"Skintoto: Destinasi Utama bagi Pecinta Judi Online"
KEAMANAN PERBATASAN
1.
2.
3. Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
2012
KESEJAHTERAAN DAN
KEAMANAN PENDUDUK
DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA
KAJIAN
4.
5. i
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
pada akhirnya kajian tentang kesejahteraan dan keamanan penduduk di
perbatasan ini dapat juga diselesaikan.
Kajian ini sangat diperlukan karena kondisi penduduk Indonesia di
daerah perbatasan masih cukup jarang dikaji. Apalagi yang dikaitkan dengan
aspek politik dan pertahanan keamanan-nya. Karena, masalah
kesejahteraan penduduk di perbatasan tidak hanya semata-mata masalah
sosial ekonomi, namun juga masalah keamanan dan hankam. Keamanan
disini adalah dilihat dalam perspektif yang lebih luas dari keamanan militer
belaka, namun juga keamanan manusia (human security) yang meliputi
keamanan individu, lingkungan, ekonomi, kesehatan, pangan, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini dilakukan penelitian dan triangulasi ke tiga
propinsi, masing-masing adalah Kalimantan Barat (Kab. Sanggau) Nusa
Tenggara Timur (Kab. Belu dan Kab. Timor Tengah Utara) dan Papua (Kab.
Jayapura dan Kab. Keerom) dengan pertimbangan bahwa ketiga propinsi
tersebut berbatasan darat dengan tiga negara tetangga (Malaysia, Timor
Leste dan Papua New Guinea).
Hasil dari penelitian amat relevan terkait pengambilan kebijakan
kependudukan untuk wilayah-wilayah perbatasan RI. Sudah saatnya wilayah
terluar tidak lagi dianggap sebagai halaman belakang (backyard) melainkan
sebagai halaman depan (frontyard). Juga, kesejahteraan penduduk di daerah
perbatasan harus diperhatikan dengan serius karena penduduk di
perbatasan adalah juga bagian dari potensi pertahanan bangsa dan negara.
Penanganan yang salah dapat berakibat mereka berbalik menjadi ancaman
hankam.
Kami berharap buku yang kami terbitkan ini sebagai salah satu acuan
bagi para perencana, pengelola dan pelaksana diseluruh sektor terkait
ditingkat pusat, propinsi, kabupaten dan kota dalam merencanakan,
melaksanakan pembangunan agar memperhatikan aspek kependudukan.
6. Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasionalii
Tersusunnya buku ini berdasarkan kebutuhan analisis dampak
kependudukan terkait aspek keamanan baik umum dan individu secara
khusus. Untuk kesempurnaan tulisan ini diharapkan adanya masukan dan
saran dari para pembaca guna dapat memberikan penyempurnaan kajian-
kajian kami di masa yang akan datang.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu memberikan
sumbangan, pemikiran, tenaga dan waktu sehingga tersusunnya dan
terbitnya buku ini dapat memberikan manfaat bagi kemajuan pembangunan
kependudukan dan keluarga berencana dimasa yang akan datang.
Jakarta, Desember 2012
Direktorat Analisis Dampak
Kependudukan.
Direktur,
Drs. Suyono Hadinoto, M.Sc.
7. iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang. ................................................................ 1
B. Permasalahan . ................................................................ 13
C. Tujuan Analisis ................................................................ 13
D. Metode Penelitian ............................................................ 14
E. Kerangka Teori dan Analisis ............................................ 15
1. Human Security dan Comprehensive Security. ......... 15
2. Konsepsi Keamanan Indonesia. ................................ 16
3. Konsepsi kesejahteraan ............................................ 19
4. Kesejahteraan Sosial di Tiga Provinsi........................ 20
5. Kerangka Analisis. ..................................................... 22
BAB II PERBATASAN DAN KOMPLEKSITAS MASALAH
PERBATASAN. ........................................................................ 23
1. Pengelolaan Kawasan Perbatasan ................................. 27
2. Kompleksitas Masalah Pengelolaan Perbatasan. ............ 28
BAB III GAMBARAN TENTANG KEAMANAN DAN
KESEJAHTERAAN DI DAERAH PERBATASAN..................... 31
1. Kalimantan Barat ............................................................ 32
2. Papua .............................................................................. 47
3. Nusa Tenggara Timur ...................................................... 57
BAB IV ANALISIS................................................................................. 75
BAB V PENUTUP ............................................................................... 83
A. Kesimpulan....................................................................... 83
B. Rekomendasi .................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 89
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
9. 1
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dengan luas wilayah daratan yang begitu luas (nomor 15 terbesar di
dunia) dan luas laut yang sangat besar (dua pertiga luas total wilayah
Indonesia) serta jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (setelah RRC,
India, dan Amerika Serikat), tak pelak lagi masalah kependudukan di
Indonesia begitu kompleks.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara
kepulauan yang terdiri atas pulau besar dan kecil yang menurut perhitungan
Dinas Hidro Oceonografi (Dishidros) TNI AL pada tahun 1982 berjumlah ±
17.508 pulau. Pulau tersebut dihubungkan oleh laut dan selat di Nusantara
yang merupakan laut yurisdiksi nasional sehingga membentuk sebuah
negara kepulauan. Eksistensi NKRI sebagai negara kepulauan telah diakui
oleh dunia melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982). Indonesia
1berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun di laut.
Indonesia berbatasan langsung di daratan dengan tiga negara, yaitu
Malaysia di Kalimantan, Papua New Guinea di Papua, dan Timor Leste di
Nusa Tenggara Timur. Di laut, Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara,
yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua
Nugini,Australia, danTimor Leste.
Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah
suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam
penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam,
serta menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Perbatasan negara dalam
banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, serta hukum nasional dan
internasional. Wilayah NKRI yang banyak berbatasan langsung dengan
negara lain merupakan suatu kenyataan yang harus disadari bahwa
Indonesia harus senantiasa waspada dalam menjaga wilayah perbatasan.
1 Moeldoko, Kompleksitas Pengelolaan Perbatasan : Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan
Perbatasan Indonesia, artikel online pada Universitas Pertahanan Indonesia.
10. 2
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Kemungkinan masuknya pengaruh asing negatif (ideology dan sosial
budaya) serta kemungkinan terjadinya kegiatan kejahatan lintas negara
(transnational crimes), pembalakan liar (illegal logging), pemancingan ilegal
(illegal fishing), perdagangan manusia (woman and child trades/trafficking),
imigran ilegal (illegal immigrants), penyelundupan manusia (people
smuggling), peredaran narkotika, pintu masuk teroris, perompakan, dan
konflik sosial budaya yang berpotensi mengancam stabilitas nasional harus
2dapat diantisipasi dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Berdasarkan tinjauan geostrategis dan geopolitik, kawasan
perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung
dengan negara tetangga dan yang langsung berhadapan dengan negara lain.
Wilayah yang dimaksud adalah bagian wilayah Provinsi dan kabupaten/kota
yang langsung bersinggungan dengan garis batas Negara (wilayah negara).
Selain kawasan perbatasan yang terletak di wilayah daratan, kawasan
3perbatasan negara yang berada di lautan belum secara tegas ditetapkan.
Kompleksitas ini semakin terasa bagi penduduk yang tinggal di
perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga, ataupun mereka
yang tinggal di pulau-pulau terdepan dan terluar Indonesia. Sebagai contoh,
penduduk yang tinggal di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur
dengan Malaysia. Mereka yang tinggal di Provinsi Papua berbatasan dengan
Papua New Guinea dan WNI yang tinggal di Nusa Tenggara Timur yang
berbatasan dengan Timor Leste. Karena, jangankan mereka tinggal amat
jauh dan terpencil dari Ibukota negara di Jakarta, bahkan tidak jarang mereka-
pun tinggal jauh dan terisolir dari ibukota kabupaten dan ibukota provinsi
mereka sendiri.
Sebagai contoh adalah permasalahan penduduk di perbatasan
dengan Timor Leste. Studi Agung Sudrajat (2011) menyebutkan bahwa
permasalahan kependudukan yang pertama di daerah perbatasan Indonesia
(daerah Bale) dengan wilayah Timor Leste (Distrik Oecussi-Ambeno) adalah
permasalahan status kependudukan. Penduduk daerah perbatasan
Indonesia-Oecussi kurang memiliki akses terhadap pendaftaran Kartu Tanda
Penduduk (KTP) Indonesia. Jangan lagi bicara E-KTP, untuk pembuatan KTP
model lama-pun mereka mengalami kesulitan akses. Maka, hingga saat ini,
2 Ibid.
3 Ibid.
11. 3
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
status kependudukan yang ada hanyalah diperoleh dari data-data para
sukarelawan atau pihak-pihak peneliti yang turun langsung ke lapangan.
Permasalahan lain ada di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT). Secara statistik, wilayah Kabupaten Belu pada tahun 2005 terdiri
dari 17 kecamatan dengan jumlah penduduk tercatat 343.777 jiwa dan
kepadatan penduduknya hanya 140.57 jiwa/km2 (Data BPS Kab Belu 2006).
Penduduk di sepanjang perbatasan Kabupaten Belu dengan Timor Leste
mengalami permasalahan terkait dengan kewarganegaraan dan kepemilikan
KTP. Banyak penduduk di wilayah Indonesia yang tidak memiliki KTP.
Kemudian, banyak pula pengungsi dari Timor Leste pascajajak pendapat
1999 (post ballot) yang hijrah ke Belu karena alasan keamanan ataupun
bermigrasi secara sadar karena kepentingan ekonomi kemudian mengaku
sebagai warga Kabupaten Belu.
Permasalahan kependudukan tersebut juga didukung dengan
pengawasan pemerintah yang masih sangat kurang. Sebagai contoh, tapal
batas antara wilayah Indonesia di NTT (Kabupaten Kupang dan Kabupaten
Timor Tengah Utara) dengan Timor Leste di Distrik Oecussi adalah sepanjang
254.4 km dan hanya diawasi 55 pos pengawas. Sebenarnya pos pengawasan
ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan daerah perbatasan darat
Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur (sepanjang
2004 km) ataupun antara Provinsi Papua dengan Papua New Guinea (PNG),
akan tetapi, kondisi keamanan di Timor Leste masih belum kondusif, terutama
karena pergolakan politik internal yang tidak stabil. Sehingga, potensi
masuknya imigran gelap ke daerah Indonesia juga amat besar.
Permasalahan perbatasan yang lain dan bersifat klasik dan laten
adalah antara Indonesia dengan Malaysia. Indonesia dan Malaysia adalah
sepasang negeri jiran yang sebelum diperkenalkannya konsep negara
modern (pasca perjanjian Westphalia 1648) tak mengenal batas-batas fisik
maupun batas-batas kultural. Era kolonialisme Eropa Barat di kedua negara
dilanjutkan dengan lahirnya negara modern Indonesia pada 17 Agustus 1945
dan deklarasi kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 1957 berkonsekuensi
terciptanya garis demarkasi antara kedua negara yang kemudian disebut
sebagai perbatasan. Perbatasan dalam artian fisik kemudian tercipta di
sepanjang pulau Kalimantan sejauh 2004 kilometer (yang merupakan
perbatasan fisik terpanjang Indonesia dengan negara lain) dan perbatasan
laut di sepanjang Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi.
12. 4
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Namun, berbeda halnya dengan batas fisik, batas kultural antara
Indonesia dan Malaysia tak pernah jelas. Dan tidak hanya dengan Malaysia,
dengan Brunei Darussalam, Thailand Selatan dan Philippina Selatan-pun
bangsa Indonesia memiliki kesamaan kultural pada banyak wilayah budaya
karena berasal dari rumpun etnolinguistik yang sama yaitu Austronesia
(Malayo Polynesia). Sehingga memiliki akar bahasa yang nyaris sama, dan
pengalaman sejarah yang hampir sama, yaitu sempat berada di bawah
kesultanan-kesultanan Islam sebelum mengalami penjajahan Eropa Barat
(terkecuali untuk Thailand Selatan). Tak heran beberapa kesenian khas
Indonesia seperti wayang ataupun seni batik mudah juga ditemukan di
Malaysia maupunThailand Selatan dan Brunei Darussalam.
Barangkali masalah perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia tak
mengemuka kalau saja belakangan tak terjadi sengketa pada Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan (yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia melalui
keputusan Mahkamah Internasional-International Court of Justice pada tahun
2002) dan pada blok laut Ambalat di Laut Sulawesi. Juga, dengan terjadinya
beberapa persoalan krusial seperti banyaknya buruh migran Indonesia yang
tak terdokumentasi (undocumented migrant workers) di Malaysia, masalah
pembalakan hutan (illegal logging) di sepanjang perbatasan Indonesia-
Malaysia di Kalimantan, penyelundupan (smuggling) narkoba dan
perdagangan manusia (human trafficking). Masalah lainnya adalah
ketertinggalan pembangunan, ketegangan di perbatasan dan belakangan
adalah masalah terorisme transnasional (transnational terrorism) yang
mengusik kestabilan di wilayah perbatasan.
Masalah perbatasan Indonesia-Malaysia dapat dibedakan antara
batas fisik yang tersaji dalam batas darat, batas laut, maupun batas udara.
Batas darat dapat ditandai dengan patok-patok tapal batas, penempatan
petugas penjaga perbatasan, maupun adanya kantor imigrasi dan kantor bea
cukai (customs). Sebaliknya batas laut dan batas udara lebih berupa garis-
garis imajiner yang disepakati bersama melalui perjanjian bilateral.
Kendati sebagian besar masalah perbatasan terletak pada batas
darat, namun bukan berarti batas laut tidak menjadi masalah. Sengketa
kepemilikan Blok Ambalat pada tahun 2005-2006 membuktikan bahwa
kejelasan batas laut menjadi amat signifikan. Di-legal-kannya kepemilikan
Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada Desember 2002 oleh
International Court of Justice The Hague (ICJ) membawa akibat lahirnya
13. 5
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
klaim baru terhadap blok Ambalat yang disinyalir kaya potensi minyak bumi
oleh Malaysia. Indonesia bersikukuh pada posisi sebagai negara kepulauan
yang menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) memiliki
klaim lebih sah terhadap blok laut Ambalat. Sementara Malaysia bersikukuh
dengan batas laut territorial dan zona ekonomi eksklusif yang diambil dari
pulau terluar Sipadan dan Ligitan.
Persoalan perbatasan lainnya adalah keamanan di perbatasan laut
Selat Malaka dan Singapura. Akhir-akhir ini di sepanjang Selat Malaka-
Singapura (SMS) sering terjadi perompakan di laut (sea robbery) sehingga
issue tersebut oleh negara-negara pengguna selat telah bergeser menjadi
issue terorisme yang mengarah kepada internasionalisasi selat tersebut. Hal
ini terlihat dengan dilakukannya berbagai inisiatif pengamanan oleh negara
pemakai Selat Malaka yang diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS) seperti
Proliferation Security Initiative (PSI) Container Security Initiative (CSI) dan
Regional Security Initiative (RSI). Malahan AS telah berinisiatif pula untuk
mengirim ”misi keamanan” dengan menggelar tentaranya di Selat Malaka.
Padahal, berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS),
tanggungjawab pengamanan utama Selat Malaka terletak pada negara-
negara tepinya (Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Masalah perbatasan laut lain yang amat signifikan adalah maraknya
penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal nelayan asing.
Sebagai contoh, saat ini banyak nelayan asing dari Thailand, China, dan
Philippina yang menangkap ikan secara illegal sampai ke Laut Banda dan
Laut Arafura melalui Selat Malaka, Samudera Indonesia maupun Laut
Sulawesi. Kerugian negara di laut Arafura saja karena aktivitas illegal fishing
setiap tahunnya adalah sekitar Rp 13 trilyun.
Pihak kepolisian RI sudah menelusuri pelanggaran ini hingga ke
Thailand. Hasilnya antara tahun 2005 hingga 2006 hanya 31 kapal ikan yang
terdaftar kepemilikannya di KBRI Bangkok. Padahal, jumlah kapal Thailand
yan beroperasi di Indonesia jauh lebih besar dari angka tersebut. Selain itu,
terjadi peningkatan pembelian kapal bekas Thailand pada September 2006,
4sebelum dihentikan izin penangkapan ikan kapal dari negeri Gajah Putih itu.
4 Heru Susetyo, Mengelola Perbatasan Indonesia Malaysia dengan Pendekatan Keamanan Non
Tradisional, pada http://ahmeddzakirin.blogspot.com/2011/01/mengelola-perbatasan-indonesia-
dan_28.html
14. 6
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Menghadapi masalah keamanan di perbatasan laut seperti dalam
kasus Selat Malaka ataupun illegal fishing, tentunya pendekatan keamanan
tradisional yang bertumpu pada kekuatan militer (TNI Angkatan Laut dibantu
dengan Polisi Perairan dan Udara serta Bea Cukai dan Imigrasi) menjadi
wajar apabila menjadi pilihan utama.
Berbeda halnya dengan masalah perbatasan di darat, yaitu di pulau
Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan) dan pulau-
pulau kecil terluar di lepas pantai Kalimantan. Di sepanjang perbatasan darat,
kebutuhan yang lebih mengemuka adalah pendekatan keamanan non
tradisional yang bertumpu pada human security (keamanan manusia), tak
semata-mata military security. Aspek human security yang paling dominan
dalam hal ini adalah economic security (keamanan ekonomi), health security
(keamanan kesehatan) maupun food security (keamanan pangan).
Beberapa kasus yang mengemuka terkait dengan kesejahteraan
ekonomi yang menimbulkan masalah di perbatasan antara lain seperti yang
terjadi di Desa Suruh Tembawang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat,
yang berbatasan fisik dengan Serawak, Malaysia. Warga perbatasan
Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) ternyata tidak sedikit yang
memiliki kartu kewarganegaraan Malaysia disamping KTP Indonesia. Ini
dibuktikan dengan kepemilikan kartu identitas (identity card/IC) Malaysia.
Pengurusannya juga tidak tidak terlalu sulit sehingga banyak warga yang
5mengurus IC Malaysia.
Sebagai contoh adalah warga Desa Suruh Tembawang, desa terpencil
dan terisolasi yang terletak di perbatasan Kalbar-Sarawak dengan jarak
sekitar 64 km dari pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) Entikong. Sejauh ini
sedikitnya 139 warga Desa Suruh Tembawang beralih statusnya jadi Warga
Negara Malaysia. Hal ini dikarenakan Desa Suruh Tembawang berbatasan
langsung dengan dusun Gun Sapit di Serawak. Penduduk Suruh Tembawang
juga sering berniaga ke Gun Sapit karena mereka memang masih memiliki
hubungan kekerabatan karena berasal dari etnis yang sama. Di saat petugas
Jabatan Pendaftar Negara (JPN) Malaysia mendaftar, mereka turut
mendaftar sehingga memperoleh IC Malaysia.
5 Ibid.
15. 7
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
Kasus lain yang tak kalah unik dan menarik sekaligus menghadirkan
permasalahan kesejahteraan di perbatasan terjadi di Pulau Sebatik,
Kabupaten Nunukan-Kalimantan Timur. Harian Suara Merdeka edisi 17 Maret
2005 menyajikan reportase menarik tentang kronik kehidupan di perbatasan
6Pulau Sebatik :
Puluhan rumah panggung tampak berderet-deret sepanjang jalanan
berbatu. Sekilas, tak ada yang istimewa dari rumah-rumah itu. Tidak
ada pagar kawat berduri atau tembok tinggi seperti laiknya perbatasan
dua negara. Kecuali beberapa patok yang tersembul setinggi 10 cm,
tak setitik pun tengara bahwa rumah-rumah itu berdiri di atas wilayah
Indonesia dan Malaysia. Pulau Sebatik senyatanya merupakan pulau
terluar Kabupaten Nunukan yang berbatasan langsung dengan
Negara Bagian Sabah, Malaysia. Secara administratif, pulau kecil
berpenduduk 26.400 jiwa di seberang Kalimantan ini "terbelah"
menjadi dua. Sebagian masuk wilayah Indonesia dan sebagian
lainnya masuk wilayah Malaysia. Dan Desa Aji Kuning adalah bagian
dari tanah air yang "terbagi" itu. Ketidakjelasan batas Indonesia-
Malaysia sesungguhnya tak hanya terjadi di lautan seperti yang kini
terjadi di Blok Ambalat, Kalimantan Timur. Di daratan seperti Desa Aji
Kuning, kesimpangsiuran batas negara bukanlah hal yang luar biasa.
Sebut saja RT 14 Desa Aji Kuning, secara de jure sesungguhnya
masuk wilayah Malaysia.
Meski demikian, penduduk yang sudah bermukim di pulau itu sejak
tahun 1975 tak pernah merisaukan sejengkal pun tanah batas wilayah.
''Boleh dibilang setiap hari kami pergi ke luar negeri. Bagaimana tidak,
ruang tamu ada di Indonesia, dapur ada di Malaysia,'' kelakar H Bedu
Rahang. Namun persoalan batas negara bukanlah harga mati di
Sebatik. Sebab petugas dan fasilitas penjagaan terbilang minim.
Sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia-sekitar 1.950 kilometer
misalnya, hanya tersedia 30 pos perbatasan. Artinya, setiap pos harus
menjaga wilayah sepanjang 65 kilometer. Seorang petugas TNI,
Harianja (30), menuturkan, pemeriksaan di daerah tak berpenjaga
jauh lebih longgar. Sebab warga sering lalu-lalang ke daerah
perbatasan.
6 Heru Susetyo, Mengelola Perbatasan Indonesia Malaysia dengan Pendekatan Keamanan Non
Tradisional, pada http://ahmeddzakirin.blogspot.com/2011/01/mengelola-perbatasan-indonesia-
dan_28.html
16. 8
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
''Kalau setiap saat harus menunjukkan paspor, tentu repot. Lha wong
saban sore kami musti jalan kaki mengambil air ke sumur Malaysia,''
ujar pria asal Sidoarjo Jawa Timur itu. Apa yang dikatakan Harianja
bukanlah mengada-ada. Saat musim kemarau tiba, warga Aji Kuning
harus mencari air hingga ke Malaysia. Mereka berjalan kaki
menembus perkebunan kelapa sawit untuk mendapatkan sumber
kehidupan. ''Kami cukup menunjukkan KTP kepada petugas yang
berjaga jaga di perbatasan Malaysia. Atau, kalau sudah hapal ya lewat
saja. Toh penduduk sini tak banyak, mereka hapal siapa-siapa yang
butuh air,'' tutur Harianja.
Studi yang dilakukan LIPI pada tahun 2007 di Krayan Kalimantan
Timur, Long Pasia, Sabah-Malaysia, dan Lun Bawan di Ba Kelalan, Sarawak-
Malaysia, ketiganya adalah desa-desa yang berdampingan di sepanjang
perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara, menunjukkan bahwa
ikatan antara masyarakat yang berbeda kewarganegaraan di perbatasan
tersebut telah terjadi begitu lama melalui interaksi perdagangan. Apalagi
mereka mempunyai ikatan etnis yang sama (Sampai saat ini, kendati
menghadapi kendala fisik seperti ketiadaan akses jalan raya dan terisolir dari
bagian Provinsi yang lain (landlocked) namun hubungan perdagangan dan
perekonomian di perbatasan tersebut masih berlangsung.
Permasalahan perbatasan lain adalah seperti yang terjadi di
7Kabupaten Sambas, juga di Kalimantan Barat, seperti dalam kisah berikut :
Jalan tanah yang sedianya dijadikan jalan lintas negara yang
menghubungkan ibu kota Sambas ke perbatasan Biawak, Malaysia,
sepanjang 88 kilometer tersebut memang menjadi becek jika diguyur
hujan beberapa saat. Sedikitnya ada tiga tanjakan curam yang sulit
dilalui jika jalan iguyur hujan dan hanya mobil berpenggerak ganda
yang bisa melintasi jalan itu.
Mobil jip berpenggerak ganda yang kami tumpangi pun sempat
tergelincir saat berjalan menurun dan hampir saja menabrak tebing di
tepi jalan. Beruntung mobil bisa berhenti setelah terjerembab di
selokan. Mobil bisa keluar setelah penggerak ganda diaktifkan. Berkat
penggerak ganda itu pula kami bisa menarik truk Didik melewati
7 Harmen Batubara, Wilayah Perbatasan Halaman Depan Bangsa yang Terlupakan, dalam
http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-dilupakan/
17. 9
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
tanjakan tadi. Di jalan menanjak itu pula dijumpai belasan pengendara
motor yang masing-masing mengangkut 2-3 kuintal gula dari
Malaysia. Mereka antre melewati tanjakan tersebut karena sepeda
motor dengan beban melebihi kapasitasnya itu hanya bisa lewat jika
dibantu didorong. Mengendarai sepeda motor dengan beban
sedemikian berat saja sulit, apalagi di jalan hancur seperti itu.
Didik dan kernetnya pun turut membantu mendorong mereka yang
biasa disebut ”pengojek gula” itu. ”Dua hari di sini mungkin ada
puluhan pengojek gula yang kami bantu dorong,” kata Didik.
Kami juga melihat sendiri dua di antara pengojek gula itu ada yang
terjatuh saat didorong melewati tanjakan licin. Bahkan, satu di
antaranya terjatuh dengan posisi kaki tertindih mesin sepeda motor
sehingga ia pun mengerang kesakitan. Lagi-lagi ”beruntung” karena
kakinya tidak sampai patah. ”Dua-tiga kawan kamek be ada yang
patah kaki ketimpe motor. Itu sudah jadi risiko kamek meski untung
ojek gula paling-paling hanya Rp 150.000-Rp 200.000 sekali jalan,”
kata Mus (42), pengojek gula asal Kartiasa, Sambas, dengan logat
Melayu.
Selain jalan akses UTAMA DI PERBATASAN, jalan menuju dusun di
sana sebagian besar juga masih tanah dan akan berubah menjadi
kubangan lumpur saat musim hujan. Aktivis Lembaga Gemawan
bernama Salman yang hampir dua tahun terakhir mendampingi
masyarakat di sana mengaku sudah terbiasa jatuh bangun di jalan
becek itu.
Potret jalan di perbatasan Kalbar hampir sama seperti itu. Saat musim
hujan jalan tanah menjadi becek dan pada musim kemarau jalan
penuh debu. Dari lima kabupaten di Kalbar yang berbatasan langsung
dengan Malaysia, hanya satu jalan akses yang sudah teraspal, yakni
jalan akses Entikong di Kabupaten Sanggau. Itu pun masih banyak
dijumpai lubang jalan.
Di tengah belum mulusnya jalan akses di perbatasan, Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Provinsi Kalbar justru tetap ngotot
membuka pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) di Sajingan dan
Badau (Kabupaten Kapuas Hulu). Fasilitas PPLB di dua wilayah kita
itu memang siap dioperasikan, tetapi, seperti diuraikan di atas, jalan
aksesnya yang belum teraspal jelas belum layak dijadikan jalan lintas
18. 10
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
negara. Sementara di sisi negara tetangga, jalan aksesnya sudah
terbangun mulus hingga ke ibu kota Serawak di Kuching, tetapi
fasilitas PPLB masih dalam tahap pembangunan.
Dalam sejumlah pemberitaan di Kalbar, ada kesan sedikit
menyudutkan pemerintah negeri jiran karena belum juga
menyelesaikan pembangunan PPLB dan menunda kesepakatan
pembukaan PPLB di kedua wilayah itu. Jika mau jujur, Indonesia juga
belum siap sepenuhnya karena akses jalan lintas negara belum
selesai dibangun.
Konsul Malaysia di Pontianak Zairi Basri kepada Kompas
mengungkapkan, pada dasarnya Malaysia menginginkan
PEMBANGUNAN DI PERBATASAN dua negara setara. Kalaupun ada
kesenjangan, jaraknya tidak terlalu lebar SEHINGGA TIDAK SAMPAI
MENIMBULKAN DAMPAK SOSIAL, EKONOMI, ATAUPUN POLITIK
BAGI DUANEGARASERUMPUN.
Jalan akses perbatasan di Indonesia, misalnya, ia berharap bisa
terbangun dengan baik sehingga dampak dari pembangunan PPLB
tidak hanya dirasakan warga di lini satu perbatasan saja, tetapi juga
masyarakat lebih luas.Jika demikian adanya, apakah kita masih tetap
ngotot membuka PPLB di Sajingan dan Badau, sementara jalan
aksesnya masih hancur?
Seorang kawan pernah berkelakar, justru tetap kita buka saja PPLB di
Sajingan dan Badau, lantas kita promosikan sebagai ”wisata offroad”.
Nah lho..
Kembali pada ihwal kalahnya Indonesia dari Malaysia dalam sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan di muka International Court of Justice (ICJ) The
Hague pada tahun 2002 yang dapat diibaratkan rapor merah bagi diplomasi
Indonesia. Namun I Made Arsana, pakar kelautan dari UGM, berpendapat
bahwa Indonesia sesungguhnya tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan
Ligitan adalah dua pulau tak bertuan yang akhirnya berhasil dimiliki oleh
8Malaysia setelah kedua negara sama-sama menyatakan klaimnya.
8 Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sobar Sutisna dalam “Pengamanan Wilayah
Perbatasan RI dan Kepastian (online article at http://idu.ac.id) sebagai berikut :
Kasus Pulau Sipadan danPulau Ligitan (Siplig) adalah kasus yang bersifat unik dan khusus. Kedua pulau
tersebut menjadi objek sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia yang berawal pada tahun
1969 ketika kedua negara merundingkan perbatasan landas kontinen di antara kedua negara. Dalam
19. 11
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
Apa dasar kemenangan Malaysia? Menurut putusan ICJ pada 17
Desember 2002, Malaysia dimenangkan karena telah menjalankan kontrol
efektif (effective occupation) terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan berupa
fungsi administrasi pemerintahan, legislatif, maupun quasi yudikatif. Para
hakim (16 hakim memenangkan Malaysia dan 1 menolak) bersepakat bahwa
Malaysia terlihat memiliki niat dan keseriusan untuk menjalankan fungsi
kenegaraannya di Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia juga telah lama
(ketika masih dijajah Inggris) menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai
daerah konservasi penyu dan burung. Bahkan mereka pernah mengeluarkan
Turtle Preservation Ordinance pada tahun 1917. Klaim-klaim yang terbukti
secara sosiologis inilah yang kurang dipunyai Indonesia dan
menyebabkannya kalah di persidangan ICJ tersebut. Alias, kita hanya
mengaku memiliki kedua pulau tersebut, namun sejatinya kita tak pernah
mengurusinya. Berbeda dengan Malaysia yang perbuatan pengurusannya
9lebih terlihat.
Terkait dengan masalah kontrol efektif (effective occupation), Arif
Havas Oegroseno memiliki pendapat berbeda. Menurutnya doktrin ini adalah
doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi Kuno.
Occupation berasal dari konsep Romawi occupation yang berarti tindakan
administrative dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective
occupation sebagai suatu tindakan administrasi penguasaan suatu wilayah
hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak
bertuan atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh
perundingan tersebut ditemukan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pulau yang ”tidak
bertuan” (terranulius). Hal itu mengingat bahwa kedua negara tidak memasukkan kedua pulau tersebut
ke dalam wilayah masing-masing. Indonesia sendiri melalui Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tidak
mencantumkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai bagian dari wilayah NKRI. Atas dasar saling
klaim tersebut, kedua negara sepakat untuk menempatkan kedua pulau tersebut ke dalam status quo
yang pada akhirnya pada tahun 1997 kedua negara bersepakat untuk dibawa ke Mahkamah
Internasional (ICJ) untuk diputuskan tentang kepemilikannya. Pencantuman Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 merupakan langkah yang sudah
terlambat, kemudian dikoreksi pada tahun 2008 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008.
Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa pemahaman yang perlu ditanamkan adalah bahwa Indonesia
bukan kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, melainkan Indonesia gagal di dalam upaya
memasukkan keduanya ke dalam wilayah NKRI. Perlu pula dipahami bahwa kasus Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan bukanlan kasus sengketa batas wilayah negara, melainkan kasus sengketa kepemilikan
pulau tersebut. Kasus Siplig yang unik dan khusus itu hendaknya menjadi pembeda dan tidak menjadi
refleksi terhadap keraguan atas kedaulatan wilayah NKRI atas pulau terluar lainnya yang telah masuk di
dalam sistem hukum Indonesia.
9 Informasi tentang putusan ICJ dalam kasus Sipadan-Ligitan tersedia di http://www.icj-
cij.org/docket/files/102/7714.pdf
20. 12
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang
diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrase, atau registrasi
10kepemilikan dengan hukum yang jelas.
Esensi keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan klaim
Malaysia, menurut Arif Havas Oegroseno adalah seperti yang dinyatakan
sementara kalangan yakni bahwa Negara harus memperhatikan lingkungan
hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu
pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang
terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen
hukum, regulasi atau kegiatan administrative lainnya tentang pulau tersebut
11terlepas dari isi kegiatannya.
Pelajaran berikutnya adalah kasus Pulau Miangas di Sulawesi Utara.
Pulau ini adalah pulau terluar Indonesia yang hanya berjarak 78 mil dari
Davao City – Mindanao, Philippines dan sebaliknya berjarak 324 mil dari
Manado, Sulawesi Utara ini, sempat menuai masalah pada bulan Mei 2005.
Sebabnya adalah kasus kematian Sekretaris Desa, Jhonly Awala di tangan
kepala polisi setempat yang berujung pada pembangkangan terhadap
pemerintah RI. Bendera merah putih diturunkan dan diganti bendera negara
Philippines. Rupanya kematian ini hanya salah satu pemicu saja, karena
sudah lama rakyat setempat yang hanya berjumlah 982 jiwa hidup secara
terisolir. Tanpa listrik, tanpa hiburan, tanpa alat komunikasi. Mereka merasa
lebih dekat dengan Philippines daripada Indonesia. Apalagi, sebagian besar
mereka memang mempunyai keluarga di Mindanao, Philippines dan
transaksi sehari-harinya menggunakan mata uang Philippines Pesos
daripada Rupiah Indonesia.
Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas, nyatalah bahwa masalah
perbatasan tidak semata-mata masalah keamanan militer (hankam) saja.
Namun juga masalah keamanan manusia (human security) yang lain, apakah
bernama keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan,
keamanan pangan, dan lain-lain. Berapa banyakpun jumlah tentara
ditugaskan menjaga perbatasan, apabila masalah kesejahteraan ekonomi
dan keadilan sosial tak tuntas ditangani Negara Indonesia maka potensi
terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap perbatasan fisik dan
meletupnya konflik-konflik sosial di perbatasan akan selalu ada.
10Arif Havas Oegroseno, Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia dalam Jurnal Hukum Internasional
FHUI, Vol. 6 No. 3April 2009, hal. 307.
11 Ibid., hal. 310.
21. 13
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, menyeruak
permasalahan yang amat krusial terkait dengan kondisi penduduk Indonesia
yang tinggal di sekitar perbatasan, utamanya perbatasan darat Indonesia.
Apakah yang berbatasan fisik dengan Malaysia di Kalimantan, dengan Timor
Leste di Pulau Timor, maupun dengan Papua New Guinea di Pulau Papua.
Permasalahan tersebut amat menarik untuk dikaji, utamanya untuk melihat
kondisi kesejahteraan dan keamanan penduduk Indonesia di perbatasan
dibandingkan dengan penduduk di negeri jiran maupun dengan penduduk
Indonesia lainnya yang tidak tinggal di daerah perbatasan.
Dalam penelitian ini, daerah perbatasan yang dikaji adalah :
1) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang berbatasan darat
dengan negara bagian Serawak di MalaysiaTimur.
2) Kabupaten Belu dan Kab. Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara
Timur (NTT) yang berbatasan darat dengan negaraTimor Leste.
3) Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom, Provinsi Papua
yang, berbatasan darat dengan negara Papua New Guinea (PNG).
Kemudian, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kondisi keamanan dan kesejahteraan penduduk
Indonesia di daerah perbatasan di Kalimantan Timur, Nusa
TenggaraTimur dan Papua?
2. Bagaimanakah dampak migrasi dan mobilitas penduduk terhadap
keamanan di daerah perbatasan di Kaltim, NTT dan Papua baik
keamanan dalam artian tradisional maupun non tradisional?
C. TUJUANANALISIS
1. Mendapatkan pengetahuan dan informasi terkait dengan situasi
keamanan dan kesejahteraan penduduk Indonesia di daerah
perbatasan di Kalimantan Barat, NusaTenggaraTimur dan Papua.
2. Memperoleh pemahaman tentang dampak migrasi dan mobilitas
penduduk terhadap keamanan di daerah perbatasan di Kaltim,
NTT dan Papua baik keamanan dalam artian tradisional maupun
non tradisional.
22. 14
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
D. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif empiris dengan
pendekatan analisis kualitatif. Data diperoleh melalui studi kepustakaan
(library research) maupun data lapangan (data primer) yang dilakukan melalui
wawancara, FGD dengan narasumber terkait dan juga observasi.
Narasumber penelitian ini adalah pegawai pemerintah maupun akademisi
dan swasta yang terkait dan berhubungan dengan masalah kependudukan,
migrasi, keamanan di perbatasan dan pemerintahan/pembangunan.
Pengumpulan data dan triangulasi dilakukan di Provinsi-Provinsi
berbatasan darat dengan negara asing yaitu :
1. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan dengan
Timor Leste. Penelitian dilakukan di Kabupaten Timor Tengah
Utara (TTU) yang berbatasan dengan distrik Oecussi dan di
Kabupaten Belu yang berbatasan dengan distrik Maliana di Timor
Leste. Focus Group Discussions diadakan di Atambua (Kec. Belu)
dan di Kefamenanu (Kab. Timor Tengah Utara). Site visit dilakukan
ke distrik Oecussi maupun ke Mota Ain yang berbatasan dengan
Batugade diTimor Leste.
2. Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Negara
Bagian Serawak di Malaysia Timur. Penelitian dilakukan di Kota
Sanggau (FGD) dan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau
yang berbatasan dengan Tebedu di Serawak, serta site visit
dilakukan ke Kecamatan Entikong danTebedu di Serawak.
3. Provinsi Papua yang berbatasan dengan Papua New Guinea
(PNG), Penelitian dilakukan di Kabupaten Keerom dan Kabupaten
Jayapura dengan melakukan wawancara dan FGD. Site visit
dilakukan ke border Skouw di Kabupaten Jayapura.
Di masing-masing Provinsi tersebut, pengumpulan data melalui
wawancara, observasi dan Focus Group Discussion (FGD) dilakukan
utamanya dengan :
a) Badan Kependudukan
b) Kepolisian
c) KODIM atau Koramil Setempat
d) Pemda Setempat (Kecamatan/Kelurahan)
23. 15
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
e) Dinas Sosial
f) Dinas Kesehatan
g) Dinas Pendidikan
h) SKPD Pengelola Perbatasan
i) BPS
j) dan lain-lain
E. KERANGKATEORI DANANALISIS
1. Human Security dan Comprehensive Security
Ketika berbicara tentang keamanan dan kesejahteraan penduduk di
perbatasan Indonesia, haruslah berangkat dari paradigma keamanan seperti
apa yang dianut dan berlaku dalam kajian ini.
Kajian ini menggunakan paradigm keamanan manusia (human
security) sebagai suatu pendekatan keamanan non tradisional. Sebagai
alternative dari pendekatan keamanan konvensional/tradisional yang
semata-mata mengedepankan keamanan dalam perspektif keamanan fisik
dan kemiliteran belaka.
Paradigma human security ini seringkali diposisikan berpasangan dan
senafas dengan comprehensive security, sebagai pendekatan yang
memandang keamanan tidak semata-mata dari perspektif kemiliteran namun
juga non militer.
Konsep human security muncul antara lain melalui laporan badan PBB
UNDP (United Nations Development Program) pada tahun 1994. Pemikiran
utama dari konsep ini adalah bahwa berakhirnya perang dingin seharusnya
mengubah juga paradigma keamanan dari keamanan nuklir menuju
keamanan manusia. Badan PBB ini berpendapat bahwa konflik yang terjadi
saat ini lebih banyak di dalam negara (within nations) daripada antar negara
(international conflicts). Bagi banyak orang, perasaan tidak aman lahir lebih
banyak dari kehidupan sehari-hari daripada akibat peristiwa dunia tertentu.
Misalnya, apakah mereka memiliki cukup makan? tak akan kehilangan
pekerjaan? Aman berjalan di jalan umum? Akankah mereka menjadi korban
karena status gender-nya?Akankah asal usul agama atau etnis mereka akan
24. 16
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
menyebabkan mereka menjadi korban penyiksaan? Pada analis finalnya,
human security adalah identik dengan anak-anak yang tidak mati, penyakit
yang tidak menyebar, pekerjaan yang tidak dihentikan, konflik etnis yang tidak
berujung pada kekerasan. Human security tidak berurusan dengan senjata.
12Lebih berurusan pada kehidupan manusia dan martabatnya.
Laporan UNDP 1994 menekankan pemaknaan human security
sebagai sesuatu yang universal. Relevan dengan semua manusia
dimanapun. Karena ancaman keamanan dalam human security bersifat
umum. Dimanapun terjadi tak memandang tapal batas negara. Human
security memusatkan perhatian pada manusia (people-centered) dan bukan
negara (state-centered), dengan memaknai keamanan pada tujuh wilayah
yaitu : keamanan ekonomi (economic security), makanan (food security),
kesehatan (health security), lingkungan (environmental security),
pribadi/individu (personal security), komunitas (community security) dan
politik (political security).
Konsep ini juga mengidentifikasi enam ancaman terhadap human
security yaitu :
1. Pertumbuhan penduduk yang tak terkendali;
2. Disparitas peluang-peluang ekonomi;
3. Tekanan migrasi penduduk;
4. Degradasi lingkungan;
5. Perdagangan narkotika; dan
6. Terorisme internasional.
2. Konsepsi Keamanan Indonesia
Dalam melacak konsepsi keamanan nasional Indonesia, paling tidak
dapat dilakukan dengan mengetahui doktrin dan perundang-undangan yang
menjadi landasan. Doktrin utama dari keamanan nasional adalah ketahanan
nasional (national resilience).
Ketahanan Nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang
terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk
mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan
12http://hdr.undp.org/en/media/NHDR_Human_Security_GN.pdf
25. 17
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari
dalam maupun luar, secara langsung maupun yang tidak langsung yang
mengancam dan membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup
bangsa dan negara serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan perjuangan
nasional.
Doktrin ketahanan nasional mencakup organisasi dan implementasi
dari suatu keseimbangan antara keamanan dan kesejahteraan dalam
kehidupan bangsa, yang secara holistik meliputi semua aspek yang
berlandaskan filosofi bangsa, ideologi negara, konstitusi dan identitas
nasional melalui metodeASTAGATRA.
Astagatra terdiri dari delapan aspek yang terbagi atas Pancagatra
(lima aspek sosial) danTrigatra (tiga aspek alamiah).
Pancagatra adalah integrasi dari faktor-faktor dinamis berikut:
(1) ideologi;
(2) politik;
(3) ekonomi;
(4) sosial budaya; dan
(5) pertahanan dan keamanan
Trigatra berfokus pada relasi antara tiga aspek alamiah Indonesia
yaitu:
(1) keistimewaan geografis Indonesia;
(2) sumber daya alam; dan
(3) potensi dan kemampuan rakyat.
Doktrin ketahanan nasional lebih memandang ke dalam (inward-
looking), atau tertuju pada bangsa Indonesia sendiri. Tujuan utamanya adalah
pencapaian identitas dan karakter nasional melalui ketahanan pribadi. Hal ini
tidak berarti bahwa bangsa Indonesia menerapkan nasionalisme yang sempit
atau mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Karakteristik memandang
ke dalam (inward-looking) berjalan searah dengan pemeliharaan hubungan
internasional (Anwar, 2000 : 85).
26. 18
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Mantan presiden Soeharto menyebutkan bahwa ketahanan nasional
adalah satu-satunya jawaban terhadap tantangan konflik di dunia saat ini,
karena ketahanan nasional meliputi:
(1) ketahanan ideologis;
(2) ketahanan ekonomi;
(3) ketahanan sosial; dan
(4) ketahanan militer.
Perkembangan isu-isu strategis seperti globalisasi, demokratisasi,
penegakan HAM dan fenomena terorisme telah memperluas cara pandang
dalam melihat kompleksitas ancaman yang ada dan mempengaruhi
perkembangan konsepsi keamanan. Ancaman tidak lagi hanya berupa
ancaman militer tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial,
ancaman ekonomi, maupun ancaman ekologis. Permasalahan dan
ancaman tersebut kemudian digolongkan menjadi bagian dari isu-isu
keamanan non tradisional. Dalam pendekatan non tradisional, konsepsi
keamanan lebih ditekankan kepada kepentingan keamanan pelaku-pelaku
bukan negara (non-state actors). Konsepsi ini menilai bahwa keamanan tidak
bisa hanya diletakkan dalam perspektif kedaulatan nasional dan kekuatan
militer. Konsepsi keamanan juga ditujukan kepada upaya menjamin
keamanan warga negara/keamanan manusianya (Al Araf & Ali abbas,
2007).
Pemikiran yang kurang lebih sama dikembangkan oleh pendekatan
critical securiy studies (studi keamanan kritis). Pendekatan ini menolak
asumsi bahwa keamanan dicapai melalui akumulasi kekuatan. Sebaliknya, ia
beranggapan bahwa pondasi dari keamanan adalah keadilan sosial dan
kesejahteraan ekonomi (Collins, 2005).
Meminjam pendapat Booth, Collins berargumen bahwa keamanan
tercipta ketika terjadi pembebasan manusia dari keterbatasan-
keterbatasannya. Keterbatasan tersebut dapat bersifat struktural yang
dipengaruhi oleh sistem internasional, maupun keterbatasan yang diciptakan
oleh elit-elit politik.
Pembatasan struktural termasuk misalnya dalam sistem perdagangan
internasional yang cenderung memihak negara maju. Keterbatasan yang
diciptakan elit politik misalnya adalah diskriminasi terhadap kelompok
27. 19
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
minoritas. Oleh karena itu, pencapaian kesejahteraan ekonomi dan
keadilan sosial, melalui penyediaan pendidikan, pengurangan
kemiskinan, kebebasan dari tekanan politik, akan membuat individu
maupun kelompok mendapatkan keamanannya (Collins, 2005).
Sama halnya dengan negara. Negara yang memberikan
kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial bagi warganya dapat
menciptakan masyarakat keamanan tersendiri, sekaligus mengeliminasi
kekuatan bersenjata sebagai sarana pemecahan masalah keamanan. Maka,
bagi Critical Security Studies, keamanan hadir ketika masyarakat
terbebaskan dari kemiskinan (bebas berkeinginan/freedom from want)
dan bebas dari ketakutan (freedom from fear).. Bukan dengan cara
memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang
cenderung membatasi kebebasan masyarakat (Collins, 2005).
3. Konsepsi Kesejahteraan
Kesejahteraan ataupun kesejahteraan sosial yang diacu dalam kajian
ini adalah seperti yang didefinisikan oleh UU No. 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, sebagai berikut :
Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan
mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya.
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah,
terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan
dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Acuan utama untuk membincangkan kesejahteraan dalam kajian ini
adalah berangkat dari lima problem utama kesejahteraan sosial yang sering
13disebut sebagai 'five giant evils' oleh William Beveridge yaitu :
1. Wants (kemiskinan)
2. Squalor (pemukiman liar/ketiadaan hunian tetap)
13 Informasi lebih lanjut terkait dengan 'Five Giant Evils” dari William Beveridge tersedia di :
http://www.slideshare.net/nola/the-welfare-state
28. 20
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
3. Disease (penyakit)
4. Idleness (pengangguran)
5. Ignorance (kebodohan)
Dengan lain perkataan, lima masalah utama kesejahteraan sosial
menurut William Beveridge adalah Kemiskinan, Perumahan, Kesehatan,
Pengangguran dan Kebodohan.
Parameter yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat
kesejahteraan sosial dan pencapaian pembangunan adalah dengan
menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
yaitu :
The first Human Development Report introduced a new way of
measuring development by combining indicators of life expectancy,
educational attainment and income into a composite human
development index, the HDI. The breakthrough for the HDI was the
creation of a single statistic which was to serve as a frame of reference
for both social and economic development. The HDI sets a minimum
and a maximum for each dimension, called goalposts, and then shows
where each country stands in relation to these goalposts, expressed as
a value between 0 and 1.
4. Kesejahteraan Sosial di Tiga Provinsi
14a. Persentase Penduduk Buta Huruf
NO NAMA PROVINSI
PERSENTASE PENDUDUK BUTA HURUF
TAHUN 2011 KELOMPOK UMUR 15-44 TAHUN
1 Kalimantan Barat 4.24
2 Nusa Tenggara Timur 5.81
3 Papua 34.83
4 DKI Jaya 0.45
5 INDONESIA 2.30
14 Profil Kesehatan Indonesia 2011, Kementerian Kesehatan Indonesia.
29. 21
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
NO NAMA PROVINSI SKOR IPM/HDI
1 Kalimantan Barat 69.15
2 Nusa Tenggara Timur 67.26
3 Papua 64.94
4 DKI Jaya 77.60
5 INDONESIA 72.27
15b. Indeks Pembangunan Manusia tahun 2011
16c. Persentase Penduduk Miskin di Perdesaan tahun 2011
17d. Persentase IMRAKABALE
NO NAMA PROVINSI PERSENTASE
1 Kalimantan Barat 9.6
2 Nusa Tenggara Timur 23.4
3 Papua 41.6
4 DKI Jaya 4.6
5 INDONESIA 15.7
NO NAMA PROVINSI IMR18
AKABA19 LIFE
EXPECTANCY20
1 Kalimantan Barat 46 59 66.60
2 Nusa Tenggara Timur 57 80 67.50
3 Papua 36 64 68.60
4 DKI Jaya 28 36 73.20
5 INDONESIA 34 44 69.43
15 Data Badan Pusat Statistik 2012
16 Profil Kesehatan Indonesia 2011, Kementerian Kesehatan RI
17 Ibid.
18 Infant Mortality Rates
19 Angka Kematian Balita
20 Life Expectancy : Harapan Hidup
30. 22
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
TRADISIONAL
KEAMANAN
NON TRADISIONAL
HUMAN SECURITY HUMAN DEVELOPMENT
DAMPAK KEPENDUDUKAN
KESEJAHTERAAN PENDUDUK DI PERBATASAN
EKONOMI/PENDIDIKAN/KESEHATAN/PERMUKIMAN/KESEMPATAN KERJA
5. Kerangka Analisis
31. 23
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
BAB II
PERBATASAN DAN KOMPLEKSITAS
MASALAH PERBATASAN
Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi
antara dua negara yang berdaulat. Pada awalnya perbatasan sebuah negara
atau state's border dibentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk
yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak
jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya
negara, mereka terpisahkan dan dengan adanya tuntutan negara itu mereka
mempunyai kewarganegaraan yang berbeda.
Riwanto Tirtosudarmo, mengutip Ricklefs (1981), menyebutkan
bahwa perbatasan dari negara yang kini bernama Indonesia adalah dibangun
oleh kekuatan militer kolonial (Belanda) dengan mengorbankan nyawa
manusia, uang, perusakan lingkungan, perenggangan ikatan sosial dan
21perendahan harkat dan kebebasan manusia.
O.J. Martinez sebagaimana dikutip Riwanto Tirtosudarmo
22mengkatagorikan ada empat tipe perbatasan :
·Alienated borderland : suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi
aktifitas lintas batas, sebagai akibat berkecamuknya perang,
konflik, dominasi nasionalisme, kebencian ideologis, permusuhan
agama, perbedaan kebudayaan dan persaingan etnik.
·Coexistent borderland; suatu wilayah perbatasan dimana konflik
lintas batas bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan
meskipun masih muncul persoalan yang terselesaikan misalnya
yang berkaitan dengan masalah kepemilikan sumberdaya
strategis di perbatasan.
·Interdependent borderland; suatu wilayah perbatasan yang di
kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan
21 Heru Susetyo, op.cit.
22 Lihat Rizal Darmaputra, Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan, Panduan Pelatihan
Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Masyarakat Sipil : Sebuah ToolKit (Jakarta, IDSPS : 2009).
32. 24
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
internasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah
perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan
perekonomian yang saling menguntungkan dan kurang lebih
dalam tingkat yang setara, misalnya salah satu pihak mempunyai
fasilitas produksi sementara yang lain memiliki tenaga kerja yang
murah.
·Integrated borderland; suatu wilayah perbatasan yang kegiatan
ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh
menyurut pada kedua negara dan keduanya tergabung dalam
sebuah pesekutuan yang erat.
Mengacu pada tipologi Martinez di atas, Riwanto Tirtosudarmo
mengkatagorikan wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia termasuk di
antara tipe kedua dan ketiga yaitu Coexistent dan Interdependent borderland.
Panjang garis perbatasan yang dimiliki Indonesia seperti yang terbentang dari
Kalimantan Utara-Malaysia adalah sejauh 2004 kilometer, kemudian di Nusa
Tenggara Timur-Timor Leste sejauh 240 kilometer, dan di Papua-Papua New
23Guinea sepanjang 760 kilometer.
Dalam Undang-undang No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,
maka pengelolaan perbatasan, dimaknai sebagai upaya bagaimana
menggerakkan orang-orang dan potensi kawasan perbatasan melalui
penetapan kebijakan perencanaan program, penyusunan kebutuhan
anggaran, koordinasi pelaksanaan, serta evaluasi dan pengawasan atas
penanganan BATAS WILAYAH NEGARA dan KAWASAN PERBATASAN
24untuk mencapai tujuan sebagaimana telah ditetapkan.
Sesuai dengan Grand Design pengelolaan atas Wilayah Negara dan
Kawasan Perbatasan secara prinsipil diarahkan untuk mencapai tujuan
utama pengelolaan perbatasan, yakni (1) Menjaga integrasi NKRI sebagai
amanat konstitusi; (2) Membangun kawasan perbatasan secara berimbang,
terpadu, dan komprehensif untuk kesejahteraan rakyat; (3) Mengukuhkan
kapasitas Indonesia di wilayah perbatasan dalam konteks persaingan global.
23 Heru Susetyo, op.cit.
24 Lihat http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-
dilupakan/
33. 25
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
Disamping pengelolaan batas wilayah Negara, diperlukan pula
keberpihakan dan perhatian khusus terhadap upaya pembangunan wilayah-
wilayah di sepanjang sisi dalam garis batas, atau kawasan perbatasan, untuk
menjamin tetap terpeliharanya kedaulatan Negara, keamanan wilayah, dan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan terkait dengan
beberapa dokumen peraturan perundangan nasional antara lain: Undang-
Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara; Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; dan Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Perundang-undangan sebagaimana tersebut, memiliki keterkaitan erat
dengan upaya percepatan penyelesaian batas wilayah negara, serta
mencerminkan adanya pergeseran paradigma dan arah kebijakan
pembangunan kawasan perbatasan dari yang selama ini cenderung
berorientasi “inward looking”, menjadi “outward looking” sebagai pintu
gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Di
samping itu, pendekatan pengelolaan perbatasan Negara pun, terefleksi
nampak adanya pergeseran dengan mengedepankan kombinasi pendekatan
kesejahteraan (prosperity approach) yang dilaksanakan secara serasi
dengan pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan
25lingkungan (environment approach).
Sebagai perwujudan dari pergeseran paradigma tersebut, dari sisi
penataan spasial nasional, kawasan perbatasan telah ditetapkan sebagai
Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dari sudut pandang pertahanan
dan keamanan serta peningkatan pertumbuhan ekonomi, karena memiliki
nilai strategis dalam menjaga integritas wilayah Negara dan kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRW
Nasional terdapat 26 PKSN yang ditetapkan untuk mendorong
pengembangan kawasan negara, yang letaknya berada di wilayah
administrasi pemerintahan daerah otonom Provinsi dan kabupaten/kota
tersebar di 11 Provinsi. Mengingat keberadaannya yang demikian, maka
pengelolaan wilayah perbatasan dan PKSN di dalamnya, tidak dapat
dilepaskan dengan berbagai urusan pemerintahan yang menjadi
25 Ibid.
34. 26
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
kewenangan daerah otonom, baik Provinsi mau pun kabupaten/kota. Sebuah
kawasan perbatasan, membutuhkan model pengelolaan yang mampu
mensinergikan antar kewenangan (pusat, Provinsi, dan kabupaten/kota)
yang direfleksikan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria tertentu
26terkait pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.
Pengelolaan perbatasan di Indonesia, hingga saat ini masih
dihadapkan pada dua isu strategis dengan variasi permasalahan yang
menonjol di dalamnya, yaitu isu pengelolaan batas wilayah Negara dan isu
pengelolaan kawasan perbatasan yang secara UU telah dengan amat jelas
mengamanatkan untuk membangunnya secara sungguh-sungguh dan
menjadikannya sebagai halaman depan bangsa.
Sesuai arahan dalam Grand Design Badan Nasional Pengelola
Perbatasan (BNPP); perbatasan memiliki ruang lingkup penanganan yang
mencakup dua sasaran strategis yaitu : Pengelolaan batas wilayah antar
27negara; dan Pengelolaan kawasan perbatasan.
Pengelolaan batas wilayah pada dasarnya memuat berbagai langkah
strategis untuk menetapkan dan menegaskan batas-batas wilayah negara
serta batas-batas terluar perairan yurisdiksi dengan negara tetangga,
pengamanan batas wilayah di darat dan di laut, serta reformasi manajemen
pengelolaan lintas batas. Sedangkan pengelolaan kawasan perbatasan pada
dasarnya terkait dengan berbagai langkah strategis untuk meningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat melalui pembangunan wilayah secara
berimbang dan berkelanjutan.
Sasaran wilayah (geographical target) pengelolaan batas wilayah
darat diarahkan pada segmen-segmen batas darat dengan negara tetangga
(Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste) baik yang sudah disepakati
maupun yang belum disepakati. Sedangkan pengelolaan batas maritim
diarahkan pada Batas Laut Teritorial (BLT) dan batas-batas perairan
yurisdiksi, yakni Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen
28(BLK).
26 Ibid.
27 Harmen Batubara, Pengelolaan Perbatasan dalam Perspektif Grand Design BNPP, dalam
http://www.wilayahperbatasan.com/pengelolaan-perbatasan-dalam-persfektip-grand-design-bnpp/
28 Ibid.
35. 27
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
Penetapan prioritas pengelolaan batas wilayah dilakukan dengan
memperhatikan batas-batas yang belum disepakati atau disengketakan
dengan Negara tetangga serta isu-isu strategis terkait dengan aspek lintas
batas negara.
1. Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Sasaran wilayah pengelolaan kawasan perbatasan diarahkan pada
Wilayah-wilayah Konsentrasi Pengembangan (WKP), yaitu kabupaten/kota
yang berada di dalam Cakupan Kawasan Perbatasan (CKP), baik yang
berada di kawasan darat maupun laut. Penentuan prioritas WKP ditetapkan
dengan memperhatikan isu-isu strategis di setiap WKP dalam aspek
pertahanan, sosial budaya, dan ekonomi. Fokus lokasi penanganan yang
diprioritaskan di setiap WKP disebut dengan Lokasi Prioritas (Lokpri), yakni
kecamatan-kecamatan di kawasan perbatasan darat dan laut di dalam WKP
29yang memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria sebagai berikut :
a) Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Negara
tetangga di wilayah darat.
Sesuai dengan UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,
kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah Negara yang terletak pada
sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan Negara lain, dalam hal
batas wilayah Negara di darat, kawasan perbatasn berada di kecamatan.
Hasil identifikasi (2010), terdapat 197 kecamatan yang berada pada kawasan
perbatasan Negara.
b) Kecamatan Lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar;
Untuk kawasan perbatasan laut, berbeda konsepnya dengan
perbatasan darat yang menempatkan kecamatan pada sisi dalam sepanjang
perbatasan wilayah Negara. Untuk kawasan perbatasan laut, diperhitungkan
dengan memposisikan kecamatan yang menjadi lokasi pulau-pulau kecil
terluar yaitu : Pulau Rondo, Pulau Berhala, Pulau Sekatung, Pulau Marore,
Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Bras, Pulau Fanildo, Pulau Fani,
Pulau Batek, Pulau Dana, dan Pulau Nipah.
29 Ibid.
36. 28
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
c) Kecamatan yang difungsikan sebagai Pusat Kegiatan
Strategis Nasional;
Konsep pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di
kawasan perbatasan mengacu pada komitmen untuk menjadikan perbatasan
sebagai pusat pengembangan ekonomi regional dan nasional. Dengan
rencana ini, maka pusat-pusat pengembangan kegiatan strategis nasional
akan berada di kawasan gerbang perbatasan atau pada jaringan jalan utama
menuju gerbang perbatasan. Pengembangan PKSN sebagai pintu gerbang
dengan negara tetangga di perbatasan membutuhkan berbagai upaya lain
yang strategis dan terpadu di pusat-pusat kawasan terutama percepatan
pembangunan sarana dan prasarana dasar maupun pendukung
pengembangan ekonomi maupun pelayanan publik.
d) Kecamatan yang menjadi exit-entry point (Pos Lintas Batas)
berdasarkan Border CrossingAgreement
Pos Lintas Batas (PLB) adalah area yang berfungsi sebagai gerbang
keluar-masuknya pelintas batas wilayah Negara (manusia atau barang) yang
minimum dilengkapi fasilitas pelayanan terpadu Customs, Immigration,
Quarantine, dan Security (CIQS). Gambaran ideal mengenai PLB, sebagai
sebuah area pelayanan terpadu pelintas batas, di dalamnya terdapat pos-pos
pemeriksaan yang merefleksikan unsur CIQS. Keberadaan unsur pelayanan
CIQS dalam PLB ini sifatnya terpadu, satu dengan lainnya saling terkait dalam
sebuah system koordinasi PLB, yang didukung dengan sebuah satuan kerja
atau unit pelayanan pendukung yang dapat memberikan supporting facilities
dan kendali koordinasi di area tersebut. Berbagai kebutuhan lain, seperti
kebutuhan pelayanan administrasi kependudukan pelintas batas misalnya,
dapat diintegrasikan dalam Unit Pelayanan Pendukung (UPP-PLB) yang
dioperasikan dalam lingkup kendali badan pengelola perbatasan daerah atau
30satuan kerja yang menjalankan fungsi pengelolaan perbatasan di daerah.
2. Kompleksitas Masalah Pengelolaan Perbatasan
Wilayah perbatasan merupakan salah satu kawasan yang strategis,
yaitu kawasan yang secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak,
baik ditinjau dari sudut kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya,
30 Ibid.
37. 29
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
lingkungan, maupun pertahanan keamanan. Wilayah perbatasan meliputi
wilayah perbatasan yang ada di daratan, lautan, dan udara yang
bersinggungan dengan negara tetangga.
Pada awalnya, permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan
negara hanya merupakan salah satu isu sensitif yang berdimensi politik dan
pertahanan, terutama berkenaan dengan keberlangsungan kerjasama atau
ketegangan bilateral antara dua negara yang memiliki kawasan perbatasan
yang langsung bersinggungan. Namun, seiring dengan perkembangan
zaman, sensitifitas isu pengelolaan kawasan perbatasan Negara dapat
berkembang menjadi permasalahan multilateral dan bahkan internasional.
Disamping itu, kemajuan teknologi dan beroperasinya kepentingan negara
dan korporasi yang bersifat lintas negara memungkinkan intervensi sejumlah
pihak yang lebih luas melalui berbagai mekanisme internasional.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025
memberi acuan yang diperlukan sebagai kebijakan pengembangan daerah
perbatasan. Di dalam UU tersebut ditegaskan orientasi pengembangan
wilayah perbatasan dari inward looking menjadi outward looking sebagai
pintu gerbang ekonomi dan perdagangan, termasuk di dalamnya pendekatan
kesejahteraan untuk pulau di wilayah perbatasan. Selanjutnya, disebutkan
bahwa pengamanan kedaulatan dan negara ke depan meliputi peningkatan
kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan,
optimalisasi pengamanan perbatasan dan pulau terdepan, serta koordinasi
31penanganan pelanggaran laut.
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-
2009, dituangkan amanah tentang arah kebijakan pengembangan kawasan
perbatasan, yaitu menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan
NKRI dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan
perbatasan, serta memantapkan ketertiban dan keamanan kawasan
perbatasan dalam rangka mewujudkan kawasan perbatasan sebagai
beranda depan yang berorientasi pada aspek kesejahteraan (prosperity) dan
32keamanan (security).
31 Moeldoko, op.cit.
32 Ibid.
38. 30
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Banyaknya kementerian/lembaga dan instansi yang memiliki
kewenangan dalam pengelolaan perbatasan ditunjukkan dengan jumlah
kementerian/lembaga yang mencapai 26 kementerian/lembaga dengan 72
program di tingkat satuan kerja (satker) Eselon 1. Kompleksitas
permasalahan perbatasan dapat ditunjukkan dengan beragamnya dimensi
permasalahan pengelolaan perbatasan, baik yang berdimensi imaterial
maupun materail. Pada aspek kelembagaan, lembaga pengelolaan
perbatasan Indonesia masih ditangani secara parsial oleh berbagai komite
perbatasan yang bersifat ad hoc dan oleh instansi pusat terkait secara
sektoral. Lembaga atau institusi yang mempunyai otoritas untuk mengelola
kawasan perbatasan masih tampak tumpang-tindih. Begitu juga, terasa
belum ada koordinasi yang memadai antarinstansi yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan pengawasan dan pengelolaan kawasan
perbatasan. Lembaga yang memiliki otoritas ternyata terpencar pencar atas
berbagai induk institusi sehingga menyulitkan pengimplementasian sebuah
33kebijakan yang memusat.
33 Ibid.
39. 31
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
BAB III
GAMBARAN TENTANG KEAMANAN
DAN KESEJAHTERAAN
DI DAERAH PERBATASAN
Bab ini menyajikan data terkait dengan daerah penelitian yaitu daerah
perbatasan yang menjadi obyek kajian, masing-masing Kalimantan Barat,
Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) baik data yang didapatkan dari
tinjauan kepustakaan maupun data primer hasil observasi, wawancara dan
diskusi kelompok terfokus (FGD) yang dilakukan masing-masing pada Mei
2012 (Kalimantan Barat), Juni 2012 (Nusa Tenggara Timur) dan Juli 2012
(Papua).
Menurut literatur, batas darat Indonesia dengan Malaysia di
Borneo/Kalimantan, sudah disepakati mengacu pada perjanjian batas antara
kerajaan Inggris dan Pemerintah Hindia Belanda yaitu Treaty 1891, Konvensi
1915 dan Konvensi 1928. Penetapan batas darat ini dulu didasarkan pada
batas alam, yaitu mengikuti punggung gunung dan garis pemisah air
(watershed). Batas darat antara RI dengan PNG di Pulau Papua sebagian
batasnya tergolong batas buatan (artifisial), yaitu ditetapkan pada meridian
astronomis 141 derajat Bujur Timur mulai dari pantai utara Irian Jaya (Papua)
ke Selatan sampai memotong Sungai Fly. Di sungai ini kemudian penentuan
batas mengikuti batas alam, yaitu mengikuti thalweg sungai terus ke Selatan
hingga ke titik sungai yang memotong meridian 141'01''10 Bujur Timur.
Selanjutnya dari situ mengikuti garis meridian itu ke muara sungai Bensbach
di Pantai Selatan. Sedangkan, batas darat dengan negara Timor Leste
didasarkan pada perjanjian pemerintah Hindia Belanda dan Portugis tahun
1904 dan Permanent Court Award tahun 1914. Sejak tahun 2006 sudah
dilakukan upaya delienasi. Panjang garis batas darat di batas darat Selatan ini
adalah sejauh 270 km. Yang dirasa sebagai kerumitan dalam tata batas darat
dengan Timor Leste adalah posisi Distrik Oekusi yang merupakan wilayah
Timor Leste yang masuk menjorok di antara wilayah-wilayah daratan
34Indonesiadan seolah enclaveTimor Leste dalam wilayah negara Indonesia.
34 Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile, Kawasan Sangihe Talaud Sitaro Daerah Perbatasan
Keterbatasan Pembatasan (Yogyakarta, Penerbit Fuspad : 2008), hal. 167.
40. 32
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
1. Kalimantan Barat
Wilayah Provinsi Kalimantan Barat seluas 146.807,00 Km2 yang
mewadahi 12 Pemerintahan Kabupaten dan 2 Pemerintahan Kota
mengandung potensi sumber daya alam yang melimpah, baik sumberdaya
alam di permukaan maupun berupa bahan galian. Wilayah ini memiliki posisi
strategis karena berada tepat di garis khatulistiwa, terletak pada garis 2008'
Lintang Utara (LU) sampai 3005' Lintang Selatan (LS) dan 108030' sampai
114010' Bujur Timur (BT). Wilayah Utara Provinsi Kalimantan Barat
berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak-Malaysia Timur, bagian Timur
berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur, bagian Selatan berbatasan
dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Laut Jawa, sedangkan wilayah
bagian Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Wilayah
Provinsi Kalimantan Barat yang seperti itu sangat penting disadari karena
merupakan kekuatan sekaligus kelemahan dan memberikan peluang serta
ancaman yang menjadi basis bagi kebijakan pembangunan di berbagai
bidang, baik di bidang sosial dan budaya, ekonomi, industri, wilayah,
lingkungan hidup, keamanan, maupun hukum dan aparatur negara.
Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) dibentuk berdasarkan Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi
Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Secara geografis Provinsi Kalbar terletak pada garis 2o08' Lintang Utara (LU)
sampai 3o05' Lintang Selatan (LS) dan 108o30' sampai 114o10' Bujur Timur
(BT). Wilayah Utara Provinsi Kalbar berbatasan dengan Negara Bagian
Sarawak-Malaysia Timur, bagian Timur berbatasan dengan Provinsi
Kalimantan Timur (Kaltim), bagian Selatan berbatasan dengan Provinsi
Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Laut Jawa, sedangkan wilayah bagian
Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata.
Luas wilayah Provinsi Kalbar 146.807,00 Km2 yang mewadahi 12
Pemerintahan Kabupaten dan 2 Pemerintahan Kota serta 158 Kecamatan
dan 1.431 Desa dan 80 Kelurahan. Kabupaten dan Kota yang masuk wilayah
Provinsi Kalbar meliputi Kabupaten Sambas (6.394,70 Km2), Kabupaten
Bengkayang (5.397,30 Km2), Kabupaten Landak (9.909,10 Km2), Kabupaten
Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya (8.262,10Km2), Kabupaten Sanggau
(12.857,70 Km2), Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara
(35.809,00 Km2), Kabupaten Sintang (21.635,00 Km2), Kabupaten Kapuas
Hulu (29.842,00 Km2), Kabupaten Sekadau (5.444,30 Km2), Kabupaten
Melawi (10.644,00 Km2), Kota Pontianak (107,80 Km2), dan Kota
Singkawang (504,00 Km2).
41. 33
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa
jumlah penduduk Provinsi Kalbar pada tahun 2005 sebanyak 4.098.461 jiwa,
dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 2.092.553 jiwa dan penduduk
perempuan sebanyak 2.005.908 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terus
meningkat dengan tingkat pertumbuhan berkisar antara 1,50 % hingga 1,75%
pertahun, yang terdiri dari beragam etnis seperti Melayu, Dayak, Cina, Jawa,
Bugis, Madura dan lainnya.
Topografi wilayah Provinsi Kalbar terdiri dari dataran rendah (datar),
bergelombang, berbukit-bukit, dan bergunung. Dalam konsep
pembangunannya, Kalbar dibagi ke dalam 4 (empat) Wilayah
Pengembangan (WP) yang meliputi WP Tengah, WP Pesisir, WP Antar
Provinsi, dan WP Antar Negara. WP Tengah terdiri dari 3 (tiga) kabupaten,
yakni Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, dan Kabupaten Landak.
WP Pesisir terdiri dari 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Pontianak,
Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang,
Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak dan Kota
Singkawang. WP Antar Provinsi meliputi Kabupaten Sintang, Kabupaten
Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Ketapang. Untuk WPAntar
Negara mencukup 5 (lima) kabupaten yang meliputi Kabupaten Kapuas Hulu,
Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Bengkayang dan
35Kabupaten Sambas.
Bidang sarana dan prasarana yang mencakup sektor pengairan dan
irigasi, air bersih, transportasi, energi, telematika, pemukiman dan
perumahan masih sangat tertinggal bila dibandingkan dengan kondisi
Provinsi lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama karena
kemampuan pemerintah yang sangat terbatas, kedua karena tantangan alam
yang sangat besar.
Kondisi sektor pengairan dan irigasi cukup memprihatinkan.
Pembangunan besar-besaran sistem persawahan pasang surut yang telah
dimulai sejak Tahun 1970, ternyata sampai saat ini tidak membuahkan hasil
yang diinginkan terutama dalam hal swasembada beras. Sementara itu
pembangunan sistem irigasi teknis di daerah pedalaman juga tidak
menunjukkan kemajuan berarti.
35 Data dari Perda Kalbar No. 7 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
tahun 2007 – 2027.
42. Di sektor Transportasi Darat, panjang jalan yang tersedia sangat
memprihatinkan, dan merupakan salah satu kendala utama dalam hal
pengembangan wilayah. Banyak sekali ruas jalan yang harus diperbaiki
ataupun dibuat baru, yang sampai saat ini terkendala pada tiadanya biaya
yang cukup untuk menuntaskannya. Di sektor Transportasi sungai kondisi
yang ada juga tidak begitu baik, meski sebenarnya sungai tetap merupakan
urat nadi transportasi penduduk berhubung masih banyaknya kampung-
kampung yang hanya bisa dihubungi lewat jalan air. Hal ini terjadi karena
besarnya degradasi lingkungan pada DAS (Daerah Aliran Sungai) seperti
halnya illegal logging, illegal mining (PETI). Selain itu pada dua puluh tahun
36terakhir ini banjir dan kekeringan agak meningkat frekuensinya.
Di bidang ketenagalistrikan terjadi ketidak seimbangan antara
kebutuhan dan pasokan listrik yang kondisinya makin kritis di berbagai
daerah. Penyebabnya dikarenakan masih rendahnya kemampuan investasi
dan pengelolaan penyediaan sarana dan prasarana energi; masih rendahnya
efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sarana dan prasarana yang sudah
terpasang; masih tingginya ketergantungan konsumen terhadap bahan bakar
minyak; serta adanya regulasi-regulasi yang tidak konsisten. Pemenuhan
kebutuhan energi yang tidak merata dihadapkan pada luasnya wilayah
Kalimantan Barat. Hal itu juga dipengaruhi oleh lokasi potensi cadangan
energi primer yang tersebar dan sebagian besar jauh dari pusat beban;
keterbatasan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi;
tingginya pertumbuhan permintaan berbagai jenis energi setiap tahun; serta
kondisi daya beli masyarakat yang masih rendah.
Ketersediaan air bersih tetap merupakan kendala yang cukup berarti.
Hampir di semua kabupaten air bersih ini tetap menjadi permasalahan utama,
apalagi bagi mereka yang berada di wilayah pesisir & pulau-pulau kecil.
Perkembangan globalisasi yang diikuti dengan adanya AFTA dan
37BIMP-EAGA ditambah dengan perkembangan yang sangat cepat dalam
36 Ibid.
37 Informasi tentang BIMP-EAGA bisa dilihat pada : http://bimp-eaga.org, secara sekilas BIMP-EAGA
adalah : In 1992, then President Fidel V. Ramos of the Philippines proposed a major economic initiative in
ASEAN: the expansion of economic cooperation among the border areas of Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia and the Philippines. This proposal met with a favorable response from the leaders of
the three other countries, and eventually led to the creation of the Brunei Darussalam-Indonesia-
Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area or BIMP-EAGA. BIMP-EAGA was formally launched on
March 24, 1994, in Davao City, Mindanao, Philippines.
34
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
43. bidang informasi dan komunikasi menyebabkan perkembangan infrastruktur
di satu wilayah tidak terlepas dengan perkembangan wilayah lainnya.
Kalimantan Barat yang sebagian besar wilayah daratnya berhubungan
langsung dengan Malaysia, harus bisa mengimbangi pembangunan
infrastruktur di negeri jiran tersebut.
Kondisi keamanan dan ketertiban di Kalimantan Barat saat ini relatif
stabil, hal ini ditandai bahwa dalam lima tahun terakhir ini hampir tidak ada
kerusuhan sosial yang bernuansakan SARA dan tindakan pelanggaran
38hukum yang menimbulkan dampak keresahan sosial yang bersifat massif.
Namun demikian, tindak kejahatan yang bersifat konvensional, transnasional,
kejahatan atas kekayaan negara, dan kejahatan yang bersifat kontijensi
masih menjadi persoalan pelanggaran hukum di Kalimantan Barat, seperti
illegal loging, illegal trading, illegal fishing dan trafficking. Kondisi daerah yang
memiliki perbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia Timur menjadikan
cukup tingginya potensi tindakan yang mengarah pada transnational crime.
EAGAis comprised of the following focus areas: the entire sultanate of Brunei Darussalam; the provinces
in Kalimantan, Sulawesi, Maluku, and Papua in eastern Indonesia; the states of Sabah and Sarawak and
the federal territory of Labuan in Malaysia; and Mindanao and Palawan in the Philippines. Covering a
land area of 1.54 million square kilometers and a population of some 70 million, BIMP-EAGA is perhaps
Southeast Asia's last frontier. Its focus areas have not yet fully participated in the rapid growth which has
taken place in many other areas of Southeast Asia, and its potential for further development in trade,
investments, and tourism remains vast and varied.
38 Seperti diketahui, Kalimantan Barat adalah salah satu hotspot konflik sosial politik bernuansa SARA.
Konflik antara warga Dayak dan Madura di Sanggau Ledo, Konflik antara warga Melayu Sambas dan
Madura, yang keduanya berlangsung di akhir tahun 1990-an dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa
dalam jumlah besar adalah salah satu contoh buruk eskalasi kekerasan horizontal, lemahnya
penegakan hukum dan kegagalan integrasi nasional.
35
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
44. NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH
DESA
LUAS IBUKOTA
1 Sambas Paloh
Sajingan Besar
6
5
114.884.00
139.120.00
Liku
Sajingan
2 Bengkayang Jagoi Babang
Seluas
5
6
121.830.00
50.650.00
Jagoi
Babang
Seluas
3 Sanggau Sekayam
Entikong
10
5
84.101.00
50.689.00
Balai
Karangan
Entikong
4 Sintang Ketungau Hulu
Ketungau
Tengah
9
13
213.820.00
218.240.00
Senaning
Nangai
Merakai
5 Kapuas Hulu Empanang
Putussibau
Badau
Batang Lupar
Embaloh Hulu
Puring Kencana
5
8
6
7
8
5
35.725.00
412.200.00
70.000.00
133.290.00
345.760.00
44.855.00
Nanga
Kantuk
Putussibau
Nanga
Badau
Lanjak
Benua
artinus
Putussibau
98 2.035.164.00
Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalbar-Sarawak
39Tahun 2000
a. Kabupaten Sanggau dan Kecamatan Entikong
Di Indonesia terdapat empat Provinsi yang wilayah daratnya
berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Provinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Dari keempat daerah
tersebut hanya Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak
(Malaysia) yang telah menetapkan pos lintas batas resmi, yaitu Entikong-
Tebedu (Kabupaten Sanggau) dan akan menyusul Nanga Badau-Lubuk Antu
(Kabupaten Kapuas Hulu) dan Aruk-Biawak atau Temajok-Telok Melano
(Kabupaten Sambas). Selain itu terdapat pula pos lintas batas yang tidak
resmi. Sebagaimana telah diidentifikasi oleh kedua pemerintah (Kalbar dan
Sarawak) bahwa dari sekitar 800 km panjang perbatasan Kalbar-Sarawak,
39 Sumber : Bappeda Provinsi Kalbar, 2002.
36
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
45. terdapat lebih kurang 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di
Kalbar dengan 32 kampung di Sarawak yang sekaligus merupakan pintu atau
tempat keluar masuk orang dan barang dari dan ke Sarawak/Kalbar.
Sementara itu yang disepakati kedua negara sebagai pos keluar masuk
sesuai persetujuan lintas batas tahun 1984 adalah 10 buah desa di Kalbar dan
407 buah kampung di Sarawak.
41b. Permasalahan Perbatasan di Kabupaten Sanggau
Kabupaten Sanggau merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Kalbar yang berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur).
Kabupaten Sanggau terdiri dari 22 kecamatan, salah satunya adalah
Kecamatan Entikong yang merupakan satu-satunya Pos Pengawas Lintas
Batas (PPLB) resmi yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Letak geografis
Kabupaten Sanggau terletak pada 1o LU-0,6 o LS dan 109,8 o-111,3 o BT.
Secara umum batas-batas wilayah Kabupaten Sanggau adalah:
1) Utara : Sarawak MalaysiaTimur dan Kabupaten Bengkayang
2) Selatan : Kabupaten Ketapang
3) Timur : Kabupaten Sintang
4) Barat : Kabupaten Landak
Luas wilayah Kabupaten Sanggau ±18.302 km2 atau 12,85% dari luas
Provinsi Kalimantan Barat. Jumlah penduduk mencapai 504.454 jiwa dengan
kepadatan penduduk 29 jiwa/km2. Suku bangsa yang paling dominan adalah
Suku Dayak (64,09%), Melayu (23,12%), dan lainnya (12,79%). Hasil sumber
daya alam yang dimiliki adalah perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao),
tambang (minyak, gas bumi, bauksit, feldspar, perak, granit, arsenit dan
kaolit) dan kehutanan.
Wilayah perbatasan Kecamatan Entikong di Kabupaten Sanggau saat
ini berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan antara lain sebagai bias dari
pertumbuhan ekonomi yang cepat dari Negeri Sarawak (Malaysia) sehingga
tercipta suatu kebutuhan akan sarana dan prasarana di wilayah Entikong dan
sekitarnya. Keberadaan jalur darat yang menghubungkan daerah Sarawak
40 Bappeda Propinsi Kalbar, 2001 dalam Husnadi, Menuju Model Pengembangan Kawasan Perbatasan
DarataqnAntar Negara, tesis Universitas Diponegoro, Semarang , 2006.
41 Ibid.
37
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
46. (Malaysia Timur) dengan Sanggau Kalimantan Barat (Indonesia), merupakan
peluang untuk menarik manfaat ekonomi antar negara yang cukup besar.
Terutama pos lintas batas antar negara melalui jalan darat yang merupakan
satu-satunya kesempatan sebagai “Entry Port” di Indonesia, perlu
diformalkan untuk dapat memberikan manfaat maksimum bagi kepentingan
daerah pada khususnya dan kepentingan nasional pada umumnya.
Wilayah Sarawak bukan saja merupakan pasar potensial bagi produk-
produk Kalimantan Barat akan tetapi juga berfungsi sebagai pintu gerbang
pemasaran ke negara lain seperti Taiwan, Singapura dan bahkan sampai
Timur Tengah. Hal ini berkaitan dengan hubungan ekonomi dan perdagangan
antara Malaysia dan Indonesia yang semakin meningkat.
Sebagai kawasan dengan pertumbuhan cepat dan kondisi Pos
Pengawasan Lintas Batas (PPLB) Entikong dan sekitarnya saat ini sangat
kumuh dan terbelakang. Kondisi ini akan menimbulkan citra yang kurang baik
sebagai potret bangsa dan negara Indonesia, yang sangat bertolak belakang
dengan kondisi dari Negeri Sarawak Malaysia yang telah mempersiapkan
sarana dan prasarana pendukung di daerah perbatasan.
Dari kondisi kawasan perbatasan di Kecamatan Entikong, Kabupaten
Sanggau masih terdapat keterbatasan akan sarana dan prasarana seperti
terminal lalu lintas antar negara, terminal bongkat muat barang, gudang dan
pusat niaga. Wilayah perbatasan Entikong yang merupakan Perbatasan Lini I
sepanjang perbatasan, masih terdapat kawasan terbelakang dan terisolasi.
Berkenaan dengan hal ini, dibutuhkan penanganan segera secara
komprehensif untuk mengimbangi pengaruh terhadap kemajuan Sarawak
melalui peningkatan sarana dan prasarana jalan, perumahan pemukiman di
desa dan antar desa, serta peningkatan sumber daya manusia yang meliputi
pembangunan sekolah di pedalaman, pengadaan guru kontrak serta
pembangunan sektor kesehatan masyarakat.
Pembangunan sarana dan prasarana berupa jalan di sepanjang garis
perbatasan sangat diperlukan untuk kepentingan pengamanan dan
pengawasan daerah dan sebagainya di kawasan perbatasan antar negara.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyelundupan, pencurian,
penjarahan sumber daya alam ke negara Malaysia yang sering terjadi di
kawasan perbatasan yang tidak dapat dipungkiri hingga saat ini.
38
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
47. Kawasan terpencil pada umumnya merupakan daerah (desa) yang
terbelakang dan terisolir, akibat dari sarana dan prasarana penunjang baik
aksesibilitas maupun sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Kualitas hidup masyarakat dan pelayanan sarana dan prasarana
pemukiman, baik itu yang berada di kawasan perkotaan maupun kawasan
pedesaan masih terbatas. Sedangkan di sisi lain Kabupaten Sanggau
merupakan daerah penyangga perbatasan dimana akses pendatang baik
dalam maupun luar negeri cukup tinggi.
Khususnya Kabupaten Sanggau, ada ketimpangan pembangunan
antara Kabupaten Sanggau dengan kabupaten lain di Indonesia (terutama
Pulau Jawa) apalagi dengan negeri tetangga Malaysia (Negara bagian
Serawak).
Fasilitas dan infrastruktur di Kab Sanggau tertinggal jauh dengan di
Serawak. mungkin tidak usah membandingkan dengan Kuching, Ibukota
Serawak, dengan kota perbatasanTebedu saja sudah tertinggal.
Ket : Jalan di Balai Karangan dekat Perbatasan Entikong (Foto : Heru Susetyo)
39
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
48. Kondisi jalan raya antar kabupaten dan dalam kabupaten Sanggau
agak sempit dan banyak ruas jalan yang rusak. Bahkan memasuki kota
Sanggau malah banyak ruas jalan yang rusak. Jalan Provinsi dari Pontianak
sampai Sanggau dan Entikong menuju border Malaysia tidak terlalu lebar,
hanya cukup untuk dua mobil, namun digunakan juga untuk lalu lintas truk dan
bis antar kabupaten dan antar Negara (Jalur Pontianak-Kuching dan
Pontianak-Brunei Darussalam). Sebaliknya, begitu memasuki Malaysia di
borderTebedu, jalan begitu mulus dan lapang.
Penerangan jalan dan listrik masih dalam kapasitas terbatas.
Informasi dari Supervisor PLN Balai Karangan, masih banyak daerah yang
belum dialiri listrik. Bahkan di Desa Suruh Tembawang yang berbatasan
langsung dengan Serawak sampai sekarang belum dialiri listrik, sementara
desa seberang-nya di Serawak terang benderang.
Ket : Sekolah negeri di Tebedu, Serawak (Foto : Heru Susetyo)
40
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
49. Fasilitas kesehatan di Kab. Sanggau juga masih sederhana dan tidak
semua dapat dijangkau warga miskin. Informasi dari Sekretaris Badan KB
Sanggau yang juga mantan Direktur RSUD, akses ke pelayanan kesehatan
dan obat-obatan masih agak sulit di Sanggau. Kondisi ini membuat warga
Sanggau di perbatasan lebih memilih pergi berobat ke Malaysia dengan
42fasilitas kesehatan lebih baik dan biaya yang juga tidak mahal.
Informasi dari Kepala Desa SuruhTembawang, Bapak Imran, banyak
memang warganya yang berobat ke Serawak karena fasilitas kesehatan lebih
baik dan karena akses jalan/transportasi di SuruhTembawang ke Kota
Kecamatan (Entikong) dan Kota Kabupaten Sanggau amat sulit.
42 Disampaikan dalam FGD di Badan Kependudukan Kabupaten Sanggau, pada 9 Mei 2012.
Ket : Kantor Polisi Tebedu, Serawak (Foto : Heru Susetyo)
41
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
50. Ket : Markas Koramil TNI AD di Entikong Kalbar (Foto : Heru Susetyo)
Desa Suruh Tembawang amat terisolir dan sulit dijangkau dari
Entikong. Hanya bisa didatangi lewat sungai dengan lama perjalanan 6 jam
dan sewa perahu yang mahal (Rp 1.5 juta sekali jalan)
Hampir semua produk-produk rumah tangga (consumer goods)
berasal dari Malaysia, masyarakat juga terbiasa menggunakan dan
berjualbeli produk asal Malaysia termasuk gula pasir sampai dengan gas
elpiji.
42
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
51. Ket . : Gula Malaysia yang dikonsumsi masyarakat Sanggau (Foto : Heru Susetyo)
Ada ketidakadilan dalam pola perniagaan dan jual beli antara Serawak
dan Entikong. Warga Indonesia di perbatasan bisa masuk dan belanja ke
Tebedu tanpa passport, sementara warga Malaysia hanya bisa masuk sejauh
200 meter ke Entikong dan tak bisa berbelanja pula karena tidak ada tempat
belanja yang menarik dan kompetitif di Entikong.
Adalah pemandangan yang rutin dan biasa melihat warga Indonesia
berbondong-bondong masuk ke Tebedu Malaysia untuk berbelanja. Karena,
disamping harga relatif murah, supermarket di Malaysia juga menerima
pembayaran dalam rupiah (disamping dalam Malaysian Ringgit). Pramuniaga
dalam supermarket juga banyak yang berasal dari desa-desa di Indonesia
sehingga mudah berkomunikasi dengan para pembeli asal Indonesia.
Supermarket di Tebedu ini hanya berjarak sekitar dua kilometer dari
perbatasan Entikong dan mencapainya tak memerlukan passport dan visa.
Barang-barang yang tersaji di dalam juga amat lengkap, sehingga wajar
apabila banyak pembeli Indonesia mendatanginya.
43
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
52. Ket : Supermaket besar di Tebedu, Serawak tak jauh dari Border Crossing Entikong
(Foto : Heru Susetyo)
Kemudian, ada masalah pula dengan ditempatkannya sejumlah
aparat militer RI di Desa Suruh Tembawang, di gunung dan hutan yang
berbatasan dengan Serawak. Ini menimbulkan disharmoni dengan penduduk
Suruh Tembawang. Menurut penuturan Kepala Desa Suruh Tembawang,
aparat TNI tersebut berdiam di dalam hutan di sekitar perbatasan dalam
jangka waktu lama. Rotasi pasukan sekitar enam bulan sekali. Mereka semua
adalah prajurit muda usia yang tentunya juga memiliki jiwa dan semangat
muda berlebih, yang apabila tidak diakomodasi dapat menimbulkan gesekan
dengan masyarakat.
Permasalahan lain adalah kekesalan warga Entikong terhadap
pejabat Indonesia yang datang mengunjungi Entikong, karena alih-alih
menggunakan jalan darat dari Pontianak sampai Entikong, rata-rata para
pejabat Indonesia malah menggunakan pesawat sampai ke Kuching,
44
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
53. Malaysia lalu menggunakan jalan darat selama dua jam sampai ke Entikong,
sehingga mereka tak melihat langsung kesulitan hidup warga Sanggau dan
43buruknya fasilitas dan infrastruktur transportasi disana.
Hampir semua pejabat penting Indonesia pernah ke Entikong, namun
tetap pembangunan dirasakan lambat di Entikong danSanggau. Sampai ada
komentar yang keluar dari dua peserta FGD : “Semua sudah datang ke
44Entikong, hanya Malaikat saja yang belum datang.”
43 Disampaikan dalam FGD di Entikong pada 10 Mei 2012.
44 Disampaikan di Entikong dalam diskusi pada 9 Mei dan 10 Mei 2012.
Ket : Dewan Masyarakat Tebedu, Serawak (Foto : Heru Susetyo)
Secara fisik, luas wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten
Sanggau begitu besar, hampir sebesar kota/kabupaten di Jawa, namun
penduduknya sedikit dan sarana transportasi amat minim. Luas kabupaten
Sanggau pun begitu besar, hampir sama dengan luas Provinsi di Jawa,
45
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
54. namun penduduknya sedikit dan akses transportasi juga sulit. Bahkan, luas
wilayah Provinsi Kalimantan Barat secara keseluruhan adalah jauh lebih
besar dari seluruh Provinsi di pulau Jawa.
Mata uang Ringgit Malaysia banyak beredar dan digunakan
masyarakat Entikong untuk berniaga dengan Serawak. Mobil-mobil dengan
plat nomor Malaysia banyak berseliweran di Sanggau dan memang
digunakan oleh warga/pejabat Sanggau. Menurut informasi dari Wakapolsek
Entikong, mobil-mobil tersebut boleh digunakan sampai batas tiga kecamatan
45setelah Entikong.
Ket : Mobil-mobil Malaysia yang dipergunakan warga Indonesia di Entikong
(Foto : Heru Susetyo)
Di bidang hiburan, siaran televisi di Sanggau amat mudah menangkap
siaran televisi Malaysia, namun belakangan akses ke siaran televisi Malaysia
46dibatasi oleh otoritas Indonesia.
45 Disampaikan dalam FGD di Entikong pada 10 Mei 2012.
46 Satu produk karya seni yang mewakili realita kehidupan di perbatasan Indonesia-Malaysia di
Kalimantan Barat adalah pada film “Tanah Surga…Katanya” yang dirilis pada Agustus 2012. Film ini
disutradarai oleh Herwin Novianto dengan Produser Deddy Mizwar. Film ini adalah penggambaran yang
tepat terkait dengan perbedaan kesejahteraan antara dua wilayah di perbatasan dan kronik masalah
nasionalisme yang tergerus karena wilayah perbatasan kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat.
46
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
55. 2. Papua
Provinsi Papua yang sebelumnya disebut Irian Barat terletak di pulau
Nugini bagian barat atau west New Guinea atau Papua. Provinsi ini dulu
dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, oleh
presiden Soeharto namanya diubah menjadi Irian Jaya hingga tahun 2002.
Nama Provinsi ini kemudian diganti menjadi Papua sesuai UU No 21/2001
Otonomi Khusus Papua. Asal kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-
Netherland. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti
rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik
47suku-suku asli Papua.
0 0- 0 0
Papua secara geografis berada pada posisi 0 19 10 45' LS dan 130
0
45'-141 10” BT menempati setengah bagian Barat dari Papua New Guinea
yang merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Provinsi
Papua merupakan Provinsi terluas di Indonesia, dengan luas daratan 21,9 %
2
dari total tanah seluruh Indonesia yaitu 421.981 Km , membujur dari timur ke
barat (Jayapura-Sorong) sepanjang 1.200 Km dan dari Utara ke Selatan
(Jayapura-Merauke) sepanjang 820 Km.
Panjang perbatasan RI-PNG dari utara (Kota Jayapura sampai
dengan Selatan Merauke) ± 770 Km yang ditandai dengan 52 tugu/pilar batas
dimana 24 tugu menjadi tanggungjawab pemerintah RI dan 28 tugu
pemeliharaan menjadi tanggungjawab pemerintah PNG. Sejumlah 14 Pilar
batas utama dibangun tahun 1966-1967 dan 38 Pilar batas sekunder
dibangun tahun 1982-1990.
Kondisi geografi terdiri dari pulau besar dan kecil serta tersebar hampir
meliputi 1/3 kali luas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi
Papua mempunyai kekhasan tersendiri yaitu pulau yang berjajar di sepanjang
pesisirnya. Di pesisir Utara terdapat pulau Biak Numfor, Yapen dan Mapia. Di
sebelah Barat pulau Salawati, Batanta, Gag, Waigeo dan Yefman. Di sebelah
pesisir Selatan terdapat pulau Kalepon, Komoran, Adi, Dolak dan Panjang,
sedang dibagian Timur berbatasan dengan negara Papua New Guinea.
47 Harmen Batubara, Pembangunan Perbatasan Papua, Munculnya Fakta Pembiaran, pada
http://www.wilayahperbatasan.com/pembangunan-perbatasan-papua-munculnya-fakta-pembiaran/
47
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia
56. Sampai saat ini, Papua masih menyatu dengan berbagai stigma dan
permasalahan yang melekat padanya. Gambaran umum tentang Papua
adalah lemahnya manajemen pelaksanaan pembangunan daerah oleh
pemerintah bersama pemerintah daerah setempat. Hal ini bisa dilihat dari
realitas fisik Papua sendiri yang terisolir dan dan terkotak-kotak. Nadi
ekonomi seolah hanya bertumpu pada jalur transportasi udara yang sangat
mahal dan transportasi laut yang lamban; sementara jalur transportasi darat
tidak diberdayakan sebagaimana mestinya.
Masalah utama Papua antara lain transportasi. Sarana transportasi
darat belum dibuka, baik di sepanjang perbatasan mulai dari Jayapura-
Merauke lewat Keerom-Pegunungan Bintang-Boven Digul dan Merauke.
Begitu juga dari Jayapura-Wamena atau dari Wamena-Pegunungan Bintang;
Begitu juga dari Jayapura-Sarmi-Nabire-Eranotali-Sorong-mengelilingi
kepala burung-kemudian di sepanjang pesisisir selatan hingga kembali ke
48Merauke.
Selain tanah yang luas, Provinsi Papua terdiri dari 27 Kabupaten dan
2 Kota yang dalam sistem pertahanan wilayah menjadi wilayah Kodam
XVII/Cendrawasih dengan tiga Korem, 9 Kodim serta 3 Yon Infanteri;
Angkatan Laut berada di bawah Komando Armada RI Kawasan Timur;
Terdapat Lantamal X di Jayapura, membawahi Pangkalan Angkatan Laut
Sorong, Biak, Lanudal Biak serta satu Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan
di Manokwari ; dan Angkatan Udara berada dibawah KoopsAU II, terdapat
Lanud Jayapura ;Lanud Manuhua (MNA), di Biak; Lanud Timika (TMK), di
Timika; dan Lanud Merauke (MRE), di Merauke. Sementara Kohanudnas
yang merupakan ujung tombak Kotama Operasional TNI AU yang bertugas
melaksanakan Penegakan hukum di Udara dan mengatur seluruh potensi
kekuatan udara bangsa indonesia. Mereka tidak ada di Papua, tetapi yang
ada di Biak Kosekhanudnas IV dengan satu Yon Parako PPRC 468 Paskhas .
Ditambah kekuatan Kepolisian yang melekat dengan Pemerintah Daerah,
dalam artian di Provinsi ada Polda dan di Kabupaten/Kota terdapat
PolRes/Polresta serta untuk Kota besar disebut Polrestabes. Polda Papua
membawahi 10 Polres, 124 Polsek, 2 Batalyon Brimob dan 1 Sekolah Polisi
49Negara (SPN).
48 Ibid.
49 Ibid.
48
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
57. a. Permasalahan Perbatasan di Papua
Setelah UU Otonomi Khusus Papua diundangkan pada 21 November
2001, secara resmi masalah Papua tidak lagi dipandang sebelah mata oleh
pemerintah pusat di Jakarta. Hampir lima tahun kemudian, Juli 2006,
pemerintahan Presiden SBY membuat Instruksi Presiden tentang
Percepatan Pembangunan di Tanah Papua sebagai penjelasan teknis dari
UU Otsus Papua. Melalui Inpres ini diharapkan kesejahteraan di tanah Papua
tidak lagi isapan jempol belaka. Tidak tanggung-tanggung, demi percepatan
pembangunan di Papua, Presiden mengerahkan 29 Menteri dan pejabat
50setingkat menteri untuk mendukung pelaksanaan Inpres ini.
Penekanan dari Inpres tersebut adalah perintah pada kementerian-
kementerian terkait untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan
sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing, berdasarkan
pendekatan baru bagi Papua (new deal for Papua). Pendekatan itu harus
memprioritaskan pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan
kemiskinan; peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; peningkatan
infrastruktur dasar untuk meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil,
pedalaman, dan perbatasan negara; serta perlakuan khusus (affirmative
action) bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia putra-putri asli
51Papua.
Terkait dengan permasalahan perbatasan, sebagaimana di daerah
perbatasan yang lain, adalah masih ada yang menganggap bahwa daerah
perbatasan adalah daerah halaman belakang RI (backyard) bukan halaman
depan (frontyard). Sehingga pelaksanaan pengamanan di daerah perbatasan
masih menggunakan paradigma perang dingin (cold war), alias pendekatan
keamanan tradisional dengan penekanan pada pendekatan kemiliteran
(military approach) dan bukannya pendekatan kesejahteraan (prosperity
approach). Padahal, permasalahan-permasalahan terkait perbatasan di
52Papua begitu banyak, antara lain :
·Masih banyaknya pelintas batas illegal dari Papua ke Papua New
Guinea dan juga sebaliknya.
50 Angela Classy, et.al. Luka Papua HIV Otonomi Khusus dan Perang Suku (Jakarta, Spasi dan VHR Book
: 2008), hal. 93.
51 Ibid., hal. 94.
52 Dikemukakan dalam FGD diAbepura, Papua pada Juli 2012
49
Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk
Wilayah Perbatasan Indonesia