ABSTRAK
Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah
Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan
mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.
Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar
penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan
oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Lebih jauh, upaya membangun
industrialisasi desa yang berbasiskan padat modal menjadi salah satu solusi
yang ditawarkan. Tulisan singkat ini akan mencoba mengurai bagaimana
otonomi desa diimplementasikan, khususnya menurut UU No. 32 Tahun 2004.
Selain itu, penulis juga menyoroti tentang bagaimana kiat dan upaya
membangun industrialisasi desa sebagai salah satu langkah mencegah
urbanisasi serta mensejahterakan masyarakat desa.
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Jurnal lan mp-desanew (suryanto)
1. MENSUKSESKAN OTONOMI DESA
Suryanto
Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara
Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia
Pendahuluan
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana
dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 memberi kesempatan kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengoptimalkan potensi yang ada di
daerah masing-masing. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
ABSTRAK
Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah
Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan
mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.
Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar
penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan
oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Lebih jauh, upaya membangun
industrialisasi desa yang berbasiskan padat modal menjadi salah satu solusi
yang ditawarkan. Tulisan singkat ini akan mencoba mengurai bagaimana
otonomi desa diimplementasikan, khususnya menurut UU No. 32 Tahun 2004.
Selain itu, penulis juga menyoroti tentang bagaimana kiat dan upaya
membangun industrialisasi desa sebagai salah satu langkah mencegah
urbanisasi serta mensejahterakan masyarakat desa.
2. Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana
keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung
tombak pembangunan, maka perhatian terhadap keberhasilan otonomi desa
menjadi penting. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal
merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan
pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan
kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi
masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat
menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian,
maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma
menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu
memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.
Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah
Pemerintah Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya dan mampu membawa masyarakat desa ke arah kehidupan
yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan
menjadi pilar penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat
ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa.
Namun demikian, realitas yang terjadi pada era otonomi dan
desentralisasi yang muatannya sarat akan nilai-nilai demokrasi dan
transparansi ini cenderung sering menghadirkan permasalahan yang kompleks
di desa. Dimana pada era tersebut, proses politik berjalan seperti lebih cepat
daripada kemampuan untuk mengelola manajemen pemerintahan desa yang
otonom. Masyarakat atau kelompok masyarakat diperkenalkan dengan hal
baru dalam konteks politik, yakni kebebasan menentukan sikap dan pendapat
serta meniru demokrasi ala barat, dan demokrasi diartikan sebagai kebebasan
tanpa batas.
Beberapa kendala yang pantas menjadi bahan pemikiran dan perlu
dicari jalan keluarnya, antara lain: Pertama, merubah mentalitas aparatur, baik
di tingkat Desa, Kecamatan maupun Kabupaten yang terbiasa bersikap
3. sentralistis menuju mentalitas pemberdayaan daerah. Sehingga untuk
melaksanakan suatu kebijakan terkadang masih harus menunggu Juklak, Juknis
dan segala tuntunan dari atas (Tuntas). Kedua, usulan-usulan tentang prioritas
program pembangunan di desa yang disampaikan kepada Pemerintah
Kabupaten setelah melalui Musbang di tingkat desa dan kecamatan sering
terkesan hanya formalitas dan kurang diperhatikan dengan sungguh-sungguh
oleh Pemerintah Kabupaten. Hal itu dapat dilihat dari usulan tentang prioritas
program pembangunan di desa dan kecamatan yang "itu-itu saja" dari tahun ke
tahun. Ironisnya, usulan-usulan itu sering terbentur pada ketidakmampuan
daerah dalam hal pendanaan, atau bahkan terperangkap dalam jaring KKN
model baru yang menyebabkannya terlantar dan hanya menjadi arsip dalam
laci. Bukan rahasia lagi bahwa bagi Desa atau Kecamatan yang mempunyai
orang yang memiliki akses di pemerintahan, baik di Legislatif maupun
Eksekutif, sangat memudahkan Desa atau Kecamatan tersebut memperoleh
prioritas proyek-proyek pembangunan. Ketiga, jika Otonomi Desa benar-benar
dapat diwujudkan, barangkali cukup menguntungkan bagi desa-desa yang
memiliki aset dan sumber daya alam yang memadai, namun justru mempersulit
untuk desa-desa yang kurang strategis dalam masalah sumber daya alam dan
tidak memiliki aset yang cukup. Keempat, sikap ambigu Pemerintah Kabupaten
dalam penanganan aset Kabupaten yang ada di desa. Di satu sisi aset tersebut
dituntut untuk menjadi mata air bagi PAD yang harus selalu mengalir deras. Di
sisi lain, Desa yang memiliki aset dan banyak menerima imbas dari keberadaan
aset tersebut kurang dilibatkan penanganannya dan hanya menerima
penyisihan hasil yang sangat jauh dari pantas, apalagi cukup. Contoh yang
mudah mengenai hal ini adalah keberadaan pasar milik Pemerintah Kabupaten
yang ada di desa.
Ada satu wacana, bahwa untuk terwujudnya keadilan atau
keseimbangan dalam pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten,
desa-desa mesti tergabung dalam asosiasi atau paguyuban agar memiliki
kekuatan untuk berembug dan tawar-menawar dalam hal pemanfaatan DAU
Kabupaten.
4. Mengenai kasus persatuan desa-desa di salah satu kabupaten yang tidak
membayarkan hasil penarikan PBB kepada Pemerintah Kabupaten selama
pemanfaatan DAU Kabupaten tidak memperhatikan dan memihak kepada
kepentingan masyarakat desa, mungkin bukan cara yang pantas untuk ditiru.
Namun, ternyata manuver tersebut dapat membawa hasil. Terbukti tidak
kurang 30% DAU Kabupaten dimaksud akhirnya benar-benar diperuntukkan
bagi desa-desa yang ‘mogok’ menyetor hasil penarikan PBB.
Tentu masih banyak cara lain yang lebih santun dapat dilakukan, dalam
rangka mensejahterakan masyarakat desa yang notabene merupakan warga
terbanyak dari satu Negara, Propinsi, atau Kabupaten. Untuk itu, kita perlu
mencermati seluruh aspek yang dapat mempengaruhi tercapainya
kesejahteraan masyarakat desa dalam penyelenggaraan otonomi desa menurut
UU Nomor 32 Tahun 2004.
Otonomi Desa Menurut UU No. 32 Tahun 2004
UU No. 32 Tahun 2004 merumuskan bahwa desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di
daerah kabupaten. Dalam pasal 1 ayat (12) dinyatakan: desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan
mengurus kepentingannya sendiri berarti kesatuan masyarakat hukum
tersebut mempunyai otonomi. Dengan demikian, desa mempunyai otonomi.
Hanya saja otonomi desa bukan otonomi formal seperti yang dimiliki
pemerintah propinsi, kabupaten dan kota, tetapi otonomi berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat. Otonomi berdasarkan asal-usul dan adat istiadat adalah
5. otonomi yang telah dimiliki sejak dahulu kala dan telah menjadi adat istiadat
yang melekat dalam masyarakat desa yang bersangkutan.
Sumber: Hanif Nurcholis, 2005:136
Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa otonomi yang dimiliki oleh
pemerintah propinsi, kabupaten dan kota adalah otonomi formal, karena
urusan-urusan pemerintahan yang dimiliki atau yang menjadi kewenangannya
ditentukan dengan undang-undang. Sebagai contoh, urusan-urusan (wajib)
pemerintahan yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota meliputi: a)
perencanaan dan pengendalian pembangunan, b) perencanaan, pemanfaatan,
dan pengawasan tata ruang, c) penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat, d) penyediaan sarana dan prasarana umum, e)
penanganan bidang kesehatan, f) penyelenggaraan pendidikan, g)
penanggulangan masalah sosial, h) pelayanan bidang ketenagakerjaan, i)
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, j) pengendalian
lingkungan hidup, k) pelayanan pertanahan, l) pelayanan kependudukan dan
catatan sipil, m) pelayanan administrasi umum pemerintahan, n) pelayanan
administrasi penanaman modal, o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya,
dan p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan (Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004). Selain itu, masih ada pula urusan
pilihan yang meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
PEMERINTAHKABUPATEN
DESADESADESADESA
OTONOMI
FORMAL
OTONOI
ADAT
6. Berbeda dengan pemerintah desa, ternyata urusan yang dimiliki tidak
secara formal ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana
tercantum pada Pasal 206 bahwa, urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan desa mencakup: a) urusan pemerintahan yang sudah ada
berdasarkan hak asal-usul desa, b) urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, c)
tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah propinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten kota. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-
usu desa tersebut misalnya: urusan lumbung desa, urusan pengairan desa,
urusan pengelolaan makam keramat, urusan penyelenggaraan upacara adat,
dan sebagainya.
Kelembagaan Pemerintah Desa
1. Tugas pokok dan fungsi
Pemerintah desa adalah unsur penyelenggara pemerintahan desa,
yang memiliki tugas pokok: a) melaksanakan urusan rumah tangga desa,
urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan masyarakat, b)
menjalankan tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah propinsi dan
pemerintah kabupaten.
Untuk menjalankan tugas pokok tersebut, pemerintah desa
mempunyai fungsi:
a. penyelenggaraan urusan rumah tangga desa;
b. pelaksanaan tugas di bidang pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan yang menjadi tanggung jawabnya;
c. pelaksanaa pembinaan perekonomian desa;
d. pelaksanaan pembinaan partisipasi dan swadaya gotong royong
masyarakat;
e. pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
f. pelaksanaan musyawarah penyelesaian perselisihan masyarakat desa;
7. g. penyusunan, pengajuan rancangan peraturan desa;
h. pelaksanaan tugas yang dilimpahkan ke pemerinah desa.
2. Struktur organisasi
Struktur organisasi pemerintah desa terdiri dari kepada desa, sekretaris
desa, kepaa urusan, pelaksanan urusan, kepala dusun dan badan
permusyawaratan desa.
a. Kepala Desa
Tugas pokoknya adalah melaksanakan sebagian urusan rumah tangga
desa, urusan pemerintahan umum, pembinaan dan pembangunan
masyarakat serta menjalankan tugas pembinaan dan pembangunan
masyarakat serta menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah di
atasnya. Kepala desa memimpin para staf/pembantunya untuk
menyelenggarakan pemerintah desa.
b. Sekretaris Desa
Sekretaris desa adalah staf yang memimpin sekretariat desa. Sekretaris
desa bertugas membantu kepada desa di bidang pembinaan administrasi
dan memberikan pelayanan teknis administrasi kepada seluruh
perangkat pemerintah desa. Sekdes diisi dari PNS yang memenuhi
persyaratan.
c. Kepala Urusan
Kepala urusan atau disebut Kaur adalah staf yang membantu sekretaris
desa sesuai dengan bidangnya. Kaur betanggung jawab kepada Sekdes.
Kaur terdiri atas: 1) Kaur pemerintahan, 2) Kaur Pembangunan, 3) Kaur
Administrasi. Untuk desa yang besar dan urusannya banyak bisa
ditambahkan dengan : 1) Kaur Kesejahteraan rakyat, 2) Kaur Keuangan
dan 3) Kaur Umum.
d. Pelaksana Urusan
8. Adalah staf yang melaksanakan urusan teknis di apangan seperti urusan
aur (uu-ulu), urusan agama Islam (modin), dan lain-lain. Pelaksana
urusan bertanggung jawab kepada kepala desa.
e. Kepala Dusun
Kepala dusun atau disebut Kadus berkedudukan sebagai unsur
pelaksana tugas kepala desa di wilayah kerjanya. Tugas Kadus
menjalankan tugas kepala desa di wilayah kerjanya.
f. Badan Pemusyawaratan Desa
Adalah badan pembuat kebijakan dan pengawas pelaksanaan kebijakan
desa. BPD adalah mitra kepala desa. BPD dan kepala desa memikirkan
desanya agar maju dan sejahtera. Tugas BPD adalah: a) mengayomi adat
istiadat, b) membuat peraturan desa, c) menampung dan mengayomi
aspirasi masyarakat, dan d) melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa.
3. Analisis kelembagaan desa
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 desa tidak lagi berada di bawah
kecamatan, tetapi di bawah kabupaten/kota (terdapat sebagian desa yang
berada di bawah pemerntah kota, namun sesuai amanat pasal 200 ayat 3,
desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa
bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan denga Perda).
Dengan demikian, kepala desa langsung di bawah pembinaan
bupati/walikota. Kecamatan bukan lagi sebagai suatu wilayah yang
membawahi desa-desa tetapi hanya merupakan wilayah kerja camat. Camat
tidak lagi berperan sebagai penguasa tunggal di wilayahnya seperti pada
masa UU No 5 Tahun 1974, tetapi ia hanya sebagai perangkat pemerintah
kabupaten. Gambaran sederhana mengenai kedudukan pemerintah
kabupaten, kecamatan dan desa adalah sebagaimana bagan berikut:
KABUPATEN
9. Sumber: Hanif Nurcholis, 2005:137.
Pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan badan
pemusyawaratan desa (Pasal 200 ayat 1), sedangkan pemerintah desa
terdiri dari kepala desa dan perangkat desa (Pasal 202 ayat 1). Rumusan ini
berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1979 yang menyebutkan bahwa
pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan lembaga masyarakat desa
(LMD). LMD adalah semacam badan permusyawaratan desa, tetapi karena
LMD dipimpin oleh kepala desa maka kedudukan, peran, fungsi dan tugas
pokoknya tidak jelas. UU No. 22 Tahun 1999 membedakan secara tegas
peran kepada desa dan BPD (badan perwakilan desa – dalam UU No.32
Tahun 204 BPD adalah badan permusyawaratan desa). Kepala desa adalah
pelaksana kebijakan, sedangkan BPD adalah lembaga pembuat dan
pengawas kebijakan desa (Perdes). Jadi BPD merupakan badan seperti
DPRD kecil di desa.
Upaya penguatan institusi Badan Perwakilan Desa sebagai
representasi masyarakat desa untuk mengontrol jalannya pemerintah desa
serta menampung aspirasi masyarakat baru mulai berjalan. Ironisnya,
secara mengejutkan ternyata revisi terhadap UU No 22/1999 menjadi UU
No 32/2004 telah mengebiri peran politis dan kontrol publik (masyarakat
desa) terhadap jalannya pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa
dalam UU No 32/2004 tidak lagi dipilih secara langsung, melainkan melalui
musyawarah mufakat, sebagaimana tertuang pada Pasal 210 ayat (1)
“Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa
KECAMATAN
DESA
10. bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”. Hal
ini berarti memasung kembali penguasaan dan kontrol masyarakat
terhadap sumber daya ekonomi pedesaan. Dan peran penguasan serta
kontrol sumber daya ekonomi pedesaan diambil alih kembali oleh
pemerintah daerah dan swasta demi lancarnya iklim investasi.
Peningkatan Sosial Ekonomi Desa melalui Industrialisasi Desa
Peningkatan sosial ekonomi masyarakat pedesaan, menurut Francis
Wahono (2005), adalah jika masyarakat desa memiliki akses dalam penguasaan
dan kontrol terhadap tenaga kerja dan tanah yang ada di desanya. Dalam
otonomi daerah yang telah berjalan selama 5 tahun, prores pengembalian
kekuasaan dan kontrol masyarakat desa terhadap tanah (komunal/adat dan
individual) serta tanaga kerja berjalan sangat lamban. Badan Perwakilan Desa
sebagai institusi baru di pemerintahan desa sebagian besar masih mencari
bentuknya, apalagi menampung aspirasi masyarakat dan menyalurkannya
masih jauh dari kenyataan. Kendati demikian, fungsi kontrol BPD terhadap
jalannya pemerintahan desa sebagian besar telah dilakukan, baik sebagai
pribadi yang telah dipilih secara langsung oleh rakayat maupun secara institusi.
Strategi pembangunan yang didasarkan kepada doktrin pertumbuhan
"leading-sectors" telah membuat hancur banyak industri kecil di pedesaan.
Doktrin pertumbuhan sebagai adopsi pencangkokan sistem kapitalis, dan
metode produksi modern ke dalam masyarakat desa Indonesia, cenderung
memarginalisasi masyarakat dari sistem produksi dan proses pemanfaatan
hasil-hasil produksi. Resikonya, hal ini tidak berhasil mengatasi problem-
problem pokok yang berada di tengah masyarakat.
Sebut saja misalnya, penyerapan tenaga kerja secara massal,
menurunnya hasil produksi pertanian di pedesaan, menurunnya tingkat upah,
dan sebagainya (Husken, 1998). Proses ini juga menyebabkan kemerosotan
ekonomi golongan miskin di pedesaan, yakni pembengkakan penduduk yang
menggantungkan hidupnya dari kegiatan-kegiatan usaha kecil. Pertumbuhan
ekonomi yang timpang antara kawasan perkotaan dan pedesaan telah
11. menimbulkan apa yang disebut premature urbanization bersamaan dengan
terjadinya structural deformation dalam ekonomi (Sritua Arief, 1990).
Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif ternyata tidak
dapat ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi
perkotaan sebagai manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu
terjadinya apa yang disebut dengan deformasi struktural, wujudnya adalah
terjadinya perluasan dan berkembangnya secara drastis sektor jasa dalam
penyerapan tenaga kerja. Keberadaan sektor jasa ini bukan disebabkan oleh
permintaan akan jasa-jasa oleh sektor modern, tetapi semata-mata disebabkan
oleh ketidaksanggupan sektor modern untuk menyerap tenaga kerja dalam
jumlah banyak.
Kondisi empiris yang terjadi di Indonesia sejauh ini menunjukkan
terjadinya pola pembangunan dengan strategi pertumbuhan tersebut. Mulai
jaman Orde Baru sampai era reformasi, watak itu masih demikian kental
membaluti proses pembangunan. Bahkan, secara sistematik skema
pembangunan ini juga merambah ke desa, dengan berbagai resiko. Jika kita
klasifikasikan, setidaknya ada tiga skema besar dalam pembangunan desa
sejauh ini.
Pertama, pembangunan desa yang dibimbing langsung oleh negara.
Sebagai aktor utama, negara telah melancarkan pembangunan dan
pemberdayaan melalui skema “pembangunan nasional” dan “pembangunan
daerah”, sebagai “master plan” yang direncanakan secara sentralistik
(terpusat), birokratis (dikendalikan oleh institusi dan prosedur birokrasi) dan
teknokratis (dirancang oleh para ahli). Partisipasi masyarakat (dalam katagori
kritis) tidak dikenal sebagai menu utama perencanaan. Namun hanya
diperlakukan sekadar bumbu pelengkap cita-rasa perencanaan semata. Negara,
dengan demikian telah memonopoli kewenangan perumusan kebijakan,
regulasi, informasi dan dana untuk memobilisasi agenda kegiatan
pembangunan. Tercatat, untuk rentang waktu empat dekade terakhir dari
pemerintahan, melalui skema pem-bangunan nasional dan daerah, sangat giat
melancarkan berbagai program yang dimaksudkan untuk melancarkan
12. transformasi ekonomi desa. Sebut saja mulai dari pembangunan desa terpadu
sampai dengan penanggulangan kemiskinan desa. Melalui pembangunan itulah,
pemerintah mengusung sejumlah tujuan yang mulia di desa. Diantaranya,
memberbaiki kondisi fisik, membuka lapangan kerja, meningkatkan
pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memerangi kebodohan dan
keterbalakangan, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan
sosial-ekonomi warga.
Dalam konteks itu, pembangunan desa terpadu (integrated rural
development) merupakan master plan orde baru yang didukung lembaga-
lembaga internasional seperti Bank Dunia. Model ini ditempuh dengan skema
perbaikan prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan
pemasaran), peningkatan produksi pertanian melalui revolusi hijau, maupun
pembangunan sektoral (berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan layanan
sosial semacam pendidikan dan kesehatan). Pembangunan prasarana fisik
spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran) itulah yang
menjadi ikon utama pembangunan desa, yang notabene didanai secara terpusat
melalui Inpres Bandes, mulai 1969 sampai 1999. Jika pembangunan prasarana
fisik yang berskala kecil ini melibatkan partisipasi (swadaya) masyarakat, maka
pembangunan sektoral lebih menempatkan masyarakat desa sebagai obyek
atau kelompok penerima manfaat (beneficiares). Pembangunan sektoral
dikemas menjadi rangkaian “proyek berkelanjutan” yang didanai oleh APBN
dan ditangani langsung oleh birokrasi negara baik di pusat maupun daerah
(yang membantu pusat). Waktu itu para kepala desa selalu mengatakan bahwa
semua departemen pemerintah, kecuali Departemen Luar Negeri, pasti
mempunyai proyek pembangunan sektoral ke wilayah desa. Karena itu yang
terjadi bukanlah daerah dan desa yang membangun, melainkan pembangunan
yang dilancarkan di daerah dan desa oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini
merupakan skema sentralisme pembangunan yang belum memperkenalkan
desentralisasi pembangunan secara otentik, meski sejak 1982 sudah dikenal
perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning).
13. Kedua, pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Di satu sisi
warga masyarakat, orang per orang, mengembangkan prakarsa dan potensi
dirinya masing-masing tanpa digerakkan secara langsung oleh negara. Ada
warga yang mengembangkan pertanian, ada yang berbisnis, ada yang
berdagang, ada yang membangun industri rumah tangga, ada yang bersekolah,
ada yang merantau ke kota, dan seterusnya. Banyak warga masyarakat desa
yang sukses mendongkrak mobilitas sosial, karena usaha mereka sendiri atau
karena memanfaatkan dampak positif pembangunan yang digerakkan negara.
Ketersediaan sarana perhubungan dan pasar, misalnya, memungkinkan warga
desa bisa melakukan transaksi ekonomi atau hilir-mudik ke kota dengan lancar
dan mudah.
Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat
tampak dari sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika
ditinjau dari sudut pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong
masyarakat merupakan ciri khas dan basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak
dulu. Sementara jika dilihat dari konteks pembangunan desa di era Orde Baru,
swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan komponen utama dalam
pembangunan pra-sarana fisik spasial desa, yang dikombinasikan dengan
bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa bantuan desa
merupakan stimulan yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya
lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit
untuk mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil,
sehingga masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan
desa yang berskala lebih besar.
Ketiga, pembangunan yang digerakkan oleh modal, sering kita sebut
kapitalisasi atau industrialisasi desa. Negara memang memberikan lisensi dan
akses permodalan kepada para pengusaha (pemilik modal), baik nasional
maupun internasional, untuk melancarkan industrialisasi di kawasan
pedesaan. Memang ada industrialisasi yang berskala lokal-kecil yang
digerakkan sendiri oleh masyarakat (home industry) misalnya konveksi,
keramik tanah, kain, batu-bata, makanan lokal, genting, agro-industri, dan
14. masih banyak lagi. Model industri ini lebih bersifat padat karya ketimbang
padat modal, yang sering dikatakan sebagai kekuatan penyangga ekonomi
rakyat desa. Tetapi yang lebih krusial untuk kita cermati adalah industri padat
modal berskala besar yang betul-betul melakukan eksploitasi terhadap tanah
maupun sumberdaya alam di wilayah pedesaan. Kita bisa menyebut industri
pariwisata, pengolahan hasil pertanian-perkebunan (gula, kayu lapis, rokok,
minyak goreng, makanan, tepung terigu, dll), pengolahan tanah-batu (genting,
batu bata, keramik, dan sebagainya), pengolahan sampah, pengolahan air
minum, real estate (perumahan mewah), pertokoan besar (mall),
pertambangan, dan manufaktur, yang semuanya beroperasi di wilayah dan
komunitas desa.
Ketiga skema pembangunan di atas juga disertai dengan pembangunan
politik yang dikendalikan negara. Tetapi pembangunan politik yang dijalankan
Orde Baru bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi
dan demokratisasi), melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui
negaranisasi (sentralisasi, birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi
dan represi) untuk mengendalikan masyarakat dan menciptakan stabilitas
politik. Sejak awal pemerintah, melalui doktrin Trilogi Pembangunan
(stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan bahwa stabilitas
politik merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan
pemerataan. Namun negaranisasi ini secara empirik melakukan marginalisasi
politik terhadap desa, sehingga desa telah kehilangan harga diri, otonomi dan
demokrasi.
Menengok perjalanannya sejauh ini, keterpurukan desa erat kaitannya
dengan penerapan kebijakan eksploitatif dan represif (otoriter) pada rentang
waktu di bawah kekuasaan pemerintahan orde baru. Perlakuan negara atas
desa dengan cara-cara otoriter tersebut terlegitimasikan dalam bentuk regulasi
UU No.5/79 (IRE, 2005). Watak aturan itu diantaranya, pertama,
korporatisasi-birokratisasi, yakni menejemen politik atas desa yang ditandai
oleh semangat kontrol dari atas (top down), penyelenggaraan sistem politik
dominatif dengan menghilangkan ruang partisipasi dari bawah. Kedua,
15. homogenisasi berupa penyeragaman dari sekian pluralitas (komunitas dan
asosiasi sipil setingkat desa), tanpa menghargai perbedaan, dan ketiga,
eksploitatif yakni memanfaatkan sumberdaya atau kekayaan desa yang diolah
tetapi hanya dimanfaatkan demi keuntungan negara semata, tentu
mengabaikan peruntukan kepentingan warga desa.
Secara mendasar, kebijakan dan regulasi tersebut mengandung
semangat suatu konstruksi atau pemaknaan negara atas desa yang menggeser
statusnya secara struktural, dari kesatuan hukum (adat) menjadi teritorial-
administratif. Desa, dengan demikian, dipaksa untuk membuat preferensi yang
sama (dalam hal format, struktur dan orientasi) yang pada substansinya
cenderung bias Jawa -- sesuai skenario pemerintah (pusat). Maksudnya adalah
mengintegrasikan arah pengembangan dan eksistensi desa ke dalam arus
utama, atau ideologi negara.
Dengan keadaan semacam itulah, dalam perspektif sejarah, regulasi
pengaturan desa menjadi titik awal terjadinya reduksi atas otonomi desa,
dengan dampak lama-kelamaan desa makin “terbonsai”, pembiakan aspirasi
lokal tidak memperoleh lahan berkembang, dan stagnasi menjadi sulit
dielakkan. Jika ditelusur dari alasan kebijakan itu muncul, pemerintah Orde
Baru nampaknya memandang bahwa keberadaan desa-desa dengan kesatuan
hukum beragam dari corak dan sifatnya, serta posisi yang sangat otonom
tersebut tentu akan mempersulit upaya pengaturan dan pengendalian.
Disamping itu, kemajemukan struktur berbasis karakter kultur lokal dan
perangkat sistem pemerintahan desa yang berlaku di dalamnya itu, dianggap
akan menghambat pembangunan. Menggunakan kacamata pemerintah Orde
Baru, desa-desa ditempatkan sebagai bagian organis dari keseluruhan sistem
yang ada pada negara. Oleh karena itulah, untuk menempatkan desa dalam
kedudukan dan peran terintegrasi kekuasaan pemerintah pusat, maka desa-
desa tersebut akhirnya diseragamkan. Apabila mungkin, penyeragaman bukan
hanya dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraannya saja, melainkan
dalam sistem sosial budayanya. Selain untuk memudahkan pengawasan dan
16. kendali, juga agar mempermudah pemerintah melaksanakan fungsi-fungsi
pelayanan.
Homogenisasi dalam pola desa, dengan demikian tentu bukan sebatas
makna kultural (menghilangkan pluralisme etnisitas), tetapi juga pada aras
politik, yang berarti kontrol negara atas sumberdaya desa dapat dijalankan.
Pola yang semacam itu berdampak pada keadaan kapasitas desa yang terus
merosot dan bahkan hancur, dimana desa pada umumnya relatif gagal
menghidupi dirinya secara mandiri, demi mewujudkan pertumbuhan dan
kesejahteraan ekonomi warganya.
Apa yang terjadi dengan tiga skema pembangunan ekonomi yang
ditopang dengan pembangunan politik di atas? Pembangunan tentu
menjanjikan perbaikan kemajuan, pertumbuhan, kemakmuran, dan juga
kesejahteraan. Di atas kertas, industrialisasi selalu menjanjikan peningkatan
devisa negara, pendapatan asli daerah, penyediaan lapangan pekerjaan,
maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Tetapi sejarah telah
mencatat bahwa industrialisasi yang tumbuh dengan pesat telah menciptakan
marginalisasi masyarakat lokal, pemiskinan dan kerusakan lingkungan. Banyak
industrialisasi yang berjalan mulus, tetapi tidak sedikit proyek industrialisasi
yang menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat, sehingga
industrialisasi sering menimbulkan trauma sosial-ekonomi bagi masyarakat.
Secara umum pembangunan dan industrialisasi desa memang telah
menciptakan mobilitas sosial (kemajuan dan kemakmuran) warga desa.
Mobilitas sosial bisa kita ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa,
perbaikan perumahan penduduk, peningkatan derajat pendidikan, perubahan
struktur okupasi, perbaikan sarana dan prasarana transformasi penduduk
desa, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern (televisi, motor, mobil,
telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih banyak lagi), dan
sebagainya. Jika melihat indikator ini, desa jauh lebih maju dan makmur,
karena pembangunan dan industrialisasi desa. Berdasarkan oral history dari
para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa
yang lebih baik (maju) itu baru mulai dirasakan sejak dekade 1970-an.
17. Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi
fondasi yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan di desa.
Ketimpangan jauh lebih besar dan serius ketimbang kemajuan dan
kemakmuran yang dihasilkan oleh pembangunan. Setiap hari kita prihatin
dengan balada yang menimpa para petani, mayoritas penghuni desa. Para
petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan
lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong
pemilik modal. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia
telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970, sekitar
68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Berbagai upaya pembangunan
selama lebih dari dua dekade berhasil menekan persentase penduduk miskin
menjadi 11% pada tahun 1996. Namun jumlah penduduk miskin kembali
meningkat setelah krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Menurut BPS,
pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4%
dari total penduduk). Sekitar 15,6 juta orang berada di kawasan perkotaan, dan
32,3 juta orang di perdesaan. Pada tahun 2002 angka kemiskinan mengalami
peningkatan, tercatat sejumlah 25,08 juta (21,1%) penduduk pedesaan yang
tergolong sebagai kaum miskin.
Karena itu kesimpulan sementaranya adalah, bahwa pembangunan
ekonomi dan industrialisasi desa yang ditopang oleh rekayasa politik di atas
lebih banyak menciptakan ketimpangan, kemiskinan dan marginalisasi
sehingga belum mengarah pada kesejahteraan dan keadilan di desa. Tetapi ini
adalah kesimpulan yang bersifat sementara. Riset-advokasi ini hendak
melakukan kajian secara empirik mengenai bekerjanya industrialisasi desa,
sekaligus hendak menawarkan prakarsa pembaharuan tata kelola
industrialisasi desa agar proyek kapitalisasi ini mem-peroleh sentuhan
governance reform dan mendukung penguatan basis ekonomi bagi otonomi
desa secara berkelanjutan.
Karakter Industri Pedesaan
18. Apa yang dapat dijelaskan mengenai kecenderungan pembangunan
ekonomi di desa sejauh ini? Strategi pembangunan yang ditandai, sentralisasi,
birokratisasi dan eksploitasi yang diterapkan ke desa tersebut menumbuhkan
pengusaha-pengusaha kecil dengan beberapa ciri negatifnya (Anne Booth,
1990). Pertama, sikap dasar pengusaha dalam perusahaan kecil dan menengah
ditandai oleh pendekatan otokratik. Hal ini dapat dilihat dari pimpinan
perusahaan yang mempunyai kebutuhan sangat rendah akan informasi dari
orang lain, mutu kepemimpinan dan inisiatif dari rekan kerja, dan memberikan
ruang partisipasi bagi rekan kerja dalam pengambilan keputusan. Ini
merupakan bentuk dari sikap paternalistik yang masih sangat menonjol, dan
bahkan dilanggengkan.
Kedua, kurangnya ketrampilan dasar yang diperlukan untuk mengelola
suatu usaha agar berhasil. Dalam industri kecil, dapat dikatakan terdapat
kekurangan "know-how" usaha. Kekurangan ini di semua bidang dunia usaha,
tetapi bukan pengetahuan yang baik mengenai produk, atau metode
pembuatannya karena kedua hal inilah sebenarnya yang mendorong
pengusaha untuk berdiri sendiri. Ketiadaan atau kekurangan pengetahuan ini
dapat dilihat di bidang-bidang seperti tata buku, aspek keuangan, aspek
pemasaran, aspek distribusi, pengelolaan sumber daya, dan sebagainya. Lebih
lanjut hal ini akan membuat pihak investor atau bank tidak bersedia
menyediakan kredit. Artinya pengusaha kecil akan tetap kesulitan dalam
usahanya meningkatkan modal untuk perluasan dan pembesaran modal dan
produksi.
Ketiga, keengganan pengusaha kecil untuk mencari informasi tentang
lembaga-lembaga yang dapat membantunya. Inilah penyebab mengapa
kunjungan-kunjungan tidak dilakukan pada lembaga-lembaga keuangan dan
juga tidak ada usaha mencari informasi mengenai lembaga-lembaga itu. Juga
keengganan pengusaha-pengusaha kecil menjadi anggota atau himpunan
produsen dan perserikatan-perserikatan bebas lainnya dalam ekonomi, atau
sekedar meminta nasehat kepada mereka. Bahkan juga untuk mengikuti
pelatihan-pelatihan baik niaga maupun yang teknis.
19. Ciri-ciri industri kecil di Indonesia yang seperti ini hampir merata ada di
seluruh desa-desa yang ada. Walaupun struktur industri di Indonesia
mempunyai perbedaan-perbedaan antar daerah atau provinsi. Misalnya di Jawa
Tengah, juga di daerah Yogyakarta, jumlah kerajinan rumah tangga terhadap
jumlah penduduk relatif sangat besar. Sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Timur
menunjukkan angka yang jauh lebih rendah.
Industrialisasi desa-democratic governance
Industrialisasi di desa tidak hanya akan berdampak pada bidang
ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik, sosial dan budaya. Lebih jauh lagi
adalah tata kelola pemerintahan dan kelembagaan di desa. Sehingga kajian
tentang industrialisasi desa sangat erat terkait dengan proses demokratisasi di
desa, apakah akan mengarah pada sisi negatif atau sisi positif.
Pertama, penguatan transformasi politik dalam bentuk demokrasi dan
otonomi desa tampaknya mengalami keterbatasan dan kesulitan jika tidak
ditopang oleh basis ekonomi desa yang kuat. Jika demokrasi dan otonomi desa
tidak mampu menjawab tuntutan kesejahteraan sosial-ekonomi maupun
pengurangan kemiskinan, maka program demokratisasi dan desentralisasi
secara lambat-laun akan mengalami delegitimasi dan distrust di hadapan
rakyat desa, dan dalam jangka panjang akan semakin mempersulit kedua
agenda transformasi politik itu. Karena itu kami meyakini bahwa industrialisasi
desa merupakan alternatif untuk menjawab ketegangan antara desentralisasi-
demokratisasi dengan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa.
Industrialisasi desa merupakan alternatif untuk memperkuat program APBDes
yang baik (transparan, akuntabel, responsif dan partisipatif) maupun Alokasi
Dana Desa (ADD), memperlancar demokrasi dan otonomi desa, memperkuat
basis ekonomi bagi otonomi desa, mengurangi kemiskinan, menekan laju
urbanisasi, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa.
Kedua, keberadaan desa hampir tidak lepas dari kebijakan pemerintah
maupun kaitan (linkage) ekonomi antara desa dan kota. Program pembaharuan
desa, termasuk desentralisasi dan demokratisasi desa, hampir tidak pernah
20. menyentuh isu kaitan desa-kota itu. Sejarah telah membuktikan bahwa
pembangunan ekonomi, termasuk industrialisasi desa, selalu bias kota, yang
tidak berpihak pada desa. Meski kapitalisasi dan industrialisasi masuk ke
wilayah desa, tetapi hanya menjadikan desa sebagai obyek eksploitasi yang
hasilnya dibawa dan dinikmati oleh kota. Desa menjadi tempat produksi,
sementara kota menjadi tempat perdagangan, distribusi dan konsumsi.
Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional
akibat dari wilayah perkotaan hanya sekadar menjadi pipa pemasaran
(marketing pipe) dari arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks
demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh
kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan
dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah
(regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu,
program ketiga IRE ini juga akan menyentuh isu ketimpangan desa-kota dalam
konteks hubungan produksi-distribusi tersebut, seraya mendorong perubahan
hubungan ekonomi baru yang berpihak pada desa.
Ketiga, industrialisasi desa tentu bukan fenomena baru. Sebagaimana
sudah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, dan akan kami perkuat dalam
argumen di bawah, tata kelola industrialisasi desa telah berjalan lama tanpa
sentuhan governance reform, melalui demokratisasi (partisipasi masyarakat)
dan desentralisasi (kewenangan desa). Keputusan untuk membuka hadirnya
investasi (industrialisasi) ke desa merupakan kewenangan pemerintah
supradesa, sementara desa hanya menjadi wilayah (lokasi) proyek
industrialisasi. Desa secara kelembagaan tidak mempunyai kewenangan untuk
mengambil keputusan dalam proses awal masuknya investasi ke desa, dan
masyarakat tidak memperoleh ruang partisipasi untuk mengontrol proses
ekonomi-politik yang sangat elitis itu. Karena tidak adanya governance reform
dalam tata kelola industrialisasi desa, maka yang terjadi kemudian adalah
bahwa industrialisasi tidak menguntungkan desa, bahkan malah menimbulkan
kerugian besar bagi desa, meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa,
21. dan tidak jarang memunculkan konflik antara masyarakat setempat dengan
perusahaan (industri).
Dalam kaitan peta problem dan kecenderungan perubahan yang tengah
terjadi itulah, pergerakan industrialisasi desa tentu perlu dipahami sebagai
tantangan mendasar yang perlu dijawab secara antisipatif-kritis saat ini dan di
masa-masa mendatang. Memadukan industrialisasi desa (pertanian),
kesejahteraan warga dan democratic governance menjadi tantangan tersendiri
bagi pemerintah desa masa depan.
Penutup
Hingar-bingar pembahasan tentang kebijakan otonomi daerah
belakangan ini dapat dikatakan hamper tidak pernah membicarakan tentang
otonomi desa. Padahal semua mafhum bahwa desa merupakan kesatuan
masyarakat hokum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-
usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, desa
sesungguhnya merupakan daerah otonom ‘adat’ yang sepantasnya
mendapatkan tempat dari daerah otonom ‘formal’ untuk mensukseskannya.
Di sisi lain, desa merupakan entitas pemerintahan terrendah yang juga
selama ini menjadi obyek dan komoditas Pemerintah dan daerah otonom
formal dalam berbagai kegiatannya. Dijadikan obyek/komoditas ekonomi
dalam arti desa senantiasa menjadi sasaran pelaksanaan program dan kegiatan
Pemerintah dan daerah otonom ’formal’, tetapi ternyata program dan kegiatan
tersebut selalu tidak memihak kepentingan masyarakat desa. Pencanangan
ekonomi kerakyatan misalnya, tidak lebih sebagai jargon yang tidak pernah
membumi, apalagi bagi masyarakat pedesaan. Industri kecil tidak pernah bisa
tumbuh di desa karena sumber- sumber daya sebagian besar berada di
perkotaan.
Sedangkan desa dijadikan komoditas politik, dalam arti masyarakat desa
selama ini lebih banyak menjadi pihak yang menjadi sasaran kamuflase politik,
22. apakah dalam pemilu legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, kepala
daerah, dan termasuk pemilihan kepala desa. Singkatnya, masyarakat sudah
terbiasa menjadi ’wong cilik’ yang dicatut namanya demi kepentingan politik.
Mengingat kondisi yang demikian, tentu kita semua patut prihatin
karena desa merupakan inspirasi dan sumber bagi berlangsungnya
pemerintahan tingkat di atasnya. Tanpa adanya desa, niscaya pemerintahan
keamatan tidak akan berjalan, kabupaten/kota tidak akan berdaya, dan
propinsi tidak akan berguna, akhirnya negara pun tidak akan bisa berbuat apa-
apa.
Dengan perkataan lain, otonomi desa – terlepas apakah otonomi formal
ataukah adat – perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh para
pelaksana pemerintahan daerah. Pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam
desa yang bercirikan agraris dan dipadukan dengan industrialisasi (pertanian)
tentu akan membawa desa kita lebih maju dan masyarakatnya lebih sejahtera.
23. Daftar bacaan
Arief, Sritua, Dari Prestasi Pembangunan Sampai Prestasi Politik-Kumpulan
Karangan, Penerbit Univ. Indonesia, Jakarta, 1990
Booth, Anne Barbara, Agricultural Development in Indonesia, Harry Ransom
Humanities Research Center Publication, USA, 1990
Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solohin, Otonomi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2004
Gaffar, Affan, dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Jakarta, 2002
Husken, Frans, Development and Social Welfare: Indonesia’s Experiences
Undre the New Order, Cellar Book Shop, Netherland, 1998
Kansil, C.S.T, Dan Cristine S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi
Aksara, Jakarta, 2005
Nugroho, Riant D., Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi, Elex Media
Komputindo, Jakarta 2000
Nurcholis, Hanif, Teori Dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Grasindo, Jakarta, 2005
Wahono, Francis, Ph.D, SJ (Romo), Mengenali Wajah Globalisasi Ekonomi di
Pedesaan, Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2005
IRE Report, 2005