Korupsi di kalangan elit politik merupakan masalah serius yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Beberapa faktor penyebab korupsi antara lain perilaku individu yang tamak, lemahnya pengawasan, serta peraturan perundang-undangan yang kurang memadai. Korupsi berdampak buruk pada pembangunan ekonomi, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat. Upaya pencegahan dan pemberantasan k
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
KORUPSI DI KALANGAN ELIT
1. i
KORUPSI DI KALANGAN ELIT POLITIK
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan yang
diampu oleh ___________
Nousseva Renna
PRODI PENDIDIKAN TKNIK BANGUNAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2017
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
petunjuk dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini.
Pada makalah kali ini kami akan membahas mengenai Agregat Sebagai Bahan
Bangunan.
Makalah ini tidak mungkin selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak ___________selaku pengampu Mata Kuliah Kewarganegaraan.
2. Teman-teman Prodi Pendidikan Teknik Bangunan dan teman-teman dari prodi
jurusan lainnya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak
demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Akhir kata penulis berharap
semoga makalah tentang Korupsi Dikalangan Elit Politik ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi bagi pembaca.
Jakarta,1 Desember 2017
Nousseva Renna
3. iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
2.1 Pengertian Korupsi............................................................................. 3
2.2 Pola-Pola Korupsi .............................................................................. 3
2.3 Faktor Penyebab Korupsi................................................................... 3
2.3.1 Aspek Perilaku individu......................................................... 5
2.3.2 Aspek Organisasi Kepemerintahan ........................................ 6
2.3.3 Aspek Peraturan Perundang-Undangan ................................. 6
2.3.4 Aspek Pengawasan................................................................. 7
2.4 Ciri –Ciri dan Jenis Korupsi............................................................... 7
2.4.1 Ciri-Ciri Korupsi .................................................................... 7
2.4.2 Jenis Korupsi.......................................................................... 8
2.5 Contoh Kongkrit Korupsi................................................................. 10
2.6 Dampak Korupsi. ............................................................................. 11
2.6.1 Demokrasi ............................................................................ 11
2.6.2 Ekonomi ............................................................................... 11
2.6.3 Kesejahteraan Umum Negara............................................... 12
2.6.4 Dampak Lingkungan............................................................ 12
2.6.5 Dampak pada Kesehatan dan Keselamatan Manusia ........... 12
2.6.6 Dampak Pada Inovasi........................................................... 12
2.6.7 Erosi Budaya ........................................................................ 13
2.6.8 Menurunnya Tingkat Kepercayaan Kepada Pemerintah...... 13
2.6.9 Kerugian Bagi Perusahaan Yang Jujur................................. 13
4. iv
2.7 Solusi Penanggulangan Korupsi....................................................... 13
2.7.1 Preventif. .............................................................................. 13
2.7.2 Represif ................................................................................ 14
2.8 Alur Penanganan Terhadap Tindak Korupsi.................................... 15
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 16
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 16
3.2 Saran................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 17
5. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi sudah menjadi salah satu persoalan yang amat berat di
Indonesia atau dapat disebut sebagai wabah penyakit yang menjangkit
Indonesia. Mulai dari pejabat negara, sampai penjabat daerah. Bahkan banyak
wakil rakyat, yang sudah dipercaya oleh rakyat justru melakukan tindak
korupsi dan mengambil hak-hak rakyatnya. Sungguh menjadi suatu hal yang
memprihatinkan dan bahkan tidak etis ketika ada elite politik atau pejabat
yang terjerat kasus korupsi.
Saat ini pejabat negara yang mempunyai integritas tingi masih sangat
minim dan suit untuk dijumpai. Sehingga tanggungjawabnya untuk
mensejahterahkan rakyat telah banyak dikesampingkan dan terabaikan. Seolah
mereka hanya haus dalam kekuasaan, jabatan, harta, tahta, dan wanita. Alhasil
banyak yang melakukan tindakan korupsi. Hal inilah yang dinamakan
degradasi moral kaum elit politik. Dimana tiada kesadaran dari para penguasa
dalam memimpin rakyatnya. Seolah mereka apatis terhadap apapun yang
dialami oleh rakyatnya.
Seperti yang telah kita ketahui, korupsi telah menjadi kebiasaan bagi
para kalangan elit politik. Bahkan kini korupsi sudah mulai mendesentralisasi
sampai ke pejabat tingkat daerah atau lokal. Korupsi biasanya dimulai dengan
semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan
proses birokrasi relative lambat, sehingga setiap orang menginginkan jalan
pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara
memberikan uang pelican (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus
menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat,
sehingga timbul golongan pegawai yang memperkaya diri sendiri.
Meningkatnya kasus korupsi dari tahun ketahun ini juga
mengindasikan bahwa masih lemahnya penanganan kasus korupsi yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sudah berapa banyak kasus korupsi
yang belum terselesaikan bahkan tidak ditangani secara serius oleh
6. 2
pemerintah. Begitu juga dengan elit politik seolah-olah tidak menyadari
bahwa korupsi itu merupakan perbuatan yang sangat buruk dan merusak citra
bangsa dan negara dimata dunia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka dapat
diambil perumusan masalahnya, yaitu :
1. Apa definisi dari korupsi?
2. Bagaimana bentuk pola-pola korupsi di kalangan politik?
3. Apa sajakah faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik?
4. Bagaimanakah ciri-ciri dan jenis-jenis korupsi?
5. Bagaimana contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia?
6. Bagaimana dampak terhadap korupsi?
7. Bagaimanakah solusinya?
8. Bagaimana alur penanganan terhadap tindak korupsi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari korupsi.
2. Mengetahui pola-pola korupsi di kalangan politik.
3. Mengetahui faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik.
4. Mengetahui ciri-ciri dan jenis-jenis korupsi.
5. Mengetahui contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia.
6. Mengetahui dampak dari korupsi.
7. Mengetahui solusi untuk mengatasinya.
8. Mengetahui alur penanganan terhadap tindak korupsi.
7. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt,
yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang
berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah dan jebol. Korupsi
didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau
politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, uang
ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga menimbulkan
kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, tau pribadi lainnya.
2.2 Pola-Pola Korupsi
Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan
oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah
maupun swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi :
1. Pola konvensional,
2. Pola upeti,
3. Pola komisi,
4. Pola menjegal order,
5. Pola perusahaan rekanan,
6. Pola kuitansi fiktif dan
7. Pola penyalahgunaan wewenang.
Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat
dibedakan dalam tiga wilayah besar yaitu :
1. Pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang
bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap,
mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana
(mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non
8. 4
politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi
kedudukannya.
2. Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan
istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan
Walikota/ Bupati atau berbentuk peraturan daerah atau keputusan
Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama
dengan kawan atau kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya
(nepotis).
3. Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk
mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya.
Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk
menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak
mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang
sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang
sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang
mendukung telah mendapatkan kompensasi.
2.3 Faktor Penyebab Korupsi
Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk
melakukan penyimpangan.
2. Belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum
adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.
Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut dari setiap
penemuan pelanggaran yang masih lemah oleh pimpinan instansi. Terbukti
dengan banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang
jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan
penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu
kurang memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah
9. 5
kepada masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar
pelengkap laporan kepada atasan.
Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi
adalah:
1. Aspek prilaku individu organisasi,
2. Aspek organisasi, dan
3. Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya
korupsi adalah:
1. Motif, baik motif ekonomi maupun motif politik,
2. Peluang, dan
3. Lemahnya pengawasan.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis
mengelompokkan empat aspek yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu:
2.3.1 Aspek Perilaku individu
Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia
melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat
pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan.
Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain :
a. Sifat tamak manusia,
b. Moral yang kurang kuat menghadapi godaan,
c. Penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar,
d. Kebutuhan hidup yang mendesak,
e. Gaya hidup konsumtif,
f. Tidak mau bekerja keras, dan
g. Ajaran-ajaraan agama kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro
(2004) korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi
dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan
oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup, namun
korupsi dilakukan oleh orang kaya berpendidikan tinggi.
10. 6
2.3.2 Aspek Organisasi Kepemerintahan
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas,
termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi
yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya
memberi adil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau
kesempatan untuk terjadinya korupsi. Bilamana organisasi tersebut tidak
membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi,
maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi
dari sudut pandang organisasi ini meliputi:
a. Kurang adanya teladan dari pimpinan
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
c. Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, dan
d. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
2.3.3 Aspek Peraturan Perundang-Undangan
Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam
peraturan perundang-undangan, dapat mencakup:
a. Adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya
menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden,
b. Kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai,
c. Peraturan kurang disosialisasikan,
d. Sangsi yang terlalu ringan,
e. Penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, dan
f. Lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya)
dalam melakukan praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan
tetapi melalui suatu konspirasi dengan para pengusaha atau dengan
kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender
pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham
kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya
bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan
DPRD, Bupati/Walikota membuat kebijakan yang koruptif yang hanya
11. 7
menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga
maupun kelompoknya sendiri.
Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha
kepada pejabat publik yang berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan
berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil
membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang berlawanan
dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-
sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini
dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika
aspek peraturan perundang-undangan sangat lemah/hanya menguntungkan
pihak tertentu saja.
2.3.4 Aspek Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen,
Bawasda) kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya :
a. Adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi,
b. Kurangnya profesionalisme pengawas,
c. Kurang adanya koordinasi antar pengawas,
d. Kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan
oleh pengawas sendiri. Hal ini sering kali para pengawas tersebut
terlibat dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan
pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga
lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk pengawasan
APBD yang sarat dengan korupsi.
2.4 Ciri –Ciri dan Jenis Korupsi
2.4.1 Ciri-Ciri Korupsi
Menurut Syed Hussein Alatas, ciri-ciri korupsi adalah sebagai berikut :
Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
Korupsi melibatkan elemen kewajibab dan keuntungan timbal balik.
12. 8
Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
menyelubung perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran
hukum.
Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk
memengaruhi keputusan-keputusan itu.
Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan
publik atau masyarakat umum.
Setiap bentuk korupsi adalah suatu pernghiatan kepercayaan.
2.4.2 Jenis Korupsi
Korupsi Aktif
a. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian.
b. Memberi harian kepada pegawai Negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya atau oleh pemberi hadian atau janji dianggap tidak
melekat.
c. Percobaan pembatuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana korupsi.
d. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena berhubung dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
e. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili.
f. Pemborongan, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam
keadaan perang.
13. 9
g. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI
atau Kepolisian negara RI melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
h. Pegawai yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau membiarkan uang atau surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut.
i. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang sengaja
memalsukan buku-buku atau daftar-daftar khusus pemeriksaan
administrasi.
Korupsi pasif
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan tentara
nasional Indonesia, atau kepolisian negara RI yang membiarkan
perbuatan curang.
c. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal deketahui atau patut diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji melkukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya, atau sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
d. Hakin yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadia atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.
14. 10
2.5 Contoh Kongkrit Korupsi
Korupsi APBD
Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
adalah pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja daerah dalam
periode tertentu (1 tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalah sebagai
pedoman pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk satu
periode. Selanjutnya, sebelum anggaran dijalankan harus mendapat
persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsi anggaran juga
sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan publik.
Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran
merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri
(Sopanah & Wahyudi, 2004).
Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD
terdapat perubahan kondisi yang menimbulkan banyak masalah.
Pertama, sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah.
Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan. Ketiga,
esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh pemerintah
pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih dikuasai
oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Keempat,
ternyata DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk
melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan
dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat
hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah
karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras
untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah
pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki
kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun
ke luar negeri.
Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan.
Pertama, adanya jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk
meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah.
15. 11
Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih
menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun
meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu
melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh
karena itu tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di
banyak daerah bahkan daerah yang kaya sekalipun.
Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD
dan menyusun anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya
korupsi APBD karena tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika
rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi. Dengan demikian kembali pada
kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka kemungkinan
terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran
tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.
2.6 Dampak Korupsi
2.6.1 Demokrasi
Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan
proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan badan legislative
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan.
Korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum, dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam
pelayanan masyarakat. Korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan
nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
2.6.2 Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongos manajemen
dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian
atau karena penyelidikan. Ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat
membuat aturan baru dan hambatan baru yang menyebabkan inflasi
16. 12
ongkos niaga. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari
persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan
yang tidak efisien. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Mengurangi kualitas pelayanan pemerintah dan infrastruktur dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
2.6.3 Kesejahteraan Umum Negara
Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Contohnya
politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun
merugikan perusahaan kecil. Politikus ini mengembalikan pertolongan
kepada peruahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada
kampanye pemilu mereka.
2.6.4 Dampak Lingkungan
Korupsi daam pengadaan barang dan jasa dapat mengakibatkan
dampak buruk bagi lingkungan. Karena proyek-proyek yang dikerjakan
biasanya tidak mengikuti standarisasi lingkungan negara tersebut. Akibat
dari penolakan mengikuti standarisasi tersebut akan berdampak pada
kerusakan lingkungan dalam jangka panjang dan tentunya berimplikasi
pada tingginya resiko masalah kesehatan.
2.6.5 Dampak pada Kesehatan dan Keselamatan Manusia
Hal tersebut terjadi akibat kualitas lingkungan yang buruk,
penanaman modal yang anti lingkungan atau ketidakmampuan
memenuhi stardarisasi kesehatan dan lingkungan. Korupsi menyebabkan
kualitas pembangunan buruk yang berdampak pada kerentanan
bangunan sehingga muncul resiko korban.
2.6.6 Dampak Pada Inovasi
Korupsi membuat kurangnya kompetisi yang akhirnya mengarah
kepada kurangnya daya inovasi. Perusahaan yang bergantung pada
korupsi tidak akan menggunakan sumber dayanya untuk melakukan
inovasi, dan memicu perusahaan yang tidak melakukan korupsi untuk
17. 13
tidak merasa harus menanamkan modal berbentuk inovasi karena
korupsi telah membuat mereka tidak mampu mengakses pasar.
2.6.7 Erosi Budaya
Ketika orang menyadari ketidakjujuran pejabat publik serta
lemahnya penegakan hukum bagi pelaku korupsi, akan menyebabkan
masyarakat meninggalkan budaya kejujuran dengan sendirinya dan
membentuk kepribadian masyarakat yang tamak. Hal ini juga terjadi
pada pelaku bisnis yang akan menyadari bahwa menarwarkan harga dan
kualitas yang kompetitif saja tidak akan cukup memenuhi persyarakat
sebagai pemenang tender.
2.6.8 Menurunnya Tingkat Kepercayaan Kepada Pemerintah
Ketika orang menyadari bahwa pelaku korupsi tidak dijatuhi
hukuman, mereka akan menilai bahwa pemerintah tak dapat dipercaya.
Kemudian secara moral, masyarakat seakan mendapat pembenaran atas
tindakannya mencurangi pemerintah karena dianggap tidak melanggar
nilai-nilai kemanusiaan.
2.6.9 Kerugian Bagi Perusahaan Yang Jujur
Jika peserta yang melakukan korupsi tidak mendapatkan hukuman,
hal ini menyebabkan peserta yang jujur akan mengalami kerugian karena
kehilangan kesempatan melakukan bisnisnya. Meskipun hasil
pekerjaannya jauh lebih baik dibanding perusahaan yang korupsi.
2.7 Solusi Penanggulangan Korupsi
Ada beberapa solusi penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya
preventif maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah
sebagai berikut :
2.7.1 Preventif.
a. Membangun etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah
maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik
pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
18. 14
b. Memulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk
menghindari korupsi. Karena ini adalah cara yang sederhana tapi
sulit untuk dilakukan.
c. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan
pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan
swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakkan wibawa dan
integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan
yang diberikan oleh wewenangnya.
d. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri
setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai
bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka
terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
e. Pimpinan harus memberi teladan. Karena kewajiban seorang
pemimpin adalah memberi teladan yang baik bagi yang di pimpin.
Seorang pemimpin harus berupaya memikirkan solusi korupsi yang
sudah menjadi tradisi klasik di tanah air.
f. Menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan
pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik
sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang
terbaik.
g. Memberi pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini. Bagi kalangan
pendidik, peran mereka sangat penting dalam menanamkan prinsip
untuk tidak melakukan korupsi dari sekolah. Sikap, prilaku, mental
dan karakternya harus dibangun dan dikembangkan dari awal agar
tidak terjadi penyimpangan. Dengan karakter yang kuat dan
mentalitas yang sarat dengan nilai moral religius akan tumbuh tunas
harapan generasi masa depan yang bersih dari praktek-praktek
korupsi.
2.7.2 Represif
a. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi. Dengan adanya
penayangan ini maka secara langsung koruptor tersebut akan dilihat
19. 15
oleh masyarakat luas sehingga muncul rasa malu baik dari dirinya
atau keluarganya. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi koruptor-
koruptor yang lain.
b. Pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat. Kekayaan pejabat harus
dipantau oleh lembaga khusus, setiap beberapa periode. Proses
pencatatan terhadap kekayaan pejabat ini bisa berupa uang tunai,
harta benda atau investasi berupa perhiasan, tanah dan lain lain. Ini
bertujuan agar jika ada kepemilikan yang mencurigakan harus segera
ditelusuri.
c. Penegakan hukum. Para koruptor perlu diberi hukuman seberat
beratnya yang membuat mereka jera. Para pelaku hukum malah
memanfaatkan hukum itu sendiri untuk mencari keuntungan pribadi.
Munculah istilah mafia hukum, yakni mereka yang diharapkan
mampu menegakkan mampu menegakkan masalah hukum malah
mencari hidup dari penegakan hukum tersebut.
2.8 Alur Penanganan Terhadap Tindak Korupsi
Dalam tindak korupsi terutama dalam penangannya tentu memiliki alur
adapun berikut alur penanganan terhadap tindak korupsi
Tersangka
Pemrosesan
penyidikan,
penyelidikan, dan
penuntutanolehKPK
Penyitaan seluruh harta
milik koruptor (hanya harta
yang berates namakan
koruptor yang disita)
Pemberian vonis oleh
hakim tripikor
Menjalani masa hukuman di penjara dan
pengasingan koruptor di Kampung
Koruptor yang diawasi dan dilaksanakan
Kementrian Hukum dan HAM
Memasukan koruptor
kedaam catatan black list
of corruptor
20. 16
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Korupsi telah menjadi kebiasaan bagi para kalangan elit politik. Bahkan
kini korupsi sudah mulai mendesentralisasi sampai ke pejabat tingkat
daerah/lokal. Korupsi biasanya dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-
usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat,
sehingga setiap orang menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan
imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok).
Tujuh pola korupsi yang sering dilakukan yaitu pola konvensional, pola
upeti, pola komisi, pola menjegal order, pola perusahaan rekanan, pola kuitansi
fiktif dan pola penyalahgunaan wewenang.Terjadinya korupsi disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu aspek prilaku individu organisasi, aspek organisasi, aspek
masyarakat tempat individu dan organisasi berada, motif, baik motif ekonomi
maupun motif politik, peluang, dan lemahnya pengawasan. Upaya
penanggulangan korupsi dapat dilakukan dengan cara Preventif maupun Represif.
Kasus korupsi telah merajalela dan menembus segala kehidupan. Hampir
tidak ada yang bisa dilakukan seseorang tanpa suapan serta mementingkan
kelompoknya diatas dari yang lain. Perilaku korupsi yang dilakukan elit politik
pada saat ini, sangat berdampak negatif terhadap kesejateran masayarakat, yang
berdampak negatif pada semua sisi, kemiskinan, kesehatan, pendidikan,
pengangguran, infrastruktur, dan lain-lain. Yang masih membutuhkan perhatian
dan penanganan secara serius.
3.2 Saran
Oleh karena itu kita harus menghindari dan menghentikan segala tindakan
korupsi sedari dini, mulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk
menghindari korupsi. Kemudian dapat dilakukan pelajaran pendidikan anti
korupsi sejak dini. Serta segala aspek harus berusaha untuk menghentikan
tindakan korupsi, kesadaran perlu ditingkatkan baik dalam diri sendiri,
masyarakat, maupun pemerintah. Semua aspek harus bersama-sama berusaha
menghilangkan korupsi.