Dokumen tersebut membahas tentang tuberkulosis pada anak, yang masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas tinggi di seluruh dunia. Diagnosis TB pada anak sulit diperoleh karena manifestasi klinis dan radiografik yang kurang spesifik dibandingkan dewasa, serta tantangan untuk memperoleh spesimen yang memadai. Pemeriksaan bakteriologis dan penunjang diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
1. BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab morbiditas dan
mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan
2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak
usia <15 tahun. Dari seluruh kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di duapuluh dua negara
dengan beban TB tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase
semua kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai >25%. Kematian akibat TB didunia
sebanyak 95% dan 98% terjadi pada negara‐ negara berkembang 1 TB pediatrik sulit
diperoleh karena berbagai alasan, termasuk kurangnya pengakuan, tantangan dalam
memastikan diagnosis, dan kurangnya pelaporan ke program TB nasional. Manifestasi klinis
dan radiografik pada anak-anak kurang spesifik dibandingkan dengan orang dewasa dan
sering dibingungkan dengan pneumonia bacterial. Selain itu, sering ada tantangan logistik
dalam memperoleh spesimen yang memadai. dari anak kecil. Namun, di era TB yang resistan
terhadap banyak obat, di mana organisme resisten terhadap isoniazid dan rifampisin (2 agen
lini pertama yang paling kuat), ada kebutuhan yang meningkat untuk mencoba konfirmasi
kultur pada semua anak yang diduga menderita TB untuk menginformasikan keputusan
pengobatan. Di antara anak-anak yang memulai terapi TB, keluarga berjuang dengan
pemberian dosis yang tepat karena kurangnya formulasi obat pediatrik dan ada kesenjangan
program dalam memberitahukan program TB nasional, yang menyebabkan kurangnya
pelaporan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ensefalitis adalah kondisi disfungsi
neurologis yang jarang, tetapi serius, karena peradangan parenkim otak. Berbagai macam
etiologi infeksi dan non-infeksi dikaitkan dengan ensefalitis, meskipun penyebab di lebih dari
setengah kasus tetap tidak dapat dijelaskan meskipun pengujian ekstensif.3Ensefalitis dapat
disebabkan oleh virus, bakteri, spiroceta, fungus, protozoa dan metozoa. Bakteri yang sering
menyebabkan ensefalitis adalah M.Tuberculosa, Staphylococcus aureus, Streptococcus,
E.Coli dan T. Pallidum yang dapat menyebabkan abses serebri. 3
2. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Ensefalitis adalah kondisi neurologis yang ditandai dengan peradangan otak
yang terjadi sebagai akibat dari proses infeksi, pasca infeksi, atau autoimun.
Peradangan bagian lain dari sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi secara bersamaan
(misalnya istilah meningoensefalitis atau ensefalomielitis menunjukkan keterlibatan
meningeal atau sumsum tulang belakang secara bersamaan). Ensefalitis adalah infeksi
jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
(virus,bakteri, jamur, dan protozoa). Sebagian besar kasus tidak dapat ditentukan
penyebabnya. Virus dianggap sebagai etiologi terpenting dalam kasus akut ensefalitis,
tetapi bakteri, parasit, toksin dan autoimun juga dianggap sebagai etiologi yang
penting.1,2
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko
A. Virus1,3
Virus Herpes (HSV-1, HSV-2, VZV, CMV, EBV, HHV6)
Enterovirus (coxsackie virus, Polio virus)
Influenza
Mumps, Measles
Adenovirus
Rotavirus
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Japanese Encephalitis Virus
Lyssa virus (rabies) ec. gigitan binatang, kelelawar.
B. Bakteri1,3
Listeria monocytogenes
Mycobacterium tuberculosis
Mycoplasma pneumoniae
Treponema pallidum (sifilis)
Brucella sp.
Borrelia burgdorfi (Lyme disease)
3. C. Parasit1,3
Toxoplasma gondii
Amoeba (Naegleria fowleri, Balamuthia mandrilis)
Angiostrongylus cantonensis
Trypanosomiasis
Neurocysticercosis
D. Lainnya1,3
Rickettsia sp.
Coxiella burnetti
Cryptococcus neoformans
Pada kasus infeksi SSP yang disebabkan oleh bakteri terutama Mycobacterium
tuberculosis, prevalensinya dipengaruhi oleh pasien yang tidak mengetahui status
imunisasi BCG yang cukup tinggi, yaitu 21,4 % pada pasien meningitis TB dan
33,3% pada pasien meningoensefalitis. Hal ini dapat terjadi akibat tingkat pendidikan
keluarga pasien rendah dan kepedulian masyarakat kurang terhadap pentingnya
pemberian imunisasi, khususnya BCG pada anak usia 0-2 bulan. Dalam salah satu
penelitian menunjukkan bahwa imunisasi BCG dapat membantu mengurangi angka
kejadian, mortalitas dari infeksi SSP oleh M. TB.4
2.3 Epidemiologi
Di Inggris insiden populasi untuk semua penyebab ensefalitis telah diperkirakan 5,23
sampai 8.66 per 100.000 per tahun dengan insidensi tertinggi pada mereka yang
berusia kurang dari 1 tahun dan lebih dari 65 tahun. Di Indoensia, ensefalitis akut
diasosiasikan dengan morbiditas dan mortalitas tinggi, 3,5 sampai 7,4 kasus
dilaporkan per 100.000 orang setiap tahunnya. Usia mayoritas pasien dengan
ensefalitis adalah di bawah 2 tahun. Terdapat literatur yang menyatakan bahwa pasien
dengan ensefalitis viral rata-rata terjadi pada usia 29 bulan. 1,4
2.4 Patofisiologi
Setelah mikroorganisme masuk ke tubuh manusia yang rentan, melalui kulit,
saluran pernapasan dan saluluran cerna. Patogen akan menuju sistem getah bening
dan berkembangbiak. Patogen akan menyebar melalui aliran darah dan menimbulkan
viremia atau bakterimia pertama. Melalui aliran darah, patogen akan menyebar ke
sistem saraf pusat dan organ eksterneural. Kemudian masuk ke dalam peredaran
4. darah menyebabkan viremia/bakterimia yang kedua kalinya yang bersamaan dengan
penyebaran infeksi penyakit sistemik.
Setelah terjadinya proses tersebut, patogen menembus dan berkembangbiak
pada endotel vaskular dengan cara endositosis. Sehingga, dapat menembus sawar
otak. Setelah mencapai susunan saraf pusat patogen akan bekembangbiak dalam sel
dengan cepat pada retikulum endoplasma serta badan golgi yang menghancurkan
mereka. Akibat infeksi tersebut maka permeabilitas sel neuron, ganglia dan endotel
meningkat. Sehingga cairan di luar sel masuk ke dalam dan timbullah edema
sistoksik. Adanya edema dan kerusakan pada susunan saraf pusat ini memberikan
manifestasi berupa Ensefalitis. Dengan masa prodmoral berlangsung 1-4 hari. Area
otak yang terkena dapat pada thalamus, ganglia basal, batang otak, hipotalamus dan
korteks serebral. 1,5
2.5 Manifestasi Klinis
Secara umum gejala berupa trias Ensefalitis : demam, kejang dan penurunan
kesadaran. Gejala klinik sangat bervariasi dari ringan sampai berat. Riwayat penyakit:
pada permulaan hanya menunjukkan gejala ringan, kemudian koma, dan bisa
meninggal mendadak. Pada permulaan penyakit: panas, sakit kepala, mual, muntah,
pilek, dan sakit tenggorokan. Pada hari-hari berikutnya panas mendadak tinggi,
kesadaran dengan cepat menurun, anak gelisah, disusul dengan stupor atau koma.
Timbul kejang-kejang dan dapat mendominasi penyakit, sampai terjadi status
epileptikus. Kelainan neurologis dapat berupa paresis, paralisis atau ataksia serebral
akut.3
Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.
Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri
kepala, ensefalopati, kejang, dan kesadaran menurun.
Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus. Dapat
ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam perjalan penyakitnya.
Ditemukan gejala peningkatan tekanan intracranial.
Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe UMN (spastis,
hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus). 2
Pada pasien dengan ensefalitis, 90% mengalami peningkatan tekanan intrakranial.
Tingkat disabilitas cukup tinggi, dengan 10% mengalami hemiparesis, 20%
5. mengalami spastik, 10% mengalami paresis nervus kranialis. Tingkat mortalitasnya
adalah 10%.3
2.6 Diagnosis
Diagnosis penyakit TB pada anak dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada program Penanggulangan
Tuberkulosis dengan strategi DOTS, pemeriksaan hapusan sputum mikroskopis langsung dan
sinar X tembus dada merupakan metode standar. Dalam perkembangannya kini banyak
teknik diagnostik baru yang diperkenalkan dan telah cukup luas dipakai, misalnya
polymerase chain reaction (PCR), bact‐ alert, ligase chain Reaction, Gen Probe, nucleic
acid amplification dan deteksi interferon gamma . 6,7
1. Pemeriksaan bakteriologis6
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan
diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak
terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, HIV positif, dan gambaran
kelainan paru luas.
Namun demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat
pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak dilakukan
secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB. Dengan semakin meningkatnya kasus
TB resistan obat dan TB HIV, saat ini pemeriksaan bakteriologis pada anak
merupakan pemeriksaan yang seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanan
kesehatan yang mempunyai fasilitas pengamblan sputum dan pemeriksaan
bakteriologis. Cara mendapatkan sputum pada anak. 6,7
a. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak
secara langsung dengan berdahak.
b. Bilas Lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak yang
tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan specimen dikumpulkan minimal 2
hari berturut-turut pada pagi hari.
c. Induksi sputum
6. Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila
menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan,
tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode
ini.
Cara pengambilan sputum dengan bilas lambung dan induksi sputum dijelaskan lebih rinci
pada lampiran
Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB:7,8
a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau specimen lain(cairan tubuh atau
jaringan biopsi)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi
hari.
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
1) Saat ini beberapa teknologi baru telah dikembangkan untuk dapat
mengidentifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis dalam waktu yang cepat
(kurang lebih dari 2 jam), antara lain pemeriksaan Line Probe Assay (misalnya
Hain GenoType) dan (NAAT-Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert
MTB/RIF).
2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium
Tuberculosis secara molecular sekaligus menentukan ada tidaknya resistensi
terhadap Rifampicin. Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostic yang lebih
baik dari pada pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih di bawah uji biakan.
Hasil negative TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB.9
c. Pemeriksaan biakan
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu
kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas
samping, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsy jaringan). Pemeriksaan
biakan sptum dan uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia. Jenis media
untuk pemeriksaan biakan yaitu:
1) Media padat: hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu.
2) Media cair: hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih
mahal. 9
7. 2. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak:
a. Uji tuberculin
1) Uji tuberculin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada
anak khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji
tuberculin tidak bisa membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil positif uji
tuberculin menunjukkan adanya infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya
sakit TB. Sebaliknya, hasil negative uji tuberculin belum tentu menyingkirkan
diagnosis TB.
2) Cara melakukan dan pembacaan hasil uji tuberculin diuraikan secara rinci di
lampiran.
3) Pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya infeksi TB adalah dengan
Imunoglobuiin Release Assay (IGRA). IGRA tidak dapat membedakan antara
infeksi TB laten dengan TB aktif. Penggunaannya untuk deteksi infeksi TB
tidak lebih unggul dibandikan uji tuberculin. Program nasional belum
merekomendasikan penggunaan IGRA di lapangan.
b. Foto Toraks
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak. Namun gambaran foto toraks pada tB tidak khas kecuali gambaran TB
miller. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai
berikut:
1) Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, hars disertai foto toraks lateral)
2) Konsolidasi segmental/lobar
3) Efusi pleura
4) Milier
5) Atelectasis
6) Kavitas
7) Kalsifikasi engan infiltrate
8) Tuberkuloma
c. Pemeriksaan histopatologi (PA/ Patologi Anatomi)
8. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langharis dan
atau kuman TB. 9
Pemeriksaan serologi TB (misalnya IG G TB, PAP TB, ICT TB, MycoDOT, dsb) tidak
direkomenasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai saran diagnostic TB dan Direktur
Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang
larangan penggunaan metedo serologi untuk penegakan diagnosis TB.
d. Neuroimaging
Neuroimaging: neuroimaging digunakan: (i) untuk menyingkirkan diagnosis
alternatif yang dapat diobati (misalnya lesi yang menempati ruang intrakranial,
stroke) dan (ii) untuk menunjukkan peradangan otak dan komplikasi terkait
(misalnya herniasi serebral). Sementara MRI lebih sensitif daripada Computed
Tomography (CT) untuk mendeteksi ensefalitis, CT scan mungkin lebih tersedia
dan mampu menyingkirkan banyak kondisi lain yang dapat diobati yang muncul
dengan ensefalopati demam terutama jika kontras digunakan. Namun MRI adalah
modalitas pencitraan pilihan dan harus dilakukan sesegera mungkin idealnya
dalam waktu 48 jam untuk membantu diagnosis dini dan pengobatan. Temuan
MRI spesifik juga dapat menunjukkan etiologi tertentu, mis. keterlibatan lobus
temporal dengan HSV, demielinasi pada ADEM dan vaskulitis pembuluh darah
besar dengan beberapa bentuk reaktivasi VZV.1
9. e. Pemeriksaan CSF
Pungsi lumbal (LP): Analisis CSF penting untuk memastikan adanya peradangan
dan menetapkan etiologi. LP harus dilakukan sesegera mungkin, idealnya saat
presentasi. Penting untuk memastikan bahwa tidak ada kontraindikasi (Gambar 1).
Mengingat presentasi ensefalitis yang biasa, banyak anak dengan dugaan
ensefalitis akan menjalani CT scan sebelum LP untuk menyingkirkan perdarahan
serebral, herniasi atau efek massa dari lesi yang menempati ruang, yang mungkin
bertentangan dengan prosedur tersebut. Jika LP tidak dilakukan saat masuk,
pasien harus dinilai setiap hari untuk mengidentifikasi kapan aman dan tepat
untuk melakukannya.1
Jumlah sel CSF: Respon inflamasi di CSF digunakan sebagai pengganti
peradangan otak tetapi tidak ada temuan yang secara meyakinkan mengecualikan
ensefalitis bakteri atau virus. Pleositosis CSF (lebih dari 5 sel darah putih/mm3)
adalah temuan umum pada sebagian besar kasus ensefalitis tetapi dapat
menghilang pada awal perjalanan penyakit.8 Dominasi polimorfonuklear awal
dapat dilihat pada ensefalitis virus, diikuti oleh pergeseran mononuklear biasanya
24 dan 48 jam setelahnya. Limfositosis CSF terjadi dengan ensefalitis virus,
listerial atau TB.1
Pada ADEM temuan CSF dapat normal atau menunjukkan pleositosis limfositik
ringan dapat terjadi. CSF biasanya tidak mengandung sel darah merah tetapi ini
dapat hadir pada ensefalitis hemoragik karena HSV-1 atau leukoensefalitis
10. hemoragik nekrosis akut (AHLE). Dilema umum bagi dokter adalah bagaimana
menafsirkan temuan CSF setelah LP 'traumatik' di mana darah dari jaringan
dimasukkan ke dalam sampel CSF karena proses pengambilan sampel. Sementara
berbagai metode koreksi untuk rasio CSF WBC terhadap RBC telah
dijelaskan,9,10 tidak ada metode yang pasti untuk memastikan jumlah asli yang
benar. Jadi kehati-hatian harus dilakukan dalam interpretasi hasil dan korelasi
yang cermat dengan gambaran klinis. Kadang-kadang mungkin bermanfaat untuk
mengulang LP yang awalnya berlumuran darah untuk mendapatkan hasil yang
lebih akurat.1
Jumlah protein CSF: Ini mungkin normal atau meningkat pada ensefalitis virus,
biasanya meningkat secara moderat pada ensefalitis bakterial, dan meningkat
secara nyata pada TB.
CSF laktat: Peningkatan laktat CSF harus meningkatkan kecurigaan klinisi
terhadap gangguan metabolisme.
Kultur CSF: Ini penting untuk etiologi bakteri dan untuk Mycobacterium
tuberculosis. Kultur virus sekarang jarang tersedia di laboratorium mikrobiologi
rutin.
f. EEG
Temuan EEG bisa tidak spesifik dan interpretasi mungkin diperumit oleh obat
penenang. EEG sangat berguna dalam menunjukkan keterlibatan otak pada tahap
awal ensefalitis, terutama pada anak-anak yang tidak jelas apakah gejalanya
disebabkan oleh penyebab psikiatri atau organik. Ini juga dapat membantu
mengidentifikasi adanya kejang subklinis atau status non-kejang. Pengeluaran
epileptiform lateralisasi secara periodik terutama antara 5 dan 10 hari penyakit
dapat terlihat dengan HSV-1. Meskipun ini tidak patognomonik, ini adalah
temuan yang berguna terutama dalam konteks reaksi berantai polimerase negatif
(PCR) ketika kecurigaan klinis HSVE tinggi. Namun polanya juga dapat dilihat
pada patologi lain yang terlokalisasi di area yang sama. EEG abnormal pada
hampir semua pasien dengan antibodi anti-NMDAR, secara khas menunjukkan
perlambatan latar belakang yang tidak spesifik.1
Alur diagnosis TB pada anak9
Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu:
11. 1. Konfirmasi bakteriologis TB.
2. Gejala klinis yang khas TB.
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberculin positif atau kontak erat dengan pasien
TB).
4. Gambaran foto toraks sugestif TB.
Indonesia telah menyusun sistem skoring ntuk membantu menegakkan diagnosis TB pada
anak (Tabel 3.1). Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat
dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. Sistem skoring ini
diharapkan dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, tetapi tidak semua
fasilitas pelayanan kesehatan primer di Indonesia mempunyai saran untuk melakukan uji
tuberculin dan foto toraks yang merupakan parameter pada sistem skoring. Oleh karena
itu pada fasilitas pelayana kesehatan dengan fasilitas terbatas atau dengan akses yang sulit
untuk pemeriksaan uji tuberculin dan foto toraks, diagnosis TB pada anak dapat
ditegakkan tanpa menggunakan sistmen skoring seperti pada alur diagnosi TB anak
(gambar 3.2)
Alur diagnosis TB ini digunakan untuk penegakan diagnosis TB pada anak yang bergejala
TB, bak dengan maupun tanpa kontak dengan pasien TB dewasa, pendekatan tata
laksananya menggunakan alur investigasi kontak.
Jadi pintu masuk alur ini adalah anak dengan gejala TB. Pada fasilitas pelayanan
kesehatan dengan sara yang lengkap, semua pemeriksaan penunjang seharusnya
dilakukan, termasuk pemeriksaan sputum. 9
Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan sputum:
1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan fasilitas yang
tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negative atau specimen tidak dapat
diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberculin dan foto toraks maka:
a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberculin dan foto toraks:
1) Jika anaka ada riwayat kontak dengan pasien TB menular, anak dapat
didiagnosis TB dan diberikan OAT.
12. 2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama 2-4 minggu.
Bila pada follow up gejala menetap, rujuk anak untuk pemeriksaan uji
tuberkulin dan foto toraks.
b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberculin dan foto toraks, hitung skor total
menggunakan sistem skoring:
1) Jika skor total ≥ 6 → diagnosis TB dan obati dengan OAT.
2) Jika skor < 6, dengan uji tuberculin positif atau ada kontak erat → diagnosis
TB dan obati dengan OAT.
3) Jika skor < 6, dan uji tuberculin negative atau tidak ada kontak erat →
observasi gejala selama 2 – 4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang
kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang
lebih tinggi.
Catatan penggunaan alur diagnosis TB anak:
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahay:
a. Kejang, kaku kuduk
b. Penurunan kesadaran
c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas
Penjelasan:
1. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau TCM) tetap merupakan pemeriksaan
utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan
untuk memperoleh specimen dahak, di antaranya induksi sputum. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika satu specimen diperiksa
memberikan hasil positif.
2. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala namun
tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak
dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di mana rujukan tidak
13. memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TB
anak.
3. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak
erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya.
4. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkanperbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lenjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya
kesalahan giagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan obat maupun
masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila faasilitas tidak
memungkinkan, pasien dirujuk ke RS.yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah
perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis. 9
14. 2.7 TATALAKSANA9
Tata laksana medikamentosa TB anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pengobatan pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
pengobatan pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB
(profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan utama
pemberian obat anti TB sebagai berikut:
1. Menyembuhkan pasien TB
2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya
3. Mencegah TB relaps
15. 4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat
5. Menurunkan transmisi TB
6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin
7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan dating
Beberapa hal penting dalam tata laksana TB anak adalah:
1. Obat TB diberikan dalam panduan obat, tidak boleh diberikan sebagai memoterapi.
2. Pengobatan diberikan setiap hari.
3. Pemberian gizi yang adekuat.
4. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara bersamaan.
A. Obat yang digunakan pada TB anak
1. Obat anti tuberculosis (OAT)
Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler)
sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fuse insentif hanya
diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi
TB pada anak dengan BTA negative menggunakan paduan INH. Rifampisin dan
Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada 4
bulan fase lanjutan.
B. Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)
Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibua untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,
yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat
fae lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan
dapat dilihat pada table berikut.
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1) Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk KDT dan
sebaiknya dirujuk ke RS.
2) Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan disesuaikan
dengan berat badan saat itu.
3) Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan berat badan ideal (sesuai umur).
Table berat badaan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran.
16. 4) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)
5) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6) Obat diberikan pada saat perut kososng, atau paling cepat 1 jam setelah makan.
7) Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
8) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.
Anak-anak dengan dugaan ensefalitis sering mengalami kejang dan penurunan tingkat
kesadaran dan mungkin tidak sehat secara sistemik. Resusitasi segera yang melibatkan
pengelolaan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi bersama dengan pengelolaan kejang dan
peningkatan tekanan intrakranial merupakan prioritas untuk mencegah morbiditas sekunder.
Kebutuhan untuk masuk ke unit ketergantungan tinggi pediatrik (PHDU) atau unit perawatan
intensif (PICU) harus dipertimbangkan sejak dini. Mengingat kisaran kondisi infeksi dan
metabolik yang mungkin muncul dengan cara yang sama, penyelidikan kondisi lain yang
dapat diobati harus dilakukan secara paralel dengan kondisi ensefalitis.
Perawatan suportif : Sebuah tim multi-disiplin diperlukan untuk mengelola perawatan dari
presentasi akut melalui perawatan HDU/PICU hingga pemulihan dan rehabilitasi di bangsal.
Ini termasuk staf medis dan perawat, ahli saraf, dokter penyakit menular/mikrobiologi, ahli
gizi, fisioterapis dan ahli terapi okupasi. Pada fase akut, selain dukungan kardio-respirasi,
perhatian khusus harus diberikan pada keseimbangan cairan/elektrolit, glukosa darah,
pengobatan dan pencegahan kejang, serta identifikasi dan pengelolaan peningkatan tekanan
intrakranial untuk meminimalkan kerusakan neurologis sekunder.1
Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada kondisi:
a. TB meningitis/encephalitis
b. Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB)
c. Pericarditis TB
d. TB milier dengan gangguan napas yang berat
e. Efusi pleura TB
f. Tb abdomen dengan asites
17. Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/hari, sampai 4
mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dnegan dosis maksimal 60 mg/kg/hari selama 4
minggu. Tappering-off dilakukan secara bertahap setelah 2 minggu pemberian kecuali
pada TB meningitis pemberian selama 4 minggu sebelum tappering-off.
1. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama pada anak
dengan manutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan anti retrovial therapy
(ART) suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada HIV positif
dan malnutrisi berat.
C. Nutrisi
Status gizi pada naka dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan Tb.
Malnutrisi berat meningkatkan resiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian
status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian
dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan gejala
dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle wasting.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama penobatan. Jika tidak
memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat
di atasi. Air susu ibu tetap diberikan jika anak masih dalam masa menyusu.
2.8 PENCEGAHAN6
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah perilaku seseorang, keluarga, kelompok
maupun masyarakat secara mandiri berperan aktif dalam bidang kesehatan dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat sebagai hasil pembelajaran. Perilaku hidup bersih dan
sehat dalam rumah tangga salah satunya menerapkan cuci tangan pakai sabun dan air bersih,
rutin mengonsumsi buah dan sayur, melakukan aktivitas fisik pada pagi hari dan tidak
merokok dalam rumah. Orang tua harus melakukan PHBS dalam rumah tangga agar anak
terbiasa sejak dini agar berkembang menjadi sehat (Kemenkes).
Langkah‐ langkah mencuci tangan yang baik dan benar (Wahyudi, 2018):
. Basahi tangan dengan air dan teteskan sabun secukupnya
. Gosok kedua tangan sampai ujung jari. Gosokkan juga telapak tangan kanan ke
punggung tangan kiri (atau sebaliknya),dengan jari‐ jari saling mengunci (berselang
18. seling) antara tangan kanan dan kiri. Gosok sela‐ sela jari tersebut. Dan lakukan
sebaliknya
. Letakkan punggung jari satu dengan punggung jari lain dan saling mengunci.
Usapkan ibu jari tangan kanan dengan telapak kiri dengan gerakan berputar.
Lakukan hal yang sama dengan ibu jari tangan kiri
. Gosok telapak tangan dengan punggung jari tangan satunya dengan gerakan ke
depan, ke belakang dan berputar. Lakukan sebaliknya
. Pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri dan lakukan gerakan
memutar. Lakukan pula untuk tangan kiri
. Setelah minimal 10 detik mencuci tangan, bilas tangan hingga seluruh busa sabun
hilang
. Keringkan tangan dengan tisu bersih atau handuk sekali pakai, atau pengering
udara. Jika memungkinkan, gunakan tisu atau handuk untuk mematikan kran.
Etika batuk
Etika batuk menurut Dinas Kesehatan untuk penderita TB antara lain:
a. Menggunakan masker
b. Tutup hidung dan mulut menggunakan lengan atau tisu
19. c. Jika menggunakan tius, buanglah tisu ke tempat sampah
d. Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun
Sanitasi tempat tinggal sehat
Orang tua dapat melakukan pencegahan TB Paru pada anak dengan cara menciptakan tempat
tinggal sehat sesuai (Kemenkes RI, 2013) yaitu:
. Bahan bangunan teerbuat dari bahan yang kokoh dan kuat, serta tidak terdapat zat yang
membahayakan yang dapat menyebabkan tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme pathogen.
. Komponen penataan rumah terdiri dari: lantai kedap air dan mudah dibersihkan,
langit‐ langit dan dinding rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan,
tinggi rumah yang > 10 mter harus memiliki penangkal petir, ruang rumah harus
tertata rapi, dan dapur harus dilengkapi sarana pembuangan asap.
. Pencahayaan, minimal adalah 60 lux dan tidak menyilaukan. Jalan luas masuk cahaya
minimal 15‐ 20% dari luas lantai
. Kualitas udara tidak melebihi ketentuan yaitu: suhu udara nyaman berkisar 18‐ 30oC,
20. kelembaban udara brkisar 40‐ 70%, konsntrasi gas CO2 tidak melebihi 0,1 ppm/24
jam atau 100 ppm/8 jam, pertukaran udara 5 kaki kubik/menit/penghuni, konsentrasi
gas formalheid < 120 mg/m3.
. Minimal luas ventilasi 10% dari luas lantai (Wahyudi, 2018).
. Tidak terdapat binatang penular penyakit seperti tikus, naymuk dan kecoa di dalam
rumah.
. Tersedia air bersih yang memenuhi syarat kshatan air bersih maupun air minum
. Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman
. Limbah cair rumah tangga jangan sampai mencemari sumber air dan limbah padat harus
dikelola dengan baik
. Kepadatan hunian tempat tidur yaitu luas ruang tidur minimal 8 meter tidak
diperbolehkan >2 orang kecuali untuk anak dibawah umur 5 tahun.
21. DAFTAR PUSTAKA
1. Iro, Mildred A. Kelly, Dominic F. 2021. Management and outcome of encephalitis in
children. Vol. 25. Paediatrics and Child Health. Elsevier Inc.
2. Pudjiaji, Antonious H et al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Palembang: IDAI.
3. Wati, Ketur Dewi Kumara et al. 2017. Ilmu Kesehatan Anak. Bali: Udayana
University Press Kampus Univ, Udayana Denpasar.
4. Ocatvius, Gilbert Sterling et al. 2021. Infeksi SSP pada anak: Sebuah Studi Cross-
sectional deskriptif selama lima tahun. Sari Pediatri, Vol.23, No.1, Juni 2021.
5. Ferguson, Sherise D.: McCutcheon, Ian E. 2017. Meningitis and Encephalitis.
Youmans and Winn Neurological Surgery 40, e205-e222.
6. Marlinae, Lenie. 2019. Desain kemandirian pola perilaku kepatuhan minum obat pada
penderita TB anak berbasis android. CV Mine ISBN : 978-623-7550-23-5
7. Tania, A. 2017. Tuberculosis in children. Division of Infectious Diseases and
International Health, University of Virginia.
8. Masaccar, Kevin. 2018. Encephalitis in US Children. Dept of Pediatrics, University of
Colorado/Children’s Hospital Colorado, Aurora, CO, USA
9. Petunjuk Teknis Manajemen Tatalaksana TB Anak Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia