul
pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Soeharto pasca-penerbitan Surat Perintah 11 Maret
1966 (Supersemar). Setelah itu Bung Karno tidak pernah lagi menyampaikan pidato sebagai
presiden.
Bung Karno memang sangat pandai menyedot perhatian dan menyihir publik dengan pidato-
pidatonya yang memukau. Dia orator yang, rasanya, belum ada tandingannya sampai
sekarang. Selalu tampil gagah dan berpidato dengan gaya dan intonasi yang sangat bagus,
Bung Karno juga sangat pandai menyusun kalimat dan melemparkan ungkapan-ungkapan
yang sangat menarik seperti pidato Jasmerah itu.
Saat berpidato Jasmerah itu Bung Karno bukan hanya menjelaskan sikap politiknya,
melainkan juga mengajari kita tentang filosofi sejarah. Mengenai sikap politik Bung Karno
mengatakan, Supersemar telah dibelokkan menjadi semacam pemindahan kekuasaan. Kata
Bung Karno, sejatinya, Supersemar adalah perintah kepada Jenderal Soeharto untuk
melakukan pengamanan atas situasi buruk menyusul Peristiwa G 30 S (Gerakan 30
September) yang oleh Bung Karno disebut Gestok (Gerakan 1 Oktober). Supersemar itu
dibelokkan menjadi surat penyerahan kekuasaan pemerintahan atau transfer of power,
sesuatu yang menurut Bung Karno jauh dari maksud yang sebenarnya.
Yang tak kalah menarik dari pidato Bung Karno itu adalah filosofi tentang bekerjanya hukum
sejarah. Sang Proklamator mengajak bangsanya untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah
karena sejarah adalah semacam kaca benggala tentang siapa kita, harus ke mana kita, dan apa
akibat-akibat dari setiap langkah kita.
Sejarah selalu bercerita tentang pengulangan-pengulangan pengalaman manusia sebagai
hukum sejarah, ”Yang berbuat salah selalu menerima hukumannya, yang berlaku benar akan
26
mendapat ganjarannya.” Jangan lakukan kejahatan karena menurut sejarah, cepat atau lambat,
pelakunya akan ditimpa nestapa; selalulah berusaha berlaku benar karena kebenaran itu akan
menyelamatkan dan membahagiakan. Itulah pesan sejarah. Maka itu, jangan sekali-sekali
melupakan sejarah.
***
Adalah menggetarkan, ternyata pidato Jasmerah Bung Karno sangat sejalan dengan banyak
ayat Alquran yang mengingatkan manusia untuk selalu belajar dari sejarah. Saya mengira
pandangan Bung Karno tentang pentingnya belajar pada sejarah itu diperoleh dari
pengalamannya mendalami Islam.
Kita tahu, selain ikut aktif di kegiatan-kegiatan Muhammadiyah, Bung Karno juga aktif
berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam seperti tokoh Persatuan Islam (Persis) A Hassan,
bahkan pernah berpolemik panjang dengan M Natsir tentang negara sekuler dan negara Islam
dalam rangkaian polemik yang sangat menarik.
Bung Karno mendalami Islam dengan intens. Jadi, sangat mungkin ajakan Bung Karno untuk
belajar sejarah ikut diinspirasi oleh pergulatannya dalam mendalami Islam dari Alquran.
Untuk apa kita belajar dari sejarah? Menurut Alquran belajar dari sejarah menjadi salah satu
cara manusia untuk mengatur setiap langkahnya. Dari sejarah umat-umat terdahulu, setiap
perbuatan manusia selalu ada akibat-akibatnya yang setimpal. Di dalam Alquran Surat Al-
Hasyr Ayat 18, misalnya, Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan lihatlah sejarah masa lalumu untuk pelajaran bagi masa depanmu”.
Di dalam Alquran, Allah juga bercerita tentang kematian Firaun sebagai ”bukti sejarah” yang
menakjubkan. Saat menyeberangi Laut Merah untuk mengejar dan membunuh Nabi Musa,
menurut sejarah, Firaun (Ramses II) dan rombongannya tenggelam dilumat oleh Laut
Merah. Saat itulah Firaun yang sebelumnya mengaku sebagai Tuhan menjadi sadar bahwa
dirinya hanyalah makhluk yang lemah. Dalam keadaan takut menjelang kematiannya, Firaun
berdoa kepada Allah meminta diselamatkan dari kematian di Laut Merah. Seperti termuat
dalam Alquran Surat Yunus Ayat 92 Allah pun berfirman: ”Hari ini Aku selamatkan
badanmu (nunajjiika bibadanika), hai Firaun, agar menjadi bukti sejarah bagi orang-orang
yang hidup setelahmu”.
Jiwa Firaun pun melayang, mati dilumat ganasnya Laut Merah. Tetapi, Mahabenar dan
Mahasuci Allah, ternyata ”badan” Firaun benar-benar selamat dan ditemukan orang dalam
keadaan utuh, sekitar 4.400 tahun setelah kematiannya. Badan Firaun yang sudah dimumi
ditemukan dalam timbunan tanah pada tahun 1817 oleh arkeolog Giovanni Battista Belzoni,
di kompleks kuburan raja-raja, Wadi al Muluk. Badan itu benar-benar ditemukan sekitar
1.200 tahun setelah Alquran memberitakannya.
27
Pada tahun 1975 Maurice Bucaille meneliti kandungan kimia atas tubuh Firaun, Ramses II,
itu yang meyakinkannya bahwa tubuh itu memang mati di laut. Benarlah firman Allah,
”badan Firaun” diselamatkan setelah jiwanya melayang. Sekarang badan itu disimpan di
Museum Tahrir, Kairo. Benar pulalah firman Allah, kehidupan Firaun yang takabur sekarang
menjadi bukti sejarah tentang akibat dari setiap perbuatan manusia.
Di dalam kitab suci Alquran, Allah menyuruh kita untuk melihat sejarah manusia masa lalu
sebagai pelajaran untuk langkah ke depan. ”Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah,”
kata Bung Karno. Renungkan ini, mumpung Idul Fitri.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
28
Fenomena Arousal dan Pilkada Serentak
Koran SINDO
23 Juli 2015
Awal Desember 2015 kita bakal menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak. Soal tanggalnya belum ditetapkan. Bisa 2 Desember atau 9 Desember. Pilkada ini
untuk memilih kepala daerah yang habis masa jabatannya pada Desember 2015 atau Januari-
Juni 2016.
Dengan memperhitungkan itu, pilkada serentak ini akan dilakukan di sembilan provinsi dan
260 kabupaten/kota. Artinya, masyarakat kita akan memilih sembilan gubernur baru dan 260
bupati atau wali kota baru. Persiapan untuk itu terus dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU).
Di media massa kita membaca ada upaya-upaya untuk menggagalkan pilkada serentak
ini. Kabarnya, ini dilakukan oleh partai-partai politik yang mengalami perpecahan dan terjadi
dualisme kepengurusan. Amunisi mereka untuk menggagalkan pilkada serentak adalah hasil
audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan KPU yang dinilai wajar
tanpa pengecualian. Sesuai audit BPK, ada 14 temuan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014
yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp34 miliar. Berdasarkan ini, sekelompok
orang yang partainya ikut terpecah di DPR menjadikan temuan itu seakan-akan KPU tidak
memiliki integritas untuk menyelenggarakan pilkada. Itu sebabnya mereka ingin pilkada
serentak pada Desember 2015 ditunda.
Tapi, agaknya tak banyak pihak yang mendukung gagasan kelompok anggota DPR tersebut.
Ibarat anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Pilkada serentak sampai saat ini
kelihatannya tetap bakal digelar pada Desember 2015.
Nyali untuk Maju
Jika benar, pilkada serentak itu tentu menjadi kabar gembira bagi rakyat. Sudah bukan
rahasia lagi dengan ada pilkada, banyak uang akan mengalir ke daerah. Sebagian untuk
membeli atribut kampanye, sebagian lainnya untuk membeli suara rakyat. Sayangnya,
memang masih banyak rakyat kita yang suaranya bisa dibeli. Soal program, bagi mereka tak
penting-penting amat.
Elitenya pun suka melakukan pembenaran saja, bukan kebenaran. Mereka juga tidak
sepenuhnya mengerti dengan janji-janji kampanye. Kita mulai sering menerima berita yang
saling memutarbalikkan kebenaran. Yang benar dikatakan pencitraan, sedangkan yang
ngawur merasa paling benar dan membuat rakyat bingung.
29
Jumlah uang yang beredar ini tidak sedikit. Menurut data Bank Indonesia, pada Pemilu 2014
jumlah uang yang beredar diperkirakan mencapai Rp6 triliun. Saya kira angka ini masih
terlalu sedikit. Untuk periode pilkada di Sulawesi Utara selama 17 Juli sampai 3 Agustus
2010—terhitung sejak masa kampanye hingga pencoblosan suara—menurut perwakilan Bank
Indonesia di Manado, jumlah uang yang beredar mencapai Rp1 triliun. Ini hanya untuk satu
provinsi.
Baiklah, kita tak usah terlalu mempersoalkan itu. Intinya, ada pilkada berarti ada uang yang
mengalir ke daerah. Ini tentu positif bagi daerah yang bersangkutan. Tapi, selain masalah itu,
saya sejatinya terus terkagum-kagum dengan mereka yang masih punya nyali untuk maju
menjadi calon kepala daerah. Apa sebetulnya yang mereka harapkan?
Perubahankah? Bukankah itu bunyi janji terbanyak? Alih-alih melakukan perubahan,
sebenarnya hidup para kepala daerah saat ini justru dalam cengkeraman bahaya. Bahaya
kriminalisasi, perubahan gaya hidup, penghancuran sumber daya alam, konflik, ancaman
serangan terhadap keluarga, cyber attack, dan seterusnya.
Saya kebetulan sedang melakukan kajian tentang leadership kepala daerah dan hasilnya
memang tak jauh dari ancaman bahaya itu. Bayangkan, sebagian besar calon kepala daerah
masih tidak jera melihat kolega-koleganya yang masuk bui tersangkut perkara korupsi di
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Menurut data
Kementerian Dalam Negeri, sampai 2013 saja sudah ada 290 kepala daerah, mulai dari
gubernur, bupati atau wali kota, yang berstatus tersangka, terdakwa, sampai terpidana dalam
kasus korupsi. Itu artinya lebih dari separuh kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Lalu,
mengapa mereka tidak jera juga?
Arousal
Selama bertahun-tahun, Rumah Perubahan yang saya dirikan menjadi tempat pelatihan bagi
aparat-aparat pemerintah di daerah yang ingin melakukan transformasi. Baik transformasi
cara berpikir maupun berperilaku. Intinya, para aparat itu ingin mereka tetap sanggup
mengimbangi perubahan lingkungannya yang terjadi begitu cepat. Bahkan semakin lama
semakin cepat.
Tapi, di luar itu selama bertahun-tahun pula Rumah Perubahan telah menjadi semacam
tempat curhat, bagi para pelaku perubahan, termasuk kepala-kepala daerah, yang merasa
dirinya dizalimi. Ada yang merasa ditelikung oleh bawahannya. Ada yang merasa dikhianati
oleh partai politik pendukungnya. Belum lagi ancaman impeachment yang datang bertubi-
tubi. Kemudian rakyatnya pun semakin cerewet. Mereka semakin banyak menurut dan
sebagainya.
Lalu, dengan kondisi semacam itu, apa menariknya menjadi seorang kepala daerah? Mengapa
peminatnya ternyata juga tak kunjung berkurang?
30
Dalam dunia psikologi dikenal istilah “arousal”. Ini adalah semacam gejala psikologis yang
ketika menerima ancaman risiko, seseorang justru begitu bergairah, tertarik, tertantang untuk
terus maju. Padahal, dia tahu persis di depan ada bahaya yang menghadang.
Pada tahap-tahap tertentu, manusia membutuhkan arousal. Ini semacam stress, tetapi punya
dampak yang positif dan potensial untuk mendorong peningkatan kinerja. Jadi semacam good
stress. Kalau dalam industri media, mungkin seperti para wartawannya baru mulai bisa
menulis ketika deadline sudah dekat.
Kemampuan setiap orang untuk menahan stress, termasuk good stress, jelas berbeda-
beda. Bayangkanlah diri Anda sebagai seorang penjudi. Ada yang keringat dinginnya sudah
mengucur deras meski baru bertaruh senilai Rp10 juta. Tapi, ada pula yang tetap santai meski
nilai taruhannya sudah Rp10 miliar. Tapi, kalau tubuh terus dipacu, sementara daya tahannya
tidak pernah ditingkatkan, stress yang kita alami bisa berakibat macam-macam. Mulai dari
keletihan yang luar biasa, sampai pada akhirnya memicu timbulnya beragam penyakit.
Orang awam seperti kita dapat merasakan gejala-gejala datangnya arousal. Misalnya, degup
jantung yang semakin cepat, kulit berkeringat, tekanan darah meningkat, napas yang mulai
terengah-engah. Gejala-gejala seperti ini biasanya muncul kalau kita menghadapi ancaman.
Dalam situasi seperti itu, kadang situasi bisa berbalik. Sifat ganas kita bisa muncul untuk
mengalahkan ancaman tadi.
Fenomena semacam inilah yang mungkin dirasakan pula oleh para calon kepala daerah.
Mereka merasakan bahwa di sana ada pertarungan. Gairah pun bangkit untuk memenangkan
pertarungan. Sifat ganas pun muncul ketika kita menghalalkan segala cara untuk
memenangkan persaingan.
Mereka yang di dalam, yang terlibat langsung dalam pertarungan, mungkin tidak
merasakannya. Tapi, kita yang di luar dan menyaksikannya dengan jantung yang berdegup,
merasakan ngeri yang luar biasa. Mau-maunya mereka bertarung habis-habisan, sampai
berdarah-darah. Jadi, apa sebetulnya yang mereka harapkan?
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
31
Menyoal Kebebasan
Koran SINDO
25 Juli 2015
Kebebasan (freedom) bisa dibedakan menjadi dua: bebas untuk melakukan apa saja (freedom
to) yang biasa disebut positive freedom dan bebas dari intervensi orang lain (freedom from)
yang disebut negative freedom.
Para pemikir dan pejuang hak asasi manusia tentu menggarisbawahi dan membela kebebasan
dalam pengertian yang kedua. Bahwa seseorang dikatakan bebas merdeka tatkala terbebas
dari berbagai intervensi dan tekanan dari orang lain. Termasuk juga merdeka dan bebas dari
kelaparan, penyakit, dan penderitaan hidup lainnya.
Dengan demikian, bisa saja secara lahiriah-material seseorang terlihat kaya dengan jabatan
tinggi, tetapi jiwanya belum tentu merdeka jika ternyata hidupnya di bawah tekanan dan
penindasan pihak lain. Sebuah negara secara de jure bisa saja berstatus merdeka, tapi jika
terlilit utang dan martabat bangsanya dihinakan, maka sesungguhnya jiwanya masih terjajah.
Untuk menjelaskan apakah itu hakikat kemerdekaan dan keadilan sungguh tidak mudah.
Namun, mereka yang hidupnya pernah tertindas dan terjajah serta pernah teraniaya atau
terzalimi, pasti lebih paham makna kemerdekaan dan keadilan tanpa diberi penjelasan
teoretis-filosofis panjang lebar. Teman-teman kita yang lagi mendekam di tahanan sangat
paham dan merasakan betapa mahalnya sebuah kebebasan.
Bagi seseorang atau masyarakat yang hidupnya terjajah dan tidak bahagia yang paling
didambakan adalah negative freedom. Bebas dari berbagai tekanan dan penderitaan hidup.
Mereka tidak ingin hidup bagaikan kawanan kambing yang merasa berada dalam ancaman
dan kejaran serigala lapar.
Setiap pribadi ingin hidup tenang, bebas, dan merdeka dari berbagai ancaman, ibarat anak-
anak ayam yang leluasa bermain dalam suasana bebas dari incaran burung elang yang sangat
sigap dan cepat memangsa mereka.
Mengingat kemerdekaan merupakan tuntutan fitri manusia yang sangat fundamental, maka
panggung sejarah selalu menampilkan perjuangan anak manusia untuk memperjuangkan hak
kemerdekaannya dari kekuatan luar yang mengancam dan merenggutnya, baik dalam skala
pribadi maupun kolektif berupa bangsa.
Heroiknya perjuangan warga Palestina, misalnya, merupakan contoh nyata yang tak pernah
lelah betapa pun sangat mahal ongkosnya, yaitu nyawa, untuk meraih kemerdekaan mereka
32
sebagai sebuah bangsa dan negara. Sekali lagi, karena hak dan dambaan hidup bebas merdeka
merupakan dorongan fitri, maka siapa pun pasti akan melawan ketika hak kemerdekaannya
dirampas.
Kita sebagai bangsa juga pernah merasakan dan gigih merebut kembali martabat dan
anugerah kemerdekaan yang diberikan Tuhan yang diinjak-injak oleh penjajah. Sekarang pun
sesungguhnya kita masih terus bergulat mempertahankan kemerdekaan dari intervensi
kekuatan asing yang hendak merampas kekayaan alam kita. Juga kemerdekaan dari berbagai
impitan kebodohan dan kemiskinan.
***
Lalu bagaimana dengan hak kemerdekaan untuk melakukan sesuatu yang kita mau? Di
sinilah muncul wisdom, sebuah dalil abadi dan universal. Karena setiap pribadi memiliki hak
hidup bebas merdeka, maka kebebasan seseorang untuk berbuat (freedom to) jangan sampai
melanggar hak kebebasan seseorang dari gangguan orang lain (freedom from) .
Dalam bahasa pesantren dikenal ungkapan: hurriyatul mar’i mahdudun bihurriyati ghoirihi.
Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Orang punya hak untuk
melakukan apa saja, tetapi jangan sampai tindakannya merampas hak orang lain untuk
menikmati hak kemerdekaannya untuk hidup tenang.
Yang juga menarik direnungkan adalah bagaimana realisasi kebebasan dalam dunia hewan
dan manusia. Seekor serigala ditakdirkan sebagai pemakan daging segar semacam daging
kijang atau kambing; sementara kijang punya hak hidup merdeka, yang pasti kalah jika
melawan serigala. Jika manusia menghalangi serigala memangsa kijang, berarti merampas
kebebasan serigala untuk menyantap rezekinya. Tetapi jika dibiarkan, berarti manusia berbuat
aniaya terhadap kijang sebagai hewan yang lemah. Lalu bagaimana manusia menyikapinya?
Dikisahkan suatu hari Sunan Kalijaga, satu dari sembilan wali penyebar Islam di Nusantara,
selagi berjalan-jalan di sawah mendengar suara katak yang ditangkap ular untuk dimangsa.
Sunan Kalijaga bingung harus bersikap apa. Ular punya kebebasan (freedom to) untuk
memakan katak sebagai penyambung hidupnya, sementara katak juga punya hak untuk hidup
merdeka terbebas dari serangan ular (freedom from). Maka Sunan Kalijaga berteriak
”huuu....” Ular dibuatnya kaget sehingga katak lepas dan lari. Ular kehilangan rezekinya,
namun katak selamat dari mulut ular.
Suatu hari katak tersebut bertemu Sunan dan menyampaikan terima kasih, karena telah
diselamatkan dengan teriakan ”huuu...,” yang ketika ditanya maknanya menurut Sunan bisa
saja berarti ”huculno...” atau lepaskan. Pada hari lain, Sunan berpapasan dengan ular dan
protes mengapa teriak sehingga katak yang sudah di mulut jadi lepas. Rezekinya
hilang. Sunan pun menjawab, ”huuu...” bisa juga diteruskan menjadi ”huntalen...” yang
artinya telanlah atau makanlah. Demikianlah, Sunan Kalijaga berusaha keluar dari dilema
antara freedom to dan freedom from.
33
Namun, sesungguhnya dalam dunia hewan kebebasan harimau untuk menikmati segarnya
daging kijang tidak akan merusak keseimbangan ekologi dan memusnahkan populasi kijang
karena hewan memakan sebatas kebutuhannya (need), bukan didorong oleh sikap rakus
(greedy) sebagaimana yang banyak dilakukan manusia. Makanya yang merusak ekologi
bukanlah hewan, melainkan manusia.
***
Persoalan hak hidup bebas merdeka selalu menjadi isu dan problem serius ketika sekelompok
orang atau negara yang merasa kuat dari segi ekonomi dan senjata lalu seenaknya memangsa
bangsa yang lemah.
Mereka lebih keji dan kejam dari hewan karena disertai sikap rakus, sombong, dan menindas
yang lain, suatu tindakan yang tidak dilakukan oleh binatang. Binatang akan berhenti jika
sudah kenyang, sedangkan manusia tak pernah merasa puas dan bisa sadis untuk menghabisi
lawan-lawan politiknya atau pesaing bisnisnya.
Mereka merasa bebas berbuat apa saja, tetapi sesungguhnya telah menghancurkan fondasi
kebebasan karena telah menindas orang lain yang pada urutannya melahirkan kebencian dan
permusuhan. Lebih dari itu, mereka tanpa sadar telah terjerat ke dalam penjara akibat
diperbudak oleh nafsunya. Telah roboh istana kemerdekaannya sebagai moral being.
Makhluk yang bermoral.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
34
Trialog
Koran SINDO
2 Agustus 2015
Beberapa waktu yang lalu, masih dalam suasana Lebaran, sebagian pemudik sudah balik ke
Jakarta, tetapi belum pada kerja, masih nyantai-nyantai di rumah.
Saya seperti biasa olahraga jalan kaki, pagi-pagi, keliling kompleks perumahan saya dan
kampung-kampung di sekitar kompleks. Di salah satu kampung itu, tempat permukiman
orang Betawi, sambil berjalan santai, saya mencuri dengar percakapan dua ibu muda. Ibu
yang pertama (Ibu I) sedang membawa jalan-jalan anak balitanya (sekitar umur 2,5 tahun)
dan melewati rumah ibu yang kedua (Ibu II), yang sedang santai berdiri di pintu pagar
rumahnya, sambil menonton orang-orang yang lewat (tentunya termasuk saya).
Ketika melihat Ibu I dengan balitanya, Ibu II menyapa si balita (bukan menyapa ibunya),
”Eeeeh.... baru pulang mudik, Neng?” ”Iya... bayu balik, kemayin, cing”, Ibu I menjawab
dengan suara dicadelkan dan dikecilkan seakan suara anak bayi yang baru bisa ngomong.
”Seneng, dong. Ketemu sama siapa saja di Jawa, kamu Neng?” lanjut Ibu II (buat orang
Betawi, Jakarta tidak terletak di Pulau Jawa, sehingga kalau mereka bilang Jawa, tidak
termasuk Jakarta).
”Iya... cium tangan sama Embah, sama Pak De....”, jawab Ibu I lagi, yang bukan orang
Betawi, tetap dengan suara dicadelkan dan dikecilkan. Sementara itu si balita sendiri berdiri
diam, kepalanya mendongak ke atas untuk melihat muka Ibu II yang mungkin kelihatannya
aneh buat si balita. Dia tidak sadar bahwa dirinya sedang dijadikan wayang golek, dengan
ibunya sendiri sebagai dalang dan Ibu II yang aneh itu sebagai lawan bicaranya.
Yang menarik dari pengalaman curi dengar saya di atas, adalah bahwa ketika Ibu I bertemu
dengan Ibu II telah terjadi trialog, yaitu diskusi antartiga pihak yaitu Ibu I dan Ibu II dengan
melibatkan balita, bukan dialog langsung antara Ibu I dan Ibu II. Walaupun si balita pasif,
tidak ngomong apa-apa (ngomong saja belum bisa, kok), tetapi eksistensi atau keberadaannya
diakui, bahkan diajak ngobrol oleh kedua ibu itu.
Buat saya gejala ini menarik, justru karena sering kita jumpai di Indonesia, tetapi hampir
tidak pernah saya lihat di luar negeri. Di luar sana, ketika dua orang dewasa bertemu dan
salah satunya membawa balita, percakapan tetap akan berlangsung antara dua orang dewasa
itu. Salah satu contoh yang saya masih ingat adalah ketika saya masih kuliah di Edinburgh,
Skotlandia (Inggris).
***
35
Edinburgh adalah kota yang sangat cantik. Bagian tercantik dari kota itu adalah sebuah taman
rumput yang sangat luaaaas... di tengah-tengah kota. Taman yang dinamakan the Princess
Garden ini terletak di sebuah lembah, dikelilingi bukit di keempat sisinya. Di atas bukit di sisi
selatan tegak menjulang Istana Edinburgh, tempat bersemayamnya Duke of Edinburgh, yaitu
Pangeran Philips, suami Ratu Elizabeth II yang sekarang sedang bertakhta.
Sepanjang bukit di sisi utara, terentang deretan toko-toko di sepanjang Princess Street, dan di
ujung sebelah timur Princess Street adalah railway station yang sangat antik, mirip stasiun
kereta api dalam novel Harry Potter, si ahli sihir.
Nah, pada suatu pagi yang cerah di musim panas, saya duduk di salah satu bangku yang
disediakan berderet-deret untuk pengunjung yang ingin memandangi taman dan Istana
Edinburgh. Saya memegangi sejumlah buku yang mau saya baca untuk membuat tugas, tetapi
mata saya lebih rajin memandangi pasangan-pasangan lawan jenis yang sedang asyik
bergumul di atas rumput (yang kalau di Indonesia sudah disensor). Pada saat itu di bangku
dekat saya duduk seorang ibu muda juga (saya namakan Mom I) yang sedang mengasuh anak
bayinya yang terlena di dalam kereta bayinya (di Inggris dinamakan ”pram”) sambil
membaca novel entah apa judulnya (waktu itu belum ada Harry Potter).
Tidak lama datang seorang wanita setengah baya (saya namakan saja Mom II), yang minta
izin untuk duduk di sebelah Mom I. Mom I dengan ceria mempersilakan Mom II, dan si Mom
II pun mengambil tempat duduk sambil mengucapkan beberapa kata basa-basi tentang bayi
yang sedang pulas, tetapi dia tidak mengajak bayi itu bercakap-cakap melainkan mengajak
langsung Mom I berdialog (karena hanya melibatkan dua orang, namanya bukan trialog), dan
seperti setiap orang Inggris di mana pun, mereka selalu membuka percakapan dengan topik
cuaca.
Mom II, ”What a wonderful morning, to day, isn’t?” Mom I, ”Yeah, it is not like this every
day, is it?” Mom II, ”No, just last week we had the chilliest summer in British history,” dan
seterusnya the conversation goes on and on (maaf, yang gak ngerti bahasa Inggrisnya cari
saja di Google Translate, ya). Memang orang Skotlandia terkenal ramah, jadi di mana-mana
cepat berteman.
***
Jadi pertanyaannya mengapa ibu-ibu di kampung Betawi, kok gak ngomongin cuaca, malah
ngajak ngomong anak balita yang belum bisa ngomong, sementara para Mom di Inggris sana,
malah sibuk serius bicarakan cuaca? Perbedaan ini tidak dapat diterangkan begitu saja dengan
ilmu psikologi umum, karena selain perilaku manusia yang universal ada perilaku-perilaku
yang khusus, yang terkait dengan kebiasaan dan kebudayaan lokal.
Karena itulah 10-20 tahun terakhir ini muncul cabang psikologi baru, yaitu psikologi ulayat
(Indigenous Psychology) yang mempelajari perilaku khusus dalam kaitan budaya tertentu,
dan psikologi lintas budaya, yang membandingkan perilaku antarbudaya.
36
Itulah sebabnya banyak politisi atau pejabat di tingkat pusat (Jakarta) yang sering keblinger
dalam membuat keputusan-keputusan, karena yang dipahami oleh orang Jakarta, belum tentu
yang berlaku di daerah.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
37
Belajar dari Kucing
Koran SINDO
9 Agustus 2015
Coba perhatikan kalau kucing makan. Ada bedanya antara kucing peliharaan yang makan
dari boks makanan khusus untuk kucing kesayangan yang diletakkan di salah satu sudut
dapur dengan kucing garong liar yang menyelinap mencuri makanan dari boks makanan si
kucing kesayangan tersebut (atau juga bahkan ada kucing garong yang berani mencuri dari
atas meja makan si empunya rumah).
Kucing kesayangan akan makan dengan nikmat dan santai tanpa peduli pada orang-orang
yang lewat dan belum berhenti sebelum makanannya habis atau dia merasa kenyang.
Sebaliknya kucing garong akan makan dengan penuh kecurigaan, posisi berdiri tegang, dan
segera menghentikan makannya jika ada yang lewat, siap-siap kabur dan segera kabur
benaran kalau yang datang itu si empunya rumah sambil membawa sapu untuk menggebuk si
kucing garong.
Beberapa ustaz mengatakan bahwa kucing saja, yang hewan kesayangan Rasulullah, punya
naluri untuk membedakan mana perilaku yang jujur. Juga yang baik, yang diridai Allah dan
mana perilaku mencuri, yang jahat, yang bukan saja penuh dosa, tetapi juga melanggar etika.
Tapi manusia kok tidak seperti itu? Manusia yang mencuri kok tenang-tenang saja, malah
yang jujur justru stres? Cobalah lihat bagaimana sulitnya orang melakukan hal yang baik dan
betapa mudahnya orang melakukan hal yang tidak baik. Koruptor tenang-tenang saja
berkorupsi. Walaupun KPK sudah bekerja selama 13 tahun (sejak UU KPK tahun 2002),
sampai hari ini masih saja KPK menangkapi orang-orang yang korup.
Lihat juga bagaimana santainya orang merampok minimarket atau membongkar ATM,
bahkan menculik anak yang sedang bermain sendirian di mal, padahal CCTV menyala dan
rekamannya masuk TV, tidak ada sedikit pun rasa takut seperti yang ada di kucing garong.
Juga di sektor lalu lintas, pemotor yang menyerobot melawan arus tidak sedikit pun merasa
bersalah. Bahkan kalau dicegat polisi dan bisa kabur, bangganya bukan main. Kalau
tertangkap, dia justru marah kepada polisi, mengapa dia ditangkap, padahal setiap hari dia
lewat di situ tidak pernah diapa-apakan?
***
Namun dari kacamata psikologi, pendapat pak ustaz itu tidak sepenuhnya benar. Dalam teori
belajar yang amat terkenal dari Albert Bandura (1997), kepribadian adalah perilaku (karena
38
kepribadian diamati atau disimpulkan melalui perilaku). Padahal setiap perilaku dipelajari.
Hampir tidak ada (dalam teori beliau) perilaku yang bawaan sejak lahir (termasuk naluri)
kecuali perilaku-perilaku yang sangat primitif (seperti naluri mengisap susu pada
bayi). Bahkan naluri cinta ibu kepada anak sekarang sudah tergerus ketika ibu-ibu mulai tega
membuang, menjual, bahkan membunuh bayinya dengan berbagai alasan sosial dan/atau
ekonomi.
Jadi mengapa si kucing kesayangan berlaku baik dan percaya diri ketika makan dari boks
makanan yang sudah disediakan majikannya? Karena majikannya menyayangi si kucing.
Boro-boro dipukul pakai sapu, si kucing kesayangan justru sering dipangku, dielus-elus,
diciumi, malah dimandikan dan dibedaki oleh majikan. Sementara kucing garong hitam-jelek
dan matanya melotot tidak pernah disayang oleh siapa pun, hanya pernah kena gebuk sapu si
empunya boks makanan ketika dia meleng dan tidak siaga.
Kesimpulannya, kalau menurut teori Bandura, kucing baik dan kucing garong berperilaku
berbeda karena perlakuan yang diterimanya juga berbeda. Kucing baik karena diperlakukan
baik, kucing garong karena diperlakukan tidak baik.
Sekarang, bagaimana dengan manusia? Pemotor melanggar rambu lalu lintas, naik ke kaki
lima (tempat pejalan kaki), melawan arus, karena selama ini dibiarkan oleh polisi sehingga
menganggap kebiasaannya yang salah itu sebagai kebenaran. Sebaliknya orang yang
membiasakan yang benar justru disalahkan. Dia bisa mengantre lama sekali bersama
kemacetan lalu lintas, tidak sampai-sampai ke rumah, sementara si penyerobot jalan sudah
menyelesaikan tugasnya dan sekarang sedang santai menikmati kopi di rumah sambil nonton
TV.
Begitu juga yang melakukan korupsi. Uang hasil korupsi bukan hanya bisa digunakannya
untuk menikmati gaya hidup mewah, tetapi juga bisa untuk melicinkan karier, naik pangkat,
menang pilkada, terpilih jadi anggota DPR, dsb. Sementara yang jujur dan memilih jalan
lurus malah hidup berkesusahan dan seakan-akan terhenti kariernya.
Jadi, kesimpulannya, orang menjadi jahat padahal seharusnya baik adalah karena yang jahat
(garong, begal, melanggar lalu lintas, dan korupsi) justru mendapat reward, sedangkan yang
berkelakuan baik malahan mendapat dampak negatif yang bisa dirasakan sebagai hukuman.
***
Karena itu, kalau kita menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang baik, yang berprestasi,
ber-amar makruf nahi mungkar, memang diperlukan revolusi mental, yaitu setiap orang
didorong untuk lebih banyak berbuat yang maslahat daripada yang mudarat. Namun
mengubah mentalitas masyarakat tidak cukup hanya dengan menanamkan iman dan takwa
kepada Allah SWT dan mendoakan anak agar menjadi orang yang saleh dan salehah serta
berbakti kepada orang tua. Bangsa Indonesia rata-rata sudah beriman dan bertakwa, saleh dan
39
salehah serta berbakti kepada orang tua, tetapi korupsi malah makin marak, maksiat jalan
terus, menyerobot lalu lintas dengan melawan arus makin kenceng dan sebagainya.
Revolusi mental harus dilaksanakan dengan pemerintah berikut aparatnya selalu hadir di
mana-mana untuk menegakkan hukum yang benar! Sistem keuangan negara harus diatur
sedemikian rupa sehingga bisa mencegah pegawai atau pejabat untuk korupsi. Unjuk rasa
yang anarkistis, pembegalan, pemotor yang ugal-ugalan, dan geng motor ditindak habis
sehingga mereka jera. Penyelundup, pengedar narkoba, dan pelaku perdagangan manusia
harus diberantas tuntas. Dan seterusnya.
Jadi mulailah dari diri pemerintah dulu. Masyarakat pasti mengikutinya kalau pemerintah
sudah benar-benar melaksanakan secara operasional anti-korupsi. Kalau pemerintah sendiri
masih korup, tugas presidenlah untuk menertibkan pemerintahannya.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
40
Compassion Fatigue
Koran SINDO
14 Agustus 2015
Lelah menolong orang. Letih berbagi kasih sayang. Itulah kira-kira makna dari judul di atas.
Istilah “compassion fatigue” lazim dijumpai dalam kajian psikologi, yaitu fenomena
keletihan emosi yang mendekati frustrasi karena merasa gagal atau sia-sia usahanya
membantu mengatasi problem orang lain.
Seorang polisi, misalnya, yang bertugas memberantas narkoba, ketika menghadapi kenyataan
bahwa peredaran narkoba tambah meluas, sementara terdapat oknum-oknum polisi yang
justru terlibat peredaran narkoba, sangat berpotensi mengalami hal demikian. Situasi seperti
itu sangat mungkin menimbulkan compassion fatigue.
Perasaan serupa bisa juga dialami oleh mereka yang sangat peduli dan gigih memperjuangkan
hukum demi tegaknya kejujuran dan keadilan, tetapi dihadapkan pada kenyataan maraknya
pelanggaran hukum, bahkan melibatkan aparat penegak hukum sehingga sangat bisa jadi
membuat letih dan putus asa bagi para pejuang hukum.
Demikianlah, dugaan dan contoh mereka yang terkena sindrom compassion fatigue tentu bisa
diperluas lagi. Saya sendiri sering mendengar langsung dari kalangan intelektual, ulama,
pendidik, aktivis sosial yang kadang merasa letih, pesimistis, dan mendekati sikap putus asa.
Seakan usaha mereka sia-sia dalam mendidik, mengajak, dan berteriak-teriak untuk
membangun kehidupan politik dan sosial yang berkeadaban. Menjauhkan diri dari sikap
rakus, menipu, dan jegal-menjegal demi terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan rakyat demi
membangun Indonesia yang bermartabat. Tapi, lagi-lagi, kualitas kehidupan berbangsa dan
bernegara semakin jauh dari yang dicita-citakan para leluhur pejuang kemerdekaan.
Kita semakin miskin politisi-negarawan, semakin langka ilmuwan-intelektual yang jadi idola
dan penyebar inspirasi bagi anak-anak bangsa, khususnya generasi muda. Kita mengalami
defisit kebanggaan sebagai warga bangsa karena langka prestasi dalam berbagai panggung
kompetisi dunia.
Sebagai praktisi pendidikan, saya sering mendengar keluhan dan kekecewaan para guru dan
dosen melihat sekian banyak sarjana terjerat kasus korupsi yang kemudian menjadi penghuni
penjara. Mereka bertanya-tanya, apa yang salah dengan muatan, proses, dan hasil pendidikan
yang berlangsung selama ini? Apakah pendidikannya yang gagal atau memang terdapat
kekuatan luar yang memiliki daya rusak yang teramat dahsyat? Atau memang keduanya
sama-sama runyam?
41
Melihat ini semua ini tak pelak lagi kadang melahirkan rasa letih. Seakan sia-sia. Sekian
triliun APBN, tenaga, dan pikiran yang telah dikeluarkan, hasilnya mengecewakan.
Yang juga memunculkan compassion fatigue adalah berbagai peristiwa, kebijakan, dan
proses politik yang tengah berlangsung. Kita ingat, ketika Pak Harto tampil sebagai presiden
menggantikan Bung Karno, salah satu agendanya yang disampaikan dalam pidato resmi
adalah memberantas korupsi, membangun pemerintahan yang bersih. Ironisnya, ketika
gerakan reformasi tampil dengan agenda menurunkan Pak Harto, lagi-lagi, salah satu
agendanya adalah memberantas korupsi dengan cara melaksanakan demokrasi serta
desentralisasi. Dan kini ketika kita sudah masuk pada era post-Orde Baru, yang menjadi
musuh utama kita adalah juga korupsi. Bahkan korupsi ini banyak dilakukan aktivis dan
pimpinan teras parpol yang dulu berteriak-teriak anti-korupsi. Beberapa tokoh dan pimpinan
teras parpol sekarang ini mendekam di penjara.
Bahkan muncul lagi penyakit baru berupa kekuatan gurita dinastiisme yang membajak
pemerintahan daerah dengan kendaraan parpol dan mekanisme pilkada. Mereka menang
semata karena kekuatan uang untuk membeli suara pemilih.
Ini semua mengingatkan kita pada pepatah klasik, anjing menggonggong kafilah
berlalu. Meminjam bahasa Alquran, hatinya sudah mengeras, telinganya tuli, penglihatannya
buta sehingga tidak tembus oleh peringatan dan ajakan moral oleh siapa pun yang
menyampaikan. Pada kondisi seperti ini yang cocok adalah diingatkan dengan tongkat Musa
karena tak mempan lagi dengan bahasa yang halus, baik, dan benar.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
42
Kapan Selesai Merdeka?
Koran SINDO
15 Agustus 2015
Saat mendapat undangan untuk tirakatan memperingati HUT kemerdekaan ke-70 di
kampung, tiba-tiba saya teringat pada cerita lucu yang menyindir kita. Cerita ketika Pak
Paimin bertanya, ”Kapan Selesai Merdeka?”
Pertanyaan ”kapan selesai merdeka?” pasti terasa aneh. Dalam pendekatan politik dan
keamanan ia bisa dinilai sebagai pertanyaan subversif. Masak, kemerdekaan ditanyakan
kapan selesainya? Merdeka itu untuk selamanya, tak ada selesainya.
Secara santai, pertanyaan itu dirasakan lucu, bisa dianggap dilontarkan oleh orang lugu yang
frustrasi karena hidup susah di alam merdeka. Kalau direnungkan secara serius, pertanyaan
Pak Paimin itu tersambungkan dengan pertanyaan baru, ”Apa gunanya kita merdeka?”
Cerita tentang Pak Paimin pernah menjadi cerita humor perjuangan yang populer di kalangan
aktivis pro-demokrasi pada 1980-an. Entah benar, entah tidak, konon ada orang meminta
bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) karena takut pamannya ditangkap oleh polisi
terkait dengan pertanyaannya: nopo niki tasih merdeka (apakah sekarang negara kita masih
merdeka juga)? Lho, kok?
***
Suatu hari Pak Paimin dan keluarganya diusir dari rumahnya yang sudah ditinggali selama
bertahun-tahun. Dia dituduh menempati tanah tanpa hak karena tak bisa menunjukkan
sertifikat kepemilikan. ”Ini negara sudah merdeka, semua harus tertib, kalau tak punya
sertifikat tanah harap tinggalkan rumahmu,” kata aparat.
Pak Paimin pun pergi dan membuat gubuk lain di kampungnya. Di gubuk barunya pun pada
tahun berikutnya Pak Paimin diusir lagi karena tak punya sertifikat tanah. ”Ini negara sudah
merdeka, harus tertib, ayo pergi,” bentak aparat lagi.
Dia pun pindah ke tempat yang jauh dan sepi, membangun gubuk lagi. Tapi tak lama sesudah
itu dia didatangi lagi oleh aparat dan diusir dengan alasan ”negara sudah merdeka, semua
harus tertib, jangan tinggal di atas tanah yang sertifikatnya tak dimiliki”.
Pak Paimin pindah lagi ke tempat kosong dan membangun gubuk yang jauh dari keramaian.
Tapi dia didatangi lagi oleh aparat dengan muka garang. Sebelum aparat itu memerintahkan
pengusiran, Pak Paimin mendahului, ”Pak Kaparat, apakah sekarang masih merdeka? Kapan
43
selesai kita merdeka? Saya digusur-gusur terus dengan alasan negara sudah merdeka. Pada
zaman penjajahan dulu, ayah dan kakek saya tak pernah digusur. Giliran saya hidup di negara
merdeka, digusur-gusur terus.”
Mendengar pertanyaan dan pernyataan Pak Paimin itu petugas tadi marah. ”Kalau melawan
dan tak bisa tertib di negara merdeka ini, besok saya laporkan kamu ke polisi,” kata aparat
yang oleh Pak Paimin disebut Pak Kaparat itu. Itulah sebabnya sang keponakan datang ke
LBH untuk memintakan bantuan perlindungan hukum.
Namanya juga humor perjuangan, tak perlulah dilacak bagaimana akhir kejadian itu. Bahkan
juga tak perlu terlalu diurus, apakah adegan Pak Paimin dan Pak Kaparat (aparat) benar-benar
ada. Cerita itu dulu sering dicandakan di kalangan aktivis, saat banyak orang digusur dari
rumah yang didiaminya selama bertahun-tahun atas nama ketertiban di negara yang sudah
merdeka.
Yang penting kita ambil dari cerita canda itu adalah pesannya yang sangat mendalam dan
perlu dijadikan bahan renungan saat kita bertirakat di kampung-kampung atau melakukan
renungan suci di Taman Makam Pahlawan. Pesannya adalah agar kita selalu ingat apa
sebenarnya tujuan kita mendirikan negara merdeka.
Menurut konstitusi, kita mendirikan negara merdeka dengan tujuan membangun
kesejahteraan rakyat. Menurut alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar, kita
memerdekakan negara dan mengusir penjajah karena ingin mengangkat martabat manusia
Indonesia dan menegakkan keadilan. Adapun menurut alinea keempat salah satu tujuan
negara adalah membangun kesejahteraan umum.
Tujuan lainnya dalam kita bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia yang tentu tidak dapat dipisahkan dari tujuan membangun kesejahteraan
umum. Negara harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia agar
rakyat bisa sejahtera, bisa menikmati seluruh bumi Indonesia, air Indonesia, dan kekayaan
alam Indonesia.
Harus kita akui, semua pemerintahan di Indonesia yang berjalan secara estafet dari periode ke
periode selalu menjadikan ”membangun kesejahteraan rakyat” sebagai salah satu program
utamanya. Tapi juga kita selalu gagal menyatakan bahwa ”rakyat kita sejahtera”.
Pada era-era tertentu memang terasa ada peningkatan, misalnya pertumbuhan ekonomi yang
bisa mencapai 6,5%. Tapi selain pertumbuhan itu sering terjun lagi, masalah pemerataan
selalu menjadi problem besar. Indeks gini ratio (jarak kesenjangan) kita, misalnya, selalu
semakin menganga. Pada era Orde Baru indeks gini ratio kita masih ada di angka 0,20, tetapi
selama 17 tahun era Reformasi indeks kesenjangan kita terus menganga. Pada bulan Juli 2015
pemerintah menyebut indeks gini ratio kita adalah 0,42 dan akan diusahakan turun menjadi
0,36 dalam lima tahun ke depan.
44
Sudah 70 tahun kita merdeka. Tapi ketidakadilan, korupsi, kesenjangan, kemiskinan,
ketertinggalan, pemalsuan sertifikat dan perampasan tanah, bahkan keterbelakangan masih
terasa masif. Kita masih harus terus berjuang agar tak ada lagi orang bertanya ”kapan selesai
merdeka”. Merdeka ....
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
45
Anjing
Koran SINDO
16 Agustus 2015
Teman-teman saya berjalan-jalan pagi bermacam-macam. Di antaranya adalah para
penggemar anjing. Mereka ini senang membawa anjingnya berjalan-jalan. Beberapa malah
ngajak anjingnya berlari.
Kebanyakan satu orang membawa seekor anjing, tetapi ada juga yang membawa dua atau tiga
ekor anjing. Semua anjing itu diikat dengan tali ke lehernya agar sang majikan bisa
senantiasa mengendalikan kelakuan si anjing (sehingga tidak menyerang anjing lain atau
menggigit orang). Namun, sang majikan belum tentu si pemilik anjing itu sendiri. Dilihat dari
penampilannya, ada juga yang berstatus asisten rumah tangga (ART) atau pawang
profesional.
Tetapi, penggemar anjing yang saya mau ceritakan ini jelas pemilik dan pencinta anjing. Dia
seorang wanita, cantik, berpakaian sportif (celana pendek, atasan tanpa lengan, dan bersepatu
olahraga), umur sulit ditebak, apalagi statusnya (zaman sekarang sulit membedakan nona atau
nyonya, gadis atau janda, bahkan tua atau muda). Jadi, saya namakan saja wanita itu
”Bunga”, yang selalu mengajak jalan (bukan berlari) anjingnya (anjing ras, tetapi saya tidak
tahu jenis apa), yang berbulu hitam, sehingga saya namakan saja ”Blacky”.
Pada suatu hari si Blacky ini pup di jalan yang beraspal. Apa yang kemudian dilakukan oleh
Nona cukup mencengangkan saya. Dia ambil tisu dari kantong celananya, dia jongkok,
memungut pup itu (sambil tangan yang lain tetap memegangi tali anjing), dan membuangnya
di pot bunga yang kebetulan ada di kaki lima. Tetapi, tidak hanya sampai di situ. Nona juga
mengambil sejumput tanah dari tepi jalan, dan menaburkannya di atas bekas pup yang masih
tersisa. Dengan demikian, tidak akan ada orang yang tanpa sengaja menginjak pup anjing dan
sampai di rumah sibuk menyuruh istrinya mencari bau pup anjing yang tidak jelas
sumbernya.
Namun, ada juga penggemar anjing yang tidak suka olahraga jalan-jalan pagi. Dia ini, saya
namakan Mr X, memelihara anjing-anjingnya di rumah, dan setiap saya melewati depan
rumahnya, selalu anjing-anjing itu menggonggong beramai-ramai. Tetapi, saya tidak takut
karena anjing-anjing itu kan di balik pagar yang terkunci. Inilah yang namanya ”anjing
menggonggong kafilah tetap berlalu”.
Sampai pada suatu hari, dari celah yang sempit di bawah pintu pagar, bisa lolos seekor anak
anjing, hitam, ceking, dan berusaha mengejar saya sambil terus menyalak. Tampaknya
komunitas anjing di dalam rumah itu telah melahirkan generasi kedua, dan salah satunya
46
(yang paling kreatif) bisa lolos dari celah di bawah pintu.
Saya lumayan kaget. Untung, anak anjing itu (dalam bahasa Jawa disebut ”kirik”) hanya
menyalak-nyalak saja, tidak lebih dari itu. Tetapi, akibatnya, saya putuskan untuk beberapa
bulan ke depan menghindari jalan yang ada anjingnya itu, sambil menunggu sampai anak
anjing makin besar, dan tidak bisa lagi melewati celah di bawah pintu pagar.
***
Saya sering mendengar istilah ”perikebinatangan”, yaitu ketika ada orang yang menyayangi
atau melindungi binatang atau ketika ada binatang yang kelakuannya seperti menyayangi
hewan lain atau manusia.
Di Belanda misalnya ada undang-undang yang melindungi hak-hak asasi anjing (kalau
kedapatan orang menyakiti anjing bisa ditangkap polisi). Orang-orang Belanda yang menaati
undang-undang disebut berperikemanusiaan, bukan berperikebinatangan. Begitu juga jika ada
lumba-lumba yang melindungi seorang penyelam dari ancaman seekor hiu sampai hiu itu
pergi, tidak boleh disebut berperikemanusiaan karena perikemanusiaan hanya berlaku buat
manusia.
Perikemanusian berasal dari kata ”perilaku” dan ”manusia”, maksudnya adalah perilaku yang
manusiawi, yaitu perilaku yang tidak mementingkan diri sendiri, yang memperhatikan
kepentingan atau hak makhluk hidup dan alam di sekitarnya, tidak sewenang-wenang dan
seterusnya. Perilaku seperti ini hanya bisa dilakukan oleh manusia, yaitu makhluk yang
mampu membuat pilihan-pilihan.
Kalau yang melakukan hewan, seperti lumba-lumba, itu merupakan bagian dari naluri
hewaniahnya, bukan karena lumba-lumba itu telah mengambil keputusan tertentu. Atau,
anjing yang menolong tim SAR (search and rescue) untuk menemukan orang yang tertimbun
tanah pasca-tanah longsor. Itu pun bukan perikemanusiaan atau perikebinatangan, melainkan
merupakan hasil latihan dari para pawangnya.
Mari kita bandingkan sekarang kelakuan Bunga dan Mr X, bukan dalam hal hobi atau malas
olahraga jalan paginya, tetapi dalam sikap perikemanusiaannya. Perilaku Bunga bisa disebut
berperikemanusiaan. Pertama, dia memikirkan Blacky yang tentu saja butuh gerak badan dan
butuh pup dan pipis. Tetapi, bukan itu saja. Bunga juga memikirkan bagaimana agar pup-nya
Blacky tidak mengganggu orang lain walaupun orang lain ini sangat boleh jadi tidak dia
kenal atau bahkan tidak ada sama sekali. Sebaliknya, perilaku Mr X lebih tidak
berperikemanusiaan karena dia tidak mau tahu bagaimana jadinya kalau seorang profesor
digigit oleh seekor kirik ireng elek (anak anjing hitam jelek).
Sayangnya, sekarang makin banyak manusia yang tidak berperikemanusiaan lagi. Korupsi
adalah contohnya. Begitu juga membunuh selingkuhan sendiri untuk merampok mobilnya,
atau juga membuang sampah atau puntung rokok sembarangan, atau meminjam duit, tetapi
47
tidak mengembalikan, bukanlah perilaku-perilaku yang berperikemanusiaan.
Bukan itu saja. Seorang mahasiswa saya (perempuan, berjilbab) bahkan menolak ketika
ditugaskan untuk berpraktik di salah satu Panti Wredha (sebagai bagian dari tugas praktiknya
sebagai calon psikolog) dengan alasan bahwa Panti Wredha itu dikelola oleh sebuah yayasan
yang non-muslim. Bunga jelas lebih berperikemanusiaan ketimbang mahasiswa saya yang
calon psikolog, tetapi sektarian dan diskriminatif itu.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
48
Jarak
Koran SINDO
21 Agustus 2015
Kata ”jarak” (distance) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bahasa keseharian, bahkan
juga hidup keseharian.
Jarak bisa berupa fisik. Misalnya jarak dari rumah ke kantor, ke pasar, ke masjid, dan
sebagainya. Karena jarak telah menjadi kategori yang melekat pada pemikiran kita, maka
tanpa disadari kita selalu membayangkan jarak, meskipun otak sendiri hanya bisa bertanya
tetapi tidak mampu menjawabnya. Contoh, kita sering bertanya, berapa jarak antara bumi dan
bulan, matahari, bahkan bintang yang terdekat dengan bumi?
Ada lagi jarak waktu, sehingga diciptakanlah arloji untuk menyusun agenda kegiatan agar
aktivitas menjadi terstruktur. Betapa kegiatan manusia modern akan kacau, khususnya bisnis
modern, jika manusia tidak memiliki pedoman jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun. Bahkan
ritual keagamaan pun memerlukan pedoman waktu, sejak waktu salat, puasa, haji, dan kapan
merayakan hari Lebaran.
Yang menjadi persoalan serius dalam masyarakat adalah jarak yang bersifat abstrak, yaitu
jarak status sosial dan ekonomi sehingga muncul gambaran kaya-miskin, atasan dan
bawahan. Dalam masyarakat feodal, jarak status sosial itu sangat kentara dan oleh jajaran
elitenya sengaja dipelihara. Setelah memasuki 70 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia,
ternyata antara cita-cita kemerdekaan dan realitas sosial yang dibayangkan masih jauh
jaraknya.
Negara ini dideklarasikan untuk menyatukan seluruh penduduk Nusantara yang sedemikian
majemuk dan tersebar tempat tinggalnya, yang kemudian bersama seluruh rakyat bekerja
demi mencerdaskan, memajukan, dan menyejahterakan warganya. Tetapi ternyata masih
banyak warga negara yang miskin dan tidak mengenyam sekolah. Masih terbentang jarak
yang menganga dan menyakitkan.
Secara fisikal, sesama warga memang semakin dekat jaraknya. Ini akibat dari pertumbuhan
penduduk, sarana transportasi dan telekomunikasi modern yang membuat hidup terasa
semakin sesak. Jarak fisik semakin pendek, meskipun sebagian dihubungkan melalui televisi
maupun telepon. Masalahnya, kedekatan fisik tidak menjamin memperpendek jarak
kesenjangan ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan sesama warga negara, melainkan justru
membuat jarak itu semakin melebar dan menyakitkan.
Coba saja bayangkan, setiap hari berapa ratus ribu orang melewati jalan protokol kota besar
49
semacam Jakarta. Bercampur aduk tanpa jarak antar berbagai profesi, asal etnis, agama,
afiliasi politik, dan kelas sosial ekonomi. Lagi-lagi, jarak fisikal semakin dekat, namun
kedekatan fisik tidak selalu berarti kedekatan nasib, dan hati. Sebagai sesama warga negara,
di atas keragaman atau kemajemukan yang berjarak itu, semestinya kita juga memiliki
kedekatan hati dan cita-cita untuk membuat bangsa ini berdiri tegak bermartabat dengan
rakyatnya yang semakin cerdas dan sejahtera.
Yang perlu kita kejar mestinya bagaimana mendekatkan jarak antara kemajuan Indonesia
dengan negara-negara lain yang larinya semakin kencang. Oleh karenanya sangat
disayangkan jika kebinekaan itu terlepas dari ikatan keikaan hati dan cita-cita bersama
mengisi amanat kemerdekaan.
Coba saja amati kehidupan sosial di sekeliling kita. Pembangunan infrastruktur antara kota
dan desa sangat timpang. Ketika di sebuah sudut kota dibangun mal atau supermarket,
seketika terlihat jarak antara mereka yang peduli dan hanya mampu belanja di warung-
warung tradisional dan mereka yang memilih belanja di toko-toko modern sebagai anak
kandung kapitalisme global. Dulu bangunan rumah di kampung tidak ada pagarnya. Tetapi
sekarang rumah-rumah gedung pasti dibuat pagar kokoh dan tinggi agar berjarak dari
tetangganya. Tidak saja jarak gedung, tetapi juga jarak ekonomi dan sosial. Ketika orang
menempelkan titel pada namanya, itu pun seketika memunculkan distingsi dan distansi.
Sebagai liyan (other) yang berjarak.
Jadi sangat benar perintah agama agar kita selalu menjaga silaturahim. Mendekatkan dan
mengikatkan hati, menjaga relasi kasih sayang untuk menjembatani kehidupan sosial yang
kian berjarak.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
50
Karateka
Koran SINDO
23 Agustus 2015
Semasa mahasiswa, saya adalah karateka. Tidak lama, hanya semasa aksi-aksi mahasiswa
angkatan 1966, ketika saya sebagai aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) UI
ikut berbagai kegiatan, termasuk olahraga bela diri ini. Karena tidak lama, saya hanya sampai
ke ban hijau (Kyu 6) dan sesudah itu aksi-aksi mahasiswa selesai, saya pun kembali
menyelesaikan kuliah saya dan berhenti berlatih karate.
Di sisi lain, sejak SMP saya bermain musik. Saya bergabung dengan sebuah Orkes Melayu
(bocah) Bulan Buana, yang ketika itu sering diundang untuk meramaikan pesta sunatan,
bahkan perkawinan, di kampung-kampung di kota Tegal dan sekitarnya (tempat saya tinggal
di masa anak-anak). Ketika itu saya bermain gitar yang kadang dipetik sebagai melodi,
kadang di-kencrung sebagai pengiring, suka-suka saya saja. Buat yang di tahun 1960-an
sudah berstatus ABG, mungkin masih ingat lagu-lagu top Melayu zaman itu: “Burung Nuri”,
“Kudaku Lari”, dan lainnya.
Di SMA, sebagai remaja, saya bergabung dengan grup tari Melayu di Bogor (waktu itu saya
mengikuti orang tua yang dipindahkerjakan ke Bogor). Setelah menjadi profesor, saya
bergabung lagi dengan profesor-profesor UI lainnya dalam grup The Professor Band.
Dalam olahraga, selain karate, semasa mahasiswa saya bermain basket dan bola voli,
walaupun tidak pernah masuk tim fakultas sekalipun; dan ketika dewasa, saya memilih main
tenis. Semuanya olahraga kompetitif, yang bertujuan akhir memenangkan pertandingan dan
mengalahkan lawan atau win-lose competition.
Baru belakangan ini saya berolahraga jalan kaki santai yang tidak bertujuan win-lose, bahkan
juga tidak win-win karena saya melakukannya sendirian, suka-suka saya saja, pokoknya rutin
gerak badan seminggu minimal lima kali, sampai keluar keringat (keringat ini tidak bisa
dibeli di supermarket, melainkan harus diperoleh melalui kerja keras).
***
Dari pengalaman hidup di atas, saya bisa merasakan bagaimana sebagai karateka dan pelaku
olahraga kompetitif, saya harus memusatkan semua perhatian dan usaha, baik sendirian,
maupun sebagai anggota tim untuk mengalahkan lawan. Terkadang kita curang sedikit, yang
penting lawan kalah (ingat the invisible hand-nya Maradonna?).
Lain sekali dengan gerak badan mandiri, saya hanya melihat arloji, sudah berapa lama saya
51
melangkahkan kaki, dan terkadang bertegur sapa dengan para pelaku olahraga pagi yang lain
(jalan santai, bersepeda, lari-lari anjing, atau lari-lari sambil mengajak anjing), bahkan
dengan pedagang gorengan yang pagi-pagi sudah bekerja untuk melayani orang-orang yang
mau ke kantor tetapi belum sempat sarapan di rumah.
Demikian pula dengan bermusik dan menari. Kompetisi sama sekali bukan tujuan. Yang
penting adalah harmoni. Baik harmoni nada dalam musik, maupun harmoni gerak dalam tari.
Nafsu-nafsu dan ambisi pribadi harus ditekan habis (walaupun kami semua profesor, yang
kalau di kelas ditakuti mahasiswa). Kalau tidak, musik akan berubah menjadi kumpulan
bunyi bising yang memekakkan telinga, dan gerak massal yang cepat tetapi serempak dalam
Tari Saman, misalnya, akan menjadi saling benturan tubuh yang mengacaukan seluruh tari.
Saya kebetulan bukan pemain tai chi. Tetapi dari apa yang saya ketahui, tai chi adalah
olahraga yang tidak mementingkan kekuatan, apalagi kompetitif. Tujuan tai chi bukan
menjatuhkan lawan, tetapi melatih harmoni antara gerak anggota tubuh, napas, peredaran
darah, emosi dan akal, serta kondisi di alam sekitar.
Seperti juga seni olah tubuh yang lain seperti yoga, dan jalan kaki santai yang saya lakukan
yang sangat mirip dengan bermain musik (saya memainkan saksofon di The Professor Band),
di mana saya harus mengatur napas saya untuk kapan saya harus meniup keras, atau lembut,
bermain stakato atau legato, cepat atau lambat, dan yang terpenting menaati arahan dari
music director.
Dalam ilmu psikologi, juga dikenal pembagian dikotomis seperti itu. Dalam Psikoanalisis
manusia dikatakan mempunyai dua naluri, yaitu naluri seks untuk penyambung hidup dan
berketurunan (disebut: libido) dan naluri untuk mati atau membunuh, yaitu naluri agresi,
(tanatos). Dalam teori belajar ada reward dan punishment, dalam teori kepribadian ada emosi
dan rasio, dalam psikologi sosial ada kompromi dan kompetisi, masyarakat individualistis
dan masyarakat kolektivistik dan seterusnya.
Adalah keharusan kita sebagai manusia yang berbudaya untuk menjaga keseimbangan antara
pasangan-pasangan dikotomis itu. Secara populer sering dikatakan bahwa harus ada
keseimbangan antara otak kiri (pusat rasio) dan otak kanan (pusat emosi). Untuk
mencapainya, kita perlu melakukan olahraga-olahraga yang santai dan non-kompetitif seperti
berjalan kaki santai, yoga dan tai chi, di samping berhobi seni (musik, tari, teater, seni rupa
dan lain-lain) yang bertujuan harmoni, bukan kompetisi.
Jika saja semua orang, kelompok, masyarakat, bangsa dan pemerintah bisa menerapkan
prinsip harmoni dalam dikotomi itu, maka bisa dipastikan bahwa umat manusia akan sangat
bisa mengurangi perang, tawuran, kriminal, korupsi, pelanggaran hukum, kemiskinan,
penyerobotan, perebutan lahan parkir dan seterusnya.
Tentu saja gagasan ini masih utopia, khususnya buat Indonesia, tetapi menurut penelitian
Universitas George Washington, Amerika Serikat, sudah ada contoh negara-negara di dunia
52
yang berhasil merealisasikannya, yaitu negara-negara yang sejahtera, bebas kemiskinan, tidak
ada kesenjangan sosial, apalagi kecemburuan sosial, bebas konflik dan lain-lain (istilah
peneliti: negara-negara yang islami), seperti Irlandia, Denmark, Luksemburg, Swedia, Inggris
Raya, Selandia Baru, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.
Tentu saja tidak semua orang di negara-negara itu berolahraga tai chi atau yoga atau berjalan
kaki santai atau berhobi seni, dan juga tidak berarti olahraga kompetisi dilarang, tetapi yang
jelas masyarakatnya bertujuan harmoni, bukan kompetisi.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah
Makhluk Peziarah

More Related Content

Similar to Makhluk Peziarah

Karya Tulis Ilmiah : Polusi udara
Karya Tulis Ilmiah : Polusi udaraKarya Tulis Ilmiah : Polusi udara
Karya Tulis Ilmiah : Polusi udaraJuniarta Sitorus
 
Mengurai dampak kesehatan akibat perubahan iklim
Mengurai dampak kesehatan akibat perubahan iklimMengurai dampak kesehatan akibat perubahan iklim
Mengurai dampak kesehatan akibat perubahan iklimSutopo Patriajati
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...winaldy21
 
Syarifudin, rumah pertobatan manusia
Syarifudin, rumah pertobatan manusiaSyarifudin, rumah pertobatan manusia
Syarifudin, rumah pertobatan manusiaSyarifudin Amq
 
Usaha usaha kesehatan masyarakat
Usaha usaha kesehatan masyarakatUsaha usaha kesehatan masyarakat
Usaha usaha kesehatan masyarakatSalma Van Licht
 
Syarifudin, rumah pertobatan manusia
Syarifudin, rumah pertobatan manusiaSyarifudin, rumah pertobatan manusia
Syarifudin, rumah pertobatan manusiaSyarifudin Amq
 
ambon Syarifudin, rumah pertobatan manusia
ambon Syarifudin, rumah pertobatan manusiaambon Syarifudin, rumah pertobatan manusia
ambon Syarifudin, rumah pertobatan manusiaSyarifudin Amq
 
BUKU ANTROPOLOGI KESEHATAN Dr. Syamsuddin AB,.S.Ag,.M.Pd.pdf
BUKU ANTROPOLOGI KESEHATAN Dr. Syamsuddin AB,.S.Ag,.M.Pd.pdfBUKU ANTROPOLOGI KESEHATAN Dr. Syamsuddin AB,.S.Ag,.M.Pd.pdf
BUKU ANTROPOLOGI KESEHATAN Dr. Syamsuddin AB,.S.Ag,.M.Pd.pdfroomahmentari
 
JUWITA AMALIA H. M. DJUFRIE.pptx
JUWITA AMALIA H. M. DJUFRIE.pptxJUWITA AMALIA H. M. DJUFRIE.pptx
JUWITA AMALIA H. M. DJUFRIE.pptxBetiBeti17
 
Makalah lingkungan hidup
Makalah lingkungan hidupMakalah lingkungan hidup
Makalah lingkungan hidupARISKA COMPNET
 
Survival dede irawan 1
Survival dede irawan 1Survival dede irawan 1
Survival dede irawan 1Agung Munandar
 
Satuan acara penyuluhan_cerdik
Satuan acara penyuluhan_cerdikSatuan acara penyuluhan_cerdik
Satuan acara penyuluhan_cerdikLelenFitri
 
Contoh pidato tentang kesehatan
Contoh pidato tentang kesehatanContoh pidato tentang kesehatan
Contoh pidato tentang kesehatanandiadit
 
Penambahan bahan plastik dalam proses penggorengan berdampak bagi kesehatan
Penambahan bahan plastik dalam proses penggorengan berdampak bagi kesehatanPenambahan bahan plastik dalam proses penggorengan berdampak bagi kesehatan
Penambahan bahan plastik dalam proses penggorengan berdampak bagi kesehatanasriss
 
Mempertahankan adl pada lansia
Mempertahankan adl pada lansiaMempertahankan adl pada lansia
Mempertahankan adl pada lansiaWarung Bidan
 

Similar to Makhluk Peziarah (20)

Karya Tulis Ilmiah : Polusi udara
Karya Tulis Ilmiah : Polusi udaraKarya Tulis Ilmiah : Polusi udara
Karya Tulis Ilmiah : Polusi udara
 
Mengurai dampak kesehatan akibat perubahan iklim
Mengurai dampak kesehatan akibat perubahan iklimMengurai dampak kesehatan akibat perubahan iklim
Mengurai dampak kesehatan akibat perubahan iklim
 
Ekologi kesehatan soal
Ekologi kesehatan soalEkologi kesehatan soal
Ekologi kesehatan soal
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
 
Buku scrap sejarah
Buku scrap sejarahBuku scrap sejarah
Buku scrap sejarah
 
Syarifudin, rumah pertobatan manusia
Syarifudin, rumah pertobatan manusiaSyarifudin, rumah pertobatan manusia
Syarifudin, rumah pertobatan manusia
 
Usaha usaha kesehatan masyarakat
Usaha usaha kesehatan masyarakatUsaha usaha kesehatan masyarakat
Usaha usaha kesehatan masyarakat
 
Syarifudin, rumah pertobatan manusia
Syarifudin, rumah pertobatan manusiaSyarifudin, rumah pertobatan manusia
Syarifudin, rumah pertobatan manusia
 
ambon Syarifudin, rumah pertobatan manusia
ambon Syarifudin, rumah pertobatan manusiaambon Syarifudin, rumah pertobatan manusia
ambon Syarifudin, rumah pertobatan manusia
 
BUKU ANTROPOLOGI KESEHATAN Dr. Syamsuddin AB,.S.Ag,.M.Pd.pdf
BUKU ANTROPOLOGI KESEHATAN Dr. Syamsuddin AB,.S.Ag,.M.Pd.pdfBUKU ANTROPOLOGI KESEHATAN Dr. Syamsuddin AB,.S.Ag,.M.Pd.pdf
BUKU ANTROPOLOGI KESEHATAN Dr. Syamsuddin AB,.S.Ag,.M.Pd.pdf
 
Mediakom 32
Mediakom 32Mediakom 32
Mediakom 32
 
JUWITA AMALIA H. M. DJUFRIE.pptx
JUWITA AMALIA H. M. DJUFRIE.pptxJUWITA AMALIA H. M. DJUFRIE.pptx
JUWITA AMALIA H. M. DJUFRIE.pptx
 
Makalah lingkungan hidup
Makalah lingkungan hidupMakalah lingkungan hidup
Makalah lingkungan hidup
 
Survival dede irawan 1
Survival dede irawan 1Survival dede irawan 1
Survival dede irawan 1
 
Kkp
KkpKkp
Kkp
 
Satuan acara penyuluhan_cerdik
Satuan acara penyuluhan_cerdikSatuan acara penyuluhan_cerdik
Satuan acara penyuluhan_cerdik
 
Contoh pidato tentang kesehatan
Contoh pidato tentang kesehatanContoh pidato tentang kesehatan
Contoh pidato tentang kesehatan
 
Penambahan bahan plastik dalam proses penggorengan berdampak bagi kesehatan
Penambahan bahan plastik dalam proses penggorengan berdampak bagi kesehatanPenambahan bahan plastik dalam proses penggorengan berdampak bagi kesehatan
Penambahan bahan plastik dalam proses penggorengan berdampak bagi kesehatan
 
Mempertahankan adl pada lansia
Mempertahankan adl pada lansiaMempertahankan adl pada lansia
Mempertahankan adl pada lansia
 
Kel 13 stroke
Kel 13 strokeKel 13 stroke
Kel 13 stroke
 

Recently uploaded

MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxawaldarmawan3
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..ikayogakinasih12
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASreskosatrio1
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxazhari524
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptxMiftahunnajahTVIBS
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMmulyadia43
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 

Recently uploaded (20)

MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 

Makhluk Peziarah

  • 1. 1 DAFTAR ISI ASAP KEBAKARAN HUTAN DAN KESEHATAN Tjandra Yoga Aditama 4 MAKHLUK PEZIARAH Komaruddin Hidayat 7 ISLAM NUSANTARA Sarlito Wirawan Sarwono 9 ISLAM NUSANTARA II Sarlito Wirawan Sarwono 12 DEFISIT KEPERCAYAAN Komaruddin Hidayat 15 LIE DETECTOR Sarlito Wirawan Sarwono 19 MINAL AIDIN WALFAIZIN Sarlito Wirawan Sarwono 22 JASMERAH BUNG KARNO DI AL-QURAN SUCI Moh Mahfud MD 25 FENOMENA AROUSAL DAN PILKADA SERENTAK Rhenald Kasali 28 MENYOAL KEBEBASAN Komaruddin Hidayat 31 TRIALOG Sarlito Wirawan Sarwono 34 BELAJAR DARI KUCING Sarlito Wirawan Sarwono 37 COMPASSION FATIGUE Komaruddin Hidayat 40 KAPAN SELESAI MERDEKA? Moh Mahfud MD 42 ANJING Sarlito Wirawan Sarwono 45 JARAK
  • 2. 2 Komaruddin Hidayat 48 KARATEKA Sarlito Wirawan Sarwono 50 PEMERINTAH MELANGGAR UU BAHASA S Sahala Tua Saragih 53 PORTUGAL Sarlito Wirawan Sarwono 57 TANGANI KABUT ASAP, SELAMATKAN EKONOMI Firmanzah 60 MARK HANUSZ DAN PRAMUDYA ANANTA TOER Mohamad Sobary 63 OPTIMISTIS HADAPI KRISIS MULTIDIMENSI A Helmy Faishal Zaini 66 PERLINDUNGAN PENGUNGSI Dinna Wisnu 69 KRISIS PROTEIN: KENDALA AKSES PANGAN Ali Khomsan 72 MANUSIA PENCARI TUHAN Komaruddin Hidayat 75 KALAU PAK JOKOWI PIDATO LEWAT RADIO Eddy Koko 78 REKONSTRUKSI SEJARAH KAKBAH DAN HAJI Faisal Ismail 82 MAFIA ASAP HARUS DIPERANGI TOTAL Tjipta Lesmana 85 ANJING II Sarlito Wirawan Sarwono 88 POLITIK BANTING SETIR Mohamad Sobary 91 LAMPU MERAH KEJAHATAN SEKSUAL ANAK Asrorun Ni’am Sholeh 94 DIBEKAP ASAP Reza Indragiri Amriel 97
  • 3. 3 KEADILAN DAN KEBAIKAN Komaruddin Hidayat 100 FATAYAT NU DAN TANTANGAN KONTEMPORER Anggia Ermarini 102 IBADAH HAJI & FAKTOR KESELAMATAN Nurul Wahdah 105 PENGUNGSI: ISU KEMANUSIAAN DAN PERAN NEGARA TELUK Ali Maksum 108 KANCIL DAN MACAN Sarlito Wirawan Sarwono 111 REVITALISASI IDEOLOGI GOTONG ROYONG Anna Luthfie 114 KETAKWAAN, BEKAL YANG UTAMA Biyanto 117 KURBAN DAN PENDIDIKAN CINTA Muhbib Abdul Wahab 120 PERANGKAT DESA DAN KEBAKARAN HUTAN Amzulian Rifai 124 MUSIBAH HAJI Komaruddin Hidayat 128 MENYEMBELIH KEBINATANGAN MANUSIA Moh Mahfud MD 130 EFEK ZEIGARNIK Sarlito Wirawan Sarwono 133 PELAJARAN DARI JAMARAT Abdul Mu’ti 136 DI DEPAN RUMAH TUHAN Mohamad Sobary 138 MELAMPAUI RASA INGIN TAHU Jejen Musfah 141 LOGIKA HUKUM PERISTIWA MINA Sudjito 144
  • 4. 4 Asap Kebakaran Hutan dan Kesehatan Koran SINDO 4 September 2015 Hari-hari ini dilaporkan peningkatan kabut asap kebakaran hutan, utamanya di sebagian Sumatera dan Kalimantan. Pada 1 September 2015 KORAN SINDO halaman lima juga memuat berita bahwa ada 1.438 titik api yang mengepung Sumatera dan Kalimantan. Musim kemarau sudah melanda kita dengan berbagai akibatnya seperti kekeringan, gagal panen, kekurangan air bersih, dan sampai terjadinya kebakaran hutan. Gangguan Kesehatan Ada berbagai masalah kesehatan yang dapat terjadi akibat kabut asap kebakaran hutan. Gangguan yang timbul dapat dikelompokkan menjadi tiga hal, yaitu dampak lokal (langsung terkena asap di kulit, hidung, mata dll.), dampak sistemik tubuh (penyakit pada organ tubuh lain secara umum) dan dampak tidak langsung seperti kontaminasi pada tanaman dan sumur air, dll. Kabut asap dapat menyebabkan iritasi lokal/setempat pada selaput lendir di hidung, mulut dan tenggorokan yang memang langsung kena asap kebakaran hutan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan, dan mungkin juga infeksi. Gangguan serupa juga dapat terjadi di mata dan kulit yang langsung kontak dengan asap kebakaran hutan, menimbulkan keluhan gatal, mata berair, peradangan dan infeksi yang memberat. Kabut asap dapat pula memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronis, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dll. Kemampuan kerja paru menjadi berkurang dan menyebabkan orang mudah lelah dan mengalami kesulitan bernapas. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) jadi lebih mudah terjadi, utamanya karena ketidakseimbangan daya tahan tubuh (host), pola bakteri/virus dan lain-lain penyebab penyakit (agent) dan buruknya lingkungan (environment). Sementara itu, bahan polutan pada asap kebakaran hutan yang jatuh ke permukaan Bumi juga mungkin dapat menjadi sumber polutan di sarana air bersih dan makanan yang tidak terlindungi. Kalau kemudian air dan makanan terkontaminasi itu dikonsumsi masyarakat, bukan tidak mungkin terjadi gangguan saluran cerna dan penyakit lainnya. Dapat dikatakan bahwa secara umum berbagai penyakit kronis di berbagai organ tubuh (jantung, hati, ginjal, dll.) juga dapat saja memburuk. Ini terjadi karena dampak langsung kabut asap maupun dampak tidak langsung di mana kabut asap menurunkan daya tahan tubuh dan juga menimbulkan stres. Mereka yang berusia lanjut dan anak-anak (juga mereka yang
  • 5. 5 punya penyakit kronik) dengan daya tahan tubuh rendah akan lebih rentan untuk mendapat gangguan kesehatan. Upaya Pencegahan Kebakaran hutan ini tentu perlu diatasi secara menyeluruh, mulai dari pencegahan, tidak membakar hutan untuk mendapatkan lahan kebun, upaya pemadaman kebakaran hutan, rekayasa lingkungan, serta hal mendasar lainnya. Di sisi lain, untuk perlindungan kesehatan ada beberapa hal yang dapat dilakukan masyarakat luas yang terdampak asap kebakaran hutan ini. Hindari atau kurangi aktivitas di luar rumah/gedung, terutama bagi mereka yang menderita penyakit jantung dan gangguan pernafasan. Hal ini memang tidak terlalu mudah dilakukan, tapi perlu diupayakan maksimal. Upayakan agar polusi di luar tidak masuk ke dalam rumah/sekolah/kantor dan ruang tertutup lainnya. Jika terpaksa harus pergi ke luar rumah/gedung sebaiknya menggunakan masker. Selalu lakukan perilaku hidup bersih sehat (PHBS), seperti mengonsumsi makan bergizi, tidak merokok, istirahat yang cukup, dll. Bagi mereka yang telah mempunyai gangguan paru- paru dan jantung sebelumnya, mintalah nasihat kepada dokter untuk perlindungan tambahan sesuai kondisi. Segera berobat ke dokter atau sarana pelayanan kesehatan terdekat bila mengalami kesulitan bernapas atau gangguan kesehatan lain. Lingkungan Hidup Asap kebakaran hutan memang mempunyai komposisi berbeda dengan asap gunung berapi misalnya, atau asap polusi pabrik dan atau kendaraan bermotor. Asap kebakaran hutan lebih bersifat biomass karena yang terbakar adalah pohon-pohonan yang hidup. Memang gangguan kesehatan biasanya baru akan timbul kalau seseorang cukup lama kontak dengan asap kebakaran hutan. Sejauh ini belum ada peningkatan masalah kesehatan yang berarti di daerah-daerah yang kini ada asap kebakaran hutannya, tapi kita tentu perlu waspada. Petugas kesehatan di daerah- daerah tentu sudah siap untuk antisipasi kemungkinan gangguan kesehatan yang ada. Di sisi lain, kejadian kebakaran hutan yang berulang setiap tahun pada daerah yang sama bukan tidak mungkin akan menimbulkan dampak kronik pula, walau hal ini tentu perlu diteliti lebih lanjut. Juga, keadaan kebakaran hutan di musim panas berkepanjangan seperti sekarang ini juga punya dampak kesehatan lain, seperti keterbatasan persediaan air, gagal panen yang mungkin mengancam ketersediaan pangan dan kemungkinan gangguan kesehatan akibat cuaca yang panas. Perubahan cuaca berlebihan dan musim kering berkepanjangan tentu punya dampak buruk bagi kehidupan. Harus pula disadari bahwa climate change tidak sepenuhnya terjadi akibat
  • 6. 6 alamiah semata, tapi juga banyak akibat ulah manusia. Salah satu kunci utamanya adalah marilah kita selalu bersahabat dengan lingkungan serta menjaga kelestarian lingkungan hidup, demi kebahagiaan hidup umat manusia. PROF DR TJANDRA YOGA ADITAMA Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI
  • 7. 7 Makhluk Peziarah Koran SINDO 4 September 2015 Hidup itu gerak. Ke mana pun mata memandang selalu melihat manusia bergerak, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok. Ketika seseorang terlihat diam atau tidur pun dalam dirinya berlangsung prosesi dan peristiwa gerak, utamanya jantung dan pernafasan. Juga pikiran dan emosinya. Betapa kompleks dan sibuknya organ-organ tubuh kita yang tak pernah diam. Sejak dari mata, jari, mulut, kaki, tangan, semuanya tak pernah diam. Terlebih emosi, yang terdiri atas kata energy and motion—sebuah daya jiwa yang selalu bergerak dan menggerakkan, sehingga menimbulkan perasaan suka dan duka, senang dan benci, serta sekian banyak perasaan lain yang setiap saat hadir, di mana pun seseorang berada. Bahkan tanpa kita sadari Bumi tempat kita berada ini juga selalu dalam posisi bergerak. Bertawaf mengelilingi matahari. *** Kuriositas (curiosity) atau dorongan untuk selalu ingin mengetahui hal-hal baru merupakan ciri manusia. Dorongan ini difasilitasi oleh mata, telinga, dan kaki sehingga setiap ada kesempatan seseorang selalu ingin berziarah, jalan-jalan, rekreasi, atau berpetualang memperluas wawasan dan pengalaman hidupnya. Pengalaman artinya sesuatu yang pernah dijalani, dirasakan, dan diketahui. Dalam pengembaraan ini faktor imajinasi sangat besar pengaruhnya. Sekian banyak inovasi sains dan teknologi supermodern pada awalnya distimulasi oleh kekuatan imajinasi manusia yang tak ada batasnya. Makanya, dalam sejarah pemikiran manusia dikenal istilah mitos dan logos. Mitos merupakan sebuah daya khayal manusia yang sangat liar dan bebas tak terstruktur. Manusia bebas membayangkan dan mengkhayalkan apa saja. Dulu orang membayangkan jalan-jalan ke angkasa mengendarai karpet. Orang Jawa membayangkan Gatotkaca terbang ke angkasa. Lalu Ontorejo bisa menghilang masuk ke bumi. Seiring dengan perjalanan dan pengalaman panjang hidup manusia yang disertai daya nalar yang logis, maka logos berusaha menstrukturkan daya-daya imajinasi yang liar itu agar bisa diwujudkan dalam realitas empiris. Logos ini pada urutannya melahirkan formula ilmu
  • 8. 8 pengetahuan sehingga imajinasi tentang karpet terbang atau Gatotkaca jalan-jalan ke angkasa sekarang tergantikan oleh pesawat terbang berkat dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu pun sosok imajinasi Ontorejo masuk dan menghilang ke perut bumi, sekarang diperankan oleh para insinyur pertambangan untuk berburu tambang di dalam perut bumi atau para penyelam lautan mencari mutiara. Manusia melakukan ziarah karena berbagai motif dan pertimbangan. Ada motivasi bisnis, rekreasi, keilmuan, tugas negara, riset, dan motif lain. Yang sangat fenomenal adalah ziarah ke planet lain. Namun, sesungguhnya tanpa kita sadari kita semua hampir setiap hari melakukan ziarah, bertemu orang lain dan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru. Terlebih mereka yang hidup di kota metropolitan, sering kali berjumpa kenalan dan komunitas baru, termasuk komunitas berbeda profesi, agama, budaya, dan bahasa. Semua pengalaman itu pasti memperkaya wawasan hidup seseorang. Ada pula yang membuat gelisah setelah melihat komunitas lain yang lebih maju, membuat seseorang menjadi iri, rendah diri, ataupun sebaliknya menjadi terpacu untuk mengejar ketertinggalannya. Ketika kita mempelajari sejarah dan ilmu bumi, sesungguhnya kita juga tengah berziarah ke masa lalu dan jalan-jalan secara virtual ke negara orang untuk mengenal alam dan budayanya. Dengan semakin banyak stasiun televisi, semakin banyak sajian acara yang mengajak pemirsa untuk berziarah, berwisata, dan istilah lain yang spirit dan maknanya sama. Implikasi sosial lebih jauh, sekarang ini apa yang dahulu disebut ”budaya asli” suatu masyarakat, lama-lama tak bisa lagi dipertahankan karena muncul budaya hibrida dan eklektik. Campuran, perjumpaan, asimilasi, dan integrasi dari berbagai elemen budaya yang berbeda-beda. Termasuk juga budaya yang bernuansa agama. Misalnya tradisi perayaan tahun baru Masehi, yang awalnya bagian dari budaya Barat- Kristen, sekarang telah menjadi agenda tahunan di lingkungan masyarakat Islam. Begitu pun Valentine Day. Sebaliknya, umat non-muslim juga telah akrab dan partisipasi ikut memeriahkan hari-hari besar Islam, utamanya Idul Fitri. Dunia semakin pendek jaraknya dan mudah dijangkau. Sekaligus juga semakin plural dan warna-warni. Jumlah penduduk bumi bertambah setiap menit. Artinya, objek ziarah budaya juga semakin banyak yang menarik dikunjungi. Secara teologis, hidup ini pun sebuah ziarah. Namun ziarah bukan sekadar rekreatif, melainkan dengan visi dan misi yang mulia. Yaitu memakmurkan bumi, menyejahterakan sesama makhluk Ilahi yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban Tuhan di akhirat nanti. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 9. 9 Islam Nusantara Koran SINDO 21 Juni 2015 Saya punya kebiasaan jalan kaki santai setiap pagi di kompleks perumahan tempat tinggal saya dan kampung sekitarnya. Maka, pada hari pertama Ramadan 1436 H (18 Juni 2015) ini, saya pun tetap melakukan kebiasaan saya itu. Tetapi, berbeda dari biasanya, pada pagi ini warung-warung makan dan pedagang kaki lima (PKL) penjual gorengan semuanya tutup. PKL tukang sayur yang biasanya ada beberapa, cuma tinggal satu. Begitu juga orang-orang yang biasa berolahraga pagi bersama saya (ada yang joging, bersepeda, ada yang mengajak anjingnya, ada yang mengajak dua anjingnya, ada yang mengajak istrinya, bahkan ada yang mengajak dua istrinya... jangan ketawa, ini serius, loh), tiba-tiba sebagian besar menghilang. Digantikan oleh beberapa kelompok anak- anak yang sepertinya libur sekolah dan memilih untuk tidak tidur lagi sesudah sahur, melainkan berjalan-jalan bersama teman-teman. Tampak ada perubahan drastis antara hari biasa dan hari Ramadan. Seperti di Arab Saudi yang pernah saya dengar. Di Saudi selama bulan puasa orang membalikkan hari. Siang jadi malam (orang tidur saja karena dipercaya tidur pun berpahala selama Ramadan) dan malam jadi siang (kantor-kantor, perdagangan, jual-beli dilaksanakan pada malam hari). Tetapi, yang terjadi di lingkungan rumah saya bukan arabisasi. Warung makan dan PKL tutup karena captive market-nya hilang (tidak ada yang beli), bukan karena larangan menutup tempat makan selama Ramadan. Bapak-bapak pada umumnya melanjutkan tidur dulu sesudah sahur agar nanti fresh untuk ke kantor. *** Setelah lelah berjalan kaki, seperti biasa saya duduk di depan TV sambil mengobrol dengan istri saya. Kebetulan tayangan infotainment pagi itu adalah tentang artis bernama LCB yang membuka butik baju muslimah. Artis ini belum setahun berjilbab, setelah sebelumnya dia berpacaran dengan pria non-Indonesia dan non-muslim pula, tetapi dalam tayangan infotainment pagi itu ia mendemonstrasikan cara memakai jilbab (atau sering disebut juga ”hijab”) cantik dengan menggunakan sedikit saja jarum pentol. Ini pekerjaan yang menakjubkan karena pengalaman saya dengan anak saya, dia selalu mau pinjam jarum pentol dari ibunya, setiap kali mau memasang jilbabnya (kalau pas sedang menginap di rumah kami) dan selalu dijawab istri saya, ”Enggak ada”, padahal ada (indahnya tidak berbagi... daripada kehabisan sendiri...).
  • 10. 10 Tetapi, jujur saja pada 1980-an, makin maraknya perempuan berhijab ketika itu pernah saya cemaskan sebagai ancaman arabisasi. Usaha perlawanan dari pemerintah lumayan keras misalnya dengan melarang siswi-siswi sekolah-sekolah negeri untuk berhijab di sekolah- sekolah negeri. Kekhawatiran saya dan saya kira pemerintah juga adalah terancamnya budaya Indonesia, termasuk merosotnya harkat wanita Indonesia, yang turun menjadi seperti wanita- wanita di Arab Saudi, yang tidak punya hak suara atau hak pilih, tidak boleh mengemudi kendaraan, dan harus memakai gamis serbahitam dan bercadar walaupun di dalamnya dia memakai tank top atau bahkan hanya berbikini (wanita Arab berdandan hanya untuk pamer kepada sesama wanita atau suami). Memang sejak 30 tahunan yang lalu itu, sampai sekarang, makin marak perempuan Indonesia berjilbab. Tetapi, jilbab di Indonesia masih memungkinkan kita melihat kecantikan wanita Indonesia. Wajah tidak ditutup cadar dan full make up (termasuk bulu mata palsu) masih dapat kita saksikan. Selain itu, hijab pun bisa dimodel-modelkan, dengan teknik pemakaian atau pun pemilihan warna-warninya agar sesuai dengan busana, tas, sepatu, dan aksesoris lainnya. Kalau belum puas melihat di TV, bisa masuk ke butik busana muslim dan di sana semuanya ada dan serbacantik. Wanita-wanita Indonesia pemakai hijab pun tidak serta-merta terdegradasi harkatnya. Anak saya (yang suka pinjam jarum pentol itu) masih associate director di tempat kerjanya dan masih berenang dengan baju renang khusus muslimah yang menutup aurat dari ujung ke ujung. Bahkan sekarang Polwan, yang sudah diizinkan berjilbab, bisa mengatur lalu lintas dengan full jilbab. Alhamdullilah, naluri budaya lokal masih kuat dan melawan dengan cerdik tekanan arabisasi dalam tradisi berbusana. *** Beberapa hari yang lalu, dalam rangka Munas NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Presiden Jokowi melontarkan istilah ”Islam Nusantara”. Maksudnya adalah Islam di Indonesia punya model sendiri yang tidak usah meniru-niru Arab. Islam Nusantara adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia yang bersifat toleran, moderat, damai, inklusif, dan membaur dengan budaya lokal. Istilah ini langsung menimbulkan protes. Alasannya adalah di Alquran tidak ada kata “Islam Nusantara”. Islam Nusantara juga tidak diperlukan karena Islam ya Islam, tidak perlu dikasih embel-embel apa pun, karena Islam itu universal. Pertanyaannya sekarang, adakah Islam universal itu? Walaupun agama datang dari langit, dari Allah, tetapi ketika dipraktikkan oleh manusia di bumi, mau atau tidak mesti berangkulan dengan budaya. Karena itulah, di Sumatera Barat ada Islam yang matriakhal, di Jawa ada Islam yang percaya pada Nyai Loro Kidul, menara Masjid Kudus berbentuk seperti pura Hindu, pancuran tempat umat berwudu berornamen kepala arca (dan tidak satu pun umat yang kemudian memuja arca itu), dan lainnya. Tetapi, Islam Nusantara memang tidak bisa dipaksakan di Afghanistan atau Pakistan atau Arab Saudi
  • 11. 11 sendiri. Tetapi juga tidak bisa Islamnya Arab dipaksakan di Indonesia. Indonesia mengenal Islam melalui jalur damai dengan gaya dakwah Wali Songo, padahal universalisasi atau arabisasi Islam selalu dengan kekerasan (sweeping, teror, dan sebagainya). Karena itulah, Islam Nusantara (termasuk mengaji dengan langgam Jawa) secara refleks menolak universalisasi Islam melalui caranya artis LCB mempromosikan teknik berhijab- minimum jarum pentol. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 12. 12 Islam Nusantara II Koran SINDO 28 Juni 2015 Semasa SMA saya paling payah dalam ilmu kimia. Meski begitu saya masih ingat bahwa O2 disebut oksigen atau zat asam. Tapi kalau sudah ditambah dengan hidrogen (zat air) menjadi H2O, namanya sudah berubah menjadi air dan kalau ditambah lagi dengan sulfur menjadi H2S04, namanya berubah lagi menjadi asam sulfat walaupun dalam kedua senyawa itu masih ada unsur oksigen. Hakikat dari suatu zat akan langsung hilang begitu dicampur dengan unsur lain. Jadi kalau oksigen ya oksigenlah. Tidak ada oksigen Arab, oksigen Pakistan, atau oksigen Nusantara. Tapi itu dalam ilmu kimia, satu cabang dari ilmu fisika. Coba sekarang kita beralih ke luar ilmu kimia. Kita semua tahu “kursi”, kan? Kursi di mana-mana juga kursi, yaitu suatu benda yang dibuat manusia untuk dijadikan tempat duduk. Mau di Mekkah atau di Cibinong, yang namanya kursi ya kursi. Tapi coba sekarang tambahkan unsur lain, misalnya “kayu”, kursi kita menjadi kursi kayu, ada sifat kayunya tetapi masih tetap kursi, kan? Atau boleh kita tambah lagi dengan “hijau”, menjadi “kursi kayu hijau”, tetapi sifat kekursiannya masih melekat. Atau boleh ditambah terus sehingga menjadi misalnya “kursi kayu hijau saya di sudut kamar tidur mama”. Banyak sekali tambahan unsurnya, tetapi tetap tidak kehilangan sifat kekursiannya. Itulah yang ada dalam ilmu metafisika atau filsafat. Filsafat adalah ilmu tentang berpikir. Dalam berpikir, manusia menggunakan ide yang diwujudkan dalam kata atau istilah. Ada ide-ide yang bersifat universal (berlaku di mana saja, kapan saja, di seluruh dunia), ada yang bersifat partikular (khusus, bagian dari universal), bahkan ada yang singular (individual). “Kursi”, misalnya, adalah ide universal, sedangkan “kursi hijau” adalah ide partikular (khusus kursi yang berwarna hijau, tidak termasuk yang warna lain), sedangkan “kursi hijau saya” adalah ide singular, hanya ada satu-satunya, yaitu kursi hijau yang itu, yang ada di kamar mama. Tapi khususnya dalam ilmu kimia tidak ada universal, partikular, singular, karena hal-hal yang lebih khusus (partikular) itu senantiasa identik dengan yang umum (universal). Begitu juga dalam matematika, angka “2” berarti dua, kapan saja, di mana saja, apakah dia umum maupun khusus. Ketika ditambah dengan angka lain, hakikatnya langsung berubah, misalnya 22, 2.000, 2.000.000 (semua berubah hakikat, bukan lagi dua). ***
  • 13. 13 Begitu juga dengan ide tentang Islam Nusantara. Beberapa waktu lalu, sebelum puasa, di depan Munas NU diMasjid Istiqlal, Presiden Jokowi meluncurkan istilah baru itu. Maksudnya tentu saja adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia, yang sejuk, damai, inklusif, moderat, dan toleran. Istilah ini langsung jadi kontroversial. Mereka yang tidak setuju melayangkan protes kepada Presiden Jokowi. Argumentasi mereka, Islam ya Islam, tidak perlu ditambah embel-embel, karena rujukannya sudah jelas: Alquran dan hadis. Yang keluar dari itu malah bisa menjadi aliran sesat. Tapi argumentasi seperti itu salah karena agama bukan tergolong ilmu kimia atau matematika. Dalam ilmu kimia, memang benar tidak ada O2 lain dan dalam matematika tidak ada angka 2 lain, selain yang sudah dimaksud dari sono-nya karena memang tidak ada partikular atau singular yang berbeda dari universalnya. Namun agama bukan kimia dan juga bukan matematika. Analogi agama (termasuk Islam) yang lebih tepat adalah “kursi” bukan “oksigen”. Islam yang universal memang ada, yaitu hakikat yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad SAW. Tapi ketika Islam itu dipraktikkan oleh manusia biasa, langsung terjadi Islam yang partikular. Masalahnya, dalam mempraktikkan agama, manusia selalu mengandalkan pikirannya (satu- satunya alat dalam sistem psiko-fisik manusia untuk menganalisis masalah), maka terjadilah penafsiran. Ketika masuk unsur tafsir, masuklah faktor kebiasaan, adat, kesenangan, kepentingan kelompok, kebudayaan, dan 1.001 faktor lain yang memecah-mecah keuniversalan Islam menjadi partikular, bahkan individual atau singular. Karena itulah ada Islam Sunni, Islam Syiah. Islam mazhab Syafii, Islam mazhab Hambali, Islam Afghanistan, Islam Arab Saudi, dan Islam Nusantara. Di Nusantara ada Islam Minangkabau yang matriarkat, Islam Tapanuli yang beradat persis sama dengan Kristen Batak, Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Loro Kidul, dan bertradisi selamatan seperti orang Hindu, Islam Kudus yang masjidnya bermenara seperti kuil Hindu dan tempat wudunya berornamen arca Hindu, dan masih banyak lagi. Semua itu tidak kehilangan hakikat keislamannya walaupun tidak sama dengan Islam yang di Arab. *** Pada suatu waktu di masa lalu, kebetulan saya dan dua orang Indonesia lain pernah salat Idul Fitri di sebuah masjid di Birmingham, Inggris. Masjid itu adalah masjid komunitas Pakistan setempat. Banyak penganan dijajakan (namanya juga Lebaran), tetapi kami tidak tertarik karena penganan-penganan itu terlalu manis buat lidah kami. Maka kami pun langsung masuk dan duduk mengambil tempat di dalam masjid dan mendengarkan khotbah dalam bahasa Urdu yang tidak kami pahami. Untunglah ketika takbir
  • 14. 14 dan salat dimulai, ayat Alfatihah yang dibacakan akrab di telinga kami sehingga kami pun merasa khusuk seperti di rumah sendiri, sampai tibalah saatnya di pengujung surat Alfatihah imam membaca ... “waladhdhoollin”..., maka dengan semangat ‘45 kami bertiga yang berislam Nusantara segera menyahut keras-keras beramai-ramai ... “amiiinnn“. Tapi ternyata hanya kami bertiga yang mengamini secara penuh semangat. Jamaah yang lain diam saja. Di situlah kami bertiga menyadari bahwa Islam Nusantara ya hanya berlaku di Indonesia dan tentunya Islam yang non-Nusantara tidak bisa dimasukkan ke Indonesia, apalagi dengan cara paksaan dan kekerasan. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 15. 15 Defisit Kepercayaan Koran SINDO 3 Juli 2015 Berbagai penelitian sosial menunjukkan masyarakat yang tingkat amanah dan akuntabilitasnya rendah, yang biasa disebut sebagai the low trust society, akan sulit bersaing dalam persaingan dunia karena produk yang dihasilkan kualitasnya rendah, tetapi biayanya tinggi. Ini bisa dilihat baik dalam bidang manufaktur, industri, pendidikan, jasa maupun bidang lain. Jalur birokrasi yang panjang, ditambah lagi adanya pungutan biaya siluman, semua itu akan menambah mahal ongkos produksi sehingga hasil akhirnya mahal, tidak kompetitif di pasar. Kekhawatiran ini muncul ketika kita sebentar lagi memasuki pasar bebas. Di Jepang, misalnya, yang birokrasinya dikenal bersih dan akuntabel, beberapa perusahaan industri mengalami penurunan karena disalip Korea Selatan. Salah satu sebabnya adalah mata rantai birokrasi yang dinilai lebih panjang dan memerlukan waktu lebih lama dalam mengambil keputusan dibandingkan Korea Selatan sebagai pesaingnya. Jadi, Jepang yang dikenal bangsa pekerja keras, teliti, dan menjaga kualitas pun mesti menambahkan satu faktor lagi, yaitu cepat, agar kompetitif dalam mengawal dan mengembangkan industrinya. Kita sedih dan malu kalau mengamati bagaimana budaya birokrasi yang berkembang di Indonesia, yang lambat dan mahal. Selalu saja ada tambahan biaya tak terduga, baik waktu, uang maupun emosi. Akibatnya melahirkan realitas pahit yang paradoksal. Banyak rakyat miskin yang hidup di negeri yang kaya sumber daya alam. Bonus demografi yang mestinya menjadi sumber kekuatan untuk memajukan kemakmuran rakyat jangan-jangan berbalik menjadi beban negara. Kenaikan anggaran pendidikan yang mestinya memiliki korelasi dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat malah memberikan harapan yang masih jauh dari kenyataan. Sebagaimana diulas Francis Fukuyama dalam bukunya Trust (1995), kemajuan teknologi informatika telah membuat struktur organisasi semakin linier, tak lagi hierarkis. Dalam konteks politik di Indonesia, hal ini seiring dengan keputusan politik desentralisasi. Hanya saja jika tidak dibarengi penerapan GCG, pemerintahan yang bersih dan efektif, yang terjadi justru pemerataan korupsi. Fukuyama mengingatkan, salah satu prinsip yang tidak kenal kompromi adalah penerapan etika agar tercipta pemerintahan yang tepercaya dan dapat dipercaya. Kita mesti belajar dari negara-negara baru yang dulunya di bawah cengkeraman Uni Soviet. Korupsi menyebar ke
  • 16. 16 mana-mana, tidak mudah menemukan pemimpin berwibawa yang sanggup menciptakan pemerintahan efektif. Dalam era transisi, bermunculan penumpang gelap yang hanya memikirkan kepentingan pribadi. Transisi dan Kompromi Secara historis perjalanan negara ini relatif masih muda. Mengelola masyarakat dan kelompok sosial yang sedemikian besar dan majemuk sungguh tidak mudah. Semangat dan identitas keindonesiaan belum solid. Kesadaran dan disiplin kewarganegaraan (citizenship) belum mapan. Dalam waktu yang sama ikatan kedaerahan kian longgar. Dalam situasi transisional yang cair ini, jika pemerintah tidak efektif dan berwibawa, yang mengemuka bangsa ini bagaikan masyarakat kerumunan yang gaduh tidak jelas arahnya. Panggung politik diramaikan oleh persaingan dan pertunjukan tokoh-tokoh parpol dalam memperebutkan kekuasaan yang dikondisikan oleh jargon demokrasi dan reformasi. Dari segi instrumen hukum dan undang-undang, negara ini cukup lengkap. Bahkan dilengkapi oleh sekian puluh komisioner, yang paling ikonik tentunya KPK. Meski begitu, mengingat tradisi bernegara belum cukup mengakar, sekian banyak instrumen hukum yang ada tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Mengutip sinyalemen almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), jika dilihat ke belakang, setiap tampil generasi baru, yaitu antara 20 hingga 25 tahun, selalu terjadi gejolak transisi nasional, tetapi tidak selalu dikelola dengan cerdas dan terencana. Jika asumsi itu benar, misalnya kebangkitan politik pada 1908, 1928, 1945, 1965, maka pada dekade 1980-an sesungguhnya bangsa ini panen generasi baru yang tamat universitas, tetapi rezim Soeharto waktu itu kurang menyadarinya. Mereka anak-anak bangsa yang mengenal teori berdemokrasi dan paham makna akuntabilitas publik yang mesti didengarkan aspirasinya. Karena salah dan lambat membaca suara zaman, tahun 1998 Presiden Soeharto dipaksa turun oleh anak-anak sendiri yang mengenyam pendidikan di era Orde Baru. Baru tahun 2004 diselenggarakan pemilu secara langsung dan menghasilkan SBY sebagai presiden dengan UUD baru yang membatasi masa kepresidenan paling lama dua kali. Jadi, secara textbook demokrasi, baru SBY merupakan presiden pertama yang naik dan turun sesuai dengan kaidah pemilu setiap lima tahun. Dengan cerita singkat ini saya ingin mengingatkan, kita baru mulai membangun tradisi baru tentang akuntabilitas publik. Jika seorang presiden, gubernur, bupati, dan anggota DPR tidak performed, mestinya publik akan menghukumnya untuk tidak memilih kembali pada periode berikutnya. Prestasi dan warisan dari gerakan reformasi yang mesti kita apresiasi adalah iklim kebebasan pers. Ini merupakan modal sosial bagi gerakan akuntabilitas publik. Rakyat memiliki kebebasan dan keberanian berbicara serta mengkritik pemerintah, suatu situasi yang tidak
  • 17. 17 ditemukan semasa Orde Lama dan Orde Baru. Masalahnya adalah, meski kita bebas mengkritik, tiba-tiba kita dihadapkan kenyataan menjamurnya tindakan korupsi baik di pusat maupun daerah yang terjadi hampir di semua lini birokrasi. Suara dan gerakan anti-korupsi setiap hari kita dengar, bersamaan dengan berita temuan tindakan korupsi. Kita belum menemukan formula yang jitu bagaimana mengatasi proses pembusukan yang terjadi dalam tubuh birokrasi maupun politik. Gerakan anti-korupsi untuk mewujudkan akuntabilitas publik sering kali memperoleh hambatan justru karena pihak- pihak yang sering jadi korban tidak mau dan tidak berani melaporkan kepada media massa maupun instansi berwenang. Lebih repot lagi ketika terjadi sengketa yang berakar pada korupsi, penyelesaiannya dengan jalan kompromi antaraktor yang mestinya konsisten menegakkan hukum dan pemerintahan bersih. Rasa malu bagi koruptor semakin tipis. Mereka membuat kalkulasi durasi waktu berapa lama harus menjalani tahanan dan jumlah tabungan hasil korupsinya ketika masa tahanan sudah berakhir. Dengan demikian yang namanya proses pengadilan sering kali tidak luput dari proses tawar-menawar yang mengarah pada jual beli pasal. Konsep harga diri yang mestinya didasarkan pada integritas berubah artinya menjadi berapa juta rupiah harga diri penegak hukum. Tragis dan ironis. Yang mengemuka bukannya akuntabilitas publik, melainkan pengkhianatan publik. Akuntabilitas Administrasi dan Moral Kita sangat merindukan sebuah pemerintahan yang efektif, bersih, dan berwibawa sehingga sanggup menggerakkan dan memberdayakan rakyatnya. Sebuah pemerintahan yang bukan untuk ditakuti, tetapi yang menginspirasi dan memotivasi warganya untuk bangkit. Sebuah pemerintahan yang menampilkan sosok-sosok role model bagi anak-anak bangsa mengingat saat ini masyarakat sangat haus akan sebuah kemenangan dan kebanggaan sebagai anak bangsa yang besar ini. Peran ini hanya bisa dilakukan jika terjalin hubungan saling percaya (trust) antara rakyat dan pemerintah. Sebuah kepercayaan akan muncul jika seseorang diyakini memiliki kompetensi, integritas, visi dan mimpi besar untuk membawa perubahan ke arah keunggulan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang diharapkan rakyat terhadap pemerintah bukan sekadar menyajikan pertanggungjawaban berupa akuntabilitas administratif dalam hal penggunaan anggaran negara. Pemberantasan korupsi itu hanyalah prasyarat bagi kemajuan sebuah bangsa. Sekadar baik dan jujur tidaklah cukup, kita juga memerlukan akuntabilitas intelektual dan kompetensi dari penyelenggara negara. Persaingan antarbangsa tidak lagi mengandalkan seberapa kaya sumber daya alam suatu negara, melainkan mencakup pula apa yang sering disebut sebagai intellectual capital, moral capital, dan social capital. Bangsa ini sangat kaya dengan aset budaya dan pengalaman panjang meraih kemerdekaan.
  • 18. 18 Bahkan juga berhasil melakukan ijtihad politik menjaga pluralisme agama, bahasa, dan budaya. Tapi, lagi-lagi, semua itu belum dikapitalisasi secara optimal bagi kemajuan dan kemakmuran warganya. Kita rindu untuk melihat bangsa dan negara ini berdiri tegak dengan percaya diri, bermartabat, dan disegani dalam pergaulan dunia. Kita mendambakan terealisasinya mimpi dan cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat Indonesia yang cerdas, mampu melaksanakan nilai kebertuhanan yang memunculkan sikap kemanusiaan untuk keadilan dan kesejahteraan bangsa. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 19. 19 Lie Detector Koran SINDO 5 Juli 2015 Salah satu isu yang cukup menarik dalam kasus terbunuhnya Engeline, bocah umur 8 tahun, di Bali adalah digunakannya lie detector oleh polisi untuk menguji apakah tersangka jujur atau bohong dalam memberikan keterangan. Alat pendeteksi kebohongan, atau alat tes kejujuran mulai digunakan pada awal abad ke-20. Prinsip yang digunakan adalah teori psikologi yang paling dasar, yang kita alami sehari-hari, yaitu bahwa antara badan dan jiwa ada hubungan yang sangat erat, khususnya dengan sistem syaraf otonom (syaraf yang tidak dikendalikan oleh otak, melainkan berlangsung secara otomatis). Seorang gadis yang dilamar kekasihnya mungkin hanya tersipu, tetapi wajahnya memerah jambu, atau orang yang ketakutan dikejar anjing bisa terkencing-kencing. Demikian pula orang yang berbohong tentu akan menunjukkan reaksi tubuh yang berbeda dari ketika ia berbicara jujur. Orang yang berbohong, misalnya, jantungnya berdebar lebih keras, nafasnya lebih cepat, pupil matanya lebih besar, suaranya bergetar dsb. Karena itu, pada tahun 1921 John August Larson, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Berkeley (tidak ada hubungannya dengan Universitas “Berkley”, Michigan, yang meluluskan doktor dan profesor aspal di Indonesia) menciptakan alat yang dinamakan poligraph (berasal dari kata “poly” yang artinya “lebih dari satu” dan grafik atau “gambar”), yang ditempelkan di bagian-bagian tubuh tertentu dan bisa mencetak grafik berbagai perubahan faal tubuh (untuk pasien jantung, tentu pernah mengalami dipasangi alat yang bernama EKG atau elektro kardiogram, nah, kurang-lebih seperti itulah alatnya). Sesudah dipasangi alat itu, kemudian kepada tersangka diajukan serangkaian pertanyaan, yang terkait maupun tidak terkait dengan kasus. Ketika terdakwa menjawab dengan bohong, maka grafik yang tercetak menunjukkan lonjakan-lonjakan tertentu sehingga pemeriksa bisa membedakan mana jawaban yang benar dan mana yang tidak jujur. Mudah sekali bukan? Karena itulah di Amerika Serikat alat ini cukup populer. Selain kepolisian, juga FBI, CIA, imigrasi, penjaga perbatasan, bea-cukai, kementerian pertahanan, dll. sering menggunakan alat ini. Berbagai penelitian pun diadakan untuk menunjang kesahihan alat ini. Bahkan para operator poligraf ini di negeri Paman Sam itu sudah mempunyai organisasi profesional yang mereka
  • 20. 20 namakan the American Polygraph Association. *** Di sisi lain, hasil alat tes kebohongan (atau kejujuran?) ini sampai hari ini belum diterima oleh pengadilan Amerika sebagai alat bukti. Begitu juga di pengadilan-pengadilan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sepanjang yang saya ketahui, hanya pengadilan di Jepang yang pernah menggunakan poligraf sebagai salah satu alat bukti dalam sidangnya. Alasannya juga sederhana. Memang benar kondisi jiwa berhubungan dan berpengaruh pada sistem syaraf otonom, tetapi perubahan faal tubuh bukan alat yang bisa membedakan antarkondisi jiwa yang berbeda- beda. Wajah yang memerah pada gadis karena tersipu dilamar kekasih sama merahnya dengan wajah siswa SMA yang selalu top ranking di kelas, yang tiba-tiba ketahuan mencontek. Juga bukan hanya orang ketakutan yang terkencing-kencing. Pelawak Nunung sering tertawa sendiri di panggung sampai terkencing-kencing sehingga ia terpaksa lari keluar panggung dulu untuk menyelesaikan hajatnya. Maka, di Amerika pun sudah lama diadakan penelitian yang hasilnya menolak poligraf. Dikatakan bahwa poligraf memang bisa membedakan kondisi kejiwaan, tetapi akurasinya sangat rendah. Kurang dari 95% sebagaimana dipersyaratkan untuk suatu penelitian ilmiah. Bahkan, untuk tes kebohongan dibutuhkan akurasi atau derajat kepercayaan 100%. Bayangkan, kalau polisi mau menjaring seorang teroris dari seratus tersangka, maka kemungkinan teroris itu akan lolos kalau derajat kepercayaan alat itu tidak 100%. Demikian juga seseorang bisa kena hukuman mati, meskipun tidak bersalah. Karena itu, pada tahun 1983 sebuah komisi dari Kongres AS dibentuk untuk mengetes kesahihan alat tes kebohongan ini. Sebagai hasilnya mereka menyatakan alat itu tidak sahih (tidak valid). Pernyataan ini disusul dengan publikasi oleh APA (Asosiasi Psikologi Amerika) dalam majalah mereka, Monitor on Psychology, yang menyimpulkan bahwa hasil poligraf diragukan. Maka status ilmu poligrafi dalam psikologi digolongkan ke dalam pseudo science (ilmu semu) sama dengan palmistri (ilmu tentang rajah tangan), astrologi atau tarrot. Kalaupun masih tetap digunakan oleh aparat-aparat penegak hukum itu adalah karena alat ini bisa digunakan untuk menakut-nakuti tersangka, sehingga mereka takut bohongnya ketahuan, sehingga terpaksa bicara jujur. Jadi bukan karena kecanggihan alat itu sendiri, namun karena perang urat syaraf (psywar) saja. Tetapi sekarang bagaimana kalau alat poligraf ini digunakan di luar kepolisian? Sekarang sudah ada poligraf berukuran mini, sebesar gadget. Kalau ini dipakai oleh orang tua pada anaknya yang sering berbohong atau istri pada suami yang dicurigainya, akan jadi baikkah atau malah membuat runyam hubungan yang tadinya harmonis?
  • 21. 21 Dalam psikologi dikenal paradigma bahwa lebih baik sebuah hubungan didasari oleh kepercayaan daripada kecurigaan (karena itu cukup dengan cinta kasih, tidak perlu poligraf), sementara jika berhubungan dengan penjahat justru jangan terlalu percaya. Di situlah kadang kita perlu alat tes kebohongan, walaupun hanya sebagai psywar. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 22. 22 Minal Aidin Walfaizin Koran SINDO 16 Juli 2015 Dari zaman saya bersekolah sampai hari ini, ucapan minal aidin walfaizin adalah ucapan yang khas untuk Lebaran. Saya kira bukan hanya di Jawa Tengah, tempat saya dulu bersekolah sampai kelas 1 SMA, tetapi juga di seluruh Indonesia karena kalau kami (saya dan keluarga) berkirim atau menerima kartu Lebaran, selain ada gambar-gambar masjid, ketupat dan/atau orang-orang bersalaman, ada kaligrafi dalam huruf Latin yang bunyinya minal aidin walfaizin. Saya tidak tahu arti yang sebenarnya dari kata-kata yang konon adalah bahasa Arab itu. Meskipun demikian, menurut para ustaz yang lebih tahu, arti kata-kata itu jika dirangkai dengan kalimat asli selengkapnya bermakna doa semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang beruntung. Tapi kata-kata itu, dalam tradisi Indonesia, selalu bersambung dengan sebuah kalimat lain sehingga membentuk pantun sebagai berikut ”minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir batin”. Karena itu saya selalu mengartikan kalimat minal aidin walfaizin sebagai mohon maaf lahir batin. Namanya juga Lebaran, yaitu hari bermaaf- maafan. Tapi beberapa belas atau puluh tahun yang terakhir ini, secara perlahan tapi pasti kata-kata minal aidin walfaizin digeser oleh kalimat Arab yang lain, yang konon asli diajarkan oleh Rasulullah, yaitu taqabbalallahu minna waminkum, yang artinya ”semoga Allah menerima amalan aku dan kamu”, jadi juga tidak berarti saling memaafkan. Dan memang benar, di Arab sana, Idul Fitri memang tidak ada kaitannya dengan hari saling memaafkan. Bahkan mungkin dalam budaya Arab (bukan dalam agama Islam, loh), tidak ada kebiasaan saling memaafkan sama sekali. Karena itulah Timur Tengah tidak pernah lepas dari konflik dan perang. Lain dengan Indonesia yang masyarakatnya pada dasarnya memang pemaaf sehingga bangsa Indonesia yang sangat multietnik, multibahasa, dan multiagama bisa hidup rukun, sementara di Arab yang monoetnik dan monobahasa, walaupun berbeda-beda negara, tidak ada saling memaafkan untuk mengantarkan mereka pada situasi perdamaian. *** Tulisan saya kali ini tidak hendak membahas perbedaan makna antara minal aidin dan taqabbalallahu minna. Saya justru ingin membahas tradisi Lebaran (mungkin dari kata
  • 23. 23 ”lebur”, yaitu meleburkan kesalahan masa lalu) itu sendiri yang intinya adalah saling bermaafan. Memaafkan, memberi atau meminta maaf sering dianggap barang gampang. Pokoknya mau duduk bersama, saling mengakui kesalahan, ikhlas dan islah, maka selesai. Padahal kenyataannya jauh dari itu. Konflik sektarian di Ambon dan Maluku akhirnya selesai setelah empat tahun dan ribuan korban berjatuhan dari pihak Islam maupun Kristen. Tapi di Kalimantan Barat, sampai hari ini (sudah 15 tahun), orang Madura belum berani masuk ke bekas kampung dan kebun mereka di wilayah Dayak atau Melayu karena sudah banyak yang coba-coba dan pulang hanya nama. Pada tingkat antarindividu, ada istri-istri yang tidak mau memaafkan suaminya yang selingkuh walaupun suami sudah mengakui kesalahan dan berkali-kali minta maaf. Kata sang istri setiap kali melihat wajah suaminya, ia terbayang wajah selingkuhan suaminya sehingga ia merasa muak. Bahkan sang istri selalu menghindari mal tempat ia memergoki suaminya sedang berduaan dengan selingkuhannya karena setiap kali lewat mal itu, dia juga muak, bahkan mau muntah. Padahal mal itu salah apa? Sebaliknya pelaku-pelaku kerusuhan Tanjung Priok tahun 1984, baik pihak tokoh dan umat Islam setempat maupun para mantan pimpinan tentara pada waktu itu bisa islah dan menuntaskan konflik dengan damai, walaupun prosesnya bertahun-tahun lamanya. Demikian juga putra-putri pahlawan revolusi dan anak-anak tokoh yang pernah dianggap sebagai pelaku G-30-S PKI tahun 1965 sekarang punya forum komunikasi tempat mereka saling berbagi perasaan dan pikiran. Dan jangan lupa, tokoh yang paling fenomenal dalam soal maaf-memaafkan ini adalah almarhum Nelson Mandela, yang selama 25 tahun dipenjara dan disiksa oleh penguasa- penguasa negara Afrika Selatan yang rasis itu, tetapi justru mengundang kepala penjara (kulit putih) yang dulu menyiksanya untuk hadir di upacara pelantikannya sebagai presiden dan mengumumkan kepada khalayak bahwa ia sudah memaafkan sang sipir penjara (padahal hari itu bukan hari Lebaran) dan sejak itu, diskriminasi di Afrika Selatan lenyap seketika. Jadi saling memaafkan adalah soal psikologis. Dia tidak bisa diselesaikan pada tingkat rasio seperti membuat Tim Pencari Fakta (setiap temuan fakta bisa diingkari lagi oleh salah satu pihak) atau menandatangani prasasti perdamaian atau tanda tangan kontrak damai dan sebagainya. Di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat, misalnya, masih berdiri tegak tugu perdamaian antara suku Dayak dan Madura, tetapi permusuhan terus saja berlangsung. Sebaliknya, kalau hati sedang senang dan pikiran sedang positif, lebih mudah seseorang memberi maaf atau minta maaf. Fakta-fakta bukannya dilupakan karena memang sulit melupakan peristiwa traumatis, tetapi pemaafan tetap terjadi. Forgive although not forget. Nah, di sinilah hebatnya orang Indonesia. Idul Fitri yang aslinya hanya penutup ibadah puasa, dan karena itu juga ditutup
  • 24. 24 dengan doa mohon rahmat puasa, dijadikan Lebaran yang penuh suasana bermaafan. Maka tidak ada lagi gengsi-gengsian (yang biasanya menjadi kendala utama pemaafan) karena semua orang bermaafan. Orang-orang yang paling heboh bermusuhan pun bisa dengan enteng saling memaafkan karena semua orang memang saling memaafkan. Karena itu, menghilangkan minal aidin walfaizin dalam artian saling maaf lahir batin dan mengembalikannya ke ajaran Islam murni tanpa tradisi permaafan sebenarnya merugikan syiar Islam itu sendiri karena Islam mengamanatkan perdamaian dan kedamaian, rahmatan lil alamin, yang tentu saja intinya adalah saling memaafkan. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 25. 25 Jasmerah Bung Karno di Alquran Suci Koran SINDO 21 Juli 2015 ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”. Itulah salah satu inti pesan yang disampaikan oleh Bung Karno pada pidato di depan MPRS, 17 Agustus 1966, yang kemudian dikenal sebagai pidato Jasmerah. Menurut AH Nasution, Jasmerah merupakan akronim (singkatan) yang dibuat oleh Kesatuan Aksi, sedangkan Bung Kano sendiri memberi judul agak panjang atas pidatonya tersebut yakni ”Karno Mempertahankan Garis Politiknya yang Berlaku, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”. Pidato Jasmerah merupakan pidato resmi terakhir Bung Karno sebagai presiden menyusul pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Soeharto pasca-penerbitan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Setelah itu Bung Karno tidak pernah lagi menyampaikan pidato sebagai presiden. Bung Karno memang sangat pandai menyedot perhatian dan menyihir publik dengan pidato- pidatonya yang memukau. Dia orator yang, rasanya, belum ada tandingannya sampai sekarang. Selalu tampil gagah dan berpidato dengan gaya dan intonasi yang sangat bagus, Bung Karno juga sangat pandai menyusun kalimat dan melemparkan ungkapan-ungkapan yang sangat menarik seperti pidato Jasmerah itu. Saat berpidato Jasmerah itu Bung Karno bukan hanya menjelaskan sikap politiknya, melainkan juga mengajari kita tentang filosofi sejarah. Mengenai sikap politik Bung Karno mengatakan, Supersemar telah dibelokkan menjadi semacam pemindahan kekuasaan. Kata Bung Karno, sejatinya, Supersemar adalah perintah kepada Jenderal Soeharto untuk melakukan pengamanan atas situasi buruk menyusul Peristiwa G 30 S (Gerakan 30 September) yang oleh Bung Karno disebut Gestok (Gerakan 1 Oktober). Supersemar itu dibelokkan menjadi surat penyerahan kekuasaan pemerintahan atau transfer of power, sesuatu yang menurut Bung Karno jauh dari maksud yang sebenarnya. Yang tak kalah menarik dari pidato Bung Karno itu adalah filosofi tentang bekerjanya hukum sejarah. Sang Proklamator mengajak bangsanya untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah karena sejarah adalah semacam kaca benggala tentang siapa kita, harus ke mana kita, dan apa akibat-akibat dari setiap langkah kita. Sejarah selalu bercerita tentang pengulangan-pengulangan pengalaman manusia sebagai hukum sejarah, ”Yang berbuat salah selalu menerima hukumannya, yang berlaku benar akan
  • 26. 26 mendapat ganjarannya.” Jangan lakukan kejahatan karena menurut sejarah, cepat atau lambat, pelakunya akan ditimpa nestapa; selalulah berusaha berlaku benar karena kebenaran itu akan menyelamatkan dan membahagiakan. Itulah pesan sejarah. Maka itu, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. *** Adalah menggetarkan, ternyata pidato Jasmerah Bung Karno sangat sejalan dengan banyak ayat Alquran yang mengingatkan manusia untuk selalu belajar dari sejarah. Saya mengira pandangan Bung Karno tentang pentingnya belajar pada sejarah itu diperoleh dari pengalamannya mendalami Islam. Kita tahu, selain ikut aktif di kegiatan-kegiatan Muhammadiyah, Bung Karno juga aktif berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam seperti tokoh Persatuan Islam (Persis) A Hassan, bahkan pernah berpolemik panjang dengan M Natsir tentang negara sekuler dan negara Islam dalam rangkaian polemik yang sangat menarik. Bung Karno mendalami Islam dengan intens. Jadi, sangat mungkin ajakan Bung Karno untuk belajar sejarah ikut diinspirasi oleh pergulatannya dalam mendalami Islam dari Alquran. Untuk apa kita belajar dari sejarah? Menurut Alquran belajar dari sejarah menjadi salah satu cara manusia untuk mengatur setiap langkahnya. Dari sejarah umat-umat terdahulu, setiap perbuatan manusia selalu ada akibat-akibatnya yang setimpal. Di dalam Alquran Surat Al- Hasyr Ayat 18, misalnya, Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan lihatlah sejarah masa lalumu untuk pelajaran bagi masa depanmu”. Di dalam Alquran, Allah juga bercerita tentang kematian Firaun sebagai ”bukti sejarah” yang menakjubkan. Saat menyeberangi Laut Merah untuk mengejar dan membunuh Nabi Musa, menurut sejarah, Firaun (Ramses II) dan rombongannya tenggelam dilumat oleh Laut Merah. Saat itulah Firaun yang sebelumnya mengaku sebagai Tuhan menjadi sadar bahwa dirinya hanyalah makhluk yang lemah. Dalam keadaan takut menjelang kematiannya, Firaun berdoa kepada Allah meminta diselamatkan dari kematian di Laut Merah. Seperti termuat dalam Alquran Surat Yunus Ayat 92 Allah pun berfirman: ”Hari ini Aku selamatkan badanmu (nunajjiika bibadanika), hai Firaun, agar menjadi bukti sejarah bagi orang-orang yang hidup setelahmu”. Jiwa Firaun pun melayang, mati dilumat ganasnya Laut Merah. Tetapi, Mahabenar dan Mahasuci Allah, ternyata ”badan” Firaun benar-benar selamat dan ditemukan orang dalam keadaan utuh, sekitar 4.400 tahun setelah kematiannya. Badan Firaun yang sudah dimumi ditemukan dalam timbunan tanah pada tahun 1817 oleh arkeolog Giovanni Battista Belzoni, di kompleks kuburan raja-raja, Wadi al Muluk. Badan itu benar-benar ditemukan sekitar 1.200 tahun setelah Alquran memberitakannya.
  • 27. 27 Pada tahun 1975 Maurice Bucaille meneliti kandungan kimia atas tubuh Firaun, Ramses II, itu yang meyakinkannya bahwa tubuh itu memang mati di laut. Benarlah firman Allah, ”badan Firaun” diselamatkan setelah jiwanya melayang. Sekarang badan itu disimpan di Museum Tahrir, Kairo. Benar pulalah firman Allah, kehidupan Firaun yang takabur sekarang menjadi bukti sejarah tentang akibat dari setiap perbuatan manusia. Di dalam kitab suci Alquran, Allah menyuruh kita untuk melihat sejarah manusia masa lalu sebagai pelajaran untuk langkah ke depan. ”Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah,” kata Bung Karno. Renungkan ini, mumpung Idul Fitri. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 28. 28 Fenomena Arousal dan Pilkada Serentak Koran SINDO 23 Juli 2015 Awal Desember 2015 kita bakal menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Soal tanggalnya belum ditetapkan. Bisa 2 Desember atau 9 Desember. Pilkada ini untuk memilih kepala daerah yang habis masa jabatannya pada Desember 2015 atau Januari- Juni 2016. Dengan memperhitungkan itu, pilkada serentak ini akan dilakukan di sembilan provinsi dan 260 kabupaten/kota. Artinya, masyarakat kita akan memilih sembilan gubernur baru dan 260 bupati atau wali kota baru. Persiapan untuk itu terus dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di media massa kita membaca ada upaya-upaya untuk menggagalkan pilkada serentak ini. Kabarnya, ini dilakukan oleh partai-partai politik yang mengalami perpecahan dan terjadi dualisme kepengurusan. Amunisi mereka untuk menggagalkan pilkada serentak adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan KPU yang dinilai wajar tanpa pengecualian. Sesuai audit BPK, ada 14 temuan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp34 miliar. Berdasarkan ini, sekelompok orang yang partainya ikut terpecah di DPR menjadikan temuan itu seakan-akan KPU tidak memiliki integritas untuk menyelenggarakan pilkada. Itu sebabnya mereka ingin pilkada serentak pada Desember 2015 ditunda. Tapi, agaknya tak banyak pihak yang mendukung gagasan kelompok anggota DPR tersebut. Ibarat anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Pilkada serentak sampai saat ini kelihatannya tetap bakal digelar pada Desember 2015. Nyali untuk Maju Jika benar, pilkada serentak itu tentu menjadi kabar gembira bagi rakyat. Sudah bukan rahasia lagi dengan ada pilkada, banyak uang akan mengalir ke daerah. Sebagian untuk membeli atribut kampanye, sebagian lainnya untuk membeli suara rakyat. Sayangnya, memang masih banyak rakyat kita yang suaranya bisa dibeli. Soal program, bagi mereka tak penting-penting amat. Elitenya pun suka melakukan pembenaran saja, bukan kebenaran. Mereka juga tidak sepenuhnya mengerti dengan janji-janji kampanye. Kita mulai sering menerima berita yang saling memutarbalikkan kebenaran. Yang benar dikatakan pencitraan, sedangkan yang ngawur merasa paling benar dan membuat rakyat bingung.
  • 29. 29 Jumlah uang yang beredar ini tidak sedikit. Menurut data Bank Indonesia, pada Pemilu 2014 jumlah uang yang beredar diperkirakan mencapai Rp6 triliun. Saya kira angka ini masih terlalu sedikit. Untuk periode pilkada di Sulawesi Utara selama 17 Juli sampai 3 Agustus 2010—terhitung sejak masa kampanye hingga pencoblosan suara—menurut perwakilan Bank Indonesia di Manado, jumlah uang yang beredar mencapai Rp1 triliun. Ini hanya untuk satu provinsi. Baiklah, kita tak usah terlalu mempersoalkan itu. Intinya, ada pilkada berarti ada uang yang mengalir ke daerah. Ini tentu positif bagi daerah yang bersangkutan. Tapi, selain masalah itu, saya sejatinya terus terkagum-kagum dengan mereka yang masih punya nyali untuk maju menjadi calon kepala daerah. Apa sebetulnya yang mereka harapkan? Perubahankah? Bukankah itu bunyi janji terbanyak? Alih-alih melakukan perubahan, sebenarnya hidup para kepala daerah saat ini justru dalam cengkeraman bahaya. Bahaya kriminalisasi, perubahan gaya hidup, penghancuran sumber daya alam, konflik, ancaman serangan terhadap keluarga, cyber attack, dan seterusnya. Saya kebetulan sedang melakukan kajian tentang leadership kepala daerah dan hasilnya memang tak jauh dari ancaman bahaya itu. Bayangkan, sebagian besar calon kepala daerah masih tidak jera melihat kolega-koleganya yang masuk bui tersangkut perkara korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, sampai 2013 saja sudah ada 290 kepala daerah, mulai dari gubernur, bupati atau wali kota, yang berstatus tersangka, terdakwa, sampai terpidana dalam kasus korupsi. Itu artinya lebih dari separuh kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Lalu, mengapa mereka tidak jera juga? Arousal Selama bertahun-tahun, Rumah Perubahan yang saya dirikan menjadi tempat pelatihan bagi aparat-aparat pemerintah di daerah yang ingin melakukan transformasi. Baik transformasi cara berpikir maupun berperilaku. Intinya, para aparat itu ingin mereka tetap sanggup mengimbangi perubahan lingkungannya yang terjadi begitu cepat. Bahkan semakin lama semakin cepat. Tapi, di luar itu selama bertahun-tahun pula Rumah Perubahan telah menjadi semacam tempat curhat, bagi para pelaku perubahan, termasuk kepala-kepala daerah, yang merasa dirinya dizalimi. Ada yang merasa ditelikung oleh bawahannya. Ada yang merasa dikhianati oleh partai politik pendukungnya. Belum lagi ancaman impeachment yang datang bertubi- tubi. Kemudian rakyatnya pun semakin cerewet. Mereka semakin banyak menurut dan sebagainya. Lalu, dengan kondisi semacam itu, apa menariknya menjadi seorang kepala daerah? Mengapa peminatnya ternyata juga tak kunjung berkurang?
  • 30. 30 Dalam dunia psikologi dikenal istilah “arousal”. Ini adalah semacam gejala psikologis yang ketika menerima ancaman risiko, seseorang justru begitu bergairah, tertarik, tertantang untuk terus maju. Padahal, dia tahu persis di depan ada bahaya yang menghadang. Pada tahap-tahap tertentu, manusia membutuhkan arousal. Ini semacam stress, tetapi punya dampak yang positif dan potensial untuk mendorong peningkatan kinerja. Jadi semacam good stress. Kalau dalam industri media, mungkin seperti para wartawannya baru mulai bisa menulis ketika deadline sudah dekat. Kemampuan setiap orang untuk menahan stress, termasuk good stress, jelas berbeda- beda. Bayangkanlah diri Anda sebagai seorang penjudi. Ada yang keringat dinginnya sudah mengucur deras meski baru bertaruh senilai Rp10 juta. Tapi, ada pula yang tetap santai meski nilai taruhannya sudah Rp10 miliar. Tapi, kalau tubuh terus dipacu, sementara daya tahannya tidak pernah ditingkatkan, stress yang kita alami bisa berakibat macam-macam. Mulai dari keletihan yang luar biasa, sampai pada akhirnya memicu timbulnya beragam penyakit. Orang awam seperti kita dapat merasakan gejala-gejala datangnya arousal. Misalnya, degup jantung yang semakin cepat, kulit berkeringat, tekanan darah meningkat, napas yang mulai terengah-engah. Gejala-gejala seperti ini biasanya muncul kalau kita menghadapi ancaman. Dalam situasi seperti itu, kadang situasi bisa berbalik. Sifat ganas kita bisa muncul untuk mengalahkan ancaman tadi. Fenomena semacam inilah yang mungkin dirasakan pula oleh para calon kepala daerah. Mereka merasakan bahwa di sana ada pertarungan. Gairah pun bangkit untuk memenangkan pertarungan. Sifat ganas pun muncul ketika kita menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan. Mereka yang di dalam, yang terlibat langsung dalam pertarungan, mungkin tidak merasakannya. Tapi, kita yang di luar dan menyaksikannya dengan jantung yang berdegup, merasakan ngeri yang luar biasa. Mau-maunya mereka bertarung habis-habisan, sampai berdarah-darah. Jadi, apa sebetulnya yang mereka harapkan? RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
  • 31. 31 Menyoal Kebebasan Koran SINDO 25 Juli 2015 Kebebasan (freedom) bisa dibedakan menjadi dua: bebas untuk melakukan apa saja (freedom to) yang biasa disebut positive freedom dan bebas dari intervensi orang lain (freedom from) yang disebut negative freedom. Para pemikir dan pejuang hak asasi manusia tentu menggarisbawahi dan membela kebebasan dalam pengertian yang kedua. Bahwa seseorang dikatakan bebas merdeka tatkala terbebas dari berbagai intervensi dan tekanan dari orang lain. Termasuk juga merdeka dan bebas dari kelaparan, penyakit, dan penderitaan hidup lainnya. Dengan demikian, bisa saja secara lahiriah-material seseorang terlihat kaya dengan jabatan tinggi, tetapi jiwanya belum tentu merdeka jika ternyata hidupnya di bawah tekanan dan penindasan pihak lain. Sebuah negara secara de jure bisa saja berstatus merdeka, tapi jika terlilit utang dan martabat bangsanya dihinakan, maka sesungguhnya jiwanya masih terjajah. Untuk menjelaskan apakah itu hakikat kemerdekaan dan keadilan sungguh tidak mudah. Namun, mereka yang hidupnya pernah tertindas dan terjajah serta pernah teraniaya atau terzalimi, pasti lebih paham makna kemerdekaan dan keadilan tanpa diberi penjelasan teoretis-filosofis panjang lebar. Teman-teman kita yang lagi mendekam di tahanan sangat paham dan merasakan betapa mahalnya sebuah kebebasan. Bagi seseorang atau masyarakat yang hidupnya terjajah dan tidak bahagia yang paling didambakan adalah negative freedom. Bebas dari berbagai tekanan dan penderitaan hidup. Mereka tidak ingin hidup bagaikan kawanan kambing yang merasa berada dalam ancaman dan kejaran serigala lapar. Setiap pribadi ingin hidup tenang, bebas, dan merdeka dari berbagai ancaman, ibarat anak- anak ayam yang leluasa bermain dalam suasana bebas dari incaran burung elang yang sangat sigap dan cepat memangsa mereka. Mengingat kemerdekaan merupakan tuntutan fitri manusia yang sangat fundamental, maka panggung sejarah selalu menampilkan perjuangan anak manusia untuk memperjuangkan hak kemerdekaannya dari kekuatan luar yang mengancam dan merenggutnya, baik dalam skala pribadi maupun kolektif berupa bangsa. Heroiknya perjuangan warga Palestina, misalnya, merupakan contoh nyata yang tak pernah lelah betapa pun sangat mahal ongkosnya, yaitu nyawa, untuk meraih kemerdekaan mereka
  • 32. 32 sebagai sebuah bangsa dan negara. Sekali lagi, karena hak dan dambaan hidup bebas merdeka merupakan dorongan fitri, maka siapa pun pasti akan melawan ketika hak kemerdekaannya dirampas. Kita sebagai bangsa juga pernah merasakan dan gigih merebut kembali martabat dan anugerah kemerdekaan yang diberikan Tuhan yang diinjak-injak oleh penjajah. Sekarang pun sesungguhnya kita masih terus bergulat mempertahankan kemerdekaan dari intervensi kekuatan asing yang hendak merampas kekayaan alam kita. Juga kemerdekaan dari berbagai impitan kebodohan dan kemiskinan. *** Lalu bagaimana dengan hak kemerdekaan untuk melakukan sesuatu yang kita mau? Di sinilah muncul wisdom, sebuah dalil abadi dan universal. Karena setiap pribadi memiliki hak hidup bebas merdeka, maka kebebasan seseorang untuk berbuat (freedom to) jangan sampai melanggar hak kebebasan seseorang dari gangguan orang lain (freedom from) . Dalam bahasa pesantren dikenal ungkapan: hurriyatul mar’i mahdudun bihurriyati ghoirihi. Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Orang punya hak untuk melakukan apa saja, tetapi jangan sampai tindakannya merampas hak orang lain untuk menikmati hak kemerdekaannya untuk hidup tenang. Yang juga menarik direnungkan adalah bagaimana realisasi kebebasan dalam dunia hewan dan manusia. Seekor serigala ditakdirkan sebagai pemakan daging segar semacam daging kijang atau kambing; sementara kijang punya hak hidup merdeka, yang pasti kalah jika melawan serigala. Jika manusia menghalangi serigala memangsa kijang, berarti merampas kebebasan serigala untuk menyantap rezekinya. Tetapi jika dibiarkan, berarti manusia berbuat aniaya terhadap kijang sebagai hewan yang lemah. Lalu bagaimana manusia menyikapinya? Dikisahkan suatu hari Sunan Kalijaga, satu dari sembilan wali penyebar Islam di Nusantara, selagi berjalan-jalan di sawah mendengar suara katak yang ditangkap ular untuk dimangsa. Sunan Kalijaga bingung harus bersikap apa. Ular punya kebebasan (freedom to) untuk memakan katak sebagai penyambung hidupnya, sementara katak juga punya hak untuk hidup merdeka terbebas dari serangan ular (freedom from). Maka Sunan Kalijaga berteriak ”huuu....” Ular dibuatnya kaget sehingga katak lepas dan lari. Ular kehilangan rezekinya, namun katak selamat dari mulut ular. Suatu hari katak tersebut bertemu Sunan dan menyampaikan terima kasih, karena telah diselamatkan dengan teriakan ”huuu...,” yang ketika ditanya maknanya menurut Sunan bisa saja berarti ”huculno...” atau lepaskan. Pada hari lain, Sunan berpapasan dengan ular dan protes mengapa teriak sehingga katak yang sudah di mulut jadi lepas. Rezekinya hilang. Sunan pun menjawab, ”huuu...” bisa juga diteruskan menjadi ”huntalen...” yang artinya telanlah atau makanlah. Demikianlah, Sunan Kalijaga berusaha keluar dari dilema antara freedom to dan freedom from.
  • 33. 33 Namun, sesungguhnya dalam dunia hewan kebebasan harimau untuk menikmati segarnya daging kijang tidak akan merusak keseimbangan ekologi dan memusnahkan populasi kijang karena hewan memakan sebatas kebutuhannya (need), bukan didorong oleh sikap rakus (greedy) sebagaimana yang banyak dilakukan manusia. Makanya yang merusak ekologi bukanlah hewan, melainkan manusia. *** Persoalan hak hidup bebas merdeka selalu menjadi isu dan problem serius ketika sekelompok orang atau negara yang merasa kuat dari segi ekonomi dan senjata lalu seenaknya memangsa bangsa yang lemah. Mereka lebih keji dan kejam dari hewan karena disertai sikap rakus, sombong, dan menindas yang lain, suatu tindakan yang tidak dilakukan oleh binatang. Binatang akan berhenti jika sudah kenyang, sedangkan manusia tak pernah merasa puas dan bisa sadis untuk menghabisi lawan-lawan politiknya atau pesaing bisnisnya. Mereka merasa bebas berbuat apa saja, tetapi sesungguhnya telah menghancurkan fondasi kebebasan karena telah menindas orang lain yang pada urutannya melahirkan kebencian dan permusuhan. Lebih dari itu, mereka tanpa sadar telah terjerat ke dalam penjara akibat diperbudak oleh nafsunya. Telah roboh istana kemerdekaannya sebagai moral being. Makhluk yang bermoral. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 34. 34 Trialog Koran SINDO 2 Agustus 2015 Beberapa waktu yang lalu, masih dalam suasana Lebaran, sebagian pemudik sudah balik ke Jakarta, tetapi belum pada kerja, masih nyantai-nyantai di rumah. Saya seperti biasa olahraga jalan kaki, pagi-pagi, keliling kompleks perumahan saya dan kampung-kampung di sekitar kompleks. Di salah satu kampung itu, tempat permukiman orang Betawi, sambil berjalan santai, saya mencuri dengar percakapan dua ibu muda. Ibu yang pertama (Ibu I) sedang membawa jalan-jalan anak balitanya (sekitar umur 2,5 tahun) dan melewati rumah ibu yang kedua (Ibu II), yang sedang santai berdiri di pintu pagar rumahnya, sambil menonton orang-orang yang lewat (tentunya termasuk saya). Ketika melihat Ibu I dengan balitanya, Ibu II menyapa si balita (bukan menyapa ibunya), ”Eeeeh.... baru pulang mudik, Neng?” ”Iya... bayu balik, kemayin, cing”, Ibu I menjawab dengan suara dicadelkan dan dikecilkan seakan suara anak bayi yang baru bisa ngomong. ”Seneng, dong. Ketemu sama siapa saja di Jawa, kamu Neng?” lanjut Ibu II (buat orang Betawi, Jakarta tidak terletak di Pulau Jawa, sehingga kalau mereka bilang Jawa, tidak termasuk Jakarta). ”Iya... cium tangan sama Embah, sama Pak De....”, jawab Ibu I lagi, yang bukan orang Betawi, tetap dengan suara dicadelkan dan dikecilkan. Sementara itu si balita sendiri berdiri diam, kepalanya mendongak ke atas untuk melihat muka Ibu II yang mungkin kelihatannya aneh buat si balita. Dia tidak sadar bahwa dirinya sedang dijadikan wayang golek, dengan ibunya sendiri sebagai dalang dan Ibu II yang aneh itu sebagai lawan bicaranya. Yang menarik dari pengalaman curi dengar saya di atas, adalah bahwa ketika Ibu I bertemu dengan Ibu II telah terjadi trialog, yaitu diskusi antartiga pihak yaitu Ibu I dan Ibu II dengan melibatkan balita, bukan dialog langsung antara Ibu I dan Ibu II. Walaupun si balita pasif, tidak ngomong apa-apa (ngomong saja belum bisa, kok), tetapi eksistensi atau keberadaannya diakui, bahkan diajak ngobrol oleh kedua ibu itu. Buat saya gejala ini menarik, justru karena sering kita jumpai di Indonesia, tetapi hampir tidak pernah saya lihat di luar negeri. Di luar sana, ketika dua orang dewasa bertemu dan salah satunya membawa balita, percakapan tetap akan berlangsung antara dua orang dewasa itu. Salah satu contoh yang saya masih ingat adalah ketika saya masih kuliah di Edinburgh, Skotlandia (Inggris). ***
  • 35. 35 Edinburgh adalah kota yang sangat cantik. Bagian tercantik dari kota itu adalah sebuah taman rumput yang sangat luaaaas... di tengah-tengah kota. Taman yang dinamakan the Princess Garden ini terletak di sebuah lembah, dikelilingi bukit di keempat sisinya. Di atas bukit di sisi selatan tegak menjulang Istana Edinburgh, tempat bersemayamnya Duke of Edinburgh, yaitu Pangeran Philips, suami Ratu Elizabeth II yang sekarang sedang bertakhta. Sepanjang bukit di sisi utara, terentang deretan toko-toko di sepanjang Princess Street, dan di ujung sebelah timur Princess Street adalah railway station yang sangat antik, mirip stasiun kereta api dalam novel Harry Potter, si ahli sihir. Nah, pada suatu pagi yang cerah di musim panas, saya duduk di salah satu bangku yang disediakan berderet-deret untuk pengunjung yang ingin memandangi taman dan Istana Edinburgh. Saya memegangi sejumlah buku yang mau saya baca untuk membuat tugas, tetapi mata saya lebih rajin memandangi pasangan-pasangan lawan jenis yang sedang asyik bergumul di atas rumput (yang kalau di Indonesia sudah disensor). Pada saat itu di bangku dekat saya duduk seorang ibu muda juga (saya namakan Mom I) yang sedang mengasuh anak bayinya yang terlena di dalam kereta bayinya (di Inggris dinamakan ”pram”) sambil membaca novel entah apa judulnya (waktu itu belum ada Harry Potter). Tidak lama datang seorang wanita setengah baya (saya namakan saja Mom II), yang minta izin untuk duduk di sebelah Mom I. Mom I dengan ceria mempersilakan Mom II, dan si Mom II pun mengambil tempat duduk sambil mengucapkan beberapa kata basa-basi tentang bayi yang sedang pulas, tetapi dia tidak mengajak bayi itu bercakap-cakap melainkan mengajak langsung Mom I berdialog (karena hanya melibatkan dua orang, namanya bukan trialog), dan seperti setiap orang Inggris di mana pun, mereka selalu membuka percakapan dengan topik cuaca. Mom II, ”What a wonderful morning, to day, isn’t?” Mom I, ”Yeah, it is not like this every day, is it?” Mom II, ”No, just last week we had the chilliest summer in British history,” dan seterusnya the conversation goes on and on (maaf, yang gak ngerti bahasa Inggrisnya cari saja di Google Translate, ya). Memang orang Skotlandia terkenal ramah, jadi di mana-mana cepat berteman. *** Jadi pertanyaannya mengapa ibu-ibu di kampung Betawi, kok gak ngomongin cuaca, malah ngajak ngomong anak balita yang belum bisa ngomong, sementara para Mom di Inggris sana, malah sibuk serius bicarakan cuaca? Perbedaan ini tidak dapat diterangkan begitu saja dengan ilmu psikologi umum, karena selain perilaku manusia yang universal ada perilaku-perilaku yang khusus, yang terkait dengan kebiasaan dan kebudayaan lokal. Karena itulah 10-20 tahun terakhir ini muncul cabang psikologi baru, yaitu psikologi ulayat (Indigenous Psychology) yang mempelajari perilaku khusus dalam kaitan budaya tertentu, dan psikologi lintas budaya, yang membandingkan perilaku antarbudaya.
  • 36. 36 Itulah sebabnya banyak politisi atau pejabat di tingkat pusat (Jakarta) yang sering keblinger dalam membuat keputusan-keputusan, karena yang dipahami oleh orang Jakarta, belum tentu yang berlaku di daerah. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 37. 37 Belajar dari Kucing Koran SINDO 9 Agustus 2015 Coba perhatikan kalau kucing makan. Ada bedanya antara kucing peliharaan yang makan dari boks makanan khusus untuk kucing kesayangan yang diletakkan di salah satu sudut dapur dengan kucing garong liar yang menyelinap mencuri makanan dari boks makanan si kucing kesayangan tersebut (atau juga bahkan ada kucing garong yang berani mencuri dari atas meja makan si empunya rumah). Kucing kesayangan akan makan dengan nikmat dan santai tanpa peduli pada orang-orang yang lewat dan belum berhenti sebelum makanannya habis atau dia merasa kenyang. Sebaliknya kucing garong akan makan dengan penuh kecurigaan, posisi berdiri tegang, dan segera menghentikan makannya jika ada yang lewat, siap-siap kabur dan segera kabur benaran kalau yang datang itu si empunya rumah sambil membawa sapu untuk menggebuk si kucing garong. Beberapa ustaz mengatakan bahwa kucing saja, yang hewan kesayangan Rasulullah, punya naluri untuk membedakan mana perilaku yang jujur. Juga yang baik, yang diridai Allah dan mana perilaku mencuri, yang jahat, yang bukan saja penuh dosa, tetapi juga melanggar etika. Tapi manusia kok tidak seperti itu? Manusia yang mencuri kok tenang-tenang saja, malah yang jujur justru stres? Cobalah lihat bagaimana sulitnya orang melakukan hal yang baik dan betapa mudahnya orang melakukan hal yang tidak baik. Koruptor tenang-tenang saja berkorupsi. Walaupun KPK sudah bekerja selama 13 tahun (sejak UU KPK tahun 2002), sampai hari ini masih saja KPK menangkapi orang-orang yang korup. Lihat juga bagaimana santainya orang merampok minimarket atau membongkar ATM, bahkan menculik anak yang sedang bermain sendirian di mal, padahal CCTV menyala dan rekamannya masuk TV, tidak ada sedikit pun rasa takut seperti yang ada di kucing garong. Juga di sektor lalu lintas, pemotor yang menyerobot melawan arus tidak sedikit pun merasa bersalah. Bahkan kalau dicegat polisi dan bisa kabur, bangganya bukan main. Kalau tertangkap, dia justru marah kepada polisi, mengapa dia ditangkap, padahal setiap hari dia lewat di situ tidak pernah diapa-apakan? *** Namun dari kacamata psikologi, pendapat pak ustaz itu tidak sepenuhnya benar. Dalam teori belajar yang amat terkenal dari Albert Bandura (1997), kepribadian adalah perilaku (karena
  • 38. 38 kepribadian diamati atau disimpulkan melalui perilaku). Padahal setiap perilaku dipelajari. Hampir tidak ada (dalam teori beliau) perilaku yang bawaan sejak lahir (termasuk naluri) kecuali perilaku-perilaku yang sangat primitif (seperti naluri mengisap susu pada bayi). Bahkan naluri cinta ibu kepada anak sekarang sudah tergerus ketika ibu-ibu mulai tega membuang, menjual, bahkan membunuh bayinya dengan berbagai alasan sosial dan/atau ekonomi. Jadi mengapa si kucing kesayangan berlaku baik dan percaya diri ketika makan dari boks makanan yang sudah disediakan majikannya? Karena majikannya menyayangi si kucing. Boro-boro dipukul pakai sapu, si kucing kesayangan justru sering dipangku, dielus-elus, diciumi, malah dimandikan dan dibedaki oleh majikan. Sementara kucing garong hitam-jelek dan matanya melotot tidak pernah disayang oleh siapa pun, hanya pernah kena gebuk sapu si empunya boks makanan ketika dia meleng dan tidak siaga. Kesimpulannya, kalau menurut teori Bandura, kucing baik dan kucing garong berperilaku berbeda karena perlakuan yang diterimanya juga berbeda. Kucing baik karena diperlakukan baik, kucing garong karena diperlakukan tidak baik. Sekarang, bagaimana dengan manusia? Pemotor melanggar rambu lalu lintas, naik ke kaki lima (tempat pejalan kaki), melawan arus, karena selama ini dibiarkan oleh polisi sehingga menganggap kebiasaannya yang salah itu sebagai kebenaran. Sebaliknya orang yang membiasakan yang benar justru disalahkan. Dia bisa mengantre lama sekali bersama kemacetan lalu lintas, tidak sampai-sampai ke rumah, sementara si penyerobot jalan sudah menyelesaikan tugasnya dan sekarang sedang santai menikmati kopi di rumah sambil nonton TV. Begitu juga yang melakukan korupsi. Uang hasil korupsi bukan hanya bisa digunakannya untuk menikmati gaya hidup mewah, tetapi juga bisa untuk melicinkan karier, naik pangkat, menang pilkada, terpilih jadi anggota DPR, dsb. Sementara yang jujur dan memilih jalan lurus malah hidup berkesusahan dan seakan-akan terhenti kariernya. Jadi, kesimpulannya, orang menjadi jahat padahal seharusnya baik adalah karena yang jahat (garong, begal, melanggar lalu lintas, dan korupsi) justru mendapat reward, sedangkan yang berkelakuan baik malahan mendapat dampak negatif yang bisa dirasakan sebagai hukuman. *** Karena itu, kalau kita menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang baik, yang berprestasi, ber-amar makruf nahi mungkar, memang diperlukan revolusi mental, yaitu setiap orang didorong untuk lebih banyak berbuat yang maslahat daripada yang mudarat. Namun mengubah mentalitas masyarakat tidak cukup hanya dengan menanamkan iman dan takwa kepada Allah SWT dan mendoakan anak agar menjadi orang yang saleh dan salehah serta berbakti kepada orang tua. Bangsa Indonesia rata-rata sudah beriman dan bertakwa, saleh dan
  • 39. 39 salehah serta berbakti kepada orang tua, tetapi korupsi malah makin marak, maksiat jalan terus, menyerobot lalu lintas dengan melawan arus makin kenceng dan sebagainya. Revolusi mental harus dilaksanakan dengan pemerintah berikut aparatnya selalu hadir di mana-mana untuk menegakkan hukum yang benar! Sistem keuangan negara harus diatur sedemikian rupa sehingga bisa mencegah pegawai atau pejabat untuk korupsi. Unjuk rasa yang anarkistis, pembegalan, pemotor yang ugal-ugalan, dan geng motor ditindak habis sehingga mereka jera. Penyelundup, pengedar narkoba, dan pelaku perdagangan manusia harus diberantas tuntas. Dan seterusnya. Jadi mulailah dari diri pemerintah dulu. Masyarakat pasti mengikutinya kalau pemerintah sudah benar-benar melaksanakan secara operasional anti-korupsi. Kalau pemerintah sendiri masih korup, tugas presidenlah untuk menertibkan pemerintahannya. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 40. 40 Compassion Fatigue Koran SINDO 14 Agustus 2015 Lelah menolong orang. Letih berbagi kasih sayang. Itulah kira-kira makna dari judul di atas. Istilah “compassion fatigue” lazim dijumpai dalam kajian psikologi, yaitu fenomena keletihan emosi yang mendekati frustrasi karena merasa gagal atau sia-sia usahanya membantu mengatasi problem orang lain. Seorang polisi, misalnya, yang bertugas memberantas narkoba, ketika menghadapi kenyataan bahwa peredaran narkoba tambah meluas, sementara terdapat oknum-oknum polisi yang justru terlibat peredaran narkoba, sangat berpotensi mengalami hal demikian. Situasi seperti itu sangat mungkin menimbulkan compassion fatigue. Perasaan serupa bisa juga dialami oleh mereka yang sangat peduli dan gigih memperjuangkan hukum demi tegaknya kejujuran dan keadilan, tetapi dihadapkan pada kenyataan maraknya pelanggaran hukum, bahkan melibatkan aparat penegak hukum sehingga sangat bisa jadi membuat letih dan putus asa bagi para pejuang hukum. Demikianlah, dugaan dan contoh mereka yang terkena sindrom compassion fatigue tentu bisa diperluas lagi. Saya sendiri sering mendengar langsung dari kalangan intelektual, ulama, pendidik, aktivis sosial yang kadang merasa letih, pesimistis, dan mendekati sikap putus asa. Seakan usaha mereka sia-sia dalam mendidik, mengajak, dan berteriak-teriak untuk membangun kehidupan politik dan sosial yang berkeadaban. Menjauhkan diri dari sikap rakus, menipu, dan jegal-menjegal demi terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan rakyat demi membangun Indonesia yang bermartabat. Tapi, lagi-lagi, kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara semakin jauh dari yang dicita-citakan para leluhur pejuang kemerdekaan. Kita semakin miskin politisi-negarawan, semakin langka ilmuwan-intelektual yang jadi idola dan penyebar inspirasi bagi anak-anak bangsa, khususnya generasi muda. Kita mengalami defisit kebanggaan sebagai warga bangsa karena langka prestasi dalam berbagai panggung kompetisi dunia. Sebagai praktisi pendidikan, saya sering mendengar keluhan dan kekecewaan para guru dan dosen melihat sekian banyak sarjana terjerat kasus korupsi yang kemudian menjadi penghuni penjara. Mereka bertanya-tanya, apa yang salah dengan muatan, proses, dan hasil pendidikan yang berlangsung selama ini? Apakah pendidikannya yang gagal atau memang terdapat kekuatan luar yang memiliki daya rusak yang teramat dahsyat? Atau memang keduanya sama-sama runyam?
  • 41. 41 Melihat ini semua ini tak pelak lagi kadang melahirkan rasa letih. Seakan sia-sia. Sekian triliun APBN, tenaga, dan pikiran yang telah dikeluarkan, hasilnya mengecewakan. Yang juga memunculkan compassion fatigue adalah berbagai peristiwa, kebijakan, dan proses politik yang tengah berlangsung. Kita ingat, ketika Pak Harto tampil sebagai presiden menggantikan Bung Karno, salah satu agendanya yang disampaikan dalam pidato resmi adalah memberantas korupsi, membangun pemerintahan yang bersih. Ironisnya, ketika gerakan reformasi tampil dengan agenda menurunkan Pak Harto, lagi-lagi, salah satu agendanya adalah memberantas korupsi dengan cara melaksanakan demokrasi serta desentralisasi. Dan kini ketika kita sudah masuk pada era post-Orde Baru, yang menjadi musuh utama kita adalah juga korupsi. Bahkan korupsi ini banyak dilakukan aktivis dan pimpinan teras parpol yang dulu berteriak-teriak anti-korupsi. Beberapa tokoh dan pimpinan teras parpol sekarang ini mendekam di penjara. Bahkan muncul lagi penyakit baru berupa kekuatan gurita dinastiisme yang membajak pemerintahan daerah dengan kendaraan parpol dan mekanisme pilkada. Mereka menang semata karena kekuatan uang untuk membeli suara pemilih. Ini semua mengingatkan kita pada pepatah klasik, anjing menggonggong kafilah berlalu. Meminjam bahasa Alquran, hatinya sudah mengeras, telinganya tuli, penglihatannya buta sehingga tidak tembus oleh peringatan dan ajakan moral oleh siapa pun yang menyampaikan. Pada kondisi seperti ini yang cocok adalah diingatkan dengan tongkat Musa karena tak mempan lagi dengan bahasa yang halus, baik, dan benar. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 42. 42 Kapan Selesai Merdeka? Koran SINDO 15 Agustus 2015 Saat mendapat undangan untuk tirakatan memperingati HUT kemerdekaan ke-70 di kampung, tiba-tiba saya teringat pada cerita lucu yang menyindir kita. Cerita ketika Pak Paimin bertanya, ”Kapan Selesai Merdeka?” Pertanyaan ”kapan selesai merdeka?” pasti terasa aneh. Dalam pendekatan politik dan keamanan ia bisa dinilai sebagai pertanyaan subversif. Masak, kemerdekaan ditanyakan kapan selesainya? Merdeka itu untuk selamanya, tak ada selesainya. Secara santai, pertanyaan itu dirasakan lucu, bisa dianggap dilontarkan oleh orang lugu yang frustrasi karena hidup susah di alam merdeka. Kalau direnungkan secara serius, pertanyaan Pak Paimin itu tersambungkan dengan pertanyaan baru, ”Apa gunanya kita merdeka?” Cerita tentang Pak Paimin pernah menjadi cerita humor perjuangan yang populer di kalangan aktivis pro-demokrasi pada 1980-an. Entah benar, entah tidak, konon ada orang meminta bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) karena takut pamannya ditangkap oleh polisi terkait dengan pertanyaannya: nopo niki tasih merdeka (apakah sekarang negara kita masih merdeka juga)? Lho, kok? *** Suatu hari Pak Paimin dan keluarganya diusir dari rumahnya yang sudah ditinggali selama bertahun-tahun. Dia dituduh menempati tanah tanpa hak karena tak bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan. ”Ini negara sudah merdeka, semua harus tertib, kalau tak punya sertifikat tanah harap tinggalkan rumahmu,” kata aparat. Pak Paimin pun pergi dan membuat gubuk lain di kampungnya. Di gubuk barunya pun pada tahun berikutnya Pak Paimin diusir lagi karena tak punya sertifikat tanah. ”Ini negara sudah merdeka, harus tertib, ayo pergi,” bentak aparat lagi. Dia pun pindah ke tempat yang jauh dan sepi, membangun gubuk lagi. Tapi tak lama sesudah itu dia didatangi lagi oleh aparat dan diusir dengan alasan ”negara sudah merdeka, semua harus tertib, jangan tinggal di atas tanah yang sertifikatnya tak dimiliki”. Pak Paimin pindah lagi ke tempat kosong dan membangun gubuk yang jauh dari keramaian. Tapi dia didatangi lagi oleh aparat dengan muka garang. Sebelum aparat itu memerintahkan pengusiran, Pak Paimin mendahului, ”Pak Kaparat, apakah sekarang masih merdeka? Kapan
  • 43. 43 selesai kita merdeka? Saya digusur-gusur terus dengan alasan negara sudah merdeka. Pada zaman penjajahan dulu, ayah dan kakek saya tak pernah digusur. Giliran saya hidup di negara merdeka, digusur-gusur terus.” Mendengar pertanyaan dan pernyataan Pak Paimin itu petugas tadi marah. ”Kalau melawan dan tak bisa tertib di negara merdeka ini, besok saya laporkan kamu ke polisi,” kata aparat yang oleh Pak Paimin disebut Pak Kaparat itu. Itulah sebabnya sang keponakan datang ke LBH untuk memintakan bantuan perlindungan hukum. Namanya juga humor perjuangan, tak perlulah dilacak bagaimana akhir kejadian itu. Bahkan juga tak perlu terlalu diurus, apakah adegan Pak Paimin dan Pak Kaparat (aparat) benar-benar ada. Cerita itu dulu sering dicandakan di kalangan aktivis, saat banyak orang digusur dari rumah yang didiaminya selama bertahun-tahun atas nama ketertiban di negara yang sudah merdeka. Yang penting kita ambil dari cerita canda itu adalah pesannya yang sangat mendalam dan perlu dijadikan bahan renungan saat kita bertirakat di kampung-kampung atau melakukan renungan suci di Taman Makam Pahlawan. Pesannya adalah agar kita selalu ingat apa sebenarnya tujuan kita mendirikan negara merdeka. Menurut konstitusi, kita mendirikan negara merdeka dengan tujuan membangun kesejahteraan rakyat. Menurut alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar, kita memerdekakan negara dan mengusir penjajah karena ingin mengangkat martabat manusia Indonesia dan menegakkan keadilan. Adapun menurut alinea keempat salah satu tujuan negara adalah membangun kesejahteraan umum. Tujuan lainnya dalam kita bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang tentu tidak dapat dipisahkan dari tujuan membangun kesejahteraan umum. Negara harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia agar rakyat bisa sejahtera, bisa menikmati seluruh bumi Indonesia, air Indonesia, dan kekayaan alam Indonesia. Harus kita akui, semua pemerintahan di Indonesia yang berjalan secara estafet dari periode ke periode selalu menjadikan ”membangun kesejahteraan rakyat” sebagai salah satu program utamanya. Tapi juga kita selalu gagal menyatakan bahwa ”rakyat kita sejahtera”. Pada era-era tertentu memang terasa ada peningkatan, misalnya pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 6,5%. Tapi selain pertumbuhan itu sering terjun lagi, masalah pemerataan selalu menjadi problem besar. Indeks gini ratio (jarak kesenjangan) kita, misalnya, selalu semakin menganga. Pada era Orde Baru indeks gini ratio kita masih ada di angka 0,20, tetapi selama 17 tahun era Reformasi indeks kesenjangan kita terus menganga. Pada bulan Juli 2015 pemerintah menyebut indeks gini ratio kita adalah 0,42 dan akan diusahakan turun menjadi 0,36 dalam lima tahun ke depan.
  • 44. 44 Sudah 70 tahun kita merdeka. Tapi ketidakadilan, korupsi, kesenjangan, kemiskinan, ketertinggalan, pemalsuan sertifikat dan perampasan tanah, bahkan keterbelakangan masih terasa masif. Kita masih harus terus berjuang agar tak ada lagi orang bertanya ”kapan selesai merdeka”. Merdeka .... MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 45. 45 Anjing Koran SINDO 16 Agustus 2015 Teman-teman saya berjalan-jalan pagi bermacam-macam. Di antaranya adalah para penggemar anjing. Mereka ini senang membawa anjingnya berjalan-jalan. Beberapa malah ngajak anjingnya berlari. Kebanyakan satu orang membawa seekor anjing, tetapi ada juga yang membawa dua atau tiga ekor anjing. Semua anjing itu diikat dengan tali ke lehernya agar sang majikan bisa senantiasa mengendalikan kelakuan si anjing (sehingga tidak menyerang anjing lain atau menggigit orang). Namun, sang majikan belum tentu si pemilik anjing itu sendiri. Dilihat dari penampilannya, ada juga yang berstatus asisten rumah tangga (ART) atau pawang profesional. Tetapi, penggemar anjing yang saya mau ceritakan ini jelas pemilik dan pencinta anjing. Dia seorang wanita, cantik, berpakaian sportif (celana pendek, atasan tanpa lengan, dan bersepatu olahraga), umur sulit ditebak, apalagi statusnya (zaman sekarang sulit membedakan nona atau nyonya, gadis atau janda, bahkan tua atau muda). Jadi, saya namakan saja wanita itu ”Bunga”, yang selalu mengajak jalan (bukan berlari) anjingnya (anjing ras, tetapi saya tidak tahu jenis apa), yang berbulu hitam, sehingga saya namakan saja ”Blacky”. Pada suatu hari si Blacky ini pup di jalan yang beraspal. Apa yang kemudian dilakukan oleh Nona cukup mencengangkan saya. Dia ambil tisu dari kantong celananya, dia jongkok, memungut pup itu (sambil tangan yang lain tetap memegangi tali anjing), dan membuangnya di pot bunga yang kebetulan ada di kaki lima. Tetapi, tidak hanya sampai di situ. Nona juga mengambil sejumput tanah dari tepi jalan, dan menaburkannya di atas bekas pup yang masih tersisa. Dengan demikian, tidak akan ada orang yang tanpa sengaja menginjak pup anjing dan sampai di rumah sibuk menyuruh istrinya mencari bau pup anjing yang tidak jelas sumbernya. Namun, ada juga penggemar anjing yang tidak suka olahraga jalan-jalan pagi. Dia ini, saya namakan Mr X, memelihara anjing-anjingnya di rumah, dan setiap saya melewati depan rumahnya, selalu anjing-anjing itu menggonggong beramai-ramai. Tetapi, saya tidak takut karena anjing-anjing itu kan di balik pagar yang terkunci. Inilah yang namanya ”anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Sampai pada suatu hari, dari celah yang sempit di bawah pintu pagar, bisa lolos seekor anak anjing, hitam, ceking, dan berusaha mengejar saya sambil terus menyalak. Tampaknya komunitas anjing di dalam rumah itu telah melahirkan generasi kedua, dan salah satunya
  • 46. 46 (yang paling kreatif) bisa lolos dari celah di bawah pintu. Saya lumayan kaget. Untung, anak anjing itu (dalam bahasa Jawa disebut ”kirik”) hanya menyalak-nyalak saja, tidak lebih dari itu. Tetapi, akibatnya, saya putuskan untuk beberapa bulan ke depan menghindari jalan yang ada anjingnya itu, sambil menunggu sampai anak anjing makin besar, dan tidak bisa lagi melewati celah di bawah pintu pagar. *** Saya sering mendengar istilah ”perikebinatangan”, yaitu ketika ada orang yang menyayangi atau melindungi binatang atau ketika ada binatang yang kelakuannya seperti menyayangi hewan lain atau manusia. Di Belanda misalnya ada undang-undang yang melindungi hak-hak asasi anjing (kalau kedapatan orang menyakiti anjing bisa ditangkap polisi). Orang-orang Belanda yang menaati undang-undang disebut berperikemanusiaan, bukan berperikebinatangan. Begitu juga jika ada lumba-lumba yang melindungi seorang penyelam dari ancaman seekor hiu sampai hiu itu pergi, tidak boleh disebut berperikemanusiaan karena perikemanusiaan hanya berlaku buat manusia. Perikemanusian berasal dari kata ”perilaku” dan ”manusia”, maksudnya adalah perilaku yang manusiawi, yaitu perilaku yang tidak mementingkan diri sendiri, yang memperhatikan kepentingan atau hak makhluk hidup dan alam di sekitarnya, tidak sewenang-wenang dan seterusnya. Perilaku seperti ini hanya bisa dilakukan oleh manusia, yaitu makhluk yang mampu membuat pilihan-pilihan. Kalau yang melakukan hewan, seperti lumba-lumba, itu merupakan bagian dari naluri hewaniahnya, bukan karena lumba-lumba itu telah mengambil keputusan tertentu. Atau, anjing yang menolong tim SAR (search and rescue) untuk menemukan orang yang tertimbun tanah pasca-tanah longsor. Itu pun bukan perikemanusiaan atau perikebinatangan, melainkan merupakan hasil latihan dari para pawangnya. Mari kita bandingkan sekarang kelakuan Bunga dan Mr X, bukan dalam hal hobi atau malas olahraga jalan paginya, tetapi dalam sikap perikemanusiaannya. Perilaku Bunga bisa disebut berperikemanusiaan. Pertama, dia memikirkan Blacky yang tentu saja butuh gerak badan dan butuh pup dan pipis. Tetapi, bukan itu saja. Bunga juga memikirkan bagaimana agar pup-nya Blacky tidak mengganggu orang lain walaupun orang lain ini sangat boleh jadi tidak dia kenal atau bahkan tidak ada sama sekali. Sebaliknya, perilaku Mr X lebih tidak berperikemanusiaan karena dia tidak mau tahu bagaimana jadinya kalau seorang profesor digigit oleh seekor kirik ireng elek (anak anjing hitam jelek). Sayangnya, sekarang makin banyak manusia yang tidak berperikemanusiaan lagi. Korupsi adalah contohnya. Begitu juga membunuh selingkuhan sendiri untuk merampok mobilnya, atau juga membuang sampah atau puntung rokok sembarangan, atau meminjam duit, tetapi
  • 47. 47 tidak mengembalikan, bukanlah perilaku-perilaku yang berperikemanusiaan. Bukan itu saja. Seorang mahasiswa saya (perempuan, berjilbab) bahkan menolak ketika ditugaskan untuk berpraktik di salah satu Panti Wredha (sebagai bagian dari tugas praktiknya sebagai calon psikolog) dengan alasan bahwa Panti Wredha itu dikelola oleh sebuah yayasan yang non-muslim. Bunga jelas lebih berperikemanusiaan ketimbang mahasiswa saya yang calon psikolog, tetapi sektarian dan diskriminatif itu. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 48. 48 Jarak Koran SINDO 21 Agustus 2015 Kata ”jarak” (distance) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bahasa keseharian, bahkan juga hidup keseharian. Jarak bisa berupa fisik. Misalnya jarak dari rumah ke kantor, ke pasar, ke masjid, dan sebagainya. Karena jarak telah menjadi kategori yang melekat pada pemikiran kita, maka tanpa disadari kita selalu membayangkan jarak, meskipun otak sendiri hanya bisa bertanya tetapi tidak mampu menjawabnya. Contoh, kita sering bertanya, berapa jarak antara bumi dan bulan, matahari, bahkan bintang yang terdekat dengan bumi? Ada lagi jarak waktu, sehingga diciptakanlah arloji untuk menyusun agenda kegiatan agar aktivitas menjadi terstruktur. Betapa kegiatan manusia modern akan kacau, khususnya bisnis modern, jika manusia tidak memiliki pedoman jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun. Bahkan ritual keagamaan pun memerlukan pedoman waktu, sejak waktu salat, puasa, haji, dan kapan merayakan hari Lebaran. Yang menjadi persoalan serius dalam masyarakat adalah jarak yang bersifat abstrak, yaitu jarak status sosial dan ekonomi sehingga muncul gambaran kaya-miskin, atasan dan bawahan. Dalam masyarakat feodal, jarak status sosial itu sangat kentara dan oleh jajaran elitenya sengaja dipelihara. Setelah memasuki 70 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, ternyata antara cita-cita kemerdekaan dan realitas sosial yang dibayangkan masih jauh jaraknya. Negara ini dideklarasikan untuk menyatukan seluruh penduduk Nusantara yang sedemikian majemuk dan tersebar tempat tinggalnya, yang kemudian bersama seluruh rakyat bekerja demi mencerdaskan, memajukan, dan menyejahterakan warganya. Tetapi ternyata masih banyak warga negara yang miskin dan tidak mengenyam sekolah. Masih terbentang jarak yang menganga dan menyakitkan. Secara fisikal, sesama warga memang semakin dekat jaraknya. Ini akibat dari pertumbuhan penduduk, sarana transportasi dan telekomunikasi modern yang membuat hidup terasa semakin sesak. Jarak fisik semakin pendek, meskipun sebagian dihubungkan melalui televisi maupun telepon. Masalahnya, kedekatan fisik tidak menjamin memperpendek jarak kesenjangan ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan sesama warga negara, melainkan justru membuat jarak itu semakin melebar dan menyakitkan. Coba saja bayangkan, setiap hari berapa ratus ribu orang melewati jalan protokol kota besar
  • 49. 49 semacam Jakarta. Bercampur aduk tanpa jarak antar berbagai profesi, asal etnis, agama, afiliasi politik, dan kelas sosial ekonomi. Lagi-lagi, jarak fisikal semakin dekat, namun kedekatan fisik tidak selalu berarti kedekatan nasib, dan hati. Sebagai sesama warga negara, di atas keragaman atau kemajemukan yang berjarak itu, semestinya kita juga memiliki kedekatan hati dan cita-cita untuk membuat bangsa ini berdiri tegak bermartabat dengan rakyatnya yang semakin cerdas dan sejahtera. Yang perlu kita kejar mestinya bagaimana mendekatkan jarak antara kemajuan Indonesia dengan negara-negara lain yang larinya semakin kencang. Oleh karenanya sangat disayangkan jika kebinekaan itu terlepas dari ikatan keikaan hati dan cita-cita bersama mengisi amanat kemerdekaan. Coba saja amati kehidupan sosial di sekeliling kita. Pembangunan infrastruktur antara kota dan desa sangat timpang. Ketika di sebuah sudut kota dibangun mal atau supermarket, seketika terlihat jarak antara mereka yang peduli dan hanya mampu belanja di warung- warung tradisional dan mereka yang memilih belanja di toko-toko modern sebagai anak kandung kapitalisme global. Dulu bangunan rumah di kampung tidak ada pagarnya. Tetapi sekarang rumah-rumah gedung pasti dibuat pagar kokoh dan tinggi agar berjarak dari tetangganya. Tidak saja jarak gedung, tetapi juga jarak ekonomi dan sosial. Ketika orang menempelkan titel pada namanya, itu pun seketika memunculkan distingsi dan distansi. Sebagai liyan (other) yang berjarak. Jadi sangat benar perintah agama agar kita selalu menjaga silaturahim. Mendekatkan dan mengikatkan hati, menjaga relasi kasih sayang untuk menjembatani kehidupan sosial yang kian berjarak. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 50. 50 Karateka Koran SINDO 23 Agustus 2015 Semasa mahasiswa, saya adalah karateka. Tidak lama, hanya semasa aksi-aksi mahasiswa angkatan 1966, ketika saya sebagai aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) UI ikut berbagai kegiatan, termasuk olahraga bela diri ini. Karena tidak lama, saya hanya sampai ke ban hijau (Kyu 6) dan sesudah itu aksi-aksi mahasiswa selesai, saya pun kembali menyelesaikan kuliah saya dan berhenti berlatih karate. Di sisi lain, sejak SMP saya bermain musik. Saya bergabung dengan sebuah Orkes Melayu (bocah) Bulan Buana, yang ketika itu sering diundang untuk meramaikan pesta sunatan, bahkan perkawinan, di kampung-kampung di kota Tegal dan sekitarnya (tempat saya tinggal di masa anak-anak). Ketika itu saya bermain gitar yang kadang dipetik sebagai melodi, kadang di-kencrung sebagai pengiring, suka-suka saya saja. Buat yang di tahun 1960-an sudah berstatus ABG, mungkin masih ingat lagu-lagu top Melayu zaman itu: “Burung Nuri”, “Kudaku Lari”, dan lainnya. Di SMA, sebagai remaja, saya bergabung dengan grup tari Melayu di Bogor (waktu itu saya mengikuti orang tua yang dipindahkerjakan ke Bogor). Setelah menjadi profesor, saya bergabung lagi dengan profesor-profesor UI lainnya dalam grup The Professor Band. Dalam olahraga, selain karate, semasa mahasiswa saya bermain basket dan bola voli, walaupun tidak pernah masuk tim fakultas sekalipun; dan ketika dewasa, saya memilih main tenis. Semuanya olahraga kompetitif, yang bertujuan akhir memenangkan pertandingan dan mengalahkan lawan atau win-lose competition. Baru belakangan ini saya berolahraga jalan kaki santai yang tidak bertujuan win-lose, bahkan juga tidak win-win karena saya melakukannya sendirian, suka-suka saya saja, pokoknya rutin gerak badan seminggu minimal lima kali, sampai keluar keringat (keringat ini tidak bisa dibeli di supermarket, melainkan harus diperoleh melalui kerja keras). *** Dari pengalaman hidup di atas, saya bisa merasakan bagaimana sebagai karateka dan pelaku olahraga kompetitif, saya harus memusatkan semua perhatian dan usaha, baik sendirian, maupun sebagai anggota tim untuk mengalahkan lawan. Terkadang kita curang sedikit, yang penting lawan kalah (ingat the invisible hand-nya Maradonna?). Lain sekali dengan gerak badan mandiri, saya hanya melihat arloji, sudah berapa lama saya
  • 51. 51 melangkahkan kaki, dan terkadang bertegur sapa dengan para pelaku olahraga pagi yang lain (jalan santai, bersepeda, lari-lari anjing, atau lari-lari sambil mengajak anjing), bahkan dengan pedagang gorengan yang pagi-pagi sudah bekerja untuk melayani orang-orang yang mau ke kantor tetapi belum sempat sarapan di rumah. Demikian pula dengan bermusik dan menari. Kompetisi sama sekali bukan tujuan. Yang penting adalah harmoni. Baik harmoni nada dalam musik, maupun harmoni gerak dalam tari. Nafsu-nafsu dan ambisi pribadi harus ditekan habis (walaupun kami semua profesor, yang kalau di kelas ditakuti mahasiswa). Kalau tidak, musik akan berubah menjadi kumpulan bunyi bising yang memekakkan telinga, dan gerak massal yang cepat tetapi serempak dalam Tari Saman, misalnya, akan menjadi saling benturan tubuh yang mengacaukan seluruh tari. Saya kebetulan bukan pemain tai chi. Tetapi dari apa yang saya ketahui, tai chi adalah olahraga yang tidak mementingkan kekuatan, apalagi kompetitif. Tujuan tai chi bukan menjatuhkan lawan, tetapi melatih harmoni antara gerak anggota tubuh, napas, peredaran darah, emosi dan akal, serta kondisi di alam sekitar. Seperti juga seni olah tubuh yang lain seperti yoga, dan jalan kaki santai yang saya lakukan yang sangat mirip dengan bermain musik (saya memainkan saksofon di The Professor Band), di mana saya harus mengatur napas saya untuk kapan saya harus meniup keras, atau lembut, bermain stakato atau legato, cepat atau lambat, dan yang terpenting menaati arahan dari music director. Dalam ilmu psikologi, juga dikenal pembagian dikotomis seperti itu. Dalam Psikoanalisis manusia dikatakan mempunyai dua naluri, yaitu naluri seks untuk penyambung hidup dan berketurunan (disebut: libido) dan naluri untuk mati atau membunuh, yaitu naluri agresi, (tanatos). Dalam teori belajar ada reward dan punishment, dalam teori kepribadian ada emosi dan rasio, dalam psikologi sosial ada kompromi dan kompetisi, masyarakat individualistis dan masyarakat kolektivistik dan seterusnya. Adalah keharusan kita sebagai manusia yang berbudaya untuk menjaga keseimbangan antara pasangan-pasangan dikotomis itu. Secara populer sering dikatakan bahwa harus ada keseimbangan antara otak kiri (pusat rasio) dan otak kanan (pusat emosi). Untuk mencapainya, kita perlu melakukan olahraga-olahraga yang santai dan non-kompetitif seperti berjalan kaki santai, yoga dan tai chi, di samping berhobi seni (musik, tari, teater, seni rupa dan lain-lain) yang bertujuan harmoni, bukan kompetisi. Jika saja semua orang, kelompok, masyarakat, bangsa dan pemerintah bisa menerapkan prinsip harmoni dalam dikotomi itu, maka bisa dipastikan bahwa umat manusia akan sangat bisa mengurangi perang, tawuran, kriminal, korupsi, pelanggaran hukum, kemiskinan, penyerobotan, perebutan lahan parkir dan seterusnya. Tentu saja gagasan ini masih utopia, khususnya buat Indonesia, tetapi menurut penelitian Universitas George Washington, Amerika Serikat, sudah ada contoh negara-negara di dunia
  • 52. 52 yang berhasil merealisasikannya, yaitu negara-negara yang sejahtera, bebas kemiskinan, tidak ada kesenjangan sosial, apalagi kecemburuan sosial, bebas konflik dan lain-lain (istilah peneliti: negara-negara yang islami), seperti Irlandia, Denmark, Luksemburg, Swedia, Inggris Raya, Selandia Baru, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia. Tentu saja tidak semua orang di negara-negara itu berolahraga tai chi atau yoga atau berjalan kaki santai atau berhobi seni, dan juga tidak berarti olahraga kompetisi dilarang, tetapi yang jelas masyarakatnya bertujuan harmoni, bukan kompetisi. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia