Makalah ini membahas tentang korelasi antara agama dan ekonomi, pandangan para tokoh sosiologi mengenai hubungan antara agama dan ekonomi, serta analisis fenomena sosial terkini yang berkaitan dengan topik tersebut.
1. MAKALAH
AGAMA DAN EKONOMI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Agama
Dosen : Endah Ratnawati Chotim, M.Ag., M.Si.
Disusun Oleh :
Nama : Trisna Nurdiaman
NIM : 1138030215
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015
2. i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji serta syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas
berkat rahmat dan iradat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul “Agama dan Ekonomi”.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda alam yang telah
membawa revolusi kehidupan minadzulumaati ila nnuur yakni Rasulullah SAW dan sampai
saat ini tetap menjadi Uswah Al-Hasanah bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia. Kepada
keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun dalam rangka untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Sosiologi Agama. Layaknya fitrah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan, penulis
sepenuhnya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang konstruktif dalam
penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat yang pada khusunya bagi
penulis sendiri dan pada umumnya bagi semuanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Penulis
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI ························································································ ii
BAB I PENDAHULUAN ········································································· 1
A. Latar Belakang ·············································································· 1
B. Rumusan Masalah ·········································································· 1
C. Tujuan ························································································ 1
BAB II PEMBAHASAN ·········································································· 2
A. Korelasi Agama dan Ekonomi ···························································· 2
B. Pandangan Para Tokoh Sosiologi ························································ 4
C. Analisis ······················································································· 8
BAB III PENUTUP················································································· 11
A. Kesimpulan ·················································································· 12
B. Saran ·························································································· 12
DAFTAR PUSTAKA ·············································································· 13
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama adalah seperangkat nilai dan norma yang tersusun dalam sebuah
sistem kepercayaan yang mengatur bagaimana cara manusia berhubungan dengan
Tuhan dan berhubungan dengan sesamanya. Setiap sistem kepercayaan mempunyai
cara-cara tertentu yang mengatur manusia berhubungan dengan Tuhan-nya yang
dimanifestasikan dalam berbabagai ritual peribatan. Nilai normatif agama mengatur
bagaimana cara seseorang individu menafsirkan dan menanggapi segala sesuatu
fenomena yang dihadapinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama
mengatur individu dan masyarakat pada setiap sendi kehidupan.
Salah satu sendi dari kehidupan sosial manusia yang turut serta diatur oleh
agama adalah kehdupan ekonomi masyarakat. Ekonomi sendiri merupakan
serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi segala
kebutuhan dan keinginannya yang menyakut usaha pembuatan keputusan,
pelaksanaan dan pengalokasian sumberdaya yang ada. Proses ekonomi pada
dasarnya meliputi tiga jenis akvititas, yaitu: produksi, distribusi dan konsumsi.
Berdasarkan paparan tersebut, penulis ingin mendalami lebih lanjut materi
mengenai “Agama dan Ekonomi”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana korelasi antara agama dan ekonomi?
2. Bagaimana pandangan dari para tokoh sosiologi mengenai agama dan
ekonomi?
3. Bagaimana kosial yang terjadi saat ini menyangkut fenomena yang
berhubungan dengan agama dan ekonomi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui korelasi antara agama dan ekonomi.
2. Untuk mengetahui pandangan mengenai agama dan ekonomi dari para tokoh
sosiologi.
3. Untuk menganalisis fenomena sosial saat ini yang berkaitan dengan agama
dan ekonomi.
5. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Korelasi Agama dan Ekonomi
Menurut Johnstone1
agama adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai
sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa yang
mereka rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural) dan kudus. Agama
sebagai sistem keyakinan berfungsi sebagai sumber pedoman bagi masyarakat
dalam berpikir dan menafsirkan segala sesuatu. Sementara itu, agama sebagai
sistem praktek berfungsi sebagai petunjuk bagi para penganutnya dalam bertindak
atau menanggapi berbagai stimulus yang dihadapinya. Keyakinan manusia
terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati ini menjadi suatu tendensi yang
mengarahkan manusia pada tatanan sosial masyarakat yang harmonik.
Sementara itu menurut Emile Durkheim2
agama adalah sistem simbol-
simbol yang melaluinya masyarakat menjadi sadar atas dirinya. Durkheim
berargumen bahwa agama secara simbolis mewujudkan masyarakat itu sendiri.
Durkheim memandang kepercayaan agamis sebagai representasi-representasi yang
mengunkapkan hakikat hal-hal yang sakral dan relasi-relasi yang mereka
pertahankan baik dengan satu sama lain maupun dengan duniawi. Menurutnya
agama dalam suatu masyarakat dalam suatu masyarakat nonmodern adalah suatu
nurani kolektif yang serba meliputi.
Fungsi utama agama menurut William Haviland adalah untuk mengurangi
kegelisahan dan memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri serta memelihara
keadaan manusia agar siap mengahdapi realitas3
. Agama merupakan salah satu dari
lembaga sosial yang ada dalam masyarakat yang terdiri dari organisasi pola-pola
pemikiran dan pola-pola perilaku manusia yang diwujudkan melalui berbagai
1
Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi, Terjemahan Aminudi Ram dan Tita
Sobari (Jakarta: Erlangga, _____), h. 304
2
George Ritzer, Teori Sosiologi : Dari Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Posmodern, (Jakarta: Pustaka Pelajat, 2014), h.169
3
Beni Ahmad Saebani, Pengantar Antropologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 239
6. 3
aktivitas sosial dan peribadatan. Agama sebagai lembaga sosial pada dasarnya
merupaka himpunan norma-norma segala tingkata yang berkisar pada suatu
kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga, agama sebagai
lembaga sosial memiliki simbol-simbol, peralatan, tradisi dan tujuan-tujuan
tertentu. Menurut Soerjono Soekanto,4
lembaga kemasyarakatan yang bertujuan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada dasarnya mempunyai
beberapa funsi, yaitu :
1. Sebagai pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau bersikap;
2. Menjaga keutuhan masyarakat;
3. Memberikan pegangan kepada anggota masyarakat untuk mengadakan
pengendalian sosial (social control).
Kehidupan beragama pada dasarnya meruoakan kepercayaan terhadap
keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh
terhadap kehidupan individu dan masyarakat.5
Agama mengatur pada setiap sendi
kehupan masyarakat, termasuk salah satunya adalah kehidupan ekonomi. Ekonomi
sendiri merupakan suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya
yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya rumah tangga yang terbatas
diantara berbagai anggotanya dengan mempertimbangkan, kemampuan, usaha dan
keinginan masing-masing6
. Dalam hal ini, agama memberikan pedoman yang
mengatur dan membatasi berbagai tindakan ekonomi yang dianggap baik dan
dianggap buruk oleh ajaran agama.
Agama menetapkan tindakan-tindakan ekonomi apa saja yang boleh
dilakukan dan tindakan-tindakan ekonomi yang tidak boleh dilakukan oleh para
penganutnya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam agama islam, tindakan
sosial ekonomi seperti “jual-beli” merupakan suatu hal yang diperbolehkan, tetapi
4
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 173
5
Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: Rajagrafindo persada, 2006), h. 1
6
Damsar & Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2013), Cet. 3,
h.9-10
7. 4
disisi lain agama Islam juga memberikan batasan mengenai bentuk-bentuk jual-beli
yang diperbolehkan. Islam melarang bentuk jual beli barang haram seperti
minuman keras dan narkoba. Artinya, dalam menjalankan akitivitas ekonomi setiap
pemeluk agama selalu dianjurkan untuk memperhatikan norma halal dan haram
yang terdapat dalam agama tersebut. Oleh karen itu, terdapat korelasi yang kuat
antara agama sebagai lembaga sosial dan ekonomi sebagai wujud aktivitas sosial
masyarakat.
Dalam sistem mata pencaharian pada masyarakat primitif, biasanya
aktivitas-aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh mereka selalu disisipi dengan
ritual-ritual tertentu seperti upacara ritual setelah panen. Mereka memberikan
sesajen kepada roh-roh nenek moyang dan berdoa atas hasil panen yang telah
didapatkan. Dalam mencari hasil hutan juga tidak boleh melanggar pantangan
(taboo) karena tanaman dan binatang dipercayai punya penghuni, tenaga atau
penunggu gaib (dinamisme, animisme).
B. Pandangan Para Tokoh
1. Karl Marx
Dalam kajiannya mengenai agama dan ekonomi, Marx memandang bahwa
agama berfungsi sebagai alat eksploitasi kapitalis. Menurutnya kapitalisme telah
menyebabkan manusia sebagai pekerja tidak lagi mempunyai kontrol atas potensi
yang terkandung dalam kerja mereka. Agama yang ada saat itu dipandang tidak
mampu memberikan solusi atas ketertindasan kaum proletar. Agama justru
meninabobokan mereka dari perjuangan kelas melalui dogma-dogma yang
dikemukakan oleh para pemuka agama. Tekanan agama tradisional pada dunia
transenden, non-material dan harapan-harapan kehidupan setelah kematian
membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan dan kesulitan nyata dalam
kehidupan mereka.
Marx melihat agama sebagai sebuah ideologi dimana ia menempatkannya
dalam konteks sosial-historis. Ia menganalisis antara kondisi-kondisi kehidupan
(sub-ekonomi masyarakat) dan gagasan-gagasan (superstruktur normatif
masyarakat) pada dasar-dasar kontinuitas perubaha melalui perkembangan sejarah
8. 5
masyarakat.7
Sebagai sebuah ideologi, agama berfungsi sebagai seperangkat sanksi
moral, khayal, penghibur atas kondisi ketidakadilan, penyelubung kenyataan dan
pembenar ketidaksetaraan8
. Marx menganggap agama sebagai perwujudan dari rasa
ketertindasan dan pembenaran atas tatanan sosial yang ada. Sehingga pada akhirnya
Marx sampai pada satu kesimpulan yang menyatakan bahwa “agama merupakan
candu bagi masyarakat”.
Marx menekankan bahwa agama sebenarnya muncul dari kondisi material
tertentu bukan dari wahyu atau gagasan kreatif yang muncul begitu saja karena
ilham illahiyah tanpa adanya pergulatan dialektik antara kesadaran dengan
lingkungan. Ia melihat bahwa agama berlaku atas masyarakat bagaikan candu yang
meringankan penderitaan, tetapi tidak menghilangkan keadaan yang memunculkan
penderitaan tersebut. menurutnya agama semata-mata bersifat menenangkan orang
dan memungkinkan orang-orang yang berada dibawah pengaruh agama tersebut
menerima begitu saja keadaan sosial karena perhatian mereka dialihkan kepada
harapan akan kebahagiaan kehidupan di kemudian hari dimana semua penderitaan
dan kesengsaraan akan lenyap untuk selama-lamanya (alam akhirat).
Hubugan erat antara kondisi-kondisi kehidupan material dan suprastruktur
sulit untuk diidentifikasi adalah karena ideologi-ideologi itu memberikan
ketimpangan dan kekukurangan dalam kehidupan material. Akibatnya, meskipun
ideologi itu mencerminkan dan hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat,
cerminan itu seringkali menyimpang atau dalam istilah Marx sebagai “suatu
kesadaran-dunia yang terbalik”9
. Saat ideologi-ideologi tersebut menjadi kesadaran
subjektif seseorang akan menyebabkan individu tersebut tidak mampu menyadari
kepentingan mereka yang sesungguhnya. Contohnya seseorang buruh lebih
menunjuk sebab kemiskinan yang dideritanya karena nasib atau taqdir dibanding
karena praktik penghisapan para kapitalis.
7
Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), Cet. II, h. 106
8
Dede Mulyanto, Atropologi Marx : Karl Marx tentang Masyarakat dan Kebudayaan,
(Bandung: Ulitimus, 2011), h. 149
9
Ibid., 141
9. 6
Marx melihat konflik kelas sosial sebagai titik sentral dalam kajiannya
mengenai masyarakat. Konflik antara kaum kapitalis dan kaum proletar adalah
sentral dalam masyarakat10
. Kaum kapitalis menguasai alat produksi dan
mengeksploitasi kaum buruh melalui mekanisme kerja. Ketidakmerataan
pengalokasian sumberdaya ekonomi ini mengakibatkan kesenjangan antar kelas
dan kemiskinan pada kaum buruh. Agama yang hadir dalam kehidupan masyarakat
saat itu dianggap tidak memberikan solusi yang tepat dalam mengurangi
penderitaan buruh. Agama justru memberikan ilusi romantika ukhrowi sebagai
kebahagiaan sejati di kehidupan yang selanjutnya. Kaum proletar lebih memandang
kemiskinannya sebagai takdir dari pada sebagai kejahatan struktural yang
diakibatkan oleh para kapitalis. Oleh karena itulah Marx memandang agama
sebagai candu rakyat.
2. Max Weber
Pemikiran Max Weber mengenai agama dan ekonomi tertuang dalam salah
satu karyanya yang terkenal yaitu The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism.
Dalam bukunya tersebut ia mengungkapkan hubungan elective afinity, yaitu
hubungan yang memiliki konsistensi logis dan pengaruh motivasionalyang bersifat
mendukung secara timbal balik anatar etika protestan dan semangat kapitalisme
pada awal perkembangan kapitalisme modern11
. Menurutnya terdapat suatu etika
dalam agama Protestan yang menjadi stimulus bagi pertumbuhan sistem ekonomi
kapitalis modern dalam tahap pembentukannya.
Weber menentang pandangan Marx yang melihat agama sebagai lembaga
bayangan yang selalu mencerminkan kekuasaan dan kepentingan kelas yang
berkuasa. Ia berpendapat bahwa kebangkitan kapitalisme didukunga oleh sikap
yang ditekankan oleh Protestanisme asketik. Jadi bukan, (kekuatan) ekonomi yang
menentukan agama, tetapi agamalah yang menentukan arah perkembangan
ekonomi.12
10
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik : Dari Comte hingga Parsons, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), Cet. II, h. 124
11
Damsar & Indrayani, Op.Cit., h. 70
12
Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Op.cit., h. 308
10. 7
Weber melihat kondisi sosial para penganut agama Protestan seperti
Calvinisme dan Metodisme yang mempercayai konsep predistinasi. Menurut
konsep ini Allah telah menentukan keselamatan abadi seseorang diakhirat yang
ditandai dengan kesuksesan dan kesejateraan yang dihasilkan oleh pekerjaan.
Mereka memandang pekerjaan sebagai suatu panggilan suci (beruf atau calling).
Membuang-buang waktu merupakan dosa pertama dan secara prinsip dosa yang
paling mematikan13
. Ajaran-ajaran agama tersebut pada akhirnya melahirkan pola
motivasi yang memiliki konsistensi logis bagi semangat kapitalisme modern yang
sedang berkembang seperti akuntansi rasional, hukum rasional dan teknik rasional.
3. Karl Polanyi
Dalam esainya yang berjudul The Economy as an Instituted Process, Karl
Polanyi mengajukan sebuah gagasan tentang embeddedness (keterlekatan).
Menurutnya, kehidupan ekonomi manusia terlekat dan terjaring dalam institusi-
institusi sosial lain seperti institusi politik dan agama. Granovetter, mendefinisikan
keterlekatan ini sebagai tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan
melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para
aktor14
. Menurut Polanyi, memasukan institusi non-ekonomi kedalam ekonomi
manusia merupakan suatu hal yang penting. Menurutnya agama dan pemerintahan
mungkin menjadi penting terhadap struktur dan berfungsinya ekonomi sebagai
institusi moneter.
Menurutnya ekonomi masyarakat pra industri melekat pada institusi sosial,
politik, dan agama. Kehidupan ekonomi dalam mayarakat pra-kapitalis diatur
keluarga subsitensi, resiprositas, dan redistribusi. Keluarga merupakan suatu sistem
dimana barang-barang diproduksi dan disimpan dikalangan anggota kelompok
untuk pemakaian mereka sendiri (self sufficient system).15
Barang yang diproduksi
adalah untuk dikonsumsi. Adapun sebagian barang yang dijual bukan untuk
dijadikan sebagai modal, tetapi untuk memenuhi kebutuhan lain.
13
Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Terjemahan TW Utomo & Yusup
Priya Sudiarja (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 162
14
Dmasar & Indrayani, Op.cit., h. 139
15
Damsar & Indrayani, op.cit, hlm. 100
11. 8
Sementara, pada masyarakat modern sistem redistribusi tersebut
digantikan oleh ekonomi pasar yang ditandai dengan “pasar yang mengatur dirinya
sendiri”. Uang menggantikan mekanisme barter karena aktivitas ekonomi yang
semakin kompleks. Selain itu, tenaga kerja dan tanah dipandang sebagai komoditi
rekaan (commodity fiction) yang dapat diperjualbelikan di pasar seperti produk
yang lainnya.
Kesimpulanya, pada masyarakat pra-kapitalis, harga dibentuk oleh
keterlekatannya dengan institusi lain seperti otoritas politik dan tradisi. Sementara
pada masyarakat modern, pasar mengatur dirinya sendiri dimana harga dibentuk
oleh permintaan dan penawaran.
Dalam konsep keterlekatan ini, tindakan ekonomi didasarkan pada tujuan
rasional untuk mencapai tujuan serta dituntun oleh aturan yang berupa nilai, norma,
adat istiadat dan tata kelakuan yang ada dalam masyarakat. Misalnya, seorang
pedagang muslim pada dasarnya bekerja untuk memperoleh keuntungan. Namun
tidak semua barang atau jasa bisa diperjual-belikan olehnya. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya aturan dalam agama Islam yang tidak memperbolehkan
umatnya untuk memperjualbelikan barang haram. Contoh lainnya adalah transaksi
peminjaman uang yang berbunga, bagi seorang muslim yang taat tindakan ekonomi
tersebut merupakan tindakan yang harus dihindari. Karena, transaksi riba ini
merupakan sesuatu yang telah diharamkan baik dalam Al-qur’an maupun dalam Al-
Hadits.
Dari contoh tersebut kita dapat melihat bagaimana keterlekatan antara
agama dan ekonomi terjadi di dalam masyarakat. Seorang penganut agama yang
taat akan mempertimbangakan segala tindakan ekonominya apakah bertentangan
dengan ajaran agama atau tidak. Jika tidak bertentangan, maka ia akan
melakukannya. Begitu pula sebaliknya, jika tindakan tersebut dianggap
bertentangan maka ia akan berusaha untuk tidak melakukannya.
C. Analisis Sosial : Korelasi Agama dan Ekonomi dalam Islam
Agama sebagai sistem keyakinan dan praktek mengatur manusia dalam
upayanya untuk memenuhi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dan
12. 9
keinginannya. Agama menyediakan suatu tatan sosial bagi masyarakat yang
menjaga keselarasan dan keserasian sosial. Tindakan-tindakan ekonomi yang
dianggap akan merugikan suatu pihak dilarang oleh agama demi terciptanya suatu
keseimbangan dalam masyarakat. Dalam agama Islam terdapat berbagai hukum
yang mengatur kehidupan ekonomi masyarakat muslim. Sama seperti halnya dalam
agama Kristen Protestan, dalam Islam pun terdapat etika sosial yang melandasi
aktivitas ekonomi umat muslim. Etika sosial ini di dasarkan pada firman Allah
dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.
An-Nisa [4]: 9)
Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya
kehidupan ekonomi umat muslim mengutamakan nilai-nilai “keadilan” bagi semua
pihak. Suatu tindakan ekonomi yang merugikan salah satu pihak akan
mengakibatkan hilangnya keselarasan sosial dalam masyarakat sehingga perlu
dicegah melalui mekanisme yang terkandung dalam konsep ‘halal’ dan ‘haram’.
Beberapa bentuk aktivitas ekonomi yang diatur dalam Islam diantaranta adalah
mengenai zakat, muamalah dan faraid.
Zakat adalah sejumlah harta dalam kadar tertentu yang harus diberikan
kepada sekelompok orang yang dianggap pantas menerimanya berdasarkan
ketentuan dan syarat tertentu. Secara sosiologis zakat berfungsi sebagai alat
pemersatu sosial yang merekatkan hubungan antara masyarakat kelas ekonomi atas
dengan kelas ekonomi bawah. Zakat bukan merupakan sesuatu yang bersifat
kariratif seperti shadaqah, tetapi imperatif yang diwajibkan baik secara teologis
maupun politis. Zakat bahkan dapat dituntut oleh kelas miskin atau dipaksakan oleh
negara16
. Permasalahan sosial seperti ketimpangan ekonomi anatara kelas atas
16
Imam B. Jauhari. Teori Sosial : Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 79-80
13. 10
dengan kelas bawah tidak diatasi dengan jalan penumpasan oleh satu kelas terhadap
kelas lainnya melainkan dengan jalan ta’awun (saling tolong-menolong).
Sekelompok orang yang dianggap sukses secara finansial dianjurkan untuk
menolong saudaranya yang kekurangan sehingga terciptalah suatu proses simbiosis
mutualisme dalam masyarakat. Hal tersebut berda dengan konsep yang diajukan
oleh Karl Marx yang menganjurkan penumpasan salah satu kelas (Borjuis) oleh
kelas yang lainnya (ploretar) atau sering disebut dengan “revolusi komunis”.
Islam adalah seperangkat kredo yang diyakini oleh para pemeluknya
sebagai agama yang telah sempurna. Maka oleh sebab itu, Islam mempunyai
formulasi tersebdiri dalam tata pengaturan konflik atau permasalahan sosial yang
terjadi ditengah-tengah masyarakat. Episentrum serta pengaturan tata dan konflik
sosial tidak semata-mata dilakukan untuk tujuan kemanusiaaan melainkan untuk
menegakan keadilan serta untuk mendapatkan keridhaan dari Tuhan Yang Maha
Esa. Nilai-nilai transedental inilah yang membuat garis pembatas yang tegas anatara
tata pengaturan konflik dan permasalahan sosial di dalam agama Islam dengan
pandangan sekuler.
Muamalah merupakan tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi
manfaat dengan cara yang ditentukan seperti jual beli, sewa-menyewa, upah-
menupah, pinjam-meminjam, bercocok tanam, berserikat dan usahalainnya17
.
Dalam jual beli Islam mempunyai ketentuan barang yang diperjualbelikan harus
suci (bukan barang haram), bermanfaat, dapat diserahterimakan, diketahui, milik
sendiri atau diwakili dan tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.
Kemudian muamalah juga terdapat aturang mengenai larangan melakukan transaksi
ekonomi riba.
Islam mengakui konsep realitas ganda, yaitu sebuah konsep yang
memandang bahwa realitas itu terdiri dari dua jenis, yaitu realitas dunia dan realitas
akhirat. Relaitas dunia adalah realitas empiris dan berada dalam struktur objektif,
17
H. Sualiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013) Cet. 62, h.
278
14. 11
sementara realitas akhirat merupakan realitas normatif yang berada dalam struktur
objektif.18
Faraid merupakan pembagian harta pusaka kepada ahli waris berdasar
ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam Sudut
pandang sosiologis, faraid dapat dilihat sebagai pengalokasian sumberdaya
ekonomi terhadap anggota keluarga baik laki-laki atau pun perempuan. Dalam
Agama Islam, hak waris seorang laki-laki adalah dua kali lipat dari jatah
perempuan. Hal tersebut dilakukan dalam Islam karena laki-laki diwajibkan untuk
memberikan nafkah bagi keluarganya sementara perempuan tidak diwajibkan untuk
mencari nafkah, tetapi tidak pula ada aturan yang melarang perempuan untuk
mencari nafkah.
18
Imam Jauhari, Op.Cit., h. 78
15. 12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Agama mempunyai korelasi dengan ekonomi dimana agama sebagai sistem
keyakinan dan praktek mengatur bagaimana umatnya melakukan aktivitas
ekonomi.
2. Pandangan dari para tokoh mengenai agama dan ekonomi :
a. Karl Marx, ia melihat bahwa agama dijadikan sebagai alat eksploitasi yang
dilakukan oleh para kapitalis kepada kaum proletar. Agama memberikan
kesadaran palsu bagi para penganutnya sehingga terlelap dalam harapan-
harapan palsu di kehupan nanti.
b. Max Weber, melihat agama sebagai kekuatan dinamis yang mana doktrin
yang terkandung dalam agama akan menentukan aktivitas dan kekuatan
ekonomi para penganutnya.
c. Karl Polanyi, melahat agama sebagai salah satu institusi sosial yang
mempunyai keterlekatan (embeddedness) dengan ekonomi. Khususnya
dalam masyarakat pra-industri aktivitas ekonominya di dasarkan atas
keterlekatannya dengan agama.
3. Analisis : korelasi agama dan ekonomi dalam Islam :
a. Islam mengatur segala sendi kehidupan umatnya termasuk dalam kehidupan
ekonomi seperti zakat, muamalah dan faraid.
b. Etika sosial ekonomi dalam Islam didasarkan pada aspek keadilan dimana
suatu tindakan ekonomi tidak boleh merugikan pihak lainnya.
c. Islam menganjurkan umatnya untuk menjadi manusia yang produktif tetapi
tidak melanggar batas-batas yang sudah ditentukan oleh agama.
B. Saran
Kehidupan ekonomi dalam masyarakat sudah sepantasnya selalu
dilekatkan dengan ajaran agama sehingga terjadi keselaransan dan kesimbangan
dalam kehidupan sosial masyarakat.
16. 13
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanudin, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi
Agama, Jakarta: Rajagrafindo persada, 2006
Bachtiar, Wardi, Sosiologi Klasik (Dari Comte hingga Parsons), Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010
Damsar & Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana, 2013
Dede Mulyanto, Atropologi Marx : Karl Marx tentang Masyarakat dan
Kebudayaan, Bandung: Ulitimus, 2011
Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi,
Bandung: Pustaka Setia, 2009
Horton, Paul B. & Chester L. Hunt, Sosiologi, Terjemahan Aminudi Ram dan Tita
Sobari, Jakarta: Erlangga, _____
Imam B. Jauhari. Teori Sosial : Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Terjemahan TW Utomo &
Yusup Priya Sudiarja, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Rasjid, H. Sualiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013
Ritzer, George, Teori Sosiologi (Dari Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Posmodern), Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Soekanto, Soerjono, Sosiologi suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2012