Presentasi ini membahas tentang pengertian al-Quran dan sunnah, pembagiannya, hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran, dan fungsi sunnah terhadap ayat-ayat hukum. Al-Quran membahas hukum secara global sedangkan sunnah merinci pelaksanaannya. Sunnah juga menambahkan aturan teknis dan menetapkan hukum yang belum disebutkan dalam al-Quran.
1. Presentasi Ke-5Presentasi Ke-5
Oleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MAOleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA
Membahas tentangMembahas tentang
pengertian al-Quran danpengertian al-Quran dan
sunnah, pembagiannya,sunnah, pembagiannya,
hukum-hukum yanghukum-hukum yang
terkandung dalam al-Quran,terkandung dalam al-Quran,
fungsi sunnah terhadap ayat-fungsi sunnah terhadap ayat-
ayat hukum.ayat hukum.
SSUMBERUMBER DDANAN
DDALILALIL HHUKUMUKUM
YYANGANG DDISEPAKATI:ISEPAKATI:
AL-AL-QQURAN,URAN,
SSUNNAH,UNNAH,
IIJMA’JMA’ DDANAN QQIYASIYAS
2. Definisi Dalil & al-Quran
DEFINISI DALIL
Secara bahasa adalah “yang menunjukkan terhadap
sesuatu”. Dalil diartikan pula dengan artinya
perkara yang di dalamnya terdapat petunjuk. Ulama
Ushul mendefinisikan dalil dengan istilah
artinya sesuatu yang dengan penelaahan yang
shahih bisa menghantarkan kepada pengetahuan
terhadap mathlub khabari (hukum suatu perkara
yang sedang dicari status hukumnya).
TA’RIF AL-QURAN
bentuk mashdar dari fi’il madhi qara`a yang berarti
bacaan. Menurut istilah Ushul Fiqh, al-Quran
berarti kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-
Nya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad Saw dengan bahasa Arab serta dianggap
beribadah membacanya.
3. Presented by Marhamah Saleh
Informasi tentang al-Quran
Mulai diturunkan di Mekkah, tepatnya di Gua Hira` pada tahun 611
M., dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M. dalam rentang waktu
22 tahun lebih beberapa bulan.
Al-Quran turun secara berangsur-angsur, tidak secara sekaligus.
Mengapa? Untuk menguatkan hati (menghujamkan makna serta
hukum-hukumnya) dan mentartilkan al-Quran, seperti dikisahkan
dalam al-Quran surat al-Furqan ayat 32
Ayat pertama ditunkan adalah ayat 1 sampai 5 dari Surat al-’Alaq.
Sedangkan ayat terakhir diturunkan ada ikhtilaf ulama. Pendapat
yang dipilih oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-
Quran yang dinukilnya dari Ibnu ‘Abbas adalah Surat al-Baqarah
ayat 281. Setelah ayat ini diturunkan Rasulullah Saw masih hidup
sembilan malam, kemudian beliau wafat pada hari Senin 3 Rabi’ al-
awwal, dan berkahirlah turunnya wahyu. Ada pula yang mengatakan
bahwa ayat terakhir turun adalah Surat al-Maidah ayat 3
4. Presented by Marhamah Saleh
AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH
Al-Quran turun dalam dua periode: Pertama, periode Mekkah, yaitu
sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah, dikenal dengan ayat-
ayat Makkiyyah. Kedua, periode setelah Rasulullah Saw hijrah ke
Madinah, dikenal dengan ayat-ayat Madaniyyah.
Inti Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya berbicara seputar masalah
akidah untuk meluruskan keyakinan umat di masa Jahiliyah dan
menanamkan ajaran tauhid. Selain itu juga menceritakan kisah umat-
umat masa lampau sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad
Saw. Dalam masalah hukum belum banyak ayat yang diturunkan di
Mekkah kecuali beberapa hal, seperti menjaga kehormatan (faraj)
QS. al-Mukminun: 5-7, diharamkan memakan harta anak yatim QS.
al-Nisa`: 10, larangan mubazir QS. al-Isra`: 26, larangan mengurangi
timbangan QS. Hud: 85, larangan membuat kerusakan di muka bumi
QS. al-A’raf: 56, dan ayat tentang kewajiban shalat QS. Hud: 114.
Rahasia mengapa di Mekkah belum banyak ayat hukum, karena di
Mekkah belum terbentuk satu masyarakat atau komunitas Islam
seperti halnya di Madinah setelah Rasulullah Saw hijrah.
5. Presented by Marhamah Saleh
AYAT MADANIYYAH
Banyak terkait dengan hukum dan berbagai aspeknya.
Perintah membayar zakat, QS. al-Baqarah: 43
Kewajiban puasa Ramadhan, QS. al-Baqarah: 183
Kewajiban haji, QS. al-Baqarah: 196
Pengharaman riba, QS. al-Baqarah: 275
Larangan memakan harta orang lain secara batil, al-Baqarah: 188
Wanita-wanita yang haram dinikahi, QS. al-Nisa`: 23
Hukum thalaq dan ‘iddah, QS. al-Thalaq: 65
Pembagian warisan, QS. al-Nisa`: 11-12
Cara pembagian harta rampasan perang, QS. al-Anfal: 1
Qishash & ‘uqubat (sanksi hukum), QS. al-Baqarah: 178
Larangan merampok & mengacau keamanan, QS. al-Maidah: 33
Memutuskan hukum secara adil, QS. al-Nisa`: 58
Dan lain sebagainya.
6. Presented by Marhamah Saleh
HUKUM-HUKUM DALAM AL-QURAN
Al-Quran sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung 3
doktrin: Akidah, akhlak, dan hukum-hukum amaliyah.
Hukum-hukum amaliyah dalam al-Quran terdiri dari dua cabang:
Hukum ibadah dan muamalah.
Abdul Wahab Khallaf memerinci macam hukum bidang
muamalah dan jumlah ayatnya.
1. Hukum keluarga, mulai dari pernikahan, talak, rujuk, ‘iddah,
hingga masalah warisan, seluruhnya ada 70 ayat.
2. Hukum perdata ada sekitar 70 ayat.
3. Hukum jinayat (pidana) ada 30 ayat.
4. Hukum murafa’at (acara atau peradilan) ada 13 ayat.
5. Hukum ketatanegaraan ada 10 ayat.
6. Hukum antara bangsa (internasional) ada 25 ayat.
7. Hukum ekonomi dan keuangan ada sekitar 10 ayat.
7. Presented by Marhamah Saleh
CONTOH AYAT-AYAT HUKUM
» Dari segi rinci atau tidaknya ayat-ayat hukum dalam al-Quran, Muhammad
Abu Zahrah menjelaskan sbb.:
1. Ibadah, dalam Quran dikemukakan secara mujmal (global) tanpa merinci
kaifiyatnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Untuk menjelaskan
tatacaranya dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan sunnahnya.
2. Kaffarat, yaitu semacam denda yang bermakna ibadah, karena merupakan
penghapus bagi sebagian dosa. Ada 3 bentuk kaffarat, yaitu: Kaffarat zihar
(seperti ungkapan suami kepada istrinya “kau bagiku bagaikan punggung
ibuku”). Istri yang sudah di zihar tidak boleh digauli oleh suaminya kecuali
setelah membayar kaffarat, QS. Al-Mujadilah: 3-4.
**
Kaffarat sumpah, QS. Al-Maidah: 89.
Kaffarat qatl al-khata` (membunuh mukmin secara tersalah). al-Nisa`: 92
8. Presented by Marhamah Saleh
CONTOH AYAT-AYAT HUKUM
3. Hukum mu’amalat. Al-Quran hanya memberikan prinsip-prinsip dasar, sunnah
berperan merincinya, dan ijtihad para ulama berperan dalam mengembangkan
perinciannya. Seperti larangan memakan harta orang lain secara tidak sah,
QS. Al-Nisa`: 29, dan larangan memakan riba, QS. Al-Baqarah: 275
……
......
4. Hukum Keluarga, Al-Quran berbicara agak rinci, misalnya penjelasan wanita-
wanita yang haram dinikahi, QS. Al-Nisa`: 23
……
Masalah thalaq (QS. Al-thalaq: 1), rujuk (QS. Al-Baqarah: 228), ‘iddah karena
meninggal suami (QS. Al-Baqarah: 234) dan ‘iddah karena terjadinya
perceraian (QS. Al-Baqarah: 228)
9. Presented by Marhamah Saleh
CONTOH AYAT-AYAT HUKUM
5. Hukum pidana. Al-Quran melarang tindak kejahatan secara umum. Seperti
larangan pembunuhan (Al-An’am: 151), larangan minum khamar (QS. Al-
Maidah: 90) dan rincian hukumannya dijelaskan oleh sunnah dengan cambuk
40 kali sesuai hadis , larangan berzina (Al-Nur: 2), hukuman bagi pencuri (Al-
Maidah: 38), hukuman pelaku qazaf atau menuduh orang lain berzina tanpa
saksi (QS. Al-Nur: 4)
5. Hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyat (QS. Al-Nahl: 90
dan Ali ‘Imran: 159).
Hukum yang mengatur hubungan muslin dan non-muslim (QS. Al-Hujurat: 13
dan al-Baqarah: 194).
....
10. Presented by Marhamah Saleh
DALALAH AL-QURAN
Dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan
oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab al-
Ta’rifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ‘ala al-ma’na.
Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian
yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para
ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qath’iy
dan zanniy. Tentang terma qath’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama
ushul membaginya kepada dua macam yaitu :
1. Qath’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti
tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
2. Qath’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang
jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua pula:
1. Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang
keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir
2. Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih
mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.
11. Presented by Marhamah Saleh
DALALAH AL-QURAN
Bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-
Wurud karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang
tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka
ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.
Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan
susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta
sifat nama dan jenis. Contoh ayat yang qat’iy al-dalalah :
Disamping qat’iy al-dalalah ada juga nash al-Quran yang zanniy al-dalalah.
Yang dikategorikan pada kelompok ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan
dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah
ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas.
Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Qur’an yang
dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan
perdebatan di kalangan ulama ushul. Contohnya ...
12. Presented by Marhamah Saleh
SUNNAH
Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, termasuk
perilaku yang baik atau perilaku yang buruk”. Secara istilah, sunnah adalah
“segala perilaku Rasulullah Saw yang berhubungan dengan hukum, baik
berupa ucapan (sunnah qawliyyah), perbuatan (sunnah fi’liyyah), atau
pengakuan (sunnah taqririyyah).
Contoh sunnah qawliyyah, sabda Rasul Saw . Contoh sunnah fi’liyyah
seperti hadis tentang rincian tatacara shalat, haji, dsb. Contoh sunnah
taqririyyah ialah pengakuan Rasul Saw atas perilaku dua sahabat ketika
dalam perjalanan mereka tidak menemukan air, lalu mereka bertayamum
dan mengerjakan shalat. Kemudian mereka mendapatkan air, sedang waktu
shalat masih berlanjut. Lalu salah satunya berwudhu’ dan mengulangi
shalat, satunya lagi tidak. Keduanya diakui oleh Rasul Saw.
Dalil keabsahan sunnah, QS. Al-Nisa`: 59, Al-Ahzab: 21, Al-Nisa`: 80
13. Presented by Marhamah Saleh
FUNGSI SUNNAH TERHADAP AYAT HUKUM
Secara umum fungsi sunnah sebagai bayān (penjelasan) atau
tabyīn (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam al-Quran).
Secara khusus fungsi sunnah:
1. Menjelaskan isi al-Quran, antara lain dengan merinci ayat-
ayat global. Disamping itu berfungsi mentakhshish ayat-ayat
yang sifatnya umum.
2. Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu
kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya dalam al-Quran.
3. Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al-Quran.
Misalnya hadis artinya semua jenis binatang buruan yang
mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka
hukum memakannya adalah haram. (HR. Nasa`i)
14. Presented by Marhamah Saleh
FUNGSI SUNNAH TERHADAP AL-QURAN
Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal
dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli”
(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan
tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah”
(Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum”
(Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an
“Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
Bayan Taqrir, yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu
liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan
berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam
surat Al-Baqarah : 185.
Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-
Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih
(penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang
artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan
perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka
gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun
banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini,
maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits
tersebut.
15. Presented by Marhamah Saleh
PEMBAGIAN SUNNAH
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian
Ushul Fiqh dibagi kepada 2 macam: hadis mutawatir dan hadis ahad.
MUTAWATIR adalah hadis yang diriwayatkan dari Rasul oleh sekelompok
perawi yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari
kemungkinan berbuat bohong, karena banyak jumlah mereka dan
diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat
antara satu dengan yang lain. Dari kelompok ini diriwayatkan pula
selanjutnya oleh kelompok berikutnya yang jumlahnya juga banyak,
begitulah seterusnya hingga sampai kepada pentadwin (orang yang
membukukan). Hadis mutawatir terbagi dua: mutawatir lafzi (diriwayatkan
oleh orang banyak yang bersamaan arti dan lafaznya), dan mutawatir
ma’nawi (hadis yang beragam redaksinya tapi maknanya sama).
Hadis AHAD, diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai ke
batas hadis mutawatir. Hadis Ahad terbagi 3: Masyhur (hadis yang pada
masa sahabat diriwayatkan oleh 3 perawi tetapi kemudian pada masa
tabi’in dan seterusnya hadis itu menjadi mutawatir dilihat dari segi jumlah
perawinya), ‘aziz (hadis yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua
perawi meskipun pada periode yang lain diriwayatkan olwh banyak
orang), gharib (hadis yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap
periode).
17. Presented by Marhamah Saleh
IJMA’
Secara etimologi, ijma’ berarti “kebulatan tekad terhadap suatu
persoalan”, atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. Secara
terminologi, menurut ‘Abdul Karim Zaidan, ijma’ adalah
“kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang
hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah Saw wafat”.
Para ulama sepakat bahwa ijma’ sah dijadikan sebagai dalil
hukum. Ada ikhtilaf mengenai jumlah pelaku kesepakatan
sehingga dapat dianggap ijma’. Menurut mazhab Maliki,
kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan
kesepakatan penduduk Madinah (ijma’ ahl al-madinah). Menurut
Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para imam di kalangan mereka.
Menurut jumhur, ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya
kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.
18. Presented by Marhamah Saleh
Dalil Keabsahan Ijma’
QS. Al-Nisa`: 115
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat tsb mengancam golongan yang menentang Rasul Saw dan
mengikuti jalan orang2 non-mukmin. Artinya, wajib hukumnya mengikuti
jalan orang2 mukmin, yaitu mengikuti kesepakatan (ijma’) mereka.
Hadis Rasulullah Saw riwayat Abu Daud dan Tirmizi:
Rasul Saw bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan
umatku, atau beliau berkata umat Muhammad Saw, atas kesesatan.
19. Presented by Marhamah Saleh
Landasan (Sanad) Ijma’ dan Contoh Ijma’
Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil jika dalam pembentukannya
mempunyai landasan, yaitu Quran dan Sunnah.
Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Quran adalah kesepakatan para
ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan, walau
tidak disebut tegas dalam QS. Al-Nisa`: 23.
Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) mencakup ibu
kandung dan nenek, dan kata banat (anak-anak perempuan) mencakup
anak dan juga cucu perempuan.
Contoh ijma’ yang disanadkan atas sunnah, kesepakatan para ulama
bahwa nenek menggantikan hak ibu, jika ibu kandung si mayit sudah
wafat, dalam hal mendapat harta warisan. Dalam hadis disebutkan,
ketika ada nenek datang bertanya kepada Abu Bakar, lalu Abu Bakar
bertanya kepada khalayak, dan Mughirah lah yang bisa memberitahu
bahwa Rasul pernah memberi nenek 1/6 dari harta warisan cucunya.
20. Presented by Marhamah Saleh
Macam-macam Ijma’ IJMA’
IJMA’ SHARIH
(TEGAS)
IJMA’ SUKUTI
(DIAM)
Ijma’ sharih adalah kesepakatan tegas dari para ulama mujtahid dimana
masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap
kesimpulan hukum.
Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama menyatakan pendapatnya,
sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Mailikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum. Karena diamnya sebagian ulama belum tentu
menandakan setuju, bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana
pendapat itu telah didukung penguasa, atau boleh jadi disebabkan merasa
sungkan menentang pendapat mujtahid karena dianggap lebih senior.
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti sah dijadikan sumber hukum,
karena diamnya sebagian ulam dipahami sebagai persetujuan. Jika mereka
tidak setuju dan memandangnya keliru, pasti secara tegas menentangnya.
21. Presented by Marhamah Saleh
QIYAS (ANALOGI)
Secara bahasa, qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan
sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan
antara keduanya”.
Secara istilah, DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan:
Qiyas adalah: Menghubungkan (menyamakan hukum)
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya, dengan
sesuatu yang ada ketentuan hukumnya, karena ada
persamaan ‘illat antara keduanya.
22. Presented by Marhamah Saleh
Dalil Keabsahan Qiyas
QS. Al-Nisa`: 59
Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat tentang
hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikan
kepada Allah (Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah Saw. Nah, cara
mengembalikannya antara lain dengan metode qiyas.
Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah Saw dan Mu’az bin
Jabal ketika ia akan dikirim menjadi hakim di Yaman, dan
merupakan pengakuan Rasul terhadap praktik qiyas.
23. Presented by Marhamah Saleh
Rukun Qiyas
Qiyas dianggap sah jika lengkap rukun-rukunnya. Ada 4 rukun qiyas:
1.1. (pokok tempat meng-qiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah
ditetapkan hukumnya, baik dalam al-Quran atau dalam sunnah. disebut
juga (yang menjadi ukuran).. Misalnya khamer ditegaskan dalam QS.
Al-Maidah: 90
2. Adanya yaitu hukum syara’ yang terdapat pada yang hendak
ditetapkan pada (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya hukum
haramnya khamer.
1. Adanya cabang () yaitu sesutau yang tidak ada ketegasan hukumnya
dalam Quran, sunnah atau ijma’, yang hendak ditemukan hukumnya
melalui qiyas. Misalnya hukum wisky, bir.
2. ‘illat () yang merupakan inti bagi praktik qiyas, yaitu suatu sifat yang ada
pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada
pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
24. Presented by Marhamah Saleh
Contoh Qiyas
Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis )
kepada orang tua. Maka hukum memukul, membentak, meneror
dsb terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap
hukum cis tadi. Karena ‘illatnya sama-sama menyakiti orang tua.
Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam
menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut, yaitu ketika
Umar bin Khathab berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya
telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri,
padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul :
Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ?
Jawab Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu
teruskanlah puasamu.