SlideShare a Scribd company logo
1 of 151
1
DAFTAR ISI
RASIONALITAS INVESTASI PRASEKOLAH
Elfindri 4
MEMBERI ARAH RUU PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA
Rumadi Ahmad 7
BATU AKIK DAN HISTERIA MASSA
Rhenald Kasali 10
BIROKRAT IKAN LELE
Komaruddin Hidayat 13
BATU AKIK
Sarlito Wirawan Sarwono 15
ADA APA DENGAN BEGAL?
Dedi Mulyadi 18
KRISIS MENTAL DI NEGERI PARA BEGAL
Handi Sapta Mukti 22
PERSATUAN YANG BELUM TERWUJUD
Mohamad Sobary 25
TERIMA KASIH GURU
Komaruddin Hidayat 28
NYEPI, KORUPSI KITA, DAN ZHU RONGJI
Tom Saptaatmaja 31
NYEPI DAN REVOLUSI MENTAL
I Ketut Parwata 34
HATI NURANI
Sarlito Wirawan Sarwono 37
MENGENANG SANG WALI
Mohamad Sobary 40
NYEPI DI BALI, GUNDAH DI SINI
Dedi Mulyadi 43
PEMERATAAN KEBAHAGIAAN
Ivan Hadar 47
MERETAS BUDAYA BACA
2
Jejen Musfah 50
HAK PATEN ISLAM
Komaruddin Hidayat 54
POLITIK IDEOLOG SAMBAL TERASI
Dedi Mulyadi 57
MALING, COPET, GARONG, DAN BEGAL
Mohamad Sobary 60
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN TINGGI UNTUK HADAPI MEA
Djoko Santoso 64
PEMADANAN ISTILAH PARIWISATA
Mohamad Azhar Rasjid 67
GERMANWINGS DAN STANDAR PENERBANGAN DI INDONESIA
Nurul Wahdah 70
GEREGET
Rhenald Kasali 73
TITIK TEMU AGAMA-AGAMA
Komaruddin Hidayat 76
KASIH DAN KEADILAN SOSIAL
Tom Saptaatmaja 78
FERRY KATOLIK ISLAMI
Moh Mahfud MD 81
DOEK
Sarlito Wirawan Sarwono 84
NABI PALSU BISNIS TEMBAKAU
Mohamad Sobary 87
MATA AIR, AIR MATA
Dedi Mulyadi 90
FENOMENA BEGAL, SALAH SIAPA?
Jamal Wiwoho 94
PANGAN KITA
Rhenald Kasali 98
UJIAN NASIONAL MODEL BARU, AYO JUJUR
Biyanto 102
3
ISLAM NUSANTARA
Komaruddin Hidayat 105
BUSANA KERAJAAN
Sarlito Wirawan Sarwono 107
MELINDUNGI ANAK-ANAK DARI REGENERASI TEROR
Reza Indragiri Amriel 110
MARIO SANG PENAKLUK
Dedi Mulyadi 113
RAHWANA MENCAPLOK TEMBAKAU
Mohamad Sobary 116
INTERNASIONALISASI PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH
Muslich Hartadi Sutanto 119
SISTEM SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS MANAJEMEN
RISIKO
Achmad Deni Daruri 122
POLITIK YANG LUPA MORALITAS
Mudji Sutrisno 125
HENTIKAN HIBAH MOBIL PEJABAT!
Laode Ida 128
AGAMA CEPAT SAJI
Komaruddin Hidayat 131
MEROKOK TIDAK MEMBUNUHMU
Mohamad Sobary 133
DEUDEUH TEUING
Dedi Mulyadi 136
BANGSAKU, JANGAN BUNUH DIRI!
Sudjito 140
EMANSIPASI UNTUK SALING MELENGKAPI
Parwati Surjaudaja 143
BISNIS ESEK-ESEK ITU BERNAMA PROSTITUSI
Faisal Ismail 146
MENYOAL HUKUMAN MATI TERHADAP BURUH MIGRAN
Wahyu Susilo 149
4
Rasionalitas Investasi Pra-sekolah
Koran SINDO
11 Maret 2015
Salah satu karya ekonom James Heckman (2008) yang memudahkan beliau meraih hadiah
Nobel Ekonomi adalah pembuktian bahwa investasi manusia semasa dini memberikan
pengembalian terbesar dibandingkan investasi untuk semasa sekolah dan pada masa pasar
kerja. Di antaranya investasi masa pra-sekolah, baik untuk perbaikan kesehatan, gizi maupun
pendidikan pra-sekolah.
Luput dari Ukuran
Semenjak tahun 2000, konsensus PBB dalam mengukur dampak pembangunan terhadap
dimensi pembangunan manusia salah satunya adalah dengan mengamati capaian akses
pendidikan dasar dan penuntasan buta aksara penduduk dewasa. Capaian itu kelihatannya
hampir bisa diraih Indonesia pada 2015 mengingat angka partisipasi pendidikan usia 7-12
tahun telah mendekati 98%, sekitar 2% lagi anak-anak usia sekolah dasar masih perlu kerja
keras agar mereka dapat mengecap pendidikan.
Capaian demikian merupakan prestasi tersendiri selama pembangunan 10 tahun terakhir
walaupun tidak bisa diabaikan bahwa persoalan yang masih tersisa adalah menyelesaikan
agenda akses pada pendidikan yang bermutu serta menyapu habis penduduk dewasa yang
masih buta aksara. Tapi kita lupa mengingat bukti empiris yang ditemukan James Heckman
bahwa investasi pendidikan pada masa pra-sekolah memberikan pengembalian yang lebih
besar dibandingkan dengan investasi pendidikan usia sekolah.
Temuan ini memberikan sinyal bahwa secara rasional, negara dapat menjadikan pendidikan
pra-sekolah sedemikian rupa sehingga anak-anak usia 4-6 tahun juga memperoleh haknya
secara universal untuk mengecap pendidikan pra-sekolah sekalipun di negara kita undang-
undang tidak mewajibkannya.
Oleh karenanya, ketika Millennium Development Goals (MDGs) selesai tahun 2015,
kemudian dilanjutkan dengan usulan pengukuran baru terhadap pembangunan manusia
melalui Multifactors Poverty Index (MPI), akses penduduk untuk dapat pendidikan pra-
sekolah akan lebih relevan digunakan sebagai ukuran dari upaya-upaya pembangunan pada
masa yang akan datang mengingat korelasi yang jelas antara akses universal pra-sekolah
dengan produktivitas kerja ketika mereka sudah menjadi tenaga kerja. Kita lalai akan sinyal
empiris itu yang membuat capaian pendidikan pra-sekolah di negara kita masih jauh
panggang dari api.
5
Akses Pra-sekolah
Cukup mudah menelusuri bagaimana performance pendidikan pra-sekolah di Indonesia. Data
Susenas tahun 2012 dapat mengungkapkan bagaimana capaian dari akses pendidikan yang
dimaksud. Secara internasional, rata-rata lama tahun anak memperoleh pendidikan sebelum
memasuki jenjang pendidikan formal mulai dari yang terendah di negara-negara Sub-Sahara,
selama 0,3 tahun, kemudian di negara-negara Amerika Latin, selama 1,6 tahun, sampai di
negara-negara Eropa daratan selama 3,2 tahun. Artinya anak-anak yang lahir dan besar di
Eropa daratan sudah mengecap pendidikan pra-sekolah mulai usia 3 sampai 4 tahun. Dengan
arti kata di negara maju, universal pendidikan tidak saja ditujukan pada usia wajib belajar
sebagaimana yang diberlakukan di Indonesia, tetapi justru ditarik pada usia lebih awal lagi.
Norma akses pendidikan yang diterapkan di negara maju sejalan dengan temuan yang
dihasilkan James Heckman di atas. Kita tengok capaian akses pendidikan pra-sekolah di
Indonesia. Data Susenas tahun 2012 memperlihatkan, dari 14,4 juta anak berusia 4-6 tahun,
baru sekitar 52% dari mereka yang mendapatkan pendidikan pra-sekolah.
Dengan arti kata jika saja negara menargetkan 75% dari akses pendidikan pra-sekolah,
sebanyak 5,7 juta-5,8 juta anak setiap tahun mesti diberi akses yang mudah untuk mereka
memperoleh pendidikan pra-sekolah. Dengan target itu saja, kapasitas jumlah sekolah PAUD
mesti ditingkatkan sekitar 23% poin lagi. Itu jumlah sekolah dan keperluan guru PAUD yang
tidak sedikit.
Dengan berpedoman pada angka-angka itu, penyediaan guru TK yang bermutu, kepala
sekolah TK PAUD, kurikulum PAUD adalah rangkaian komponen pendidikan pra-sekolah
yang mesti direncanakan secara terintegrasi. Sebanyak itu pula semestinya proses
pemahaman yang juga mesti diberikan kepada orang tua mereka tentang pentingnya
pendidikan pra-sekolah beserta komponen-komponennya.
Mengingat masih banyak model yang bisa dikembangkan untuk memberikan pendidikan
anak pra-sekolah, sebesar 78% mengecap pendidikan pada sekolah taman kanak-kanak (TK)
atau sejenisnya. Belum banyak yang mengembangkan model akses pra-sekolah berupa
kelompok bermain, pasca-PAUD, tempat penitipan anak, home schooling, dan alternatif
model lain. Dengan memahami begitu pentingnya upaya intensifikasi dan ekstensifikasi
pendidikan PAUD, arah investasi pendidikan pada masa yang akan datang tidak kalah
pentingnya ditujukan pada pencapaian pemerataan akses pendidikan pra-sekolah yang
bermutu.
Satu PAUD Satu Desa
Jika ingin menggenjot capaian investasi pra-sekolah pada capaian di atas 75%, perlu upaya
yang sangat intensif dilakukan pemerintah daerah. Pertama, menjamin agar keterlibatan
masyarakat dalam menyediakan pendidikan PAUD, termasuk penyediaan tempat pendidikan,
6
guru, dan proses pembelajaran. Pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif agar penyediaan
pendidikan pra-sekolah tersedia pada tiap desa.
Kedua, saat bersamaan, pemodelan pendidikan PAUD mesti mengintegrasikan keperluan
anak pra-sekolah dengan peningkatan pemahaman orang tua terhadap relevansi dan urgensi
pendidikan pra-sekolah untuk anak-anak mereka. Belakangan inisiatif untuk melibatkan
orang tua dalam pendidikan pra-sekolah merupakan sebuah target baru dalam Direktorat
Keayahbundaan dengan maksud untuk lebih meningkatkan nilai pemahaman orang tua
terhadap arti penting pendidikan anak sekaligus meningkatkan akses orang tua terhadap
pendidikan.
Ketiga, sudah saatnya model penyediaan pendidikan pra-sekolah tidak saja terpaku pada
model pendidikan TK, tetapi terbuka luas untuk mengintegrasikannya dengan aktivitas-
aktivitas lainnya yang ada dan berkembang di perdesaan. Mengingat tidak mudah
menyediakan sarana pendidikan, model integrasi kegiatan keagamaan, arisan, pelayanan
kesehatan ibu dan anak dapat dilakukan dengan pendidikan pra-sekolah.
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Unand
7
Memberi Arah RUU Perlindungan Umat
Beragama
Koran SINDO
Rabu, 11 Maret 2015
Rencana Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk memasukkan draf Rancangan
Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) ke DPR untuk menjadi Program
Legislasi Nasional (prolegnas) 2015 tertunda. Hal ini berarti Kementerian Agama sebagai
inisiator RUU tersebut punya waktu lebih panjang untuk menyusunnya.
Sejauh yang penulis pantau, Kementerian Agama, baik melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) maupun Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) sudah
melakukan serangkaian diskusi untuk menyusun Naskah Akademik dan draf RUU. Namun
hingga kini belum tampak hasilnya yang bisa didiskusikan bersama, baik Naskah Akademik
maupun draf RUU-nya.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengemukakan,
RUU PUB nanti paling tidak mengatur lima hal yang dianggap paling krusial. Lima hal
tersebut adalah: 1) Hak penganut aliran keagamaan di luar enam agama yang resmi diakui
(Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu). Hal ini sudah lama menjadi
kerisauan bersama dan cenderung memunculkan konflik. Pengikut agama di luar yang enam
itu merasa, pemerintah kurang menyapa dan menfasilitasi mereka. Padahal konstitusi
mengamanahkan perlindungan tanpa pengecualian terhadap semua warga negara; 2) Soal
pendirian rumah ibadah. Hal ini cukup kompleks karena melibatkan banyak lembaga. Tidak
hanya kemenag, tapi juga FKUB dan pemda karena terkait dengan tata ruang; 3) Isu
penyiaran agama. Dewasa ini semua umat agama kian marak menyiarkan ajaran agamanya
dengan berbagai cara. Karena itu perlu ada aturan yang boleh dan tidak boleh disiarkan di
ruang publik. Demikian pula cara-cara penyiaran agama yang agitatif perlu diatur; 4) Isu
kekerasan terhadap minoritas yang disesatkan; 5) Isu kian meningkatnya angka
intoleransi. Hal itu diduga berpangkal dari pemahaman agama yang sempit dan mudah
menuduh pihak lain sebagai musuh.
Di luar lima hal tersebut sebenarnya ada persoalan lain yang layak dipertimbangkan untuk
dimasukkan dalam RUU PUB, yaitu masalah penistaan agama dan ujar kebencian (hate
speech) terhadap pihak lain, baik yang berbeda agama maupun seagama. Hal-hal tersebut,
idealnya harus dirumuskan peta persoalannya agar regulasi yang akan disusun tidak salah
arah, atau justru menjadi sarana legitimasi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan spirit
awal penyusunan RUU PUB ini.
8
Saya sebenarnya ingin menguraikan satu per satu persoalan di setiap isu. Namun, tentu bukan
di sini karena ruangan yang terbatas.
Arah Penyusunan RUU PUB
Hal yang paling penting dalam setiap penyusunan regulasi adalah memberi arah yang
tercermin dalam asas-asas RUU itu. Dalam kaitan RUU PUB ini harus diarahkan untuk
beberapa tujuan sebagai berikut.
Pertama, memastikan bahwa semua warga negara, apa pun agama dan keyakinannya harus
diperlakukan secara adil dan setara. Perlakukan secara adil dan setara dalam arti semua warga
negara dengan berbagai jenis keyakinan keagamaannya harus mendapat perlindungan dan
pelayanan kewarganegaraan yang equal. Dengan kata lain, RUU PUB harus bisa
menghilangkan seluruh bentuk diskriminasi berdasar agama dan keyakinan.
Meski Indonesia sudah punya UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis, namun UU ini belum memasukkan agama dan keyakinan sebagai persoalan yang
harus dibebaskan dari diskriminasi. UU ini hanya terfokus pada diskriminasi ras dan etnis di
mana agama tidak menjadi bagian di dalamnya.
Terkait dengan hal ini, harus diakui, hingga menjelang 70 tahun merdeka Indonesia belum
terbebas dari diskriminasi berdasar agama dan keyakinan. Di satu sisi negara sudah memberi
pemenuhan yang melimpah untuk menjalankan agama dan keyakinannya, namun di pihak
lain ada kelompok masyarakat yang hak eksistensialnya masih dipersoalkan.
Kedua, RUU PUB harus memberikan jaminan perlindungan kepada warga negara untuk
memeluk agama dan keyakinan, tanpa dibayang-bayangi penyesatan dan kriminalisasi.
Keyakinan keagamaan tak dapat dikriminalkan. Prinsip pokok ini harus dipegang teguh oleh
perumus RUU ini agar tidak terombang-ambing dengan berbagai pendapat. Selama ini sering
terjadi kriminalisasi keyakinan keagamaan karena dianggap sebagai kelompok sesat, bahkan
dianggap melakukan penistaan agama.
Ketiga, terkait dengan poin kedua, kriminalisasi dengan tuduhan penistaan agama tidak bisa
diarahkan pada keyakinan keagamaan dan orang-orang yang mengembangkan pemikiran
keagamaan yang berbeda dengan mainstream. Kriminalisasi harus lebih diarahkan pada
tindakan atau ucapan bernada kebencian atau mengancam keselamatan seseorang karena
keyakinan yang berbeda (hate speech). Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Orang-
orang yang keyakinan keagamaannya disesatkan dikriminalisasi, sementara orang-orang yang
jelas-jelas memberikan ancaman dengan ucapan kebencian, dibiarkan bebas dari tindakan
hukum. Dengan demikian, penistaan agama hanya bisa dikenakan kepada orang-orang yang
memang jelas punya intense dan maksud merendahkan, menghina dan melecehkan keyakinan
keagamaan seseorang.
9
Keempat, RUU PUB harus mampu membuka ruang toleransi seluas-luasnya atas berbagai
keanekaragaman dan perbedaan. Hal ini penting ditegaskan karena banyak aturan-aturan
kehidupan keagamaan yang justru mempersempit ruang toleransi yang hidup dalam
masyarakat. Penyempitan ruang toleransi itulah yang menyuburkan tindak kekerasan dan
intoleransi yang beberapa tahun terakhir ini banyak terjadi.
Yang penulis maksud dengan memperluas ruang toleransi adalah adanya regulasi yang
mampu memberikan perlindungan maksimal atas keyakinan keagamaan dan berbagai bentuk
ekspresinya di satu sisi, dan tidak mudah digunakan kelompok-kelompok intoleran untuk
melegitimasi tindakan intoleransinya.
Regulasi terkait pendirian tempat ibadah atau tata cara penyiaran agama harus diletakkan
dalam konteks ini. Sedetail apa pun tentang Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang di dalamnya mengatur tata cara pendirian
tempat ibadah, tapi karena ruang toleransi dipersempit, maka aturan ini tetap menimbulkan
banyak persoalan di lapangan. Demikian juga dengan tata cara penyiaran agama yang diatur
dalam Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978, lebih bernuansa mengatur kompetisi
merekrut pemeluk agama daripada memperluas arena toleransi dalam kehidupan beragama.
Nah, menurunnya intoleransi merupakan buah atau hasil dari perluasan arena toleransi
tersebut disertai dengan penegakan hukum yang konsisten. Angka intoleransi yang tinggi
beberapa tahun terakhir merupakan buah dari regulasi yang mempersempit ruang toleransi
dan penegakan hukum yang jauh dari semangat keadilan dan perlindungan keyakinan
keagamaan.
Kelima, RUU PUB harus bisa mereformasi dan merevisi sejumlah regulasi keagamaan yang
sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, bukan sekedar mengkompilasi berbagai
regulasi keagamaan kemudian dinaikkan statusnya menjadi undang-undang.
Sebagai contoh terkait dengan penodaan agama. Dalam putusan Mhkamah Konstitusi No.
140/PUU-VII/2009, meskipun MK memutuskan delik penodaan agama tidak bertentangan
dengan konstitusi, tapi MK juga menyetujui perlunya memperbaiki rumusan delik penodaan
agama baik pada lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki
unsur-unsur materiil yang jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam
praktik seperti yang sekarang ini sering terjadi.
Demikianlah, bila arah perumusan RUU KUB bisa digerakkan ke arah ini, penulis yakin
Indonesia akan semakin terhormat di mata dunia internasional, dan situasi kehidupan
beragama kita semakin baik.
RUMADI AHMAD
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti Senior the
WAHID Institute
10
Batu Akik dan Histeria Massa
Koran SINDO
Kamis, 12 Maret 2015
Anda mungkin pernah mendengar “nihil sub sole novum“. Itu ungkapan Latin. Kalau
memakai bahasa Inggris, bunyinya kurang lebih begini, “there is nothing new under the sun“.
Maksudnya, bukan tak ada perubahan, tetapi dalam kefanaan di dunia ini tidak ada sesuatu
yang sama sekali baru. Beda benar dengan pandangan Heraclitus, panta rei, yang artinya
semua selalu berubah.
Tapi, baiklah, dalam pandangan di atas, ibaratnya seperti malam berganti pagi, lalu pagi
beranjak siang, menuju sore, dan akhirnya kita bertemu kembali dengan malam. Begitu
seterusnya dunia kita berputar. Berulang-ulang. Begitu pula dengan kehidupan kita. Selalu
saja berulang. Dalam semua hal. Contohnya, kita pernah terperangkap pada “demam” yang
satu, tapi kemudian masuk dalam demam yang satunya lagi. Sama seperti krisis ekonomi
yang akan datang beberapa tahun sekali.
Baiklah supaya tidak berputar-putar, saya langsung saja. Sebetulnya saya ingin bicara tentang
demam batu akik yang tengah melanda masyarakat kita. Fenomenanya begitu luar biasa.
Sangat masif. Demam ini melanda rakyat jelata sampai pejabat negeri. Mengagumkan meski
dalam banyak hal mungkin ada yang kurang masuk akal. Misalnya saja dari sisi harga.
Anda tahu batu akik termahal di Indonesia? Kabarnya ia berasal dari Bengkulu, namanya
‘pictorial agate badar pemandangan’. Motifnya berupa pemandangan pantai. Harganya
disebut-sebut mencapai Rp2 miliar sama dengan harga sebuah mobil mewah di Indonesia.
Tapi mungkin saja saya luput dan Anda mendengar ada lagi batu lain yang harganya lebih
mahal.
Lalu, dari sisi khasiatnya. Banyak mitos yang mengatakan batu akik junjung drajat bisa
mengangkat wibawa dan status sosial pemakainya. Ada juga batu akik pancawarna. Pemakai
batu akik jenis ini konon akan memiliki karisma yang kuat dan terlindung dari kejahatan.
Bagi yang percaya, batu akik jenis lain juga mempunyai khasiat yang berbeda-beda.
Misalnya, ada batu akik yang membuat kita menjadi kebal. Tidak mempan ditusuk atau
ditembak. Ada juga batu akik yang membuat kita menjadi lebih dikasihani atasan atau teman,
membuat karier cepat menanjak, jualan menjadi lebih laku, dan kita tidak mempan disantet.
Kalau Anda memiliki batu akik yang bolong, namanya ‘batu cobong’, bisa dipakai untuk
memikat para wanita. Katanya itu batu pelet. Wow.
11
Silakan kalau Anda mau percaya, baik soal harga maupun khasiatnya. Namun, bagi saya,
fenomena batu akik ini mengingatkan saya akan lintasan meteor di langit kita. Dahulu,
semasa kecil, saat langit kita masih sangat jernih dan polusi udara belum menggila, ketika
kita menatap langit dengan mata telanjang, sesekali kita akan melihat meteor yang melintas.
Cepat sekali. Lalu, ada kepercayaan kalau berbarengan dengan lintasan meteor tadi kita
mengucapkan apa keinginan kita, konon bakal terkabul.
Fenomena Meteor
Demam batu akik yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini mengingatkan saya akan
meteor yang melintas di langit tadi. Cepat datang, cepat melintas, dan akhirnya cepat pula
menghilang.
Fenomenanya saya kira juga mirip dengan tanaman hias anturium yang juga sempat booming
tiga-empat tahun silam. Sampai sekarang saya dan mungkin kita semua belum sepenuhnya
paham apanya yang hebat dari tanaman ini sehingga gosip harganya bisa mencapai puluhan
hingga ratusan juta rupiah. Bahkan konon ada yang harganya menembus miliaran.
Booming batu akik atau anturium dan ikan louhan di masa lalu adalah cerminan dari
masyarakat yang dilanda histeria. Mereka mendengar gosip menyebar. Lalu, tanpa sempat
berpikir jernih dan menimbang lebih dalam, mereka memutuskan untuk percaya begitu saja.
Mereka ikut arus massa. Ketika semua bergerak ke kanan, dia ikut ke kanan karena takut
ketinggalan. Begitu pula ketika semua bergerak ke kiri.
Mereka tanpa sempat berpikir jernih memborong anturium atau ikan louhan. Sebagian
dengan motif memang ingin menikmati, tapi sebagian besar justru ingin berspekulasi. Mereka
berharap kelak batu akik, anturium, atau ikan louhannya bisa dijual lagi dengan harga lebih
tinggi.
Bahkan untuk anturium, investornya bukan hanya perseorangan. Di Jawa Tengah, Pemerintah
Kabupaten Karanganyar mengeluarkan dana yang lumayan besar untuk menggerakkan
masyarakatnya agar mau menanam anturium. Bupati Karanganyar ketika itu ingin
kabupatennya dinobatkan sebagai kabupaten anturium. Celakanya, seperti meteor tadi,
booming anturium dan ikan louhan ternyata hanya sebentar. Mereka yang terlanjur
menanamkan modalnya pun terpaksa gigit jari. Investasinya terpangkas habis.
Penyakit Sosial
Dalam bursa efek ada istilah ‘cornering’. Bahasa populernya adalah ‘menggoreng saham’.
Istilah ini merujuk pada sejumlah pelaku di bursa efek yang bersepakat untuk memainkan
saham perusahaan tertentu agar harganya naik. Mereka mengembuskan berbagai isu,
termasuk melibatkan media massa, sehingga membuat saham perusahaan tertentu menjadi
terlihat prospektif.
12
Para investor yang kalap, tanpa sempat menimbang kondisi fundamental dari perusahaan
tersebut, akan main tubruk. Siapa yang tak tergiur melihat harga saham perusahaan tertentu
terus bergerak naik. Daripada ketinggalan, mereka memutuskan ikut memborong saham
perusahaan tersebut. Celakanya setelah kenaikan harganya dirasa cukup, mereka yang
bersekongkol kemudian mulai menjual saham yang dimilikinya. Alhasil, harga saham
perusahaan tadi mulai melorot. Investor yang kalap tadi pun gigit jari. Mereka pun
melakukan cut loss.
Fenomena batu akik, anturium atau ikan louhan adalah fenomena cornering. Ada banyak
pihak yang terlibat dalam mind game lalu memainkan psikologi pasar dengan mengembus-
embuskan berbagai isu untuk membuat harga melonjak. Lalu histeria massa pun tercipta.
Setelah harganya mencapai titik tertentu dan keuntungan yang diperoleh dianggap cukup,
mereka pun perlahan-lahan melepas kendali pasar. Lantas harga pun bergerak turun.
Tinggallah warga biasa yang keasyikan bermain, tinggal dalam impian yang tiba-tiba hari
sudah petang dan harus bangun.
Histeria massa seperti itu erat kaitannya dengan perilaku irasional. Dalam ilmu ekonomi,
perilaku irasional pun terjadi di mana-mana. Salah satu bentuknya pengulangan-pengulangan
tadi. Kita pernah terkena demam ikan louhan. Lalu kita juga pernah dilanda demam anturium.
Kini kita tengah mengulang kembali demam yang sama, yakni demam batu akik.
Ke depan, mungkin masih akan ada sejumlah demam lain. Bagi saya, fenomena semacam ini
adalah “penyakit sosial”. Ini terjadi di mana-mana. Ketika akal sehat sudah tak bisa
menerima, kita pun masuk dalam perilaku yang irasional. Itu sebabnya Andrew Normal
Wilson, penulis biografi asal Inggris, menulis begini, “The fact that logic cannot satisfy us
awakens an almost insatiable hunger for the irrational.”
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
13
Birokrat Ikan Lele
Koran SINDO
Jum'at, 13 Maret 2015
Saya punya teman lama seorang pejabat BUMN, sebut saja Alex namanya. Setelah lebih dari
15 tahun tidak pernah bertemu, tanpa sengaja pekan lalu berjumpa dalam sebuah acara
sosial.
Badannya terlihat sehat, wajahnya ceria, sehingga tampak lebih muda dari usianya. Saya
bertanya ringan, apa resepnya kok terlihat tetap segar dan ceria? Jawabannya sungguh
membuat aku terbelalak. Aku sudah lama keluar dari dunia birokrasi. Aku bukan sejenis ikan
lele yang bisa hidup dan berkembang di air kotor dengan makanan yang juga kotor, jawabnya
singkat, santai, namun tajam. Saya langsung saja menimpali, mungkin Anda masuk
kelompok ikan emas yang airnya mesti jernih, makanannya pun tidak sembarangan.
Dalam perjalanan pulang masih terngiang-ngiang ungkapan “birokrat ikan lele” sampai-
sampai saya sampaikan pada Anda obrolan singkat tadi. Benarkah jajaran birokrat kita sudah
separah itu? Benarkah dunia birokrasi kita bagaikan kolam lumpur yang hanya cocok untuk
ikan lele dan sejenisnya yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang serbakotor dan bau?
Bagi mereka yang sudah lama berkiprah di dunia birokrasi dan politik tentu nuraninya lebih
bisa dan lebih bijak menjawab. Sungguh suatu kesalahan besar membuat generalisasi birokrat
kita busuk dan kotor. Namun juga sebuah kebohongan dan kepura-puraan untuk mengatakan
jajaran birokrat kita bersih, dedikatif, dan profesional. Indikatornya mudah sekali ditemukan.
Pertama, berapa banyak berkas-berkas pidana korupsi yang menumpuk di lembaga KPK,
kejaksaan, dan kepolisian. Berdasarkan informasi dari Kantor PPATK, berapa banyak
kejanggalan aliran dana yang masuk pada pejabat negara yang besaran jumlahnya sulit
dicerna oleh nalar sehat, padahal pemiliknya adalah PNS?
Indikator lain adalah pengalaman sehari-hari ketika kita berurusan dengan birokrasi dan
aparat pemerintah, selalu saja ada pungutan biaya di luar aturan resmi. Saya sendiri sering
memberi ceramah dan bertemu kalangan pengusaha, ada-ada saja cerita bagaimana pejabat
pemberi izin mempersulit prosedur semata karena ingin mendapatkan uang pelicin, yang bagi
saya angkanya fantastis.
Jika kondisi ini berkelanjutan, sudah pasti memasuki pasar bebas ASEAN (MEA) nanti
Indonesia tak akan mampu bersaing. Harga produk mahal, mutu rendah, karena ongkos
produksinya sangat tinggi gara-gara dananya tersedot sebagai uang pelicin.
14
Beberapa tahun lalu saya pernah ikut suatu penelitian dalam bidang pengadaan barang dan
pembangunan infrastruktur. Temuannya sudah dapat diduga bahwa realisasi anggaran untuk
pengadaan barang dan pembangunan itu berkisar 60%. Beberapa kasus bahkan ada yang
40%. Dari segi mutu, mestinya berkisar pada 85%. Makanya pantas kalau berbagai bangunan
proyek tidak sanggup bertahan lama karena memang kualitasnya di bawah standar.
Dengan kebijakan desentralisasi anggaran, tingkat kebocoran semakin merata ke berbagai
pemerintah tingkat dua seantero Indonesia. Terjadi jurus kongkalikong antara pemerintah dan
lembaga DPRD. Kalangan birokrat sendiri sesungguhnya tahu ada penyimpangan dan
pembusukan yang terjadi di lingkungannya. Tetapi, enggan berbicara, alih-alih
mengungkapkan ke publik dan lembaga pemberantasan korupsi. Baru setelah pensiun mereka
sering keluar pengakuannya. Itu pun secara rahasia dan terbatas pada lingkungan kecil.
Misalnya saja, setiap pengesahan undang-undang atau penetapan anggaran mesti memerlukan
tambahan biaya rapat dengan kalangan DPR/ DPRD dengan angka yang tidak kecil dan
sumbernya tertutup. Jadi, birokrat yang tadinya masuk jenis “ikan emas” terkondisikan untuk
berubah menjadi “ikan lele” yang sanggup bertahan hidup bahkan menikmati (?) air kotor?
Ketika terjadi perseteruan antara Gubernur DKI Ahok dan DPRD, lagi-lagi, masalah intinya
adalah terjadi permainan anggaran yang tidak logis dan tidak transparan. Ujungnya rakyat
yang jadi korban akibat pemerintah tidak bisa bekerja melayani rakyat dengan semestinya.
Saya kira kasus serupa terjadi di berbagai pemerintah di daerah-daerah lain. Hanya, itu tidak
mengemuka karena tertutup rapat-rapat.
Apakah semua birokrat bagaikan ikan lele? Sudah pasti tidak. Tetapi, persentasenya berapa
dan berapa jumlah kerugian negara serta rakyat yang ditimbulkan, saya tidak punya jawaban
yang akurat. Adalah tugas parpol, di era demokrasi ini, yang mesti tampil ke depan
membersihkan lingkungan dirinya agar nanti kader-kader yang duduk di lembaga DPR dan
pemerintah tidak masuk kategori ikan lele yang menikmati air keruh dan bau.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
15
Batu Akik
Koran SINDO
Minggu, 15 Maret 2015
Transkrip rekap pembicaraan Jokowi dengan Prabowo di Istana Bogor yang berasal dari
hasil sadapan dan rekaman CCTV bocor ke khalayak luas.
Resume selengkapnya CCTV kombinasi hasil penyadapan:
29_01_2015 17:06:28 (sumber_ cctv) Prabowo datang di bawah hujan lebat. Dipayungi oleh
pengawal pribadi dan disambut oleh pengawal kepresidenan.
29_01_2015 17:09:05 (sumber_ cctv) Prabowo memasuki salah satu ruangan di Istana
Bogor. Jokowi terlihat sudah menunggu.
29_01_2015 17:11:23 (sumber_ cctv) Jokowi mengajak bersalaman dan mempersilakan
Prabowo duduk. Mereka berdua duduk berhadapan.
29_01_2015 17:13:41 (sumber_ cctv) Jokowi memberi kode agar semua orang meninggalkan
ruangan. Pintu ruangan tertutup.
29_01_2015 17:14:19 (hasil_ penyadapan)
J: .......... (tidak jelas) untuk mempersingkat waktu mungkin sebaiknya kita langsung ke pokok
masalah saja Pak Prabowo...
P: Baik, Pak Presiden.
29_01_2015 17:14:19 (hasil_ penyadapan)
J: ... sesuai dengan kesepakatan rahasia yang disampaikan utusan saya, hari ini kita akan
membicarakan masalah AS, BG dan BW ...... (tidak jelas) .... Akhir-akhir ini ketiganya sangat
menyita perhatian publik. Mohon saran dari Pak Prabowo...
P: ... sebagai anak bangsa saya akan berusaha membantu sesuai kemampuan saya Pak
Presiden.
29_01_2015 17:15:43 (sumber_ cctv) Masing-masing nampak mengeluarkan kotak seukuran
buku agenda.
29_01_2015 17:16:11 (sumber_ cctv & hasil_penyadapan). Kotak itu dibuka dan ditaruh di
atas meja. Mereka segera membungkuk ke arah kotak tersebut dan memperhatikan dengan
saksama barang-barang yang ada di dalamnya.
16
J: ... semua fakta tentang AS, BG dan BW berada di dalam kotak ini Pak Prabowo.
Bagaimana menurut pendapat Bapak?
29_01_2015 17:18:47 (sumber_ cctv & hasil_penyadapan). Prabowo mengambil salah satu
benda dari dalam kotak milik Jokowi, mengusap-usap dan menerawangnya dengan teliti.
P: Untuk masalah AS (akik safir) ini saya bisa memastikan bahwa ini asli Pak. Cuma,
tampaknya bukan dari kualitas grade A. Sedangkan untuk BG (batu giok) ini umum di
pasaran. Warnanya agak kurang cemerlang. Secara bentuk dan warna saya lebih tertarik
pada yang BW (bacan weda).
J: Wah mungkin saya kurang telaten menggosoknya apa ya Pak?
P: Memangnya berapa sering dan berapa lama Bapak menggosoknya?
J: Ya paling-paling menjelang tidur. 10-15 menit mungkin.
P: Ya jelas hasilnya kurang baik lah. Minimal sehari dua kali masing-masing sejam. Jadi
kilapnya keluar.
J: Pak Prabowo enak. Bisa gosok batu sepuasnya. Saya baru memegang kotak akiknya saja
istri saya sudah mrengut.
P: Ha .. ha .. haa ...
J: Eh ... ngomong-ngomong tak terasa sudah 30 menit lebih nih Pak. Kita sudah ditunggu
wartawan untuk press conference. Kira-kira apa yang akan kita sampaikan ya Pak?
P: Kita pura-pura habis ngomongin pencak silat saja, Pak. Jangan sampai pembicaraan kita
masalah AS, BG dan BW ini bocor ke publik ...
J: Ha .. ha .. haa ... Bocoooorr. Pak Prabowo belum berubah.
P: Ha .. ha .. haa ...
J: Lain kali kita ketemu lagi ya Pak. Kita omongin masalah burung dan kuda.
P: Siap. Saya tunggu undangan berikutnya.
J: Atau kalau ada waktu senggang sekali-kali kita main kartu juga boleh Pak Prabowo.
P: Ha .. ha .. haa ... Kartuuuuu ... Pak Jokowi juga belum berubah. Move on dong Pak ...
J: Ha .. ha .. haa ... Pak Prabowo juga jangan nyinyir gitu dong ...
Kemudian mereka berdua keluar untuk bertemu wartawan sambil masih terus tertawa
terbahak-bahak bersama ...
***
Sudah barang tentu bocoran pembicaraan di atas cuma lelucon. Tetapi kemasan lelucon itu
sangat relevan dengan kondisi yang mencekam saat itu, karena beredar di media sosial hanya
sehari setelah pertemuan yang fenomenal dari kedua tokoh itu. Saya pun deg-degan waktu
membacanya untuk yang pertama kali. Tetapi yang paling menarik adalah mengapa batu akik
yang dijadikan topik pelintiran pembicaraan rahasia itu? Nyatanya tidak lama sesudah itu
ditemukan batu giok raksasa di Aceh, yang menambah parahnya demam batu akik di
masyarakat kita.
Saya sendiri bukan pakar batu akik. Saya tidak pernah memakai cincin apa pun, sampai
ketika ayah saya wafat, ibu saya menitipkan cincin yang selalu dipakai ayah saya kepada
17
saya. Maka saya pakailah cincin itu yang katanya bermata batu kecubung asihan.
Konon batu ini bisa menarik hati lawan jenis yang ingin menjadi kekasih. Nyatanya, ayah
saya tidak pernah punya kekasih selain ibu saya dan saya tidak pernah punya kekasih lain
dari istri saya (kalau benar menarik kekasih, batu ini malah bikin susah).
Tetapi jangan salah, buat orang yang berhobi batu cincin, setiap batu punya makna dan
kesaktian tertentu. Mereka punya komunitas tertentu untuk saling berbagi dan saling
menimba ilmu. Di mata mereka, batu-batu tertentu bisa mahal sekali harganya, melebihi
mutiara, bahkan intan dan berlian. Mutiara, intan, dan berlian tinggi harganya karena
fungsinya untuk mempercantik wanita, sedangkan batu akik tinggi harganya karena ada nilai
spiritual di dalamnya.
Saya tidak tahu apakah demam batu akik yang makin marak sekarang ini akibat bocornya
pembicaraan rahasia Prabowo-Jokowi atau karena ditemukannya batu giok di Aceh. Yang
jelas momentum ini dimanfaatkan betul oleh para pedagang batu akik, yang memanfaatkan
media sosial secara maksimal dan menyedot perhatian pemerhati atau pemercaya atau fanatik
batu akik, sehingga indeks perdagangan batu akik meningkat.
Tetapi percayalah, fenomena ini tidak akan lama karena media sosial juga akan digunakan
untuk mengangkat isu-isu lain yang tidak kalah hebohnya dan menggeser kehebohan isu batu
akik.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
18
Ada Apa dengan Begal?
Koran SINDO
Senin, 16 Maret 2015
Begal merupakan kejahatan yang terkenal pada masa masyarakat kita jauh sebelum mulai
menggunakan alat transportasi kendaraan seperti saat ini. Operasinya dilakukan pada orang
atau sekelompok orang yang sedang melakukan perjalanan dengan tujuan merebut harta
bendanya dengan tindakan ancaman, kekerasan, bahkan pembunuhan.
Para begal memiliki postur tubuh yang menyeramkan, badannya tinggi besar, rambutnya
gimbal tidak pernah keramas, brewokan, bicaranya keras dan garang, senjatanya golok
dengan ukuran yang panjang. Mereka tinggal di hutan-hutan, mengintip mangsa di tempat
yang sepi, kemudian menyergapnya sambil berteriak, ”Rek ka mana sia? (mau ke mana
kamu?)”. Setelah itu, sang begal melucuti seluruh barang yang dibawa oleh orang yang
melewati daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya.
Para begal hidup berkelompok, terorganisasi, di bawah kendali sang pemimpin yang
memiliki ilmu kebal. Raja begal tak mempan dibacok, tak mempan ditembak. Cuma satu
kelemahannya, raja begal rata-rata takut sama istrinya.
Suara yang menggelegar, muka yang garang, kumis yang tebal, dan jambang yang gimbal,
ketika mendengar suara istrinya lirih memanggil, akan membuat sang begal bergegas berlari
menghampiri sambil menyahut, ”Aya naon, neng? (Ada apa, neng?)” dengan wajah penuh
ketakutan. Itulah ciri-ciri begal, puluhan dan ratusan tahun yang lalu.
Jiwa kepemimpinan seorang begal sangatlah kuat. Dia mampu mengorganisasi seluruh
anggotanya dengan baik. Kebersamaan dalam suka dan duka adalah kekuatan yang menjadi
spirit seluruh gerak dan langkahnya, sehingga para begal sulit ditaklukkan.
Rasa hormat, patuh, dan perlindungan kepada pemimpin adalah ideologi utama para
begal. Mereka sanggup mengorbankan jiwa dan raganya untuk keselamatan pemimpinnya.
Mereka sangat taat dan patuh terhadap apa yang menjadi keputusan pemimpinnya tanpa harus
bertanya dan protes terhadap apa yang didapat dari setiap operasi pembegalan yang
dilakukan.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem tata kelola elite politik kita, di mana kesetiaan dan
kepatuhan hanya didasarkan pada ikatan kepentingan. Selama ikatan kepentingan itu
menguntungkan, baik bagi dirinya, keluarganya atau kelompoknya, maka seluruh kepatuhan
itu akan terdengar di mana-mana. Ada dalam statement, dalam spanduk, dalam artikel, dan
19
berbagai ungkapan lainnya yang harus didengar oleh yang dipatuhinya. Kepatuhan dibuat
dalam bentuk konferensi pers, harus terlihat oleh kamera, dan setelah itu berbisik pada
temannya, ”Bos saya membaca dan melihat nggak ya, omongan saya mendukungnya.”
Namun, semua itu akan pupus karena alasan klasik, seperti pembagian rezeki yang tidak
merata, jabatan yang dijanjikan tidak terlaksana, atau hal-hal lain yang membuatnya kecewa.
Dalam waktu cepat dia berputar haluan seolah seluruh kata dan ungkapan yang pernah
diucapkan hari kemarin tidak pernah ada. Ujung-ujungnya dia berkata, ”Namanya juga
politik... Setiap saat berubah,” seolah kalau untuk urusan politik tak ada lagi hati nurani.
Lantas, suara lantang yang sering nyaring terdengar, riuh tepuk pembelaan terhadap rakyat,
sebenarnya atas dasar apa selama ini diungkapkan? Kalau untuk urusan ini, jawabannya
hanya Allah yang tahu.
***
Saat ini kita disibukkan kembali pada isu begal. Hal tersebut dipicu oleh berbagai berita di
media sosial yang sangat serempak terjadi di berbagai tempat. Isu begal sudah sampai pada
tingkat darurat di media sosial, tetapi tentunya darurat begal tidak menimbulkan ketegangan
para politisi di negeri ini.
Beda dengan darurat undang-undang pilkada, yang dalam waktu cepat dikeluarkan perppu
sebagai ekspresi kepekaan seorang pemimpin terhadap aspirasi masyarakatnya yang
menimbulkan kegentingan pada media sosial. Darurat begal sampai saat ini tidak
menimbulkan instruksi yang bersifat siaga, baik Siaga III, Siaga II maupun Siaga I.
Hubungan antara isu begal dengan kesiagaan di lapangan seperti kata tak bersambut. Yang
terjadi hanyalah kegelisahan sebagian masyarakat kita serta berbagai kejahatan yang biasa
dilakukan di jalanan seperti pencopetan, penjambretan, kini berubah semuanya dianggap
begal.
Entah karena emosi, entah karena tidak sabar melihat situasi, entahlah, seluruh kegelisahan
itu berdampak pada spirit penghakiman pelaku kejahatan yang dianggap begal menjadi upaya
penghakiman yang berujung pada pemukulan, penganiayaan, bahkan sampai pembakaran
terhadap pelaku kejahatan.
Mang Udin, tetangga di kampung saya, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang
cerita begal nampak bingung melihat keadaan ini. Kata Mang Udin, ”Kenapa begalnya bisa
kompak sekali? Melakukan pembegalan bersamaan di berbagai tempat.”
“Kalau membegalnya bareng, berarti begal ini terorganisasi. Kalau terorganisasi, berarti ada
pemimpin kelompoknya dan ada pola pelatihan yang dilakukan selama ini di tempat yang
tidak diketahui orang, sehingga setelah paguron begal (perguruan begal) berhasil mendidik
murid-muridnya, maka para begal turun gunung secara bersama-sama untuk melakukan
aksinya.”
20
“Sekarang kan zaman serbadigital, percakapan orang bisa disadap, percakapan presiden saja
bisa disadap oleh negara tetangga. Apa mungkin, para begal membuat pelatihan tidak
menggunakan jalur komunikasi dan apa mungkin di Indonesia ada tempat yang tidak terlacak
dan terdeteksi oleh jaringan keamanan yang kita miliki?”
“Kalau yang dibegalnya di jalan raya, dan yang dibegalnya motor, berarti latihannya tidak
mungkin di hutan. Pasti latihannya di pinggir jalan, di tempat-tempat yang terbuka dan
terlihat oleh semua orang. Sampai di sini rasanya begal ini sulit dimengerti, kok pandai sekali
bersembunyi? Sampai tidak ada orang yang mengetahui tempatnya.”
“Atau, para begal sekarang punya aji halimunan, walaupun dia berada di tempat ramai,
berlatih dan berorganisasi di tempat terbuka, dia tidak bisa dilihat oleh orang lain? Nah, kalau
ini masuk akal.”
Tapi, Mang Udin tidak sampai di situ dia bicara. Sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala,
Mang Udin melanjutkan pembicaraannya, ”Setahu amang, aji halimunan itu adanya dalam
cerita pewayangan, baik wayang golek, wayang kulit, wayang orang atau wayang apa saja.
Kalau bicara soal wayang, maka seluruh aji halimunan itu pasti digerakkan oleh dalang.
Yang namanya wayang, sakti atau tidaknya kan tergantung dalang. Masa sih urusan cerita
begal yang saat ini menghebohkan jagat media sosial di Indonesia merupakan cerita yang
sedang dilakonkan oleh seorang dalang.”
***
Ma Icih, istri setia Mang Udin, berbisik sambil bergumam, ”Sudahlah, jangan suka ngomong
yang bersifat analisis, nanti menimbulkan banyak praduga yang berkembang di masyarakat.”
“Yang jelas, Mang Udin nggak usah mikirin begal, sebab kan Mang Udin mah nggak punya
motor, komo ari mobil mah (apalagi mobil)... nu aya ukur sapedah butut (yang ada cuma
sepeda jelek). Moal enya sapedah arek dibegal mah (nggak mungkin sepeda dibegal). Yang
harus dipikirkan oleh Mang Udin mah, sekarang harga beras mahal karena berasnya langka
dan gas melon juga sulit didapat.“
“Nah, ini pasti ulahnya begal yang harus segera dibuatkan perppu dan Siaga I untuk perang
melawan begal béas jeung begal gas melon (begal beras dan begal gas melon), karena begal
beras dan begal gas melon telah membuat isi kutang Ma Icih dibegal oleh cucunya.”
“Gajian dari pabrik anak Ma Icih sudah tidak cukup lagi untuk ongkos cucu ke sekolah,
karena habis uangnya untuk tambahan beli beras dan tambahan beli gas. Masa sih, negara
yang terstruktur, memiliki komando yang jelas, organisasi yang mapan, sistem anggaran yang
memadai, dan kelengkapan senjata yang cukup modern, bisa kalah oleh sistem yang dibuat
oleh para begal beras dan begal gas melon.”
Dalam lirih, si Ma Icih menutup pembicaraan, ”Palebah dieu mah, nyanggakeun sadaya-
21
daya. Ema mah geus pusing Mang Udin jamedud wae, sabab ambek ningali kalakuan incu
ema, unggal poe kokorobetan wae kanu kutang, menta ongkos jang ka sakola...” (Sampai di
sini, emak pasrah. Emak sudah pusing karena Mang Udin cemberut saja, sebab melihat
kelakuan cucu emak yang setiap hari merogoh baju dalam emak, minta ongkos untuk ke
sekolah).”
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
22
Krisis Mental di Negeri Para Begal
Koran SINDO
17 Maret 2015
Kata ”begal” tampak sangat populer dalam beberapa bulan belakangan ini. Entah dari mana
munculnya tiba-tiba para begal merajalela hampir di seluruh penjuru kota dan bahkan hingga
ke penjuru negeri.
Para begal ini kebanyakan mengincar pengendara sepeda motor sebagai targetnya, mereka
beroperasi siang dan malam hari. Mereka tidak segan-segan melukai, bahkan membunuh
korbannya dalam menjalankan aksinya. Tindakan mereka yang sudah di luar batas telah
memancing amarah masyarakat karena minimnya aparat atau terlambatnya kedatangan aparat
pada suatu kejadian menjadikan para begal meregang nyawa di tangan masyarakat yang
menangkapnya, ada yang dibakar hidup-hidup, ada pula yang dikeroyok hingga tewas.
Itulah hukum sosial yang harus diterima para begal yang memang sudah sangat keterlaluan
itu. Fakta yang cukup mengejutkan adalah sebagian dari begal atau sering diplesetkan sebagai
‘berandalan galau’ ini ternyata masih berusia belasan tahun dan masih dalam usia sekolah,
sungguh memprihatinkan.
Fenomena begal ini sebenarnya merupakan hal yang sangat lumrah terjadi karena telah lama
para pemimpin negeri ini juga mempertontonkan tindakan dan mentalitas begal. Coba saja
lihat para koruptor itu, bukankah tindakan mereka yang merampas uang negara bisa
dikatakan sebagai begal? Mereka mempermainkan uang negara melalui manipulasi anggaran
dan proyek. Jadi sangat tepat kalau mereka disebut sebagai begal anggaran dan begal proyek.
Di aparat penegak hukum banyak sekali begal kasus, ada begal keamanan, begal perizinan,
dan belakangan muncul juga begal politik atau salah satu sahabat saya menyebutnya sebagai
begal demokrasi. Ini khususnya terkait dengan dua kasus terakhir yang menimpa partai
berlambang Kakbah dan beringin.
Para tokoh di dua partai tersebut terlihat saling membegal antara satu dan lainnya demi
membela kepentingan kelompoknya tanpa memperhatikan dan bahkan tidak malu dengan
konstituen dan pendukungnya. Jika pemimpin suatu partai saja mempunyai mentalitas begal,
siapa pula rakyat yang mau memilihnya? Mungkin para begal juga yang akan menjadi
pendukungnya.
Seperti tidak mau ketinggalan, begal-membegal pun terjadi antarlembaga dan aparat
pemerintah, ada saling begal antara kepolisian dan KPK, juga antara DPRD dan pemerintah
23
daerah. Yang muda sudah tidak punya rasa hormat kepada yang tua, yang tua juga sudah
tidak bisa bersikap bijaksana, dan yang berpendidikan sudah tidak lagi menunjukkan
intelektualitasnya.
Inilah yang disebut sebagai kelompok begal kerah putih karena penampilan mereka lebih
keren dan intelek dibanding begal motor. Jika begal jalanan dikejar-kejar aparat keamanan
untuk dihukum dan ditindak bahkan sebagian tewas dihakimi massa, begal kerah putih pun
dikejar, namun tidak untuk ditindak dan dihukum, melainkan untuk diajak bernegosiasi
sebelum kasusnya dibuka untuk diproses.
Maklum para begal kerah putih ini bukan membegal satu atau dua motor yang harganya
jutaan rupiah, tetapi mereka membegal keuangan negara yang nilainya bisa puluhan hingga
ratusan miliar rupiah sehingga cukup menggiurkan bagi para begal kasus yang ada di
lembaga penegak hukum dan keamanan untuk mendapatkan bagian dari hasil begal
mereka. Maka itu, bertemulah para begal untuk berunding dan bernegosiasi agar suatu kasus
dapat diatur dan hasilnya bisa meringankan.
Sungguh memprihatinkan hidup di negara begal, bahkan kita pun secara sadar atau tidak
harus mengikuti aturan main para begal. Yang menentang arus dianggap gila dan tidak sopan
karena begal di negeri para begal mempunyai sikap yang ramah dan beretika pada
penampakan luarnya dan mereka dicintai sebagian rakyatnya. Mereka dengan mudah
memutarbalikkan fakta dengan hukum dan perundang-undangan yang mereka kuasai untuk
kepentingan mereka sendiri.
Dalam istilah asing ada istilah ”children see, children do”, artinya anak-anak akan selalu
melihat kemudian mencontoh dan menirukan segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya.
Kalau dalam peribahasa Indonesia, air hujan jatuhnya di pelimbahan juga, artinya tidak akan
ke mana-mana, bagaimana orang tua itulah anaknya, bagaimana pemimpinnya akan seperti
itulah rakyat dan pengikutnya.
Sangat sederhana, apalagi hal seperti itu sudah berlangsung lama, berulang hingga menjadi
suatu kebiasaan dan bahkan menjadi budaya. Jadi, tidaklah aneh jika para pemimpin sudah
tidak punya rasa malu untuk korupsi, saling serang dan saling begal, serta semuanya ditonton
secara terbuka oleh rakyat melalui berbagai media hingga menjadi contoh dan pembenaran
untuk dilakukan oleh mereka di tingkat akar rumput.
Mental begal pun akan berkembang secara masif menjalar ke seluruh pelosok negeri. Dengan
begitu, muncullah begal-begal motor yang marak belakangan ini, budaya perkelahian pelajar,
mahasiswa, antarkampung, preman pasar, dan sebagainya. Semua cerminan dari tindakan dan
perilaku dari pemimpin itu sendiri. Inilah krisis mental di negeri begal.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab untuk menghentikan ini semua dan bagaimana caranya?
Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi sebenarnya sangat menjanjikan. Hanya,
apakah mental dapat dengan cepat diubah atau direvolusi? Seperti apa bentuk nyata dari
24
program revolusi mental itu? Sampai saat ini masih belum jelas, demikian pula dengan
lembaga mana yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya.
Mentalitas secara umum didefinisikan sebagai suatu cara berpikir yang menjadi landasan
untuk bertindak atau bisa disebut karakter (way of thinking, mental inclination or character) .
Schein seorang ahli budaya organisasi dan kepemimpinan menyebutkan ada tiga tingkatan
budaya, dimulai dari tingkat yang paling dasar adalah 1) underlying assumption; 2) beliefs &
values; dan 3) artefact.
Underlying assumption adalah merupakan sumber dari segala sistem nilai yang dianggap
benar dan menjadi landasan dari setiap tindakan yang kemudian keluar dalam bentuk karakter
(artefact). Karakter sendiri merupakan bagian dari budaya yang terbentuk melalui proses
yang panjang, dimulai dari kebiasaan kemudian menjadi adat istiadat dan budaya yang
akhirnya menjadi sistem nilai yang melekat pada satu kelompok masyarakat atau
bangsa. Sistem nilai inilah yang kemudian membentuk karakter yang mencerminkan
mentalitas dari bangsa tersebut.
Menjawab pertanyaan di atas, untuk mengubah mental secara revolusioner harus dilakukan
melalui langkah yang ekstrem pula. Pertama, melalui penegakan hukum yang tegas dan
keras, tidak pandang bulu, dan menyeluruh atas segala bentuk pelanggaran di masyarakat.
Kedua, semua lembaga penegakan hukum harus dibersihkan dan diperkuat dengan cara
memilih pimpinan yang profesional dan berintegritas tinggi di semua lembaga tersebut
(pengadilan, kejaksaan, kepolisian, KPK, MK, dan MA).
Ketiga, untuk semua pemimpin yang ada di negeri ini, coba renungkan dan laksanakan
kembali falsafah Jawa tentang kepemimpinan yang menjadi warisan luhur budaya bangsa ini
yaitu ing ngarso sung tulodo-ing madyo mangun karso-tut wuri handayani karena sebagai
pemimpin adalah yang menjadi sumber inspirasi dan panutan bagi rakyat yang Anda pimpin,
jadi tunjukanlah bahwa Anda memang seorang pemimpin yang layak untuk dijadikan teladan.
Keempat, Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan harus bekerja sama membuat
program membangun mental dan karakter bangsa untuk kembali kepada nilai-nilai Pancasila
yang religius sebagai kepribadian bangsa. Kelima, revolusi mental harus dimulai dari atas dan
bukan dari bawah.
Keenam, Presiden harus memimpin langsung program tersebut. Ketujuh, lakukan sekarang
juga. Semoga negeri ini segera terbebas dari belenggu para begal.
HANDI SAPTA MUKTI SSI MM
Praktisi Manajemen; Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
25
Persatuan yang Belum Terwujud
Koran SINDO
17 Maret 2015
Tak diragukan bahwa zaman berpengaruh pada manusia. Tiap zaman bahkan memiliki
”semangat”, dan ”logika”, yang bukan hanya berpengaruh, melainkan juga ”membentuk”
wawasan, sikap, dan tingkah laku para warga masyarakat yang hidup di zaman itu.
Pada zaman Orde Lama dulu, kita berbicara mengenai revolusi yang belum selesai. Bung
Karno sering menyebut ”revolusi multikompleks”, atau ”pancamuka” untuk menggambarkan
kompleksitas dan kedalaman revolusi yang sedang kita tempuh. Pada zaman itu hidup tanpa
revolusi bukan hidup. Bagi kita, hidup itu revolusi. Bung Karno juga bicara tentang
”merombak” dan ”menjebol”. Itu inti sebuah revolusi.
Jauh sebelum maupun lama sesudah merdeka, kita tetap berevolusi. Ini agenda seluruh
bangsa. Karena itu, persatuan bangsa diprioritaskan. Revolusi tidak akan terwujud kalau
bangsa kita tercerai berai, tidak utuh, tidak menyatu. Tekat dan semangat untuk bersatu harus
bulat. Makna persatuan itu sendiri— yaitu persatuan bangsa—juga sebuah agenda kerja yang
belum selesai.
Bung Karno bekerja keras, lahir batin, untuk persatuan bangsa. Beliau disebut pemersatu
bangsa. Persatuan itu sudah terbentuk. Kesadaran kita, semua warga negara, bahwa kita
bangsa Indonesia, membahagiakan. Tapi wujud kesadaran itu masih bisa digoyahkan. Dalam
arti tertentu, seperti revolusi yang belum selesai tadi, persatuan bangsa pun bisa disebut
belum selesai. Persatuan kita belum teruji dengan sebaik-baiknya di dalam sejarah kita
sendiri.
Pada zaman Orde Baru, dua agenda besar yang belum selesai itu diabaikan secara mutlak
karena alasan politik yang tak pernah dikemukakan secara jelas. Diam-diam Pak Harto
berniat ”menghabisi” Bung Karno. Pengaruh besar politiknya yang luas dan mendasar
dihabisi. Idiom-idiom politik Bung Karno dihabisi.
Gaya pemerintahan populis Bung Karno dihapus bersih. Kalau pengaruh Bung Karno masih
terasa, Pak Harto tak akan bisa berbuat apa pun. Beliau akan ”hilang” ditelan kewibawaan
Bung Karno.
Tapi, Pak Harto bukan tokoh biasa. Dilenyapkannya pengaruh politik Bung Karno membuat
Pak Harto mampu membangun suatu logika politik tersendiri. Beliau berbicara mengenai
pembangunan. Pidato pagi pembangun. Pidato siang pembangunan. Pada malam hari masih
bicara pembangunan.
26
Sepanjang zaman pemerintahannya hanya ada pembangunan dan pembangunan semata. Saat
itu terasa betul bahwa kata pembangunan memang memiliki kekuatan sihir dan daya pesona
yang besar.
Pak Harto menjadi pusat segalanya. Loyalitas kepada beliau menjadi ukuran loyalitas pada
negara. Beliau galak pada siapa pun yang memiliki pemikiran lain. Itu tanda tidak loyal. Tapi,
kepada para penjilat, dan siapa saja yang bersedia menjadi ”bayangannya”, Pak Harto murah
hati. Ibaratnya, orang minta sebuah gunung dipindahkan untuk kesenangan pribadinya, Pak
Harto siap memenuhinya dengan sikap welas asih seorang raja kepada hamba sahayanya
yang setia.
Pelan-pelan, setelah apa yang merupakan keagungan pribadi ini terpenuhi, Pak Harto bicara
pula tentang persatuan dan kesatuan. Saat itu tiap makhluk yang bisa berbicara, dalam
kesempatan apa pun, pasti bicara pula persatuan dan kesatuan tadi. ABRI paling fasih
mengucapkan kata itu.
Pada masa-masa sesudah reformasi—di zaman kita ”merdeka”, masa keterbukaan yang
seterbuka-terbukanya— kalangan elite di berbagai daerah, sebentar-sebentar meneriakkan
ancaman untuk memisahkan diri, agar daerahnya bisa berdiri sebagai negara sendiri. Di sana
kelihatan dua jenis sikap politik yang menandakan watak anti-demokrasi.
Pertama, ada sikap ”tengil” yang begitu arogan, dan merasa pada tempatnya menggunakan
bahasa ancaman di dalam dialog kebangsaan untuk menata kehidupan lebih adil. Kedua,
sikap kekanak-kanakan yang mudah merajuk, mudah ”menarik diri”, tapi sebetulnya agresif,
yang bertentangan dengan jiwa demokrasi.
Bagi kita, esensinya jelas: ”tengil” atau tidak, anti-demokrasi atau tidak, semua gejala tingkah
laku politik tadi menunjukkan bahwa agenda nasional kita mengenai persatuan dan kesatuan
bangsa itu sebetulnya belum ”solid”, belum kukuh, dan masih mudah dimainkan untuk
digoyang-goyang.
Dengan kata lain, ini juga agenda yang belum selesai. Jika pemerintah tidak sensitif, dan
kurang memberi perhatian serius terhadap kelompok-kelompok rentan di dalam masyarakat,
risikonya akan terasa besar. Mungkin bisa menimbulkan rasa penyesalan kemudian, yang tak
lagi berguna.
Sampai hari ini, kita memiliki cukup alasan, yang agak melimpah, untuk cemas memikirkan
nasib persatuan bangsa yang bisa dianggap belum menentu itu. Sikap dan tingkah laku para
politisi yang main ”geng-gengan”, klik-klikan, dan segenap tingkah laku yang menunjukkan
gejala mau menang sendiri, mau benar sendiri dan mau enak sendiri, jelas meresahkan.
Andaikata mereka tak memiliki agenda merusak persatuan bangsa, setidaknya jelas bahwa
tingkah laku politik mereka itu tidak mendukung sama sekali agenda persatuan itu. Ini juga
27
tanda kekanak-kanakan yang sudah bukan masanya. Mereka mengabaikan tanggung jawab
politik.
Panggung politik nasional, yang bergengsi dan memiliki wibawa besar itu, dijadikan tempat
”main-main” sesuka hati mereka. Belum lagi semangat korup, yang selama ini terbukti
dilakukan partai besar yang berkuasa. Kabinet yang bertekat memberantas korupsi malah
menyegarkan iklim korupsi. Di dalam kabinet itu hampir semua tokoh pentingnya terlibat
korupsi. Betapa mengerikannya.
Kecenderungan politik di kalangan politisi untuk membangun hubungan berdasarkan
perkawinan di antara anak-anak mereka dan mereka sendiri bangga dengan hubungan ”besan
dengan besanan” di dalam suatu partai politik, atau antarpartai, bagi kita hanya kesan negatif
yang terasa.
Orang tua dan menantu, besan dengan besan, bisa menggunakan posisi politik partai mereka
untuk bekerja sama dan saling melindungi di dalam kejahatan politik. Juga di dalam korupsi.
Besan, menantu, anak, istri, keponakan, dan anggota keluarga terdekat lainnya, yang korup,
akan dilindungi oleh pihak keluarga yang masih berkuasa.
Siapa pun yang korup bakal dilindungi dengan sepenuh hati oleh anggota keluarga lain yang
merasa masih jaya. Apa ini semua hubungannya dengan negara, dengan politik dan persatuan
bangsa? Strategi politik untuk besanan antarsesama pejabat tinggi atau antarkader dan elite
partai ternyata mengandung polusi politik yang kotor sekali. Ini juga unsur yang merusak
cita-cita persatuan bangsa.
Kita belum pernah melihat suatu aliansi politik yang sungguh-sungguh dibangun untuk suatu
persatuan yang kukuh dan sejati. Mungkinkah itu tidak akan pernah ada? Persatuan bangsa
yang hakiki belum terbentuk.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com
28
Terima Kasih Guru
Koran SINDO
20 Maret 2015
Ketika mengenang pengalaman belajar sejak tingkat SD sampai SLTA, yang muncul adalah
sosok bapak dan ibu guru yang mengesankan dan menorehkan kenangan manis di benak
saya, bukannya kurikulum dan mata pelajarannya. Jadi, sosok guru jauh lebih berpengaruh
ketimbang mata pelajaran, bahkan fasilitas sekolahnya.
Dalam berbagai workshop pendidikan saya sering bertanya kepada para peserta: sebutkan
nama bapak atau ibu guru yang paling berkesan dan memengaruhi perjalanan hidup Anda. Di
situ terlihat, ada peserta yang dengan lancar menyebut nama-nama guru yang mengesankan
dan memengaruhi kepribadiannya yang masih dikenang sampai sekarang. Namun ada pula
peserta yang sulit dan ragu-ragu mengingat guru-guru yang meninggalkan kesan mendalam.
Sewaktu di pesantren saya pernah membaca kalimat: Atthoriqotu ahammu minal
maddah. Wal muallim ahammu min atthoriqoh. Bahwa cara dan seni mengajar itu lebih
penting dari materi pelajarannya. Namun guru lebih penting dari metode mengajar. Artinya,
sebaik apa pun kurikulum, yang menentukan keberhasilan pendidikan itu kualitas gurunya.
Di tangan guru yang baik dan andal, pelajaran apa pun jadi menarik dan efektif memengaruhi
anak didik.
Bahkan tempat belajar tidak mesti yang mewah. Guru yang menguasai bahan ajar dan kreatif
bisa menggunakan lingkungannya sebagai bahan dan medium pembelajaran.
Saya punya pengalaman sewaktu belajar di pesantren dengan fasilitas yang sangat sederhana
dengan menggunakan ruangan di serambi masjid lalu dibuat sekat pembatas. Di situ ada
papan tulis, meja, dan bangku belajar. Tapi guru-gurunya sangat serius dan disiplin mengajar.
Kami bermain voli, tenis meja, dan sepak bola di halaman masjid. Masjid dan sekitarnya
menjadi pusat bagi para santri membangun learning community.
Almarhum Kiai Hamam Jafar mengatakan, halaman masjid itu belum Islam sebelum dibuat
bersih, asri, dan dimanfaatkan dengan baik. Batu dan pasir di sungai dekat pesantren juga
diislamkan dengan memanfaatkannya untuk membuat gedung sekolah secara gotong-royong
antara santri dan penduduk desa. Kiai Hamam mengajarkan konsep dan ekspresi
keberislaman dengan menanamkan rasa cinta pada ilmu dan peduli lingkungan alam maupun
sosial.
Ketika ujian kenaikan kelas tak perlu diawasi, padahal soal ujian cukup berat. Berbohong
waktu ujian itu mengotori jiwa, merendahkan martabat diri dan melakukan penipuan sosial.
29
Yang tidak siap ikut ujian dengan jujur disarankan tidak usah ikut ujian. Ujian itu untuk naik
jenjang dan kalau dilakukan dengan curang sama saja malah menurunkan kualitas dan harga
dirinya.
Jadi, ketika saya belajar, yang lebih terasa itu sentuhan jiwa. Jiwanya yang diisi, baru
kemudian informasi keilmuan. Ini hanya bisa dilakukan oleh guru-guru yang kreatif, kaya
dengan metode dan memiliki karakter serta mencintai profesinya. Guru-guru atau pendidik
seperti ini yang mestinya dibentuk dan dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Belajar itu tidak sekadar menghimpun informasi keilmuan untuk dihafal sebagai amunisi
menjawab ulangan/ujian. Idealnya juga mengetahui bagaimana proses awal sebuah dalil
kebenaran itu ditemukan dan diformulasikan. Dengan mengetahui proses dan argumentasi
rasionalnya, seorang murid didorong untuk membuat formula baru yang bobot kebenarannya
sama. Inilah yang disebut mengenalkan dan membentuk sikap ilmiah kepada siswa.
Suatu hari sambil kerja bakti membersihkan halaman masjid, Kiai menunjuk sebuah parit
kecil dengan airnya yang mengalir deras. Dia mengajari saya tentang hidup dengan sebuah
pertanyaan. Coba perhatikan, apa yang akan terjadi jika air itu menggenang, tidak bergerak?
Pasti akan mengundang nyamuk, menimbulkan penyakit dan membuat kotor.
Pak Kiai sebagai guru kehidupan menyampaikan sebuah pesan yang kemudian menjadi virus
yang tak pernah mati dalam diriku, hidup itu harus bergerak mengalir menuju cita-cita.
Jangan pernah berhenti belajar dan berkarya karena akan mengundang nyamuk dan penyakit
seperti dikatakan dalam Alquran: Faidza faroghta fanshob. Wa ila robbika farghob. Jangan
pernah berhenti setelah selesai menunaikan satu tugas dan semua yang kamu lakukan itu
serahkan kepada Tuhanmu. Bukan mencari pujian dari manusia.
Demikianlah, setelah sekian puluh tahun meninggalkan pesantren, saya masih teringat wajah
satu-satu guru yang mengesankan yang pernah mengajar dan telah menjadi bagian dari
perjalanan hidup saya. Mereka menanamkan virus dan etos belajar sehingga hidup adalah
serangkaian pembelajaran baik di ruang kelas maupun di luarnya. Setiap saat terbuka buku
kehidupan untuk dibaca, dipelajari, dan diambil pesan dan hikmahnya untuk memperkaya
kehidupan itu sendiri.
Kita semua menerima warisan deposito moral dan pengetahuan dari orang tua dan pada
gilirannya kita juga harus melakukan reinvestasi agar bisa memberikan warisan moral dan
ilmu pengetahuan kepada anak-cucu kita. Kita semua adalah murid dan guru kehidupan untuk
diri sendiri dan keluarga terdekat. Syukur-syukur jadi guru untuk masyarakat lebih luas lagi.
Terima kasih bapak-ibu guru yang telah mengenalkan kepada kita semua dunia yang
sedemikian luas dan kompleks. Yang telah membekali agar bisa berdiri dengan tegak,
percaya diri, dan berintegritas. Yang mengajarkan dan mengantarkan anak-anak muridnya
untuk memasuki kehidupan baru di masa depan yang belum pernah mereka alami.
30
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
31
Nyepi, Korupsi Kita, dan Zhu Rongji
Koran SINDO
21 Maret 2015
Sejak Hari Raya Nyepi ditetapkan sebagai hari libur nasional pada 1984, saudara-saudari kita
pemeluk Hindu di negeri ini bisa melaksanakan Catur Bratha Penyepian dengan lebih baik.
Catur bratha itu adalah amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan. Amati
geni bukan hanya secara nyata tidak menyalakan api (dan aliran listrik) serta segala
turunannya seperti menghidupkan komputer, radio, TV, merokok, memasak, membakar
sampah, dan sebagainya, tetapi bratha itu lebih luas maknanya.
Saat Nyepi akan kentara sekali tingkat mengendalikan diri seseorang. Yang biasanya baru
sarapan pukul 10.00 pagi misalnya bagi yang tidak terlatih pada hari Nyepi demikian
kelaparan sejak pukul 07.00 pagi, padahal hari itu seharusnya puasa makan dan puasa minum
sehari penuh.
Ujian berupa meditasi dan introspeksi diri dalam rangka menyongsong Tahun Baru Saka
1937 tersebut berlangsung sehari penuh sejak pagi pukul 06.00 sampai esok harinya pada jam
yang sama. Ibarat tutup buku organisasi (perusahaan), selama sehari penuh, umat Hindu tidak
melakukan segala bentuk aktivitas sehari-hari (amati karya) dan tidak bepergian (amati
lelungan), serta tidak bersenang-senang (amati lelanguan).
Pokoknya inti dari catur bratha adalah agar kita tidak mengumbar hawa nafsu. Pesan
demikian juga menjadi pesan banyak agama-agama besar di dunia seperti Islam, Kristen, atau
Buddha.
Salah satu hawa nafsu besar yang bersifat kolektif sekaligus destruktif adalah korupsi. Kita
sudah tahu, korupsi memang menjadi masalah paling pelik dan paling besar di negeri yang
sangat majemuk ini. Hampir semua orang sepakat bahwa salah satu kendala terbesar kita
untuk jadi bangsa besar adalah masih merajalelanya korupsi.
Harapan publik untuk pemberantasan korupsi memang tertuju kepada orang nomor satu di
negeri ini. Ketika terpilih, salah majalah TIME memberi judul “A New Hope“ (Harapan
Baru), dengan gambar sosok presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2014-2019
(edisi 27/10/2014). Kini perlahan tapi pasti, harapan itu memudar. Presiden kita sungguh
telah mengecewakan harapan sebagian orang.
Masa depan pemberantasan korupsi justru tengah berada pada titik paling krusial. Buktinya
dalam kondisi tengah dihancurkan, Presiden dinilai tidak melakukan suatu tindakan
32
signifikan guna melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK itu anak kandung
reformasi yang tujuan pendiriannya untuk memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa,
mengingat Kejaksaan Agung atau Polri terlihat tidak mampu lagi menangani korupsi yang
marak di seantero negeri.
Seperti diketahui, KPK berdiri pada 29 Desember 2003 pada era Presiden Megawati dengan
tujuan melindungi kepentingan bangsa agar tidak terus digerogoti para koruptor. Sepanjang
perjalanan KPK sejak 2003 sudah banyak uang negara yang diselamatkan. Tercatat sejak
2003 sampai April 2014 uang negara yang diselamatkan sebesar Rp153 triliun.
KPK juga sudah memenjarakan banyak koruptor yang semula berbaju menteri, gubernur,
bupati, wali kota, dan puluhan koruptor bergelar profesor dan doktor. Ironis, pada era
Presiden yang didukung PDIP dengan Ketua Umum Megawati, KPK kini justru mati suri dan
hendak dibinasakan.
Presiden dan wapres juga sudah mengagendakan Nawacita atau sembilan agenda prioritas
pemerintahan. Dalam Nawacita, pada poin nomor keempat, jelas tertulis “Menolak negara
lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat, dan tepercaya.”
Tapi, hari-hari ini publik justru tengah ramai membicarakan. Kini para koruptor benar-benar
diliputi euforia dan tengah berpesta pora, termasuk yang di daerah. Berbagai praktik korupsi
di daerah yang sebenarnya mulai dibidik KPK, seperti terlihat dari kasus Fuad Amin, kini
dijamin mandek lagi dan membuat para koruptornya bisa menikmati kesejahteraan setelah
pensiun. Di berbagai daerah, selama ini sudah cukup banyak kasus korupsi menguap dan
dilupakan.
Presiden boleh berkoar tetap optimistis dalam pemberantasan korupsi. Tapi, pernyataan
Presiden tersebut hanya membuat geram rakyat, khususnya mereka yang “concern“ dengan
masa depan pemberantasan korupsi.
Rakyat juga makin geram karena Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly
akan melonggarkan ketentuan pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi dengan
alasan pertimbangan HAM. Banyak pihak mencurigai, keinginannya mengubah, bahkan
membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 mengenai Pengetatan Pemberian
Remisi kepada Koruptor, Terpidana Kasus Narkoba, dan Terorisme tersebut menjadi alasan
mengobral remisi untuk koruptor.
Seiring Nyepi, semoga Presiden mau menyepi sekaligus introspeksi. Dalam momentum
Nyepi, mari kita belajar dari Cina bagaimana memberantas korupsi. Sejak berdiri pada 1
Oktober 1949, Cina pernah bermasalah dengan korupsi. Namun, sejak 1978, ketika Deng
Xiaoping mencanangkan reformasi ekonomi dan keterbukaan Cina (gaige kaifang), korupsi
dinyatakan resmi sebagai musuh negara dan masyarakat.
33
Komitmen pemberantasan korupsi di RRC kian terkenal di dunia pada era Perdana Menteri
Zhu Rongji (1998-2002). Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu dengan
lantang mengatakan, “Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk
koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama”. Zhu tidak main-main. Cheng
Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Cina, dihukum mati karena menerima suap USD5
juta. Selama era Zhu, 4.000 orang dihukum mati, termasuk koruptor.
Pada era Zhu, birokrasi yang gemuk dirampingkan. Kepastian hukum dijamin. Kebijakan ini
mendorong iklim investasi yang mampu menghimpun dana asing senilai USD50 miliar setiap
tahun.
Menurut guru besar Universitas Peking, Prof Kong Yuanzhi, kemajuan Cina tak bisa lepas
dari kontribusi Zhu dalam memberantas korupsi. Perang terhadap korupsi pada era Zhu
diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Uang negara, yang antara lain
dihasilkan dari pajak dan semula dikorupsi, kini bisa dimaksimalkan untuk memberikan
pendidikan bagi orang miskin. Bayangkan, andai rekening gendut para koruptor kita
dimanfaatkan untuk memberi beasiswa? Di negeri kita, APBD untuk pendidikan pun tega
dikorupsi.
Pada era Zhu, banyak sekali anak miskin yang diberi beasiswa untuk kuliah di berbagai
negara. Selesai studi, mereka pulang membangun dan memajukan negaranya.Pertumbuhan
ekonomi negeri pun mencapai 8-9% per tahun, terbesar di antara negara-negara lain.
Memang bukan berarti Cina sudah sangat bersih dari korupsi. Pemerintah Cina juga tidak
berpuas diri. Buktinya, kampanye anti-korupsi Partai Komunis Cina pun digencarkan lagi
oleh Xi Jinping setelah ia menakhodai partai tersebut pada akhir 2012.
Mulai sekolah dasar sudah digencarkan pendidikan anti-korupsi. Anak-anak sudah diajar
menyadari bahwa korupsi itu jahat dan koruptor adalah pengkhianat negara sekaligus rakyat.
Jangan mimpi menjadi negara besar seperti Cina jika ternyata korupsi masih terus merajalela
dan dijadikan kebiasaan.
Seiring Nyepi, tiap warga negara dari agama apa pun harus berani melancarkan otokritik
sekaligus mematikan hawa nafsu untuk korupsi agar kesejahteraan rakyat dan kejayaan
bangsa bisa kita raih. Selamat Tahun Baru Saka 1937.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
34
Nyepi dan Revolusi Mental
Koran SINDO
21 Maret 2015
Bagi umat Hindu Indonesia, Nyepi Tahun Baru Saka 1937 yang jatuh bertepatan dengan
Sabtu, 21 Maret 2015, merupakan Nyepi pertama ketika bangsa ini berada di bawah
kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan panggilan akrabnya Jokowi.
Sejak jauh sebelum dan setelah terpilih sebagai presiden RI ketujuh, Jokowi mengembuskan
Nawacita yang merupakan sembilan agenda prioritas untuk mewujudkan visi dan misinya
sebagai pemimpin salah satu negara besar di dunia. Dalam poin ke-8 Nawacita tersebut,
disebutkan ”Melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum
pendidikan nasional.”
Sesungguhnya revolusi karakter bangsa yang sering disebut sebagai “revolusi mental” dapat
ditempuh tidak saja melalui penataan kurikulum pendidikan, tetapi dapat juga dilakukan
secara menyeluruh dan masif kepada masyarakat luas tanpa mengenal usia, status, dan
lainnya. “Karakter” yang dalam KBBI dipadankan dengan “budi pekerti” akan memengaruhi
sikap dan sikap akan membentuk perilaku. Perilaku yang berulang kemudian akan menjadi
kebiasaan dan akhirnya kebiasaan menjadi budaya. Budi pekerti yang luhur niscaya akan
melahirkan budaya yang adiluhung. Sebaliknya, budi pekerti yang kurang terasah akan
melahirkan kebiasaan yang tidak berbudaya.
Akhir-akhir ini bangsa kita sedang dilanda oleh degradasi moral yang diikuti dengan semakin
menipisnya budi pekerti. Penipisan budi pekerti atau karakter manusia Indonesia tampak dari
perilaku dan kebiasaan yang tidak mencerminkan budaya adiluhung yang sejatinya menjadi
jiwa bangsa Indonesia selama ini. Perilaku tersebut di antaranya:
Pertama, permisif, semua bisa diatur dan boleh-boleh saja asalkan memberi keuntungan
kepada seseorang atau sekelompok orang tanpa menghitung dampak negatif yang
ditimbulkannya. Termasuk dengan melanggar etika dan peraturan perundang-undangan yang
ada.
Kedua, hipokrit, munafik (tidak satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan). Tentu kita masih
ingat dengan jargon politik ”katakan tidak pada korupsi”, namun pada akhirnya beberapa
orang darinya terbukti melakukan tindakan tak terpuji itu. Pengetahuan agama dan ekspresi
keagamaan tidak jarang hanya dipakai untuk menutupi kebusukan yang dilakukannya.
Ketiga, machiavelis, tujuan menjadi segala-galanya. Apa pun tujuan yang ingin diwujudkan
akan dicapai dengan menghalalkan segala cara tanpa menghitung kepentingan pihak lain.
35
Tipu daya, menerabas, sogok, dan suap menjadi hal biasa dalam mencapai tujuan.
Keempat, egoistis, mau menang sendiri. Bila orang lain yang menang, berbagai upaya
dilakukan untuk menghalangi kemenangan mereka. Orientasinya hanya kepada dirinya
sendiri, yang penting aku menang dan senang, peduli amat pada orang lain. Dalam kondisi
ini, yang kuat akan selalu mengalahkan yang lemah, termasuk dalam perebutan sumber daya
ekonomi. Rasio gini yang semakin meningkat menunjukkan semakin lebarnya kesenjangan
ekonomi dalam masyarakat Indonesia.
Kelima, materialistis, menempatkan uang dan materi di atas segala-galanya. Sebuah kalimat
satiris menggambarkan perilaku tersebut yakni ”keuangan yang maha esa,” demikian sering
kita dengar. Sebagian orang, dengan berbagai cara yang tidak terpuji, mengumpulkan uang
dan harta sebanyak-banyaknya, entah dengan menilap uang rakyat atau dengan sekadar
mencopet di angkutan umum atau menipu rekan bisnis. Gelimang materi dan kekayaan
memiliki daya tarik dan daya pikat yang luar biasa. Meski sudah banyak koruptor yang
menjalani sebagian hidupnya dipenjara, perilaku korup tetap merebak dan meruyak di segala
bidang dan lini.
Keenam, hedonistis, hidup berfoya-foya dan hura-hura. ”Hidup hanya sekali, nikmati sepuas-
pusanya” begitulah prinsip hidup yang digenggamnya. Tanpa peduli dari mana uang yang
digunakan, yang penting happy. Narkotika dan penyalahgunaan obat terlarang menjadi sarana
untuk memenuhi gelora jiwa tak terkendali. Minuman keras (termasuk oplosan) menjadi
pemuas dahaga, dan seks bebas (cinta satu malam) menjadi teman setia sampai langit
ketujuh.
Ketujuh, sarkastis, kata-kata kasar sudah menjadi bahasa sehari-hari. Saling umpat tidak
hanya terjadi di dalam rumah, tetapi juga di ruang publik bahkan di gedung wakil rakyat yang
sangat terhormat. ”Bahasa menunjukkan bangsa” yang menuntut kesantunan berbahasa tidak
lagi menjadi kebanggaan.
Kedelapan, sadistis, berbuat kejam tidak berperikemanusiaan. Hanya karena persoalan sepele
seperti uang parkir yang kurang atau ”diomeli” oleh majikan, nyawa menjadi penggantinya.
Hanya karena cinta bertepuk sebelah tangan atau keinginan memiliki telepon tangan
(handphone), nyawa tak ada artinya. Melalui media (cetak, elektronik, maupun sosial) hari-
hari kita selalu diisi dengan berita pembunuhan (kadang disertai mutilasi) dengan berbagai
latar belakang dan motifnya.
Kesembilan, fatalistis, semakin banyak yang ”berani mati, tetapi tidak berani hidup.” Hanya
karena tidak punya baju sembahyang, hanya karena tidak diberi uang jajan, hanya karena
tidak memiliki seragam sekolah, hanya karena cinta ditolak, bunuh diri menjadi solusi satu-
satunya. Angka bunuh diri di berbagai daerah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Ini
menjadi indikator semakin menurunnya penghargaan terhadap hak hidup, termasuk hidupnya
sendiri.
36
Setelah melakukan introspeksi terkait kondisi seperti tersebut di atas, menjadi sebuah
kebutuhan sekaligus kewajiban bersama untuk mendukung ”Revolusi Mental” yang
digaungkan dan dicanangkan oleh Presiden Jokowi. Tanpanya, dikhawatirkan pada suatu saat
bangsa ini akan menjadi bangsa barbar yang kehilangan keadaban.
Diperlukan kesadaran bersama bahwa bangsa ini dapat jatuh mencapai titik nadir peradaban
apabila tidak ada upaya serius untuk membenahinya. Hendaknya ditumbuhkembangkan
kesadaran bahwa sejatinya kita yang dilahirkan sebagai manusia, dibekali dengan Tri
Pramana (Tiga Kemampuan Dasar) yaitu budhi (nurani), manah (pikiran), dan ahamkara
(naluri).
Budhi (nurani) dan pikiran kita harus mampu mengendalikan naluri yang ada dalam diri dan
tidak membiarkannya bergerak bebas tanpa kendali. Salah satu momentum untuk
mengembalikan kesadaran kita adalah saat menyelesaikan satu putaran waktu seperti ketika
memasuki tahun baru, termasuk Tahun Baru Saka bagi umat Hindu.
Pada tanggal 1 Waisaka (bulan pertama Kalender Saka) yang tahun ini bertepatan dengan
Sabtu, 21 Maret 2015, umat Hindu melaksanakan Nyepi sebagai wahana kontemplasi,
melakukan introspeksi, refleksi, dan retrospeksi dengan sejenak menoleh ke belakang guna
menelaah dan mengevaluasi perbuatan, termasuk perilaku kita setahun terakhir.
Kemudian dengan tekad bulat dan kuat kita membuat resolusi untuk berbuat lebih baik
dengan mengurangi bahkan menghilangkan perilaku yang menyimpang dari tuntunan ajaran
agama, merugikan orang lain dan lingkungan, serta merendahkan harkat dan martabat sebagai
makhluk yang ber-budhi dan menyandang predikat manusia.
Selamat Tahun Baru Saka 1937, semoga senantiasa mendapat tuntunan dan anugerah Hyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa.
I KETUT PARWATA
Sekretaris Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
37
Hati Nurani
Koran SINDO
22 Maret 2015
Di Youtube pernah saya temukan video yang sangat mengerikan tentang sederetan tawanan
yang dijejerkan oleh tentara ISIS.
Masing-masing dijaga oleh seorang tentara ISIS yang siap dengan pisau masing-masing.
Tentara ISIS itu tidak bertopeng, sehingga tampak jelas wajah mereka yang rata-rata
berjenggot. Setelah terdengar suara pidato yang saya tidak mengerti apa maksudnya (dalam
bahasa Arab), para tawanan itu serempak dipaksa tengkurap, rambut ditarik, sehingga kepala
mendongak ke atas, pisau ditempelkan dan sekejap kemudian kepala-kepala sudah terlepas
dari tubuh masing-masing.
Saya melihat adegan itu dengan kedua tangan saya menutupi mata, tetapi sesekali jari
direnggangkan untuk bisa mengintip. Kejam sekali. Tahukah mereka bahwa Islam adalah
agama damai, bukan agama sadis? Punya hati nuranikah mereka? Lalu orang pada umumnya
menjawab, ”Tidak, orang-orang ISIS ini tidak punya hati nurani.”
Tetapi pada kesempatan lain, saya mendapat kiriman video melalui WhatsApp tentang kamp
latihan ISIS untuk anak-anak. Sejumlah anak-anak dipakaikan baju dan ikat kepala hitam-
hitam, dilatih bela diri dan menembak, setelah itu mereka terlihat bersama-sama sedang
duduk, masing-masing menghadapi sebuah kitab Alquran, dan mereka bersama-sama
membaca kitab suci itu sambil bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Terlihat senjata-senjata mereka dijejerkan di belakang mereka. Tidak mengherankan kalau
anak-anak seperti ini nantinya akan tega saja menyembelih manusia seperti kita menyembelih
kambing kurban. Terus, ke mana hati nurani itu?
Di Youtube saya juga menemukan suatu adegan perdebatan antara seorang pejalan kaki yang
berjalan di trotoar (kaki lima), dengan seorang pengendara sepeda motor yang mengendarai
sepeda motornya di atas trotoar itu juga, tetapi melawan arus. Tampaknya pejalan kaki (PK)
sudah kesal sekali terhadap pengendara motor (PM), sehingga dia menyetop salah satu
pengendara motor yang ugal-ugalan itu dan mereka pun berdebat.
Kutipan dari dialog mereka, seingat saya, adalah sebagai berikut: PK: Mau ke mana lo? PM:
Mau ke situ. PK: Kenapa lewat sini? PM: Maksud lo? PK: Lo tahu gak, pejalan kaki jalannya
di mana? PM: Di trotoar. PK: Nah, terus lo naik motor di mana? PM: Di trotoar.
PK: Terus, yang jalan kaki mau lo suruh jalan di mana? PM: Awas dong, gua mau lewat! PK:
38
Lo lewat sana (sambil menunjuk ke arah belakang pengendara motor), balik! PM: Enggak,
gua cuma mau ke situ doang, dekat. PK: Enggak bisa! Balik! Lo tahu gak jalannya motor?
PM: Enggak apa-apa, gua udah biasa kok, lewat sini. PK: Enggak bisa! Balik!
Pengendara mencoba melewati pejalan kaki, tetapi pejalan kaki dengan gigih menghadang
sehingga pengendara motor tidak bisa lewat. Tetapi akhirnya seorang lain yang kebetulan
melintas mendekati mereka berdua, berbicara dengan pejalan kaki (mungkin menanyakan,
”Ada apa ini?”) dan kesempatan itu digunakan oleh pengendara motor untuk melarikan diri,
tetap dengan melawan arus.
Mengendarai sepeda motor melawan arus sudah menjadi kebiasaan di Jakarta. Demikianlah
pengakuan pejalan kaki tersebut. Pengakuan spontan yang tidak mengada-ada, karena di jam-
jam tertentu rombongan sepeda motor memang bagaikan air bah menutup jalur yang
berlawanan. Bukti bahwa menyerobot jalan adalah kebiasaan. Akibatnya tentu saja
kemacetan total. Pertanyaannya, ke mana hati nurani?
***
Orang sering sekali menggunakan istilah “hati nurani”. Akhir-akhir ini istilah itu makin
sering dilakukan oleh para pelaku atau pengamat politik. Kalau ada perselisihan, selalu
diajukan agar kedua pihak duduk bersama dan menggunakan hati nurani masing-masing,
pasti akan ada jalan keluar yang damai sejahtera, aman sentosa.
Seakan-akan hati nurani adalah pemberian Tuhan yang sudah dibawa oleh setiap manusia
sejak lahir sehingga hati nurani itu pasti versi orisinalnya seragam. Dengan begitu, ketika kita
duduk bersama, membersihkan diri dari emosi atau kepentingan pribadi atau golongan, hati
nurani yang orisinal bisa mencuat lagi dan itulah yang membuat para pihak yang berbeda
pendapat bisa mencari titik temu.
Tetapi dalam kenyataannya, hampir tidak pernah terjadi kesepakatan berdasarkan seperti itu.
Kasus BLBI dan Bank Century, misalnya, sudah diperdebatkan panjang lebar di DPR.
Sehingga, mestinya, kalau hati nurani itu yang bermain, masalahnya akan dengan cepat
rampung. Kenyataannya, kasus Bank Century diakhiri dengan voting. Jadi terbuktilah bahwa
hati nurani itu tidak seragam, sehingga perlu di-voting.
Di dalam psikologi, tidak ada istilah “hati nurani”. Yang ada adalah “kebiasaan”. Kebiasaan
yang diajarkan oleh orang tua sejak masa kanak-kanak, itulah yang akan terbawa terus
sampai dewasa. Sigmun Freud menyebutnya sebagai super ego, yang akan mengarahkan
perilaku individu sesuai dengan jalan yang benar dan menghindari yang tidak baik sesuai
dengan anjuran atau didikan orang tua.
Tetapi kalau yang menanamkan kebiasaan itu bukan orang tua, melainkan ISIS, maka
memenggal kepala orang dikategorikan baik oleh hati nurani. Demikian pula jika semua
pengendara motor melawan arus, maka naik kendaraan dengan melawan arus dianggap
39
biasa.
Maka, di sinilah diperlukan hukum, yang obyektif dan netral dan harus ditaati oleh semua
orang, terlepas dari hati nurani masing-masing. Tetapi karena penegak hukum juga manusia,
maka diciptakanlah sistem elektronik (e-government dll), sehingga mesin dan sistemlah yang
menjalankan hukum itu, bukan hati nurani.
Tentu ujung-ujungnya yang mengelola sistem-sistem elektronik itu manusia juga, tetapi
makin sedikit jumlah manusianya, makin kecil pula kemungkinan kesalahan. Apalagi
kejahatan yang disengaja seperti korupsi atau manipulasi.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
40
Mengenang sang Wali
Koran SINDO
23 Maret 2015
Menghidupkan kembali kenangan tentang Gus Dur, sang wali, dengan rasa hormat, tapi
sesedikit mungkin keterlibatan emosi yang menggusur makna sejarah pribadinya menjadi
mitologi, merupakan sebuah tantangan. Diskusi tentang Gus Dur, tiap saat, tergelincir ke
dalam pemitosan, dan kultus yang “menyenangkan”, tapi mungkin sebetulnya merugikan
yang dikenang maupun yang mengenangnya.
Orang-orang yang dekat Gus Dur, pribadi maupun kelompok, termasuk para pemuja di
kalangan etnis Cina, komunitas yang disebut Gus Durian, maupun kelompok-kelompok kaum
nahdliyin sendiri, yang selalu punya waktu dan hati buat Gus Dur, sering merasa seolah tak
cukup memandang Gus Dur sekadar sebagai tokoh sejarah. Bahkan mungkin mereka diam-
diam melupakannya untuk lebih menempatkan Gus Dur sebagai tokoh mitologis, yang penuh
makna, sarat dengan pujaan dan kultus. Kita tahu, posisi kewaliannya sudah dikenal luas
sejak masa hidupnya, dan menjadi semakin kukuh sesudah, atau ketika, jutaan umat
mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya, yang penuh kedamaian, di makam
keluarga, di dalam lingkungan pekarangan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa
Timur.
Di sana, dalam ketiadaannya, Gus Dur terasa makin “ada”, dan makin begitu dekat di hati
umat. Tangis “rohaniah” yang tak kunjung reda, dan keterlibatan makna “ngalap berkah”,
disertai tindakan pemujaan dalam bentuk memungut segenggam tanah segar yang masih
merah di gundukan pusaranya, untuk dibawa pulang, apakah ini namanya bila bukan
pemujaan yang terlewat hangat?
Boleh jadi, Gus Dur sendiri tak menyukainya karena dia paham sepaham-pahamnya bahwa
tindakan itu secara keagamaan, kebudayaan, maupun politik merugikan. Tapi, demi
“ngemong” cita rasa keagamaan umatnya, sikapnya yang longgar dan akomodatif, niscaya tak
bakal tega dia melarang mereka memunguti segenggam demi segenggam tanah kuburannya.
Dengan sikapnya yang serba-“semeleh", kira-kira Gus Dur akan bergumam, seolah buat
dirinya sendiri: ‘Lha wong cuma ngambil tanah saja kok ndak boleh. Memangnya mereka
harus ngambil apa lagi, selain tanah?’ Jika ada yang mengingatkannya bahwa tindakan itu
termasuk wujud kemusyrikan, Gus Dur pasti dengan santai menjawab:“ Ya tergantung
niatnya. Kalau niatnya menganggap segenggam tanah kuburan saya itu sebagai sekadar
suvenir, ya ndak apa-apa.”
Jika ada argumen yang menyatakan bahwa di balik tindakan itu ada semangat kultus atau
pemujaan yang terlalu jauh dan tak dibenarkan agama, Gus Dur pasti punya jawaban lain:
41
“Kalau mereka hanya menyatakan cinta, dan penghormatan biasa pada saya, seperti layaknya
mereka menaruh rasa hormat dengan simbol berupa ‘mencium tangan kiai’, ya insya Allah
ndak apa-apa. Tuhan tahu, dan tak mudah terkecoh seperti kita.”
Betapa enak Gus Dur memahami berbagai kesalahpahaman yang menegangkan. Baginya, apa
yang bersifat salah paham, tak usah ditanggapi secara serius. Di dalam hidup ini ada
bertumpuk-tumpuk pemahaman yang benar, yang minta diberi saluran komunikasi yang
sehat, dan akomodatif, untuk membangun suatu tingkat pemahaman yang lebih tinggi, agar
kita tak terpancing terus-menerus oleh kesalahpamahan yang tak kita perlukan.
Syukur bila tingkat pemahaman yang lebih tinggi itu tak dibiarkan sekadar sebagai bentuk
kemajuan di dalam dunia gagasan dan pemikiran, melainkan diberi ruang di wilayah
kebijakan, untuk diwujudkan menjadi sebuah “amal ilmiah” dan “ilmu yang amaliah”.
Melalui tindakan-tindakan seperti itu, perlahan-lahan kita memberi makna lebih kontekstual,
lebih membumi, apa yang kita sadari bahwa Islam membawa rahmat bagi semesta alam.
Kenangan ini dikembangkan lebih lanjut dari kesadaran filosofis Gus Dur atas suatu teori.
Sering Gus Dur bilang, suatu teori, betapa pun baiknya, jika tak bisa dipraktikkan, teori yang
baik tadi boleh jadi tak ada gunanya. Di sini tampak, Gus Dur menghormati setinggi-
tingginya teori, tapi juga menuntut kemudahannya untuk diterapkan dalam hidup. Ini
memiliki banyak implikasi di dalam cara dan sikapnya memandang hidup.
Gus Dur tak pernah bersikap hitam-putih. Dunianya bertakik-takik, kompleks, dan memiliki
banyak ruang tak terduga dan tak terselami oleh kita seperti sebuah gua yang besar, banyak
ruang-ruang gelap di dalamnya, dan juga banyak keteduhan yang bisa dinikmati oleh para
pencari kebenaran, dan para “salik”, yang sudah berjalan di jalan-Nya, tapi selalu bertanya
lebih dalam: aku bukan mencari jalan, melainkan mencari Tuhan.
Para pencari “hakikat” Tuhan, yang selalu haus, yang “rindu rasa”, “rindu rupa”, seperti Amir
Hamzah, tak mungkin bisa dipuaskan sekadar oleh ditemukannya jalan. Bagi mereka—
termasuk pula bagi penyair Sutardji Calsoum Bahri—yang “emoh” menerima jalan karena
jalan bukan Tuhan.
Urusan halal-haram itu dihormati sepenuh hati dan menjadi bagian dari orientasi nilai utama
dalam hidup. Tapi, Gus Dur jarang menghukum orang dengan haram, sesat, musyrik, dan
sejenisnya. Pun tidak mengumbar pujaan bahwa seseorang telah “lurus”, “benar”, tanpa unsur
“sesat”, dan sejenisnya. Kesadaran teologis dan makna kebenaran pada umat berbeda antara
satu bagian dengan bagian yang lain, antara yang terpelajar dan kaum awam. Baginya, kedua-
duanya bagian dari keumatan yang dihimpun baik-baik, dan dicintai, seperti dia mencintai
keluarganya sendiri.
Pada tahap ini kenangan kita tentang sang wali, mengarahkan kesadaran kita bahwa Gus Dur
bukan sekadar milik keluarga. Gus Dur sudah menjadi dunia nilai, tapi Gus Dur pun
ibaratnya sudah menjadi representasi suatu institusi. Maka sekali lagi, dia bukan hanya milik
42
keluarga, melainkan milik umum, milik dunia nilai, milik kesadaran yang lebih luas.
Keluarga Gus Dur itu umat manusia, dan segenap nilai kemanusiaan, yang diperjuangkannya
selama masa hidupnya, yang begitu produktif, berani, berisiko, tapi tak pernah
dirisaukannya.
Dia tahu tiap perjuangan mengandung risiko. Tidur-tiduran, bermalas-malasan tanpa
mengerjakan sesuatu pun ada risikonya. Apalagi berjuang, dengan semangat melawan arus
deras kehidupan yang tak pernah terlalu ramah.
Gus Dur memang sudah tak ada lagi di tengah kita. Tapi, dalam kesadaran banyak pihak,
ketiadaannya itu sebetulnya ada. Dia ada, dan selalu akan ada, tiap saat kita mengalami
masalah-masalah yang dulu diurus dengan berani oleh Gus Dur, tapi sekarang tak diurus oleh
siapa pun. Di sini kenangan kita menjadi sebuah kerinduan. Kita rindu seorang wali, yang
mewakili dunia nilai dan moralitas, yang sekarang sudah, maaf, mampus. Kita pun rindu
seorang pemimpin, yang berani bertindak demi kebenaran, dan tak takut.
Sekali lagi, Gus Dur sudah tak ada, tapi sebetulnya dia ada. Dia tetap hidup dalam kenangan
umat, yang bukan hanya umat NU, bukan hanya umat Islam, tapi jauh di luar batas-batas itu.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com
43
Nyepi di Bali, Gundah di Sini
Koran SINDO
23 Maret 2015
Setiap manusia memiliki dambaan untuk hidup bahagia. Kebahagiaan seringkali diukur oleh
tercapainya seluruh keinginan imajinasi yang bersemayam dalam setiap diri dan hatinya.
Pencapaian kebahagiaan tersebut telah melahirkan ikhtiar imajinasi dan ragawi dalam sistem
hidup yang semakin kompetitif. Hidup seperti arena balapan, saling mengejar, berburu tak
mengenal waktu, menyalip di tikungan, tertawa kegirangan. Pedih tersisih, seolah seluruh
jalan mengalami kebuntuan.
Semakin tinggi kompetisi pencapaian seluruh hasrat dan keinginan semakin meningkat angka
depresi. Muncullah keragaman penyakit, maag, kolesterol, tekanan darah tinggi, kanker,
diabetes, jantung, dan beragam penyakit lainnya seolah berkompetisi dengan seluruh
pencapaian dan harapan manusia.
Siklus hidup yang terus berliku, keinginan yang tak pernah berhenti melahirkan satu tanya
yang mungkin sulit dijawab. Benarkah kita bahagia?
Ma Icih, maestro tua yang sangat memahami makna hidup, berujar sambil tersenyum, “Orang
kaya itu aneh, bikin rumah besar-besar dengan berbagai fasilitas, ada kolam renangnya, ada
taman bunganya, ada ruang fitness-nya, ada ruang karaokenya, ada tempat saunanya, ada
salonnya, serta kelengkapan seluruh pelayanan yang dibutuhkan berikut para pelayan yang
ahli pada bidangnya, tapi kunaon atuh sakitu geus sagala aya di imahna, tara daek cicing di
imah... (tapi mengapa meski sudah segala tersedia di rumahnya, tidak mau tinggal di rumah)
tiap minggu pelesir wae, ka Bali, Lombok, Bunaken, Raja Ampat, Toraja, Toba, Singapura,
Hawaii, New Zealand, dan Australia.”
“Dipikir-pikir kalau tidak pernah ditinggali, sudah tidak perlu buat rumah yang besar, kecil
saja seperti punya Ema. Setelah itu ternyata rumahnya bukan satu, tapi sangat banyak. Bukan
hanya di Indonesia, tapi di berbagai negara. Dipikir-pikir sama Ema, ternyata yang bahagia
tinggal di rumah itu adalah pembantunya, tukang kebunnya, tukang tamannya, dan
satpamnya, yang bisa dilihat dari tidurnya yang kerek meni nyegrek (mendengkur).”
“Jadi kalau menurut Ema, orang yang tukang pelesir itu orang yang tidak bahagia karena
setiap hari harus mencari kebahagiaan. Beda dengan Ema sama Mang Udin, tidak pernah ke
mana-mana. Di rumah Ema bahagia, pergi ke kebon ngambil daun singkong, ngambil cengek
(cabai rawit), ngala (memetik) jengkol, dan ngala peuteuy (pete) itu juga membuat Ema
bahagia. Pergi ke sawah ngala tutut, ngala belut, nambah deh bahagia Ema.”
44
“Pulang ke rumah terus dimasak tuh. Aduh, sanguh aneut (nasi hangat) sama beuleum
peuteuy (pete panggang), terus lauknya sama sambal belut, lalabnya daun sampeu (singkong)
sama daun jengkol muda, aduuuh ... terbang deh Ema. Cuci mulutnya sama jengkol, biar
tidak bau peuteuy. Waduh, malamnya Ema tidur nyenyak sama Mang Udin.”
“Walaupun Mang Udin kentutnya tidak pernah berhenti, tapi tidak pernah membuat bau
ruangan Ema, karena rumah Ema dari bilik... Walaupun di kampung Ema listrik waktu
malam hari sering mati, tidak membuat Ema jadi stres karena Ema tidur nyenyak tanpa harus
terganggu oleh listrik mati. Tidak takut kehilangan hiburan ketika malam, kan emang Ema
mah nggak punya TV. Cukup saja mendengarkan musik jangkrik sama tongeret...”
***
Ternyata kebahagiaan Ema itu sekarang menjadi virus yang cukup ampuh menyebar di antero
jagat raya. Orang-orang kota hari ini mencari rumah-rumah bambu di pinggir danau, di
pinggir sungai, dan di pinggir hutan.
Mereka mulai menggemari nasi akeul, tutug oncom, beuleum peda, beuleum peuteuy dan
kelihatan mereka begitu bahagia menikmati tradisi Ema. Di kampung-kampung sekarang
berjejer mobil-mobil mewah yang hanya ingin makan enak, tidur nyenyak. Kasihan sekali
orang-orang pandai, makan enak saja harus pergi jauh, tidur nyenyak saja sampai harus
berkeliling dulu, padahal sekolahnya tinggi-tinggi. Tidur saja mesti latihan lagi kaya anak-
anak.
Kebiasaan moyan atau berjemur yang dulu suka Ema lakukan waktu kecil, ternyata menjadi
tradisi yang sangat mahal yang dilakukan oleh orang-orang asing. Mereka hari ini begitu
bahagia berjemur berjejer di pinggir pantai. Ema jadi teringat waktu kecil, suka bermain di
pinggir sawah dengan hanya mengenakan celana dalam. Sekarang, ternyata itu menjadi tren
yang sangat mendunia. Bukan hanya anak-anak yang main di pinggir pantai dengan hanya
mengenakan celana dalam, tetapi anak muda bahkan orang tua melakukannya dengan penuh
kebahagiaan.
Kalau seperti itu, ternyata kebudayaan kita ini sangat tinggi. Jangankan kebudayaan orang
tua, kebudayaan anak-anak saja memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan nilai pasar yang
sangat luas. Kalau begitu, seluruh tata cara anak muda di kampung Ema yang hari ini berubah
harus dievaluasi; minuman bersoda dan berkaleng, tiap hari momotoran, baju bergaya
perkotaan, makanan pabrikan, ternyata seluruh yang diminum, yang dipakai dan yang
dimakan telah membuat orang-orang kota tidak bahagia. Kalau orang kota saja tidak bahagia
terhadap apa yang dilakukannya dalam setiap hari dan mencari kebahagiaan di desa, kenapa
orang desa harus mengikuti gaya kota, ya?
Mending kalau cara memperolehnya dengan uang hasil keringat sendiri, ini mah dengan
menjual kebun, menjual sawah, yang dibeli oleh orang kota. Terus nanti kalau habis mau
tinggal di mana? Kita mah menyambut orang kota yang datang ke desa dengan senyum dan
45
kegembiraan, pintu rumah kita buka lebar-lebar tanpa ada kecurigaan, tapi coba orang desa
datang ke kota, bisa enggak kita nginep di rumah mereka? Mau enggak mereka menerima
kita tanpa kecurigaan? Aduh, suka sesak kalau cerita begini.
***
Orang Bali dengan keyakinan ajaran dan tradisinya telah mampu mengidentifikasi seluruh
kebutuhan dasar manusia bahwa manusia memerlukan ruang yang kosong, yang selama ini
tidak pernah terisi. Kebisingan ternyata tanpa suara, keramaian ternyata hampa. Tradisi Nyepi
di Bali merupakan manifestasi dari kebutuhan manusia untuk tidak perlu mendengar suara
tanpa makna, melihat cahaya tapi gelap, bicara tapi bisu, ramai tapi sepi, sehingga seluruh
gerak ragawi yang kosong itu dihilangkan, ditiadakan dalam sesaat.
Hati bicara tanpa suara, angin berembus dengan makna, gelap tapi terang, menyepikan diri
menemui relung-relung jiwa yang hilang, terbang ke alam kahyangan, bercengkerama dengan
Hyang Tunggal Penguasa Seluruh Alam.
Bukankah tradisi Nyepi di Bali telah diadopsi oleh para pemimpin di berbagai tempat dengan
kebijakan yang sepotong-sepotong; car free day dan car free night, yang cukup dinikmati dan
banyak membuat orang bahagia. Bukankah itu mengadopsi tradisi Nyepi? Kalau itu membuat
bahagia, bagi seluruh rakyatnya tak ada salahnya kalau setahun sekali atau kalau mungkin
sebulan sekali, atau mungkin seminggu sekali, kita membuat Nyepi di seluruh lingkungan
kita. Parkirkan kendaraan di rumah, matikan listrik, hentikan seluruh aktivitas, tinggallah di
rumah bersama keluarga, nikmati seluruh yang ada tanpa suara yang melengking, tanpa kata-
kata yang tajam setajam silet. Kalau itu dilakukan, berapa banyak energi yang terefisienkan,
berapa triliun rupiah uang keluarga yang tersimpan untuk masa depan, tidak terus menerus
dihabiskan di jalan dan di tempat tujuan.
Saatnya kita menyepikan diri dari ucapan-ucapan kotor yang tak bermakna, saatnya kita
menyepikan diri dari berbagai perbuatan yang tidak membahagiakan banyak orang, saatnya
kita tidak mengklaim diri sebagai pemegang otoritas kebenaran yang pasti, saatnya kita
melakukan introspeksi bahwa seluruh langkah yang kita lakukan adalah langkah yang selalu
ingin mendapat pujian, mendapat sanjungan dan melupakan tujuan hidup yang berketuhanan.
Saatnya kita menyadari bahwa seluruh kebenaran yang ada dalam pandangan dan
pendengaran kita adalah kebenaran yang diciptakan oleh kita sendiri, kebenaran yang
tersentra pada sebuah kekuatan kapital.
Saatnya kita menyadari, sebelum seluruhnya lumpuh dan dilumpuhkan oleh alam yang
seluruh otoritas kekuatannya dalam genggaman Hyang Tunggal. Leluhur Bali telah
mengajarkan esensi kemanusiaan melalui Hari Raya Nyepi. Budaya Bali adalah Indonesia
yang sebenarnya.
46
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
47
Pemerataan Kebahagiaan
Koran SINDO
24 Maret 2015
Berkurangnya angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2014 dibandingkan 2013, menurut
BPS (2015) memang telah meningkatkan Indeks Kebahagiaan Indonesia dibanding tahun
2013. Hal ini terlihat dari data BPS (5/2/2015) yang mencatat indeks kebahagiaan Indonesia
tahun 2014 sebesar 68,28 pada skala 0-100, atau meningkat 3,17 poin dibanding tahun
sebelumnya yang ”hanya” 65,11.
Indeks Kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan
terhadap 10 aspek kehidupan esensial yang memiliki besaran kontribusi berbeda-beda
terhadap indeks kebahagiaan, yakni pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan
aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu
luang, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan. Hal ini terjadi karena perbedaan penilaian
mengenai derajat pentingnya setiap aspek kehidupan terhadap tingkat kebahagiaan secara
keseluruhan.
Terdapat tiga aspek kehidupan yang memiliki kontribusi paling tinggi, yaitu pendapatan
rumah tangga (14,64%), kondisi rumah dan aset (13,22%), serta pekerjaan (13,12%). Tingkat
kepuasan tertinggi pada tahun 2014, berkaitan dengan keharmonisan keluarga, sebesar
78,89%. Sementara tingkat kepuasan paling rendah terjadi pada aspek pendidikan yang hanya
mencapai 58,28%.
Di dunia, peringkat Indonesia terbilang cukup tinggi. Dalam laporan yang disusun oleh
Gallup Inc (2015), Indonesia berada pada peringkat 12 dalam daftar 20 negara paling bahagia
di dunia. Negeri ini terkenal sebagai negara dengan penduduk yang ramah dan murah
senyum.
Di pedesaan yang terbilang miskin atau di kampung kota yang kumuh pun, para turis
dipastikan menemukan anak-anak dan orang dewasa yang menyapa mereka dengan senyum
dan tawa ramah. Lebih dari itu, dalam tayangan liputan televisi terkait terbakarnya lebih dari
200 rumah di kawasan (kumuh) Tanah Abang, beberapa korban yang diwawancara terlihat
masih tersenyum ketika menggambarkan betapa ”rakus” dan cepatnya api melahap rumah
dan harta benda mereka. Sulit membayangkan, sang korban tersenyum ketika hal serupa
terjadi di negara-negara kaya, padahal bisa dipastikan bahwa mereka akan memperoleh ganti
rugi setimpal, bukan sekadar pergantian barang yang terbakar.
Berbasis pengamatan seperti itu, apakah kita layak menyimpulkan bahwa tingkat
kebahagiaan seseorang atau sebuah bangsa, memang tidak sepenuhnya ditentukan oleh
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015

More Related Content

What's hot

Revitalisiasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tahun 2008
Revitalisiasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tahun 2008Revitalisiasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tahun 2008
Revitalisiasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tahun 2008Randy Wrihatnolo
 
Assgnmnt individu plg517
Assgnmnt individu plg517Assgnmnt individu plg517
Assgnmnt individu plg517Iella Zakaria
 
Komentar forum 1
Komentar forum 1Komentar forum 1
Komentar forum 1Jack Daniel
 
Manajemen strategis pembangunan daerah bidang pendidikan kabupaten pekalongan...
Manajemen strategis pembangunan daerah bidang pendidikan kabupaten pekalongan...Manajemen strategis pembangunan daerah bidang pendidikan kabupaten pekalongan...
Manajemen strategis pembangunan daerah bidang pendidikan kabupaten pekalongan...adi
 
Baldwine Honest in Tugas Issue Kritis
Baldwine Honest in Tugas Issue KritisBaldwine Honest in Tugas Issue Kritis
Baldwine Honest in Tugas Issue KritisBaldwine Honest
 
Perutusan PPJ Awal Tahun 2013
Perutusan PPJ Awal Tahun 2013Perutusan PPJ Awal Tahun 2013
Perutusan PPJ Awal Tahun 2013Chon Seong Hoo
 
Managemen Dinas Pendidikan
Managemen Dinas PendidikanManagemen Dinas Pendidikan
Managemen Dinas PendidikanIlan Surf ﺕ
 
Bahan plpg tk_konsep_dasar_paud
Bahan plpg tk_konsep_dasar_paudBahan plpg tk_konsep_dasar_paud
Bahan plpg tk_konsep_dasar_paudSiMbah Dayoen
 
Presentation
PresentationPresentation
PresentationTai Erh
 
Upaya pencapaian mdg’s melalui posdaya di kabupaten solok
Upaya pencapaian mdg’s melalui posdaya  di kabupaten solokUpaya pencapaian mdg’s melalui posdaya  di kabupaten solok
Upaya pencapaian mdg’s melalui posdaya di kabupaten solokPosdaya Solok
 
Pendidikan terbaik melahirkan generasi terbaik
Pendidikan terbaik melahirkan generasi terbaikPendidikan terbaik melahirkan generasi terbaik
Pendidikan terbaik melahirkan generasi terbaikLilis Holisah
 
Masalah putus sekolah dan pengangguran
Masalah putus sekolah dan pengangguranMasalah putus sekolah dan pengangguran
Masalah putus sekolah dan pengangguranKewin Harahap
 

What's hot (15)

Revitalisiasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tahun 2008
Revitalisiasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tahun 2008Revitalisiasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tahun 2008
Revitalisiasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tahun 2008
 
Assgnmnt individu plg517
Assgnmnt individu plg517Assgnmnt individu plg517
Assgnmnt individu plg517
 
Komentar forum 1
Komentar forum 1Komentar forum 1
Komentar forum 1
 
Manajemen strategis pembangunan daerah bidang pendidikan kabupaten pekalongan...
Manajemen strategis pembangunan daerah bidang pendidikan kabupaten pekalongan...Manajemen strategis pembangunan daerah bidang pendidikan kabupaten pekalongan...
Manajemen strategis pembangunan daerah bidang pendidikan kabupaten pekalongan...
 
Baldwine Honest in Tugas Issue Kritis
Baldwine Honest in Tugas Issue KritisBaldwine Honest in Tugas Issue Kritis
Baldwine Honest in Tugas Issue Kritis
 
Perutusan PPJ Awal Tahun 2013
Perutusan PPJ Awal Tahun 2013Perutusan PPJ Awal Tahun 2013
Perutusan PPJ Awal Tahun 2013
 
Ppt ti
Ppt tiPpt ti
Ppt ti
 
Istimewa pendidikan diy
Istimewa pendidikan diyIstimewa pendidikan diy
Istimewa pendidikan diy
 
Managemen Dinas Pendidikan
Managemen Dinas PendidikanManagemen Dinas Pendidikan
Managemen Dinas Pendidikan
 
Bahan plpg tk_konsep_dasar_paud
Bahan plpg tk_konsep_dasar_paudBahan plpg tk_konsep_dasar_paud
Bahan plpg tk_konsep_dasar_paud
 
Presentation
PresentationPresentation
Presentation
 
Upaya pencapaian mdg’s melalui posdaya di kabupaten solok
Upaya pencapaian mdg’s melalui posdaya  di kabupaten solokUpaya pencapaian mdg’s melalui posdaya  di kabupaten solok
Upaya pencapaian mdg’s melalui posdaya di kabupaten solok
 
Persentase problematika
Persentase problematikaPersentase problematika
Persentase problematika
 
Pendidikan terbaik melahirkan generasi terbaik
Pendidikan terbaik melahirkan generasi terbaikPendidikan terbaik melahirkan generasi terbaik
Pendidikan terbaik melahirkan generasi terbaik
 
Masalah putus sekolah dan pengangguran
Masalah putus sekolah dan pengangguranMasalah putus sekolah dan pengangguran
Masalah putus sekolah dan pengangguran
 

Similar to (Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015

Pedoman Pengelolaan PAUD Terpadu
Pedoman Pengelolaan PAUD TerpaduPedoman Pengelolaan PAUD Terpadu
Pedoman Pengelolaan PAUD TerpaduFKIP UHO
 
JUKNIS PAUD TERPADU
JUKNIS PAUD TERPADUJUKNIS PAUD TERPADU
JUKNIS PAUD TERPADUifulmoch
 
Juknis-SEKOLAH_RAMAH_ANAK__SAFIN_PRESENTASI.pdf
Juknis-SEKOLAH_RAMAH_ANAK__SAFIN_PRESENTASI.pdfJuknis-SEKOLAH_RAMAH_ANAK__SAFIN_PRESENTASI.pdf
Juknis-SEKOLAH_RAMAH_ANAK__SAFIN_PRESENTASI.pdfMEffendi5
 
Bimbingan dan Konseling pada PAUD
Bimbingan dan Konseling pada PAUDBimbingan dan Konseling pada PAUD
Bimbingan dan Konseling pada PAUDDina Haya Sufya
 
Makalah komprehensif Perkembangan Koqnitif Anak Usia Dini
Makalah komprehensif Perkembangan Koqnitif Anak Usia DiniMakalah komprehensif Perkembangan Koqnitif Anak Usia Dini
Makalah komprehensif Perkembangan Koqnitif Anak Usia DiniSoga Biliyan Jaya
 
LANDASAN PENDIDIKAN
LANDASAN PENDIDIKANLANDASAN PENDIDIKAN
LANDASAN PENDIDIKANharjunode
 
Transisi paud sd.pdf
Transisi paud sd.pdfTransisi paud sd.pdf
Transisi paud sd.pdfdidikraharja1
 
Education for all
Education for allEducation for all
Education for alliwan Alit
 
Proposal ijin operasional
Proposal ijin operasionalProposal ijin operasional
Proposal ijin operasionalArya Dinpanggah
 
Isu penambahbaikan sistem pendidikan Islam
Isu penambahbaikan sistem pendidikan IslamIsu penambahbaikan sistem pendidikan Islam
Isu penambahbaikan sistem pendidikan IslamMuhammad Syahir
 
Education for all
Education for allEducation for all
Education for alliwan Alit
 
Sekilas Tentang Sekolah Ramah Anak
Sekilas Tentang Sekolah Ramah AnakSekilas Tentang Sekolah Ramah Anak
Sekilas Tentang Sekolah Ramah AnakLestari Moerdijat
 
Makalah Mahalnya pendidikan
Makalah Mahalnya pendidikanMakalah Mahalnya pendidikan
Makalah Mahalnya pendidikanAli Rohman
 
ANALISIS KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI KANADA, KOREA SELATAN, SELANDIA BARU, ...
ANALISIS KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI KANADA, KOREA SELATAN, SELANDIA BARU, ...ANALISIS KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI KANADA, KOREA SELATAN, SELANDIA BARU, ...
ANALISIS KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI KANADA, KOREA SELATAN, SELANDIA BARU, ...wiwinseptiana1
 
Materi umum 1.2b panduan pbp
Materi umum 1.2b panduan pbpMateri umum 1.2b panduan pbp
Materi umum 1.2b panduan pbpEko Supriyadi
 
Juknis penyaluran-dana-ape-tahun-2012-final
Juknis penyaluran-dana-ape-tahun-2012-finalJuknis penyaluran-dana-ape-tahun-2012-final
Juknis penyaluran-dana-ape-tahun-2012-finalputralaksana
 

Similar to (Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015 (20)

Propsal paud-nusa-indah-limpas
Propsal paud-nusa-indah-limpasPropsal paud-nusa-indah-limpas
Propsal paud-nusa-indah-limpas
 
Pedoman Pengelolaan PAUD Terpadu
Pedoman Pengelolaan PAUD TerpaduPedoman Pengelolaan PAUD Terpadu
Pedoman Pengelolaan PAUD Terpadu
 
JUKNIS PAUD TERPADU
JUKNIS PAUD TERPADUJUKNIS PAUD TERPADU
JUKNIS PAUD TERPADU
 
Juknis-SEKOLAH_RAMAH_ANAK__SAFIN_PRESENTASI.pdf
Juknis-SEKOLAH_RAMAH_ANAK__SAFIN_PRESENTASI.pdfJuknis-SEKOLAH_RAMAH_ANAK__SAFIN_PRESENTASI.pdf
Juknis-SEKOLAH_RAMAH_ANAK__SAFIN_PRESENTASI.pdf
 
Panduan SRA.pdf
Panduan SRA.pdfPanduan SRA.pdf
Panduan SRA.pdf
 
Bimbingan dan Konseling pada PAUD
Bimbingan dan Konseling pada PAUDBimbingan dan Konseling pada PAUD
Bimbingan dan Konseling pada PAUD
 
Pendemokrasian
PendemokrasianPendemokrasian
Pendemokrasian
 
Makalah komprehensif Perkembangan Koqnitif Anak Usia Dini
Makalah komprehensif Perkembangan Koqnitif Anak Usia DiniMakalah komprehensif Perkembangan Koqnitif Anak Usia Dini
Makalah komprehensif Perkembangan Koqnitif Anak Usia Dini
 
LANDASAN PENDIDIKAN
LANDASAN PENDIDIKANLANDASAN PENDIDIKAN
LANDASAN PENDIDIKAN
 
Transisi paud sd.pdf
Transisi paud sd.pdfTransisi paud sd.pdf
Transisi paud sd.pdf
 
Education for all
Education for allEducation for all
Education for all
 
Proposal ijin operasional
Proposal ijin operasionalProposal ijin operasional
Proposal ijin operasional
 
Isu penambahbaikan sistem pendidikan Islam
Isu penambahbaikan sistem pendidikan IslamIsu penambahbaikan sistem pendidikan Islam
Isu penambahbaikan sistem pendidikan Islam
 
Education for all
Education for allEducation for all
Education for all
 
Sekilas Tentang Sekolah Ramah Anak
Sekilas Tentang Sekolah Ramah AnakSekilas Tentang Sekolah Ramah Anak
Sekilas Tentang Sekolah Ramah Anak
 
Makalah Mahalnya pendidikan
Makalah Mahalnya pendidikanMakalah Mahalnya pendidikan
Makalah Mahalnya pendidikan
 
ANALISIS KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI KANADA, KOREA SELATAN, SELANDIA BARU, ...
ANALISIS KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI KANADA, KOREA SELATAN, SELANDIA BARU, ...ANALISIS KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI KANADA, KOREA SELATAN, SELANDIA BARU, ...
ANALISIS KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI KANADA, KOREA SELATAN, SELANDIA BARU, ...
 
Materi umum 1.2b panduan pbp
Materi umum 1.2b panduan pbpMateri umum 1.2b panduan pbp
Materi umum 1.2b panduan pbp
 
Juknis penyaluran-dana-ape-tahun-2012-final
Juknis penyaluran-dana-ape-tahun-2012-finalJuknis penyaluran-dana-ape-tahun-2012-final
Juknis penyaluran-dana-ape-tahun-2012-final
 
MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi IV
MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi IV MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi IV
MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi IV
 

Recently uploaded

DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxawaldarmawan3
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)3HerisaSintia
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...Kanaidi ken
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptxHendryJulistiyanto
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxnerow98
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfbibizaenab
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxbkandrisaputra
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 

Recently uploaded (20)

DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 

(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015

  • 1. 1 DAFTAR ISI RASIONALITAS INVESTASI PRASEKOLAH Elfindri 4 MEMBERI ARAH RUU PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA Rumadi Ahmad 7 BATU AKIK DAN HISTERIA MASSA Rhenald Kasali 10 BIROKRAT IKAN LELE Komaruddin Hidayat 13 BATU AKIK Sarlito Wirawan Sarwono 15 ADA APA DENGAN BEGAL? Dedi Mulyadi 18 KRISIS MENTAL DI NEGERI PARA BEGAL Handi Sapta Mukti 22 PERSATUAN YANG BELUM TERWUJUD Mohamad Sobary 25 TERIMA KASIH GURU Komaruddin Hidayat 28 NYEPI, KORUPSI KITA, DAN ZHU RONGJI Tom Saptaatmaja 31 NYEPI DAN REVOLUSI MENTAL I Ketut Parwata 34 HATI NURANI Sarlito Wirawan Sarwono 37 MENGENANG SANG WALI Mohamad Sobary 40 NYEPI DI BALI, GUNDAH DI SINI Dedi Mulyadi 43 PEMERATAAN KEBAHAGIAAN Ivan Hadar 47 MERETAS BUDAYA BACA
  • 2. 2 Jejen Musfah 50 HAK PATEN ISLAM Komaruddin Hidayat 54 POLITIK IDEOLOG SAMBAL TERASI Dedi Mulyadi 57 MALING, COPET, GARONG, DAN BEGAL Mohamad Sobary 60 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN TINGGI UNTUK HADAPI MEA Djoko Santoso 64 PEMADANAN ISTILAH PARIWISATA Mohamad Azhar Rasjid 67 GERMANWINGS DAN STANDAR PENERBANGAN DI INDONESIA Nurul Wahdah 70 GEREGET Rhenald Kasali 73 TITIK TEMU AGAMA-AGAMA Komaruddin Hidayat 76 KASIH DAN KEADILAN SOSIAL Tom Saptaatmaja 78 FERRY KATOLIK ISLAMI Moh Mahfud MD 81 DOEK Sarlito Wirawan Sarwono 84 NABI PALSU BISNIS TEMBAKAU Mohamad Sobary 87 MATA AIR, AIR MATA Dedi Mulyadi 90 FENOMENA BEGAL, SALAH SIAPA? Jamal Wiwoho 94 PANGAN KITA Rhenald Kasali 98 UJIAN NASIONAL MODEL BARU, AYO JUJUR Biyanto 102
  • 3. 3 ISLAM NUSANTARA Komaruddin Hidayat 105 BUSANA KERAJAAN Sarlito Wirawan Sarwono 107 MELINDUNGI ANAK-ANAK DARI REGENERASI TEROR Reza Indragiri Amriel 110 MARIO SANG PENAKLUK Dedi Mulyadi 113 RAHWANA MENCAPLOK TEMBAKAU Mohamad Sobary 116 INTERNASIONALISASI PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH Muslich Hartadi Sutanto 119 SISTEM SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS MANAJEMEN RISIKO Achmad Deni Daruri 122 POLITIK YANG LUPA MORALITAS Mudji Sutrisno 125 HENTIKAN HIBAH MOBIL PEJABAT! Laode Ida 128 AGAMA CEPAT SAJI Komaruddin Hidayat 131 MEROKOK TIDAK MEMBUNUHMU Mohamad Sobary 133 DEUDEUH TEUING Dedi Mulyadi 136 BANGSAKU, JANGAN BUNUH DIRI! Sudjito 140 EMANSIPASI UNTUK SALING MELENGKAPI Parwati Surjaudaja 143 BISNIS ESEK-ESEK ITU BERNAMA PROSTITUSI Faisal Ismail 146 MENYOAL HUKUMAN MATI TERHADAP BURUH MIGRAN Wahyu Susilo 149
  • 4. 4 Rasionalitas Investasi Pra-sekolah Koran SINDO 11 Maret 2015 Salah satu karya ekonom James Heckman (2008) yang memudahkan beliau meraih hadiah Nobel Ekonomi adalah pembuktian bahwa investasi manusia semasa dini memberikan pengembalian terbesar dibandingkan investasi untuk semasa sekolah dan pada masa pasar kerja. Di antaranya investasi masa pra-sekolah, baik untuk perbaikan kesehatan, gizi maupun pendidikan pra-sekolah. Luput dari Ukuran Semenjak tahun 2000, konsensus PBB dalam mengukur dampak pembangunan terhadap dimensi pembangunan manusia salah satunya adalah dengan mengamati capaian akses pendidikan dasar dan penuntasan buta aksara penduduk dewasa. Capaian itu kelihatannya hampir bisa diraih Indonesia pada 2015 mengingat angka partisipasi pendidikan usia 7-12 tahun telah mendekati 98%, sekitar 2% lagi anak-anak usia sekolah dasar masih perlu kerja keras agar mereka dapat mengecap pendidikan. Capaian demikian merupakan prestasi tersendiri selama pembangunan 10 tahun terakhir walaupun tidak bisa diabaikan bahwa persoalan yang masih tersisa adalah menyelesaikan agenda akses pada pendidikan yang bermutu serta menyapu habis penduduk dewasa yang masih buta aksara. Tapi kita lupa mengingat bukti empiris yang ditemukan James Heckman bahwa investasi pendidikan pada masa pra-sekolah memberikan pengembalian yang lebih besar dibandingkan dengan investasi pendidikan usia sekolah. Temuan ini memberikan sinyal bahwa secara rasional, negara dapat menjadikan pendidikan pra-sekolah sedemikian rupa sehingga anak-anak usia 4-6 tahun juga memperoleh haknya secara universal untuk mengecap pendidikan pra-sekolah sekalipun di negara kita undang- undang tidak mewajibkannya. Oleh karenanya, ketika Millennium Development Goals (MDGs) selesai tahun 2015, kemudian dilanjutkan dengan usulan pengukuran baru terhadap pembangunan manusia melalui Multifactors Poverty Index (MPI), akses penduduk untuk dapat pendidikan pra- sekolah akan lebih relevan digunakan sebagai ukuran dari upaya-upaya pembangunan pada masa yang akan datang mengingat korelasi yang jelas antara akses universal pra-sekolah dengan produktivitas kerja ketika mereka sudah menjadi tenaga kerja. Kita lalai akan sinyal empiris itu yang membuat capaian pendidikan pra-sekolah di negara kita masih jauh panggang dari api.
  • 5. 5 Akses Pra-sekolah Cukup mudah menelusuri bagaimana performance pendidikan pra-sekolah di Indonesia. Data Susenas tahun 2012 dapat mengungkapkan bagaimana capaian dari akses pendidikan yang dimaksud. Secara internasional, rata-rata lama tahun anak memperoleh pendidikan sebelum memasuki jenjang pendidikan formal mulai dari yang terendah di negara-negara Sub-Sahara, selama 0,3 tahun, kemudian di negara-negara Amerika Latin, selama 1,6 tahun, sampai di negara-negara Eropa daratan selama 3,2 tahun. Artinya anak-anak yang lahir dan besar di Eropa daratan sudah mengecap pendidikan pra-sekolah mulai usia 3 sampai 4 tahun. Dengan arti kata di negara maju, universal pendidikan tidak saja ditujukan pada usia wajib belajar sebagaimana yang diberlakukan di Indonesia, tetapi justru ditarik pada usia lebih awal lagi. Norma akses pendidikan yang diterapkan di negara maju sejalan dengan temuan yang dihasilkan James Heckman di atas. Kita tengok capaian akses pendidikan pra-sekolah di Indonesia. Data Susenas tahun 2012 memperlihatkan, dari 14,4 juta anak berusia 4-6 tahun, baru sekitar 52% dari mereka yang mendapatkan pendidikan pra-sekolah. Dengan arti kata jika saja negara menargetkan 75% dari akses pendidikan pra-sekolah, sebanyak 5,7 juta-5,8 juta anak setiap tahun mesti diberi akses yang mudah untuk mereka memperoleh pendidikan pra-sekolah. Dengan target itu saja, kapasitas jumlah sekolah PAUD mesti ditingkatkan sekitar 23% poin lagi. Itu jumlah sekolah dan keperluan guru PAUD yang tidak sedikit. Dengan berpedoman pada angka-angka itu, penyediaan guru TK yang bermutu, kepala sekolah TK PAUD, kurikulum PAUD adalah rangkaian komponen pendidikan pra-sekolah yang mesti direncanakan secara terintegrasi. Sebanyak itu pula semestinya proses pemahaman yang juga mesti diberikan kepada orang tua mereka tentang pentingnya pendidikan pra-sekolah beserta komponen-komponennya. Mengingat masih banyak model yang bisa dikembangkan untuk memberikan pendidikan anak pra-sekolah, sebesar 78% mengecap pendidikan pada sekolah taman kanak-kanak (TK) atau sejenisnya. Belum banyak yang mengembangkan model akses pra-sekolah berupa kelompok bermain, pasca-PAUD, tempat penitipan anak, home schooling, dan alternatif model lain. Dengan memahami begitu pentingnya upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan PAUD, arah investasi pendidikan pada masa yang akan datang tidak kalah pentingnya ditujukan pada pencapaian pemerataan akses pendidikan pra-sekolah yang bermutu. Satu PAUD Satu Desa Jika ingin menggenjot capaian investasi pra-sekolah pada capaian di atas 75%, perlu upaya yang sangat intensif dilakukan pemerintah daerah. Pertama, menjamin agar keterlibatan masyarakat dalam menyediakan pendidikan PAUD, termasuk penyediaan tempat pendidikan,
  • 6. 6 guru, dan proses pembelajaran. Pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif agar penyediaan pendidikan pra-sekolah tersedia pada tiap desa. Kedua, saat bersamaan, pemodelan pendidikan PAUD mesti mengintegrasikan keperluan anak pra-sekolah dengan peningkatan pemahaman orang tua terhadap relevansi dan urgensi pendidikan pra-sekolah untuk anak-anak mereka. Belakangan inisiatif untuk melibatkan orang tua dalam pendidikan pra-sekolah merupakan sebuah target baru dalam Direktorat Keayahbundaan dengan maksud untuk lebih meningkatkan nilai pemahaman orang tua terhadap arti penting pendidikan anak sekaligus meningkatkan akses orang tua terhadap pendidikan. Ketiga, sudah saatnya model penyediaan pendidikan pra-sekolah tidak saja terpaku pada model pendidikan TK, tetapi terbuka luas untuk mengintegrasikannya dengan aktivitas- aktivitas lainnya yang ada dan berkembang di perdesaan. Mengingat tidak mudah menyediakan sarana pendidikan, model integrasi kegiatan keagamaan, arisan, pelayanan kesehatan ibu dan anak dapat dilakukan dengan pendidikan pra-sekolah. ELFINDRI Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Unand
  • 7. 7 Memberi Arah RUU Perlindungan Umat Beragama Koran SINDO Rabu, 11 Maret 2015 Rencana Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk memasukkan draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) ke DPR untuk menjadi Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2015 tertunda. Hal ini berarti Kementerian Agama sebagai inisiator RUU tersebut punya waktu lebih panjang untuk menyusunnya. Sejauh yang penulis pantau, Kementerian Agama, baik melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) maupun Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) sudah melakukan serangkaian diskusi untuk menyusun Naskah Akademik dan draf RUU. Namun hingga kini belum tampak hasilnya yang bisa didiskusikan bersama, baik Naskah Akademik maupun draf RUU-nya. Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengemukakan, RUU PUB nanti paling tidak mengatur lima hal yang dianggap paling krusial. Lima hal tersebut adalah: 1) Hak penganut aliran keagamaan di luar enam agama yang resmi diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu). Hal ini sudah lama menjadi kerisauan bersama dan cenderung memunculkan konflik. Pengikut agama di luar yang enam itu merasa, pemerintah kurang menyapa dan menfasilitasi mereka. Padahal konstitusi mengamanahkan perlindungan tanpa pengecualian terhadap semua warga negara; 2) Soal pendirian rumah ibadah. Hal ini cukup kompleks karena melibatkan banyak lembaga. Tidak hanya kemenag, tapi juga FKUB dan pemda karena terkait dengan tata ruang; 3) Isu penyiaran agama. Dewasa ini semua umat agama kian marak menyiarkan ajaran agamanya dengan berbagai cara. Karena itu perlu ada aturan yang boleh dan tidak boleh disiarkan di ruang publik. Demikian pula cara-cara penyiaran agama yang agitatif perlu diatur; 4) Isu kekerasan terhadap minoritas yang disesatkan; 5) Isu kian meningkatnya angka intoleransi. Hal itu diduga berpangkal dari pemahaman agama yang sempit dan mudah menuduh pihak lain sebagai musuh. Di luar lima hal tersebut sebenarnya ada persoalan lain yang layak dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam RUU PUB, yaitu masalah penistaan agama dan ujar kebencian (hate speech) terhadap pihak lain, baik yang berbeda agama maupun seagama. Hal-hal tersebut, idealnya harus dirumuskan peta persoalannya agar regulasi yang akan disusun tidak salah arah, atau justru menjadi sarana legitimasi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan spirit awal penyusunan RUU PUB ini.
  • 8. 8 Saya sebenarnya ingin menguraikan satu per satu persoalan di setiap isu. Namun, tentu bukan di sini karena ruangan yang terbatas. Arah Penyusunan RUU PUB Hal yang paling penting dalam setiap penyusunan regulasi adalah memberi arah yang tercermin dalam asas-asas RUU itu. Dalam kaitan RUU PUB ini harus diarahkan untuk beberapa tujuan sebagai berikut. Pertama, memastikan bahwa semua warga negara, apa pun agama dan keyakinannya harus diperlakukan secara adil dan setara. Perlakukan secara adil dan setara dalam arti semua warga negara dengan berbagai jenis keyakinan keagamaannya harus mendapat perlindungan dan pelayanan kewarganegaraan yang equal. Dengan kata lain, RUU PUB harus bisa menghilangkan seluruh bentuk diskriminasi berdasar agama dan keyakinan. Meski Indonesia sudah punya UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, namun UU ini belum memasukkan agama dan keyakinan sebagai persoalan yang harus dibebaskan dari diskriminasi. UU ini hanya terfokus pada diskriminasi ras dan etnis di mana agama tidak menjadi bagian di dalamnya. Terkait dengan hal ini, harus diakui, hingga menjelang 70 tahun merdeka Indonesia belum terbebas dari diskriminasi berdasar agama dan keyakinan. Di satu sisi negara sudah memberi pemenuhan yang melimpah untuk menjalankan agama dan keyakinannya, namun di pihak lain ada kelompok masyarakat yang hak eksistensialnya masih dipersoalkan. Kedua, RUU PUB harus memberikan jaminan perlindungan kepada warga negara untuk memeluk agama dan keyakinan, tanpa dibayang-bayangi penyesatan dan kriminalisasi. Keyakinan keagamaan tak dapat dikriminalkan. Prinsip pokok ini harus dipegang teguh oleh perumus RUU ini agar tidak terombang-ambing dengan berbagai pendapat. Selama ini sering terjadi kriminalisasi keyakinan keagamaan karena dianggap sebagai kelompok sesat, bahkan dianggap melakukan penistaan agama. Ketiga, terkait dengan poin kedua, kriminalisasi dengan tuduhan penistaan agama tidak bisa diarahkan pada keyakinan keagamaan dan orang-orang yang mengembangkan pemikiran keagamaan yang berbeda dengan mainstream. Kriminalisasi harus lebih diarahkan pada tindakan atau ucapan bernada kebencian atau mengancam keselamatan seseorang karena keyakinan yang berbeda (hate speech). Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Orang- orang yang keyakinan keagamaannya disesatkan dikriminalisasi, sementara orang-orang yang jelas-jelas memberikan ancaman dengan ucapan kebencian, dibiarkan bebas dari tindakan hukum. Dengan demikian, penistaan agama hanya bisa dikenakan kepada orang-orang yang memang jelas punya intense dan maksud merendahkan, menghina dan melecehkan keyakinan keagamaan seseorang.
  • 9. 9 Keempat, RUU PUB harus mampu membuka ruang toleransi seluas-luasnya atas berbagai keanekaragaman dan perbedaan. Hal ini penting ditegaskan karena banyak aturan-aturan kehidupan keagamaan yang justru mempersempit ruang toleransi yang hidup dalam masyarakat. Penyempitan ruang toleransi itulah yang menyuburkan tindak kekerasan dan intoleransi yang beberapa tahun terakhir ini banyak terjadi. Yang penulis maksud dengan memperluas ruang toleransi adalah adanya regulasi yang mampu memberikan perlindungan maksimal atas keyakinan keagamaan dan berbagai bentuk ekspresinya di satu sisi, dan tidak mudah digunakan kelompok-kelompok intoleran untuk melegitimasi tindakan intoleransinya. Regulasi terkait pendirian tempat ibadah atau tata cara penyiaran agama harus diletakkan dalam konteks ini. Sedetail apa pun tentang Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang di dalamnya mengatur tata cara pendirian tempat ibadah, tapi karena ruang toleransi dipersempit, maka aturan ini tetap menimbulkan banyak persoalan di lapangan. Demikian juga dengan tata cara penyiaran agama yang diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978, lebih bernuansa mengatur kompetisi merekrut pemeluk agama daripada memperluas arena toleransi dalam kehidupan beragama. Nah, menurunnya intoleransi merupakan buah atau hasil dari perluasan arena toleransi tersebut disertai dengan penegakan hukum yang konsisten. Angka intoleransi yang tinggi beberapa tahun terakhir merupakan buah dari regulasi yang mempersempit ruang toleransi dan penegakan hukum yang jauh dari semangat keadilan dan perlindungan keyakinan keagamaan. Kelima, RUU PUB harus bisa mereformasi dan merevisi sejumlah regulasi keagamaan yang sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, bukan sekedar mengkompilasi berbagai regulasi keagamaan kemudian dinaikkan statusnya menjadi undang-undang. Sebagai contoh terkait dengan penodaan agama. Dalam putusan Mhkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009, meskipun MK memutuskan delik penodaan agama tidak bertentangan dengan konstitusi, tapi MK juga menyetujui perlunya memperbaiki rumusan delik penodaan agama baik pada lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materiil yang jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik seperti yang sekarang ini sering terjadi. Demikianlah, bila arah perumusan RUU KUB bisa digerakkan ke arah ini, penulis yakin Indonesia akan semakin terhormat di mata dunia internasional, dan situasi kehidupan beragama kita semakin baik. RUMADI AHMAD Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti Senior the WAHID Institute
  • 10. 10 Batu Akik dan Histeria Massa Koran SINDO Kamis, 12 Maret 2015 Anda mungkin pernah mendengar “nihil sub sole novum“. Itu ungkapan Latin. Kalau memakai bahasa Inggris, bunyinya kurang lebih begini, “there is nothing new under the sun“. Maksudnya, bukan tak ada perubahan, tetapi dalam kefanaan di dunia ini tidak ada sesuatu yang sama sekali baru. Beda benar dengan pandangan Heraclitus, panta rei, yang artinya semua selalu berubah. Tapi, baiklah, dalam pandangan di atas, ibaratnya seperti malam berganti pagi, lalu pagi beranjak siang, menuju sore, dan akhirnya kita bertemu kembali dengan malam. Begitu seterusnya dunia kita berputar. Berulang-ulang. Begitu pula dengan kehidupan kita. Selalu saja berulang. Dalam semua hal. Contohnya, kita pernah terperangkap pada “demam” yang satu, tapi kemudian masuk dalam demam yang satunya lagi. Sama seperti krisis ekonomi yang akan datang beberapa tahun sekali. Baiklah supaya tidak berputar-putar, saya langsung saja. Sebetulnya saya ingin bicara tentang demam batu akik yang tengah melanda masyarakat kita. Fenomenanya begitu luar biasa. Sangat masif. Demam ini melanda rakyat jelata sampai pejabat negeri. Mengagumkan meski dalam banyak hal mungkin ada yang kurang masuk akal. Misalnya saja dari sisi harga. Anda tahu batu akik termahal di Indonesia? Kabarnya ia berasal dari Bengkulu, namanya ‘pictorial agate badar pemandangan’. Motifnya berupa pemandangan pantai. Harganya disebut-sebut mencapai Rp2 miliar sama dengan harga sebuah mobil mewah di Indonesia. Tapi mungkin saja saya luput dan Anda mendengar ada lagi batu lain yang harganya lebih mahal. Lalu, dari sisi khasiatnya. Banyak mitos yang mengatakan batu akik junjung drajat bisa mengangkat wibawa dan status sosial pemakainya. Ada juga batu akik pancawarna. Pemakai batu akik jenis ini konon akan memiliki karisma yang kuat dan terlindung dari kejahatan. Bagi yang percaya, batu akik jenis lain juga mempunyai khasiat yang berbeda-beda. Misalnya, ada batu akik yang membuat kita menjadi kebal. Tidak mempan ditusuk atau ditembak. Ada juga batu akik yang membuat kita menjadi lebih dikasihani atasan atau teman, membuat karier cepat menanjak, jualan menjadi lebih laku, dan kita tidak mempan disantet. Kalau Anda memiliki batu akik yang bolong, namanya ‘batu cobong’, bisa dipakai untuk memikat para wanita. Katanya itu batu pelet. Wow.
  • 11. 11 Silakan kalau Anda mau percaya, baik soal harga maupun khasiatnya. Namun, bagi saya, fenomena batu akik ini mengingatkan saya akan lintasan meteor di langit kita. Dahulu, semasa kecil, saat langit kita masih sangat jernih dan polusi udara belum menggila, ketika kita menatap langit dengan mata telanjang, sesekali kita akan melihat meteor yang melintas. Cepat sekali. Lalu, ada kepercayaan kalau berbarengan dengan lintasan meteor tadi kita mengucapkan apa keinginan kita, konon bakal terkabul. Fenomena Meteor Demam batu akik yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini mengingatkan saya akan meteor yang melintas di langit tadi. Cepat datang, cepat melintas, dan akhirnya cepat pula menghilang. Fenomenanya saya kira juga mirip dengan tanaman hias anturium yang juga sempat booming tiga-empat tahun silam. Sampai sekarang saya dan mungkin kita semua belum sepenuhnya paham apanya yang hebat dari tanaman ini sehingga gosip harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan konon ada yang harganya menembus miliaran. Booming batu akik atau anturium dan ikan louhan di masa lalu adalah cerminan dari masyarakat yang dilanda histeria. Mereka mendengar gosip menyebar. Lalu, tanpa sempat berpikir jernih dan menimbang lebih dalam, mereka memutuskan untuk percaya begitu saja. Mereka ikut arus massa. Ketika semua bergerak ke kanan, dia ikut ke kanan karena takut ketinggalan. Begitu pula ketika semua bergerak ke kiri. Mereka tanpa sempat berpikir jernih memborong anturium atau ikan louhan. Sebagian dengan motif memang ingin menikmati, tapi sebagian besar justru ingin berspekulasi. Mereka berharap kelak batu akik, anturium, atau ikan louhannya bisa dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Bahkan untuk anturium, investornya bukan hanya perseorangan. Di Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Karanganyar mengeluarkan dana yang lumayan besar untuk menggerakkan masyarakatnya agar mau menanam anturium. Bupati Karanganyar ketika itu ingin kabupatennya dinobatkan sebagai kabupaten anturium. Celakanya, seperti meteor tadi, booming anturium dan ikan louhan ternyata hanya sebentar. Mereka yang terlanjur menanamkan modalnya pun terpaksa gigit jari. Investasinya terpangkas habis. Penyakit Sosial Dalam bursa efek ada istilah ‘cornering’. Bahasa populernya adalah ‘menggoreng saham’. Istilah ini merujuk pada sejumlah pelaku di bursa efek yang bersepakat untuk memainkan saham perusahaan tertentu agar harganya naik. Mereka mengembuskan berbagai isu, termasuk melibatkan media massa, sehingga membuat saham perusahaan tertentu menjadi terlihat prospektif.
  • 12. 12 Para investor yang kalap, tanpa sempat menimbang kondisi fundamental dari perusahaan tersebut, akan main tubruk. Siapa yang tak tergiur melihat harga saham perusahaan tertentu terus bergerak naik. Daripada ketinggalan, mereka memutuskan ikut memborong saham perusahaan tersebut. Celakanya setelah kenaikan harganya dirasa cukup, mereka yang bersekongkol kemudian mulai menjual saham yang dimilikinya. Alhasil, harga saham perusahaan tadi mulai melorot. Investor yang kalap tadi pun gigit jari. Mereka pun melakukan cut loss. Fenomena batu akik, anturium atau ikan louhan adalah fenomena cornering. Ada banyak pihak yang terlibat dalam mind game lalu memainkan psikologi pasar dengan mengembus- embuskan berbagai isu untuk membuat harga melonjak. Lalu histeria massa pun tercipta. Setelah harganya mencapai titik tertentu dan keuntungan yang diperoleh dianggap cukup, mereka pun perlahan-lahan melepas kendali pasar. Lantas harga pun bergerak turun. Tinggallah warga biasa yang keasyikan bermain, tinggal dalam impian yang tiba-tiba hari sudah petang dan harus bangun. Histeria massa seperti itu erat kaitannya dengan perilaku irasional. Dalam ilmu ekonomi, perilaku irasional pun terjadi di mana-mana. Salah satu bentuknya pengulangan-pengulangan tadi. Kita pernah terkena demam ikan louhan. Lalu kita juga pernah dilanda demam anturium. Kini kita tengah mengulang kembali demam yang sama, yakni demam batu akik. Ke depan, mungkin masih akan ada sejumlah demam lain. Bagi saya, fenomena semacam ini adalah “penyakit sosial”. Ini terjadi di mana-mana. Ketika akal sehat sudah tak bisa menerima, kita pun masuk dalam perilaku yang irasional. Itu sebabnya Andrew Normal Wilson, penulis biografi asal Inggris, menulis begini, “The fact that logic cannot satisfy us awakens an almost insatiable hunger for the irrational.” RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
  • 13. 13 Birokrat Ikan Lele Koran SINDO Jum'at, 13 Maret 2015 Saya punya teman lama seorang pejabat BUMN, sebut saja Alex namanya. Setelah lebih dari 15 tahun tidak pernah bertemu, tanpa sengaja pekan lalu berjumpa dalam sebuah acara sosial. Badannya terlihat sehat, wajahnya ceria, sehingga tampak lebih muda dari usianya. Saya bertanya ringan, apa resepnya kok terlihat tetap segar dan ceria? Jawabannya sungguh membuat aku terbelalak. Aku sudah lama keluar dari dunia birokrasi. Aku bukan sejenis ikan lele yang bisa hidup dan berkembang di air kotor dengan makanan yang juga kotor, jawabnya singkat, santai, namun tajam. Saya langsung saja menimpali, mungkin Anda masuk kelompok ikan emas yang airnya mesti jernih, makanannya pun tidak sembarangan. Dalam perjalanan pulang masih terngiang-ngiang ungkapan “birokrat ikan lele” sampai- sampai saya sampaikan pada Anda obrolan singkat tadi. Benarkah jajaran birokrat kita sudah separah itu? Benarkah dunia birokrasi kita bagaikan kolam lumpur yang hanya cocok untuk ikan lele dan sejenisnya yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang serbakotor dan bau? Bagi mereka yang sudah lama berkiprah di dunia birokrasi dan politik tentu nuraninya lebih bisa dan lebih bijak menjawab. Sungguh suatu kesalahan besar membuat generalisasi birokrat kita busuk dan kotor. Namun juga sebuah kebohongan dan kepura-puraan untuk mengatakan jajaran birokrat kita bersih, dedikatif, dan profesional. Indikatornya mudah sekali ditemukan. Pertama, berapa banyak berkas-berkas pidana korupsi yang menumpuk di lembaga KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Berdasarkan informasi dari Kantor PPATK, berapa banyak kejanggalan aliran dana yang masuk pada pejabat negara yang besaran jumlahnya sulit dicerna oleh nalar sehat, padahal pemiliknya adalah PNS? Indikator lain adalah pengalaman sehari-hari ketika kita berurusan dengan birokrasi dan aparat pemerintah, selalu saja ada pungutan biaya di luar aturan resmi. Saya sendiri sering memberi ceramah dan bertemu kalangan pengusaha, ada-ada saja cerita bagaimana pejabat pemberi izin mempersulit prosedur semata karena ingin mendapatkan uang pelicin, yang bagi saya angkanya fantastis. Jika kondisi ini berkelanjutan, sudah pasti memasuki pasar bebas ASEAN (MEA) nanti Indonesia tak akan mampu bersaing. Harga produk mahal, mutu rendah, karena ongkos produksinya sangat tinggi gara-gara dananya tersedot sebagai uang pelicin.
  • 14. 14 Beberapa tahun lalu saya pernah ikut suatu penelitian dalam bidang pengadaan barang dan pembangunan infrastruktur. Temuannya sudah dapat diduga bahwa realisasi anggaran untuk pengadaan barang dan pembangunan itu berkisar 60%. Beberapa kasus bahkan ada yang 40%. Dari segi mutu, mestinya berkisar pada 85%. Makanya pantas kalau berbagai bangunan proyek tidak sanggup bertahan lama karena memang kualitasnya di bawah standar. Dengan kebijakan desentralisasi anggaran, tingkat kebocoran semakin merata ke berbagai pemerintah tingkat dua seantero Indonesia. Terjadi jurus kongkalikong antara pemerintah dan lembaga DPRD. Kalangan birokrat sendiri sesungguhnya tahu ada penyimpangan dan pembusukan yang terjadi di lingkungannya. Tetapi, enggan berbicara, alih-alih mengungkapkan ke publik dan lembaga pemberantasan korupsi. Baru setelah pensiun mereka sering keluar pengakuannya. Itu pun secara rahasia dan terbatas pada lingkungan kecil. Misalnya saja, setiap pengesahan undang-undang atau penetapan anggaran mesti memerlukan tambahan biaya rapat dengan kalangan DPR/ DPRD dengan angka yang tidak kecil dan sumbernya tertutup. Jadi, birokrat yang tadinya masuk jenis “ikan emas” terkondisikan untuk berubah menjadi “ikan lele” yang sanggup bertahan hidup bahkan menikmati (?) air kotor? Ketika terjadi perseteruan antara Gubernur DKI Ahok dan DPRD, lagi-lagi, masalah intinya adalah terjadi permainan anggaran yang tidak logis dan tidak transparan. Ujungnya rakyat yang jadi korban akibat pemerintah tidak bisa bekerja melayani rakyat dengan semestinya. Saya kira kasus serupa terjadi di berbagai pemerintah di daerah-daerah lain. Hanya, itu tidak mengemuka karena tertutup rapat-rapat. Apakah semua birokrat bagaikan ikan lele? Sudah pasti tidak. Tetapi, persentasenya berapa dan berapa jumlah kerugian negara serta rakyat yang ditimbulkan, saya tidak punya jawaban yang akurat. Adalah tugas parpol, di era demokrasi ini, yang mesti tampil ke depan membersihkan lingkungan dirinya agar nanti kader-kader yang duduk di lembaga DPR dan pemerintah tidak masuk kategori ikan lele yang menikmati air keruh dan bau. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 15. 15 Batu Akik Koran SINDO Minggu, 15 Maret 2015 Transkrip rekap pembicaraan Jokowi dengan Prabowo di Istana Bogor yang berasal dari hasil sadapan dan rekaman CCTV bocor ke khalayak luas. Resume selengkapnya CCTV kombinasi hasil penyadapan: 29_01_2015 17:06:28 (sumber_ cctv) Prabowo datang di bawah hujan lebat. Dipayungi oleh pengawal pribadi dan disambut oleh pengawal kepresidenan. 29_01_2015 17:09:05 (sumber_ cctv) Prabowo memasuki salah satu ruangan di Istana Bogor. Jokowi terlihat sudah menunggu. 29_01_2015 17:11:23 (sumber_ cctv) Jokowi mengajak bersalaman dan mempersilakan Prabowo duduk. Mereka berdua duduk berhadapan. 29_01_2015 17:13:41 (sumber_ cctv) Jokowi memberi kode agar semua orang meninggalkan ruangan. Pintu ruangan tertutup. 29_01_2015 17:14:19 (hasil_ penyadapan) J: .......... (tidak jelas) untuk mempersingkat waktu mungkin sebaiknya kita langsung ke pokok masalah saja Pak Prabowo... P: Baik, Pak Presiden. 29_01_2015 17:14:19 (hasil_ penyadapan) J: ... sesuai dengan kesepakatan rahasia yang disampaikan utusan saya, hari ini kita akan membicarakan masalah AS, BG dan BW ...... (tidak jelas) .... Akhir-akhir ini ketiganya sangat menyita perhatian publik. Mohon saran dari Pak Prabowo... P: ... sebagai anak bangsa saya akan berusaha membantu sesuai kemampuan saya Pak Presiden. 29_01_2015 17:15:43 (sumber_ cctv) Masing-masing nampak mengeluarkan kotak seukuran buku agenda. 29_01_2015 17:16:11 (sumber_ cctv & hasil_penyadapan). Kotak itu dibuka dan ditaruh di atas meja. Mereka segera membungkuk ke arah kotak tersebut dan memperhatikan dengan saksama barang-barang yang ada di dalamnya.
  • 16. 16 J: ... semua fakta tentang AS, BG dan BW berada di dalam kotak ini Pak Prabowo. Bagaimana menurut pendapat Bapak? 29_01_2015 17:18:47 (sumber_ cctv & hasil_penyadapan). Prabowo mengambil salah satu benda dari dalam kotak milik Jokowi, mengusap-usap dan menerawangnya dengan teliti. P: Untuk masalah AS (akik safir) ini saya bisa memastikan bahwa ini asli Pak. Cuma, tampaknya bukan dari kualitas grade A. Sedangkan untuk BG (batu giok) ini umum di pasaran. Warnanya agak kurang cemerlang. Secara bentuk dan warna saya lebih tertarik pada yang BW (bacan weda). J: Wah mungkin saya kurang telaten menggosoknya apa ya Pak? P: Memangnya berapa sering dan berapa lama Bapak menggosoknya? J: Ya paling-paling menjelang tidur. 10-15 menit mungkin. P: Ya jelas hasilnya kurang baik lah. Minimal sehari dua kali masing-masing sejam. Jadi kilapnya keluar. J: Pak Prabowo enak. Bisa gosok batu sepuasnya. Saya baru memegang kotak akiknya saja istri saya sudah mrengut. P: Ha .. ha .. haa ... J: Eh ... ngomong-ngomong tak terasa sudah 30 menit lebih nih Pak. Kita sudah ditunggu wartawan untuk press conference. Kira-kira apa yang akan kita sampaikan ya Pak? P: Kita pura-pura habis ngomongin pencak silat saja, Pak. Jangan sampai pembicaraan kita masalah AS, BG dan BW ini bocor ke publik ... J: Ha .. ha .. haa ... Bocoooorr. Pak Prabowo belum berubah. P: Ha .. ha .. haa ... J: Lain kali kita ketemu lagi ya Pak. Kita omongin masalah burung dan kuda. P: Siap. Saya tunggu undangan berikutnya. J: Atau kalau ada waktu senggang sekali-kali kita main kartu juga boleh Pak Prabowo. P: Ha .. ha .. haa ... Kartuuuuu ... Pak Jokowi juga belum berubah. Move on dong Pak ... J: Ha .. ha .. haa ... Pak Prabowo juga jangan nyinyir gitu dong ... Kemudian mereka berdua keluar untuk bertemu wartawan sambil masih terus tertawa terbahak-bahak bersama ... *** Sudah barang tentu bocoran pembicaraan di atas cuma lelucon. Tetapi kemasan lelucon itu sangat relevan dengan kondisi yang mencekam saat itu, karena beredar di media sosial hanya sehari setelah pertemuan yang fenomenal dari kedua tokoh itu. Saya pun deg-degan waktu membacanya untuk yang pertama kali. Tetapi yang paling menarik adalah mengapa batu akik yang dijadikan topik pelintiran pembicaraan rahasia itu? Nyatanya tidak lama sesudah itu ditemukan batu giok raksasa di Aceh, yang menambah parahnya demam batu akik di masyarakat kita. Saya sendiri bukan pakar batu akik. Saya tidak pernah memakai cincin apa pun, sampai ketika ayah saya wafat, ibu saya menitipkan cincin yang selalu dipakai ayah saya kepada
  • 17. 17 saya. Maka saya pakailah cincin itu yang katanya bermata batu kecubung asihan. Konon batu ini bisa menarik hati lawan jenis yang ingin menjadi kekasih. Nyatanya, ayah saya tidak pernah punya kekasih selain ibu saya dan saya tidak pernah punya kekasih lain dari istri saya (kalau benar menarik kekasih, batu ini malah bikin susah). Tetapi jangan salah, buat orang yang berhobi batu cincin, setiap batu punya makna dan kesaktian tertentu. Mereka punya komunitas tertentu untuk saling berbagi dan saling menimba ilmu. Di mata mereka, batu-batu tertentu bisa mahal sekali harganya, melebihi mutiara, bahkan intan dan berlian. Mutiara, intan, dan berlian tinggi harganya karena fungsinya untuk mempercantik wanita, sedangkan batu akik tinggi harganya karena ada nilai spiritual di dalamnya. Saya tidak tahu apakah demam batu akik yang makin marak sekarang ini akibat bocornya pembicaraan rahasia Prabowo-Jokowi atau karena ditemukannya batu giok di Aceh. Yang jelas momentum ini dimanfaatkan betul oleh para pedagang batu akik, yang memanfaatkan media sosial secara maksimal dan menyedot perhatian pemerhati atau pemercaya atau fanatik batu akik, sehingga indeks perdagangan batu akik meningkat. Tetapi percayalah, fenomena ini tidak akan lama karena media sosial juga akan digunakan untuk mengangkat isu-isu lain yang tidak kalah hebohnya dan menggeser kehebohan isu batu akik. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 18. 18 Ada Apa dengan Begal? Koran SINDO Senin, 16 Maret 2015 Begal merupakan kejahatan yang terkenal pada masa masyarakat kita jauh sebelum mulai menggunakan alat transportasi kendaraan seperti saat ini. Operasinya dilakukan pada orang atau sekelompok orang yang sedang melakukan perjalanan dengan tujuan merebut harta bendanya dengan tindakan ancaman, kekerasan, bahkan pembunuhan. Para begal memiliki postur tubuh yang menyeramkan, badannya tinggi besar, rambutnya gimbal tidak pernah keramas, brewokan, bicaranya keras dan garang, senjatanya golok dengan ukuran yang panjang. Mereka tinggal di hutan-hutan, mengintip mangsa di tempat yang sepi, kemudian menyergapnya sambil berteriak, ”Rek ka mana sia? (mau ke mana kamu?)”. Setelah itu, sang begal melucuti seluruh barang yang dibawa oleh orang yang melewati daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Para begal hidup berkelompok, terorganisasi, di bawah kendali sang pemimpin yang memiliki ilmu kebal. Raja begal tak mempan dibacok, tak mempan ditembak. Cuma satu kelemahannya, raja begal rata-rata takut sama istrinya. Suara yang menggelegar, muka yang garang, kumis yang tebal, dan jambang yang gimbal, ketika mendengar suara istrinya lirih memanggil, akan membuat sang begal bergegas berlari menghampiri sambil menyahut, ”Aya naon, neng? (Ada apa, neng?)” dengan wajah penuh ketakutan. Itulah ciri-ciri begal, puluhan dan ratusan tahun yang lalu. Jiwa kepemimpinan seorang begal sangatlah kuat. Dia mampu mengorganisasi seluruh anggotanya dengan baik. Kebersamaan dalam suka dan duka adalah kekuatan yang menjadi spirit seluruh gerak dan langkahnya, sehingga para begal sulit ditaklukkan. Rasa hormat, patuh, dan perlindungan kepada pemimpin adalah ideologi utama para begal. Mereka sanggup mengorbankan jiwa dan raganya untuk keselamatan pemimpinnya. Mereka sangat taat dan patuh terhadap apa yang menjadi keputusan pemimpinnya tanpa harus bertanya dan protes terhadap apa yang didapat dari setiap operasi pembegalan yang dilakukan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem tata kelola elite politik kita, di mana kesetiaan dan kepatuhan hanya didasarkan pada ikatan kepentingan. Selama ikatan kepentingan itu menguntungkan, baik bagi dirinya, keluarganya atau kelompoknya, maka seluruh kepatuhan itu akan terdengar di mana-mana. Ada dalam statement, dalam spanduk, dalam artikel, dan
  • 19. 19 berbagai ungkapan lainnya yang harus didengar oleh yang dipatuhinya. Kepatuhan dibuat dalam bentuk konferensi pers, harus terlihat oleh kamera, dan setelah itu berbisik pada temannya, ”Bos saya membaca dan melihat nggak ya, omongan saya mendukungnya.” Namun, semua itu akan pupus karena alasan klasik, seperti pembagian rezeki yang tidak merata, jabatan yang dijanjikan tidak terlaksana, atau hal-hal lain yang membuatnya kecewa. Dalam waktu cepat dia berputar haluan seolah seluruh kata dan ungkapan yang pernah diucapkan hari kemarin tidak pernah ada. Ujung-ujungnya dia berkata, ”Namanya juga politik... Setiap saat berubah,” seolah kalau untuk urusan politik tak ada lagi hati nurani. Lantas, suara lantang yang sering nyaring terdengar, riuh tepuk pembelaan terhadap rakyat, sebenarnya atas dasar apa selama ini diungkapkan? Kalau untuk urusan ini, jawabannya hanya Allah yang tahu. *** Saat ini kita disibukkan kembali pada isu begal. Hal tersebut dipicu oleh berbagai berita di media sosial yang sangat serempak terjadi di berbagai tempat. Isu begal sudah sampai pada tingkat darurat di media sosial, tetapi tentunya darurat begal tidak menimbulkan ketegangan para politisi di negeri ini. Beda dengan darurat undang-undang pilkada, yang dalam waktu cepat dikeluarkan perppu sebagai ekspresi kepekaan seorang pemimpin terhadap aspirasi masyarakatnya yang menimbulkan kegentingan pada media sosial. Darurat begal sampai saat ini tidak menimbulkan instruksi yang bersifat siaga, baik Siaga III, Siaga II maupun Siaga I. Hubungan antara isu begal dengan kesiagaan di lapangan seperti kata tak bersambut. Yang terjadi hanyalah kegelisahan sebagian masyarakat kita serta berbagai kejahatan yang biasa dilakukan di jalanan seperti pencopetan, penjambretan, kini berubah semuanya dianggap begal. Entah karena emosi, entah karena tidak sabar melihat situasi, entahlah, seluruh kegelisahan itu berdampak pada spirit penghakiman pelaku kejahatan yang dianggap begal menjadi upaya penghakiman yang berujung pada pemukulan, penganiayaan, bahkan sampai pembakaran terhadap pelaku kejahatan. Mang Udin, tetangga di kampung saya, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang cerita begal nampak bingung melihat keadaan ini. Kata Mang Udin, ”Kenapa begalnya bisa kompak sekali? Melakukan pembegalan bersamaan di berbagai tempat.” “Kalau membegalnya bareng, berarti begal ini terorganisasi. Kalau terorganisasi, berarti ada pemimpin kelompoknya dan ada pola pelatihan yang dilakukan selama ini di tempat yang tidak diketahui orang, sehingga setelah paguron begal (perguruan begal) berhasil mendidik murid-muridnya, maka para begal turun gunung secara bersama-sama untuk melakukan aksinya.”
  • 20. 20 “Sekarang kan zaman serbadigital, percakapan orang bisa disadap, percakapan presiden saja bisa disadap oleh negara tetangga. Apa mungkin, para begal membuat pelatihan tidak menggunakan jalur komunikasi dan apa mungkin di Indonesia ada tempat yang tidak terlacak dan terdeteksi oleh jaringan keamanan yang kita miliki?” “Kalau yang dibegalnya di jalan raya, dan yang dibegalnya motor, berarti latihannya tidak mungkin di hutan. Pasti latihannya di pinggir jalan, di tempat-tempat yang terbuka dan terlihat oleh semua orang. Sampai di sini rasanya begal ini sulit dimengerti, kok pandai sekali bersembunyi? Sampai tidak ada orang yang mengetahui tempatnya.” “Atau, para begal sekarang punya aji halimunan, walaupun dia berada di tempat ramai, berlatih dan berorganisasi di tempat terbuka, dia tidak bisa dilihat oleh orang lain? Nah, kalau ini masuk akal.” Tapi, Mang Udin tidak sampai di situ dia bicara. Sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala, Mang Udin melanjutkan pembicaraannya, ”Setahu amang, aji halimunan itu adanya dalam cerita pewayangan, baik wayang golek, wayang kulit, wayang orang atau wayang apa saja. Kalau bicara soal wayang, maka seluruh aji halimunan itu pasti digerakkan oleh dalang. Yang namanya wayang, sakti atau tidaknya kan tergantung dalang. Masa sih urusan cerita begal yang saat ini menghebohkan jagat media sosial di Indonesia merupakan cerita yang sedang dilakonkan oleh seorang dalang.” *** Ma Icih, istri setia Mang Udin, berbisik sambil bergumam, ”Sudahlah, jangan suka ngomong yang bersifat analisis, nanti menimbulkan banyak praduga yang berkembang di masyarakat.” “Yang jelas, Mang Udin nggak usah mikirin begal, sebab kan Mang Udin mah nggak punya motor, komo ari mobil mah (apalagi mobil)... nu aya ukur sapedah butut (yang ada cuma sepeda jelek). Moal enya sapedah arek dibegal mah (nggak mungkin sepeda dibegal). Yang harus dipikirkan oleh Mang Udin mah, sekarang harga beras mahal karena berasnya langka dan gas melon juga sulit didapat.“ “Nah, ini pasti ulahnya begal yang harus segera dibuatkan perppu dan Siaga I untuk perang melawan begal béas jeung begal gas melon (begal beras dan begal gas melon), karena begal beras dan begal gas melon telah membuat isi kutang Ma Icih dibegal oleh cucunya.” “Gajian dari pabrik anak Ma Icih sudah tidak cukup lagi untuk ongkos cucu ke sekolah, karena habis uangnya untuk tambahan beli beras dan tambahan beli gas. Masa sih, negara yang terstruktur, memiliki komando yang jelas, organisasi yang mapan, sistem anggaran yang memadai, dan kelengkapan senjata yang cukup modern, bisa kalah oleh sistem yang dibuat oleh para begal beras dan begal gas melon.” Dalam lirih, si Ma Icih menutup pembicaraan, ”Palebah dieu mah, nyanggakeun sadaya-
  • 21. 21 daya. Ema mah geus pusing Mang Udin jamedud wae, sabab ambek ningali kalakuan incu ema, unggal poe kokorobetan wae kanu kutang, menta ongkos jang ka sakola...” (Sampai di sini, emak pasrah. Emak sudah pusing karena Mang Udin cemberut saja, sebab melihat kelakuan cucu emak yang setiap hari merogoh baju dalam emak, minta ongkos untuk ke sekolah).” DEDI MULYADI Bupati Purwakarta
  • 22. 22 Krisis Mental di Negeri Para Begal Koran SINDO 17 Maret 2015 Kata ”begal” tampak sangat populer dalam beberapa bulan belakangan ini. Entah dari mana munculnya tiba-tiba para begal merajalela hampir di seluruh penjuru kota dan bahkan hingga ke penjuru negeri. Para begal ini kebanyakan mengincar pengendara sepeda motor sebagai targetnya, mereka beroperasi siang dan malam hari. Mereka tidak segan-segan melukai, bahkan membunuh korbannya dalam menjalankan aksinya. Tindakan mereka yang sudah di luar batas telah memancing amarah masyarakat karena minimnya aparat atau terlambatnya kedatangan aparat pada suatu kejadian menjadikan para begal meregang nyawa di tangan masyarakat yang menangkapnya, ada yang dibakar hidup-hidup, ada pula yang dikeroyok hingga tewas. Itulah hukum sosial yang harus diterima para begal yang memang sudah sangat keterlaluan itu. Fakta yang cukup mengejutkan adalah sebagian dari begal atau sering diplesetkan sebagai ‘berandalan galau’ ini ternyata masih berusia belasan tahun dan masih dalam usia sekolah, sungguh memprihatinkan. Fenomena begal ini sebenarnya merupakan hal yang sangat lumrah terjadi karena telah lama para pemimpin negeri ini juga mempertontonkan tindakan dan mentalitas begal. Coba saja lihat para koruptor itu, bukankah tindakan mereka yang merampas uang negara bisa dikatakan sebagai begal? Mereka mempermainkan uang negara melalui manipulasi anggaran dan proyek. Jadi sangat tepat kalau mereka disebut sebagai begal anggaran dan begal proyek. Di aparat penegak hukum banyak sekali begal kasus, ada begal keamanan, begal perizinan, dan belakangan muncul juga begal politik atau salah satu sahabat saya menyebutnya sebagai begal demokrasi. Ini khususnya terkait dengan dua kasus terakhir yang menimpa partai berlambang Kakbah dan beringin. Para tokoh di dua partai tersebut terlihat saling membegal antara satu dan lainnya demi membela kepentingan kelompoknya tanpa memperhatikan dan bahkan tidak malu dengan konstituen dan pendukungnya. Jika pemimpin suatu partai saja mempunyai mentalitas begal, siapa pula rakyat yang mau memilihnya? Mungkin para begal juga yang akan menjadi pendukungnya. Seperti tidak mau ketinggalan, begal-membegal pun terjadi antarlembaga dan aparat pemerintah, ada saling begal antara kepolisian dan KPK, juga antara DPRD dan pemerintah
  • 23. 23 daerah. Yang muda sudah tidak punya rasa hormat kepada yang tua, yang tua juga sudah tidak bisa bersikap bijaksana, dan yang berpendidikan sudah tidak lagi menunjukkan intelektualitasnya. Inilah yang disebut sebagai kelompok begal kerah putih karena penampilan mereka lebih keren dan intelek dibanding begal motor. Jika begal jalanan dikejar-kejar aparat keamanan untuk dihukum dan ditindak bahkan sebagian tewas dihakimi massa, begal kerah putih pun dikejar, namun tidak untuk ditindak dan dihukum, melainkan untuk diajak bernegosiasi sebelum kasusnya dibuka untuk diproses. Maklum para begal kerah putih ini bukan membegal satu atau dua motor yang harganya jutaan rupiah, tetapi mereka membegal keuangan negara yang nilainya bisa puluhan hingga ratusan miliar rupiah sehingga cukup menggiurkan bagi para begal kasus yang ada di lembaga penegak hukum dan keamanan untuk mendapatkan bagian dari hasil begal mereka. Maka itu, bertemulah para begal untuk berunding dan bernegosiasi agar suatu kasus dapat diatur dan hasilnya bisa meringankan. Sungguh memprihatinkan hidup di negara begal, bahkan kita pun secara sadar atau tidak harus mengikuti aturan main para begal. Yang menentang arus dianggap gila dan tidak sopan karena begal di negeri para begal mempunyai sikap yang ramah dan beretika pada penampakan luarnya dan mereka dicintai sebagian rakyatnya. Mereka dengan mudah memutarbalikkan fakta dengan hukum dan perundang-undangan yang mereka kuasai untuk kepentingan mereka sendiri. Dalam istilah asing ada istilah ”children see, children do”, artinya anak-anak akan selalu melihat kemudian mencontoh dan menirukan segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya. Kalau dalam peribahasa Indonesia, air hujan jatuhnya di pelimbahan juga, artinya tidak akan ke mana-mana, bagaimana orang tua itulah anaknya, bagaimana pemimpinnya akan seperti itulah rakyat dan pengikutnya. Sangat sederhana, apalagi hal seperti itu sudah berlangsung lama, berulang hingga menjadi suatu kebiasaan dan bahkan menjadi budaya. Jadi, tidaklah aneh jika para pemimpin sudah tidak punya rasa malu untuk korupsi, saling serang dan saling begal, serta semuanya ditonton secara terbuka oleh rakyat melalui berbagai media hingga menjadi contoh dan pembenaran untuk dilakukan oleh mereka di tingkat akar rumput. Mental begal pun akan berkembang secara masif menjalar ke seluruh pelosok negeri. Dengan begitu, muncullah begal-begal motor yang marak belakangan ini, budaya perkelahian pelajar, mahasiswa, antarkampung, preman pasar, dan sebagainya. Semua cerminan dari tindakan dan perilaku dari pemimpin itu sendiri. Inilah krisis mental di negeri begal. Lalu, siapa yang bertanggung jawab untuk menghentikan ini semua dan bagaimana caranya? Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi sebenarnya sangat menjanjikan. Hanya, apakah mental dapat dengan cepat diubah atau direvolusi? Seperti apa bentuk nyata dari
  • 24. 24 program revolusi mental itu? Sampai saat ini masih belum jelas, demikian pula dengan lembaga mana yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Mentalitas secara umum didefinisikan sebagai suatu cara berpikir yang menjadi landasan untuk bertindak atau bisa disebut karakter (way of thinking, mental inclination or character) . Schein seorang ahli budaya organisasi dan kepemimpinan menyebutkan ada tiga tingkatan budaya, dimulai dari tingkat yang paling dasar adalah 1) underlying assumption; 2) beliefs & values; dan 3) artefact. Underlying assumption adalah merupakan sumber dari segala sistem nilai yang dianggap benar dan menjadi landasan dari setiap tindakan yang kemudian keluar dalam bentuk karakter (artefact). Karakter sendiri merupakan bagian dari budaya yang terbentuk melalui proses yang panjang, dimulai dari kebiasaan kemudian menjadi adat istiadat dan budaya yang akhirnya menjadi sistem nilai yang melekat pada satu kelompok masyarakat atau bangsa. Sistem nilai inilah yang kemudian membentuk karakter yang mencerminkan mentalitas dari bangsa tersebut. Menjawab pertanyaan di atas, untuk mengubah mental secara revolusioner harus dilakukan melalui langkah yang ekstrem pula. Pertama, melalui penegakan hukum yang tegas dan keras, tidak pandang bulu, dan menyeluruh atas segala bentuk pelanggaran di masyarakat. Kedua, semua lembaga penegakan hukum harus dibersihkan dan diperkuat dengan cara memilih pimpinan yang profesional dan berintegritas tinggi di semua lembaga tersebut (pengadilan, kejaksaan, kepolisian, KPK, MK, dan MA). Ketiga, untuk semua pemimpin yang ada di negeri ini, coba renungkan dan laksanakan kembali falsafah Jawa tentang kepemimpinan yang menjadi warisan luhur budaya bangsa ini yaitu ing ngarso sung tulodo-ing madyo mangun karso-tut wuri handayani karena sebagai pemimpin adalah yang menjadi sumber inspirasi dan panutan bagi rakyat yang Anda pimpin, jadi tunjukanlah bahwa Anda memang seorang pemimpin yang layak untuk dijadikan teladan. Keempat, Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan harus bekerja sama membuat program membangun mental dan karakter bangsa untuk kembali kepada nilai-nilai Pancasila yang religius sebagai kepribadian bangsa. Kelima, revolusi mental harus dimulai dari atas dan bukan dari bawah. Keenam, Presiden harus memimpin langsung program tersebut. Ketujuh, lakukan sekarang juga. Semoga negeri ini segera terbebas dari belenggu para begal. HANDI SAPTA MUKTI SSI MM Praktisi Manajemen; Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
  • 25. 25 Persatuan yang Belum Terwujud Koran SINDO 17 Maret 2015 Tak diragukan bahwa zaman berpengaruh pada manusia. Tiap zaman bahkan memiliki ”semangat”, dan ”logika”, yang bukan hanya berpengaruh, melainkan juga ”membentuk” wawasan, sikap, dan tingkah laku para warga masyarakat yang hidup di zaman itu. Pada zaman Orde Lama dulu, kita berbicara mengenai revolusi yang belum selesai. Bung Karno sering menyebut ”revolusi multikompleks”, atau ”pancamuka” untuk menggambarkan kompleksitas dan kedalaman revolusi yang sedang kita tempuh. Pada zaman itu hidup tanpa revolusi bukan hidup. Bagi kita, hidup itu revolusi. Bung Karno juga bicara tentang ”merombak” dan ”menjebol”. Itu inti sebuah revolusi. Jauh sebelum maupun lama sesudah merdeka, kita tetap berevolusi. Ini agenda seluruh bangsa. Karena itu, persatuan bangsa diprioritaskan. Revolusi tidak akan terwujud kalau bangsa kita tercerai berai, tidak utuh, tidak menyatu. Tekat dan semangat untuk bersatu harus bulat. Makna persatuan itu sendiri— yaitu persatuan bangsa—juga sebuah agenda kerja yang belum selesai. Bung Karno bekerja keras, lahir batin, untuk persatuan bangsa. Beliau disebut pemersatu bangsa. Persatuan itu sudah terbentuk. Kesadaran kita, semua warga negara, bahwa kita bangsa Indonesia, membahagiakan. Tapi wujud kesadaran itu masih bisa digoyahkan. Dalam arti tertentu, seperti revolusi yang belum selesai tadi, persatuan bangsa pun bisa disebut belum selesai. Persatuan kita belum teruji dengan sebaik-baiknya di dalam sejarah kita sendiri. Pada zaman Orde Baru, dua agenda besar yang belum selesai itu diabaikan secara mutlak karena alasan politik yang tak pernah dikemukakan secara jelas. Diam-diam Pak Harto berniat ”menghabisi” Bung Karno. Pengaruh besar politiknya yang luas dan mendasar dihabisi. Idiom-idiom politik Bung Karno dihabisi. Gaya pemerintahan populis Bung Karno dihapus bersih. Kalau pengaruh Bung Karno masih terasa, Pak Harto tak akan bisa berbuat apa pun. Beliau akan ”hilang” ditelan kewibawaan Bung Karno. Tapi, Pak Harto bukan tokoh biasa. Dilenyapkannya pengaruh politik Bung Karno membuat Pak Harto mampu membangun suatu logika politik tersendiri. Beliau berbicara mengenai pembangunan. Pidato pagi pembangun. Pidato siang pembangunan. Pada malam hari masih bicara pembangunan.
  • 26. 26 Sepanjang zaman pemerintahannya hanya ada pembangunan dan pembangunan semata. Saat itu terasa betul bahwa kata pembangunan memang memiliki kekuatan sihir dan daya pesona yang besar. Pak Harto menjadi pusat segalanya. Loyalitas kepada beliau menjadi ukuran loyalitas pada negara. Beliau galak pada siapa pun yang memiliki pemikiran lain. Itu tanda tidak loyal. Tapi, kepada para penjilat, dan siapa saja yang bersedia menjadi ”bayangannya”, Pak Harto murah hati. Ibaratnya, orang minta sebuah gunung dipindahkan untuk kesenangan pribadinya, Pak Harto siap memenuhinya dengan sikap welas asih seorang raja kepada hamba sahayanya yang setia. Pelan-pelan, setelah apa yang merupakan keagungan pribadi ini terpenuhi, Pak Harto bicara pula tentang persatuan dan kesatuan. Saat itu tiap makhluk yang bisa berbicara, dalam kesempatan apa pun, pasti bicara pula persatuan dan kesatuan tadi. ABRI paling fasih mengucapkan kata itu. Pada masa-masa sesudah reformasi—di zaman kita ”merdeka”, masa keterbukaan yang seterbuka-terbukanya— kalangan elite di berbagai daerah, sebentar-sebentar meneriakkan ancaman untuk memisahkan diri, agar daerahnya bisa berdiri sebagai negara sendiri. Di sana kelihatan dua jenis sikap politik yang menandakan watak anti-demokrasi. Pertama, ada sikap ”tengil” yang begitu arogan, dan merasa pada tempatnya menggunakan bahasa ancaman di dalam dialog kebangsaan untuk menata kehidupan lebih adil. Kedua, sikap kekanak-kanakan yang mudah merajuk, mudah ”menarik diri”, tapi sebetulnya agresif, yang bertentangan dengan jiwa demokrasi. Bagi kita, esensinya jelas: ”tengil” atau tidak, anti-demokrasi atau tidak, semua gejala tingkah laku politik tadi menunjukkan bahwa agenda nasional kita mengenai persatuan dan kesatuan bangsa itu sebetulnya belum ”solid”, belum kukuh, dan masih mudah dimainkan untuk digoyang-goyang. Dengan kata lain, ini juga agenda yang belum selesai. Jika pemerintah tidak sensitif, dan kurang memberi perhatian serius terhadap kelompok-kelompok rentan di dalam masyarakat, risikonya akan terasa besar. Mungkin bisa menimbulkan rasa penyesalan kemudian, yang tak lagi berguna. Sampai hari ini, kita memiliki cukup alasan, yang agak melimpah, untuk cemas memikirkan nasib persatuan bangsa yang bisa dianggap belum menentu itu. Sikap dan tingkah laku para politisi yang main ”geng-gengan”, klik-klikan, dan segenap tingkah laku yang menunjukkan gejala mau menang sendiri, mau benar sendiri dan mau enak sendiri, jelas meresahkan. Andaikata mereka tak memiliki agenda merusak persatuan bangsa, setidaknya jelas bahwa tingkah laku politik mereka itu tidak mendukung sama sekali agenda persatuan itu. Ini juga
  • 27. 27 tanda kekanak-kanakan yang sudah bukan masanya. Mereka mengabaikan tanggung jawab politik. Panggung politik nasional, yang bergengsi dan memiliki wibawa besar itu, dijadikan tempat ”main-main” sesuka hati mereka. Belum lagi semangat korup, yang selama ini terbukti dilakukan partai besar yang berkuasa. Kabinet yang bertekat memberantas korupsi malah menyegarkan iklim korupsi. Di dalam kabinet itu hampir semua tokoh pentingnya terlibat korupsi. Betapa mengerikannya. Kecenderungan politik di kalangan politisi untuk membangun hubungan berdasarkan perkawinan di antara anak-anak mereka dan mereka sendiri bangga dengan hubungan ”besan dengan besanan” di dalam suatu partai politik, atau antarpartai, bagi kita hanya kesan negatif yang terasa. Orang tua dan menantu, besan dengan besan, bisa menggunakan posisi politik partai mereka untuk bekerja sama dan saling melindungi di dalam kejahatan politik. Juga di dalam korupsi. Besan, menantu, anak, istri, keponakan, dan anggota keluarga terdekat lainnya, yang korup, akan dilindungi oleh pihak keluarga yang masih berkuasa. Siapa pun yang korup bakal dilindungi dengan sepenuh hati oleh anggota keluarga lain yang merasa masih jaya. Apa ini semua hubungannya dengan negara, dengan politik dan persatuan bangsa? Strategi politik untuk besanan antarsesama pejabat tinggi atau antarkader dan elite partai ternyata mengandung polusi politik yang kotor sekali. Ini juga unsur yang merusak cita-cita persatuan bangsa. Kita belum pernah melihat suatu aliansi politik yang sungguh-sungguh dibangun untuk suatu persatuan yang kukuh dan sejati. Mungkinkah itu tidak akan pernah ada? Persatuan bangsa yang hakiki belum terbentuk. MOHAMAD SOBARY Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
  • 28. 28 Terima Kasih Guru Koran SINDO 20 Maret 2015 Ketika mengenang pengalaman belajar sejak tingkat SD sampai SLTA, yang muncul adalah sosok bapak dan ibu guru yang mengesankan dan menorehkan kenangan manis di benak saya, bukannya kurikulum dan mata pelajarannya. Jadi, sosok guru jauh lebih berpengaruh ketimbang mata pelajaran, bahkan fasilitas sekolahnya. Dalam berbagai workshop pendidikan saya sering bertanya kepada para peserta: sebutkan nama bapak atau ibu guru yang paling berkesan dan memengaruhi perjalanan hidup Anda. Di situ terlihat, ada peserta yang dengan lancar menyebut nama-nama guru yang mengesankan dan memengaruhi kepribadiannya yang masih dikenang sampai sekarang. Namun ada pula peserta yang sulit dan ragu-ragu mengingat guru-guru yang meninggalkan kesan mendalam. Sewaktu di pesantren saya pernah membaca kalimat: Atthoriqotu ahammu minal maddah. Wal muallim ahammu min atthoriqoh. Bahwa cara dan seni mengajar itu lebih penting dari materi pelajarannya. Namun guru lebih penting dari metode mengajar. Artinya, sebaik apa pun kurikulum, yang menentukan keberhasilan pendidikan itu kualitas gurunya. Di tangan guru yang baik dan andal, pelajaran apa pun jadi menarik dan efektif memengaruhi anak didik. Bahkan tempat belajar tidak mesti yang mewah. Guru yang menguasai bahan ajar dan kreatif bisa menggunakan lingkungannya sebagai bahan dan medium pembelajaran. Saya punya pengalaman sewaktu belajar di pesantren dengan fasilitas yang sangat sederhana dengan menggunakan ruangan di serambi masjid lalu dibuat sekat pembatas. Di situ ada papan tulis, meja, dan bangku belajar. Tapi guru-gurunya sangat serius dan disiplin mengajar. Kami bermain voli, tenis meja, dan sepak bola di halaman masjid. Masjid dan sekitarnya menjadi pusat bagi para santri membangun learning community. Almarhum Kiai Hamam Jafar mengatakan, halaman masjid itu belum Islam sebelum dibuat bersih, asri, dan dimanfaatkan dengan baik. Batu dan pasir di sungai dekat pesantren juga diislamkan dengan memanfaatkannya untuk membuat gedung sekolah secara gotong-royong antara santri dan penduduk desa. Kiai Hamam mengajarkan konsep dan ekspresi keberislaman dengan menanamkan rasa cinta pada ilmu dan peduli lingkungan alam maupun sosial. Ketika ujian kenaikan kelas tak perlu diawasi, padahal soal ujian cukup berat. Berbohong waktu ujian itu mengotori jiwa, merendahkan martabat diri dan melakukan penipuan sosial.
  • 29. 29 Yang tidak siap ikut ujian dengan jujur disarankan tidak usah ikut ujian. Ujian itu untuk naik jenjang dan kalau dilakukan dengan curang sama saja malah menurunkan kualitas dan harga dirinya. Jadi, ketika saya belajar, yang lebih terasa itu sentuhan jiwa. Jiwanya yang diisi, baru kemudian informasi keilmuan. Ini hanya bisa dilakukan oleh guru-guru yang kreatif, kaya dengan metode dan memiliki karakter serta mencintai profesinya. Guru-guru atau pendidik seperti ini yang mestinya dibentuk dan dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Belajar itu tidak sekadar menghimpun informasi keilmuan untuk dihafal sebagai amunisi menjawab ulangan/ujian. Idealnya juga mengetahui bagaimana proses awal sebuah dalil kebenaran itu ditemukan dan diformulasikan. Dengan mengetahui proses dan argumentasi rasionalnya, seorang murid didorong untuk membuat formula baru yang bobot kebenarannya sama. Inilah yang disebut mengenalkan dan membentuk sikap ilmiah kepada siswa. Suatu hari sambil kerja bakti membersihkan halaman masjid, Kiai menunjuk sebuah parit kecil dengan airnya yang mengalir deras. Dia mengajari saya tentang hidup dengan sebuah pertanyaan. Coba perhatikan, apa yang akan terjadi jika air itu menggenang, tidak bergerak? Pasti akan mengundang nyamuk, menimbulkan penyakit dan membuat kotor. Pak Kiai sebagai guru kehidupan menyampaikan sebuah pesan yang kemudian menjadi virus yang tak pernah mati dalam diriku, hidup itu harus bergerak mengalir menuju cita-cita. Jangan pernah berhenti belajar dan berkarya karena akan mengundang nyamuk dan penyakit seperti dikatakan dalam Alquran: Faidza faroghta fanshob. Wa ila robbika farghob. Jangan pernah berhenti setelah selesai menunaikan satu tugas dan semua yang kamu lakukan itu serahkan kepada Tuhanmu. Bukan mencari pujian dari manusia. Demikianlah, setelah sekian puluh tahun meninggalkan pesantren, saya masih teringat wajah satu-satu guru yang mengesankan yang pernah mengajar dan telah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Mereka menanamkan virus dan etos belajar sehingga hidup adalah serangkaian pembelajaran baik di ruang kelas maupun di luarnya. Setiap saat terbuka buku kehidupan untuk dibaca, dipelajari, dan diambil pesan dan hikmahnya untuk memperkaya kehidupan itu sendiri. Kita semua menerima warisan deposito moral dan pengetahuan dari orang tua dan pada gilirannya kita juga harus melakukan reinvestasi agar bisa memberikan warisan moral dan ilmu pengetahuan kepada anak-cucu kita. Kita semua adalah murid dan guru kehidupan untuk diri sendiri dan keluarga terdekat. Syukur-syukur jadi guru untuk masyarakat lebih luas lagi. Terima kasih bapak-ibu guru yang telah mengenalkan kepada kita semua dunia yang sedemikian luas dan kompleks. Yang telah membekali agar bisa berdiri dengan tegak, percaya diri, dan berintegritas. Yang mengajarkan dan mengantarkan anak-anak muridnya untuk memasuki kehidupan baru di masa depan yang belum pernah mereka alami.
  • 30. 30 PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 31. 31 Nyepi, Korupsi Kita, dan Zhu Rongji Koran SINDO 21 Maret 2015 Sejak Hari Raya Nyepi ditetapkan sebagai hari libur nasional pada 1984, saudara-saudari kita pemeluk Hindu di negeri ini bisa melaksanakan Catur Bratha Penyepian dengan lebih baik. Catur bratha itu adalah amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan. Amati geni bukan hanya secara nyata tidak menyalakan api (dan aliran listrik) serta segala turunannya seperti menghidupkan komputer, radio, TV, merokok, memasak, membakar sampah, dan sebagainya, tetapi bratha itu lebih luas maknanya. Saat Nyepi akan kentara sekali tingkat mengendalikan diri seseorang. Yang biasanya baru sarapan pukul 10.00 pagi misalnya bagi yang tidak terlatih pada hari Nyepi demikian kelaparan sejak pukul 07.00 pagi, padahal hari itu seharusnya puasa makan dan puasa minum sehari penuh. Ujian berupa meditasi dan introspeksi diri dalam rangka menyongsong Tahun Baru Saka 1937 tersebut berlangsung sehari penuh sejak pagi pukul 06.00 sampai esok harinya pada jam yang sama. Ibarat tutup buku organisasi (perusahaan), selama sehari penuh, umat Hindu tidak melakukan segala bentuk aktivitas sehari-hari (amati karya) dan tidak bepergian (amati lelungan), serta tidak bersenang-senang (amati lelanguan). Pokoknya inti dari catur bratha adalah agar kita tidak mengumbar hawa nafsu. Pesan demikian juga menjadi pesan banyak agama-agama besar di dunia seperti Islam, Kristen, atau Buddha. Salah satu hawa nafsu besar yang bersifat kolektif sekaligus destruktif adalah korupsi. Kita sudah tahu, korupsi memang menjadi masalah paling pelik dan paling besar di negeri yang sangat majemuk ini. Hampir semua orang sepakat bahwa salah satu kendala terbesar kita untuk jadi bangsa besar adalah masih merajalelanya korupsi. Harapan publik untuk pemberantasan korupsi memang tertuju kepada orang nomor satu di negeri ini. Ketika terpilih, salah majalah TIME memberi judul “A New Hope“ (Harapan Baru), dengan gambar sosok presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2014-2019 (edisi 27/10/2014). Kini perlahan tapi pasti, harapan itu memudar. Presiden kita sungguh telah mengecewakan harapan sebagian orang. Masa depan pemberantasan korupsi justru tengah berada pada titik paling krusial. Buktinya dalam kondisi tengah dihancurkan, Presiden dinilai tidak melakukan suatu tindakan
  • 32. 32 signifikan guna melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK itu anak kandung reformasi yang tujuan pendiriannya untuk memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa, mengingat Kejaksaan Agung atau Polri terlihat tidak mampu lagi menangani korupsi yang marak di seantero negeri. Seperti diketahui, KPK berdiri pada 29 Desember 2003 pada era Presiden Megawati dengan tujuan melindungi kepentingan bangsa agar tidak terus digerogoti para koruptor. Sepanjang perjalanan KPK sejak 2003 sudah banyak uang negara yang diselamatkan. Tercatat sejak 2003 sampai April 2014 uang negara yang diselamatkan sebesar Rp153 triliun. KPK juga sudah memenjarakan banyak koruptor yang semula berbaju menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan puluhan koruptor bergelar profesor dan doktor. Ironis, pada era Presiden yang didukung PDIP dengan Ketua Umum Megawati, KPK kini justru mati suri dan hendak dibinasakan. Presiden dan wapres juga sudah mengagendakan Nawacita atau sembilan agenda prioritas pemerintahan. Dalam Nawacita, pada poin nomor keempat, jelas tertulis “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.” Tapi, hari-hari ini publik justru tengah ramai membicarakan. Kini para koruptor benar-benar diliputi euforia dan tengah berpesta pora, termasuk yang di daerah. Berbagai praktik korupsi di daerah yang sebenarnya mulai dibidik KPK, seperti terlihat dari kasus Fuad Amin, kini dijamin mandek lagi dan membuat para koruptornya bisa menikmati kesejahteraan setelah pensiun. Di berbagai daerah, selama ini sudah cukup banyak kasus korupsi menguap dan dilupakan. Presiden boleh berkoar tetap optimistis dalam pemberantasan korupsi. Tapi, pernyataan Presiden tersebut hanya membuat geram rakyat, khususnya mereka yang “concern“ dengan masa depan pemberantasan korupsi. Rakyat juga makin geram karena Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly akan melonggarkan ketentuan pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi dengan alasan pertimbangan HAM. Banyak pihak mencurigai, keinginannya mengubah, bahkan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 mengenai Pengetatan Pemberian Remisi kepada Koruptor, Terpidana Kasus Narkoba, dan Terorisme tersebut menjadi alasan mengobral remisi untuk koruptor. Seiring Nyepi, semoga Presiden mau menyepi sekaligus introspeksi. Dalam momentum Nyepi, mari kita belajar dari Cina bagaimana memberantas korupsi. Sejak berdiri pada 1 Oktober 1949, Cina pernah bermasalah dengan korupsi. Namun, sejak 1978, ketika Deng Xiaoping mencanangkan reformasi ekonomi dan keterbukaan Cina (gaige kaifang), korupsi dinyatakan resmi sebagai musuh negara dan masyarakat.
  • 33. 33 Komitmen pemberantasan korupsi di RRC kian terkenal di dunia pada era Perdana Menteri Zhu Rongji (1998-2002). Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu dengan lantang mengatakan, “Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama”. Zhu tidak main-main. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Cina, dihukum mati karena menerima suap USD5 juta. Selama era Zhu, 4.000 orang dihukum mati, termasuk koruptor. Pada era Zhu, birokrasi yang gemuk dirampingkan. Kepastian hukum dijamin. Kebijakan ini mendorong iklim investasi yang mampu menghimpun dana asing senilai USD50 miliar setiap tahun. Menurut guru besar Universitas Peking, Prof Kong Yuanzhi, kemajuan Cina tak bisa lepas dari kontribusi Zhu dalam memberantas korupsi. Perang terhadap korupsi pada era Zhu diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Uang negara, yang antara lain dihasilkan dari pajak dan semula dikorupsi, kini bisa dimaksimalkan untuk memberikan pendidikan bagi orang miskin. Bayangkan, andai rekening gendut para koruptor kita dimanfaatkan untuk memberi beasiswa? Di negeri kita, APBD untuk pendidikan pun tega dikorupsi. Pada era Zhu, banyak sekali anak miskin yang diberi beasiswa untuk kuliah di berbagai negara. Selesai studi, mereka pulang membangun dan memajukan negaranya.Pertumbuhan ekonomi negeri pun mencapai 8-9% per tahun, terbesar di antara negara-negara lain. Memang bukan berarti Cina sudah sangat bersih dari korupsi. Pemerintah Cina juga tidak berpuas diri. Buktinya, kampanye anti-korupsi Partai Komunis Cina pun digencarkan lagi oleh Xi Jinping setelah ia menakhodai partai tersebut pada akhir 2012. Mulai sekolah dasar sudah digencarkan pendidikan anti-korupsi. Anak-anak sudah diajar menyadari bahwa korupsi itu jahat dan koruptor adalah pengkhianat negara sekaligus rakyat. Jangan mimpi menjadi negara besar seperti Cina jika ternyata korupsi masih terus merajalela dan dijadikan kebiasaan. Seiring Nyepi, tiap warga negara dari agama apa pun harus berani melancarkan otokritik sekaligus mematikan hawa nafsu untuk korupsi agar kesejahteraan rakyat dan kejayaan bangsa bisa kita raih. Selamat Tahun Baru Saka 1937. TOM SAPTAATMAJA Teolog
  • 34. 34 Nyepi dan Revolusi Mental Koran SINDO 21 Maret 2015 Bagi umat Hindu Indonesia, Nyepi Tahun Baru Saka 1937 yang jatuh bertepatan dengan Sabtu, 21 Maret 2015, merupakan Nyepi pertama ketika bangsa ini berada di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan panggilan akrabnya Jokowi. Sejak jauh sebelum dan setelah terpilih sebagai presiden RI ketujuh, Jokowi mengembuskan Nawacita yang merupakan sembilan agenda prioritas untuk mewujudkan visi dan misinya sebagai pemimpin salah satu negara besar di dunia. Dalam poin ke-8 Nawacita tersebut, disebutkan ”Melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum pendidikan nasional.” Sesungguhnya revolusi karakter bangsa yang sering disebut sebagai “revolusi mental” dapat ditempuh tidak saja melalui penataan kurikulum pendidikan, tetapi dapat juga dilakukan secara menyeluruh dan masif kepada masyarakat luas tanpa mengenal usia, status, dan lainnya. “Karakter” yang dalam KBBI dipadankan dengan “budi pekerti” akan memengaruhi sikap dan sikap akan membentuk perilaku. Perilaku yang berulang kemudian akan menjadi kebiasaan dan akhirnya kebiasaan menjadi budaya. Budi pekerti yang luhur niscaya akan melahirkan budaya yang adiluhung. Sebaliknya, budi pekerti yang kurang terasah akan melahirkan kebiasaan yang tidak berbudaya. Akhir-akhir ini bangsa kita sedang dilanda oleh degradasi moral yang diikuti dengan semakin menipisnya budi pekerti. Penipisan budi pekerti atau karakter manusia Indonesia tampak dari perilaku dan kebiasaan yang tidak mencerminkan budaya adiluhung yang sejatinya menjadi jiwa bangsa Indonesia selama ini. Perilaku tersebut di antaranya: Pertama, permisif, semua bisa diatur dan boleh-boleh saja asalkan memberi keuntungan kepada seseorang atau sekelompok orang tanpa menghitung dampak negatif yang ditimbulkannya. Termasuk dengan melanggar etika dan peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, hipokrit, munafik (tidak satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan). Tentu kita masih ingat dengan jargon politik ”katakan tidak pada korupsi”, namun pada akhirnya beberapa orang darinya terbukti melakukan tindakan tak terpuji itu. Pengetahuan agama dan ekspresi keagamaan tidak jarang hanya dipakai untuk menutupi kebusukan yang dilakukannya. Ketiga, machiavelis, tujuan menjadi segala-galanya. Apa pun tujuan yang ingin diwujudkan akan dicapai dengan menghalalkan segala cara tanpa menghitung kepentingan pihak lain.
  • 35. 35 Tipu daya, menerabas, sogok, dan suap menjadi hal biasa dalam mencapai tujuan. Keempat, egoistis, mau menang sendiri. Bila orang lain yang menang, berbagai upaya dilakukan untuk menghalangi kemenangan mereka. Orientasinya hanya kepada dirinya sendiri, yang penting aku menang dan senang, peduli amat pada orang lain. Dalam kondisi ini, yang kuat akan selalu mengalahkan yang lemah, termasuk dalam perebutan sumber daya ekonomi. Rasio gini yang semakin meningkat menunjukkan semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat Indonesia. Kelima, materialistis, menempatkan uang dan materi di atas segala-galanya. Sebuah kalimat satiris menggambarkan perilaku tersebut yakni ”keuangan yang maha esa,” demikian sering kita dengar. Sebagian orang, dengan berbagai cara yang tidak terpuji, mengumpulkan uang dan harta sebanyak-banyaknya, entah dengan menilap uang rakyat atau dengan sekadar mencopet di angkutan umum atau menipu rekan bisnis. Gelimang materi dan kekayaan memiliki daya tarik dan daya pikat yang luar biasa. Meski sudah banyak koruptor yang menjalani sebagian hidupnya dipenjara, perilaku korup tetap merebak dan meruyak di segala bidang dan lini. Keenam, hedonistis, hidup berfoya-foya dan hura-hura. ”Hidup hanya sekali, nikmati sepuas- pusanya” begitulah prinsip hidup yang digenggamnya. Tanpa peduli dari mana uang yang digunakan, yang penting happy. Narkotika dan penyalahgunaan obat terlarang menjadi sarana untuk memenuhi gelora jiwa tak terkendali. Minuman keras (termasuk oplosan) menjadi pemuas dahaga, dan seks bebas (cinta satu malam) menjadi teman setia sampai langit ketujuh. Ketujuh, sarkastis, kata-kata kasar sudah menjadi bahasa sehari-hari. Saling umpat tidak hanya terjadi di dalam rumah, tetapi juga di ruang publik bahkan di gedung wakil rakyat yang sangat terhormat. ”Bahasa menunjukkan bangsa” yang menuntut kesantunan berbahasa tidak lagi menjadi kebanggaan. Kedelapan, sadistis, berbuat kejam tidak berperikemanusiaan. Hanya karena persoalan sepele seperti uang parkir yang kurang atau ”diomeli” oleh majikan, nyawa menjadi penggantinya. Hanya karena cinta bertepuk sebelah tangan atau keinginan memiliki telepon tangan (handphone), nyawa tak ada artinya. Melalui media (cetak, elektronik, maupun sosial) hari- hari kita selalu diisi dengan berita pembunuhan (kadang disertai mutilasi) dengan berbagai latar belakang dan motifnya. Kesembilan, fatalistis, semakin banyak yang ”berani mati, tetapi tidak berani hidup.” Hanya karena tidak punya baju sembahyang, hanya karena tidak diberi uang jajan, hanya karena tidak memiliki seragam sekolah, hanya karena cinta ditolak, bunuh diri menjadi solusi satu- satunya. Angka bunuh diri di berbagai daerah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Ini menjadi indikator semakin menurunnya penghargaan terhadap hak hidup, termasuk hidupnya sendiri.
  • 36. 36 Setelah melakukan introspeksi terkait kondisi seperti tersebut di atas, menjadi sebuah kebutuhan sekaligus kewajiban bersama untuk mendukung ”Revolusi Mental” yang digaungkan dan dicanangkan oleh Presiden Jokowi. Tanpanya, dikhawatirkan pada suatu saat bangsa ini akan menjadi bangsa barbar yang kehilangan keadaban. Diperlukan kesadaran bersama bahwa bangsa ini dapat jatuh mencapai titik nadir peradaban apabila tidak ada upaya serius untuk membenahinya. Hendaknya ditumbuhkembangkan kesadaran bahwa sejatinya kita yang dilahirkan sebagai manusia, dibekali dengan Tri Pramana (Tiga Kemampuan Dasar) yaitu budhi (nurani), manah (pikiran), dan ahamkara (naluri). Budhi (nurani) dan pikiran kita harus mampu mengendalikan naluri yang ada dalam diri dan tidak membiarkannya bergerak bebas tanpa kendali. Salah satu momentum untuk mengembalikan kesadaran kita adalah saat menyelesaikan satu putaran waktu seperti ketika memasuki tahun baru, termasuk Tahun Baru Saka bagi umat Hindu. Pada tanggal 1 Waisaka (bulan pertama Kalender Saka) yang tahun ini bertepatan dengan Sabtu, 21 Maret 2015, umat Hindu melaksanakan Nyepi sebagai wahana kontemplasi, melakukan introspeksi, refleksi, dan retrospeksi dengan sejenak menoleh ke belakang guna menelaah dan mengevaluasi perbuatan, termasuk perilaku kita setahun terakhir. Kemudian dengan tekad bulat dan kuat kita membuat resolusi untuk berbuat lebih baik dengan mengurangi bahkan menghilangkan perilaku yang menyimpang dari tuntunan ajaran agama, merugikan orang lain dan lingkungan, serta merendahkan harkat dan martabat sebagai makhluk yang ber-budhi dan menyandang predikat manusia. Selamat Tahun Baru Saka 1937, semoga senantiasa mendapat tuntunan dan anugerah Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa. I KETUT PARWATA Sekretaris Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
  • 37. 37 Hati Nurani Koran SINDO 22 Maret 2015 Di Youtube pernah saya temukan video yang sangat mengerikan tentang sederetan tawanan yang dijejerkan oleh tentara ISIS. Masing-masing dijaga oleh seorang tentara ISIS yang siap dengan pisau masing-masing. Tentara ISIS itu tidak bertopeng, sehingga tampak jelas wajah mereka yang rata-rata berjenggot. Setelah terdengar suara pidato yang saya tidak mengerti apa maksudnya (dalam bahasa Arab), para tawanan itu serempak dipaksa tengkurap, rambut ditarik, sehingga kepala mendongak ke atas, pisau ditempelkan dan sekejap kemudian kepala-kepala sudah terlepas dari tubuh masing-masing. Saya melihat adegan itu dengan kedua tangan saya menutupi mata, tetapi sesekali jari direnggangkan untuk bisa mengintip. Kejam sekali. Tahukah mereka bahwa Islam adalah agama damai, bukan agama sadis? Punya hati nuranikah mereka? Lalu orang pada umumnya menjawab, ”Tidak, orang-orang ISIS ini tidak punya hati nurani.” Tetapi pada kesempatan lain, saya mendapat kiriman video melalui WhatsApp tentang kamp latihan ISIS untuk anak-anak. Sejumlah anak-anak dipakaikan baju dan ikat kepala hitam- hitam, dilatih bela diri dan menembak, setelah itu mereka terlihat bersama-sama sedang duduk, masing-masing menghadapi sebuah kitab Alquran, dan mereka bersama-sama membaca kitab suci itu sambil bergoyang ke kanan dan ke kiri. Terlihat senjata-senjata mereka dijejerkan di belakang mereka. Tidak mengherankan kalau anak-anak seperti ini nantinya akan tega saja menyembelih manusia seperti kita menyembelih kambing kurban. Terus, ke mana hati nurani itu? Di Youtube saya juga menemukan suatu adegan perdebatan antara seorang pejalan kaki yang berjalan di trotoar (kaki lima), dengan seorang pengendara sepeda motor yang mengendarai sepeda motornya di atas trotoar itu juga, tetapi melawan arus. Tampaknya pejalan kaki (PK) sudah kesal sekali terhadap pengendara motor (PM), sehingga dia menyetop salah satu pengendara motor yang ugal-ugalan itu dan mereka pun berdebat. Kutipan dari dialog mereka, seingat saya, adalah sebagai berikut: PK: Mau ke mana lo? PM: Mau ke situ. PK: Kenapa lewat sini? PM: Maksud lo? PK: Lo tahu gak, pejalan kaki jalannya di mana? PM: Di trotoar. PK: Nah, terus lo naik motor di mana? PM: Di trotoar. PK: Terus, yang jalan kaki mau lo suruh jalan di mana? PM: Awas dong, gua mau lewat! PK:
  • 38. 38 Lo lewat sana (sambil menunjuk ke arah belakang pengendara motor), balik! PM: Enggak, gua cuma mau ke situ doang, dekat. PK: Enggak bisa! Balik! Lo tahu gak jalannya motor? PM: Enggak apa-apa, gua udah biasa kok, lewat sini. PK: Enggak bisa! Balik! Pengendara mencoba melewati pejalan kaki, tetapi pejalan kaki dengan gigih menghadang sehingga pengendara motor tidak bisa lewat. Tetapi akhirnya seorang lain yang kebetulan melintas mendekati mereka berdua, berbicara dengan pejalan kaki (mungkin menanyakan, ”Ada apa ini?”) dan kesempatan itu digunakan oleh pengendara motor untuk melarikan diri, tetap dengan melawan arus. Mengendarai sepeda motor melawan arus sudah menjadi kebiasaan di Jakarta. Demikianlah pengakuan pejalan kaki tersebut. Pengakuan spontan yang tidak mengada-ada, karena di jam- jam tertentu rombongan sepeda motor memang bagaikan air bah menutup jalur yang berlawanan. Bukti bahwa menyerobot jalan adalah kebiasaan. Akibatnya tentu saja kemacetan total. Pertanyaannya, ke mana hati nurani? *** Orang sering sekali menggunakan istilah “hati nurani”. Akhir-akhir ini istilah itu makin sering dilakukan oleh para pelaku atau pengamat politik. Kalau ada perselisihan, selalu diajukan agar kedua pihak duduk bersama dan menggunakan hati nurani masing-masing, pasti akan ada jalan keluar yang damai sejahtera, aman sentosa. Seakan-akan hati nurani adalah pemberian Tuhan yang sudah dibawa oleh setiap manusia sejak lahir sehingga hati nurani itu pasti versi orisinalnya seragam. Dengan begitu, ketika kita duduk bersama, membersihkan diri dari emosi atau kepentingan pribadi atau golongan, hati nurani yang orisinal bisa mencuat lagi dan itulah yang membuat para pihak yang berbeda pendapat bisa mencari titik temu. Tetapi dalam kenyataannya, hampir tidak pernah terjadi kesepakatan berdasarkan seperti itu. Kasus BLBI dan Bank Century, misalnya, sudah diperdebatkan panjang lebar di DPR. Sehingga, mestinya, kalau hati nurani itu yang bermain, masalahnya akan dengan cepat rampung. Kenyataannya, kasus Bank Century diakhiri dengan voting. Jadi terbuktilah bahwa hati nurani itu tidak seragam, sehingga perlu di-voting. Di dalam psikologi, tidak ada istilah “hati nurani”. Yang ada adalah “kebiasaan”. Kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua sejak masa kanak-kanak, itulah yang akan terbawa terus sampai dewasa. Sigmun Freud menyebutnya sebagai super ego, yang akan mengarahkan perilaku individu sesuai dengan jalan yang benar dan menghindari yang tidak baik sesuai dengan anjuran atau didikan orang tua. Tetapi kalau yang menanamkan kebiasaan itu bukan orang tua, melainkan ISIS, maka memenggal kepala orang dikategorikan baik oleh hati nurani. Demikian pula jika semua pengendara motor melawan arus, maka naik kendaraan dengan melawan arus dianggap
  • 39. 39 biasa. Maka, di sinilah diperlukan hukum, yang obyektif dan netral dan harus ditaati oleh semua orang, terlepas dari hati nurani masing-masing. Tetapi karena penegak hukum juga manusia, maka diciptakanlah sistem elektronik (e-government dll), sehingga mesin dan sistemlah yang menjalankan hukum itu, bukan hati nurani. Tentu ujung-ujungnya yang mengelola sistem-sistem elektronik itu manusia juga, tetapi makin sedikit jumlah manusianya, makin kecil pula kemungkinan kesalahan. Apalagi kejahatan yang disengaja seperti korupsi atau manipulasi. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 40. 40 Mengenang sang Wali Koran SINDO 23 Maret 2015 Menghidupkan kembali kenangan tentang Gus Dur, sang wali, dengan rasa hormat, tapi sesedikit mungkin keterlibatan emosi yang menggusur makna sejarah pribadinya menjadi mitologi, merupakan sebuah tantangan. Diskusi tentang Gus Dur, tiap saat, tergelincir ke dalam pemitosan, dan kultus yang “menyenangkan”, tapi mungkin sebetulnya merugikan yang dikenang maupun yang mengenangnya. Orang-orang yang dekat Gus Dur, pribadi maupun kelompok, termasuk para pemuja di kalangan etnis Cina, komunitas yang disebut Gus Durian, maupun kelompok-kelompok kaum nahdliyin sendiri, yang selalu punya waktu dan hati buat Gus Dur, sering merasa seolah tak cukup memandang Gus Dur sekadar sebagai tokoh sejarah. Bahkan mungkin mereka diam- diam melupakannya untuk lebih menempatkan Gus Dur sebagai tokoh mitologis, yang penuh makna, sarat dengan pujaan dan kultus. Kita tahu, posisi kewaliannya sudah dikenal luas sejak masa hidupnya, dan menjadi semakin kukuh sesudah, atau ketika, jutaan umat mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya, yang penuh kedamaian, di makam keluarga, di dalam lingkungan pekarangan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Di sana, dalam ketiadaannya, Gus Dur terasa makin “ada”, dan makin begitu dekat di hati umat. Tangis “rohaniah” yang tak kunjung reda, dan keterlibatan makna “ngalap berkah”, disertai tindakan pemujaan dalam bentuk memungut segenggam tanah segar yang masih merah di gundukan pusaranya, untuk dibawa pulang, apakah ini namanya bila bukan pemujaan yang terlewat hangat? Boleh jadi, Gus Dur sendiri tak menyukainya karena dia paham sepaham-pahamnya bahwa tindakan itu secara keagamaan, kebudayaan, maupun politik merugikan. Tapi, demi “ngemong” cita rasa keagamaan umatnya, sikapnya yang longgar dan akomodatif, niscaya tak bakal tega dia melarang mereka memunguti segenggam demi segenggam tanah kuburannya. Dengan sikapnya yang serba-“semeleh", kira-kira Gus Dur akan bergumam, seolah buat dirinya sendiri: ‘Lha wong cuma ngambil tanah saja kok ndak boleh. Memangnya mereka harus ngambil apa lagi, selain tanah?’ Jika ada yang mengingatkannya bahwa tindakan itu termasuk wujud kemusyrikan, Gus Dur pasti dengan santai menjawab:“ Ya tergantung niatnya. Kalau niatnya menganggap segenggam tanah kuburan saya itu sebagai sekadar suvenir, ya ndak apa-apa.” Jika ada argumen yang menyatakan bahwa di balik tindakan itu ada semangat kultus atau pemujaan yang terlalu jauh dan tak dibenarkan agama, Gus Dur pasti punya jawaban lain:
  • 41. 41 “Kalau mereka hanya menyatakan cinta, dan penghormatan biasa pada saya, seperti layaknya mereka menaruh rasa hormat dengan simbol berupa ‘mencium tangan kiai’, ya insya Allah ndak apa-apa. Tuhan tahu, dan tak mudah terkecoh seperti kita.” Betapa enak Gus Dur memahami berbagai kesalahpahaman yang menegangkan. Baginya, apa yang bersifat salah paham, tak usah ditanggapi secara serius. Di dalam hidup ini ada bertumpuk-tumpuk pemahaman yang benar, yang minta diberi saluran komunikasi yang sehat, dan akomodatif, untuk membangun suatu tingkat pemahaman yang lebih tinggi, agar kita tak terpancing terus-menerus oleh kesalahpamahan yang tak kita perlukan. Syukur bila tingkat pemahaman yang lebih tinggi itu tak dibiarkan sekadar sebagai bentuk kemajuan di dalam dunia gagasan dan pemikiran, melainkan diberi ruang di wilayah kebijakan, untuk diwujudkan menjadi sebuah “amal ilmiah” dan “ilmu yang amaliah”. Melalui tindakan-tindakan seperti itu, perlahan-lahan kita memberi makna lebih kontekstual, lebih membumi, apa yang kita sadari bahwa Islam membawa rahmat bagi semesta alam. Kenangan ini dikembangkan lebih lanjut dari kesadaran filosofis Gus Dur atas suatu teori. Sering Gus Dur bilang, suatu teori, betapa pun baiknya, jika tak bisa dipraktikkan, teori yang baik tadi boleh jadi tak ada gunanya. Di sini tampak, Gus Dur menghormati setinggi- tingginya teori, tapi juga menuntut kemudahannya untuk diterapkan dalam hidup. Ini memiliki banyak implikasi di dalam cara dan sikapnya memandang hidup. Gus Dur tak pernah bersikap hitam-putih. Dunianya bertakik-takik, kompleks, dan memiliki banyak ruang tak terduga dan tak terselami oleh kita seperti sebuah gua yang besar, banyak ruang-ruang gelap di dalamnya, dan juga banyak keteduhan yang bisa dinikmati oleh para pencari kebenaran, dan para “salik”, yang sudah berjalan di jalan-Nya, tapi selalu bertanya lebih dalam: aku bukan mencari jalan, melainkan mencari Tuhan. Para pencari “hakikat” Tuhan, yang selalu haus, yang “rindu rasa”, “rindu rupa”, seperti Amir Hamzah, tak mungkin bisa dipuaskan sekadar oleh ditemukannya jalan. Bagi mereka— termasuk pula bagi penyair Sutardji Calsoum Bahri—yang “emoh” menerima jalan karena jalan bukan Tuhan. Urusan halal-haram itu dihormati sepenuh hati dan menjadi bagian dari orientasi nilai utama dalam hidup. Tapi, Gus Dur jarang menghukum orang dengan haram, sesat, musyrik, dan sejenisnya. Pun tidak mengumbar pujaan bahwa seseorang telah “lurus”, “benar”, tanpa unsur “sesat”, dan sejenisnya. Kesadaran teologis dan makna kebenaran pada umat berbeda antara satu bagian dengan bagian yang lain, antara yang terpelajar dan kaum awam. Baginya, kedua- duanya bagian dari keumatan yang dihimpun baik-baik, dan dicintai, seperti dia mencintai keluarganya sendiri. Pada tahap ini kenangan kita tentang sang wali, mengarahkan kesadaran kita bahwa Gus Dur bukan sekadar milik keluarga. Gus Dur sudah menjadi dunia nilai, tapi Gus Dur pun ibaratnya sudah menjadi representasi suatu institusi. Maka sekali lagi, dia bukan hanya milik
  • 42. 42 keluarga, melainkan milik umum, milik dunia nilai, milik kesadaran yang lebih luas. Keluarga Gus Dur itu umat manusia, dan segenap nilai kemanusiaan, yang diperjuangkannya selama masa hidupnya, yang begitu produktif, berani, berisiko, tapi tak pernah dirisaukannya. Dia tahu tiap perjuangan mengandung risiko. Tidur-tiduran, bermalas-malasan tanpa mengerjakan sesuatu pun ada risikonya. Apalagi berjuang, dengan semangat melawan arus deras kehidupan yang tak pernah terlalu ramah. Gus Dur memang sudah tak ada lagi di tengah kita. Tapi, dalam kesadaran banyak pihak, ketiadaannya itu sebetulnya ada. Dia ada, dan selalu akan ada, tiap saat kita mengalami masalah-masalah yang dulu diurus dengan berani oleh Gus Dur, tapi sekarang tak diurus oleh siapa pun. Di sini kenangan kita menjadi sebuah kerinduan. Kita rindu seorang wali, yang mewakili dunia nilai dan moralitas, yang sekarang sudah, maaf, mampus. Kita pun rindu seorang pemimpin, yang berani bertindak demi kebenaran, dan tak takut. Sekali lagi, Gus Dur sudah tak ada, tapi sebetulnya dia ada. Dia tetap hidup dalam kenangan umat, yang bukan hanya umat NU, bukan hanya umat Islam, tapi jauh di luar batas-batas itu. MOHAMAD SOBARY Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
  • 43. 43 Nyepi di Bali, Gundah di Sini Koran SINDO 23 Maret 2015 Setiap manusia memiliki dambaan untuk hidup bahagia. Kebahagiaan seringkali diukur oleh tercapainya seluruh keinginan imajinasi yang bersemayam dalam setiap diri dan hatinya. Pencapaian kebahagiaan tersebut telah melahirkan ikhtiar imajinasi dan ragawi dalam sistem hidup yang semakin kompetitif. Hidup seperti arena balapan, saling mengejar, berburu tak mengenal waktu, menyalip di tikungan, tertawa kegirangan. Pedih tersisih, seolah seluruh jalan mengalami kebuntuan. Semakin tinggi kompetisi pencapaian seluruh hasrat dan keinginan semakin meningkat angka depresi. Muncullah keragaman penyakit, maag, kolesterol, tekanan darah tinggi, kanker, diabetes, jantung, dan beragam penyakit lainnya seolah berkompetisi dengan seluruh pencapaian dan harapan manusia. Siklus hidup yang terus berliku, keinginan yang tak pernah berhenti melahirkan satu tanya yang mungkin sulit dijawab. Benarkah kita bahagia? Ma Icih, maestro tua yang sangat memahami makna hidup, berujar sambil tersenyum, “Orang kaya itu aneh, bikin rumah besar-besar dengan berbagai fasilitas, ada kolam renangnya, ada taman bunganya, ada ruang fitness-nya, ada ruang karaokenya, ada tempat saunanya, ada salonnya, serta kelengkapan seluruh pelayanan yang dibutuhkan berikut para pelayan yang ahli pada bidangnya, tapi kunaon atuh sakitu geus sagala aya di imahna, tara daek cicing di imah... (tapi mengapa meski sudah segala tersedia di rumahnya, tidak mau tinggal di rumah) tiap minggu pelesir wae, ka Bali, Lombok, Bunaken, Raja Ampat, Toraja, Toba, Singapura, Hawaii, New Zealand, dan Australia.” “Dipikir-pikir kalau tidak pernah ditinggali, sudah tidak perlu buat rumah yang besar, kecil saja seperti punya Ema. Setelah itu ternyata rumahnya bukan satu, tapi sangat banyak. Bukan hanya di Indonesia, tapi di berbagai negara. Dipikir-pikir sama Ema, ternyata yang bahagia tinggal di rumah itu adalah pembantunya, tukang kebunnya, tukang tamannya, dan satpamnya, yang bisa dilihat dari tidurnya yang kerek meni nyegrek (mendengkur).” “Jadi kalau menurut Ema, orang yang tukang pelesir itu orang yang tidak bahagia karena setiap hari harus mencari kebahagiaan. Beda dengan Ema sama Mang Udin, tidak pernah ke mana-mana. Di rumah Ema bahagia, pergi ke kebon ngambil daun singkong, ngambil cengek (cabai rawit), ngala (memetik) jengkol, dan ngala peuteuy (pete) itu juga membuat Ema bahagia. Pergi ke sawah ngala tutut, ngala belut, nambah deh bahagia Ema.”
  • 44. 44 “Pulang ke rumah terus dimasak tuh. Aduh, sanguh aneut (nasi hangat) sama beuleum peuteuy (pete panggang), terus lauknya sama sambal belut, lalabnya daun sampeu (singkong) sama daun jengkol muda, aduuuh ... terbang deh Ema. Cuci mulutnya sama jengkol, biar tidak bau peuteuy. Waduh, malamnya Ema tidur nyenyak sama Mang Udin.” “Walaupun Mang Udin kentutnya tidak pernah berhenti, tapi tidak pernah membuat bau ruangan Ema, karena rumah Ema dari bilik... Walaupun di kampung Ema listrik waktu malam hari sering mati, tidak membuat Ema jadi stres karena Ema tidur nyenyak tanpa harus terganggu oleh listrik mati. Tidak takut kehilangan hiburan ketika malam, kan emang Ema mah nggak punya TV. Cukup saja mendengarkan musik jangkrik sama tongeret...” *** Ternyata kebahagiaan Ema itu sekarang menjadi virus yang cukup ampuh menyebar di antero jagat raya. Orang-orang kota hari ini mencari rumah-rumah bambu di pinggir danau, di pinggir sungai, dan di pinggir hutan. Mereka mulai menggemari nasi akeul, tutug oncom, beuleum peda, beuleum peuteuy dan kelihatan mereka begitu bahagia menikmati tradisi Ema. Di kampung-kampung sekarang berjejer mobil-mobil mewah yang hanya ingin makan enak, tidur nyenyak. Kasihan sekali orang-orang pandai, makan enak saja harus pergi jauh, tidur nyenyak saja sampai harus berkeliling dulu, padahal sekolahnya tinggi-tinggi. Tidur saja mesti latihan lagi kaya anak- anak. Kebiasaan moyan atau berjemur yang dulu suka Ema lakukan waktu kecil, ternyata menjadi tradisi yang sangat mahal yang dilakukan oleh orang-orang asing. Mereka hari ini begitu bahagia berjemur berjejer di pinggir pantai. Ema jadi teringat waktu kecil, suka bermain di pinggir sawah dengan hanya mengenakan celana dalam. Sekarang, ternyata itu menjadi tren yang sangat mendunia. Bukan hanya anak-anak yang main di pinggir pantai dengan hanya mengenakan celana dalam, tetapi anak muda bahkan orang tua melakukannya dengan penuh kebahagiaan. Kalau seperti itu, ternyata kebudayaan kita ini sangat tinggi. Jangankan kebudayaan orang tua, kebudayaan anak-anak saja memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan nilai pasar yang sangat luas. Kalau begitu, seluruh tata cara anak muda di kampung Ema yang hari ini berubah harus dievaluasi; minuman bersoda dan berkaleng, tiap hari momotoran, baju bergaya perkotaan, makanan pabrikan, ternyata seluruh yang diminum, yang dipakai dan yang dimakan telah membuat orang-orang kota tidak bahagia. Kalau orang kota saja tidak bahagia terhadap apa yang dilakukannya dalam setiap hari dan mencari kebahagiaan di desa, kenapa orang desa harus mengikuti gaya kota, ya? Mending kalau cara memperolehnya dengan uang hasil keringat sendiri, ini mah dengan menjual kebun, menjual sawah, yang dibeli oleh orang kota. Terus nanti kalau habis mau tinggal di mana? Kita mah menyambut orang kota yang datang ke desa dengan senyum dan
  • 45. 45 kegembiraan, pintu rumah kita buka lebar-lebar tanpa ada kecurigaan, tapi coba orang desa datang ke kota, bisa enggak kita nginep di rumah mereka? Mau enggak mereka menerima kita tanpa kecurigaan? Aduh, suka sesak kalau cerita begini. *** Orang Bali dengan keyakinan ajaran dan tradisinya telah mampu mengidentifikasi seluruh kebutuhan dasar manusia bahwa manusia memerlukan ruang yang kosong, yang selama ini tidak pernah terisi. Kebisingan ternyata tanpa suara, keramaian ternyata hampa. Tradisi Nyepi di Bali merupakan manifestasi dari kebutuhan manusia untuk tidak perlu mendengar suara tanpa makna, melihat cahaya tapi gelap, bicara tapi bisu, ramai tapi sepi, sehingga seluruh gerak ragawi yang kosong itu dihilangkan, ditiadakan dalam sesaat. Hati bicara tanpa suara, angin berembus dengan makna, gelap tapi terang, menyepikan diri menemui relung-relung jiwa yang hilang, terbang ke alam kahyangan, bercengkerama dengan Hyang Tunggal Penguasa Seluruh Alam. Bukankah tradisi Nyepi di Bali telah diadopsi oleh para pemimpin di berbagai tempat dengan kebijakan yang sepotong-sepotong; car free day dan car free night, yang cukup dinikmati dan banyak membuat orang bahagia. Bukankah itu mengadopsi tradisi Nyepi? Kalau itu membuat bahagia, bagi seluruh rakyatnya tak ada salahnya kalau setahun sekali atau kalau mungkin sebulan sekali, atau mungkin seminggu sekali, kita membuat Nyepi di seluruh lingkungan kita. Parkirkan kendaraan di rumah, matikan listrik, hentikan seluruh aktivitas, tinggallah di rumah bersama keluarga, nikmati seluruh yang ada tanpa suara yang melengking, tanpa kata- kata yang tajam setajam silet. Kalau itu dilakukan, berapa banyak energi yang terefisienkan, berapa triliun rupiah uang keluarga yang tersimpan untuk masa depan, tidak terus menerus dihabiskan di jalan dan di tempat tujuan. Saatnya kita menyepikan diri dari ucapan-ucapan kotor yang tak bermakna, saatnya kita menyepikan diri dari berbagai perbuatan yang tidak membahagiakan banyak orang, saatnya kita tidak mengklaim diri sebagai pemegang otoritas kebenaran yang pasti, saatnya kita melakukan introspeksi bahwa seluruh langkah yang kita lakukan adalah langkah yang selalu ingin mendapat pujian, mendapat sanjungan dan melupakan tujuan hidup yang berketuhanan. Saatnya kita menyadari bahwa seluruh kebenaran yang ada dalam pandangan dan pendengaran kita adalah kebenaran yang diciptakan oleh kita sendiri, kebenaran yang tersentra pada sebuah kekuatan kapital. Saatnya kita menyadari, sebelum seluruhnya lumpuh dan dilumpuhkan oleh alam yang seluruh otoritas kekuatannya dalam genggaman Hyang Tunggal. Leluhur Bali telah mengajarkan esensi kemanusiaan melalui Hari Raya Nyepi. Budaya Bali adalah Indonesia yang sebenarnya.
  • 47. 47 Pemerataan Kebahagiaan Koran SINDO 24 Maret 2015 Berkurangnya angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2014 dibandingkan 2013, menurut BPS (2015) memang telah meningkatkan Indeks Kebahagiaan Indonesia dibanding tahun 2013. Hal ini terlihat dari data BPS (5/2/2015) yang mencatat indeks kebahagiaan Indonesia tahun 2014 sebesar 68,28 pada skala 0-100, atau meningkat 3,17 poin dibanding tahun sebelumnya yang ”hanya” 65,11. Indeks Kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan esensial yang memiliki besaran kontribusi berbeda-beda terhadap indeks kebahagiaan, yakni pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan. Hal ini terjadi karena perbedaan penilaian mengenai derajat pentingnya setiap aspek kehidupan terhadap tingkat kebahagiaan secara keseluruhan. Terdapat tiga aspek kehidupan yang memiliki kontribusi paling tinggi, yaitu pendapatan rumah tangga (14,64%), kondisi rumah dan aset (13,22%), serta pekerjaan (13,12%). Tingkat kepuasan tertinggi pada tahun 2014, berkaitan dengan keharmonisan keluarga, sebesar 78,89%. Sementara tingkat kepuasan paling rendah terjadi pada aspek pendidikan yang hanya mencapai 58,28%. Di dunia, peringkat Indonesia terbilang cukup tinggi. Dalam laporan yang disusun oleh Gallup Inc (2015), Indonesia berada pada peringkat 12 dalam daftar 20 negara paling bahagia di dunia. Negeri ini terkenal sebagai negara dengan penduduk yang ramah dan murah senyum. Di pedesaan yang terbilang miskin atau di kampung kota yang kumuh pun, para turis dipastikan menemukan anak-anak dan orang dewasa yang menyapa mereka dengan senyum dan tawa ramah. Lebih dari itu, dalam tayangan liputan televisi terkait terbakarnya lebih dari 200 rumah di kawasan (kumuh) Tanah Abang, beberapa korban yang diwawancara terlihat masih tersenyum ketika menggambarkan betapa ”rakus” dan cepatnya api melahap rumah dan harta benda mereka. Sulit membayangkan, sang korban tersenyum ketika hal serupa terjadi di negara-negara kaya, padahal bisa dipastikan bahwa mereka akan memperoleh ganti rugi setimpal, bukan sekadar pergantian barang yang terbakar. Berbasis pengamatan seperti itu, apakah kita layak menyimpulkan bahwa tingkat kebahagiaan seseorang atau sebuah bangsa, memang tidak sepenuhnya ditentukan oleh