Menanti wajah baru pemerintahan Indonesia saat ini tengah menanti babak baru, menunggu siapa yang akan menjadi juru kemudi bagi perjalanan nasib bangsa ini ke depan. 9 Juli merupakan fase determinan yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia selama 5 tahun, 10 tahun ke depan, atau bahkan mungkin untuk kurun waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, energi yang tercurah dalam proses kampanye terbuka yang dimulai sejak 4 Juni ini seharusnya tidak habis sia-sia, semata-mata hanya untuk menampilkan visi misi abstrak yang mungkin tidak akan pernah menemukan wujudnya di dalam pemerintahan mendatang.
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Menata ulang kabinet 2014 2019 ichwan- 2014_
1. Menata Ulang Kabinet: 2014-2019 (Siapa Berani?) Ichwan Santosa Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia E-mail: ichwan_kudo@yahoo.com Menanti wajah baru pemerintahan Indonesia saat ini tengah menanti babak baru, menunggu siapa yang akan menjadi juru kemudi bagi perjalanan nasib bangsa ini ke depan. 9 Juli merupakan fase determinan yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia selama 5 tahun, 10 tahun ke depan, atau bahkan mungkin untuk kurun waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, energi yang tercurah dalam proses kampanye terbuka yang dimulai sejak 4 Juni ini seharusnya tidak habis sia-sia, semata-mata hanya untuk menampilkan visi misi abstrak yang mungkin tidak akan pernah menemukan wujudnya di dalam pemerintahan mendatang. Proses politik yang terjadi tidak bisa berhenti pada wacana siapa mendapat apa dan bagaimana pada level top saja. Presiden tidak akan bekerja sendiri. Presiden memiliki mesin pemerintahan yang secara yuridis pembentukan, penunjukan, dan penyusunannya berada di tangannya, yaitu struktur dan konfigurasi kabinet. Pemetaan struktur dan konfigurasi kabinet yang merefleksikan visi misi pemerintah terpilih perlu dimunculkan. Hal ini tentu akan memberikan gambaran yang lebih riil mengenai fokus dan kapasitas kinerja pemerintah ke depan.
Selama 16 tahun ini, setidaknya ada dua titik lemah dari pembentukan kabinet yang (katanya) presidensial. Pertama, struktur kementerian yang berubah-ubah dan senantiasa bertambah tanpa disertai dengan pemetaan kebutuhan berdasarkan sebuah kajian akademik yang komperehensif, jelas, dan terukur. Kedua, konfigurasi (susunan) menteri yang sangat politis dimana mayoritas kabinet diisi oleh perwakilan partai politik. Sistem multi partai yang berimplikasi terhadap penyebaran kekuasaan di banyak partai akhirnya memunculkan koalisi dagang sapi. Maka selanjutnya, struktur
2. 2
dan konfigurasi kabinet hanya merefleksikan politik bagi-bagi kekuasaan. Struktur kabinet dibentuk untuk mengakomodir nafsu kekuasaan dari partai politik peserta koalisi. Implikasinya, terciptalah postur pemerintah pusat yang semakin gemuk, kaya struktur namun miskin fungsi.
Politik transaksional ini pada akhirnya memunculkan tiga permasalahan, yaitu, pertama, duplikasi dan tumpang tindih tugas dan fungsi dalam kabinet akibat proliferasi kelembagaan yang tidak terbendung (Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan LAN RI, 2013), kedua, inefisiensi anggaran, hasil evaluasi anggaran tahun 2012 oleh Kementerian Keuangan mengungkapkan adanya inefisiensi anggaran belanja pemerintah pusat pada 2012 mencapai Rp 72 triliun (www.jurnalparlemen.com, 2013). Inefisiensi terjadi pada dua bagian, yaitu bagian pengalokasian anggaran senilai Rp 61 triliun dan pelaksanaan program senilai Rp 11 triliun. ketiga, rapor kinerja kabinet yang tidak memuaskan akibat penempatan sumber daya manusia yang tidak mengacu kepada kompetensi jabatan (the right man in the right place). Di akhir masa pemerintahan saat ini, bahkan ada 10 kementerian yang mendapat rapor merah dari Presiden (Kompas.com, edisi Rabu, 4 Juni 2014). Hal ini tentu memberikan dampak signifikan terhadap inefisiensi dan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan yang berujung kepada public distrust. Apabila hal ini terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka stabilitas politik dapat terganggu. Bisa saja, kejadian 1998 terulang kembali dengan kemasan yang baru, dan Indonesia akan semakin tertinggal dalam kancah persaingan global.
Pemetaan urusan pemerintahan
Diskursus mengenai penataan ulang kabinet tidak bisa dipisahkan dari pemetaan urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan sangat terkait erat dengan tugas pemerintahan dimana keberadaan urusan pemerintahan mencerminkan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Urusan pemerintahan ini tentu tidak lahir dengan sendirinya. Ia berasal dari semangat pencapaian tujuan nasional, karena untuk itulah pemerintahan dibentuk dan dijalankan (Robbins, 1994; Mintzberg, 1979).
The Founding fathers telah merumuskan tujuan negara dalam sumber hukum formil tertinggi, yaitu konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, tujuan negara dirumuskan dalam kerangka
3. dibentuknya suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, dimana selanjutnya UUD merinci urusan yang terkait dengan peran pemerintah negara dalam pencapaian tujuan ke dalam pasal-pasal dalam batang tubuhnya. Maka, dari sinilah seyogyanya pemetaan urusan pemerintahan dimulai.
Dalam batang tubuh UUD 1945, setidaknya ada 24 urusan yang bisa diidentifikasi sebagai dasar penyelenggaraan tugas pemerintahan, yaitu: Keuangan negara, Hukum, Ketenagakerjaan, Hak asasi manusia, Kesehatan, Keamanan, Kependudukan dan catatan sipil, Hak anak: Perempuan, Seni dan budaya, Kewarganegaraan, Agama dan kepercayaan, Komunikasi dan informasi, Tempat tinggal, Lingkungan hidup, Pertahanan, Pendidikan, Ilmu pengetahuan dan teknologi, Kebudayaan nasional, Sumber daya alam: pertambangan, energi, pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan dan peternakan, pertanahan, Perekonomian: Industri dan perdagangan, BUMN, investasi, koperasi dan UMKM, Sosial/kesejahteraan rakyat: pemuda, dan olah raga, Fasilitas pelayanan umum/infrastruktur: transportasi, pekerjaan umum, Dalam Negeri, dan Luar Negeri (Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan LAN RI, 2013).
24 urusan ini memiliki tiga karakteristik berbeda yang dapat menentukan pembentukan atau keberadaan kementerian dalam suatu kabinet pemerintahan. Pertama, urusan yang nomenklatur kementeriannya disebutkan secara tegas dalam konstitusi, yaitu urusan pertahanan, dalam negeri, dan luar negeri. Kedua, urusan yang disebut secara tegas dalam konstitusi (urusan eksplisit), seperti urusan keuangan negara, hukum, pendidikan, kesehatan, dan agama. Ketiga, urusan yang tidak disebutkan secara tegas dalam konstitusi (urusan implisit), seperti urusan yang terkait dengan sumber daya alam (bumi, tanah, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya) diantaranya yaitu urusan pertanian, kelautan, kehutanan, dan pertanahan.
Melalui pemetaan urusan pemerintahan, maka dapat terlihat dengan jelas kementerian mana yang pembentukan dan keberadaannya menjadi sebuah amanat mutlak karena nomenklaturnya disebut dalam konstitusi, kementerian mana yang keberadaanya menjadi penting berdasarkan karakteristik urusannya yang disebut secara eksplisit dalam konstitusi, namun dimungkinkan untuk berkreasi dalam menentukan nomenklatur kementerian dan melakukan penataan kelembagaan melalui
4. 4
penggabungan maupun pemisahan, lalu kementerian mana yang dapat dimunculkan atau dihapuskan sesuai dengan kebutuhan lingkungan strategis dengan bersandar pada urusan implisit yang terdapat dalam konstitusi.
Menata ulang kabinet, how?
Menata ulang kabinet memerlukan instrumen penataan (pisau analisis) dan variabel penentu yang menjadi kerangka berpikir. Instrumen ini diperlukan untuk menentukan kementerian mana yang perlu diusulkan untuk mengisi kabinet baru, bagaimana penentuan bentuk/tipologi kelembagaan yang akan menjadi dasar untuk megklasifikasikan kementerian-kementerian dengan karakteristik kelembagaan dan peran yang berlainan, dan bagaimana membuat kriteria pengklasifikasian kementerian berdasarkan tipologi yang telah ditentukan dengan memperhatikan variabel-variabel penentu yang telah disusun sebagai kerangka pikir penataan.
Instrumen penataan
Menurut Mintzberg (1979), fungsi dan tipologi organisasi pemerintah pusat dibagi berdasarkan 5 kriteria, yaitu organisasi pemerintah yang menjalankan peran sebagai strategic apec (top level), middle line (top level back-up), operating core (level operasional), techno structure (dukungan teknokratis), dan support staff (dukungan administratif). Dalam kerangka teori ini, kementerian seyogyanya mengambil peran pada bagian operating core, sementara fungsi dukungan yang berbentuk techno structure maupun staff support dapat dijalankan oleh Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Lembaga Non Struktural (LNS), atau agency khusus yang dibentuk berdasarkan kebutuhan urusan pemerintahan yang bersifat umum seperti kesekretariatan, reformasi birokrasi, kepegawaian negara, kebijakan otonomi daerah, hingga perencanaan program dan anggaran. Apabila dipandang perlu, bahkan dapat dibentuk LPNK atau LNS yang melaksanakan peran operating core. Namun demikian, secara struktur kedudukannya berada di bawah kementerian. Artinya, fungsi operating core tetap dijalankan dalam konteks dukungan (supporting) terhadap kinerja kementerian. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua keberadaan urusan pemerintahan harus direspon dengan pembentukan kementerian.
Sementara itu, Peter Shelf (1977) mengklasifikasikan bentuk organisasi pemerintah pusat berdasarkan derajat signifikansi yang menunjukkan signifikansi keberadaan organisasi pemerintah yang dikaitkan dengan amanat konstitusi dan kontribusinya
5. dalam pencapaian tujuan nasional, dan berdasarkan derajat hirarki yang menunjukkan tingkat kedalaman peran pemerintah dalam menangani urusan. Berdasarkan hal ini, maka organisasi pemerintah pusat dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) bentuk, yaitu organisasi pemerintah dengan derajat siginifikansi tinggi dan derajat hirarki tinggi, organisasi pemerintah dengan derajat siginifikansi tinggi namun memiliki derajat hirarki yang rendah, organisasi pemerintah dengan derajat siginifikansi rendah namun memiliki derajat hirarki tinggi, dan terakhir organisasi pemerintah dengan derajat siginifikansi rendah dan derajat hirarki yang rendah pula.
Dengan mengikuti konstruksi berpikir demikian, maka kabinet idealnya hanya dapat diisi oleh 2 (dua) karakteristik kementerian saja, yaitu kementerian dengan derajat siginifikansi tinggi dan derajat hirarki tinggi dan kementerian dengan derajat siginifikansi tinggi namun memiliki derajat hirarki yang rendah. Artinya, dua tipologi organisasi pemerintah pusat lainnya (organisasi pemerintah dengan derajat siginifikansi rendah namun memiliki derajat hirarki tinggi, dan organisasi pemerintah dengan derajat siginifikansi rendah dan derajat hirarki yang rendah) sebaiknya mengambil bentuk sebagai LPNK atau LNS sesuai dengan karakteristik urusan yang ditanganinya.
Kerangka Penataan
Untuk memunculkan klasifikasi kementerian berdasarkan tipologi dan bentuknya, ada 5 (lima) variabel yang dapat disusun sebagai kerangka berpikir penataan yaitu: pertama, mandat konstitusi, yang dimaksud dengan mandat konstitusi adalah pembentukan kementerian seyogyanya menjadi representasi urusan yang dipetakan dari batang tubuh konstitusi sebagai rumusan tugas yang harus dilaksanakan pemerintah terkait dengan pencapaian tujuan nasional. Artinya, setiap kementerian dibentuk sebagai perwujudan kontribusi pemerintah dalam pencapaian tujuan nasional melalui penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu.
Kedua, tantangan lingkungan strategis, berbagai isu faktual pada level nasional maupun global mencerminkan adanya ancaman ataupun peluang terkait urusan pemerintahan tertentu sesuai dengan mandat konstitusi. Ancaman ataupun peluang inilah yang harus direspons secara cepat dan tepat oleh pemerintah. Dengan adanya ruang interpretasi yang cukup luas terhadap urusan eksplisit dan implisit dalam konstitusi, maka berbagai isu faktual harus dipertimbangkan ketika hendak membentuk sebuah kementerian.
6. 6
Dengan demikian, pembentukan kementerian menjadi relevan dengan tuntutan kebutuhan lingkungan strategis.
Ketiga, governance issues, dimana peran negara (government) sebagai aktor yang sangat dominan di masa lalu dalam pengelolaan urusan publik telah bergeser ke pola relasi antara negara, masyarakat dan swasta (governance). Demikian juga dengan fungsi- fungsi pemerintahan. Bentuk kelembagaan pemerintah (kementerian) didasarkan pada prinsip bahwa pemerintah bukan lagi satu-satunya aktor dalam mengatur urusan publik dan melaksanakan fungsi-fungsi pemerintah. Ada kebutuhan untuk mengundang partisipasi publik dan swasta, menjadikan negara/pemerintah sebagai katalisator dalam penyelenggaraan pemerintahan (Utomo, 2007). Maka, muncullah fungsi pemberdayaan sebagai pencerminan prinsip good governance. Isu governance akhirnya menempatkan negara dalam peran mengatur (regulating), melaksanakan (executing), dan memberdayakan (empowering).
Keempat, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bandul pemerintahan saat ini telah bergeser dari gerakan sentripetal (memusat) ke arah gerakan sentrifugal (menyebar) melalui kebijakan desentralisasi yang tercermin dalam pelaksanaan otonomi daerah. Menata ulang kementerian (kabinet) perlu mempertimbangkan realitas empiris bahwa sebagian kewenangan pemerintah pusat telah diberikan kepada daerah. Dengan kata lain, peran pemerintah pusat sebaiknya mengecil dan berimplikasi kepada struktur kabinet yang ramping dengan menekankan pada fungsi pengaturan dan pemberdayaan. Kalaupun harus menjalankan fungsi pelaksanaan (executing), maka terbatas pada urusan yang bersifat nasional, atau dengan pertimbangan bahwa daerah tidak mampu untuk menyelenggarakan urusan (prinsip subsidiaritas).
Kelima, kelembagaan yang efisien dan efektif, menata ulang kabinet adalah berupaya untuk merumuskan desain kelembagaan kementerian pemerintah pusat yang dapat mengelola urusan-urusan publik dengan prinsip efektif dan efisien. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan duplikasi dan tumpang tindih tugas dan fungsi antar unit-unit pemerintah yang ada. Dalam konteks ini, menjadi sangat penting untuk menggunakan konsep mesin pemerintahan (machinery of government) dalam mendesain ulang kelembagaan pemerintah pusat yang dimulai dengan menata ulang struktur kabinet.
7. Mesin pemerintahan didefinisikan sebagai koneksitas dari struktur dan proses antar lembaga pemerintah, dalam hal ini kementerian.
Tipologi kementerian yang dapat dibangun
Dengan bersandar pada pisau analisis dan kerangka berpikir seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan tiga klasifikasi tipe organisasi pemerintah pusat yang diusulkan untuk mengisi kabinet pemerintah yang baru (2014-2019). Pertama, kementerian portofolio, yang terdiri dari kementerian dengan tingkat kedalaman peran yang tinggi dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan (derajat hirarkis tinggi). Tingkat kedalaman peran yang tinggi ini dicerminkan melalui fungsi pengaturan (regulating), pemberdayaan (empowering), dan pelaksanaan (executing) yang melekat pada kementerian tipe ini.
Kedua, kementerian non-portofolio, yang tingkat kedalaman perannya dibatasi hanya pada fungsi pengaturan (regulating) dan pemberdayaan (empowering), dengan pertimbangan bahwa fungsi melaksanakan (executing) dapat dilakukan oleh masyarakat, swasta, dan Pemerintah Daerah. Trend pembentukan kementerian ke depan sebaiknya mengarah pada kementerian tipe ini. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan prinsip good governance dan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah secara konsekuen. Melalui fungsi pemberdayaan yang dilakukan oleh kementerian, pemerintahan yang partisipatif (demokratis) diharapkan akan terwujud. Selain itu, daerah memiliki kesempatan untuk tumbuh secara simetris dengan tingkat kesenjangan antar daerah yang seminim-minimnya. Untuk menciptakan kondisi demikian, maka secara gradual sebagian besar kementerian portofolio perlu diciutkan kewenangannya pada level pelaksanaan (executing), bahkan dihilangkan sama sekali.
Ketiga, agency yang bersifat techno structure dan staff support yang menangani urusan pemerintahan umum (manajemen pemerintahan) seperti kesekretariatan, reformasi administrasi, kebijakan otonomi daerah, hingga perencanaan program dan anggaran. Seluruh urusan ini dapat diintegrasikan dalam satu Kantor Kepresidenan. Model kelembagaan ini diantaranya dianut oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Korea, dan Taiwan. Namun, untuk kasus Indonesia, tipe kelembagaan yang akan dibangun perlu dikaji secara lebih mendalam dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang lebih detil dan kompleks.
8. 8
Pola penataan kelembagaan existing
Model kelembagaan pemerintah pusat yang mengklasifikasikan struktur kabinet ke dalam 3 tipe kelembagaan yaitu Kementerian Portofolio, Kementerian Non-portofolio, dan Kantor Kepresidenan merupakan wajah baru dalam penataan kabinet. Dengan memperhatikan kerangka penataan (kerangka pikir) di atas dan kelembagaan exsisting, menata ulang kementerian dapat dilakukan melalui 7 pola penataan, yaitu:
Pertama, penghapusan kementerian, yang dilakukan dengan pertimbangan efisiensi kelembagaan pemerintah pusat. Hal ini diusulkan terhadap seluruh kementerian koordinator dengan asumsi bahwa fungsi koordinasi dapat dilaksanakan oleh Wakil Presiden atau bahkan Presiden.
Kedua, penggabungan kementerian, yang dilakukan dengan mempertimbangkan kesamaan rumpun urusan berdasarkan mandat konstitusi dan tantangan lingkungan strategis yang dihadapi kementerian. Hal ini misalnya diusulkan pada Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian Industri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koperasi dan UMKM.
Ketiga, penyerahan atau penarikan urusan dari kementerian satu ke kementerian yang lain, dengan mempertimbangkan tantangan lingkungan strategis terkait keberadaan suatu urusan pemerintahan. Bentuk penataan ini dilakukan dengan menarik suatu dirjen dari sebuah kementerian ke kementerian lainnya. Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Riset dan Teknologi, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah beberapa kementerian yang diusulkan untuk ditata ulang melalui bentuk penataan ini.
Keempat, perubahan status (kementerian portofolio menjadi kementerian nonportofolio (meneg), perubahan status Dirjen menjadi LPNK, dan perubahan LPNK menjadi Kementerian), dengan mempertimbangkan tantangan lingkungan strategis, governance issues, dan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain, peran swasta, masyarakat, dan pemerintah daerah dalam executing kebijakan perlu diperkuat. Artinya, pada sisi lain peran pemerintah sebaiknya difokuskan pada level mengatur dan memberdayakan. Bentuk penataan ini diusulkan untuk dilakukan pada
9. Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, 3 Dirjen pada Kementerian Keuangan, dan Badan Pertanahan Nasional.
Kelima, penghapusan dan/atau pemisahan urusan, dengan mempertimbangkan mandat konstitusi dan tantangan lingkungan strategis. Kementerian yang diusulkan untuk ditata ulang melalui penghapusan atau pemisahan urusan diantaranya adalah Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Keenam, perubahan nomenklatur kementerian dengan mempertimbangkan mandat konstitusi dan tantangan lingkungan strategisnya. Secara kelembagaan, kementerian yang mengalami perubahan nomenklatur bisa merupakan kementerian yang diusulkan untuk ditata ulang atau kementerian yang tidak diusulkan untuk mengalami perubahan. Bentuk penataan ini diusulkan untuk Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Ketujuh, pengintegrasian organisasi pemerintah pusat yang menangani urusan pemerintahan umum (manajemen pemerintahan) dalam satu kantor kepresidenan. Hal ini dilakukan agar fungsi supporting tugas Presiden dan Wakil Presiden dalam melakukan manajemen pemerintahan seperti kesekretariatan, perencanaan, anggaran, pengawasan, reformasi administrasi, dan kebijakan otonomi daerah dapat lebih terintegrasi dan terkoordinasi pada satu institusi. Dalam bentuk penataan kelembagaan ini, diusulkan untuk mengumpulkan Sekretariat Negara, Kementerian PPN/Bappenas, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, MenPAN dan RB, LAN, BKN, BPKP, UKP4, Wantimpres, dan DPOD dalam satu Kantor Kepresidenan.
Melalui pola penataan ini, setidaknya ada 11 kementerian yang dapat direduksi dari 34 kementerian menjadi 23 kementerian. 23 kementerian ini merupakan 22 kementerian yang menangani urusan inti dan terdiri dari 13 kementerian portofolio dan 9 kementerian non-portofolio, serta 1 kementerian/agency yang menangani urusan manajemen pemerintahan (Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur LAN RI, 2014). Melalui pengurangan struktur kementerian, tentu ada cost dalam jumlah besar yang harus dibayar terkait dengan proses penataannya. Namun dapat dibayangkan, berapa efisiensi yang akan diraih dalam jangka panjang ketika anggaran untuk gedung, sarana dan prasarana, menteri, dan struktur kelembagaan yang mengikuti pola kementerian dapat dikurangi secara drastis.
10. 10
Menata ulang kabinet, siapa berani?
Menata ulang kabinet tidak selesai pada level penataan struktural (efisiensi). Struktur kabinet yang ramping haruslah didukung dengan penunjukan menteri yang berasal dari kalangan profesional dan ahli di bidangnya (put the right man in the right place). Kinerja kabinet akan sangat bergantung pada siapa yang ditunjuk presiden untuk menduduki kursi menteri pada kabinet mendatang. Secara empiris, nyaris mustahil untuk menciptakan kabinet yang bebas dari transaksi politik. Namun demikian, profesionalisme harus kembali diberi ruang yang lebih besar untuk tampil di panggung pemerintahan. Itu artinya, perlu melakukan penyeimbangan konfigurasi politik dan profesional dalam struktur kabinet yang akan datang.
Dalam konteks ini, menata ulang kabinet meliputi dua wilayah penataan. Pertama, struktur kabinet, yaitu penyederhanaan jumlah kementerian di dalam kabinet dengan pertimbangan yuridis, akademis, dan empiris untuk menciptakan kelembagaan pemerintah pusat yang efisien. Kedua, konfigurasi politik, yaitu bagaimana mendistribusikan kekuasaan politik dengan menyeimbangkan peran profesional dan konstelasi politik di lingkaran kekuasaan untuk mendorong terwujudnya efektivitas kinerja pemerintah. Untuk periode 2014-2019, kesempatan untuk menata ulang kabinet dan menciptakan struktur kabinet yang ramping dengan cita rasa profesional masih sangat terbuka lebar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapa calon presiden yang berani melakukannya?