Dokumen tersebut membahas tentang definisi ikhtilaf, sebab-sebab terjadinya ikhtilaf, serta perbedaan pandangan antara Ahli Hadis dan Ahli Ra'yu dalam menetapkan hukum Islam. Ikhtilaf didefinisikan sebagai perbedaan pendapat di antara ulama hukum Islam dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu'iyah. Terdapat dua faktor penyebab ikhtilaf yaitu faktor akhlaq dan faktor pemik
2. DEFINISI IKHTILAF
Ikhtilaf menurut bahasa = perbedaan paham (pendapat), berasal
dari kata diambil dari kata – – maknanya lebih
umum daripada sebab setiap hal yang berlawanan
pasti akan saling bertentangan. QS. Hud (11) ayat 118-119
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.
IKHTILAF = tidak sepaham atau tidak sama / perbedaan jalan,
perbedaan pendapat atau perbedaan manhaj yang ditempuh
oleh seseorang atau sekelompok orang dengan yang lainnya.
Ikhtilaf secara terminologi = perbedaan pendapat diantara ahli
hukum Islam (fuqaha‟) dalam menetapkan sebagian hukum
Islam yang bersifat furu‟iyah , bukan pada
masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok
hukum Islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau
perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah,
dll. Misal, perbedaan pendapat fuqaha‟ tentang hukum wudhu‟
seorang lelaki yang menyentuh perempuan, hukum membaca
surat fatihah bagi makmum dalam shalat berjama‟ah, dsb.
3. FAKTOR PENYEBAB IKHTILAF
DR. Yusuf al-Qardhawi dalam buku al-Shahwah al-Islamiyah
Baina al-Ikhtilaf al-Masyru‟ wa al-Tafarruq al-Madzmum,
menyatakan ada 2 faktor pemicu ikhtilaf:
A. Faktor akhlaq, antara lain karena:
- membanggakan diri dan kagum pendapat sendiri
- buruk sangka dan mudah menuduh orang tanpa bukti
- egoisme dan mengikuti hawa nafsu
- fanatik kepada pendapat orang, mazhab atau golongan
- fanatik kepada negeri, daerah, partai, jama‟ah, pemimpin
Kesemuanya ini akhlaq tercela dan wajib dihindari.
B. Faktor Pemikiran, timbul karena perbedaan sudut pandang
mengenai suatu masalah, baik ilmiah maupun amaliah.
Dalam masalah ilmiah, seperti perbedaan menyangkut
cabang-cabang syari‟at dan beberapa masalah aqidah
yang tidak menyentuh prinsip-prinsip pasti.
Dalam masalah amaliah, perbedaan mengenai sikap politik
dan pengambilan keputusan atas berbagai masalah,
ikhtilaf fiqhi, Ikhtilaf fikriah (perbedaan pandangan
mengenai penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan.
Perbedaan terbesar umumnya mengenai fiqh dan aqidah.
4. FAKTOR PENYEBAB IKHTILAF
Menurut Muhammad Abdul Fattah Al-Bayanuni
dalam Dirasat fi al-Ikhtilaf al-Fiqhiyyah, asal
mula perbedaan hukum-hukum fiqh disebabkan
timbulnya “ijtihad” terhadap hukum, terutama
pasca Nabi Saw dan para sahabat meninggal
dunia. Ada 2 faktor paling mendasar:
1. Kemungkinan yang terkandung dalam nash-
nash syariah (Quran dan hadis)
2. Perbedaan pemahaman ulama
Secara matematis dapat digambarkan seperti
berikut:
5. FAKTOR PENYEBAB ITTIFAQ
Nash-nash
yang qath‟i
Pendapat
yang
SAMA
Akal dan
Pemahaman
yang SAMA
6. FAKTOR PENYEBAB IKHTILAF
Nash-nash
yang
mengandung
kemungkinan
Pendapat
yang
beragam
Akal dan
Pemahaman
yg berbeda
8. Dalam Masalah Otentisitas Nash
Perbedaan mengenai KEHUJJAHAN HADIS MURSAL, hadis yg
diriwayatkan orang sesudah sahabat (tabi‟in) dari Nabi. Mazhab
Hanafi hadis Mursal kurun/abad pertama & kedua hijriah
adalah hujjah. Syafi‟i hadis tsb tak boleh jadi dalil kecuali jika
didukung oleh ayat atau hadis masyhur yang lainnya.
Perbedaan mengenai hadis yang diriwayatkan oleh seorang
perawi, kemudian ia lupa, ataupun mengingkarinya. Menurut
Abu Hanifah & Abu Yusuf tidak boleh dijadikan pegangan.
Imam Syafi‟i & Muhmmad (murid Abu Hanifah) berpendapat
hadis tsb adalah dalil syara‟ yang sah untuk diamalkan. Misal,
hadis diriwayatkan Rabi‟ah dari Suhail bin Abi Shalih, Rasul
bersabda (memutuskan hukum cukup dengan
seorang saksi dan sumpah). Ada yag mengatakan kepada
Suhail, “...tapi Rabi‟ah meriwayatkan hadis ini darimu!” Suhail
menjawab, “Saya tidak pernah meriwayatkan hadis tsb”. Tapi
Rabi‟ah orangnya tsiqah dan adil! Suhail:“boleh jadi saya lupa”
Perbedaan penilaian terhadap hadis mastūr (yang diriwayatkan
oleh banyak orang tapi seorangpun diantaranya tidak pernah
diteliti sifatnya. Sebagian ulama menerima kalau mereka hidup
dalam kurun 3 abad pertama hijriah. Abu Hanifah menganggap
nya adil (diterima). Tapi ada yg menganggap fasiq (ditolak).
9. Dalam Memahami Nash Syara’
Dari segi nash itu sendiri, terkadang terkandung makna
musytarak (homonim, satu kata multi-arti). Misal, lafaz .
Contoh lain, hadis riwayat Abu Sa‟id al-Khudry:
jika yag kedua dibaca rafa‟, maka jadi khabar mubtada‟
berarti “menyembelih induk bermakna menyembelih
anak dalam kandungannya juga”.
Tapi kalau yag kedua dibaca nashab berarti
“sembelihlah anak binatang itu sebagaimana kamu telah
menyembelih induknya”.
Dari segi Mujtahid. Misal, pasca perang Ahzab, Jibril menyuruh
Nabi menyerang Bani Quraidhah. Lalu Nabi memberi aba-aba:
(seorangpun tidak boleh shalat Ashar
sebelum tiba di Bani Quraidhah). Dalam perjalanan, tibalah
waktu Ashar. Sebagian sahabat berpegang pada dhahir nash
dengan sengaja meninggalkan shalat sesuai komando Rasul.
Sebagian lagi karena memperhitungkan akan tiba disana ba‟da
Magrib, mereka berani berijtihad melaksanakan shalat Ashar,
kemudian meneruskan perjalanan, karena mereka memahami
kalimat Nabi semata-mata kiasan atas perintah agar dilaksanakan
sesegera mungkin. Ketika perbedaan pendapat ini dilaporkan
kepada Nabi, beliau membenarkan kedua jalan pikiran itu.
10. Perbedaan Dalam Mentarjih Nash
Jika ada 2 nash atau lebih yang tampaknya saling
bertentangan, para mujtahid menempuh 2 jalan:
mempertemukan dan mengamalkan kedua-duanya (al-jam‟u wa
al-taufiq). Kalau tidak memungkinkan, terpaksa memilih salah
satu yang terkuat (tarjih).
Macam-macam Tarjih pada nash yang saling bertentangan:
1. Terfokus pada sanad, mentarjih sanad mutawatir atas sanad
msyhur, dan mendahulukan rawi yang paling tahu & tsiqah.
2. Terfokus pad matan, dengan mentarjih larangan (nahy)
daripada suruhan (amr), mentarjih makna ashli (hakiki) daripada
makna kiasan (majazi).
3. Terfokus pada kandungan nash (madlul), dengan cara
mentarjih kandungan larangan (nahy) dari yang menunjukkan
boleh (ibahah).
4. Tarjih dengan dukungan faktor dari luar nash yang
bertentangan, seperti ada dalil pendukung dari ayat, hadis,
ijma‟, qiyas lainnya.
Contoh: Perbedaan cara shalat gerhana (kusuf), menurut Imam
Malik, Syafi‟i, Ahmad dan ulama Hijaz, shalat kusuf 2 rakaat dan
2x ruku‟ pada tiap raka‟at. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan
Jumhur ulama Kufah, caranya persis shalat „Ied & Jum‟at.
11. Perbedaan Qaidah Ushul & Dalil
Perbedaan mengenai KEHUJJAHAN IJMA‟ AHLU MADINAH,
Imam Malik meyakininya sebagai hujjah yang sah. Sedangkan
Abu Hanifah, Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa
perbuatan penduduk Madinah itu bukan hujjah, kecuali jika
sudah menjadi ijma‟ ummat. Akibatnya Menurut Imam Malik,
takbir pada shalat „Id 7x termasuk takbiratul ihram pada rakaat
pertama, dan 6x termasuk takbir bangkit dari sujud pada rakaat
kedua, karena orang Madinah berbuat demikian. Imam Malik
berpendapat, Zawil Arham seperti paman (saudara ayah) dan
pakcik (saudara ibu) tidak mendapat warisan berdasarkan amal
ahlu Madinah. Sedangkan Imam Ahmad, Abu Hanifah dll
berpendapat mereka berhak menerima warisan sesuai QS. Al-
Anfal: 75.
Perbedaan mengenai KEHUJJAHAN MAFHUM MUKHALAFAH
(lafaz yang mengandung pengertian bahwa yang dimaksud
adalah lawan dari yang disebutkan). Misal, sabda Rasul
Keterlambatan orang kaya membayar hutang adalah Zalim.
Mafhum mukhalafahnya, keterlambatan orang miskin dalam
membayar hutang adalah tidak zalim, alias boleh.
Jumhur mafhum mukhalafah dalil syara‟ dengan bersyarat.
Mazhab Hanafi mafhum mukhalafah tak dapat dijadikan dalil.
12. Perbedaan Qaidah Ushul & Dalil
Perbedaan dalam menghadapi pertentangan DALIL „AM dengan
DALIL KHASH, Jumhur berpendapat seluruh dalil „am statusnya
dhanni (tidak pasti) sehingga perlu dibawa kepada yang bersifat
khash dan qath‟i (pasti), selama memungkinkan. Hanafi
berpendapat dalil „am statusnya qath‟i, maka dapat diamalkan.
Misal, Jumhur ulama berpendapat nishb zakat tanaman adalah
5 wasaq (652,8 kg) sesuai hadis yang
mentakhsish hadis
Tanaman yang disiram hujan atau mata air atau tak perlu disiram
adalah 10%, sedangkan yang disiram dengan tenaga adalah 5%.
Sedangkan Abu Hanifah tidak mengakui batasan nishab sesuai
hadis pertama, karena hadis yg kedua walau umum tapi qath‟i.
Perbedaan dalam menghadapi pertentangan antara dalil yang
MUTHLAQ dengan MUQAYYAD. Jumhur ulama Jika
bertentangan antara nash muthlaq dengan muqayyad, maka
dibawa kepada muqayyad, jika memenuhi syarat dalam ushul
fiqh. Abu Hanifah berpendapat sebaliknya. Misal, berapa kali
susuan yang mengharamkan nikah? Abu Hanifah berpendapat
pengharaman tidak dikaitkan dengan jumlah kali susuan,
sesuai QS. Al-Nisa‟: 23 . Sedangkan Syafi‟i,
minimal susuan yg mengharamkan nikah, 5x isap sesuai hadis.
13. ULAMA AHLI HADIS
• Para ulama AHLI HADIS berpegang pada nash dan atsar, tidak
bersandar pada ra’yu kecuali terpaksa sekali. Mereka penduduk
Hijaz (Mekkah dan Madinah) yang dikepalai Sa‟ad bin Musayyab
yang lebih mengetahui hadis dan fiqh. Mereka tekun menghafal
atsar dan mengumpulkan fatwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Aisyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan
ketetapan qadhi Madinah. Dengan modal seperti itu mereka merasa
cukup dan tidak perlu menggunakan ra’yu. Hal ini disebabkan:
1. Terpengaruh oleh sikap pendahulu mereka seperti Abdullah bin
Umar yang menggunakan atsar dan tidak mau menggunakan
ra’yu.
2. Banyaknya atsar di kalangan mereka dan sedikitnya peristiwa baru
yang terjadi.
3. Terbelakangnya penduduk Hijaz. Jika dimintai fatwa tentang suatu
masalah, mereka merujuk Quran, lalu sunnah, dan kemudian atsar
sahabat. Jika tidak didapati hukumnya, baru menggunakan ra’yu
(itupun sedikit sekali), dan kadang berhenti memberi fatwa.
14. ULAMA AHLI RA’YU
• Para ulama AHLI RA‟YU ADALAH PENDUDUK Irak yang dikepalai
oleh Ibrahim An-Nakha‟i.
• Mereka berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ itu dapat dicerna
akal, mengandung mashlahat yang kembali kepada manusia, serta
didasarkan pada pokok yang kokoh dan alasan penetapannya. Maka
mereka mencari ‘illat dan hikmah disyari’atkannya suatu hukum, dan
mereka menjadikan hikmah berkisar bersama hukum, baik ada atau
tidak adanya. Adapun Sebab tersebarnya ra‟yu di Irak:
1. Terpengaruh dengan cara guru-guru mereka seperti Abdullah bin
Mas’ud yang mengikuti Umar dalam menggunakan ra’yu.
2. Mereka berpendapat bahwa Irak adalah kota yang beruntung
dengan sahabat, dimana Kufah dan Basrah sebagai pangkalan
militer Islam. Irak adalah sumber Syi’ah, tempat Khawarij dan
daerah terjadinya fitnah, disana banyak tersebar hadis palsu, hingga
para ulamanya mensyaratkan sangat ketat dalam menerima hadis.
Hal ini menjadikan hadis yang mereka miliki untuk dijadikan rujukan
sangat sedikit, maka tak ada jalan lain selain pakai ra’yu.
3. Masalah-masalah yang perlu diketahui hukumnya di Irak lebih
banyak daripada di Hijaz lantaran modernnya Irak, jadi butuh ra’yu.
15. KEISTIMEWAAN AHLI RA’YU
• Menghasilkan banyak khasanah cabang-cabang
fiqh meskipun banyak bersifat ifthiradhiyah
(hipotesis) dan khayalan, serta sedikit yang
waqi’i (masalah yang tengah terjadi).
• Sedikitnya perawi hadis karena syarat-syarat
yang harus dipenuhi begitu ketat.