BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
Sindrom Guillain Bare
1. 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat jarang, 1
kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama
periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan rata-rata
insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15 - 35 tahun dan antara
50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.
Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5%
Hispanic, 1% Asia dan 4% padakelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia
mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa
insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan
jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.
Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.
Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia
dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi
pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun
pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. GBS biasanya mempunyai prognosa yang
baik yaitu sekitar 80% tetapi sekitar 15 % nya mempunyai gejala sisa/deficit neurologis.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaituI idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis,
Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl
Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
B. Rumusan Masalah
Mengingat berdasarkan gambaran epidemiologi di Indonesia yakni GBS banyak
menyerang pada usia produktif, dan pada beberapa keadaan GBS ini dapat menimbulkan
kelumpuhan bahkan kematian maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang
penyakit ini serta membuat referat tentang Guillain Barre Syndrome.
C. Tujuan
2. 2
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit SGB ini baik definisi,
patomekanisme, gejala klinis, diagnosa, pengobatan dan prognosis penyakit ini
D. Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi tenaga
kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Guillain Barre syndrome
3. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom Guillan Bare adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut
yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara
akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks,
dan nervus kranialis.
B. ETIOLOGI
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a) keganasan
b) systemic lupus erythematosus
c) tiroiditis
d) penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut
non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Telah diketahui bahwa infeksi salmonela tiposa dapat menyebabkan GBS.
Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih diketahui
dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih merupakan penyakit
menular yang besar.
Tabel. Jenis – jenis infeksi yang sering menjadi penyebab SGB
4. 4
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV
EBV
HIV
Varicella zoster
Influenza
Measles
Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Bakteri Campylobacter
jejuni
Mycoplasma
Pneumonie
Typhoid Borella B
Paratyphoid
Brucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
C. PATOGENES
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa
merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang
paling sering adalah infeksi virus.
a. Teori-teori Imun
Faktor humoral (antibodi terhadap gangliosid) - respon seluler (aktivasi
makrofag). Berbagai laporan melaporkan adanya antibodi terhadap glikolipid,
termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain, seluruh komponen membran akson
Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler endoneurial dan
demielinasi multifokal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran saraf
distal (poliradikuloneuropati).
b. Peran imunitas seluler
5. 5
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow) stem cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan
limfoid dan peredaran.Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen
harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit
T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2),
gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf,
untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan
TNF dan komplemen.
c. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa
limfosit pada hari ke Sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan
pada hari ketiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan
secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi
telah hancur.
Perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari
pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi
segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian.
Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan
melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
6. 6
D. KLASIFIKASI
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu :
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
3. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
4. Fisher’s syndrome
Gambar 2 Skema klasifikasi SGB
7. 7
E. GEJALA KLINIS DAN KRITERIA
Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya
bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang
lebih serius yaitu disfungsi saraf otonom. termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan
dismotilitas Gastrointestinal.
10 Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu :
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
90% dalam 4 minggu.
Relatif simetris
Geala gangguan sensibilitas ringan
Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak
lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan,
kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak
lain
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan
gejala vasomotor.
Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokongdiagnosa:
Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan
pada LP serial
Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
Varian: - Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala-Jumlah
sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
8. 8
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.Biasanya kecepatan
hantar kurang 60% dari normal.
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului
parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin
pada likuor dan gangguan sensorik danmotorik perifer.
Tabel Gejala Klinis SGB
Gejala Klini SGB Pada awal penyakit
(%)
Pada penyakit yang
telah berkembang
penuh (%)
Parestesi 70 85
Kelemahan
Tungkai > lengan
Lengan > tungkai
Hamper sama antara tungkai dan
lengan
54
14
32
98
Oftalmoparesis 5 15
Kelemahan wajah 35 50
Kelemahan bulber 25 50
Gagal nafas 10 30
Ataksia 10 15
Disfungsi sfigter 15 5
Aresflexia 75 95
Nyeri 35 30
Hilang rasa 40 85
F. KRITERIA DIAGNOSTIK
Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari
anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal,
kelemahan otot trunkal, bulbar dan otot pernafasan juga terjadi.
Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan
nafas. Penyebaran hiporefleksia menjadi gambaran utama, pasien GBS biasanya
berkembang dari kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau
faringeal. Kelemahan diaframa sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien
GBS inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau
orofaringeal.
1. Puncak defisit dicapai 4 minggu
2. Recovery biasanya dimulai 2 - 4 minggu
9. 9
3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis
4. Gangguan Nn cranialis: facial drop, diplopia disartria, disfagia (N.VII, VI, III, V, IX,
dan X)
5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai
a. Abnormalitas motorik (kelemahan)
Mengikuti gejala sensorik, khas: mulai dari tungkai, ascenden kelengan - 10%
dimulai dengan kelemahan lengan - Walaupun jarang, kelemahan bisa dimulai dari wajah
(cervical-pharyngeal-brachial) Kelemahan wajah terjadi pada setidaknya 50% pasien dan
biasanya bilateral – Refleks : hilang / pada sebagian besar kasus.
b. Abnormalitas sensorik
Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, glove & stocking sensation,
simetris, tak jelas batasnya - Nyeri bisa berupamialgia otot panggul, nyeri radikuler,
manifestasi sebagai sensasi terbakar, kesemutan, tersetrum - Ataksia sensorik karena
proprioseptif terganggu - Variasi : parestesi wajah & trunkus.
c. Disfungsi Otonom
1) Hipertensi - Hipotensi - Sinus takikardi / bradikardi
2) Aritmia jantung - Ileus - Refleks vagal
3) Retensi urine
Gambar 2 : Fase perjalanan klinis
fase perjalan klinis Fase-fase serangan
10. 10
1. Fase Prodromal
Fase sebelum gejala klinis muncul
2. Fase Laten.
a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang mendahuluinya sampai
timbulnya gejala klinis.
b. Lama : 1 - 28 hari, rata-rata 9 hari3.
3. Fase Progresif
a. Fase defisit neurologis (+)
b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg.
c. Dimulai dari onset (mulai terjadi kelumpuhan yang bertambah berat sampai
maksimal
d. Perburukan > 8 minggu disebut ¾ chronic inflammatory-demyelinating
polyradiculoneuropathy (CIDP)
4. Fase Plateau
a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap.
b. Fase pendek : 2 hr, >> 3 mg, jrg > 7 mg
5. Fase Penyembuhan
a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik beberapa bulan
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LCS
Disosiasi sito albumin
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan
dari sel < 10 limposit/mm3
Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai
Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV, membantu menegakkan
etiologi.
Antibodi glicolipid
Antibodi GMI
2. EMG
Gambaran poliradikuloneuropati
Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis
motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.
Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal.
3. Rontgen : CT atau MRI Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.
H. DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
Kelainan batang otak
a. Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*
11. 11
b. Ensefalomielitis batang otak
Kelainan medulla spinalis
a. Mielitis transversa
b. Mielopati nekrotik akut
c. Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum
d. Mielopati akut lain
Kelainan sel kornu anterior
a. Poliomielitis
b. Rabies
c. leher
e. Tetanus
Poliradikulopati
a. Difteri
b. Paralisis Tick
c. Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas
d. Keracunan organofosfate.
e. Heksakarbon (neuropati penghirup lem)
f. Perhexilineg.
g. Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin
h. Critical illness polyneropathy
Kelainan transmisi neuromuskuler
a. Myastenia gravis
b. Botulismu
c. Hipermagnesemid.
d. Paralisis yang diinduksi antibiotikae.
e. Bisa gigitan ular
Abnormalitas metabolik
a. Hipokalemi
b. Hipermagnesemia
c. Hipofosfatemia
Lain-lain
a. Histeri
b. Malingering
12. 12
I. KOMPLIKASI
Paralisis menetap
Polimiositis
Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat
Gagal nafas
Hipotensi
Tromboembolisme
Pneumonia
Aritmia Jantung
Ileus Aspirasi
Retensi urin
Problem psikiatrik
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka
waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan
biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik
pasien maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya
untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien
berlangsung selama tahun tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada
sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa. Tetapi lebih
sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal
GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator. Gangguan
fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau
hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS. Gangguan lain yang
signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial
J. TERAPI
Tidak ada drug of choice
Roboransia saraf parenteral.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit inidapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetapharus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas
(imunoterapi).
13. 13
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparatsteroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa
3. Pengobatan imunosupresan
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gr/kgBB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance
0.4gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
Merkaptopurin (6-MP)
Azathioprine
Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dansakit kepala.
c. Terapi fisik: - alih baring
1) latihan ROM dini u/ cegah kontraktur
2) Hidroterapid.
Supportif: profilaksis DVT (heparin s.c)
d. Supportif: profilaksis DVT (heparin s.c)
e. Analgesik
Analgesic ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk meringankan nyeri
ringan, namun tidak untuk nyeri yang sangat, penelitian random control trial mendukung
penggunaan gabapentin atau carbamazepine pada ruang ICU pada perawatan SGB fase
akut. Analgesic narkotik dapat digunakan untuk nyeri dalam, namun harus melakukan
monitor secara hati-hati kepada efek samping denervasi otonomik.terapi ajuvan dengan
14. 14
tricyclic antidepressant , tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat
ditambahkan untuk penatalaksanaan nyeri neuropatik jangka panjang.
Pengobatan fase akut termasuk program penguatan isometric, isotonic, isokinetic,
dan manual serta latihan secara progresif. Rehabilitasi harus difokuskan untuk posisi
limbus, posture, orthotics, dan nutrisi
K. PROGNOSIS
Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik
1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot
2. Umur tua
3. Kebutuhan dukungan ventilator
4. Perjalanan penyakit progresif & berat
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan
tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain
a. Pada pemeriksaan NCV - EMG relatif normal
b. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onsetc.
c. Progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. Pada penderita berusia 30 - 60 tahun
15. 15
BAB III KESIMPULAN
Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang
progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya bertanggungjawab atas terjadinya
sindrom ini. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik, prognosis GBS tergantung pada progresifitas
penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien
16. 16
BAB IV. DAFTAR PUSTAKA
Longo, Dan L, dennis L kasper, MD, J Larry Jameson, Athony S. Fauci, MD, Stephen L.
Hauser, MD. And Joseph Loscalzo, MD, PhD. Harrison’s Principles Internal Medicine,
18 edition. The McGraw-Hill Companies, 2012.
Kasper etc. 16th Harrison’s Principles of internal medicine. McGraw-Hill Companies,
Inc.
Hauser. Stephen L, MD. Harrison’s neurology in Clinical Medicine. United States of
America 2006 : McGraw-Hill.
Goetz. Christopher G. Textbook Of Clinical Neurology. USA : Saunders, 2003.
Adams, Raymond D. Maurice Victor, dan Allan H. Ropper. Principles Of Neurology
Sixth Edition. McGraw-Hill Companies, 1997.
Mardjono, Mahar. Prof. Dr. Dan Prof. DR. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar.
Jakarta : PT Dian Rakyat, 2008.
Sidharta, Priguna M.P, Ph. D. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta : PT Dian
Rakyat 2008.
Kumar, Vinay, MD, FRCPath, Ramzi S Cotran, MD and Stanley L. Robbins, MD. Buku
Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta. EGC, 2007.
Baehr, Mathias. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Jakarta : EGC 2007
Yuki, Nabohiro, M. D Ph. D and Hans-Peter Hartung, M.D. Guillain-Barre Syndrome.
Download from The New England Journal of Medicine on july 2013.