Makalah ini membahas tentang fiqih praktis hutang-piutang dalam Islam, mulai dari definisi, pembagian, hukum, keamanan dalam memberikan pinjaman, serta etika yang harus diperhatikan oleh yang memberi dan menerima hutang. Secara ringkas, hutang dalam Islam dibedakan menjadi hutang murni dan transaksi, serta dilarang adanya unsur riba seperti bunga atau denda.
1. 1
FIQIH PRAKTIS HUTANG-PIUTANG DALAM ISLAM
Oleh : Abu Afnan Azmi Al Banjary
A. PENDAHULUAN
Islam adalah syariat paripurna yang lengkap dan sempurna yang mengatur semua sisi
kehidupan manusia. Semua aturan Islam berada pada tataran paling ideal dan mempunyai
nilai mashlahat kebaikan yang besar. Salah satu sisi kehidupan manusia yang diatur
dalam Islam selain masalah aqidah, ibadah dan akhlaq adalah interaksi antar sesama
muslim dengan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya; baik yang
berhubungan dengan jual-beli, sewa menyewa, hutang-piutang, pinjam-meminjam dan
lainnya yang dikenal dengan istilah muamalah.
Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang fiqih praktis hutang-piutang dalam
Islam, baik yang berhubungan dengan hukum, pembagian, ketentuan dan etika. Hal ini
kita bahas karena banyak kaum muslimin yang tidak mengetahuinya atau
menyepelakannya.
Tujuannya kita bisa lebih berhati-hati ketika mengadakan akad hutang-piutang,
sesuai dengan ajaran Islam, tidak jatuh pada makshiat dan mendatangkan redha Allah
ta’ala dalam semua aktifitas kita yang akan berujung pada kebahagiaan dunia dan akherat
insya Allah. Aamiin.
B. DEFINISI
Dari sudut bahasa hutang dalam bahasa arab disebut al qardh القرض yang bermakna al
qath’u القطع yang artinya adalah sesuatu yang terpotong/putus. Adapun dari sudut istilah
akad hutang-piutang maknanya adalah : akad yang disepakati antara kedua-belah pihak
dimana salah seorang diantara keduanya meminjamkan harta/manfaat hartanya pada
fihak lainnya untuk dikembalikan pada waktu yang telah disepakai dengan jenis dan
jumlah harta yang sama ketika akad.
kosa kata sinonimnya adalah as salaf السلفyang bermakna sama dengan al qardh القرض
. Kosa kata lainnya yang mirip adalah ad dayn الدين bedanya ad dayn sifatnya lebih umum
menyangkut hutang-piutang murni maupun akad hutang-piutang dengan transaksi
Disampaikan pada acara diskusi santai Bahaya Hutang dalam Islam, di Masjid Jaami’ Al Uulaa, KP. Baru tanggal 09
Muharram 1435 H.
2. 2
pembayaran tertunda/kredit.
Ada juga istilah lain yang mempunyai kemiripan secara essensi, yaitu ‘aariyah العارية
atau akad sewa-menyewa barang untuk digunakan manfaatnya.
C. PEMBAGIAN
Secara umum akad hutang-piutang terbagi dua; akad hutang-piutang murni dan
akad hutang-piutang dalam transaksi (jual-beli). Kaedahnya Setiap harta yang halal
zatnya, cara mendapatkannya dan juga manfaatnya maka halal untuk dihutangkan
atau dijadikan piutang selama tidak ada unsur riba, disamping bahwa setiap harta
yang boleh dijual maka boleh untuk dipinjamkan/dihutangkan/disewakan.
Sedang dalam akad hutang-piutang transaksi maka ada dua point tambahan :
- komoditi yang ditransaksikan bukan termasuk salah satu komoditi ribawi
yang enam beserta substitusi berdasarkan ‘illatnya, karena jenis komoditi-
komoditi tersebut wajib ditransaksikan secara tunai/cash ditempat akad.
- Akad hutang-piutang transaksi diajukan kepada owner produk/komoditi yang
akad dibeli secara kredit
Dari sudut lain maka hutang-piutang juga terbagi dua;
- Memberikan hutang kepada Allah dalam makna berinfaq dijalan Allah untuk
da’wah dan jihad juga membantu sesama kaum muslimin yang membutuhkan
dengan keredhaan Allah dan janji jannah-Nya sebagai balasan/pelunasan.
- Hutang-piutang antar sesama manusia terutama antar sesama kaum muslimin.
Hutang jenis kedua diatas dari sudut hukum terbagi juga pada dua jenis; qardh
hasan (hutang yang positif) dan qardh ribawi (hutang riba).
Syarat al qardhul hasan adalah :
- Ikhlash dengan niat membantu dengan mengharap wajah Allah
- Tidak diikuti sifat al manna wal adza dan juga riya’
- Harta yang dipinjamkan adalah harta yang halal bukan harta haram apalagi
money laundrying hasil korupsi
- Tidak ada unsur riba
D. HUKUM
Disampaikan pada acara diskusi santai Bahaya Hutang dalam Islam, di Masjid Jaami’ Al Uulaa, KP. Baru tanggal 09
Muharram 1435 H.
3. 3
Mayoritas para ulama memandang bahwa hukum asal hutang-piutang baik hutang-
piutang murni maupun transaksi, adalah boleh (mubah) berdasarkan QS. Al Baqarah ayat
282, riwayat-riwayat hadits dan juga praktek yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan juga para shahabat beliau. Sebagian lagi memandang hukumnya
mubah ketika sangat terpaksa, jikalau tidak dalam keadaan terpaksa maka hukumnya
makruh. Pendapat kedua ini didasarkan pada banyaknya hadits-hadits yang menyatakan
beratnya konskuensi orang yang berhutang.
Kemudian akad hutang-piutang masuk dalam akad tabarru’aat atau kebajikan dan
bukan akad mu’awadhaat, dimana tidak diperbolehkan mengambil tambahan nilai atau
manfaat atas piutang yang diberikan selain benefit pahala dari Allah, dalam ungkapan lain
maka akad hutang-piutang dalam Islam berbasis 0%. Pengecualian bolehnya mengambil
keuntungan ada pada :
- Jikalau berbentuk akad hutang-piutang transaksi jual-beli
- Jikalau akad yang disepakati dalam bentuk modal usaha produktif dalam skema
mudharabah/musyarakah
- Jikalau nilai pelunasan ditambahkan dengan inisiatif murni orang yang berhutang
Selanjutnya secara umum riba yang lazim dan banyak terjadi dalam akad hutang-
piutang ada dua jenis;
- Bunga yang disyaratkan ketika akad
- Denda atas keterlambatan
Adapun dalam hutang-piutang transaksi (komoditi non ribawi) disamping dua point
riba diatas juga dikarenakan diajukan bukan kepada owner dari komoditi yang
ditransaksikan melainkan kepada lembaga finance/bank.
Khusus dalam transaksi komoditi ribawi yang enam (emas, perak, gandum, biji
gandum, kurma dan garam) beserta produk yang mempunyai kesamaan ‘illat maka secara
umum jikalau tidak ditransaksikan secara tunai jatuh dalam riba nasi’ah dan jikalau ada
perbedaan/tambahan pada salah komoditi yang ditransaksikan maka jatuh dalam riba
fadhal.
Disampaikan pada acara diskusi santai Bahaya Hutang dalam Islam, di Masjid Jaami’ Al Uulaa, KP. Baru tanggal 09
Muharram 1435 H.
4. 4
E. KEAMANAN/SAFETY DALAM MEMBERIKAN PINJAMAN
Faktor keamanan ketika meminjamkan harta kepada orang lain sangatlah penting,
jangan sampai niat dan sensitivitas memudahkan dan membantu orang lain malah
dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung-jawab yang akan menimbulkan efek
takutnya orang-orang kaya meminjamkan hartanya hanya karena perbuatan sebagian
orang yang tidak amanah.
Beberapa pengaman tersebut adalah :
1. Adanya pencatat yang mencatat akad hutang-piutang tersebut (bukti tertulis)
2. Adanya dua orang saksi yang amanah mempersaksikan
3. Jaminan/gadai atau harta yang dipinjamkan (QS. Al Baqarah ayat 23) dan hadits
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhaa.
4. Penjamin dalam bentuk fihak yang menjamin keamanahan fihak yang berhutang,
dimana tanggung-jawab pelunasan hutang berpindah kepada penjamin tersebut
ketika ada kasus kredit macet/wanprestasi (QS. Yusuf ayat 72).
5. Dalam akad hutang-piutang dengan nilai besar dan tenor (jangka waktu) yang
lama lebih aman menghutangkan harta yang tahan terhadap inflasi.
Point pertama dan kedua bersifat mutlaq dan wajib berdasarkan QS. Al Baqarah ayat
282, sedangkan point ketiga sampai kelima bersifat rekomendasi dan pilihan.
F. ADAB DAN ETIKA
Dalam melakukan akad hutang-piutang maka ada beberapa adab dan etika yang
harus diperhatikan oleh kedua-belah fihak, baik pemberi piutang maupun pemohon
hutang.
Adab-adab orang yang berhutang :
1. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan terpaksa
2. Menyadari bahwa hutang adalah amanah yang harus dilunasi pada waktu yang
disepakati
3. Menyertakan 2 saksi dan mencatatnya serta menyertakan jaminan harta dan
penjamin jikalau dibutuhkan oleh fihak pemberi pinjaman
4. Berhutang dengan nilai yang dibutuhkan
5. Menjadikan pelunasan hutang sebagai prioritas utama setelah pemenuhan
Disampaikan pada acara diskusi santai Bahaya Hutang dalam Islam, di Masjid Jaami’ Al Uulaa, KP. Baru tanggal 09
Muharram 1435 H.
5. 5
kebutuhan primer sederhana
6. Tidak menunda pelunasan
7. Tidak berkata dusta dan menyalahi janji
8. Dalam keadaan tidak mampu melunasi maka melakukan konfirimasi, udzur dan
permintaan maaf serta memohon penjadwalan ulang sebelum dan tanpa ditagih
G. PENUTUP
Demikianlah makalah singkat ini ditulis dengan harapan ada manfaat yang bisa
diambil sebagai faedah ilmu dan bisa diamalkan dalam kehidupan, sehingga kita bisa
mengamalkan kaedah ilmu sebelum beramal.
Jikalau benar berasal dari Allah dan jikalau ada kekhilafan berasal dari minimnya
ilmu penulis dan juga dari Syaithan. Sholawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan
shahabat beliau dan penulis akhiri dengan kalimat alhamdulillaahi rabbil ‘aalaamiin.
Disampaikan pada acara diskusi santai Bahaya Hutang dalam Islam, di Masjid Jaami’ Al Uulaa, KP. Baru tanggal 09
Muharram 1435 H.
6. 5
kebutuhan primer sederhana
6. Tidak menunda pelunasan
7. Tidak berkata dusta dan menyalahi janji
8. Dalam keadaan tidak mampu melunasi maka melakukan konfirimasi, udzur dan
permintaan maaf serta memohon penjadwalan ulang sebelum dan tanpa ditagih
G. PENUTUP
Demikianlah makalah singkat ini ditulis dengan harapan ada manfaat yang bisa
diambil sebagai faedah ilmu dan bisa diamalkan dalam kehidupan, sehingga kita bisa
mengamalkan kaedah ilmu sebelum beramal.
Jikalau benar berasal dari Allah dan jikalau ada kekhilafan berasal dari minimnya
ilmu penulis dan juga dari Syaithan. Sholawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan
shahabat beliau dan penulis akhiri dengan kalimat alhamdulillaahi rabbil ‘aalaamiin.
Disampaikan pada acara diskusi santai Bahaya Hutang dalam Islam, di Masjid Jaami’ Al Uulaa, KP. Baru tanggal 09
Muharram 1435 H.