2. Definisi ‘Urf (Adat Istiadat)
‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik
dan diterima oleh akal sehat”. Secara terminologi, ‘urf
adalah “sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu
dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau
perkataan.”
Contoh ‘urf berupa perbuatan seperti kebiasaan di
masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan
dengan hanya menerima barang dan menyerahkan
pembayaran harga tanpa mengucapkan ijab-qabul.
Contoh ‘urf berupa perkataan seperti kebiasaan di
masyarakat Arab tentang kemutlakan lafaz al-walad (anak
kecil) atas anak laki-laki bukan perempuan, juga kebiasaan
untuk tidak menggunakan lafaz al-lahm (daging) kepada
jenis samak (ikan).
3. Macam-macam
‘Urf (Adat)
Al-’Urf al-’am yaitu adat
kebiasaan mayoritas dari
berbagai negeri di satu masa.
Seperti ucapan engkau telah
haram aku gauli sebagai ucapan
talak kepada istri.
Al-’Urf al-Khash yaitu adat yang
berlaku pada masyarakat atau
negeri tertentu. Seperti kebiasaan
masyarakat Irak menggunakan
kata al-dabbah hanya kepada
kuda.
Adat yang benar (shahih) yaitu
suatu hal baik yg menjadi
kebiasaan suatu masyarakat,
seperti anggapan bahwa apa yg
diberikan pihak laki-laki kepada
calon istri ketika khitbah dianggap
hadiah, bukan mahar.
Adat yang salah (fasid) yaitu
sesuatu yang menjadi adat yang
sampai menghalalkan yang
diharamkan Allah atau
sebaliknya. Seperti tari perut di
Mesir saat pesta perkawinan.
4. Keabsahan ‘Urf Sebagai Dalil
QS. Al-A’raf: 199.
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.
Ayat tsb dipahami oleh para ulama sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan
landasan hukum.
Mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai
landasan hukum adalah kalangan Hanafiah dan Malikiyah,
selanjutnya baru kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah.
Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya kepada
perbuatan penduduk Madinah (ketika itu). Imam Syafi’i
ketika hijrah ke Mesir mengubah sebagian pendapatnya
tentang hukum yg telah dikeluarkannya ketika di Baghdad
karena perbedaan ‘urf, sehingga dalam mazhab syafi’i dikenal
istilah qaul qadim dan qaul jadid.
5. Syarat-syarat ‘Urf
‘Urf baru bisa dijadikan landasan hukum jika:
‘Urf itu termasuk ‘urf yang shahih, tidak bertentangan
dengan Quran dan sunnah.
‘Urf itu harus bersifat umum, minimal telah menjadi
kebiasaan mayoritas penduduk setempat.
‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa
yang akan dilandaskan kepada ‘urf tsb. Misalnya,
seseorang mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama,
yang dimaksud ulama ketika itu hanyalah orang yang
punya pengetahuan agama tanpa ada persyaratan punya
ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan wakaf itu
harus diartikan dengan pengertian yg sudah dikenal
umum, bukan istilah ulama yg populer kemudian setelah
ikrar wakaf terjadi, harus punya ijazah.
Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang
berlainan dengan kehendak ‘urf tsb, sebab jika kedua
belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat
dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang
dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf.
6. Kaidah yang berlaku bagi ‘Urf
Hukum yang pada mulanya dibentuk oleh
mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah jika ‘urf
itu berubah.
Contoh yang disandarkan kepada ‘urf, QS. Al-
Baqarah: 233
Ayat tsb tidak menjelaskan berapa kadar
nafkah yang harus diberikan seorang ayah
kepada para ibu dari anak-anak. Untuk
memastikannya, perlu merujuk kepada adat
yang berlaku dalam satu masyarakat dimana
ia berada.
7. SYAR’U MAN QABLANA
Yaitu syari’at atau ajaran nabi-bani sebelum Islam
yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at
nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Apakah syariat-
syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku
pula bagi umat Nabi Muhammad Saw.
Para ulama ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para
Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Quran
dan Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat
Islam. Karena kedatangan syariat Islam telah
mengakhiri berlakunya syariat terdahulu.
Para ulama juga sepakat bahwa syariat sebelum
Islam yang dicantumkan dalam al-Quran adalah
berlaku bagi umat jika ada ketegasan bahwa syariat
itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw. Contoh:
Syariat puasa, QS. Al-Baqarah: 183
8. SYAR’U MAN QABLANA
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat
nabi terdahulu yang tercantum dalam al-Quran, tetapi tidak
ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi
umat Islam dan tidak ada pula penjelasan yang
membatalkannya.
Misal: hukuman qishahs dalam syariat Nabi Musa dalam QS.
Al-Maidah: 45
Dari sekian banyak bentuk qishash dalam ayat tsb, yang ada
ketegasan berlakunya bagi umat Islam hanyalah qishash
karena pembunuhan. QS. Al-Baqarah: 178