Tinjauan hukum Islam menyatakan bahwa kawin kontrak (nikah mut'ah) dan pernikahan siri adalah haram. Kawin kontrak dianggap tidak sah karena bertentangan dengan Al-Quran dan hadis yang menyatakan bahwa pernikahan bersifat mutlak dan tidak terbatas waktu. Pernikahan siri dianggap sah secara agama asalkan memenuhi rukun pernikahan, meski tidak dicatat negara.
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
NIKAHSIRI
1. DALAM TINJAUAN FIKIH ISLAM
KAWIN MUT’AH DAN SIRI
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Masa’il Al Fiqhiyah
Dosen Pengampu: Usep Awalani, M.Si.
No Nama NIM
1 M. Fariz Az-Zarqi 16.01.0023
2 Nazatul Bahiyah 16.01.0085
3 Rendra Fahrurozie 16.01.0073
4 Saeful Anwar 16.01.0121
DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 2:
2. Syahwat pria dewasa terhadap wanita untuk mencintai dan memiliki adalah hal yang fitrah,
yaitu hal yang alamiah yang telah ditetapkan adanya oleh Allah kepada manusia.
Sebagaimana di dalam Al Qur’an, QS Ali Imran [3] : 14.
Tetapi manusia harus memperhatikan dan berhati-hati perihal cara dia menyalurkan nafsu
seksual itu. Sebab manusia diberi pilihan berupa dua jalan oleh Allah SWT, yaitu jalan yang
halal dan jalan yang haram. (QS Al Balad [90] : 10)
Melalui pernikahanlah satu-satunya jalan yang sah menurut syariah Islam dan diridhai Allah
SWT bagi seorang laki-laki untuk menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempu-
an.
Sebaliknya jalan yang haram adalah dengan berzina, yang mana termasuk di dalamnya
adalah melakukan pernikahan akan tetapi bathil dalam segi akad dan perbuatannya. Yaitu
nikah kontrak atau nikah mut’ah.
Adapula yang melakukannya dengan siri (diam-diam), akan tetapi pernikahan siri ini diangg-
ap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara atau den
da.
LATAR BELAKANG
3. Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap
nikah siri? Dan Apa dan bagaimanakah kawin
kontrak itu?
Bagaimanakah kawin kontrak itu dalam pandangan
hukum Islam? Inilah tema yang akan dibahas dalam
makalah singkat kali ini.
LATAR BELAKANG
4. Pengertian Kawin Mut’ah (Kontrak)
Kawin kontrak itu mirip dengan kontrak rumah. Kalau seorang mengontrak rumah,
jelas bukan untuk selama-lamanya, tapi hanya untuk jangka waktu tertentu, misal
nya satu tahun.
Di Indonesia akhir-akhir ini kawin kontrak seperti itu cukup marak. Beberapa daer
ah yang kawin kontraknya cukup marak adalah di daerah Cianjur (Jawa Barat),
Singkawang (Kalimantan Barat), dan Jepara (Jawa Tengah).
Proses kawin kontrak itu mirip seperti akad nikah pada umumnya. Ada saksi dan
ada penghulu, juga ada ijab dan kabul, termasuk mahar yang disiapkan pada saat
ijab kabul. Inilah yang membedakan kawin kontrak dengan prostitusi (pelacuran).
Jika waktu sebulan ini habis, maka otomatis pasangan kawin kontrak akan
bercerai.
Mengapa kawin kontrak marak terjadi di Indonesia? Tentu banyak faktor penyeba
bnya. Selain faktor materi (uang) dan faktor syahwat, juga ada faktor longgarnya
sistem hukum di Indonesia.
5. Kawin kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya adalah
haram dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Orang yang melakukan kawin
kontrak akad nikahnya tidak sah alias batal, dan tidak diterima Allah SWT sebagai
amal ibadah.
Mengapa kawin kontrak tidak sah? Sebab nash-nash dalam Al Qur’an maupun
Al Hadits tentang pernikahan tidak mengkaitkan pernikahan dengan jangka waktu
tertentu. Pernikahan dalam Al Qur’an dan Al Hadits ditinjau dari segi waktu adalah
bersifat mutlak, yaitu maksudnya untuk jangka waktu selamanya, bukan untuk
jangka waktu sementara.
Maka dari itu, melakukan kawin kontrak yang hanya berlangsung untuk jangka
waktu tertentu hukumnya tidak sah, karena bertentangan ayat Al Qur’an dan Al Ha
dits yang sama sekali tidak menyinggung batasan waktu.
Kita bisa membuktikannya dengan membaca ayat-ayat yang membicarakan nikah,
seperti QS An Nisaa` : 3; QS An Nuur : 32; dan sebagainya. Ayat-ayat tentang
nikah seperti ini sama sekali tidak menyebutkan jangka waktu. Maka perkawinan
dalam Islam itu dari segi waktu adalah bersifat mutlak, yaitu tidak dilakukan untuk
sementara waktu tetapi untuk selamanya (abadi).
Kawin Kontrak dalam Tinjauan Fikih Islam
6. Kawin Kontrak dalam Tinjauan Fikih Islam
Selain ayat-ayat Al Qur’an tersebut, keharaman kawin kontrak juga didasarkan hadits-
hadits yang mengharamkan kawin kontrak (nikah mut’ah). Memang kawin kontrak per
nah dibolehkan untuk sementara waktu pada masa awal Islam, tapi kebolehan ini kem
-udian di-nasakh (dihapus) oleh Rasulullah SAW pada saat Perang Khaibar sehingga
kawin kontrak hukumnya sejak itu haram sampai Hari Kiamat nanti.
Rasulullah SAW bersabda, ”Wahai manusia, dulu aku pernah mengizinkan kalian
untuk melakukan kawin kontrak (mut’ah). Dan sesungguhnya Allah telah mengharam-
kannya hingga Hari Kiamat(HR. Muslim). Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata kepada
Ibnu Abbas RA,” Pada saat perang Khaibar, Rasulullah SAW melarang kawin kontrak
(mut’ah) dan (juga melarang) memakan daging himar (keledai) jinak.” (HR. Bukhari d
an Muslim).
7. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan
oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), namun
sah menurut agama Islam. Secara etimologi, kata siri berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berar
ti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan.
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan;
– Pertama; pernikahan tanpa wali.
– Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara.
– Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misal
nya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur mengangga
p tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa se
seorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
8. Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada se
buah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah SAW bersabda;
بولي إال نكاح ال
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam As
y Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
باطل فنكاحها وليها إذن بغير نكحت امرأة أيما,باطل فنكاحها,باطل فنكاحها
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya
batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailu
l Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikah
an batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah SWT, dan berhak mendapatkan sanksi di
dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat
dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab
ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang
qadliy (hakim).
1. Hukum Pernikahan Tanpa Wali
9. Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tida
k dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara
berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lemba
ga pencatatan negara.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh di
anggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perb
uatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuata
n tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”.
Pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindaka
n kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan y
ang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-
rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul (4) Saksi.
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tida
k dicatatkan dalam pencatatan sipil.
2. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
10. Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar se
seorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan
pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyina
h syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.
Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernika
han seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain
selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.
Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubun
gan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksia
n dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti sya
r’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan
pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubu
ngan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
3. Berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga
pencatatan negara.
11. Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan m
aju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang mela
kukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara.
Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal penc
atatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian sya
r’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakuk
an pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan perni
kahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di d
alam al-Quran, misalnya firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah Ayat 282.
3. Berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga
pencatatan negara.
12. Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat
kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Yang berhak melakukan sangsi tersebut adalah seor
ang Khalifah dalam fikih Islam.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak
boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut ti
dak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani
seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang terse
but, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu men
catatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi SAW telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan denga
n menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhuku
m wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi SAW bersabda: “Adakah wali
mah walaupun dengan seekor kambing”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ;
(1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat;
(2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan
yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah
menikah atau belum.
3. Berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga
pencatatan negara.