1. MAKALAH
RIBA dan BUNGA
Dosen Pengampu:
Bakhrul Huda, M.E.I
Penyusun:
Muhammad Samsul Mu’arif (G04219041)
Nabila Rasya Annisa (G04219051)
Naufal Hanif Ginang Wijnana (G04219057)
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2019
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt, atas limpahan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah sesuai dengan rencana. Shalawat serta salam semoga tetap
terhaturkan kepada Rasulullah Muhammad Saw yang telah membawa umatnya dari kegelapan
menuju jalan terang benderang berupa agama Islam.
Makalah disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perbangkan Syariah Di
Indonesia dengan judul “Riba Dan Bunga”. Dengan terselesaikannya penulisan makalah ini
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1) Allah Swt karena hanya dengan seizin-Nya makalah ini dapat terselesaikan.
2) Bakhrul Huda, M.E.I Selaku dosen pembimbing mata kuliah Perbangkan Syariah Di
Indonesia.
3) Serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini
4) Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun tugas makalah
ini. Oleh karena itu mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan
penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Amin
Surabaya, 17 Febuari 2020
Penulis
3. DAFTAR ISI
Halaman Depan........................................................................................................................
Kata Pengantar..........................................................................................................................
Daftar Isi...................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................
A. Latar Belakang..............................................................................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................
A. Pengertian Riba dan Bunga...........................................................................................
B. Perbedaan dan Persamaan Riba dan Bunga..................................................................
C. Beberapa Tokoh yang Berasumsi Bahwa Bunga itu Riba............................................
D. Beberapa Tokoh yang Berasumsi Bahwa Bunga Bukan Riba ....................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Riba telah berkembang dari zaman jahiliyah sampai saat ini. Di Indonesia telah menjadi
perdebatan hangat mengenai bunga bank adalah riba, riba sendiri merupakan pendapatan
yang diperoleh secara tidak adil. Karena pada hakekatnya, riba atau pinjaman yang salah
penerapannya akan berakibat pada peningkatan harga barang normal menjadi sangat
tinggi. Sehingga berpengaruh besar terhadap neraca pembayaran antar bangsa, kemudian
mengakibatkan laju inflasi melejit.
Pelanggaran riba (prohibition of riba) dalam riba secara tegas dinyatakan haram seperti
khamar. Dalam perspektif ekonomi, pengharaman riba disebabkan oleh 4 faktor utama
yaitu: pertama, Karena riba menimbulkan ketidakadilan. Kedua karena riba menjadi
penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dan peminjam. Ketiga,
riba menjadi penghambat investasi karena semakin tinggi tingkat bunga maka semakin
kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi di sektor rill. Keempat, bunga dianggap
sebagai tambahan biaya produksi.
Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara dan
penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana.
Peran ini disebut “Financial Intermediary”. Dalam melaksanakan tugasnya yang paling
menonjol sebagai financial intermediary itu, bank dapat dikatakan membeli uang dari
masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada
masyarakat yang memerlukan dana ketika ia memberi pinjaman kepada mereka. Dalam
kegiatan ini muncul apa yang disebut bunga. Sri Edi Swasano, seorang pakar muslim dalam
disipilin ilmu ekonomi, berpendapat bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi jual-
beli tersebut. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai jasa, merupakan
ongkos adminitrasi dan ongkos sewa. Sehingga dari sini kelihatan bahwa penyimpanan
uang di bank akan mendapat bagian keuntungan dari bank berupa bunga yang diambilkan
dari bunga yang diterima oleh bank (Zuhri, 1996). Kapan sebenarnya manusia mulai
mempraktekkan riba? Tak ada catatan pasti tentang ini. Yang jelas, pada masa Nabi Musa
AS. orang- orang Yahudi dilarang mempraktekkan bunga. Larangan ini, terdapat di Old
Testament (Perjanjian Lama) dan UU Talmud. Di antaranya, Kitab Deuteronomy
5. (Ulangan) pasal 23 ayat 19: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik
uang maupun bahan makanan atau apa pun yang dapat dibungakan Ibnu Abi Zayd (w 136
H754 M) mengungkapkan bahwa praktek riba juga melanda bangsa Arab pra-Islam, di
mana riba dilakukan dengan berlipat ganda baik terhadap uang maupun berbagai macam
komoditi, serta perbedaan umur berlaku bagi binatang ternak. Apabila sudah mencapai
jatuh tempo, pihak piutang (kreditur) akan menanyakan kepada pihak yang berutang
(debitur), apakah engkau akan melunasi sekarang atau menambah pembayaran jumlah
utang yang engkau pinjam? Jika pihak debitur mempunyai sesuatu maka ia akan
membayarkannya, tetapi jika hutangnya berupa binatang ternak, maka umurnya dapat
meningkat (pada waktu pembayarannya).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian riba dan bunga ?
2. Apa perbedaan dan persamaan antara riba dan bunga?
3. Siapakah tokoh-tokoh yang menyatakan bahwa bunga adalah riba?
4. Siapakah tokoh-tokoh yang menyatakan bunga bukan riba?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Memahami pengertian riba dan bunga.
2. Mengetahui dan memahami perbedaan maupun persamaan antara riba dan bunga.
3. Mengetahui tokoh-tokoh yang menyatakan bahwa bunga adalah riba.
4. Mengetahui tokoh-tokoh yang menyatakan bunga bukan riba.
6. BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RIBA DAN BUNGA
Riba dalam bahasa arab adalah ziyadah yang berarti tambahan.dapat diartikan juga
secara linguistic riba juga berarti tumbuh dan membesar. Dalam bahasa Inggris, adalah
usury, yang artinya suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga yang mencekik.
Menurut para Fuqaha riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara bathil baik dalam utang piutang maupun jual beli. Zuhaili menyebutkan bahwa arti
riba secara etimologi adalah tambahan.1 Imam Sarkhasi (bermazhab Hanafi)
mendefinisikan riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi jual beli tanpa
adanya iwadh (padanan).2 Ekonom muslim menyatakan riba adalah pengambilan tambahan
yang harus dibayarkan, baik dalam transaski jual beli maupun dalam pinjam meminjam.3
Ada beberapa pendapat yang dapat menjelaskan pengertian riba, Namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual–beli maupun pinjam– meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip muamalat dalam islam. Secara garis besar penghapusan riba dapat dimaknai sebagai
penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang dapat menimbulkan kezaliman atau
ketidakadilan. Berbicara mengenai bunga bank, maka tidak bisa lepas dari yang namanya
riba. Dan kata riba itu sendiri dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “tambahan”
(az-Ziyadah)” (Nasution, 1996) atau “kelebihan”(Zuhdi, 1998), yakni tambahan
pemabayaran atas uang pokok d pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba
merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang sedang
bertransaksi.
Riba tidak hanya dipahami dan direduksi pada masalah bunga bank saja. Tetapi dapat
diartikan riba dapat hidup laten atau poten di dalam sistem ekonomi yang diskriminatori,
eksploitatori, dan predatori yang berarti dapat hidup di dalam suatu sistem ekonomi
1 Zuhaili,Tafsir al- Munir fi al-Aqidah wa as-Syariah wa al-Manhaj(Bierut:Dar al-Fikr al-Muashir,1998),hal.84
2 As-Sarkhasi,Al-Mabsut,(Mauqi al-Islam,tanpa tahun), Vol 14, Hal 461
3 Al-Jurjani,at-Ta’rifat(Mesir:Mustafa al_Babi al-Halabi wa Auladuh,1938),p.97.
7. subordinasi, kapitalistik, neoliberalistik dan hemogemonik imperialistik, yang tidak bisa
dibatasi dari segi perbankan saja4
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang piutang (yad)
dan riba jual beli (bai’). Riba hutang – piutang (yad) terbagi menajdi dua yaitu: Riba qardh
dan riba jahiliyah. Sedangkan riba jual beli atau (bai’) terbagi dua juga yaitu: Riba fadhl
dan riba nasi’ah. Berikut penjelasanya 5 :
1. Riba Hutang Piutang (yad):
a) Riba Qardh yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtaridh).
b) Riba Jahiliyah adalah hutang dibayar lebih dari pokonya , Karena si peminjam tidak
mampu membayar hutangnya pada waktu yang di tetapkan .
2. Riba Jual Beli (Bai’):
a) Riba Fadhl adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda , sedangkan barang yang di pertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi.
b) Riba Nasi’ah adalah penangguhan penyerahaan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang di pertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba dalam nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang di serahkan kemudian.
Prinsip – prinsip untuk menentukan adanya riba di dalam transaksi kredit atau barter
yang diambil dari sabda Rasulullah SAW:
1. Pertukaran barang yang sama jenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik
secara kredit maupun tunai dan mengandung unsur riba.
Contoh: adanya unsur riba di dalam pertukaran satu ons emas dengan setengah ons
emas.
2. Pertukaran barang yang sama jenis dan jumlahnya, tetapi berbeda niali atau
harganya dan dilakukan secara kredit serta mengandung unsur riba. Pertukaran
semacam ini akan terbebas dari unsur riba apabila di jalankan dari tangan ke tangan
secara tunai.
4 Sri-Edi Swasono,”Ekonomi IslamdalamPancasila”,Makalah Interntional Seminar on Implementation of
IslamicEconomics,dalamrangka Annual Meetingf of Indonesian Economics Experts Association UNAIR
(Surabaya,18-17 Februari 2020),h. 22-23.
A. 5 Antonio Syafii ,Bank Syariah dari Teori ke Praktik , Geman Insani Perss ,2001 h 41.
8. 3. Pertukaran barang yang sama nilai dan harganya tetapi berbeda jenis dan
kuantitasnya, serta dilakukan secara kredit dan mengandung unsur riba. Tetapi
apabila pertukaran ini dilakukan dari tangan ke tangan secara tunai, maka
pertukaran tersebut bebas dari riba.
4. Pertukaran barang yang berbeda jenis, nilai dan kuantitasnya, baik secara kredit dari
tangan ke tangan, terbebas dari riba, sehingga di perbolehkan.
5. Jika barang itu dicampurkan yang mengubah jenis dan nilainya, pertukaran dengan
kuantitas yang berbeda baik secara kredit maupun dari tangan terbebas dari unsur
riba sehingga sah.
6. Di dalam perekonomian yang berasaskan uang, harga barang ditentukan dengan
standar mata uang suatu negara, pertukaran suatu barang yang sama dengan
kuantitas berbeda, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, Keduanya
terbebas dari riba, dan oleh karenanya di perbolehkan.
Menurut imam syafi’i jenis barang yang masuk ke dalam barang ribawi ialah: pertama,
Mata uang emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
Kedua, bahan makanan pokok, seperti: beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan
tambahan, seperti: sayur-sayuran, buah-buahan.
Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba
secara eksplisit di antaranya adalah: 1. Firman Allah SWT:
a. Surat Ali Imran (30): 130 تقلحون لعلكم هللا واتقوا مضفة اضعافا الربوا كلوا تا ال امنوا یایھاالدین
b. Surat Al Baqarah (2): 275 الربوا وحرم البیع هللا واحل
c. Surat Al Baqarah (2): 278 - 279 من بقي ما روا ود هللا اتقوا امنوا الدین یاایھا.مؤمنین كنتم ان بوا الر
والتظلمون التظلمون اموالكم رءوس فلكم تبتم وان ورسولھ هللا من بحرب نوا فاد تفعلوا لم فان
Dari beberapa ayat dan hadis yang telah disebutkan tadi jelaslah bahwa riba itu betul-
betul dilarang dalam agama Islam. Muncul sebuah pertanyaan, apakah semua riba termasuk
dalam katagori arti atau maksud dari ayat dan hadits di atas?. Jawaban dari pertanyaan
tersebut adalah ada beberapa pendapat dari para ulama. Di sini dijelaskan riba nasi’ah
jelasjelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya (kejadian di masa jahiliyah).
Jadi, dengan kata lain, turunnya ayat itu karena adanya riba nasi’ah.
bayaran; apabila terlambat lagi, ditambah pula terus-menerus, tiap keterlambatan wajib
ditambah lagi, sampai utang yang asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu.
Kalau dengan gadai, barang yang tergadai juga tetap tergadai”(Rasjid, 1997) Menurut Ibnu
Qayyim dalam kitab ‘Ilami al-Muwaqi’in, sebagaimana dikutip Sulaiman Rasjid,
9. mengatakan, bahwa “riba nasi’ah adalah riba yang dilakukan oleh kaum jahili di masa
jahiliyah. Mereka menta-khirkan utang dari waktu yang semestinya dengan
menambahSecara leksial, Bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah
sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is a charge for a
financial loan, ussualy a percentage of the amount loaned. Pendapat lain menyatakan
“interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal.
Jumlah tersebut misalnya dinyatakan degan satu tingkat atau prosentase modal yang
bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering dikenal dengan suku bunga modal”
(Muhammad, 2000). Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya
dinyatakan dengan prosentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan
interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal.
Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang
bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
Hakikat pelarangan tersebut adalah tegas, mutlak, dan tidak mengandung perdebatan.
Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar pada pinjaman dan bukan
bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun kecil, pemberian jasa atau kebaikan
sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan dari uang pokok. Meskipun demikian, jika
pemgembalian pinjaman pokok dapat bersifat positif atau negatif tergantung pada hasil
akhir suatu bisnis, yang tidak diketahui terlebih dahulu. Ini diperbolehkan asal ditanggung
bersama menurut prinsip- prinsip keadilan yang ditetapkan dalam syari’ah.
Bunga dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu:
1. Bunga tetap: Tingkat suku bunga akan berubah selama satu periode tertentu sesuai
kesepakatan. Jika suku bunga pasar berubah, maka bank akan tetap konsisten pada suku
bunga yang telah menjadi kesepakatan.
2. Bunga mengambang: dalam system ini tingkat suku bunga akan mengikuti naik
turunnya suku bunga pasar. Sistem kredit ini ditetapkan untuk jangka panjang.
Contohnya: kredit kepemilikan bunga.
3. Bunga Flat: pada system ini, jumlah pembayaran pokok dan bunga kredit besarnya
sama setiap bulan.
4. Bunga Efektif: perhitungan beban bunga dihitung setiap akhir periode pembayaran
angsuran bedasarkan saldo pokok. Beban bunga akan berkurang seiring dengan cicilian
pada setiap bulannya.
10. 5. Bunga Anuitas: cara kerja bunga anuitas hampir sama dengan bunga efektif. Namun
terdapat rumus anuitas didalam perhitungan beban bunga anuitas yang bisa menetapkan
besarnya cicilan sama secara terus menerus.
Dampak dari riba yang dapat dirasakan oleh masyarakat adalah
Semua agama samawi (revealed relegion) telah melarang praktek bunga bank, karena
dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat
langsung pada praktek riba pada khususnya. Adapun dampak akibat dari praktek riba
adalah: 1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin. 2. Uang
modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang
produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat ciptakan
lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik
modal itu sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang
belum produktif. 3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa
mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu untuk
mengembalikan pinjaman dan bunganya (Zuhdi, 1997). 4. Riba dapat menimbulkan
permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama atau saling menolong
dengan sesama manusia, dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan
menimbulkan prasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu penderitaan
orang lain. 5. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan
modal dengan menenutut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah
disepakati bersama menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan
tindakantindakan yang tidak baik untuk menuntut keasepakatan tersebut. Karena dalam
kesepakatan kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang telah diperoleh dari
kelibahan bunga yang akan didapat, dan itu sebenarnya hanya berupa pengharapan dan
belum terwujud.
B. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN RIBA DAN BUNGA
Pada dasarnya segala jenis riba dalam pandangan islam hukumnya haram. Definisi ini
sudah sangat jelas, sepanjang sejarah bahwa riba adalah dilarang tanpa diragukan lagi.
Namun pertanyaan yang seringkali muncul adalah apa yang dimaksud riba?. Di antara
mazhab pemikiran Islam berpendapat bahwa riba mencakup bunga (intrest) dalam segala
bentuknya.6 Tetapi, beberapa ulama tidak serta merta menerima pendapat yang menyatakan
6 M. Umer Chapra,The Future Of Economics: An Islmic Perspective,terj. Amdiar Amir dkk. (Jakarta:Penerbit
Shariah Economic and BankingInstitute(SEBI), 2001), hlm. 264.
11. bahwa bunga bank termasuk riba. Kontroversi mengenai hal ini terus terjadi perdebatan,
baik dikalangan mahasiswa, para ulama maupun para ekonom muslim. Ada beberapa
pendapat ulama terkait dengan perdebatan riba dan bunga bank. Pertama, mayoritas ulama
salaf dan khalaf, termasuk al-A’immah al-Mujtahidin dari kalangan Sunni dan Syi’i.
sedangkan dari kelompok neo- revevalis, seperti Abu A’la al-Maududi, melihat riba dari
segi dampak yang ditimbulkan. Mereka sepakat bahwa hukum riba an-nasiah adalah haram
berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 275-278. Jenis riba an-nasi’ah adalah praktek riba yang
terjadi pada masa Jahiliyyah pra-Islam. Terkait perdebatan apakah bunga bank sama
dengan riba atau tidak, Al- Maududi menyatakan bahwa bunga bank adalah termasuk riba
yang dilarang.7 Pernyataan al-Maududi adalah sesuai dengan Fatwa Majlis Ulama
Indonesia yang berpendapat bahwa bunga bank adalah haram. Menurut Adiwarman Karim,
bunga bank dalam perbankkan konvensional termasuk riba an-nasi’ah. Praktek ini
seringkali muncul dalam pembayaran bunga deposito, tabungan, giro dan lainlain. Karim
menjelaskan lebih jauh bahwa keharaman bunga bank karena bank sebagai kreditur
mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu
diawal transaksi. Padahal bisa jadi nasabah yang mendapatkan pinjaman tersebut belum
tentu untung, tetapi ia harus membayar bunganya ke bank, dan bank tidak mau tahu apakah
nasabah tersebut untung atau rugi.
Disinilah adanya unsur saling mendhalimi dan ketidakadilannya. Unsur-unsur yang
seperti ini tidak diperbolehkan dalam Islam.8 Pendapat kedua, menurut ulama modernis,
seperti Muhammad Abduh dan Rasyaid Ridha, berpendapat bahwa bunga bank dapat
dikategorikan riba jika bunga tersebut berlipat ganda.9 Pendapat ini didasarkan pada ayat
al- Qur’an Surat Ali Imran (3): 130. Konsekwensinya adalah Abduh membolehkan bunga
bank dengan alasan bahwa, pertama, bunga bank adalah tidak bersifat menindas, justru
mendorong kemajuan ekonomi; kedua, menabung di bank pada dasarnya merupakan
perkongsian (mudharabah), walaupun tidak sama persis dengan yang diformalkan dalam
fikih; dan ketiga, sebagai konsekwensi alasan pertama, yaitu perbankkan dapat mendorong
kemajuan dalam bidang- bidang lain, disamping ekonomi. Pendapat ini juga oleh pendapat
Ahmad Hasan dan Umer Chapra yang menyatakan bahwa riba diharamkan karena berlipat
ganda dan eksploitatif. Sehingga ia berpendapat bahwa hukum bunga lembaga-lembaga
7 Abu al-A’la al-Maududi,ar-Riba(Beirut:Dar al-Fikr;t.t), p. 40-2,82, 113-9 dan al-Maududi,Islamdan Delema
Ekonomi, penerj. Rifyal Ka’bah (Jakarta:Menoret, t.t ), p.70. lihatjuga Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah ,hlm.
278-279.
8 Habib Nazir dan Muhammad Hasanuddin,InseklopediEkonomi Dan Perbankkan Syariah…,hal.564.
9 Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar,cet.2 (Bierut: Dar Ma’rifah li at-Taba’ah wa an-Nasyr,t.t.) III.114.
12. keuangan modern adalah tidak haram karena tidak sama dengan riba pada zaman Jahiliyyah
yang berlipat ganda dan eksploitatif.10
Kemudhorotan system bunga sehingga di kelompokkan sebagai riba, antara lain
adalah:
1. Mengakumulasi dana untuk kehidupan pribadi
2. Bunga adalah tanggungan yang diberikan kepada penanggung selanjutnya
3. Menyalurkan hanya kepada mereka yang mampu
4. Penanggung terakhir adalah masyarakat
5. Terjadi kesenjangan yang tidak ada habisnya.
C. BEBERAPA TOKOH YANG BERASUMSI BAHWA BUNGA ADALAH RIBA
Beberapa tokoh berbeda pendapat tentang riba yang diharamkan adalah riba yang
bersifat ’afatan atau berlipat ganda. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdullah Yusuf Ali
dan Muhammad Asad, yang menafsirkan riba sebagai usury yang berarti suku bunga yang
lebih dari biasanya atau suku bunga yang tinggi dan bukan interest (bunga yang rendah).
Adanya perbedaan penafsiran terhadap interest dan usury ini membawa konsekwensi
problem konseptual yang serius sehingga timbul perbedaan pendapat terhadap kategori riba
yang diharamkan. Jika merujuk kepada pendapat tafsiran Abdullah Yusuf Ali dan
Muhammad Asad maka bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan.11
Senada dengan pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abduh, Muhammad
Rashid Rida, Abd al-Wahab Khallaf, Mahmud Shaltut.12 Mereka berpendapat bahwa riba
yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda dan tidak termasuk riba yang kadarnya
rendah. Mereka memahami sesuai dengan konteks ayat riba yang mengharamkan riba yang
berlipat ganda. Sanhuri juga menganggap sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah Saeed,
bahwa bunga yang rendah atas modal adalah halal atas dasar kebutuhan. Ia menambahkan
bahwa hukum harus menentukan batas-batas suku bunga, metode pembayaran dan total
bunga yang harus dibayar. Namun pendapat terakhir ini mempunyai beberapa kelemahan,
karena sepanjang sejarah tingkat (kadar) suku bunga berbeda-beda (fluktuatif) mengikuti
keadaan, baik dari segi waktu dan tempat. Oleh karena itu sukar untuk menentukan tingkat
suku bunga yang tinggi atau yang rendah berdasarkan waktu dan tempat.
10 Umar Chapra,The Future of Economics: An Islamic Perspective,terj.(Jakarta: SEBI, 2001), hal.265.dan juga
lihatAbdul Mungits, Ketidakpastian Jenis dan KriteriaHukumRiba,hal.50.
11 1 M. Umer Chapra,The Future of Economics: An Islamic Perspective,h.2001: 222-223.
12 Ab. Mumin Ab. Ghani & Fadillah Mansor(Penyunting),DinamismeKewangan Islamdi Malaysia,39.Abdullah
Saeed, Islamic Bankingand Interest, 42-44.
13. Mohammad Hatta. Mantan Wakil Presiden RI, sebagaimana dikutip oleh Masjfuk
Zuhdi menerangkan bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat kosumtif, sedangkan
rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif, demikian pula istilah usury dan
interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku
bunga yang diperbolehkan oleh hokum. yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya
lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang. Dalam pandangan sebagian
mufassir, kata sandang (definite article alif lam), berarti menunjuk kasus tertentu
(ma’rifah). Maka makna kata ar- riba yang dimaksud adalah praktek pengambilan untung
dari debitur yang sudah biasa di kalangan orang-orang Arab pra-Islam ketika al-Qur’an
belum diturunkan, dengan pemahaman ini, kesimpulan awal yang barangkali sangat
penting untuk dicatat, bahwa untuk bisa memahami ayat secara lebih tepat dan mengena,
seorang harus mengetahui sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat (asbab an-Nuzul),
barulah kemudian dapat diketahui apa arti riba sebenarnya (Nasution, 1996). Abu zaheah,
abu’ala al-maududi Abdullah al- ‘arabi dan yusuf Qardhawa mengatakan bahwa bunga
bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh islam. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-
Syirbashi, menurut beliau bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan
uang di bank termasuk jenis riba,baik sedikit maupun banyak.
Pendapat ketiga, menurut pendapat Fazlurrahman (1984), Muhammad Asad (1984),
dan Said Najjar (1989) bahwa riba dikatakan haram karena eksploitatif. Mereka memahami
ayat-ayat riba lebih melihat pada aspek moral dari pada legal-formalnya. Sehingga mereka
berpendapat bahwa hukum bunga bank menjadi fleksibel dan relatif. Jadi bunga bank yang
dilarang adalah yang dalam prakteknya ada unsur eksploitasi terhadap debitur. Jika tidak,
maka bunga bank tidak dilarang. Douallibi (Syiria) membedakan antara pinjaman produktif
dan konsumtif. Ia berpendapat bahwa dalam pinjaman produktif diperbolehkan ada bunga,
sedangkan dalam pinjaman konsumtif tidak diperbolehkan karena ada unsur eksploitasi
terhadap orang lemah.
Argumen lainnya yang menyatakan bahwa karena bunga yang diberikan oleh institusi
keuangan saat ini tidak sama dengan riba yang dipraktekkan pada zaman jahiliah. Tetapi
argumen ini, tidak mampu menggoyangkan pendapat para fuqaha dan mayoritas ekonom
muslim modern yang menjunjung konsensus historis tentang riba, yang banyak mendapat
dukungan.18 Pendapat mereka, istilah riba mengandung arti bunga dalam segala
manifestasinya tanpa membedakan antara pinjaman untuk konsumtif maupun produktif,
antara pinjaman bersifat personal maupun komersial, atau apakah peminjam itu
pemerintah, individu swasta atau perusahaan dan tidak membedakan antara suku bunga
14. rendah maupun tinggi. Hal ini jelas terangkum pada Q.S. al-Baqarah [2]: 275-279.
Argumen bagi kalangan yang mencari celah untuk membolehkan bunga, bahwa bunga
dilarang karena pada zaman Rasulullah Saw hanya ada pinjaman konsumtif dan bunga yang
disertakan dalam pinjaman tersebut termasuk pemerasan. Tetapi pendapat ini tidak tepat
dan bertentangan dengan fakta. Sebab secara historis, pada periode Nabi Saw masyarakat
muslim telah terbiasa dengan cara hidup yang sederhana dan tidak melakukan praktek
konsumsi mencolok, oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meminjam uang untuk tujuan
pamer diri dan untuk keperluan konsumsi yang tidak penting. Kalaupun diasumsikan ada,
praktek pinjaman ini pasti sangat terbatas pada kalangan tertentu dan jumlahnya pun sedikit
sehingga dapat dipenuhi lewat qard al-hasan
D. BEBERAPA TOKOH YANG BERASUMSI BAHWA BUNGA BUKAN RIBA
Mufti besar Mesir Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Rida, memahami larangan
riba dalam al-Qur’an karena melipatgandakan kelebihan/keuntungan setelah jatuh tempo.
Menurut keduanya, kelebihan (atau bunga) yang disepakati dalam akad pertama tidaklah
haram. Yang haram itu ialah jika setelah jatuh tempo dibuat akad lain dengan
melipatgandakan bunga karena si peminjam tidak mampu membayar. Mufti besar Mesir
Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Rida, memahami larangan riba dalam al-Qur’an
karena melipatgandakan kelebihan/keuntungan setelah jatuh tempo. Menurut keduanya,
kelebihan (atau bunga) yang disepakati dalam akad pertama tidaklah haram. Yang haram
itu ialah jika setelah jatuh tempo dibuat akad lain dengan melipatgandakan bunga karena si
peminjam tidak mampu membayar.
Suatu tingkat bunga simpanan akan dikatakan menarik manakalah: Pertama, lebih
tinggi dari tingkat inflasi, karena pada tingkat bunga yang lebih renda, dana yang disimpan
nilainya akan dikikis inflasi. Kedua, lebih tinggi dari tingkat bunga riil di luar negeri karena
pada tingkat bunga yang lebih rendah dengan dianutnya sistem devisa bebas, dana-dana
besar akan lebih menguntugkan untuk disimpan (diinvestasikan) di luar negeri. Ketiga,
lebih bersaing di dalam negeri, karena penyimpanan dana akan memilih bank yang paling
tinggi menawarkan tingkat bunga simpanannya dan memberikan berbagai jenis bonus atau
hadiah. Kemudian pada sisi penyaluran dana tingkat bunga simpanan itu ditambah dengan
prosentasi tertentu untuk spread yang terdiri dari; Biaya operasional, Cadangan kredit
macet, Cadangan wajib, dan Profit marjin, dibebankan kepada peminjam dana. Artinya
peminjam dana-lah yang sebenarnya membayar bunga simpanan dan spread bagi bank
tersebut.
15. Dari beberapa ulama dapat kita simpulkan bahwa:
1. Dalam keadaan darurat bunga halal haramnya, hanya bunga yang berlipat ganda
saja yang dilarang. Adapun suku bunga yang “wajar” dan tidak mendholimi
diperkenankan
2. Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank sebagai Lembaga
“hukum”tidak termasuk dalam territorial hukum ta’lif.
3. Hanya kredit yang bersifat konsumtif sajalah yang pengambilan bunganya dilarang,
adapun yang produktif tidak demikian
4. Bunga diberikan sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan untuk memperoleh
keuntungan dari pengelola tersebut.
5. Uang dapat dianggap sebagai komoditi sebagaimana barang-barang lainnya
sehingga dapat disewakan atau mengambil upah atas barang tersebut.
6. Jumlah uang masa kini memiliki nilai yang lebih tinggi dari jumlah yang sama pada
suatu nanti, oleh karena itu bunga diberikanb untuk mengimbangi penurunan nilai
atau daya beli uang ini.
7. Bunga diberikan untuk mengimbangi laju inflasi yang mengakibatkan menyusutnya
nilai uang atau daya beli uang itu.
8. Bunga diberikan sebagai imbalan atas pengorbanan tidak atau berpantang
menggunakan pendapatan yang diperoleh.
16. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan elaborasi dan analisis dapat disimpulkan bahwa hukum riba dalam
Alqur’an dengan tegas dinyatakan haram. Esensi pelarangan riba (usurios) dalam Islam
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral dan kemanusiaan sebab esensi
pelarangan riba adalah penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan
kezaliman dan ketidakadilan.
Beberapa tokoh berbeda pendapat tentang riba yang diharamkan adalah riba yang
bersifat ’afatan atau berlipat ganda. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdullah Yusuf Ali
dan Muhammad Asad, yang menafsirkan riba sebagai usury yang berarti suku bunga yang
lebih dari biasanya atau suku bunga yang tinggi dan bukan interest (bunga yang rendah).
Mufti besar Mesir Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Rida, memahami larangan
riba dalam al-Qur’an karena melipatgandakan kelebihan/keuntungan setelah jatuh tempo.
Menurut keduanya, kelebihan (atau bunga) yang disepakati dalam akad pertama tidaklah
haram.
17. DAFTAR PUSTAKA
Saeed Abdullah Islamic Bankking Interest a study of riba, Lahore: Arif Maftuhin,
2004
Zulkifli Sunarto Panduan Peraktis Transaksi Perbangkan Syariah, Penerbit Zikrul
Hakim, 2007
Sumar’in Konsep Kelemabgaan Bank Syariah, Graha Ilmu, 2012
Muhamad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang Dan Ancaman,
Penerbit Ekonisia, 2004
Ayyub, Muhammad, Understanding Islamic Finance, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2009
Marwini, 2017, Kontroversi Riba Dalam Perbankan Konvensional Dan
Dampaknya Terhadap Perekonomian, Vol 9, No 1 http://ejournal.uin-
suka.ac.id/syariah/azzarqa/article/view/1428
Fahruddin, Fuad M., 1985, Riba dalam Bank: Koperasi, Perseroan dan Asuransi,
Bandung: al-Ma’arif
Khoirul Hadi al-Asy’ari, Riba Dan Bunga Bank Dalam Pandangan Ibnu Qayyim
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2014