SlideShare a Scribd company logo
1 of 30
Download to read offline
1
Memahami Syi‘ahMemahami Syi‘ahMemahami Syi‘ahMemahami Syi‘ah::::
TTTTeeeerrrrmmmmiiiinnnnoooollllooooggggiiii,,,, TTTTiiiippppoooollllooooggggiiii,,,, ddddaaaannnn IIIIddddeeeeoooollllooooggggiiii
Syamsuddin Arif
Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS)
Universitas Teknologi Malaysia (UTM) Kuala Lumpur
“Et quidem multi sane in errorem inducunt alios propter
cupiditates suas sine scientia. Porro dominus tuus est
scientissimus, quinam sint transgessores.” – Q.VI:119
Jika ada agama yang dibangun atas pengkudusan seseorang, pengkudusan
keturunan, dan kebencian kepada seseorang, perlawanan dan pemberontakan, itulah
Syi‘ah. Meski mengaku bagian dari Islam, ajaran-ajaran Syi‘ah lebih dekat kepada
kufur dan nifaq (kemunafikan) daripada ajaran Islam yang sejati dan mutawatir
kebenarannya. Tulisan ringkas ini akan membahas sejumlah pertanyaan dan
persoalan mendasar tentang apa, bagaimana dan mengapa dengan Syi‘ah.
Syi‘ah dalam alSyi‘ah dalam alSyi‘ah dalam alSyi‘ah dalam al----Qur’an dan HadisQur’an dan HadisQur’an dan HadisQur’an dan Hadis
Seringkali orang awam terdiam apabila dikatakan bahwa Syi‘ah itu ada di
dalam al-Qur’an. Maksudnya, nama Syi‘ah itu tersebut di dalam surah Maryam (19)
ayat 69: “tsumma la-nanzi‘anna min kulli syi‘atin (kemudian pasti akan Kami ambil
dari setiap kelompok)”, dalam surah al-Qasas (28) ayat 15: “… hadza min syi‘atihi
wa hadza min ‘aduwwih (yang seorang itu dari golongannya, manakala yang seorang
lagi dari golongan musuhnya)”, dan di surah al-Saffat (37) ayat 83: “wa inna min
syi‘atihi la-Ibrahim (dan sesungguhnya Ibrahim itu termasuk golongannya [Nabi
Nuh])”. Namun, kalau setiap nama dan semua kata yang tersebut dalam al-Qur’an
itu benar, bagus dan diridhoi Tuhan, niscaya Iblis, Fir‘aun, Syaitan, Jahannam dan
sebagainya yang disebutkan berkali-kali dalam al-Qur’an itu mestinya lebih benar,
lebih bagus dan lebih diridhoi daripada Syi‘ah. Maka hanya orang pandir yang keliru
menyangka istilah syi‘ah di dalam al-Qur’an itu berkaitan dengan sekte Syi‘ah.
Menurut Ibn al-Jawzi (w. 597/1201), lafaz syi‘ah dan turunannya (yaitu
bentuk jamak syiya‘ dan asyya‘) di dalam al-Qur’an mempunyai 4 makna
berdasarkan konteksnya: ia berarti (i) kelompok yang berpecah-pecah atau firaq, (ii)
keluarga dan keturunan (ahl wa nasab) seperti pada ayat 15 surah al-Qasas di atas,
2
(iii) pemeluk agama atau umat (ahl al-millah) seperti pada ayat 69 surah Maryam,
dan (iv) aneka ragam tendensi keliru (al-ahwa’ al-mukhtalifah) seperti pada ayat 65
surah al-An‘am.1
Adapun dalam korpus hadis, kita dapati lafaz syi‘ah juga dipakai
secara umum dalam arti pengikut. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (w. 241/855)
dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As bahwa Nabi saw pernah bersabda mengenai
seorang laki-laki yang di kemudian hari menjadi tokoh Khawarij: “Ia bakal
memperoleh pengikut yang sangat mendalami agama sehingga keluar darinya (sa-
yakunu lahu syi‘ah yata‘ammaquna fi al-din hatta yakhruju minhu).”2
Secara bahasa, lafaz syi‘ah itu artinya pengikut dan pembela seseorang (al-
syi’ah atba‘ al-rajul wa ansaruhu), kata Ibn Manzur (w. 711/1311) dalam kamusnya.3
Syi‘ah itu makna asalnya adalah pendukung atau penyokong yang kerjanya
memperkuat dan menyebarkan pengaruh seseorang (al-syi‘atu man yataqawwa bihim
al-insan wa yantasyiruna ‘anhu), jelas al-Raghib al-Isfahani (w. 502/1108) dalam
kitabnya.4
Inilah yang kita sebut sebagai “syi‘ah terminologis”, sama halnya kalau
kita menyebut para pendukung seorang calon presiden pada pemilihan umum tahun
2014 yang lalu “syi‘ah Prabowo” atau “syi‘ah Jokowi”, yakni mereka yang
menginginkan sang tokohnya naik menjadi pemimpin negara.
Demikian pula istilah “syi‘ah ‘Ali” pada awalnya, tidak mempunyai makna
lain kecuali pemihakan kepada Sayyidina ‘Ali dalam konflik politik seputar suksesi
menyusul wafatnya Nabi saw. Konon, penyempitan arti kata syi‘ah sehingga dipakai
khusus untuk menyebut kelompok Sayyidina ‘Ali bin Abi Talib dalam literatur klasik
dimulai oleh Sa‘d bin ‘Abdillah al-Asy‘ari al-Qummi (w. 301/914), pengarang kitab
al-Maqalat wa al-firaq. Maka Ibn al-Nadim (w. 380/990) pun kemudian menukil
riwayat Ibn Ishaq bahwa Sayyidina ‘Ali semasa konflik dengan Talhah dan al-Zubayr
konon menyebut para pengikut dan pendukungnya “syi‘ati”.5
Muatan ideologis pada kata syi‘ah baru muncul beberapa ratus tahun
setelahnya. Di abad ke-5 Hijriah/ abad ke-11 Masehi kita dapati tokoh Syi‘ah klasik
yang dijuluki Syekh al-Mufid (w. 413/1022) dalam kitabnya menegaskan bahwa
dengan imbuhan definitif alif-lam ta‘rif, lafaz al-Syi‘ah menjadi nama khusus bagi
pengikut Sayyidina ‘Ali yang setia dan percaya kepadanya sebagai pemimpin
langsung setelah Rasulullah saw. wafat seraya menafikan kepemimpinan mereka yang
1
Ibn al-Jawzi, Nuzhat al-a‘yun al-nawazir, ed. Muhammad ‘Abd al-Karim Kazim ar-Radi (Beirut:
Mu’assasat al-Risalah, 1407/1987), hlm. 376-7.
2
Hadis no.7038 dalam Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, ed. Syu‘ayb al-Arna’ut et al. (Beirut:
Mu’assasat al-Risalah, 1417/1997), jilid 11, hlm. 614.
3
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Sadir, 1414), jilid 8, hlm. 188.
4
al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412/1992), hlm. 470.
5
Ibn al-Nadim, al-Fihrist (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1348/1929; dicetak ulang oleh
Dar al-Ma‘rifah Beirut 1978), hlm. 249.
3
mendahului beliau sebagai khalifah serta menjadikan beliau sebagai tokoh ikutan
yang tidak mengikuti atau dipimpin siapapun: “li atba‘ Amir al-Mu’minin –
salawatullah ‘alayhi- ‘ala sabil al-wala’ wa ’l-i‘tiqad li-imamatihi ba‘da r-Rasul –
salawatullah ‘alayhi wa alihi- bi-la fasl wa nafy al-imamah ‘amman taqaddamahu fi
maqam al-khilafah wa ja‘luhu fi ’l-i‘tiqad matbu‘an lahum ghayra tabi‘ li-ahad
minhum ‘ala wajh al-iqtida’.”6
Maka al-Syahrastani (w. 548/1153) pun menulis bahwa “Syi‘ah ialah orang-
orang yang mendukung ‘Ali r.a. dan hanya mengakui beliau sebagai imam
(pemimpin) dan khalifah (pengganti Nabi) yang sah menurut dalil serta wasiat secara
tersurat ataupun tersirat dan meyakini bahwa hak kepemimpinan itu terbatas bagi
anak cucu beliau saja, sehingga kalau pun terlepas dari mereka maka hal itu lantaran
kezaliman dari pihak lain ataupun karena berlindung demi menyelamatkan diri (al-
syi‘ah hum alladzina syaya‘u ‘Aliyyan radhiyallahu ‘anhu ‘ala l-khusus wa qalu bi-
imamatihi wa khilafatihi nassan wa wasiyyatan imma jaliyyan wa imma khafiyyan
wa i‘taqadu anna al-imamah la takhruju min awladihi wa in kharajat fa-bi-zulm
yakunu min ghayrihi aw bi-taqiyyah min ‘indihi).”7
Definisi serupa diberikan oleh Sayyid ‘Abdullah Syubar (w. 1242/1827), tokoh
Syi‘ah modern kelahiran Najaf Iraq: lafaz syi‘ah itu sebutan bagi mereka yang
meyakini bahwa khalifah pengganti pasca wafatnya Nabi saw. itu ialah Sayyidina ‘Ali
(lafz al-syi‘ah yutlaqu ‘ala man qala bi-khilafati amir al-mu’minin [‘Ali ibn Abi Talib]
ba‘da al-Nabi s.a.w. bi-la fasl).8
Tiga MaknaTiga MaknaTiga MaknaTiga Makna SyiSyiSyiSyi‘‘‘‘ahahahah
Penting sekali dalam konteks pembahasan ini untuk tidak mencampur-adukkan tiga
makna syi‘ah: [i] syi‘ah terminologis, [ii] syi‘ah politis, dan [iii] syi‘ah ideologis.
Syi‘ah
Terminologis Politis Ideologis
6
Al-Mufid, Awa’il al-maqalat (Beirut: Dar al-Kitab al-Islami, 1403/1983), hlm. 37-38.
7
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. Amir ‘Ali Muhanna dan ‘Ali Hasan Fa‘ur, 2 juz (Beirut:
Dar al-Ma‘rifah, 1414/1993), 1:169.
8
‘Abdullah Syubar, Haqq al-yaqin fi ma‘rifati usul al-din (Najaf: Matba‘at al-‘Irfan, 1352 H), hlm.
195.
4
Yang pertama [syi‘ah terminologissyi‘ah terminologissyi‘ah terminologissyi‘ah terminologis] adalah pengertian umum secara harfiah
atau literal, sesuai dengan makna asal yang kita temukan di dalam kamus maupun
yang dipakai di dalam al-Qur’an dan hadis sebagaimana sudah dijelaskan di atas.
Yang kedua [syi‘ah politissyi‘ah politissyi‘ah politissyi‘ah politis] adalah makna spesifik untuk menyebut para Sahabat
(termasuk diantaranya ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Ammar bin Yasir, Abu Musa al-
Asy‘ari, Abu Ayyub al-Ansari) yang berpihak kepada, mendukung, dan setia berjuang
bersama Sayyidina ‘Ali tatkala dan selama pertikaian berlangsung pasca wafatnya
Khalifah Utsman bin ‘Affan. Sarjana orientalis ada yang mengistilahkan mereka itu
proto-Shi‘ites atau Syi‘ah kuno. Syi‘ah politis inilah yang bertapak di Iraq pada
mulanya sebagai ‘unjuk rasa’ dan baru belakangan bermetamorfosa menjadi ‘sekte’
dengan seperangkat doktrin khasnya. Maka meminjam ungkapan Syed Rizwan
Zamir: “In other words, early Shi‘ism was at best a political group that broke off
from the broader Muslim community and vied with it political power in the early
centuries through various rebellious movements”.9
Adapun yang ketiga [syi‘ah ideologissyi‘ah ideologissyi‘ah ideologissyi‘ah ideologis] adalah makna lain yang menunjuk keyakinan
(‘aqidah atau i‘tiqad), cara pandang menyeluruh (worldview), pola pikir (mindset)
dan kerangka berpikir (intellectual framework) yang mempengaruhi penerimaan atau
penolakan seseorang terhadap suatu informasi, menentukan pemahaman, dan
mewarnai penafsiran orang terhadap fakta dan peristiwa. Syi‘ah ideologis ini
merupakan fenomena gerakan sempalan yang muncul belakangan –yakni sekitar dua
ratus tahun sesudah wafatnya Rasulullah saw.
Dari tipologi di atas jelaslah kesyi‘ahan ‘Abdullah bin ‘Abbas [saudara sepupu
Nabi saw. Yang berpihak kepada ‘Ali bin Abi Talib] tentu tidak sama dengan
kesyiahan Ibn Babawayh. Begitu pula kesyi‘ahan Zayd bin ‘Ali [bin al-Husayn bin
‘Ali bin Abi Talib] jelas berbeda jauh dengan kesyiahan Khomeini. Perbedaannya
terletak pada sikap dan perilaku mereka: ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Zayd bin ‘Ali
tidak mencerca Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina ‘Umar dan Sayyidina ‘Utsman yang
terpilih menjadi khalifah sebelum Sayyidina ‘Ali, sedangkan penganut syi‘ah ideologis
semacam Ibn Babawayh dan Khomeini tidak segan-segan mengutuk para Khalifah
Rasulullah saw tersebut. Jelaslah bahwa Syi‘ah ideologis merupakan produk
perkembangan terkemudian, yang lebih disempitkan lagi maknanya hingga akhirnya
identik dengan sekte Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah yang hanya mengakui 12 Imam.
Ini sama dengan kesimpulan seorang pakar Syi‘ah:“The term “Imamiya[h]” is only
attested in the mid-third/ninth century”.10
9
Syed Rizwan Zamir, “Study of Shi‘ite Islam” dalam The Bloomsbury Companion to Islamic Studies,
ed. Clinton Bennet (London: Bloomsbury, 2015), hlm. 140.
10
Etan Kohlberg, “From Imāmiyya to Ithnā-‘ashariyya”, dalam Bulletin of the School of Oriental and
African Studies, Vol. 39, No. 3 (1976), hlm. 521, catatan kaki no. 2.
5
Pertikaian PolitikPertikaian PolitikPertikaian PolitikPertikaian Politik
Seperti kita ketahui, pasca wafatnya Rasulullah saw, para Sahabat berkumpul
dan mayoritas mereka akhirnya setuju (termasuk Sayyidina ‘Ali) untuk membay‘at
Sayyidina Abu Bakr as-Siddiq sebagai Khalifah (pengganti) Rasulullah saw. Hanya
sempat dua tahun memimpin umat, Abu Bakr wafat dan digantikan oleh ‘Umar bin
al-Khattab yang memerintah selama 10 tahun. Pada zaman Khalifah ‘Umar inilah
wilayah Persia berhasil ditaklukkan. Sebelum wafat akibat ditikam oleh anggota
komplotan pembunuh bernama Piruz alias Abu Lu’lu’[ah] al-Nahawandi, Khalifah
‘Umar sempat menunjuk tim suksesi beranggotakan 6 orang (‘Abdur Rahman bin
‘Awf, Sa‘d bin Abi Waqqas, Talhah bin ‘Ubaidillah, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi
Talib, dan Zubayr bin al-‘Awwam) untuk bermusyawarah memilih salah seorang di
antara mereka sebagai penggantinya.
Terpilih sebagai khalifah ketiga ialah ‘Utsman bin ‘Affan yang ketika itu sudah
berusia 65 tahun. Di masa beliau dakwah Islam menyebar hingga ke wilayah
Armenia dan Afghanistan. Sesudah 12 tahun menjalankan amanah pemerintahan,
Khalifah ‘Utsman (seorang pemimpin yang sederhana meskipun kaya raya) wafat
ditikam gerombolan pemberontak anti-pemerintah yang bernafsu menggulingkannya.
Sayyidina ‘Ali kemudian terpilih sebagai Khalifah keempat yang dibay‘at oleh orang
banyak pada 24 Dzul Hijjah 35 Hijriah (23 Juni 656 M). Kericuhan politik tersebut
semakin memburuk apabila Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, gubernur wilayah Syam
(yang meliputi Jordan, Palestina dan Syria) waktu itu menolak pelantikan Khalifah
‘Ali seraya menuntut agar para pembunuh Khalifah ‘Utsman dipancung. Konflik ini
memuncak hingga pecahlah perang saudara yang pertama di Basrah (pada 7
November 656), dan kedua di Siffin, daerah perbatasan Iraq-Syria dekat sungai Furat
(Euphrates), antara kelompok (syi‘ah) pendukung beliau dengan kelompok penentang
beliau. Di tahun kelima masa pemerintahannya, Khalifah ‘Ali yang terkenal ksatria,
alim, adil dan sangat dicintai Nabi saw itu telah ditikam oleh seorang pembelot
bernama ‘Abdur Rahman bin Muljam ketika masuk ke mesjid besar Kufah untuk
shalat subuh pada 19 Ramadan 40 Hijriah (26 Januari 661 Masehi) dan meninggal
dunia dua hari kemudian.
Sepeninggal Sayyidina ‘Ali, kaum Muslimin khususnya di Kufah lalu sepakat
untuk mengangkat putra beliau, al-Hasan, sebagai Khalifah. Namun, Mu‘awiyah
yang masih menjabat gubernur di Syria beserta pasukan tentara dari Mesir menolak
pelantikan al-Hasan. Hanya 6 bulan sesudah itu, demi persatuan umat dan melalui
beberapa kali perundingan untuk menghindari pertumpahan darah, al-Hasan
akhirnya bersedia melepaskan jabatannya, dan dengan itu naiklah Mu‘awiyah
menjadi khalifah. Seorang politisi ulung dan jenderal berpengalaman, Mu‘awiyah
berhasil mengalahkan angkatan laut Byzantium pada tahun 655, merancang
6
penaklukkan Constantinople (ibukota Romawi Timur waktu itu) pada tahun 674,
dan melebarkan sayap dakwah Islam ke wilayah Afrika Utara dan Asia Tengah.
Setelah memerintah kurang lebih 19 tahun lamanya, sebelum wafat (pada
tahun 56 Hijriah), Mu‘awiyah menunjuk putranya Yazid sebagai pengganti dan
meminta semua orang mendukungya. Dilaporkan bahwa mayoritas tokoh Islam
waktu itu memberikan dukungannya kecuali beberapa orang, yaitu: ‘Abdullah bin
‘Abbas, ‘Abdur Rahman bin Abu Bakr (putra Khalifah pertama), ‘Abdullah bin
‘Umar (putra Khalifah kedua), al-Husayn bin ‘Ali (putra Khalifah ketiga), dan
‘Abdullah bin az-Zubayr (panglima Mekkah dan cucu Khalifah Abu Bakr).
Oposisi terhadap Yazid bin Mu‘awiyah (yang memerintah tahun 60-64
Hijriah/ 680-683 Masehi) berujung pada sebuah pertempuran di Karbala’, sebuah
kota kecil yang terletak sekitar 100 km di barat laut Baghdad, pada hari ‘Asyura’ (10
Muharram) tahun 61 Hijriah atau Jum‘at, 12 Oktober 680, dimana Sayyidina al-
Husayn beserta saudara kerabat dan pengikutnya tewas di tangan pasukan tentara
Yazid dibawah komando ‘Umar bin Sa‘d dan Syimr bin Dzil-Jawsyan. Sesudah
peristiwa tragis itu para penganut Syi‘ah politis secara sporadis beberapa kali
menghimpun kekuatan untuk melawan dan menggulingkan penguasa Bani Umayyah
(sanak kerabat Mu‘awiyah) akan tetapi lebih sering dipatahkan ketimbang menang,
seperti gerakan yang dipimpin oleh al-Mukhtar al-Tsaqafi (w. 67/687) di Iraq
(dengan restu dari Muhammad bin ‘Ali bin Abi Talib – yang lebih dikenal sebagai Ibn
al-Hanafiyyah) dan gerakan Zayd bin ‘Ali [bin al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Talib]
melawan penguasa Bani Umayyah, dan gerakan Muhammad bin ‘Abdillah bin al-
Hasan [al-Mutsanna] bin al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Talib (yang dijuluki “al-Nafs az-
Zakiyyah”) melawan penguasa Bani ‘Abbasiyah, al-Mansur (memerintah tahun 136-
145 Hijriah/ 754-775 Masehi), yang juga dikalahkan pada tahun 145 Hijriah/763
Masehi.
Narasi detil mengenai rangkaian peristiwa di atas bisa dibaca dalam kitab-
kitab tarikh Islam.11
11
Lihat: Abi Mikhnaf (w. 157/774), Maqtal al-Husayn, ed. al-Hasan al-Ghifari (Qumm: Chapkhan-i
‘Ilmiyyah, 1342/1923); Ibn Sa‘d (w. 230/845), al-Tabaqat, ed. ‘Ali Muhammad ‘Umar (Kairo:
Maktabat al-Khanji, 1421/2001); Ibn Qutaybah (w. 270/882), ‘Uyun al-akhbar (Kairo: Dar al-Kutub
al-Misriyyah, 1925-1930); al-Baladzuri (w. 279/892), Futuh al-buldan, ed. ‘Abdullah Anis dan
‘Umar Anis al-Tabba‘ (Beirut: Mu’assasat al-Ma‘arif, 1407/1987); al-Dinawari (d. 282/898), al-
Akhbar al-tiwal, ed. Muhammad Sa‘id al-Rafi‘i (Kairo: Matba‘at al-Sa‘adah, 1330/1012); al-Ya‘qubi
(w. 284/897), al-Tarikh, ed. ‘Abd al-Amir Muhanna (Beirut: Syirkat al-A‘lami, 1431/2010); al-
Tabari (w. 310/923), Tarikh al-rusul wa al-muluk, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar
al-Ma‘arif, 1960-1969); al-Mas‘udi (w. 345/956), Muruj al-dzahab wa ma‘adin al-jawhar, ed.
Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (Kairo: Matba‘at al-Sa‘adah, 1384/1964), juga kitab-kitab
lain yang ditulis sesudahnya seperti: al-Muntazam oleh Ibn al-Jawzi (w. 597/1200), al-Kamil fi al-
Tarikh oleh Ibn al-Athir (w. 630/ 1233) dan al-Bidayah wa al-Nihayah oleh Ibn Katsir (w.
774/1373).
7
Fakta danFakta danFakta danFakta dan IIIInterpretasinterpretasinterpretasinterpretasi
Jika yang dipaparkan di atas tadi adalah fakta yang diketahui umum, dicatat
dan disepakati garis-garis besarnya oleh para ahli sejarah berdasarkan riwayat dan
penuturan pelaku maupun saksi peristiwa, meskipun detil-detilnya (seperti jumlah
personel tentara, bentuk senjata yang dipakai, jenis kuda yang dinaiki, warna baju
atau topi mereka, dan sebagainya) jelas sukar diketahui secara persis, maka yang
menjadi masalah bukan fakta-fakta itu sendiri, melainkan penafsiran terhadap dan
pemahaman yang berkembang-biak seputar fakta-fakta tersebut.12
Di satu sisi kita dapati interpretasi Ahlus Sunnah yang cenderung positif, lebih
mengutamakan sangkaan baik, dan sentimen yang wajar. Misalnya, berkenaan
pengangkatan Abu Bakr al-Siddiq sebagai Khalifah, coba kita pikirkan apakah para
Sahabat Rasulullah saw itu memilih beliau lantaran dipaksa dengan ancaman pedang,
atau dibujuk dengan imbalan harta, atau karena dominasi suku dan hubungan
kekerabatan? Ketiganya jelas mustahil karena para Sahabat itu adalah orang-orang
yang memiliki intergritas moral, taat beragama, dan tulus, demikian dikatakan Abu
Nu‘aym al-Isbahani (w. 430/1038) dalam kitabnya.13
Jadi jangan samakan para
Sahabat itu dengan diri kita yang cenderung korup, fasiq dan munafiq. Meminjam
ungkapan Ibn Taymiyyah (w. 728/1328), para Sahabat itu membay‘at Abu Bakr
tanpa diminta, mengharap diberikan sesuatu ataupun ditakut-takuti (baya‘u Aba
Bakr min ghayri talab minhu wa-la raghbah budzilat lahum wa-la rahbah),14
karena
mereka bukan jenis orang-orang yang takut mati, malah sanggup mati untuk
mempertahankan prinsip yang diyakini. Dan ini fakta yang kita semua ketahui.
Lalu berkenaan dengan terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan, Ahlus
Sunnah berkata bahwa beliau berada di pihak yang benar, sedangkan para
pembunuhnya telah berbuat zalim dan ekstrim: “fa-amma Ahlus Sunnah wa ’l-
Istiqamah fa-innahum qalu kana ridhwanullah ‘alayhi musiban fi af‘alihi, qatalahu
qatiluhu zulman wa ‘udwanan,” tegas Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari (w. 324/935) dalam
kitabnya.15
Demikian pula mengenai perang saudara yang terjadi antara dua kubu
tersebut, mayoritas Ahlus Sunnah memandang Sayyidina ‘Ali di pihak yang benar
12
Lihat ulasan Etan Kohlberg, “Some Imami Shi‘i Interpretations of Umayyad History” dalam Studies
on the First Century of Islamic Society, ed. Gauthier H.A. Juynboll (Carbondale, IL: Southern Illinois
University Press, 1982), hlm. 145-159.
13
Abu Nu‘aym al-Isbahani, al-Imamah wa al-radd ‘ala al-Rafidah, ed. ‘Ali bin Muhammad Nasir al-
Fuqayhi (Medina: Maktabat al-‘Ulum, 1407/1987), hlm. 214-215.
14
Ibn Taymiyyah, Minhaj al-sunnah al-Nabawiyyah, ed. Muhammad Rasyad Salim (Kairo: Maktabat
Ibn Taymiyyah, 1382/1962), 6:455.
15
Abu al-Hasan al-Asy‘ari, Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin, ed. H. Ritter (Istanbul,
1929-1930; cetak ulang Wiesbaden: Franz Steiner, 1963), hlm. 3.
8
karena beliaulah Khalifah yang sah, dan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan memang salah.
Akan tetapi Ahlus Sunnah umumnya mengatakan bahwa kedua belah pihak -insya
Allah- akan mendapat pahala karena masing-masing bertindak dengan ijtihad, sesuai
dengan sabda Rasulullah saw mengenai hakim yang keputusannya boleh jadi betul
(musib) dan boleh jadi keliru (mukhti’). Maka Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan
salah seorang pun dari mereka. Hal ini ditegaskan antara lain oleh Imam al-Juwayni
(w. 478/1085): “wa Mu‘awiyah wa in qatala ‘Aliyyan fi-innahu kana la yunkiru
imamatahu wa la yadda‘iha li-nafsihi wa innama yatlubu qatalata ‘Utsmana zannan
annahu musib wa kana mukhti’an”.16
Kemudian mengenai peristiwa Karbala’, pandangan Ahlus Sunnah
mengatakan bahwa itu merupakan musibah besar yang dengannya justru Allah telah
memuliakan al-Husayn, cucu Rasulullah saw. yang dijanjikan bakal menjadi
penghulu para pemuda ahli syurga, karena beliau gugur sebagai seorang syuhada’
yang dibunuh oleh orang-orang yang fajir dan fasiq. Terlepas dari soal politik yang
melatarbelakanginya, musibah besar ini merupakan bala’ atau ujian yang ditimpakan
Allah kepada orang-orang yang dikasihinya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah
hadis Rasulullah saw tatkala beliau ditanya siapakah yang paling berat ujiannya dan
beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang setara
dan setara [dengan mereka], tiap-tiap orang diuji sesuai dengan tingkat agamanya,
semakin kuat agamanya semakin bertambah ujiannya, dan semakin lemah agamanya,
semakin ringan ujiannya, dan ujian itu akan senantiasa menyertai orang beriman
sehingga dia berjalan di muka bumi tanpa dosa sama sekali” (su’ila ayyu n-nas
asyaddu bala’an, fa-qala al-anbiya’ [tsumma s-salihun] tsumma ’l-amtsal fa ’l-amtsal,
yubtala r-rajul [‘ala] hasab dinihi, fa-in kana fi dinihi salabah zida [fi bala’ihi], wa in
kana fi dinihi riqqah khuffifa ‘anhu, wa [ma] yazal al-bala’ bi-[’l-mu’min] hatta
yamsyiya ‘ala ’l-ard wa laysa ‘alayhi khati’ah).17
Demikian dijelaskan oleh Ibn
Taymiyyah dalam sebuah risalahnya.18
Maka pendirian Ahlus Sunnah mengenai konflik antara para Sahabat tersebut
sangat jelas dan tegas: setiap orang Islam wajib bersangka baik dan berkata baik
tentang mereka karena pertikaian tersebut bukan persoalan kita, dan kita tidak
berhak untuk menghakimi mereka menurut hawa nafsu atau opini kita. Ucapan
Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (w. 101/720) ketika ditanya mengenai perang Siffin
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam as-Syafi‘i (w. 204/820) menjadi pedoman:
16
Abu al-Ma‘ali al-Juwayni, Luma‘ al-adillah fi qawa‘id ‘aqa’id ahli s-sunnah wa l-jama‘ah, ed.
Fawqiyyah Husayn Mahmud (Kairo: al-Dar al-Misriyyah, 1385/1965), hlm. 114-115.
17
Hadis riwayat at-Tirmidzi bab 57 (tentang zuhd), Ibn Majah bab 23 (tentang fitan), ad-Darimi bab
67 (kitab riqaq).
18
Ibn Taymiyyah, Huquq Al al-Bayt, ed. ‘Abd al-Qadir ‘Ata’ (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1987), hlm. 44-45.
9
“tilka dima’ tahharallahu yadayya minha fa-la uhibbu an akhdaba lisani fiha”.19
.
Sebagian ulama juga membacakan firman Allah di dalam al-Qur’an (2:134): “Mereka
itu ialah umat yang telah lewat. Bagi mereka apa yang mereka kerjakan dan bagimu
apa yang kamu kerjakan. Dan kamu tidak ditanya / tidak bertanggung-jawab atas
apa-apa yang mereka kerjakan”.
Di sisi lain kita temukan kaum Syi‘ah ideologis interpretasinya cenderung
negatif, diliputi prasangka buruk, dan memperlihatkan sentimen berlebihan.
Akibatnya, semua yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah saw itu dianggap
salah, dosa, durhaka, atau pura-pura. Mereka mengklaim Sayyidina Abu Bakr,
‘Umar, dan ‘Utsman konon telah merampas hak Sayyidina ‘Ali. Padahal, menurut
para ahli sejarah, ketika Nabi saw. wafat, Sayyidina ‘Ali baru berumur 33 tahun,
sementara Abu Bakr al-Siddiq waktu itu sudah berusia 61 tahun.20
Jadi wajarlah
kalau Sayyidina ‘Ali diriwayatkan menolak ketika beberapa Sahabat datang meminta
kesediaan beliau untuk menjadi Khalifah seraya berkata, “Da‘uni wa iltamisu
ghayri”.21
Pandangan kaum Syi‘ah mengenai konflik politik di zaman para Sahabat
disimpulkan dengan sangat buruk oleh al-Mufid (w. 413/1022):22
19
Abu Nu‘aym al-Isbahani (w. 430/1038), Hilyat al-Awliya’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1416/1996), jilid 9,
hlm. 114.
20
Lihat The History of al-Tabari, terj. Khalid Y. Blankinship, vol.11, Albany: SUNY Press, 1993, hlm.
129.
21
Diriwayatkan dalam Musnad al-Imam ‘Ali, ed. Hasan al-Qabanci (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami,
1421/2000), jilid 7, hlm.344, no.8518.
22
Al-Mufid, al-Jamal wa n-nusrah li-sayyid al-‘itrah fi harb al-basrah, ed. ‘Ali Mir Syarifi (Qumm:
Maktab al-I‘lam al-Islami, 1413), hlm. 70
10
Pendapat al-Mufid ini jelas keliru, karena Allah -‘azza wa jalla- di dalam al-
Qur’an surah al-Hujurat (49) ayat 9 telah berfirman –mengantisipasi- bahwa
“apabila ada dua kelompok orang beriman saling memerangi, maka damaikanlah
antara keduanya (wa in ta’ifatani min al-mu’minina iqtatalu fa-aslihu baynahuma)”.
Itulah sebabnya diriwayatkan bahwa Sayyidina ‘Ali sendiri tidak mengkafirkan
kelompok yang menentangnya, dan ketika ditanya perihal status lawan politiknya
beliau menjawab dengan sangat bijak: “Mereka itu saudara kita yang bertindak
melampaui batas terhadap kita (hum ikhwanuna qad baghaw ‘alayna)”. Ini karena
beliau tentunya sangat mengerti bahwa mereka itu meskipun salah tetap dianggap
bagian dari orang beriman sebab Allah ta‘ala pun kemudian berfirman pada ayat
selanjutnya: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara (innama al-
mu’minuna ikhwah)” dan rekonsiliasi itu tentu lebih baik daripada konflik.
Sampai di sini dapat kita simpulkan bahwa Syi‘ah ideologis itu muncul akibat
kekalahan dan ketersingkiran Syi‘ah politis dalam pergolakan politik di kurun-kurun
awal sejarah umat Islam.23
Akan tetapi benar juga kalau kita simpulkan bahwa Syi‘ah
ideologis itu lahir dari fanatisisme (ta‘assub) dan nasionalisme (syu‘ubiyyah) ekstrim
yang berbuntut pengkudusan terhadap para imam -terutama terhadap Sayyidina ‘Ali
dan keturunan beliau khususnya dari garis al-Husayn. Bahwa Syi‘ah ideologis ala
Imamiyyah (Itsna-‘Asyariyyah) itu cenderung Husayn-sentris24
diakui sendiri oleh
sarjana Iran kontemporer:
“Shi‘ism was born (not just politically but also metaphysically) when its
very first imam, Ali ibn Abi Talib, was murdered by an assassin, and
when Ali’s son, the Prophet’s grandson, the supreme heroic figure of
Shi‘ism, Imam Hossein ibn Ali, and his companions were massacred in
Karbala. Violence breeds violence, and a persecuted minority thus formed
sublates its received and perceived violence into the burning fuel of its
ethics and politics, aesthetics and metaphysics.”25
Maksudnya: Syi‘ah itu lahir –tidak hanya secara politis akan tetapi juga secara
metafisis- apabila imam pertama mereka, ‘Ali bin Abi Talib, mati ditikam pembunuh
bayaran dan putra beliau, cucu Nabi yang menjadi pahlawan utama kaum Syi‘ah, al-
23
Ulasan historis ringkas perjuangan syi‘ah politis ini diberikan oleh al-Asy‘ari (w. 324/935) dalam
kitabnya, Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin, ed. H. Ritter (Istanbul, 1929-1930; cetak
ulang Wiesbaden: Franz Steiner, 1963), hlm. 75-85; Andrew J. Newman, The Formative Period of
Twelver Shi‘ism: Hadith as Discourse Between Qum and Baghdad (Richmond: Curzon Press, 2000),
hlm. 5-11; dan Sa‘id Rasyid Zumayzim, Tsawarat al-Syi‘ah mundzu istisyhad al-Imam al-Husayn
‘alayhi s-salam wa hatta al-yawm (Beirut: Dar al-Qari’, 1427/2006).
24
Lihat ulasan Douglas Karim Crow, “The Death of al-Husayn b. Alî and Early Shi‘i Views of the
Imamate” dalam Shi‘ism, ed. Etan Kohlberg (Aldershot: Ashgate Variorum, 2003), 41-86.
25
Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
hlm. xiii.
11
Husayn bin ‘Ali, beserta para sahabatnya tewas dibantai di Karbala. Kekerasan
melahirkan kekerasan, dan kelompok kecil yang baru terbentuk itu lalu menjadikan
apa yang mereka anggap dan terima sebagai kekerasan itu bahan bakar bagi etika,
politik, estetika dan metafisika mereka.
KlasifikasiKlasifikasiKlasifikasiKlasifikasi Syi‘ah IdologisSyi‘ah IdologisSyi‘ah IdologisSyi‘ah Idologis
Syi‘ah Ideologis
‫تفضيل‬ ‫رفض‬ ّ‫غلو‬
Proto-Syi‘ah Rafidah Ghulat
Syi‘ah ideologis sejak dahulu hingga sekarang terdiri dari tiga jenis, yaitu: [i]
syi‘ah tafdil, [ii] syi‘ah rafd, dan [iii] syi‘ah ghuluww. Jenis pertama [syi‘ah tafdilsyi‘ah tafdilsyi‘ah tafdilsyi‘ah tafdil] itu
sekadar menganggap Sayyidina ‘Ali sebagai orang yang paling unggul, hebat,
istimewa (afdal) di antara atau dibandingkan dengan para Sahabat Nabi saw yang
lain. Anggapan ini tanpa disertai oleh pengingkaran, penolakan, pelecehan atau
kutukan terhadap para ketiga Khalifah sebelum beliau dan atau terhadap Sahabat
Rasulullah yang lain. Menurut Ibn Abi al-Hadid (w. 656/1258), mereka inilah yang
awalnya disebut Syi‘ah (fa-kana al-qa’ilun bi t-tafdil hum al-musammawna as-
Syi‘ah),26
yaitu para Sahabat dan Tabi‘in semisal ‘Ammar bin Yasir, al-Miqdad, Abu
Dzarr, Salman al-Farisi, Hudzayfah, Abu Ayyub, Jabir bin ‘Abdillah, dan mayoritas
Sahabat dari Bani Hasyim maupun Bani Muttalib umumnya.27
Syi‘ah tafdil yang
moderat dan rasional ini mencintai Sayyidina ‘Ali tanpa mengkuduskannya,
mendukung kepemimpinannya tanpa mengkafirkan lawan politiknya. Sebabnya, kata
Ibn Abi al-Hadid, “Kita menyaksikan beliau [yakni Sayyidina ‘Ali bin Abi Talib]
merestui kepemimpinan mereka [yakni Khalifah Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman] dan
membay‘at mereka, sembahyang [sebagai makmum] di belakang mereka,
menikahkan mereka, dan makan bersama mereka. Oleh sebab ini kita tidak boleh
melampaui apa yang beliau lakukan dan tidak boleh juga melanggar apa yang
masyhur mengenai [sikap dan perbuatan] beliau (wa lakinna ra’aynahu radiya
imamatahum wa baya‘ahum wa salla khalfahum wa ankahahum wa akala fihim, fa-
26
Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, ed. Muhammad [Abu al-Fadl] Ibrahim, 20 juz dalam 10
jilid (Baghdad: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1428/2007), juz 20, jilid 10, hlm. 376.
27
Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, juz 20, jilid 10, hlm. 374.
12
lam yakun lana an nata‘adda fi‘lahu wa la natajawaza ma isytahara ‘anhu).”28
Sebagian kecil Syi‘ah Zaydiyyah termasuk golongan ini, khususnya mereka yang
tidak sampai melaknat atau mengkafirkan para Sahabat, seperti sekte Ya‘qubiyyah.
Pendirian Syi‘ah Zaydiyyah disimpulkan sebagai berikut: “yajma‘u madzhabuhum
tafdil ‘Ali ‘alayhi s-salam wa awlawiyyatahu bi l-imamah wa qasraha fi l-batnayni wa
istihqaqaha bi l-fadl wa t-talab la l-wiratsah wa wujub al-khuruj ‘ala l-ja’irin”.29
Jenis kedua [syi‘ahsyi‘ahsyi‘ahsyi‘ah rafdrafdrafdrafd] adalah pendapat yang mengatakan bahwa Sayyidina
‘Ali ialah satu-satunya orang yang paling berhak menjadi pemimpin umat sesudah
Nabi saw wafat dan karenanya menganggap kekhalifahan sebelumnya tidak sah.
Maka golongan ini dijuluki al-firqah al-Rafidah alias al-Rawafid dan orangnya
disebut dengan Rafidi, sebagaimana ditegaskan oleh Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari (w.
324/935) dalam kitabnya: “wa innama summu Rafidah li-rafdihim imamata Abi Bakr
wa ‘Umar wa hum mujmi‘una ‘ala anna n-Nabi saw nassa ‘ala istikhlafi ‘Ali bin Abi
Talib bi-ismihi wa azhara dzalika wa a‘lanahu wa anna aktsara s-Sahabah dallu bi-
tarkihim al-iqtida’ bihi ba‘da wafati n-Nabi saw”.30
Karena keyakinan mereka
mengenai penunjukkan Sayyidina ‘Ali dan para imam sesudahnya secara tegas (bi n-
nass) –yakni bukan dengan musyawarah atau pemilihan, maka kelompok ini juga
dikenal dengan nama Syi‘ah Imamiyyah. Namun Abd al-Qahir al-Baghdadi (w.
429/1037) dalam kitabnya memasukkan Syi‘ah Zaydiyyah ke dalam kelompok ini -
meskipun ternyata yang beliau maksud ialah sekte-sekte pecahannya, yaitu
Jarudiyyah, Jaririyyah alias Sulaymaniyyah, dan Butriyyah. Adapun Syi‘ah
Imamiyyah sendiri pecah menjadi beberapa aliran, akan tetapi yang bertahan lama
hanya tiga, yaitu: sekte Kamiliyyah31
(yang mengkafirkan semua Sahabat yang tidak
membay‘at Sayyidina ‘Ali dan bahkan juga mengkafirkan Sayyidina ‘Ali karena tidak
memerangi mereka –takfiruha jami‘ as-Sahabah min ghayri takhsis, tegas al-
Baghdadi),32
sekte Isma‘iliyyah (yang mendakwa bahwa imam ketujuh sesudah Ja‘far
28
Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, juz 20, jilid 10, hlm. 373. Bandingkan dengan edisi
perdana oleh Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1378-
1383/1959-1964), juz 20, hlm. 221. Lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-
Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1963), hlm. 31 (paragraf 46).
29
Ahmad bin Yahya al-Murtada (w. 840/1437), kitab al-Qala’id fi tashih al-‘aqa’id, ed. Albert Nader
(Beirut: Dar al-Masyriq, 1985), hlm. 46-7.
30
Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari, Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin, ed. H. Ritter (Istanbul,
1929-1930; cetak ulang Wiesbaden: Franz Steiner, 1963), hlm.16.
31
Sekte ini dibahas oleh Josef van Ess, “Die Kamillya: zur Genese einer häresiographischen
Tradition,” dalam jurnal Die Welt des Islams 28 (1988), hlm. 141-153 = atau lihat versi Inggrisnya:
“The Kamiliya: on the genesis of a heresiographical tradition” dalam Shi‘ism, ed. Etan Kohlberg
(Wiltshire, UK: The Cromwell Press, 2003), hlm. 209-220.
32
Lihat ‘Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-Farq bayn al-firaq, ed. Muhammad ‘Utsman al-Khisyt (Kairo:
Maktabat Ibn Sina, 1988) hlm. 41-70.
13
as-Sadiq adalah putra beliau yang bernama Isma‘il),33
dan sekte Itsna-‘Asyariyyah
(yang menobatkan Musa al-Kazim sebagai imam penerus Ja‘far as-Sadiq dan
sesudahnya dilanjutkan oleh anak cucunya hingga imam keduabelas yang menghilang
dan ditunggu kedatangannya pada akhir zaman sebagai imam mahdi).34
Menurut Ibn
Abi al-Hadid (w. 656/1258), apa yang dikatakan dan dipropagandakan oleh kaum
Syi‘ah Rafidah umumnya dan Syi‘ah Imamiyyah khususnya merupakan ajaran baru
yang muncul di belakang hari, dan sebenarnya belum ada pada zaman Nabi saw
maupun zaman Sahabat: “Wa lam takun maqalat al-imamiyyah wa man naha
nahwaha min at-ta‘inin fi imamat as-salaf masyhurah hina’idzin ‘ala hadza an-nahw
min al-isytihar”.35
Syi‘ah Rafidah
Zaydiyyah ImamiyyahImamiyyahImamiyyahImamiyyah Kaysaniyyah
Isma‘iliyyah Itsna-‘Asyariyyah
Adapun jenis ketiga, yaitu syi‘ahsyi‘ahsyi‘ahsyi‘ah ghuluwwghuluwwghuluwwghuluww atau “Ghulat”, ialah mereka yang
mempunyai kepercayaan-kepercayaan pelik lagi cenderung kufur dan syirik. Misalnya
mereka percaya Sayyidina ‘Ali itu Tuhan yang berwujud manusia (‘ala surat al-insan),
dan Tuhan itu dapat bersemayam di dalam tubuh seseorang (yahullu fi ’l-asykhas),
bahwa yang pertama kali diciptakan Tuhan itu Nabi Muhammad, bahwa Ruh Suci
itu ialah Tuhan yang awalnya berada pada diri Nabi kemudian berpindah ke ‘Ali dan
imam-imam sesudahnya, dan ruh manusia itu berpindah-pindah dengan bertukar
jasad (al-arwah tanasakhat), sehingga orang-orang yang sudah mati itu hidup
kembali (al-amwat yarji‘un ila d-dunya), dan ‘Ali [atau imam-imam sesudahnya] itu
tidak mati karena bakal datang kembali di akhir zaman untuk memenuhi dunia
dengan keadilan, bahwa dunia ini kekal abadi (la tafna), dan hari kebangkitan dan
akhirat itu tidak ada (yunkirun al-qiyamah wa l-akhirah), maka syurga itu
kenikmatan dan kesenangan hidup di dunia ini dan neraka itu kesengsaraan dan
33
Tentang sekte ini lihat Wladimir Ivanow, Brief Survey of the Evolution of Ismailism (Leiden: Brill,
1952); Samuel M. Stern, Studies in Early Isma‘ilism (Jerusalem: Magnes Press, 1983); Farhad
Daftary, The Isma‘ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).
34
Etan Kohlberg, “From Imāmiyya to Ithnā-‘ashariyya”, dalam Bulletin of the School of Oriental and
African Studies, Vol. 39, No. 3 (1976), hlm. 521-534.
35
Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, ed. Muhammad [Abu al-Fadl] Ibrahim, 20 juz dalam 10
jilid (Baghdad: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1428/2007), juz 20, jilid 10, hlm. 376.
14
penderitaan manusia, bahwa kerasulan, kenabian, dan wahyu itu tidak pernah putus
(rusul Allah la tanqati‘u abadan), dan para imam itu adalah nabi-nabi yang diajak
bicara langsung oleh Tuhan (muhaddatsun), bahwa imam-imam itu adalah tuhan-
tuhan (al-a’immah alihah), dan keturunan al-Husayn itu anak-anak kesayangan
Tuhan (abna’ Allah wa ahibba’uh), bahwa imam-imam itu lebih mulia dari para
malaikat (yahbitu ‘alayhim al-mala’ikah) dan punya kuasa menghapus hukum-hukum
agama (yansakhun as-syara’i‘), sehingga menghalalkan minuman keras dan hubungan
seks bebas. Untuk membenarkan pendapat-pendapatnya, golongan sesat ini lantas
menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an secara liberal. Demikian akidah sesat puak-puak
Syi‘ah ekstrimis menurut catatan Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari (w. 324/935).36
Termasuk
golongan Syi‘ah Ghulat37
ini adalah Saba’iyyah (pengikut ‘Abdullah bin Saba’),38
Bayaniyyah,39
Khattabiyyah,40
dan Batiniyyah.41
Syi‘ah TakfirSyi‘ah TakfirSyi‘ah TakfirSyi‘ah Takfir dan Taqdisdan Taqdisdan Taqdisdan Taqdis
Penting ditambahkan bahwa dari tiap-tiap kelompok Syi‘ah ideologis itu selalu
ada di antara mereka yang boleh kita namakan sebagai syi‘ah takfir, yakni mereka
yang tidak hanya menolak legitimasi para khalifah selain Sayyidina ‘Ali akan tetapi
juga menganggap semua Sahabat yang menentang Sayyidina ‘Ali dan tidak mengakui
imam-imam sesudahnya itu kafir.... Tergolong kelompok terakhir ini orang-orang
Syi‘ah Imamiyyah semacam al-Kulayni, Ibn Babawayh, ‘Ali al-Qummi, Syekh al-
Mufid, al-Saffar al-Qummi, al-Hilli, al-Kasyani, al-Majlisi, al-Khomeini dan para
36
Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari, Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin, ed. H. Ritter (Istanbul,
1929-1930; cetak ulang Wiesbaden: Franz Steiner, 1963), hlm. 5-16.
37
Lihat: Wadād al-Qāḍī, “The Development of the Term Ghulāt in Muslim Literature with Special
Reference to the Kaysāniyya”, dalam Akten des VII. Kongresses für Arabistik und Islamwissenschaft
(Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1976), hlm. 295–319, dicetak ulang dalam Shi‘ism, ed. Etan
Kohlberg (Wiltshire, UK: The Cromwell Press, 2003), hlm. 169-193; Matti Moosa, Extremist Shiites:
The Ghulat Sects (Syracuse NY: Syracuse University Press, 1988); William F. Tucker, Mahdis and
Millenarians: Shiite Extremists in Early Muslim Iraq (New York: Cambridge University Press, 2008).
38
Mengenai tokoh ini dan kaitannya dengan ajaran Syi‘ah, lihat: Israel Friedlaender, “Abdallah b.
Saba’, der Begründer der Šia, und sein jüdischer Ursprung” dalam jurnal Zeitschrift für Assyriologie
23 (1909), hlm. 296-327 dan vol. 24 (1910), hlm. 1-46; dan Sean Anthony, The Caliph and the
Heretic: Ibn Saba’ and the Origins of Shi‘ism (Leiden: Brill, 2012).
39
Lihat ulasan William F. Tucker, “Bayan ibn Sam‘an and the Bayaniyya: Shi‘ite Extremists of
Umayyad Iraq,” dalam jurnal The Muslim World 65 (1975), hlm. 241-253.
40
Mengenai sekte ini, lihat tulisan Wilferd Madelung, “Khattabiyya” dalam The Encyclopedia of
Islam, edisi ke-2 (Leiden: Brill, 1978), vol. IV, hlm. 1132-1133.
41
Tentang sekte Batiniyyah, lihat: Fakhruddin ar-Razi, I‘tiqadat firaq al-Muslimin, ed. ‘Ali Sami an-
Nasysyar (Kairo, 1938), 76-81; dan al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah wa fada’il al-Mustazhiriyyah,
ed. ‘Abd al-Rahman Badawi (Kairo: Dar al-Qawm, 1964).
15
pengikutnya.42
Bahwa Syi‘ah Imamiyyah itu menganggap para Sahabat Nabi saw itu
murtad dan kafir telah lama diketahui umum, sebagaimana dinyatakan oleh Abu al-
Muzaffar al-Isfara’ini (w. 471/1079) dalam kitabnya,43
dan ‘Adudaddin al-Iji (w.
756/1356) sebagai berikut: “wa amma al-imamiyyah fa-qalu bi n-nass al-jaliyy ‘ala
imamati ‘Ali wa kaffaru as-Sahabah wa waqa‘u fihim”.44
Syi‘ah Imamiyyah
Rafidi Takfiri Taqdisi
Isma‘iliyyah Itsna-‘Asyariyyah
Mungkin ada yang menyangka doktrin takfir tersebut hanya ada di zaman
dahulu. Namun penelitian khusus menunjukkan bahwa hingga ke hari ini pun kaum
Syi‘ah Imamiyyah menganggap orang bukan Syi‘ah atau Ahlus Sunnah “tidak
beriman”, walaupun mereka dikatakan Muslim (Silakan lihat lampiran pernyataan
tokoh-tokoh Syi‘ah). Hal ini karena manusia dilihat dari segi keyakinannya terdiri
dari tiga golongan: [i] kaum beriman (mu’min), yang menurut mereka itulah Syi‘ah,
[ii] kaum berislam (muslim), yang menurut mereka itulah semua orang Islam non-
Syi‘ah, dan [iii] kaum kafir, yang bukan mukmin dan bukan muslim, yaitu penganut
agama Yahudi, Nasrani, dan lain sebagainya. Sebagaimana disimpulkan oleh seorang
sarjana peneliti Syi‘ah:
The most common Shi‘ite position regarding non-Shi‘ite Muslims, at
least since the fourth century, and probably as early as the mid- to late
second century, is that the non-Shi‘ite is a muslim, legally speaking,
but not a mu’min in the truest sense of the word. He has submitted to
the religion of Islam, and so must be considered part of the Muslim
community from a legal standpoint, but he is not a true believer in that
he does not believe in all that has come from God by way of
revelation—specifically, he does not believe in the Imams, or in all
points of Shi‘ite doctrine regarding this and other issues. Therefore,
42
Baca ulasan Etan Kohlberg, “Some Imami-Shi‘i Views on the Sahaba,” dalam jurnal Jerusalem
Studies in Arabic and Islam, vol.5 (1984), hlm. 143-175.
43
Abu al-Muzaffar al-Isfara’ini, at-Tabsir fi d-din, ed. M. Zahid al-Kawtsari (Kairo: Maktabat al-
Khanji, 1374/1955), hlm. 43.
44
‘Adudaddin al-Iji, al-Mawaqif fi ‘ilm al-Kalam (Kairo: Maktabat al-Mutanabbi, 1403/ 1983), hlm.
423.
16
only the Shi‘ites are the mu’minun, and the terms Shi‘ite and mu’min
can be understood as synonymous.45
Maka jihad pun dalam pandangan Syi‘ah Imamiyyah lebih diprioritaskan
terhadap ahl al-baghy dari kalangan umat Islam yang menolak legitimasi para imam.
Merujuk pendapat Syekh al-Mufid (w. 413/1022) dalam kitabnya, orang Syi‘ah
dianjurkan supaya “mensyi‘ahkan” umat Islam agar mereka jadi beriman, sesuai
dengan pemilahan wilayah berdasarkan agama penduduknya menjadi tiga macam,
yaitu: [i] dar al-iman (negeri Syi‘ah), [ii] dar al-islam (negeri Muslim Ahlus Sunnah
atau non-Syi‘ah), dan [iii] dar al-kufr (negeri-negeri selain itu semua).46
Meminjam
ungkapan pakar Syi‘ah Etan Kohlberg: “For while the Imamis concurred in the need
to fight the infidels, they regarded as an essential first step the conversion othe conversion othe conversion othe conversion of allf allf allf all
Muslims into true believersMuslims into true believersMuslims into true believersMuslims into true believers (i.e. Imami Shi‘is); or, to put it in Imami legal
terminology: the struggle to convert the dar al-islam into dar al-iman must precede
the final onslaught on the dar al-kufr”.47
Adalah syi‘ah ideologis berhaluan takfiri semacam Imamiyyah yang kita
maksud telah terjebak pada “pengkudusan” (taqdis) karena memang di sinilah
tampak perbedaan karakteristik antara Syi‘ah atau bukan Syi‘ah. Setiap orang Islam
menghormati dan mencintai kerabat maupun sahabat Rasulullah saw (kecuali
sebagian kecil yang tidak beriman seperti Abu Lahab dan Abu Jahl), sementara orang
Syi‘ah Imamiyyah menghina dan melaknat kerabat dan sahabat Rasulullah saw yang
tidak diragukan lagi keimanannya dan pengorbanannya, lantas pada saat yang sama
begitu mengagung-agungkan bahkan hingga mengkuduskan Sayyidina ‘Ali,
Sayyidatina Fatimah dan al-Husayn saja. Bahwa terjadi pengkudusan terhadap
Sayyidina ‘Ali, Fatimah r.a. dan keturunannya dari al-Husayn mudah dan banyak
sekali untuk kita jumpai dalam kitab-kitab Syi‘ah Imamiyyah semacam kitab al-Kafi
karangan al-Kulayni (w. 329/940), kitab al-Imamah wa al-Tabsirah min al-hirah oleh
Ibn Babawayh [‘Ali bin al-Husayn bin Musa] al-Qummi (w. 329/941), kitab Man La
Yahduruhu al-Faqih karangan Ibn Babawayh al-Saduq [Muhammad bin ‘Ali bin al-
Husayn] (d. 381/991), kitab al-Nukat al-i‘tiqadiyyah karangan Syaikh al-Mufid (w.
413/1022), kitab Tajrid al-i‘tiqad karangan Nasiruddin al-Tusi (w. 672/ 1274), kitab
Kasyf al-yaqin fi fada’il Amir al-Mu’minin karangan al-Hilli (w. 726/1326), kitab al-
45
Maria Massi Dakki, The Charismatic Community: Shi‘ite Identity in Early Islam (Albany: SUNY
Press, 2007), hlm. 181. Baca juga artikel Etan Kohlberg, “Non-Imami Muslims in Imami Fiqh”
dalam Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot: Variorum, 1991), hlm. 99-105.
46
Lihat al-Mufid, Awa’il al-maqalat fi al-madhahib al-mukhtarat, laha muqaddimah wa ‘álayha
ta‘liqat bi-qalam Fadl Allah al-Zinjani (Tabriz: Maktabah-i Surush, 1364/1945), hlm. 70-71.
47
Lihat ulasan Etan Kohlberg, “The Development of the Imami Shi‘i Doctrine of Jihad”, dalam
Zeitschrift der Deutschen Morgenländischen Gesellschaft (ZDMG) 126.1 (1976), hlm. 64-86, pada
hlm. 69.
17
Haqq al-mubin karangan al-Kasyani (w. 1091/1680), dan kitab Bihar al-anwar al-
jami‘ah li-durar akhbar al-a’immah al-athar karangan al-Majlisi (w. 1110/1698).
Aneka ragam gambaran yang terkesan berlebih-lebihan ditulis mengenai Sayyidina
‘Ali, melampaui riwayat-riwayat positif yang terdapat dalam kitab-kitab Ahlus
Sunnah pada bab manaqib (kebaikan) dan fada’il (keistimewaan) para Sahabat Nabi.
Kita jadi bertanya: Mengapa hanya Sayyidina ‘Ali, Sayyidatina Fatimah, al-Husayn
dan keturunannya saja yang diagung-agungkan?
Kalau lantaran pertalian kekeluargaan, maka Rasulullah saw merupakan
menantu kepada Sayyidina Abu Bakr al-Siddiq yang putrinya Sayyidatina ‘A’isyah
r.a. diperistri oleh Rasulullah saw. Begitu pula Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab
merupakan mertua kepada Rasulullah saw karena baginda menikah dengan putrinya,
yaitu Hafsah binti ‘Umar r.a. Jikalau Sayyidina ‘Ali perlu dikuduskan lantaran
menikah dengan Fatimah r.a. putri Rasulullah saw, niscaya Sayyidina ‘Utsman perlu
dikuduskan dua kali lipat lantaran beliau menikah dengan dua putri Rasulullah saw,
yaitu Ruqayyah dan Umm Kaltsum r.a. Tetapi mengapa orang Syi‘ah Imamiyyah
hanya memuliakan dan bahkan mengkuduskan Sayyidina ‘Ali saja? Apakah “udang”
yang tersembunyi di balik “batu” pengkudusan tersebut?
Kebanyakan orang hanya tahu Sayyidina ‘Ali itu suami kepada Fatimah saja.
Mayoritas kita juga tahunya Sayyidina ‘Ali itu mempunyai dua orang anak saja, yaitu
al-Hasan dan al-Husayn. Pengetahuan yang terbatas ini telah dimanfaatkan oleh
orang-orang Syi‘ah Imamiyyah untuk menggiring opini masyarakat kepada ‘kultus
keluarga’ ala kerajaan. Padahal para ahli sejarah dan ilmu nasab (genealogi) telah
merekam dengan baik fakta-fakta berikut. Dari istri pertama beliau, Fatimah r.a.,
Sayyidina ‘Ali dikaruniai 5 orang anak, 3 putra (al-Hasan, al-Husayn, dan Muhsin)
dan 2 putri (Umm Kaltsum [al-Kubra] dan Zaynab [al-Kubra]). Dari Khawlah binti
Iyas, istri kedua beliau pasca wafatnya Fatimah, Sayyidina ‘Ali dikaruniai seorang
anak laki-laki yang diberi nama Muhammad, yang di kemudian hari lebih sering
dinisbatkan kepada suku ibunya sehingga disebut Muhammad bin al-Hanafiyyah.
Selain itu, Sayyidina ‘Ali masih mempunyai putra-putri lagi, yaitu: ‘Ubaydullah dan
Abu Bakr (dari istri ketiga beliau yang bernama Layla binti Mas‘ud), ‘Umar dan
Ruqayyah (dari istri keempat beliau dari Bani Taghlib), Yahya (dari istri kelima
beliau yang bernama Asma’ binti ‘Umays), Ja‘far, al-‘Abbas, dan ‘Abdullah (dari
hamba sahaya beliau yang dijuluki Ummul Banin binti Haram al-Wahidiyyah),
Ramlah dan Ummul Hasan (dari istri ketujuh beliau yang bernama Ummu Sa‘id binti
‘Urwah), Ummu Kaltsum [al-Shughra], Zaynab [al-Shugra], Jumanah, Maymunah,
Khadijah, Fatimah, Ummul Kiram, Nafisah, Ummu Salamah, dan Umamah (dari
beberapa hamba sahaya beliau yang lain). Demikian dicatat oleh sejarawan Ibn
18
Qutaybah (w. 276/889) dalam kitabnya.48
Dan ini dikuatkan oleh pernyataan
sejumlah tokoh Syiah sendiri. Menurut Ibn ‘Inabah (w. 828/1424) dalam kitab
‘Umdat al-Talib fi Ansab Al Abi Talib), jumlah putra-putri Sayyidina ‘Ali bin Abi
Talib seluruhnya 36 orang, 18 di antaranya laki-laki dan selebihnya perempuan, atau
sebaliknya.49
Hajj Mirza Aghasi dalam kitab ‘Aqa’id al-Syi‘ah mengatakan -
sebagaimana dinukil oleh Dwight M. Donaldson: “Ali is said to have had seventeen
[17] sons and nineteen [19] daughters. After Fatima died, he married twelve other
[women]”.50
Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina ‘Ali telah menikahkan Ummu Kaltsum,
salah seorang putri beliau dari istri pertama, Fatimah binti Rasulillah saw, dengan
Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab, sebagaimana Sayyidina Abu Bakr al-Siddiq
menikahkan putri beliau, ‘A’isyah, dengan Rasulullah saw, dan sebagaimana
Sayyidina ‘Umar menikahkan putri beliau, Hafsah, dengan Rasulullah saw, dan
sebagaimana Rasulullah saw sendiri menikahkan kedua putri beliau, Ruqayyah dan
Ummu Kaltsum, dengan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan. Hubungan musaharah atau
intermarriage ini menunjukkan betapa tingginya kesaling-percayaan dan betapa
eratnya tali kekerabatan sesama mereka. Kita jadi bertanya heran mengapa orang
Syi‘ah Imamiyyah begitu membenci, mengutuk bahkan mengkafirkan orang-orang
yang bukan sekadar teman, akan tetapi mertua dan menantu kepada Rasulullah saw?
Padahal Sayyidina ‘Ali menjadikan Muhammad bin Abi Bakr al-Siddiq sebagai anak
angkatnya (dan kelak menjadi kakek bagi Ja‘far al-Sadiq dari sebelah ibu). Sayyidina
‘Ali juga menjadikan Sayyidina ‘Umar sebagai menantunya dan bahkan mengambil
nama ‘Umar untuk salah seorang anak lelakinya. Begitu pula al-Husayn bin ‘Ali
memberi nama ‘Umar kepada salah seorang putranya, sebagaimana ‘Ali bin al-
Husayn pun menamakan salah seorang putranya ‘Umar. Pertanyaan kita: Adakah
mungkin orang-orang yang terkenal kemuliaan dan ketulusannya itu memberikan
anaknya nama orang yang tidak disukai?
Pun sedikit orang yang tahu bahwa putra sulung Sayyidina ‘Ali, yaitu al-
Hasan, mempunyai 12 orang anak lelaki dan 6 perempuan, meski yang mempunyai
keturunan hanya tiga orang, yaitu: al-Hasan [digelar al-Mutsanna], Zayd, dan Ummu
‘Abdillah. Al-Hasan bin al-Hasan dikaruniai 5 orang anak, manakala Zayd
dikaruniai seorang anak lelaki, yang kesemuanya mempunyai keturunan.51
Sekali lagi
kita bertanya: Mengapa hanya keturunan al-Husayn saja yang dinobatkan menjadi
imam? Mengapa keturunan al-Hasan tidak dianggap layak untuk menjadi imam?
48
Ibn Qutaybah, al-Ma‘arif, ed. Tsarwat ‘Ukasyah (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1969), hlm. 210-211.
49
Ibn ‘Inabah, ‘Umdat al-Talib fi Ansab Al Abi Talib (Beirut: Dār Maktabat al-Hayat, 1964), hlm. 83.
50
Dwight M. Donaldson, The Shi‘ite Religion (London: Luzac, 1933), hlm. 15.
51
al-Dzahabi, Siyar a‘lam al-nubala’ (Beirut: Mu’assasat al-Risalah Beirut, 1422/2001), juz 3,
hlm.277.
19
Unsur PersiaUnsur PersiaUnsur PersiaUnsur Persia
Jawaban untuk pertanyaan di atas kita temukan dalam legenda yang cukup
masyhur. Syahdan, usai penaklukan Persia oleh tentara Islam pada zaman Khalifah
‘Umar bin al-Khattab r.a., dibawalah sejumlah tawanan perang ke Madinah, ibukota
negara waktu itu. Termasuk di antara tawanan tersebut seorang perempuan bernama
Syahr Banu, putri raja Persia terakhir dari dinasti Sassaniah, Yazdagerd III. Adalah
pujangga keturunan Parsi al-Mubarrad (w. 285/898), sejarawan al-Ya‘qubi (w.
284/897), al-Nawbakhti (w. sesudah 300/912) dan Sa‘d bin ‘Abdillāh al-Qummi (w.
301/913-14) yang mengatakan bahwa Syahr Banu diperistri oleh al-Husayn bin ‘Ali
bin Abi Talib.52
Perawi Syi‘ah Imamiyyah al-Saffar al-Qummi (w. 290/903) kemudian
menyiarkan anekdot tentang cahaya yang memancar dari Syahr Banu tatkala beliau
memasuki Masjid Nabawi dan berdoa dalam bahasa Parsi, kemudian ketika
dipersilahkan memilih al-Husayn sebagai suaminya, konon Sayyidina ‘Ali
mengumumkan bahwa wanita itu bakal menjadi ibu dari anak cucunya yang
ditafsirkan oleh al-Saffar al-Qummi sebagai deklarasi calon imam sesudah beliau.53
Tambahan cerita ini kita peroleh dari Ibn Babawayh alias Syaikh Saduq, yang
mengisahkan bahwa Syahr Banu meninggal dunia saat melahirkan anak pertamanya
yang diberi nama ‘Ali, yakni ‘Ali bin al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Talib yang dijuluki
Zayn al- ‘Abidin, imam keempat dalam hitungan Syi‘ah Imamiyyah.54
Walhasil,
legenda ini hampir dengan serta-merta menjelaskan kepada kita mengapa ajaran
Syi‘ah Imamiyyah begitu ‘Ali-Husayn-sentris, dan mengapa ia dipeluk hangat oleh
orang-orang Iran umumnya. Pertemuan dua darah bangsawan, dua titisan Tuhan
dalam kepercayaan mereka, sebagaimana dinyatakan oleh M. Ali Amir-Moezzi:
“Thus, from Imam Zayn al-‘Abidin onwards, the Shiʿite Imams will be the bearers of
a two-fold light: that of walaya[h] from ʿAli and Fatima (thus of Muhammad) and the
glorious light from the ancient kings of Persia, as transmitted by Šahrbanu.”55
Unsur Persia yang sangat mencolok dalam Syi‘ah Imamiyyah (khususnya versi
Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah) ini sejak lama telah dilihat oleh banyak pengamat.
Sejarawan Mesir Ahmad Amin, misalnya, melihat banyak pengaruh Persia dan
52
Lihat: al-Mubarrad, al-Kāmil fi al-lughah wa al-adab, ed. ke-3 oleh M.A. Dāli, 4 jilid, 1997, 2:645-
66; al-Ya‘qubi, Tarikh al-Ya‘qubi, juz 2, hlm. 246-7 and 303; al-Nawbakhti, Firaq al-Syi‘ah, ed. H.
Ritter (Istanbul, 1931), hlm. 53; al-Asy‘ari al-Qummi, al-Maqālāt wa al-firaq, ed. M. J. Masykur
(Tehran: Muʼassasat Maṭbūʻātī ʻAṭāʼī, 1963) hlm.70.
53
Al-Saffar al-Qummi, Basa’ir al-darajāt, ed. ke-2 oleh M. Kuchabāghi (Tabriz 1381/1960), hlm. 335,
no. 8. Bandingkan dengan al-Majlisi, Bihar al-Anwar (Beirut: Mu’assasat al-Wafa’, 1403/1983), juz
45, hlm. 330.
54
Ibn Babawayh, ‘Uyun akhbār al-Ridha, ed. Ḥusayn Lājawardi (Tehran, 1958), bab 35, no. 6, fasal
2, hlm. 128.
55
M. Ali Amir-Moezzi, “Šahrbanu”, dalam Encyclopaedia Iranica (2005 edisi online).
20
Yahudi dalam ajaran Syi‘ah.56
Juga Syekh Abu Zahrah mengatakan pada hakikatnya
Syi‘ah itu dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Persia kuno mengenai kerajaan dan
kedinastian, dan kemiripan antara pemikiran Syi‘ah dengan teori kerajaan Persia
amat jelas. Maka wajarlah jika mayoritas penduduk Persia (Iran) itu menganut Syi‘ah
dan para pemeluk Syi‘ah yang mula-mula itu orang-orang Persia: “wa fi ’l-haqq anna
na‘taqidu anna s-Syi‘ah qad ta’atstsaru bi al-afkar al-farisiyyah hawla al-mulk wa ’l-
wiratsah wa t-tasyabuh bayna madzhabihim wa nizam al-mulk al-farisi wadih, wa
yuzakki hadza anna aktsara ahli Faris ila ’l-an min as-Syi‘ah wa anna s-Syi‘ah al-
awwalin kanu min Faris”.57
Observasi yang hampir sama telah dinyatakan oleh
Thomas W. Arnold dalam bukunya mengenai penyebaran Islam di berbagai belahan
dunia. Khusus tentang masuknya Islam di wilayah Iran, dikatakannya bahwa bangsa
Iran menerima Islam pembebas dan ajaran Syi‘ah sebagai kelanjutan dari kecintaan,
kebanggaan dan kesetiaan terhadap dinasti Persia berkat perkawinan al-Husayn bin
‘Ali dengan, Syahr Banu, putri raja mereka yang terakhir:
“In addition to the causes above enumerated of the rapid spread of
Islam in Persia, it should be remembered that the political and
national sympathies of the conquered race were also enlisted on
behalf of the new religion through the marriage of Husayn, the son of
‘Ali with Shah[r]banu, one of the daughters of Yazdagird, the last
monarch of the Sasanid dynasty. In the descendants of Shah[r]banu
and Husayn the Persians saw the heirs of their ancient kings and the
inheritors of their national traditions and in this patriotic feeling may
be found the explanation of the intense devotion of the Persians to
the ‘Alid faction and the first beginnings of Shi‘ism as a separate
sect.58
Demikian pula kesan yang ditangkap oleh sarjana-sarjana Eropa seperti
Arthur de Gobineau,59
Reinhart Dozy60
August Müller,61
dan Edward Browne,
meskipun belakangan dibantah oleh Heinz Halm dari Universitas Tuebingen bahwa
Syi‘ah itu muncul di lingkungan Arab di kota Kufah dan karenanya bisa dipahami
bukan sebagai ekspresi mental bangsa Iran –seperti sejak lama diyakini oleh banyak
orang- dan bukan pula merupakan balas dendam bangsa Arya Iran terhadap agama
56
Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Maktabat an-Nahdah al-Misriyyah, 1965), hlm. 276-278.
57
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1963),
hlm. 34-35.
58
Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam (London: A. Constable & Co., 1896), hlm. 179 = atau
edisi London: Darf Publishers, 1935 dan 1986, hlm. 209.
59
Arthur comte de Gobineau, Les religions et les philosophies dans l'Asie central (Paris: Didier et cie,
1866), hlm. 367.
60
Reinhart Dozy, Essai sur l’histoire de l’Islamisme (Paris: Maisonneuve, 1879), hlm. 220ff.
61
August Müller, Der Islam im Morgen- und Abendland (Berlin: Grote, 1885), hlm. 327.
21
Islam dan bangsa Arab [yang mengalahkan dan menaklukkan mereka]: “… the Shi‘a
originated in the Arabian milieu of Kufa and may thus be understood neither as an
expression of Iranian mentality –as has long been believed– nor yet as the revenge of
Aryan Iranianism on Islam and the Arabs”.62
Beberapa anasir khas Iran yang menonjol dalam ajaran Syi‘ah adalah
penobatan imam mengikut keturunan, juga kepercayaan pada imam mahdi sebagai
Penyelamat akhir zaman, dan unsur lainnya adalah penghayatan tragedi seperti yang
kita lihat pada setiap tahun saat peringatan terbunuhnya Sayyidina al-Husayn. Dalam
sebuah wawancara, S.H. Nasr menjelaskannya sebagai berikut: “… after the Mongol
invasion, gradually Iran became more and more Twelfth Imam Shi‘ite until the
Safavid period when Shi‘ism became the official religion of Persia”. Seyyed Hossein
Nasr, In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed Hossein Nasr on His Life
and Thought (Santa Barbara: Praeger, 2010) hlm. 150
PenutupPenutupPenutupPenutup
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Syi‘ah itu secara zahirnya masih
termasuk umat Islam, walaupun para ulama telah menunjukkan berbagai macam
kekeliruan dan kesesatan dalam pandangan, keyakinan maupun amalan agama
mereka. Namun, apabila orang Syi‘ah mengkafirkan orang Islam, maka tuduhan
tersebut akan berbalik kepada mereka sendiri. Jikalau mereka anggap Sayyidina Abu
Bakr dan Sayyidina ‘Umar –radiyallahu ‘anhuma- itu kafir, lantas mereka anggap apa
orang lain seperti kita semua ini?
AppendixAppendixAppendixAppendix
Di atas tadi telah dikatakan bahwa hampir keseluruhan ajaran Syi‘ah Imamiyyah
ideologis umumnya dan Imamiyyah khususnya dibangun atas kebencian yang
diluahkan melalui penolakan, kritikan, kecaman, kutukan, bahkan pengkafiran-
terhadap Sayyidina Abu Bakr al-Siddiq, Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab, dan
Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan r.a. serta para Sahabat Nabi yang lain. Kaum Syi‘ah
Imamiyyah banyak membuat cerita-ceritabohong dan menyiarkan riwayat-riwayat
palsu yang mereka sandarkan kepada Ja‘far as-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin
‘Ali Zayn al-‘Abidin bin al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Talib. Berkata Imam as-Syafi‘i:
“Orang Syi‘ah rafd itu paling banyak kesaksian palsu-(dusta)nya ar-Rafidah asyhadu
bi ’z-zur” (Manaqib, hlm. 144) Aneka ragam kebohongan dan anekdot isapan jempol
dibikin mengikut ideologi ini. Berikut ini petikan-petikannya:
62
Heinz Halm, Shi‘ism, terj. Janet Watson (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991), hlm. 16.
22
i. al-Fadl ibn Syadzan (w. 260/873), al-Idah fi r-radd ‘ala sa’ir al-firaq, ed. Jalaluddin
al-Husayni (Beirut: Mu’assasah at-Tarikh al-‘Arabi, 1430/2009), hlm. 60:
ii. Abu Ja‘far as-Saffar al-Qummi (w. 290/963), Basa’ir ad-Darajat fi fada’il Al
Muhammad (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami 1431/2010), hlm. 64:
23
iii. Abu al-Hasan ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. sesudah 301/919), Tafsir al-Qummi,
ed. Tayyib al-Musawi al-Jaza’iri, 2 jilid (Najaf: t.p., 1387/1968), 2:421 :
iv. Abu al-Qasim Furat bin Ibrahim al-Kufi (w. sekitar 300/912), Tafsir Furat al-
Kufi, ed. M. al-Kazim (Beirut: Mu’assasah at-Tarikh al-‘Arabi, 1432/2011), juz 1,
hlm. 116:
24
v. Abu n-Nasr Muhammad bin Mas‘ud bin ‘Ayyasy (w. 320/932), Tafsir al-‘Ayyasyi,
ed. Hasyim ar-Rasuli al-Mahallati, 2 jilid (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami, 1411/1991),
jilid 1, hlm. 91:
vi. Syekh al-Kulayni (w. 329/941), al-Kafi, 8 jilid (Beirut: Mansyurat al-Fajr, 1428/
2007), 8:133:
Dalam kitab yang sama (al-Kafi, 2:33), al-Kulayni memuat riwayat ini:
25
vii. Syekh as-Saduq [ibn Babawayh] al-Qummi (w. 381/991), al-Khisal, ed. ‘Ali Akbar
al-Ghifari, 2 juz (Qumm: Jama‘at al-Mudarrisin fi al-Hawzah al-‘Ilmiyyah, 1403),
1:129:
viii. Syekh as-Saduq ibn Babawayh al-Qummi (w. 381/991), ‘Uyun akhbar ar-Rida,
ed. Husayn al-A‘lami, 2 jilid (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami, 2005), 2:94
ix. Syekh al-Mufid (w. 413/1022), al-Ikhtisas, ed. ‘Ali Akbar Ghiffari (Beirut:
Mu’assasat al-A‘lami, 1430/2009), hlm. 18:
26
x. Syekh at-Ta’ifah Abu Ja‘far at-Tusi (w. 460/ 1067), “al-Mufsih fi imamat Amir al-
Mu’minin” dalam ar-Rasa’il al-‘asyr (t.t. Mu’assasah an-Nasyr al-Islami, 1414), hlm.
127:
xi. ‘Ali bin ‘Abd al-‘Al al-Muhaqqiq al-Karaki (w. 940/1534), Nafahat al-lahut fi la‘n
al-jibt wa t-taghut, ed. Muhammad Hadi al-Amini (Tehran: Maktabat Neinavi
[Naynawi] al-Haditsah, t.t.), hlm. 128 [fasl 7 – fi jawaz la‘nihim] = ed. Shaykh
Muhammad Hasun (Qom: Mansyurat Turats al-Ihtijaj, 2002), hlm. 161 :
27
xii. Muhammad Tahir bin Muhammad Husayn as-Syirazi an-Najafi al-Qummi (w.
1098/1687), Kitab al-Arba‘in fi imamat al-a’immah al-tahirin, ed. Mahdi al-Raja’i
(Qumm: Matba‘at al-Amir, 1418) hlm. 615-616:
xiii. al-Hurr al-‘Amili (w. 1104/1693), Tafsil wasa’il as-syi‘ah ila tahsil masa’il as-
syari‘ah (Qumm: Mu’assasah Al al-Bayt, 1414), jilid 15, hlm. 79:
28
xiv. Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1111/1699), Bihar al-anwar al-jami‘ah li-durar
akhbar al-a’immah al-athar, ed. ‘Abd az-Zahra’ al-‘Alawi (Beirut: Dar ar-Rida,
1983), jilid 29, hlm. 41:
xv. Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-anwar al-jami‘ah li-durar akhbar al-
a’immah al-athar (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi = Mu’assasat al-Wafa’,
1403/1983), 101 - bab kufr al-mukhalifin wa n-nussab – kitab al-iman wa ’l-kufr wa
masawi al-akhlaq, juz 69, hlm. 137-138:
29
xvi. Syekh Ni‘matullah al-Jaza’iri (w. 1112/1700) al-Anwar an-Nu‘maniyyah, ed.
Muhammad ‘Ali al-Qadi at-Tabataba’i, 4 jilid (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami,
1431/2010), jilid 1, hlm. 87:
xvii. Mirza Jawad at-Tabrizi (w. 1427/2006), al-Anwar al-ilahiyyah fi al-masa’il al-
‘aqa’idiyyah (Qumm: Dar as-Siddiqah as-Syahidah, 1425), hlm. 259:
30
xviii. Abu ’l-Qasim al-Musawi al-Khu’i (w. 1413/1992), Misbah al-faqahah fi ’l-
mu‘amalat, ed. Mirza Muhammad ‘Ali at-Tawhidi at-Tabrizi (Najaf: al-Matba‘ah al-
Haydariyyah, 1374/1954) = edisi Mawsu‘ah al-Khu’i (Tehran: Mu’assasah al-Khu’I
al-Islamiyyah, 1434/2013), jilid 35, juz 1, hlm. 496-497

More Related Content

What's hot

Aliran Khawarij
Aliran KhawarijAliran Khawarij
Aliran KhawarijRatih Aini
 
Presentasi Fiqh Siyasah 6
Presentasi Fiqh Siyasah 6Presentasi Fiqh Siyasah 6
Presentasi Fiqh Siyasah 6Marhamah Saleh
 
Fze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islamFze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islamSuzie Lestari
 
Tasyri' Era Sahabat generasi kedua
Tasyri' Era Sahabat generasi keduaTasyri' Era Sahabat generasi kedua
Tasyri' Era Sahabat generasi keduaMarhamah Saleh
 
Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA): Pengertian dan Pokok Ajarannya
Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA): Pengertian dan Pokok AjarannyaAhlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA): Pengertian dan Pokok Ajarannya
Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA): Pengertian dan Pokok AjarannyaA Faiz
 
Makalah tentang Aliran Khawarij
Makalah tentang Aliran KhawarijMakalah tentang Aliran Khawarij
Makalah tentang Aliran KhawarijSiti Nurapipah
 
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Edi Awaludin
 
Pemantapan Aswaja
Pemantapan AswajaPemantapan Aswaja
Pemantapan Aswajaaswajanu
 
Akidah ahli sunnah wal jamaah
Akidah ahli sunnah wal jamaahAkidah ahli sunnah wal jamaah
Akidah ahli sunnah wal jamaahKhairul Anwar
 
Ahlussunnah Wal Jama'ah
Ahlussunnah  Wal Jama'ahAhlussunnah  Wal Jama'ah
Ahlussunnah Wal Jama'ahArdian DP
 
Makalah aswaja-pak-mahmud
Makalah aswaja-pak-mahmudMakalah aswaja-pak-mahmud
Makalah aswaja-pak-mahmuddektah net
 
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...desi_aoi
 
Fiqh amal islami
Fiqh amal islamiFiqh amal islami
Fiqh amal islamiazmi bahari
 

What's hot (19)

Aliran Khawarij
Aliran KhawarijAliran Khawarij
Aliran Khawarij
 
Presentasi Fiqh Siyasah 6
Presentasi Fiqh Siyasah 6Presentasi Fiqh Siyasah 6
Presentasi Fiqh Siyasah 6
 
Aswaja
AswajaAswaja
Aswaja
 
Fze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islamFze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islam
 
Tasyri' Era Sahabat generasi kedua
Tasyri' Era Sahabat generasi keduaTasyri' Era Sahabat generasi kedua
Tasyri' Era Sahabat generasi kedua
 
Tasyri' abad 2-4 H.
Tasyri' abad 2-4 H.Tasyri' abad 2-4 H.
Tasyri' abad 2-4 H.
 
Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA): Pengertian dan Pokok Ajarannya
Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA): Pengertian dan Pokok AjarannyaAhlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA): Pengertian dan Pokok Ajarannya
Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA): Pengertian dan Pokok Ajarannya
 
Makalah tentang Aliran Khawarij
Makalah tentang Aliran KhawarijMakalah tentang Aliran Khawarij
Makalah tentang Aliran Khawarij
 
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
 
Pemantapan Aswaja
Pemantapan AswajaPemantapan Aswaja
Pemantapan Aswaja
 
02. khawarij
02. khawarij02. khawarij
02. khawarij
 
Akidah ahli sunnah wal jamaah
Akidah ahli sunnah wal jamaahAkidah ahli sunnah wal jamaah
Akidah ahli sunnah wal jamaah
 
Saatnya menjadi pemenang
Saatnya menjadi pemenangSaatnya menjadi pemenang
Saatnya menjadi pemenang
 
Ahlussunnah Wal Jama'ah
Ahlussunnah  Wal Jama'ahAhlussunnah  Wal Jama'ah
Ahlussunnah Wal Jama'ah
 
Makalah aswaja-pak-mahmud
Makalah aswaja-pak-mahmudMakalah aswaja-pak-mahmud
Makalah aswaja-pak-mahmud
 
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
 
Kajian Historis Murjiah
Kajian Historis MurjiahKajian Historis Murjiah
Kajian Historis Murjiah
 
Ilmu Kalam - Khawarij
Ilmu Kalam - KhawarijIlmu Kalam - Khawarij
Ilmu Kalam - Khawarij
 
Fiqh amal islami
Fiqh amal islamiFiqh amal islami
Fiqh amal islami
 

Similar to SYI'AH PENGERTIAN

Syiah G3
Syiah G3Syiah G3
Syiah G3dr2200s
 
Syiah G3
Syiah G3Syiah G3
Syiah G3dr2200s
 
Fze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islamFze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islamSafran Nasoha
 
Fze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islamFze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islamTarman S
 
Tauhid Dan Ilmu Kalam.pptx
Tauhid Dan Ilmu Kalam.pptxTauhid Dan Ilmu Kalam.pptx
Tauhid Dan Ilmu Kalam.pptxYoga495659
 
AKIDAH AKHLAK.pptx
AKIDAH AKHLAK.pptxAKIDAH AKHLAK.pptx
AKIDAH AKHLAK.pptxunamedbro
 
bahaya syiah keada aqidah
 bahaya syiah  keada aqidah bahaya syiah  keada aqidah
bahaya syiah keada aqidahR&R Darulkautsar
 
Bahaya Syiah drpd Ust Abdullah Din
Bahaya Syiah drpd Ust Abdullah DinBahaya Syiah drpd Ust Abdullah Din
Bahaya Syiah drpd Ust Abdullah DinAzizol Duralim
 
Sejarah munculnya-istilah-ahlus-sunnah-wal-jama-ah
Sejarah munculnya-istilah-ahlus-sunnah-wal-jama-ahSejarah munculnya-istilah-ahlus-sunnah-wal-jama-ah
Sejarah munculnya-istilah-ahlus-sunnah-wal-jama-ahRa Hardianto
 
Makalah ilmu kalam
Makalah ilmu kalamMakalah ilmu kalam
Makalah ilmu kalamelmaryam
 
SEJARAH AHLI SUNNAH WAL JAMAAH DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBANGUNAN INSAN DI UTHM
SEJARAH AHLI SUNNAH WAL JAMAAH DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBANGUNAN INSAN DI UTHMSEJARAH AHLI SUNNAH WAL JAMAAH DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBANGUNAN INSAN DI UTHM
SEJARAH AHLI SUNNAH WAL JAMAAH DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBANGUNAN INSAN DI UTHMaswajanu
 
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik .pdf
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik  .pdfTokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik  .pdf
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik .pdfZukét Printing
 
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik.docx
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik.docxTokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik.docx
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik.docxZukét Printing
 
TUGAS UAS RESUME PPT TAUHID DAN ILMU KALAM ASRUL HIKMAH PGMI 1-C.pptx
TUGAS UAS RESUME PPT TAUHID DAN ILMU KALAM ASRUL HIKMAH PGMI 1-C.pptxTUGAS UAS RESUME PPT TAUHID DAN ILMU KALAM ASRUL HIKMAH PGMI 1-C.pptx
TUGAS UAS RESUME PPT TAUHID DAN ILMU KALAM ASRUL HIKMAH PGMI 1-C.pptxAsrulHikmahUINMatara
 
Risalah "Syiah Yang Sesat Dan Menyesatkan" ms. 3 dari 4
Risalah "Syiah Yang Sesat Dan Menyesatkan" ms. 3 dari  4Risalah "Syiah Yang Sesat Dan Menyesatkan" ms. 3 dari  4
Risalah "Syiah Yang Sesat Dan Menyesatkan" ms. 3 dari 4Abu Muhammad
 
Teologi islam khawarij dan murji'ah 2013
Teologi islam khawarij dan murji'ah 2013Teologi islam khawarij dan murji'ah 2013
Teologi islam khawarij dan murji'ah 2013Muhammad Izuddin
 

Similar to SYI'AH PENGERTIAN (20)

Syiah G3
Syiah G3Syiah G3
Syiah G3
 
Syiah G3
Syiah G3Syiah G3
Syiah G3
 
Fze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islamFze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islam
 
Fze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islamFze aliran-aliran islam
Fze aliran-aliran islam
 
Tauhid Dan Ilmu Kalam.pptx
Tauhid Dan Ilmu Kalam.pptxTauhid Dan Ilmu Kalam.pptx
Tauhid Dan Ilmu Kalam.pptx
 
Aliran muktazilah
Aliran muktazilahAliran muktazilah
Aliran muktazilah
 
AKIDAH AKHLAK.pptx
AKIDAH AKHLAK.pptxAKIDAH AKHLAK.pptx
AKIDAH AKHLAK.pptx
 
bahaya syiah keada aqidah
 bahaya syiah  keada aqidah bahaya syiah  keada aqidah
bahaya syiah keada aqidah
 
Bahaya Syiah drpd Ust Abdullah Din
Bahaya Syiah drpd Ust Abdullah DinBahaya Syiah drpd Ust Abdullah Din
Bahaya Syiah drpd Ust Abdullah Din
 
Sejarah munculnya-istilah-ahlus-sunnah-wal-jama-ah
Sejarah munculnya-istilah-ahlus-sunnah-wal-jama-ahSejarah munculnya-istilah-ahlus-sunnah-wal-jama-ah
Sejarah munculnya-istilah-ahlus-sunnah-wal-jama-ah
 
Makalah ilmu kalam
Makalah ilmu kalamMakalah ilmu kalam
Makalah ilmu kalam
 
SEJARAH AHLI SUNNAH WAL JAMAAH DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBANGUNAN INSAN DI UTHM
SEJARAH AHLI SUNNAH WAL JAMAAH DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBANGUNAN INSAN DI UTHMSEJARAH AHLI SUNNAH WAL JAMAAH DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBANGUNAN INSAN DI UTHM
SEJARAH AHLI SUNNAH WAL JAMAAH DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBANGUNAN INSAN DI UTHM
 
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik .pdf
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik  .pdfTokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik  .pdf
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik .pdf
 
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik.docx
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik.docxTokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik.docx
Tokoh - Tokoh Aswaja Secara Holistik.docx
 
Kaum syi'ah
Kaum syi'ahKaum syi'ah
Kaum syi'ah
 
Agama
AgamaAgama
Agama
 
TUGAS UAS RESUME PPT TAUHID DAN ILMU KALAM ASRUL HIKMAH PGMI 1-C.pptx
TUGAS UAS RESUME PPT TAUHID DAN ILMU KALAM ASRUL HIKMAH PGMI 1-C.pptxTUGAS UAS RESUME PPT TAUHID DAN ILMU KALAM ASRUL HIKMAH PGMI 1-C.pptx
TUGAS UAS RESUME PPT TAUHID DAN ILMU KALAM ASRUL HIKMAH PGMI 1-C.pptx
 
Risalah "Syiah Yang Sesat Dan Menyesatkan" ms. 3 dari 4
Risalah "Syiah Yang Sesat Dan Menyesatkan" ms. 3 dari  4Risalah "Syiah Yang Sesat Dan Menyesatkan" ms. 3 dari  4
Risalah "Syiah Yang Sesat Dan Menyesatkan" ms. 3 dari 4
 
Aliran asy'ariah
Aliran asy'ariahAliran asy'ariah
Aliran asy'ariah
 
Teologi islam khawarij dan murji'ah 2013
Teologi islam khawarij dan murji'ah 2013Teologi islam khawarij dan murji'ah 2013
Teologi islam khawarij dan murji'ah 2013
 

More from Syamsuddin Arif

PKS and Its Policy on Gender-related Issues
PKS and Its Policy on Gender-related IssuesPKS and Its Policy on Gender-related Issues
PKS and Its Policy on Gender-related IssuesSyamsuddin Arif
 
Islam Nusantara - historiografi dan metodologi
Islam Nusantara - historiografi dan metodologiIslam Nusantara - historiografi dan metodologi
Islam Nusantara - historiografi dan metodologiSyamsuddin Arif
 
Peradaban Islam di Iberia Andalusia
Peradaban Islam di Iberia AndalusiaPeradaban Islam di Iberia Andalusia
Peradaban Islam di Iberia AndalusiaSyamsuddin Arif
 
Islam dan Dialog Antaragama
Islam dan Dialog Antaragama   Islam dan Dialog Antaragama
Islam dan Dialog Antaragama Syamsuddin Arif
 
Pemikiran Liberal Islam Indonesia
Pemikiran Liberal Islam IndonesiaPemikiran Liberal Islam Indonesia
Pemikiran Liberal Islam IndonesiaSyamsuddin Arif
 
Filsafat Islam - Tradisi dan Kontroversi
Filsafat Islam - Tradisi dan KontroversiFilsafat Islam - Tradisi dan Kontroversi
Filsafat Islam - Tradisi dan KontroversiSyamsuddin Arif
 
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg Syamsuddin Arif
 

More from Syamsuddin Arif (8)

PKS and Its Policy on Gender-related Issues
PKS and Its Policy on Gender-related IssuesPKS and Its Policy on Gender-related Issues
PKS and Its Policy on Gender-related Issues
 
Islam Nusantara - historiografi dan metodologi
Islam Nusantara - historiografi dan metodologiIslam Nusantara - historiografi dan metodologi
Islam Nusantara - historiografi dan metodologi
 
Peradaban Islam di Iberia Andalusia
Peradaban Islam di Iberia AndalusiaPeradaban Islam di Iberia Andalusia
Peradaban Islam di Iberia Andalusia
 
Islam dan Dialog Antaragama
Islam dan Dialog Antaragama   Islam dan Dialog Antaragama
Islam dan Dialog Antaragama
 
Tekstualisasi al-Qur'an
Tekstualisasi al-Qur'anTekstualisasi al-Qur'an
Tekstualisasi al-Qur'an
 
Pemikiran Liberal Islam Indonesia
Pemikiran Liberal Islam IndonesiaPemikiran Liberal Islam Indonesia
Pemikiran Liberal Islam Indonesia
 
Filsafat Islam - Tradisi dan Kontroversi
Filsafat Islam - Tradisi dan KontroversiFilsafat Islam - Tradisi dan Kontroversi
Filsafat Islam - Tradisi dan Kontroversi
 
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
 

SYI'AH PENGERTIAN

  • 1. 1 Memahami Syi‘ahMemahami Syi‘ahMemahami Syi‘ahMemahami Syi‘ah:::: TTTTeeeerrrrmmmmiiiinnnnoooollllooooggggiiii,,,, TTTTiiiippppoooollllooooggggiiii,,,, ddddaaaannnn IIIIddddeeeeoooollllooooggggiiii Syamsuddin Arif Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS) Universitas Teknologi Malaysia (UTM) Kuala Lumpur “Et quidem multi sane in errorem inducunt alios propter cupiditates suas sine scientia. Porro dominus tuus est scientissimus, quinam sint transgessores.” – Q.VI:119 Jika ada agama yang dibangun atas pengkudusan seseorang, pengkudusan keturunan, dan kebencian kepada seseorang, perlawanan dan pemberontakan, itulah Syi‘ah. Meski mengaku bagian dari Islam, ajaran-ajaran Syi‘ah lebih dekat kepada kufur dan nifaq (kemunafikan) daripada ajaran Islam yang sejati dan mutawatir kebenarannya. Tulisan ringkas ini akan membahas sejumlah pertanyaan dan persoalan mendasar tentang apa, bagaimana dan mengapa dengan Syi‘ah. Syi‘ah dalam alSyi‘ah dalam alSyi‘ah dalam alSyi‘ah dalam al----Qur’an dan HadisQur’an dan HadisQur’an dan HadisQur’an dan Hadis Seringkali orang awam terdiam apabila dikatakan bahwa Syi‘ah itu ada di dalam al-Qur’an. Maksudnya, nama Syi‘ah itu tersebut di dalam surah Maryam (19) ayat 69: “tsumma la-nanzi‘anna min kulli syi‘atin (kemudian pasti akan Kami ambil dari setiap kelompok)”, dalam surah al-Qasas (28) ayat 15: “… hadza min syi‘atihi wa hadza min ‘aduwwih (yang seorang itu dari golongannya, manakala yang seorang lagi dari golongan musuhnya)”, dan di surah al-Saffat (37) ayat 83: “wa inna min syi‘atihi la-Ibrahim (dan sesungguhnya Ibrahim itu termasuk golongannya [Nabi Nuh])”. Namun, kalau setiap nama dan semua kata yang tersebut dalam al-Qur’an itu benar, bagus dan diridhoi Tuhan, niscaya Iblis, Fir‘aun, Syaitan, Jahannam dan sebagainya yang disebutkan berkali-kali dalam al-Qur’an itu mestinya lebih benar, lebih bagus dan lebih diridhoi daripada Syi‘ah. Maka hanya orang pandir yang keliru menyangka istilah syi‘ah di dalam al-Qur’an itu berkaitan dengan sekte Syi‘ah. Menurut Ibn al-Jawzi (w. 597/1201), lafaz syi‘ah dan turunannya (yaitu bentuk jamak syiya‘ dan asyya‘) di dalam al-Qur’an mempunyai 4 makna berdasarkan konteksnya: ia berarti (i) kelompok yang berpecah-pecah atau firaq, (ii) keluarga dan keturunan (ahl wa nasab) seperti pada ayat 15 surah al-Qasas di atas,
  • 2. 2 (iii) pemeluk agama atau umat (ahl al-millah) seperti pada ayat 69 surah Maryam, dan (iv) aneka ragam tendensi keliru (al-ahwa’ al-mukhtalifah) seperti pada ayat 65 surah al-An‘am.1 Adapun dalam korpus hadis, kita dapati lafaz syi‘ah juga dipakai secara umum dalam arti pengikut. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (w. 241/855) dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As bahwa Nabi saw pernah bersabda mengenai seorang laki-laki yang di kemudian hari menjadi tokoh Khawarij: “Ia bakal memperoleh pengikut yang sangat mendalami agama sehingga keluar darinya (sa- yakunu lahu syi‘ah yata‘ammaquna fi al-din hatta yakhruju minhu).”2 Secara bahasa, lafaz syi‘ah itu artinya pengikut dan pembela seseorang (al- syi’ah atba‘ al-rajul wa ansaruhu), kata Ibn Manzur (w. 711/1311) dalam kamusnya.3 Syi‘ah itu makna asalnya adalah pendukung atau penyokong yang kerjanya memperkuat dan menyebarkan pengaruh seseorang (al-syi‘atu man yataqawwa bihim al-insan wa yantasyiruna ‘anhu), jelas al-Raghib al-Isfahani (w. 502/1108) dalam kitabnya.4 Inilah yang kita sebut sebagai “syi‘ah terminologis”, sama halnya kalau kita menyebut para pendukung seorang calon presiden pada pemilihan umum tahun 2014 yang lalu “syi‘ah Prabowo” atau “syi‘ah Jokowi”, yakni mereka yang menginginkan sang tokohnya naik menjadi pemimpin negara. Demikian pula istilah “syi‘ah ‘Ali” pada awalnya, tidak mempunyai makna lain kecuali pemihakan kepada Sayyidina ‘Ali dalam konflik politik seputar suksesi menyusul wafatnya Nabi saw. Konon, penyempitan arti kata syi‘ah sehingga dipakai khusus untuk menyebut kelompok Sayyidina ‘Ali bin Abi Talib dalam literatur klasik dimulai oleh Sa‘d bin ‘Abdillah al-Asy‘ari al-Qummi (w. 301/914), pengarang kitab al-Maqalat wa al-firaq. Maka Ibn al-Nadim (w. 380/990) pun kemudian menukil riwayat Ibn Ishaq bahwa Sayyidina ‘Ali semasa konflik dengan Talhah dan al-Zubayr konon menyebut para pengikut dan pendukungnya “syi‘ati”.5 Muatan ideologis pada kata syi‘ah baru muncul beberapa ratus tahun setelahnya. Di abad ke-5 Hijriah/ abad ke-11 Masehi kita dapati tokoh Syi‘ah klasik yang dijuluki Syekh al-Mufid (w. 413/1022) dalam kitabnya menegaskan bahwa dengan imbuhan definitif alif-lam ta‘rif, lafaz al-Syi‘ah menjadi nama khusus bagi pengikut Sayyidina ‘Ali yang setia dan percaya kepadanya sebagai pemimpin langsung setelah Rasulullah saw. wafat seraya menafikan kepemimpinan mereka yang 1 Ibn al-Jawzi, Nuzhat al-a‘yun al-nawazir, ed. Muhammad ‘Abd al-Karim Kazim ar-Radi (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1407/1987), hlm. 376-7. 2 Hadis no.7038 dalam Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, ed. Syu‘ayb al-Arna’ut et al. (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1417/1997), jilid 11, hlm. 614. 3 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Sadir, 1414), jilid 8, hlm. 188. 4 al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412/1992), hlm. 470. 5 Ibn al-Nadim, al-Fihrist (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1348/1929; dicetak ulang oleh Dar al-Ma‘rifah Beirut 1978), hlm. 249.
  • 3. 3 mendahului beliau sebagai khalifah serta menjadikan beliau sebagai tokoh ikutan yang tidak mengikuti atau dipimpin siapapun: “li atba‘ Amir al-Mu’minin – salawatullah ‘alayhi- ‘ala sabil al-wala’ wa ’l-i‘tiqad li-imamatihi ba‘da r-Rasul – salawatullah ‘alayhi wa alihi- bi-la fasl wa nafy al-imamah ‘amman taqaddamahu fi maqam al-khilafah wa ja‘luhu fi ’l-i‘tiqad matbu‘an lahum ghayra tabi‘ li-ahad minhum ‘ala wajh al-iqtida’.”6 Maka al-Syahrastani (w. 548/1153) pun menulis bahwa “Syi‘ah ialah orang- orang yang mendukung ‘Ali r.a. dan hanya mengakui beliau sebagai imam (pemimpin) dan khalifah (pengganti Nabi) yang sah menurut dalil serta wasiat secara tersurat ataupun tersirat dan meyakini bahwa hak kepemimpinan itu terbatas bagi anak cucu beliau saja, sehingga kalau pun terlepas dari mereka maka hal itu lantaran kezaliman dari pihak lain ataupun karena berlindung demi menyelamatkan diri (al- syi‘ah hum alladzina syaya‘u ‘Aliyyan radhiyallahu ‘anhu ‘ala l-khusus wa qalu bi- imamatihi wa khilafatihi nassan wa wasiyyatan imma jaliyyan wa imma khafiyyan wa i‘taqadu anna al-imamah la takhruju min awladihi wa in kharajat fa-bi-zulm yakunu min ghayrihi aw bi-taqiyyah min ‘indihi).”7 Definisi serupa diberikan oleh Sayyid ‘Abdullah Syubar (w. 1242/1827), tokoh Syi‘ah modern kelahiran Najaf Iraq: lafaz syi‘ah itu sebutan bagi mereka yang meyakini bahwa khalifah pengganti pasca wafatnya Nabi saw. itu ialah Sayyidina ‘Ali (lafz al-syi‘ah yutlaqu ‘ala man qala bi-khilafati amir al-mu’minin [‘Ali ibn Abi Talib] ba‘da al-Nabi s.a.w. bi-la fasl).8 Tiga MaknaTiga MaknaTiga MaknaTiga Makna SyiSyiSyiSyi‘‘‘‘ahahahah Penting sekali dalam konteks pembahasan ini untuk tidak mencampur-adukkan tiga makna syi‘ah: [i] syi‘ah terminologis, [ii] syi‘ah politis, dan [iii] syi‘ah ideologis. Syi‘ah Terminologis Politis Ideologis 6 Al-Mufid, Awa’il al-maqalat (Beirut: Dar al-Kitab al-Islami, 1403/1983), hlm. 37-38. 7 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. Amir ‘Ali Muhanna dan ‘Ali Hasan Fa‘ur, 2 juz (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1414/1993), 1:169. 8 ‘Abdullah Syubar, Haqq al-yaqin fi ma‘rifati usul al-din (Najaf: Matba‘at al-‘Irfan, 1352 H), hlm. 195.
  • 4. 4 Yang pertama [syi‘ah terminologissyi‘ah terminologissyi‘ah terminologissyi‘ah terminologis] adalah pengertian umum secara harfiah atau literal, sesuai dengan makna asal yang kita temukan di dalam kamus maupun yang dipakai di dalam al-Qur’an dan hadis sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Yang kedua [syi‘ah politissyi‘ah politissyi‘ah politissyi‘ah politis] adalah makna spesifik untuk menyebut para Sahabat (termasuk diantaranya ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Ammar bin Yasir, Abu Musa al- Asy‘ari, Abu Ayyub al-Ansari) yang berpihak kepada, mendukung, dan setia berjuang bersama Sayyidina ‘Ali tatkala dan selama pertikaian berlangsung pasca wafatnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Sarjana orientalis ada yang mengistilahkan mereka itu proto-Shi‘ites atau Syi‘ah kuno. Syi‘ah politis inilah yang bertapak di Iraq pada mulanya sebagai ‘unjuk rasa’ dan baru belakangan bermetamorfosa menjadi ‘sekte’ dengan seperangkat doktrin khasnya. Maka meminjam ungkapan Syed Rizwan Zamir: “In other words, early Shi‘ism was at best a political group that broke off from the broader Muslim community and vied with it political power in the early centuries through various rebellious movements”.9 Adapun yang ketiga [syi‘ah ideologissyi‘ah ideologissyi‘ah ideologissyi‘ah ideologis] adalah makna lain yang menunjuk keyakinan (‘aqidah atau i‘tiqad), cara pandang menyeluruh (worldview), pola pikir (mindset) dan kerangka berpikir (intellectual framework) yang mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap suatu informasi, menentukan pemahaman, dan mewarnai penafsiran orang terhadap fakta dan peristiwa. Syi‘ah ideologis ini merupakan fenomena gerakan sempalan yang muncul belakangan –yakni sekitar dua ratus tahun sesudah wafatnya Rasulullah saw. Dari tipologi di atas jelaslah kesyi‘ahan ‘Abdullah bin ‘Abbas [saudara sepupu Nabi saw. Yang berpihak kepada ‘Ali bin Abi Talib] tentu tidak sama dengan kesyiahan Ibn Babawayh. Begitu pula kesyi‘ahan Zayd bin ‘Ali [bin al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Talib] jelas berbeda jauh dengan kesyiahan Khomeini. Perbedaannya terletak pada sikap dan perilaku mereka: ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Zayd bin ‘Ali tidak mencerca Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina ‘Umar dan Sayyidina ‘Utsman yang terpilih menjadi khalifah sebelum Sayyidina ‘Ali, sedangkan penganut syi‘ah ideologis semacam Ibn Babawayh dan Khomeini tidak segan-segan mengutuk para Khalifah Rasulullah saw tersebut. Jelaslah bahwa Syi‘ah ideologis merupakan produk perkembangan terkemudian, yang lebih disempitkan lagi maknanya hingga akhirnya identik dengan sekte Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah yang hanya mengakui 12 Imam. Ini sama dengan kesimpulan seorang pakar Syi‘ah:“The term “Imamiya[h]” is only attested in the mid-third/ninth century”.10 9 Syed Rizwan Zamir, “Study of Shi‘ite Islam” dalam The Bloomsbury Companion to Islamic Studies, ed. Clinton Bennet (London: Bloomsbury, 2015), hlm. 140. 10 Etan Kohlberg, “From Imāmiyya to Ithnā-‘ashariyya”, dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 39, No. 3 (1976), hlm. 521, catatan kaki no. 2.
  • 5. 5 Pertikaian PolitikPertikaian PolitikPertikaian PolitikPertikaian Politik Seperti kita ketahui, pasca wafatnya Rasulullah saw, para Sahabat berkumpul dan mayoritas mereka akhirnya setuju (termasuk Sayyidina ‘Ali) untuk membay‘at Sayyidina Abu Bakr as-Siddiq sebagai Khalifah (pengganti) Rasulullah saw. Hanya sempat dua tahun memimpin umat, Abu Bakr wafat dan digantikan oleh ‘Umar bin al-Khattab yang memerintah selama 10 tahun. Pada zaman Khalifah ‘Umar inilah wilayah Persia berhasil ditaklukkan. Sebelum wafat akibat ditikam oleh anggota komplotan pembunuh bernama Piruz alias Abu Lu’lu’[ah] al-Nahawandi, Khalifah ‘Umar sempat menunjuk tim suksesi beranggotakan 6 orang (‘Abdur Rahman bin ‘Awf, Sa‘d bin Abi Waqqas, Talhah bin ‘Ubaidillah, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Talib, dan Zubayr bin al-‘Awwam) untuk bermusyawarah memilih salah seorang di antara mereka sebagai penggantinya. Terpilih sebagai khalifah ketiga ialah ‘Utsman bin ‘Affan yang ketika itu sudah berusia 65 tahun. Di masa beliau dakwah Islam menyebar hingga ke wilayah Armenia dan Afghanistan. Sesudah 12 tahun menjalankan amanah pemerintahan, Khalifah ‘Utsman (seorang pemimpin yang sederhana meskipun kaya raya) wafat ditikam gerombolan pemberontak anti-pemerintah yang bernafsu menggulingkannya. Sayyidina ‘Ali kemudian terpilih sebagai Khalifah keempat yang dibay‘at oleh orang banyak pada 24 Dzul Hijjah 35 Hijriah (23 Juni 656 M). Kericuhan politik tersebut semakin memburuk apabila Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, gubernur wilayah Syam (yang meliputi Jordan, Palestina dan Syria) waktu itu menolak pelantikan Khalifah ‘Ali seraya menuntut agar para pembunuh Khalifah ‘Utsman dipancung. Konflik ini memuncak hingga pecahlah perang saudara yang pertama di Basrah (pada 7 November 656), dan kedua di Siffin, daerah perbatasan Iraq-Syria dekat sungai Furat (Euphrates), antara kelompok (syi‘ah) pendukung beliau dengan kelompok penentang beliau. Di tahun kelima masa pemerintahannya, Khalifah ‘Ali yang terkenal ksatria, alim, adil dan sangat dicintai Nabi saw itu telah ditikam oleh seorang pembelot bernama ‘Abdur Rahman bin Muljam ketika masuk ke mesjid besar Kufah untuk shalat subuh pada 19 Ramadan 40 Hijriah (26 Januari 661 Masehi) dan meninggal dunia dua hari kemudian. Sepeninggal Sayyidina ‘Ali, kaum Muslimin khususnya di Kufah lalu sepakat untuk mengangkat putra beliau, al-Hasan, sebagai Khalifah. Namun, Mu‘awiyah yang masih menjabat gubernur di Syria beserta pasukan tentara dari Mesir menolak pelantikan al-Hasan. Hanya 6 bulan sesudah itu, demi persatuan umat dan melalui beberapa kali perundingan untuk menghindari pertumpahan darah, al-Hasan akhirnya bersedia melepaskan jabatannya, dan dengan itu naiklah Mu‘awiyah menjadi khalifah. Seorang politisi ulung dan jenderal berpengalaman, Mu‘awiyah berhasil mengalahkan angkatan laut Byzantium pada tahun 655, merancang
  • 6. 6 penaklukkan Constantinople (ibukota Romawi Timur waktu itu) pada tahun 674, dan melebarkan sayap dakwah Islam ke wilayah Afrika Utara dan Asia Tengah. Setelah memerintah kurang lebih 19 tahun lamanya, sebelum wafat (pada tahun 56 Hijriah), Mu‘awiyah menunjuk putranya Yazid sebagai pengganti dan meminta semua orang mendukungya. Dilaporkan bahwa mayoritas tokoh Islam waktu itu memberikan dukungannya kecuali beberapa orang, yaitu: ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdur Rahman bin Abu Bakr (putra Khalifah pertama), ‘Abdullah bin ‘Umar (putra Khalifah kedua), al-Husayn bin ‘Ali (putra Khalifah ketiga), dan ‘Abdullah bin az-Zubayr (panglima Mekkah dan cucu Khalifah Abu Bakr). Oposisi terhadap Yazid bin Mu‘awiyah (yang memerintah tahun 60-64 Hijriah/ 680-683 Masehi) berujung pada sebuah pertempuran di Karbala’, sebuah kota kecil yang terletak sekitar 100 km di barat laut Baghdad, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram) tahun 61 Hijriah atau Jum‘at, 12 Oktober 680, dimana Sayyidina al- Husayn beserta saudara kerabat dan pengikutnya tewas di tangan pasukan tentara Yazid dibawah komando ‘Umar bin Sa‘d dan Syimr bin Dzil-Jawsyan. Sesudah peristiwa tragis itu para penganut Syi‘ah politis secara sporadis beberapa kali menghimpun kekuatan untuk melawan dan menggulingkan penguasa Bani Umayyah (sanak kerabat Mu‘awiyah) akan tetapi lebih sering dipatahkan ketimbang menang, seperti gerakan yang dipimpin oleh al-Mukhtar al-Tsaqafi (w. 67/687) di Iraq (dengan restu dari Muhammad bin ‘Ali bin Abi Talib – yang lebih dikenal sebagai Ibn al-Hanafiyyah) dan gerakan Zayd bin ‘Ali [bin al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Talib] melawan penguasa Bani Umayyah, dan gerakan Muhammad bin ‘Abdillah bin al- Hasan [al-Mutsanna] bin al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Talib (yang dijuluki “al-Nafs az- Zakiyyah”) melawan penguasa Bani ‘Abbasiyah, al-Mansur (memerintah tahun 136- 145 Hijriah/ 754-775 Masehi), yang juga dikalahkan pada tahun 145 Hijriah/763 Masehi. Narasi detil mengenai rangkaian peristiwa di atas bisa dibaca dalam kitab- kitab tarikh Islam.11 11 Lihat: Abi Mikhnaf (w. 157/774), Maqtal al-Husayn, ed. al-Hasan al-Ghifari (Qumm: Chapkhan-i ‘Ilmiyyah, 1342/1923); Ibn Sa‘d (w. 230/845), al-Tabaqat, ed. ‘Ali Muhammad ‘Umar (Kairo: Maktabat al-Khanji, 1421/2001); Ibn Qutaybah (w. 270/882), ‘Uyun al-akhbar (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1925-1930); al-Baladzuri (w. 279/892), Futuh al-buldan, ed. ‘Abdullah Anis dan ‘Umar Anis al-Tabba‘ (Beirut: Mu’assasat al-Ma‘arif, 1407/1987); al-Dinawari (d. 282/898), al- Akhbar al-tiwal, ed. Muhammad Sa‘id al-Rafi‘i (Kairo: Matba‘at al-Sa‘adah, 1330/1012); al-Ya‘qubi (w. 284/897), al-Tarikh, ed. ‘Abd al-Amir Muhanna (Beirut: Syirkat al-A‘lami, 1431/2010); al- Tabari (w. 310/923), Tarikh al-rusul wa al-muluk, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1960-1969); al-Mas‘udi (w. 345/956), Muruj al-dzahab wa ma‘adin al-jawhar, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (Kairo: Matba‘at al-Sa‘adah, 1384/1964), juga kitab-kitab lain yang ditulis sesudahnya seperti: al-Muntazam oleh Ibn al-Jawzi (w. 597/1200), al-Kamil fi al- Tarikh oleh Ibn al-Athir (w. 630/ 1233) dan al-Bidayah wa al-Nihayah oleh Ibn Katsir (w. 774/1373).
  • 7. 7 Fakta danFakta danFakta danFakta dan IIIInterpretasinterpretasinterpretasinterpretasi Jika yang dipaparkan di atas tadi adalah fakta yang diketahui umum, dicatat dan disepakati garis-garis besarnya oleh para ahli sejarah berdasarkan riwayat dan penuturan pelaku maupun saksi peristiwa, meskipun detil-detilnya (seperti jumlah personel tentara, bentuk senjata yang dipakai, jenis kuda yang dinaiki, warna baju atau topi mereka, dan sebagainya) jelas sukar diketahui secara persis, maka yang menjadi masalah bukan fakta-fakta itu sendiri, melainkan penafsiran terhadap dan pemahaman yang berkembang-biak seputar fakta-fakta tersebut.12 Di satu sisi kita dapati interpretasi Ahlus Sunnah yang cenderung positif, lebih mengutamakan sangkaan baik, dan sentimen yang wajar. Misalnya, berkenaan pengangkatan Abu Bakr al-Siddiq sebagai Khalifah, coba kita pikirkan apakah para Sahabat Rasulullah saw itu memilih beliau lantaran dipaksa dengan ancaman pedang, atau dibujuk dengan imbalan harta, atau karena dominasi suku dan hubungan kekerabatan? Ketiganya jelas mustahil karena para Sahabat itu adalah orang-orang yang memiliki intergritas moral, taat beragama, dan tulus, demikian dikatakan Abu Nu‘aym al-Isbahani (w. 430/1038) dalam kitabnya.13 Jadi jangan samakan para Sahabat itu dengan diri kita yang cenderung korup, fasiq dan munafiq. Meminjam ungkapan Ibn Taymiyyah (w. 728/1328), para Sahabat itu membay‘at Abu Bakr tanpa diminta, mengharap diberikan sesuatu ataupun ditakut-takuti (baya‘u Aba Bakr min ghayri talab minhu wa-la raghbah budzilat lahum wa-la rahbah),14 karena mereka bukan jenis orang-orang yang takut mati, malah sanggup mati untuk mempertahankan prinsip yang diyakini. Dan ini fakta yang kita semua ketahui. Lalu berkenaan dengan terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan, Ahlus Sunnah berkata bahwa beliau berada di pihak yang benar, sedangkan para pembunuhnya telah berbuat zalim dan ekstrim: “fa-amma Ahlus Sunnah wa ’l- Istiqamah fa-innahum qalu kana ridhwanullah ‘alayhi musiban fi af‘alihi, qatalahu qatiluhu zulman wa ‘udwanan,” tegas Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari (w. 324/935) dalam kitabnya.15 Demikian pula mengenai perang saudara yang terjadi antara dua kubu tersebut, mayoritas Ahlus Sunnah memandang Sayyidina ‘Ali di pihak yang benar 12 Lihat ulasan Etan Kohlberg, “Some Imami Shi‘i Interpretations of Umayyad History” dalam Studies on the First Century of Islamic Society, ed. Gauthier H.A. Juynboll (Carbondale, IL: Southern Illinois University Press, 1982), hlm. 145-159. 13 Abu Nu‘aym al-Isbahani, al-Imamah wa al-radd ‘ala al-Rafidah, ed. ‘Ali bin Muhammad Nasir al- Fuqayhi (Medina: Maktabat al-‘Ulum, 1407/1987), hlm. 214-215. 14 Ibn Taymiyyah, Minhaj al-sunnah al-Nabawiyyah, ed. Muhammad Rasyad Salim (Kairo: Maktabat Ibn Taymiyyah, 1382/1962), 6:455. 15 Abu al-Hasan al-Asy‘ari, Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin, ed. H. Ritter (Istanbul, 1929-1930; cetak ulang Wiesbaden: Franz Steiner, 1963), hlm. 3.
  • 8. 8 karena beliaulah Khalifah yang sah, dan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan memang salah. Akan tetapi Ahlus Sunnah umumnya mengatakan bahwa kedua belah pihak -insya Allah- akan mendapat pahala karena masing-masing bertindak dengan ijtihad, sesuai dengan sabda Rasulullah saw mengenai hakim yang keputusannya boleh jadi betul (musib) dan boleh jadi keliru (mukhti’). Maka Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan salah seorang pun dari mereka. Hal ini ditegaskan antara lain oleh Imam al-Juwayni (w. 478/1085): “wa Mu‘awiyah wa in qatala ‘Aliyyan fi-innahu kana la yunkiru imamatahu wa la yadda‘iha li-nafsihi wa innama yatlubu qatalata ‘Utsmana zannan annahu musib wa kana mukhti’an”.16 Kemudian mengenai peristiwa Karbala’, pandangan Ahlus Sunnah mengatakan bahwa itu merupakan musibah besar yang dengannya justru Allah telah memuliakan al-Husayn, cucu Rasulullah saw. yang dijanjikan bakal menjadi penghulu para pemuda ahli syurga, karena beliau gugur sebagai seorang syuhada’ yang dibunuh oleh orang-orang yang fajir dan fasiq. Terlepas dari soal politik yang melatarbelakanginya, musibah besar ini merupakan bala’ atau ujian yang ditimpakan Allah kepada orang-orang yang dikasihinya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis Rasulullah saw tatkala beliau ditanya siapakah yang paling berat ujiannya dan beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang setara dan setara [dengan mereka], tiap-tiap orang diuji sesuai dengan tingkat agamanya, semakin kuat agamanya semakin bertambah ujiannya, dan semakin lemah agamanya, semakin ringan ujiannya, dan ujian itu akan senantiasa menyertai orang beriman sehingga dia berjalan di muka bumi tanpa dosa sama sekali” (su’ila ayyu n-nas asyaddu bala’an, fa-qala al-anbiya’ [tsumma s-salihun] tsumma ’l-amtsal fa ’l-amtsal, yubtala r-rajul [‘ala] hasab dinihi, fa-in kana fi dinihi salabah zida [fi bala’ihi], wa in kana fi dinihi riqqah khuffifa ‘anhu, wa [ma] yazal al-bala’ bi-[’l-mu’min] hatta yamsyiya ‘ala ’l-ard wa laysa ‘alayhi khati’ah).17 Demikian dijelaskan oleh Ibn Taymiyyah dalam sebuah risalahnya.18 Maka pendirian Ahlus Sunnah mengenai konflik antara para Sahabat tersebut sangat jelas dan tegas: setiap orang Islam wajib bersangka baik dan berkata baik tentang mereka karena pertikaian tersebut bukan persoalan kita, dan kita tidak berhak untuk menghakimi mereka menurut hawa nafsu atau opini kita. Ucapan Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (w. 101/720) ketika ditanya mengenai perang Siffin sebagaimana diriwayatkan oleh Imam as-Syafi‘i (w. 204/820) menjadi pedoman: 16 Abu al-Ma‘ali al-Juwayni, Luma‘ al-adillah fi qawa‘id ‘aqa’id ahli s-sunnah wa l-jama‘ah, ed. Fawqiyyah Husayn Mahmud (Kairo: al-Dar al-Misriyyah, 1385/1965), hlm. 114-115. 17 Hadis riwayat at-Tirmidzi bab 57 (tentang zuhd), Ibn Majah bab 23 (tentang fitan), ad-Darimi bab 67 (kitab riqaq). 18 Ibn Taymiyyah, Huquq Al al-Bayt, ed. ‘Abd al-Qadir ‘Ata’ (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), hlm. 44-45.
  • 9. 9 “tilka dima’ tahharallahu yadayya minha fa-la uhibbu an akhdaba lisani fiha”.19 . Sebagian ulama juga membacakan firman Allah di dalam al-Qur’an (2:134): “Mereka itu ialah umat yang telah lewat. Bagi mereka apa yang mereka kerjakan dan bagimu apa yang kamu kerjakan. Dan kamu tidak ditanya / tidak bertanggung-jawab atas apa-apa yang mereka kerjakan”. Di sisi lain kita temukan kaum Syi‘ah ideologis interpretasinya cenderung negatif, diliputi prasangka buruk, dan memperlihatkan sentimen berlebihan. Akibatnya, semua yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah saw itu dianggap salah, dosa, durhaka, atau pura-pura. Mereka mengklaim Sayyidina Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman konon telah merampas hak Sayyidina ‘Ali. Padahal, menurut para ahli sejarah, ketika Nabi saw. wafat, Sayyidina ‘Ali baru berumur 33 tahun, sementara Abu Bakr al-Siddiq waktu itu sudah berusia 61 tahun.20 Jadi wajarlah kalau Sayyidina ‘Ali diriwayatkan menolak ketika beberapa Sahabat datang meminta kesediaan beliau untuk menjadi Khalifah seraya berkata, “Da‘uni wa iltamisu ghayri”.21 Pandangan kaum Syi‘ah mengenai konflik politik di zaman para Sahabat disimpulkan dengan sangat buruk oleh al-Mufid (w. 413/1022):22 19 Abu Nu‘aym al-Isbahani (w. 430/1038), Hilyat al-Awliya’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1416/1996), jilid 9, hlm. 114. 20 Lihat The History of al-Tabari, terj. Khalid Y. Blankinship, vol.11, Albany: SUNY Press, 1993, hlm. 129. 21 Diriwayatkan dalam Musnad al-Imam ‘Ali, ed. Hasan al-Qabanci (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami, 1421/2000), jilid 7, hlm.344, no.8518. 22 Al-Mufid, al-Jamal wa n-nusrah li-sayyid al-‘itrah fi harb al-basrah, ed. ‘Ali Mir Syarifi (Qumm: Maktab al-I‘lam al-Islami, 1413), hlm. 70
  • 10. 10 Pendapat al-Mufid ini jelas keliru, karena Allah -‘azza wa jalla- di dalam al- Qur’an surah al-Hujurat (49) ayat 9 telah berfirman –mengantisipasi- bahwa “apabila ada dua kelompok orang beriman saling memerangi, maka damaikanlah antara keduanya (wa in ta’ifatani min al-mu’minina iqtatalu fa-aslihu baynahuma)”. Itulah sebabnya diriwayatkan bahwa Sayyidina ‘Ali sendiri tidak mengkafirkan kelompok yang menentangnya, dan ketika ditanya perihal status lawan politiknya beliau menjawab dengan sangat bijak: “Mereka itu saudara kita yang bertindak melampaui batas terhadap kita (hum ikhwanuna qad baghaw ‘alayna)”. Ini karena beliau tentunya sangat mengerti bahwa mereka itu meskipun salah tetap dianggap bagian dari orang beriman sebab Allah ta‘ala pun kemudian berfirman pada ayat selanjutnya: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara (innama al- mu’minuna ikhwah)” dan rekonsiliasi itu tentu lebih baik daripada konflik. Sampai di sini dapat kita simpulkan bahwa Syi‘ah ideologis itu muncul akibat kekalahan dan ketersingkiran Syi‘ah politis dalam pergolakan politik di kurun-kurun awal sejarah umat Islam.23 Akan tetapi benar juga kalau kita simpulkan bahwa Syi‘ah ideologis itu lahir dari fanatisisme (ta‘assub) dan nasionalisme (syu‘ubiyyah) ekstrim yang berbuntut pengkudusan terhadap para imam -terutama terhadap Sayyidina ‘Ali dan keturunan beliau khususnya dari garis al-Husayn. Bahwa Syi‘ah ideologis ala Imamiyyah (Itsna-‘Asyariyyah) itu cenderung Husayn-sentris24 diakui sendiri oleh sarjana Iran kontemporer: “Shi‘ism was born (not just politically but also metaphysically) when its very first imam, Ali ibn Abi Talib, was murdered by an assassin, and when Ali’s son, the Prophet’s grandson, the supreme heroic figure of Shi‘ism, Imam Hossein ibn Ali, and his companions were massacred in Karbala. Violence breeds violence, and a persecuted minority thus formed sublates its received and perceived violence into the burning fuel of its ethics and politics, aesthetics and metaphysics.”25 Maksudnya: Syi‘ah itu lahir –tidak hanya secara politis akan tetapi juga secara metafisis- apabila imam pertama mereka, ‘Ali bin Abi Talib, mati ditikam pembunuh bayaran dan putra beliau, cucu Nabi yang menjadi pahlawan utama kaum Syi‘ah, al- 23 Ulasan historis ringkas perjuangan syi‘ah politis ini diberikan oleh al-Asy‘ari (w. 324/935) dalam kitabnya, Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin, ed. H. Ritter (Istanbul, 1929-1930; cetak ulang Wiesbaden: Franz Steiner, 1963), hlm. 75-85; Andrew J. Newman, The Formative Period of Twelver Shi‘ism: Hadith as Discourse Between Qum and Baghdad (Richmond: Curzon Press, 2000), hlm. 5-11; dan Sa‘id Rasyid Zumayzim, Tsawarat al-Syi‘ah mundzu istisyhad al-Imam al-Husayn ‘alayhi s-salam wa hatta al-yawm (Beirut: Dar al-Qari’, 1427/2006). 24 Lihat ulasan Douglas Karim Crow, “The Death of al-Husayn b. Alî and Early Shi‘i Views of the Imamate” dalam Shi‘ism, ed. Etan Kohlberg (Aldershot: Ashgate Variorum, 2003), 41-86. 25 Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), hlm. xiii.
  • 11. 11 Husayn bin ‘Ali, beserta para sahabatnya tewas dibantai di Karbala. Kekerasan melahirkan kekerasan, dan kelompok kecil yang baru terbentuk itu lalu menjadikan apa yang mereka anggap dan terima sebagai kekerasan itu bahan bakar bagi etika, politik, estetika dan metafisika mereka. KlasifikasiKlasifikasiKlasifikasiKlasifikasi Syi‘ah IdologisSyi‘ah IdologisSyi‘ah IdologisSyi‘ah Idologis Syi‘ah Ideologis ‫تفضيل‬ ‫رفض‬ ّ‫غلو‬ Proto-Syi‘ah Rafidah Ghulat Syi‘ah ideologis sejak dahulu hingga sekarang terdiri dari tiga jenis, yaitu: [i] syi‘ah tafdil, [ii] syi‘ah rafd, dan [iii] syi‘ah ghuluww. Jenis pertama [syi‘ah tafdilsyi‘ah tafdilsyi‘ah tafdilsyi‘ah tafdil] itu sekadar menganggap Sayyidina ‘Ali sebagai orang yang paling unggul, hebat, istimewa (afdal) di antara atau dibandingkan dengan para Sahabat Nabi saw yang lain. Anggapan ini tanpa disertai oleh pengingkaran, penolakan, pelecehan atau kutukan terhadap para ketiga Khalifah sebelum beliau dan atau terhadap Sahabat Rasulullah yang lain. Menurut Ibn Abi al-Hadid (w. 656/1258), mereka inilah yang awalnya disebut Syi‘ah (fa-kana al-qa’ilun bi t-tafdil hum al-musammawna as- Syi‘ah),26 yaitu para Sahabat dan Tabi‘in semisal ‘Ammar bin Yasir, al-Miqdad, Abu Dzarr, Salman al-Farisi, Hudzayfah, Abu Ayyub, Jabir bin ‘Abdillah, dan mayoritas Sahabat dari Bani Hasyim maupun Bani Muttalib umumnya.27 Syi‘ah tafdil yang moderat dan rasional ini mencintai Sayyidina ‘Ali tanpa mengkuduskannya, mendukung kepemimpinannya tanpa mengkafirkan lawan politiknya. Sebabnya, kata Ibn Abi al-Hadid, “Kita menyaksikan beliau [yakni Sayyidina ‘Ali bin Abi Talib] merestui kepemimpinan mereka [yakni Khalifah Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman] dan membay‘at mereka, sembahyang [sebagai makmum] di belakang mereka, menikahkan mereka, dan makan bersama mereka. Oleh sebab ini kita tidak boleh melampaui apa yang beliau lakukan dan tidak boleh juga melanggar apa yang masyhur mengenai [sikap dan perbuatan] beliau (wa lakinna ra’aynahu radiya imamatahum wa baya‘ahum wa salla khalfahum wa ankahahum wa akala fihim, fa- 26 Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, ed. Muhammad [Abu al-Fadl] Ibrahim, 20 juz dalam 10 jilid (Baghdad: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1428/2007), juz 20, jilid 10, hlm. 376. 27 Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, juz 20, jilid 10, hlm. 374.
  • 12. 12 lam yakun lana an nata‘adda fi‘lahu wa la natajawaza ma isytahara ‘anhu).”28 Sebagian kecil Syi‘ah Zaydiyyah termasuk golongan ini, khususnya mereka yang tidak sampai melaknat atau mengkafirkan para Sahabat, seperti sekte Ya‘qubiyyah. Pendirian Syi‘ah Zaydiyyah disimpulkan sebagai berikut: “yajma‘u madzhabuhum tafdil ‘Ali ‘alayhi s-salam wa awlawiyyatahu bi l-imamah wa qasraha fi l-batnayni wa istihqaqaha bi l-fadl wa t-talab la l-wiratsah wa wujub al-khuruj ‘ala l-ja’irin”.29 Jenis kedua [syi‘ahsyi‘ahsyi‘ahsyi‘ah rafdrafdrafdrafd] adalah pendapat yang mengatakan bahwa Sayyidina ‘Ali ialah satu-satunya orang yang paling berhak menjadi pemimpin umat sesudah Nabi saw wafat dan karenanya menganggap kekhalifahan sebelumnya tidak sah. Maka golongan ini dijuluki al-firqah al-Rafidah alias al-Rawafid dan orangnya disebut dengan Rafidi, sebagaimana ditegaskan oleh Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari (w. 324/935) dalam kitabnya: “wa innama summu Rafidah li-rafdihim imamata Abi Bakr wa ‘Umar wa hum mujmi‘una ‘ala anna n-Nabi saw nassa ‘ala istikhlafi ‘Ali bin Abi Talib bi-ismihi wa azhara dzalika wa a‘lanahu wa anna aktsara s-Sahabah dallu bi- tarkihim al-iqtida’ bihi ba‘da wafati n-Nabi saw”.30 Karena keyakinan mereka mengenai penunjukkan Sayyidina ‘Ali dan para imam sesudahnya secara tegas (bi n- nass) –yakni bukan dengan musyawarah atau pemilihan, maka kelompok ini juga dikenal dengan nama Syi‘ah Imamiyyah. Namun Abd al-Qahir al-Baghdadi (w. 429/1037) dalam kitabnya memasukkan Syi‘ah Zaydiyyah ke dalam kelompok ini - meskipun ternyata yang beliau maksud ialah sekte-sekte pecahannya, yaitu Jarudiyyah, Jaririyyah alias Sulaymaniyyah, dan Butriyyah. Adapun Syi‘ah Imamiyyah sendiri pecah menjadi beberapa aliran, akan tetapi yang bertahan lama hanya tiga, yaitu: sekte Kamiliyyah31 (yang mengkafirkan semua Sahabat yang tidak membay‘at Sayyidina ‘Ali dan bahkan juga mengkafirkan Sayyidina ‘Ali karena tidak memerangi mereka –takfiruha jami‘ as-Sahabah min ghayri takhsis, tegas al- Baghdadi),32 sekte Isma‘iliyyah (yang mendakwa bahwa imam ketujuh sesudah Ja‘far 28 Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, juz 20, jilid 10, hlm. 373. Bandingkan dengan edisi perdana oleh Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1378- 1383/1959-1964), juz 20, hlm. 221. Lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al- Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1963), hlm. 31 (paragraf 46). 29 Ahmad bin Yahya al-Murtada (w. 840/1437), kitab al-Qala’id fi tashih al-‘aqa’id, ed. Albert Nader (Beirut: Dar al-Masyriq, 1985), hlm. 46-7. 30 Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari, Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin, ed. H. Ritter (Istanbul, 1929-1930; cetak ulang Wiesbaden: Franz Steiner, 1963), hlm.16. 31 Sekte ini dibahas oleh Josef van Ess, “Die Kamillya: zur Genese einer häresiographischen Tradition,” dalam jurnal Die Welt des Islams 28 (1988), hlm. 141-153 = atau lihat versi Inggrisnya: “The Kamiliya: on the genesis of a heresiographical tradition” dalam Shi‘ism, ed. Etan Kohlberg (Wiltshire, UK: The Cromwell Press, 2003), hlm. 209-220. 32 Lihat ‘Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-Farq bayn al-firaq, ed. Muhammad ‘Utsman al-Khisyt (Kairo: Maktabat Ibn Sina, 1988) hlm. 41-70.
  • 13. 13 as-Sadiq adalah putra beliau yang bernama Isma‘il),33 dan sekte Itsna-‘Asyariyyah (yang menobatkan Musa al-Kazim sebagai imam penerus Ja‘far as-Sadiq dan sesudahnya dilanjutkan oleh anak cucunya hingga imam keduabelas yang menghilang dan ditunggu kedatangannya pada akhir zaman sebagai imam mahdi).34 Menurut Ibn Abi al-Hadid (w. 656/1258), apa yang dikatakan dan dipropagandakan oleh kaum Syi‘ah Rafidah umumnya dan Syi‘ah Imamiyyah khususnya merupakan ajaran baru yang muncul di belakang hari, dan sebenarnya belum ada pada zaman Nabi saw maupun zaman Sahabat: “Wa lam takun maqalat al-imamiyyah wa man naha nahwaha min at-ta‘inin fi imamat as-salaf masyhurah hina’idzin ‘ala hadza an-nahw min al-isytihar”.35 Syi‘ah Rafidah Zaydiyyah ImamiyyahImamiyyahImamiyyahImamiyyah Kaysaniyyah Isma‘iliyyah Itsna-‘Asyariyyah Adapun jenis ketiga, yaitu syi‘ahsyi‘ahsyi‘ahsyi‘ah ghuluwwghuluwwghuluwwghuluww atau “Ghulat”, ialah mereka yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan pelik lagi cenderung kufur dan syirik. Misalnya mereka percaya Sayyidina ‘Ali itu Tuhan yang berwujud manusia (‘ala surat al-insan), dan Tuhan itu dapat bersemayam di dalam tubuh seseorang (yahullu fi ’l-asykhas), bahwa yang pertama kali diciptakan Tuhan itu Nabi Muhammad, bahwa Ruh Suci itu ialah Tuhan yang awalnya berada pada diri Nabi kemudian berpindah ke ‘Ali dan imam-imam sesudahnya, dan ruh manusia itu berpindah-pindah dengan bertukar jasad (al-arwah tanasakhat), sehingga orang-orang yang sudah mati itu hidup kembali (al-amwat yarji‘un ila d-dunya), dan ‘Ali [atau imam-imam sesudahnya] itu tidak mati karena bakal datang kembali di akhir zaman untuk memenuhi dunia dengan keadilan, bahwa dunia ini kekal abadi (la tafna), dan hari kebangkitan dan akhirat itu tidak ada (yunkirun al-qiyamah wa l-akhirah), maka syurga itu kenikmatan dan kesenangan hidup di dunia ini dan neraka itu kesengsaraan dan 33 Tentang sekte ini lihat Wladimir Ivanow, Brief Survey of the Evolution of Ismailism (Leiden: Brill, 1952); Samuel M. Stern, Studies in Early Isma‘ilism (Jerusalem: Magnes Press, 1983); Farhad Daftary, The Isma‘ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990). 34 Etan Kohlberg, “From Imāmiyya to Ithnā-‘ashariyya”, dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 39, No. 3 (1976), hlm. 521-534. 35 Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, ed. Muhammad [Abu al-Fadl] Ibrahim, 20 juz dalam 10 jilid (Baghdad: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1428/2007), juz 20, jilid 10, hlm. 376.
  • 14. 14 penderitaan manusia, bahwa kerasulan, kenabian, dan wahyu itu tidak pernah putus (rusul Allah la tanqati‘u abadan), dan para imam itu adalah nabi-nabi yang diajak bicara langsung oleh Tuhan (muhaddatsun), bahwa imam-imam itu adalah tuhan- tuhan (al-a’immah alihah), dan keturunan al-Husayn itu anak-anak kesayangan Tuhan (abna’ Allah wa ahibba’uh), bahwa imam-imam itu lebih mulia dari para malaikat (yahbitu ‘alayhim al-mala’ikah) dan punya kuasa menghapus hukum-hukum agama (yansakhun as-syara’i‘), sehingga menghalalkan minuman keras dan hubungan seks bebas. Untuk membenarkan pendapat-pendapatnya, golongan sesat ini lantas menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an secara liberal. Demikian akidah sesat puak-puak Syi‘ah ekstrimis menurut catatan Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari (w. 324/935).36 Termasuk golongan Syi‘ah Ghulat37 ini adalah Saba’iyyah (pengikut ‘Abdullah bin Saba’),38 Bayaniyyah,39 Khattabiyyah,40 dan Batiniyyah.41 Syi‘ah TakfirSyi‘ah TakfirSyi‘ah TakfirSyi‘ah Takfir dan Taqdisdan Taqdisdan Taqdisdan Taqdis Penting ditambahkan bahwa dari tiap-tiap kelompok Syi‘ah ideologis itu selalu ada di antara mereka yang boleh kita namakan sebagai syi‘ah takfir, yakni mereka yang tidak hanya menolak legitimasi para khalifah selain Sayyidina ‘Ali akan tetapi juga menganggap semua Sahabat yang menentang Sayyidina ‘Ali dan tidak mengakui imam-imam sesudahnya itu kafir.... Tergolong kelompok terakhir ini orang-orang Syi‘ah Imamiyyah semacam al-Kulayni, Ibn Babawayh, ‘Ali al-Qummi, Syekh al- Mufid, al-Saffar al-Qummi, al-Hilli, al-Kasyani, al-Majlisi, al-Khomeini dan para 36 Abu ’l-Hasan al-Asy‘ari, Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin, ed. H. Ritter (Istanbul, 1929-1930; cetak ulang Wiesbaden: Franz Steiner, 1963), hlm. 5-16. 37 Lihat: Wadād al-Qāḍī, “The Development of the Term Ghulāt in Muslim Literature with Special Reference to the Kaysāniyya”, dalam Akten des VII. Kongresses für Arabistik und Islamwissenschaft (Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1976), hlm. 295–319, dicetak ulang dalam Shi‘ism, ed. Etan Kohlberg (Wiltshire, UK: The Cromwell Press, 2003), hlm. 169-193; Matti Moosa, Extremist Shiites: The Ghulat Sects (Syracuse NY: Syracuse University Press, 1988); William F. Tucker, Mahdis and Millenarians: Shiite Extremists in Early Muslim Iraq (New York: Cambridge University Press, 2008). 38 Mengenai tokoh ini dan kaitannya dengan ajaran Syi‘ah, lihat: Israel Friedlaender, “Abdallah b. Saba’, der Begründer der Šia, und sein jüdischer Ursprung” dalam jurnal Zeitschrift für Assyriologie 23 (1909), hlm. 296-327 dan vol. 24 (1910), hlm. 1-46; dan Sean Anthony, The Caliph and the Heretic: Ibn Saba’ and the Origins of Shi‘ism (Leiden: Brill, 2012). 39 Lihat ulasan William F. Tucker, “Bayan ibn Sam‘an and the Bayaniyya: Shi‘ite Extremists of Umayyad Iraq,” dalam jurnal The Muslim World 65 (1975), hlm. 241-253. 40 Mengenai sekte ini, lihat tulisan Wilferd Madelung, “Khattabiyya” dalam The Encyclopedia of Islam, edisi ke-2 (Leiden: Brill, 1978), vol. IV, hlm. 1132-1133. 41 Tentang sekte Batiniyyah, lihat: Fakhruddin ar-Razi, I‘tiqadat firaq al-Muslimin, ed. ‘Ali Sami an- Nasysyar (Kairo, 1938), 76-81; dan al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyyah wa fada’il al-Mustazhiriyyah, ed. ‘Abd al-Rahman Badawi (Kairo: Dar al-Qawm, 1964).
  • 15. 15 pengikutnya.42 Bahwa Syi‘ah Imamiyyah itu menganggap para Sahabat Nabi saw itu murtad dan kafir telah lama diketahui umum, sebagaimana dinyatakan oleh Abu al- Muzaffar al-Isfara’ini (w. 471/1079) dalam kitabnya,43 dan ‘Adudaddin al-Iji (w. 756/1356) sebagai berikut: “wa amma al-imamiyyah fa-qalu bi n-nass al-jaliyy ‘ala imamati ‘Ali wa kaffaru as-Sahabah wa waqa‘u fihim”.44 Syi‘ah Imamiyyah Rafidi Takfiri Taqdisi Isma‘iliyyah Itsna-‘Asyariyyah Mungkin ada yang menyangka doktrin takfir tersebut hanya ada di zaman dahulu. Namun penelitian khusus menunjukkan bahwa hingga ke hari ini pun kaum Syi‘ah Imamiyyah menganggap orang bukan Syi‘ah atau Ahlus Sunnah “tidak beriman”, walaupun mereka dikatakan Muslim (Silakan lihat lampiran pernyataan tokoh-tokoh Syi‘ah). Hal ini karena manusia dilihat dari segi keyakinannya terdiri dari tiga golongan: [i] kaum beriman (mu’min), yang menurut mereka itulah Syi‘ah, [ii] kaum berislam (muslim), yang menurut mereka itulah semua orang Islam non- Syi‘ah, dan [iii] kaum kafir, yang bukan mukmin dan bukan muslim, yaitu penganut agama Yahudi, Nasrani, dan lain sebagainya. Sebagaimana disimpulkan oleh seorang sarjana peneliti Syi‘ah: The most common Shi‘ite position regarding non-Shi‘ite Muslims, at least since the fourth century, and probably as early as the mid- to late second century, is that the non-Shi‘ite is a muslim, legally speaking, but not a mu’min in the truest sense of the word. He has submitted to the religion of Islam, and so must be considered part of the Muslim community from a legal standpoint, but he is not a true believer in that he does not believe in all that has come from God by way of revelation—specifically, he does not believe in the Imams, or in all points of Shi‘ite doctrine regarding this and other issues. Therefore, 42 Baca ulasan Etan Kohlberg, “Some Imami-Shi‘i Views on the Sahaba,” dalam jurnal Jerusalem Studies in Arabic and Islam, vol.5 (1984), hlm. 143-175. 43 Abu al-Muzaffar al-Isfara’ini, at-Tabsir fi d-din, ed. M. Zahid al-Kawtsari (Kairo: Maktabat al- Khanji, 1374/1955), hlm. 43. 44 ‘Adudaddin al-Iji, al-Mawaqif fi ‘ilm al-Kalam (Kairo: Maktabat al-Mutanabbi, 1403/ 1983), hlm. 423.
  • 16. 16 only the Shi‘ites are the mu’minun, and the terms Shi‘ite and mu’min can be understood as synonymous.45 Maka jihad pun dalam pandangan Syi‘ah Imamiyyah lebih diprioritaskan terhadap ahl al-baghy dari kalangan umat Islam yang menolak legitimasi para imam. Merujuk pendapat Syekh al-Mufid (w. 413/1022) dalam kitabnya, orang Syi‘ah dianjurkan supaya “mensyi‘ahkan” umat Islam agar mereka jadi beriman, sesuai dengan pemilahan wilayah berdasarkan agama penduduknya menjadi tiga macam, yaitu: [i] dar al-iman (negeri Syi‘ah), [ii] dar al-islam (negeri Muslim Ahlus Sunnah atau non-Syi‘ah), dan [iii] dar al-kufr (negeri-negeri selain itu semua).46 Meminjam ungkapan pakar Syi‘ah Etan Kohlberg: “For while the Imamis concurred in the need to fight the infidels, they regarded as an essential first step the conversion othe conversion othe conversion othe conversion of allf allf allf all Muslims into true believersMuslims into true believersMuslims into true believersMuslims into true believers (i.e. Imami Shi‘is); or, to put it in Imami legal terminology: the struggle to convert the dar al-islam into dar al-iman must precede the final onslaught on the dar al-kufr”.47 Adalah syi‘ah ideologis berhaluan takfiri semacam Imamiyyah yang kita maksud telah terjebak pada “pengkudusan” (taqdis) karena memang di sinilah tampak perbedaan karakteristik antara Syi‘ah atau bukan Syi‘ah. Setiap orang Islam menghormati dan mencintai kerabat maupun sahabat Rasulullah saw (kecuali sebagian kecil yang tidak beriman seperti Abu Lahab dan Abu Jahl), sementara orang Syi‘ah Imamiyyah menghina dan melaknat kerabat dan sahabat Rasulullah saw yang tidak diragukan lagi keimanannya dan pengorbanannya, lantas pada saat yang sama begitu mengagung-agungkan bahkan hingga mengkuduskan Sayyidina ‘Ali, Sayyidatina Fatimah dan al-Husayn saja. Bahwa terjadi pengkudusan terhadap Sayyidina ‘Ali, Fatimah r.a. dan keturunannya dari al-Husayn mudah dan banyak sekali untuk kita jumpai dalam kitab-kitab Syi‘ah Imamiyyah semacam kitab al-Kafi karangan al-Kulayni (w. 329/940), kitab al-Imamah wa al-Tabsirah min al-hirah oleh Ibn Babawayh [‘Ali bin al-Husayn bin Musa] al-Qummi (w. 329/941), kitab Man La Yahduruhu al-Faqih karangan Ibn Babawayh al-Saduq [Muhammad bin ‘Ali bin al- Husayn] (d. 381/991), kitab al-Nukat al-i‘tiqadiyyah karangan Syaikh al-Mufid (w. 413/1022), kitab Tajrid al-i‘tiqad karangan Nasiruddin al-Tusi (w. 672/ 1274), kitab Kasyf al-yaqin fi fada’il Amir al-Mu’minin karangan al-Hilli (w. 726/1326), kitab al- 45 Maria Massi Dakki, The Charismatic Community: Shi‘ite Identity in Early Islam (Albany: SUNY Press, 2007), hlm. 181. Baca juga artikel Etan Kohlberg, “Non-Imami Muslims in Imami Fiqh” dalam Belief and Law in Imami Shi‘ism (Aldershot: Variorum, 1991), hlm. 99-105. 46 Lihat al-Mufid, Awa’il al-maqalat fi al-madhahib al-mukhtarat, laha muqaddimah wa ‘álayha ta‘liqat bi-qalam Fadl Allah al-Zinjani (Tabriz: Maktabah-i Surush, 1364/1945), hlm. 70-71. 47 Lihat ulasan Etan Kohlberg, “The Development of the Imami Shi‘i Doctrine of Jihad”, dalam Zeitschrift der Deutschen Morgenländischen Gesellschaft (ZDMG) 126.1 (1976), hlm. 64-86, pada hlm. 69.
  • 17. 17 Haqq al-mubin karangan al-Kasyani (w. 1091/1680), dan kitab Bihar al-anwar al- jami‘ah li-durar akhbar al-a’immah al-athar karangan al-Majlisi (w. 1110/1698). Aneka ragam gambaran yang terkesan berlebih-lebihan ditulis mengenai Sayyidina ‘Ali, melampaui riwayat-riwayat positif yang terdapat dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah pada bab manaqib (kebaikan) dan fada’il (keistimewaan) para Sahabat Nabi. Kita jadi bertanya: Mengapa hanya Sayyidina ‘Ali, Sayyidatina Fatimah, al-Husayn dan keturunannya saja yang diagung-agungkan? Kalau lantaran pertalian kekeluargaan, maka Rasulullah saw merupakan menantu kepada Sayyidina Abu Bakr al-Siddiq yang putrinya Sayyidatina ‘A’isyah r.a. diperistri oleh Rasulullah saw. Begitu pula Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab merupakan mertua kepada Rasulullah saw karena baginda menikah dengan putrinya, yaitu Hafsah binti ‘Umar r.a. Jikalau Sayyidina ‘Ali perlu dikuduskan lantaran menikah dengan Fatimah r.a. putri Rasulullah saw, niscaya Sayyidina ‘Utsman perlu dikuduskan dua kali lipat lantaran beliau menikah dengan dua putri Rasulullah saw, yaitu Ruqayyah dan Umm Kaltsum r.a. Tetapi mengapa orang Syi‘ah Imamiyyah hanya memuliakan dan bahkan mengkuduskan Sayyidina ‘Ali saja? Apakah “udang” yang tersembunyi di balik “batu” pengkudusan tersebut? Kebanyakan orang hanya tahu Sayyidina ‘Ali itu suami kepada Fatimah saja. Mayoritas kita juga tahunya Sayyidina ‘Ali itu mempunyai dua orang anak saja, yaitu al-Hasan dan al-Husayn. Pengetahuan yang terbatas ini telah dimanfaatkan oleh orang-orang Syi‘ah Imamiyyah untuk menggiring opini masyarakat kepada ‘kultus keluarga’ ala kerajaan. Padahal para ahli sejarah dan ilmu nasab (genealogi) telah merekam dengan baik fakta-fakta berikut. Dari istri pertama beliau, Fatimah r.a., Sayyidina ‘Ali dikaruniai 5 orang anak, 3 putra (al-Hasan, al-Husayn, dan Muhsin) dan 2 putri (Umm Kaltsum [al-Kubra] dan Zaynab [al-Kubra]). Dari Khawlah binti Iyas, istri kedua beliau pasca wafatnya Fatimah, Sayyidina ‘Ali dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Muhammad, yang di kemudian hari lebih sering dinisbatkan kepada suku ibunya sehingga disebut Muhammad bin al-Hanafiyyah. Selain itu, Sayyidina ‘Ali masih mempunyai putra-putri lagi, yaitu: ‘Ubaydullah dan Abu Bakr (dari istri ketiga beliau yang bernama Layla binti Mas‘ud), ‘Umar dan Ruqayyah (dari istri keempat beliau dari Bani Taghlib), Yahya (dari istri kelima beliau yang bernama Asma’ binti ‘Umays), Ja‘far, al-‘Abbas, dan ‘Abdullah (dari hamba sahaya beliau yang dijuluki Ummul Banin binti Haram al-Wahidiyyah), Ramlah dan Ummul Hasan (dari istri ketujuh beliau yang bernama Ummu Sa‘id binti ‘Urwah), Ummu Kaltsum [al-Shughra], Zaynab [al-Shugra], Jumanah, Maymunah, Khadijah, Fatimah, Ummul Kiram, Nafisah, Ummu Salamah, dan Umamah (dari beberapa hamba sahaya beliau yang lain). Demikian dicatat oleh sejarawan Ibn
  • 18. 18 Qutaybah (w. 276/889) dalam kitabnya.48 Dan ini dikuatkan oleh pernyataan sejumlah tokoh Syiah sendiri. Menurut Ibn ‘Inabah (w. 828/1424) dalam kitab ‘Umdat al-Talib fi Ansab Al Abi Talib), jumlah putra-putri Sayyidina ‘Ali bin Abi Talib seluruhnya 36 orang, 18 di antaranya laki-laki dan selebihnya perempuan, atau sebaliknya.49 Hajj Mirza Aghasi dalam kitab ‘Aqa’id al-Syi‘ah mengatakan - sebagaimana dinukil oleh Dwight M. Donaldson: “Ali is said to have had seventeen [17] sons and nineteen [19] daughters. After Fatima died, he married twelve other [women]”.50 Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina ‘Ali telah menikahkan Ummu Kaltsum, salah seorang putri beliau dari istri pertama, Fatimah binti Rasulillah saw, dengan Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab, sebagaimana Sayyidina Abu Bakr al-Siddiq menikahkan putri beliau, ‘A’isyah, dengan Rasulullah saw, dan sebagaimana Sayyidina ‘Umar menikahkan putri beliau, Hafsah, dengan Rasulullah saw, dan sebagaimana Rasulullah saw sendiri menikahkan kedua putri beliau, Ruqayyah dan Ummu Kaltsum, dengan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan. Hubungan musaharah atau intermarriage ini menunjukkan betapa tingginya kesaling-percayaan dan betapa eratnya tali kekerabatan sesama mereka. Kita jadi bertanya heran mengapa orang Syi‘ah Imamiyyah begitu membenci, mengutuk bahkan mengkafirkan orang-orang yang bukan sekadar teman, akan tetapi mertua dan menantu kepada Rasulullah saw? Padahal Sayyidina ‘Ali menjadikan Muhammad bin Abi Bakr al-Siddiq sebagai anak angkatnya (dan kelak menjadi kakek bagi Ja‘far al-Sadiq dari sebelah ibu). Sayyidina ‘Ali juga menjadikan Sayyidina ‘Umar sebagai menantunya dan bahkan mengambil nama ‘Umar untuk salah seorang anak lelakinya. Begitu pula al-Husayn bin ‘Ali memberi nama ‘Umar kepada salah seorang putranya, sebagaimana ‘Ali bin al- Husayn pun menamakan salah seorang putranya ‘Umar. Pertanyaan kita: Adakah mungkin orang-orang yang terkenal kemuliaan dan ketulusannya itu memberikan anaknya nama orang yang tidak disukai? Pun sedikit orang yang tahu bahwa putra sulung Sayyidina ‘Ali, yaitu al- Hasan, mempunyai 12 orang anak lelaki dan 6 perempuan, meski yang mempunyai keturunan hanya tiga orang, yaitu: al-Hasan [digelar al-Mutsanna], Zayd, dan Ummu ‘Abdillah. Al-Hasan bin al-Hasan dikaruniai 5 orang anak, manakala Zayd dikaruniai seorang anak lelaki, yang kesemuanya mempunyai keturunan.51 Sekali lagi kita bertanya: Mengapa hanya keturunan al-Husayn saja yang dinobatkan menjadi imam? Mengapa keturunan al-Hasan tidak dianggap layak untuk menjadi imam? 48 Ibn Qutaybah, al-Ma‘arif, ed. Tsarwat ‘Ukasyah (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1969), hlm. 210-211. 49 Ibn ‘Inabah, ‘Umdat al-Talib fi Ansab Al Abi Talib (Beirut: Dār Maktabat al-Hayat, 1964), hlm. 83. 50 Dwight M. Donaldson, The Shi‘ite Religion (London: Luzac, 1933), hlm. 15. 51 al-Dzahabi, Siyar a‘lam al-nubala’ (Beirut: Mu’assasat al-Risalah Beirut, 1422/2001), juz 3, hlm.277.
  • 19. 19 Unsur PersiaUnsur PersiaUnsur PersiaUnsur Persia Jawaban untuk pertanyaan di atas kita temukan dalam legenda yang cukup masyhur. Syahdan, usai penaklukan Persia oleh tentara Islam pada zaman Khalifah ‘Umar bin al-Khattab r.a., dibawalah sejumlah tawanan perang ke Madinah, ibukota negara waktu itu. Termasuk di antara tawanan tersebut seorang perempuan bernama Syahr Banu, putri raja Persia terakhir dari dinasti Sassaniah, Yazdagerd III. Adalah pujangga keturunan Parsi al-Mubarrad (w. 285/898), sejarawan al-Ya‘qubi (w. 284/897), al-Nawbakhti (w. sesudah 300/912) dan Sa‘d bin ‘Abdillāh al-Qummi (w. 301/913-14) yang mengatakan bahwa Syahr Banu diperistri oleh al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Talib.52 Perawi Syi‘ah Imamiyyah al-Saffar al-Qummi (w. 290/903) kemudian menyiarkan anekdot tentang cahaya yang memancar dari Syahr Banu tatkala beliau memasuki Masjid Nabawi dan berdoa dalam bahasa Parsi, kemudian ketika dipersilahkan memilih al-Husayn sebagai suaminya, konon Sayyidina ‘Ali mengumumkan bahwa wanita itu bakal menjadi ibu dari anak cucunya yang ditafsirkan oleh al-Saffar al-Qummi sebagai deklarasi calon imam sesudah beliau.53 Tambahan cerita ini kita peroleh dari Ibn Babawayh alias Syaikh Saduq, yang mengisahkan bahwa Syahr Banu meninggal dunia saat melahirkan anak pertamanya yang diberi nama ‘Ali, yakni ‘Ali bin al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Talib yang dijuluki Zayn al- ‘Abidin, imam keempat dalam hitungan Syi‘ah Imamiyyah.54 Walhasil, legenda ini hampir dengan serta-merta menjelaskan kepada kita mengapa ajaran Syi‘ah Imamiyyah begitu ‘Ali-Husayn-sentris, dan mengapa ia dipeluk hangat oleh orang-orang Iran umumnya. Pertemuan dua darah bangsawan, dua titisan Tuhan dalam kepercayaan mereka, sebagaimana dinyatakan oleh M. Ali Amir-Moezzi: “Thus, from Imam Zayn al-‘Abidin onwards, the Shiʿite Imams will be the bearers of a two-fold light: that of walaya[h] from ʿAli and Fatima (thus of Muhammad) and the glorious light from the ancient kings of Persia, as transmitted by Šahrbanu.”55 Unsur Persia yang sangat mencolok dalam Syi‘ah Imamiyyah (khususnya versi Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah) ini sejak lama telah dilihat oleh banyak pengamat. Sejarawan Mesir Ahmad Amin, misalnya, melihat banyak pengaruh Persia dan 52 Lihat: al-Mubarrad, al-Kāmil fi al-lughah wa al-adab, ed. ke-3 oleh M.A. Dāli, 4 jilid, 1997, 2:645- 66; al-Ya‘qubi, Tarikh al-Ya‘qubi, juz 2, hlm. 246-7 and 303; al-Nawbakhti, Firaq al-Syi‘ah, ed. H. Ritter (Istanbul, 1931), hlm. 53; al-Asy‘ari al-Qummi, al-Maqālāt wa al-firaq, ed. M. J. Masykur (Tehran: Muʼassasat Maṭbūʻātī ʻAṭāʼī, 1963) hlm.70. 53 Al-Saffar al-Qummi, Basa’ir al-darajāt, ed. ke-2 oleh M. Kuchabāghi (Tabriz 1381/1960), hlm. 335, no. 8. Bandingkan dengan al-Majlisi, Bihar al-Anwar (Beirut: Mu’assasat al-Wafa’, 1403/1983), juz 45, hlm. 330. 54 Ibn Babawayh, ‘Uyun akhbār al-Ridha, ed. Ḥusayn Lājawardi (Tehran, 1958), bab 35, no. 6, fasal 2, hlm. 128. 55 M. Ali Amir-Moezzi, “Šahrbanu”, dalam Encyclopaedia Iranica (2005 edisi online).
  • 20. 20 Yahudi dalam ajaran Syi‘ah.56 Juga Syekh Abu Zahrah mengatakan pada hakikatnya Syi‘ah itu dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Persia kuno mengenai kerajaan dan kedinastian, dan kemiripan antara pemikiran Syi‘ah dengan teori kerajaan Persia amat jelas. Maka wajarlah jika mayoritas penduduk Persia (Iran) itu menganut Syi‘ah dan para pemeluk Syi‘ah yang mula-mula itu orang-orang Persia: “wa fi ’l-haqq anna na‘taqidu anna s-Syi‘ah qad ta’atstsaru bi al-afkar al-farisiyyah hawla al-mulk wa ’l- wiratsah wa t-tasyabuh bayna madzhabihim wa nizam al-mulk al-farisi wadih, wa yuzakki hadza anna aktsara ahli Faris ila ’l-an min as-Syi‘ah wa anna s-Syi‘ah al- awwalin kanu min Faris”.57 Observasi yang hampir sama telah dinyatakan oleh Thomas W. Arnold dalam bukunya mengenai penyebaran Islam di berbagai belahan dunia. Khusus tentang masuknya Islam di wilayah Iran, dikatakannya bahwa bangsa Iran menerima Islam pembebas dan ajaran Syi‘ah sebagai kelanjutan dari kecintaan, kebanggaan dan kesetiaan terhadap dinasti Persia berkat perkawinan al-Husayn bin ‘Ali dengan, Syahr Banu, putri raja mereka yang terakhir: “In addition to the causes above enumerated of the rapid spread of Islam in Persia, it should be remembered that the political and national sympathies of the conquered race were also enlisted on behalf of the new religion through the marriage of Husayn, the son of ‘Ali with Shah[r]banu, one of the daughters of Yazdagird, the last monarch of the Sasanid dynasty. In the descendants of Shah[r]banu and Husayn the Persians saw the heirs of their ancient kings and the inheritors of their national traditions and in this patriotic feeling may be found the explanation of the intense devotion of the Persians to the ‘Alid faction and the first beginnings of Shi‘ism as a separate sect.58 Demikian pula kesan yang ditangkap oleh sarjana-sarjana Eropa seperti Arthur de Gobineau,59 Reinhart Dozy60 August Müller,61 dan Edward Browne, meskipun belakangan dibantah oleh Heinz Halm dari Universitas Tuebingen bahwa Syi‘ah itu muncul di lingkungan Arab di kota Kufah dan karenanya bisa dipahami bukan sebagai ekspresi mental bangsa Iran –seperti sejak lama diyakini oleh banyak orang- dan bukan pula merupakan balas dendam bangsa Arya Iran terhadap agama 56 Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Maktabat an-Nahdah al-Misriyyah, 1965), hlm. 276-278. 57 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1963), hlm. 34-35. 58 Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam (London: A. Constable & Co., 1896), hlm. 179 = atau edisi London: Darf Publishers, 1935 dan 1986, hlm. 209. 59 Arthur comte de Gobineau, Les religions et les philosophies dans l'Asie central (Paris: Didier et cie, 1866), hlm. 367. 60 Reinhart Dozy, Essai sur l’histoire de l’Islamisme (Paris: Maisonneuve, 1879), hlm. 220ff. 61 August Müller, Der Islam im Morgen- und Abendland (Berlin: Grote, 1885), hlm. 327.
  • 21. 21 Islam dan bangsa Arab [yang mengalahkan dan menaklukkan mereka]: “… the Shi‘a originated in the Arabian milieu of Kufa and may thus be understood neither as an expression of Iranian mentality –as has long been believed– nor yet as the revenge of Aryan Iranianism on Islam and the Arabs”.62 Beberapa anasir khas Iran yang menonjol dalam ajaran Syi‘ah adalah penobatan imam mengikut keturunan, juga kepercayaan pada imam mahdi sebagai Penyelamat akhir zaman, dan unsur lainnya adalah penghayatan tragedi seperti yang kita lihat pada setiap tahun saat peringatan terbunuhnya Sayyidina al-Husayn. Dalam sebuah wawancara, S.H. Nasr menjelaskannya sebagai berikut: “… after the Mongol invasion, gradually Iran became more and more Twelfth Imam Shi‘ite until the Safavid period when Shi‘ism became the official religion of Persia”. Seyyed Hossein Nasr, In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed Hossein Nasr on His Life and Thought (Santa Barbara: Praeger, 2010) hlm. 150 PenutupPenutupPenutupPenutup Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Syi‘ah itu secara zahirnya masih termasuk umat Islam, walaupun para ulama telah menunjukkan berbagai macam kekeliruan dan kesesatan dalam pandangan, keyakinan maupun amalan agama mereka. Namun, apabila orang Syi‘ah mengkafirkan orang Islam, maka tuduhan tersebut akan berbalik kepada mereka sendiri. Jikalau mereka anggap Sayyidina Abu Bakr dan Sayyidina ‘Umar –radiyallahu ‘anhuma- itu kafir, lantas mereka anggap apa orang lain seperti kita semua ini? AppendixAppendixAppendixAppendix Di atas tadi telah dikatakan bahwa hampir keseluruhan ajaran Syi‘ah Imamiyyah ideologis umumnya dan Imamiyyah khususnya dibangun atas kebencian yang diluahkan melalui penolakan, kritikan, kecaman, kutukan, bahkan pengkafiran- terhadap Sayyidina Abu Bakr al-Siddiq, Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab, dan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan r.a. serta para Sahabat Nabi yang lain. Kaum Syi‘ah Imamiyyah banyak membuat cerita-ceritabohong dan menyiarkan riwayat-riwayat palsu yang mereka sandarkan kepada Ja‘far as-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zayn al-‘Abidin bin al-Husayn bin ‘Ali bin Abi Talib. Berkata Imam as-Syafi‘i: “Orang Syi‘ah rafd itu paling banyak kesaksian palsu-(dusta)nya ar-Rafidah asyhadu bi ’z-zur” (Manaqib, hlm. 144) Aneka ragam kebohongan dan anekdot isapan jempol dibikin mengikut ideologi ini. Berikut ini petikan-petikannya: 62 Heinz Halm, Shi‘ism, terj. Janet Watson (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991), hlm. 16.
  • 22. 22 i. al-Fadl ibn Syadzan (w. 260/873), al-Idah fi r-radd ‘ala sa’ir al-firaq, ed. Jalaluddin al-Husayni (Beirut: Mu’assasah at-Tarikh al-‘Arabi, 1430/2009), hlm. 60: ii. Abu Ja‘far as-Saffar al-Qummi (w. 290/963), Basa’ir ad-Darajat fi fada’il Al Muhammad (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami 1431/2010), hlm. 64:
  • 23. 23 iii. Abu al-Hasan ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. sesudah 301/919), Tafsir al-Qummi, ed. Tayyib al-Musawi al-Jaza’iri, 2 jilid (Najaf: t.p., 1387/1968), 2:421 : iv. Abu al-Qasim Furat bin Ibrahim al-Kufi (w. sekitar 300/912), Tafsir Furat al- Kufi, ed. M. al-Kazim (Beirut: Mu’assasah at-Tarikh al-‘Arabi, 1432/2011), juz 1, hlm. 116:
  • 24. 24 v. Abu n-Nasr Muhammad bin Mas‘ud bin ‘Ayyasy (w. 320/932), Tafsir al-‘Ayyasyi, ed. Hasyim ar-Rasuli al-Mahallati, 2 jilid (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami, 1411/1991), jilid 1, hlm. 91: vi. Syekh al-Kulayni (w. 329/941), al-Kafi, 8 jilid (Beirut: Mansyurat al-Fajr, 1428/ 2007), 8:133: Dalam kitab yang sama (al-Kafi, 2:33), al-Kulayni memuat riwayat ini:
  • 25. 25 vii. Syekh as-Saduq [ibn Babawayh] al-Qummi (w. 381/991), al-Khisal, ed. ‘Ali Akbar al-Ghifari, 2 juz (Qumm: Jama‘at al-Mudarrisin fi al-Hawzah al-‘Ilmiyyah, 1403), 1:129: viii. Syekh as-Saduq ibn Babawayh al-Qummi (w. 381/991), ‘Uyun akhbar ar-Rida, ed. Husayn al-A‘lami, 2 jilid (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami, 2005), 2:94 ix. Syekh al-Mufid (w. 413/1022), al-Ikhtisas, ed. ‘Ali Akbar Ghiffari (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami, 1430/2009), hlm. 18:
  • 26. 26 x. Syekh at-Ta’ifah Abu Ja‘far at-Tusi (w. 460/ 1067), “al-Mufsih fi imamat Amir al- Mu’minin” dalam ar-Rasa’il al-‘asyr (t.t. Mu’assasah an-Nasyr al-Islami, 1414), hlm. 127: xi. ‘Ali bin ‘Abd al-‘Al al-Muhaqqiq al-Karaki (w. 940/1534), Nafahat al-lahut fi la‘n al-jibt wa t-taghut, ed. Muhammad Hadi al-Amini (Tehran: Maktabat Neinavi [Naynawi] al-Haditsah, t.t.), hlm. 128 [fasl 7 – fi jawaz la‘nihim] = ed. Shaykh Muhammad Hasun (Qom: Mansyurat Turats al-Ihtijaj, 2002), hlm. 161 :
  • 27. 27 xii. Muhammad Tahir bin Muhammad Husayn as-Syirazi an-Najafi al-Qummi (w. 1098/1687), Kitab al-Arba‘in fi imamat al-a’immah al-tahirin, ed. Mahdi al-Raja’i (Qumm: Matba‘at al-Amir, 1418) hlm. 615-616: xiii. al-Hurr al-‘Amili (w. 1104/1693), Tafsil wasa’il as-syi‘ah ila tahsil masa’il as- syari‘ah (Qumm: Mu’assasah Al al-Bayt, 1414), jilid 15, hlm. 79:
  • 28. 28 xiv. Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1111/1699), Bihar al-anwar al-jami‘ah li-durar akhbar al-a’immah al-athar, ed. ‘Abd az-Zahra’ al-‘Alawi (Beirut: Dar ar-Rida, 1983), jilid 29, hlm. 41: xv. Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-anwar al-jami‘ah li-durar akhbar al- a’immah al-athar (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi = Mu’assasat al-Wafa’, 1403/1983), 101 - bab kufr al-mukhalifin wa n-nussab – kitab al-iman wa ’l-kufr wa masawi al-akhlaq, juz 69, hlm. 137-138:
  • 29. 29 xvi. Syekh Ni‘matullah al-Jaza’iri (w. 1112/1700) al-Anwar an-Nu‘maniyyah, ed. Muhammad ‘Ali al-Qadi at-Tabataba’i, 4 jilid (Beirut: Mu’assasat al-A‘lami, 1431/2010), jilid 1, hlm. 87: xvii. Mirza Jawad at-Tabrizi (w. 1427/2006), al-Anwar al-ilahiyyah fi al-masa’il al- ‘aqa’idiyyah (Qumm: Dar as-Siddiqah as-Syahidah, 1425), hlm. 259:
  • 30. 30 xviii. Abu ’l-Qasim al-Musawi al-Khu’i (w. 1413/1992), Misbah al-faqahah fi ’l- mu‘amalat, ed. Mirza Muhammad ‘Ali at-Tawhidi at-Tabrizi (Najaf: al-Matba‘ah al- Haydariyyah, 1374/1954) = edisi Mawsu‘ah al-Khu’i (Tehran: Mu’assasah al-Khu’I al-Islamiyyah, 1434/2013), jilid 35, juz 1, hlm. 496-497