SlideShare a Scribd company logo
1 of 7
Download to read offline
72
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
Abstract
The interest of clustering has been rising among
policy makers. It is believed that industrial cluster
has potential to generate employment as means for
poverty reduction strategy, decrease cost of production,
access inputs of production easily, disseminate new
knowledge quicker, and also attract more supplier and
customers. Besides that, cluster firms are more resilient
than large firms in periods of economic fluctuation.
Schmitz and Nadvi (1994) emphasize that industrial
cluster would be more relevant in the early stage of
industry and is also important in developing countries
context. However, industrial clusters are often facing
challenges such as global competitiveness, labour
exploitation and environmental problems.
The application of the industrial cluster concept
is different in each case study. The research shows that
agro industrial cluster operations employ local and
related family labour and they have limited access
to formal financial institutions. On the other hand,
upgrading is not a pre-requisite to enter the global
market since the agro industry is a market-driven
industry where the global market has its preferences
for certain commodities. Improving local economic
development in this particular industry depends
on the actors’ interactions within the value chain.
Sustainability and competitiveness for development
of the local economy depend on the motivation of
farmers to develop the industry. In conclusion, agro
industrial clusters have the potential to improve the
local economy. However, weaknesses of the industry
could outweigh this potential, thus limiting local
economic development and hindering sustainability of
the industry.
THE POTENTIAL OF AGRO INDUSTRIAL
CLUSTER AS A MEANS TO DEVELOP
THE LOCAL ECONOMY IN INDONESIA
(Case Study: Cocoa Industry Clusters
in South Sulawesi Province)
Ika Retna Wulandary, ST., M.Sc.
INTRODUCTION
Policy makers have turned their attention to industrial
clusters as an economic policy tool for increasing
industrial growth and competitiveness, and also
economic development. Industrial clusters could also
help poverty reduction because they generate jobs
and income for the poor. Improving access to markets
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|25
ABSTRAK
Keberlanjutan pertanian dalam rangka menghasilkan pangan akan banyak dipengaruhi oleh SDM pertanian. SDM
pertanian dalam hal ini adalah petani petani akan menggerakkan sejauh apa produk vitas pertanian dalam
meneghasilkanpangan.SecarafaktualIndonesiabanyakmembutuhkansuplaidariNegaralainuntukmemenuhikecukupan
pangan. Apabila kondisi tersebut berlanjut maka keinginan untuk mencapai kedaulatan pangan tentu jauh dari harapan.
Kesenjangan-kesenjangan tersebut memberikan arah dan tujuan
dari kajian yaitu: (a) menguraikan kondisi tantangan global
terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b) menguraikan
karakteris k SDM pertanian saat ini, dan (c) menganalisis
implikasi karakteris k SDM terhadap Kedaulatan pangan.
Metode kajian menggunakan studi pustaka dengan pemaknaan
terhadap data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (i)
kompleksitas tantangan global memberikan indikasi Indonesia
perlu meningkatkan ketersediaan pangan, (ii), karakteris k SDM
pertaniaan saat ini memiliki kualifikasi daya saing yang rendah dan
(iii) diperlukan upaya sistema s dalam memfasilitasi regenarasi
SDM pertanian dalam menyongsong era persaingan pasar bebas.
Kata Kunci: Regenerasi, SDM Pertanian, dan Kedaulatan Pangan
PENDAHULUAN
Pertanian adalah salah satu sektor vital dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Pertanin juga memiliki
peran strategis bagi kehidupan bangsa. Kondisi yang
vital dan dan strategis ini secara keseluruhan dak dapat
digan kan oleh sector lainnya.
Pertanian adalah penyedia pangan bagi
penduduk Indonesia. Pertanian adalah pabrik alami
yang menghasilkan produk-produk pangan yang amat
dibutuhkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Sebagai
penyedia pangan, maka pertanian memiliki peran yang
tak tergan ka oleh sector lainnya.
URGENSI REGENERASI SDM PERTANIAN DALAM
UPAYA MENCAPAI KEDAULATAN PANGAN
Muksin
Bustang A.M.
Politeknik Negeri Jember
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Pertanian juga merupakan penyedia mayoritas
dari bahan baku industri kecil dan menengah. Sekitar
87% bahan baku dari industry kecil dan menengah
adalah berbasis dari proses pertanian. Pertanian
dengan demikian memberikan potensi bagi dinamika
perekonomian bangsa.
Relevan dengan kondisi tersebut sebagaimana
dinyatakan oleh Kementerian Pertanian (2014) bahwa
pertanian memberikan sumbangan sekitar 14,72%
terhadapPDB.Prosesdandinamikapertanianjugamampu
menghasilkan US $ 43,37 M devisa Negara. Kondisi ini
memberikan gambaran bahwa sector pertanian memiliki
peran signifikan dalam perekonomian nasional.
26
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
Apabila dilihat dari perspek f kepen ngannya pada
jumlah tenaga kerja, maka pertanian menyerap sekiar
33,32% total tenaga kerja. Kondisi lainnya adalah bahwa
pada rumah tangga pedesaan bergantung sekitar 70%
dari sector pertanian sebagai sumber utama pendapatan.
Dalam konteks ketenagakerjaan, maka pertanian memiliki
peran vital dalam menutup lubang pengangguran terbuka
yang semakin besar. Kondisi tersebut memberikan
klarifikasi bahwa pertanian menjadi factor penutup bagi
potensi pengangguran yang besar. Terdapat fakta bahwa
pertanian adalah suatu keniscayaan bagi keberlanjutan
kehidupan manusia, dalam konteks penyediaan pangan
(Luckey, et al: 2013)
Sisi lain dari pertanian adalah sektor ini memiliki
peran yang dak ringan dari upaya mencegah atau
menyelesaikan masalah lingkungan. Sebagai “organisasi”
yang bersandar dari proses alamiah, maka pertanian
memiliki peran dalam upaya penurunan emisi gas rumah
kaca sebesar 8 juta ton (Kementerian pertanian, 2014).
Peran terhadap upaya menjaga kelestarian amat vital
di tengah semakin meningkatnya persoalan-persoalan
lingkungan dewasa ini.
Peran strategis pertanian memberikan sinyal bahwa
peran-peran pen ng tersebut dak dapat digan kan
oleh sector lainnya. Ketetapan peran-peran strategis
tersebut, tentu dapat diupayakan apabila kondisi atau
factor-faktor penyokong tersebut antara lain adalah SDM
pertanian sebagai kelompok pengelola dari “organisasi”
pertanian.
Peran strategis juga secara linear akan berdampak
terhadap kemampuan menerjemahkan tantangan-
tantangan dari luar. Tantangan dari luar dalam hal ini
adalah lingkungan global yang memberikan potensi untuk
memperbesar peran pertanian dalam mensejahterakan
bangsa ataukah sebaliknya. Ar nya peran pertanian yang
lemah tentu akan memberikan dampak yang kurang
menguntungkan pada kondisi ketersediaan pangan
bangsa dan juga implikasi ketergantungan terhadap
Negara lainnya.
Isu-isu terkait pangan pada masa depan akan
menjadi isu pen ng dan masuk dalam ranah atau
kawasan yang berpotensi menjadi sumber konflik.
Kondisi ini didasarkan pada fakta bahwa ketersediaan
pangan dan jumlah kebutuhan terhadap pangan daklah
sebanding. Dalam konteks ketersediaan pangan aspek-
aspek terhadap kemampuan produksi dianggap lemah,
sedangkan kebutuhan pasokan atau permintaan dari
waktu ke waktu terus meningkat.
Beberapa kondisi yang kurang menguntungkan
memberikan kontribusi signifikan dalam konteks
kemampuan produksi pertanian. Semakin mengecilnya
lahan pertanian, konversi lahan pertanian yang terus
berlanjut, kerusakan lingkungan, dan mutu kelembagaan
petani yang dinilai rendah adalah kondisi-kondisi yang
kurang menguntungkan tersebut. Bila terus berlanjut
kondisi ini tentu berdampak nega ve terhadap
kemampuan produksi dalam negeri sekaligus menurunnya
daya saing.
Daya saing yang lemah tentu akan merugikan
Indonesia mengingat pasar terpadu ASEAN sudah di
depan mata. Sebagaiman kita kitehui bahwa implementasi
The ASEAN Economic Community (AEC) akan berlaku pada
tahun 2015. Integrasi pasar dan pintu masuk pasar global
yang dak dian sipasi, tentu akan sangat merugikan
bangsa Indonesia.
Salah satu faktor pen ng bagi upaya melakukan
proses produksi yang tepat, adalah dengan menyiapkan
SDMyangmemenuhistandarkebutuhansectorpertanian.
SDM yang tepat yang dibutuhkan adalah sesuai dengan
kebutuhan dalam rangka memenuhi upaya-upaya yan
dapat dilakukan dalam memenuhi ekspektasi daya saing
yang tepat. Dalam konteks ini para pelaku atau SDM yang
tepat sangat diharapkan dapat melaksanakan kegiatan
pertanian yang sesuai.
SDM pertanian yang tangguh, akan memberikan
peran yang sesuai dengan kondisi persaiangan saat
ini. SDM yang memliki kompetensi tentu memberikan
kontribusi pada kemajuan usaha tani. Kesiapan, kualifikasi
dan kompetensi yang memadai sebagai SDM usahatani
akan berontribusi dalam produk vitas, daya adaptasi
dan keberlanjutan usahatani. Apabila kondisi atau situasi
peran SDM pertanian dapat diselenggarakan, maka
berdampak pada signifikan dalam memfasilitasi upaya
mewujudkan kedaulatan pangan.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|71
REFERENCES
Abdallah, S., & Mahony, S. (2012). Stock-taking of Subjective Well-Being Retrieved from http://www.
eframeproject.eu/fileadmin/Deliverables/Deliverable2.1.pdf
Bertrand, M., & Mullainathan, S. (2001). Do People Mean What They Say? Implications for Subjective Survey Data.
American Economic Review, 91(2), 67-72.
Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia. (2012). Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR). Jakarta:
Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia.
Dolan, P., Layard, R., & Metcalfe, R. (2011). Measuring Subjective Wellbeing for Public Policy Retrieved from http://
eprints.lse.ac.uk/35420/1/measuring-subjective-wellbeing-for-public-policy.pdf
Dolan, P., & Metcalfe, R. (2012). Measuring Subjective Wellbeing: Recommendations on Measures for Use by
National Governments. Journal of Social Policy, 41(02), 409-427.
Esti, D. R. S. (2013). Subjective Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia. Master, University of
Groningen, Groningen.
Esti, D. R. S., Woltjer, J., & Hasanov, M. (2013). Evaluation in Integrated Land-Use Management: Towards an Area-
Oriented and Place-Based Evaluation for Infrastructure and Spatial Projects. [Workshop Report]. Town Planning Review,
84(5), 671-677. doi: 10.3828/tpr.2013.34
Fujiwara, D., & Campbell, R. (2011). Valuation Techniques for Social Cost-Benefit Analysis: Stated Preference,
Revealed Preference and Subjective Well-being Approaches. A Discussion of the Current Issues. London: HM Treasury and
DWP.
Graham, C. (2010). The Challenges of Incorporating Empowerment into the HDI: Some Lessons from Happiness
Economics and Quality of Life Research. Paper presented at the Human Development Research Paper 2010/13.
Helliwell, J., Layard, R., & Sachs, J. (2013). World Happiness Report 2013. New York: UN Sustainable Development
Solutions Network.
Hicks, S., Tinkler, L., & Allin, P. (2013). Measuring Subjective Well-being and its Potential Role in Policy: Perspective
from the UK Office for National Statisticcs. Social Indicators Research, 114(1), 73-86.
Khakee, A. (2002). Assessing Institutional Capital Building in a Local Agenda 21 Process in Go¨teborg. Planning
Theory & Practice, 3(1), 53-68.
McGillivray, M. (2007). Human Well-being: Issues, Concepts and Measures. Houndmills, New Hampshire, USA:
Palgrave Macmillan.
OECD. (2013). OECD Guidelines on Measuring Subjective Well-being Retrieved from http://dx.doi.
org/10.1787/9789264191655-en
ONS. (2010). Measuring Subjective Wellbeing in the UK S. Waldron (Ed.) Retrieved from http://www.ons.gov.uk/
ons/guide-method/user-guidance/well-being/publications/measuring-subjective-well-being-in-the-uk.pdf
ONS. (2011). Initial investigation into Subjective Wellbeing from the Opinions Survey Retrieved from http://www.
ons.gov.uk/ons/dcp171776_244488.pdf
Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J.-P. (2010). Mismeasuring Our Lives: Why GDP Doesn’t Add Up. New York: New
Press.
Thompson, S., & Marks, N. (2008). Measuring well-being in policy: issues and applications Retrieved from http://
dnwssx4l7gl7s.cloudfront.net/nefoundation/default/page/-/files/Measuring_well-being_in_policy.pdf
70
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 20147070707070707707070707070707070707070707070707070707070707070707077070707070707770707077077707070707070707070770707070770707077707077070707007707070700707070070700707077070707000770770770707007770077777777707777000000770070 EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDIDDIDDDDIDIDIDIDIDIDIDDDDDDIDDDIDIDIDIDIDIIDIDIDIDDIIIIDDIDDIDDDDIDDDIDDDIDDDDDIIDIDDDDDIDDIDDDDDIIDIIDDIIIDD SISISISISISISISISSISSSSISSISSISSISISISSSSISSSSSSSSISISISSSIIIISISSSISISSSISIS 0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111 •••••••••••••••••••••••••••••••••••• TATATATATATATATATATATATATATATATATATATAAATATATATTATATATATTTATTATATTTTAAAATTATAAT HUHUHUHUHUHUHUHUHUHHUHUHUHUHUHUHHUHUHHHHHUHUHHHHHHUHUHHHHHHUHHHHHUH NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX ••••••••••••••••• MMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMEIEIEIEIEIEIEIEEIEIEIEIEIEEIIEIEIEIEEEEIEIIIEEEE 222222222222222222222222222222201010101010101010101010100101001010100100010144444444444444444444444444444
Specifically to enhance the institutional capital level for
informing policy design, the involvement of technical
ministries in Indonesia is required. As practiced in
the UK, various UK government departments even
included targets in their Public Service Agreements
(PSA) that could benefit from subjective well-being
data. Therefore, the statistical office is informed by
emerging policy requirements and policy makers are
informed or aware of the subjective well-being data. In
addition, specifically for policy appraisal context, some
customized subjective well-being measurements by
related departments or ministries or research centres
or any other concerned stakeholders are needed while
keeping within the overall agreed framework, which
absolutely depends on the scope of the appraised
policy.
Some further steps recommendation for Indonesian
context are as follows:
o SPTK 2013 results is published by the Central
Statistics Agency and shared to the concerned
stakeholders, especially BAPPENAS, the
Coordinating Ministry of People’s Welfare, and
other technical ministries in Indonesia
o Together with BAPPENAS and the Coordinating
Ministry of People’s Welfare, the Central Statistics
Agency establish an advisory forum and technical
group
o The advisory forum invite academics and research
centers such as SEMERU and Lembaga Demografi
UI to join and discuss subjective well-being
measurements framework in Indonesia
o The advisory forum publish subjective well-
being measurements framework in Indonesia
and guidance for using subjective well-being
measurement
o The advisory forum with wider stakeholders, key
user stakeholders such as technical ministries or
departments in Indonesia, discuss further the
potential use of subjective well-being measurement
and “need assessment” of this measurement from
the key user stakeholders
o The technical group conduct public consultations
as practiced in the IKraR development to diffuse
and develop the knowledge on subjective well-
being measurement in Indonesia
o The advisory forum discuss the improvement of
subjective well-being indicators for the next survey.
70
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|27
Berdasarkan latar belakang tersebut maka menilai
kembali bagaimana SDM pertanian dan peran yang
dapat dimainkan adalah upaya vital yang sangat secara
potensial dan actual akan memberikan jawaban terhadap
persoalan-persolan pertanian, produksi, maupun daya
saing serta kedaulatan pangan. Kedaulantan pangan telah
menjadi suatu tahapan sangat vital dalam keberlanjutan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Berfokus pada
pemikiran tersebut maka tujuan dari penulisan ar kel
ini adalah: (a) menguraikan kondisi tantangan global
terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b)
menguraikan karakteris k SDM pertanian saat ini, dan
(c) menganalisis implikasi karakteris k SDM terhadap
Kedaulatan pangan.
METODE PENELITIAN
Metode pengkajian terhadap relevansi
regenerasi SDM untuk pencapaian kedaulatan pangan
menggunakan penelusuran pustaka (studi pustaka)
khususnya yang terkait dengan SDM pertanian
terkini. Penelusuran sumber pustaka memanfaatkan
hasil peneli an terdahulu baik dari publikasi on line
maupun referensi dalam bentuk buku, berkala maupun
sumber ilmiah lainnya. Kajian terhadap hasil peneli an
diharapkan dapat memberikan informasi terkini yang
relevan dengan kondidi SDM petani.
Untuk menghasilkan analisis yang relevan, maka
pengamatan terhadap data utama dilakukan terhadap
hasil data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Sta s
(BPS) dan data bersumber dari peneli an lainnya
atau peneli an terdahulu. Peneli an terdahulu yang
dimaksud adalah peneli an yang dilakukan oleh peneli
maupun karya peneli lainnya. Peneli berupaya unutk
melakukan proses pembandingan terhadap data dari
hasil penelusuran pustaka, dan melakukan analisi untuk
keperluan menjawab pertanyaan peneli an.
Selanjutnya dari hasil komparasi dan analisis data
tersebut tersebut peneli melakukan review terhadap
kajian-kajian yang memiliki substansi dan ruang
lingkup masalah yang relevan. Berdasarkan review
tersebut peneli melakukan sintesa untuk memberikan
pemahaman dan pemaknaan atas informasi yang
diperoleh. Berdasarkan keseluruhan ak vitas tersebut
peneli melakukan sintesa untuk melakukan pemaknaan
dan menyusun implikasi maupun penarikan kesimpulan
dari kajian tersebut. Sintesa memberikan gambaran
terhadap informasi faktual di lapngan khususnya dalam
kehidupan dan dinamika SDM pertanian.
HASIL DAN PEMBAHAAN
Tantangan Produksi Pertanian
Kedaulatan pangan berhubungan erat dengan
produk vitas pertanian. Produk fitas pertanian
memberi gambaran tentang kinerja pertanian dalam
penyelenggaraan usahatani. Kinerja usahatani adalah
hasil yang dicapai dalam bentuk ouput proses produksi.
Produk vitas pertanian berhubungan erat secara
langsung dengan dengan faktor-faktor sumberdaya.
Faktor-faktor sumberdaya adalah sumberdaya alam
termasuk lahan, air, iklim, sumberdaya sarana produksi
dan sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani.
Faktor-faktor sumberdaya tersebut saling berinteraksi
dalam menentukan dinamika produk vitas pertanian
(Muksin, 2014).
Salah satu ukuran produk vitas pertanian dapat
dikaitkan dengan kondisi ketersediaan pangan nasional
dan dinamika untuk memenuhi kebutuhan pangan
tersebut. Kebutuhan dari pangan nasional cukuop besar
dapat diama dari nilai rupiah yang dibelanjakan dari
APBN untuk kebutuhan pangan tersebut. Sebagaimana
hasil kajian beberapa peneli an bahwa pada tahun
2009 sekitar 5 persen dari APBN atau sekitar 50 triliun
digelontorkan untuk menyediakan atau membeli enam
komoditas pangan, yaitu kedelai, gandum, daging, sapi,
susu dan gula, termasuk garam. Kondisi ini menunjukkan
betapa besarnya ketergantungan pangan kita kepada
negara lain.
Bersamaan dengan hal tersebut di banyak belahan
dunia yang lain kondisi kekurangan ketersediaan pangan
juga terjadi. Selain persoalan iklim yang dak menentu
sebagai akibat kehidupan modern yang “ dak terkendali”
dan dak ramah terhadap lingkungan, maka pesoalan
pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat
menjadi penyebab utama akan ketersediaan pangan yang
28
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
terus menuruan. Data beberapa peneli an menyebutkan
bahwa secara ideal angka pasokan pangan atas kebutuhan
jumlah penduduk, saat ini dinilai berada pada angka
ketersediaan 30-40persen dari jumlah keseluruhan.
Kondisi tersebut secara factual tentu mempriha nkan dan
banyak memunculkan banyak kekhawa ran.
Semakin meningkatnya permintaan pangan,
sementara pasokan terhadap pangan dak sebanding
mengakibatkan terjadinya kecenderungan peningkatan
harga terhadap pangan. Kecenderungan harga pangan
tersebut misalnya terjadi pada gandum, padi, dan jagung
serta beberapa komodi lainnya khususnya komodi
yang dapat digunakan sebagai bahan pangan dan bahan
baku energi. Kelangkaan pangan selain factor-faktor
tersebut, juga dipicu oleh “alih fungsi” beberapa komodi
pertanian yang pada awalnya dimanfaatkan untuk bahan
baku pangan, pada saat ini juga diupayakan sebagai bahan
baku untuk menghasilkan energy.
Beberapa materi dan tanaman, seper kelapa
sawit, jagung, ubi kayu, tebu, tanaman jarak, kemiri
sunan dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber
energi. Permintaan energi final masa mendatang
akan naik hampir ga kali lipat tahun 2030, dan BBM
masih mendominasi dengan porsi sebesar 31,1 persen.
“Perebutan” peruntukan bahan baku tersebut berimbas
terhadap ketersediaan pangan (Kementan, 2014).
Indonesia sampai saat ini adalah Negara pengimpor
bahan pangan seper gandum, beras, dan kedelai dan
beberapa komoditas lainnya. Jumlah impor tersebut
memiliki konsekuensi ketergantungan Indonesia terhadap
beberapa Negara untuk memenuhi kebtuhan pangan.
Semakin besar jumlah kebutuhan pangan, semakin besar
ketergantungan Indonesia terhadap Negara-negara
penyedia pangan. Bila kondisi tersebut berlanjut maka
krisis pangan akan benar-benar terjadi. Kecenderungan
semakin meningkatnya impor beberapa komoditas oleh
Indonesia, dinilai sebagai kondisi yang membahayakan.
Indonesia dinilai sudah masuk dalam jebakan pangan
(food trap) (Wibowo, 2014).
Terdapat penilaian yang dikemukakan oleh ahli
sosiopoli k bahwa dinamika ketersediaan pangan bagi
penyuplai dan bagi Negara-negara yang membutuhkan
dapat dijadika sebagai alat tukar. Negara-negra yang
memiliki kecukupan atas pangan sangat mungkin akan
dapat “mendikte” atau bahkan mengontrol terhadap
Negara-negara yang membutuhkan pangan. Dalam
konteks ini maka interaksi dalam perdagangan pangan
dapat menjadi alat tukar poli k atas suatu kepen ngan
tertentu dari suatu Negara.
Produksi pangan berasal dari proses produksi
pertanian. Sementara produksi dan perdagangan yang
terkait langsung dengan sarana produksi hanya dikuasai
atau dikontrol oleh hanya lima Mul na onal Corpora on
(MNC), sehingga petani hanya memiliki peran kecil dalam
kontribusi terhadap perdagangan. Dengan demikian krisis
pangan dan ancaman terhadap ketersediaan pangan
disejajarkan dengan konsepsi ancaman tradisional dan
non tradisional pada keamanan nasional. Krisis terhadap
keberlanjutan pertanian adalah konsekuensi logis dari
kondisi saat ini. Sebagaimana tela diuraikan bahwa
produk vitas pertanian terus mengalami penurunan.
Produk vitas yang menurun memberikan ancaman serius
terhadap kedaulatan pangan. Bahkan ancaman terhadap
krisis pangan dimasukkan sebagai ancaman serius
terhadap ketahanan dan kemanan Negara (Bappenas,
2009).
Karakteris k Petani
Sebagaimana data Badan Pusat Sta s k (BPS)
bahwa hampir 67 persen angkatan kerja menggantungkan
hidupnya di sektor pertanian. Kondisi ini memberikan
gambaran bahwa peran pertanian cukup ngggi. Sektor
pertanian dengan demikian masih menjadi salah satu
media dalam menutupi potensi pengangguran terbuka.
Apabila dilihat dari penguasaan lahan pertanian,
petani memiliki lahan pertanian yang semakin menurun
dari tahun ke tahun. Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil
sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan penguasaan
lahan oleh keluarga petani adalah sekitar 0,48 ha.
Selanjutnya pada hasil sensus pertanian tahun 2003
penguasaan lahan pertanian oleh petani sekitar 0,3 ha per
keluarga, sementara hasil sensus pertahian tahun 2013
menunjukkan penguasaan lahan yang dikelola keluarga
petani sekitar 0,2 ha. Kondisi tersebut menunjukkan
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|69
CONCLUSION
From this article, we can identified several significant
institutional arrangement elements of subjective well-
being measurements, the type of measurements and the
potential roles of subjective well-being measurement,
and institutional capital evaluation related to subjective
well-being measurement in Indonesia. In Indonesia,
the subjective well-being measurement limited to one
actor, intra-organizational network, and no platforms
established until recently. The type of subjective well-being
measurement used are the evaluative and eudaimonic
approach. For the institutional capital evaluation, as
can be seen in Figure 10 and Figure 11, illustrated that
subjective well-being measurement in Indonesia both for
monitoring progress and informing policy design contexts
are categorically in the initial stage. Therefore, thorough
effort must be applied to enhance the institutional capital
in order to support the utilization of subjective well-being
measurement for public policy.
RECOMMENDATION
A relevant and suitable institutional arrangement
must be designed with taking into account the
institutional capital and policy context for those
countries that are initializing the national subjective
well-being measurement or are in the start-up phase
like Indonesia. Considering that potential roles of
subjective well-being measurement can only be
applied and carried out effectively and efficiently
if supported by a high level of institutional capital,
enhancement of institutional capital level is required.
International experiences consist of various good
practices or institutional arrangement elements that
can help to enhance the level of institutional capital.
This is mostly for the case of the UK where they already
have the platform (national debate) and the inter-
organizational network (advisory forum and technical
group). Establishment of an official platform such as
national debate and inter-organizational networks
such as advisory forum and technical group are
expectedly increase the level of institutional capital.
For the intellectual capital component, the national
debate, advisory forum, and technical advisory group
can act as knowledge resources which could be used
to diffuse the knowledge and values to increase the
degree of understanding of concerned stakeholders.
The three elements would definitely improve the
social and political capital component as well through
higher stakeholder involvement, density of networks,
access to networks, selection & identification of issues,
and consensus-building practices. In addition, role of
key agents would be further facilitated through the
existence of advisory forum and technical group.
In Indonesia, the institutional capital level for
monitoring progress and informing policy design
context can be improved by the establishment of the
advisory forum and technical group. Keeping in mind
the existing financial and other capital, national debate
is not considered feasible in Indonesia. The concerned
stakeholders in subjective well-being measurement for
monitoring progress and informing policy design, are
relatively similar with stakeholders in the development
of IKraR due to the same policy contexts. BAPPENAS
and the Coordinating Ministry of People’s Welfare
can be considered to be the most appropriate to be
partners of BPS in developing the subjective well-being
measurement. This is according to the status, duties,
and functions of these two ministries. They should join
BPS as the “advisory forum” and “technical group”.
Furthermore, they should also play the role as the
coordinator as practiced by Cabinet Office in the UK. In
the UK, Cabinet Office coordinate across departments
for ensuring that subjective well-being data are used
effectively. The key role as data collector, BPS certainly
is the right organization to play the role. Academic
institutions should also play a key role to explore the
knowledge and afterward can conduct related and
constructive small research about this topic to be input
for developing the instrument and so forth. Together
with local NGOs, they can also be the stakeholder to
diffuse the knowledge and values on subjective well-
being to civil society. In Indonesia, there are also some
significant research centres such as LIPI, SEMERU,
and other institution that could also conduct some
research on this concept so that its measurement and
the measurement results can be more applicable in
Indonesia and contribute significantly in improving the
well-being of the people of Indonesia.
68
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
In Indonesia, national subjective well-being
is began to be measured since April 2013 through
SPTK 2013. Statistics generated from SPTK 2013 were
indicators of life satisfaction and happiness that planned
to be analyzed based on demographic characteristics of
the population, education, health, economic, housing
and others. The type of measurements used are
evaluative approach (life satisfaction, overall happiness,
and domain satisfaction) and also eudaimonic approach
(psychological/ flourishing, capabilities, and ‘having,
loving being’ approach).
To what extent the existing and
potential institutional capital supports
the utilization of subjective well-being
measurement to be a substantial input
for public policy in Indonesia?
Literature review and document analysis
argued that potential roles of subjective well-being
measurement can only be applied and carried out
effectively and efficiently if supported by a high
level of institutional capital. There are three types of
institutional capital, which are intellectual capital, social
capital and political capital (Khakee, 2002). Intellectual
capital can be recognized by knowing the range of
knowledge resources, degree of understanding, use
and diffusion of knowledge and values, and openness
to accept and learn new things. To recognize and
assess social capital, there are three criteria, which
are the extent of stakeholder involvement, density of
network linkages, and access to networks. Meanwhile,
political capital is achieved from the commitment and
willingness of different parties associated with the
action for thinking policy and mobilizing resources,
and the agenda formation which can be assessed from
the selection and identification of issues, consensus-
building practices, and role of key agents. However, as
can be seen in Figure 1 and Figure 2, the institutional
capital evaluation results illustrated that subjective well-
being measurement in Indonesia both for monitoring
progress and informing policy design contexts are
categorically in the initial stage.
Figure-1. Institutional Capital Evaluation Results for
“Monitoring Progress” Policy Context
Source: Analysis, 2013
Figure-2. Institutional Capital Evaluation Results for
“Informing Policy Design” Policy Context
Source: Analysis, 2013
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|29
terjadi penurunan ditandai dengan menyempitnya lahan
pertanian. Kepemilikan lahan oleh petani semakin rendah
secara signifikan.
Beberapa masalah lain yang terkait dengan
sumberdaya alam dan lingkungan adalah masalah lain
iklim yang dak menentu, rusak atau adanya jaringan
irigasi sebagai akibat langsung dari adanya konversi lahan,
kecenderungan rusaknya lahan pertanian sebagai akibat
laju peningkatan pelaksanaan intensifikasi pertanian,
indikasi meningkatnya serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT) sebagai akibat ke dakseimbangan
ekologis (muksin, 2002), meningkatnya persaingan produk
pertanian khususnya tanaman pangan dan hor kultura
yang berasal dari luar negeri, dan produk vitas
SumberdayaManusia(Wibowo,2014).Faktorsumberdaya
manusia bahkan dianggap yang paling menonjol apabila
dilihat dari karakteris k petani dan potensi persaingan
yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Secara sta s k karakteris k petani Indonesia
kurang menggembirakan. Masih berdasarkan hasil
sensus tahun 2003 jumlah petani gurem (keluarga petani
yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) sekitar 31,17
juta. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan hasil
sensus tahun 2013 sebesar 26,13 juta. Kondisi tersebut
menunukkan terjadi penyusutan sebasar 5,04 juta petani
guem yang umumnya adalah petani tanaman pangan atau
hampir berjumlah 75 persen.
Kehilangan atau adanya jumlah petani sebanyak
5 juta orang adalah jumlah yang signifikan apabila
dikornversi sebagai sumberdaya yang menghasilkan
output pangan. Semakin menurunnya jumlah petani
tentu berkorelasi langsung dengan jumlah output pangan
yang dihasilkan, dengan sumsi bahwa petani yang hilang
tersebut adalah sebagian besar adalah petani tanaman
pangan.
Berdasarkan peneli an hilangnya 5,04 juta petani
tersebut diindikasikan sebagai meningkatnya jumlah
petani yang kehilangan lahan. Ar nya petani gurem
melepaskan kepemilikan lahan kepada orang lain. Petani
gurem tersebut dimungkinkan berpindah profesi sebagai
tenaga kasar dan buruh tani sebagai pekerja informal.
Selain itu regenerasi petani berjalan sangat lambat.
Ar nya petani baru yang masuk menjadi petani jumlahnya
sangat dak signifikan dibanding dengan yang keluar dari
profesi sebagai petani.
Selain jumlah secara kuan tas, faktor umur petani
juga kurang menggembirakan. Apabila dilihat dari umur
produk f, saat ini mayoritas petani adalah kelompok
menjeleng usia senja yang masih bekerja. Berdasarkan SP
2013 sebagian besar petani berumur diatas 45 tahun atau
50-an tahun. Kategori umur tersebut mengindikasikan
fase memasuki masa pensiun dalam pelaksanaan
pekerjannya. Apabila dianggap umur produk f sampai
55 tahun, maka kelompok petani yang ada saat ini adalah
kelompok yang hanya menyisakan beberapa tahun saja
untuk pensiuan. Ar nya pada tahap ini, petani kurang
memiliki kemampuan secara fisik untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan usaha tani.
Padaaspek ngkatpendidikan,mayoritaspetanijuga
memperiha nkan. Para generasi tua petani berpendidikan
Sekolah dasar (SD). Petani yang berpendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) sederajat jumlahnya cukup kecil
yaitu sekitar 5 persen. Tingkat pendidikan formal memiliki
pengaruh langsung dalam kemampuan berpikir dan
ketanggapan merespon dinamikan lingkungan usahatani
dan penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi petani
digolongkan hanya mengaplikasikan teknologi tradisional.
Selain itu kemampuan petani dalam menerjemahkan
tantangan dinamika lingkungan saat ini juga belum
memenuhi harapan yang diinginkan (Muksin, 2007).
Selain faktor tersebut, factor mo vasi para petani
umumnya rendah. Indikasi dari hal tersebut adalah adanya
alasan bertani. Sebagian besar alasan menjalankan
usaha karena dak memiliki kemampuan lain. Para
petani menganggap sebenarnya usahatani dinilai dak
menguntungkan secara signifikan (Muksin, 2007).
Apabila dijumpai petani yang saat ini mengusahakan
lahannya, umumnya karena dak ada yang melanjutkan
pekerjaan sebagai petani. Selain itu persepsi yang
nega v terhadap pertanian dikaitkan dengan belum
op malnya peran penyuluhan dan kebijakan pemerintah
dalam memfasilitasi peran pemuda dalam pertanian
(Muksin, 2007). Sementara penyuluhan semakin
kehilangan perannya karena lemahnya anggapan ngkat
kepen ngannya, lemahnya dukungan poli k terhadap
30
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
penyelenggaran penyuluhan, dan kesulitan menghitung
secara kuan ta f kontribusi atau keuntungan secara
ekonomis atas penyelenggaraan (Milburn et al., 2010).
Petani adalah manajer dari usahataninya. Petani
adalah SDM yang dengan segala keterbatasan atau
kelebihannya akan melaksanakan usaha tani. Petani
sebagai pengelola adalah Sumber Daya Manusia (SDM)
yang menyelenggarakan proses usaha. SDM dalam
usahatani akan menentukan bagaimana produk vitas
usahatani melalui kemampuan menjalankan usaha
dan proses pengambilan keputusan. Kemampuan yang
dimaksud adalah bagaimana petani melaksanakan
teknis budidaya, pemanenan, pengelolaan pasca
panen, dan pemasaran, serta kemampuan merespon
dinamika lingkungan yang terkait dengan usahatani.
Kemampuan merespon adalah kemampuan petani
dalam menerjemahkan kebutuhan dalam menjalankan
usahataninya, menyikapi dan menerjemahkan tantangan-
tantangan termasuk ancaman-ancaman terhadap usaha
taninya. Kemampuan petani akan mengarahkan petani
dalam menjalankan usahataninya secara efisien dan
efek f dalam mencapai tujuan.
Secara faktual ngkat kemampuan kemampuan
petani yang menopang produk vitas usahatani masih
dinilai rendah. Indikator lemahnya kemampuan petani
antara lain jumlah petani yang semakin berkurang.
Indikator lainnya adalah melemahnya kemampuan fisik
dan non fisik yang terkait langsung dengan umur petani,
dan melemahnya mo vasi petani dalam menjalankan
usaha tani (Muksin, 2014).
Kesimpulan dan Implikasi
Kemampuan menghasilkan produk pertanian
dipengaruhi oleh luas lahan, mutu lahan, dinamika
lingkungan dan iklim, input teknologi dan jumlah maupun
mutu dari SDM petani. Apabila lahan dan dinamika iklim
adalah sesuatu yang memerlukan kebijakan eksternal dan
kolabora f seluruh pelaku pertanian di dunia, maka SDM
petani dalam konteks ini akan lebih banyak bertumpu
pada kemampuan petani dan kebjujakan internal dari
Negara masing-masing. Ke dakmampuan SDM petani
atau rendahnya SDM petani dari suatu Negara, dak akan
lantas merugikan Negara bersangkutan, akan tetapi lebih
banyak kepada Negara tersebut.
Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa
produk vitas SDM petani yang menurun berkaitan
dengan jumlahnya, umur, kemampuan, dan mo vasi
melaksanakan usaha. Kondisi produk vitas petani yang
menurun, mengindikasikan adanya kebutuhan regenerasi
dari pelaku usahatani. Apabila kondisi rendahnya SDM tak
tergan kan, maka krisis pangan dan kedaulatan bangsa ini
tentu dipertaruhkan.
Regenerasi akan diharapkan memebrikan “energi’
baru baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Bersifat fisik
terkait dengan kebutuhan umur produk f yang secara
jasmaniah mampu menopang kerja-kerja fisik dalam
usahatani. Bersifat non fisik terkait dengan kemampuan
belajar untuk selanjutnya melakukan adopsi inovasi dalam
menjalankan usaha tani. Kemampuan belajar terus-
menerus dan penguasaan terhadap teknologi khususnya
dalam pemanfaatan teknologi informasi akan berdampak
posi f bagai peningkatan daya saing petani.
Regenerasiadalahpergan anSDMbaikdalammakna
sebagai pelaku pertanian maupun sebagai pergan an
paradigma berpikir tentang pertanian. Regenerasi adalah
pergan an pelaku usahatani yang memiliki kemampuan
memadai dalam menjalankan usahatani untuk merespon
dinamika lingkungan. Pergan an dan keberlanjutan
generasi dalam melanjutkan usahatani, bermakna
melanjutkan kon nyuitas proses produksi pertanian dan
menjaga kesinambungan ketersediaan pangan, serta
keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang. Dengan
potensi yang besar pada SDM pemuda, maka adanya
permasalahan usahatani di Indonesia amat mungkin
diatasi.
Pergan an paradigma berpikir adalah konsekuensi
logis yang diharapkan terbentuk bagi penggan pelaku
dalamusahatanidalammemandangusahatani.Pergan an
paradigma dalam hal ini termasuk cara memandang
usahatani, pemanfaatan teknologi, pemasaran hasil
pertanian, amupun pengorganisasian usahatani.
Perubahan paradigma diharapkan dapat memberikan
kekuatan baru bagi bangsa ini untuk menciptakan dan
menguatkan daya saing pertanian di kancah internasional.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|67
societal progress measurement is proved to be needed
in every country, including in Indonesia, in order to
support their citizens to achieve a prosperous life. In
informing policy design, the drivers of community’s well-
being can be clearly understood by using subjective
well-being measurement (Hicks, Tinkler, & Allin, 2013).
It is significantly required especially in the populations
which highly affected by domains of policy which have
a non-market consequence. Local government can
formulate policies according to the needs of the people
of their specific region if the sample of subjective well-
being measurement is able to provide data on a local
level as it is large enough. In policy appraisal, the role of
subjective well-being is substantial in making decisions
on which government spending would bring highest
increase in the subjective well-being in respect to their
cost (Fujiwara & Campbell, 2011).
What are the institutional arrangements
of subjective well-being measurements
in the UK and in Indonesia?
Some significant institutional arrangement
elements can be seen in Table-1.
Table-1. Institutional Arrangement Elements of Subjective
Well-being Measurements in the UK and in Indonesia
Elements the UK Indonesia
Actors Multi actors Single actor
Role of key
agents Clear, multi agents
Clear but limited to
one agent
Platforms
National Debate (online and
offline platforms) None
Networks
Intra-organizational and
inter-organizational (Advisory
Forum, Technical Group, the
Social Impact Task Force) Intra-organizational
Regulations
Terms of Reference: National
Debate, Advisory Forum, &
Technical Group None
Type of
measurements
Evaluative, experience, and
eudaimonic
Evaluative and
eudaimonic
Source: Analysis, 2013
As pointed out by Esti, Woltjer, and Hasanov
(2013), attention to institutional arrangement/design
is required, especially in evaluation activities. However,
it was observed that Indonesia has yet not been able
to incorporate several good practices or institutional
arrangement elements that are already present in the
UK. These elements are stated in Table 1 and include
the inter-organizational networks (advisory forum and
technical group), key agents and their specific roles (ONS
and Cabinet Office); platform (national debate) and
regulations that control the actors’ role and are highly
correlated with actors involvement. The key areas which
matter the most to the people can be identifies with the
help of the national debate. It is also able to make sure
that measurements being used by the statistical office are
relevant to the wider public rather than just being limited
to the government. The advisory forum and technical
group consist of policy makers, business leaders, and
a range of experts including from the OECD, Eurostat,
other government departments, think tanks, academics,
and related market research experts. They are required
to choose, identify and analyze the subjective well-being
measurement related issues along with presenting the
statistical office with recommendations to enhance the
situation (ONS, 2010). In addition, there is also the Social
Impacts Task Force which comprises of analysts from
across government and has been sharing subjective
well-being analysis results and approaches mainly in the
policy appraisal context (Fujiwara & Campbell, 2011).
All of the three types of subjective well-being
approach already being applied in the UK through several
surveys. However, most of them are vulnerable to small
sample sizes and it is not clear which have committed
to continue asking subjective well-being questions in
the future. Recognizing this limitations of existing data
on subjective well-being in the UK and in response to
Stiglitz recommendation, since 2011 the ONS made an
approach to reflect different aspects of subjective well-
being through the IHS and complemented by the OPN
as part of the Measuring National Well-being Program.
There are four overall monitoring questions that were
included in the IHS which using all of the three approach
(evaluative, experience, and eudaimonic approach).
The overall monitoring questions were asked each
month in the OPN as well. In addition, some additional
questions drawing from the evaluative or experience
or eudaimonic approach were asked in OPN monthly
survey (ONS, 2011).
66
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
(2012) who offered a concept of well-being based on
pleasure and pain; it also provided the background
of utilitarianism. In general, subjective well-being
measurement is carried out by simply asking people
about their well-being. As such, it bends more toward
democratic aspect of preference satisfaction, as it lets
people choose the level of well-being in their lives,
without anyone else deciding for them (Graham, 2010).
Encyclopedia of Quality of Life Research described
the subjective well-being as “The personal perception
and experience of positive and negative emotional
responses and global and specific cognitive evaluations
of satisfaction with life. Simply, subjective well-being
is the individual evaluation of quality of life (QOL)”
(Abdallah & Mahony, 2012). Similarly, the OECD
Guidelines explain subjective well-being as “all of the
various evaluations, positive and negative, that people
make of their lives and the affective reactions of people
to their experiences” (OECD, 2013). McGillivray (2007),
likewise, informs that “subjective well-being involves a
multidimensional evaluation of life, including cognitive
judgments of life satisfaction and affective evaluations of
emotions and moods.” Put simply, subjective well-being
can be taken as the way people comprehend their lives
to be going (Abdallah & Mahony, 2012).
Undoubtedly,theimportanceoftheneedtomeasure
subjective well-being cannot be denied. Subjective well-
being actually has a wide influence across a broad range
of behavioural traits and life outcomes, as indicated
by existing scientific evidence. The most preeminent
fact is that it is extremely significant that the economic
measurements of societal progress are balanced with
measurements of subjective well-being. The reason
behind this is to ensure that economic prosperity leads
to huge improvements across various domains of life,
and not just a wider economic capability. A call to ‘shift
emphasis from measuring economic production to
measuring people’s well-being’ was a central message
of the Stiglitz Commission report (Stiglitz et al., 2010).
Actually, the government can determine if the overall
net progress is positive regarding the improvement of
human well-being through the assessment of subjective
well-being along with economic variables (Helliwell et
al., 2013).
How can subjective well-being
measurement be a substantial input for
public policy?
Findings from literature review confirmed that
there are three major approaches, evaluative approach,
hedonic/experience approach, and eudaimonic approach
which facilitate subjective well-being measurement as
a useful input for public policy. There are three policy
contexts also present in this regard which are monitoring
progress, informing policy design, and policy appraisal
(Dolan, Layard, & Metcalfe, 2011). Evaluative approach
asks individuals to step back and reflect on their life and
make a cognitive assessment of how their life is going
overall, or on certain aspects of their life. Four major
types of evaluative approaches that focus on subjective
well-being in present-day practices are life satisfaction
& satisfaction scales, ladder of life approach, overall
happiness, and domain satisfaction. Hedonic/experience
approach seeks to measure people’s positive and
negative experiences over a short timeframe to capture
people’s well-being on a day-to-day basis through two
major approach, which are “experience sampling and day
reconstruction” and affect measurements. Eudaimonic
approach draws on self-determination theory and tends
to measure such things as people’s sense of meaning
and purpose in life, connections with family and friends, a
sense of control and whether they feel part of something
bigger than themselves. Three main types of this approach
are psychological/flourishing, capabilities approach, and
having, loving, being approach (Abdallah & Mahony,
2012).
Interview, questionnaire, and document
analysis confirmed as well that subjective well-being
measurement has potential roles for each policy context
used in the framework of the research. In monitoring
progress context, the role of subjective well-being
measurement is to complement rather than to replace
existing objective measurement of well-being. Subjective
well-being measurement should be done, published,
and placed alongside objective well-being measurement
in order to provide fuller picture of progress in a country.
Some policy-makers asserted that cross-regional
comparisons using subjective well-being measurement
will be important when they are related to evaluation
of regional development in Indonesia. A comprehensive
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|31
Regenerasi menjadi kebutuhan untuk memfasilitasi
produk vitas SDM pelaku usahatani. SDM usahatani
yang dak memiliki daya saing atau kompetensi dalam
mengupayakan usahatani dan agribisnis pada hakekatnya
adalah ancaman seja terhadap kedaulatan pangan. Perlu
upaya serius dalam menata dan membuat roadmaph
regenerasi SDM petani dan kemampuan memproduksi
pangan. Kedaulatan pangan menjadi terminology final
untuk memberdayakan Indonesia sebagai bangsa. Kondisi
tersebut memberikan alasan logis keperluan regenerasi
pertanian. Regenerasi pelaku usaha tani adalah
keberlanjutan usahatani untuk menyediakan pangan bagi
bangsa. Bangsa yang dak dapat menyediakan pangan,
adalah bangsa yang lemah. Regenerasi menjadi kewajiban
bersama untuk merespon kondisi kebutuhan pangan
dalam negeri, dan merespon persaingan di lingkungan
global.
Mewujudkan upaya regenerasi yang tepat,
menjadi keharusan semua pihak. Pihak-pihak dimaksud
adalah pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Ke ga
komponen bangsa ini seharusnya melakukan upaya
sistema s untuk memfasilitasi terintegrasinya rencana,
implementasi, dan evaluasi dalam memberdayakan SDM
pertanian khususnya pola regenerasi yang dikembangkan.
Kebutuhan mendesak terhadap regenerasi, kebutuhan
terhadap peningkatan kompetensi petani berikutnya
seharusnya sudah menjadi salahsatu blueprint yang
diketahui oleh semua pihak atau komponen bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas, 2009. Grand Strategi Keamanan Nasional. Bppenas, Jakarta.
BPS. 2003a. Sta s k Pemuda Indonesia 2003. BPS, Jakarta
____. 2003b. Sensus Pertanian 2003 Angka Nasional hasil Penda aran Rumah Tangga (Angka Sementara). BPS,
Jakarta.
____. 2003c. Sensus Pertanian 2003 Hasil Penda aran Rumah Tangga Propinsi Jawa Timur. BPS, Jakarta.
Luckey, AN., TP. Murphrey, RL. Cummins. 2013. Assessing Youth Percep ons and Knowledge of Agriculture: The
Impact of Par cipa ng in an AgVenture Program. Journal of Exten on (JoE). Volume 51, Number 3: 2. Diakses pada 2
Maret 2014) dari www.joe.org
Milburn, LS., SJ. Mulley, and C. Kline, 2010. The End of the Beginning and the Beginning of the End: The Decline
of Public Agricultural Extension in Ontario. Journal of Exten on (JoE). Volume 48, Number 6: 5-6. (Diakses pada 2 Maret
2014) dari www.joe.org
Muksin. 2007. Kompetensi Pemuda Tani yang Perlu dikembangkan di Jawa Timur. IPB, Bogor, Hal 154-161.
.2014. Implikasi Minat Dan Kompetensi Agribisnis Pemuda Pedesaan Terhadap Kedaulatan Pangan.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014.
Rosset P., 2011. Food Sovereignty and Alterna ve Paradigms to Confront Land Grabbing and the Food and Climate
Crises. Development. Volume 54, Number 1: 21-30. (Diakses pada 7 Maret 2014) dari www.search.proquest.com
Suswono. 2014. Kebijakan Pembangunan Pertanian Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Energi dalam
Menyongsong Era Asia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014
Wibowo, R., 2014. Masalah Tantangan Indonesia dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan. Seminar Nasional
Ketahanan Pangan (15 Maret 2014). Polije, Jember, Hal 5-6.

More Related Content

What's hot

Faktor yang Mempengaruhi Penyuluhan Pertanian
Faktor yang Mempengaruhi Penyuluhan PertanianFaktor yang Mempengaruhi Penyuluhan Pertanian
Faktor yang Mempengaruhi Penyuluhan PertanianEva Rosita
 
Pembangunan ekonomi daerah
Pembangunan ekonomi daerahPembangunan ekonomi daerah
Pembangunan ekonomi daerahLutfiyah Siti
 
DARI KEUNGGULAN DAYA SAING MENJADI KEUNGGULAN KOLABORATIF 29-30 MARET 2022.pdf
DARI KEUNGGULAN DAYA SAING MENJADI KEUNGGULAN KOLABORATIF 29-30 MARET 2022.pdfDARI KEUNGGULAN DAYA SAING MENJADI KEUNGGULAN KOLABORATIF 29-30 MARET 2022.pdf
DARI KEUNGGULAN DAYA SAING MENJADI KEUNGGULAN KOLABORATIF 29-30 MARET 2022.pdfSugeng Budiharsono
 
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani KemiskinanKebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani KemiskinanRandy Chamzah
 
Klasifikasi Usahatani
Klasifikasi UsahataniKlasifikasi Usahatani
Klasifikasi UsahataniJoel mabes
 
Sistem perekonomian indonesia ( 4 )
Sistem perekonomian indonesia ( 4 )Sistem perekonomian indonesia ( 4 )
Sistem perekonomian indonesia ( 4 )erlina risnandari
 
Pembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi LokalPembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi LokalSri Wahyuni
 
konsep region dan aplikasi regionalisasi
konsep region dan aplikasi regionalisasikonsep region dan aplikasi regionalisasi
konsep region dan aplikasi regionalisasiagungkunaedi
 
Sistem Mata Pencaharian
Sistem Mata PencaharianSistem Mata Pencaharian
Sistem Mata PencaharianErna Mariana
 
Pertanian Organik (Organic Agriculture)
Pertanian Organik (Organic Agriculture)Pertanian Organik (Organic Agriculture)
Pertanian Organik (Organic Agriculture)Nestri Yuniardi
 
Ekonomi pertanian prof ir. masyuri 67 hal
Ekonomi pertanian prof ir. masyuri 67 halEkonomi pertanian prof ir. masyuri 67 hal
Ekonomi pertanian prof ir. masyuri 67 halAchmad Ridha
 
Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi Lokal
Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi LokalModel Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi Lokal
Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi LokalDadang Solihin
 
Makalah permasalahan dan strategi pengembangan sektor pertanian
Makalah permasalahan dan strategi pengembangan sektor pertanianMakalah permasalahan dan strategi pengembangan sektor pertanian
Makalah permasalahan dan strategi pengembangan sektor pertanianOpissen Yudisyus
 
Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan (Perekonomian Indonesia BAB 9)
Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan (Perekonomian Indonesia BAB 9)Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan (Perekonomian Indonesia BAB 9)
Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan (Perekonomian Indonesia BAB 9)Bagus Cahyo Jaya Pratama Pratama
 
Agrowisata.pptx
Agrowisata.pptxAgrowisata.pptx
Agrowisata.pptxNewAvc
 
Pemasaran hasil pertanian
Pemasaran hasil pertanianPemasaran hasil pertanian
Pemasaran hasil pertanianGuntur Raharjo
 

What's hot (20)

Faktor yang Mempengaruhi Penyuluhan Pertanian
Faktor yang Mempengaruhi Penyuluhan PertanianFaktor yang Mempengaruhi Penyuluhan Pertanian
Faktor yang Mempengaruhi Penyuluhan Pertanian
 
Pembangunan ekonomi daerah
Pembangunan ekonomi daerahPembangunan ekonomi daerah
Pembangunan ekonomi daerah
 
DARI KEUNGGULAN DAYA SAING MENJADI KEUNGGULAN KOLABORATIF 29-30 MARET 2022.pdf
DARI KEUNGGULAN DAYA SAING MENJADI KEUNGGULAN KOLABORATIF 29-30 MARET 2022.pdfDARI KEUNGGULAN DAYA SAING MENJADI KEUNGGULAN KOLABORATIF 29-30 MARET 2022.pdf
DARI KEUNGGULAN DAYA SAING MENJADI KEUNGGULAN KOLABORATIF 29-30 MARET 2022.pdf
 
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani KemiskinanKebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
 
Klasifikasi Usahatani
Klasifikasi UsahataniKlasifikasi Usahatani
Klasifikasi Usahatani
 
Sistem perekonomian indonesia ( 4 )
Sistem perekonomian indonesia ( 4 )Sistem perekonomian indonesia ( 4 )
Sistem perekonomian indonesia ( 4 )
 
Agus ppt
Agus pptAgus ppt
Agus ppt
 
Pembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi LokalPembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi Lokal
 
ketahanan pangan
ketahanan panganketahanan pangan
ketahanan pangan
 
konsep dasar ekonomi pertanian
konsep dasar ekonomi pertanian konsep dasar ekonomi pertanian
konsep dasar ekonomi pertanian
 
konsep region dan aplikasi regionalisasi
konsep region dan aplikasi regionalisasikonsep region dan aplikasi regionalisasi
konsep region dan aplikasi regionalisasi
 
Sistem Mata Pencaharian
Sistem Mata PencaharianSistem Mata Pencaharian
Sistem Mata Pencaharian
 
Pertanian Organik (Organic Agriculture)
Pertanian Organik (Organic Agriculture)Pertanian Organik (Organic Agriculture)
Pertanian Organik (Organic Agriculture)
 
Ekonomi pertanian prof ir. masyuri 67 hal
Ekonomi pertanian prof ir. masyuri 67 halEkonomi pertanian prof ir. masyuri 67 hal
Ekonomi pertanian prof ir. masyuri 67 hal
 
Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi Lokal
Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi LokalModel Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi Lokal
Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi Lokal
 
Panduan analisis anggaran indonesia
Panduan analisis anggaran indonesiaPanduan analisis anggaran indonesia
Panduan analisis anggaran indonesia
 
Makalah permasalahan dan strategi pengembangan sektor pertanian
Makalah permasalahan dan strategi pengembangan sektor pertanianMakalah permasalahan dan strategi pengembangan sektor pertanian
Makalah permasalahan dan strategi pengembangan sektor pertanian
 
Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan (Perekonomian Indonesia BAB 9)
Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan (Perekonomian Indonesia BAB 9)Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan (Perekonomian Indonesia BAB 9)
Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan (Perekonomian Indonesia BAB 9)
 
Agrowisata.pptx
Agrowisata.pptxAgrowisata.pptx
Agrowisata.pptx
 
Pemasaran hasil pertanian
Pemasaran hasil pertanianPemasaran hasil pertanian
Pemasaran hasil pertanian
 

Viewers also liked

Sosiologi 1 menyelami fenomena sosial di masyarakat
Sosiologi 1 menyelami fenomena sosial di masyarakatSosiologi 1 menyelami fenomena sosial di masyarakat
Sosiologi 1 menyelami fenomena sosial di masyarakatTrisna Nurdiaman
 
Presentasi ontologi
Presentasi ontologiPresentasi ontologi
Presentasi ontologiIbnu Fajar
 
Kajian SDGs dan RPJMN Kesehatan
Kajian SDGs dan RPJMN KesehatanKajian SDGs dan RPJMN Kesehatan
Kajian SDGs dan RPJMN KesehatanTrisna Nurdiaman
 
Ppt. filsafat ontologi
Ppt. filsafat ontologiPpt. filsafat ontologi
Ppt. filsafat ontologipipit1992
 
Filsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : OntologiFilsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : OntologiHosyatul Aliyah
 

Viewers also liked (7)

Sosiologi 1 menyelami fenomena sosial di masyarakat
Sosiologi 1 menyelami fenomena sosial di masyarakatSosiologi 1 menyelami fenomena sosial di masyarakat
Sosiologi 1 menyelami fenomena sosial di masyarakat
 
Presentasi ontologi
Presentasi ontologiPresentasi ontologi
Presentasi ontologi
 
Kajian SDGs dan RPJMN Kesehatan
Kajian SDGs dan RPJMN KesehatanKajian SDGs dan RPJMN Kesehatan
Kajian SDGs dan RPJMN Kesehatan
 
Ppt. filsafat ontologi
Ppt. filsafat ontologiPpt. filsafat ontologi
Ppt. filsafat ontologi
 
Filsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : OntologiFilsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : Ontologi
 
Filsafat ilmu [full pos]
Filsafat ilmu [full   pos]Filsafat ilmu [full   pos]
Filsafat ilmu [full pos]
 
Presentasi filsafat ilmu
Presentasi filsafat ilmuPresentasi filsafat ilmu
Presentasi filsafat ilmu
 

Similar to AGRO INDUSTRI

Perspektif Agribisnis
Perspektif AgribisnisPerspektif Agribisnis
Perspektif AgribisnisBBPP_Batu
 
Perspektif Agribisnis
Perspektif AgribisnisPerspektif Agribisnis
Perspektif Agribisniskodok666
 
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesiaMakalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesiaOperator Warnet Vast Raha
 
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesiaMakalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesiaOperator Warnet Vast Raha
 
Sustainable Agriculture Project Proposal XL by Slidesgo.pptx
Sustainable Agriculture Project Proposal XL by Slidesgo.pptxSustainable Agriculture Project Proposal XL by Slidesgo.pptx
Sustainable Agriculture Project Proposal XL by Slidesgo.pptxclara99sihombing
 
strategi akselerasi transformasi pertanian
strategi akselerasi transformasi pertanianstrategi akselerasi transformasi pertanian
strategi akselerasi transformasi pertanianArismansyah Aris
 
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...Bondan the Planter of Palm Oil
 
Peran sektor Pertanian
Peran sektor PertanianPeran sektor Pertanian
Peran sektor PertanianEem Masitoh
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanWarnet Raha
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanWarnet Raha
 
fungsi koprasi cara membuat koprasi
fungsi koprasi cara membuat koprasifungsi koprasi cara membuat koprasi
fungsi koprasi cara membuat koprasizahid_muhamad31
 
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)Lia Kristiana
 
Pengembangan usaha agribisnis beras
Pengembangan usaha agribisnis beras Pengembangan usaha agribisnis beras
Pengembangan usaha agribisnis beras NaaRonaa
 
Pengembangan usaha agribisnis beras Dian Dwi wijaksana
Pengembangan usaha agribisnis beras  Dian Dwi wijaksana Pengembangan usaha agribisnis beras  Dian Dwi wijaksana
Pengembangan usaha agribisnis beras Dian Dwi wijaksana DiandwiwWijaksana
 
Makalah hukpol agraria ketahanan pangan
Makalah hukpol agraria ketahanan panganMakalah hukpol agraria ketahanan pangan
Makalah hukpol agraria ketahanan pangandianaeureka1
 

Similar to AGRO INDUSTRI (20)

Perspektif Agribisnis
Perspektif AgribisnisPerspektif Agribisnis
Perspektif Agribisnis
 
Utfmipa2016 09-adhi
Utfmipa2016 09-adhiUtfmipa2016 09-adhi
Utfmipa2016 09-adhi
 
Perspektif Agribisnis
Perspektif AgribisnisPerspektif Agribisnis
Perspektif Agribisnis
 
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesiaMakalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
 
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesiaMakalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
Makalah peranan pemerintahan sby terhadap pertanian indonesia
 
Sustainable Agriculture Project Proposal XL by Slidesgo.pptx
Sustainable Agriculture Project Proposal XL by Slidesgo.pptxSustainable Agriculture Project Proposal XL by Slidesgo.pptx
Sustainable Agriculture Project Proposal XL by Slidesgo.pptx
 
5 - PPT Review artikel MSDM.pptx
5 - PPT Review artikel MSDM.pptx5 - PPT Review artikel MSDM.pptx
5 - PPT Review artikel MSDM.pptx
 
Makalah_51 Makalah ii
Makalah_51 Makalah iiMakalah_51 Makalah ii
Makalah_51 Makalah ii
 
strategi akselerasi transformasi pertanian
strategi akselerasi transformasi pertanianstrategi akselerasi transformasi pertanian
strategi akselerasi transformasi pertanian
 
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
 
Peran sektor Pertanian
Peran sektor PertanianPeran sektor Pertanian
Peran sektor Pertanian
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
 
fungsi koprasi cara membuat koprasi
fungsi koprasi cara membuat koprasifungsi koprasi cara membuat koprasi
fungsi koprasi cara membuat koprasi
 
143
143143
143
 
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
 
Pengembangan usaha agribisnis beras
Pengembangan usaha agribisnis beras Pengembangan usaha agribisnis beras
Pengembangan usaha agribisnis beras
 
Pengembangan usaha agribisnis beras Dian Dwi wijaksana
Pengembangan usaha agribisnis beras  Dian Dwi wijaksana Pengembangan usaha agribisnis beras  Dian Dwi wijaksana
Pengembangan usaha agribisnis beras Dian Dwi wijaksana
 
11816-24749-1-PB.pdf
11816-24749-1-PB.pdf11816-24749-1-PB.pdf
11816-24749-1-PB.pdf
 
Makalah hukpol agraria ketahanan pangan
Makalah hukpol agraria ketahanan panganMakalah hukpol agraria ketahanan pangan
Makalah hukpol agraria ketahanan pangan
 

More from Trisna Nurdiaman

kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_optkajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_optTrisna Nurdiaman
 
Penerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologi
Penerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologiPenerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologi
Penerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologiTrisna Nurdiaman
 
Transformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industri
Transformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industriTransformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industri
Transformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industriTrisna Nurdiaman
 
Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...
Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...
Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...Trisna Nurdiaman
 
POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...
POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI  BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI  BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...
POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...Trisna Nurdiaman
 
Sustainable Development Goals (SDGs)
Sustainable Development Goals (SDGs)Sustainable Development Goals (SDGs)
Sustainable Development Goals (SDGs)Trisna Nurdiaman
 
The elementary-forms-of-the-religious-life
The elementary-forms-of-the-religious-lifeThe elementary-forms-of-the-religious-life
The elementary-forms-of-the-religious-lifeTrisna Nurdiaman
 
Meadows - The Growth to The Limit
Meadows - The Growth to The Limit Meadows - The Growth to The Limit
Meadows - The Growth to The Limit Trisna Nurdiaman
 
Pemikiran pilitik islam indonesia
Pemikiran pilitik islam indonesiaPemikiran pilitik islam indonesia
Pemikiran pilitik islam indonesiaTrisna Nurdiaman
 
Teori sosiologi kependudukan
Teori sosiologi kependudukanTeori sosiologi kependudukan
Teori sosiologi kependudukanTrisna Nurdiaman
 
Teori struktural fungsional - Talcot Parsons
Teori struktural fungsional - Talcot ParsonsTeori struktural fungsional - Talcot Parsons
Teori struktural fungsional - Talcot ParsonsTrisna Nurdiaman
 
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Perkembangan Masyarakat Industri IndonesiaPerkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Perkembangan Masyarakat Industri IndonesiaTrisna Nurdiaman
 
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Perkembangan Masyarakat Industri IndonesiaPerkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Perkembangan Masyarakat Industri IndonesiaTrisna Nurdiaman
 
Kapital buku iii karl marx [pos]
Kapital buku iii   karl marx [pos]Kapital buku iii   karl marx [pos]
Kapital buku iii karl marx [pos]Trisna Nurdiaman
 

More from Trisna Nurdiaman (20)

kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_optkajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
 
20171023 pengumuman
20171023 pengumuman20171023 pengumuman
20171023 pengumuman
 
(Aya) bin
(Aya) bin(Aya) bin
(Aya) bin
 
Penerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologi
Penerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologiPenerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologi
Penerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologi
 
Pernikahan dalam Islam
Pernikahan dalam IslamPernikahan dalam Islam
Pernikahan dalam Islam
 
Transformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industri
Transformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industriTransformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industri
Transformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industri
 
Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...
Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...
Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...
 
POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...
POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI  BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI  BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...
POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...
 
Sustainable Development Goals (SDGs)
Sustainable Development Goals (SDGs)Sustainable Development Goals (SDGs)
Sustainable Development Goals (SDGs)
 
The elementary-forms-of-the-religious-life
The elementary-forms-of-the-religious-lifeThe elementary-forms-of-the-religious-life
The elementary-forms-of-the-religious-life
 
Meadows - The Growth to The Limit
Meadows - The Growth to The Limit Meadows - The Growth to The Limit
Meadows - The Growth to The Limit
 
Pemikiran pilitik islam indonesia
Pemikiran pilitik islam indonesiaPemikiran pilitik islam indonesia
Pemikiran pilitik islam indonesia
 
Teori sosiologi kependudukan
Teori sosiologi kependudukanTeori sosiologi kependudukan
Teori sosiologi kependudukan
 
Teori struktural fungsional - Talcot Parsons
Teori struktural fungsional - Talcot ParsonsTeori struktural fungsional - Talcot Parsons
Teori struktural fungsional - Talcot Parsons
 
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Perkembangan Masyarakat Industri IndonesiaPerkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
 
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Perkembangan Masyarakat Industri IndonesiaPerkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
 
Kapital buku iii karl marx [pos]
Kapital buku iii   karl marx [pos]Kapital buku iii   karl marx [pos]
Kapital buku iii karl marx [pos]
 
430 ekonomi 1
430 ekonomi 1430 ekonomi 1
430 ekonomi 1
 
430 sejarah 3
430 sejarah 3430 sejarah 3
430 sejarah 3
 
430 sejarah 2 ips
430 sejarah 2 ips430 sejarah 2 ips
430 sejarah 2 ips
 

AGRO INDUSTRI

  • 1. 72 |EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 Abstract The interest of clustering has been rising among policy makers. It is believed that industrial cluster has potential to generate employment as means for poverty reduction strategy, decrease cost of production, access inputs of production easily, disseminate new knowledge quicker, and also attract more supplier and customers. Besides that, cluster firms are more resilient than large firms in periods of economic fluctuation. Schmitz and Nadvi (1994) emphasize that industrial cluster would be more relevant in the early stage of industry and is also important in developing countries context. However, industrial clusters are often facing challenges such as global competitiveness, labour exploitation and environmental problems. The application of the industrial cluster concept is different in each case study. The research shows that agro industrial cluster operations employ local and related family labour and they have limited access to formal financial institutions. On the other hand, upgrading is not a pre-requisite to enter the global market since the agro industry is a market-driven industry where the global market has its preferences for certain commodities. Improving local economic development in this particular industry depends on the actors’ interactions within the value chain. Sustainability and competitiveness for development of the local economy depend on the motivation of farmers to develop the industry. In conclusion, agro industrial clusters have the potential to improve the local economy. However, weaknesses of the industry could outweigh this potential, thus limiting local economic development and hindering sustainability of the industry. THE POTENTIAL OF AGRO INDUSTRIAL CLUSTER AS A MEANS TO DEVELOP THE LOCAL ECONOMY IN INDONESIA (Case Study: Cocoa Industry Clusters in South Sulawesi Province) Ika Retna Wulandary, ST., M.Sc. INTRODUCTION Policy makers have turned their attention to industrial clusters as an economic policy tool for increasing industrial growth and competitiveness, and also economic development. Industrial clusters could also help poverty reduction because they generate jobs and income for the poor. Improving access to markets EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 |25 ABSTRAK Keberlanjutan pertanian dalam rangka menghasilkan pangan akan banyak dipengaruhi oleh SDM pertanian. SDM pertanian dalam hal ini adalah petani petani akan menggerakkan sejauh apa produk vitas pertanian dalam meneghasilkanpangan.SecarafaktualIndonesiabanyakmembutuhkansuplaidariNegaralainuntukmemenuhikecukupan pangan. Apabila kondisi tersebut berlanjut maka keinginan untuk mencapai kedaulatan pangan tentu jauh dari harapan. Kesenjangan-kesenjangan tersebut memberikan arah dan tujuan dari kajian yaitu: (a) menguraikan kondisi tantangan global terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b) menguraikan karakteris k SDM pertanian saat ini, dan (c) menganalisis implikasi karakteris k SDM terhadap Kedaulatan pangan. Metode kajian menggunakan studi pustaka dengan pemaknaan terhadap data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (i) kompleksitas tantangan global memberikan indikasi Indonesia perlu meningkatkan ketersediaan pangan, (ii), karakteris k SDM pertaniaan saat ini memiliki kualifikasi daya saing yang rendah dan (iii) diperlukan upaya sistema s dalam memfasilitasi regenarasi SDM pertanian dalam menyongsong era persaingan pasar bebas. Kata Kunci: Regenerasi, SDM Pertanian, dan Kedaulatan Pangan PENDAHULUAN Pertanian adalah salah satu sektor vital dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pertanin juga memiliki peran strategis bagi kehidupan bangsa. Kondisi yang vital dan dan strategis ini secara keseluruhan dak dapat digan kan oleh sector lainnya. Pertanian adalah penyedia pangan bagi penduduk Indonesia. Pertanian adalah pabrik alami yang menghasilkan produk-produk pangan yang amat dibutuhkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Sebagai penyedia pangan, maka pertanian memiliki peran yang tak tergan ka oleh sector lainnya. URGENSI REGENERASI SDM PERTANIAN DALAM UPAYA MENCAPAI KEDAULATAN PANGAN Muksin Bustang A.M. Politeknik Negeri Jember Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Pertanian juga merupakan penyedia mayoritas dari bahan baku industri kecil dan menengah. Sekitar 87% bahan baku dari industry kecil dan menengah adalah berbasis dari proses pertanian. Pertanian dengan demikian memberikan potensi bagi dinamika perekonomian bangsa. Relevan dengan kondisi tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Kementerian Pertanian (2014) bahwa pertanian memberikan sumbangan sekitar 14,72% terhadapPDB.Prosesdandinamikapertanianjugamampu menghasilkan US $ 43,37 M devisa Negara. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa sector pertanian memiliki peran signifikan dalam perekonomian nasional.
  • 2. 26 |EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 Apabila dilihat dari perspek f kepen ngannya pada jumlah tenaga kerja, maka pertanian menyerap sekiar 33,32% total tenaga kerja. Kondisi lainnya adalah bahwa pada rumah tangga pedesaan bergantung sekitar 70% dari sector pertanian sebagai sumber utama pendapatan. Dalam konteks ketenagakerjaan, maka pertanian memiliki peran vital dalam menutup lubang pengangguran terbuka yang semakin besar. Kondisi tersebut memberikan klarifikasi bahwa pertanian menjadi factor penutup bagi potensi pengangguran yang besar. Terdapat fakta bahwa pertanian adalah suatu keniscayaan bagi keberlanjutan kehidupan manusia, dalam konteks penyediaan pangan (Luckey, et al: 2013) Sisi lain dari pertanian adalah sektor ini memiliki peran yang dak ringan dari upaya mencegah atau menyelesaikan masalah lingkungan. Sebagai “organisasi” yang bersandar dari proses alamiah, maka pertanian memiliki peran dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 8 juta ton (Kementerian pertanian, 2014). Peran terhadap upaya menjaga kelestarian amat vital di tengah semakin meningkatnya persoalan-persoalan lingkungan dewasa ini. Peran strategis pertanian memberikan sinyal bahwa peran-peran pen ng tersebut dak dapat digan kan oleh sector lainnya. Ketetapan peran-peran strategis tersebut, tentu dapat diupayakan apabila kondisi atau factor-faktor penyokong tersebut antara lain adalah SDM pertanian sebagai kelompok pengelola dari “organisasi” pertanian. Peran strategis juga secara linear akan berdampak terhadap kemampuan menerjemahkan tantangan- tantangan dari luar. Tantangan dari luar dalam hal ini adalah lingkungan global yang memberikan potensi untuk memperbesar peran pertanian dalam mensejahterakan bangsa ataukah sebaliknya. Ar nya peran pertanian yang lemah tentu akan memberikan dampak yang kurang menguntungkan pada kondisi ketersediaan pangan bangsa dan juga implikasi ketergantungan terhadap Negara lainnya. Isu-isu terkait pangan pada masa depan akan menjadi isu pen ng dan masuk dalam ranah atau kawasan yang berpotensi menjadi sumber konflik. Kondisi ini didasarkan pada fakta bahwa ketersediaan pangan dan jumlah kebutuhan terhadap pangan daklah sebanding. Dalam konteks ketersediaan pangan aspek- aspek terhadap kemampuan produksi dianggap lemah, sedangkan kebutuhan pasokan atau permintaan dari waktu ke waktu terus meningkat. Beberapa kondisi yang kurang menguntungkan memberikan kontribusi signifikan dalam konteks kemampuan produksi pertanian. Semakin mengecilnya lahan pertanian, konversi lahan pertanian yang terus berlanjut, kerusakan lingkungan, dan mutu kelembagaan petani yang dinilai rendah adalah kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan tersebut. Bila terus berlanjut kondisi ini tentu berdampak nega ve terhadap kemampuan produksi dalam negeri sekaligus menurunnya daya saing. Daya saing yang lemah tentu akan merugikan Indonesia mengingat pasar terpadu ASEAN sudah di depan mata. Sebagaiman kita kitehui bahwa implementasi The ASEAN Economic Community (AEC) akan berlaku pada tahun 2015. Integrasi pasar dan pintu masuk pasar global yang dak dian sipasi, tentu akan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satu faktor pen ng bagi upaya melakukan proses produksi yang tepat, adalah dengan menyiapkan SDMyangmemenuhistandarkebutuhansectorpertanian. SDM yang tepat yang dibutuhkan adalah sesuai dengan kebutuhan dalam rangka memenuhi upaya-upaya yan dapat dilakukan dalam memenuhi ekspektasi daya saing yang tepat. Dalam konteks ini para pelaku atau SDM yang tepat sangat diharapkan dapat melaksanakan kegiatan pertanian yang sesuai. SDM pertanian yang tangguh, akan memberikan peran yang sesuai dengan kondisi persaiangan saat ini. SDM yang memliki kompetensi tentu memberikan kontribusi pada kemajuan usaha tani. Kesiapan, kualifikasi dan kompetensi yang memadai sebagai SDM usahatani akan berontribusi dalam produk vitas, daya adaptasi dan keberlanjutan usahatani. Apabila kondisi atau situasi peran SDM pertanian dapat diselenggarakan, maka berdampak pada signifikan dalam memfasilitasi upaya mewujudkan kedaulatan pangan. EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 |71 REFERENCES Abdallah, S., & Mahony, S. (2012). Stock-taking of Subjective Well-Being Retrieved from http://www. eframeproject.eu/fileadmin/Deliverables/Deliverable2.1.pdf Bertrand, M., & Mullainathan, S. (2001). Do People Mean What They Say? Implications for Subjective Survey Data. American Economic Review, 91(2), 67-72. Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia. (2012). Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR). Jakarta: Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia. Dolan, P., Layard, R., & Metcalfe, R. (2011). Measuring Subjective Wellbeing for Public Policy Retrieved from http:// eprints.lse.ac.uk/35420/1/measuring-subjective-wellbeing-for-public-policy.pdf Dolan, P., & Metcalfe, R. (2012). Measuring Subjective Wellbeing: Recommendations on Measures for Use by National Governments. Journal of Social Policy, 41(02), 409-427. Esti, D. R. S. (2013). Subjective Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia. Master, University of Groningen, Groningen. Esti, D. R. S., Woltjer, J., & Hasanov, M. (2013). Evaluation in Integrated Land-Use Management: Towards an Area- Oriented and Place-Based Evaluation for Infrastructure and Spatial Projects. [Workshop Report]. Town Planning Review, 84(5), 671-677. doi: 10.3828/tpr.2013.34 Fujiwara, D., & Campbell, R. (2011). Valuation Techniques for Social Cost-Benefit Analysis: Stated Preference, Revealed Preference and Subjective Well-being Approaches. A Discussion of the Current Issues. London: HM Treasury and DWP. Graham, C. (2010). The Challenges of Incorporating Empowerment into the HDI: Some Lessons from Happiness Economics and Quality of Life Research. Paper presented at the Human Development Research Paper 2010/13. Helliwell, J., Layard, R., & Sachs, J. (2013). World Happiness Report 2013. New York: UN Sustainable Development Solutions Network. Hicks, S., Tinkler, L., & Allin, P. (2013). Measuring Subjective Well-being and its Potential Role in Policy: Perspective from the UK Office for National Statisticcs. Social Indicators Research, 114(1), 73-86. Khakee, A. (2002). Assessing Institutional Capital Building in a Local Agenda 21 Process in Go¨teborg. Planning Theory & Practice, 3(1), 53-68. McGillivray, M. (2007). Human Well-being: Issues, Concepts and Measures. Houndmills, New Hampshire, USA: Palgrave Macmillan. OECD. (2013). OECD Guidelines on Measuring Subjective Well-being Retrieved from http://dx.doi. org/10.1787/9789264191655-en ONS. (2010). Measuring Subjective Wellbeing in the UK S. Waldron (Ed.) Retrieved from http://www.ons.gov.uk/ ons/guide-method/user-guidance/well-being/publications/measuring-subjective-well-being-in-the-uk.pdf ONS. (2011). Initial investigation into Subjective Wellbeing from the Opinions Survey Retrieved from http://www. ons.gov.uk/ons/dcp171776_244488.pdf Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J.-P. (2010). Mismeasuring Our Lives: Why GDP Doesn’t Add Up. New York: New Press. Thompson, S., & Marks, N. (2008). Measuring well-being in policy: issues and applications Retrieved from http:// dnwssx4l7gl7s.cloudfront.net/nefoundation/default/page/-/files/Measuring_well-being_in_policy.pdf
  • 3. 70 |EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 20147070707070707707070707070707070707070707070707070707070707070707077070707070707770707077077707070707070707070770707070770707077707077070707007707070700707070070700707077070707000770770770707007770077777777707777000000770070 EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDIDDIDDDDIDIDIDIDIDIDIDDDDDDIDDDIDIDIDIDIDIIDIDIDIDDIIIIDDIDDIDDDDIDDDIDDDIDDDDDIIDIDDDDDIDDIDDDDDIIDIIDDIIIDD SISISISISISISISISSISSSSISSISSISSISISISSSSISSSSSSSSISISISSSIIIISISSSISISSSISIS 0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111 •••••••••••••••••••••••••••••••••••• TATATATATATATATATATATATATATATATATATATAAATATATATTATATATATTTATTATATTTTAAAATTATAAT HUHUHUHUHUHUHUHUHUHHUHUHUHUHUHUHHUHUHHHHHUHUHHHHHHUHUHHHHHHUHHHHHUH NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX ••••••••••••••••• MMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMEIEIEIEIEIEIEIEEIEIEIEIEIEEIIEIEIEIEEEEIEIIIEEEE 222222222222222222222222222222201010101010101010101010100101001010100100010144444444444444444444444444444 Specifically to enhance the institutional capital level for informing policy design, the involvement of technical ministries in Indonesia is required. As practiced in the UK, various UK government departments even included targets in their Public Service Agreements (PSA) that could benefit from subjective well-being data. Therefore, the statistical office is informed by emerging policy requirements and policy makers are informed or aware of the subjective well-being data. In addition, specifically for policy appraisal context, some customized subjective well-being measurements by related departments or ministries or research centres or any other concerned stakeholders are needed while keeping within the overall agreed framework, which absolutely depends on the scope of the appraised policy. Some further steps recommendation for Indonesian context are as follows: o SPTK 2013 results is published by the Central Statistics Agency and shared to the concerned stakeholders, especially BAPPENAS, the Coordinating Ministry of People’s Welfare, and other technical ministries in Indonesia o Together with BAPPENAS and the Coordinating Ministry of People’s Welfare, the Central Statistics Agency establish an advisory forum and technical group o The advisory forum invite academics and research centers such as SEMERU and Lembaga Demografi UI to join and discuss subjective well-being measurements framework in Indonesia o The advisory forum publish subjective well- being measurements framework in Indonesia and guidance for using subjective well-being measurement o The advisory forum with wider stakeholders, key user stakeholders such as technical ministries or departments in Indonesia, discuss further the potential use of subjective well-being measurement and “need assessment” of this measurement from the key user stakeholders o The technical group conduct public consultations as practiced in the IKraR development to diffuse and develop the knowledge on subjective well- being measurement in Indonesia o The advisory forum discuss the improvement of subjective well-being indicators for the next survey. 70 |EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 |27 Berdasarkan latar belakang tersebut maka menilai kembali bagaimana SDM pertanian dan peran yang dapat dimainkan adalah upaya vital yang sangat secara potensial dan actual akan memberikan jawaban terhadap persoalan-persolan pertanian, produksi, maupun daya saing serta kedaulatan pangan. Kedaulantan pangan telah menjadi suatu tahapan sangat vital dalam keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berfokus pada pemikiran tersebut maka tujuan dari penulisan ar kel ini adalah: (a) menguraikan kondisi tantangan global terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b) menguraikan karakteris k SDM pertanian saat ini, dan (c) menganalisis implikasi karakteris k SDM terhadap Kedaulatan pangan. METODE PENELITIAN Metode pengkajian terhadap relevansi regenerasi SDM untuk pencapaian kedaulatan pangan menggunakan penelusuran pustaka (studi pustaka) khususnya yang terkait dengan SDM pertanian terkini. Penelusuran sumber pustaka memanfaatkan hasil peneli an terdahulu baik dari publikasi on line maupun referensi dalam bentuk buku, berkala maupun sumber ilmiah lainnya. Kajian terhadap hasil peneli an diharapkan dapat memberikan informasi terkini yang relevan dengan kondidi SDM petani. Untuk menghasilkan analisis yang relevan, maka pengamatan terhadap data utama dilakukan terhadap hasil data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Sta s (BPS) dan data bersumber dari peneli an lainnya atau peneli an terdahulu. Peneli an terdahulu yang dimaksud adalah peneli an yang dilakukan oleh peneli maupun karya peneli lainnya. Peneli berupaya unutk melakukan proses pembandingan terhadap data dari hasil penelusuran pustaka, dan melakukan analisi untuk keperluan menjawab pertanyaan peneli an. Selanjutnya dari hasil komparasi dan analisis data tersebut tersebut peneli melakukan review terhadap kajian-kajian yang memiliki substansi dan ruang lingkup masalah yang relevan. Berdasarkan review tersebut peneli melakukan sintesa untuk memberikan pemahaman dan pemaknaan atas informasi yang diperoleh. Berdasarkan keseluruhan ak vitas tersebut peneli melakukan sintesa untuk melakukan pemaknaan dan menyusun implikasi maupun penarikan kesimpulan dari kajian tersebut. Sintesa memberikan gambaran terhadap informasi faktual di lapngan khususnya dalam kehidupan dan dinamika SDM pertanian. HASIL DAN PEMBAHAAN Tantangan Produksi Pertanian Kedaulatan pangan berhubungan erat dengan produk vitas pertanian. Produk fitas pertanian memberi gambaran tentang kinerja pertanian dalam penyelenggaraan usahatani. Kinerja usahatani adalah hasil yang dicapai dalam bentuk ouput proses produksi. Produk vitas pertanian berhubungan erat secara langsung dengan dengan faktor-faktor sumberdaya. Faktor-faktor sumberdaya adalah sumberdaya alam termasuk lahan, air, iklim, sumberdaya sarana produksi dan sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani. Faktor-faktor sumberdaya tersebut saling berinteraksi dalam menentukan dinamika produk vitas pertanian (Muksin, 2014). Salah satu ukuran produk vitas pertanian dapat dikaitkan dengan kondisi ketersediaan pangan nasional dan dinamika untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Kebutuhan dari pangan nasional cukuop besar dapat diama dari nilai rupiah yang dibelanjakan dari APBN untuk kebutuhan pangan tersebut. Sebagaimana hasil kajian beberapa peneli an bahwa pada tahun 2009 sekitar 5 persen dari APBN atau sekitar 50 triliun digelontorkan untuk menyediakan atau membeli enam komoditas pangan, yaitu kedelai, gandum, daging, sapi, susu dan gula, termasuk garam. Kondisi ini menunjukkan betapa besarnya ketergantungan pangan kita kepada negara lain. Bersamaan dengan hal tersebut di banyak belahan dunia yang lain kondisi kekurangan ketersediaan pangan juga terjadi. Selain persoalan iklim yang dak menentu sebagai akibat kehidupan modern yang “ dak terkendali” dan dak ramah terhadap lingkungan, maka pesoalan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat menjadi penyebab utama akan ketersediaan pangan yang
  • 4. 28 |EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 terus menuruan. Data beberapa peneli an menyebutkan bahwa secara ideal angka pasokan pangan atas kebutuhan jumlah penduduk, saat ini dinilai berada pada angka ketersediaan 30-40persen dari jumlah keseluruhan. Kondisi tersebut secara factual tentu mempriha nkan dan banyak memunculkan banyak kekhawa ran. Semakin meningkatnya permintaan pangan, sementara pasokan terhadap pangan dak sebanding mengakibatkan terjadinya kecenderungan peningkatan harga terhadap pangan. Kecenderungan harga pangan tersebut misalnya terjadi pada gandum, padi, dan jagung serta beberapa komodi lainnya khususnya komodi yang dapat digunakan sebagai bahan pangan dan bahan baku energi. Kelangkaan pangan selain factor-faktor tersebut, juga dipicu oleh “alih fungsi” beberapa komodi pertanian yang pada awalnya dimanfaatkan untuk bahan baku pangan, pada saat ini juga diupayakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan energy. Beberapa materi dan tanaman, seper kelapa sawit, jagung, ubi kayu, tebu, tanaman jarak, kemiri sunan dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber energi. Permintaan energi final masa mendatang akan naik hampir ga kali lipat tahun 2030, dan BBM masih mendominasi dengan porsi sebesar 31,1 persen. “Perebutan” peruntukan bahan baku tersebut berimbas terhadap ketersediaan pangan (Kementan, 2014). Indonesia sampai saat ini adalah Negara pengimpor bahan pangan seper gandum, beras, dan kedelai dan beberapa komoditas lainnya. Jumlah impor tersebut memiliki konsekuensi ketergantungan Indonesia terhadap beberapa Negara untuk memenuhi kebtuhan pangan. Semakin besar jumlah kebutuhan pangan, semakin besar ketergantungan Indonesia terhadap Negara-negara penyedia pangan. Bila kondisi tersebut berlanjut maka krisis pangan akan benar-benar terjadi. Kecenderungan semakin meningkatnya impor beberapa komoditas oleh Indonesia, dinilai sebagai kondisi yang membahayakan. Indonesia dinilai sudah masuk dalam jebakan pangan (food trap) (Wibowo, 2014). Terdapat penilaian yang dikemukakan oleh ahli sosiopoli k bahwa dinamika ketersediaan pangan bagi penyuplai dan bagi Negara-negara yang membutuhkan dapat dijadika sebagai alat tukar. Negara-negra yang memiliki kecukupan atas pangan sangat mungkin akan dapat “mendikte” atau bahkan mengontrol terhadap Negara-negara yang membutuhkan pangan. Dalam konteks ini maka interaksi dalam perdagangan pangan dapat menjadi alat tukar poli k atas suatu kepen ngan tertentu dari suatu Negara. Produksi pangan berasal dari proses produksi pertanian. Sementara produksi dan perdagangan yang terkait langsung dengan sarana produksi hanya dikuasai atau dikontrol oleh hanya lima Mul na onal Corpora on (MNC), sehingga petani hanya memiliki peran kecil dalam kontribusi terhadap perdagangan. Dengan demikian krisis pangan dan ancaman terhadap ketersediaan pangan disejajarkan dengan konsepsi ancaman tradisional dan non tradisional pada keamanan nasional. Krisis terhadap keberlanjutan pertanian adalah konsekuensi logis dari kondisi saat ini. Sebagaimana tela diuraikan bahwa produk vitas pertanian terus mengalami penurunan. Produk vitas yang menurun memberikan ancaman serius terhadap kedaulatan pangan. Bahkan ancaman terhadap krisis pangan dimasukkan sebagai ancaman serius terhadap ketahanan dan kemanan Negara (Bappenas, 2009). Karakteris k Petani Sebagaimana data Badan Pusat Sta s k (BPS) bahwa hampir 67 persen angkatan kerja menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa peran pertanian cukup ngggi. Sektor pertanian dengan demikian masih menjadi salah satu media dalam menutupi potensi pengangguran terbuka. Apabila dilihat dari penguasaan lahan pertanian, petani memiliki lahan pertanian yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan penguasaan lahan oleh keluarga petani adalah sekitar 0,48 ha. Selanjutnya pada hasil sensus pertanian tahun 2003 penguasaan lahan pertanian oleh petani sekitar 0,3 ha per keluarga, sementara hasil sensus pertahian tahun 2013 menunjukkan penguasaan lahan yang dikelola keluarga petani sekitar 0,2 ha. Kondisi tersebut menunjukkan EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 |69 CONCLUSION From this article, we can identified several significant institutional arrangement elements of subjective well- being measurements, the type of measurements and the potential roles of subjective well-being measurement, and institutional capital evaluation related to subjective well-being measurement in Indonesia. In Indonesia, the subjective well-being measurement limited to one actor, intra-organizational network, and no platforms established until recently. The type of subjective well-being measurement used are the evaluative and eudaimonic approach. For the institutional capital evaluation, as can be seen in Figure 10 and Figure 11, illustrated that subjective well-being measurement in Indonesia both for monitoring progress and informing policy design contexts are categorically in the initial stage. Therefore, thorough effort must be applied to enhance the institutional capital in order to support the utilization of subjective well-being measurement for public policy. RECOMMENDATION A relevant and suitable institutional arrangement must be designed with taking into account the institutional capital and policy context for those countries that are initializing the national subjective well-being measurement or are in the start-up phase like Indonesia. Considering that potential roles of subjective well-being measurement can only be applied and carried out effectively and efficiently if supported by a high level of institutional capital, enhancement of institutional capital level is required. International experiences consist of various good practices or institutional arrangement elements that can help to enhance the level of institutional capital. This is mostly for the case of the UK where they already have the platform (national debate) and the inter- organizational network (advisory forum and technical group). Establishment of an official platform such as national debate and inter-organizational networks such as advisory forum and technical group are expectedly increase the level of institutional capital. For the intellectual capital component, the national debate, advisory forum, and technical advisory group can act as knowledge resources which could be used to diffuse the knowledge and values to increase the degree of understanding of concerned stakeholders. The three elements would definitely improve the social and political capital component as well through higher stakeholder involvement, density of networks, access to networks, selection & identification of issues, and consensus-building practices. In addition, role of key agents would be further facilitated through the existence of advisory forum and technical group. In Indonesia, the institutional capital level for monitoring progress and informing policy design context can be improved by the establishment of the advisory forum and technical group. Keeping in mind the existing financial and other capital, national debate is not considered feasible in Indonesia. The concerned stakeholders in subjective well-being measurement for monitoring progress and informing policy design, are relatively similar with stakeholders in the development of IKraR due to the same policy contexts. BAPPENAS and the Coordinating Ministry of People’s Welfare can be considered to be the most appropriate to be partners of BPS in developing the subjective well-being measurement. This is according to the status, duties, and functions of these two ministries. They should join BPS as the “advisory forum” and “technical group”. Furthermore, they should also play the role as the coordinator as practiced by Cabinet Office in the UK. In the UK, Cabinet Office coordinate across departments for ensuring that subjective well-being data are used effectively. The key role as data collector, BPS certainly is the right organization to play the role. Academic institutions should also play a key role to explore the knowledge and afterward can conduct related and constructive small research about this topic to be input for developing the instrument and so forth. Together with local NGOs, they can also be the stakeholder to diffuse the knowledge and values on subjective well- being to civil society. In Indonesia, there are also some significant research centres such as LIPI, SEMERU, and other institution that could also conduct some research on this concept so that its measurement and the measurement results can be more applicable in Indonesia and contribute significantly in improving the well-being of the people of Indonesia.
  • 5. 68 |EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 In Indonesia, national subjective well-being is began to be measured since April 2013 through SPTK 2013. Statistics generated from SPTK 2013 were indicators of life satisfaction and happiness that planned to be analyzed based on demographic characteristics of the population, education, health, economic, housing and others. The type of measurements used are evaluative approach (life satisfaction, overall happiness, and domain satisfaction) and also eudaimonic approach (psychological/ flourishing, capabilities, and ‘having, loving being’ approach). To what extent the existing and potential institutional capital supports the utilization of subjective well-being measurement to be a substantial input for public policy in Indonesia? Literature review and document analysis argued that potential roles of subjective well-being measurement can only be applied and carried out effectively and efficiently if supported by a high level of institutional capital. There are three types of institutional capital, which are intellectual capital, social capital and political capital (Khakee, 2002). Intellectual capital can be recognized by knowing the range of knowledge resources, degree of understanding, use and diffusion of knowledge and values, and openness to accept and learn new things. To recognize and assess social capital, there are three criteria, which are the extent of stakeholder involvement, density of network linkages, and access to networks. Meanwhile, political capital is achieved from the commitment and willingness of different parties associated with the action for thinking policy and mobilizing resources, and the agenda formation which can be assessed from the selection and identification of issues, consensus- building practices, and role of key agents. However, as can be seen in Figure 1 and Figure 2, the institutional capital evaluation results illustrated that subjective well- being measurement in Indonesia both for monitoring progress and informing policy design contexts are categorically in the initial stage. Figure-1. Institutional Capital Evaluation Results for “Monitoring Progress” Policy Context Source: Analysis, 2013 Figure-2. Institutional Capital Evaluation Results for “Informing Policy Design” Policy Context Source: Analysis, 2013 EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 |29 terjadi penurunan ditandai dengan menyempitnya lahan pertanian. Kepemilikan lahan oleh petani semakin rendah secara signifikan. Beberapa masalah lain yang terkait dengan sumberdaya alam dan lingkungan adalah masalah lain iklim yang dak menentu, rusak atau adanya jaringan irigasi sebagai akibat langsung dari adanya konversi lahan, kecenderungan rusaknya lahan pertanian sebagai akibat laju peningkatan pelaksanaan intensifikasi pertanian, indikasi meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) sebagai akibat ke dakseimbangan ekologis (muksin, 2002), meningkatnya persaingan produk pertanian khususnya tanaman pangan dan hor kultura yang berasal dari luar negeri, dan produk vitas SumberdayaManusia(Wibowo,2014).Faktorsumberdaya manusia bahkan dianggap yang paling menonjol apabila dilihat dari karakteris k petani dan potensi persaingan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Secara sta s k karakteris k petani Indonesia kurang menggembirakan. Masih berdasarkan hasil sensus tahun 2003 jumlah petani gurem (keluarga petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) sekitar 31,17 juta. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan hasil sensus tahun 2013 sebesar 26,13 juta. Kondisi tersebut menunukkan terjadi penyusutan sebasar 5,04 juta petani guem yang umumnya adalah petani tanaman pangan atau hampir berjumlah 75 persen. Kehilangan atau adanya jumlah petani sebanyak 5 juta orang adalah jumlah yang signifikan apabila dikornversi sebagai sumberdaya yang menghasilkan output pangan. Semakin menurunnya jumlah petani tentu berkorelasi langsung dengan jumlah output pangan yang dihasilkan, dengan sumsi bahwa petani yang hilang tersebut adalah sebagian besar adalah petani tanaman pangan. Berdasarkan peneli an hilangnya 5,04 juta petani tersebut diindikasikan sebagai meningkatnya jumlah petani yang kehilangan lahan. Ar nya petani gurem melepaskan kepemilikan lahan kepada orang lain. Petani gurem tersebut dimungkinkan berpindah profesi sebagai tenaga kasar dan buruh tani sebagai pekerja informal. Selain itu regenerasi petani berjalan sangat lambat. Ar nya petani baru yang masuk menjadi petani jumlahnya sangat dak signifikan dibanding dengan yang keluar dari profesi sebagai petani. Selain jumlah secara kuan tas, faktor umur petani juga kurang menggembirakan. Apabila dilihat dari umur produk f, saat ini mayoritas petani adalah kelompok menjeleng usia senja yang masih bekerja. Berdasarkan SP 2013 sebagian besar petani berumur diatas 45 tahun atau 50-an tahun. Kategori umur tersebut mengindikasikan fase memasuki masa pensiun dalam pelaksanaan pekerjannya. Apabila dianggap umur produk f sampai 55 tahun, maka kelompok petani yang ada saat ini adalah kelompok yang hanya menyisakan beberapa tahun saja untuk pensiuan. Ar nya pada tahap ini, petani kurang memiliki kemampuan secara fisik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan usaha tani. Padaaspek ngkatpendidikan,mayoritaspetanijuga memperiha nkan. Para generasi tua petani berpendidikan Sekolah dasar (SD). Petani yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat jumlahnya cukup kecil yaitu sekitar 5 persen. Tingkat pendidikan formal memiliki pengaruh langsung dalam kemampuan berpikir dan ketanggapan merespon dinamikan lingkungan usahatani dan penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi petani digolongkan hanya mengaplikasikan teknologi tradisional. Selain itu kemampuan petani dalam menerjemahkan tantangan dinamika lingkungan saat ini juga belum memenuhi harapan yang diinginkan (Muksin, 2007). Selain faktor tersebut, factor mo vasi para petani umumnya rendah. Indikasi dari hal tersebut adalah adanya alasan bertani. Sebagian besar alasan menjalankan usaha karena dak memiliki kemampuan lain. Para petani menganggap sebenarnya usahatani dinilai dak menguntungkan secara signifikan (Muksin, 2007). Apabila dijumpai petani yang saat ini mengusahakan lahannya, umumnya karena dak ada yang melanjutkan pekerjaan sebagai petani. Selain itu persepsi yang nega v terhadap pertanian dikaitkan dengan belum op malnya peran penyuluhan dan kebijakan pemerintah dalam memfasilitasi peran pemuda dalam pertanian (Muksin, 2007). Sementara penyuluhan semakin kehilangan perannya karena lemahnya anggapan ngkat kepen ngannya, lemahnya dukungan poli k terhadap
  • 6. 30 |EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 penyelenggaran penyuluhan, dan kesulitan menghitung secara kuan ta f kontribusi atau keuntungan secara ekonomis atas penyelenggaraan (Milburn et al., 2010). Petani adalah manajer dari usahataninya. Petani adalah SDM yang dengan segala keterbatasan atau kelebihannya akan melaksanakan usaha tani. Petani sebagai pengelola adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang menyelenggarakan proses usaha. SDM dalam usahatani akan menentukan bagaimana produk vitas usahatani melalui kemampuan menjalankan usaha dan proses pengambilan keputusan. Kemampuan yang dimaksud adalah bagaimana petani melaksanakan teknis budidaya, pemanenan, pengelolaan pasca panen, dan pemasaran, serta kemampuan merespon dinamika lingkungan yang terkait dengan usahatani. Kemampuan merespon adalah kemampuan petani dalam menerjemahkan kebutuhan dalam menjalankan usahataninya, menyikapi dan menerjemahkan tantangan- tantangan termasuk ancaman-ancaman terhadap usaha taninya. Kemampuan petani akan mengarahkan petani dalam menjalankan usahataninya secara efisien dan efek f dalam mencapai tujuan. Secara faktual ngkat kemampuan kemampuan petani yang menopang produk vitas usahatani masih dinilai rendah. Indikator lemahnya kemampuan petani antara lain jumlah petani yang semakin berkurang. Indikator lainnya adalah melemahnya kemampuan fisik dan non fisik yang terkait langsung dengan umur petani, dan melemahnya mo vasi petani dalam menjalankan usaha tani (Muksin, 2014). Kesimpulan dan Implikasi Kemampuan menghasilkan produk pertanian dipengaruhi oleh luas lahan, mutu lahan, dinamika lingkungan dan iklim, input teknologi dan jumlah maupun mutu dari SDM petani. Apabila lahan dan dinamika iklim adalah sesuatu yang memerlukan kebijakan eksternal dan kolabora f seluruh pelaku pertanian di dunia, maka SDM petani dalam konteks ini akan lebih banyak bertumpu pada kemampuan petani dan kebjujakan internal dari Negara masing-masing. Ke dakmampuan SDM petani atau rendahnya SDM petani dari suatu Negara, dak akan lantas merugikan Negara bersangkutan, akan tetapi lebih banyak kepada Negara tersebut. Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa produk vitas SDM petani yang menurun berkaitan dengan jumlahnya, umur, kemampuan, dan mo vasi melaksanakan usaha. Kondisi produk vitas petani yang menurun, mengindikasikan adanya kebutuhan regenerasi dari pelaku usahatani. Apabila kondisi rendahnya SDM tak tergan kan, maka krisis pangan dan kedaulatan bangsa ini tentu dipertaruhkan. Regenerasi akan diharapkan memebrikan “energi’ baru baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Bersifat fisik terkait dengan kebutuhan umur produk f yang secara jasmaniah mampu menopang kerja-kerja fisik dalam usahatani. Bersifat non fisik terkait dengan kemampuan belajar untuk selanjutnya melakukan adopsi inovasi dalam menjalankan usaha tani. Kemampuan belajar terus- menerus dan penguasaan terhadap teknologi khususnya dalam pemanfaatan teknologi informasi akan berdampak posi f bagai peningkatan daya saing petani. Regenerasiadalahpergan anSDMbaikdalammakna sebagai pelaku pertanian maupun sebagai pergan an paradigma berpikir tentang pertanian. Regenerasi adalah pergan an pelaku usahatani yang memiliki kemampuan memadai dalam menjalankan usahatani untuk merespon dinamika lingkungan. Pergan an dan keberlanjutan generasi dalam melanjutkan usahatani, bermakna melanjutkan kon nyuitas proses produksi pertanian dan menjaga kesinambungan ketersediaan pangan, serta keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang. Dengan potensi yang besar pada SDM pemuda, maka adanya permasalahan usahatani di Indonesia amat mungkin diatasi. Pergan an paradigma berpikir adalah konsekuensi logis yang diharapkan terbentuk bagi penggan pelaku dalamusahatanidalammemandangusahatani.Pergan an paradigma dalam hal ini termasuk cara memandang usahatani, pemanfaatan teknologi, pemasaran hasil pertanian, amupun pengorganisasian usahatani. Perubahan paradigma diharapkan dapat memberikan kekuatan baru bagi bangsa ini untuk menciptakan dan menguatkan daya saing pertanian di kancah internasional. EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 |67 societal progress measurement is proved to be needed in every country, including in Indonesia, in order to support their citizens to achieve a prosperous life. In informing policy design, the drivers of community’s well- being can be clearly understood by using subjective well-being measurement (Hicks, Tinkler, & Allin, 2013). It is significantly required especially in the populations which highly affected by domains of policy which have a non-market consequence. Local government can formulate policies according to the needs of the people of their specific region if the sample of subjective well- being measurement is able to provide data on a local level as it is large enough. In policy appraisal, the role of subjective well-being is substantial in making decisions on which government spending would bring highest increase in the subjective well-being in respect to their cost (Fujiwara & Campbell, 2011). What are the institutional arrangements of subjective well-being measurements in the UK and in Indonesia? Some significant institutional arrangement elements can be seen in Table-1. Table-1. Institutional Arrangement Elements of Subjective Well-being Measurements in the UK and in Indonesia Elements the UK Indonesia Actors Multi actors Single actor Role of key agents Clear, multi agents Clear but limited to one agent Platforms National Debate (online and offline platforms) None Networks Intra-organizational and inter-organizational (Advisory Forum, Technical Group, the Social Impact Task Force) Intra-organizational Regulations Terms of Reference: National Debate, Advisory Forum, & Technical Group None Type of measurements Evaluative, experience, and eudaimonic Evaluative and eudaimonic Source: Analysis, 2013 As pointed out by Esti, Woltjer, and Hasanov (2013), attention to institutional arrangement/design is required, especially in evaluation activities. However, it was observed that Indonesia has yet not been able to incorporate several good practices or institutional arrangement elements that are already present in the UK. These elements are stated in Table 1 and include the inter-organizational networks (advisory forum and technical group), key agents and their specific roles (ONS and Cabinet Office); platform (national debate) and regulations that control the actors’ role and are highly correlated with actors involvement. The key areas which matter the most to the people can be identifies with the help of the national debate. It is also able to make sure that measurements being used by the statistical office are relevant to the wider public rather than just being limited to the government. The advisory forum and technical group consist of policy makers, business leaders, and a range of experts including from the OECD, Eurostat, other government departments, think tanks, academics, and related market research experts. They are required to choose, identify and analyze the subjective well-being measurement related issues along with presenting the statistical office with recommendations to enhance the situation (ONS, 2010). In addition, there is also the Social Impacts Task Force which comprises of analysts from across government and has been sharing subjective well-being analysis results and approaches mainly in the policy appraisal context (Fujiwara & Campbell, 2011). All of the three types of subjective well-being approach already being applied in the UK through several surveys. However, most of them are vulnerable to small sample sizes and it is not clear which have committed to continue asking subjective well-being questions in the future. Recognizing this limitations of existing data on subjective well-being in the UK and in response to Stiglitz recommendation, since 2011 the ONS made an approach to reflect different aspects of subjective well- being through the IHS and complemented by the OPN as part of the Measuring National Well-being Program. There are four overall monitoring questions that were included in the IHS which using all of the three approach (evaluative, experience, and eudaimonic approach). The overall monitoring questions were asked each month in the OPN as well. In addition, some additional questions drawing from the evaluative or experience or eudaimonic approach were asked in OPN monthly survey (ONS, 2011).
  • 7. 66 |EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 (2012) who offered a concept of well-being based on pleasure and pain; it also provided the background of utilitarianism. In general, subjective well-being measurement is carried out by simply asking people about their well-being. As such, it bends more toward democratic aspect of preference satisfaction, as it lets people choose the level of well-being in their lives, without anyone else deciding for them (Graham, 2010). Encyclopedia of Quality of Life Research described the subjective well-being as “The personal perception and experience of positive and negative emotional responses and global and specific cognitive evaluations of satisfaction with life. Simply, subjective well-being is the individual evaluation of quality of life (QOL)” (Abdallah & Mahony, 2012). Similarly, the OECD Guidelines explain subjective well-being as “all of the various evaluations, positive and negative, that people make of their lives and the affective reactions of people to their experiences” (OECD, 2013). McGillivray (2007), likewise, informs that “subjective well-being involves a multidimensional evaluation of life, including cognitive judgments of life satisfaction and affective evaluations of emotions and moods.” Put simply, subjective well-being can be taken as the way people comprehend their lives to be going (Abdallah & Mahony, 2012). Undoubtedly,theimportanceoftheneedtomeasure subjective well-being cannot be denied. Subjective well- being actually has a wide influence across a broad range of behavioural traits and life outcomes, as indicated by existing scientific evidence. The most preeminent fact is that it is extremely significant that the economic measurements of societal progress are balanced with measurements of subjective well-being. The reason behind this is to ensure that economic prosperity leads to huge improvements across various domains of life, and not just a wider economic capability. A call to ‘shift emphasis from measuring economic production to measuring people’s well-being’ was a central message of the Stiglitz Commission report (Stiglitz et al., 2010). Actually, the government can determine if the overall net progress is positive regarding the improvement of human well-being through the assessment of subjective well-being along with economic variables (Helliwell et al., 2013). How can subjective well-being measurement be a substantial input for public policy? Findings from literature review confirmed that there are three major approaches, evaluative approach, hedonic/experience approach, and eudaimonic approach which facilitate subjective well-being measurement as a useful input for public policy. There are three policy contexts also present in this regard which are monitoring progress, informing policy design, and policy appraisal (Dolan, Layard, & Metcalfe, 2011). Evaluative approach asks individuals to step back and reflect on their life and make a cognitive assessment of how their life is going overall, or on certain aspects of their life. Four major types of evaluative approaches that focus on subjective well-being in present-day practices are life satisfaction & satisfaction scales, ladder of life approach, overall happiness, and domain satisfaction. Hedonic/experience approach seeks to measure people’s positive and negative experiences over a short timeframe to capture people’s well-being on a day-to-day basis through two major approach, which are “experience sampling and day reconstruction” and affect measurements. Eudaimonic approach draws on self-determination theory and tends to measure such things as people’s sense of meaning and purpose in life, connections with family and friends, a sense of control and whether they feel part of something bigger than themselves. Three main types of this approach are psychological/flourishing, capabilities approach, and having, loving, being approach (Abdallah & Mahony, 2012). Interview, questionnaire, and document analysis confirmed as well that subjective well-being measurement has potential roles for each policy context used in the framework of the research. In monitoring progress context, the role of subjective well-being measurement is to complement rather than to replace existing objective measurement of well-being. Subjective well-being measurement should be done, published, and placed alongside objective well-being measurement in order to provide fuller picture of progress in a country. Some policy-makers asserted that cross-regional comparisons using subjective well-being measurement will be important when they are related to evaluation of regional development in Indonesia. A comprehensive EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 |31 Regenerasi menjadi kebutuhan untuk memfasilitasi produk vitas SDM pelaku usahatani. SDM usahatani yang dak memiliki daya saing atau kompetensi dalam mengupayakan usahatani dan agribisnis pada hakekatnya adalah ancaman seja terhadap kedaulatan pangan. Perlu upaya serius dalam menata dan membuat roadmaph regenerasi SDM petani dan kemampuan memproduksi pangan. Kedaulatan pangan menjadi terminology final untuk memberdayakan Indonesia sebagai bangsa. Kondisi tersebut memberikan alasan logis keperluan regenerasi pertanian. Regenerasi pelaku usaha tani adalah keberlanjutan usahatani untuk menyediakan pangan bagi bangsa. Bangsa yang dak dapat menyediakan pangan, adalah bangsa yang lemah. Regenerasi menjadi kewajiban bersama untuk merespon kondisi kebutuhan pangan dalam negeri, dan merespon persaingan di lingkungan global. Mewujudkan upaya regenerasi yang tepat, menjadi keharusan semua pihak. Pihak-pihak dimaksud adalah pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Ke ga komponen bangsa ini seharusnya melakukan upaya sistema s untuk memfasilitasi terintegrasinya rencana, implementasi, dan evaluasi dalam memberdayakan SDM pertanian khususnya pola regenerasi yang dikembangkan. Kebutuhan mendesak terhadap regenerasi, kebutuhan terhadap peningkatan kompetensi petani berikutnya seharusnya sudah menjadi salahsatu blueprint yang diketahui oleh semua pihak atau komponen bangsa. DAFTAR PUSTAKA Bappenas, 2009. Grand Strategi Keamanan Nasional. Bppenas, Jakarta. BPS. 2003a. Sta s k Pemuda Indonesia 2003. BPS, Jakarta ____. 2003b. Sensus Pertanian 2003 Angka Nasional hasil Penda aran Rumah Tangga (Angka Sementara). BPS, Jakarta. ____. 2003c. Sensus Pertanian 2003 Hasil Penda aran Rumah Tangga Propinsi Jawa Timur. BPS, Jakarta. Luckey, AN., TP. Murphrey, RL. Cummins. 2013. Assessing Youth Percep ons and Knowledge of Agriculture: The Impact of Par cipa ng in an AgVenture Program. Journal of Exten on (JoE). Volume 51, Number 3: 2. Diakses pada 2 Maret 2014) dari www.joe.org Milburn, LS., SJ. Mulley, and C. Kline, 2010. The End of the Beginning and the Beginning of the End: The Decline of Public Agricultural Extension in Ontario. Journal of Exten on (JoE). Volume 48, Number 6: 5-6. (Diakses pada 2 Maret 2014) dari www.joe.org Muksin. 2007. Kompetensi Pemuda Tani yang Perlu dikembangkan di Jawa Timur. IPB, Bogor, Hal 154-161. .2014. Implikasi Minat Dan Kompetensi Agribisnis Pemuda Pedesaan Terhadap Kedaulatan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014. Rosset P., 2011. Food Sovereignty and Alterna ve Paradigms to Confront Land Grabbing and the Food and Climate Crises. Development. Volume 54, Number 1: 21-30. (Diakses pada 7 Maret 2014) dari www.search.proquest.com Suswono. 2014. Kebijakan Pembangunan Pertanian Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Energi dalam Menyongsong Era Asia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014 Wibowo, R., 2014. Masalah Tantangan Indonesia dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan. Seminar Nasional Ketahanan Pangan (15 Maret 2014). Polije, Jember, Hal 5-6.