(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 april 2015-20 mei 2015
1. 1
DAFTAR ISI
KEPERMISIFAN TERHADAP PERBUATAN ZINA
Faisal Ismail 4
SALAH MEMAHAMI HUKUM
Moh Mahfud MD 7
HAKIM MULUT UNDANG-UNDANG?
Romli Atmasasmita 10
PERAN EKSTERNAL DALAM KONFLIK INTERNAL PARTAI
Firman Noor 13
TIDAK KAPOK KENA OTT
Marwan Mas 15
PARTAI, KONFLIK, FIGUR
Anas Urbaningrum 18
MENGENANG KAA 1955
Dinna Wisnu 22
MEWASPADAI FRUSTRASI SOSIAL
Achmad M Akung 26
HAK KONSTITUSIONAL KOMJEN POL BG MENJADI PIMPINAN
POLRI
Bambang Usadi 30
ARBITRASE & KEPASTIAN HUKUM
Erman Rajagukguk 33
TRIMEDIA KHOMEINI DAN SARUMPAET MADARI
Moh Mahfud MD 38
TARIKAN POLITIK PILKADA SERENTAK
Anna Luthfie 41
KAPOLRI BARU, HARAPAN BARU
Edi Saputra Hasibuan 44
LONCENG MUNIR DARI DEN HAAG
Ali Nur Sahid 47
SIBUK BERPOLITIK, GAGAL BINA SIPIR LAPAS
Bambang Soesatyo 49
2. 2
SEMANGAT BANDUNG
Dinna Wisnu 52
DARURAT PENGESAHAN RUU ADVOKAT YANG BARU
Frans H Winarta 55
SEMANGAT PERSAUDARAAN & KEBANGKITAN
Anna Luthfie 58
MAHALNYA MEMAKNAI PROSES HUKUM
Marwan Mas 62
HUKUM YANG BERKEADILAN
Janedjri M Gaffar 65
PETUGAS PARTAI
Anas Urbaningrum 68
(KRISIS) NEGARAWAN DAN (FILM) GURU BANGSA
Muhammad Rifai Darus 71
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE SERING MENGADA-ADA
Frans H Winarta 74
PERJALANAN DEMOKRASI KITA
Dinna Wisnu 77
MENYIKAPI PERANG (SEKTARIAN) YAMAN
Hasibullah Satrawi 80
PERTOBATAN DAN REKONSILIASI NASIONAL
Freddy Numberi 84
RESHUFFLE KABINET REPUBLIK KOMEDI
Bambang Soesatyo 87
JANGAN KHAWATIR, DOKTER
Moh Mahfud MD 91
EFEK PUTUSAN HAKIM SARPIN DAN DAMPAK PUTUSAN MK
Romli Atmasasmita 94
WASPADA TERHADAP POSKRIMINALITAS
Sudjito 97
POLRI MENGALAH, KISRUH POLRI-KPK REDA
Bambang Soesatyo 100
NORMALISASI AS-KUBA
Dinna Wisnu 103
3. 3
MELAWAN GERONTOKRASI
Raja J Antoni 106
KONSOLIDASI KEBANGSAAN DAN KEUMATAN PAN
Andi Taufan Tiro 109
POLISI DAN AMANAT KONSTITUSI
Tjatur Sapto Edy 112
SERIAL KISRUH KPK-POLRI
Moh Mahfud MD 115
POLRI KERJA KERAS, MASYARAKAT TETAP WASWAS
Reza Indragiri Amriel 118
MASA DEPAN DEMOKRAT
Gun Gun Heryanto 121
KUNCI KEMENANGAN DAVID CAMERON
Vishnu Juwono 124
STRATEGI DIPLOMASI PASCA-DEATH PENALTY
Tantowi Yahya 127
BUKAN KETOPRAK MATARAM
Anas Urbaningrum 130
PRINSIP ARBITRASE DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA PERLU DISELARASKAN DENGAN KAIDAH INTERNASIONAL
Frans H Winarta 133
VERSI LAIN POROS MARITIM
Dinna Wisnu 137
PRAPERADILAN DI INDONESIA
Romli Atmasasmita 140
INTEGRITAS DALAM PENEGAK HUKUM
Sudjito 143
TNI AL SEBAGAI PENGAWAL POROS MARITIM DUNIA
Connie Rahakundini Bakrie 146
INGIN MENANG BESAR, KPU DIINTERVENSI
Bambang Soesatyo 150
PEJAMBON 6 DAN PALESTINA
Muhammad Takdir 153
RINDU NEGARAWAN
Anna Luthfie 156
4. 4
Kepermisifan terhadap Perbuatan Zina
Koran SINDO
10 April 2015
Perbuatan zina (hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar nikah) bisa terjadi
antara pria dan wanita yang belum menikah dan bisa terjadi pula di kalangan pasangan yang
sudah menikah. Bisa terjadi di kalangan remaja dan bisa terjadi pula di kalangan orang
dewasa.
Dalam adat istiadat dan budaya masyarakat yang berbasis agama, perbuatan zina merupakan
perbuatan sangat tercela dan terlarang. Lebih-lebih kalau perbuatan zina itu dilakukan oleh
seorang suami atau istri yang sudah terikat dalam ikatan pernikahan. Sampai-sampai terjadi
seorang suami membacok istrinya yang berzina dengan laki-laki lain. Begitu pula, ada
seorang istri yang membakar suaminya karena berzina dengan perempuan lain. Tragis sekali.
Tak kalah tragisnya, kehamilan dan kelahiran anak akibat ”kecelakaan” perbuatan zina ini
sangat disesalkan kemudian oleh perempuan yang berzina tadi. Ada perempuan yang
melakukan aborsi. Ada perempuan yang menanggung malu karena mempunyai anak jadah
atau anak haram. Anaknya juga menanggung malu dalam pergaulan masyarakat karena ayah
biologisnya tidak jelas.
Di negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika, agama, budaya, hukum, dan tata
susila seperti di Indonesia, perbuatan zina dipandang sebagai pelanggaran hukum yang bisa
dikenakan hukuman pidana bagi si pezina kalau perempuan yang dizinai melaporkan ke
polisi. Pelakunya bisa dipidana selama beberapa bulan atau beberapa tahun akibat perbuatan
zina yang ia lakukan. Di negara-negara yang secara ketat menerapkan hukum Islam, si pezina
dicambuk 100 kali atau di-stoning (dilempari batu) seperti di Iran.
Poin yang hendak ditekankan di sini adalah perselingkuhan dan perzinahan merupakan
perbuatan yang sangat tercela karena melanggar ajaran agama, tata susila, dan aturan hukum
pidana. Bagi pasangan yang sudah menikah, perzinahan merupakan ”pengkhianatan” besar
terhadap pasangannya, pengkhianatan terhadap ikrar setia pernikahan, dan pengkhianatan
terhadap kesucian pernikahan.
***
Berita sangat kontroversial dan mengejutkan datang dari Korea Selatan (Korsel). Mahkamah
Konstitusi (MK) Korsel belum lama ini secara resmi membatalkan Undang-Undang (UU)
Larangan Berzina (KORAN SINDO, 28/2/15). Sebelum dibatalkan, UU Larangan Berzina ini
sudah berlaku secara efektif di Korsel selama 60 tahun. Kepada pasangan pria-wanita yang
5. 5
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan zina, pengadilan menjatuhi hukuman penjara
selama dua tahun. Ide, maksud, dan tujuan utama pemberlakuan UU Larangan Perzinaan ini
adalah melindungi nilai-nilai luhur tradisi dan tata susila keluarga.
Dengan pembatalan UU Larangan Perzinaan ini, terjadilah titik balik seratus delapan puluh
derajat. Negara Korsel secara resmi membolehkan dan melegalkan perselingkuhan bagi
warga negaranya. Hukuman penjara selama dua tahun tidak berlaku lagi bagi pasangan pria-
wanita yang berzina.
Ada sembilan anggota hakim MK Korsel yang mencermati UU Larangan Berzina sebelum
UU itu dibatalkan. Dari sembilan anggota hakim MK Korsel, tujuh anggota menyetujui
pembatalan UU Larangan Perzinaan itu. Ketua MK Korsel, Park Han-Chul, mantap berucap:
”Negara tidak boleh mencampuri masalah kehidupan pribadi warganya dengan menghukum
pezina sebagai orang telah melakukan perbuatan yang tidak bermoral.” Pernyataan hakim
ketua MK Korsel ini secara luas dilansir di Channel News Asia baru-baru ini.
Apa efek dari pembatalan UU Larangan Perzinaan ini di Korsel? Harga saham perusahaan
kondom terbesar di Korsel, Unidus Corp, langsung melonjak sebesar 15% pada perdagangan
saham lokal.
Dalam kolomnya di majalah Tempo pada 1980-an, kolumnis kondang Mahbub Djunaidi
(almarhum) mencari padanan kata ‘condom’ (bahas Inggris) dalam bahasa Indonesia. Dia
tidak menemukannya. Sebagai ganti kata ‘condom’ ini, Mahbub mengusulkan kata ”sarman”
alias sarung mani karena sulitnya mencari padanan kata Indonesianya. Tetapi, yang berlaku
dalam bahasa Indonesia sekarang adalah huruf ‘c’ diubah menjadi ‘k’, jadilah ”kondom”.
Sebelum mengeluarkan keputusan pencabutan UU Larangan Perzinaan ini, Korsel adalah
satu dari beberapa negara non-muslim yang menyatakan perselingkuhan sebagai tindak
pidana. Setelah melalui lima kali sidang yang diwarnai dengan serangkaian perdebatan yang
cukup alot, MK Korsel menyepakati pembatalan UU Larangan Perzinaan tersebut.
Selama enam tahun terakhir, hampir 5.500 warga Korsel didakwa melakukan zina dan
mereka menghadapi tuntutan hukum atas perselingkuhan yang mereka perbuat. Data ini
termasuk kasus perzinaan yang terjadi pada 2014.
Kantor Kejaksaan Negeri Korsel mencatat, belakangan ini kasus pasangan yang berselingkuh
menurun dan semakin jarang berakhir dengan hukuman penjara. Pada 2004 sedikitnya 216
orang Korsel yang dipenjara atas dakwaan berzina. Data ini menurun menjadi 42 kasus
perzinaan pada 2008 dan setelah itu hanya terjadi 22 kasus perzinaan yang berakhir dengan
hukuman penjara.
Berdasarkan UU Larangan Perzinaan Korsel (sebelum dibatalkan), pelaku zina hanya dapat
dituntut bila pihak yang dizinai (dirugikan) mengajukan pengaduan atau gugatan. Kasus
hukumnya akan dihentikan jika pihak penggugat menarik atau membatalkan tuduhan atau
6. 6
gugatannya. Tidak tertutup kemungkinan, kasus perzinaan yang berujung di pengadilan dapat
diselesaikan secara kekeluargaan dengan cara memberikan ganti uang rugi kepada pihak yang
diselingkuhi (dirugikan).
Di jajaran anggota hakim MK Korsel, Ahn Chang-Ho adalah hakim yang tidak setuju dengan
pembatalan UU Larangan Perzinaan itu. Dia bersikukuh dengan pendapatnya bahwa UU
Larangan Perzinaan yang disahkan pada 1953 itu sangat penting untuk melindungi harkat,
harga diri, dan martabat keluarga. Dengan nada keras, dia memperingatkan bahwa
pencabutan UU Larangan Perzinaan itu akan memicu terjadi penyelewengan seksual secara
luas dalam masyarakat Korsel.
Namun, desakan Ahn Chang-Ho (dan satu temannya) yang ingin tetap mempertahankan UU
Larangan Perzinaan di Korsel itu tidak terwujud karena dia kalah suara dari mayoritas
anggota hakim MK Korsel. Tujuh anggota hakim MK Korsel sepakat membatalkan UU
Larangan Perzinaan tersebut, sedangkan dua anggota hakim lainnya tidak setuju.
***
Legalisasi seks bebas (free sex) seperti yang terjadi di Korsel sekarang ini sebenarnya sudah
lama terjadi di negara-negara Barat yang menganut sekularisme. Ciri utama moral sekuler
dalam kaitannya dengan moral seksual adalah ”permissiveness” (keserbabolehan). Dalam
kultur permisif seperti di negara-negara sekuler Barat, hubungan seks di luar nikah
(perzinaan) terutama di kalangan remaja sudah biasa dilakukan.
Indonesia, yang dikenal sebagai negara Pancasila (sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha
Esa), tidak mungkin, tidak boleh, dan tidak dapat melegalisasi perbuatan zina. Semua umat
beragama di negeri ini tidak membenarkan (mengharamkan) perzinaan. Alquran
memperingatkan umat Islam untuk tidak mendekati perbuatan zina. Mendekati saja dilarang,
apalagi melakukannya.
Dalam perspektif Alquran, zina (hubungan seks di luar nikah) adalah perbuatan kotor yang
bisa menjadi salah satu penyebab penyakit HIV/AIDS. Lima belas abad yang silam Alquran
telah memperingatkan bahaya penyakit yang mengerikan dan mematikan ini.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
7. 7
Salah Memahami Hukum
Koran SINDO
11 April 2015
Ketika beberapa waktu lalu terjadi pro dan kontra tentang rencana pengkajian ulang untuk
meninjau kebijakan hukum tentang pemberian remisi (pengurangan hukuman) kepada
terpidana korupsi, ada seorang pejabat penting di negeri ini yang tidak tepat dalam
memahami dan menjelaskan istilah hukum.
Sang pejabat mengatakan, semua narapidana harus diperlakukan sama di depan hukum, dan
sesuai konstitusi tidak boleh diperlakukan diskriminatif. Sebab itu, terpidana korupsi juga
harus diberi hak untuk mendapat remisi seperti narapidana lain. ”Tak boleh ada diskriminasi
atau perlakuan hukum yang berbeda kepada setiap narapidana,” katanya dengan penuh
semangat.
Tentu, pemahaman dan penjelasan seperti itu salah adanya. Terlepas dari soal kita setuju atau
tidak setuju atas gagasan pemberian remisi yang sama bagi terpidana korupsi dengan
terpidana lain, pemahaman dan penjelasan sang pejabat itu salah. Dia melihat persamaan di
depan hukum dan keharusan non-diskriminasi itu mencakup perlakukan sama terhadap semua
orang dalam semua hal.
Dalam hal ”tak boleh ada diskriminasi” misalnya, sang pejabat mengatakan pencuri ayam,
pembunuh, dan koruptor harus diperlakukan sama-sama mempunyai hak-hak remisi. Padahal
istilah ‘diskriminasi’ di dalam hukum bukan dalam pengertian pembedaan pemberian hak
atau pembedaan hukuman yang seperti itu.
Secara hukum, istilah ‘diskriminasi’ selalu dikaitkan pembedaan perlakukan karena
perbedaan agama, ras, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, dan sejenisnya. Ini jelas diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan di dalam UU HAM tersebut diadopsi dan dikembangkan dari Konvensi
Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial 1965 (International Convention on the Elimination of All Reforms of
Racial Discrimination 1965). Konvensi itu menyebut diskriminasi mencakup pembedaan
perlakukan yang didasarkan pada perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
dan asal usul sosial. Konvensi PBB tersebut kemudian diratifikasi juga oleh Indonesia
melalui UU No. 29/1999.
Dengan demikian, kalau ada kebijakan yang membedakan untuk memberi remisi kepada
8. 8
narapidana umum dan tidak memberi remisi kepada narapidana korupsi, bukanlah suatu
kebijakan diskriminatif. Penentuan kebijakan negara untuk tidak memberi remisi kepada
terpidana korupsi itu sama sekali bukan diskriminasi karena kebijakan itu berlaku bagi semua
orang yang melakukan korupsi, beragama apa pun, berjenis kelamin apa pun, dari ras atau
suku apa pun. Jadi, kalau membedakan hukuman atau pemberlakuan hak karena jenis
kejahatan dan akibat-akibatnya, bukanlah diskriminasi asal jelas pengaturannya di dalam
UU.
Penentuan kebijakan negara untuk memberi remisi pada narapidana umum dengan syarat-
syarat tertentu dan tidak memberi remisi kepada terpidana karena tindak pidana khusus juga
bukan diskriminasi karena kebijakan itu berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi
orang yang beragama Islam, bukan hanya belaku bagi suku Jawa, atau bukan hanya berlaku
bagi asal-usul sosial tertentu. Itulah maksud ‘memperlakukan sama di depan hukum’ dan
‘tidak boleh ada diskriminasi’.
***
Kesalahan memahami dan menjelaskan masalah konseptual di dalam hukum memang
kerapkali terjadi. Istilah asas ”praduga tak bersalah” misalnya sering disalahartikan oleh
banyak sarjana hukum sekali pun.
Atas dasar asas praduga tak bersalah, sering orang menyalahkan orang yang menganalisis
fakta sosial atau menduga tentang indikasi kuat keterlibatan seseorang dalam tindak pidana
korupsi. Alasannya, masih dalam proses hukum dan belum ada vonis pengadilan. Padahal,
setiap tindak pidana yang kemudian dihukum oleh pengadilan itu selalu dimulai dari dugaan
atau ”praduga” bersalah.
Pada saat seseorang diduga melakukan tindak pidana dilakukan penyelidikan atasnya karena
dugaan. Setelah ada alat bukti yang cukup kepada yang bersangkutan dilakukan penyidikan
karena sangkaan. Semua itu dilakukan karena dugaan dan sangkaan, belum terbukti. Itu
bukan hanya boleh, tetapi niscaya.
Dengan demikian, boleh saja orang menduga, menyorot, mendiskusikan, menganalisis,
bahkan menyimpulkan secara sosial bahwa seseorang telah melakukan korupsi meski belum
divonis oleh pengadilan. Masak, menduga, menganalisis, dan menyimpulkan secara logis saja
tidak boleh. Masak, begitu saja mau dianggap melanggar asas praduga tak bersalah.
Orang dijatuhi hukuman itu karena didahului oleh dugaan yang dilanjutkan dengan sangkaan,
dakwaan, dan seterusnya sampai vonis. Yang dimaksud asas praduga tak bersalah adalah asas
yang menentukan bahwa jika orang belum dijatuhi hukuman dengan hukuman yang sudah
berkekuatan hukum tetap, dia tak boleh diperlakukan sebagai terhukum. Misalnya, tak boleh
disebut sebagai narapidana, hartanya boleh disita, tapi belum boleh dilelang, boleh ditahan,
tapi belum dimasukkan ke dalam penjara yang permanen.
9. 9
Alhasil, kalau kita melempar analisis atas fakta dan percaya bahwa seseorang yang masih
diadili adalah koruptor, itu bukan pelanggaran atas asas praduga tak bersalah. Secara hukum
asas praduga tak bersalah itu mempunyai arti yang khas.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
10. 10
Hakim Mulut Undang-Undang?
Koran SINDO
14 April 2015
Judul tulisan di atas pernah terlontarkan secara sinis terhadap fungsi dan peranan hakim abad
ke-18 karena hakim dipandang hanya membaca dan melaksanakan undang-undang pidana
(hukum materiil).
Hakim dinilai tidak mendasarkan putusannya pada keyakinan mengenai fakta atas suatu
peristiwa dan keadaan-keadaan yang terjadi yang mendorong terjadi peristiwa konkret.
Intinya hakim pada abad ke-18 tidak berbeda dengan hakim perdata yang hanya menemukan
kebenaran formal mengenai penerapan ketentuan UU pada peristiwa konkret. Hakim saat itu
tidak membedakan siapa pelaku kejahatan dan keadaan kejiwaan pelakunya serta ihwal yang
meringankan dan memberatkan dan alasan pemaaf dan alasan pembenar.
Perubahan zaman kehidupan dan peradaban masyarakat abad ke-18 telah berkembang dan
kini mengalami perubahan signifikan mengenai nilai-nilai kehidupan bagi umat
manusia. Perubahan terpenting dan signifikan daripadanya adalah bahwa kini setiap manusia
memiliki hak yang paling asasi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sejak ia
dilahirkan.
Dalam perkembangannya hak asasi yang melekat bahkan sejak lahir diklasifikasikan pada
dua jenis: hak asasi yang dapat dikesampingkan (derogable rights) seperti hak ekonomi, hak
sosial, dan hak politik; dan hak yang tidak dapat dikesampingkan (non-derogable rights)
seperti hak hidup. Hak asasi tersebut melekat pada setiap manusia tidak terbatas pada tempat
maupun waktu dan abadi sepanjang manusia hidup bersama dalam lingkungan
masyarakatnya.
***
Tempat setiap orang hidup dalam masyarakatnya tentu berbeda-beda. Perbedaan disebabkan
beberapa aspek seperti aspek geografis, aspek sosial dan budaya, serta aspek hukum,
termasuk kesadaran hukum masyarakat dan penegak hukumnya.
Dahulu dalam HIR khusus hukum acara pidana tidak dikenal/diakui fungsi dan peranan
hakim sebagai penggali nilai-nilai keadilan masyarakat—vide Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman dan ketentuan Pasal 10 ayat (1). Di sana diatur bahwa pengadilan tidak boleh
menolak perkara hanya karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Sedangkan
kedua ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman tersebut mencerminkan bahwa hakim wajib
berperan proaktif (tidak pasif) dan juga tidak menjadi ”mulut undang-undang” terhadap
11. 11
setiap orang yang memperjuangkan keadilan bagi dirinya terhadap penyalahgunaan
wewenang/kekuasaan.
***
Perjuangan menuntut keadilan adalah perjuangan sepanjang hidup dan sepanjang waktu.
Karena itulah, putusan Mahkamah Konstitusi bahwa peninjauan kembali (PK) untuk tujuan
menemukan keadilan dapat dilakukan berkali-kali; bukan hanya sekali atau tidak boleh lebih
dari satu kali.
Perjuangan manusia sejak Deklarasi HAM Universal sampai saat ini (abad ke-20 dan ke-21)
adalah perjuangan untuk melindungi hak asasi bagi setiap orang dalam setiap kepentingan
apa pun sebagaimana telah dicantumkan di dalam UUD 1945 (BAB XA). Ketentuan Pasal 28
J bahkan memberikan kewenangan kepada negara untuk membatasi HAM setiap orang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. Perhatikan dan pahami ketentuan ini khusus kalimat, mengapa dan untuk tujuan
apa negara harus membatasi HAM setiap orang dan harus dengan cara bagaimana
pembatasan tersebut dilakukan.
Doktrin dan ketentuan hukum pidana yang berpegang teguh pada asas legalitas sebagaimana
bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP dengan tafsir bahwa penemuan hukum hanya dapat dilakukan
pada hukum pidana materiil tidak sesuai dan relevan lagi dengan perkembangan HAM dalam
masyarakat demokratis. Pola itu hanya cocok pada rezim totaliter dan oligarki di mana posisi
kekuasaan membuat UU dan kekuasaan eksekutif terhadap warganya tidak lagi neben,
melainkan untergeordnet.
Pandangan sedemikian itu juga berseberangan dengan arus masyarakat sipil yang demokratis.
Mengapa? Ini disebabkan hukum pidana formal atau hukum acara pidana selain merupakan
tata cara bagi pengadilan bagaimana menerapkan hukum pada peristiwa konkret adalah juga
bagaimana pengadilan (inklusif hakim) bekerja tidak berpihak (imparsial) dan mandiri untuk
menemukan kebenaran materiil—sesungguh dan sebenar-benarnya—sesuai dengan nilai
keadilan HAM setiap pencari keadilan. Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat
demokratis, setiap warganya tidak dapat atau terhambat untuk mencari dan memperoleh
keadilan hanya karena fakta suatu peristiwa tidak ada pengaturannya di dalam UU?
Selain alasan tersebut, fakta perkembangan hukum (baca UU) tidak selalu sejalan atau sesuai
dengan perkembangan nilai keadilan dalam masyarakat bukanlah pemikiran baru karena
sejak semester I (Pengantar Ilmu Hukum) telah diajarkan di Fakultas Hukum.
Beranjak dari pemikiran sosiologi hukum dan teori hukum pembangunan dan teori hukum
progresif bahkan teori hukum integratif, sejatinya nilai-nilai yang terdapat di balik putusan
hakim Sarpin dalam Praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan haruslah diakui objektif dan
12. 12
memperoleh justifikasi filosofis yuridis dan sosiologis. Harusnya putusan tersebut dipandang
sebagai pintu masuk bagi setiap orang untuk memperjuangkan hak asasinya yang telah
ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, dan dituntut tidak berdasarkan hukum.
Atau juga karena tindakan kekuasaan yang telah melampaui batas kewenangan atau tindakan
mencampur adukkan wewenang atau tindakan sewenang-wenang penyelenggara negara atau
aparat penegak hukum (Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan).
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
13. 13
Peran Eksternal dalam Konflik Internal Partai
Koran SINDO
14 April 2015
Peran mediasi pihak eksternal dalam penyelesaian konflik kerap dibutuhkan dalam rangka
segera menghentikan konflik baik yang bersifat sementara ataupun permanen.
Dalam beberapa kasus politik peran pihak eksternal itu terbukti mampu dapat menghentikan
atau menyelesaikan konflik-konflik yang sulit bahkan telah dianggap tidak mungkin
dihentikan. Sebut saja misalnya konflik antara etnis Tutsi dan Hutu ataupun antara
Pemerintah RI dan GAM.
Meski mampu dengan baik menyelesaikan sejumlah persoalan pelik terutama pada kasus-
kasus yang berskala internasional, peran eksternal atau pihak ketiga dalam kasus konflik
internal partai, terutama dalam kasus Indonesia tidaklah berakhir dengan manis. Peran pihak
eksternal dalam banyak kasus justru makin mengacaukan dan memperumit situasi.
Dari PSII hingga Golkar
Pada masa Orde Baru peran pihak eksternal dalam hal ini intervensi pemerintah dalam
konflik-konflik internal partai demikian terasakan. Dalam konflik itu, pemerintah
mengondisikan situasi yang pada akhirnya memaksa satu di antara kedua kelompok yang
bertikai ”meminta petunjuk” atau saran dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik internal
yang ada.
Situasi ini dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai pintu masuk bagi ”pembenahan” partai,
yang pada intinya mengamankan pihak-pihak yang dianggap ”ramah rezim”, yakni mereka
yang mudah diajak kerja sama untuk memuluskan agenda dan kepentingan pemerintah agar
dapat menguasai partai. Pada 1970-an situasi ini terjadi misalnya, pada kasus yang menimpa
PSII. Kala itu ada pertikaian antara kelompok PSII yang dipimpin oleh MCH Ibrahim versus
kelompok TM Gobel.
Kelompok yang pertama dipersepsikan sebagai anti-rezim karena dituduh tidak sepakat
dengan ide Fusi Partai yang dicanangkan Orde Baru. Persepsi anti-rezim ini dimanfaatkan
oleh kelompok Gobel untuk meminta dukungan pemerintah agar mendukung eksistensi
kelompok mereka dan membenarkan berbagai manuver untuk mendongkel keberadaan
kelompok Ibrahim yang jelas-jelas terpilih secara sah dan demokratis pada Kongres Nasional
Ke-33 pada 1971.
Perebutan Kantor DPP PSII oleh kelompok Gobel didiamkan, bahkan juga sebenarnya
14. 14
direstui, oleh pemerintah, yang bahkan tidak lama setelahnya justru mengundang kelompok
Gobel di bawah pimpinan Anwar Cokroaminoto untuk bersama-sama pimpinan partai-partai
Islam yang lain menandatangani kesepakatan fusi ke dalam PPP pada 1973. Undangan ini
bentuk pengakuan sepihak kepada kelompok Gobel, pihak yang dianggap lebih sah oleh
pemerintah.
Valina Singka memersepsikan situasi ini sebagai bentuk intervensi pihak eksternal yakni
pemerintah yang berujung pada terjadi sebuah kudeta yang disusul dengan pemakzulan
kelompok yang sah di tubuh PSII (Singka, 2014).
Situasi yang kurang lebih sama terjadi lagi pada konflik PPP dan PDI, tentu saja dengan
aksentuasi yang berbeda. Pada kasus PPP, konflik antara kelompok NU dan Parmusi,
berujung pada banyak kekecewaan terutama bagi kalangan NU.
Kasus-kasus di atas mengindikasikan bahwa sejauh kepentingan yang tidak tulus, baik dalam
rangka mempertahankan rezim atau membela kelompok yang pro-pemerintah menjadi
acuannya, maupun ambiguitas keputusan hadir, peran eksternal dalam konflik internal partai
justru kontraproduktif bagi upaya penyelesaian konflik.
Untuk itu, kepentingan sedemikian harus disingkirkan oleh siapa saja yang peduli terhadap
upaya penyelesaian konflik internal partai, termasuk pemerintah. Meski akar persoalan
konflik tetap berasal dari internal partai, peran eksternal jelas tidak dapat disepelekan.
Berlarut-larutnya penyelesaian konflik partai jelas merugikan karena partai akhirnya lebih
disibukkan pada pembenahan internal ketimbang berkiprah di tengah masyarakat.
Pun intervensi yang kebablasan dan tanpa solusi yang objektif dari pihak ketiga hanya akan
membawa preseden bagi pembenaran perilaku buruk rezim terhadap partai, yang ujungnya
jelas mematikan upaya pendewasaan partai itu sendiri.
DR FIRMAN NOOR, MA
Pengajar pada Program Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia; Peneliti pada Pusat
Penelitian Politik LIPI
15. 15
Tidak Kapok Kena OTT
Koran SINDO
15 April 2015
Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap koruptor yang sedang bertransaksi suap kembali
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lagi-lagi yang menjadi sasaran anggota DPR, dan kali ini menimpa Adriansyah dari Komisi
IV Fraksi PDI Perjuangan saat pelaksanaan kongres di Bali (9/4/2015). Realitas ini menjadi
bukti sahih bahwa anggota DPR tidak ada kapoknya kena jeratan OTT dari KPK. Padahal,
mereka berpredikat wakil rakyat yang selalu dihormati, tetapi tidak dipelihara dengan
perilaku yang bisa dijadikan panutan.
Sudah begitu banyak anggota parlemen ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena terbukti
melakukan korupsi atau mengantongi uang suap. Tetapi kenapa tidak menimbulkan rasa takut
bagi legislator yang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Mereka belum benar-benar
kebal terhadap godaan korupsi, padahal gaji dan tunjangan mereka begitu besar diberikan
oleh negara.
Hal yang cukup memprihatinkan karena Adriansyah sebelum menjadi anggota DPR adalah
bupati dua periode di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Kabarnya dia juga berencana akan
mengikuti pemilihan gubernur pada Desember 2015. Apakah ada kaitannya dengan pilkada
serentak yang memang butuh dana besar, sehingga harus menyebar jejaring untuk menjala
sebanyak mungkin dana besar untuk biaya kampanye?
Meskipun KPK, sesuai pemberitaan, belum menemukan dugaan mengumpulkan dana untuk
kepentingan pilkada, tetapi KPK tidak boleh mengabaikan dugaan itu. Indikasi itu harus
dipertajam dan diseriusi, sebab orang yang memberikan suap dan yang kena OTT adalah
pengusaha di bidang pertambangan. Ini selalu menjadi motif dalam setiap transaksi suap oleh
calon kepala daerah menjelang pilkada. Selalu ada oknum pengusaha hitam yang ikut
bermain dengan memanfaatkan kebutuhan dana besar untuk biaya pilkada.
Sumpah Jabatan
Sebelum seorang anggota DPR memangku jabatan dia harus mengucapkan sumpah/janji
secara bersama-sama dengan anggota lain dalam rapat paripurna DPR. Sumpah/janji anggota
DPR tertera dalam Pasal 78 UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Ada tiga substansi dalam sumpah/janji anggota DPR. Pertama, akan memenuhi kewajiban
sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Setiap anggota DPR dalam
16. 16
melaksanakan tugas dan kewajiban harus sesuai peraturan perundang-undangan, berpedoman
pada Pancasila dan UUD 1945. Tidak akan melakukan korupsi, tidak menerima suap karena
hal itu dilarang dalam UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, dalam menjalankan kewajiban, setiap anggota DPR akan bekerja dengan sungguh-
sungguh untuk menegakkan kehidupan demokrasi, mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Ketiga, memperjuangkan
aspirasi rakyat yang diwakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tetapi godaan korupsi karena merasa gaji dan tunjangan tidak cukup bukan lagi persoalan
sumpah jabatan, melainkan integritas moral dan kewibawaan sebagai wakil rakyat yang
terhormat. Tetapi godaan korupsi tidak mengenal kedudukan, pangkat, dan gelar akademik.
Siapa pun bisa terjerat korupsi, dari penegak hukum, anggota legislatif, termasuk profesor
sekalipun. Realitasnya, selama ini nyaris tidak ada lembaga negara di negeri ini yang mampu
mengklaim diri sebagai institusi yang kebal dari godaan korupsi.
Berbagai modus korupsi, permainan transaksi uang suap dan gratifikasi sebagai bentuk lain
korupsi sudah diketahui, tetapi nyaris tidak mampu ditepis oleh mereka yang memiliki
kesempatan. Niat untuk korupsi tersebar dalam hati para pemegang kekuasaan, mereka
tinggal menunggu ”kesempatan” untuk mewujudkannya. Tidak sedikit anggota DPR secara
sadar melakukan korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena ada kewenangan besar yang
dimilikinya.
Kasus Adriansyah yang terjerat OTT perlu dijadikan sinyal pengingat bahwa anggota DPR
tidak kapok digiring ke ruang tahanan KPK dengan memakai rompi warna oranye. Mereka
tidak merasa malu tampil di layar televisi, bahkan ada yang melambaikan tangan sambil
tersenyum seolah tidak punya beban, meskipun senyumnya terlihat kecut. Kasus Adriansyah
juga mengingatkan bahwa sumpah jabatan tidak berfungsi menjadi instrumen penyadaran
bagi sebagian anggota DPR dalam melaksanakan amanah rakyat.
Jeratan Izin Proyek
Ternyata pemberian izin untuk proyek-proyek fisik sudah menjadi motif suap dan gratifikasi.
Ia menjadi ladang subur untuk mendapatkan dana dalam jumlah besar secara tidak halal.
Keuntungan finansial yang diperoleh dari transaksi ilegal itu dilakukan dengan
menyalahgunakan wewenang. Pengusaha hitam yang sering menggunakan cara curang untuk
mendapatkan proyek yang dibiayai dari uang negara, juga begitu lihai merayu pejabat negara
untuk ikut berbuat curang.
Jeratan izin proyek yang membawa oknum pejabat negara ke balik terali besi itu karena
kewenangan besar yang dimiliki pejabat memberi peluang untuk menyalahgunakan
wewenang. Ini sangat relevan dengan kekuasaan DPR dalam menjalankan fungsi anggaran
17. 17
yang membuka peluang besar untuk disalahgunakan. Maka, semakin benarlah sinyalemen
Lord Acton, seorang pemikir Inggris yang sangat terkemuka bahwa ”power tends to corrupt,
absolute power corrupt absolutely” atau kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang
absolut (mutlak) korupsinya juga besar.
Kekuasaan besar itu bisa dilihat saat perwira tinggi kepolisian diusulkan Presiden menjadi
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjadi hakim agung, atau pimpinan KPK
harus menjalani uji kelayakan dan kepatutan oleh anggota DPR. Tanpa persetujuan DPR,
tidak bisa calon bersangkutan menduduki jabatan itu. Begitu pula dalam pembahasan
anggaran negara di DPR.
Sebetulnya putusan Mahkamah Konstitusi sudah membatasi kewenangan anggota DPR.
Namun, masih saja ada oknum anggota DPR yang berani mencari peruntungan dengan janji
utak-atik pembahasan proyek.
Berbagai peraturan perundang-undangan mencegah penyelenggara negara untuk melakukan
korupsi. KPK juga diberi tugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan korupsi,
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Pasal 6 UU KPK).
Anggota DPR pun diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah
menjabat. Sayangnya semua upaya pencegahan itu hanya eksis di atas kertas, tetapi lemah
implementasinya.
Ternyata, ketentuan pencegahan itu tidak lebih dari upaya formalitas, sekadar menunjukkan
kepada publik telah dilakukan pencegahan, tetapi kesannya hanya membangun citra. Wajar
jika kemudian OTT perlu terus diintensifkan KPK, terutama pada transaksi suap yang sangat
sulit ditelusuri dengan cara konvensional.
Transaksi suap hanya efektif ditangkap tangan jika ada kewenangan menyadap telepon para
pelaku tentang di mana transaksi itu dilakukan. Realitas selama ini, pemberi dan penerima
suap tidak pernah membuat kuitansi penerimaan uang suap yang bisa dijadikan alat bukti.
Semoga kasus Adriansyah yang terjerat OTT bisa menjadi efek rasa takut bagi penyelenggara
negara lain untuk tidak melakukan hal yang sama.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
18. 18
Partai, Konflik, Figur
Koran SINDO
15 April 2015
Salah satu berkah Reformasi adalah kesempatan warga negara untuk mendirikan partai
politik.
Pada masa sebelumnya hak itu diberangus oleh Orde Baru. Alih-alih memberi hak, rezim
malah menyederhanakan partai melalui fusi alias ”kawin paksa” di awal 1970-an dengan
alasan stabilitas. Eksperimen mendirikan Partai Rakyat Demokratik pada pertengahan 1990-
an sempat harus dibayar mahal oleh para eksponennya.
Namun, setelah empat kali pemilu pascareformasi, isu tentang partai politik belum banyak
berubah. Selain partai peserta pemilu baru yang datang dan pergi setiap pemilu, belum ada
kemajuan berarti dalam pengelolaan partai politik secara modern dan demokratis. Berita
tentang partai kerap diwarnai konflik internal. Publik pun mengkritik partai sebagai jelmaan
oligarki kekuasaan.
Setiap habis pemilu, konsolidasi partai politik kerap diwarnai perebutan kekuasaan antara
faksi yang mendukung penguasa dan faksi yang ingin beroposisi. Tentu ini tidak terjadi pada
partai pemenang pemilu. Pada partai pemenang pemilu yang biasanya terjadi adalah friksi
dalam memperbesar portofolio kekuasaan kelompok di dalam tubuh partai dan
pemerintahan.
Konflik Internal
Selepas Pemilu 2004 kita menyaksikan langkah Jusuf Kalla mengambil alih kepemimpinan
Golkar dan menjadikan partai beringin itu sebagai salah satu jangkar politik pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Padahal JK bukanlah calon resmi Golkar
dalam pemilihan presiden, karena konvensi Golkar menetapkan Wiranto sebagai pemenang.
Langkah JK berhasil, namun dengan ongkos yang tidak murah. Wiranto yang kecewa
akhirnya mendirikan Partai Hanura pada 2006. Tidak lama kemudian, Prabowo yang juga
peserta konvensi Golkar mendirikan Partai Gerindra. Kedua partai ”anak konvensi” ini
menjadi kontestan Pemilu 2009 dan berhasil ke Senayan. Belakangan, Golkar malah turun
suaranya di pemilihan anggota legislatif dan gagal di Pilpres 2009. JK yang kalah pada
Pilpres 2009 dianggap ”berdosa”, hal yang lazim dalam politik.
Munas Golkar di Pekanbaru 2009 menghadirkan kompetisi yang ketat dan sengit antara
Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kemenangan Bakrie kemudian diikuti menyempalnya
19. 19
Surya Paloh dan lahirnya organisasi kemasyarakatan (ormas) Nasional Demokrat (Nasdem)
yang bermetamorfosis menjadi Partai Nasdem di kemudian hari. Sementara Aburizal makin
merapat ke pemerintahan SBY dan diganjar sebagai ketua harian Setgab Koalisi.
Sejumlah pengamat mengatakan apa yang terjadi di Golkar sekarang merupakan pengulangan
sejarah–mirip ungkapan Prancis, l’histoire se répète. Selama ini Golkar adalah partai yang
selalu berada di dalam kekuasaan. Yang terjadi kini sejatinya adalah tarik-menarik antara
tradisi lama yang selalu berada di dalam kekuasaan dengan alur politik yang ingin
membangun tradisi baru di luar kekuasaan sebagai oposisi. Tarik-menarik kedua arus ini
sangat keras dan diduga melibatkan pihak di luar partai.
Cerita berbeda dialami oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang relatif berhasil
mengelola dinamika internal organisasinya pasca-konflik 2008 dan kemerosotan perolehan
suara pada Pemilu 2009. Meskipun sisa-sisa konflik masih belum hilang sepenuhnya, tetapi
kondisi internal yang relatif tenang dan ”arus balik” sebagian suara pada Pemilu 2014 telah
mengobati luka-luka yang terjadi pada episode sebelumnya. Terpilihnya kembali Muhaimin
Iskandar secara aklamasi dalam Muktamar PKB di Surabaya menjadi penanda yang cukup
kuat.
Wajah berbeda bisa kita temukan pada Partai Amanat Nasional (PAN). Partai ini tenang dan
nyaman bersama pemerintahan SBY. Pada Pemilu 2014 lalu juga berhasil mendongkrak
perolehan suara, salah satunya karena menjual sosok Hatta Rajasa dalam pilpres.
Ketidakberhasilan Hatta di dalam pilpres telah menjadikan kongres PAN sangat kompetitif.
”Koalisi” Amien Rais dan Soetrisno Bachir berhasil mengalahkan Hatta dan menempatkan
Zulkifli Hasan sebagai nakhoda baru. Partai matahari biru ini berhasil mengelola kompetisi
demokratik dan isu regenerasi dengan cukup manis. Meskipun menyisakan riak-riak, seperti
rencana hadirnya ormas Harapan Rakyat (HR), PAN relatif bisa menampilkan tradisi
demokrasi dalam alih kepemimpinan.
Tantangan Figur Sentral
Tantangan yang berbeda dihadapi oleh partai dengan figur sentral yang kuat. Sebut saja Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Hanya PKS yang figur sentralnya tidak mengambil posisi sebagai
pejabat eksekutif partai. Megawati Soekarnoputri menjabat ketua umum, SBY adalah ketua
umum dan ketua Majelis Tinggi, Prabowo ketua umum dan ketua Dewan Pembina, sementara
Hilmi Aminuddin diposisikan sebagai ketua Majelis Syura yang punya otoritas moral-politik.
Kondisi yang menantang dan agak khas terjadi di PDIP dan Partai Demokrat. Megawati
Soekarnoputri dan SBY sedang menghadapi pertanyaan politik yang kurang lebih sama,
yakni tentang isu regenerasi, meritokrasi dan modernisasi partai. Pertanyaan kepada SBY
lebih keras karena selama ini dia berusaha mengampanyekan Demokrat sebagai partai
20. 20
modern, terbuka, dan demokratis; meskipun keduanya (Megawati dan SBY) sama-sama
memegang kuasa veto di partainya masing-masing.
Forum Rapat Kerja Nasional PDIP di Semarang pada September 2014 merekomendasikan
agar Megawati kembali menjadi ketua umum periode 2015-2020. Atas rekomendasi itu,
Megawati yang sudah memimpin PDIP sejak 1999 menyatakan setuju. Sekretaris Jenderal
PDI Perjuangan (waktu itu) Tjahjo Kumolo menjelaskan bahwa selama partai ini masih
hidup, jangan dilepaskan dari trah Soekarno. ”Selain trah Soekarno mentok jadi sekjen,”
demikian Tjahjo dikutip media waktu itu.
Kongres PDIP yang baru selesai di Bali mengukuhkan kembali Megawati sebagai ketua
umum untuk lima tahun ke depan. Kabinet baru juga tidak banyak perubahan, kecuali
masuknya Prananda Prabowo dan hilangnya Maruarar Sirait dan Effendi Simbolon. Desas-
desus akan adanya posisi wakil ketua umum sebagai simbol regenerasi yang serius tidak
terkonfirmasi dari struktur kabinet baru. Megawati menganggap kerangka kabinetnya yang
lama sebagai ”the winning team” yang layak diharapkan untuk periode baru. Kongres Bali
adalah penegasan sentralnya peran Megawati di partai banteng yang kini menjadi partai
pemerintah.
Demokrat yang akan berkongres di Surabaya ditandai adanya mobilisasi politik untuk
aklamasi. Posisi sentral SBY ingin dikukuhkan dengan gerakan arus bawah agar terpilih
aklamasi. Ada alasan internal, pertimbangan figur SBY yang dinilai layak menjadi ketua
umum, meski harus menjilat ludahnya sendiri, maupun pertimbangan eksternal agar partai
terkonsolidasi dan tidak terancam perpecahan. Bahkan sempat ada istilah agar Demokrat
jangan sampai ”di- Golkar-kan”.
Meskipun berbeda dengan PDIP, Partai Demokrat menghadapi tantangan eksistensial pasca-
SBY. Proses institusionalisasi belum berjalan baik dan cenderung tersedot arus balik
personalisasi karena sentralnya posisi dan peran SBY. Kongres Demokrat akan menjadi arena
di persimpangan jalan, antara ”jalan idealis” membangun partai modern yang terlembaga,
atau ”jalan pragmatis” yang semakin mengukuhkan dependensi politik kepada figur SBY.
Untuk kepentingan partai sebagai institusi, apalagi yang bersifat jangka panjang dan
berorientasi ke depan, pilihan pada ”jalan pragmatis” tidak menguntungkan.
Ujian Sejarah
Setiap partai akan diuntungkan oleh hadirnya tokoh utama atau figur besar. Bukan semata-
mata berfaedah sebagai pilar stabilitas internal, tetapi juga berperan penting sebagai magnet
elektoral. Namun, pada saat yang sama partai yang dilekati kehadiran figur besar yang sentral
posisi dan perannya akan menghadapi tantangan berat dalam pelembagaan internal menjadi
partai modern yang mapan.
Akhirnya, perjalanan masa juga yang akan menjawab sejumlah pertanyaan eksistensial itu.
Waktu akan menjadi ujian sejarah bagi Megawati dan SBY, apakah sanggup menjadi
21. 21
jembatan regenerasi dan pelopor modernisasi partai? Juga menjawab pertanyaan, apakah
variabel trah dan famili bisa disenyawakan dengan prinsip meritokrasi dan asas prestasi
politik?
Pertanyaan-pertanyaan ini sederhana saja, tetapi punya tautan yang kuat dengan masa depan
PDIP dan Partai Demokrat, juga partai-partai lain. Pada jawaban atas pertanyaan itulah
terletak masa depan demokrasi kita. Demokrasi yang berfaedah nyata bagi Indonesia dan
rakyatnya.
ANAS URBANINGRUM
Pengamat Politik
22. 22
Mengenang KAA 1955
Koran SINDO
15 April 2015
Indonesia akan menyelenggarakan peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955
sekitar satu minggu lagi.
Yang lahir setelah tahun 1955 hanya dapat mengetahui apa yang terjadi waktu itu melalui
buku, laman internet, atau media sosial. Sayangnya referensi tersebut kurang membawa kita
pada aura kebatinan yang menyelimuti peserta dan para pengamat masa itu.
Richard Wright, seorang novelis, warga negara Amerika Serikat (AS) berkulit hitam, mantan
anggota Partai Komunis di Amerika, adalah salah seorang yang datang dan mengamati
langsung jalannya KAA 1955. Ia menggambarkan bagaimana terkejutnya masyarakat di
belahan dunia Barat bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka, setengah merdeka, dan belum
merdeka sepakat berkumpul membicarakan perdamaian dunia, kebebasan dari rasa takut dan
mengecam imperialisme dengan berbagai bentuknya.
Beberapa yang berpandangan negatif mengatakan bahwa konferensi itu sangat rasialis dan
diskriminatif karena hanya mengundang peserta kulit berwarna, yaitu Asia dan Afrika. Hal
ini seperti yang ditulis harian The Launcenston Examiner of Tasmania (30/12/1954). Ada
pula seorang campuran Asia dan Eropa yang meyakini bahwa bangsa Asia tidak perlu bicara
soal demokrasi karena tidak cocok. Asia lebih cocok menggunakan sistem otoriter karena
rakyatnya susah diatur.
Beberapa ungkapan positif berasal dari warga Barat yang aktivis demokrasi. Mereka kagum
dan heran bahwa bangsa-bangsa bekas jajahan yang dianggap rendah berhasil membuat
sebuah pertemuan internasional terbesar pasca-Perang Dunia II. Namun, kekaguman mereka
juga diwarnai pemikiran eropasentris yang menyebut pertemuan itu adalah akibat perlakuan
yang tidak baik dari negara-negara Barat terhadap jajahannya. Dengan kata lain, mereka
berkata apabila Barat bersikap humanis, bangsa Asia-Afrika tidak akan memberontak.
***
Komentar-komentar tersebut, terutama yang negatif, sebetulnya dipicu oleh kekhawatiran
akan terjalinnya aliansi antara negara Asia-Afrika dengan Komunis Cina. Pada masa itu
suasana Perang Dingin. Blok kapitalis yang dipimpin oleh AS dan blok sosialis pimpinan Uni
Soviet berlomba memperluas pengaruh. Fakta itu menimbulkan rasa khawatir bahwa KAA
akan mendukung perluasan komunisme di Asia-Afrika, apalagi hina termasuk tamu undangan
KAA.
23. 23
Perlu atau tidaknya Cina diundang ke KAA sempat menjadi pertanyaan besar bagi lima
negara pengusul konferensi ini (Indonesia, India, Pakistan, Burma yang sekarang Myanmar
dan Sri Lanka). Dalam kesaksiannya di buku Bandung Connection, Roeslan Abdul Gani
menyampaikan bahwa dalam Konferensi Panca Perdana Menteri di Istana Bogor tahun 1954
usulan India untuk mengundang Cina sempat ditentang oleh Pakistan dan Sri Lanka. Selain
alasan bahaya subversif (atau bahaya laten dalam istilah di Indonesia), mereka juga khawatir
negara-negara yang telah bergabung dengan blok Barat seperti Thailand, Filipina dan negara-
negara Arab akan menolak untuk datang. Pada masa itu, Cina disinyalir mendanai kegiatan
subversif dan ilegal di sejumlah negara, termasuk penyusupan ideologi komunisme di
kawasan Asia dan Afrika.
Kekhawatiran tersebut disanggah oleh Perdana Menteri (PM) India Jawaharlal Nehru dan PM
Burma U Nu. Mereka berpandangan bahwa partai komunis di Asia memiliki corak berbeda
dengan komunis internasional di Barat. Partai Komunis di Cina dan negara-negara lain lebih
dekat kebatinan budaya Asianya ketimbang Partai Komunis di Barat.
Secara khusus PM Nehru menegaskan bahwa undangan KAA kepada Cina justru akan
memperluas pergaulan dan cakrawala Cina sehingga Cina dapat lebih berjarak dengan Rusia.
Waktu itu Rusia dipandang agresif dan terang-terangan memusuhi negara-negara yang
menolak kerja sama dengan Rusia. Itu sebabnya Rusia tidak diundang ke KAA.
Tampak bahwa secara tidak langsung Nehru menularkan keyakinan bahwa negara-negara
Asia dan Afrika berkemampuan menekan Cina dalam KAA agar menghormati janjinya
sendiri dalam menjaga hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence),
menghindari agresi, menghindari campur tangan dalam urusan dalam negeri negara-negara
lain dan menghormati integritas teritorial negara lain.
Perdebatan soal undangan kepada Cina itu akhirnya selesai karena nada keras dan sedikit
mengancam dari PM Burma yang menyatakan akan mengundurkan diri dari KAA apabila
Cina tidak diundang. Cina menurutnya adalah kunci untuk perdamaian di Asia karena
geopolitik dan kekuatannya. Pernyataan yang berbau ancaman itu akhirnya meluluhkan sikap
keras dari Pakistan dan Sri Lanka sehingga akhirnya setuju mengundang Cina.
***
Namun, kekhawatiran tidak selesai di sana. Indonesia masih perlu meyakinkan dunia Barat
bahwa KAA tersebut bukan panggung bagi blok komunis. Salah satu trik yang digunakan
adalah dengan menyelipkan puisi tentang Paul Revere dalam pidato pembukaan Presiden
Soekarno. Ide ini berasal dari Roeslan Abdulgani yang menjabat sekretaris jenderal di
Kementerian Luar Negeri dan koordinator pelaksana teknis KAA.
Paul Revere adalah patriot muda Amerika yang melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial Inggris di Amerika. Sebagai tokoh, Paul dikenang karena ia memberi
peringatan kepada pasukan-pasukan milisi di AS untuk bersiap menghadapi pasukan kolonial
24. 24
Inggris. Yang heroik, dia mengumumkan dengan cara menunggang kuda selama kurang lebih
14 jam sejak pukul 10 malam dari Boston hingga Lexington.
Yang fantastis, hari pengumuman oleh Paul Revere itu terjadi tepat 180 tahun pada hari
pembukaan KAA, yakni 18 April. Pidato Presiden Soekarno yang menyelipkan potongan
puisi tentang tokoh yang dikagumi oleh masyarakat Amerika tersebut telah mencairkan
ketegangan dan mengurangi kekhawatiran bahwa konferensi ini akan digunakan oleh salah
satu blok.
Kekhawatiran juga hilang ketika Chou En Lai, PM Republik Komunis Cina, mengatakan
dalam pidatonya bahwa ia dapat saja menggunakan kesempatan yang diberikan untuk
menggugat keterlibatan Amerika di Taiwan atau keanggotaannya di PBB. Namun dia
mengesampingkan hal tersebut karena delegasi RRC datang untuk mencari persatuan dan
bukan perbedaan. Cina menyatakan sepenuhnya setuju dengan dasar dan tujuan KAA dan
tidak mengusung agenda lain.
Konferensi itu kemudian menghasilkan sepuluh prinsip yang dikenal sebagai Dasa Sila
Bandung yang intinya menekankan lingkungan politik luar negeri regional yang damai bagi
seluruh negara terlepas dari ideologinya. Konferensi ini juga menjadi landasan dan rujukan
bagi berdirinya Gerakan Negara-Negara Non-Blok yang menambah posisi tawar terhadap
blok kapitalis dan blok komunis.
Keberhasilan KAA adalah bukti kemampuan Indonesia mengurangi ketegangan dan
kekhawatiran bahwa konferensi itu akan dijadikan alat propaganda untuk salah satu blok.
Empat negara lain yang menjadi pengusul konferensi juga berkontribusi penting. Namun,
keterlibatan mereka tak akan ada apabila Indonesia tidak memiliki kemampuan diplomasi
untuk meyakinkan mereka bahwa konferensi itu penting dan harus dilaksanakan segera. India
pada awalnya ragu untuk mengambil bagian dalam KAA hingga PM Ali Sastroamidjojo
datang sendiri ke Calcutta dan meyakinkan PM Nehru.
Kemampuan untuk mengumpulkan 29 bangsa Asia-Afrika yang berbeda dalam ideologi,
agama, budaya, kepentingan politiknya dan sejarah konflik yang tajam antara satu negara
dengan negara lain adalah kemampuan diplomasi yang sangat langka. Blok kapitalis dan blok
komunis pada saat itu juga mampu mengorganisir konferensi dunia dan dihadiri oleh negara-
negara lain, tetapi dengan disertai imbalan perlindungan militer dan bantuan ekonomi. KAA
tidak melakukan hal tersebut. Bekal Indonesia adalah kematangan berdiplomasi, membangun
kepercayaan dari undangan, dan harapan akan kebersamaan yang lebih cerah setelah KAA.
Pertanyaan bagi Indonesia adalah, apakah kita masih memiliki keunggulan dalam diplomasi
itu? Mari kita berharap KAA di Bandung pekan depan akan memberikan jawab yang bagus
untuk pertanyaan tersebut.
25. 25
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
@dinnawisnu
26. 26
Mewaspadai Frustrasi Sosial
Koran SINDO
16 April 2015
Lelah. Barangkali kata itulah yang paling tepat menggambarkan kondisi psikologis yang
tengah dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia menghadapi situasi sosial-politik yang
gaduh di negeri ini. Kecuali mungkin, orang-orang yang mengisolasi diri dari gempita
informasi yang saban hari membombardir kita.
Tapi, normalnya, siapa sih yang tidak lelah menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara
yang selalu karut-marut untuk problem yang bahkan remeh-temeh sekalipun. Sementara
tugas besar memajukan kehidupan masyarakat yang menjadi raison d’etre eksistensi negeri
ini seakan terlupakan, tersandera oleh kegenitan politik yang banal.
Padahal, beberapa bulan yang lalu, begitu gegap gempita rakyat mendapatkan pemimpin
yang baru. Sejuta harap pun tersemat di pundak pemerintah terpilih, yang mengemban citra
jujur, merakyat, dan hebat. Begitu tinggi ekspektasi itu bersemi bahwa pemerintah mampu
menyejahterakan rakyat, menggapai bonum publicum, sebagaimana mimpi para pendiri
negeri.
Hingga kini sebagian masyarakat masih menyimpan optimisme akan kehadiran kehidupan
yang lebih baik. Sayangnya, sebagian masyarakat, pula mahasiswa, telah kadung ”ilfill”
dengan pencitraan dan janji-janji. Meski baru seumur jagung berkuasa, pemerintah dinilai
telah menyia-siakan, bahkan mengkhianati dukungan rakyat yang meruyak saat pilpres lalu.
Jika kita berkenan jujur menilai, trust (kepercayaan) rakyat kepada pemerintah memang
mulai menunjukkan grafik penurunan. Lihatlah, betapa suara-suara sumbang tentang
pemerintah telah mulai bermunculan dalam obrolan keseharian. Banyak pendukung fanatik
Presiden yang merasa tidak lagi bisa memahami langkah dan kebijakan presiden pilihannya.
Di dunia maya, masyarakat yang ketika pemilu terpolarisasi pun kembali ”bertempur”. The
Lover, di satu sisi, mengangkat kebaikan dan kehebatan kebijakan pemerintah. Sementara di
sisi yang lain, The H(e)aters seakan selalu mendapatkan amunisi baru untuk mengkritisi
kebijakan pemerintah yang seringkali kontroversial dan tidak populis itu.
Celakanya, trust yang turun itu berseiring sejalan dengan turunnya wibawa pemerintah di
mata rakyat. Lihatlah di dunia maya dan media sosial. Betapa artikel, plesetan lagu, komik,
meme yang mengolok-olok, menyindir, dan membercandai Presiden dan kebijakan yang
diambil pemerintah bertebaran. Ini jelas tidak sehat untuk sebuah negara karena berpotensi
menjadi bola salju yang kian membesar mengingat mudahnya informasi diakses publik.
27. 27
Tentu ini terjadi bukan tanpa sebab. Kekecewaan terhadap kinerja pemerintah salah satu
alasannya. Bagi masyarakat, indikator utamanya tentu sederhana saja. Apakah rakyat telah
merasakan kesejahteraan, penegakan hukum, kekompakan dalam kabinet, serta ada-tidak
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam tubuh pemerintahan. Selama ini muncul
persepsi bahwa rakyat justru banyak disuguhi kebijakan kontroversial yang mengundang
kegaduhan yang melelahkan. Bukan kebijakan dan langkah taktis yang efektif solutif.
Meski baru seumur jagung berkuasa, tampaknya pemerintahan ini telah berhasil membuat
banyak rekor terpecahkan. Mulai dari ranah hukum, politik, hubungan internasional, hingga
perihal ekonomi dan investasi. Zaman kleptolitikum (Akung, 2010), kleptomania politik dan
hukum, tampaknya kian terasa ruh realitasnya di hari-hari belakangan ini. Kegaduhan dan
silang-sengkarut akibat kegemaran merobek-robek hukum, membuat kita lupa tugas
memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, dan politik balas budi yang kian meraja di negeri
ini. Kita pun alpa untuk menempatkan stabilitas negara dan kepentingan bangsa pada aras
utama setiap kebijakan.
Banyak pihak mensinyalir bahwa negeri pancasilais ini lamban namun pasti tengah dibawa
menjadi negeri kapitalis-liberalis. Satu per satu subsidi dipereteli, dicabut, entah untuk
kepentingan siapa. Dialihkan, tidak tahu entah ke mana. Harga minyak dilepas bebas, liberal
mengikut harga pasar dunia, nyaris tanpa subsidi.
Tentu tidak perlu terlalu pandai untuk menakar multiplier effect kebijakan ganjil ini.
Sewaktu-waktu harga minyak bisa naik kapan saja, membuat situasi ketidakpastian
(uncertainity) kian menjadi-jadi, harga barang tak terkendali. Apalagi ketika rupiah mulai
tumbang, hilang keperkasaannya.
Jangan Undang Amarah
Jika kondisi tidak populis ini dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi, tentu yang akan
menyandang duka terdalam adalah wong cilik (rakyat kecil), yang sebagian besar adalah
pendukung fanatik presiden terpilih.
Mereka memiliki ekspektasi (harapan) perubahan nasib yang sangat tinggi ketika ”Satria
Piningit” pujaan hati terpilih menjadi pemimpi negeri. Sayangnya, semakin tinggi ekspektasi,
semakin tinggi pula tingkat kekecewaan apabila ekspektasi tersebut tidak terpenuhi.
Dalam telaah buku-buku klasik psikologi sosial, kekecewaan demi kekecewaan berpotensi
besar melahirkan apa yang disebut sebagai frustrasi. Solberg (2002) menunjukkan bahwa
frustrasi muncul dari kesenjangan antara harapan dan pencapaian. Frustrasi (frustration)
adalah sebuah kondisi psikologis tidak nyaman yang diakibatkan karena ada penghalang
untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki individu. Bila situasi kekecewaan serupa ini
menjangkiti sebagian besar rakyat, dirasakan secara bersama-sama oleh sebagian besar
individu dalam konteks masyarakat, frustrasi ini akan berarak menuju frustrasi sosial. Jika
kondisi ini berlangsung dalam durasi waktu yang cukup lama, akumulasi kekecewaan yang
28. 28
semakin banyak, kuldesak penghidupan yang semakin akut, serta persepsi tidak ada harapan
perbaikan keadaan, efeknya bisa meluas.
Salah satu yang sangat ditakutkan tersebab frustrasi adalah munculnya agresi sebagaimana
hipotesis frustrasi-agresi Dollard-Miller. Rasa frustrasi yang terakumulasi berpotensi
melahirkan agresi yang sangat berbahaya dalam konteks individu. Terlebih dalam konteks
negara, kondisi frustrasi ini jelas akan jauh lebih berbahaya karena melibatkan lebih banyak
pihak yang dapat memicu instabilitas.
Orang-orang yang kecewa, sakit hati, bahkan frustrasi juga bisa saja mengambil respons lain
seperti melakukan penarikan diri (withdrawal), cuek, dan abai terhadap apa yang terjadi. Tak
jarang mereka memendam dalam diam segenap ketidaknyamanan. Bila perasaan kekecewaan
dan ketidaknyamanan ini terakumulasi dengan beban kehidupan yang semakin bertambah,
bukan mustahil akan terpantik ledakan kemarahan yang memicu agresi sosial. Apalagi, ketika
muncul rasa diperdaya dan dikhianati. Represi, pembungkaman, dan justru hanya akan
memperbesar rasa amarah untuk mempercepat ledakan itu karena akan dimaknai sebagai
serangan atas eksistensi dan harga diri.
Guyon parikena orang Jawa menyebutkan, ketika dikecewakan atau disakiti, awalnya orang
akan memilih untuk ngalah (mengalah), ngalih (berpindah agar tidak mendapat masalah).
Namun, bila pun mereka masih saja diusik, terlebih menyangkut soal ngeleh (lapar), sangat
mungkin mereka akan ngamuk (mengamuk). Amuk (run amook) berpotensi berkecamuk,
manakala kekecewaan dan frustrasi telah terakumulasi melampaui ambang toleransinya.
Segeralah Berbenah
Negara ini ada sesungguhnya dicita untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum
(bonum publicum) yang berkeadilan. Siapa pun saja yang didaulat sejarah menjadi
pemerintah negeri ini, wajib hukumnya berjuang sepenuh hati, jiwa, dan raga untuk
mewujudkannya.
Komitmen inilah yang semestinya dijaga, dirawat, diimplementasikan, dan dibuktikan kepada
rakyat sehingga mereka yang tengah gundah itu merasa dibersamai dan dibela oleh
pemerintah yang dipilihnya. Bukan sebaliknya, pemerintah memeras dan memanipulasi
rakyat untuk kepentingan diri dan relawan pendukungnya.
Komunikasi politik yang adekuat juga mutlak dibutuhkan, baik di level internal pemerintahan
maupun komunikasi untuk publik. Sangatlah tidak elok ketika para petinggi negara
berkomentar centang-perenang, bahkan saling menyalahkan, hingga terekspos di media
massa. Ini indikasi koordinasi yang tidak terjalin rapi. Ingatlah bahwa trust rakyat sewaktu-
waktu bisa saja jatuh ke titik nadir, tersebab kekonyolan komunikasi penyelenggaraan
negara.
29. 29
Menghadapi para pengkritik kebijakan, pemerintah tidak selayaknya melakukan aksi represi
maupun pemblokiran sepihak. Anggaplah kritik sebagai tanda cinta dari rakyat. Kata
kuncinya adalah apresiasi aspirasinya, panggil dan ajak berdiskusi untuk dimintai masukan
yang positif-konstruktif. Pun, mahasiswa yang sudah mulai gerah, semestinya juga
digandeng, dirangkul untuk bersama memperbaiki keadaan. Bukan sebaliknya, dibungkam.
Sebagai catatan penutup, sangatlah tidak mungkin pemerintahan sebuah negara bisa tetap
bertahan manakala mereka menyelisihi titah kuasa rakyatnya. Kecuali, jika pemerintahan
tersebut memang mendesain untuk menjelma diri menjadi tirani. Tapi, itu pun hanya
sementara. Tirani, represi, kekerasan, dan pembungkaman sesungguhnya hanya akan
melahirkan bara api dendam dan kebencian yang sewaktu-waktu bisa membakar siapa saja.
Senyampang masih ada waktu, segenap anak bangsa harus berbenah, membisik bangun
kebersamaan. Kita tentu tidak ingin tragedi bangsa masa lalu kembali berarak kelam di langit
Ibu Pertiwi, menurunkan hujan duka di Tanah Persada. Mari bersama kita jaga Indonesia kita.
Wallahualam.
ACHMAD M AKUNG
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang
30. 30
Hak Konstitusional Komjen Pol BG Menjadi
Pimpinan Polri
Koran SINDO
17 April 2015
Kebutuhan pengisian kepemimpinan di institusi Polri mendesak dilakukan setelah suksesi
kepemimpinan Polri terhambat dengan persoalan politisasi hukum pasca-kepala Polri
sebelumnya non-aktif. Ini mengingat Polri saat ini sedang membutuhkan kehadiran pemimpin
yang memiliki kewenangan dan kekuasaan penuh untuk mengelola segala aktivitas dan
keputusan Polri dalam menjawab berbagai dinamika tantangan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum serta kepentingan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat.
Persoalan suksesi kepemimpinan puncak Polri sempat memanas terkait isu hukum yang
mengemuka ketika Komjen Pol BG yang diajukan menjadi calon kepala Polri ditetapkan
tersangka oleh KPK, kemudian ketika proses hukum berjalan melalui sidang praperadilan,
Komjen Pol BG dinyatakan tidak tepat ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga anti-rasuah
tersebut. Atau, dengan bahasa yang mudah dicerna, Komjen Pol BG telah nyata dizalimi oleh
KPK mengingat penetapan tersangka tersebut sampai menyebabkan hak Komjen Pol BG
untuk menduduki jabatan kepala Polri menjadi terampas.
Gelombang penolakan pencalonan Komjen Pol BG belum berhenti mengingat pengangkatan
Komjen Pol BG tidak dapat dilepaskan dari dua faktor utama yakni ketidakterimaan atau
ketidaknyamanan aktivis dan pemerhati anti-korupsi serta peran berbagai kepentingan dan isu
politik secara keseluruhan terhadap eksistensi pemerintahan saat ini.
Isu tersebut sempat mereda ketika Presiden memutuskan mengajukan Komjen Badrodin Haiti
sebagai calon kepala Polri baru dan segera menjalani fit and proper test di Dewan Perwakilan
Rakyat . Namun, gelombang penolakan kembali terjadi ketika Komjen Pol BG dikabarkan
mendapatkan posisi sebagai calon wakil kepala Polri mendampingi Komjen Pol Badrodin
Haiti, mengingat kelompok-kelompok kepentingan tersebut menilai aspirasi penolakan
mereka menjadi sia-sia dan tidak mendapatkan tempat selayaknya.
Terlihat sekali kesan penolakan Komjen Pol BG sebagai calon wakil kepala Polri sudah
melampaui proporsionalitas dan rasionalitas hak konstitusional Komjen Pol BG sebagai
anggota Polri untuk dicalonkan dan dipromosikan pada jabatan tertentu di lingkungan
internal Polri, mengingat sudah tidak ada lagi permasalahan hukum dengan Komjen Pol BG.
Padahal, hak setiap anggota Polri untuk dipromosikan dijamin berdasarkan ketentuan yang
31. 31
berlaku sehingga memenuhi aspek kepastian hukum dan keadilan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 Perkap No. 16 Tahun 2012 tentang Mutasi Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang menyatakan: “Setiap Anggota mempunyai kesempatan dan hak yang sama
dalam Mutasi anggota baik TOD (tour of duty) atau TOA (tour of area) dengan
memperhatikan persyaratan yang ditetapkan“, dan Pasal 3 Perkap No. 16 Tahun 2012
tentang Mutasi Anggota Polri menegaskan bahwa proses mutasi anggota Polri mengikuti
prinsip legalitas, akuntabel, keadilan, transparan, objektif, dan anti-korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
***
Sebelumnya tidak pernah terjadi, wacana penunjukan calon wakil kepala Polri sampai
diwacanakan dan menjadi bagian dari aspirasi anggota Dewan menjelang fit and proper test
calon kepala Polri. Tetapi, pencalonan Komjen Pol BG sebagai wakil kepala Polri sampai
menjadi arus aspirasi utama sebagian besar bahkan dapat dikatakan seluruh anggota Dewan
memiliki harapan serupa meski anggota Dewan memahami bahwa pengangkatan wakil
kepala Polri murni wewenang internal Polri yang ditentukan melalui sidang Wanjakti.
Ini semestinya disadari bahwa sesungguhnya eksistensi Komjen Pol BG secara pribadi
disukai banyak kalangan, termasuk juga di kalangan internal anggota Polri. Modal ini sangat
esensial dalam membangun pola hubungan kerja sama yang konstruktif antarlembaga dan di
dalam lembaga internal kepolisian sehingga kinerja kepolisian ke depan seiring, sejalan, dan
responsif terhadap dinamisasi tantangan lokal, regional, dan global yang tidak ringan yang
membutuhkan kompetensi dan kecakapan kepemimpinan yang memadai.
Patut dicatat dan diketahui bahwa Komjen Pol BG merupakan figur atau sosok perwira tinggi
Polri terbaik saat ini. Pada saat menempuh pendidikan di pendidikan kepolisian dan
Lemhannas, Komjen Pol BG merupakan salah satu siswa yang berprestasi. Pada masa
pemerintahan Presiden SBY saja, Komjen Pol BG mendapatkan dua kali promosi kenaikan
pangkat/bintang dari sebelumnya Brigjen Pol sampai mencapai pangkat Komjen Pol.
Performance Komjen Pol BG pada saat menghadapi fit and proper test sebagai calon kepala
Polri di DPR juga secara konsisten membuktikan hal tersebut. Belum lagi, pencapaian
berbagai prestasi yang diukir Komjen Pol BG, baik secara internal maupun eksternal selama
bertugas dan menjadi abdi negara di institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penting untuk ditekankan bahwa pembangunan dan penggiringan opini yang tidak
proporsional sampai merampas hak-hak konstitusional seseorang dalam sebuah jabatan
publik sesungguhnya merupakan bentuk tindakan yang berlebihan yang tidak boleh
dibiarkan. Aksi tersebut mengabaikan prinsip keadilan dan dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum ketatanegaraan dalam bingkai dan cita-cita sebagai negara hukum,
terutama dalam konteks suksesi kepemimpinan lembaga-lembaga negara, lembaga
kementerian, termasuk lembaga negara setingkat kementerian seperti TNI, Polri, dan
kejaksaan.
32. 32
Mengingat, Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) sebagai penggagas pertama
konsep negara hukum menekankan pentingnya pengelolaan negara berpijak pada aturan dan
ketentuan hukum yang berlaku untuk menjaga negara dikelola secara baik dan menghindari
ketidakpastian.
BRIGJEN POL DR BAMBANG USADI MM
Kepala Biro Analisis Akademik Lemdikpol
33. 33
Arbitrase & Kepastian Hukum
Koran SINDO
17 April 2015
Arbitrase institusi di Indonesia sering ditunjuk oleh para pihak dalam perjanjian mereka
untuk penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di antara mereka.
Para pihak dapat memilih arbitrer yang mereka kehendaki sehingga dua arbitrer ditunjuk oleh
para pihak dan arbitrer ketiga ditunjuk dua arbitrer yang sudah ada. Jika dua arbitrer tersebut
gagal menunjuk arbitrer ketiga, arbitrer ketiga ditunjuk oleh ketua pengadilan
negeri. Demikian ditentukan oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sehubungan dengan penyelesaian sengketa
yang diselesaikan oleh arbitrase dalam negeri.
Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, penyelesaian sengketa arbitrase yang dilakukan dengan menggunakan lembaga
arbitrase nasional atau internasional sesuai dengan kesepakatan para pihak, hukum acara
penyelesaian sengketanya dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih,
kecuali ditentukan lain oleh para pihak.
Di samping itu, dalam rangka menarik modal asing, Indonesia telah meratifikasi Konvensi
New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri.
Para pihak di Indonesia adakalanya menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka
melalui arbitrase di luar Indonesia.
Pembatalan Putusan Arbitrase
Pasal 70 undang-undang tersebut di atas menyatakan, terhadap putusan arbitrase para pihak
dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan
diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
sengketa.
Selanjutnya Pasal 71 menyatakan, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan
secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan
dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Kemudian Pasal 72
menyatakan : (1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua
pengadilan negeri. (2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
34. 34
dikabulkan, ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya
atau sebagian putusan arbitrase. (3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh
ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima. (4) Terhadap putusan pengadilan negeri
dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir. (5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan
permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 15/PUU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014
telah membatalkan penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangannya antara lain menyatakan pasal tersebut sudah cukup jelas (expresis verbis)
sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multitafsir adalah penjelasan
pasal tersebut. Paling tidak multitafsirnya adalah (i) bahwa penjelasan tersebut dapat
ditafsirkan apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih
dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan pembatalan
tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan.
Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan pembatalan, pemohon
harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan dan
dengan alasan yang telah diputuskan pengadilan tersebut menjadikan syarat untuk pengajuan
pembatalan. Atau, syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus
dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya
permohonan pembatalan.
Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadi ketidakpastian hukum
sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, manakala tafsir yang pertama yang
dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan permohonan pembatalan tersebut akan
berhadapan dengan proses pengadilan. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, tidak
mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dipenuhi.
Menurut Mahkamah Konstitusi RI Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Maka itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan
Penjelasan Pasal 70 undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut pendapat hukum saya tentang hak para pihak untuk mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tersebut di atas dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan
bersama para pihak. Dasarnya adalah Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Pasal 70 itu sendiri menyebutkan: Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
35. 35
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur beberapa
unsur. Kata “dapat” artinya para pihak tidak wajib mengajukan permohonan pembatalan
terhadap putusan arbitrase yang telah dijatuhkan. Kata “dapat” mengandung makna tidak
memaksa (imperatif).
Dengan demikian, hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan
arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat
dikesampingkan berdasarkan kesepakatan para pihak, yang misalnya dituangkan dalam
perjanjian arbitrase yang disepakati dan telah ditandatangani oleh para pihak. Apabila hak
tersebut sudah disepakati untuk dikesampingkan, para pihak sudah tidak memiliki hak lagi
(legal standing) untuk mengajukan permohonan pembatalan.
Mengenai keabsahan suatu tanda tangan, terlebih lagi tanda tangan dalam suatu perjanjian
yang dilegalisir oleh notaris; tidak dapat diingkari oleh para pihak di kemudian hari karena
notaris sebelum melegalisasi perjanjian tersebut memeriksa terlebih dahulu kartu tanda
penduduk (KTP) para pihak untuk mengetahui apakah tanda tangan dalam perjanjian tersebut
sama dengan tanda tangan di KTP para pihak.
Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Limitatif
Salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase
berdasarkan sebab-sebab lain karena syarat-syarat dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 adalah limitatif. Salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan
pembatalan berdasarkan penjelasan umum dari undang-undang tersebut karena ketentuan
yang disebutkan dalam suatu pasal (batang tubuh) lebih kuat dari penjelasan umum.
Dasarnya adalah butir 178 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan, penjelasan tidak
menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Penjelasan Umum dari Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 yang menyebutkan : “Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan
arbitrase. Ini dimungkinkan karena beberapa hal antara lain (cetak tebal dari saya): a. surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu
atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil
tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
Kata “antara lain” itu dapat diartikan menambah alasan-alasan yang baru selain a. b. dan
c. Menurut pendapat hukum saya, kata-kata “antara lain” telah mengubah secara terselubung
ketentuan yang diatur oleh Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Karena itu,
menurut pendapat hukum saya, tetap yang berlaku adalah Pasal 70 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 yang merupakan batang tubuh undang-undang tersebut dan bukan penjelasan
umum.
36. 36
Jika terdapat suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang materinya
mengenai terbuktinya alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu putusan tersebut tentang
terbuktinya dokumen palsu, dokumen yang disembunyikan, dan tipu muslihat; putusan
pengadilan tersebut dapat dijadikan alasan untuk pembatalan putusan arbitrase dimaksud.
Tetapi, apabila putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu materinya bertentangan
dengan putusan arbitrase dan bukan tentang terbuktinya alasan-alasan pembatalan putusan
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999,
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu tidak dapat menjadi alasan untuk
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.
‘Bertentangan dengan ketertiban umum’ tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam negeri karena alasan untuk mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam negeri sudah limitatif diatur dalam Pasal 70
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Sebelumnya Mahkamah Agung RI juga berpendapat sama, seperti dapat diikuti dalam
perkara PT Padjadjaran Indah Prima vs PT Pembangunan Perumahan No. 729
K/Pdt.Sus/2008, Mahkamah Agung RI dalam pertimbangannya menyatakan, antara lain
berpendapat : “Bahwa Judex Facti yang membatalkan Putusan BANI a quo tanpa memenuhi
syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah
salah menerapkan hukum sebab alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur
dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa tersebut telah dirinci secara limitatif sebagai berikut : a. Surat atau
dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau
dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan
yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat
yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Bahwa alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan
putusan pengadilan (dalam perkara pidana) dan di luar alasan tersebut, permohonan
pembatalan harus dinyatakan tidak dapat diterima.” .
Mahkamah Agung RI kemudian memutuskan: Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri
Sumedang No. 10/Pdt.G/2008/PN.SMD tanggal 12 Juni 2008 dan menguatkan Putusan BANI
No. 03/2007/BANI/Bandung tanggal 17 Maret 2008 baik dalam konpensi maupun
rekonpensi.
Akhirnya, saya berpendapat bahwa dalam proses arbitrase, apabila ada dua pihak yang
mengaku bertindak sebagai termohon misalnya ada dua pihak yang mengaku sebagai
pengurus dari suatu perseroan terbatas yang sama, hal tersebut diserahkan kepada majelis
arbitrase yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa itu menentukan termohon sebenarnya.
Ini wewenang penuh dari majelis arbitrase yang memeriksa dan memutus perkara arbitrase
tersebut.
37. 37
Kesimpulan
Menurut pendapat hukum saya, alasan ‘bertentangan dengan ketertiban umum’ tersebut
hanya untuk menolak pelaksanaan (eksekuatur) putusan arbitrase luar negeri dan dalam
negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (2) dan Pasal 66 huruf c Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 sehingga alasan ‘bertentangan dengan ketertiban umum’ tidak dapat
menjadi alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase karena sudah
diatur secara limitatif dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
ERMAN RAJAGUKGUK
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
38. 38
Trimedia Khomeini dan Sarumpaet Madari
Koran SINDO
18 April 2015
Ada segmen menarik pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (14-4-15) pekan ini,
yakni segmen ketika terjadi debat saling sambar antara tokoh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) Trimedia Panjaitan (Trimed) dan Ratna Sarumpaet terkait praksis
demokrasi pada live di TV One yang membedah isu ”Petugas Partai” tersebut.
Ketika diberi kesempatan berbicara, Sarumpaet mengkritik, antara lain, kepemimpinan
Megawati yang sudah sangat lama dan masih terpilih lagi di Kongres PDIP pekan lalu. Kata
Sarumpaet, seharusnya Megawati menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada kader yang
lebih muda. Megawati, tambah Sarumpaet, sudah lebih dari 15 tahun memimpin PDIP.
Trimed menjelaskan, ”Megawati terpilih dalam kongres secara sangat demokratis”. Megawati
dipilih berdasar usul berjenjang dari pengurus tingkat bawah sampai tingkat pusat, yang
kemudian didukung secara aklamasi oleh kongres. Bukan Megawati yang meminta dipilih,
tapi warga PDIP sendirilah yang memintanya. Kata Trimed, Megawati terpilih sebagai
produk demokrasi, bukan hasil rekayasa.
Sarumpaet yang adalah seniwati dan aktivis pejuang penegakan HAM menyambar lagi
dengan pernyataan, seharusnya Megawati meminta para kadernya untuk memilih kader lain
yang lebih muda. Megawati seharusnya mendorong warga PDIP untuk tidak selalu memilih
dirinya.
Trimed pun menyambar lagi bahwa semua warga PDIP ikhlas memilih Megawati. Masak
mau dilarang? Demokrasi itu kan memberi kebebasan pada anggota untuk menentukan
pilihannya? Kalau melarang anggota untuk menentukan pilihannya sendiri, berarti tidak
demokratis. Demikian Trimedia.
***
Materi perdebatan tersebut sangat menarik dalam konteks ambiguitas dan paradoks
demokrasi. Saat mengikuti debat Trimed-Sarumpaet itu, saya jadi teringat pada sebuah
tulisan yang pernah saya baca di majalah Prisma pada 1990-an. Saya sudah lupa nomor edisi
dan nama penulisnya karena sudah lama sekali, lebih dari 15 tahun lalu. Tetapi saya ingat
penulis itu bercerita tentang perdebatan antara Ayatullah Khomeini dan Shariat Madari, dua
tokoh revolusi Iran yang mengguncangkan dunia pada 1979 itu.
39. 39
Seperti diketahui, setelah berjuang selama puluhan tahun, bahkan sempat diasingkan di Paris
selama 22 tahun, Ayatullah Khomeini akhirnya berhasil memimpin revolusi di Iran,
menjatuhkan rezim Syah Iran yang korup dan bertangan besi. Setelah revolusi yang gemilang
itu, Iran memasuki babak baru, membangun sistem politik yang demokratis atau, tepatnya,
sistem teodemokrasi. Ketika itu Khomeini yang saleh, suci, dan sederhana sangat dihormati,
dikagumi, dan didukung oleh rakyat Iran untuk memimpin dan mengatur Iran sehingga
kekuasaannya menjadi besar luar biasa.
Pelan-pelan kekuasaan Khomeini membesar dan membesar sehingga semua kekuasaan
terpusat di tangannya. Khomeini menjadi penentu kekuasaan legislatif karena melalui
kedudukannya sebagai Waly al Faqieh, dia adalah penentu undang-undang yang bisa
ditetapkan oleh parlemen. Khomeini adalah penentu pejabat-pejabat puncak eksekutif
sebelum maupun sesudah pemilu. Khomeini juga mengambil fungsi yudikatif ketika,
misalnya, menjatuhkan vonis hukuman mati kepada penulis buku Satanic Verses Salman
Rushdi dan kepada PM Sadeq Godzadeh. Namun, rakyat senang dan selalu mendukung
Khomeini karena kejujuran dan kesederhanaannya.
Dalam keadaan seperti itulah, Shariat Madari datang kepada Khomeini untuk memberi
semacam teguran. Dia mengingatkan Khomeini bahwa kekuasaannya yang begitu besar
(merambah ke legislatif, eksekutif, yudikatif) itu bertentangan dengan ide demokrasi yang
diperjuangkan Khomeini sendiri.
”Mengapa engkau berkata begitu, sahabatku?” tanya Khomeini. ”Karena engkau telah
mengangkangi semua kekuasaan, itu bukan demokrasi yang kita perjuangkan,” jawab
Madari.
”Apa arti demokrasi itu menurutmu?” tanya balik Khomeini. ”Kekuasaan dan pemerintahan
yang diperoleh atas kehendak dan untuk rakyat,” jawab Madari. ”Kalau begitu saya sudah
bertindak demokratis, sebab kekuasaan saya yang besar ini diminta oleh dan untuk rakyat,”
jawab Khomeini lagi.
”Kalau begitu bilang pada rakyat agar tidak memberi kekuasaan yang terlalu besar
kepadamu. Engkau didengar oleh rakyat. Jika engkau bilang agar rakyat tidak menumpuk
kekuasaan di tanganmu maka rakyat akan mematuhinya,” debat Madari. Khomeini pun
menukas, ”Lo, kalau saya melarang rakyat untuk memberikan kekuasaan kepadaku sesuai
pilihannya sendiri, berarti saya menentang demokrasi. Rakyat maunya begitu, bagaimana
lagi.” Jadi, perdebatan antara Trimedia dan Sarumpaet itu hampir sama persis dengan
perdebatan antara Khomeini dan Madari.
Persoalannya terletak pada ambiguitas dan paradoks demokrasi itu sendiri. Dalam sejarah
pemikiran politik sejak zaman Yunani kuno (2500 tahun yang silam), demokrasi memang
dinilai ambigu dan bukanlah sistem yang ideal. Plato, misalnya, menyebut adanya unsur jelek
demokrasi karena menyerahkan penentuan keputusan penting negara kepada rakyat yang
umumnya sangat awam dan berpotensi menimbulkan massa liar.
40. 40
Sementara itu, Aristoteles mengatakan bahwa di dalam demokrasi itu banyak demagog,
politisi yang ahli orasi dan agitasi dengan berbagai janji, tetapi sesudah menang dalam
pemilihan mereka tidak memenuhi janji-janjinya. Meskipun begitu, demokrasi merupakan
sistem terbaik jika dibandingkan dengan sistem-sistem lain sebab di dalam demokrasi ada
prinsip penghormatan terhadap rakyat dan hak-haknya.
Di dalam sistem apa pun, negara akan baik jika pemimpinnya jujur, bersih, dan berintegritas.
Kualitas demokrasi akan semakin membaik jika didahului dengan semakin membaiknya
kesejahteraan dan tingkat pendidikan rakyatnya.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
41. 41
Tarikan Politik Pilkada Serentak
Koran SINDO
18 April 2015
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) yang dilakukan secara
serentak akan menjadi agenda politik babak kedua setelah digelarnya Pemilihan Umum
2014. Tarik-menarik soal penyelenggaraan dan konflik kepengurusan di internal partai politik
menjadi faktor yang turut mewarnai bagaimana potret pilkada ini nanti digelar.
Dasar hukum pelaksanaan pilkada sebenarnya sudah digodok dalam rapat paripurna DPR,
kemudian mereka mengesahkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(Perppu) menjadi undang-undang. Sebanyak 442 anggota Dewan menyatakan setuju bahwa
Perppu Nomor 1/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan atas UU
Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disahkan menjadi undang-undang
(20/12/2014).
Namun, sejumlah anggota DPR melihat masih ada yang perlu perbaikan yang perlu dilakukan
terkait permasalahan dalam Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014. Pasalnya, diperlukan
pemenuhan kebutuhan landasan yuridis yang komprehensif dan lebih baik dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, terutama tahun 2015 yang sudah memasuki
tahapan persiapan.
Dinamika di DPR kemudian terjadi terkait waktu pelaksanaan. Pada awal Februari lalu
fraksi-fraksi di Komisi II DPR menyepakati pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota
serentak yang semula dijadwalkan 15 Desember 2015 diundur menjadi Februari
2016. Pilkada berikutnya akan dilakukan pada 2017 dan 2018. Pengunduran dilakukan untuk
persiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 bersama dengan berakhirnya
masa jabatan pada awal 2016, penyelenggaraan pilkada dijadikan satu pada Februari
2016. Untuk 2017 pilkada serentak dilakukan untuk kepala daerah yang masa jabatannya
berakhir pada paruh kedua 2016 dan 2017. Untuk kepala daerah yang berganti masa jabatan
pada 2019, pilkada digelar pada 2018 bersama kepala daerah yang habis masa jabatan pada
2018.
Perubahan jadwal ini sebenarnya menindaklanjuti usulan KPU agar DPR memundurkan
jadwal pilkada serentak menjadi pertengahan 2016. Namun, langkah DPR ini terlihat kurang
disepakati oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo meminta pilkada serentak tetap
berlangsung pada September 2015. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo
42. 42
Kumolo beralasan, jika pilkada langsung tetap digelar September 2015, sebagian besar
jadwal pilkada yang berjumlah 204 dapat dilaksanakan pada tahun ini juga. Hanya tersisa 10
pilkada di kabupaten/kota yang akan dipindah pada pelaksanaan pilkada serentak tahun
berikutnya. Hal ini diupayakan tidak akan mengganggu proses penganggaran dan
pembangunan di daerah serta laporan pertanggungjawaban.
Meskipun kemudian DPR dan pemerintah menyepakati pilkada tetap digelar pada Desember
2015 dengan beberapa gelombang, harus diakui soal pembahasan waktu ini menjadi tarikan
politik pertama pelaksanaan pilkada serentak.
Konflik Partai
Tarikan politik kedua adalah konflik kepengurusan partai politik. Publik tentu masih ingat,
sejak pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla dilantik, dua konflik partai politik lahir. Pertama
kasus dualisme kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara Muktamar
Surabaya dan Muktamar Jakarta. Kementrian Hukum dan HAM telah memutuskan PPP versi
Muktamar Surabaya yang diketuai Romahurmuziy sebagai kepengurusan PPP yang
sah. Kubu PPP versi Muktamar Jakarta yang memilih Djan Faridz, juga didukung mantan
ketua umum Suryadharma Ali, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN). Hasilnya, kubu PPP pimpinan Djan Faridz dinyatakan sebagai DPP PPP yang sah.
Menariknya, pemerintah melalui Kemenkum HAM mengajukan banding, termasuk kubu
Romahurmuziy. Padahal, jamak dipandang pemerintah semestinya bertindak netral, siapa pun
pengurus sebuah partai politik, pemerintah tidak memiliki kepentingan apa pun. Ketika
pemerintah mengajukan banding, tentu tuduhan bahwa pemerintah memiliki kepentingan
politik wajar terjadi. Apalagi saat pengesahan PPP kubu Romahurmuziy, tidak lama dari
menteri Hukum dan HAM dilantik menjadi menteri.
Kedua adalah konflik Partai Golkar. Perseteruan Golkar versi Munas Bali yang dikomandani
Aburizal Bakrie dengan Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono seakan
mengulang langkah Kemenkum HAM dalam memperlakukan PPP. Menteri Hukum dan
HAM telah mengesahkan Golkar versi Agung Laksono berdasarkan putusan Mahkamah
Partai Golkar. Padahal, menurut versi kubu Munas Bali, tidak ada putusan Mahkamah Partai
yang memenangkan salah satu pihak.
Golkar kubu Munas Bali pun mengajukan gugatan ke PTUN. Putusan sela majelis hakim
PTUN memerintahkan Kemenkum HAM menunda putusannya terkait kepengurusan Golkar.
Akibat putusan sela ini, Golkar status quo dan kubu Munas Bali menyebut kepengurusan
kembali ke hasil Munas Riau 2009 di mana ketua umum dijabat Aburizal Bakrie dan posisi
sekretaris jenderal oleh Idrus Marham.
Konflik kedua partai ini diakui menjadi tarikan politik, mengingat menjelang dihelatnya
pilkada serentak, tentu partai politik butuh konsolidasi dan kohesivitas politik. Bagaimana
pun, pilkada menjadi momentum bagi partai melakukan pemanasan awal sekaligus menguji
43. 43
jaringan politik. Seperti diketahui, Koalisi Merah Putih berniat akan membangun koalisi ini
sampai ke daerah-daerah. Tentu, dengan konflik yang terjadi di internal PPP dan Partai
Golkar akan banyak memengaruhi bangunan koalisi politik yang dimiliki oleh KMP.
Perbaikan Pilkada
Sejumlah perbaikan terhadap pelaksanaan pilkada telah dilakukan dalam perubahan
perundang-undangan. Tarikan politik ketiga adalah terkait perubahan aturan dalam
penyelenggaraan pilkada tersebut. Dalam revisi UU Nomor 1/2015 tentang Pilkada
disebutkan ada tiga perubahan, yakni pembatasan politik kekerabatan atau politik dinasti,
syarat pengajuan pasangan calon harus memiliki dukungan 20 persen kursi DPRD atau
minimal 25 persen suara dalam pemilu, serta syarat kemenangan pemilu yang hanya berlaku
satu putaran. Jadi pasangan calon kepala daerah yang meraih suara terbanyak langsung
ditetapkan sebagai pemenang pilkada.
Salah satu yang menjadi polemik dan tarik-menarik adalah terkait syarat pencalonan,
terutama yang berhubungan dengan pembatasan politik kekerabatan. Syarat ini melarang
calon yang maju di pilkada memiliki hubungan darah dengan petahana. Hal ini tidak lepas
dari gejala politik kekerabatan di daerah yang terjadi begitu masif sejak era
reformasi. Kekuasaan keluarga di daerah akan mengganggu sirkulasi politik di daerah.
Namun, sejumlah pihak yang lain menilai larangan ini dianggap tidak sesuai UUD 1945 yang
memberikan kepada semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih
sejauh hak politiknya tidak dicabut oleh pengadilan. Sejumlah pihak saat ini sedang
mengajukan uji materi terkait aturan larangan politik kekerabatan tersebut dalam syarat
pencalonan di pilkada. Setidaknya ada enam perkara yang mempersoalkan syarat pencalonan
itu, antara lain larangan konflik kepentingan, larangan calon yang pernah dijatuhi pidana lima
tahun atau lebih untuk mengikuti kontestasi, serta larangan pegawai negeri sipil maju sebagai
pasangan calon di pilkada.
Dalam pertimbangan para pengaju uji materi, rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk
memilih langsung pemimpinnya. Dengan pembatasan yang terjadi pada syarat pencalonan di
atas, seakan-akan pembuat undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu dan
selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah. Polemik aturan hukum inilah yang dipandang
oleh penulis sebagai tarikan politik ketiga yang akan menjadi ganjalan pada pelaksanaan
pilkada langsung serentak yang pertama kali digelar tersebut.
Dalam konteks demokrasi, tentu tarikan-tarikan politik ini menjadi ujian tersendiri, terutama
bagi partai politik untuk melakukan komunikasi dan konsolidasi politik. Bagaimana pun,
partai politik adalah ujung tombak dari sebuah kontestasi politik.
ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Partai Perindo
44. 44
Kapolri Baru, Harapan Baru
Koran SINDO
18 April 2015
Komjen Pol Badrodin Haiti sudah dilantik sebagai Kapolri. Sebagaimana kapolri baru,
harapan masyarakat tentu tertumpu kepadanya agar segera membenahi Polri. Masyarakat
berharap Polri sungguh-sungguh dapat menjadi pelindung, pengayom, pelayan, dan penegak
hukum agar ketertiban dan keamanan masyarakat terwujud.
Memang harapan masyarakat sangat berat dapat diwujudkan Badrodin Haiti mengingat masa
baktinya tinggal satu tahun empat bulan. Waktu sesingkat itu tentu tidak realistis bila kepada
kapolri baru diminta dapat menuntaskan semua persoalan internal dan eksternal Polri. Karena
itu, dari banyaknya harapan masyarakat, persoalan internal terutama reserse dan polantas,
kiranya mendesak menjadi prioritas kapolri baru untuk dibenahi.
Persoalan Internal
Salah satu persoalan internal berkaitan dengan masalah SDM Polri yang dinilai banyak pihak
masih perlu pembenahan, termasuk di dalam rekrutmen calon polisi dan pembinaan karier.
Hal yang sama juga ditemui dalam rekrutmen calon polisi. Dua hal ini dengan sendirinya
memberi kontribusi terhadap rendahnya kinerja Polri sebagai suatu institusi.
Polri selama ini juga masih dianggap sebagai lembaga yang tertutup, khususnya saat
menentukan jabatan-jabatan strategis. Akibatnya, banyak kinerja petinggi Polri yang di
tempatkan dalam posisi strategis tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Hasil kerja yang
standar dari petinggi Polri juga memberi kontribusi terhadap buruknya citra Polri di mata
masyarakat yang berimbas pada semakin melorotnya wibawa Polri.
Selain itu, Polri kerap masih diragukan dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Ada
sinyalemen bila kasus-kasus korupsi yang ditangani Polri mengarah ke legislatif, kasus
tersebut kerap tidak dilanjutkan. Ada kesan aparat Polri kurang punya nyali bila berhadapan
dengan oknum-oknum di legislatif.
Pengawasan di internal Polri juga hingga saat ini masih terkesan tertutup. Internal Polri hanya
diawasi melalui Irwasum sehingga keterlibatan masyarakat kalaupun ada masih sangat
minimal. Tanpa melibatkan eksternal, pengawasan di tubuh Polri akan sulit berjalan optimal,
sehingga untuk menciptakan aparat Polri yang bersih akan sulit diwujudkan.
Reserse dan Polantas
45. 45
Kinerja reserse dan polantas termasuk yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Dua
unit kerja ini dinilai lemah dalam melayani masyarakat. Bahkan pada 2014, Kompolnas
mendapat 1.038 pengaduan dari masyarakat. Dari jumlah tersebut, 95% berkaitan dengan
persoalan reserse.
Besarnya pengaduan terkait kinerja reserse di satu sisi memang mengecewakan. Namun di
sisi lain, bila dikaitkan dengan alokasi anggaran untuk reserse, unit kerja ini sesungguhnya
sangat memprihatinkan, sebab, anggaran penyelidik hanya 30% yang ditanggung negara.
Kondisi ini membuka celah terjadi banyak penyimpangan, seperti ada kasus yang dibiayai
pelapor atau terlapor agar kasusnya di-SP3.
Akibat ketiadaan anggaran, reserse dalam penanganan kasus juga kerap kesulitan untuk
menghadirkan saksi ahli. Dalam kondisi demikian, banyak pelapor dan terlapor yang bersedia
menyediakan dana untuk menghadirkan saksi ahli yang sangat dibutuhkan dalam proses
hukum. Akibatnya tidak sedikit saksi ahli yang memberikan keterangan sesuai keinginan
pelapor atau terlapor.
Kasus mencari pelaku tindak pidana juga kerap menghadapi kendala karena terbatasnya
anggaran. Misalnya kasus terjadi di Jakarta, namun tersangka diduga ada di Kalimantan
Timur atau Papua atau di luar negeri. Lagi-lagi, kalau terlapor “rela” membiayai perjalanan
polisi, tentu terbuka ruang untuk menghentikan kasus.
Hal yang sama juga terjadi di unit Polantas. Polisi di tahun 2014, patroli polantas
menggunakan motor hanya mendapat jatah 2 liter BBM per hari, sementara patroli mobil
dijatah 5 liter. Namun tahun 2015 ini, penyediaan pengadaan BBM untuk patroli sudah lebih
baik, dalam arti jumlah jatah BBM telah ditambah. Namun di bagian lain, masalah proses
penanganan kasus kecelakaan lalu lintas di kepolisian anggarannya masih sangat minim.
Yang dibayar oleh negara hanya berkisar 30-50 persen yang berakibat penyidik Polri belum
bisa sepenuhnya bekerja secara profesional.
Dalam kondisi demikian, memang sulit bagi polantas untuk melaksanakan tugasnya,
khususnya dalam melayani pengguna jalan raya. Bahkan dalam kondisi demikian, sangat
terbuka bagi polantas untuk mencari uang guna menutupi kekurangan jatah BBM. Akibatnya,
pengguna jalan raya berpeluang besar menjadi salah satu korban dalam upayanya mencari
uang tambahan untuk mengisi kekurangan BBM agar patroli tetap terlaksana.
Tambahan Anggaran
Terbatasnya biaya operasional kiranya menjadi satu sebab rendahnya kinerja reserse dan
polantas. Persoalan semacam ini tidak terjadi pada polisi Singapura dan Australia. Di dua
negara ini, semua pelaksanaan tugas dan fungsi polisi sepenuhnya ditanggung negara, mulai
dari BBM untuk transpor, tol, hotel, pesawat, hingga kendaraan. Semua bukti pengeluaran
dapat ditukarkan melalui bendahara satuan polisinya.
46. 46
Kebutuhan operasional polisi Indonesia seharusnya juga dapat dipenuhi negara, sebab
anggaran Polri tahun 2014 sebesar Rp43,6 triliun, dan tahun 2015 naik menjadi Rp51 triliun.
Dari total anggaran ini, 28% untuk operasional atau naik 6% dari tahun 2014. Dengan
naiknya alokasi anggaran operasional, seharusnya kapolri baru dapat memenuhi semua biaya
operasional reserse dan polantas. Dengan biaya operasional yang cukup, kapolri dapat
meminta unit reserse dan polantas untuk meningkatkan kinerjanya, selain menindak tegas bila
menyalahi tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum.
Kiranya pembenahan terhadap reserse dan polantas dengan memenuhi biaya operasionalnya
cukup realistis dibebankan kepada kapolri baru yang masa tugasnya hanya satu tahun empat
bulan. Kalau hal itu dapat dibenahi, kiranya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri
dapat ditingkatkan. Setidaknya keluhan masyarakat terhadap reserse dan polantas dapat
dikurangi.
EDI SAPUTRA HASIBUAN
Anggota Komisi Polisi Nasional (Kompolnas)
47. 47
Lonceng Munir dari Den Haag
Koran SINDO
18 April 2015
Kita patut berbangga, seorang pejuang HAM Indonesia dijadikan nama jalan di sudut Kota
Den Haag, Belanda, bersebelahan dengan Jalan Martin Luther King.
“Munirpad: Munir Said Thalib 1965-2004, Indonesische voorvechter van de bescherming de
rechten van de mens” (Jalan Munir: Munir Said Thalib 1965-2004, Advokat Pejuang HAM).
Sebuah penanda solidaritas kemanusiaan, sekaligus dukungan atas penuntasan kasus
pembunuhan Munir 11 tahun silam. Di sisi lain, janji Presiden Jokowi untuk menuntaskan
impunitas tak kunjung terwujud.
Suciwati, istri almarhum Munir, dalam pidatonya di depan wali kota Den Haag (14/4/15),
terharu sekaligus berharap ada yang terang di negerinya. “Saya yakin apresiasi ini pasti tidak
sembarangan. Nama Munir ada di sini karena apa yang dia lakukan. Sayangnya, ini bukan di
tanah airnya sendiri, bukan di negeri tempat ia lahir dan dibesarkan bersama orang-orang lain
yang mengaku sebangsa. Dan bukan diberikan oleh Ibu Pertiwi yang kepadanya ia
bersumpah setia sepanjang hidupnya”.
Tidak dengan tiba-tiba jalan Munir ini tertancap menghubungkan dengan kawasan di jalan-
jalan yang dinamai para aktivis HAM dunia. Awalnya, Wali Kota Den Haag, Jozias van
Aartsen, yang sebelumnya menjabat menteri luar negeri Belanda, ragu membuat Munirpad
karena alasan politis diplomatik. Tapi karena ada desakan dari sejumlah pegiat HAM
(Amnesti Internasional) dan dukungan publik, akhirnya pada 2011 Munirpad ini
dicanangkan.
Ada empati sekaligus tuntutan di sudut jalan Munirpad. Tertanam ingatan dan selalu
dikenang oleh setiap orang yang melewatinya; tentang Munir dan perjuangannya.
Jika di negeri orang dedikasi Munir diabadikan, di tempat kelahirannya penuntasan kasusnya
terseok-seok, bahkan diabaikan. Langkah pencarian kebenarannya mentok di pelaku lapangan
Pollycarpus yang sekarang bahkan sudah menghirup udara bebas. Padahal, tidak adanya
penuntasan juga menjadi momok bagi para pegiat kemanusiaan: kejadian serupa bisa
menimpa siapa saja dan di mana saja. Dan kelam itu kita semua tak ingin terjadi. Meski
kasusnya sudah sebelas tahun berlalu, perjuangan atas kasus pelanggaran hak asasi manusia
tak pernah sirna. Ada yang universal dan nilai-nilai kemanusiaan dihargai bersama. Bahwa
pembunuhan, apalagi pada pegiat HAM, adalah ancaman bagi demokrasi dan kebebasan.
48. 48
Dari surat yang dibuat The Right Livelihood Awards (nobel alternatif), lembaga yang
memberikan penghargaan bagi para penganjur perdamaian dan keadilan, sebanyak 158 tokoh
penerima award dari 65 negara menyerukan Presiden Jokowi berani menuntaskan kasus
Munir. Dorongan yang sama dilakukan Amnesty International, ribuan orang dari 86 negara
berharap keadilan serupa. Solidaritas kemanusiaan yang terus mengalir dari belahan dunia ini
juga mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak tersesat pada wacana belaka. Banyak
tokoh dunia mendukung, tak perlu ragu melangkah. Tengok saja ada Asma Jahangir
(Pakistan), Sima Samar (Afghanistan), Asghar Ali Engineer (India), Carmel Budiardjo (UK),
dan Johan Galtung (Norway).
Surat resmi mereka akan disampaikan pada Presiden Jokowi pertengahan April 2015 ini.
“Munir telah membuat upaya yang luar biasa untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di
Indonesia,” ungkap Eduard Nazarski, direktur Amnesty International Belanda.
Lonceng dari Den Haag ini patut jadi pemicu agar kasus Munir dituntaskan. Dukungan dari
berbagai masyarakat belahan penjuru dunia hendaknya bisa mendorong pemerintah saat
untuk membuat penanda konkret tentang penyelesaian kasus Munir. Dengan membuka
kembali laporan Tim Pencari Fakta (TPF) 2005, dan mengevaluasi jaksa agung atas proses
hukum yang tak menyeret otak pembunuh Munir. Tentunya, membentuk penyelidikan baru
dapat dilakukan agar lapisan pelakunya terungkap.
Pembelaan Munir pada kemanusiaan memang perlu dicatat. Pemberian nama jalan di Belanda
hendaknya tak hanya berhenti pada pemaknaan simbolik, tapi juga laku politik dan hukum di
Indonesia.
Praktiknya ditentukan oleh komitmen Jokowi-JK selama periode kepemimpinannya. Masih
hangat dalam ingatan, pada Desember 2014 lalu, Presiden mengoordinasikan tiga lembaga
setingkat menteri untuk membicarakan kasus Munir. Di dalamnya melibatkan Kejaksaan
Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Masukan sejumlah pegiat HAM dan Komnas HAM pun sudah di tangan. Publik menunggu
langkah nyata berikutnya.
Barangkali Munir tidak berharap namanya dikenang menjadi jalan. Semasa hidupnya dia tak
mabuk sanjungan, meski beberapa kali diganjar penghargaan internasional. Cita-cita Munir
sederhana: negeri yang dicintainya, yang telah merampas nyawanya dengan semena-mena,
menghargai hak asasi manusia, mewujudkan keadilan untuk kaum papa yang dibelanya. Dan
semoga Nawacita bisa mewujudkannya.
ALI NUR SAHID
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina