SlideShare a Scribd company logo
1 of 154
1
DAFTAR ISI
LANGKAH KUDA PAN
Abd Rohim Ghazali 4
DEMOKRASI 5 MENIT
Moh Mahfud MD 7
TATARAN BERPIKIR DAN BERTINDAK
Baharuddin Aritonang 10
REKODIFIKASI SETENGAH HATI
M Nasir Djamil 13
UU KPK HARUS DIREVISI
Romli Atmasasmita 16
CALON TUNGGAL: AKLAMASI ATAU KONTESTASI
Titi Anggraini 19
LINTAS KOMISI DI PANSUS PELINDO GATE
Bambang Soesatyo 23
PILKADA SERENTAK UNTUNGKAN RAKYAT?
Ahmad Qisai 27
KORUPSI DAN DIKORUPSIKAN
Moh Mahfud MD 30
KHITAH MK DAN PILKADA
Asep Warlan Yusuf 33
PERSELISIHAN HASIL PILKADA SERENTAK
Janedjri M Gaffar 36
SELAMAT JALAN BAPAK GERAKAN BANTUAN HUKUM
INDONESIA
Patra M Zen 39
BANG BUYUNG, PERJALANAN PANJANG SEORANG ADVOKAT-
PEJUANG
Arsul Sani 42
PIDATO SEBAGAI DIPLOMASI PUBLIK
Dinna Wisnu 45
ADA APA DENGAN JK?
Tjipta Lesmana 49
2
PILKADA CALON TUNGGAL
Janedjri M Gaffar 52
PILKADA SELALU CURANG
Moh Mahfud MD 55
DEMOKRASI DAN DEFISIT PEMIMPIN AUTENTIK
Mohammad Nasih 58
MEMAHAMI TANTANGAN OMBUDSMAN RI
Yasmin Muntaz 61
MENUNTASKAN REFORMASI TNI
Tantowi Yahya 64
MASALAH KRUSIAL PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Romli Atmasasmita 68
REFERENDUM KEPALA DAERAH
Margarito Kamis 72
PILKADA DAN KESALEHAN POLITIK
Titi Anggraini 75
RELAWAN, POLITICAL APPOINTEE, DAN SISTEM PRESIDENSIAL
YANG EFEKTIF
Ahmad Qisai 78
MEMIMPIN PEMERINTAHAN GADUH
W Riawan Tjandra 81
PERINDO MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN
Anna Luthfie 85
PERDEBATAN INDEPENDENSI PERADILAN
Asep Rahmat Fajar 88
KPK SUNAH, TAK HARAM
Moh Mahfud MD 91
LOGIKA NGAWUR RUU KPK
Hifdzil Alim 94
JANGAN BUNUH KPK
Aradila Caesar Ifmaini Idris 97
PEMBUBARAN BERENCANA KPK
Marwan Mas 100
REVISI UU KPK
3
Margarito Kamis 103
KEWAJIBAN DAN HAK BELA NEGARA
Connie Rahakundini Bakrie 106
PERLUKAH KORUPTOR DIAMPUNI?
Idil Akbar 109
CAPELLA APES
Moh Mahfud MD 112
SURYA PALOH DIRUNDUNG KEMALANGAN
Tjipta Lesmana 115
REFORMASI KPK MELALUI REVISI UU KPK
Romli Atmasasmita 119
ALIH DAYA KADERISASI DAN SUKSESI PARPOL
Premita Fifi Widhiawati 123
BELA NEGARA TIDAK SESUAI UU PERTAHANAN NEGARA
Soleman B Ponto 126
SATU TAHUN POLITIK LUAR NEGERI JOKOWI
Dinna Wisnu 128
KINERJA KOMUNIKASI POLITIK JOKOWI
Evie Ariadne Shinta Dewi 131
POLITISI DAN DISIPLIN PARTAI
Ahmad Qisa’i 135
KELAS MENENGAH & REPRESENTASI POLITIK
Wasisto Raharjo Jati 138
KKN DULU DAN SEKARANG
Moh Mahfud MD 140
SISTEM MULTIBAR HARUS SEGERA DISAHKAN
Frans H Winarta 143
PENEGAKAN HUKUM YANG KORUPTIF
Oce Madril 146
SETAHUN PEMBERANTASAN KORUPSI JOKOWI-JK
Emerson Yuntho 149
51 TAHUN GOLKAR; BADAI PASTI BERLALU
Bambang Soesatyo 152
4
Langkah Kuda PAN
Koran SINDO
9 September 2015
Jika panggung politik diumpamakan papan catur, keputusan Partai Amanat Nasional (PAN)
untuk bergabung dengan pemerintah ibarat langkah kuda, tidak lurus dan zig-zag. Tidak lurus
karena dianggap melenceng dari kesepakatan bersama Koalisi Merah Putuh (KMP); zig-zag
karena meskipun telah menyeberang namun mengaku kakinya tetap di KMP.
Sejatinya, apa yang ditempuh PAN sudah bisa dibaca sejak Kongres IV di Bali yang
menghasilkan Zulkifli Hasan sebagai ketua umum. Seperti kita ketahui, kemenangan mantan
Menteri Kehutanan ini tidak lepas dari dukungan Soetrisno Bachir, ketua umum PAN 2005-
2010, yang pada pemilu presiden lalu mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tanpa
dukungan Soetrisno Bachir, Zulkifli Hasan bisa jadi kalah dari Hatta Rajasa yang merupakan
mentor politiknya.
Pernyataan-pernyataan Zulkifli Hasan dalam sejumlah kesempatan, termasuk pada saat hari
ulang tahun ke-17 PAN di Bandung baru-baru ini, telah mengisyaratkan dukungannya
terhadap pemerintah. Alasan yang dikemukakan, pertama, sudah tidak relevan lagi adanya
pemisahan KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH); dan kedua, pada kondisi keterpurukan
ekonomi seperti sekarang semua kalangan harus membantu pemerintah agar bisa terhindar
dari krisis.
Apa motif di belakang langkah PAN? Apakah betul— sebagaimana yang dikemukakan
Zulkifli Hasan—semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara? Jawabannya betul,
karena pada saat ini pemerintah, yang secara normatif bisa mempresentasikan kepentingan
bangsa dan negara, memang tengah membutuhkan uluran tangan berbagai pihak, terutama
kekuatan politik dalam negeri. Uluran tangan sangat berguna untuk membantu mengatasi
persoalan ekonomi yang mengkhawatirkan dengan merosot tajamnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS.
Selain itu, untuk menambah efektivitas kerja, pemerintah juga membutuhkan tambahan kursi
pendukung di parlemen yang selama ini kekuatan KIH masih kalah tipis dibandingkan KMP.
Dengan bergabungnya PAN, KIH akan berbalik unggul tipis dibanding KMP. Meskipun
secara retoris PAN menegaskan tetap di KMP, dalam politik riil arti bergabung—tidak
sekadar mendukung—pemerintah sama artinya dengan keluar dari KMP. Bisa jadi,
penegasan tetap di KMP sekadar taktik agar tidak ada yang menggugat posisi Zulkifli Hasan
yang menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas dukungan KMP.
5
Tapi perlu digarisbawahi bahwa sebagai partai politik peserta pemilu PAN berhak bersikap
independen untuk menentukan masa depan dirinya. Koalisi, meskipun dengan embel-embel
permanen, tetap saja merupakan bagian dari strategi politik yang bisa berubah setiap saat.
Apalagi hakikatnya KMP dan KIH terbentuk berdasarkan pengelompokan yang
merefleksikan dukungan terhadap capres-cawapres. Pada saat pilpres sudah berlalu,
seyogianya pengelompokan itu sudah tidak ada lagi karena sudah tidak relevan. Dukungan
terhadap calon presiden adalah satu hal, dan dukungan terhadap presiden terpilih
(pemerintah) adalah hal yang lain.
Setiap partai politik punya sikap masing-masing dalam melihat dan menilai kebijakan-
kebijakan pemerintah. Partai politik atau gabungan partai politik tidak memiliki hak untuk
mencampuri urusan partai politik lainnya. Dalam perspektif inilah langkah PAN dinilai tepat
karena bermakna signifikan bagi perubahan peta kekuatan politik di parlemen.
Kehadiran PAN disambut baik karena pemerintah sedang membutuhkan tambahan dukungan
politik untuk menopang program-programnya yang kerap tersendat akibat minimnya
dukungan parlemen, sementara keberadaan PAN tidak signifikan pada saat tetap berada di
KMP. Soal kemungkinan adanya motif lain, misalnya untuk mendapatkan kursi menteri,
tentu tidak ada masalah karena hakikat politik, sebagaimana ditegaskan Harold Lasswell
(1902-1978) adalah who gets what, when, and how. PAN bisa memperoleh jabatan menteri
pada saat yang tepat.
Bahwa ada pihak-pihak yang menuduh PAN menutupi motif politiknya dengan
mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara, juga merupakan hal yang wajar karena
setiap langkah politik selalu menimbulkan pro dan kontra. Dan, baik yang pro maupun
kontra, masing-masing punya alasan yang bisa dibenarkan.
Yang menarik, dalam tubuh PAN sendiri juga masih terdapat pro-kontra. Dari pernyataan-
pernyataannya tampak sekali ada kegundahan dan ketidakrelaan Amien Rais sebagai ketua
Dewan Kehormatan PAN. Pro-kontra di internal inilah yang seyogianya segera diselesaikan
karena jika tetap dibiarkan akan menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap
kesungguhan PAN bergabung dengan pemerintah.
Meskipun Amien Rais bukan ketua umum, tapi publik tetap melihatnya sebagai ”pemegang
saham terbesar” PAN. Ucapan dan tindakan Amien Rais dalam politik, oleh sebagian
kalangan, masih diidentikkan dengan sikap politik PAN. Karenanya, ucapan dan tindakan
Amien Rais tidak bisa diabaikan begitu saja.
Untuk meyakinkan Amien Rais, juga mereka yang kurang menyetujui langkah PAN, Zulkifli
Hasan dan jajarannya di DPP PAN harus bisa membuktikan bahwa langkahnya bergabung
dengan pemerintah benar-benar demi kepentingan bangsa, bukan demi satu-dua kursi
menteri.
6
ABD ROHIM GHAZALI
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina; Wakil Ketua Umum Forum Keluarga Alumni
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Fokal IMM)
7
Demokrasi 5 Menit
Koran SINDO
12 September 2015
Untuk apa kita melakukan reformasi pada tahun 1998? Jawabannya, untuk membangun
pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Seluruh rangkaian alasan, mengapa kita dulu memakzulkan rezim Orde Baru, berujung pada
jawaban yang sama, yakni memberantas KKN. Pemerintahan Orde Baru di bawah Pak Harto
dianggap penuh KKN dan KKN itu menyebabkan rakyat sengsara. Jika rakyat sengsara
berarti tujuan negara terjauhi, sebab tujuan kita mendirikan negara merdeka adalah untuk
membangun kesejahteraan rakyat.
Empat tujuan negara yang ditulis di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, semuanya bersimpul pada
negara kesejahteraan yang menugaskan negara untuk membangun kesejahteraan rakyat. Nah,
kalau pemerintah gagal membangun kesejahteraan dan malah menyuburkan KKN maka harus
dimakzulkan.
Itulah alasan yang benderang, mengapa dulu kita membuat reformasi dan menjatuhkan rezim
Ode Baru. Maka itu, begitu rezim Orde Baru runtuh semua agenda reformasi difokuskan pada
upaya memberantas korupsi dan menegakkan hukum dan keadilan. Kita buat berbagai
undang-undang untuk menghadang dan menumpas korupsi. Kita bentuk juga lembaga-
lembaga pemberantas korupsi.
Kita buat aturan agar pejabat bisa diseleksi secara terbuka sehingga tampil pemerintah yang
bersih. Bahkan kita juga mengamendemen UUD agar tampil sistem politik yang demokratis
dengan mekanisme checks and balances yang ketat. Saat itu kuat keyakinan bahwa hanya di
dalam sistem yang demokratis dengan mekanisme checks and balances yang ketat sajalah
hukum dan perang terhadap korupsi bisa efektif. Dalil umumnya, hukum dan penegakan
hukum hanya bisa baik di dalam sistem politik yang demokratis.
Tetapi apa yang terjadi kini? Korupsi bukannya berkurang, tetapi semakin menggurita.
Korupsi gila-gilaan sekarang ini sudah menyebar ke semua lembaga, dari pusat sampai
daerah-daerah. Korupsi menggurita secara vertikal dan horizontal. Transparency International
yang berpusat di Berlin mencatat indeks persepsi korupsi di Indonesia pada tahun 2014 masih
ada di 3,4.
Saya menjadi bergidik ngeri ketika Jumat (4/9) pekan lalu saya datang ke Komisi
8
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mendapat penjelasan skematik tentang gurita korupsi.
Dari seorang koruptor yang sekarang sudah meringkuk di penjara saja masih ada rangkaian
korupsi yang luar bisa banyaknya. Si Fulan yang dihukum karena terbukti korupsi, misalnya,
mempunyai sisa rangkaian kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi sampai ke
panitia-panitia pengadaan barang dan jasa di beberapa kementerian.
Gurita korupsi kait-mengait, dari lembaga eksekutif sebagai pengguna anggaran sampai ke
lembaga legislatif yang menjadi mitra eksekutif untuk menetapkan anggaran. Bahkan di
lembaga yudikatif pun banyak kasus-kasus korupsi yang rangkaiannya sudah diskemakan
oleh KPK.
Korupsi bukan hanya terjadi pada saat mengimplementasikan anggaran dan belanja negara,
tetapi sudah diijon atau diberi vorskot sebelum anggaran negara ditetapkan di dalam UU
APBN oleh pemerintah dan DPR. Sebagai contoh, kalau suatu instansi ingin mendapat
anggaran tertentu di dalam APBN, maka ia bisa berhubungan dengan oknum di DPR agar
anggaran itu disetujui masuk UU APBN. Sang oknum di DPR setuju memperjuangkannya,
tetapi ”meminta dibayar lebih dulu” sekian persen fee dari anggaran yang akan dicantumkan
di dalam APBN. Jadi sebelum anggaran ada sudah dikorup dulu melalui penarikan fee (suap)
sebesar persentase tertentu. Inilah ijon korupsi.
***
Gambaran belantara korupsi yang seperti itu tak memberi kesimpulan lain bahwa perang
terhadap korupsi masih sangat jauh dari keberhasilan, kalau tak mau mengatakannya gagal.
Tidak sedikit yang kemudian mengatakan bahwa di Indonesia tak berlaku dalil umum yang
banyak dipercaya para akademisi bahwa demokrasi merupakan sistem yang tepat untuk
melawan korupsi. Nyatanya, setelah melakukan demokratisasi di Indonesia korupsi bukan
hanya tidak diberantas, tetapi semakin marak.
Tetapi saya tidak setuju dengan pendapat tentang gagalnya demokrasi melawan korupsi
sekarang ini. Yang terjadi sebenarnya adalah bergesernya demokrasi menjadi oligarki atau
sistem politik yang dihegemoni oleh elite-elite politik yang kolutif antara yang satu dengan
yang lain. Di dalam sistem oligarki seperti ini tak mungkin korupsi bisa diperangi, sebab
elite-elite politik yang kolutif basis gerakannya adalah korupsi.
Banyak yang menyebut demokrasi kita pada era Reformasi yang bergeser ke oligarki ini
adalah demokrasi yang kebablasan, liar, tak bisa dikendalikan. Hak rakyat untuk menikmati
demokrasinya hanya dilakukan selama lima menit saat mencoblos dalam pemilihan umum;
setelah itu, 2.570.395 menit, hak-hak rakyat dikangkangi oleh elite-elite politik.
Menghitungnya sederhana. Jika satu jam memuat waktu 60 menit, sehari terdiri atas 24 jam,
setahun terdiri dari 357 hari, maka dalam lima tahun atau satu periode pemerintahan jumlah
menitnya adalah 2.570.400 menit. Dari jumlah menit itu rakyat hanya menggunakan hak
politiknya selama lima menit saat mencoblos di bilik suara; selebihnya, 2.570.395 menit,
9
dipestaporakan oleh elite secara koruptif dan kolutif.
Itulah yang menyebabkan korupsi menggurita secara mengerikan. Hukum dan penegak
hukum yang seharusnya digdaya menjadi lemah karena memang dilemahkan oleh oligarki
politik.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
10
Tataran Berpikir dan Bertindak
Koran SINDO
15 September 2015
Cara berpikir orang tentulah berbeda. Tetapi, dalam memberi peran pada bidang kerja,
agaknya diperlukan pemahaman bersama atas posisi dan bidang kerja pemilik posisi atau
jabatan. Terutama di dalam pekerjaan dan jabatan yang berkaitan dengan publik alias
masyarakat.
Di sinilah mungkin bedanya bila bekerja di bidang swasta atau partikelir. Yang biasanya
bidang tugasnya telah dirumuskan secara detail. Berbeda dengan jabatan publik, termasuk di
pemerintahan dan penyelenggara negara lainnya. Seolah tiada rincian tugas yang jelas serta
pengawasan yang tegas.
Saya berikan contoh atas pertanyaan seorang anggota DPR ketika partainya memberi
pembekalan terhadap anggota baru. Walau berbeda partai, saya diminta untuk memberi
pembekalan. Khususnya yang menyangkut pertanyaan seorang peserta pembekalan tentang
peran dan fungsi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Saya perlu mempertegas DPR RI karena di kampung saya anggota DPRD juga disebut
sebagai anggota DPR.
Anggota DPR baru yang bertanya itu kebetulan seorang aktor ternama. Pertanyaannya
menyangkut bagaimana seorang anggota DPR memperjuangkan tuntutan konstituen yang
telah menjadi pendukungnya?
Sesuatu yang perlu dipahami bahwa sebagai anggota DPR, wawasannya di tingkat negara dan
bidang kerjanya di tingkat nasional. Pekerjaannya terkait dengan tataran berpikir untuk
tingkat nasional. Saya berikan contoh yang mudah. Alangkah terasa aneh jika Anda ikut
menghadap pimpinan sebuah perusahaan karena para pendukung Anda (yang notabene para
karyawan atau buruh di perusahaan itu) ingin memperjuangkan tuntutan kenaikan gaji atau
tunjangan misalnya. Tugas ini sesungguhnya merupakan bidang tugas pemerintah. Kalaupun
diperlukan pengaturan serta pengawasannya, lebih dekat pada anggota DPRD (baik
kota/kabupaten maupun provinsi).
Jika masuk komisi yang membidang tenaga kerja di DPR, bisa jadi kasus yang sama dapat
diangkat ke tingkat nasional, baik sebagai bagian dari pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas kementerian (menteri) tenaga kerja maupun untuk menyusun atau memperbaiki
peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang) di bidang ketenagakerjaan.
11
Apabila seorang anggota DPR terjebak pada kasus kenaikan upah buruh secara langsung,
waktunya akan tersita atas kasus-kasus sejenis yang jumlahnya amatlah banyak. Berapa
banyak perusahaan di negeri ini. Pada sisi lain, para pimpinan perusahaan akan
menganggapnya dapat diselesaikan dengan menyediakan ”amplop”, sebagai bagian dari
pengeluaran biaya operasional perusahaan. Alangkah tragisnya. Dalam beberapa kasus, hal
semacam ini terjadi.
Karena itu, pertanyaan anggota DPR baru itu amat menarik. Untuk menjelaskan apa dan di
mana sesungguhnya seorang anggota DPR berperan. Bagaimana sang anggota memahami
pekerjaannya, di antara ”sejuta” persoalan yang harus dihadapi. Apalagi jika harus
menghadapi pendukung atau konstituen yang tak lain dari rakyat yang sedemikian banyak
dan beragam. Pertanyaan itu menjadi pintu masuk dalam memandang tataran berpikir dan
bertindak, yang sesungguhnya tidak hanya dihadapi seorang wakil rakyat, baik Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
***
Hal semacam ini juga akan terjadi di lingkup pemerintahan. Apalagi dalam suasana seperti
sekarang ini, di mana ”rakyat” sendiri acapkali menuntut ihwal yang nyata dan tidak lagi
sebatas konsepsi dan teori-teori. Yang mereka tuntut selalu perbuatan nyata dan langsung
terasakan karena wawasan dan tataran berpikirnya juga terbatas. Apalagi, kalau didukung
oleh pers, dari wartawan yang wawasan dan tataran berpikirnya juga kurang lebih sama.
Lihatlah misalnya publikasi yang berlangsung akhir-akhir ini. Seolah kepala pemerintahan
yang sekaligus juga sebagai kepala negara yang membagi-bagi ”sembako” langsung kepada
rakyat merupakan yang seharusnya dan selayaknya dilakukan. Demikian juga ketika
menjamu para sopir dan pengojek di Istana dan blusukan yang berulang-ulang.Seolah
demikianlah seharusnya kepala negara, yang selalu dekat dengan rakyatnya.
Padahal, jika kita urai lebih lanjut, berapa orang yang mendapatkan ”sembako” itu langsung
dari kepala negara? Berapa orang yang dapat diundang untuk makan siang di Istana? Berapa
banyak tempat yang harus di-blusuk-i seantero Tanah Air? Bagaimana dengan rakyat yang
tidak menerima sembako atau tidak ikut makan siang? Atau, daerah yang tidak pernah
didatangi? Misalnya kampung saya, yang sampai sekarang hanya pernah dikunjungi Presiden
Soekarno? Bukankah jumlahnya tidak sebanding.
Sebagaimana soal wawasan dan tataran berpikir yang terkait dengan anggota DPR yang saya
uraikan di atas, banyak bidang pekerjaan yang perlu diserahkan kepada para pembantu atau
kepemimpinan di bawahnya. Biarlah tugas membagi sembako itu diserahkan kepada para
pembantu kepala pemerintahan, baik menteri, kepala lembaga pemerintah non-kementerian
(LPNK), atau para eselon 1 dan eselon 2 di berbagai kementerian. Untuk tingkat daerah,
tugas itu dapat diberikan kepada gubernur, bupati/wali kota, bahkan kepada camat atau lurah.
12
Pelaksanaan program ini perlu disesuaikan dengan posisi dan tugas para pejabat yang
bersangkutan. Biarlah kepala negara serta penyelenggara negara lainnya memikirkan negara.
Biarlah kepala negara memutuskan kebijakan pada tataran negara. Biarlah kepala
pemerintahan memikirkan pemerintahan secara keseluruhan. Mengendalikan perekonomian
secara nasional, mengendalikan penyerapan anggaran negara agar tersalur dengan baik,
mengarahkan dan memberi petunjuk kepada para menteri dan pembantu lainnya agar bekerja
baik, dan berbagai urusan pemerintahan lainnya.
Kalau ada pembagian sembako, cukup yang membagikannya saja menyampaikan salam
kepala negara. Kalau perlu, menegaskan bahwa pembagian sembako itu karena diperintahkan
kepala negara atau kepala pemerintahan. Dengan cara seperti itu, tentu akan lebih
memberdayakan seluruh birokrasi pemerintahan. Seluruh perangkat pemerintahan akan turut
serta berpartisipasi di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahkan juga sampai ke
daerah, jika peran kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) juga diberdayakan.
Pimpinan negara tidak berarti berada di menara gading. Tidak juga terpisah dan melupakan
rakyatnya. Tetapi, semata berbagi tugas dan peran, sesuai dengan tataran berpikir dan
bertindak. Walau tidak ada ”job description” yang jelas, tataran berpikir dan bertindak ini
agaknya perlu dimiliki para pejabat publik, khususnya penyelenggara negara.
Bagaimana pun pencitraan amat diperlukan seorang pemimpin atau calon pemimpin (dalam
segala tingkatan) saat sekarang ini. Sesuatu yang tampaknya didukung demokratisasi, yang
muncul sejak masa Reformasi, di mana dukungan langsung dari rakyat selalu diperlukan.
Tapi, dukungan itu agaknya perlu dibayar secara menyeluruh pula.
Agaknya perlu dipertegas, jika penyelenggaraan negara berlangsung dengan baik, tentulah
berkat kepemimpinan kepala negara. Bila penyelenggaraan pemerintahan negara berjalan
dengan baik, tentulah berkat kepemimpinan kepala pemerintahan. Pers juga perlu berpikir
jernih akan hal ini. Jangan selalu membangun citra dengan sikap lama, asal bapak senang
(ABS).
Kita harus membangun dan melahirkan kepemimpinan berwawasan. Karena itu pula, kita
memerlukan pers yang juga berwawasan jauh ke depan. Bukan hanya untuk keperluan sesaat.
BAHARUDDIN ARITONANG
Mantan Anggota DPR dan BPK
13
Rekodifikasi Setengah Hati
Koran SINDO
16 September 2015
Dimulai kembali pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
setelah dikeluarkan Surat Presiden pada 5 Juni 2015 patut menjadi perhatian.
Keinginan pemerintah untuk melakukan rekodifikasi KUHP warisan kolonial Belanda secara
total justru mengundang sejumlah keraguan. Alhasil, rekodifikasi yang diharapkan mampu
menciptakan kesatuan sistem pemidanaan yang terpadu yang anti-kolonial (dekolonisasi) pun
terlihat klise dan secara eksplisit tak tampak dalam draf RKUHP yang diajukan pemerintah.
Keraguan ini pun bukan tanpa alasan, masih ditemukan sejumlah penyimpangan formil dalam
RKUHP sebelum masuk pada substansi pasal per pasal. Adapun sejumlah penyimpangan itu
di antaranya: Pertama, RKUHP masih terasa kolonial. Rasa kolonial terlihat dari model
pembukuan model pembukuan RKUHP yang tidak jauh berbeda dengan KUHP kolonial
yang terdiri atas dua buku, buku pertama berbicara tentang ketentuan umum dan buku kedua
tentang tindak pidana (kejahatan).
Kendati demikian, RKUHP justru menyimpangi ketentuan aturan main pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini terlihat dari penempatan
ketentuan istilah yang diletakkan pada bab terakhir mulai dari Pasal 164 sampai Pasal 217.
Sejatinya, ketentuan istilah diletakkan pada Bab 1.
Kedua, RKUHP belum berhasil menyatukan sistem pemidanaan dan tumpang tindihnya
ketentuan pidana dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Hal ini terlihat dari
ketentuan Pasal 218 RKUHP yang menyatakan, ”Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab
V buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan
perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang”.
Ketiga, RKUHP menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekacauan penerapan pasal dalam
peraturan perundang-undangan. Sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Terorisme, Undang-Undang Narkotika, dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya
diambil sebagian dan terkesan ”asal comot”. Dengan begitu, muncul pertanyaan tentang nasib
pasal yang tetap dibiarkan dalam undang-undang asalnya.
Keempat, RKUHP terkesan memaksakan diri dengan mengakui ketentuan pidana lain di luar
kodifikasi. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 2 yang mengakui kedudukan hukum pidana
adat yang hidup di masyarakat.
14
Kelima, masih ditemukan kontradiksi sistem kodifikasi dalam ketentuan peralihan RKUHP.
Hal ini terlihat dari sejumlah ketentuan yang menyatakan bahwa ketentuan undang-undang di
luar KUHP harus menyesuaikan paling lama tiga tahun dan setelahnya undang-undang di luar
KUHP tersebut dengan sendirinya merupakan bagian dari KUHP. Hal ini jelas melanggar
asas lex certa (tidak multitafsir) dan lex stricta (harus ditafsirkan seperti apa yang dibaca)
dalam penyusunan sebuah perundangundangan.
Mengaburkan
Kondisi tersebut jelas menunjukkan rekodifikasi setengah hati dalam RKHUP. Damiano
Canale (2009) mengatakan tujuan kodifikasi pada era modern adalah: untuk mendesain dan
menyimplifikasi perbedaan peraturan perundang-undangan menjadi satu kumpulan dengan
maksud memudahkan para praktisi hukum; untuk membuat sistematisasi hukum materiil serta
unifikasi hukum sehingga antarpengaturan saling berhubungan; dan untuk membentuk suatu
sistem hukum yang baru berdasarkan fundamental politik hukum sehingga masing-masing
lembaga hukum saling mendukung untuk tercapainya kesatuan sistem.
Jika mengacu pada pengalaman sejumlah negara, model kodifikasi yang dilakukan jelas
berbeda dengan yang dilakukan RKUHP di Indonesia. Sebut saja dalam Wetboek van
Stafrecht (WvS), sejak awal pembentukannya tidak memungkinkan ada ketentuan pidana di
luar kodifikasi dan semua pengaturan termuat dalam kodifikasi pidananya.
Dengan begitu, tidak diperlukan mekanisme peralihan antara aturan ketentuan pidana di luar
kodifikasi untuk dimasukkan dalam kodifikasi pidana. Sekalipun ada pengaturan lebih
khusus, hanya untuk menyelesaikan pengaturan yang lebih detail atau spesifik, dan tidak
diperuntukkan untuk ada perbedaan asas dan prinsip.
Praktis, situasi politik hukum dalam menentukan rekodifikasi ini perlu mendapatkan
perhatian serius. Pilihan politik hukum ini sejatinya dapat tuntas sebelum DPR dan
pemerintah membahas pasal per pasal dalam RKUHP.
Peta Jalan
Berdasarkan hal tersebut, penulis memandang perlu ada roadmap atau peta jalan yang harus
disepakati Presiden dan DPR sebelum melakukan pembahasan RKUHP. Peta jalan ini harus
memuat sejumlah langkah strategis dalam membahas RKUHP ini. Adapun langkah tersebut
antara lain:
Pertama, Presiden dan DPR harus membuat kesepakatan mendasar mengenai politik hukum
apa yang akan diterapkan dalam rekodifikasi RKUHP ini. Pilihannya, apakah semua
ketentuan pidana materiil harus disatukan ke dalam RKUHP atau dibiarkan terpisah-pisah
dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan. Tentu masing-masing akan
mempunyai implikasi dan akibat yang berbeda. Dengan demikian, akan jelas status undang-
undang dan perda yang selama ini mengatur ketentuan pidana di luar KUHP.
15
Kedua, perlu disepakati mekanisme pembahasan yang efektif dan efisien seperti model
clustering agar memudahkan pembahasan pasal-pasal dalam RKUHP yang jumlahnya
banyak tersebut.
Langkah ketiga, membuat komitmen yang tinggi dari Presiden dan DPR untuk menyelesaikan
RKUHP secara tepat waktu dengan kualitas yang baik dan mampu diterima masyarakat. Jika
ini dilakukan, tentu merupakan kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, RKUHP ini dapat
dianggap sebagai masterpiece produk anak bangsa dalam upaya menyelesaikan salah satu
persoalan terbesar dalam pemidanaan di Indonesia. Semoga!
M NASIR DJAMIL
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
16
UU KPK Harus Direvisi
Koran SINDO
16 September 2015
Undang-Undang KPK yang diundangkan pada 2002 bak buah simalakama; tak jadi
diundangkan, reformasi tak bergerak; jadi diundangkan, ada kekhawatiran dan telah terjadi
politisasi dan kriminalisasi dalam pemberantasan korupsi.
Sebagai contohnya adalah tidak ada yang dapat menolak kenyataan pada kasus Century,
BLBI, LHI, Anas Urbaningrum, Miranda Gultom, Angelina Sondakh, serta terakhir kasus
Pelindo II. Tidak ada pula yang menyangka akan ada kasus Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto eks pimpinan KPK dan masih banyak lagi kejutan-kejutan terkait kinerja KPK.
Mengapa? Sejarah pembentukan UU KPK 2002 amat rumit, kompleks masalahnya, dan
banyak sekali tantangan dan hambatan dari instansi penegak hukum lain dan politisi di
Senayan. Alhasil, pembahasan draf RUU KPK akhirnya disetujui dengan bertambahnya
pasal-pasal kompromistis.
Sebagai contoh, semula draf UU KPK menghendaki KPK lembaga independen sehingga
penyelidik, penyidik, dan penuntut independen tidak berasal dari Polri dan Kejaksaan. Tetapi,
konsep itu ditolak politisi dan institusi penegak hukum sehingga diambillah jalan kompromi.
Mereka tetap berasal dari instansi asalnya, tetapi diberhentikan sementara (Pasal 39 ayat 3)
agar tidak terjadi loyalitas ganda pada mereka. Jadi, tidak benar dalam praktik oleh pimpinan
KPK ditafsirkan dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.
KPK diperbolehkan melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tanpa izin
pengadilan, tetapi dengan rambu pembatas yaitu harus diputuskan dan disetujui bersama-
sama lima pimpinan KPK dan tidak boleh ada SP3 termasuk penetapan tersangka.
KPK juga diperkuat (semula) oleh penasihat KPK, tapi dalam kenyataan penasihat yang ada
tidak efektif dan untuk pengawasan cukup oleh publik sehingga KPK wajib bertanggung
jawab kepada publik (Pasal 20 ayat 2) baik kinerja dan keuangan serta membuka akses
informasi seluas-luasnya kepada masyarakat. Hal ini seingat saya tidak dilakukan KPK
kecuali konferensi pers dan menempatkannya di website KPK dan hanya ketika KPK
menetapkan tersangka KPK.
Dalam praktiknya, KPK jilid III telah melakukan tindakan hukum yang menyimpang atau
bertentangan dengan maksud dan tujuan diberikannya mandat oleh UU KPK. Penyimpangan
tersebut seperti tidak lagi dipertahankan dan dijalankannya asas kepemimpinan kolektif
(Pasal 21 ayat 5) dan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum (Pasal 21
17
ayat 4). Terbukti sejak KPK jilid III tidak ada yang berasal dari Polri dan capim KPK jilid IV
tidak ada yang berasal dari penuntut umum. Kekurangan penyidik dan penuntut umum jelas
cacat hukum dalam proses seleksi pimpinan KPK dan tidak ada alasan apa pun untuk dapat
menyimpang dari ketentuan UU KPK.
Pembagian tugas dan fungsi lima pimpinan KPK jelas melanggar asas kolektivitas karena
dengan pembagian tersebut tanggung jawab lima pimpinan KPK dialihkan kepada masing-
masing pimpinan KPK saja. Jika hal ini terjadi, merupakan awal dari kehancuran KPK
sebagai lembaga independen dan memadai dalam memberantas korupsi di K/L termasuk di
lingkungan penegak hukum.
***
Mengacu pada kenyataan pahit yang dihadapi KPK dengan putusan pra-peradilan hakim
Sarpin dan Haswandi, menjadi pertanyaan bagaimana cara mempertahankan KPK. Dalam
pengamatan penulis tidak ada jalan lain selain melakukan revisi terhadap UU KPK 2002. Ada
sepuluh sektor yang harus direvisi.
Pertama, menetapkan batas waktu keberadaan KPK sebagai lembaga ad hoc dan bersifat
komplementer terhadap institusi Polri dan Kejaksaan dan ditegaskan dalam revisi UU KPK.
Kedua, menetapkan syarat sahnya kepemimpinan KPK yang juga penyidik dan penuntut
umum. Ketiga, merinci kewenangan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tanpa izin
pengadilan sehingga dicegah ”abuse of power”.
Keempat, pengawasan diperkuat oleh Dewan Pengawas Penegakan Hukum sebagai lembaga
khusus dan mandiri di bawah Presiden yang berwenang melakukan pengawasan terhadap
KPK, Polri, dan Kejaksaan serta hakim dengan konsekuensi penghapusan Komisi Kepolisian,
Kejaksaan, dan Komisi Yudisial. Kelima, pertanggungjawaban kepada publik oleh KPK,
Polri, dan Kejaksaan diperketat dengan sanksi administrasi jika dilanggar.
Keenam, penegasan batas kewenangan KPK untuk kasus korupsi tertentu untuk memperkuat
ketentuan Pasal 11 UU KPK 2002. Ketujuh, ketentuan larangan SP3 untuk KPK tidak
absolut, melainkan dibuka kemungkinan SP3 dengan syarat-syarat yang ketat termasuk
sanksi administrasi terhadap penyidiknya.
Kedelapan, penghapusan fungsi koordinasi dan supervisi KPK terhadap Polri dan Kejaksaan
termasuk kewajiban SPDP karena telah terbentuk Dewan Pengawas Penegakan Hukum
Kesembilan, syarat pelaporan harta kekayaan seluruh pimpinan dan jabatan deputi/direktur
KPK diperketat dan diumumkan kepada publik termasuk juga di jajaran Polri dan Kejaksaan.
Kesepuluh, perlu dievaluasi keberadaan pengadilan tipikor dan seleksi hakim tipikor secara
ketat di bawah pengawasan Mahkamah Agung RI. Selain dari perubahan sebagaimana
diuraikan, di tingkat kementerian dan lembaga juga diperkuat rekrutmen melalui lelang
jabatan pada eselon tertentu untuk mencegah ”job-seeker” semata-mata sehingga dapat
18
mengembalikan marwah kedudukan dan fungsi jabatan publik serta masa depan organisasi
kelembagaan yang ada.
Peranan dan fungsi inspektorat/pengawasan di K/L juga perlu ditingkatkan baik audit kinerja
dan keuangan serta penegasan kembali BPK RI sebagai satu-satunya auditor negara untuk
mencegah tumpang tindih pemeriksaan kinerja dan keuangan K/L yang menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Penyuluhan UU No. 30 Tahun 2014 perlu diintensifkan ke seluruh K/L dan aparatur penegak
hukum sehingga dapat mencegah ”kriminalisasi tindakan administratif” yang selama ini
terjadi dalam praktik dan memperkuat prinsip kehati-hatian (prudential principle) di kalangan
aparatur penegak hukum yang selama ini diabaikan karena telah memfungsikan sarana
hukum pidana sebagai primum remedium, bukan ultimum remedium.
Sekiranya pemerintah (eksekutif) dan legislatif serta pimpinan lembaga penegak hukum
memperhatikan atau mempertimbangkan saran penulis, insya Allah penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi akan tepat sasaran dengan outcome yang efisien dan efektif tanpa
harus membuat ”kegaduhan” di kalangan penyelenggara negara. Amin.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran; Direktur LPIKP
19
Calon Tunggal: Aklamasi atau Kontestasi
Koran SINDO
16 September 2015
Saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) sedang berlangsung persidangan permohonan
pengujian Undang-Undang Pilkada terkait calon tunggal yang diajukan calon Wakil Wali
Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana dan ahli komunikasi politik Effendi Ghazali. Pemerintah,
DPR, dan pihak terkait KPU bahkan sudah menyampaikan keterangannya 8 September 2015.
Soal calon tunggal, pembuat UU diperkirakan tidak membayangkannya akan terjadi dalam
pilkada. Asumsinya, parpol akan berlomba mengusung calonnya untuk merebut kekuasaan.
Bukankah parpol hadir untuk merebut kekuasaan secara konstitusional dan berjuang untuk
merepresentasikan kepentingan anggotanya dalam siklus lima tahunan pemilu dan pilkada?
Legislator membayangkan calon tunggal hanya terjadi kalau hasil verifikasi atas calon yang
mendaftar menghasilkan kurang dari dua calon. Solusinya, pilkada ditunda paling lama
sepuluh hari, lalu dibuka kembali masa pendaftaran selama tiga hari. Pengaturan yang juga
masih diwarnai aura positif bahwa pasti ada calon baru yang mendaftar (vide Pasal 49 ayat 8
dan Pasal 50 ayat [8] UU 8/2015).
Berbagai Penyebab
Pilkada serentak ternyata mengubah realitas pilkada. Waktu pencalonan yang bersamaan
tidak memungkinkan redistribusi kader parpol antardaerah. Sesuatu yang jamak terjadi saat
jadwal pilkada berserakan dalam waktu yang berbeda. Calon gagal di provinsi mencalon
kembali di kabupaten/kota. Atau, calon gagal di daerah A mencalonkan diri kembali di
daerah B.
Pilkada serentak menyaratkan rekrutmen kader secara bersamaan untuk mengisi jabatan di
269 daerah seluruh Indonesia. Diperbesarnya syarat dukungan untuk mengajukan calon juga
membuat upaya membentuk koalisi parpol semakin berat dan rumit. Parpol atau gabungan
parpol harus punya sekurangnya 20% kursi di DPRD atau 25% suara sah hasil pemilu lalu.
Tidak banyak parpol yang bisa mengajukan calon tanpa koalisi dengan parpol lain.
Konsolidasi yang tergesa-gesa akibat kisruh ketidakpastian pilkada langsung ataukah melalui
DPRD berkontribusi pula pada tidak siapnya parpol menghadapi Pilkada Serentak 2015.
Bayang-bayang pilkada oleh DPRD seolah masih jadi euforia saat akhirnya UU Pilkada
langsung disahkan awal 2015.
20
Pemerintah juga terkesan ngotot pilkada harus pada 2015 meski banyak pihak (termasuk
Perludem dan KPU RI) meminta agar pilkada serentak gelombang pertama diselenggarakan
pada pertengahan 2016. Calon perseorangan pun tidak bisa berbuat banyak karena syarat
dukungan untuk mencalon dinaikkan pembuat UU, semula 3-6,5% menjadi 6,5-10% dari
jumlah penduduk.
Cerita soal mahar politik dan sewa perahu juga menambah kompleksitas. Alhasil, calon
tunggal menjadi warna tersendiri yang hadir dan membangun diskursus pilkada kali ini.
Dualisme kepengurusan partai pascapilpres bisa jadi turut menyumbang terjadi calon tunggal.
Golkar sebagai pemenang kedua Pileg 2014 misalnya ”hanya” mengusung calon di 116
daerah. Bandingkan dengan PDIP yang bisa mengusung calon di 244 daerah (JPPR, 2015).
Syarat wajib mundur setelah ditetapkan sebagai pasangan calon bagi anggota DPR, DPD, dan
DPRD yang maju pilkada sebagaimana diputuskan oleh MK Juli 2015 membuat banyak
anggota DPR, DPD, dan DPRD yang semula berencana maju membatalkan niatnya untuk
menguji ”peruntungan” politik di kontestasi pilkada. Karena toh juga tak ada jaminan bisa
menang, apalagi jika elektabilitas juga tak bagus-bagus amat. Alih-alih sudah keluarkan
banyak biaya, jabatan pun melayang pula. Mereka lebih memilih untuk bermain aman saja
dengan membatalkan niat berkompetisi di pilkada.
Tunda ke Februari 2017
Ketidaksiapan UU membuat KPU harus berijtihad. KPU lalu membuat pengaturan kalau
sampai masa perpanjangan pendaftaran tidak ada calon lain mendaftar, tahapan pilkada
dihentikan dan pilkada ditunda ke Februari 2017.
Untuk sebagian kalangan, pilihan ini dianggap tidak adil bagi calon tunggal maupun pemilih.
Parpol bisa saja melihat peluang penundaan itu sebagai kesempatan untuk menjegal calon
tunggal dengan elektabilitas tinggi. Calon tunggal yang mayoritas adalah petahana diharap
mengalami penurunan elektabilitas jika pilkada dimundurkan. Daripada berkompetisi
menghabiskan banyak energi dan biaya lalu kalah, lebih baik ”realistis”.
”Realistis” didekati dengan logika berdagang, bukan logika demokrasi bahwa pilkada adalah
medium kontestasi untuk menunjukkan eksistensi dan kemampuan tarung parpol kepada
konstituen maupun pemilih. Saat ini ada tiga daerah yang ditunda pilkadanya ke Februari
2017 yaitu Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
Pilkada Kota Surabaya lebih unik lagi. Setelah mengalami dua kali perpanjangan, pasangan
Rasiyo-Dhimam yang mendaftar sebagai penantang pasangan petahana Risma-Wisnu
dinyatakan tidak memenuhi syarat. KPU Surabaya akhirnya membuka kembali tahapan
pendaftaran pada 8-10 September 2015 dan menghasilkan pendaftar baru pasangan Rasiyo-
Lucy Kurniasari.
Kontestasi atau Aklamasi
21
Mayoritas negara multipartai, kerangka hukum dan regulasi akan tetap melantik calon
tunggal sebagai pemenang pemilu, baik melalui kontestasi pemungutan suara maupun
aklamasi. Di Amerika dikenal Uncontested Election (pemilu tanpa kontestasi), di mana
karena hanya ada satu pasang calon setelah masa pendaftaran habis, yang bersangkutan
ditetapkan sebagai pemenang.
Kalau di Kanada dikenal dengan istilah aklamasi, di Amerika Serikat istilahnya work over.
Diadakan kontestasi pemungutan suara atau aklamasi bergantung pada kondisi sosial politik
dan kultur pemilu suatu negara.
Bagaimana solusi calon tunggal untuk pilkada kita? Lagi-lagi, dalam pandangan penulis,
daerah bercalon tunggal tahapan pilkadanya tidak perlu dihentikan. Merujuk referensi banyak
negara dan belajar dari proses demokrasi Indonesia di tingkat desa, tahapan pilkada bisa
dilanjutkan dan calon tunggal bisa diuji dalam kontestasi pemungutan suara dengan melawan
kolom kosong dalam surat suara. Kalau calon tunggal memang dikehendaki pemilih dan
mewakili kepentingan yang sama dari pemilih, calon tunggal pasti terpilih.
Namun, jika calon tunggal lahir dari persekongkolan parpol karena proses transaksi yang
terjadi sejak awal, pemilih dan masyarakat akan menemukan jalan kritik dan perlawanannya
sendiri untuk menentukan pilihan yang berbeda. Ada ruang dan mekanisme korektif yang
bisa diberikan publik.
Bagaimana kalau kolom kosong menang? Bisa saja calon tunggal tetap dikukuhkan sebagai
pemenang dengan prasyarat jumlah minimum partisipasi atau jumlah perolehan suara
minimum 30% misalnya. Atau, bisa saja pilihannya dilakukan pembukaan pendaftaran calon
baru dan si calon tunggal tidak boleh lagi ikut serta seperti halnya terjadi pada pemilihan
kepala desa.
Pilihan-pilihan tersebut bisa ditentukan pembuat undang-undang. Namun, dalam hal ini
penulis lebih berpendapat apabila kolom kosong menang, membuka pendaftaran baru adalah
pilihan yang lebih demokratis.
Terkait dengan pengujian calon tunggal di MK. Kalau MK bisa memutus cepat, kepastian
hukum bisa diberikan untuk menjawab polemik calon tunggal ini. Mempercepat putusan MK
adalah pilihan yang paling baik dan bisa diterima semua orang untuk melindungi hak pilih
pemilih dan hak untuk dipilih calon.
Tetapi, jika MK akan memutus sebuah ”aturan baru” dan terjadi perubahan dalam proses
pemungutan suara terkait dengan diakuinya eksistensi calon tunggal oleh MK, harus
diberikan waktu yang cukup bagi KPU sebagai penyelenggara dan para pemangku
kepentingan pilkada untuk menyosialisasikan dan mendiseminasi informasi terkait perubahan
sistem pencoblosan dengan satu calon tersebut.
22
Maka itu, bisa saja hari pemungutan suara untuk daerah dengan calon tunggal tidak harus
serentak di 9 Desember 2015. Namun, tentu tidak boleh bergeser jauh agar tidak mengganggu
penataan jadwal pilkada menuju Pilkada Serentak Nasional 2027.
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
23
Lintas Komisi di Pansus Pelindo Gate
Koran SINDO
17 September 2015
PT Pelindo II sarat masalah atau kasus. Diduga telah terjadi penyelewengan dana atau
korupsi, pencucian uang, hingga monopoli area pelabuhan oleh sekelompok pengusaha.
Paling serius adalah dugaan pelanggaran undang-undang (UU) dalam proses perpanjangan
kontrak atau konsesi pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh
Hutchinson Port Holding (HPH).
Itu sebabnya, Panitia Khusus DPR (Pansus) DPR untuk kasus Pelindo II harus beranggotakan
lintas komisi. Komisi III DPR akan mendalami aspek pelanggaran hukum dan UU. Aspek
infrastruktur dan regulasi pelabuhan didalami oleh Komisi V DPR. Oleh karena Pelindo II
berstatus badan usaha milik negara (BUMN), peran Komisi VI DPR tentu saja relevan dan
sangat diperlukan. Aspek penerimaan negara dan permodalan didalami oleh Komisi XI DPR.
Persoalannya sudah sangat serius sehingga berbagai aspek tadi memerlukan kajian yang lebih
mendalam, termasuk aspek ketenagakerjaan.
Mungkin, padanan masalah Pelindo II adalah pepatah berikut ini; sepintar-pintar bangkai
ditutupi, baunya akan tetap tercium juga. Kalau saja para penguasa tidak memberi reaksi
berlebihan atas penggeledahan di Kantor Pelindo II oleh Bareskrim Mabes Polri tempo hari,
DPR mungkin tidak akan pernah berpikir atau berinisiatif membentuk pansus guna
menyelidiki sepak terjang para pengelola BUMN yang satu ini. Namun, takdir sudah
berbicara dan menghendaki pepatah tadi itu diberlakukan.
Reaksi berlebihan pemerintah yang berpuncak pada pergeseran jabatan dua perwira tinggi
Mabes Polri baru-baru ini menghadirkan keanehan di jagat hukum dan perpolitikan negeri
ini. Sang perwira yang menggeledah dituduh membuat gaduh dan mengganggu
perekonomian sehingga dia harus dipindah ke pos lain. Sementara pihak tergeledah yang
lancang dan berperilaku tidak etis justru dilindungi oleh sejumlah orang di sekitar Presiden
Joko Widodo. Begitulah potret keanehan itu.
Salah besar jika keanehan atau ketidakwajaran itu didiamkan atau tidak diselidiki. Benar
bahwa Polri telah melakukan penyelidikan atas ketidakwajaran pembelian 10 unit mobile
crane (pemindah kontainer) oleh manajemen Pelindo II dan dugaan kasus pencucian uang.
Tetapi, ketidakwajaran sikap beberapa pejabat pemerintah serta Direktur Utama (Dirut)
Pelindo II RJ Lino juga harus diselidiki. Begitu juga dengan ketidakwajaran proses yang
melatarbelakangi perpanjangan konsesi pengelolaan JICT oleh HPH. Negara merugi triliunan
rupiah jika kontrak itu dijalankan.
24
Ketidakwajaran itu terjadi akibat kehadiran politik kekuasaan. Ekstremnya, ada intervensi
terhadap proses hukum. Maka itu, DPR-lah yang berwenang merespons intervensi politik
kekuasaan terhadap sebuah proses hukum. Bisa dipastikan bahwa institusi penegak hukum
tidak mungkin mempertanyakan alasan pemerintah bersikap berlebihan atas penggeledahan
Kantor Pelindo II oleh Bareskrim Polri. Hanya DPR yang memiliki kekuasaan untuk bertanya
kepada Wakil Presiden, Menteri PPN/Kepala Bapenas Sofyan Djalil, atau Menteri BUMN
Rini Soemarno.
Dari deskripsi masalah seperti itu, syarat bagi tampilnya sebuah Pansus DPR untuk kasus
Pelindo II bukan hanya sudah terpenuhi, melainkan nyata-nyata menjadi sebuah kewajiban
yang tidak bisa ditawar.
Urgensi Pansus DPR pun semakin kuat setelah Bareskrim Polri membatalkan status tersangka
terhadap seseorang dalam kasus Pelindo II. Padahal, sebelumnya Bareskrim mengumumkan
penetapan tersangka untuk Direktur Teknis dan Operasional PT Pelindo II berinisial FN.
Artinya, kehadiran Pansus DPR menjadi sangat penting, antara lain untuk mengawal proses
hukum itu sendiri.
Karut-marut pengelolaan pelabuhan sudah berlangsung sangat lama. Manajemen hukum
rimba dipraktikkan pada hampir semua pelabuhan, termasuk di Tanjung Priok. Kebobrokan
manajemen pelabuhan menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi. Masyarakat pasti
senang dan mendukung perbaikan tata kelola pelabuhan. Kini semua orang pasti lega karena
ragam penyimpangan manajemen di Pelabuhan Tanjung Priok akhirnya tersentuh hukum.
Kasus ketidakwajaran 10 mobile crane dan beberapa dugaan pelanggaran yang
melatarbelakangi penggeledahan kantor Pelindo II sudah banyak diulas. Namun, temuan
terbaru yang juga sangat menjengkelkan adalah penyebab utama terjadi inefisiensi bongkar-
muat barang. Inefisiensi terjadi karena operator Pelabuhan Tanjung Priok, PT Pelindo II,
tidak fair dan cenderung korup.
Rekayasa
Rentang waktu inap barang di pelabuhan atau dwell time yang masih sangat lama ternyata
memang direkayasa. Dugaan rekayasa dwell time itu ditemukan oleh Menteri Koordinator
Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli ketika dia melakukan inspeksi ke
Pelabuhan Tanjung Priok. Area pelabuhan ternyata sudah dikapling-kapling untuk
sekelompok pengusaha.
Menteri Rizal mendapatkan laporan bahwa perusahaan milik anggota keluarga Dirut Pelindo
II pun mendapat kapling di area pelabuhan. Dari pengaplingan itu muncul raja-raja kecil
pelabuhan dan membuka lapak di area kapling masing-masing. Penguasaan area atau
pengaplingan dimanfaatkan oleh raja-raja kecil itu untuk area penumpukan barang.
Perpindahan barang dari kapling yang satu ke yang lainnya tentu saja butuh waktu dan biaya.
25
Pembengkakan biaya dwell pasti terjadi karena pemilik kapling biasanya sengaja mengulur
waktu untuk mendapatkan pembayaran yang lebih besar dari pemilik barang. Waktu
pemindahan yang lama hingga barang keluar dari pelabuhan tak bisa dihindari oleh pemilik
barang. Kalau ingin mendapat perlakuan khusus atau proses dwell time yang cepat, pemilik
barang harus berani membayar lebih mahal. Itu sebabnya, polisi menduga sudah terjadi
tindak pemerasan dalam proses mengeluarkan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok. Selain
tindak pemerasan, pengaplingan area pelabuhan untuk mengacau-balaukan dwell time sudah
masuk kategori kejahatan terhadap perekonomian negara.
Selain faktor dwell time, perpanjangan konsesi pengelolaan JICT oleh HPH pun tampak tidak
wajar sehingga memunculkan dugaan ada rekayasa. Kesan ketidakwajaran yang pertama
adalah RJ Lino yang terlihat sangat terburu-buru ingin memperpanjang konsesi HPH untuk
mengelola JICT. Padahal, konsesi pertama yang masih berlaku saat ini baru akan berakhir
empat tahun lagi atau pada 2019 untuk pengelolaan JICT, dan untuk pengelolaan terminal
peti kemas (TPK) Koja berakhir tiga tahun lagi atau pada 2018.
Ketidakwajaran berikutnya adalah kesan bahwa RJ Lino yang hanya dirut BUMN itu jalan
sendiri dalam memperpanjang konsesi HPH di JICT, tanpa terlebih dahulu berkonsultasi
dengan pemerintah dan DPR. Harap diingat bahwa JICT diprivatisasi ketika negara ini masih
berselimut krisis moneter pada 1999. Pembahasan dan negosiasi privatisasi JICT saat itu
dilaksanakan oleh tiga menteri; menteri keuangan, menteri negara BUMN dan menteri
perhubungan. Sebelum finalisasi privatisasi itu, semua aspek dikonsultasikan dengan DPR.
RJ Lino dan anggota direksi Pelindo II lainnya tidak punya hak untuk memutuskan
perpanjangan konsesi pengelolaan JICT dengan HPH atau siapa pun juga. Pemberian atau
perpanjangan konsesi pengelolaan area pelabuhan merupakan domain otoritas pelabuhan
yang berada di bawah Kementerian Perhubungan RI.
Secara sepihak, Lino pernah mengklaim bahwa perpanjangan konsesi 20 tahun pengelolaan
JICT oleh HPH sudah mendapat persetujuan dari Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan
Menteri BUMN Rini Soemarno. Namun, klaim itu diduga manipulatif. Sebab, Menteri
BUMN dalam suratnya memang menyatakan bahwa secara prinsip bisa menyetujui rencana
memperpanjang konsesi pengelolaan JICT oleh HPH. Namun, Menteri BUMN memberi
syarat bahwa perpanjangan konsesi itu harus mengacu pada UU No. 17/2008 tentang
Pelayaran. UU ini dengan tegas memisahkan wewenang dan peran regulator pelabuhan
dengan operator pelabuhan.
Dengan menunjukkan syarat itu, Menteri BUMN ingin mengatakan kepada Lino bahwa
Pelindo II sebagai operator Pelabuhan Tanjung Priok tidak berwenang memperpanjang
konsesi HPH. Sebaliknya, Pelindo II justru harus mendapatkan konsesi terlebih dahulu dari
regulator pelabuhan untuk mengelola Pelabuhan Tanjung Priok. Artinya, Lino harus minta
konsesi dari Kementerian Perhubungan RI.
26
Namun, Lino tidak menghiraukan surat Menteri BUMN. Konon, bermodalkan persetujuan
dan tanda tangan Menko Perekonomian sebelumnya, Lino nekat bertindak mengatasnamakan
Pemerintah RI menyetujui perpanjangan konsesi HPH untuk mengelola JICT.
Sebegitu jauh, tidak ada yang berani menghentikan sepak terjang Lino, karena ada banyak
orang kuat, orang penting, dan pengusaha besar yang siap pasang badan untuk membela Lino.
Publik tentu masih ingat ketika Lino dengan suara lantang menentang gagasan menteri
perhubungan yang menyarankan Presiden untuk memulihkan wewenang Kementerian
Perhubungan sebagai regulator pelabuhan, utamanya membenahi dwell time.
Kini kekuatan Lino dan kawan- kawan pendukungnya sedang diuji. Dimulai dengan tindakan
Bareskrim Polri menggeledah Kantor Pelindo II, ujian bagi Lino dkk. itu akan berlanjut
dengan tampilnya Pansus DPR untuk kasus Pelindo II. Akhirnya seperti peribahasa; sepintar-
pintar bangkai ditutupi, baunya akan tetap tercium juga.
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
27
Pilkada Serentak Untungkan Rakyat?
Koran SINDO
18 September 2015
Sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa pada 9 Desember 2015 akan
dilaksanakan pilkada serentak di berbagai kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia.
Hingga saat ini beberapa tahapan awal pilkada sudah selesai dilaksanakan untuk memastikan
pelaksanaan pesta demokrasi di tingkat lokal ini secara aman, tertib, dan sesuai aturan yang
berlaku. Pertanyaannya, apakah pilkada ”serentak” pada Desember 2015 benar-benar akan
bisa memberikan hasil yang terbaik untuk rakyat dan bukan pilkada borongan yang hanya
memboroskan uang rakyat?
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 telah memutuskan
bahwa pemilihan umum akan dilaksanakan secara serentak pada 2019 dan setelahnya di mana
rakyat akan disodorkan pada lima kotak pilihan dalam satu kali masa pemilihan umum:
presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Sepintas, dengan proses pemilihan seperti ini akan menguntungkan rakyat, sebagaimana
disampaikan dalam argumentasi Effendi Ghazali, di mana hanya satu kali dalam lima tahun
rakyat akan disibukkan oleh proses pemilihan umum yang melelahkan dan setelahnya akan
bisa menikmati hasil pemilihan tersebut untuk lima tahun ke depan. Rakyat tidak akan
mengeluh karena dipusingkan oleh rutinitas pemilihan umum sebagaimana berlangsung
selama ini, terutama pilkada, yang menyita waktu masyarakat untuk bekerja mencari nafkah
dan karenanya tidak menguntungkan. Ramlan Surbakti (2014) menyatakan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut tidak serta-merta akan membawa pada tujuan terciptanya
sistem pemerintahan presidensial yang efektif di Indonesia.
Meski MK menggunakan metode penafsiran sistematik di dalam pertimbangan putusannya,
MK tidak memasukkan pilkada serentak sebagai bagian dari putusan tersebut. Mungkin
situasi ini terjadi karena di dalam permohonan yang diajukan oleh Effendi Ghazali tidak
menyebutkan sama sekali tentang pilkada.
Padahal, bila merujuk pada sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur di dalam UU 32
Tahun 2004 dan revisinya yaitu UU 23 Tahun 2014, ia merupakan satu kesatuan yang utuh
dari sistem negara kesatuan yang berbentuk republik sebagaimana disebutkan di dalam UUD
1945 Pasal 1 ayat (1) tentang susunan negara Indonesia.
28
Jadi, ketika pemilu nasional akan dilaksanakan secara serentak sebagaimana putusan MK
mulai 2019 dan setelahnya, pemilu di tingkat lokal (pilkada) juga harus dilaksanakan secara
serentak pula. Pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota
harus dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Salah satu indikator efektivitas pemerintahan adalah tercipta sinergitas kerja antara kepala
eksekutif dan lembaga legislatif, yang setidak-tidaknya, pertama, ditunjukkan di dalam
kebijakan publik yang dengan mudah bisa disepakati oleh kepala eksekutif dan lembaga
legislatif. Kedua, kebijakan publik yang sesuai dengan kehendak rakyat tersebut bisa
diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh rakyat.
Absennya Coat-Tail Effect
Coat-tail effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh
pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Di dalam konteks proses politik, ini kecenderungan
bagi seorang pemimpin partai populer yang dicalonkan untuk suatu jabatan eksekutif
(presiden, gubernur, bupati, atau wali kota) menimbulkan daya tarik pemilih kepada calon
lain dari partai yang sama dalam pemilihan umum (Surbakti, 2014).
Kecenderungan ini terjadi karena para pemilih mengaitkan calon anggota legislatif dari partai
yang sama dengan pemimpin politik yang dicalonkan untuk jabatan eksekutif. Jadi, bila suatu
partai mengajukan seorang calon yang populer sebagai calon kepala eksekutif dan
memenangkan pemilihan tersebut, biasanya partai yang sama akan memenangkan mayoritas
kursi di lembaga legislatif. Inilah yang dimaksud dengan coat-tail effect dalam proses politik
dan hanya akan bisa terjadi bila proses pemilihan kepala eksekutif dan anggota legislatif
dilaksanakan secara serentak (concurrent).
Karena itu, kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, pilkada pada 9 Desember 2015
bukanlah pemilu serentak (concurrent) yang bisa menghasilkan coat-tail effect di dalam
sebuah sistem pemerintahan yang mengadopsi prinsip pembagian kekuasaan antara lembaga
eksekutif dan legislatif. Ini hanyalah pilkada borongan yang akan memboroskan uang rakyat.
Sementara sangat kecil kemungkinan untuk menciptakan pemerintahan daerah yang efektif.
Hanya kepala eksekutif daerah yang akan dipilih dan anggota legislatif daerah tidak berubah,
terutama komposisi partai-partai anggota legislatif. Dengan begitu, fenomena Ahok di DKI
Jakarta akan sangat mungkin terjadi di daerah-daerah yang akan melaksanakan pilkada pada
9 Desember 2015. Kebijakan publik yang diusulkan oleh eksekutif tidak akan serta-merta
bisa mendapat persetujuan dan dukungan penuh dari lembaga legislatif karena perbedaan
afiliasi partai dan kepentingan antara eksekutif dan lembaga legislatif.
Jadi, bila benar-benar ingin menjadikan pemilihan umum sebagai salah satu upaya atau alat
untuk mengonsolidasikan demokrasi dan mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial di
Indonesia, pilkada harus dilaksanakan secara serentak (concurrent), bukan borongan. Dengan
29
begitu, coat-tail effect yang bisa membantu proses perumusan kebijakan publik yang lebih
sinergis antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif akan lebih mudah untuk diciptakan.
Dengan demikian, pilkada akan benar-benar bisa menguntungkan rakyat dan bukanlah proses
pemborosan uang rakyat semata.
AHMAD QISAI
Dosen Program Pascasarjana Universitas Paramadina
30
Korupsi dan Dikorupsikan
19-09-2015
Pada kolom saya ”Demokrasi 5 Menit” yang dimuat Sabtu pekan lalu di harian ini tersimpul
telah terjadi pergeseran politik kita dari demokrasi ke oligarki, dari kedaulatan rakyat ke
kedaulatan elite.
Simpul ikutannya, karena pergeseran demokrasi ke oligarkilah, pemberantasan korupsi tidak
efektif. Karena pergeseran kedaulatan rakyat ke kedaulatan elitelah, perang terhadap korupsi
seakan hanya sia-sia. Korupsi semakin menggurita secara mengerikan secara vertikal maupun
horizontal.
Jadi, kurang tepat kalau disimpulkan, perubahan otoriterianisme menjadi demokrasi melalui
reformasi di Indonesia tidak berhasil memberantas korupsi. Tidak efektifnya pemberantasan
korupsi justru karena kita tidak berhasil melakukan konsolidasi demokrasi sehingga gerakan
pemberantasan korupsi berbalik arah, korupsinya semakin mengganas.
Pada awal reformasi kita berhasil menggelorakan semangat demokrasi untuk berperang
melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Presiden Habibie mulai membangun demokrasi dan
mengantarkan rakyat Indonesia mengikuti pemilu yang demokratis pada 1999. Pemilu 1999
itu pun berlangsung dengan baik dan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang relatif baik dan
cukup berprestasi.
Pasca-pemilu 1999 tercatat langkah-langkah pembentukan berbagai undang-undang (UU)
yang responsif terhadap aspirasi masyarakat. Lembaga penegak hukum dibenahi melalui ide
penguatan kekuasaan kehakiman dan pembentukan lembaga pemberantas korupsi yang tidak
tersandera. Tindakan-tindakan tegas terhadap korupsi sudah mulai menemukan format dan
hasilnya cukup menggembirakan.
Tetapi, setelah pemilu kedua (2004) mulai terjadi arus balik. Konsolidasi demokrasi yang
seharusnya semakin mantap setelah dua kali pemilu pasca-reformasi mulai goyah. Demokrasi
bebas menimbulkan penyakit lama demokrasi yakni banyaknya demagogue yang
memperdaya rakyat pemilih melalui politik uang dan janji-janji gombal. Secara pelan, tapi
pasti terjadilah pergeseran dari demokrasi ke oligarki itu.
Sistem yang formalnya demokratis, tetapi isinya oligarkis tentu tidak bisa dijadikan
kendaraan untuk berperang memberantas korupsi. Oligarki justru menyuburkan korupsi
karena para oligark membayar biaya politiknya melalui korupsi dengan modal politik yang
dihimpun atau ditarik kembali melalui korupsi pula. Itulah suasana atau peta peperangan kita
dalam melawan korupsi. Perang melawan korupsi pun arahnya menjadi tidak jelas.
31
Taufiequrachman Ruki saat menjadi ketua KPK jilid pertama pernah melontarkan istilah
”corruptors fight back” atau serangan balik para koruptor, suatu istilah yang menunjukkan
bahwa para koruptor pun tak segan-segan melakukan perlawanan terbuka terhadap lembaga
pemberantas korupsi.
Dalam perang melawan korupsi di arena oligarki itu jalannya perang tidak menunjukkan arah
yang jelas. Pedang yang diacung-acungkan untuk memberantas korupsi tak lebih mengkilap
dari pedang para koruptor. Terkadang tampak pemberantas korupsi digdaya menangkap
koruptor kakap, tetapi terkadang ada koruptor yang menyerang pemberantas korupi.
Terkadang ada pemberantas korupsi berbenturan dengan sesama pemberantas korupsi, tapi
terkadang kita melihat ada perang antara koruptor melawan koruptor. Tak terhindar pula
terjadi saling serang dan saling sandera melalui permainan politik antara pihak-pihak kelas
kakap.
Isu perang melawan korupsi pun kerapkali menjadi komoditas politik. Para politisi
berkampanye untuk memberantas korupsi tanpa jelas mana yang benar-benar anti-korupsi
dan mana yang sebenarnya koruptor sejati. Bayangkan, ada mantan narapidana korupsi yang
tiba-tiba ikut mencalonkan diri dalam pemilu dengan kampanye akan memberantas korupsi.
Orang itu mengatakan dirinya sudah berkorban untuk rakyat sehingga dipenjara dan untuk itu
dirinya meminta rakyat memilihnya. Gila. Orang dipenjara karena korupsi dan menjarah uang
rakyat kemudian mengikuti pemilu lagi dengan alasan dia telah dipenjara karena membela
rakyat dan meminta rakyat memilihnya.
Itulah belantara korupsi kita, tak jelas petanya, mana pahlawan anti-korupsinya, mana
koruptornya, dan ke mana arah penyelesaiannya. Semua berkutat dalam kegelapan dan rakyat
terjebak dalam kecemasan.
***
Di dalam belantara korupsi yang serbagelap dan tak jelas seperti itulah muncul berbagai teori
awam tentang jenis-jenis pelaku korupsi. Pertama, korupsi karena terdesak oleh kebutuhan
(by need) seperti yang”terpaksa” dilakukan oleh pegawai atau orang kecil yang punya
kebutuhan mendesak dalam serta ketidakcukupannya. Korupsi by need ini misalnya korupsi
karena butuh untuk makan atau membayar uang sekolah anak yang sudah berbulan-bulan
ditagih oleh sekolahnya.
Kedua, korupsi karena serakah, rakus, dan tamak (by greed) seperti yang dilakukan oleh
orang-orang yang sudah kaya raya, tapi masih ingin lebih kaya lagi secara membabi
buta. Korupsi by greed ini misalnya yang dilakukan oleh mereka yang kemudian ternyata
dihukum disertai penyitaan atas harta haramnya yang jumlahnya mencapai ratusan miliar
rupiah atau dolar.
32
Ketiga, korupsi karena kecelakaan atau kecerobohan (by accident) yakni melakukan sesuatu
tanpa memperhatikan prosedur karena ingin praktis dan cepat. Keempat, korupsi karena
dijebak oleh lawan yang ingin menjatuhkannya (by trap). Dalam jenis yang keempat ini bisa
terjadi orang tidak korupsi, tetapi dikorupsikan misalnya karena persaingan politik baik di
pusat maupun di daerah, termasuk motif persaingan dalam pemilihan kepala daerah.
Negara, kalau tak ingin ambruk seperti orang mati kehabisan darah, harus menyelesaikan
masalah ini. Belantara korupsi yang gelap dan tak jelas peta dan skema penyelesaiannya
harus diakhiri.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
33
Khitah MK dan Pilkada
Koran SINDO
22 September 2015
Pada 2015 ini 266 daerah akan menyelenggarakan perhelatan demokrasi yang penting dan
strategis yakni pemilihan kepala daerah. Berbagai persiapan telah dilakukan, baik oleh
penyelenggara pemilihan KPU, KPU daerah, Bawaslu, Panwaslu, pemerintahan daerah,
maupun peserta pemilihan kepala daerah.
Berbagai aturan telah disiapkan agar pilkada berjalan lancar, demokratis, dan tanpa
kecurangan. Meski sudah dengan tegas dan jelas mengenai aturan main dalam pemilihan
kepala daerah, tetap saja potensi ada pelanggaran dan sengketa sangat besar. Hal ini telah
diprediksi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Arief Hidayat yang menyatakan
bahwa dari sekitar 266 daerah yang menggelar pilkada, kemungkinan akan ada sekitar 300
perkara yang masuk ke MK.
Taksiran ini lantaran di satu daerah ada dua atau lebih pasangan calon kepala daerah yang
kemungkinan akan mengajukan sengketa pilkada. Meski demikian, ketua MK berharap
jumlah perkara lebih sedikit dari prediksinya.
UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah menyerahkan penyelesaian hukum
pilkada kepada MK untuk sementara sebelum peradilan khusus pilkada terbentuk. Berkenaan
dengan kewenangan MK ini, Ketua MK Prof. Arief Hidayat mengatakan bahwa undang-
undang memang sudah membatasi perkara yang masuk ke MK yakni hanya perkara
perhitungan perselisihan hasil pemungutan suara (PHPU). Di luar kasus itu diselesaikan oleh
masing-masing institusi yakni Pengadilan TUN untuk perkara terkait dengan Keputusan
KPU/KPUD, Bawaslu terkait perkara pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan,
Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) untuk tindak pidana pemilihan, serta Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan (DKPP) untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan
oleh penyelenggara pemilihan.
Saya sependapat dengan pernyataan ketua MK untuk kembali ke khitah kewenangan MK
dalam sengketa pilkada yakni hanya menyelesaikan sengketa hasil perhitungan suara meski
ini pernah dianggap terkesan seperti ”kalkulator” saja. Ada beberapa alasan mengapa MK
kembali ke khitahnya. Pertama, MK memang diberikan kewenangan atributifnya oleh Pasal
24C ayat (1) UUD 145 hanya untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,
tidak termasuk tahapan proses pemilihan meski sekarang pilkada bukan lagi rezim pemilu.
Kedua, dalam pilkada serentak sangat realistis apabila hanya berkenaan dengan sengketa
hasil penghitungan suara karena secara empirik membuktikan betapa sulitnya proses
34
pembuktian dengan begitu banyak dokumen dan saksi fakta yang harus diperiksa dalam
persidangan dalam waktu yang relatif singkat.
Ketiga, waktu penyelesaian relatif singkat hanya 45 hari dengan jumlah peluang ada perkara
yang masuk ke MK cukup banyak. Keempat, pada dasarnya ada institusi-institusi lain yang
dapat berbagi kewenangan untuk menyelesaikan pelanggaran dan sengketa pemilihan di luar
perselisihan hasil penghitungan suara. Dengan catatan bahwa putusan dari masing-masing
institusi tersebut tidak tumpang tindih satu sama lain sehingga melahirkan ketidakpastian
hukum dan tidak terjadi nebis in idem. Kelima, pemeriksaan, analisis pembuktian, dan
putusan relatif lebih terukur dan pasti sehingga peluang putusan untuk diterima para pihak
lebih terbuka.
Hal yang penting kita ingatkan adalah penguatan pengawasan bagi pihak-pihak yang terlibat
dalam penanganan sengketa di MK, termasuk terhadap hakim MK. MK sebaiknya juga
menyiapkan perangkat pengawasan untuk mencegah terjadi penyalahgunaan, suap,
gratifikasi, dan perbuatan tercela lainnya. Tidak ada salahnya pula apabila KPK pun
dilibatkan secara penuh.
Untuk pengawasan perilaku hakim MK, kiranya patut dipertimbangkan keterlibatan Komisi
Yudisial (KY). Semua proses dan tahapan penyelesaian perkara haruslah transparan dan open
access atas informasi, yang selama ini telah dijalankan dengan baik dalam perkara uji materiil
undang-undang.
Keberadaan dan pendayagunaan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan peradilan
perkara pilkada di MK ini tidak hanya menyasar kepada perilaku perbuatan koruptif, tetapi
juga kinerja, profesionalitas, dan kualitas putusan, tanpa mengganggu dan mengurangi
independensi hakim.
Jangan sekadar mengejar target waktu dalam memeriksa perkara sehingga kualitas putusan
menjadi terabaikan. Dengan demikian, penyelenggaraan peradilan pilkada di MK akan
menjadi contoh yang baik dan menjadi pembelajaran yang berharga bagi pengadilan khusus
pilkada yang akan dibentuk nanti.
Prospek Peradilan Khusus Pilkada
Karena pilkada bukan lagi masuk dalam rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24C UUD 1945, MK pada dasarnya tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan
sengketa pilkada. Demikian pula dengan Mahkamah Agung pun pada dasarnya tidak
memungkinkan menangani sengketa pilkada.
Sebagaimana pernah disampaikan oleh Juru Bicara MA Suhadi bahwa penyelesaian sengketa
pilkada, MA, dan pengadilan di bawahnya sudah terlampau banyak menangani perkara.
Dalam setahun saja MA harus mengadili dan memutus 13.000 hingga 14.000 perkara reguler,
ditambah penanganan pelanggaran pidana dan perkara TUN terkait pilkada.
35
Belum lagi apabila ditangani oleh pengadilan tinggi di daerah yang berpotensi terhadap
keamanan karena relatif mudah dijangkau oleh pendukung masing-masing pihak yang
bersengketa yang rawan konflik dan kerusuhan meski alasan terakhir ini terkesan absurd dan
spekulatif.
Dapat dimengerti apabila MK dan MA tidak lagi menangani perkara pilkada, dan karena itu
perlu ada peradilan khusus untuk mengadili dan memutus perkara pilkada. Adanya peradilan
khusus pilkada memberikan harapan yang lebih rasional dalam menyelesaikan sengketa
pilkada. Paling tidak ada tiga manfaat yang berprospek baik.
Pertama, peradilan khusus ini akan lebih fokus menyelesaikan perkara pilkada, tidak
bercampur dengan perkara lainnya di luar perkara pilkada. Kedua, dibuka kemungkinan
hakimnya direkrut dari kalangan profesional, punya keahlian, independen, dan diharapkan
juga berwibawa dan berintegritas. Ketiga, secara teknis dapat dijangkau oleh para pihak baik
dari segi lokasi/jarak maupun dari kemudahan akses sehingga lebih efisien.
Adapun kewenangan dari peradilan khusus ini adalah tetap berkenaan dengan perselisihan
penghitungan suara. Berkenaan dengan sengketa di luar penghitungan suara tetap diserahkan
kepada institusi-institusi yang ada yakni Bawaslu, PTUN, PN untuk tindak pidana pemilu,
dan DKPP untuk perilaku penyelenggara.
Pengisian hakim peradilan khusus ini bisa didayagunakan Komisi Yudisial (KY) yang sudah
berpengalaman dalam merekrut calon hakim agung. Dengan keterlibatan KY maka dapat
dikurangi atau bahkan dihilangkan ada orang-orang yang ”dititipkan” dari pihak tertentu yang
akan sangat mengganggu dan merusak independensi dan profesionalitas hakim pada
peradilan khusus tersebut.
Untuk pembentukan peradilan khusus ini, perlu disiapkan dari sekarang undang-undang yang
mengatur antara lain mengenai kedudukan, fungsi, kewenangan, pengisian hakim, putusan,
dan hukum acara penanganan perkara pilkada. Tidak ada salahnya apabila dalam
pembentukan RUU Peradilan Pilkada ini juga melibatkan Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung untuk memberikan masukan substansi maupun teknis.
Insya Allah, apabila DPR dan Presiden sigap dan responsif untuk pembentukan peradilan
pilkada ini, pemilihan serentak gelombang kedua 2017 nanti sudah terbentuk Badan Peradilan
Khusus Pilkada ini. Dengan demikian, penyelesaian sengketa perhitungan hasil pemungutan
suara dalam pilkada serentak nanti dapat diselesaikan di peradilan khusus ini. Tentunya
perbincangan mengenai peradilan khusus ini akan berakhir apabila pemilihan kepala daerah
dikembalikan ke DPRD masing-masing. Wallahu’alam bishawab.
ASEP WARLAN YUSUF
Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung
36
Perselisihan Hasil Pilkada Serentak
Koran SINDO
23 September 2015
Salah satu tahapan akhir pelaksanaan pilkada serentak 2015 yang akan menjadi sorotan
publik adalah perselisihan hasil pilkada.
Setidaknya ada dua pertanyaan mendasar terkait dengan perselisihan hasil pilkada serentak
2015. Pertama, persoalan konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
memutus perselisihan hasil pilkada. Kedua, persoalan kapasitas kelembagaan MK dalam
memutus perselisihan hasil pilkada serentak dalam tenggat waktu 45 hari sebagaimana
ditentukan undang-undang.
Konstitusionalitas Kewenangan MK
Persoalan konstitusionalitas kewenangan MK memutus perkara pilkada sangat menarik untuk
dikaji karena lahir dari putusan MK sendiri. Putusan MK Nomor 97/PUUXI/2013 pada Mei
2013 menyatakan bahwa dimasukkannya pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu
bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa MK tidak lagi memiliki wewenang untuk memeriksa
dan memutus perkara perselisihan hasil pilkada karena kewenangan MK sudah disebutkan
secara limitatif di dalam UUD 1945, yaitu memutus perselisihan hasil pemilu. Yang masuk
dalam rezim pemilu dalam hal ini adalah pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, serta pemilu
presiden dan wakil presiden.
Putusan tersebut sesungguhnya telah ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dengan
mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan
pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Namun demikian, undang-undang tersebut kemudian
dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota (ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015). Dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 2015 tersebut ditentukan bahwa pemilihan kepala daerah oleh rakyat, serta
penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah menjadi wewenang pengadilan tinggi
yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
Perubahan kembali terjadi. UU Nomor 1 Tahun 2015 diubah dengan UU Nomor 8 Tahun
2015. Dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015 ditegaskan
bahwa perkara perselisihan hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
Badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan pilkada serentak nasional, yang
pelaksanaannya direncanakan pada 2027. Karena itu, ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor
37
8 Tahun 2015 mengamanatkan perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pilkada
diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kewenangan MK memutus perkara perselisihan hasil
pilkada itu konstitusional, padahal MK telah menyatakan diri tidak berwenang? Jawabannya
adalah konstitusional. Landasan konstitusionalitas kewenangan itu ada pada Putusan MK
Nomor 97/PUU-XI/2013 yang dalam amarnya juga menyatakan bahwa MK masih
berwenang memutus perkara perselisihan hasil pilkada sebelum ada lembaga yang ditentukan
oleh pembentuk undang-undang.
Namun, amar putusan itu tentu harus tetap dimaknai bahwa kewenangan MK memutus
perselisihan hasil pilkada serentak adalah wewenang tambahan yang bersifat sementara pada
masa peralihan. Sudah seharusnya sebelum pilkada serentak nasional yang akan dilaksanakan
pada 2027, kewenangan ini tidak ada pada MK lagi.
Kapasitas Kelembagaan MK
Memutus perkara perselisihan hasil pilkada bukanlah barang baru bagi MK. Dari sisi
substansi, perkara perselisihan hasil pemilukada dan pilkada tidak berubah. Perbedaannya
hanya pada jumlah perkara yang pasti akan banyak, bahkan sebanyak jumlah pemilihan
kepala daerah itu sendiri.
Keseluruhan perkara tersebut harus diperiksa, diadili, dan diputus dalam waktu 45 hari. Tentu
jauh lebih berat jika dibandingkan dengan penanganan perkara perselisihan pemilukada masa
lalu yang pelaksanaannya tidak bersamaan.
Potensi banjir perkara pilkada sesungguhnya telah diantisipasi oleh UU Nomor 8 Tahun
2015, yaitu dengan menetapkan persyaratan pengajuan perkara perselisihan hasil
pilkada. Peserta pilkada (pemohon) hanya dapat mengajukan permohonan pembatalan
penetapan penghitungan suara jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak antara
0,5% sampai 2% antara pemohon dan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan
penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU/KIP provinsi/kabupaten/kota (termohon).
Semakin besar jumlah penduduk di provinsi atau kabupaten/kota setempat, semakin kecil
syarat persentase perbedaan perolehan suara antara pemohon dengan pasangan calon peraih
suara terbanyak. Hal ini dengan sendirinya tentu akan membuat proses pembuktian perbedaan
hasil penghitungan suara menjadi lebih fokus, mudah, dan cepat.
Kapasitas kelembagaan MK memutus perkara dalam jumlah besar dalam tenggat waktu
tertentu sesungguhnya telah teruji, misal pada saat memutus perkara perselisihan hasil pemilu
legislatif. Pada Pemilu 2014, MK telah memutus 903 perkara dalam waktu 30 hari kerja.
Pengalaman ini tentu sangat berharga dan telah menjadi bagian dari best practices di MK.
38
Bekal pengalaman tersebut tentu tetap harus diikuti dengan langkah konkret persiapan, baik
segenap jajaran MK maupun peserta dan penyelenggara pilkada. MK telah menetapkan PMK
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Selain itu, MK telah menetapkan pula PMK Nomor 2
Tahun 2015 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Becermin dari pengalaman yang lalu, beban berat penanganan perkara perselisihan hasil
pilkada di MK sesungguhnya bersumber dari pokok perkara yang tidak sekadar
mempersoalkan perbedaan hasil penghitungan suara, tetapi melebar pada berbagai bentuk
pelanggaran dan sengketa di luar persoalan hasil pilkada, mulai tahap pencalonan hingga
penetapan. Hal itu terjadi karena penyelesaian pelanggaran dan sengketa pada tahapan
pelaksanaan pilkada sebelumnya tidak tuntas sehingga tetap menjadi pokok perkara yang
diajukan dalam permohonan perkara perselisihan hasil pilkada di MK.
Karena itu, penanganan perkara perselisihan hasil pilkada di MK mendatang akan sangat
dipengaruhi pula oleh penyelesaian terhadap pelanggaran atau sengketa yang terjadi pada
tahapan pilkada sebelumnya. Artinya, semua lembaga terkait yang berwenang hendaknya
harus mampu menyelesaikan semua pelanggaran atau sengketa yang terjadi dalam setiap
tahapan pilkada sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan. Hal ini juga sangat
penting untuk menghindari adanya putusan yang saling melemahkan.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
39
Selamat Jalan Bapak Gerakan Bantuan
Hukum Indonesia
Koran SINDO
25 September 2015
Berapa banyak tokoh di republik ini yang mendekati akhir usianya masih memikirkan si
miskin dan orang-orang yang tertindas?
Tanggal 20 September 2015, tiga hari sebelum sang lokomotif demokrasi tutup usia, ia minta
secarik kertas dan pena untuk menulis wasiat. Di ruang Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)
Rumah Sakit Pondok Indah, menggunakan ventilator (alat bantu pernapasan), sang tokoh
yang selalu ingin dipanggil dengan sebutan ”Abang” secara perlahan menuliskan pesan
empat baris: ”Jagalah LBH/YLBHI. Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin &
tertindas.”
Ribuan pengacara telah lahir dari sebuah kawah. Candradimuka itu bernama Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) yang didirikan Adnan Bahrum Nasution pada 28 Oktober 1970, tak
lama setelah beliau mundur dari kejaksaan. Abang amat senang menggunakan istilah
”candradimuka” untuk menyebut LBH. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“candradimuka” diberi arti kawah di kayangan (dalam cerita pewayangan) atau tempat
penggemblengan diri pribadi supaya kuat, terlatih, dan tangkas.
Alkisah dalam kawah itu, jabang bayi Tetuka, anak Bima, dididik dan digembleng oleh
Batara Empu Anggajali sehingga bayi itu menjadi kesatria yang amat perkasa— yang lebih
dikenal dengan nama Gatotkaca. Bang Buyung selalu berharap kepada kader LBH agar
menjadi Gatotkaca, si otot kawat tulang besi. Para pengacara yang sempat mengabdi di LBH
pada zaman Orde Baru tahu persis arti dan maknanya. Pengacara LBH dituntut pengabdian
untuk membela para pencari keadilan yang miskin dan tidak boleh memungut bayaran.
Beruntung ”si empu” benar-benar memberikan teladan, tidak hanya sebatas omongan, tetapi
menunjukkannya dengan laku dan tindakan.
Penjara, ancaman sampai pailit pernah dialami Bang Buyung. Dinginnya lantai penjara
pernah beliau rasakan menyusul peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari atau lebih dikenal
dengan Malari 1974. Ketika itu mahasiswa bergerak berdemonstrasi dan terjadi kerusuhan
sosial saat Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei berkunjung ke Jakarta.
Izin advokat si Abang pun pernah dibekukan sewaktu membela Pak Ton (Hartono Rekso
Dharsono), seorang tokoh militer dan politik yang dituduh melakukan kejahatan subversif
oleh rezim Orde Baru. Bang Buyung dianggap telah menghina pengadilan (contempt of
40
court) karena membuat kisruh di pengadilan. Ganjarannya, beliau diskors 1 (satu) tahun tidak
boleh berpraktik. Alhasil kantor hukumnya pun gulung tikar.
***
Saat saya bergabung di LBH Palembang di tahun 1990-an, dapat berdiskusi dan berfoto
dengan Bang Buyung menjadi kebanggaan tersendiri bagi para pengacara LBH. Tata cara
bicara dan kesantunannya tidak berbeda jika beliau berbicara dengan orang berpangkat dan
pejabat. Beliau perlakukan sama, mendengar dan menyimak baik usul maupun pendapat dari
direktur maupun staf.
Bagi banyak guru, mendidik muridnya hanya berdasarkan pengetahuan dan buku pelajaran.
Namun Bang Buyung adalah guru yang berbeda. Beliau mengajar para kader LBH tidak
melulu berdasarkan teori-teori dan doktrin hukum, tetapi juga berdasarkan pengalaman dan
praktik beracara yang pernah beliau lakukan baik di Indonesia maupun pengalamannya
melihat langsung di negara-negara lain.
Praperadilan adalah salah satu gagasan dan pemikiran yang dikembangkan di LBH pada saat
perumusan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada 1981. Gagasan dan pemikiran
bang Buyung—dan para guru besar hukum lainnya—telah diadopsi menjadi kebijakan
negara.
Munculnya lembaga negara baru dan lembaga-lembaga mandiri (state auxiliary agencies)
yang ada saat ini kerap dibicarakan dan didiskusikan di acara-acara LBH sebelum dan
sesudah Reformasi. Sebut saja Mahkamah Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Komisi Pemberantasan Korupsi, dan pentingnya di negara ini Komisi Pemilihan Umum yang
independen. Pikiran beliau kerap diminta oleh banyak pihak sebagai tim perumus undang-
undang hingga didudukkan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden di era Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.
Gedung Yayasan LBH Indonesia di Jalan Diponegoro 74 adalah saksi bisu peristiwa
perlawanan dan kerapnya ide liar yang dulu dianggap subversif diwujudkan. Komisi Orang
Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) lahir juga
dari rahim LBH pada 1998. Sebelum dipugar dan direnovasi, ruang Adam Malik di Lantai 1
Gedung Yayasan LBH Indonesia menjadi saksi betapa diskursus demokrasi, hak asasi
manusia, dan keadilan hukum dibicarakan dan diperjuangkan.
Sepanjang kariernya, Bang Buyung sempat memegang perkara-perkara yang untuk banyak
advokat mapan jangankan mau menanganinya, masuk di surat kuasa pun keberatan. Sebut
saja dua contoh, selama saya masih di kepengurusan Yayasan LBH Indonesia, beliau pernah
menjadi Koordinator Tim Pembela Ustaz Abu Bakar Baasyir di tengah gencar-gencarnya isu
war against terrorism. Di kesempatan lain, beliau pun bergeming meski mendapat cacian saat
melakukan pembelaan dan menolak pelarangan Ahmadiyah yang bagi sejumlah kelompok
Islam dinilai minoritas dan aliran sesat.
41
***
Saya amat beruntung, selama empat tahun amat dekat bersama Bang Buyung saat menjadi
ketua Yayasan LBH Indonesia periode 2006-2010. Saya belajar dan menjadi paham,
mengapa energi dan semangat si Abang terus menyala.
Benarlah slogan kaum feminis yang amat populer, behind every great man there’s a great
women. Di sisi beliau ada sosok Kak Ria, sapaan Tengku Sabariah Sabaruddin, sang istri.
Amat sulit menemukan padanan Kak Ria yang amat mendukung dan mengerti sepak terjang
sang suami. Suatu saat Kak Ria pernah berseloroh dengan nada bercanda kepada saya, cinta
si abang itu kepada LBH. Bukan hanya waktu, pikiran, melainkan juga materi yang tidak
sedikit Abang sumbangkan untuk gerakan bantuan hukum.
Semoga semua alumni LBH di mana pun berada menjaga dan menunaikan amanat Abang
untuk terus menghidupkan LBH dan Yayasan LBH Indonesia yang pernah menjadi tempat
belajar dan ditempa. Tak akan bisa batangan besi menjadi keris jika tidak ditempa oleh
seorang empu yang mumpuni. Selamat jalan Bapak Gerakan Bantuan Hukum Indonesia.
PATRA M ZEN
Advokat/Mantan Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia
42
Bang Buyung, Perjalanan Panjang Seorang
Advokat-Pejuang
Koran SINDO
25 September 2015
Menulis sisi-sisi kehidupan Prof Dr (Iur) H Adnan Buyung Nasution, SH tak ubahnya seperti
menelusuri sebuah jalan panjang yang bercabang. Meski bercabang, jalan itu semuanya
benderang.
Dalam diri Bang Buyung— demikian sapaan akrabnya— memang melekat tiga cabang
kekuatan personal: pejuang hukum dan hak asasi manusia (HAM), advokat profesional, dan
intelektual. Ketiga kekuatan personal itu terpancar pada kehidupannya sebagai ”advokat-
pejuang”, istilah yang sesungguhnya ia populerkan untuk memberikan kebanggaan bagi para
yunior dan penerusnya.
Perjalanan panjang sang advokat-pejuang berawal dari kegundahannya terhadap situasi tidak
tegaknya hukum dan rasa keadilan di negeri ini ketika ia menjadi seorang jaksa pada dekade
1950-an. Ia terbebani kenyataan bahwa manisnya kemerdekaan tidak dinikmati oleh sebagian
besar bangsa kita. Hak hukum serta keadilan sering kali jauh jaraknya antara yang menjadi
harapan dengan kenyataan.
Gelora pikirannya tentang hukum dan keadilan ini bahkan terbawa sampai akhir hayatnya.
Lihatlah apa yang ia tulis sebagai wasiat untuk para penerusnya di Ruang ICCU RS Pondok
Indah, hanya tiga hari sebelum ia meninggal: ”Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si
miskin dan tertindas .”
Implementasi pikiran Bang Buyung tentang perjuangan hak hukum dan keadilan bagi
masyarakat marginal mulai menemukan bentuknya setelah ia mempelajari bagaimana
bantuan hukum terhadap masyarakat miskin dapat diberikan dan jaringan bantuan hukum
dapat dibentuk di Australia pada akhir 1950-an. Namun statusnya sebagai seorang jaksa
menghalangi dirinya untuk melembagakan pikirannya tersebut. Buyung akhirnya memilih
mundur dari kejaksaan. Ia memasuki dunia baru sebagai aktivis hukum dan gerakan politik.
Sebelum mundur, menyusul peristiwa G-30S/PKI, Buyung menjadi motivator dalam
demonstrasi-demontrasi Kesatuan Aksi Mahasiswa/Sarjana Indonesia (KAMI/KASI) yang
menentang pengkhianatan PKI. Sebagai tokoh demonstran angkatan 1966, Buyung diminta
menjadi anggota DPR/MPR sampai akhir periode 1960-an. Ia juga memasuki dunia baru,
yakni menjadi advokat profesional dan mendirikan kantor hukum pribadinya: Adnan Buyung
Nasution & Associates (ABNA).
43
Cita-citanya membentuk jaringan bantuan hukum diwujudkannya dengan mendirikan
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 28 Oktober 1970 atas dukungan sepenuhnya
organisasi advokat yang ada pada saat itu, Persatuan Advokat Indonesia (Peradin).
Bantuan Hukum Struktural
LBH Jakarta menjadi cikal-bakal gerakan bantuan hukum di Indonesia. Berdirinya LBH
Jakarta menginspirasi munculnya banyak organisasi bantuan hukum lainnya, di antaranya
yang kemudian langsung hadir di lingkungan pengadilan negeri: Pos-Pos Bantuan Hukum
(Posbakum) yang dikelola para advokat Peradin.
Sejak LBH Jakarta berdiri, Bang Buyung membangun persahabatan yang akrab dengan Ali
Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada era 1970-an. Bang Ali membantu LBH Jakarta dengan
dukungan anggaran tahunan bantuan hukum melalui APBD DKI Jakarta. Hal yang patut
dicatat adalah kebesaran jiwa Bang Buyung maupun Bang Ali. Meskipun menerima bantuan
Pemda DKI, dalam banyak perkara, terutama penggusuran tanah, LBH Jakarta tetap bersuara
vokal dan bahkan kerap berhadap-hadapan dengan Pemda DKI Jakarta. Sikap kritis Bang
Buyung terhadap pemerintah tidak berkurang sedikit pun. Sebaliknya, Bang Ali juga tidak
menggunakan dukungan fasilitas dan anggaran untuk ”membungkam” kevokalan LBH
Jakarta.
Ketika melalui LBH Jakarta telah berhasil menginspirasi berdirinya organisasi bantuan
hukum lainnya, Buyung melangkah lebih maju lagi dalam mewujudkan cita-citanya. Ia
gulirkan konsep baru dalam bantuan hukum dengan apa yang disebut sebagai bantuan hukum
struktural (BHS).
BHS memperluas spektrum gerakan bantuan hukum, dari yang sifatnya ”tradisional”, yang
berfokus pada pemberian bantuan hukum dalam proses hukum di kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan menjadi gerakan advokasi penyadaran hak hukum dan hak-hak sipil lainnya,
terutama kepada kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan dalam proses
pembangunan.
Dengan BHS, para advokat pejuang terjun langsung memberikan penyadaran hukum dan
hak-hak sipil lainnya kepada kaum buruh, pekerja ekonomi sektor informal dan kelompok-
kelompok masyarakat bawah lainnya yang rentan menjadi korban proses pembangunan.
Pada tahapan selanjutnya, BHS inilah yang menjadi inspirasi lahirnya kelompok-kelompok
masyarakat sipil sebelum maupun sesudah era Reformasi tahun 1998 seperti Kontras, ICW,
ICEL, PBHI, yang kebetulan para pendiri dan aktivisnya mayoritas adalah orang-orang muda
yang pernah bekerja atau mendapat gemblengan langsung dari Bang Buyung.
Intelektual yang Humble
44
Pada diri Bang Buyung sesungguhnya tidak hanya melekat jiwa praktisi hukum dan aktivis
gerakan saja. Keistimewaan lain yang menonjol dari dirinya ialah tampilan seorang
intelektual ketika berbicara atau berdiskusi tentang suatu isu hukum. Setiap pandangan yang
disampaikannya disertai dengan nalar akademis.
Contoh terakhirnya ialah ketika banyak aktivis ”hidup-mati” membela kewenangan dan
tindakan KPK meskipun terdapat problem due process of law di sana, Bang Buyung tetap
memilih mengkritisinya dengan basis argumentasi yang jelas. Kita memang bisa jadi tidak
setuju dengan sudut pandangnya. Namun ia juga bukan orang yang ingin memaksakan sudut
pandangnya.
Sifat humble (ramah dan rendah hati) terhadap lawan bicaranya membuat siapa pun yang
bertemu dengannya tahan untuk berdiskusi berjam-jam. Sifat inilah yang mengesankan
semua lapisan masyarakat. Bang Buyung sama hangatnya ketika menjabat tangan atau
menyambut tokoh penting atau pun orang biasa yang datang menyapanya. Ia bahkan tidak
segan menyapa atau mengulurkan tangannya terlebih dahulu ketika bertemu para yuniornya
maupun warga masyarakat yang bahkan baru dikenalnya.
Kebesaran hati dan sikapnya itu tercermin dari beragamnya pelayat yang datang ke rumahnya
atau mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya di TPU Tanah Kusir. Selamat
beristirahat, Bang Buyung, jasamu memang tiada tara.
ARSUL SANI
Ketua Poksi FPPP di Komisi III & Badan Legislasi, DPR-RI; Alumni LBH Jakarta 1988
45
Pidato Sebagai Diplomasi Publik
30-09-2015
Adalah hal yang dianggap wajar di Jepang jika seorang pejabat publik dengan pangkat tinggi
mengundurkan diri karena mengakui dirinya tidak mampu menjalankan amanat tugas. Di
Indonesia juga pernah ada pejabat publik yang mengundurkan diri karena gelombang
demonstrasi besar. Di Australia publik dapat memaklumi bahwa sistem politik di sana
memungkinkan rekan satu partai berubah menjadi lawan politik dan mengambil alih jabatan
karena si lawan dianggap lebih potensial.
Namun, di Amerika Serikat (AS) ini hal baru. Belum pernah terjadi sebelumnya bahwa
seorang pejabat publik tinggi mundur tanpa alasan politis. Pejabat itu bernama John Boehner.
Dia adalah ketua DPR (House of Representatives) AS yang berasal dari Partai Republikan,
setara dengan jabatan Ketua DPR Setya Novanto saat ini.
Sebagai ketua DPR yang mayoritas kursinya dikuasai oleh oposisi dari Partai Republikan, ia
menjadi ujung tombak partainya untuk mempromosikan kebijakan konservatif dan
menggagalkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Obama yang berasal dari Partai Demokrat.
Salah satu langkah politik yang tidak bisa dilupakan adalah ”government shutdown” yang
terjadi pada Agustus 2013.
Parlemen menolak APBN yang diajukan pemerintahan Obama dan tidak ada otorisasi untuk
menggunakan alokasi sementara. Akibatnya, pemerintah harus melakukan efisiensi, dari
mengurangi jumlah hari sekolah, mengurangi jam kerja, hingga penutupan beberapa jenis
layanan masyarakat.
Masyarakat Amerika mengutuk Partai Republikan dan Partai Demokrat yang tidak mampu
mencapai kesepakatan untuk menghindari peristiwa tersebut. Walaupun kedua partai sama-
sama dihujat, Partai Republikan lebih mendapat citra negatif ketimbang Partai Demokrat
menurut survei yang dilakukan oleh MSNBC tahun lalu.
Boehner semestinya akan memimpin lagi kubu oposisi dan menentukan pada hari ini apakah
APBN yang diusulkan pemerintah akan disetujui atau tidak. Apabila mayoritas anggota
parlemen menolak proposal pemerintahan Obama, maka government shutdown yang terjadi
pada 2013 akan terulang lagi tahun ini. Namun, banyak analis mengatakan bahwa hal itu
mungkin tidak akan terjadi karena Boehner telah mengumumkan akan mengundurkan diri
dari jabatannya per Oktober nanti.
Pengunduran diri Boehner sangat mengejutkan karena terjadi tiba-tiba. Deputinya sendiri
baru tahu Boehner akan mengundurkan diri pada saat konferensi pers terjadi. Peristiwa ini
mengejutkan dan diduga terkait pertemuan empat mata yang diikuti oleh pidato Paus
46
Fransiskus sehari sebelumnya di Kongres AS. Apabila Anda menyaksikan pidato Paus
Fransiskus di Kongres dan melihat bagaimana Boehner tidak dapat menahan air mata dan
ekspresi emosinya, maka sulit untuk dimungkiri bahwa keputusan Boehner untuk
mengundurkan diri di bulan Oktober nanti memang terkait dengan kehadiran dan pidato Paus
Fransiskus di Kongres.
Peristiwa pengunduran diri Boehner dan pidato politik Paus membuktikan bahwa pemimpin
atau kepala negara yang kredibel dan ditunjang oleh integritas pribadi serta infrastruktur
diplomasi publik yang maksimal akan menghasilkan dampak yang konkret.
***
Sejauh yang saya alami dalam sejarah politik Amerika, dan mungkin sejarah dunia, tidak
pernah ada pidato yang memiliki dampak demikian besar dan instan seperti yang dilakukan
Paus Fransiskus yang berpidato di depan Kongres AS pekan lalu.
Dalam kunjungan lima hari di AS, jantungnya kapitalisme, yang juga dikenal
berkecenderungan sangat sekuler di mana kebijakan ekonomi yang neoliberal berurat-
berakar, Paus Fransiskus berbicara tentang perubahan iklim, imigrasi, tragedi pelecehan
seksual yang dilakukan oleh hierarki Gereja, juga tentang keluarga dan cinta.
Paus berbicara tentang ide-ide yang kontroversial dan bertentangan dengan persepsi
masyarakat AS. Pidatonya mengkritik politik AS tidak dengan cara pandangnya sendiri,
tetapi melalui kata yang diucapkan oleh Abraham Lincoln, Martin Luther King, Dorothy
Day, dan Thomas Merton.
Contohnya ketika berbicara tentang pentingnya menghargai dan melindungi para imigran
yang datang ke AS, Paus menegaskan setiap orang di Amerika dulunya juga pernah menjadi
imigran. Paus juga berbicara tentang perubahan iklim yang sebagian besar dianggap oleh
politisi, khususnya Partai Republikan, sebagai sebuah mitos dan agenda terselubung negara-
negara tertentu untuk menekan pertumbuhan ekonomi AS.
Jika biasanya pidato kepala negara cenderung menghindari hal-hal yang diramalkan akan
membuat kontroversi atau membuat suasana tidak nyaman dalam kunjungan, Paus justru
berlaku sebaliknya. Bandingkan misalnya dengan pidato Presiden Cina Xi Jinping yang
dalam waktu bersamaan juga mengunjungi AS dan berpidato di depan publik AS.
Xi Jinping menjabarkan tentang apa yang telah dilakukan Cina terkait dengan AS dan dunia
seperti komitmen untuk melakukan reformasi politik dan membuka pintu ekonomi lebih luas.
Xi juga mengatakan pertumbuhan ekonomi Cina jangan dianggap sebagai ancaman, tetapi
harus dipandang sebagai peluang sehingga semua pihak, termasuk AS, bisa mendapatkan
keuntungan atau win-win solution sesuai dengan apa yang ia ucapkan. Xi juga mengatakan
akan menyelesaikan ketegangan dua negara tentang cyber spionage yang sudah memanas
dalam sebulan terakhir.
47
Beberapa analis dan editor menganggap pidato itu normatif. Washington Post misalnya
mengatakan bahwa kunjungan Obama dua tahun lalu ke Cina juga bicara soal cyber
spionage. Tetapi Cina tidak banyak bertindak untuk memperbaiki masalah itu dan justru
kasusnya semakin meningkat. Akibatnya, banyak publik AS yang tidak percaya terhadap
Cina dan terus menerus mencurigai maksud di balik semua kebijakan Cina baik ekonomi
maupun politik.
***
Dari kunjungan dua kepala negara di waktu yang bersamaan kita dapat menyimpulkan bahwa
pidato yang baik dapat diterima dengan ikhlas bila terkait dengan substansi sebuah
kebijakan. Pembicara harus menyinggung, baik langsung atau tidak langsung, kebijakan yang
didukung atau dikritiknya.
Seorang kepala negara yang berpidato di panggung politik internasional juga harus
menyadari bahwa pidatonya bukan hanya untuk konsumsi negara tertentu, tetapi juga
konsumsi dunia. Sering kali pidato di panggung internasional tidak tentang kita, tetapi juga
tentang negara lain atau kebijakan lain. Karena itu, isi pidato sewajarnya mencerminkan visi
negara jauh ke depan tanpa meninggalkan atau mempromosikan apa yang saat ini telah
dilakukan.
Pidato kepala negara sesungguhnya adalah juga bagian dari diplomasi publik. Kredibilitas
dari pidato tersebut perlu didukung dengan kepercayaan publik akan kredibilitas si
pembicara, apakah janji yang disampaikan sekadar janji di bibir atau berakar pada integritas
pribadi si pembicara.
Selain itu, kekuatan diplomasi publik perlu didukung oleh instrumen diplomasi yang mapan,
yang menjangkau publik di negara yang dituju (bahkan yang menonton di layar kaca)
sehingga keseluruhan rangkaian acara kunjungan dapat dirasakan efeknya, bahkan oleh
masyarakat awam sekalipun.
Paus Fransiskus bukanlah paus pertama yang melakukan pidato di PBB atau di AS, tetapi
yang membuatnya berbeda karena kredibilitasnya sebagai paus yang rendah hati telah
membuatnya lebih menonjol dan menarik perhatian dibandingkan dengan para paus
sebelumnya. Tidak mungkin seorang kepala negara yang melanggar HAM akan didengarkan
pendapatnya ketika dia bicara tentang keadilan dan kemanusiaan. Dia bahkan dapat menjadi
target kritik.
Terakhir, indikator keberhasilan pidato politik di panggung internasional adalah bila lawan
bicaranya menyetujui atau minimal tidak menentang apa yang disampaikannya. Persetujuan
itu tidak harus semua apa yang disampaikan, tetapi minimal ada satu atau dua topik penting
yang dapat menjadi titik tolak untuk meningkatkan kerja sama.
Pada Oktober 2015 giliran Presiden Joko Widodo yang berkunjung ke AS. Segenap mata
48
dunia menanti-nanti apa yang akan disampaikannya. Tentu kita boleh berharap bahwa
pidatonya dipersiapkan juga dengan baik untuk khalayak yang seluas-luasnya dan tidak
menduplikasi gaya kepala negara lain.
DINNA WISNU PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder dan Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
@dinnawisnu
49
Ada Apa dengan JK?
Koran SINDO
30 September 2015
Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang mengatur tugas dan kewenangan wakil
presiden. Konstitusi kita hanya mengatakan, ”Dalam melakukan kewajibannya presiden
dibantu oleh satu orang wakil presiden.” (UUD 1945 Pasal 4 ayat 2).
Berbeda dengan jabatan wakil presiden, konstitusi kita memberikan begitu banyak
kewenangan kepada presiden, mulai dari kewenangan eksekutif, legislatif, hingga yudikatif.
Dalam penjelasan resmi UUD 1945 yang asli, juga tidak ada penjelasan apa dan sejauh mana
fungsi dan kewenangan wakil presiden.
Pada era Orde Baru, wakil presiden sungguh seperti ”ban serep”: dipakai tidaknya wakil
presiden bergantung presiden semata. Bahkan pernah terjadi, Presiden Soeharto nyaris lama
tidak berkomunikasi dengan wapresnya karena ia tidak suka dengan proses penetapan wapres
itu.
Tradisi ”ban serep” wakil presiden berubah era Reformasi. Jusuf Kalla-lah yang mendobrak
tradisi itu. Ketika berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2004, JK dan Susilo Bambang
Yudhoyono diam-diam membuat kesepakatan tentang pembagian tugas. Kesepakatan itu
dituangkan dalam catatan tertulis. Intinya, Jusuf Kalla sebagai wakil presiden lebih
konsentrasi pada bidang ekonomi dan keuangan; sedangkan SBY sebagai presiden lebih
berkonsentrasi pada masalah-masalah dalam negeri, politik, keamanan, dan luar negeri.
Dalam praktik, rupanya JK telah bertindak terlalu jauh, melampaui koridor ”perekonomian
dan keuangan” sehingga JK ketika itu (pemerintahan SBY jilid I) mendapat predikat ”The
Real President”. Diam-diam orang-orang dekat SBY tidak senang dengan perilaku JK ini.
Pertengahan September ini Presiden Jokowi menegaskan bahwa tugas pokok presiden
membuat kebijakan (policy). Kebijakan dilaksanakan oleh para menteri, termasuk menteri
koordinator. Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pemerintah ada di pundak wakil
presiden. Jadi, tugas pokok Wakil Presiden Jusuf Kalla, menurut persepsi dan pemahaman
Presiden Jokowi, ialah mengawasi implementasi setiap kebijakan yang sudah diputuskan
Presiden.
Namun, pengalaman JK yang suka over-stepped presidennya (karena semboyan ”lebih cepat
lebih baik”) sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh banyak kalangan ketika mereka
berpasangan dalam pemilihan presiden tahun lalu.
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015

More Related Content

Similar to (Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015

(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016ekho109
 
Digital surya 03 desember 2013
Digital surya 03 desember 2013Digital surya 03 desember 2013
Digital surya 03 desember 2013Portal Surya
 
Politik indonesia pada masa orde baru
Politik indonesia pada masa orde baruPolitik indonesia pada masa orde baru
Politik indonesia pada masa orde baruPelangiHerman
 
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...terry_herianta_tarigan
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016ekho109
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014ekho109
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015ekho109
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015ekho109
 
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp022 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02Operator Warnet Vast Raha
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016ekho109
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...ekho109
 
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi KitaMusni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi Kitamusniumar
 
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi KitaMusni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi Kitamusniumar
 
TUgas Design Majalah Antik
TUgas Design Majalah AntikTUgas Design Majalah Antik
TUgas Design Majalah AntikSigit Sarwoko
 
demokrasi 1959-1965
demokrasi 1959-1965demokrasi 1959-1965
demokrasi 1959-1965dinda_you
 
demokrasi terpimpin el.pptx
demokrasi terpimpin el.pptxdemokrasi terpimpin el.pptx
demokrasi terpimpin el.pptxfridfrid1
 

Similar to (Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015 (20)

(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
 
Digital surya 03 desember 2013
Digital surya 03 desember 2013Digital surya 03 desember 2013
Digital surya 03 desember 2013
 
File
FileFile
File
 
Politik indonesia pada masa orde baru
Politik indonesia pada masa orde baruPolitik indonesia pada masa orde baru
Politik indonesia pada masa orde baru
 
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
 
ABC PSI
ABC PSI ABC PSI
ABC PSI
 
Psi abc psi
Psi abc psiPsi abc psi
Psi abc psi
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
 
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi TerpimpinDemokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015
 
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp022 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
 
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi KitaMusni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
 
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi KitaMusni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
Musni Umar: Perkembangan Demokrasi Kita
 
TUgas Design Majalah Antik
TUgas Design Majalah AntikTUgas Design Majalah Antik
TUgas Design Majalah Antik
 
demokrasi 1959-1965
demokrasi 1959-1965demokrasi 1959-1965
demokrasi 1959-1965
 
demokrasi terpimpin el.pptx
demokrasi terpimpin el.pptxdemokrasi terpimpin el.pptx
demokrasi terpimpin el.pptx
 

(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015

  • 1. 1 DAFTAR ISI LANGKAH KUDA PAN Abd Rohim Ghazali 4 DEMOKRASI 5 MENIT Moh Mahfud MD 7 TATARAN BERPIKIR DAN BERTINDAK Baharuddin Aritonang 10 REKODIFIKASI SETENGAH HATI M Nasir Djamil 13 UU KPK HARUS DIREVISI Romli Atmasasmita 16 CALON TUNGGAL: AKLAMASI ATAU KONTESTASI Titi Anggraini 19 LINTAS KOMISI DI PANSUS PELINDO GATE Bambang Soesatyo 23 PILKADA SERENTAK UNTUNGKAN RAKYAT? Ahmad Qisai 27 KORUPSI DAN DIKORUPSIKAN Moh Mahfud MD 30 KHITAH MK DAN PILKADA Asep Warlan Yusuf 33 PERSELISIHAN HASIL PILKADA SERENTAK Janedjri M Gaffar 36 SELAMAT JALAN BAPAK GERAKAN BANTUAN HUKUM INDONESIA Patra M Zen 39 BANG BUYUNG, PERJALANAN PANJANG SEORANG ADVOKAT- PEJUANG Arsul Sani 42 PIDATO SEBAGAI DIPLOMASI PUBLIK Dinna Wisnu 45 ADA APA DENGAN JK? Tjipta Lesmana 49
  • 2. 2 PILKADA CALON TUNGGAL Janedjri M Gaffar 52 PILKADA SELALU CURANG Moh Mahfud MD 55 DEMOKRASI DAN DEFISIT PEMIMPIN AUTENTIK Mohammad Nasih 58 MEMAHAMI TANTANGAN OMBUDSMAN RI Yasmin Muntaz 61 MENUNTASKAN REFORMASI TNI Tantowi Yahya 64 MASALAH KRUSIAL PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Romli Atmasasmita 68 REFERENDUM KEPALA DAERAH Margarito Kamis 72 PILKADA DAN KESALEHAN POLITIK Titi Anggraini 75 RELAWAN, POLITICAL APPOINTEE, DAN SISTEM PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF Ahmad Qisai 78 MEMIMPIN PEMERINTAHAN GADUH W Riawan Tjandra 81 PERINDO MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN Anna Luthfie 85 PERDEBATAN INDEPENDENSI PERADILAN Asep Rahmat Fajar 88 KPK SUNAH, TAK HARAM Moh Mahfud MD 91 LOGIKA NGAWUR RUU KPK Hifdzil Alim 94 JANGAN BUNUH KPK Aradila Caesar Ifmaini Idris 97 PEMBUBARAN BERENCANA KPK Marwan Mas 100 REVISI UU KPK
  • 3. 3 Margarito Kamis 103 KEWAJIBAN DAN HAK BELA NEGARA Connie Rahakundini Bakrie 106 PERLUKAH KORUPTOR DIAMPUNI? Idil Akbar 109 CAPELLA APES Moh Mahfud MD 112 SURYA PALOH DIRUNDUNG KEMALANGAN Tjipta Lesmana 115 REFORMASI KPK MELALUI REVISI UU KPK Romli Atmasasmita 119 ALIH DAYA KADERISASI DAN SUKSESI PARPOL Premita Fifi Widhiawati 123 BELA NEGARA TIDAK SESUAI UU PERTAHANAN NEGARA Soleman B Ponto 126 SATU TAHUN POLITIK LUAR NEGERI JOKOWI Dinna Wisnu 128 KINERJA KOMUNIKASI POLITIK JOKOWI Evie Ariadne Shinta Dewi 131 POLITISI DAN DISIPLIN PARTAI Ahmad Qisa’i 135 KELAS MENENGAH & REPRESENTASI POLITIK Wasisto Raharjo Jati 138 KKN DULU DAN SEKARANG Moh Mahfud MD 140 SISTEM MULTIBAR HARUS SEGERA DISAHKAN Frans H Winarta 143 PENEGAKAN HUKUM YANG KORUPTIF Oce Madril 146 SETAHUN PEMBERANTASAN KORUPSI JOKOWI-JK Emerson Yuntho 149 51 TAHUN GOLKAR; BADAI PASTI BERLALU Bambang Soesatyo 152
  • 4. 4 Langkah Kuda PAN Koran SINDO 9 September 2015 Jika panggung politik diumpamakan papan catur, keputusan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bergabung dengan pemerintah ibarat langkah kuda, tidak lurus dan zig-zag. Tidak lurus karena dianggap melenceng dari kesepakatan bersama Koalisi Merah Putuh (KMP); zig-zag karena meskipun telah menyeberang namun mengaku kakinya tetap di KMP. Sejatinya, apa yang ditempuh PAN sudah bisa dibaca sejak Kongres IV di Bali yang menghasilkan Zulkifli Hasan sebagai ketua umum. Seperti kita ketahui, kemenangan mantan Menteri Kehutanan ini tidak lepas dari dukungan Soetrisno Bachir, ketua umum PAN 2005- 2010, yang pada pemilu presiden lalu mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tanpa dukungan Soetrisno Bachir, Zulkifli Hasan bisa jadi kalah dari Hatta Rajasa yang merupakan mentor politiknya. Pernyataan-pernyataan Zulkifli Hasan dalam sejumlah kesempatan, termasuk pada saat hari ulang tahun ke-17 PAN di Bandung baru-baru ini, telah mengisyaratkan dukungannya terhadap pemerintah. Alasan yang dikemukakan, pertama, sudah tidak relevan lagi adanya pemisahan KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH); dan kedua, pada kondisi keterpurukan ekonomi seperti sekarang semua kalangan harus membantu pemerintah agar bisa terhindar dari krisis. Apa motif di belakang langkah PAN? Apakah betul— sebagaimana yang dikemukakan Zulkifli Hasan—semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara? Jawabannya betul, karena pada saat ini pemerintah, yang secara normatif bisa mempresentasikan kepentingan bangsa dan negara, memang tengah membutuhkan uluran tangan berbagai pihak, terutama kekuatan politik dalam negeri. Uluran tangan sangat berguna untuk membantu mengatasi persoalan ekonomi yang mengkhawatirkan dengan merosot tajamnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Selain itu, untuk menambah efektivitas kerja, pemerintah juga membutuhkan tambahan kursi pendukung di parlemen yang selama ini kekuatan KIH masih kalah tipis dibandingkan KMP. Dengan bergabungnya PAN, KIH akan berbalik unggul tipis dibanding KMP. Meskipun secara retoris PAN menegaskan tetap di KMP, dalam politik riil arti bergabung—tidak sekadar mendukung—pemerintah sama artinya dengan keluar dari KMP. Bisa jadi, penegasan tetap di KMP sekadar taktik agar tidak ada yang menggugat posisi Zulkifli Hasan yang menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas dukungan KMP.
  • 5. 5 Tapi perlu digarisbawahi bahwa sebagai partai politik peserta pemilu PAN berhak bersikap independen untuk menentukan masa depan dirinya. Koalisi, meskipun dengan embel-embel permanen, tetap saja merupakan bagian dari strategi politik yang bisa berubah setiap saat. Apalagi hakikatnya KMP dan KIH terbentuk berdasarkan pengelompokan yang merefleksikan dukungan terhadap capres-cawapres. Pada saat pilpres sudah berlalu, seyogianya pengelompokan itu sudah tidak ada lagi karena sudah tidak relevan. Dukungan terhadap calon presiden adalah satu hal, dan dukungan terhadap presiden terpilih (pemerintah) adalah hal yang lain. Setiap partai politik punya sikap masing-masing dalam melihat dan menilai kebijakan- kebijakan pemerintah. Partai politik atau gabungan partai politik tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan partai politik lainnya. Dalam perspektif inilah langkah PAN dinilai tepat karena bermakna signifikan bagi perubahan peta kekuatan politik di parlemen. Kehadiran PAN disambut baik karena pemerintah sedang membutuhkan tambahan dukungan politik untuk menopang program-programnya yang kerap tersendat akibat minimnya dukungan parlemen, sementara keberadaan PAN tidak signifikan pada saat tetap berada di KMP. Soal kemungkinan adanya motif lain, misalnya untuk mendapatkan kursi menteri, tentu tidak ada masalah karena hakikat politik, sebagaimana ditegaskan Harold Lasswell (1902-1978) adalah who gets what, when, and how. PAN bisa memperoleh jabatan menteri pada saat yang tepat. Bahwa ada pihak-pihak yang menuduh PAN menutupi motif politiknya dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara, juga merupakan hal yang wajar karena setiap langkah politik selalu menimbulkan pro dan kontra. Dan, baik yang pro maupun kontra, masing-masing punya alasan yang bisa dibenarkan. Yang menarik, dalam tubuh PAN sendiri juga masih terdapat pro-kontra. Dari pernyataan- pernyataannya tampak sekali ada kegundahan dan ketidakrelaan Amien Rais sebagai ketua Dewan Kehormatan PAN. Pro-kontra di internal inilah yang seyogianya segera diselesaikan karena jika tetap dibiarkan akan menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap kesungguhan PAN bergabung dengan pemerintah. Meskipun Amien Rais bukan ketua umum, tapi publik tetap melihatnya sebagai ”pemegang saham terbesar” PAN. Ucapan dan tindakan Amien Rais dalam politik, oleh sebagian kalangan, masih diidentikkan dengan sikap politik PAN. Karenanya, ucapan dan tindakan Amien Rais tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk meyakinkan Amien Rais, juga mereka yang kurang menyetujui langkah PAN, Zulkifli Hasan dan jajarannya di DPP PAN harus bisa membuktikan bahwa langkahnya bergabung dengan pemerintah benar-benar demi kepentingan bangsa, bukan demi satu-dua kursi menteri.
  • 6. 6 ABD ROHIM GHAZALI Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina; Wakil Ketua Umum Forum Keluarga Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Fokal IMM)
  • 7. 7 Demokrasi 5 Menit Koran SINDO 12 September 2015 Untuk apa kita melakukan reformasi pada tahun 1998? Jawabannya, untuk membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Seluruh rangkaian alasan, mengapa kita dulu memakzulkan rezim Orde Baru, berujung pada jawaban yang sama, yakni memberantas KKN. Pemerintahan Orde Baru di bawah Pak Harto dianggap penuh KKN dan KKN itu menyebabkan rakyat sengsara. Jika rakyat sengsara berarti tujuan negara terjauhi, sebab tujuan kita mendirikan negara merdeka adalah untuk membangun kesejahteraan rakyat. Empat tujuan negara yang ditulis di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, semuanya bersimpul pada negara kesejahteraan yang menugaskan negara untuk membangun kesejahteraan rakyat. Nah, kalau pemerintah gagal membangun kesejahteraan dan malah menyuburkan KKN maka harus dimakzulkan. Itulah alasan yang benderang, mengapa dulu kita membuat reformasi dan menjatuhkan rezim Ode Baru. Maka itu, begitu rezim Orde Baru runtuh semua agenda reformasi difokuskan pada upaya memberantas korupsi dan menegakkan hukum dan keadilan. Kita buat berbagai undang-undang untuk menghadang dan menumpas korupsi. Kita bentuk juga lembaga- lembaga pemberantas korupsi. Kita buat aturan agar pejabat bisa diseleksi secara terbuka sehingga tampil pemerintah yang bersih. Bahkan kita juga mengamendemen UUD agar tampil sistem politik yang demokratis dengan mekanisme checks and balances yang ketat. Saat itu kuat keyakinan bahwa hanya di dalam sistem yang demokratis dengan mekanisme checks and balances yang ketat sajalah hukum dan perang terhadap korupsi bisa efektif. Dalil umumnya, hukum dan penegakan hukum hanya bisa baik di dalam sistem politik yang demokratis. Tetapi apa yang terjadi kini? Korupsi bukannya berkurang, tetapi semakin menggurita. Korupsi gila-gilaan sekarang ini sudah menyebar ke semua lembaga, dari pusat sampai daerah-daerah. Korupsi menggurita secara vertikal dan horizontal. Transparency International yang berpusat di Berlin mencatat indeks persepsi korupsi di Indonesia pada tahun 2014 masih ada di 3,4. Saya menjadi bergidik ngeri ketika Jumat (4/9) pekan lalu saya datang ke Komisi
  • 8. 8 Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mendapat penjelasan skematik tentang gurita korupsi. Dari seorang koruptor yang sekarang sudah meringkuk di penjara saja masih ada rangkaian korupsi yang luar bisa banyaknya. Si Fulan yang dihukum karena terbukti korupsi, misalnya, mempunyai sisa rangkaian kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi sampai ke panitia-panitia pengadaan barang dan jasa di beberapa kementerian. Gurita korupsi kait-mengait, dari lembaga eksekutif sebagai pengguna anggaran sampai ke lembaga legislatif yang menjadi mitra eksekutif untuk menetapkan anggaran. Bahkan di lembaga yudikatif pun banyak kasus-kasus korupsi yang rangkaiannya sudah diskemakan oleh KPK. Korupsi bukan hanya terjadi pada saat mengimplementasikan anggaran dan belanja negara, tetapi sudah diijon atau diberi vorskot sebelum anggaran negara ditetapkan di dalam UU APBN oleh pemerintah dan DPR. Sebagai contoh, kalau suatu instansi ingin mendapat anggaran tertentu di dalam APBN, maka ia bisa berhubungan dengan oknum di DPR agar anggaran itu disetujui masuk UU APBN. Sang oknum di DPR setuju memperjuangkannya, tetapi ”meminta dibayar lebih dulu” sekian persen fee dari anggaran yang akan dicantumkan di dalam APBN. Jadi sebelum anggaran ada sudah dikorup dulu melalui penarikan fee (suap) sebesar persentase tertentu. Inilah ijon korupsi. *** Gambaran belantara korupsi yang seperti itu tak memberi kesimpulan lain bahwa perang terhadap korupsi masih sangat jauh dari keberhasilan, kalau tak mau mengatakannya gagal. Tidak sedikit yang kemudian mengatakan bahwa di Indonesia tak berlaku dalil umum yang banyak dipercaya para akademisi bahwa demokrasi merupakan sistem yang tepat untuk melawan korupsi. Nyatanya, setelah melakukan demokratisasi di Indonesia korupsi bukan hanya tidak diberantas, tetapi semakin marak. Tetapi saya tidak setuju dengan pendapat tentang gagalnya demokrasi melawan korupsi sekarang ini. Yang terjadi sebenarnya adalah bergesernya demokrasi menjadi oligarki atau sistem politik yang dihegemoni oleh elite-elite politik yang kolutif antara yang satu dengan yang lain. Di dalam sistem oligarki seperti ini tak mungkin korupsi bisa diperangi, sebab elite-elite politik yang kolutif basis gerakannya adalah korupsi. Banyak yang menyebut demokrasi kita pada era Reformasi yang bergeser ke oligarki ini adalah demokrasi yang kebablasan, liar, tak bisa dikendalikan. Hak rakyat untuk menikmati demokrasinya hanya dilakukan selama lima menit saat mencoblos dalam pemilihan umum; setelah itu, 2.570.395 menit, hak-hak rakyat dikangkangi oleh elite-elite politik. Menghitungnya sederhana. Jika satu jam memuat waktu 60 menit, sehari terdiri atas 24 jam, setahun terdiri dari 357 hari, maka dalam lima tahun atau satu periode pemerintahan jumlah menitnya adalah 2.570.400 menit. Dari jumlah menit itu rakyat hanya menggunakan hak politiknya selama lima menit saat mencoblos di bilik suara; selebihnya, 2.570.395 menit,
  • 9. 9 dipestaporakan oleh elite secara koruptif dan kolutif. Itulah yang menyebabkan korupsi menggurita secara mengerikan. Hukum dan penegak hukum yang seharusnya digdaya menjadi lemah karena memang dilemahkan oleh oligarki politik. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 10. 10 Tataran Berpikir dan Bertindak Koran SINDO 15 September 2015 Cara berpikir orang tentulah berbeda. Tetapi, dalam memberi peran pada bidang kerja, agaknya diperlukan pemahaman bersama atas posisi dan bidang kerja pemilik posisi atau jabatan. Terutama di dalam pekerjaan dan jabatan yang berkaitan dengan publik alias masyarakat. Di sinilah mungkin bedanya bila bekerja di bidang swasta atau partikelir. Yang biasanya bidang tugasnya telah dirumuskan secara detail. Berbeda dengan jabatan publik, termasuk di pemerintahan dan penyelenggara negara lainnya. Seolah tiada rincian tugas yang jelas serta pengawasan yang tegas. Saya berikan contoh atas pertanyaan seorang anggota DPR ketika partainya memberi pembekalan terhadap anggota baru. Walau berbeda partai, saya diminta untuk memberi pembekalan. Khususnya yang menyangkut pertanyaan seorang peserta pembekalan tentang peran dan fungsi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Saya perlu mempertegas DPR RI karena di kampung saya anggota DPRD juga disebut sebagai anggota DPR. Anggota DPR baru yang bertanya itu kebetulan seorang aktor ternama. Pertanyaannya menyangkut bagaimana seorang anggota DPR memperjuangkan tuntutan konstituen yang telah menjadi pendukungnya? Sesuatu yang perlu dipahami bahwa sebagai anggota DPR, wawasannya di tingkat negara dan bidang kerjanya di tingkat nasional. Pekerjaannya terkait dengan tataran berpikir untuk tingkat nasional. Saya berikan contoh yang mudah. Alangkah terasa aneh jika Anda ikut menghadap pimpinan sebuah perusahaan karena para pendukung Anda (yang notabene para karyawan atau buruh di perusahaan itu) ingin memperjuangkan tuntutan kenaikan gaji atau tunjangan misalnya. Tugas ini sesungguhnya merupakan bidang tugas pemerintah. Kalaupun diperlukan pengaturan serta pengawasannya, lebih dekat pada anggota DPRD (baik kota/kabupaten maupun provinsi). Jika masuk komisi yang membidang tenaga kerja di DPR, bisa jadi kasus yang sama dapat diangkat ke tingkat nasional, baik sebagai bagian dari pengawasan terhadap pelaksanaan tugas kementerian (menteri) tenaga kerja maupun untuk menyusun atau memperbaiki peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang) di bidang ketenagakerjaan.
  • 11. 11 Apabila seorang anggota DPR terjebak pada kasus kenaikan upah buruh secara langsung, waktunya akan tersita atas kasus-kasus sejenis yang jumlahnya amatlah banyak. Berapa banyak perusahaan di negeri ini. Pada sisi lain, para pimpinan perusahaan akan menganggapnya dapat diselesaikan dengan menyediakan ”amplop”, sebagai bagian dari pengeluaran biaya operasional perusahaan. Alangkah tragisnya. Dalam beberapa kasus, hal semacam ini terjadi. Karena itu, pertanyaan anggota DPR baru itu amat menarik. Untuk menjelaskan apa dan di mana sesungguhnya seorang anggota DPR berperan. Bagaimana sang anggota memahami pekerjaannya, di antara ”sejuta” persoalan yang harus dihadapi. Apalagi jika harus menghadapi pendukung atau konstituen yang tak lain dari rakyat yang sedemikian banyak dan beragam. Pertanyaan itu menjadi pintu masuk dalam memandang tataran berpikir dan bertindak, yang sesungguhnya tidak hanya dihadapi seorang wakil rakyat, baik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). *** Hal semacam ini juga akan terjadi di lingkup pemerintahan. Apalagi dalam suasana seperti sekarang ini, di mana ”rakyat” sendiri acapkali menuntut ihwal yang nyata dan tidak lagi sebatas konsepsi dan teori-teori. Yang mereka tuntut selalu perbuatan nyata dan langsung terasakan karena wawasan dan tataran berpikirnya juga terbatas. Apalagi, kalau didukung oleh pers, dari wartawan yang wawasan dan tataran berpikirnya juga kurang lebih sama. Lihatlah misalnya publikasi yang berlangsung akhir-akhir ini. Seolah kepala pemerintahan yang sekaligus juga sebagai kepala negara yang membagi-bagi ”sembako” langsung kepada rakyat merupakan yang seharusnya dan selayaknya dilakukan. Demikian juga ketika menjamu para sopir dan pengojek di Istana dan blusukan yang berulang-ulang.Seolah demikianlah seharusnya kepala negara, yang selalu dekat dengan rakyatnya. Padahal, jika kita urai lebih lanjut, berapa orang yang mendapatkan ”sembako” itu langsung dari kepala negara? Berapa orang yang dapat diundang untuk makan siang di Istana? Berapa banyak tempat yang harus di-blusuk-i seantero Tanah Air? Bagaimana dengan rakyat yang tidak menerima sembako atau tidak ikut makan siang? Atau, daerah yang tidak pernah didatangi? Misalnya kampung saya, yang sampai sekarang hanya pernah dikunjungi Presiden Soekarno? Bukankah jumlahnya tidak sebanding. Sebagaimana soal wawasan dan tataran berpikir yang terkait dengan anggota DPR yang saya uraikan di atas, banyak bidang pekerjaan yang perlu diserahkan kepada para pembantu atau kepemimpinan di bawahnya. Biarlah tugas membagi sembako itu diserahkan kepada para pembantu kepala pemerintahan, baik menteri, kepala lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), atau para eselon 1 dan eselon 2 di berbagai kementerian. Untuk tingkat daerah, tugas itu dapat diberikan kepada gubernur, bupati/wali kota, bahkan kepada camat atau lurah.
  • 12. 12 Pelaksanaan program ini perlu disesuaikan dengan posisi dan tugas para pejabat yang bersangkutan. Biarlah kepala negara serta penyelenggara negara lainnya memikirkan negara. Biarlah kepala negara memutuskan kebijakan pada tataran negara. Biarlah kepala pemerintahan memikirkan pemerintahan secara keseluruhan. Mengendalikan perekonomian secara nasional, mengendalikan penyerapan anggaran negara agar tersalur dengan baik, mengarahkan dan memberi petunjuk kepada para menteri dan pembantu lainnya agar bekerja baik, dan berbagai urusan pemerintahan lainnya. Kalau ada pembagian sembako, cukup yang membagikannya saja menyampaikan salam kepala negara. Kalau perlu, menegaskan bahwa pembagian sembako itu karena diperintahkan kepala negara atau kepala pemerintahan. Dengan cara seperti itu, tentu akan lebih memberdayakan seluruh birokrasi pemerintahan. Seluruh perangkat pemerintahan akan turut serta berpartisipasi di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahkan juga sampai ke daerah, jika peran kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) juga diberdayakan. Pimpinan negara tidak berarti berada di menara gading. Tidak juga terpisah dan melupakan rakyatnya. Tetapi, semata berbagi tugas dan peran, sesuai dengan tataran berpikir dan bertindak. Walau tidak ada ”job description” yang jelas, tataran berpikir dan bertindak ini agaknya perlu dimiliki para pejabat publik, khususnya penyelenggara negara. Bagaimana pun pencitraan amat diperlukan seorang pemimpin atau calon pemimpin (dalam segala tingkatan) saat sekarang ini. Sesuatu yang tampaknya didukung demokratisasi, yang muncul sejak masa Reformasi, di mana dukungan langsung dari rakyat selalu diperlukan. Tapi, dukungan itu agaknya perlu dibayar secara menyeluruh pula. Agaknya perlu dipertegas, jika penyelenggaraan negara berlangsung dengan baik, tentulah berkat kepemimpinan kepala negara. Bila penyelenggaraan pemerintahan negara berjalan dengan baik, tentulah berkat kepemimpinan kepala pemerintahan. Pers juga perlu berpikir jernih akan hal ini. Jangan selalu membangun citra dengan sikap lama, asal bapak senang (ABS). Kita harus membangun dan melahirkan kepemimpinan berwawasan. Karena itu pula, kita memerlukan pers yang juga berwawasan jauh ke depan. Bukan hanya untuk keperluan sesaat. BAHARUDDIN ARITONANG Mantan Anggota DPR dan BPK
  • 13. 13 Rekodifikasi Setengah Hati Koran SINDO 16 September 2015 Dimulai kembali pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) setelah dikeluarkan Surat Presiden pada 5 Juni 2015 patut menjadi perhatian. Keinginan pemerintah untuk melakukan rekodifikasi KUHP warisan kolonial Belanda secara total justru mengundang sejumlah keraguan. Alhasil, rekodifikasi yang diharapkan mampu menciptakan kesatuan sistem pemidanaan yang terpadu yang anti-kolonial (dekolonisasi) pun terlihat klise dan secara eksplisit tak tampak dalam draf RKUHP yang diajukan pemerintah. Keraguan ini pun bukan tanpa alasan, masih ditemukan sejumlah penyimpangan formil dalam RKUHP sebelum masuk pada substansi pasal per pasal. Adapun sejumlah penyimpangan itu di antaranya: Pertama, RKUHP masih terasa kolonial. Rasa kolonial terlihat dari model pembukuan model pembukuan RKUHP yang tidak jauh berbeda dengan KUHP kolonial yang terdiri atas dua buku, buku pertama berbicara tentang ketentuan umum dan buku kedua tentang tindak pidana (kejahatan). Kendati demikian, RKUHP justru menyimpangi ketentuan aturan main pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini terlihat dari penempatan ketentuan istilah yang diletakkan pada bab terakhir mulai dari Pasal 164 sampai Pasal 217. Sejatinya, ketentuan istilah diletakkan pada Bab 1. Kedua, RKUHP belum berhasil menyatukan sistem pemidanaan dan tumpang tindihnya ketentuan pidana dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 218 RKUHP yang menyatakan, ”Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang”. Ketiga, RKUHP menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekacauan penerapan pasal dalam peraturan perundang-undangan. Sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Narkotika, dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya diambil sebagian dan terkesan ”asal comot”. Dengan begitu, muncul pertanyaan tentang nasib pasal yang tetap dibiarkan dalam undang-undang asalnya. Keempat, RKUHP terkesan memaksakan diri dengan mengakui ketentuan pidana lain di luar kodifikasi. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 2 yang mengakui kedudukan hukum pidana adat yang hidup di masyarakat.
  • 14. 14 Kelima, masih ditemukan kontradiksi sistem kodifikasi dalam ketentuan peralihan RKUHP. Hal ini terlihat dari sejumlah ketentuan yang menyatakan bahwa ketentuan undang-undang di luar KUHP harus menyesuaikan paling lama tiga tahun dan setelahnya undang-undang di luar KUHP tersebut dengan sendirinya merupakan bagian dari KUHP. Hal ini jelas melanggar asas lex certa (tidak multitafsir) dan lex stricta (harus ditafsirkan seperti apa yang dibaca) dalam penyusunan sebuah perundangundangan. Mengaburkan Kondisi tersebut jelas menunjukkan rekodifikasi setengah hati dalam RKHUP. Damiano Canale (2009) mengatakan tujuan kodifikasi pada era modern adalah: untuk mendesain dan menyimplifikasi perbedaan peraturan perundang-undangan menjadi satu kumpulan dengan maksud memudahkan para praktisi hukum; untuk membuat sistematisasi hukum materiil serta unifikasi hukum sehingga antarpengaturan saling berhubungan; dan untuk membentuk suatu sistem hukum yang baru berdasarkan fundamental politik hukum sehingga masing-masing lembaga hukum saling mendukung untuk tercapainya kesatuan sistem. Jika mengacu pada pengalaman sejumlah negara, model kodifikasi yang dilakukan jelas berbeda dengan yang dilakukan RKUHP di Indonesia. Sebut saja dalam Wetboek van Stafrecht (WvS), sejak awal pembentukannya tidak memungkinkan ada ketentuan pidana di luar kodifikasi dan semua pengaturan termuat dalam kodifikasi pidananya. Dengan begitu, tidak diperlukan mekanisme peralihan antara aturan ketentuan pidana di luar kodifikasi untuk dimasukkan dalam kodifikasi pidana. Sekalipun ada pengaturan lebih khusus, hanya untuk menyelesaikan pengaturan yang lebih detail atau spesifik, dan tidak diperuntukkan untuk ada perbedaan asas dan prinsip. Praktis, situasi politik hukum dalam menentukan rekodifikasi ini perlu mendapatkan perhatian serius. Pilihan politik hukum ini sejatinya dapat tuntas sebelum DPR dan pemerintah membahas pasal per pasal dalam RKUHP. Peta Jalan Berdasarkan hal tersebut, penulis memandang perlu ada roadmap atau peta jalan yang harus disepakati Presiden dan DPR sebelum melakukan pembahasan RKUHP. Peta jalan ini harus memuat sejumlah langkah strategis dalam membahas RKUHP ini. Adapun langkah tersebut antara lain: Pertama, Presiden dan DPR harus membuat kesepakatan mendasar mengenai politik hukum apa yang akan diterapkan dalam rekodifikasi RKUHP ini. Pilihannya, apakah semua ketentuan pidana materiil harus disatukan ke dalam RKUHP atau dibiarkan terpisah-pisah dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan. Tentu masing-masing akan mempunyai implikasi dan akibat yang berbeda. Dengan demikian, akan jelas status undang- undang dan perda yang selama ini mengatur ketentuan pidana di luar KUHP.
  • 15. 15 Kedua, perlu disepakati mekanisme pembahasan yang efektif dan efisien seperti model clustering agar memudahkan pembahasan pasal-pasal dalam RKUHP yang jumlahnya banyak tersebut. Langkah ketiga, membuat komitmen yang tinggi dari Presiden dan DPR untuk menyelesaikan RKUHP secara tepat waktu dengan kualitas yang baik dan mampu diterima masyarakat. Jika ini dilakukan, tentu merupakan kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, RKUHP ini dapat dianggap sebagai masterpiece produk anak bangsa dalam upaya menyelesaikan salah satu persoalan terbesar dalam pemidanaan di Indonesia. Semoga! M NASIR DJAMIL Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
  • 16. 16 UU KPK Harus Direvisi Koran SINDO 16 September 2015 Undang-Undang KPK yang diundangkan pada 2002 bak buah simalakama; tak jadi diundangkan, reformasi tak bergerak; jadi diundangkan, ada kekhawatiran dan telah terjadi politisasi dan kriminalisasi dalam pemberantasan korupsi. Sebagai contohnya adalah tidak ada yang dapat menolak kenyataan pada kasus Century, BLBI, LHI, Anas Urbaningrum, Miranda Gultom, Angelina Sondakh, serta terakhir kasus Pelindo II. Tidak ada pula yang menyangka akan ada kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto eks pimpinan KPK dan masih banyak lagi kejutan-kejutan terkait kinerja KPK. Mengapa? Sejarah pembentukan UU KPK 2002 amat rumit, kompleks masalahnya, dan banyak sekali tantangan dan hambatan dari instansi penegak hukum lain dan politisi di Senayan. Alhasil, pembahasan draf RUU KPK akhirnya disetujui dengan bertambahnya pasal-pasal kompromistis. Sebagai contoh, semula draf UU KPK menghendaki KPK lembaga independen sehingga penyelidik, penyidik, dan penuntut independen tidak berasal dari Polri dan Kejaksaan. Tetapi, konsep itu ditolak politisi dan institusi penegak hukum sehingga diambillah jalan kompromi. Mereka tetap berasal dari instansi asalnya, tetapi diberhentikan sementara (Pasal 39 ayat 3) agar tidak terjadi loyalitas ganda pada mereka. Jadi, tidak benar dalam praktik oleh pimpinan KPK ditafsirkan dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. KPK diperbolehkan melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tanpa izin pengadilan, tetapi dengan rambu pembatas yaitu harus diputuskan dan disetujui bersama- sama lima pimpinan KPK dan tidak boleh ada SP3 termasuk penetapan tersangka. KPK juga diperkuat (semula) oleh penasihat KPK, tapi dalam kenyataan penasihat yang ada tidak efektif dan untuk pengawasan cukup oleh publik sehingga KPK wajib bertanggung jawab kepada publik (Pasal 20 ayat 2) baik kinerja dan keuangan serta membuka akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat. Hal ini seingat saya tidak dilakukan KPK kecuali konferensi pers dan menempatkannya di website KPK dan hanya ketika KPK menetapkan tersangka KPK. Dalam praktiknya, KPK jilid III telah melakukan tindakan hukum yang menyimpang atau bertentangan dengan maksud dan tujuan diberikannya mandat oleh UU KPK. Penyimpangan tersebut seperti tidak lagi dipertahankan dan dijalankannya asas kepemimpinan kolektif (Pasal 21 ayat 5) dan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum (Pasal 21
  • 17. 17 ayat 4). Terbukti sejak KPK jilid III tidak ada yang berasal dari Polri dan capim KPK jilid IV tidak ada yang berasal dari penuntut umum. Kekurangan penyidik dan penuntut umum jelas cacat hukum dalam proses seleksi pimpinan KPK dan tidak ada alasan apa pun untuk dapat menyimpang dari ketentuan UU KPK. Pembagian tugas dan fungsi lima pimpinan KPK jelas melanggar asas kolektivitas karena dengan pembagian tersebut tanggung jawab lima pimpinan KPK dialihkan kepada masing- masing pimpinan KPK saja. Jika hal ini terjadi, merupakan awal dari kehancuran KPK sebagai lembaga independen dan memadai dalam memberantas korupsi di K/L termasuk di lingkungan penegak hukum. *** Mengacu pada kenyataan pahit yang dihadapi KPK dengan putusan pra-peradilan hakim Sarpin dan Haswandi, menjadi pertanyaan bagaimana cara mempertahankan KPK. Dalam pengamatan penulis tidak ada jalan lain selain melakukan revisi terhadap UU KPK 2002. Ada sepuluh sektor yang harus direvisi. Pertama, menetapkan batas waktu keberadaan KPK sebagai lembaga ad hoc dan bersifat komplementer terhadap institusi Polri dan Kejaksaan dan ditegaskan dalam revisi UU KPK. Kedua, menetapkan syarat sahnya kepemimpinan KPK yang juga penyidik dan penuntut umum. Ketiga, merinci kewenangan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tanpa izin pengadilan sehingga dicegah ”abuse of power”. Keempat, pengawasan diperkuat oleh Dewan Pengawas Penegakan Hukum sebagai lembaga khusus dan mandiri di bawah Presiden yang berwenang melakukan pengawasan terhadap KPK, Polri, dan Kejaksaan serta hakim dengan konsekuensi penghapusan Komisi Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Yudisial. Kelima, pertanggungjawaban kepada publik oleh KPK, Polri, dan Kejaksaan diperketat dengan sanksi administrasi jika dilanggar. Keenam, penegasan batas kewenangan KPK untuk kasus korupsi tertentu untuk memperkuat ketentuan Pasal 11 UU KPK 2002. Ketujuh, ketentuan larangan SP3 untuk KPK tidak absolut, melainkan dibuka kemungkinan SP3 dengan syarat-syarat yang ketat termasuk sanksi administrasi terhadap penyidiknya. Kedelapan, penghapusan fungsi koordinasi dan supervisi KPK terhadap Polri dan Kejaksaan termasuk kewajiban SPDP karena telah terbentuk Dewan Pengawas Penegakan Hukum Kesembilan, syarat pelaporan harta kekayaan seluruh pimpinan dan jabatan deputi/direktur KPK diperketat dan diumumkan kepada publik termasuk juga di jajaran Polri dan Kejaksaan. Kesepuluh, perlu dievaluasi keberadaan pengadilan tipikor dan seleksi hakim tipikor secara ketat di bawah pengawasan Mahkamah Agung RI. Selain dari perubahan sebagaimana diuraikan, di tingkat kementerian dan lembaga juga diperkuat rekrutmen melalui lelang jabatan pada eselon tertentu untuk mencegah ”job-seeker” semata-mata sehingga dapat
  • 18. 18 mengembalikan marwah kedudukan dan fungsi jabatan publik serta masa depan organisasi kelembagaan yang ada. Peranan dan fungsi inspektorat/pengawasan di K/L juga perlu ditingkatkan baik audit kinerja dan keuangan serta penegasan kembali BPK RI sebagai satu-satunya auditor negara untuk mencegah tumpang tindih pemeriksaan kinerja dan keuangan K/L yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Penyuluhan UU No. 30 Tahun 2014 perlu diintensifkan ke seluruh K/L dan aparatur penegak hukum sehingga dapat mencegah ”kriminalisasi tindakan administratif” yang selama ini terjadi dalam praktik dan memperkuat prinsip kehati-hatian (prudential principle) di kalangan aparatur penegak hukum yang selama ini diabaikan karena telah memfungsikan sarana hukum pidana sebagai primum remedium, bukan ultimum remedium. Sekiranya pemerintah (eksekutif) dan legislatif serta pimpinan lembaga penegak hukum memperhatikan atau mempertimbangkan saran penulis, insya Allah penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi akan tepat sasaran dengan outcome yang efisien dan efektif tanpa harus membuat ”kegaduhan” di kalangan penyelenggara negara. Amin. ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran; Direktur LPIKP
  • 19. 19 Calon Tunggal: Aklamasi atau Kontestasi Koran SINDO 16 September 2015 Saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) sedang berlangsung persidangan permohonan pengujian Undang-Undang Pilkada terkait calon tunggal yang diajukan calon Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana dan ahli komunikasi politik Effendi Ghazali. Pemerintah, DPR, dan pihak terkait KPU bahkan sudah menyampaikan keterangannya 8 September 2015. Soal calon tunggal, pembuat UU diperkirakan tidak membayangkannya akan terjadi dalam pilkada. Asumsinya, parpol akan berlomba mengusung calonnya untuk merebut kekuasaan. Bukankah parpol hadir untuk merebut kekuasaan secara konstitusional dan berjuang untuk merepresentasikan kepentingan anggotanya dalam siklus lima tahunan pemilu dan pilkada? Legislator membayangkan calon tunggal hanya terjadi kalau hasil verifikasi atas calon yang mendaftar menghasilkan kurang dari dua calon. Solusinya, pilkada ditunda paling lama sepuluh hari, lalu dibuka kembali masa pendaftaran selama tiga hari. Pengaturan yang juga masih diwarnai aura positif bahwa pasti ada calon baru yang mendaftar (vide Pasal 49 ayat 8 dan Pasal 50 ayat [8] UU 8/2015). Berbagai Penyebab Pilkada serentak ternyata mengubah realitas pilkada. Waktu pencalonan yang bersamaan tidak memungkinkan redistribusi kader parpol antardaerah. Sesuatu yang jamak terjadi saat jadwal pilkada berserakan dalam waktu yang berbeda. Calon gagal di provinsi mencalon kembali di kabupaten/kota. Atau, calon gagal di daerah A mencalonkan diri kembali di daerah B. Pilkada serentak menyaratkan rekrutmen kader secara bersamaan untuk mengisi jabatan di 269 daerah seluruh Indonesia. Diperbesarnya syarat dukungan untuk mengajukan calon juga membuat upaya membentuk koalisi parpol semakin berat dan rumit. Parpol atau gabungan parpol harus punya sekurangnya 20% kursi di DPRD atau 25% suara sah hasil pemilu lalu. Tidak banyak parpol yang bisa mengajukan calon tanpa koalisi dengan parpol lain. Konsolidasi yang tergesa-gesa akibat kisruh ketidakpastian pilkada langsung ataukah melalui DPRD berkontribusi pula pada tidak siapnya parpol menghadapi Pilkada Serentak 2015. Bayang-bayang pilkada oleh DPRD seolah masih jadi euforia saat akhirnya UU Pilkada langsung disahkan awal 2015.
  • 20. 20 Pemerintah juga terkesan ngotot pilkada harus pada 2015 meski banyak pihak (termasuk Perludem dan KPU RI) meminta agar pilkada serentak gelombang pertama diselenggarakan pada pertengahan 2016. Calon perseorangan pun tidak bisa berbuat banyak karena syarat dukungan untuk mencalon dinaikkan pembuat UU, semula 3-6,5% menjadi 6,5-10% dari jumlah penduduk. Cerita soal mahar politik dan sewa perahu juga menambah kompleksitas. Alhasil, calon tunggal menjadi warna tersendiri yang hadir dan membangun diskursus pilkada kali ini. Dualisme kepengurusan partai pascapilpres bisa jadi turut menyumbang terjadi calon tunggal. Golkar sebagai pemenang kedua Pileg 2014 misalnya ”hanya” mengusung calon di 116 daerah. Bandingkan dengan PDIP yang bisa mengusung calon di 244 daerah (JPPR, 2015). Syarat wajib mundur setelah ditetapkan sebagai pasangan calon bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang maju pilkada sebagaimana diputuskan oleh MK Juli 2015 membuat banyak anggota DPR, DPD, dan DPRD yang semula berencana maju membatalkan niatnya untuk menguji ”peruntungan” politik di kontestasi pilkada. Karena toh juga tak ada jaminan bisa menang, apalagi jika elektabilitas juga tak bagus-bagus amat. Alih-alih sudah keluarkan banyak biaya, jabatan pun melayang pula. Mereka lebih memilih untuk bermain aman saja dengan membatalkan niat berkompetisi di pilkada. Tunda ke Februari 2017 Ketidaksiapan UU membuat KPU harus berijtihad. KPU lalu membuat pengaturan kalau sampai masa perpanjangan pendaftaran tidak ada calon lain mendaftar, tahapan pilkada dihentikan dan pilkada ditunda ke Februari 2017. Untuk sebagian kalangan, pilihan ini dianggap tidak adil bagi calon tunggal maupun pemilih. Parpol bisa saja melihat peluang penundaan itu sebagai kesempatan untuk menjegal calon tunggal dengan elektabilitas tinggi. Calon tunggal yang mayoritas adalah petahana diharap mengalami penurunan elektabilitas jika pilkada dimundurkan. Daripada berkompetisi menghabiskan banyak energi dan biaya lalu kalah, lebih baik ”realistis”. ”Realistis” didekati dengan logika berdagang, bukan logika demokrasi bahwa pilkada adalah medium kontestasi untuk menunjukkan eksistensi dan kemampuan tarung parpol kepada konstituen maupun pemilih. Saat ini ada tiga daerah yang ditunda pilkadanya ke Februari 2017 yaitu Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Pilkada Kota Surabaya lebih unik lagi. Setelah mengalami dua kali perpanjangan, pasangan Rasiyo-Dhimam yang mendaftar sebagai penantang pasangan petahana Risma-Wisnu dinyatakan tidak memenuhi syarat. KPU Surabaya akhirnya membuka kembali tahapan pendaftaran pada 8-10 September 2015 dan menghasilkan pendaftar baru pasangan Rasiyo- Lucy Kurniasari. Kontestasi atau Aklamasi
  • 21. 21 Mayoritas negara multipartai, kerangka hukum dan regulasi akan tetap melantik calon tunggal sebagai pemenang pemilu, baik melalui kontestasi pemungutan suara maupun aklamasi. Di Amerika dikenal Uncontested Election (pemilu tanpa kontestasi), di mana karena hanya ada satu pasang calon setelah masa pendaftaran habis, yang bersangkutan ditetapkan sebagai pemenang. Kalau di Kanada dikenal dengan istilah aklamasi, di Amerika Serikat istilahnya work over. Diadakan kontestasi pemungutan suara atau aklamasi bergantung pada kondisi sosial politik dan kultur pemilu suatu negara. Bagaimana solusi calon tunggal untuk pilkada kita? Lagi-lagi, dalam pandangan penulis, daerah bercalon tunggal tahapan pilkadanya tidak perlu dihentikan. Merujuk referensi banyak negara dan belajar dari proses demokrasi Indonesia di tingkat desa, tahapan pilkada bisa dilanjutkan dan calon tunggal bisa diuji dalam kontestasi pemungutan suara dengan melawan kolom kosong dalam surat suara. Kalau calon tunggal memang dikehendaki pemilih dan mewakili kepentingan yang sama dari pemilih, calon tunggal pasti terpilih. Namun, jika calon tunggal lahir dari persekongkolan parpol karena proses transaksi yang terjadi sejak awal, pemilih dan masyarakat akan menemukan jalan kritik dan perlawanannya sendiri untuk menentukan pilihan yang berbeda. Ada ruang dan mekanisme korektif yang bisa diberikan publik. Bagaimana kalau kolom kosong menang? Bisa saja calon tunggal tetap dikukuhkan sebagai pemenang dengan prasyarat jumlah minimum partisipasi atau jumlah perolehan suara minimum 30% misalnya. Atau, bisa saja pilihannya dilakukan pembukaan pendaftaran calon baru dan si calon tunggal tidak boleh lagi ikut serta seperti halnya terjadi pada pemilihan kepala desa. Pilihan-pilihan tersebut bisa ditentukan pembuat undang-undang. Namun, dalam hal ini penulis lebih berpendapat apabila kolom kosong menang, membuka pendaftaran baru adalah pilihan yang lebih demokratis. Terkait dengan pengujian calon tunggal di MK. Kalau MK bisa memutus cepat, kepastian hukum bisa diberikan untuk menjawab polemik calon tunggal ini. Mempercepat putusan MK adalah pilihan yang paling baik dan bisa diterima semua orang untuk melindungi hak pilih pemilih dan hak untuk dipilih calon. Tetapi, jika MK akan memutus sebuah ”aturan baru” dan terjadi perubahan dalam proses pemungutan suara terkait dengan diakuinya eksistensi calon tunggal oleh MK, harus diberikan waktu yang cukup bagi KPU sebagai penyelenggara dan para pemangku kepentingan pilkada untuk menyosialisasikan dan mendiseminasi informasi terkait perubahan sistem pencoblosan dengan satu calon tersebut.
  • 22. 22 Maka itu, bisa saja hari pemungutan suara untuk daerah dengan calon tunggal tidak harus serentak di 9 Desember 2015. Namun, tentu tidak boleh bergeser jauh agar tidak mengganggu penataan jadwal pilkada menuju Pilkada Serentak Nasional 2027. TITI ANGGRAINI Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
  • 23. 23 Lintas Komisi di Pansus Pelindo Gate Koran SINDO 17 September 2015 PT Pelindo II sarat masalah atau kasus. Diduga telah terjadi penyelewengan dana atau korupsi, pencucian uang, hingga monopoli area pelabuhan oleh sekelompok pengusaha. Paling serius adalah dugaan pelanggaran undang-undang (UU) dalam proses perpanjangan kontrak atau konsesi pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh Hutchinson Port Holding (HPH). Itu sebabnya, Panitia Khusus DPR (Pansus) DPR untuk kasus Pelindo II harus beranggotakan lintas komisi. Komisi III DPR akan mendalami aspek pelanggaran hukum dan UU. Aspek infrastruktur dan regulasi pelabuhan didalami oleh Komisi V DPR. Oleh karena Pelindo II berstatus badan usaha milik negara (BUMN), peran Komisi VI DPR tentu saja relevan dan sangat diperlukan. Aspek penerimaan negara dan permodalan didalami oleh Komisi XI DPR. Persoalannya sudah sangat serius sehingga berbagai aspek tadi memerlukan kajian yang lebih mendalam, termasuk aspek ketenagakerjaan. Mungkin, padanan masalah Pelindo II adalah pepatah berikut ini; sepintar-pintar bangkai ditutupi, baunya akan tetap tercium juga. Kalau saja para penguasa tidak memberi reaksi berlebihan atas penggeledahan di Kantor Pelindo II oleh Bareskrim Mabes Polri tempo hari, DPR mungkin tidak akan pernah berpikir atau berinisiatif membentuk pansus guna menyelidiki sepak terjang para pengelola BUMN yang satu ini. Namun, takdir sudah berbicara dan menghendaki pepatah tadi itu diberlakukan. Reaksi berlebihan pemerintah yang berpuncak pada pergeseran jabatan dua perwira tinggi Mabes Polri baru-baru ini menghadirkan keanehan di jagat hukum dan perpolitikan negeri ini. Sang perwira yang menggeledah dituduh membuat gaduh dan mengganggu perekonomian sehingga dia harus dipindah ke pos lain. Sementara pihak tergeledah yang lancang dan berperilaku tidak etis justru dilindungi oleh sejumlah orang di sekitar Presiden Joko Widodo. Begitulah potret keanehan itu. Salah besar jika keanehan atau ketidakwajaran itu didiamkan atau tidak diselidiki. Benar bahwa Polri telah melakukan penyelidikan atas ketidakwajaran pembelian 10 unit mobile crane (pemindah kontainer) oleh manajemen Pelindo II dan dugaan kasus pencucian uang. Tetapi, ketidakwajaran sikap beberapa pejabat pemerintah serta Direktur Utama (Dirut) Pelindo II RJ Lino juga harus diselidiki. Begitu juga dengan ketidakwajaran proses yang melatarbelakangi perpanjangan konsesi pengelolaan JICT oleh HPH. Negara merugi triliunan rupiah jika kontrak itu dijalankan.
  • 24. 24 Ketidakwajaran itu terjadi akibat kehadiran politik kekuasaan. Ekstremnya, ada intervensi terhadap proses hukum. Maka itu, DPR-lah yang berwenang merespons intervensi politik kekuasaan terhadap sebuah proses hukum. Bisa dipastikan bahwa institusi penegak hukum tidak mungkin mempertanyakan alasan pemerintah bersikap berlebihan atas penggeledahan Kantor Pelindo II oleh Bareskrim Polri. Hanya DPR yang memiliki kekuasaan untuk bertanya kepada Wakil Presiden, Menteri PPN/Kepala Bapenas Sofyan Djalil, atau Menteri BUMN Rini Soemarno. Dari deskripsi masalah seperti itu, syarat bagi tampilnya sebuah Pansus DPR untuk kasus Pelindo II bukan hanya sudah terpenuhi, melainkan nyata-nyata menjadi sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar. Urgensi Pansus DPR pun semakin kuat setelah Bareskrim Polri membatalkan status tersangka terhadap seseorang dalam kasus Pelindo II. Padahal, sebelumnya Bareskrim mengumumkan penetapan tersangka untuk Direktur Teknis dan Operasional PT Pelindo II berinisial FN. Artinya, kehadiran Pansus DPR menjadi sangat penting, antara lain untuk mengawal proses hukum itu sendiri. Karut-marut pengelolaan pelabuhan sudah berlangsung sangat lama. Manajemen hukum rimba dipraktikkan pada hampir semua pelabuhan, termasuk di Tanjung Priok. Kebobrokan manajemen pelabuhan menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi. Masyarakat pasti senang dan mendukung perbaikan tata kelola pelabuhan. Kini semua orang pasti lega karena ragam penyimpangan manajemen di Pelabuhan Tanjung Priok akhirnya tersentuh hukum. Kasus ketidakwajaran 10 mobile crane dan beberapa dugaan pelanggaran yang melatarbelakangi penggeledahan kantor Pelindo II sudah banyak diulas. Namun, temuan terbaru yang juga sangat menjengkelkan adalah penyebab utama terjadi inefisiensi bongkar- muat barang. Inefisiensi terjadi karena operator Pelabuhan Tanjung Priok, PT Pelindo II, tidak fair dan cenderung korup. Rekayasa Rentang waktu inap barang di pelabuhan atau dwell time yang masih sangat lama ternyata memang direkayasa. Dugaan rekayasa dwell time itu ditemukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli ketika dia melakukan inspeksi ke Pelabuhan Tanjung Priok. Area pelabuhan ternyata sudah dikapling-kapling untuk sekelompok pengusaha. Menteri Rizal mendapatkan laporan bahwa perusahaan milik anggota keluarga Dirut Pelindo II pun mendapat kapling di area pelabuhan. Dari pengaplingan itu muncul raja-raja kecil pelabuhan dan membuka lapak di area kapling masing-masing. Penguasaan area atau pengaplingan dimanfaatkan oleh raja-raja kecil itu untuk area penumpukan barang. Perpindahan barang dari kapling yang satu ke yang lainnya tentu saja butuh waktu dan biaya.
  • 25. 25 Pembengkakan biaya dwell pasti terjadi karena pemilik kapling biasanya sengaja mengulur waktu untuk mendapatkan pembayaran yang lebih besar dari pemilik barang. Waktu pemindahan yang lama hingga barang keluar dari pelabuhan tak bisa dihindari oleh pemilik barang. Kalau ingin mendapat perlakuan khusus atau proses dwell time yang cepat, pemilik barang harus berani membayar lebih mahal. Itu sebabnya, polisi menduga sudah terjadi tindak pemerasan dalam proses mengeluarkan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok. Selain tindak pemerasan, pengaplingan area pelabuhan untuk mengacau-balaukan dwell time sudah masuk kategori kejahatan terhadap perekonomian negara. Selain faktor dwell time, perpanjangan konsesi pengelolaan JICT oleh HPH pun tampak tidak wajar sehingga memunculkan dugaan ada rekayasa. Kesan ketidakwajaran yang pertama adalah RJ Lino yang terlihat sangat terburu-buru ingin memperpanjang konsesi HPH untuk mengelola JICT. Padahal, konsesi pertama yang masih berlaku saat ini baru akan berakhir empat tahun lagi atau pada 2019 untuk pengelolaan JICT, dan untuk pengelolaan terminal peti kemas (TPK) Koja berakhir tiga tahun lagi atau pada 2018. Ketidakwajaran berikutnya adalah kesan bahwa RJ Lino yang hanya dirut BUMN itu jalan sendiri dalam memperpanjang konsesi HPH di JICT, tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR. Harap diingat bahwa JICT diprivatisasi ketika negara ini masih berselimut krisis moneter pada 1999. Pembahasan dan negosiasi privatisasi JICT saat itu dilaksanakan oleh tiga menteri; menteri keuangan, menteri negara BUMN dan menteri perhubungan. Sebelum finalisasi privatisasi itu, semua aspek dikonsultasikan dengan DPR. RJ Lino dan anggota direksi Pelindo II lainnya tidak punya hak untuk memutuskan perpanjangan konsesi pengelolaan JICT dengan HPH atau siapa pun juga. Pemberian atau perpanjangan konsesi pengelolaan area pelabuhan merupakan domain otoritas pelabuhan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan RI. Secara sepihak, Lino pernah mengklaim bahwa perpanjangan konsesi 20 tahun pengelolaan JICT oleh HPH sudah mendapat persetujuan dari Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Namun, klaim itu diduga manipulatif. Sebab, Menteri BUMN dalam suratnya memang menyatakan bahwa secara prinsip bisa menyetujui rencana memperpanjang konsesi pengelolaan JICT oleh HPH. Namun, Menteri BUMN memberi syarat bahwa perpanjangan konsesi itu harus mengacu pada UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. UU ini dengan tegas memisahkan wewenang dan peran regulator pelabuhan dengan operator pelabuhan. Dengan menunjukkan syarat itu, Menteri BUMN ingin mengatakan kepada Lino bahwa Pelindo II sebagai operator Pelabuhan Tanjung Priok tidak berwenang memperpanjang konsesi HPH. Sebaliknya, Pelindo II justru harus mendapatkan konsesi terlebih dahulu dari regulator pelabuhan untuk mengelola Pelabuhan Tanjung Priok. Artinya, Lino harus minta konsesi dari Kementerian Perhubungan RI.
  • 26. 26 Namun, Lino tidak menghiraukan surat Menteri BUMN. Konon, bermodalkan persetujuan dan tanda tangan Menko Perekonomian sebelumnya, Lino nekat bertindak mengatasnamakan Pemerintah RI menyetujui perpanjangan konsesi HPH untuk mengelola JICT. Sebegitu jauh, tidak ada yang berani menghentikan sepak terjang Lino, karena ada banyak orang kuat, orang penting, dan pengusaha besar yang siap pasang badan untuk membela Lino. Publik tentu masih ingat ketika Lino dengan suara lantang menentang gagasan menteri perhubungan yang menyarankan Presiden untuk memulihkan wewenang Kementerian Perhubungan sebagai regulator pelabuhan, utamanya membenahi dwell time. Kini kekuatan Lino dan kawan- kawan pendukungnya sedang diuji. Dimulai dengan tindakan Bareskrim Polri menggeledah Kantor Pelindo II, ujian bagi Lino dkk. itu akan berlanjut dengan tampilnya Pansus DPR untuk kasus Pelindo II. Akhirnya seperti peribahasa; sepintar- pintar bangkai ditutupi, baunya akan tetap tercium juga. BAMBANG SOESATYO Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
  • 27. 27 Pilkada Serentak Untungkan Rakyat? Koran SINDO 18 September 2015 Sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa pada 9 Desember 2015 akan dilaksanakan pilkada serentak di berbagai kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia. Hingga saat ini beberapa tahapan awal pilkada sudah selesai dilaksanakan untuk memastikan pelaksanaan pesta demokrasi di tingkat lokal ini secara aman, tertib, dan sesuai aturan yang berlaku. Pertanyaannya, apakah pilkada ”serentak” pada Desember 2015 benar-benar akan bisa memberikan hasil yang terbaik untuk rakyat dan bukan pilkada borongan yang hanya memboroskan uang rakyat? Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 telah memutuskan bahwa pemilihan umum akan dilaksanakan secara serentak pada 2019 dan setelahnya di mana rakyat akan disodorkan pada lima kotak pilihan dalam satu kali masa pemilihan umum: presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Sepintas, dengan proses pemilihan seperti ini akan menguntungkan rakyat, sebagaimana disampaikan dalam argumentasi Effendi Ghazali, di mana hanya satu kali dalam lima tahun rakyat akan disibukkan oleh proses pemilihan umum yang melelahkan dan setelahnya akan bisa menikmati hasil pemilihan tersebut untuk lima tahun ke depan. Rakyat tidak akan mengeluh karena dipusingkan oleh rutinitas pemilihan umum sebagaimana berlangsung selama ini, terutama pilkada, yang menyita waktu masyarakat untuk bekerja mencari nafkah dan karenanya tidak menguntungkan. Ramlan Surbakti (2014) menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak serta-merta akan membawa pada tujuan terciptanya sistem pemerintahan presidensial yang efektif di Indonesia. Meski MK menggunakan metode penafsiran sistematik di dalam pertimbangan putusannya, MK tidak memasukkan pilkada serentak sebagai bagian dari putusan tersebut. Mungkin situasi ini terjadi karena di dalam permohonan yang diajukan oleh Effendi Ghazali tidak menyebutkan sama sekali tentang pilkada. Padahal, bila merujuk pada sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur di dalam UU 32 Tahun 2004 dan revisinya yaitu UU 23 Tahun 2014, ia merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem negara kesatuan yang berbentuk republik sebagaimana disebutkan di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) tentang susunan negara Indonesia.
  • 28. 28 Jadi, ketika pemilu nasional akan dilaksanakan secara serentak sebagaimana putusan MK mulai 2019 dan setelahnya, pemilu di tingkat lokal (pilkada) juga harus dilaksanakan secara serentak pula. Pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota harus dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Salah satu indikator efektivitas pemerintahan adalah tercipta sinergitas kerja antara kepala eksekutif dan lembaga legislatif, yang setidak-tidaknya, pertama, ditunjukkan di dalam kebijakan publik yang dengan mudah bisa disepakati oleh kepala eksekutif dan lembaga legislatif. Kedua, kebijakan publik yang sesuai dengan kehendak rakyat tersebut bisa diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh rakyat. Absennya Coat-Tail Effect Coat-tail effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Di dalam konteks proses politik, ini kecenderungan bagi seorang pemimpin partai populer yang dicalonkan untuk suatu jabatan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, atau wali kota) menimbulkan daya tarik pemilih kepada calon lain dari partai yang sama dalam pemilihan umum (Surbakti, 2014). Kecenderungan ini terjadi karena para pemilih mengaitkan calon anggota legislatif dari partai yang sama dengan pemimpin politik yang dicalonkan untuk jabatan eksekutif. Jadi, bila suatu partai mengajukan seorang calon yang populer sebagai calon kepala eksekutif dan memenangkan pemilihan tersebut, biasanya partai yang sama akan memenangkan mayoritas kursi di lembaga legislatif. Inilah yang dimaksud dengan coat-tail effect dalam proses politik dan hanya akan bisa terjadi bila proses pemilihan kepala eksekutif dan anggota legislatif dilaksanakan secara serentak (concurrent). Karena itu, kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, pilkada pada 9 Desember 2015 bukanlah pemilu serentak (concurrent) yang bisa menghasilkan coat-tail effect di dalam sebuah sistem pemerintahan yang mengadopsi prinsip pembagian kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Ini hanyalah pilkada borongan yang akan memboroskan uang rakyat. Sementara sangat kecil kemungkinan untuk menciptakan pemerintahan daerah yang efektif. Hanya kepala eksekutif daerah yang akan dipilih dan anggota legislatif daerah tidak berubah, terutama komposisi partai-partai anggota legislatif. Dengan begitu, fenomena Ahok di DKI Jakarta akan sangat mungkin terjadi di daerah-daerah yang akan melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2015. Kebijakan publik yang diusulkan oleh eksekutif tidak akan serta-merta bisa mendapat persetujuan dan dukungan penuh dari lembaga legislatif karena perbedaan afiliasi partai dan kepentingan antara eksekutif dan lembaga legislatif. Jadi, bila benar-benar ingin menjadikan pemilihan umum sebagai salah satu upaya atau alat untuk mengonsolidasikan demokrasi dan mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, pilkada harus dilaksanakan secara serentak (concurrent), bukan borongan. Dengan
  • 29. 29 begitu, coat-tail effect yang bisa membantu proses perumusan kebijakan publik yang lebih sinergis antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif akan lebih mudah untuk diciptakan. Dengan demikian, pilkada akan benar-benar bisa menguntungkan rakyat dan bukanlah proses pemborosan uang rakyat semata. AHMAD QISAI Dosen Program Pascasarjana Universitas Paramadina
  • 30. 30 Korupsi dan Dikorupsikan 19-09-2015 Pada kolom saya ”Demokrasi 5 Menit” yang dimuat Sabtu pekan lalu di harian ini tersimpul telah terjadi pergeseran politik kita dari demokrasi ke oligarki, dari kedaulatan rakyat ke kedaulatan elite. Simpul ikutannya, karena pergeseran demokrasi ke oligarkilah, pemberantasan korupsi tidak efektif. Karena pergeseran kedaulatan rakyat ke kedaulatan elitelah, perang terhadap korupsi seakan hanya sia-sia. Korupsi semakin menggurita secara mengerikan secara vertikal maupun horizontal. Jadi, kurang tepat kalau disimpulkan, perubahan otoriterianisme menjadi demokrasi melalui reformasi di Indonesia tidak berhasil memberantas korupsi. Tidak efektifnya pemberantasan korupsi justru karena kita tidak berhasil melakukan konsolidasi demokrasi sehingga gerakan pemberantasan korupsi berbalik arah, korupsinya semakin mengganas. Pada awal reformasi kita berhasil menggelorakan semangat demokrasi untuk berperang melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Presiden Habibie mulai membangun demokrasi dan mengantarkan rakyat Indonesia mengikuti pemilu yang demokratis pada 1999. Pemilu 1999 itu pun berlangsung dengan baik dan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang relatif baik dan cukup berprestasi. Pasca-pemilu 1999 tercatat langkah-langkah pembentukan berbagai undang-undang (UU) yang responsif terhadap aspirasi masyarakat. Lembaga penegak hukum dibenahi melalui ide penguatan kekuasaan kehakiman dan pembentukan lembaga pemberantas korupsi yang tidak tersandera. Tindakan-tindakan tegas terhadap korupsi sudah mulai menemukan format dan hasilnya cukup menggembirakan. Tetapi, setelah pemilu kedua (2004) mulai terjadi arus balik. Konsolidasi demokrasi yang seharusnya semakin mantap setelah dua kali pemilu pasca-reformasi mulai goyah. Demokrasi bebas menimbulkan penyakit lama demokrasi yakni banyaknya demagogue yang memperdaya rakyat pemilih melalui politik uang dan janji-janji gombal. Secara pelan, tapi pasti terjadilah pergeseran dari demokrasi ke oligarki itu. Sistem yang formalnya demokratis, tetapi isinya oligarkis tentu tidak bisa dijadikan kendaraan untuk berperang memberantas korupsi. Oligarki justru menyuburkan korupsi karena para oligark membayar biaya politiknya melalui korupsi dengan modal politik yang dihimpun atau ditarik kembali melalui korupsi pula. Itulah suasana atau peta peperangan kita dalam melawan korupsi. Perang melawan korupsi pun arahnya menjadi tidak jelas.
  • 31. 31 Taufiequrachman Ruki saat menjadi ketua KPK jilid pertama pernah melontarkan istilah ”corruptors fight back” atau serangan balik para koruptor, suatu istilah yang menunjukkan bahwa para koruptor pun tak segan-segan melakukan perlawanan terbuka terhadap lembaga pemberantas korupsi. Dalam perang melawan korupsi di arena oligarki itu jalannya perang tidak menunjukkan arah yang jelas. Pedang yang diacung-acungkan untuk memberantas korupsi tak lebih mengkilap dari pedang para koruptor. Terkadang tampak pemberantas korupsi digdaya menangkap koruptor kakap, tetapi terkadang ada koruptor yang menyerang pemberantas korupi. Terkadang ada pemberantas korupsi berbenturan dengan sesama pemberantas korupsi, tapi terkadang kita melihat ada perang antara koruptor melawan koruptor. Tak terhindar pula terjadi saling serang dan saling sandera melalui permainan politik antara pihak-pihak kelas kakap. Isu perang melawan korupsi pun kerapkali menjadi komoditas politik. Para politisi berkampanye untuk memberantas korupsi tanpa jelas mana yang benar-benar anti-korupsi dan mana yang sebenarnya koruptor sejati. Bayangkan, ada mantan narapidana korupsi yang tiba-tiba ikut mencalonkan diri dalam pemilu dengan kampanye akan memberantas korupsi. Orang itu mengatakan dirinya sudah berkorban untuk rakyat sehingga dipenjara dan untuk itu dirinya meminta rakyat memilihnya. Gila. Orang dipenjara karena korupsi dan menjarah uang rakyat kemudian mengikuti pemilu lagi dengan alasan dia telah dipenjara karena membela rakyat dan meminta rakyat memilihnya. Itulah belantara korupsi kita, tak jelas petanya, mana pahlawan anti-korupsinya, mana koruptornya, dan ke mana arah penyelesaiannya. Semua berkutat dalam kegelapan dan rakyat terjebak dalam kecemasan. *** Di dalam belantara korupsi yang serbagelap dan tak jelas seperti itulah muncul berbagai teori awam tentang jenis-jenis pelaku korupsi. Pertama, korupsi karena terdesak oleh kebutuhan (by need) seperti yang”terpaksa” dilakukan oleh pegawai atau orang kecil yang punya kebutuhan mendesak dalam serta ketidakcukupannya. Korupsi by need ini misalnya korupsi karena butuh untuk makan atau membayar uang sekolah anak yang sudah berbulan-bulan ditagih oleh sekolahnya. Kedua, korupsi karena serakah, rakus, dan tamak (by greed) seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah kaya raya, tapi masih ingin lebih kaya lagi secara membabi buta. Korupsi by greed ini misalnya yang dilakukan oleh mereka yang kemudian ternyata dihukum disertai penyitaan atas harta haramnya yang jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah atau dolar.
  • 32. 32 Ketiga, korupsi karena kecelakaan atau kecerobohan (by accident) yakni melakukan sesuatu tanpa memperhatikan prosedur karena ingin praktis dan cepat. Keempat, korupsi karena dijebak oleh lawan yang ingin menjatuhkannya (by trap). Dalam jenis yang keempat ini bisa terjadi orang tidak korupsi, tetapi dikorupsikan misalnya karena persaingan politik baik di pusat maupun di daerah, termasuk motif persaingan dalam pemilihan kepala daerah. Negara, kalau tak ingin ambruk seperti orang mati kehabisan darah, harus menyelesaikan masalah ini. Belantara korupsi yang gelap dan tak jelas peta dan skema penyelesaiannya harus diakhiri. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 33. 33 Khitah MK dan Pilkada Koran SINDO 22 September 2015 Pada 2015 ini 266 daerah akan menyelenggarakan perhelatan demokrasi yang penting dan strategis yakni pemilihan kepala daerah. Berbagai persiapan telah dilakukan, baik oleh penyelenggara pemilihan KPU, KPU daerah, Bawaslu, Panwaslu, pemerintahan daerah, maupun peserta pemilihan kepala daerah. Berbagai aturan telah disiapkan agar pilkada berjalan lancar, demokratis, dan tanpa kecurangan. Meski sudah dengan tegas dan jelas mengenai aturan main dalam pemilihan kepala daerah, tetap saja potensi ada pelanggaran dan sengketa sangat besar. Hal ini telah diprediksi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Arief Hidayat yang menyatakan bahwa dari sekitar 266 daerah yang menggelar pilkada, kemungkinan akan ada sekitar 300 perkara yang masuk ke MK. Taksiran ini lantaran di satu daerah ada dua atau lebih pasangan calon kepala daerah yang kemungkinan akan mengajukan sengketa pilkada. Meski demikian, ketua MK berharap jumlah perkara lebih sedikit dari prediksinya. UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah menyerahkan penyelesaian hukum pilkada kepada MK untuk sementara sebelum peradilan khusus pilkada terbentuk. Berkenaan dengan kewenangan MK ini, Ketua MK Prof. Arief Hidayat mengatakan bahwa undang- undang memang sudah membatasi perkara yang masuk ke MK yakni hanya perkara perhitungan perselisihan hasil pemungutan suara (PHPU). Di luar kasus itu diselesaikan oleh masing-masing institusi yakni Pengadilan TUN untuk perkara terkait dengan Keputusan KPU/KPUD, Bawaslu terkait perkara pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan, Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) untuk tindak pidana pemilihan, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan (DKPP) untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Saya sependapat dengan pernyataan ketua MK untuk kembali ke khitah kewenangan MK dalam sengketa pilkada yakni hanya menyelesaikan sengketa hasil perhitungan suara meski ini pernah dianggap terkesan seperti ”kalkulator” saja. Ada beberapa alasan mengapa MK kembali ke khitahnya. Pertama, MK memang diberikan kewenangan atributifnya oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 145 hanya untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, tidak termasuk tahapan proses pemilihan meski sekarang pilkada bukan lagi rezim pemilu. Kedua, dalam pilkada serentak sangat realistis apabila hanya berkenaan dengan sengketa hasil penghitungan suara karena secara empirik membuktikan betapa sulitnya proses
  • 34. 34 pembuktian dengan begitu banyak dokumen dan saksi fakta yang harus diperiksa dalam persidangan dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, waktu penyelesaian relatif singkat hanya 45 hari dengan jumlah peluang ada perkara yang masuk ke MK cukup banyak. Keempat, pada dasarnya ada institusi-institusi lain yang dapat berbagi kewenangan untuk menyelesaikan pelanggaran dan sengketa pemilihan di luar perselisihan hasil penghitungan suara. Dengan catatan bahwa putusan dari masing-masing institusi tersebut tidak tumpang tindih satu sama lain sehingga melahirkan ketidakpastian hukum dan tidak terjadi nebis in idem. Kelima, pemeriksaan, analisis pembuktian, dan putusan relatif lebih terukur dan pasti sehingga peluang putusan untuk diterima para pihak lebih terbuka. Hal yang penting kita ingatkan adalah penguatan pengawasan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan sengketa di MK, termasuk terhadap hakim MK. MK sebaiknya juga menyiapkan perangkat pengawasan untuk mencegah terjadi penyalahgunaan, suap, gratifikasi, dan perbuatan tercela lainnya. Tidak ada salahnya pula apabila KPK pun dilibatkan secara penuh. Untuk pengawasan perilaku hakim MK, kiranya patut dipertimbangkan keterlibatan Komisi Yudisial (KY). Semua proses dan tahapan penyelesaian perkara haruslah transparan dan open access atas informasi, yang selama ini telah dijalankan dengan baik dalam perkara uji materiil undang-undang. Keberadaan dan pendayagunaan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan peradilan perkara pilkada di MK ini tidak hanya menyasar kepada perilaku perbuatan koruptif, tetapi juga kinerja, profesionalitas, dan kualitas putusan, tanpa mengganggu dan mengurangi independensi hakim. Jangan sekadar mengejar target waktu dalam memeriksa perkara sehingga kualitas putusan menjadi terabaikan. Dengan demikian, penyelenggaraan peradilan pilkada di MK akan menjadi contoh yang baik dan menjadi pembelajaran yang berharga bagi pengadilan khusus pilkada yang akan dibentuk nanti. Prospek Peradilan Khusus Pilkada Karena pilkada bukan lagi masuk dalam rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945, MK pada dasarnya tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa pilkada. Demikian pula dengan Mahkamah Agung pun pada dasarnya tidak memungkinkan menangani sengketa pilkada. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Juru Bicara MA Suhadi bahwa penyelesaian sengketa pilkada, MA, dan pengadilan di bawahnya sudah terlampau banyak menangani perkara. Dalam setahun saja MA harus mengadili dan memutus 13.000 hingga 14.000 perkara reguler, ditambah penanganan pelanggaran pidana dan perkara TUN terkait pilkada.
  • 35. 35 Belum lagi apabila ditangani oleh pengadilan tinggi di daerah yang berpotensi terhadap keamanan karena relatif mudah dijangkau oleh pendukung masing-masing pihak yang bersengketa yang rawan konflik dan kerusuhan meski alasan terakhir ini terkesan absurd dan spekulatif. Dapat dimengerti apabila MK dan MA tidak lagi menangani perkara pilkada, dan karena itu perlu ada peradilan khusus untuk mengadili dan memutus perkara pilkada. Adanya peradilan khusus pilkada memberikan harapan yang lebih rasional dalam menyelesaikan sengketa pilkada. Paling tidak ada tiga manfaat yang berprospek baik. Pertama, peradilan khusus ini akan lebih fokus menyelesaikan perkara pilkada, tidak bercampur dengan perkara lainnya di luar perkara pilkada. Kedua, dibuka kemungkinan hakimnya direkrut dari kalangan profesional, punya keahlian, independen, dan diharapkan juga berwibawa dan berintegritas. Ketiga, secara teknis dapat dijangkau oleh para pihak baik dari segi lokasi/jarak maupun dari kemudahan akses sehingga lebih efisien. Adapun kewenangan dari peradilan khusus ini adalah tetap berkenaan dengan perselisihan penghitungan suara. Berkenaan dengan sengketa di luar penghitungan suara tetap diserahkan kepada institusi-institusi yang ada yakni Bawaslu, PTUN, PN untuk tindak pidana pemilu, dan DKPP untuk perilaku penyelenggara. Pengisian hakim peradilan khusus ini bisa didayagunakan Komisi Yudisial (KY) yang sudah berpengalaman dalam merekrut calon hakim agung. Dengan keterlibatan KY maka dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan ada orang-orang yang ”dititipkan” dari pihak tertentu yang akan sangat mengganggu dan merusak independensi dan profesionalitas hakim pada peradilan khusus tersebut. Untuk pembentukan peradilan khusus ini, perlu disiapkan dari sekarang undang-undang yang mengatur antara lain mengenai kedudukan, fungsi, kewenangan, pengisian hakim, putusan, dan hukum acara penanganan perkara pilkada. Tidak ada salahnya apabila dalam pembentukan RUU Peradilan Pilkada ini juga melibatkan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung untuk memberikan masukan substansi maupun teknis. Insya Allah, apabila DPR dan Presiden sigap dan responsif untuk pembentukan peradilan pilkada ini, pemilihan serentak gelombang kedua 2017 nanti sudah terbentuk Badan Peradilan Khusus Pilkada ini. Dengan demikian, penyelesaian sengketa perhitungan hasil pemungutan suara dalam pilkada serentak nanti dapat diselesaikan di peradilan khusus ini. Tentunya perbincangan mengenai peradilan khusus ini akan berakhir apabila pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD masing-masing. Wallahu’alam bishawab. ASEP WARLAN YUSUF Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung
  • 36. 36 Perselisihan Hasil Pilkada Serentak Koran SINDO 23 September 2015 Salah satu tahapan akhir pelaksanaan pilkada serentak 2015 yang akan menjadi sorotan publik adalah perselisihan hasil pilkada. Setidaknya ada dua pertanyaan mendasar terkait dengan perselisihan hasil pilkada serentak 2015. Pertama, persoalan konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus perselisihan hasil pilkada. Kedua, persoalan kapasitas kelembagaan MK dalam memutus perselisihan hasil pilkada serentak dalam tenggat waktu 45 hari sebagaimana ditentukan undang-undang. Konstitusionalitas Kewenangan MK Persoalan konstitusionalitas kewenangan MK memutus perkara pilkada sangat menarik untuk dikaji karena lahir dari putusan MK sendiri. Putusan MK Nomor 97/PUUXI/2013 pada Mei 2013 menyatakan bahwa dimasukkannya pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini membawa konsekuensi bahwa MK tidak lagi memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil pilkada karena kewenangan MK sudah disebutkan secara limitatif di dalam UUD 1945, yaitu memutus perselisihan hasil pemilu. Yang masuk dalam rezim pemilu dalam hal ini adalah pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, serta pemilu presiden dan wakil presiden. Putusan tersebut sesungguhnya telah ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dengan mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Namun demikian, undang-undang tersebut kemudian dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015). Dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 tersebut ditentukan bahwa pemilihan kepala daerah oleh rakyat, serta penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah menjadi wewenang pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Perubahan kembali terjadi. UU Nomor 1 Tahun 2015 diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015 ditegaskan bahwa perkara perselisihan hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan pilkada serentak nasional, yang pelaksanaannya direncanakan pada 2027. Karena itu, ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor
  • 37. 37 8 Tahun 2015 mengamanatkan perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kewenangan MK memutus perkara perselisihan hasil pilkada itu konstitusional, padahal MK telah menyatakan diri tidak berwenang? Jawabannya adalah konstitusional. Landasan konstitusionalitas kewenangan itu ada pada Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang dalam amarnya juga menyatakan bahwa MK masih berwenang memutus perkara perselisihan hasil pilkada sebelum ada lembaga yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Namun, amar putusan itu tentu harus tetap dimaknai bahwa kewenangan MK memutus perselisihan hasil pilkada serentak adalah wewenang tambahan yang bersifat sementara pada masa peralihan. Sudah seharusnya sebelum pilkada serentak nasional yang akan dilaksanakan pada 2027, kewenangan ini tidak ada pada MK lagi. Kapasitas Kelembagaan MK Memutus perkara perselisihan hasil pilkada bukanlah barang baru bagi MK. Dari sisi substansi, perkara perselisihan hasil pemilukada dan pilkada tidak berubah. Perbedaannya hanya pada jumlah perkara yang pasti akan banyak, bahkan sebanyak jumlah pemilihan kepala daerah itu sendiri. Keseluruhan perkara tersebut harus diperiksa, diadili, dan diputus dalam waktu 45 hari. Tentu jauh lebih berat jika dibandingkan dengan penanganan perkara perselisihan pemilukada masa lalu yang pelaksanaannya tidak bersamaan. Potensi banjir perkara pilkada sesungguhnya telah diantisipasi oleh UU Nomor 8 Tahun 2015, yaitu dengan menetapkan persyaratan pengajuan perkara perselisihan hasil pilkada. Peserta pilkada (pemohon) hanya dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan penghitungan suara jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak antara 0,5% sampai 2% antara pemohon dan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU/KIP provinsi/kabupaten/kota (termohon). Semakin besar jumlah penduduk di provinsi atau kabupaten/kota setempat, semakin kecil syarat persentase perbedaan perolehan suara antara pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak. Hal ini dengan sendirinya tentu akan membuat proses pembuktian perbedaan hasil penghitungan suara menjadi lebih fokus, mudah, dan cepat. Kapasitas kelembagaan MK memutus perkara dalam jumlah besar dalam tenggat waktu tertentu sesungguhnya telah teruji, misal pada saat memutus perkara perselisihan hasil pemilu legislatif. Pada Pemilu 2014, MK telah memutus 903 perkara dalam waktu 30 hari kerja. Pengalaman ini tentu sangat berharga dan telah menjadi bagian dari best practices di MK.
  • 38. 38 Bekal pengalaman tersebut tentu tetap harus diikuti dengan langkah konkret persiapan, baik segenap jajaran MK maupun peserta dan penyelenggara pilkada. MK telah menetapkan PMK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Selain itu, MK telah menetapkan pula PMK Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Becermin dari pengalaman yang lalu, beban berat penanganan perkara perselisihan hasil pilkada di MK sesungguhnya bersumber dari pokok perkara yang tidak sekadar mempersoalkan perbedaan hasil penghitungan suara, tetapi melebar pada berbagai bentuk pelanggaran dan sengketa di luar persoalan hasil pilkada, mulai tahap pencalonan hingga penetapan. Hal itu terjadi karena penyelesaian pelanggaran dan sengketa pada tahapan pelaksanaan pilkada sebelumnya tidak tuntas sehingga tetap menjadi pokok perkara yang diajukan dalam permohonan perkara perselisihan hasil pilkada di MK. Karena itu, penanganan perkara perselisihan hasil pilkada di MK mendatang akan sangat dipengaruhi pula oleh penyelesaian terhadap pelanggaran atau sengketa yang terjadi pada tahapan pilkada sebelumnya. Artinya, semua lembaga terkait yang berwenang hendaknya harus mampu menyelesaikan semua pelanggaran atau sengketa yang terjadi dalam setiap tahapan pilkada sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan. Hal ini juga sangat penting untuk menghindari adanya putusan yang saling melemahkan. JANEDJRI M GAFFAR Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
  • 39. 39 Selamat Jalan Bapak Gerakan Bantuan Hukum Indonesia Koran SINDO 25 September 2015 Berapa banyak tokoh di republik ini yang mendekati akhir usianya masih memikirkan si miskin dan orang-orang yang tertindas? Tanggal 20 September 2015, tiga hari sebelum sang lokomotif demokrasi tutup usia, ia minta secarik kertas dan pena untuk menulis wasiat. Di ruang Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) Rumah Sakit Pondok Indah, menggunakan ventilator (alat bantu pernapasan), sang tokoh yang selalu ingin dipanggil dengan sebutan ”Abang” secara perlahan menuliskan pesan empat baris: ”Jagalah LBH/YLBHI. Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin & tertindas.” Ribuan pengacara telah lahir dari sebuah kawah. Candradimuka itu bernama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang didirikan Adnan Bahrum Nasution pada 28 Oktober 1970, tak lama setelah beliau mundur dari kejaksaan. Abang amat senang menggunakan istilah ”candradimuka” untuk menyebut LBH. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “candradimuka” diberi arti kawah di kayangan (dalam cerita pewayangan) atau tempat penggemblengan diri pribadi supaya kuat, terlatih, dan tangkas. Alkisah dalam kawah itu, jabang bayi Tetuka, anak Bima, dididik dan digembleng oleh Batara Empu Anggajali sehingga bayi itu menjadi kesatria yang amat perkasa— yang lebih dikenal dengan nama Gatotkaca. Bang Buyung selalu berharap kepada kader LBH agar menjadi Gatotkaca, si otot kawat tulang besi. Para pengacara yang sempat mengabdi di LBH pada zaman Orde Baru tahu persis arti dan maknanya. Pengacara LBH dituntut pengabdian untuk membela para pencari keadilan yang miskin dan tidak boleh memungut bayaran. Beruntung ”si empu” benar-benar memberikan teladan, tidak hanya sebatas omongan, tetapi menunjukkannya dengan laku dan tindakan. Penjara, ancaman sampai pailit pernah dialami Bang Buyung. Dinginnya lantai penjara pernah beliau rasakan menyusul peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari atau lebih dikenal dengan Malari 1974. Ketika itu mahasiswa bergerak berdemonstrasi dan terjadi kerusuhan sosial saat Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei berkunjung ke Jakarta. Izin advokat si Abang pun pernah dibekukan sewaktu membela Pak Ton (Hartono Rekso Dharsono), seorang tokoh militer dan politik yang dituduh melakukan kejahatan subversif oleh rezim Orde Baru. Bang Buyung dianggap telah menghina pengadilan (contempt of
  • 40. 40 court) karena membuat kisruh di pengadilan. Ganjarannya, beliau diskors 1 (satu) tahun tidak boleh berpraktik. Alhasil kantor hukumnya pun gulung tikar. *** Saat saya bergabung di LBH Palembang di tahun 1990-an, dapat berdiskusi dan berfoto dengan Bang Buyung menjadi kebanggaan tersendiri bagi para pengacara LBH. Tata cara bicara dan kesantunannya tidak berbeda jika beliau berbicara dengan orang berpangkat dan pejabat. Beliau perlakukan sama, mendengar dan menyimak baik usul maupun pendapat dari direktur maupun staf. Bagi banyak guru, mendidik muridnya hanya berdasarkan pengetahuan dan buku pelajaran. Namun Bang Buyung adalah guru yang berbeda. Beliau mengajar para kader LBH tidak melulu berdasarkan teori-teori dan doktrin hukum, tetapi juga berdasarkan pengalaman dan praktik beracara yang pernah beliau lakukan baik di Indonesia maupun pengalamannya melihat langsung di negara-negara lain. Praperadilan adalah salah satu gagasan dan pemikiran yang dikembangkan di LBH pada saat perumusan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada 1981. Gagasan dan pemikiran bang Buyung—dan para guru besar hukum lainnya—telah diadopsi menjadi kebijakan negara. Munculnya lembaga negara baru dan lembaga-lembaga mandiri (state auxiliary agencies) yang ada saat ini kerap dibicarakan dan didiskusikan di acara-acara LBH sebelum dan sesudah Reformasi. Sebut saja Mahkamah Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan pentingnya di negara ini Komisi Pemilihan Umum yang independen. Pikiran beliau kerap diminta oleh banyak pihak sebagai tim perumus undang- undang hingga didudukkan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gedung Yayasan LBH Indonesia di Jalan Diponegoro 74 adalah saksi bisu peristiwa perlawanan dan kerapnya ide liar yang dulu dianggap subversif diwujudkan. Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) lahir juga dari rahim LBH pada 1998. Sebelum dipugar dan direnovasi, ruang Adam Malik di Lantai 1 Gedung Yayasan LBH Indonesia menjadi saksi betapa diskursus demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan hukum dibicarakan dan diperjuangkan. Sepanjang kariernya, Bang Buyung sempat memegang perkara-perkara yang untuk banyak advokat mapan jangankan mau menanganinya, masuk di surat kuasa pun keberatan. Sebut saja dua contoh, selama saya masih di kepengurusan Yayasan LBH Indonesia, beliau pernah menjadi Koordinator Tim Pembela Ustaz Abu Bakar Baasyir di tengah gencar-gencarnya isu war against terrorism. Di kesempatan lain, beliau pun bergeming meski mendapat cacian saat melakukan pembelaan dan menolak pelarangan Ahmadiyah yang bagi sejumlah kelompok Islam dinilai minoritas dan aliran sesat.
  • 41. 41 *** Saya amat beruntung, selama empat tahun amat dekat bersama Bang Buyung saat menjadi ketua Yayasan LBH Indonesia periode 2006-2010. Saya belajar dan menjadi paham, mengapa energi dan semangat si Abang terus menyala. Benarlah slogan kaum feminis yang amat populer, behind every great man there’s a great women. Di sisi beliau ada sosok Kak Ria, sapaan Tengku Sabariah Sabaruddin, sang istri. Amat sulit menemukan padanan Kak Ria yang amat mendukung dan mengerti sepak terjang sang suami. Suatu saat Kak Ria pernah berseloroh dengan nada bercanda kepada saya, cinta si abang itu kepada LBH. Bukan hanya waktu, pikiran, melainkan juga materi yang tidak sedikit Abang sumbangkan untuk gerakan bantuan hukum. Semoga semua alumni LBH di mana pun berada menjaga dan menunaikan amanat Abang untuk terus menghidupkan LBH dan Yayasan LBH Indonesia yang pernah menjadi tempat belajar dan ditempa. Tak akan bisa batangan besi menjadi keris jika tidak ditempa oleh seorang empu yang mumpuni. Selamat jalan Bapak Gerakan Bantuan Hukum Indonesia. PATRA M ZEN Advokat/Mantan Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia
  • 42. 42 Bang Buyung, Perjalanan Panjang Seorang Advokat-Pejuang Koran SINDO 25 September 2015 Menulis sisi-sisi kehidupan Prof Dr (Iur) H Adnan Buyung Nasution, SH tak ubahnya seperti menelusuri sebuah jalan panjang yang bercabang. Meski bercabang, jalan itu semuanya benderang. Dalam diri Bang Buyung— demikian sapaan akrabnya— memang melekat tiga cabang kekuatan personal: pejuang hukum dan hak asasi manusia (HAM), advokat profesional, dan intelektual. Ketiga kekuatan personal itu terpancar pada kehidupannya sebagai ”advokat- pejuang”, istilah yang sesungguhnya ia populerkan untuk memberikan kebanggaan bagi para yunior dan penerusnya. Perjalanan panjang sang advokat-pejuang berawal dari kegundahannya terhadap situasi tidak tegaknya hukum dan rasa keadilan di negeri ini ketika ia menjadi seorang jaksa pada dekade 1950-an. Ia terbebani kenyataan bahwa manisnya kemerdekaan tidak dinikmati oleh sebagian besar bangsa kita. Hak hukum serta keadilan sering kali jauh jaraknya antara yang menjadi harapan dengan kenyataan. Gelora pikirannya tentang hukum dan keadilan ini bahkan terbawa sampai akhir hayatnya. Lihatlah apa yang ia tulis sebagai wasiat untuk para penerusnya di Ruang ICCU RS Pondok Indah, hanya tiga hari sebelum ia meninggal: ”Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin dan tertindas .” Implementasi pikiran Bang Buyung tentang perjuangan hak hukum dan keadilan bagi masyarakat marginal mulai menemukan bentuknya setelah ia mempelajari bagaimana bantuan hukum terhadap masyarakat miskin dapat diberikan dan jaringan bantuan hukum dapat dibentuk di Australia pada akhir 1950-an. Namun statusnya sebagai seorang jaksa menghalangi dirinya untuk melembagakan pikirannya tersebut. Buyung akhirnya memilih mundur dari kejaksaan. Ia memasuki dunia baru sebagai aktivis hukum dan gerakan politik. Sebelum mundur, menyusul peristiwa G-30S/PKI, Buyung menjadi motivator dalam demonstrasi-demontrasi Kesatuan Aksi Mahasiswa/Sarjana Indonesia (KAMI/KASI) yang menentang pengkhianatan PKI. Sebagai tokoh demonstran angkatan 1966, Buyung diminta menjadi anggota DPR/MPR sampai akhir periode 1960-an. Ia juga memasuki dunia baru, yakni menjadi advokat profesional dan mendirikan kantor hukum pribadinya: Adnan Buyung Nasution & Associates (ABNA).
  • 43. 43 Cita-citanya membentuk jaringan bantuan hukum diwujudkannya dengan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 28 Oktober 1970 atas dukungan sepenuhnya organisasi advokat yang ada pada saat itu, Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Bantuan Hukum Struktural LBH Jakarta menjadi cikal-bakal gerakan bantuan hukum di Indonesia. Berdirinya LBH Jakarta menginspirasi munculnya banyak organisasi bantuan hukum lainnya, di antaranya yang kemudian langsung hadir di lingkungan pengadilan negeri: Pos-Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang dikelola para advokat Peradin. Sejak LBH Jakarta berdiri, Bang Buyung membangun persahabatan yang akrab dengan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada era 1970-an. Bang Ali membantu LBH Jakarta dengan dukungan anggaran tahunan bantuan hukum melalui APBD DKI Jakarta. Hal yang patut dicatat adalah kebesaran jiwa Bang Buyung maupun Bang Ali. Meskipun menerima bantuan Pemda DKI, dalam banyak perkara, terutama penggusuran tanah, LBH Jakarta tetap bersuara vokal dan bahkan kerap berhadap-hadapan dengan Pemda DKI Jakarta. Sikap kritis Bang Buyung terhadap pemerintah tidak berkurang sedikit pun. Sebaliknya, Bang Ali juga tidak menggunakan dukungan fasilitas dan anggaran untuk ”membungkam” kevokalan LBH Jakarta. Ketika melalui LBH Jakarta telah berhasil menginspirasi berdirinya organisasi bantuan hukum lainnya, Buyung melangkah lebih maju lagi dalam mewujudkan cita-citanya. Ia gulirkan konsep baru dalam bantuan hukum dengan apa yang disebut sebagai bantuan hukum struktural (BHS). BHS memperluas spektrum gerakan bantuan hukum, dari yang sifatnya ”tradisional”, yang berfokus pada pemberian bantuan hukum dalam proses hukum di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan menjadi gerakan advokasi penyadaran hak hukum dan hak-hak sipil lainnya, terutama kepada kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan dalam proses pembangunan. Dengan BHS, para advokat pejuang terjun langsung memberikan penyadaran hukum dan hak-hak sipil lainnya kepada kaum buruh, pekerja ekonomi sektor informal dan kelompok- kelompok masyarakat bawah lainnya yang rentan menjadi korban proses pembangunan. Pada tahapan selanjutnya, BHS inilah yang menjadi inspirasi lahirnya kelompok-kelompok masyarakat sipil sebelum maupun sesudah era Reformasi tahun 1998 seperti Kontras, ICW, ICEL, PBHI, yang kebetulan para pendiri dan aktivisnya mayoritas adalah orang-orang muda yang pernah bekerja atau mendapat gemblengan langsung dari Bang Buyung. Intelektual yang Humble
  • 44. 44 Pada diri Bang Buyung sesungguhnya tidak hanya melekat jiwa praktisi hukum dan aktivis gerakan saja. Keistimewaan lain yang menonjol dari dirinya ialah tampilan seorang intelektual ketika berbicara atau berdiskusi tentang suatu isu hukum. Setiap pandangan yang disampaikannya disertai dengan nalar akademis. Contoh terakhirnya ialah ketika banyak aktivis ”hidup-mati” membela kewenangan dan tindakan KPK meskipun terdapat problem due process of law di sana, Bang Buyung tetap memilih mengkritisinya dengan basis argumentasi yang jelas. Kita memang bisa jadi tidak setuju dengan sudut pandangnya. Namun ia juga bukan orang yang ingin memaksakan sudut pandangnya. Sifat humble (ramah dan rendah hati) terhadap lawan bicaranya membuat siapa pun yang bertemu dengannya tahan untuk berdiskusi berjam-jam. Sifat inilah yang mengesankan semua lapisan masyarakat. Bang Buyung sama hangatnya ketika menjabat tangan atau menyambut tokoh penting atau pun orang biasa yang datang menyapanya. Ia bahkan tidak segan menyapa atau mengulurkan tangannya terlebih dahulu ketika bertemu para yuniornya maupun warga masyarakat yang bahkan baru dikenalnya. Kebesaran hati dan sikapnya itu tercermin dari beragamnya pelayat yang datang ke rumahnya atau mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya di TPU Tanah Kusir. Selamat beristirahat, Bang Buyung, jasamu memang tiada tara. ARSUL SANI Ketua Poksi FPPP di Komisi III & Badan Legislasi, DPR-RI; Alumni LBH Jakarta 1988
  • 45. 45 Pidato Sebagai Diplomasi Publik 30-09-2015 Adalah hal yang dianggap wajar di Jepang jika seorang pejabat publik dengan pangkat tinggi mengundurkan diri karena mengakui dirinya tidak mampu menjalankan amanat tugas. Di Indonesia juga pernah ada pejabat publik yang mengundurkan diri karena gelombang demonstrasi besar. Di Australia publik dapat memaklumi bahwa sistem politik di sana memungkinkan rekan satu partai berubah menjadi lawan politik dan mengambil alih jabatan karena si lawan dianggap lebih potensial. Namun, di Amerika Serikat (AS) ini hal baru. Belum pernah terjadi sebelumnya bahwa seorang pejabat publik tinggi mundur tanpa alasan politis. Pejabat itu bernama John Boehner. Dia adalah ketua DPR (House of Representatives) AS yang berasal dari Partai Republikan, setara dengan jabatan Ketua DPR Setya Novanto saat ini. Sebagai ketua DPR yang mayoritas kursinya dikuasai oleh oposisi dari Partai Republikan, ia menjadi ujung tombak partainya untuk mempromosikan kebijakan konservatif dan menggagalkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Obama yang berasal dari Partai Demokrat. Salah satu langkah politik yang tidak bisa dilupakan adalah ”government shutdown” yang terjadi pada Agustus 2013. Parlemen menolak APBN yang diajukan pemerintahan Obama dan tidak ada otorisasi untuk menggunakan alokasi sementara. Akibatnya, pemerintah harus melakukan efisiensi, dari mengurangi jumlah hari sekolah, mengurangi jam kerja, hingga penutupan beberapa jenis layanan masyarakat. Masyarakat Amerika mengutuk Partai Republikan dan Partai Demokrat yang tidak mampu mencapai kesepakatan untuk menghindari peristiwa tersebut. Walaupun kedua partai sama- sama dihujat, Partai Republikan lebih mendapat citra negatif ketimbang Partai Demokrat menurut survei yang dilakukan oleh MSNBC tahun lalu. Boehner semestinya akan memimpin lagi kubu oposisi dan menentukan pada hari ini apakah APBN yang diusulkan pemerintah akan disetujui atau tidak. Apabila mayoritas anggota parlemen menolak proposal pemerintahan Obama, maka government shutdown yang terjadi pada 2013 akan terulang lagi tahun ini. Namun, banyak analis mengatakan bahwa hal itu mungkin tidak akan terjadi karena Boehner telah mengumumkan akan mengundurkan diri dari jabatannya per Oktober nanti. Pengunduran diri Boehner sangat mengejutkan karena terjadi tiba-tiba. Deputinya sendiri baru tahu Boehner akan mengundurkan diri pada saat konferensi pers terjadi. Peristiwa ini mengejutkan dan diduga terkait pertemuan empat mata yang diikuti oleh pidato Paus
  • 46. 46 Fransiskus sehari sebelumnya di Kongres AS. Apabila Anda menyaksikan pidato Paus Fransiskus di Kongres dan melihat bagaimana Boehner tidak dapat menahan air mata dan ekspresi emosinya, maka sulit untuk dimungkiri bahwa keputusan Boehner untuk mengundurkan diri di bulan Oktober nanti memang terkait dengan kehadiran dan pidato Paus Fransiskus di Kongres. Peristiwa pengunduran diri Boehner dan pidato politik Paus membuktikan bahwa pemimpin atau kepala negara yang kredibel dan ditunjang oleh integritas pribadi serta infrastruktur diplomasi publik yang maksimal akan menghasilkan dampak yang konkret. *** Sejauh yang saya alami dalam sejarah politik Amerika, dan mungkin sejarah dunia, tidak pernah ada pidato yang memiliki dampak demikian besar dan instan seperti yang dilakukan Paus Fransiskus yang berpidato di depan Kongres AS pekan lalu. Dalam kunjungan lima hari di AS, jantungnya kapitalisme, yang juga dikenal berkecenderungan sangat sekuler di mana kebijakan ekonomi yang neoliberal berurat- berakar, Paus Fransiskus berbicara tentang perubahan iklim, imigrasi, tragedi pelecehan seksual yang dilakukan oleh hierarki Gereja, juga tentang keluarga dan cinta. Paus berbicara tentang ide-ide yang kontroversial dan bertentangan dengan persepsi masyarakat AS. Pidatonya mengkritik politik AS tidak dengan cara pandangnya sendiri, tetapi melalui kata yang diucapkan oleh Abraham Lincoln, Martin Luther King, Dorothy Day, dan Thomas Merton. Contohnya ketika berbicara tentang pentingnya menghargai dan melindungi para imigran yang datang ke AS, Paus menegaskan setiap orang di Amerika dulunya juga pernah menjadi imigran. Paus juga berbicara tentang perubahan iklim yang sebagian besar dianggap oleh politisi, khususnya Partai Republikan, sebagai sebuah mitos dan agenda terselubung negara- negara tertentu untuk menekan pertumbuhan ekonomi AS. Jika biasanya pidato kepala negara cenderung menghindari hal-hal yang diramalkan akan membuat kontroversi atau membuat suasana tidak nyaman dalam kunjungan, Paus justru berlaku sebaliknya. Bandingkan misalnya dengan pidato Presiden Cina Xi Jinping yang dalam waktu bersamaan juga mengunjungi AS dan berpidato di depan publik AS. Xi Jinping menjabarkan tentang apa yang telah dilakukan Cina terkait dengan AS dan dunia seperti komitmen untuk melakukan reformasi politik dan membuka pintu ekonomi lebih luas. Xi juga mengatakan pertumbuhan ekonomi Cina jangan dianggap sebagai ancaman, tetapi harus dipandang sebagai peluang sehingga semua pihak, termasuk AS, bisa mendapatkan keuntungan atau win-win solution sesuai dengan apa yang ia ucapkan. Xi juga mengatakan akan menyelesaikan ketegangan dua negara tentang cyber spionage yang sudah memanas dalam sebulan terakhir.
  • 47. 47 Beberapa analis dan editor menganggap pidato itu normatif. Washington Post misalnya mengatakan bahwa kunjungan Obama dua tahun lalu ke Cina juga bicara soal cyber spionage. Tetapi Cina tidak banyak bertindak untuk memperbaiki masalah itu dan justru kasusnya semakin meningkat. Akibatnya, banyak publik AS yang tidak percaya terhadap Cina dan terus menerus mencurigai maksud di balik semua kebijakan Cina baik ekonomi maupun politik. *** Dari kunjungan dua kepala negara di waktu yang bersamaan kita dapat menyimpulkan bahwa pidato yang baik dapat diterima dengan ikhlas bila terkait dengan substansi sebuah kebijakan. Pembicara harus menyinggung, baik langsung atau tidak langsung, kebijakan yang didukung atau dikritiknya. Seorang kepala negara yang berpidato di panggung politik internasional juga harus menyadari bahwa pidatonya bukan hanya untuk konsumsi negara tertentu, tetapi juga konsumsi dunia. Sering kali pidato di panggung internasional tidak tentang kita, tetapi juga tentang negara lain atau kebijakan lain. Karena itu, isi pidato sewajarnya mencerminkan visi negara jauh ke depan tanpa meninggalkan atau mempromosikan apa yang saat ini telah dilakukan. Pidato kepala negara sesungguhnya adalah juga bagian dari diplomasi publik. Kredibilitas dari pidato tersebut perlu didukung dengan kepercayaan publik akan kredibilitas si pembicara, apakah janji yang disampaikan sekadar janji di bibir atau berakar pada integritas pribadi si pembicara. Selain itu, kekuatan diplomasi publik perlu didukung oleh instrumen diplomasi yang mapan, yang menjangkau publik di negara yang dituju (bahkan yang menonton di layar kaca) sehingga keseluruhan rangkaian acara kunjungan dapat dirasakan efeknya, bahkan oleh masyarakat awam sekalipun. Paus Fransiskus bukanlah paus pertama yang melakukan pidato di PBB atau di AS, tetapi yang membuatnya berbeda karena kredibilitasnya sebagai paus yang rendah hati telah membuatnya lebih menonjol dan menarik perhatian dibandingkan dengan para paus sebelumnya. Tidak mungkin seorang kepala negara yang melanggar HAM akan didengarkan pendapatnya ketika dia bicara tentang keadilan dan kemanusiaan. Dia bahkan dapat menjadi target kritik. Terakhir, indikator keberhasilan pidato politik di panggung internasional adalah bila lawan bicaranya menyetujui atau minimal tidak menentang apa yang disampaikannya. Persetujuan itu tidak harus semua apa yang disampaikan, tetapi minimal ada satu atau dua topik penting yang dapat menjadi titik tolak untuk meningkatkan kerja sama. Pada Oktober 2015 giliran Presiden Joko Widodo yang berkunjung ke AS. Segenap mata
  • 48. 48 dunia menanti-nanti apa yang akan disampaikannya. Tentu kita boleh berharap bahwa pidatonya dipersiapkan juga dengan baik untuk khalayak yang seluas-luasnya dan tidak menduplikasi gaya kepala negara lain. DINNA WISNU PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder dan Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
  • 49. 49 Ada Apa dengan JK? Koran SINDO 30 September 2015 Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang mengatur tugas dan kewenangan wakil presiden. Konstitusi kita hanya mengatakan, ”Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.” (UUD 1945 Pasal 4 ayat 2). Berbeda dengan jabatan wakil presiden, konstitusi kita memberikan begitu banyak kewenangan kepada presiden, mulai dari kewenangan eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Dalam penjelasan resmi UUD 1945 yang asli, juga tidak ada penjelasan apa dan sejauh mana fungsi dan kewenangan wakil presiden. Pada era Orde Baru, wakil presiden sungguh seperti ”ban serep”: dipakai tidaknya wakil presiden bergantung presiden semata. Bahkan pernah terjadi, Presiden Soeharto nyaris lama tidak berkomunikasi dengan wapresnya karena ia tidak suka dengan proses penetapan wapres itu. Tradisi ”ban serep” wakil presiden berubah era Reformasi. Jusuf Kalla-lah yang mendobrak tradisi itu. Ketika berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2004, JK dan Susilo Bambang Yudhoyono diam-diam membuat kesepakatan tentang pembagian tugas. Kesepakatan itu dituangkan dalam catatan tertulis. Intinya, Jusuf Kalla sebagai wakil presiden lebih konsentrasi pada bidang ekonomi dan keuangan; sedangkan SBY sebagai presiden lebih berkonsentrasi pada masalah-masalah dalam negeri, politik, keamanan, dan luar negeri. Dalam praktik, rupanya JK telah bertindak terlalu jauh, melampaui koridor ”perekonomian dan keuangan” sehingga JK ketika itu (pemerintahan SBY jilid I) mendapat predikat ”The Real President”. Diam-diam orang-orang dekat SBY tidak senang dengan perilaku JK ini. Pertengahan September ini Presiden Jokowi menegaskan bahwa tugas pokok presiden membuat kebijakan (policy). Kebijakan dilaksanakan oleh para menteri, termasuk menteri koordinator. Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pemerintah ada di pundak wakil presiden. Jadi, tugas pokok Wakil Presiden Jusuf Kalla, menurut persepsi dan pemahaman Presiden Jokowi, ialah mengawasi implementasi setiap kebijakan yang sudah diputuskan Presiden. Namun, pengalaman JK yang suka over-stepped presidennya (karena semboyan ”lebih cepat lebih baik”) sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh banyak kalangan ketika mereka berpasangan dalam pemilihan presiden tahun lalu.