1. Permasalahan Kebijakan Pemerintah dalam Pertanian
( Undang-undang Pokok AGRARIA)
Nama :
YULI MINIARTI D1B012013
SANDI WINDU PRASETYO D1B012026
UCA ADITIA SIHOTANG D1B012036
EKO HADI SANTOSO D1B012043
YUNI KHAIRATUN NIKMAH D1B012098
RINI ARIANI D1B011020
JAMES RICO SINAGA D1B011113
2. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Lima belas tahun setelah kemerdekaan, pada tanggal 24 September 1960 terbit Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) setelah
melalui proses panjang sejak tahun 1948. UUPA sejatinya dimaksudkan untuk berlaku sebagai
lex generalis (“undang-undang pokok”) bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya, yakni
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUPA terdiri dari 67 (enam puluh tujuh) pasal yang terdiri dari 58 (lima puluh delapan)
pasal dan 9 (sembilan) pasal khusus terkait ketentuan konversi. Di samping 10 (sepuluh) pasal
yang mengatur tentang dasar dan ketentuan pokok, maka pengaturan tentang tanah terdapat
dalam 53 (lima puluh tiga) pasal, sisanya, 4 (empat) pasal mengatur hal-hal di luar ketentuan
pokok dan pertanahan. Oleh karena dominasi pengaturan tentang pertanahan dalam UUPA, maka
dalam proses penerbitannya pernah diwacanakan tentang nama undang-undang ini. Iman
Soetiknjo dari Seksi Agraria UGM menyarankan namanya “UU Pertanahan”, dan karena reaksi
tersebut maka dalam perkembangannya ditambahkan pasal-pasal yang tidak hanya berkaitan
dengan tanah2.
Di dalam UUPA, ternyata masih terdapat beberapa aspek yang bermasalah, hal ini
mengindikasikan perlu adanya amandemen UUPA agar bisa menangani segala permasalahan
dalam segala aspek terutama di bidang Agraria Indonesia. Salah satu contoh adalah kebijakan
pemerintah dalam penggunaan lahan, yang salah satunya diakomodasi oleh UUPA. Kehadiran
pihak komersial dan industri dalam undang-undang tersebut semakin meningkatkan persaingan
pengambil alihan lahan yang tidak hanya memproduksi energi, pangan, dan air. Namun juga
sebagai lahan pembangunan bangunan dan gedung-gedung mewah termasuk sektor industri yang
menyebabkan tidak berlakunya UUPA.
3. Dengan adanya hal tersebut, oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas berbagai
permasalahan yang melibatkan UUPA, sehingga bisa dikoreksi sebagai bahan ajar mahasiswa
pertanian.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana seharusnya UUPA menyelesaikan masalah-masalah yang ada didalam
kebijakan pertanian dalam hal konversi lahan pertanian?
2. Mengapa UUPA tidak berlaku dalam lahan pembangunan bangunan pada sektor
industri ?
3. Mengapa kehadiran pihak komersial dan industry dapat meningkatkan persaingan
dalam penggunaan lahan ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui masalah-masalah yang ada didalam kebijakan pertanian dalam hal
konservasi lahan pertanian yang harus diselesaikan oleh UUPA.
2. Untuk mengetahui penyebab UUPA tidak berlaku dalam lahan pembangunan bangunan
pada sektor industri .
3. Untuk mengetahui kehadiran pihak komersial dan industry dapat meningkatkan
persaingan dalam penggunaan lahan.
4. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Snodgrass dan Wallace (1975) mendefenisikan kebijakan pertanian sebagai usaha
pemerintah untuk mencapai tingkat ekonomi yang lebih baik dan kesejahteraan yang lebih tinggi
secara bertahap dan kontinu melalui pemilihan komoditi yang diprogramkan, produksi bahan
makanan dan serat, pemasaran, perbaikan structural, politik luar negeri, pemberian fasilitas dan
pendidikan. Widodo (1983) mengemukakan bahwa politik pertanian adalah bagian dari politik
ekonomi di sektor pertanian, sebagai salah satu sektor dalam kehidupan ekonomi suatu
masyarakat.
Kebijakan pertanian menjelaskan serangkaian hukum terkait pertanian domestik dan
impor hasil pertanian. Pemerintah pada umumnya mengimplementasikan kebijakan pertanian
dengan tujuan untuk mencapai tujuan tertentu di dalam pasar produk pertanian domestik. Tujuan
tersebut bisa melibatkan jaminan tingkat suplai, kestabilan harga, kualitas produk, seleksi
produk, penggunaan lahan, hingga tenaga kerja.
Menurut penjelasan ini, politik pertanian merupakan sikap dan tindakan pemerintah atau
kebijaksanaan pemerintah dalam kehidupan pertanian. Kebijaksanaan pertanian adalah
serangkaian tindakan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk
mencapai tujuan tertentu , seperti memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi
lebih produktif, produksi dan efesien produksi naik, tingkat hidup petani lebih tinggi, dan
kesejahteraan menjadi merata. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sarma (1985).
Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan umum politik pertanian di Indonesia adalah untuk
memajukan sektor pertanian, yang dalam pengertian lebih lanjut meliputi:
1. Peningkatan produktivitas dan efesiensi sektor pertanian
2. Peningkatan produksi pertanian
3. Peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan petani, serta pemerataan tingkat pendapatan.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai hukum agraria mengeksplorasi fungsi
sosial yang secara umum dirumuskan sebagai berikut :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa;
5. 2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA kebijakan-kebijakan pertanahan di era
pemerintahan kolonial Belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era
pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan
prinsip domein verklaringnya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya
berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik
negara/ milik penjajah Belanda).
Hukum agraria Agrariche Wet adalah peraturan pertanahan yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Belanda seperti Eigendom recht, erfacht recht, postal recht dan lain-lain peraturan
yang kesemuanya bertujuan untuk lebih menguatkan bangunan hukum agraria pada masa itu,
sehingga jelas perbedaan antara hak-hak atas tanah yang berdasarkan hukum adat dan dilain
pihak berdasarkan hukum barat.
Artinya hukum agraria Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dibentuk dalam rangka
melakukan perubahan, pembaharuan, dan terpenting adalah supremasi hukum. Agar hak-hak
rakyat lebih terjamin dan seperti yang dijelaskan dalam perintah UUD 45 untuk semata-mata
kemakmuran rakyat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Monke dan Pearson (1989), politik pertanian dalah campur tangan pemerintah di
sektor pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan efesiensi yang menyangkut alokasi sumber
daya untuk dapat menghasilkan output nasional yang maksimal dan memeratakan pendapatan,
yaitu mengalokasikan keuntungan pertanian antargolongan dan antardaerah, keamanan
persediaan jangka panjang. Dalam hal ini, kebijakan pertanian dibagi menjadi 3 kebijakan dasar,
antara lain:
1. Kebijakan komoditi yang meliputi kebijakan harga komoditi, distorsi harga komoditi,
subsidi harga komoditi, dan kebijakan ekspor.
2. Kebijakan faktor produksi yang meliputi kebijkan upah minimum, pajak dan subsidi
faktor produksi, kebijakan harga faktor produksi, dan perbaikan kualiatas faktor produksi.
3. Kebijakan makro ekonomi yang dibedakan menjadi kebijakan anggaran
6. Mubyarto (1987) menyebutkan bahawa politik pertanian pada dasarnya merupakan
kebijakan pemerintah untuk memperlancar dan mempercepat laju pembangunan pertanian, yang
tidak saja menyangkut kegiatan petani, tetapi juga perusahaan-perusahaan pengangkutan,
perkapalan, perbankan, asuransi, serta lembaga-lembaga pemerintah dan semi pemerintah yang
terkait dengan kegiatan sektor pertanian. Politik pertanian mempunyai kaitan sangat erat dengan
pengembangan sumber daya manusia, peningkatan efesiensi, serta pembangunan pedesaan yang
menyangkut seluruh aspek-aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya dari penduduk pedesaan.
Sejalan dengan pendapat Schuh (1975). Mubyarto menyebutkan bahwa lingkup politik pertanian
meliputi:
1. Politik stabilitas jangka pendek
2. Peningkatan pertumbuhan pertanian
3. Pengaturan dan pengarahan perdagangan
4. Pengarahan dan peningkatan mobilitas faktor-faktor produksi pertanian
5. Politik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengembangan sumber daya
manusia di bidang pertanian.
7. BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Permasalahan Konversi Lahan dalam UUPA
Lahirnya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960
merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Dengan lahirnya UU
No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan
kolonial belanda mulai ditinggalkan.
UUPA merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya
perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya
pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan pemerintahan pada saat itu
lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana telah
digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Lahirnya UU ini sudah lama dicita-citakan pemerintah yaitu untuk
merombak seluruh sistem dan filosofi Agraria di Indonesia.
Timpangnya penguasaan lahan antara pengusaha dan petani tidak sesuai dengan esensi
UUPA. Dalam pasal 7 UUPA dinyatakan bahwa penguasaan tanah yang melampaui batas
maksimum tidak diperkenankan oleh pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang No. 56 Prp
Tahun 1960 tentang penetapan luas penguaan lahan, batas maksimum penguasaan tanah tersebut
adalah 25 ha. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengambil alih penguasaan lahan yang
melampaui batas oleh kelompok pengusaha tersebut sebagaimana yang diatur dalam pasal 17
ayat (3) UUPA.
Penguasaan lahan oleh hanya sekelompok pengusaha mengakibatkan terjadinya polarisasi
kekayaan di Indonesia dan memiskinkan kaum tani. Polarisasi kekayaan dan kemiskinan kaum
tani merupakan hal yang membuktikan bahwa tujuan utama UUPA belum ‘tercapai. Tujuan
utama UUPA sebagai turunan pasal 33 UUD 1945 adalah untuk menciptakan sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Di sisi lain, ini juga tidak sesuai dengan prinsip tanah untuk tani dalam
8. UUPA. Realitas tersebut menunjukan bahwa UUPA sebagai transformasi sistem pertanahan
yang feodal menjadi sistem pertanahan bagi bangsa Indonesia belum terwujud dalam kehidupan
petani.
Peningkatan konversi lahan pertanian membawa implikasi terhadap berbagai sektor
kehidupan berbangsa. Dari sisi ekonomi, hal ini akan menyebabkan bangsa ini kehilangan devisa
negara dan tidak mampu menciptakan ketahanan pangan nasional. Akibatnya, Indonesia harus
mengimpor pangan dari negara lain. Suatu hal yang sangat ironis karena Indonesia adalah negara
yang memiliki potensi pertanian yang besar tapi harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan
pangannya. Dari sisi sosial, hal ini akan meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan di
Indonesia. Pertanian merupakan salah satu sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Hal ini akan menciptakan pengangguran yang pada akhirnya meningkatkan angka kemiskinan di
Indonesia.
Pemusatan penguasaan lahan pertanian kepada kelompok tertentu yang berbanding
terbalik dengan penguasaan tanah oleh petani jelas bertentangan dengan substansi UUPA. Hal ini
disebabkan UUPA telah mengatur mengenai batas minimum kepemilikan lahan untuk satu
keluarga petani. Bahkan, batas kepemilikan minimum tanah untuk petani merupakan salah satu
asas yang mendasari UUPA. Untuk mengatasi masalah kepemilikan tanah petani ini maka perlu
diadakan sebuah reformasi agraria. Dalam kondisi sosiologis petani sekarang ini maka reformasi
agrarian tersebut dapat dikaitkan dengan substansi pasal 15 dan pasal 11 ayat 2 UUPA yang
menyatakan bahwa pengelolaan tanah harus memperhatikan dan melindungi pihak ekonomi
lemah. Dalam konteks ini, petani merupakan pihak ekonomi lemah yang perlu untuk
diperdayakan dan diproteksi.
Menyadari hal tersebut maka pemerintah sebagai penyelenggara negara harus mengambil
langkah positif untuk merevitalisasi peran petani sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 2
ayat (2) UUPA. Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melalui
pembentukan lembaga bank tanah untuk pertanian. Bank tanah berfungsi menetapkan zona-zona
pertanian yang tidak dapat dikonversi menjadi lahan non pertanian. Bank tanah ini dapat
dibentuk sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Konsekuensi dari bentuk tersebut adalah
pemerintah daerah harus berperan dalam pemodalan maupun operasionalisasi bank tanah. Hal ini
sesuai dengan isi pasal 14 ayat (2) UUPA.
9. Operasionalisasi bank tanah dapat dilaksanakan melalui pertama, penghimpunan tanah.
Tanah-tanah yang dihimpun adalah tanah negara, tanah-tanah terlantar, tanah guntai dan
mengkonsolidasi lahan yang telah digunakan untuk kepentingan non pertanian di zona pertanian.
Bank tanah dapat menghimpun 12.418.0563 ha tanah terlantar dan didistribusikan kepada petani-
petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar. Jika rata-rata satu keluarga tani
mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap maka terdapat 6.209.028 keluarga petani yang akan
mendapatkan sumber penghidupan yang layak. Disamping itu, ketahanan pangan nasional akan
tercapai. Kedua, melakukan zonasi. Pengadaan zonasi ini sesuai dengan substansi pasal 14 ayat 1
UUPA. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pemerintah harus membuat rencana umum
persediaan dan peruntukan tanah. Dalam melakukan zonasi, bank tanah dapat bekerjasama
dengan Dinas Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Penentuan zonasi ini
dengan menggunakan beberapa indikator yaitu luas lahan, tingkat kesuburan, ketersediaan irigasi
dan jumlah petani di daerah tersebut. Ketiga, distribusi lahan pertanian. Dalam proses distribusi,
petani-petani kecil dan penggarap harus diutamakan. Hal ini bertujuan meningkatkan
kesejahteraan para petani kecil dan penggarap.
Eksistensi bank tanah sebagai implementasi UUPA di bidang pertanian dapat
memberikan beberapa keuntungan. Adapun keuntungan tersebut adalah meningkatkan
kesejahteraan petani melalui penguasaan lahan pertanian yang lebih luas, merevitalisasi sektor
pertanian sebagai penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, mewujudkan ketahanan pangan
nasional dan upaya nyata melanjutkan program land reform yang sempat terhenti pada masa orde
baru.
Revitalisasi peran petani melalui penguasaan lahan pertanian yang ideal merupakan
bentuk implementasi UUPA. UUPA merupakan politik agraria nasional yang bertujuan
menciptakan kemakmuran rakyat khususnya petani. Implementasi UUPA secara konsekuen dan
holistik dalam kondisi sosial ekonomi petani saat ini merupakan sebuah keharusan.
10. 3.2 Penyebab UUPA tidak berlaku dalam lahan pembangunan bangunan pada sektor
industri
Jika dikaji lebih dalam, tidak efektifnya peraturan yang melarang alih fungsi lahan
pertanian terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kontradiktif, dalam arti di
satu pihak melarang adanya alih fungsi lahan pertanian, tetapi dilain pihak kebijakan
pembangunan sektor industri, infrastruktur, kawasan industri ataupun kawasan
perumahan pemukiman, justru mendorong terjadinya ahli fungsi lahan. Kebijakan yang
kontradiktif, tidak saling mendukung pada tataran implementasi justru menimbulkan
masalah bukan sebaliknya. Pernyataan ini tentu sangat memprihatinkan mengingat luas
tanah itu sendiri terbatas padahal intensitas pembangunan sangat tinggi.
3.3 Kehadiran pihak komersial dan industri dapat meningkatkan persaingan dalam
penggunaan lahan.
Pembangunan sektor industri sebagai bagian dari proses pembangunan nasional
dalam menigkatkan pertumbuhan ekonomi telah membawa perubahan terhadap
kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut meliputi dampak pembangunan industri
terhadap sosial ekonomi masyarakat dan lingkungan sekitar industri. Dampak
pembangunan industri terhadap aspek sosial ekonomi meliputi mata pencaharian
penduduk dari sektor pertanian menjadi sektor industri dan perdagangan, dampak lainnya
terbukanya kesempatan kerja yang lebih luas baik bagi masyarakat setempat maupun
masyarakat pendatang. Dampak industri terhadap aspek sosial budaya antara lain
berkurangnya kekuatan mengikat nilai dan norma budaya yang ada karena masuknya
nilai dan norma budaya baru yang dibawa oleh masyarakat pendatang atau migran.
Dampak pembangunan industri terhadap linkungan dapat memberi pengaruh negatif
terhadap kelangsungan hidup masyarakat.
Pembangunan industri telah memberikan pengaruh secara langsung dan tidak
langsung, pengaruh langsungnya adalah berkurangnya lahan pertanian, sedangkan
pengaruh tidak langsungnya adalah bergesernya mata pencaharian penduduk setempat ke
bidang industri dan jasa/perdagangan. Pengaruh langsung dan tidak langsung tersebut
juga ada yang positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah menciptakan
keanekaragaman kehidupan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru yang dapat
11. meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedangkan pengaruh negatifnya adalah munculnya
kecemburuan sosial dari pemuda setempat karena adanya persaingan dalam mendapatkan
pekerjaan. Pengaruh negatif lainnya adalah berkurangnya lahan pertanian yang
menyebabkan petani yang hanya memiliki sedikit lahan dan tidak memiliki keterampilan
serta tingkat pendidikan yang rendah menjadi tersingkir
12. BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan kelompok kami maka dapat disimpulkan bahwa :
Revitalisasi peran petani melalui penguasaan lahan pertanian yang ideal merupakan
bentuk implementasi UUPA. UUPA merupakan politik agraria nasional yang bertujuan
menciptakan kemakmuran rakyat khususnya petani. Implementasi UUPA secara konsekuen dan
holistik dalam kondisi sosial ekonomi petani saat ini merupakan sebuah keharusan.
Tidak efektifnya peraturan yang melarang alih fungsi lahan pertanian terutama
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kontradiktif, Kebijakan yang kontradiktif, tidak
saling mendukung pada tataran implementasi justru menimbulkan masalah bukan sebaliknya.