1. 72
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
Abstract
The interest of clustering has been rising among
policy makers. It is believed that industrial cluster
has potential to generate employment as means for
poverty reduction strategy, decrease cost of production,
access inputs of production easily, disseminate new
knowledge quicker, and also attract more supplier and
customers. Besides that, cluster firms are more resilient
than large firms in periods of economic fluctuation.
Schmitz and Nadvi (1994) emphasize that industrial
cluster would be more relevant in the early stage of
industry and is also important in developing countries
context. However, industrial clusters are often facing
challenges such as global competitiveness, labour
exploitation and environmental problems.
The application of the industrial cluster concept
is different in each case study. The research shows that
agro industrial cluster operations employ local and
related family labour and they have limited access
to formal financial institutions. On the other hand,
upgrading is not a pre-requisite to enter the global
market since the agro industry is a market-driven
industry where the global market has its preferences
for certain commodities. Improving local economic
development in this particular industry depends
on the actors’ interactions within the value chain.
Sustainability and competitiveness for development
of the local economy depend on the motivation of
farmers to develop the industry. In conclusion, agro
industrial clusters have the potential to improve the
local economy. However, weaknesses of the industry
could outweigh this potential, thus limiting local
economic development and hindering sustainability of
the industry.
THE POTENTIAL OF AGRO INDUSTRIAL
CLUSTER AS A MEANS TO DEVELOP
THE LOCAL ECONOMY IN INDONESIA
(Case Study: Cocoa Industry Clusters
in South Sulawesi Province)
Ika Retna Wulandary, ST., M.Sc.
INTRODUCTION
Policy makers have turned their attention to industrial
clusters as an economic policy tool for increasing
industrial growth and competitiveness, and also
economic development. Industrial clusters could also
help poverty reduction because they generate jobs
and income for the poor. Improving access to markets
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|25
ABSTRAK
Keberlanjutan pertanian dalam rangka menghasilkan pangan akan banyak dipengaruhi oleh SDM pertanian. SDM
pertanian dalam hal ini adalah petani petani akan menggerakkan sejauh apa produk vitas pertanian dalam
meneghasilkanpangan.SecarafaktualIndonesiabanyakmembutuhkansuplaidariNegaralainuntukmemenuhikecukupan
pangan. Apabila kondisi tersebut berlanjut maka keinginan untuk mencapai kedaulatan pangan tentu jauh dari harapan.
Kesenjangan-kesenjangan tersebut memberikan arah dan tujuan
dari kajian yaitu: (a) menguraikan kondisi tantangan global
terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b) menguraikan
karakteris k SDM pertanian saat ini, dan (c) menganalisis
implikasi karakteris k SDM terhadap Kedaulatan pangan.
Metode kajian menggunakan studi pustaka dengan pemaknaan
terhadap data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (i)
kompleksitas tantangan global memberikan indikasi Indonesia
perlu meningkatkan ketersediaan pangan, (ii), karakteris k SDM
pertaniaan saat ini memiliki kualifikasi daya saing yang rendah dan
(iii) diperlukan upaya sistema s dalam memfasilitasi regenarasi
SDM pertanian dalam menyongsong era persaingan pasar bebas.
Kata Kunci: Regenerasi, SDM Pertanian, dan Kedaulatan Pangan
PENDAHULUAN
Pertanian adalah salah satu sektor vital dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Pertanin juga memiliki
peran strategis bagi kehidupan bangsa. Kondisi yang
vital dan dan strategis ini secara keseluruhan dak dapat
digan kan oleh sector lainnya.
Pertanian adalah penyedia pangan bagi
penduduk Indonesia. Pertanian adalah pabrik alami
yang menghasilkan produk-produk pangan yang amat
dibutuhkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Sebagai
penyedia pangan, maka pertanian memiliki peran yang
tak tergan ka oleh sector lainnya.
URGENSI REGENERASI SDM PERTANIAN DALAM
UPAYA MENCAPAI KEDAULATAN PANGAN
Muksin
Bustang A.M.
Politeknik Negeri Jember
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Pertanian juga merupakan penyedia mayoritas
dari bahan baku industri kecil dan menengah. Sekitar
87% bahan baku dari industry kecil dan menengah
adalah berbasis dari proses pertanian. Pertanian
dengan demikian memberikan potensi bagi dinamika
perekonomian bangsa.
Relevan dengan kondisi tersebut sebagaimana
dinyatakan oleh Kementerian Pertanian (2014) bahwa
pertanian memberikan sumbangan sekitar 14,72%
terhadapPDB.Prosesdandinamikapertanianjugamampu
menghasilkan US $ 43,37 M devisa Negara. Kondisi ini
memberikan gambaran bahwa sector pertanian memiliki
peran signifikan dalam perekonomian nasional.
2. 26
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
Apabila dilihat dari perspek f kepen ngannya pada
jumlah tenaga kerja, maka pertanian menyerap sekiar
33,32% total tenaga kerja. Kondisi lainnya adalah bahwa
pada rumah tangga pedesaan bergantung sekitar 70%
dari sector pertanian sebagai sumber utama pendapatan.
Dalam konteks ketenagakerjaan, maka pertanian memiliki
peran vital dalam menutup lubang pengangguran terbuka
yang semakin besar. Kondisi tersebut memberikan
klarifikasi bahwa pertanian menjadi factor penutup bagi
potensi pengangguran yang besar. Terdapat fakta bahwa
pertanian adalah suatu keniscayaan bagi keberlanjutan
kehidupan manusia, dalam konteks penyediaan pangan
(Luckey, et al: 2013)
Sisi lain dari pertanian adalah sektor ini memiliki
peran yang dak ringan dari upaya mencegah atau
menyelesaikan masalah lingkungan. Sebagai “organisasi”
yang bersandar dari proses alamiah, maka pertanian
memiliki peran dalam upaya penurunan emisi gas rumah
kaca sebesar 8 juta ton (Kementerian pertanian, 2014).
Peran terhadap upaya menjaga kelestarian amat vital
di tengah semakin meningkatnya persoalan-persoalan
lingkungan dewasa ini.
Peran strategis pertanian memberikan sinyal bahwa
peran-peran pen ng tersebut dak dapat digan kan
oleh sector lainnya. Ketetapan peran-peran strategis
tersebut, tentu dapat diupayakan apabila kondisi atau
factor-faktor penyokong tersebut antara lain adalah SDM
pertanian sebagai kelompok pengelola dari “organisasi”
pertanian.
Peran strategis juga secara linear akan berdampak
terhadap kemampuan menerjemahkan tantangan-
tantangan dari luar. Tantangan dari luar dalam hal ini
adalah lingkungan global yang memberikan potensi untuk
memperbesar peran pertanian dalam mensejahterakan
bangsa ataukah sebaliknya. Ar nya peran pertanian yang
lemah tentu akan memberikan dampak yang kurang
menguntungkan pada kondisi ketersediaan pangan
bangsa dan juga implikasi ketergantungan terhadap
Negara lainnya.
Isu-isu terkait pangan pada masa depan akan
menjadi isu pen ng dan masuk dalam ranah atau
kawasan yang berpotensi menjadi sumber konflik.
Kondisi ini didasarkan pada fakta bahwa ketersediaan
pangan dan jumlah kebutuhan terhadap pangan daklah
sebanding. Dalam konteks ketersediaan pangan aspek-
aspek terhadap kemampuan produksi dianggap lemah,
sedangkan kebutuhan pasokan atau permintaan dari
waktu ke waktu terus meningkat.
Beberapa kondisi yang kurang menguntungkan
memberikan kontribusi signifikan dalam konteks
kemampuan produksi pertanian. Semakin mengecilnya
lahan pertanian, konversi lahan pertanian yang terus
berlanjut, kerusakan lingkungan, dan mutu kelembagaan
petani yang dinilai rendah adalah kondisi-kondisi yang
kurang menguntungkan tersebut. Bila terus berlanjut
kondisi ini tentu berdampak nega ve terhadap
kemampuan produksi dalam negeri sekaligus menurunnya
daya saing.
Daya saing yang lemah tentu akan merugikan
Indonesia mengingat pasar terpadu ASEAN sudah di
depan mata. Sebagaiman kita kitehui bahwa implementasi
The ASEAN Economic Community (AEC) akan berlaku pada
tahun 2015. Integrasi pasar dan pintu masuk pasar global
yang dak dian sipasi, tentu akan sangat merugikan
bangsa Indonesia.
Salah satu faktor pen ng bagi upaya melakukan
proses produksi yang tepat, adalah dengan menyiapkan
SDMyangmemenuhistandarkebutuhansectorpertanian.
SDM yang tepat yang dibutuhkan adalah sesuai dengan
kebutuhan dalam rangka memenuhi upaya-upaya yan
dapat dilakukan dalam memenuhi ekspektasi daya saing
yang tepat. Dalam konteks ini para pelaku atau SDM yang
tepat sangat diharapkan dapat melaksanakan kegiatan
pertanian yang sesuai.
SDM pertanian yang tangguh, akan memberikan
peran yang sesuai dengan kondisi persaiangan saat
ini. SDM yang memliki kompetensi tentu memberikan
kontribusi pada kemajuan usaha tani. Kesiapan, kualifikasi
dan kompetensi yang memadai sebagai SDM usahatani
akan berontribusi dalam produk vitas, daya adaptasi
dan keberlanjutan usahatani. Apabila kondisi atau situasi
peran SDM pertanian dapat diselenggarakan, maka
berdampak pada signifikan dalam memfasilitasi upaya
mewujudkan kedaulatan pangan.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|71
REFERENCES
Abdallah, S., & Mahony, S. (2012). Stock-taking of Subjective Well-Being Retrieved from http://www.
eframeproject.eu/fileadmin/Deliverables/Deliverable2.1.pdf
Bertrand, M., & Mullainathan, S. (2001). Do People Mean What They Say? Implications for Subjective Survey Data.
American Economic Review, 91(2), 67-72.
Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia. (2012). Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR). Jakarta:
Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia.
Dolan, P., Layard, R., & Metcalfe, R. (2011). Measuring Subjective Wellbeing for Public Policy Retrieved from http://
eprints.lse.ac.uk/35420/1/measuring-subjective-wellbeing-for-public-policy.pdf
Dolan, P., & Metcalfe, R. (2012). Measuring Subjective Wellbeing: Recommendations on Measures for Use by
National Governments. Journal of Social Policy, 41(02), 409-427.
Esti, D. R. S. (2013). Subjective Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia. Master, University of
Groningen, Groningen.
Esti, D. R. S., Woltjer, J., & Hasanov, M. (2013). Evaluation in Integrated Land-Use Management: Towards an Area-
Oriented and Place-Based Evaluation for Infrastructure and Spatial Projects. [Workshop Report]. Town Planning Review,
84(5), 671-677. doi: 10.3828/tpr.2013.34
Fujiwara, D., & Campbell, R. (2011). Valuation Techniques for Social Cost-Benefit Analysis: Stated Preference,
Revealed Preference and Subjective Well-being Approaches. A Discussion of the Current Issues. London: HM Treasury and
DWP.
Graham, C. (2010). The Challenges of Incorporating Empowerment into the HDI: Some Lessons from Happiness
Economics and Quality of Life Research. Paper presented at the Human Development Research Paper 2010/13.
Helliwell, J., Layard, R., & Sachs, J. (2013). World Happiness Report 2013. New York: UN Sustainable Development
Solutions Network.
Hicks, S., Tinkler, L., & Allin, P. (2013). Measuring Subjective Well-being and its Potential Role in Policy: Perspective
from the UK Office for National Statisticcs. Social Indicators Research, 114(1), 73-86.
Khakee, A. (2002). Assessing Institutional Capital Building in a Local Agenda 21 Process in Go¨teborg. Planning
Theory & Practice, 3(1), 53-68.
McGillivray, M. (2007). Human Well-being: Issues, Concepts and Measures. Houndmills, New Hampshire, USA:
Palgrave Macmillan.
OECD. (2013). OECD Guidelines on Measuring Subjective Well-being Retrieved from http://dx.doi.
org/10.1787/9789264191655-en
ONS. (2010). Measuring Subjective Wellbeing in the UK S. Waldron (Ed.) Retrieved from http://www.ons.gov.uk/
ons/guide-method/user-guidance/well-being/publications/measuring-subjective-well-being-in-the-uk.pdf
ONS. (2011). Initial investigation into Subjective Wellbeing from the Opinions Survey Retrieved from http://www.
ons.gov.uk/ons/dcp171776_244488.pdf
Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J.-P. (2010). Mismeasuring Our Lives: Why GDP Doesn’t Add Up. New York: New
Press.
Thompson, S., & Marks, N. (2008). Measuring well-being in policy: issues and applications Retrieved from http://
dnwssx4l7gl7s.cloudfront.net/nefoundation/default/page/-/files/Measuring_well-being_in_policy.pdf
3. 70
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 20147070707070707707070707070707070707070707070707070707070707070707077070707070707770707077077707070707070707070770707070770707077707077070707007707070700707070070700707077070707000770770770707007770077777777707777000000770070 EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDIDDIDDDDIDIDIDIDIDIDIDDDDDDIDDDIDIDIDIDIDIIDIDIDIDDIIIIDDIDDIDDDDIDDDIDDDIDDDDDIIDIDDDDDIDDIDDDDDIIDIIDDIIIDD SISISISISISISISISSISSSSISSISSISSISISISSSSISSSSSSSSISISISSSIIIISISSSISISSSISIS 0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111 •••••••••••••••••••••••••••••••••••• TATATATATATATATATATATATATATATATATATATAAATATATATTATATATATTTATTATATTTTAAAATTATAAT HUHUHUHUHUHUHUHUHUHHUHUHUHUHUHUHHUHUHHHHHUHUHHHHHHUHUHHHHHHUHHHHHUH NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX ••••••••••••••••• MMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMEIEIEIEIEIEIEIEEIEIEIEIEIEEIIEIEIEIEEEEIEIIIEEEE 222222222222222222222222222222201010101010101010101010100101001010100100010144444444444444444444444444444
Specifically to enhance the institutional capital level for
informing policy design, the involvement of technical
ministries in Indonesia is required. As practiced in
the UK, various UK government departments even
included targets in their Public Service Agreements
(PSA) that could benefit from subjective well-being
data. Therefore, the statistical office is informed by
emerging policy requirements and policy makers are
informed or aware of the subjective well-being data. In
addition, specifically for policy appraisal context, some
customized subjective well-being measurements by
related departments or ministries or research centres
or any other concerned stakeholders are needed while
keeping within the overall agreed framework, which
absolutely depends on the scope of the appraised
policy.
Some further steps recommendation for Indonesian
context are as follows:
o SPTK 2013 results is published by the Central
Statistics Agency and shared to the concerned
stakeholders, especially BAPPENAS, the
Coordinating Ministry of People’s Welfare, and
other technical ministries in Indonesia
o Together with BAPPENAS and the Coordinating
Ministry of People’s Welfare, the Central Statistics
Agency establish an advisory forum and technical
group
o The advisory forum invite academics and research
centers such as SEMERU and Lembaga Demografi
UI to join and discuss subjective well-being
measurements framework in Indonesia
o The advisory forum publish subjective well-
being measurements framework in Indonesia
and guidance for using subjective well-being
measurement
o The advisory forum with wider stakeholders, key
user stakeholders such as technical ministries or
departments in Indonesia, discuss further the
potential use of subjective well-being measurement
and “need assessment” of this measurement from
the key user stakeholders
o The technical group conduct public consultations
as practiced in the IKraR development to diffuse
and develop the knowledge on subjective well-
being measurement in Indonesia
o The advisory forum discuss the improvement of
subjective well-being indicators for the next survey.
70
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|27
Berdasarkan latar belakang tersebut maka menilai
kembali bagaimana SDM pertanian dan peran yang
dapat dimainkan adalah upaya vital yang sangat secara
potensial dan actual akan memberikan jawaban terhadap
persoalan-persolan pertanian, produksi, maupun daya
saing serta kedaulatan pangan. Kedaulantan pangan telah
menjadi suatu tahapan sangat vital dalam keberlanjutan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Berfokus pada
pemikiran tersebut maka tujuan dari penulisan ar kel
ini adalah: (a) menguraikan kondisi tantangan global
terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b)
menguraikan karakteris k SDM pertanian saat ini, dan
(c) menganalisis implikasi karakteris k SDM terhadap
Kedaulatan pangan.
METODE PENELITIAN
Metode pengkajian terhadap relevansi
regenerasi SDM untuk pencapaian kedaulatan pangan
menggunakan penelusuran pustaka (studi pustaka)
khususnya yang terkait dengan SDM pertanian
terkini. Penelusuran sumber pustaka memanfaatkan
hasil peneli an terdahulu baik dari publikasi on line
maupun referensi dalam bentuk buku, berkala maupun
sumber ilmiah lainnya. Kajian terhadap hasil peneli an
diharapkan dapat memberikan informasi terkini yang
relevan dengan kondidi SDM petani.
Untuk menghasilkan analisis yang relevan, maka
pengamatan terhadap data utama dilakukan terhadap
hasil data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Sta s
(BPS) dan data bersumber dari peneli an lainnya
atau peneli an terdahulu. Peneli an terdahulu yang
dimaksud adalah peneli an yang dilakukan oleh peneli
maupun karya peneli lainnya. Peneli berupaya unutk
melakukan proses pembandingan terhadap data dari
hasil penelusuran pustaka, dan melakukan analisi untuk
keperluan menjawab pertanyaan peneli an.
Selanjutnya dari hasil komparasi dan analisis data
tersebut tersebut peneli melakukan review terhadap
kajian-kajian yang memiliki substansi dan ruang
lingkup masalah yang relevan. Berdasarkan review
tersebut peneli melakukan sintesa untuk memberikan
pemahaman dan pemaknaan atas informasi yang
diperoleh. Berdasarkan keseluruhan ak vitas tersebut
peneli melakukan sintesa untuk melakukan pemaknaan
dan menyusun implikasi maupun penarikan kesimpulan
dari kajian tersebut. Sintesa memberikan gambaran
terhadap informasi faktual di lapngan khususnya dalam
kehidupan dan dinamika SDM pertanian.
HASIL DAN PEMBAHAAN
Tantangan Produksi Pertanian
Kedaulatan pangan berhubungan erat dengan
produk vitas pertanian. Produk fitas pertanian
memberi gambaran tentang kinerja pertanian dalam
penyelenggaraan usahatani. Kinerja usahatani adalah
hasil yang dicapai dalam bentuk ouput proses produksi.
Produk vitas pertanian berhubungan erat secara
langsung dengan dengan faktor-faktor sumberdaya.
Faktor-faktor sumberdaya adalah sumberdaya alam
termasuk lahan, air, iklim, sumberdaya sarana produksi
dan sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani.
Faktor-faktor sumberdaya tersebut saling berinteraksi
dalam menentukan dinamika produk vitas pertanian
(Muksin, 2014).
Salah satu ukuran produk vitas pertanian dapat
dikaitkan dengan kondisi ketersediaan pangan nasional
dan dinamika untuk memenuhi kebutuhan pangan
tersebut. Kebutuhan dari pangan nasional cukuop besar
dapat diama dari nilai rupiah yang dibelanjakan dari
APBN untuk kebutuhan pangan tersebut. Sebagaimana
hasil kajian beberapa peneli an bahwa pada tahun
2009 sekitar 5 persen dari APBN atau sekitar 50 triliun
digelontorkan untuk menyediakan atau membeli enam
komoditas pangan, yaitu kedelai, gandum, daging, sapi,
susu dan gula, termasuk garam. Kondisi ini menunjukkan
betapa besarnya ketergantungan pangan kita kepada
negara lain.
Bersamaan dengan hal tersebut di banyak belahan
dunia yang lain kondisi kekurangan ketersediaan pangan
juga terjadi. Selain persoalan iklim yang dak menentu
sebagai akibat kehidupan modern yang “ dak terkendali”
dan dak ramah terhadap lingkungan, maka pesoalan
pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat
menjadi penyebab utama akan ketersediaan pangan yang
4. 28
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
terus menuruan. Data beberapa peneli an menyebutkan
bahwa secara ideal angka pasokan pangan atas kebutuhan
jumlah penduduk, saat ini dinilai berada pada angka
ketersediaan 30-40persen dari jumlah keseluruhan.
Kondisi tersebut secara factual tentu mempriha nkan dan
banyak memunculkan banyak kekhawa ran.
Semakin meningkatnya permintaan pangan,
sementara pasokan terhadap pangan dak sebanding
mengakibatkan terjadinya kecenderungan peningkatan
harga terhadap pangan. Kecenderungan harga pangan
tersebut misalnya terjadi pada gandum, padi, dan jagung
serta beberapa komodi lainnya khususnya komodi
yang dapat digunakan sebagai bahan pangan dan bahan
baku energi. Kelangkaan pangan selain factor-faktor
tersebut, juga dipicu oleh “alih fungsi” beberapa komodi
pertanian yang pada awalnya dimanfaatkan untuk bahan
baku pangan, pada saat ini juga diupayakan sebagai bahan
baku untuk menghasilkan energy.
Beberapa materi dan tanaman, seper kelapa
sawit, jagung, ubi kayu, tebu, tanaman jarak, kemiri
sunan dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber
energi. Permintaan energi final masa mendatang
akan naik hampir ga kali lipat tahun 2030, dan BBM
masih mendominasi dengan porsi sebesar 31,1 persen.
“Perebutan” peruntukan bahan baku tersebut berimbas
terhadap ketersediaan pangan (Kementan, 2014).
Indonesia sampai saat ini adalah Negara pengimpor
bahan pangan seper gandum, beras, dan kedelai dan
beberapa komoditas lainnya. Jumlah impor tersebut
memiliki konsekuensi ketergantungan Indonesia terhadap
beberapa Negara untuk memenuhi kebtuhan pangan.
Semakin besar jumlah kebutuhan pangan, semakin besar
ketergantungan Indonesia terhadap Negara-negara
penyedia pangan. Bila kondisi tersebut berlanjut maka
krisis pangan akan benar-benar terjadi. Kecenderungan
semakin meningkatnya impor beberapa komoditas oleh
Indonesia, dinilai sebagai kondisi yang membahayakan.
Indonesia dinilai sudah masuk dalam jebakan pangan
(food trap) (Wibowo, 2014).
Terdapat penilaian yang dikemukakan oleh ahli
sosiopoli k bahwa dinamika ketersediaan pangan bagi
penyuplai dan bagi Negara-negara yang membutuhkan
dapat dijadika sebagai alat tukar. Negara-negra yang
memiliki kecukupan atas pangan sangat mungkin akan
dapat “mendikte” atau bahkan mengontrol terhadap
Negara-negara yang membutuhkan pangan. Dalam
konteks ini maka interaksi dalam perdagangan pangan
dapat menjadi alat tukar poli k atas suatu kepen ngan
tertentu dari suatu Negara.
Produksi pangan berasal dari proses produksi
pertanian. Sementara produksi dan perdagangan yang
terkait langsung dengan sarana produksi hanya dikuasai
atau dikontrol oleh hanya lima Mul na onal Corpora on
(MNC), sehingga petani hanya memiliki peran kecil dalam
kontribusi terhadap perdagangan. Dengan demikian krisis
pangan dan ancaman terhadap ketersediaan pangan
disejajarkan dengan konsepsi ancaman tradisional dan
non tradisional pada keamanan nasional. Krisis terhadap
keberlanjutan pertanian adalah konsekuensi logis dari
kondisi saat ini. Sebagaimana tela diuraikan bahwa
produk vitas pertanian terus mengalami penurunan.
Produk vitas yang menurun memberikan ancaman serius
terhadap kedaulatan pangan. Bahkan ancaman terhadap
krisis pangan dimasukkan sebagai ancaman serius
terhadap ketahanan dan kemanan Negara (Bappenas,
2009).
Karakteris k Petani
Sebagaimana data Badan Pusat Sta s k (BPS)
bahwa hampir 67 persen angkatan kerja menggantungkan
hidupnya di sektor pertanian. Kondisi ini memberikan
gambaran bahwa peran pertanian cukup ngggi. Sektor
pertanian dengan demikian masih menjadi salah satu
media dalam menutupi potensi pengangguran terbuka.
Apabila dilihat dari penguasaan lahan pertanian,
petani memiliki lahan pertanian yang semakin menurun
dari tahun ke tahun. Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil
sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan penguasaan
lahan oleh keluarga petani adalah sekitar 0,48 ha.
Selanjutnya pada hasil sensus pertanian tahun 2003
penguasaan lahan pertanian oleh petani sekitar 0,3 ha per
keluarga, sementara hasil sensus pertahian tahun 2013
menunjukkan penguasaan lahan yang dikelola keluarga
petani sekitar 0,2 ha. Kondisi tersebut menunjukkan
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|69
CONCLUSION
From this article, we can identified several significant
institutional arrangement elements of subjective well-
being measurements, the type of measurements and the
potential roles of subjective well-being measurement,
and institutional capital evaluation related to subjective
well-being measurement in Indonesia. In Indonesia,
the subjective well-being measurement limited to one
actor, intra-organizational network, and no platforms
established until recently. The type of subjective well-being
measurement used are the evaluative and eudaimonic
approach. For the institutional capital evaluation, as
can be seen in Figure 10 and Figure 11, illustrated that
subjective well-being measurement in Indonesia both for
monitoring progress and informing policy design contexts
are categorically in the initial stage. Therefore, thorough
effort must be applied to enhance the institutional capital
in order to support the utilization of subjective well-being
measurement for public policy.
RECOMMENDATION
A relevant and suitable institutional arrangement
must be designed with taking into account the
institutional capital and policy context for those
countries that are initializing the national subjective
well-being measurement or are in the start-up phase
like Indonesia. Considering that potential roles of
subjective well-being measurement can only be
applied and carried out effectively and efficiently
if supported by a high level of institutional capital,
enhancement of institutional capital level is required.
International experiences consist of various good
practices or institutional arrangement elements that
can help to enhance the level of institutional capital.
This is mostly for the case of the UK where they already
have the platform (national debate) and the inter-
organizational network (advisory forum and technical
group). Establishment of an official platform such as
national debate and inter-organizational networks
such as advisory forum and technical group are
expectedly increase the level of institutional capital.
For the intellectual capital component, the national
debate, advisory forum, and technical advisory group
can act as knowledge resources which could be used
to diffuse the knowledge and values to increase the
degree of understanding of concerned stakeholders.
The three elements would definitely improve the
social and political capital component as well through
higher stakeholder involvement, density of networks,
access to networks, selection & identification of issues,
and consensus-building practices. In addition, role of
key agents would be further facilitated through the
existence of advisory forum and technical group.
In Indonesia, the institutional capital level for
monitoring progress and informing policy design
context can be improved by the establishment of the
advisory forum and technical group. Keeping in mind
the existing financial and other capital, national debate
is not considered feasible in Indonesia. The concerned
stakeholders in subjective well-being measurement for
monitoring progress and informing policy design, are
relatively similar with stakeholders in the development
of IKraR due to the same policy contexts. BAPPENAS
and the Coordinating Ministry of People’s Welfare
can be considered to be the most appropriate to be
partners of BPS in developing the subjective well-being
measurement. This is according to the status, duties,
and functions of these two ministries. They should join
BPS as the “advisory forum” and “technical group”.
Furthermore, they should also play the role as the
coordinator as practiced by Cabinet Office in the UK. In
the UK, Cabinet Office coordinate across departments
for ensuring that subjective well-being data are used
effectively. The key role as data collector, BPS certainly
is the right organization to play the role. Academic
institutions should also play a key role to explore the
knowledge and afterward can conduct related and
constructive small research about this topic to be input
for developing the instrument and so forth. Together
with local NGOs, they can also be the stakeholder to
diffuse the knowledge and values on subjective well-
being to civil society. In Indonesia, there are also some
significant research centres such as LIPI, SEMERU,
and other institution that could also conduct some
research on this concept so that its measurement and
the measurement results can be more applicable in
Indonesia and contribute significantly in improving the
well-being of the people of Indonesia.
5. 68
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
In Indonesia, national subjective well-being
is began to be measured since April 2013 through
SPTK 2013. Statistics generated from SPTK 2013 were
indicators of life satisfaction and happiness that planned
to be analyzed based on demographic characteristics of
the population, education, health, economic, housing
and others. The type of measurements used are
evaluative approach (life satisfaction, overall happiness,
and domain satisfaction) and also eudaimonic approach
(psychological/ flourishing, capabilities, and ‘having,
loving being’ approach).
To what extent the existing and
potential institutional capital supports
the utilization of subjective well-being
measurement to be a substantial input
for public policy in Indonesia?
Literature review and document analysis
argued that potential roles of subjective well-being
measurement can only be applied and carried out
effectively and efficiently if supported by a high
level of institutional capital. There are three types of
institutional capital, which are intellectual capital, social
capital and political capital (Khakee, 2002). Intellectual
capital can be recognized by knowing the range of
knowledge resources, degree of understanding, use
and diffusion of knowledge and values, and openness
to accept and learn new things. To recognize and
assess social capital, there are three criteria, which
are the extent of stakeholder involvement, density of
network linkages, and access to networks. Meanwhile,
political capital is achieved from the commitment and
willingness of different parties associated with the
action for thinking policy and mobilizing resources,
and the agenda formation which can be assessed from
the selection and identification of issues, consensus-
building practices, and role of key agents. However, as
can be seen in Figure 1 and Figure 2, the institutional
capital evaluation results illustrated that subjective well-
being measurement in Indonesia both for monitoring
progress and informing policy design contexts are
categorically in the initial stage.
Figure-1. Institutional Capital Evaluation Results for
“Monitoring Progress” Policy Context
Source: Analysis, 2013
Figure-2. Institutional Capital Evaluation Results for
“Informing Policy Design” Policy Context
Source: Analysis, 2013
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|29
terjadi penurunan ditandai dengan menyempitnya lahan
pertanian. Kepemilikan lahan oleh petani semakin rendah
secara signifikan.
Beberapa masalah lain yang terkait dengan
sumberdaya alam dan lingkungan adalah masalah lain
iklim yang dak menentu, rusak atau adanya jaringan
irigasi sebagai akibat langsung dari adanya konversi lahan,
kecenderungan rusaknya lahan pertanian sebagai akibat
laju peningkatan pelaksanaan intensifikasi pertanian,
indikasi meningkatnya serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT) sebagai akibat ke dakseimbangan
ekologis (muksin, 2002), meningkatnya persaingan produk
pertanian khususnya tanaman pangan dan hor kultura
yang berasal dari luar negeri, dan produk vitas
SumberdayaManusia(Wibowo,2014).Faktorsumberdaya
manusia bahkan dianggap yang paling menonjol apabila
dilihat dari karakteris k petani dan potensi persaingan
yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Secara sta s k karakteris k petani Indonesia
kurang menggembirakan. Masih berdasarkan hasil
sensus tahun 2003 jumlah petani gurem (keluarga petani
yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) sekitar 31,17
juta. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan hasil
sensus tahun 2013 sebesar 26,13 juta. Kondisi tersebut
menunukkan terjadi penyusutan sebasar 5,04 juta petani
guem yang umumnya adalah petani tanaman pangan atau
hampir berjumlah 75 persen.
Kehilangan atau adanya jumlah petani sebanyak
5 juta orang adalah jumlah yang signifikan apabila
dikornversi sebagai sumberdaya yang menghasilkan
output pangan. Semakin menurunnya jumlah petani
tentu berkorelasi langsung dengan jumlah output pangan
yang dihasilkan, dengan sumsi bahwa petani yang hilang
tersebut adalah sebagian besar adalah petani tanaman
pangan.
Berdasarkan peneli an hilangnya 5,04 juta petani
tersebut diindikasikan sebagai meningkatnya jumlah
petani yang kehilangan lahan. Ar nya petani gurem
melepaskan kepemilikan lahan kepada orang lain. Petani
gurem tersebut dimungkinkan berpindah profesi sebagai
tenaga kasar dan buruh tani sebagai pekerja informal.
Selain itu regenerasi petani berjalan sangat lambat.
Ar nya petani baru yang masuk menjadi petani jumlahnya
sangat dak signifikan dibanding dengan yang keluar dari
profesi sebagai petani.
Selain jumlah secara kuan tas, faktor umur petani
juga kurang menggembirakan. Apabila dilihat dari umur
produk f, saat ini mayoritas petani adalah kelompok
menjeleng usia senja yang masih bekerja. Berdasarkan SP
2013 sebagian besar petani berumur diatas 45 tahun atau
50-an tahun. Kategori umur tersebut mengindikasikan
fase memasuki masa pensiun dalam pelaksanaan
pekerjannya. Apabila dianggap umur produk f sampai
55 tahun, maka kelompok petani yang ada saat ini adalah
kelompok yang hanya menyisakan beberapa tahun saja
untuk pensiuan. Ar nya pada tahap ini, petani kurang
memiliki kemampuan secara fisik untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan usaha tani.
Padaaspek ngkatpendidikan,mayoritaspetanijuga
memperiha nkan. Para generasi tua petani berpendidikan
Sekolah dasar (SD). Petani yang berpendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) sederajat jumlahnya cukup kecil
yaitu sekitar 5 persen. Tingkat pendidikan formal memiliki
pengaruh langsung dalam kemampuan berpikir dan
ketanggapan merespon dinamikan lingkungan usahatani
dan penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi petani
digolongkan hanya mengaplikasikan teknologi tradisional.
Selain itu kemampuan petani dalam menerjemahkan
tantangan dinamika lingkungan saat ini juga belum
memenuhi harapan yang diinginkan (Muksin, 2007).
Selain faktor tersebut, factor mo vasi para petani
umumnya rendah. Indikasi dari hal tersebut adalah adanya
alasan bertani. Sebagian besar alasan menjalankan
usaha karena dak memiliki kemampuan lain. Para
petani menganggap sebenarnya usahatani dinilai dak
menguntungkan secara signifikan (Muksin, 2007).
Apabila dijumpai petani yang saat ini mengusahakan
lahannya, umumnya karena dak ada yang melanjutkan
pekerjaan sebagai petani. Selain itu persepsi yang
nega v terhadap pertanian dikaitkan dengan belum
op malnya peran penyuluhan dan kebijakan pemerintah
dalam memfasilitasi peran pemuda dalam pertanian
(Muksin, 2007). Sementara penyuluhan semakin
kehilangan perannya karena lemahnya anggapan ngkat
kepen ngannya, lemahnya dukungan poli k terhadap
6. 30
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
penyelenggaran penyuluhan, dan kesulitan menghitung
secara kuan ta f kontribusi atau keuntungan secara
ekonomis atas penyelenggaraan (Milburn et al., 2010).
Petani adalah manajer dari usahataninya. Petani
adalah SDM yang dengan segala keterbatasan atau
kelebihannya akan melaksanakan usaha tani. Petani
sebagai pengelola adalah Sumber Daya Manusia (SDM)
yang menyelenggarakan proses usaha. SDM dalam
usahatani akan menentukan bagaimana produk vitas
usahatani melalui kemampuan menjalankan usaha
dan proses pengambilan keputusan. Kemampuan yang
dimaksud adalah bagaimana petani melaksanakan
teknis budidaya, pemanenan, pengelolaan pasca
panen, dan pemasaran, serta kemampuan merespon
dinamika lingkungan yang terkait dengan usahatani.
Kemampuan merespon adalah kemampuan petani
dalam menerjemahkan kebutuhan dalam menjalankan
usahataninya, menyikapi dan menerjemahkan tantangan-
tantangan termasuk ancaman-ancaman terhadap usaha
taninya. Kemampuan petani akan mengarahkan petani
dalam menjalankan usahataninya secara efisien dan
efek f dalam mencapai tujuan.
Secara faktual ngkat kemampuan kemampuan
petani yang menopang produk vitas usahatani masih
dinilai rendah. Indikator lemahnya kemampuan petani
antara lain jumlah petani yang semakin berkurang.
Indikator lainnya adalah melemahnya kemampuan fisik
dan non fisik yang terkait langsung dengan umur petani,
dan melemahnya mo vasi petani dalam menjalankan
usaha tani (Muksin, 2014).
Kesimpulan dan Implikasi
Kemampuan menghasilkan produk pertanian
dipengaruhi oleh luas lahan, mutu lahan, dinamika
lingkungan dan iklim, input teknologi dan jumlah maupun
mutu dari SDM petani. Apabila lahan dan dinamika iklim
adalah sesuatu yang memerlukan kebijakan eksternal dan
kolabora f seluruh pelaku pertanian di dunia, maka SDM
petani dalam konteks ini akan lebih banyak bertumpu
pada kemampuan petani dan kebjujakan internal dari
Negara masing-masing. Ke dakmampuan SDM petani
atau rendahnya SDM petani dari suatu Negara, dak akan
lantas merugikan Negara bersangkutan, akan tetapi lebih
banyak kepada Negara tersebut.
Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa
produk vitas SDM petani yang menurun berkaitan
dengan jumlahnya, umur, kemampuan, dan mo vasi
melaksanakan usaha. Kondisi produk vitas petani yang
menurun, mengindikasikan adanya kebutuhan regenerasi
dari pelaku usahatani. Apabila kondisi rendahnya SDM tak
tergan kan, maka krisis pangan dan kedaulatan bangsa ini
tentu dipertaruhkan.
Regenerasi akan diharapkan memebrikan “energi’
baru baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Bersifat fisik
terkait dengan kebutuhan umur produk f yang secara
jasmaniah mampu menopang kerja-kerja fisik dalam
usahatani. Bersifat non fisik terkait dengan kemampuan
belajar untuk selanjutnya melakukan adopsi inovasi dalam
menjalankan usaha tani. Kemampuan belajar terus-
menerus dan penguasaan terhadap teknologi khususnya
dalam pemanfaatan teknologi informasi akan berdampak
posi f bagai peningkatan daya saing petani.
Regenerasiadalahpergan anSDMbaikdalammakna
sebagai pelaku pertanian maupun sebagai pergan an
paradigma berpikir tentang pertanian. Regenerasi adalah
pergan an pelaku usahatani yang memiliki kemampuan
memadai dalam menjalankan usahatani untuk merespon
dinamika lingkungan. Pergan an dan keberlanjutan
generasi dalam melanjutkan usahatani, bermakna
melanjutkan kon nyuitas proses produksi pertanian dan
menjaga kesinambungan ketersediaan pangan, serta
keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang. Dengan
potensi yang besar pada SDM pemuda, maka adanya
permasalahan usahatani di Indonesia amat mungkin
diatasi.
Pergan an paradigma berpikir adalah konsekuensi
logis yang diharapkan terbentuk bagi penggan pelaku
dalamusahatanidalammemandangusahatani.Pergan an
paradigma dalam hal ini termasuk cara memandang
usahatani, pemanfaatan teknologi, pemasaran hasil
pertanian, amupun pengorganisasian usahatani.
Perubahan paradigma diharapkan dapat memberikan
kekuatan baru bagi bangsa ini untuk menciptakan dan
menguatkan daya saing pertanian di kancah internasional.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|67
societal progress measurement is proved to be needed
in every country, including in Indonesia, in order to
support their citizens to achieve a prosperous life. In
informing policy design, the drivers of community’s well-
being can be clearly understood by using subjective
well-being measurement (Hicks, Tinkler, & Allin, 2013).
It is significantly required especially in the populations
which highly affected by domains of policy which have
a non-market consequence. Local government can
formulate policies according to the needs of the people
of their specific region if the sample of subjective well-
being measurement is able to provide data on a local
level as it is large enough. In policy appraisal, the role of
subjective well-being is substantial in making decisions
on which government spending would bring highest
increase in the subjective well-being in respect to their
cost (Fujiwara & Campbell, 2011).
What are the institutional arrangements
of subjective well-being measurements
in the UK and in Indonesia?
Some significant institutional arrangement
elements can be seen in Table-1.
Table-1. Institutional Arrangement Elements of Subjective
Well-being Measurements in the UK and in Indonesia
Elements the UK Indonesia
Actors Multi actors Single actor
Role of key
agents Clear, multi agents
Clear but limited to
one agent
Platforms
National Debate (online and
offline platforms) None
Networks
Intra-organizational and
inter-organizational (Advisory
Forum, Technical Group, the
Social Impact Task Force) Intra-organizational
Regulations
Terms of Reference: National
Debate, Advisory Forum, &
Technical Group None
Type of
measurements
Evaluative, experience, and
eudaimonic
Evaluative and
eudaimonic
Source: Analysis, 2013
As pointed out by Esti, Woltjer, and Hasanov
(2013), attention to institutional arrangement/design
is required, especially in evaluation activities. However,
it was observed that Indonesia has yet not been able
to incorporate several good practices or institutional
arrangement elements that are already present in the
UK. These elements are stated in Table 1 and include
the inter-organizational networks (advisory forum and
technical group), key agents and their specific roles (ONS
and Cabinet Office); platform (national debate) and
regulations that control the actors’ role and are highly
correlated with actors involvement. The key areas which
matter the most to the people can be identifies with the
help of the national debate. It is also able to make sure
that measurements being used by the statistical office are
relevant to the wider public rather than just being limited
to the government. The advisory forum and technical
group consist of policy makers, business leaders, and
a range of experts including from the OECD, Eurostat,
other government departments, think tanks, academics,
and related market research experts. They are required
to choose, identify and analyze the subjective well-being
measurement related issues along with presenting the
statistical office with recommendations to enhance the
situation (ONS, 2010). In addition, there is also the Social
Impacts Task Force which comprises of analysts from
across government and has been sharing subjective
well-being analysis results and approaches mainly in the
policy appraisal context (Fujiwara & Campbell, 2011).
All of the three types of subjective well-being
approach already being applied in the UK through several
surveys. However, most of them are vulnerable to small
sample sizes and it is not clear which have committed
to continue asking subjective well-being questions in
the future. Recognizing this limitations of existing data
on subjective well-being in the UK and in response to
Stiglitz recommendation, since 2011 the ONS made an
approach to reflect different aspects of subjective well-
being through the IHS and complemented by the OPN
as part of the Measuring National Well-being Program.
There are four overall monitoring questions that were
included in the IHS which using all of the three approach
(evaluative, experience, and eudaimonic approach).
The overall monitoring questions were asked each
month in the OPN as well. In addition, some additional
questions drawing from the evaluative or experience
or eudaimonic approach were asked in OPN monthly
survey (ONS, 2011).
7. 66
|EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
(2012) who offered a concept of well-being based on
pleasure and pain; it also provided the background
of utilitarianism. In general, subjective well-being
measurement is carried out by simply asking people
about their well-being. As such, it bends more toward
democratic aspect of preference satisfaction, as it lets
people choose the level of well-being in their lives,
without anyone else deciding for them (Graham, 2010).
Encyclopedia of Quality of Life Research described
the subjective well-being as “The personal perception
and experience of positive and negative emotional
responses and global and specific cognitive evaluations
of satisfaction with life. Simply, subjective well-being
is the individual evaluation of quality of life (QOL)”
(Abdallah & Mahony, 2012). Similarly, the OECD
Guidelines explain subjective well-being as “all of the
various evaluations, positive and negative, that people
make of their lives and the affective reactions of people
to their experiences” (OECD, 2013). McGillivray (2007),
likewise, informs that “subjective well-being involves a
multidimensional evaluation of life, including cognitive
judgments of life satisfaction and affective evaluations of
emotions and moods.” Put simply, subjective well-being
can be taken as the way people comprehend their lives
to be going (Abdallah & Mahony, 2012).
Undoubtedly,theimportanceoftheneedtomeasure
subjective well-being cannot be denied. Subjective well-
being actually has a wide influence across a broad range
of behavioural traits and life outcomes, as indicated
by existing scientific evidence. The most preeminent
fact is that it is extremely significant that the economic
measurements of societal progress are balanced with
measurements of subjective well-being. The reason
behind this is to ensure that economic prosperity leads
to huge improvements across various domains of life,
and not just a wider economic capability. A call to ‘shift
emphasis from measuring economic production to
measuring people’s well-being’ was a central message
of the Stiglitz Commission report (Stiglitz et al., 2010).
Actually, the government can determine if the overall
net progress is positive regarding the improvement of
human well-being through the assessment of subjective
well-being along with economic variables (Helliwell et
al., 2013).
How can subjective well-being
measurement be a substantial input for
public policy?
Findings from literature review confirmed that
there are three major approaches, evaluative approach,
hedonic/experience approach, and eudaimonic approach
which facilitate subjective well-being measurement as
a useful input for public policy. There are three policy
contexts also present in this regard which are monitoring
progress, informing policy design, and policy appraisal
(Dolan, Layard, & Metcalfe, 2011). Evaluative approach
asks individuals to step back and reflect on their life and
make a cognitive assessment of how their life is going
overall, or on certain aspects of their life. Four major
types of evaluative approaches that focus on subjective
well-being in present-day practices are life satisfaction
& satisfaction scales, ladder of life approach, overall
happiness, and domain satisfaction. Hedonic/experience
approach seeks to measure people’s positive and
negative experiences over a short timeframe to capture
people’s well-being on a day-to-day basis through two
major approach, which are “experience sampling and day
reconstruction” and affect measurements. Eudaimonic
approach draws on self-determination theory and tends
to measure such things as people’s sense of meaning
and purpose in life, connections with family and friends, a
sense of control and whether they feel part of something
bigger than themselves. Three main types of this approach
are psychological/flourishing, capabilities approach, and
having, loving, being approach (Abdallah & Mahony,
2012).
Interview, questionnaire, and document
analysis confirmed as well that subjective well-being
measurement has potential roles for each policy context
used in the framework of the research. In monitoring
progress context, the role of subjective well-being
measurement is to complement rather than to replace
existing objective measurement of well-being. Subjective
well-being measurement should be done, published,
and placed alongside objective well-being measurement
in order to provide fuller picture of progress in a country.
Some policy-makers asserted that cross-regional
comparisons using subjective well-being measurement
will be important when they are related to evaluation
of regional development in Indonesia. A comprehensive
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|31
Regenerasi menjadi kebutuhan untuk memfasilitasi
produk vitas SDM pelaku usahatani. SDM usahatani
yang dak memiliki daya saing atau kompetensi dalam
mengupayakan usahatani dan agribisnis pada hakekatnya
adalah ancaman seja terhadap kedaulatan pangan. Perlu
upaya serius dalam menata dan membuat roadmaph
regenerasi SDM petani dan kemampuan memproduksi
pangan. Kedaulatan pangan menjadi terminology final
untuk memberdayakan Indonesia sebagai bangsa. Kondisi
tersebut memberikan alasan logis keperluan regenerasi
pertanian. Regenerasi pelaku usaha tani adalah
keberlanjutan usahatani untuk menyediakan pangan bagi
bangsa. Bangsa yang dak dapat menyediakan pangan,
adalah bangsa yang lemah. Regenerasi menjadi kewajiban
bersama untuk merespon kondisi kebutuhan pangan
dalam negeri, dan merespon persaingan di lingkungan
global.
Mewujudkan upaya regenerasi yang tepat,
menjadi keharusan semua pihak. Pihak-pihak dimaksud
adalah pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Ke ga
komponen bangsa ini seharusnya melakukan upaya
sistema s untuk memfasilitasi terintegrasinya rencana,
implementasi, dan evaluasi dalam memberdayakan SDM
pertanian khususnya pola regenerasi yang dikembangkan.
Kebutuhan mendesak terhadap regenerasi, kebutuhan
terhadap peningkatan kompetensi petani berikutnya
seharusnya sudah menjadi salahsatu blueprint yang
diketahui oleh semua pihak atau komponen bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas, 2009. Grand Strategi Keamanan Nasional. Bppenas, Jakarta.
BPS. 2003a. Sta s k Pemuda Indonesia 2003. BPS, Jakarta
____. 2003b. Sensus Pertanian 2003 Angka Nasional hasil Penda aran Rumah Tangga (Angka Sementara). BPS,
Jakarta.
____. 2003c. Sensus Pertanian 2003 Hasil Penda aran Rumah Tangga Propinsi Jawa Timur. BPS, Jakarta.
Luckey, AN., TP. Murphrey, RL. Cummins. 2013. Assessing Youth Percep ons and Knowledge of Agriculture: The
Impact of Par cipa ng in an AgVenture Program. Journal of Exten on (JoE). Volume 51, Number 3: 2. Diakses pada 2
Maret 2014) dari www.joe.org
Milburn, LS., SJ. Mulley, and C. Kline, 2010. The End of the Beginning and the Beginning of the End: The Decline
of Public Agricultural Extension in Ontario. Journal of Exten on (JoE). Volume 48, Number 6: 5-6. (Diakses pada 2 Maret
2014) dari www.joe.org
Muksin. 2007. Kompetensi Pemuda Tani yang Perlu dikembangkan di Jawa Timur. IPB, Bogor, Hal 154-161.
.2014. Implikasi Minat Dan Kompetensi Agribisnis Pemuda Pedesaan Terhadap Kedaulatan Pangan.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014.
Rosset P., 2011. Food Sovereignty and Alterna ve Paradigms to Confront Land Grabbing and the Food and Climate
Crises. Development. Volume 54, Number 1: 21-30. (Diakses pada 7 Maret 2014) dari www.search.proquest.com
Suswono. 2014. Kebijakan Pembangunan Pertanian Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Energi dalam
Menyongsong Era Asia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014
Wibowo, R., 2014. Masalah Tantangan Indonesia dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan. Seminar Nasional
Ketahanan Pangan (15 Maret 2014). Polije, Jember, Hal 5-6.