Bab 1 buku farmakologi UI
Buku ini berisi tentang farmakologi dari obat. Untuk Bab selanjutnya akan di upload secara berurutan.
Don't forget to like, comment, and follow me:)
Thank You^^
1. Pengantar Farmakologi
I. PENGANTAR FARMAKOLOGI
Arini Setiawati, Zunilda SB dan F.D. Suyatna
1.
2.
Pendahuluan
Farmakokinetik
2.1. Absorpsi dan bioavailabilitas
2.2. Distribusi
2.3, Biotransformasi
2.4. Ekskresi
Farmakodinamik
3.1, Mekanisme kerja obat
3.2, Fleseptor obat
3.3. Transmisi sinyal biologis
3.4. lnteraksi obat-reseptor
3.5. Antagonisme larmakodinamik
3.6. Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor
3.7. Terminologi
4. Pengembangan dan penilaian obat
1. PENDAHULUAN
Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia
yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka far-
makologi merupakan ilmu yang sangat luas ca-
kupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini
dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan
obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan
pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti
bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan ber-
bagai gejala penyakit.
Dahulu farmakologi mencakup pengetahuan
tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik, kom-
posisi, efekfisiologi dan biokimia, mekanisme kerja,
absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan
penggunaan obat. Namun dengan berkembangnya
pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut telah
berkembang menjadi cabang ilmu tersendiri.
Farmakognosi ialah cabang ilmu larmakologi
yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan
lain yang merupakan sumber obat. Cabang ilmu ini
tidak lagi dipelajari di lakultas kedokteran, tetapi
merupakan salah satu mata pelajaran penting di
fakultas farmasi. Mungkin saja ilmu ini menjadi pen-
ting lagi bagi kita kelak, kalau program tanaman
obat keluarga semakin populer.
Farmasi ialah ilmu yang mempelajari cara
membuat, memformulasikan, menyimpan, dan me-
nyediakan obat. Dalam batas tertentu pengetahuan
ini diberikan kepada mahasiswa kedokteran, kare-
na ada kalanya seorang dokter perlu memberikan
obat racikan.
Farmakologi klinik ialah cabang farrnakologi
yang mempelajari efek obat pada manusia, Ber-
bagai aspek dalam studi obat pada manusia ter-
cakup dalam cabang ilmu ini dengan tujuan menda-
patkan dasar ilmiah untuk penggunaan obat. Pe-
ngembangan dan penilaian obat akan dibahas pada
bagian akhir bab ini.
Untuk mempelajari pengaruh obat pada ma-
nusia, obat dicobakan dulu pada hewan dan dipela-
jari efeknya dalam farmakologi eksperimental,
Farmakokinetik ialah aspek larmakologi
yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu ab-
sorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya.
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap
fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta
mekanisme kerjanya,
Farmakoterapi ialah cabang ilmu yang berhu-
bungan dengan penggunaan obat dalam pence-
gahan dan pengobatan penyakit, Dalam farmakoj
terapi ini dipelajari aspek larmakokinetik dan far-
makodinamik suatu obat yang dimanfaatkan untuk
mengobati penyakit tertentu. Pengetahuan ini me-
rupakan bagian yang terpenting dalam pendidikan
farmakologi di fakultas kedokteran agar seorang
dokter mampu menggunakan obat secara rasional.
Karena upaya terapi juga menyangkut tindakan
2. Pengantar Farmakologi
hedah atau tindakan lain yang tidak menggunakan
obat, maka dalam buku ini akan digunakan kata
"terapi" untuk arti yang luas, dan kata "pengobatan"
untuk arti larmakoterapi atau terapi obat.
t6t<sit<ologi ialah ilmu yang mempelajari ke-
iacunan zat kimia, termasuk obat, zat yang diguna-
kan dalam rumah tangga, industri maupun lingkung-
an hidup lain misalnya insektisida, pestisida, dan
zat pengawet. Dalam cabang ilmu ini dipelajari juga
cara pencegahan, pengenalan, dan penanggula-
ngan kasus-kasus keracunan.
2. FARMAKOKINETIK
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui ber-
bagai cara pemberian umumnya mengalami ab-
sorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di
tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian,
dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi
dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses
farmakokinetik dan berjalan serentak seperti yang
terlihat pada Gambar 1-1 .
BIOTRANSFORMASI
Gambar 1-1, Berbagai proses larmakokinetik obat
Di tubuh manusia, obat harus menembus
sawar (barrier) ,sel di berbagai jaringan. Pada
umurnnya obat melintasi lapisan sel ini dengan me-
nembusnya, bukan dengan meleWati celah antar-
sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peris-
tiwa terpenting dalam proses larmakokinetik ialah
transport lintas membran.
Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang
membentuk lase hidrofilik di kedua sisi membran
dan lase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul
protein yang tertanam di kedua sisi membran atau
menembus membran berupa mozaik pada mem-
bran. Molekul-molekul protein ini membentuk kanal
hidrolilik untuk transport air dan molekul kecil lain-
nya yang larut dalam air.
Cara-cara transport obat lintas membran
yang terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif;
yang terakhir melibatkan komponen-komponen
membran sel dan membutuhkan energi. Sifat
fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport
ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam
air, derajat ionisasi, dan kelarutan dalam lemak.
Umumnya absorpsi dan distribusi obat terjadi
secara difusi pasif. Mula-mula obat harus berada
dalam larutan air pada permukaan membran sel,
kemudian molekul obat akan melintasi membran
dengan melarut dalam lemak membran. Pada
proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya
lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf mantap (steady
slale) dicapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua
sisi membran akan sama.
Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah
yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam larutan,
elektrolit lemah ini akan terionisasi. Derajat ionisasi
ini tergantung dari pKa obat dan pH larutan. Untuk
obat asam, pKa rendah berarti relatif kuat, sedang-
kan untuk obat basa, pKa tinggi yang relatif kuat.
Bentuk non-ion umumnya larut baik dalam lemak
sehingga mudah berdifusi melintasi membran.
Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran
karena sukar larut dalam lemak. Pada taraf mantap,
kadar obat bentuk non-ion saja yang sama di kedua
sisi membran, sedangkan kadar obat bentuk ionnya
tergantung dari perbedaan pH di kedua sisi
membran.
Membran sel merupakan membran semiper-
meabel, artinya hanya dapat dirembesi air dan
molekul-molekul kecil. Alr berdifusi atau mengalir
melalui kanal hidrofilik pada membran akibat per-
bedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan os-
motik. Bersama aliran air akan terbawa zal-zalle?
larut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari
100-200 misalnya urea, etanol, dan antipirin. Mes-
kipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya
membesar karena mengikat air sehingga tidak
dapat melewati kanal hidrolilik bersama air. Kini
telah ditemukan kanal selektif untuk ion-ion Na, K,
Ca.
TEMPAT KERJA
(RESEPTOR)
1sp;1s1 ;= Bebas
DEPOT JARINGAN
beoas
-
I erlKat
u,-as, /
'-"
llBebas -
Metabolit
srnr
SIST
-'-'--------t Obat
//
Obat Terikat
AESORPSI EKSKRESI
3. Pengantat Farmakologi
Transport obat melintasi endotel kapiler ter-
utama melalui celah-celah antarsel, kecuali di
susunan saraf pusat (SSP). Celah antarsel endotel
kapiler der.nikian besarnya sehingga dapat melolos-
kan semua molekul yang berat molekulnya kurang
dari 69.000 (BM albumin), yaitu semua obat bebas,
termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk
ion sekalipun. Proses ini berperan dalam absorpsi
obat setelah pemberian parenteral dan dalam filtrasi
lewat membran glomerulus di ginjal.
Pinositosis ialah cara transport dengan mem-
bentuk vesikel, misalnya untuk makromolekul
seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan
cara ini sangat sedikit.
Transport obat secara aktif biasanya terjadi
pada sel saraf, hati, dan tubuli ginjal. Proses ini
membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas
membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak me-
lawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain
dapat dihambat secara kompetitif, transport aktif ini
bersilat selektif dan memperlihatkan kapasitas
maksimal (dapat mengalami kejenuhan). Beberapa
obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat-zat
endogen, dan transport aktif suatu obat dapat pula
dipengaruhi oleh obat lain.
Dif usi terfasilitasi (FacrTitated diff usion) ialah
suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan
suatu faktor pembawa (carrier) yang merupakan
komponen membran sel tanpa menggunakan ener-
gi sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar
maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga ber-
sifat selektif, terjadi pada zal endogen yang
transportnya secara difusi biasa terlalu lambat,
misalnya untuk masuknya glukosa ke dalam sel
periler.
2.1. ABSORPSI DAN BIOAVAILABILITAS
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya.
Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan
obat dari tempat pemberian, menyangkut ke-
lengkapan dan kecepatan proses tersebut.
Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah
obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih
penting ialah bioavailabilitas. lstilah ini menyatakan
jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang
mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh/aktif. lniterjadi karena, untuk obat-obat terten-
tu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pem-
berian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian
akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus -
pada pemberian oral - dan/atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabo-
lisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lin-
tas pertama (/irsf pass metabolism or etimination)
atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mem-
punyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi
meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sem-
purna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus
metabolisme obat sebelum mencapai Sirkulasi sis-
temik. Elimlnasi lintas pertama ini dapat dihindari
atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral
(misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitroglise-
rin), rektal, atau mernberikannya bersama
makanan.
Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitas obat pada pemberian oral dapat di-
lihat pada Tabel 1-1 .
BIOEKUIVALENSI
Ekuivalensi kimia - kesetaraan jumlah obat
dalam sediaan - belum tentu menghasilkan kadar
obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu
yang disebut ekuivalensi biologik atau bioekui-
valensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi
kimia tetapi tidak berekuivalensi biologik dikatakan
memperllhatkan bioinekuivalensi. lni terutama ter-
jadi pada obat-obat yang absorpsinya lambat
karena sukar larut dalam cairan saluran cerna,
misalnya digoksin dan difenilhidantoin, dan pada
obat yang mengalami metabolisme selama absorp-
sinya, misalnya eritromisin dan levodopa. Perbeija-
an bioavailabilitas sampai dengan 10% umumnya
tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam elek
kliniknya artinya memperlihatkan ekuivalensi
terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat me-
nimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk
obat-obat yang indeks terapinya sempit, misalnya
digoksin, difenilhidantoin, teofilin.
PEMBERIAN OBAT PER ORAL
Cara ini merupakan cara pemberian obat yang
paling umum dilakukan karena mudah, aman, dan
murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya (lihat Tabel 1 -1 ),
obat dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu
kerja sama dengan penderita; tidak bisa dilakukan
bila pasien koma.
4. Pengantat Farmakologi
Ta!:el 'l-1. BERBAGAI FAKTOR YANG DAPAT MEMPENGARUHI BIOAVAILABILITAS oBAT ORAL
1. Faktor obat Keterangan
a. Sifat-sifat fisikokimia obat
- stabilitas pada pH larnbung
- stabilitas terhadap enzim-enzim pencernaan
- stabilitas terhadap llora usus
menentukan jumlah obat yang
tersedia untuk diabsorpsi
- kelarutan dalam air/cairan saluran cerna
- ukuran molekul
- deraiat ionisasi pada pH saluran cerna
- kelarutan bentuk non-ion dalam lemak
menentukan kecepatan
absorpsi obat
- stabilitas terhadap enzim-enzim dalam dinding saluran cerna menentukan jumlah obat yang
- stabilitas terhadap enzim-enzim dalam hati mencapai sirkulasi sistemik
b, Formulasi obat
- keadaan fisik obat (ukuran partikel, bentuk kristaububuk, menentukan kecepatan dis-
dan lain-lain) integrasi dan disolusi obat
- eksipien (zat-zal pengisi, pengikat, pelicin, penyalut, dan lain-lain)
2, Faktor penderita
- pH saluran cerna, fungsi empedu mempengaruhi kecepatan dis-
integrasi dan disolusi obat
- kecepatan pengosongan lambung (motilitas saluran cerna, pH. mempengaruhi kecepatan
lambung, adanya makanan, bentuk tubuh, aktivitas lisik yang berat, absorpsi, dan dapat juga
stres, nyeri hebat, ulkus peptikum, stenosis pilorus, gangguan jumlah obat yang diserap
fungsi tiroid)
- waktu transit dalam saluran cerna (motilitas saluran cerna dan dapat mempengaruhi jumlah
gangguannya) obat Yang diserap
- perfusi saluran cerna (makanan, aktivitas fisik yang berat,
penyakit kardiovaskular)
dapat mempengaruhi kecepatan
atau jumlah absorpsi obat
- kapasitas absorpsi (luas permukaan absorpsi, sindrom malabsorpsi, dapat mempengaruhi kecepatan
usia laniut) absorpsi atau jumlah obat yang diserap
- metabolisme dalam lumen saluran cerna (pH lambung, enzim-enzim menentukan jumlah obat yang
pencernaan, llora usus) tersedia untuk diserap
" kapasitas metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam hati menentukan jumlah obat yang
(aktivitas enzim metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam mencapai sirkulasi sistemik
hati, laktor genetik, aliran darah portal, penyakit hati)
3, lnteraksi dalam absorpsi di saluran cerna
" adanya makanan
- perubahan pH saluran cerna (antasid)
' perubahan motilitas saluran cerna (katartik, opiat, antikolinergik)
- perubahan pedusi saluran cerna (obat-obat kardiovaskula4
- gangguan pada fungsi normal mukosa usus (neomisin, kolkisin)
- interaksi langsung (kelasi, adsorpsi, terikat pada resin, larut dalam cairan
yang tidak diabsorpsi)
5. Pengantar Farmakologi
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada
umumnya terjadi secara difusi pasif, karena itu
absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-
ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di
usus halu3 selalu jauh lebih cepat dibandingkan di
lambung karena permukaan epitel usus halus jauh
lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung.
Selain itu, epitel lambung tertutup lapisan mukus
yang tebal dan mempunyai tahanan listrik yang
tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pe-
ngosongan lambung biasanya akan meningkatkan
kecepalan absorpsi obat, dan sebaliknya. Akan
tetapi, perubahan dalam kecepatan pengosongan
lambung atau motilitas saluran cerna biasanya tidak
mempengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi atau
yang mencapai sirkulasi sistemik, kecuali pada tiga
hal berikut ini. (1) Obat yang absorpsinya lambat
karena sukar larut dalam cairan usus (misalnya
digoksin, difenilhidantoin, prednison) memerlukan
waktu transit dalam saluran cerna yang cukup pan-
jang untuk kelengkapan absorpsinya. (2) Sediaan
salut enterik atau sediaan lepas lambat yang ab-
sorpsinya biasanya kurang baik atau inkonsisten
akibat perbedaan penglepasan obat di lingkungan
berbeda, memerlukan waktu transit yang lama
dalam usus untuk meningkatkan jumlah yang dise-
rap. (3) Pada obat-obat yang mengalami metabo-
lisme di saluran cerna, misalnya penisilin G dan
eritromisin oleh asam lambung, levodopa dan klor-
promazin oleh enzim dalam dinding saluran cerna,
pengosongan lambung dan transit gastrointestinal
yang lambat akan mengurangiiumlah obat yang di-
serap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Untuk obat
yang waktu paruh eliminasinya pendek misalnya
prokainamid, perlambatan absorpsi akan menye-
babkan kadar terapi tidak dapat dicapai, meskipun
jumlah absorpsinya tidak berkurang.
Absorpsi secara transport aktif terjadi
terutama di usus halus untuk zat-zat makanan : glu-
kosa dan gula lain, asam amino, basa purin dan piri-
midin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga
terjadi untuk obat-obat yang struktur kimianya mirip
struktur zat makanan tersebut, misalnya levodopa,
metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-fluorourasil.
Kecepatan absorpsi obat bentuk padat diten-
tukan oleh kecepatan disintegrasi dan disolusinya
sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang ber-
beda dapat berbeda pula bioavailabilitasnya. Ada
kalanya sengaja dibuat sediaan yang waktu di-
solusinya lebih lama untuk memperpanjang masa
absorpsi sehingga obat dapat diberikan dengan in-
terval lebih lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas
lambat (sustained - release). Obat yang dirusak
oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritasi
lambung sengaja dibuat tidak terdisintegrasi di lam-
bung yaitu sebagai sediaan salut enterik (enteric-
coated).
Absorpsi dapat pula terjadi di mukosa mulut
dan rektum walaupun permukaan absorpsinya tidak
terlalu luas. Nitrogliserin ialah obat yang sangat
poten dan larut baik dalam lemak maka pemberian
sublingual atau perkutan sudah cukup untuk me-
nimbulkan efek. Selain itu, obat terhindar dari meta-
bolisme lintas pertama di hati karena aliran darah
dari mulut tidak melalui hati melainkan langsung ke
v.kava superior. Pemberian per rektal sering diper-
lukan pada penderita yang muntah-muntah, tidak
sadar, dan pascabedah. Metabolisme lintas perta-
ma di hati lebih sedikit dibandingkan dengan pem-
berian per oral karena hanya sekitar 50% obatyang
diabsorpsi dari rektum akan melalui sirkulasi portal.
Namun banyak obat mengiritasi mukosa rektum,
dan absorpsi di sana sering tidak lengkap dan tidak
teratur.
PEMBERIAN SECARA SUNTIKAN
Keuntungan pemberian obat secara suntikan
(parenteral) ialah: (1) efeknya timbul lebih cepat dan
teratur dibandingkan dengan pemberian per oral;
(2) dapat diberikan pada penderita yang tidak ko-
operatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3)
sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugian-
nya ialah dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan
rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum,
sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak
ekonomis.
Pemberian intravena (lV) tidak mengalami
tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah di-
peroleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan
langsung dengan respons penderita. Larutan ter-
tentu yang iritatif hanya dapat diberikan dengan
cara ini karena dinding pembuluh darah relatif tidak
sensitif dan bila disuntikkan perlahan-lahan, obat
segera diencerkan oleh darah. Kerugiannya ialah
efek tokslk mudah terjadi karena kadar obat yang
tinggi segera mencapai darah dan jaringan. Di sam-
ping itu, obat yang disuntikan lV tidak dapat ditarik
kembali. Obat dalam larutan minyak yang mengen-
dapkan konstituen darah, dan yang menyebabkan
hemolisis, tidak boleh diberikan dengan cara ini,
Penyuntikan lV harusdllakukan perlahan-lahan
sambil terus mengawasi respons penderita.
6. Farmakologi dan Tarapi
Suntikan subkutan (SK) hanya boleh diguna-
kan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jari-
ngan, Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan
konstan sehingga efeknya bertahan lama. Obat da-
lam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada
dalam bentuk larutan. Pencampuran obat dengan
vasokonstriktor juga akan memperlambat absorpsi
obat tersebut. Obat dalam bentuk padat yang dita-
namkan di bawah kulit dapat dlabsorpsi selama
beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada suntikan intramuskular (lM), kelarutan
obat dalam air menentukan kecepatan dan keleng-
kapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air
pada pH fisiologik misalnya digoksin, lenitoin, dan
diazepam akan mengendap di tempat suntikan se-
hingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap,
dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air diserap
cukup cepat, tergantung dari aliran darah di tempat
suntikan. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus
lateralis daripada di gluteus maksimus. Obat- obat
dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan
diabsorpsi dengan sangat lambat dan konstan (sun-
tikan depot), misalnya penisilin. Obat yang terlalu
iritatil untuk disuntikkan secara SK kadang- kadang
dapat diberikan secara lM.
Suntikan intratekal, yakni suntikan langsung
ke dalam ruang subaraknoid spinal, dilakukan bila
diinginkan elek obat yang cepat dan setempat pada
selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti
pada anestesia spinal atau pengobatan infeksi SSP
yang akut.
Suntikan intraperitoneal tidak dilakukan
pada manusia karena bahaya inleksi dan adesi
lerlalu besar.
PEMBERIAN MELALUI PARU-PARU
Cara inhalasi ini hanya dapat dilakukan untuk
obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah
menguap misalnya aneste,Uk umum, dan untuk obat
lain yang dapat diberikan dalam bentuk aerosol.
Absorpsi lerjadi melalui epitel paru dan mukosa
saluran napas. Keuntungannya, absorpsi terjadi
secara cepat karena permukaan absorpsinya luas,
terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati, dan
pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial,
obat dapat diberikan langsung pada bronkus, Sa-
yangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat
dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan,
sukar mengatur dosis, dan sering obatnya meng-
iritasi epitel paru.
PEMBEBIAN TOPIKAL
Pemberian topikal pada kulit. Tidak banyak obat
yang dapat menembus kulit utuh. Jumlah obat yang
diserap bergantung pada luas permukaan kulit yang
terpajan serta kelarutan obat dalam lemak karena
epidermis bertindak sebagai sawar lemak. Dermis
permeabel terhadap banyak zat sehingga absorpsi
terjadi jauh lebih mudah bila kulit terkelupas atau
terbakar. Beberapa zat kimia yang sangat larut
lemak, misalnya insektisida organolosfat,dapat
menimbulkan elek toksik akibat absorpsi melalui
kulit ini. lnflamasi dan keadaan lain yang mening-
katkan aliran darah kulit juga akan memacu ab-
sorpsi melalui kulit. Absorpsi dapat ditingkatkan
dengan membuat suspensi obat dalam minyak dan
menggosokkannya ke kulit, atau dengan menggu-
nakan penutup di atas kulit yang terpajan. Obat
yang banyak digunakan untuk penyakit kulit seba-
gai salep kulit ialah antibiotik, kortikosteroid, anti-
histamin, dan lungisid, tetapi beberapa obat siste-
mik dibuat juga sebagai sediaan topikal, misalnya
nitrogliserin dan skopolamin.
Pemberian topikal pada mata. Cara ini terutama
dimaksudkan untuk mendapatkan elek lokal pada
mata, yang biasanya memerlukan absorpsi obat
melalui kornea. Absorpsi terjadi lebih cepat bila
kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi
sistemik melalui saluran nasolakrimal sebenarnya
tidak diinginkan; absorpsi di sini dapat menyebab-
kan efek sistemik karena obat tidak mengalami me-
tabolisme lintas pertamadi hati, maka B-blokeryang
diberikan sebagai tetes mata misalnya pada glau-
koma dapat menimbulkan toksisitas sistemik.
2.2. DISTRIBUSI
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke
seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergan-
tung dari aliran darah, distribusi obat juga diten-
tukan oleh sifat lisikokimianya. Distribusi obat dibe-
dakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di
dalam tubuh. Oistribusi fase pertama terjadi sege-
ra setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusi-
nya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan
otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih
luas yaitu mencakup jaringan yang perlusinya tidak
sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan
jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai kese-
imbangan setelah waktu yang lebih lama. Dilusi ke
ruang interstisial jaringan terjadi cepat karena ce-
7. Pengantar Farmakologi
lah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan
semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat
yang mudah larut dalam lemak akan melintasi mem-
bran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedang-
kan obat'yang tidak larut dalam lemak akan sulit
menembus membran sel sehingga distribusinya ter-
batas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga
dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma,
hanya obat bebas yang dapat berdilusi dan men-
capai keseimbangan (lihat Gambar 1-1). Derajat
ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh
afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan
kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh pro-
tein akan berkurang pada malnutrisi berat karena
adanya defisiensi protein.
Obat dapat terakumulasi dalam sel iaringan
karena ditransport secara aktil, atau lebih sering
karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu
protein, foslolipid, atau nukleoprotein. Misalnya,
pada penggunaan kronik, kuinakrin akan menum-
puk dalam sel hati. Jaringan lemak dapat berlaku
sebagai reseryoar yang penting untuk obat larut
lemak, misalnya tiopental. Protein plasma juga
merupakan reservoar obat. Obat yang bersifat
asam terutama terikat pada albumin plasma, se-
dangkan obat yang bersifat basa pada asam cx.l-
glikoprotein. Tulang dapat menjadi reservoar
untuk logam berat misalnya timbal (Pb) atau radium.
Cairan transeluler misalnya asam lambung, berlaku
sebagai reservoar untuk obat yang bersilat basa
lemah akibat perbedaan pH yang besar antara
darah dan cairan lambung. Saluran cerna juga ber-
laku sebagai reservoar untuk obat oral yang diab-
sorpsi secara lambat, misalnya obat dalam sediaan
lepas lambat. Obat yang terakumulasi ini berada
dalam keseimbangan dengan obat dalam plasma
dan akan dilepaskan sewaktu kadar plasma menu-
run, maka adanya reservoar ini dapat memperpan-
jang kerja obat,
Redistribusi obat dari tempat kerjanya ke ja-
ringan lain merupakan salah satu faktor yang dapat
menghentikan kerja obat. Fenomen ini hanya terjadi
pada obat yang sangat larut lemak, misalnya tiopen-
tal. Karena aliran darah ke otak sangat tinggi, maka
setelah disuntikkan lV, obat ini segera mencapai
kadar maksimal dalam otak. Tetapi karena kadar
dalam plasma dengan cepat menurun akibat dilusi
ke jaringan lain, maka tiopental dalam otak juga
secara cepat berdifusi kembali ke dalam plasma
untuk selanjutnya diredistribusi ke jaringan lain,
Distribusi dari sirkulasi ke SSP sulit terjadi
karena obat harus menembus sawar khusus yang
dikenal sebagai sawar darah-otak. Endotel kapiler
otak tidak mempunyai celah antarsel maupun vesi-
kel pinositotik, tetapi mempunyai banyak taut cekat
(tight junction). Di samping itu, terdapat sel gliayang
mengelilingi kapiler otak ini. Dengan demikian, obat
tidak hanya harus melintasi endotel kapiler tetapi
juga membran sel glia perikapller untuk mencapai
cairan interstisial jaringan otak. Karena itu, kemam-
puan obat untuk menembus sawar darah-otak ha-
nya ditentukan oleh, dan sebanding dengan, kela-
rutan bentuk non-ion dalam lemak. Obat yang
seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk
ion, misalnya amonium kuaterner atau penisilin,
dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke otak
dari darah. Penisilin dosis besar sekali dapat masuk
ke otak, tetapi penisilin dosis terapi hanya dapat
masuk ke otak bila terdapat radang selaput otak,
karena permeabilitas meningkat di tempat radang.
Eliminasi obat dari otak kembali ke darah terjadi
melalui 3 cara, yakni (1 ) secara transport aktif mela-
lui epitel pleksus koroid dari cairan serebrospinal
(CSS) ke kapiler darah untuk ion-ion organik, misal-
nya penisilin; (2) secara difusi pasil lewat sawar
darah-otak dan sawar darah- CSS di pleksus koroid
untuk obat yang larut lemak; dan (3) ikut bersama
aliran CSS melalui vili araknoid ke sinus vena untuk
semua obat dan metabolit endogen, larut lemak
maupun tidak, ukuran kecll maupun besar.
Sawar uri yang memisahkan darah ibu dan
darah janin terdiri dari sel epitel vili dan sel endotel
kapiler janin; jadi, tidak berbeda dengan sawar
saluran cerna. Karena itu, semua obat oral yang
diterima ibu akan masuk ke sirkulasi janin, Distribusi
obat dalam tubuh janin mencapai keseimbangan
dengan darah ibu dalam waktu paling cepat 40
menit.
2.3. BIOTRANSFORMASI
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah
proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi
dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada pro-
ses ini molekul obat diubah menjadi lebih pol.ar
artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut
dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi me-
lalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi
inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan
dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang
metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau lebih tok-
sik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug)
justru diakti{kan oleh enzim biotransformasi ini. Me-
8. Farmakologi dan Terapi
tabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih
lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berak-
hir.
Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan
atas reaksi lase I dan lase ll. Yang termasuk reaksi
lase I ialah oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi
lase I ini mengubah.obat menjadi metabolit yang
lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif,
atau lebih aktil daripada bentuk aslinya. Reaksi
fase ll, yang disebut juga reaksi sintetik, merupakan
konyugasi obat atau metabolit hasil reaksi lase I
dengan substrat endogen misalnya asam gluku-
ronat, sulfat, asetat, atau asam amino. Hasil konyu-
gasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terioni-
sasi sehingga lebih mudah diekskresi. Metabolit
hasil konyugasi biasanya tidak aktil kecuali untuk
prodrug tertentu. Tidak semua obat dimetabolisme
melalui kedua lase reaksi tersebut; ada obat yang
mengalami reaksi fase I saja (satu atau beberapa
macam reaksi) atau reaksi fase ll saja (satu atau
beberapa macam reaksi). Tetapi, kebanyakan obat
dimetabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus
atau secara berurutan menjadi beberapa macam
metabolit.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi
obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya di
dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat
dalam retikulum endoplasma halus (yang pada iso-
lasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-
mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini
terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga ter-
dapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel
saluran cerna, dan plasma. Di lumen saluran cerna
juga terdapat enzim nonmikrosom yang dihasilkan
oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis
reaksi konyugasi glukuronid, sebagian besar reaksi
oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
Sedangkan enzim nonmikrosom mengkatalisis
reaksi konyugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi,
serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
Sebagian besar biotransformasi obat dikata-
lisis oleh enzim mikrosom hati, demikian juga bio-
transformasi asam lemak, hormon steroid, dan bili-
rubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat
melintasi membran, masuk ke dalam retikulum en-
doplasma, dan berikatan dengan enzim mikrosom,
Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi
disebut oksidase lungsi campur (mixedlunction
oxidase - MFO) atau monooksigenase; sitokrom
Peso ialah komponen utama dalam sistem enzim ini.
Reaksiyang dikatalisis oleh MFO meliputi reaksi N-
dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik dan
rantai sampingnya, deaminasi amin primer dan se-
kunder, serta desulfurasi.
Glukuronid merupakan metabolit utama dari
obat yang mempunyai gugus lenol, alkohol, atau
asam karboksilat, Metabolit ini biasanya tidak aktif
dan cepat diekskresi melalui ginjal dan empedu
secara sekresi aktif untuk anion, Glukuronid yang
diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh
enzim p-glukuronidase yang dihasilkan oleh bakteri
usus, dan obat yang dibebaskan dapat diserap
kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpan-
jang kerja obat. Reaksi glukuronidasi ini dikatalisis
oleh beberapa jenis enzim glukuronil-transferase.
Berbeda dengan enzim nonmikrosom, enzim
mikrosom dapat dirangsang maupun dihambat akti-
vitasnya oleh zat kimia tertentu termasuk yang ter-
dapat di lingkungan. Zat ini menginduksi sintesis
enzim mikrosom tanpa perlu menjadi substratnya.
Zat penginduksi enzim ini dibagi atas 2 golongan,
yakni kelompok yang kerjanya menyerupai lenobar-
bital dan kelompok hidrokarbon polisiklik. Fenobar-
bital meningkatkan biotransformasi banyak obat,
sedangkan hidrokarbon polisiklik meningkatkan
metabolisme beberapa obat saja. Penghambatan
enzim sitokrom P+so pada manusia dapat disebab-
kan misalnya oleh simetidin dan etanol. Berbeda
dengan penghambatan enzim yang langsung ter-
jadi, induksi enzim memerlukan waktu pajanan
beberapa hari bahkan beberapa minggu sampai
zat penginduksi terkumpul cukup banyak.
Hilangnya elek induksi juga terjadi bertahap setelah
pajanan zat penginduksi dihentikan. Beberapa obat
bersifat autoinduktif artinya merangsang metabo-
lismenya sendiri, sehingga menimbulkan tolerdnsi.
Karena itu diperlukan dosis yang lebih besar untuk
mencapai elektivitas yang sama. Pemberian suatu
obat bersama penginduksi enzim metabolismenya,
memerlukan peningkatan dosis obat. Misalnya,
pemberian wadarin bersama lenobarbital, memer-
lukan peningkatan dosis wadarin untuk men-
dapatkan elek antikoagulan yang diinginkan. Bila
lenobarbital dihentikan, dosis warlarin harus
diturunkan kembali untuk menghindarkan ter-
ladinya perdarahan yang hebat.
Oksidasi obat-obat tertentu oleh sitokrom Paso
menghasilkan senyawa yang sangat reaktif, yang
dalam keadaan normal segera diubah menjadi me-
tabolit yang lebih stabil. Tetapi, bila enzimnya diin-
duksi atau kadar obatnya tinggi sekali, maka meta-
bolit antara yang terbentuk juga banyak sekali.
Karena inaktivasinya tidak cukup cepat, maka se-
nyawa tersebut sempat bereaksi dengan komponen
9. Pengantar Famakologi
sel dan menyebabkan kerusakan iaringan. Contoh-
nya ialah parasetamol.
Enzim nonmikrosom mengkatalisis semua
reaksl konyugasi yang bukan dengan glukuro-
nat yaitu konyugasi dengan asam asetat, glisin,
glutation, asam sulfat, asam foslat, dan gugus metil.
Sistem ini juga mengkatalisis beberapa reaksi ok-
sidasi, reduksi, dan hidrolisis.
Reaksi hidrolisis dikatalisis oleh enzim este-
rase nonspesifik di hati, plasma, saluran cerna' dan
di tempat lain, serta oleh enzim amidase yang ter-
utama terdapal di hati. Reaksi oksidasi terjadi di
mitokondria dan plasma sel hati serta jaringan lain,
dan dikatalisis oleh enzim alkohol dan aldehid dehi-
drogenase, xantinoksidase, tirosin hidroksilase'
dan monoamin oksidase.
Reaksi reduksi mikrosomal dan nonmikroso-
mal terjadi di hati dan iaringan lain untuk senyawa
azo dan nitro, misalnya kloramfenikol. Reaksi ini
seringkali dikatalisis oleh enzim llora usus dalam
lingkungan usus Yang anaerob.
Karena kadar terapi obat biasanya iauh di
bawah kemampuan maksimal enzim metabolisme-
nya, maka penghambatan kompetitil antara obat
yang menjadi substrat bagi enzim yang sama jarang
terjadi. Penghambatan kompetitil metabolisme
obat hanya terjadi pada obat yang kadar terapinya
mendekati kapasilas maksimal enzim metabolisme-
nya, misalnya dilenilhidantoin yang dihambat meta-
bolismenya oleh dikumarol, dan 6-merkaptopurin
yang dihambat metabolismenya oleh alopurinol.
Akibatnya, toksisitas obat yang dihambat metabo-
lismenya meningkat.
Aktivitas enzim mikrosom maupun nonmikro-
som ditentukan oleh faktor genetik sehingga kece-
patan metabolisme obat antarindividu bervariasi,
dapat sampai 6 kali lipat atau lebih. Beberapa enzim
bahkan memperlihatkan polimorfisme genetik, ar-
tinya terdapat 2 kelompok utama dalam populasi.
Distribusi populasi berdasarkan perbedaan aktivi-
tas enzim ini disebut distribusi bimodal, yaitu terdiri
atas yang tinggi (cepat) dan yang rendah (lam'
bat). Misalnya, untuk enzim asetilasi isoniazid, hi-
dralazin, dan beberapa substrat lain, populasi diba-
gi atas kelompok asetilator cepal dan asetilator
lambat; untuk enzim sitokrom Paso yang mengok-
sidasi debrisokuin, metoprolol, dan beberapa sub-
strat lain, populasi dibagi atas kelompok g)(tensive
metabolizers dan poor metabolizers. lni juga ber-
laku untuk beberaPa enzim lain.
Metabolisme obat di hati terganggu bila terjadi
kerusakan parenkim hati misalnya oleh adanya zat
hepatotoksik atau pada sirosis hepatis. Dalam
hal ini dosis obat yang eliminasinya terutama mela-
lui metabolisme di hati harus disesuaikan atau diku'
rangi. Demikian juga penurunan alir darah hepar
oleh obat, gangguan kardiovaskular, atau latihan
fisik berat akan mengurangi rnetabolisme obat ter-
tentu dihati.
Pada neonatus, terutama bayi prematur, ak-
tivitas enzim metabolisme ini rendah (baik enzim
mikrosom maupun enzim nonmikrosom). Ditambah
dengan lungsi ekskresi dan sawar darah-otak yang
belum sempurna, maka kelompok umur ini sangat
peka terhadap elek toksik obat tertentu. Misalnya'
kurangnya aktivitas glukuronidase pada neonatus
mendasari terjadinya hiperbilirubinemia dengan
risiko kernikterus, keracunan kloramlenikol, atau
analgesik opioid tertentu. Kemampuan biotransfor-
masi meningkat dalam beberapa bulan pertama
kehidupan baYi.
2.4. EKSKRESI
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai
organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil bio-
translormasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau
metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat
larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.
Ginial merupakan organ ekskresi yang ter-
penting. Ekskresi di sini merupakan resultante dari
3 proses, yakni liltrasi di glomerulus, sekresi aktif di
tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasil di tubuli prok-
simal dan distal.
Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler
dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari
albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga
semua obat yang tidak terikat protein plasma me-
ngalami filtrasi di sana' Di tubuli proksimal, asam
organik (penisilin, probenesid, salisilat, konyugat
glukuronid, dan asam urat) disekresi aktif melalui
sistem transport untuk asam organik, dan basa or-
ganik (neostigmin, kolin, histamin) disekresi aktif
melalui sistem transport untuk basa organik. Kedua
sistem transport tersebut relatif tidak selektil se-'
hingga teriadi kompetisi antar-asam organik dan
antar-basa organik dalam sistem transportnya
masing-masing. Untuk zal-zal endogen misalnya
asam urat, sistem transport ini dapat berlangsung
dua arah, artinya teriadi sekresi dan reabsorpsi.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reab-
sorpsi pasil untuk bentuk non-ion. Oleh karena itu'
10. 10
Pengantar Farmakologi
untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reab-
sorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang
menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih
basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehing-
ga reabsorpsinya berkuran g, akibatnya ekskresinya
meningkat. Sebaliknya, bila urin lebih asam, eks_
kresi asam lemah berkurang. Keadaan yang ber_
lawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. prinsip
ini digunakan untuk mengobati keracunan obat
yang ekskresinya dapat dipercepat dengan pemba_
saan atau pengasaman urin, misalnya salisilat,
fenobarbital.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada
gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu ditu_
runkan atau interval pemberian diperpanjang. Ber_
sihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam me_
nyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Banyak metabolit obat yang terbentuk di hati
diekskresi ke dalam usus melalui-empedu, kemu_
dian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering dise-
rap kembali di saluran cerna dan akhirnya dieks_
kresi melalui ginjal. Ada 3 sistem transport ke
dalam empedu, semuanya transport aktif yaitu
masing-masing untuk asary organik termasuk glu-
kuronid, basa organik, dan zat netral misalnya ste-
roid. Telah disebutkan bahwa konyugat glukuronid
akan mengalami sirkulasi enterohepatik.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur,
air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah
yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan seba_
gai pengganti darah untuk menentukan kadar obat
tertentu. Flambut pun dapat digunakan untuk mene_
mukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedok_
teran forensik.
3. FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang
mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat serta
mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanis-
me kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan menge_
tahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan res-
pons yang terjadi. Pengetahuan yang baik menge_
nai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan
berguna dalam sintesis obat baru.
3.1. MEKANISME KERJA OBAT
Efek obat umumnya timbul karena interaksi
obat dengan reseptor pada sel suatu organisme.
lnteraksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan
perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan
respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat
merupakan komponen makromolekul fungsional
yang mencakup 2 konsep penting. pertama, bahwa
obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal
tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu
fungsi baru, tetapi hanya memodulasi lungsi yang
sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagiterapi gen,
secara umum konsep ini masih berlaku sampai
sekarang. Setiap komponen makromolekul fung-
sional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi
sekelompok reseptor obat tertentu, juga berperan
sebagai reseptor untuk ligand endogen (hormon,
neurotransmitor). Substansi yang efeknya menye_
rupai senyawa endogen disebut agonis. Se-
baliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas
intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek
suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist bind-
ing site) disebut antagonis.
3.2. RESEPTOR OBAT
SIFAT KlMlA. Komponen yang paling penting
dalam reseptor obat ialah protein (mis. asetilkoli-
nesterase, Na*, K*-ATpase, tubulin, dsb.). Asam
nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang
penting, misalnya untuk sitostatika. lkatan obat-
reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidro-
fobik, van der Walls, atau kovalen, letapi umumnya
merupakan campuran berbagai ikatan di atas. perlu
diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikat-
an yang kuat sehingga lama kerja obat seringkali,
tetapi tidak selalu, panjang. Walaupun demikian,
ikatan nonkovalen yang afinitasnya linggi juga
dapat bersifat permanen.
HUBUNGAN STRUKTUR-AKT|V|TAS. Srruktur
kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitas-
nya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya,
sehingga perubahan kecil dalam molekul obat,
misalnya perubahan stereoisomer, dapat menim-
bulkan perubahan besar dalam sifat tarmakologi-
nya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur-
aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan
obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih
baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jari-
ngan tertentu.
11. Pengantar Farmakologi
RESEPTOR FISIOLOGIS. lstilah reseptor sebagai
makromolekul seluler tempat terikatnya obat untuk
menimbulkan respons telah diuraikan di atas. Teta-
pi terdapat juga protein seluleryang ber{ungsi seba-
gai reseptor fisiologik bagi ligand endogen seperti
hormon, neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi re-
septor ini meliputi pengikatan ligand yang sesuai
(oleh ligand binding domain) dan penghantaran
sinyal (oleh effector domain) yang dapat secara
langsung menimbulkan e{ek intrasel atau secara tak
langsung memulai sintesis maupun penglepasan
molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second
rnessenger.
Dalam keadaan lertentu, molekul reseptor
berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain
membentuk sistem reseptor-efektor sebelum me-
nimbulkan respons. Contohnya, sistem adenilat sik-
lase: reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase
sedangkan efektornya mensintesis cAMP sebagai
second/nessenger. Dalam sistem ini protein G-lah
yang berfungsi sebagai perantara reseptor dengan
enzim tersebut. Terdapat 2 macam protein G, yang
satu berfungsi dalam penghantaran, yang lain ber-
lungsi dalam penghambatan sinyal. Berikut ini akan
dibahas berbagai reseptor fisiologik tersebut.
3.3. TRANSMISI SINYAL BIOLOGIS
Penghantaran sinyal biologis ialah proses
yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler
(extracellular chemical messenger) menimbulkan
suatu respons seluler lisiologis yang spesifik. Sis-
tem hantaran ini dimulai dengan pendudukan
reseptor yang terdapat di membran sel atau di
dalam sitoplasma oleh transmitor. Kebanyakan
messenger ini bersifat polar. Contoh transmitor
untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah
katekolamin, TRFtr, LH; sedangkan untuk reseptor
yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid
(adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.
Feseptor di membran sel bekerja dengan cara
mengikat ligand yang sesuai kemudian menerus-
kan sinyalnya ke sel target itu, baik secara langsung
ke intrasel atau dengan cara memproduksi molekul
pengatur lainnya (second messenger) di intrasel.
Suatu reseptor mungkin memerlukan suatu protein
seluler tertentu untuk dapat ber{ungsi (sistem re-
septor-efektor) misalnya adenilat siklase. Pada sis-
tem ini, reseptor mengatur aktlvitas adenilat siklase,
dan efektor mensintesis siklik-AMP yang merupa-
kan second messenger.
Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma,
merupakan protein terlarut pengikat DNA (so/uble
DNA-binding protein) yang mengatur transkripsi
gen-gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hor-
mon yang sesuai akan meningkatkan sintesis
protein tertentu.
Reseptor hormon peptida yang mengatur per-
tumbuhan, diferensiasi, dan perkembangan (dan
dalam keadaan akut juga aktivitas metabolik)
umumnya ialah suatu protein kinase yang meng-
katalisis losforilasi protein target pada residu
tirosin. Kelompok reseptor ini meliputi reseptor
untuk insulin, epidermal growth factor, platelet-deri-
ved growth factor, dan limtokin tertentu. Feseptor
hormon peptida yang terdapat di membran plasma
berhubungan dengan bagian katalitiknya yang
berupa protein kinase intrasel, melalui suatu rantai
pendek asam amino hidrofobik yang menembus
membran plasma.
Pada reseptor untuk atrial natriuretic peptide,
bagian kompleks intrasel ini bukan protein kinase,
melainkan guanilat siklase yang mensintesis sik-
lik-GMP.
Sejumlah reseptor untuk neurotransmitor ter-
tentu membentuk kanal ion selektif di membran
plasma dan menyampaikan sinyal biologisnya de-
ngan cara mengubah potensial membran atau kom-
posisi ion. Contoh kelompok ini ialah reseplor
nikotinik, gamma-aminobutirat tipe A, glutamat, as-
partat, dan glisin. Reseptor ini merupakan protein
multi-subunit yang rantainya menembus membran
beberapa kali membentuk kanal ion. Mekanisme
terikatnya suatu transmitor dengan kanal yang ter-
dapat di bagian ekstrasel sehingga kanal meinjadi
terbuka, belum diketahui.
Sejumlah besar reseptor di membran plasma
bekerja mengatur protein efektor tertentu dengan
perantaraan sekelompok GTP binding protein
yang dikenal sebagai protein G. Yang termasuk
kelompok ini ialah reseptor untuk amin biogenik,
eikosanoid, dan hormon peptida lainnya. Reseptor
ini bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada
protein G spesifik yang selanjutnya mengatur ak-
tivitas efektor- efektor spesilik seperti adenilat sjk-
lase, tosfolipase 42 dan C, kanal Qa2* ,K* atau Na*,
dan beberapa protein yang berfungsi dalam trans-
portasi. Suatu sel dapat mempunyai 5 atau lebih
protein G yang masing-masing dapat memberikan
respons terhadap beberapa reseptor yang berbeda,
dan mengatur beberapa efektor yang berbeda pula.
Second messenger sitoplasma. Penghan-
taran sinyal biologis dalam sitoplasma dilangsung-
12. 12
kan dengan kerja second messenger antara lain
berupa cAMP, ion Caz*, dan yang akhir-akhir ini
sudah diterima ialah 1,4,5 inositol trisphosphate
(lP3) dan diasilgliserol (DAG). Substansi ini me-
men u hi kriteria sebagai second rnessenger yaitu d i-
produksi dengan sangat cepat, bekerja pada kadar
yang sangat rendah, dan setelah sinyal eksternal-
nya lidak ada mengalami penyingkiran secara
spesifik.
Siklik-AMP ialah second messenger yang
pertama kali ditemukan. Substansi ini dihasilkan
melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respons
terhadap aktivasi bermacam-macam reseptor (mis.
reseptor adrenergik). Stimulasi adenilat siklase di-
langsungkan lewat protein Gs dan inhibisinya lewat
protein Gi (lihat Gambar 1-2). Adenilat siklase juga
dapat distimulasi oleh ion Ca (terutama pada
neuron), toksin kolera, atau ion fluorida.
Siklik-AMP berfungsi mengaktifkan cAMP-de-
pendent protein kinase (protein kinase A) yang me-
ngatur laal protein intrasel dengan cara foslorilasi.
Siklik-AMP didegradasi dengan cara hidrolisis yang
An,EKSTRASEL U (7
dikatalisis oleh foslodiesterase menjadi 5-AMP
yang bukan suatu secondmessenger. Foslodieste-
rase diaktilkan oleh ion Ca dan kalmodulin atau
cAMP, Siklik-AMP juga dikeluarkan dari dalam sel
melalui transport aktif.
Ca sitoplasma merupakan second messe-
nger lain yang berfungsi dalam aktivasi beberapa
jenis enzim (mis. fosfolipase), menggiatkan aparat
kontraktil sel otot, mencetuskan penglepasan hista-
min, dan sebagainya. Kadar Ca sitoplasma diatur
oleh kanal ion Ca, dan ATP-ase yang terdapat di
membran plasma dan depot Ca intrasel (misalnya
retikulum sarkoplasmik). Kanal ion Ca di membran
sel dapat diatur oleh depolarisasi, interaksi dengan
Gs, losforilasi oleh cAMP-dependenf protein kF
nase, atau oleh ion K* dan Ca2*.
lnositol trisphosphate (lPs) dan diasilgli-
serol (DAG), merupakan second rnessenger pada
transmisi sinyal di ar adrenoseptor, reseptor vaso-
presin, asetilkolin, histamin, p/atelet-derived growth
factor-dsb.
ooA
INTRASEL fosfodiesterase
5AMP+Pi
protein kinase A
fosforilasi protein
I
I
I
respons seluler
Gambar 1-2. Transmisi sinyal blologis dengan second messenger cAMP,
Pendudukan reseptor (misalnya adrenoseptor p) yang terdapat di permukaan sel oleh agonisnya ((,l) menye-
babkan terbentuknya cAMP di permukaan dalam membran sel. Proses ini meliputi interaksi antara reseplor
(yang telah mengikat agonisnya) dengan protein pengatur Gs dan interaksi antara protein pengatur (Gs)
dengan GTP. lnteraksi Gs-GTP menimbulkan stimulasi adenilat siklase untuk memproduksi cAMP. Selanjut-
nya CAMP menimbulkan fosforilasi protein di bawah pengaruh kinase (protein kinase A), sehingga terjadi
respons seluler (misalnya lipolisis, glikoge-nolisis, efek inotropik positif , dan sebagainya). Sebaliknya aktivitas
adenilat siklase juga dapat dihambat melalui pendudukan reseptor lain misalnya aa adrenoseptor oleh
agonisnya (9).
Fosfodiesterase menghilangkan peran cAMP dengan hidrolisis menjadi 5AMP. Penghambatan fosfodieste-
rase (misalnya oleh amrinon, teofilin) memberikan efek serupa dengan perangsangan p-adrenoseptor.
'Fi - fosfor inorganik
a2 actrenoseptor
13. 13
Pengantar Farmakologi
Stimulasi adrenoseptor at (dan beberapa re-
septor lain) meningkatkan kadar Ca intrasel dengan
beberapa cara. Salah satu mekanisme yang paling
diterima saat ini ialah bahwa akibat pengikatan ago-
nis pada reseptor terjadi hidrolisis foslatidil inositol
4,S-bisfosfat (PlP2) yanS terdapat di membran sel
oleh fosfolipase C (PLC) sehingga terbentuk lPs
dan DAG (Gambar 1-3).
Kelompok reseptor yang melangsungkan si-
nyal biologis dengan perantaraan lPs dan DAG se-
bagai second messenger disebut juga sebagai Ca-
mobilizing receptors. Sistem ini dapat berhubungan
dengan sintesis prostaglandin; di sini DAG menga-
lami hidrolisis lebih lanjut oleh fosfolipase 42 yang
diaktifkan oleh meningkatnya kadar Ca. Seperti
juga second messenger yang lain, setelah respons
EKSTRASEL
MEMBRAN
SEL
biologis terjadi maka lPs dan DAG mengalami meta-
bolisme di bawah pengaruh kinase tertentu.
PENGATURAN FUNGSI RESEPTOR. Reseptor ti-
dak hanya berf ungsi dalam pengaturan {isiologi dan
biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh
mekanisme homeostatik lain. Bila suatu sel dirang-
sang oleh agonisnya secara terus menerus maka
akan terjadi desensitisasi (re{rakterisasi atau
down regulation) yang menyebabkan efek perang-
sangan selanjutnya oleh kadar obat yang sama
berkurang atau menghilang (lihat bab efedrin)' Se-
baliknya bila rangsangan pada reseptor berkurang
secara kronik, misalnya pada pemberian p-bloker
jangka panjang, seringkali terjadi hipereaktivitas
karena supersensitivitas terhadap agonis (akibat
bertambahnYa jumlah resePtor).
DAG
o
oo
lP3
I
dJoot Ca** intrasel
I
Ca*1
'---tr/ .
I
l"spons serurer
protein kinase C
I
tostorilasi protein
respons seluler
Gambar 1-3. Transmisi sinyal biologis dengan secondmessenger diasilgliserol (DAG) dan lPs (inositol trisfosfat)'
pendudukan i-"r"pto|. lmisatnyl o'1-adrenosepto0 yang terdapat di permukaan sel oleh agonisnya (O)
menyebabkan peningkatan akiivitas fosfolipase C (PLC) dengan perantaraan suatu protein G (yang belum
jelas jenisnya). Selan]utnya fosfolipase C akan menghidrolisis losfatidil inositol 4,5, bisfosfat tt,tri::!'19^91
terbentuk Oiasitgtiserot (dAe; serta inositol 1,4,5 trisfosfat (lP3). lPs menyebabkan penglepasan ion ca-
dari depot intraJeluler dan menimbulkan respons seluler. DAG dan lPs merangsang aktivitas protein kinase
C sehingga terjadi losforilasi protein diikuti oleh respons seluler'
14. Pengantar Farmakologi
3.4. INTERAKSI OBAT-RESEPTOR
lkatan antara obat dan reseptor misalnya ikat-
an sUbstrat dengan enzim, biasanya merupakan
ikatan l'emah (ikatan ion, hidrogen,'hiOrofoOi'k, van
der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen,
HUBUNGAN DOSIS DENGAN INTENSITAS EFEK
kr
D + R ;- DR- E
(Obat) (Reseptor) kz (Efek)
Menurutteori pendudukan reseptor (reseptor oc-
cupancy), intensitas elek obat berbanding lurus
dengan lraksi reseptor yang diduduki atau diikat-
nya, dan intensitas efek mencapai maksimal bila
seluruh reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena
interaksi obat-reseptor ini analog dengan interaksi
substrat-enzim, maka di sini berlaku persamaan
Michaelis-Menten :
EmalDl
E-
Kp + [D]
dengan: E =intensitasefekobat
Emax = efek maksimal
tDl = kadar obat bebas
kz
Ke =- = konstanta disosiasi
kr kompleksobat-reseptor
Bila Ke = [D], maka :
100
tDl
(A)
Gambar 1-4. (A) Kurva
(B) Kurva
Erur [Dl 1
E=
-
=- Emax
lDl + IDI z
ini berarti 50% reseptor diduduki oleh obat.
Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu
[D], dan besarnya efek E terlihat sebagai kurva
dosis-intensjtas efek (graded dose-effect curve
= DEC) yang berbentuk hiperbola (Gambar 1-4A).
Tetapi kurva log dosis-intensitas efek (log DEC)
akan berbentuk sigmoid (Gambar 1-48). Setiap
efek memperlihatkan kurvanya sendiri. Bila elek
yang diamati merupakan gabungan beberapa efek,
maka log DEC dapat bermacam-macam, tetapi
masing-masing berbentuk sigmoid.
Log DEC lebih sering digunakan karena men-
cakup rentang dosis yang luas dan mempunyai
bagian yang linear, yakni pada besar efek = 16-94%
(= 50% + 1SD), sehingga lebih mudah untuk mem-
perbandingkan beberapa DEC.
1/Ke menunjukkan afinitas obat terhadap re-
septor, artinya kemampuan obat untuk berikatan
dengan reseptornya (kemampuan obat untuk mem-
bentuk kompleks obat-reseptor). Jadi makin besar
Ko (= dosis yang menimbulkan l 12 efek maksimal),
makin kecil afinitas obat terhadap reseptornya.
E63x menunjukkan aktivitas intrinsik atau efek-
tivitas obat, yakni kemampuan intrinsik kompleks
obat-reseptor untuk menimbulkan aktivitas.dan/
atau efek farmakologik. Gambar 1-5 akan memper-
jelas arti afinitas dan aktivitas intrinsik.
100
^i 84
E
uJ
a
;50
E
uJ
tur 50
(B)
dosis-intensitas efek (= DEC).
log dosis-intensitas efek (= log OEC).
I
I
los tol
15. Pengantar Farmakologi 15
E
mat
YrEmat
Log dosis
E
E',,,'",
Log dosis Ko K'o
(c)
Gambar 1-5, Log DEC obat P dan Q yang berbeda atinitas dan/atau aktivitas intrinsiknya
(A) Afinitas berbeda (K'o > Ko), aktivitas intrindik sama (= Ema).
(B) Afinitas sama (- Ko), aktivitas intrinsik berbeda (E'max < E.ax).
(C) Af initas berbeda (K'o > Ko), aktivitas inVinsik juga berbeda (E'.- < E.ax).
Log dosis
{B)
16. Pengantar Farmakologi
Variabel hubungan dosis-intensitas efek obat.
Hubungan dosis dan intensitas elek dalam
keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana karena
banyat< obat bekerja secara kompleks dalam meng-
hasilkan efek. Efek antihipertensi, misalnya, meru-
pakan kombinasi efek terhadap jantung, vaskular,
dan sistem saraf. Walaupun demikian, suatu kurva
efek kompleks dapat diuraikan ke dalam kurva-
kurva sederhana untuk masing-masing komponen-
nya. Kurva sederhana ini, bagaimanapun bentuk-
nya, selalu mempunyai 4 variabel yaitu potensi, ke-
curaman (s/ope), efek maksimal, dan variasi biolo-
gik (Gambar 1-6).
Potensi menunjukkan rentang dosis obat
yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh
(1 ) kadar obat yang mencapai reseptor, yang ter-
gantung dari sifat larmakokinetik obat, dan (2)
afinitas obat terhadap reseptornya. Variabel ini
relatil tidak penting karena dalam klinik digunakan
dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya,
potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena
dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang
terlalu tinggi justru merugikan atau membahayakan
bila obatnya mudah menguap atau mudah diserap
melalui kulit.
Efek maksimal ialah respons maksimal yang
ditimbulkan obat bila diberikan pada dosis yang
tinggi. lni ditentukan oleh aktivitas intrinsik obat dan
ditunjukkan oleh dataran (plateau) pada DEC. Teta-
pi dalam klinik, dosis obat dibatasi oleh timbulnya
elek samping; dalam hal ini elek maksimal yang
dicapai dalam klinik mungkin kurang dari efek mak-
simal yang sesungguhnya. lni merupakan variabel
yang penting. Misalnya morfin dan aspirin berbeda
dalam efektivitasnya sebagai analgesik; morfin da-
pat menghilangkan rasa nyeri yang hebat, sedang-
kan aspirin tidak. Elek maksimal obat tidak selalu
berhubungan dengan potensinya.
S/ope atau lereng log DEC merupakan varia-
bel yang penting karena menunjukkan batas ke-
amanan obat. Lereng yang curam, misalnya untuk
lenobarbital, menunjukkan bahwa dosis yang me-
nimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi diban-
dingkan dengan dosis yang menimbulkan sedasi/
tidur.
Variasi biologik adalah variasi antar individu
dalam besarnya respons terhadap dosis yang sama
dari sualu obat. Suatu graded DEEC hanya berlaku
untuk satu orang pada satu waktu, tetapi dapat juga
merupakan nilai rata-rata dari populasi. Dalam hal
yang terakhir ini, variasi biologik dapat diperlihatkan
sebagai garis horisontal atau garis vertikal (lihat
gambar di atas). Garis horlsontal menunjukkan
bahwa untuk menimbulkan efek obat dengan inten-
sitas tertentu pada suatu populasi diperlukan suatu
rentang dosis. Garis vertikal menunjukkan bahwa
pemberian obat dengan dosis tertentu pada
populasi akan menimbulkan suatu rentang inten-
sitas efek.
I
o
o
6
(o
=o
o
Log dosis
Gambar 1-6, Variabel hubungbn dosis-intensitas efek obat
17. Pengantar Farmakologi 17
HUBUNGAN DOSIS OBAT-PERSEN RESPON.
DER
Suatu distribusi frekuensi individu yang mem-
berikan respons (dalam %) pada rentang dosis ter-
tentu (dalam log dosis), akan tergambar dalam ben-
tuk kurva distribusi normal (Gambar 1-7). Bila
distribusi lrekuensi tersebut dibuat kumulatif maka
akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang di-
sebut kurva log dosis- persen responder (/og
dose-percent curve = log DPC). Bentuk kurvanya
sama dengan log DEC, tetapi ordinatnya berbeda.
Pada log DEC ordinatnya ialah intensitas efek,
sedangkan pada log DPC ordinatnya adalah per-
sentasi individu yang responsif. Selain itu, pada log
DEC efek yang diukur ada gradasinya sehingga
kurva ini merupakan suatu graded DEC. Sementara
itu, pada log DPC respons penderita bersifat kuantal
(all or none), artinya ada atau tidak sama sekali,
maka kurva sigmoid ini disebut juga kurva log do-
sis-efek kuantal (quantal log dose-effect curve =
log DEC kuantal).
Jadi log DPC juga menunjukkan variasi in-
dividual dari dosis yang diperlukan untuk menim-
(sigmoid)
'6
c
o6
o
co
l50p
.:!
.;
100
Gambar 1-7. Kurva frekuensi distribusi normal dan kumulatif
Gambar 1-8. Kurva log dosis-persen responsif (: log DPC) atau
Kurva log dosis-efek kuantal (= log DEC kuantal)
untuk suatu sedatif-hipnotik
Distribusi frekuensl kumulatif
Log dosis
a
o
a
0)
C,,
c
G
p
':
.5
s
60
50
40
20
18. 1B Pengantar Farmakologi
bulkan suatu efek tertentu. Misalnya log DPC untuk
suatu sedatif-hipnotik dapat dilihat pada Gambar
1-8. Di sini tampak log DPC atau log DEC kuantal
untuk efek hipnosis di sebelah kiri dan untuk elek
kematian di sebelah kanan.
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada
50% individu disebut dosis terapi median atau
dosis efektif median (= ED50). Dosis letal
median (= LD50) ialah dosis yang menimbulkan
kematian pada 50% individu, sedangkan TD50 ialah
dosis toksik 50%.
Dalam studi farmakodinamik di laboralorium,
indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio
berikut:
TDsO LD5O
lndeks terapi atau
-
EDsO EDsO
Obat ideal menimbulkan elek terapi pada semua
penderita tanpa menimbulkan efek toksik pada se-
orang penderita pun. Oleh karena itu,
TD.1
lndeks terapi ialah lebih tepat, dan
ED99
TD1
untukobatijsal '- >1
ED99
Akan teta.pi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat
ditentukan dengan teliti karena letaknya di bagian
kurva yang melengkung dan bahkan hampir men-
datar.
3.5. ANTAGONISME FARMAKODINAMIK
Secara larmakodinamik dapat dibedakan 2
jenis antagonisme, yakni antagonisme fisiologik
dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antago-
nisme pada reseptor dapat bersifat kompetitil atau
nonkompetitif.
Antagonisme fisiologik terjadi pada organ yang
sama, tetapi pada sistem reseptor yang berlainan.
Misalnya, elek bronkokonstriksi histamin pada
bronkus lewat reseptor histamin, dapat dilawan de-
ngan pemberian adrenalin yang bekerja pada
adrenoseptor B.
Antagonisme pada reseptor terjadi melalui sistem
reseptor yang sama. Artinya antagonis mengikat
reseptor di tempat ikatan agonis (receptor sile atau
active site) sehingga terjadi antagonisme anlara
agonis dengan antagonisnya. Misalnya efek his-
tamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat
dicegah dengan pemberian antihistamin yang men-
duduki reseptor yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat diukur ber-
dasarkan interaksi obat-reseptor. Agonis ialah obat
yang bila menduduki reseptor menimbulkan e{ek
{armakologi secara intrinsik, sedangkan antagonis
ialah obat yang menduduki reseptor yang sama
tetapi secara intrinsik tidak mampu menimbulkan
efek farmakologi. Jadi antagonis menghalangi ikat-
an reseptor dengan agonisnya sehingga kerja ago-
nis terhambat. Antagonis demikian juga disebut re-
ceptor blocker atau bloker saja. Jadi bloker tidak
berefek intrinsik karena elek yang terlihat bukan
efek langsung melainkan penghambatan elek
agonis.
Pada antagonisme kompetitif, antagonis
berikatan dengan receptor sile secara reversibel
sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi.
Dengan demikian penghambatan efek agonis da-
pat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis
sampai akhirnya dicapai efek maksimal. Jadi, diper-
lukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk mem-
peroleh efek yang sama. lni berarti a{initas agonis
terhadap reseptornya menurun (llhat Gambar 1-9).
Contoh antagonisme kompetitif ialah B-bloker
dan antihislamin.
Efek
E. ut
KD K'D Log tOl
Gambar 1-9. Antagonisme kompetitif,
Antagonis kompetitif (Ak) menyebabkan log DEC agonis
(D) bergeser sejajar ke kanan (D + Ak). Efek maksimal
yang dicapai agonis sama (= Emax), tetapi afinitas agonis
terhadap reseptornya menurun (K'o > KO).
D = Agonis
Ak = Antagonis
kompetitif
19. Pengantar Farmakologi
E
max
t max
Efek
YrEmax
1y2
E'.",
Kadang-kadang suatu antagonis mengikat re-
septor bukan di tempat ikatan reseptor agonis
(agonist receptor site), tetapi menyebabkan
perubahan konformasi reseptor sedemikian rupa
sehinggaafinitas terhadap agonisnya menurun.
Walaupun penurunan alinitas agonis ini dapat
diatasi dengan meningkatkan dosis agonis, ke-
adaan ini tidak disebut antagonisme kompetitil
(meskipun gambar kurvanya sama) tetapi lebih
tepat disebut kooperativitas negatif.
Pada antagonisme nonkompetitif, peng-
hambatan efek agonis tidak dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek mak-
simal yang dicapai akan berkurang, tetapi afinitas
agonis terhadap reseptornya tidak berubah (Gam-
bar 1-10).
reseptor adrenergik alfa di receptor sile secara
ireversibel.
Antagonisme nonkompetitif juga terjadi bila
antagonis bukan terikat pada molekul reseptornya,
melainkan pada komponen lain dalam sistem re-
septor yang meneruskan lungsi reseptor di dalam
sel target; misalnya molekul adenilat siklase atau
molekul protein pembentuk kanal ion. lkatan an-
tagonis pada molekul tersebut, secara reversibel
maupun ireversibel, akan mengurangi Erpsy tanpa
mengganggu ikatan agonis-reseptor; afinitas ago-
nis terhadap reseptornya tidak berubah.
Agonis parsial ialah agonis lemah, artinya
agonis yang mempunyai aktivitas intrinsik atau
etektivitas yang rendah sehingga ef ek maksimalnya
lemah (lihat Gambar 1-11, kurva X). Akan tetapi,
obat ini akan mengurangi efek maksimal yang ditim-
bulkan oleh agonis penuh (lihat Gambar 1-1 1 , kurva
Z). Oleh karena itu agonis parsial disebut juga an-
tagonis parsial. Contoh: nalorfin ialah agonis par-
sial alau antagonis parsial untuk reseptor morfin,
sedangkan nalokson ialah antagonis murninya.
Nalorlin dapat digunakan sebagai antagonis pada
keracunan mor{in, tetapi bila diberikan sendiri nalor-
lin juga menimbulkan berbagai efek opiat dalam
derajat yang lebih ringan. Nalokson, yang tidak
mempunyai elek agonis, akan mengantagonis de-
ngan sempurna semua elek opiat mortin.
3.6. KERJA OBAT YANG TIDAK DIPERAN-
TARAI RESEPTOR
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak
berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin
mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan
ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen
sel.
EFEK NONSPESIFIK DAN GANGGUAN PADA
MEMBRAN
Perubahan sifat osmotik. Diuretik osmotik (urea,
manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrat
glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di
tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretik. De-
mikian juga katartik osmotik (MgSO+), gliserol yang
mengurangi udem serebral, dan pengganti plasma
(polivinil pirolidon = PVP) untuk penambah volume
intravaskular.
KD Log [D]
Gambar 1-10. Antagonisme nonkompetitif
Antagonis nonkompetitif (An) menyebabkan efek mak-
simal yang dicapai agonis berkurang (E'rux. E66y) tetapi
af initas agonis terhadap reseptornya tidak berubah (= 691.
Antagonisme nonkompetitif terjadi bila anta-
gonis mengikat reseptor secara ireversibel, di re-
ceptor site maupun di tempat lain, sehingga meng-
halangi ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan
demikian antagonis mengurangi jumlah reseptor
yang tersedia untuk berikatan dengan agonisnya
sehingga efek maksimal akan berkurang. Tetapi
afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak
berubah. Contohnya, lenoksibenzamin mengikat
D = Agonis
An = Antagonis
nonkompetitif
20. Pengantar Farmakologi
A - Agonis parsial
Emax ' elek maksimal
agonis penuh
Ema (A) - e{ek maksimal
agonis parsial A
Log [A]
Gambar 1-11. Log DEC agonis parsial tanpa dan dengan adanya agonis penuh.
Kurva X : dihasilkan oleh A sendiri dengan efek maksimal Emax(A)
Kurva Y : dihasilkan oleh campuran A dan agonis penuh dalam dosis yang menimbulkan efek lebih kecil daripada
Enra (A)i penambahan A akan menambah efek tersebut sampai dicapai Emax (A)
KurvaZ : dihasilkan oleh campuran A dan agonis penuh dalam dosis yang menimbulkan efek lebih besar daripada
Ema (A)i penambahan
A akan mengurangi efek tersebut sampai dicapai Ema (A)
Perubahan sifat asam/basa. Kerja ini diperlihat-
kan oleh antasid dalam menetralkan asam lam-
bung, NH+Cl dalam mengasamkan urin, Na bikar-
bonat dalam membasakan urin, dan asam-asam
organik sebagai antiseptik saluran kemih atau seba-
gai spermisid topikal dalam saluran vagina.
Kerusakan nonspesitik. Zat perusak nonspesifik
digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan,
dan kontrasepsi. Contohnya, (1 ) detergen meru-
sak integritas membran lipoprotein; (2) halogen,
peroksida, dan oksidator lain merusak zat organik;
(3) denaturan merusak integritas dan kapasitas
lungsional membran sel, partikel subseluler dan
protein.
Gangguan fungsi membran. Anestetik umum
yang mudah menguap misalnya eter, halotan, enf lu-
ran, dan metoksi{luran bekerja dengan melarut da-
lam lemak membran sel di SSP sehingga eksitabili-
tasnya menurun.
INTERAKSI DENGAN MOLEKUL KECIL ATAU
toN
Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating
agents) misalnya CaNaz EDTA yang mengikat
Pb2* bebas menjadi kelat yang inaktif pada kera-
cunan Pb. Demikian juga kerja penisilamin yang
mengikat Cu2* bebas pada penyakit Wilson dan
dimerkaprol (8AL = British antilewisite) pada kera-
cunan logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi). Kelat yang
terbentuk larut dalam air sehingga mudah dikeluar-
kan melalui ginjal.
MASUK KE DALAM KOMPONEN SEL
Obat yang merupakan analog purin atau piri-
midin dapat berinkorporasi ke dalam asam nukleat
sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang be-
kerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-
merkaptopurin, 5-fluorourasil, llusitosin, dan anti-
kanker atau antimikroba lain.
3.7. TERMINOLOGI
SPESIFISITAS DAN SELEKTIVITAS
Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjanya
terbatas pada satu jenis reseptor, dan dikatakan
selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis
rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang
lebih besar. Obat yang spesifik belum tentu selektil,
21. Pengantar Farmakologi 21
tetapi obat yang tidak spesilik dengan sendirinya
tidak selektif. Klorpromazin bukan obat yang spe-
sif ik karena ia beker.ia pada berbagai .ienis reseptor:
kolinergik, adrenergik, dan histaminergik, selain
pada reseptor dopaminergik di SSP. Atropin adalah
bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi
tidak selektif karena reseptor ini terdapat di ber-
bagai organ. Salbutamol ialah agonis B-adrenergik
yang spesifik dan relatif selekti{, obat ini memblok
reseptor pz dan pada dosis terapi hanya bere{ek di
bronkus.
Selain tergantung dari dosls, selektlvilas obat
juga tergantung dari cara pemberian. Pemberian
obat langsung di tempat kerjanya akan meningkat-
kan selektivitas obat. Misalnya salbutamol, selek-
tivitas relatif obat ini pada reseptor p'2 di bronkus
ditingkatkan bila diberikan sebagai obat semprot
langsung ke saluranrapas.
Tidak ada obat yang menghasilkan satu efek
saja, dan makin banyak efek suatu obat, makin
banyak efek sampingnya. Dengan demikian selekti-
vitas merupakan sifat obat yang penting dalam te-
rapi. Selektivitas obat dinyatakan sebagai hubung-
an antara dosis terapi dan dosis obat yang me-
nimbulkan efek toksik. Hubungan ini disebut juga
indeks terapi atau batas keamanan obat (margin
of safety). lndeks terapi hanya berlaku untuk satu
elek terapi, maka obat yang mempunyai beberapa
elek terapi juga mempunyai beberapa indeks terapi.
lndeks terapi aspirin sebagai anaJgesik lebih besar
dibandingkan dengan indeks terapinya sebagai an-
tireumatik, karena dosis antireumatik lebih besar
daripada dosis analgesik. Meskipun perbandingan
dosis terapi dan efek toksik ini sangat bermanfaat
untuk suatu obat, data demikian sulit diperoleh dari
penelitian klinik. Umumnya dalam uji klinik, selek-
tivitas obat dinyatakan secara tidak langsung, yakni
sebagai (1 ) pola dan insidens efek samping yang
ditimbulkan obat dalam dosis terapi, dan (2) persen-
tase penderita yang menghentikan obat atau menu-
runkan dosis obat akibat efek samping. Data demi-
kian cukup memberikan gambaran mengenai ke-
amanan obat yang bersangkutan. Selalu harus di-
ingat bahwa gambaran atau pernyataan bahwa
suatu obat cukup aman untuk kebanyakan pende-
rita, tidak menjamin keamanan untuk setiap pende-
riia karena selalu ada kemungkinan timbul respons
yang menyimpang. Misalnya, penisilin dapat dikata-
kan tidak toksik untuk sebagian besar penderita,
tetapi dapat menyebabkan kematian pada pende-
rita yang alergi terhadap obat ini.
ISTILAH LAIN
Telah disebutkan bahwa untuk menimbulkan
suatu efek tertentu pada suatu populasi penderita,
diperlukan suatu rentang dosis, dan distribusi fre-
kuensi penderita yang responsif membentuk kurva
normal (lihat butir 3.4), Dosis rendah sekali cukup
untuk penderita yang hipereaktif sedangkan dosis
tinggi sekali dibutuhkan oleh penderita yang hipo-
reaktif. lstilah hipersensitif digunakan untuk efek
yang berhubungan dengan alergi obat. lstilah su-
persensitif digunakan untuk keadaan hipereaktif
akibat denervasi atau akibat pemberian kronik sua-
tu bloker reseptor yang merupakan denervasi far-
makologik (lihat hal. 94). lstilah toleransi diguna-
kan untuk keadaan hiporeaktit akibat pajanan obat
bersangkutan sebelumnya. Toleransi yang terjadi
dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa
dosis obat disebut toleransi akut atau takifilaksis.
Bila toleransi timbul akibat pembentukan antibodi
terhadap obat, digunakan istilah resisten, mlsalnya
terhadap insulin.
lstilah idiosinkrasi digunakan untuk elek obat
yang aneh (bizzare), ringan maupun berat, tidak
tergantung dari besarnya dosis, dan sangat jarang
terjadi. lstilah ini seringkali digunakan secara sim-
pang siur, maka sebaiknya istilah ini tidak diguna-
kan lagi. Efek yang aneh ini di kemudian hari mung-
kin terbukti merupakan reaksi alergi obat atau akibat
perbedaan genetik.
4. PENGEMBANGAN DAN PENILAIAN
OBAT
PENGUJIAN PADA HEWAN COBA
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil
isolasi maupun sintesis) terlebih dulu diuji dengan
serangkaian uji larmakologik pada organ terpisah
maupun pada hewan (uji praklinik). Bila ditemukan
suatu aktivitas farmakologik yang mungkin berman-
laat, maka senyawa yang lolos penyaringan iniakdn
diteliti lebih lanjut.
Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan
pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun
untuk meneliti sifat farmakodinamik, larmakokine-
tik, dan efek toksiknya pada hewan coba. Dalam
studi larmakokinetik Ini tercakup juga pengembang-
an teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa
22. 22
Pengantar Farmakologi
tersebut dan metabolitnya dalam cairan biologik.
Semuanya ini diperlukan untuk memperkirakan do-
sis efektif dan memperkecil risiko penelitian pada
manusia.
Studi toksikologi pada hewan umumnya dila-
kukan dalam 3 tahap, masing-masing pada 2-3
spesies hewan coba.
Penelitian toksisitas akut bertujuan mencari
besarnya dosis tunggal yang membunuh 50% dari
sekelompok hewan coba (LD50). pada tahap ini
sekaligus diamati gejala toksik dan perubahan pato-
logik organ pada hewan yang bersangkutan.
Penelitian toksisitas jangka panjang, ber-
tujuan meneliti elek toksik pada hewan coba setelah
pemberian obat ini secara teratur dalam jangka
panjang dan dengan cara pemberian sepertl pada
pasien nantinya. Lama pemberian bergantung pada
lama pemakaian nantinya pada penderita (Tabel
1-2). Di sini diamati fungsi dan patologi organ.
Tabel 1-2. LAMA PEMBEHTAN OBAT PADA pENELt_
TIAN TOKSISITAS
Lama pemakaian pada
manusia
Lama pemberian pada
hewan
sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu
obat. Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai lV.
UJI KLINIK FASE l. Fase ini merupakan pengujian
suatu obat baru untuk pertama kalinya pada manu-
sia. Yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan
elektivitasnya, maka biasanya dilakukan pada su-
karelawan sehat.
Tujuan pertama fase ini ialah menentukan be-
sarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya
yang tidak menimbulkan efek samping serius. Dosis
oral yang diberikan pertama kali pada manusia bia-
sanya 1/50 x dosis minimal yang menimbulkan efek
pada hewan. Tergantung dari data yang diperoleh
pada hewan, dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-
sedikit atau dengan kelipatan dua sampai diperoleh
efek farmakologik atau sampai timbul efek yang
tidak diinginkan. Untuk mencari efek toksik yang
mungkin terjadi dilakukan pemeriksaan hematologi,
faal hati, faal ginjal, urin rutin, dan bila perlu peme-
riksaan lain yang lebih spesifik.
Pada fase ini diteliti juga sifat farmakodinamik
dan farmakokinetiknya pada manusia. Hasil peneli-
tian larmakokinetik ini digunakan untuk meningkat-
kan ketepatan pemilihan dosis pada penelitian se-
lanjutnya. Selain itu, hasil ini diperbandingkan de-
ngan hasil uji serupa pada hewan coba sehingga
diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut
mengalami proses tarmakokinetik seperti pada ma-
nusia, Bila spesies ini dapat ditemukan, maka dila-
kukan penelitian toksisitas jangka panjang pada
hewan tersebut.
Uji klinik lase I ini dilaksanakan secara ter-
buka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersa-
mar, pada sejumlah kecil subjek dengan penga-
matan intensif oleh orang-orang yang ahli di bidang
ini, dan dikerjakan di tempat yang sarananya cukup
lengkap, Total jumlah subjek pada fase ini ber-
variasi antara 20-50 orang.
UJI KLINIK FASE ll. Pada fase ini obat dicobakan
untuk pertama kalinya pada sekelompok kecil pen-
derita yang kelak akan diobati dengan calon obat.
Tujuannya ialah melihat apakah efek farmakologik
yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk
pengobatan. Fase ll ini dilaksanakan oleh orang-
orang yang ahli dalam masing-masing bidang yang
terlibat. Mereka harus ikut berperan dalam mem-
buat protokol penelitian yang harus dinilai terlebih
dulu oleh panitia kode etik lokal. Protokol penelitian
harus diikuti dengan ketat, seleksi penderita harus
cermat, dan setiap penderita harus dimonitor de-
ngan intensif.
Dosis tunggal atau
beberapa dosis
Sampai dengan 4 minggu
Lebih dari 4 minggu
Minimal 2 minggu
13-26 minggu
Minimal 26 minggu (ter-
masuk studi karsinogenisitas
Penelitian toksisitas khusus meliputi peneli-
tian terhadap sistem reproduksi termasuk teratoge-
nisitas, uji karsinogenisitas dan mutagenisitas,
serta uji ketergantungan.
. Walaupun uji farmakologi-toksikologik pada
hewan ini memberikan data yang berharga, ramal-
an tepat mengenai efeknya pada manusia belum
dapat dibuat karena spesies yang berbeda tentu
berbeda pula jalur dan kecepatan metabolisme, ke-
cepatan ekskresi, sensilivitas reseptor, anatomi,
atau lisiologinya. Satu-satunya jalan untuk memas_
tikan efek obat pada manusia, baik efek lerapi mau-
pun efek nonterapi, ialah memberikannya pada
manusia dalam uji klinik.
PENcUJtAN PADA MANUSTA (UJt KLtNIK)
Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivi-
tas, keamanan, dan gambaran efek samping yang
23. Pengantar Farmakologi 23
Pada fase ll awal, pengujian efek terapi obat
dikerjakan secara terbuka karena masih merupa-
kan penelitian eksploratif. Pada tahap ini biasanya
belum dapat diambil kesimpulan yang mantap me-
ngenai efek obat yang bersangkutan karena ter-
dapat berbagai laktor yang mempengaruhi hasil
pengobatan, misalnya perjalanan klinik penyakit,
keparahannya, efek plasebo.
Untuk membuktikan bahwa suatu obat ber-
khasiat, perlu dilakukan uji klinik komparatif yang
membandingkannya dengan plasebo; atau bila
penggunaan plasebo tidak memenuhi syarat etik,
obat dibandingkan dengan obat standard yang telah
dikenal. lni dilakukan pada akhir fase ll atau awal
fase lll, tergantung dari siapa yang melakukan, se-
leksi penderita, dan monitoring penderitanya. Untuk
menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi
penderita harus acak dan pemberian obat dilakukan
secara tersamar ganda. lni disebut uii klinik acak
tersamar ganda berpembanding.
Pada fase ll ini tercakup juga penelitian dosis-
efek untuk menetapkan dosis optimal yang akan
digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut
mengenai eliminasi obat, lerutama metabolisme-
nya. Jumlah subjek yang mendapat obat baru pada
lase ini antara 100-200 penderita.
UJI KLINIK FASE lll. Uji klinik lase lll dilakukan
untuk memastikan bahwa suatu obat-baru benar-
benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada
akhir lase ll) dan untuk mengetahui kedudukannya
dibandingkan dengan obat standard. Penelitian ini
sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang (1 ) efeknya bila digunakan secara luas dan
diberikan oleh para dokter yang 'kurang ahli'; (2)
elek samping lain yang belum terlihat pada fase ll:
(3) dan dampak penggunaannya pada penderita
yang tidak diseleksi secara ketat.
Uji klinik fase lll dilakukan pada sejumlah be-
sar penderita yang tidak terseleksi ketat dan dikerja-
kan oleh orang-orang yang tidak terlalu ahli, sehing-
ga menyerupai keadaan sebenarnya dalam peng-
gunaan sehari-hari di masyarakat. Pada uji klinik
lase lll ini biasanya pembandingan dilakukan de-
ngan plasebo, obat yang sama tetapi dosis ber-
beda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau
obat lain yang indikasinya sama dengan dosis yang
ekuiefektit. Pengujian dilakukan secara acak dan
tersamar ganda.
Bila hasil uji klinik fase lll menunjukkan bahwa
obat baru ini cukup aman dan efektif, maka obat
dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah penderita
yang diikutsertakan pada {ase lll ini paling sedikit
500 orang.
UJI KLINIK FASE lV. Fase inisering disebutpost-
marketing drug surveillance karena merupakan pe-
ngamatan terhadap obat yang telah dlpasarkan.
Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan
obat di masyarakat serta pola efektivitas dan ke-
amanannya pada penggunaan yang sebenarnya.
Survei ini tidak terikat pada protokol penelitian;tidak
ada ketentuan tentang pemilihan penderita, besar-
nya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada lase
ini kepatuhan penderita makan obat merupakan
masalah.
Penelitian fase lV merupakan survei epide-
miologik menyangkut efek samping maupun efekti-
vitas obat. Pada lase lV ini dapat diamati (1 ) efek
samping yang frekuensinya rendah atau yang tim-
bul setelah pemakaian obat bertahun-tahun lama-
nya, (2) efektivitas obat pada penderita berpenyakit
berat atau berpenyakit ganda, penderita anak atau
usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali
dalam jangka panjang, dan (3) masalah penggu-
naan berlebihan, penyalahgunaan, dan lain-lain'
Studi lase lV dapat juga berupa uji klinik jangka
panjang dalam skala besar untuk menentukan efek
obat terhadap morb'rditas dan mortalitas sehingga
datanya menentukan status obat yang bersangkut-
an dalam terapi.
Dewasa ini waktu yang diperlukan untuk pe-
ngembangan suatu obat baru, mulai dari sintesis
bahan kimianya sampai dipasarkan, mencapai
waktu 10 tahun atau lebih,
Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan
secara luas, dapat ditemukan kemungkinan man-
faat lain yang mulanya muncul sebagai efek sam-
ping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di
klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui uji lase
L Hal seperti ini terjadi pada golongan salisilat yang
semula ditemukan sebagai antireumatik dan anti-
piretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemu-
kan belakangan. Hipoglikemlk oral juga ditemukan
dengan cara serupa.