Era Pencerahan dimulai ketika kekuasaan Gereja di Eropa semakin kuat namun ide-ide rasionalisme dan empirisme mulai menantangnya. Filsuf-filsuf pada masa itu seperti Descartes, Hume, dan Kant mulai menggugat keyakinan-keyakinan tradisional dan menekankan pentingnya berpikir mandiri. Mereka meyakini bahwa pencerahan berarti keluar dari ketidakmatangan berpikir dan mampu berpikir secara independ
1. KONSEP FILSAFAT DI ERA PENCERAHAN (AUFKLÄRUNG)
A. Pendahuluan
Dalam pergumulan hidup ini, setiap orang bisa menjadi filosof
alamiah. Hal itu karena samudra kehidupan yang senantiasa bergejolak bisa
dilihat oleh siapa pun dengan kacamata filsafat meski ia tidak mempelajari
filsafat secara akademis. Dalam pergumulan hidup itu, Albert Camus pernah
mengatakan bahwa hidup itu absurd, untuk memahami hidup yang sebenarnya
adalah bunuh diri menjadi jalan kemanusiaan yang sejati.1
Jika memang filsafat membantu untuk memahami makna hidup dan
menghasilkan perenungan filosofis, filsafat tentu bukan sekadar persoalan
akademis yang menjadi kesibukan para profesor dan mahasiswa. Memang ada
tendensi kuat dalam sejarah filsafat barat untuk mencirikan filsafat sebagai
tradisi ilmiah. Namun argumen-argumen filosofis sebenarnya merupakan
abstraksi yang tidak lepas dari corak pemikiran pribadi tokoh filosof.
Filsafat terus bergerak untuk meruntuhkan mitos hingga mencapai
puncaknya pada abad pencerahan, yaitu abad ke-18 dan berakhir pada abad
ke-19 sampai pada pemikiran filsafat Nietzsche. Abad Pencerahan sendiri
merupakan terjemahan dari Age of Enlightenment. Dalam bahasa Jerman,
Pencerahan disebut Aufklärung. Masa ini memiliki semangat revisi atas
kepercayaan-kepercayaan tradisional. Bertolak dari pemikiran ini, masyarakat
mulai menyadari pentingnya diskusi-diskusi dan pemikiran ilmiah. Semangat
ini kemudian ditularkan pula kepada koloni-koloni Bangsa Eropa di Asia,
termasuk Indonesia. Contoh nyatanya adalah pendirian Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Museum Gajah), suatu
perhimpunan untuk melakukan riset-riset ilmiah.2
Abad Pencerahan dimulai ketika gagasan-gagasan materialis dan
evolusionis mendapatkan penerimaan secara luas dalam masyarakat Eropa.
Sedikit banyak hal itu berpengaruh dalam menjauhkan masyarakat itu dari
1
Albert Camus, The Absurd Man, dalam http://www.sccs.swarthmore.edu/users/00/ pwillen1/lit/
absur.htm
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_Pencerahan.
1
2. agama. Mereka menggambarkan masa sebelumnya sebagai “Abad Kegelapan”
(The Dark Age) dan menyalahkan agama sebagai penyebabnya, serta
menegaskan bahwa Eropa mengalami pencerahan ketika dibebaskan dari
pengaruh agama (disekulerkan). Pandangan ini kini masih merupakan satu
dari sarana propaganda mereka yang menentang agama.3
Hasil terpenting dari Abad Pencerahan yang muncul di Prancis adalah
Revolusi Prancis, yang mengubah negara itu menjadi ajang pertumpahan
darah. Bagi sebagian besar cendekiawan Prancis, Abad Pencerahan berarti
membersihkan pemikiran masyarakat dari setiap nilai agama dan rohani.
Hampir semua pemikir yang hidup di Prancis abad ke-18 sama-sama memiliki
pandangan ini. Revolusi Prancis dibangun di atas gagasan Pencerahan ini yang
paling berpengaruh di Prancis; yang merupakan salah satu revolusi modern
yang sangat kejam. Segera setelah kelompok Jacobin berkuasa pasca Revolusi
Prancis, hal pertama yang mereka lakukan adalah pemberlakuan hukuman
mati dengan penggal kepala memakai pisau guillotine. Ribuan orang
kehilangan kepala mereka hanya karena mereka dituduh kaya atau taat
beragama.4
B. Konsep Filsafat di Era Pencerahan
Abad Pencerahan mulai muncul ke permukaan ketika kekuasaan
Gereja di Eropa semakin kuat, bahkan memproduksi berbagai dogma yang
justru menumpulkan rasio dan menghambat kebebasan berpikir. Di sisi lain,
Rasionalisme yang digagas oleh Rene Descartes semakin mendapat tempat di
benak para filosof dan cendekiawan. Usai Rasionalisme begitu mempengaruhi
jagat pemikiran Eropa, timbul pula Empirisisme yang dikomandani oleh
David Hume. Ketiga faktor itu, hegemoni gereja, rasionalisme, dan
empirisisme, semakin mengukuhkan pemikiran para filosof saat itu untuk
memberontak kepada hegemoni gereja yang dituding sebagai biang kerok
masa kegelapan pada abad sebelumnya.
3
http://www.harunyahya.com/indo/artikel/095.htm
4
Ibid.
2
3. Memperoleh kekuatan dari rasionalisme dan empirisisme, para filosof
pada abad ke-18 kemudian semakin berani untuk menggugat hal-hal yang
dianggap sebagai keyakinan yang telah mapan yang diproduksi oleh pihak
Gereja. Kecenderungan untuk relatif lebih berani menggugat hegemoni gereja
ini merupakan suatu karakteristik abad Pencerahan yang membedakannya dari
abad-abad sebelumnya. Meskipun kecenderungan ini tidak berarti membuat
abad ini merupakan abad atheisme, karena pada kepercayaan terhadap Tuhan
tetap dipertahankan. Dengan kata lain, yang dikritik dan tidak dipercayai
hanyalah institusi gereja beserta dogma-dogma yang dianggap tidak rasional.5
Pada perkembangan selanjutnya, Era Pencerahan dianggap sebagai
sebuah masa ketika manusia Eropa, para intelektual dan filsuf, berusaha
mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya
dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan. Upaya ini merupakan
sebuah respons yang benih-benihnya telah disemai oleh para tokoh Renaisans
dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16. Kaum ensiklopedis seperti Diderot dan
Voltaire meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah cara
terbaik mengatasi keyakinan-keyakinan akan mitos, takhayul, dan kebodohan.
Para aktivis Pencerahan kerap memandang diri mereka sebagai intelektual
bebas yang mendorong dunia ke arah kemajuan dan perubahan yang lebih
baik.6
Dalam artikelnya berjudul Was ist Äufklarung? (Apakah Itu
Pencerahan?), Immanuel Kant, tokoh penting Pencerahan itu, memberi
definisi sangat jelas. Menurut Kant:
Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang
diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah
ketidakmampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa
bantuan orang lain. Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan
karena kurangnya daya pikir, tetapi karena kurangnya determinasi dan
keberanian menggunakan pemahaman sendiri. Moto pencerahan,
dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah menggunakan
pemahaman sendiri!7
5
Lihat, K. Bertens, Ringkasan Serjarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 54
6
Luthfi Assyaukanie, “Sapere Aude!” Ibn Rushd, Kant, dan Proyek Pencerahan Islam, dalam
http://www.freedom-institute.org.
3
4. Dari definisi ini kita melihat bahwa Kant menganggap pencerahan
bukan semata-mata kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan
berpikir dan bertindak, tetapi yang terpenting adalah bahwa pencerahan itu
berarti kematangan berpikir dan sanggup melakukannya sendiri tanpa bantuan
orang lain. Yang dimaksud "bantuan orang lain" di sini adalah penggunaan
otoritas luar secara berlebihan sehingga menghalangi seseorang berpikir
independen. Inti pencerahan bukanlah pemikiran itu sendiri, tetapi bagaimana
seseorang berani menggunakan akal-pikirannya (sapere aude!).
Seperti bisa dilihat, selain menekankan pada kata keluarnya (ausgang),
Kant juga memberi penekanan pada ketidakmatangan atau belum akil balig
(unmündigkeit) serta determinasi dan keberanian yang merefleksikan dua
karakter berbeda dari sifat manusia. Penggunaan akal bebas ditekankan
sebesar-besarnya yang oleh Kant kemudian diberikan prasyarat tambahan:
keberanian.8
Tampaknya, prasyarat tambahan ini lebih penting dari kualitas akal-
pikiran sendiri. Tanpa keberanian, akal pikiran menjadi kurang berguna karena
ia akan menjadi agen pelestari dari otoritas pemikiran mapan. Dalam
pencerahan, yang lebih penting adalah bagaimana manusia mampu
memelihara independensi akal pikirannya dan mampu mengontrol dirinya dari
pengaruh pemikiran yang datang dari luar nalarnya. Pengaruh pemikiran luar
tak hanya sebatas pandangan atau ide partikular saja, tetapi juga yang lebih
penting adalah sistem pemikiran yang melembaga dalam institusi publik
seperti agama dan negara.
Zaman baru di Barat yang kemudian lazim dikenal sebagai abad
Modern dimulai kurang lebih abad ke-17. Hal itu merupakan awal
kemenangan rasionalisme, empirisisme, dan positivisme dari dogmatisme
agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad modern Barat ditandai
dengan adanya upaya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari
pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan antara rasionalisme, empirisisme
7
Immanuel Kant, Was ist Äufklarung? dalam http://www.fordham.edu/halsall/mod/kant-
whatis.html
8
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, op. cit., hal. 53.
4
5. dan positivisme dalam satu paket epistemologi melahirkan metode ilmiah
(scientific method).
Dengan metode ilmiah itu, kebenaran sesuatu hanya mereka
perhitungkan dari sudut fisiologis-lahiriah yang sangat bersifat profanik
(keduniawian atau kebendaan). Dengan cara seperti ini, sudah dapat dipastikan
ditolak segala pengetahuan yang berada di luar jangkauan indra dan rasio serta
pengujian ilmiah. Termasuk di dalamnya pengetahuan yang bersumber pada
agama.
Dengan demikian, zaman modern atau abad modern di Barat adalah
zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat
menyelesaikan segala persoalan-persoalan hidupnya, di mana manusia
dipandang sebagai makhluk yang bebas; yang independen dari alam dan
Tuhan. Manusia di Barat sengaja membebaskan dari tatanan ilahiah untuk
selanjutnya membangun tatanan antropomorfisme, suatu tatanan yang semata-
mata berpusat pada manusia. Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri.
Barat mengakui modernisasi sebagai sebuah proses perubahan struktur
sosial melalui peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi; sebagai sebuah
pergerakan dari masyarakat tradisional yang taat beragama, yang
mempercayai keajaiban dan takhayul menjadi masyarakat yang modern dan
postmodern, yang terbebas dari tradisi agama dan norma-norma. Dari
batasan-batasan ini, atas nama modernisasi terlihat jelas pemisahan antara
kehidupan dunia dengan agamanya.
Perjalanan sejarah Barat yang sebenarnya sejak Masa Pencerahan
tidaklah membawa ke kemenangan nalar, melainkan menyebabkan
serangkaian tragedi kemanusiaan pada skala yang sangat besar:
proletarianisasi seluruh wilayah, buruh anak-anak, perbudakan dan apartheid,
dua Perang Dunia yang keji, penggunaan senjata kimia dan nuklir dan
penghancuran sistematis kaum petani dan Yahudi, Roma dan Gipsi,
homoseksual dan orang yang cacat mental, kekuasaan Nazi dan pembersihan
etnis.
5
6. Kegagalan modernisme ini tentu saja bukan salah Descartes, Spinoza,
Locke, Hume, Berkeley, Bjerkely, Kant, Voltaire, maupun Goethe. Karena tak
satupun dari mereka yang ateis atau menolak eksistensi Tuhan. Mereka semua
tetap bertuhan, meski pada saat yang sama, mereka menolak agama Kristen
institusional oleh pihak gereja dan menolak trinitas. Konsep Tuhan mereka
berangkat bukan dari pengetahuan wahyu, akan tetapi dari observasi atas alam
dan kerja intelektual mereka. Modernitas mereka berangkat dan hanya untuk
mendobrak dogmatisasi gereja yang menentang ilmu pengetahuan. Meski
demikian, nuansa atheistik pada abad percerahan juga muncul di tangan David
Hume, August Comte, dan lain-lain.
Pada zaman Aufklärung (pencerahan), materialisme mendapat
tanggapan dan penganut yang penting di Eropa Barat. Pada zaman ini, hal
yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal
budi (rasio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi
yang demikian tidak sia-sia. Ilmu pengetahuan berkembang pesat sekali. Maka
tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang
terpelajar makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran
tentang hidup dan dunia. Hal ini semakin tampak pada bagian kedua abad ke
XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru
terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727).
C. Era Pencerahan di Inggris
Dalam ranah pemikiran filsafat Inggris di era pencerahan, deisme
merupakan paham yang cukup menonjol. Paham seisme ini meyakini bahwa
Tuhan menciptakan alam semesta dalam sekali beserta dengan hukum alam
yang bekerja secara mekanistis. Setelah itu, Tuhan membiarkan alam bekerja
sendiri dan Ia tidak terlibat lagi di dalamnya. Segala hal yang terjadi di alam
semesta merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri dan Tuhan tidak
campur tangan. Di sisi lain, segala hal yang berkaitan dengan mukjizat,
wahyu, dan lain-lainnya yang bersifat adikodrati merupakan hal-hal yang tidak
6
7. perlu dipercayai. Dengan demikian, ajaran-ajaran Kristen harus merupakan
sesuatu yang rasional agar bisa dipercayai.
Salah satu tokoh era Pencerahan di Inggris adalah David Hume.
Dengan skeptisisme yang radikal, ia melangkah lebih jauh dari paham deisme.
Ia menyangkal keberadaan Tuhan yang didasarkan secara rasional. Baginya,
prinsip kausalitas tidak dapat dibenarkan. Di sisi lain, menurutnya, agama
hanyalah merupakan ciptaan imajinasi manusia karena adanya harapan (hope)
dan ketakutan (fear). Dengan agama, manusia berharap ada kekuatan yang
melindunginya dan membebaskannya dari ketakutan dalam menghadapi alam
semesta.
D. Era Pencerahan di Perancis
Wacana filsafat di Prancis pada abad 18 banyak dipengaruhi oleh
filsafat Inggris. Hal itu misalnya bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa Voltaire
(1712-1778) --yang kelak menjadi salah satu tokoh filosof Prancis—
sebelumnya pada tahun 1726 mengungsi ke Inggris dan mempelajari filsafat
di sana. Pada gilirannya, para pemikir Inggris --seperti John Locke yang
mengembangkan imperisisme dan Issac Newton yang saintis-- menggeser
pengaruh Descartes yang notabene orang Prancis yang memperkenalkan
paham rasionalisme.
Terdapat ciri khas filsafat Prancis di era Pencerahan yang
membedakannya dengan filsafat di Inggris. Di Prancis, para filosof
mengembangkan pemikiran-pemikiran mereka secara terbuka sehingga
populer di tengah masyarakat. Akibatnya, para filosof itu pun menghadapi
risiko ditangkap dan dihukum oleh pihak pemerintah yang tidak menyukai
pemikiran-pemikiran mereka. Popularitas wacana-wacana filsafat di Prancis
saat itu juga terbantu dengan kehidupan sosial, politik, dan budaya yang
begitu marak. Karena sifatnya populer itulah, maka filsafat Prancis kurang
begitu mendalam.9
9
Lihat, Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 57.
7
8. Sedangkan di Inggris, para filosof kurang bersemangat
memperkenalkan pemikiran-pemikiran mereka ke tengah khalayak. Karena
itulah, perlawanan pihak pemerintah terhadap para filosof di Inggris saat itu
tidaklah tampak sebagaimana yang terjadi di Prancis. Meskipun pandangan-
pandangan para filosof, seperti David Hume yang cenderung ateistis dan
membahayakan hegemoni gereja, mereka tetap tidak ditangkap atau dihukum
oleh pihak pemerintah.
Sebagaimana yang menjadi ciri umum dari filsafat Pencerahan abad 18
di Eropa, wacana filsafat di Prancis pun cenderung mengkritik kekuasaan
gereja dengan cukup pedas. Menurut Voltaire, aturan-aturan dalam hidup
bermasyarakat haruslah sejalan dengan tuntutan akal. Tuntutan-tuntutan
kesusilaan, misalnya tentang keadilan dan kebajikan, tidak boleh tergantung
kepada pandangan metafisik dan teologis yang tidak bisa diserap oleh akal.
Hukum-hukum kesusilaan itu bukanlah sekumpulan nilai yang diwariskan
begitu saja oleh nenek moyang dan harus diterima apa adanya tanpa ada sikap
kritis. Ia memang merupakan sekumpulan tata nilai rasional yang telah ada
sebelumnya dan bersifat abadi serta tidak berubah di setiap waktu dan tempat.
Voltaire tidak sampai terjerumus ke dalam atheisme, Ia masih
mengakui keberadaan Tuhan. Meski demikian, baginya, agama tidak lebih
dari sekedar aturan kesusilaan. Ia menentang segala dogma yang diajarkan
oleh pihak gereja saat itu. Dengan kata lain, ia menentang hegemoni gereja
yang cenderung menyampaikan ajaran-ajaran dogmatis yang sulit diterima
akal.10
Di samping Voltaire, terdapat pula tokoh lain yaitu Jean Jasques
Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan kecenderungan para filosof abad
pencerahan yang sangat mengagungkan akal dan empirisisme, Rousseau justru
menekankan kepada perasaan dan subyektifitas. Meski demikian, dalam
penekanan terhadap perasaan dan subyektifitas tersebut, ia tetap
mempertahankan akal sebagai alat penalaran yang tajam.
10
Ibid., hal. 59.
8
9. Bagi Rousseau, secara alamiah manusia terlahir sebagai makhluk yang
baik. Dengan demikian, ia berbeda dengan Hobbes yang menyatakan manusia
secara alamiah adalah musuh bagi yang lain. Selanjutnya, menurut Rousseau,
kebudayaan cenderung bersifat merusak kepribadian manusia yang pada
hakikatnya adalah baik. Karena itulah, ia menganjurkan untuk kembali kepada
alam (back to nature) dan hidup sederhana sesuai dengan kehendak alam.
Sejalan dengan alur pemikirannya itu, dalam masalah pendidikan Rousseau
juga membebaskan dari pengaruh kebudayaan dan agama. Anak dibebaskan
untuk memilih dan menentukan sendiri tata nilai dan keyakinannya secara
alamiah tanpa intervensi anasir luar.
Dengan demikian, tidaklah heran, bagi Rousseau, agama adalah
persoalan pribadi. Agama tidak boleh mengasingkan seseorang dari kehidupan
bermasyarakat. Negara tidak berhak untuk mencampurinya persoalan
keimanan seseorang. Meski demikian, agama diperlukan untuk
menyeimbangkan kehidupan bermasyarakat.
Dalam rangka keseimbangan kehidupan bermasyarakat itulah,
Rousseau mengembangkan teori kontrak sosial. Di samping menganjurkan
kebebasan, ia juga tidak mengabaikan fakta bahwa manusia tidak mungkin
hidup tanpa bantuan orang lain. Kehendak individu tidak bisa mengalahkan
kehendak umum. Kebebasan dan kehendak individu diatur oleh kehendak
umum yang merupakan hasil kesepakatan masyarakat (social contract).
Kehendak umum yang terwujud dalam kontrak sosial itulah yang bisa
mengambil alih dan memaksa kebebasan individu.
E. Era Pencerahan di Jerman
Ciri khas umum dari abad pencerahan yang bermusuhan secara radikal
terhadap agama Kristen, tidak begitu tampak dalam wacana filsafat di Jerman.
Memang para filosof Jerman saat itu juga masih berusaha menyerang dasar-
dasar keimanan Kristen yang berdasarkan wahyu semata. Mereka berupaya
menggantikannya dengan sendi-sendi keimanan yang berdasarkan perasaan
yang bersifat panteistik. Sebagaimana diketahui, sendi-sendi keimanan
9
10. panteistik itu telah dikembangkan oleh para filosof sebelumnya seperti
Spinoza dan Leibniz.
Para filosof Jerman memang lebih tertarik kepada aspek etika. Mereka
berupaya mengubah ajaran kesusilaan yang berdasarkan wahyu menjadi
berdasarkan kebaikan umum yang bisa dicerna secara rasional. Filsafat
diusahakan agar menjadi pengetahuan yang pasti dan berguna. Pada era
pencerahan ini, para filosof Jerman mengembangkan sistem filsafat yang
bersifat didaktis dengan uraian yang tegas dan jelas. Mereka itu antara lain
Samuel Pufendorff (1632-1694), Christian Thomasius (1655-1728), dan
Christian Wolff (1679-1754).
Pada paruh terakhir abad pencerahan, muncul filosof Jerman terkenal,
Immanuel Kant (1724-1804), yang justru berbeda dengan kecenderungan para
filosof lain yang memusuhi agama Kristen. Munculnya Kant justru merupakan
upaya untuk mengembalikan pamor agama Kristen yang telah dikritik pedas
oleh para filosof sebelumnya. Ia berusaha menjembatani antara kutub filsafat
panteistik yang dimotori Christian Wolf dengan kutub filsafat imperisisme
ateistik yang dimotori David Hume.
Kant menolak dogmatisme dalam Kristen, yaitu pandangan yang
berdasarkan pengertian-pengertian yang telah ada tentang Tuhan tanpa
menghiraukan apakah rasio mampu memahami hakikat dan ruang lingkupnya.
Di satu sisi, ia menganjurkan untuk bersikap kritis terhadap dogma-dogma
Kristen; di sisi lain, ia juga berupaya untuk menangkis serangan-serangan
filosof terhadap keberadaan agama Kristen. Ia juga berupaya untuk
menunjukkan bahwa akal ada batasnya sehingga tidak semua hal bisa dicerna
oleh akal.11
Karena itu, pada titik itulah, ada ruang untuk keimanan. Kant
membagi pemikiran menjadi pemikiran murni (rasio murni) yang
kebenarannya sudah tidak diganggu gugat (a priori), seperti hukum gravitasi
Newton, dan pemikiran yang tidak murni dan tidak pasti benar sehingga
memerlukan analisa (a posteriori).12
11
Harold H. Titus, Marylin S. Smith, dan Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, terj.
H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 222.
10
11. F. Penutup
Melihat kisah lahirnya modernitas dan perjalanan lika-likunya dalam
membentuk sebuah peradaban yang spektakuler, kita bisa melihat bahwa krisis
peradaban yang ada sekarang ini telah begitu gawatnya sehingga akan susah
dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk membuatnya menghilang.
Karena semakin banyak orang saat ini yang menyadari bahwa eksperimen
modern untuk hidup tanpa agama telah gagal. Betapapun cara hidup Barat
tidak mampu memuaskan kebutuhan spiritual, psikologis, sosial, bahkan
material sekalipun.
Modernisme menyerang dua peradaban besar di dunia, yaitu Timur
dan Barat. Modernisme membawa Barat semakin jauh dari agama, akan tetapi
membuat orang Islam semakin dekat dengan agama, bahkan terlalu dekat
hingga tak bisa melihat esensi Islam itu sendiri, sehingga tenggelam dalam
ketaatan yang membutakan dan ketakutan akan kehidupan yang nyata, bahwa
kita tengah mendapat serangan dari Barat. Dalam menghadapi tantangan
modernisme tersebut, umat muslim seharusnya semakin semangat untuk
menciptakan suatu peradaban di mana kita bisa menyatakan: God Yes, Man
Yes!.
12
Louis O. Kattoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1989), hal. 143.
11
12. DAFTAR PUSTAKA
Albert Camus, The Absurd Man, dalam http://www.sccs.swarthmore.edu/users/00/ pwillen1/lit/
absur.htm
Harold H. Titus, Marylin S. Smith, dan Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M.
Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980).
http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_Pencerahan.
http://www.harunyahya.com/indo/artikel/095.htm
Immanuel Kant, Was ist Äufklarung? dalam http://www.fordham.edu/halsall/mod/kant-
whatis.html
K. Bertens, Ringkasan Serjarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1998).
Louis O. Kattoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1989).
Luthfi Assyaukanie, “Sapere Aude!” Ibn Rushd, Kant, dan Proyek Pencerahan Islam, dalam
http://www.freedom-institute.org.
12