SlideShare a Scribd company logo
1 of 14
Download to read offline
PERTEMUAN 22
SOSIOLINGUISTIK 2
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa akan memiliki kompetensi sebagai
berikut:
1. Mahasiswa akan mampu menjelaskan tentang bilingualisme dan diglosia
2. Mahasiswa akan mampu menjelaskan tentang alih kode dan campur kode
3. Mahasiswa akan mampu menjelaskan tentang interferensi bahasa
4. Mahasiswa akan mampu menjelaskan tentang integrasi bahasa
B. URAIAN MATERI
1. Bilingualisme dan Diglosia
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu
berkenaan dengan penggunaan dua kode bahasa. Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa
oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman
1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu.
Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain
yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut
orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia di sebut juga kedwibahasawanan).
Multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekahahasaan) yakni keadaan digunakannya
lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcáis, seorang
linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang
sarjana dari Stanford University, yaitu C. A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tentang
"Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar" yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association
di Washington DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah
artikelnya yang berjudul "Diglosia" yang dimuat dalam majalah Word tahun 1959. Artikel ini kemudian
dimuat juga dalam Hymes (ed.) Language in Culture and Society (1964:429-439): dan dalam Giglioli (ed.)
Language and Social Contact (1972). Hingga kini artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik
mengenai diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold (1984) ada membicarakannya juga
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana
terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan
tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang diglosia itu adalah sebagai berikut:
Diglosia is a relatively stable language situation, in which in addition to the primary dialects of the
language, which may include a standard or regional standard, there is a very divergent, highly codified,
often grammatically more complex, superposed variety, the vehicle of the large and respected body or
written literature, either of an earlier period or in another speech community, which is learned largely by
formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of
the community for ordinary conversation.
Bila disimak, definisi Ferguson itu memberi pengertian:
a. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-
dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
b. Dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar
regional.
c. Ragam lain (yang bukan dialek - dialek utama) itu memiliki ciri, sudah (sangat) terkodifikasi
gramatikalnya lebih kompleks, merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan
dihormati dan dipelajari melahui pendidikan formaldigunakan terutama dalam bahasa tulis dan
bahasa lisan formal tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari
2. Alih Kode dan Campur Kode
a. Alih Kode
Untuk dapat memahami pengertian alih kode dengan lebih baik, simaklah terlebih dahulu
ilustrasi dalam paparan berikut!
Nanang dan Ujang, keduanya berasal dari Priangan, lima belas menit sebelum kuliah dimulai
sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tak menentu dengan
menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu keduanya Sekali-sekali bercampur dengan bahasa Indonesia
kalau topik pembicaraan menyangkut masalah pelajaran/Ketika mereka sedang, asyik bercakap-cakap
masuklah Togar, teman kuliahnya yang berasal dari Tapanuli, yang tentu saja tidak dapat berbahasa
Sunda Togar menyapa mereka dalam bahasa Indonesia Lalu, segera mereka terlibat percakapan
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lama kemudian masuk pula teman-teman lainnya
sehingga suasana menjadi, riuh. dengan percakapan yang tidak tentu arah dan topiknya dengan
menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Ketika ibu dosen masuk ruangan, mereka diam, tenang,
dan siap mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliah pun berlangsung dengan tertib dalam bahasa
Indonesia ragam resmi. Ibu dosen menjelaskan materi kuliah dalam bahasa Indonesia ragam resmi,
mahasiswa bertanya dalam ragam resmi, dan seluruh percakapan berlangsung dalam ragam resmi
hingga kuliah berakhir. Begitu kuliah selesai, dan ibu dosen meninggalkan ruang kuliah, para
mahasiswa itu menjadi ramai kembali, dengan berbagai ragam santai, ada pula yang bercakap-cakap
dalam bahasa daerah.
Dari ilustrasi itu dapat dilihat, pada mulanya Nanang dan Ujang, yang berbahasa ibu sama,
bercakap-cakap dalam bahasa Sunda, kecuali sesekali kalau topik pembicaraannya mengenai bahan
pelajaran, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sewaktu Togar, yang berasal dari Tapanuli itu,
masuk, maka Nanang dan Ujang mengubah bahasa mereka dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia,
meskipun hanya bahasa ragam santai. Demikian juga bahasa yang digunakan oleh teman-teman
mereka yang datang kemudian. Tetapi begitu ibu dosen masuk dan kuliah mulai berlangsung, maka
percakapan hanya dilakukan dalam bahasa Indonesia ragam formal. Penggunaan ragam formal ini
baru berhenti bersamaan dengan berakhirnya jam perkuliahan. Tepatnya, begitu ibu dosen
meninggalkan ruang kuliah.
Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa Sunda ke bahasa
Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam
santai, inilah yang disebut peristiwa alih kode di dalam sosiolinguistik. Memang tentang apakah yang
disebut alih kode itu banyak batasan dan pendapat dari para pakar. Namun, ilustrasi dan keterangan di
atas telah memberi gambaran apa yang disebut dengan alih kode.
Appel (1976:79) mendefinisikah alih kode itu sebagai, "gejala peralihan pemakaian bahasa
karena berubahnya situasi". Pada ilustrasi di atas kita lihat peralihan penggunaan bahasa dari bahasa
Sunda ke bahasa Indonesia yang dilakukan Nanang dan Ujang adalah karena berubahnya situasi,
yaitu dengan datangnya Togar. Situasi "kesundaan" yang tadinya menyelimuti Nanang dan Ujang
berubah menjadi situasi "keindonesiaan" dengan adanya Togar yang tidak mengerti bahasa Sunda,
sedangkan ketiganya mengerti bahasa Indonesia. Secara sosial perubahan pemakaian bahasa itu
memang harus dilakukan, sebab adalah sangat tidak pantas dan tidak etis secara sosial, untuk terus
menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Apalagi orang ketiga itu, dalam
ilustrasi di atas Togar, telah lebih dahulu menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, alih kode ini dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial.
Berbeda dengan Appel vang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes
(1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara
ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas antara ragam
santai dan ragam resmi bahasa Indonesia. Lengkapnya Hymes mengatakah "code switching has
become a common term for altemate us of two or more lan-guage, varieties oflangttage, or even
speech styles ".
Dari pendapat Appel dan Hymes di atas jelas bagi kita bahwa pengalihan dari bahasa Sunda ke
bahasa Indonesia yang dilakukan Nanang dan Ujang berkenaan dengan hadirnya Togar, dan
pengalihan dari ragam santai ke ragam resmi berkenaan dengan berubahnya situasi dari situasi tidak
formal ke situasi formal (ketika perkuliahan berlangsung), adalah tercakup dalam peristiwa yang
disebut dengan alih kode. Dari ilustrasi di atas kita lihat pula bahwa pengalihan kode itu dilakukan
dengan sadar dan bersebab.
Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan kepada
pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukakan Fishman (1976:15), yaitu "siapa berbicara,
dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa". Dalam berbagai kepustakaan
linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau
penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4)
perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.
b. Campur Kode
Campur kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam
suatu peristiwa tutur. Misalnya, penutur menggunakan bahasa Sunda bercampur
menggunakan bahasa Jawa. Campur kode merupakan salah satu aspek
ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual. Dalam campur kode masing-
masing bahasa mendukung fungsi masing-masing sesuai dengan konteksnya.
Kachru (dalam Suwito, 1983:76) mendeskripsikan mengenai campur kode
sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukan unsur-unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Campur kode terjadi
disebabkan penutur melakukan perpindahan bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa
daerah atau sebaliknya dalam sekali proses penuturan.
Sumarsono (2002:202-203) menyatakan bahwa campur kode terjadi apabila
penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa
tertentu. Misalnya, ketika berbahasa Indonesia, seseorang memasukan unsur bahasa
Sumbawa.
Definisi campur kode di atas senada dengan Chaer dan Agustina (2010 : 114)
mendefinisikan campur kode merupakan seorang penutur banyak menyelipkan
bahasa daerahnya maka telah melakukan campur kode. Sementara itu Nababan
(1992) mengemukakan hal yang sama tentang campur kode sebagai pencampuran
dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak bahasa tanpa ada situasi yang menuntut
pencampuran itu. Ditambahkan pula, percampuran bahasa tersebut disebabkan oleh
kesantaian atau kebiasaan yang dimiliki oleh pembicara dan biasanya terjadi dalam
situasi informal.
Senada dengan pendapat Nababan di atas, Jendra (1991) memberi pengertian
bahwa campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks tetapi lebih ditentukan
oleh pokok pembicaraan pada saat itu. Campur kode disebabkan oleh kesantaian dan
kebiasaan pemakai bahasa dan pada umumnya terjadi dalam situasi informal.
Selanjutnya dikatakan bahwa campur kode terjadi di bawah tataran klausa dan unsur
sisipannya telah menyatu dengan bahasa yang disisipi. Jendra (1991:123)
menambahkan “seseorang yang bercampur kode mempunyai latar belakang tertentu,
yaitu adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan bahasa (Language
dependency), serta ada unsur bahasa lain dalam suatu bahasa namun, unsur bahasa
lain mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda”.
Penggunaan suatu bahasa ke bahasa lain memiliki berbagai ciri-ciri tertentu.
Jendra (1991) memberikan ciri-ciri campur kode tersebut yaitu sebagai berikut :
1) Campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan seperti dalam
gejala alih kode, tetapi bergantung kepada pembicaraan (fungsi bahasa).
2) Campur kode terjadi karena kesantaian pembicara dan kebiasaanya dalam
pemakaian bahasa.
3) Campur kode pada umumnya terjadi dalam situasi tidak resmi (informal).
4) Campur kode berciri pada ruang lingkup klausa pada tingkat tataran yang paling
tinggi dan kata pada tataran yang paling terendah.
5) Unsur bahasa sisipan dalam peristiwa campur kode tidak lagi mendukung fungsi
bahasa secara mandiri tetapi sudah menyatu dengan bahasa yang sudah disisipi.
Berdasarkan unsur serapan yang menimbulkan campur kode, Jendre (2001)
membagi campur kode menjadi tiga bagian. Berikut uraiannya :
1) Campur Kode ke Luar (outer code mixing)
Campur kode keluar adalah campur kode yang menyerap unsur- unsur bahasa
asing (Jendre, 2001:132). Misalnya, seorang tokoh dalam novel melakukan
peristiwa bahasa dengan menggunakan bahasa Indonesia kemudian memasukkan
sisipan bahasa asing seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, bahasa
Cina, dan lain sebagainya.
2) Campur Kode ke Dalam (Inner Code Mixing)
Mengenai campur kode ke dalam ada beberapa linguis yang memiliki
pandangan seputar itu. Suwito (1983) mengatakan bahwa seorang yang dalam
pemakaian bahasa Indonesianya banyak menyisipkan unsur-unsur bahasa daerah,
atau sebaliknya. Maka, penutur tersebut bercampur kode ke dalam. Sementara itu,
Jendre (1991) menyatakan campur kode ke dalam adalah jenis kode yang menyerap
unsur-unsur bahasa daerah yang sekerabat. Umpamanya gejala campur kode pada
peristiwa tuturan bahasa Indonesia terdapat di dalamnya unsur-unsur bahasa daerah
seperti bahasa Sumbawa, Lombok, Bima, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Misalnya,
SPG dan Pembeli terlibat percakapan mengunakan bahasa Indonesia karena kedua
berasal dari daerah yang sama pelaku menyisipkan bahasa daerahnya.
3) Campur Kode Campuran
Campur kode campuran terjadi akibat adanya campur kode yang di dalamnya
ada unsur klausa atau kalimat yang telah menyerap unsur bahasa Sumbawa,
Lombok, Jawa (bahasa daerah) dan bahasa asing (Jendra, 1991:132). Selanjutnya
Jendra (1991) menegaskan bahwa campur kode campuran merupakan unsur serapan
yang diterima oleh bahasa penyerap dengan pembagian menjadi dua bagian seperti
(inner dan outer code mixing) telah pula dilakukan. Misalnya, dalam dialog
percakapan menggunakan santai
Pada penjelasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai ciri-ciri peristiwa
campur kode, yaitu tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan, adanya
ketergantungan bahasa yang mengutamakan peran dan fungsi kebahasaan yang
biasanya terjadi pada situasi yang santai. Berdasarkan hal tersebut, Suwito (1983)
memaparkan tiga faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu (1)
faktor peran, (2) faktor ragam, dan (3) faktor keinginan untuk menjelaskan dan
menafsirkan.
Faktor peran meliputi status sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta
bicara atau penutur bahasa tersebut. Faktor ragam ditentukan oleh bahasa yang
digunakan oleh penutur pada waktu melakukan campur kode, yang akan menempat
pada hirarki status sosial. Faktor keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
adalah yang nampak pada peristiwa campur kode yang menandai sikap dan
hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang lain terhadapnya. Faktor
keinginan, menjelaskan, dan menafsirkan berupa: (1) karena menghormati lawan
tutur, (2) karena kebutuhan kosa kata, (3) karena ingin mencari jalan termudah ingin
menyampaikan maksud, (4) karena membicarakan topik tertentu, (5) menunjukkan
identitas, (6) menunjukkan terpelajar, (7) mempertegas sesuatu, (8) memperhalus
tuturan, (9) menunjukkan keakraban, (10) sebagai pengisi dan penyambung kalimat.
3. Interferensi Bahasa
Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan
Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh
adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa
lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu,
Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek
kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik).
Menurut Nababan (1984) dalam (Suwito,1985:55), Interferensi merupakan
kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu
atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina
(1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma
dari salah satu bahasa atau lebih.
Untuk memantapkan pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan
diketengahkan pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sosiolinguistik yang telah
mendefinisikan peristiwa ini. Menurut pendapat Chaer (1998:159), interferensi pertama
kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain
yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya
penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa
lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga
dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk
dalam Chaer (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-
kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Pendapat lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131)
mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk,
bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan
membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakupi
pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata. Suhendra Yusuf (1994:67)
menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi antara lain
perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam
struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187) menyatakan bahwa
interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain.
Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem)
bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya
gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima. Interferensi
merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam
perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa
Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi,
terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa
donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain sulit untuk
dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari perilaku penutur bahasa
penerima.
Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri
pokok sikap bahasa itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan
terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3)
awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap
ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti
penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya.
Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi. Dari
segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan
sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan
Agustina (1998: 165).
Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok,
yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya
atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa
yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang
terserap (importasi) atau unsur serapan.
Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan
beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga
dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian
interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat
disimpulkan bahwa.
a. Kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
b. Interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain
c. Unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat
menimbulkan dampak negatif, dan
d. Interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang
geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang
digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa
tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Chaer dan Agustina
1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam proses
integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa
penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu
unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat
dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam
kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.
Suwito (1983:54), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada
umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi pada
dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap
sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya
telah ada padanannya dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan
perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang
paling minim.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan
dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54).Dari pendapat hockett tersebut perlu
dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini
disebabkan interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang
tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna. Berdasarkan hal tersebut
dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan,
yaitu:
a. Bahasa sumber atau bahasa donor
b. Bahasa penyerap atau resipien
c. Unsur serapan atau importasi
Mengacu dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa interferensi
adalah masuknya kosakata atau suatu bahsa kedalam bahasa lain, namun interferensi
bahasa sangatlah berpengaruh besar pada perubahan bahasa karena interferensi
kebahasaan dapat terjadi dalam bidang fonologi (tata bunyi), morfologi (tata bentukan
kata), sintaksis (tata kalimat), leksikon (tata kosakata), dan semantik ( makna kata).
a. Interferensi dalam bidang fonologi
Interferensi dalam bidang fonologi dapat dilihat pada contoh berikut, jika
penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang berawal
bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi.
Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/, /nJambi/, dan
/nGgombong/.
b. Interferensi dalam bidang morfologi
Interferensi morfologi dipandang oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang
paling banyak terjadi. Interferensi ini terjadi dalam pembentukan kata dengan
menyerap afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada
kata kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran,
duaan. Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-
bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu
besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah (bubar), dan berdua.
Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut
interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa
Indonesia dengan afiks-afiks dari bahasa daerah atau bahasa asing.
c. Interferensi dalam bentuk kalimat
Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi. Hal ini memang perlu dihindari
karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya,
Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah
dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk
tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk
tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di
kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan
kepadamu kemarin. Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan karena ada
padanan konteks dari bahasa donor, misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe
ing kampung iku, dan seterusnya.
d. Interferensi Semantik
Berdasarkan bahasa resipien (penyerap) interferensi semantis dapat dibedakan
menjadi dua:
1) Jika interferensi terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta
namanya dari bahasa lain, yang disebut sebagai perluasan (ekspansif).
Contohnya kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-
Latin.
2) Yang perlu mendapat perhatian, interferensi harus dibedakan dengan alih kode
dan campur kode. Alih kode menurut Chaer dan Agustina (1995:158) adalah
peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena
adanya sebab-sebab tertentu, dan dilakukan dengan sengaja. Sementara itu,
campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan
saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara
konsisten. Interferensi merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi
sebagai akibat pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang
dwibahasawan, yaitu penutur yang mengenal lebih dari satu bahasa.
Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam
menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain
(Chaer,1995:158). Biasanya interferensi terjadi dalam penggunaan bahasa
kedua, dan yang menginterferensi adalah bahasa pertama atau bahasa ibu.
4. Integrasi Bahasa
Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah
merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana:
1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam
bahasa lain.
Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit
dibedakan dari interferensi. Chaer dan Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat
Mackey, menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan
dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak
dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan. Contoh, airport yang biasa
digunakan untuk bandara.
Mackey dalam Mustakim (1994:13) mengungkapkan bahwa masalah interferensi
adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat diukur. Menurutnya, interferensi dapat
ditetapkan berdasarkan penemuan adanya integrasi, yang juga bersifat nisbi. Dalam hal
ini, kenisbian integrasi itu dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah
orang menganggap bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah
orang yang lain menganggap belum.
Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan
keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan
atau interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan
unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam
kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau
kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk
unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama.
Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan
bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang
berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat
lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan
bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam
kaitan penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu penyesuaian unsur integrasi
tergantung pada tiga faktor antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem bahasa
sumber dengan bahasa penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri, apakah sangat
dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur
bahasa penyerapnya.
C. LATIHAN
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan tepat dan jelas!
1. Apa yang Anda ketahui tentang bilingualisme?
2. Apa perbedaan antara bilingual dan multilingual?
3. Apa yang Saudara pahami tentang diglosia?
4. Apa yang Anda ketahui tentang campur kode? Berikan contohnya!
5. Apa yang Anda ketahui tentang alih kode? Berikan contohnya!
6. Apa yang Anda ketahui tentang interferensi?
7. Jelaskan bentuk-bentuk interferensi dan sertakan dengan contoh!
8. Jelaskan tentang integrasi!
D. DAFTAR PUSTAKA
1. Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Linguistik Suatu Pengantar.Bandung: Angkasa.
2. Alwasilah, Chaedar.1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa
3. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
4. Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
5. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics, Harlow Essex: Longman
Group U.K Limited.
6. Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar.Bandung:Angkasa.
7. Sumarsono. 2014. Sosiolinguitik. Yogyakarta : Sabda
8. Todd, Loreto. An Introduction to Linguistics. New York: Longman York Press,
1987.
9. Verhaar, J.W.M.2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
10. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil
Blackwell Ltd.
sosiolinguistik linguistik sastra indonesia

More Related Content

What's hot

Permasalahan padanan kata dan beberapa pendekatan penerjemahan
Permasalahan padanan kata dan beberapa pendekatan penerjemahanPermasalahan padanan kata dan beberapa pendekatan penerjemahan
Permasalahan padanan kata dan beberapa pendekatan penerjemahanfikri_muh
 
Menterjemah unsur budaya
Menterjemah unsur budayaMenterjemah unsur budaya
Menterjemah unsur budayaMaheram Ahmad
 
ragam bahasa indonesia tulis ilmiah
ragam bahasa indonesia tulis ilmiahragam bahasa indonesia tulis ilmiah
ragam bahasa indonesia tulis ilmiahAnang Dwi Purwanto
 
VARIASI BAHASA
VARIASI BAHASAVARIASI BAHASA
VARIASI BAHASALita Tania
 
Presentasi Ragam Bahasa Indonesia
Presentasi Ragam Bahasa IndonesiaPresentasi Ragam Bahasa Indonesia
Presentasi Ragam Bahasa Indonesiagoogle
 
Bilingualism and diglosia
Bilingualism and diglosiaBilingualism and diglosia
Bilingualism and diglosiaYahyaChoy
 
Morphological typology
Morphological typologyMorphological typology
Morphological typologyRezqan Farid
 
Variasi bahasa
Variasi bahasaVariasi bahasa
Variasi bahasaFara Piruz
 
konsep dan definisi terjemah dan penterjemah
konsep dan definisi terjemah dan penterjemahkonsep dan definisi terjemah dan penterjemah
konsep dan definisi terjemah dan penterjemahsyatirahyusri
 
IHWAL SOSIOLINGUISTIK
IHWAL SOSIOLINGUISTIKIHWAL SOSIOLINGUISTIK
IHWAL SOSIOLINGUISTIKLita Tania
 

What's hot (19)

Powerpoint pijin
Powerpoint pijinPowerpoint pijin
Powerpoint pijin
 
Ragam Bahasa Indonesia
Ragam Bahasa IndonesiaRagam Bahasa Indonesia
Ragam Bahasa Indonesia
 
Permasalahan padanan kata dan beberapa pendekatan penerjemahan
Permasalahan padanan kata dan beberapa pendekatan penerjemahanPermasalahan padanan kata dan beberapa pendekatan penerjemahan
Permasalahan padanan kata dan beberapa pendekatan penerjemahan
 
Menterjemah unsur budaya
Menterjemah unsur budayaMenterjemah unsur budaya
Menterjemah unsur budaya
 
ragam bahasa indonesia tulis ilmiah
ragam bahasa indonesia tulis ilmiahragam bahasa indonesia tulis ilmiah
ragam bahasa indonesia tulis ilmiah
 
VARIASI BAHASA
VARIASI BAHASAVARIASI BAHASA
VARIASI BAHASA
 
Presentasi Ragam Bahasa Indonesia
Presentasi Ragam Bahasa IndonesiaPresentasi Ragam Bahasa Indonesia
Presentasi Ragam Bahasa Indonesia
 
Ragam Bahasa
Ragam BahasaRagam Bahasa
Ragam Bahasa
 
ragam bahasa
ragam bahasaragam bahasa
ragam bahasa
 
Bilingualisme
BilingualismeBilingualisme
Bilingualisme
 
Bilingualism and diglosia
Bilingualism and diglosiaBilingualism and diglosia
Bilingualism and diglosia
 
Morphological typology
Morphological typologyMorphological typology
Morphological typology
 
Variasi bahasa
Variasi bahasaVariasi bahasa
Variasi bahasa
 
Jenis – jenis ragam bahasa
Jenis – jenis ragam bahasaJenis – jenis ragam bahasa
Jenis – jenis ragam bahasa
 
konsep dan definisi terjemah dan penterjemah
konsep dan definisi terjemah dan penterjemahkonsep dan definisi terjemah dan penterjemah
konsep dan definisi terjemah dan penterjemah
 
IHWAL SOSIOLINGUISTIK
IHWAL SOSIOLINGUISTIKIHWAL SOSIOLINGUISTIK
IHWAL SOSIOLINGUISTIK
 
Modul 4 ragam bahasa.
Modul 4   ragam bahasa.Modul 4   ragam bahasa.
Modul 4 ragam bahasa.
 
DIGLOSIA
DIGLOSIADIGLOSIA
DIGLOSIA
 
variasi dan jenis bahasa
variasi dan jenis bahasavariasi dan jenis bahasa
variasi dan jenis bahasa
 

Similar to sosiolinguistik linguistik sastra indonesia

Diglosia by klp. 6 (ibi, cecep, lulu)
Diglosia by klp. 6 (ibi, cecep, lulu)Diglosia by klp. 6 (ibi, cecep, lulu)
Diglosia by klp. 6 (ibi, cecep, lulu)Ibi E
 
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar....
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar....Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar....
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar....Zukét Printing
 
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar.pdf
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar.pdfKeadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar.pdf
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar.pdfZukét Printing
 
4-ALIH KODE DAN CAMPUR KODE.pptx
4-ALIH KODE DAN CAMPUR KODE.pptx4-ALIH KODE DAN CAMPUR KODE.pptx
4-ALIH KODE DAN CAMPUR KODE.pptxRitaRistiana1
 
Alih Kode & Campur Kode
Alih Kode & Campur KodeAlih Kode & Campur Kode
Alih Kode & Campur KodeIndah Baso
 
Mod ul bhs indonesia
Mod ul bhs indonesiaMod ul bhs indonesia
Mod ul bhs indonesiacitra Joni
 
Jargon, Slang, Kata Percakapan, dan Bahasa Prokem
Jargon, Slang, Kata Percakapan, dan Bahasa ProkemJargon, Slang, Kata Percakapan, dan Bahasa Prokem
Jargon, Slang, Kata Percakapan, dan Bahasa ProkemJenny Givany
 
Hakikat bahasa indonesia sebagai alat komunikasi mahasiswa
Hakikat bahasa indonesia sebagai alat komunikasi mahasiswaHakikat bahasa indonesia sebagai alat komunikasi mahasiswa
Hakikat bahasa indonesia sebagai alat komunikasi mahasiswaMaya Sy
 
Siska yuliana
Siska yulianaSiska yuliana
Siska yulianataufiq99
 
Pertukaran dan Percampuran Kod dalam Kalangan Mahasiswa / Mahasiswi Universit...
Pertukaran dan Percampuran Kod dalam Kalangan Mahasiswa / Mahasiswi Universit...Pertukaran dan Percampuran Kod dalam Kalangan Mahasiswa / Mahasiswi Universit...
Pertukaran dan Percampuran Kod dalam Kalangan Mahasiswa / Mahasiswi Universit...Thanushah Soniyasee
 
Bahasa dan budaya dalam komunikasi lintas budaya
Bahasa dan budaya dalam komunikasi lintas budayaBahasa dan budaya dalam komunikasi lintas budaya
Bahasa dan budaya dalam komunikasi lintas budayaFuji Lestari
 
Tugasan hbml3403 linguistik dan sosiolinguistik
Tugasan hbml3403 linguistik dan sosiolinguistikTugasan hbml3403 linguistik dan sosiolinguistik
Tugasan hbml3403 linguistik dan sosiolinguistikAhmad NazRi
 
Intro to sociolinguistics
Intro to sociolinguisticsIntro to sociolinguistics
Intro to sociolinguisticsEngki Sabki
 
Bahasa indonesia sebagai media komunikasi baru (2)
Bahasa indonesia sebagai media komunikasi baru (2)Bahasa indonesia sebagai media komunikasi baru (2)
Bahasa indonesia sebagai media komunikasi baru (2)roviantoelieser
 

Similar to sosiolinguistik linguistik sastra indonesia (20)

Diglosia by klp. 6 (ibi, cecep, lulu)
Diglosia by klp. 6 (ibi, cecep, lulu)Diglosia by klp. 6 (ibi, cecep, lulu)
Diglosia by klp. 6 (ibi, cecep, lulu)
 
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar....
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar....Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar....
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar....
 
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar.pdf
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar.pdfKeadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar.pdf
Keadaan dan Perkembangan Sosiolinguistik di Indonesia dan Lingkungan Sekitar.pdf
 
4-ALIH KODE DAN CAMPUR KODE.pptx
4-ALIH KODE DAN CAMPUR KODE.pptx4-ALIH KODE DAN CAMPUR KODE.pptx
4-ALIH KODE DAN CAMPUR KODE.pptx
 
Materi Bahasa Indonesia semester 5
Materi Bahasa Indonesia semester 5Materi Bahasa Indonesia semester 5
Materi Bahasa Indonesia semester 5
 
Disain Penelitian Kebahasaan
Disain Penelitian KebahasaanDisain Penelitian Kebahasaan
Disain Penelitian Kebahasaan
 
Alih Kode & Campur Kode
Alih Kode & Campur KodeAlih Kode & Campur Kode
Alih Kode & Campur Kode
 
Mod ul bhs indonesia
Mod ul bhs indonesiaMod ul bhs indonesia
Mod ul bhs indonesia
 
Jargon, Slang, Kata Percakapan, dan Bahasa Prokem
Jargon, Slang, Kata Percakapan, dan Bahasa ProkemJargon, Slang, Kata Percakapan, dan Bahasa Prokem
Jargon, Slang, Kata Percakapan, dan Bahasa Prokem
 
bahasa baku.pdf
bahasa baku.pdfbahasa baku.pdf
bahasa baku.pdf
 
Hakikat bahasa indonesia sebagai alat komunikasi mahasiswa
Hakikat bahasa indonesia sebagai alat komunikasi mahasiswaHakikat bahasa indonesia sebagai alat komunikasi mahasiswa
Hakikat bahasa indonesia sebagai alat komunikasi mahasiswa
 
Siska yuliana
Siska yulianaSiska yuliana
Siska yuliana
 
Pertukaran dan Percampuran Kod dalam Kalangan Mahasiswa / Mahasiswi Universit...
Pertukaran dan Percampuran Kod dalam Kalangan Mahasiswa / Mahasiswi Universit...Pertukaran dan Percampuran Kod dalam Kalangan Mahasiswa / Mahasiswi Universit...
Pertukaran dan Percampuran Kod dalam Kalangan Mahasiswa / Mahasiswi Universit...
 
disain PenelitianKebahasaan
disain PenelitianKebahasaandisain PenelitianKebahasaan
disain PenelitianKebahasaan
 
Beberapa masalah dalam penerjemahan
Beberapa masalah dalam penerjemahanBeberapa masalah dalam penerjemahan
Beberapa masalah dalam penerjemahan
 
Bahasa dan budaya dalam komunikasi lintas budaya
Bahasa dan budaya dalam komunikasi lintas budayaBahasa dan budaya dalam komunikasi lintas budaya
Bahasa dan budaya dalam komunikasi lintas budaya
 
Tugasan hbml3403 linguistik dan sosiolinguistik
Tugasan hbml3403 linguistik dan sosiolinguistikTugasan hbml3403 linguistik dan sosiolinguistik
Tugasan hbml3403 linguistik dan sosiolinguistik
 
Intro to sociolinguistics
Intro to sociolinguisticsIntro to sociolinguistics
Intro to sociolinguistics
 
Bahasa indonesia sebagai media komunikasi baru (2)
Bahasa indonesia sebagai media komunikasi baru (2)Bahasa indonesia sebagai media komunikasi baru (2)
Bahasa indonesia sebagai media komunikasi baru (2)
 
Ppt b.ind kel 1
Ppt b.ind kel 1Ppt b.ind kel 1
Ppt b.ind kel 1
 

Recently uploaded

JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikaAtiAnggiSupriyati
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDmawan5982
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptxGiftaJewela
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatArfiGraphy
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxPurmiasih
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSovyOktavianti
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..ikayogakinasih12
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxRizkyPratiwi19
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptxHendryJulistiyanto
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptxMiftahunnajahTVIBS
 

Recently uploaded (20)

JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
 

sosiolinguistik linguistik sastra indonesia

  • 1. PERTEMUAN 22 SOSIOLINGUISTIK 2 A. TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa akan memiliki kompetensi sebagai berikut: 1. Mahasiswa akan mampu menjelaskan tentang bilingualisme dan diglosia 2. Mahasiswa akan mampu menjelaskan tentang alih kode dan campur kode 3. Mahasiswa akan mampu menjelaskan tentang interferensi bahasa 4. Mahasiswa akan mampu menjelaskan tentang integrasi bahasa B. URAIAN MATERI 1. Bilingualisme dan Diglosia Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua kode bahasa. Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia di sebut juga kedwibahasawanan). Multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekahahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcáis, seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University, yaitu C. A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tentang "Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar" yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washington DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul "Diglosia" yang dimuat dalam majalah Word tahun 1959. Artikel ini kemudian dimuat juga dalam Hymes (ed.) Language in Culture and Society (1964:429-439): dan dalam Giglioli (ed.) Language and Social Contact (1972). Hingga kini artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold (1984) ada membicarakannya juga Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang diglosia itu adalah sebagai berikut:
  • 2. Diglosia is a relatively stable language situation, in which in addition to the primary dialects of the language, which may include a standard or regional standard, there is a very divergent, highly codified, often grammatically more complex, superposed variety, the vehicle of the large and respected body or written literature, either of an earlier period or in another speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation. Bila disimak, definisi Ferguson itu memberi pengertian: a. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek- dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain. b. Dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional. c. Ragam lain (yang bukan dialek - dialek utama) itu memiliki ciri, sudah (sangat) terkodifikasi gramatikalnya lebih kompleks, merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati dan dipelajari melahui pendidikan formaldigunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari 2. Alih Kode dan Campur Kode a. Alih Kode Untuk dapat memahami pengertian alih kode dengan lebih baik, simaklah terlebih dahulu ilustrasi dalam paparan berikut! Nanang dan Ujang, keduanya berasal dari Priangan, lima belas menit sebelum kuliah dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tak menentu dengan menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu keduanya Sekali-sekali bercampur dengan bahasa Indonesia kalau topik pembicaraan menyangkut masalah pelajaran/Ketika mereka sedang, asyik bercakap-cakap masuklah Togar, teman kuliahnya yang berasal dari Tapanuli, yang tentu saja tidak dapat berbahasa Sunda Togar menyapa mereka dalam bahasa Indonesia Lalu, segera mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lama kemudian masuk pula teman-teman lainnya sehingga suasana menjadi, riuh. dengan percakapan yang tidak tentu arah dan topiknya dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Ketika ibu dosen masuk ruangan, mereka diam, tenang, dan siap mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliah pun berlangsung dengan tertib dalam bahasa Indonesia ragam resmi. Ibu dosen menjelaskan materi kuliah dalam bahasa Indonesia ragam resmi, mahasiswa bertanya dalam ragam resmi, dan seluruh percakapan berlangsung dalam ragam resmi hingga kuliah berakhir. Begitu kuliah selesai, dan ibu dosen meninggalkan ruang kuliah, para mahasiswa itu menjadi ramai kembali, dengan berbagai ragam santai, ada pula yang bercakap-cakap dalam bahasa daerah. Dari ilustrasi itu dapat dilihat, pada mulanya Nanang dan Ujang, yang berbahasa ibu sama, bercakap-cakap dalam bahasa Sunda, kecuali sesekali kalau topik pembicaraannya mengenai bahan
  • 3. pelajaran, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sewaktu Togar, yang berasal dari Tapanuli itu, masuk, maka Nanang dan Ujang mengubah bahasa mereka dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, meskipun hanya bahasa ragam santai. Demikian juga bahasa yang digunakan oleh teman-teman mereka yang datang kemudian. Tetapi begitu ibu dosen masuk dan kuliah mulai berlangsung, maka percakapan hanya dilakukan dalam bahasa Indonesia ragam formal. Penggunaan ragam formal ini baru berhenti bersamaan dengan berakhirnya jam perkuliahan. Tepatnya, begitu ibu dosen meninggalkan ruang kuliah. Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai, inilah yang disebut peristiwa alih kode di dalam sosiolinguistik. Memang tentang apakah yang disebut alih kode itu banyak batasan dan pendapat dari para pakar. Namun, ilustrasi dan keterangan di atas telah memberi gambaran apa yang disebut dengan alih kode. Appel (1976:79) mendefinisikah alih kode itu sebagai, "gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi". Pada ilustrasi di atas kita lihat peralihan penggunaan bahasa dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia yang dilakukan Nanang dan Ujang adalah karena berubahnya situasi, yaitu dengan datangnya Togar. Situasi "kesundaan" yang tadinya menyelimuti Nanang dan Ujang berubah menjadi situasi "keindonesiaan" dengan adanya Togar yang tidak mengerti bahasa Sunda, sedangkan ketiganya mengerti bahasa Indonesia. Secara sosial perubahan pemakaian bahasa itu memang harus dilakukan, sebab adalah sangat tidak pantas dan tidak etis secara sosial, untuk terus menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Apalagi orang ketiga itu, dalam ilustrasi di atas Togar, telah lebih dahulu menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, alih kode ini dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial. Berbeda dengan Appel vang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia. Lengkapnya Hymes mengatakah "code switching has become a common term for altemate us of two or more lan-guage, varieties oflangttage, or even speech styles ". Dari pendapat Appel dan Hymes di atas jelas bagi kita bahwa pengalihan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia yang dilakukan Nanang dan Ujang berkenaan dengan hadirnya Togar, dan pengalihan dari ragam santai ke ragam resmi berkenaan dengan berubahnya situasi dari situasi tidak formal ke situasi formal (ketika perkuliahan berlangsung), adalah tercakup dalam peristiwa yang disebut dengan alih kode. Dari ilustrasi di atas kita lihat pula bahwa pengalihan kode itu dilakukan dengan sadar dan bersebab. Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukakan Fishman (1976:15), yaitu "siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa". Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.
  • 4. b. Campur Kode Campur kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya, penutur menggunakan bahasa Sunda bercampur menggunakan bahasa Jawa. Campur kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual. Dalam campur kode masing- masing bahasa mendukung fungsi masing-masing sesuai dengan konteksnya. Kachru (dalam Suwito, 1983:76) mendeskripsikan mengenai campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Campur kode terjadi disebabkan penutur melakukan perpindahan bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah atau sebaliknya dalam sekali proses penuturan. Sumarsono (2002:202-203) menyatakan bahwa campur kode terjadi apabila penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Misalnya, ketika berbahasa Indonesia, seseorang memasukan unsur bahasa Sumbawa. Definisi campur kode di atas senada dengan Chaer dan Agustina (2010 : 114) mendefinisikan campur kode merupakan seorang penutur banyak menyelipkan bahasa daerahnya maka telah melakukan campur kode. Sementara itu Nababan (1992) mengemukakan hal yang sama tentang campur kode sebagai pencampuran dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak bahasa tanpa ada situasi yang menuntut pencampuran itu. Ditambahkan pula, percampuran bahasa tersebut disebabkan oleh kesantaian atau kebiasaan yang dimiliki oleh pembicara dan biasanya terjadi dalam situasi informal. Senada dengan pendapat Nababan di atas, Jendra (1991) memberi pengertian bahwa campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks tetapi lebih ditentukan oleh pokok pembicaraan pada saat itu. Campur kode disebabkan oleh kesantaian dan kebiasaan pemakai bahasa dan pada umumnya terjadi dalam situasi informal. Selanjutnya dikatakan bahwa campur kode terjadi di bawah tataran klausa dan unsur sisipannya telah menyatu dengan bahasa yang disisipi. Jendra (1991:123) menambahkan “seseorang yang bercampur kode mempunyai latar belakang tertentu,
  • 5. yaitu adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan bahasa (Language dependency), serta ada unsur bahasa lain dalam suatu bahasa namun, unsur bahasa lain mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda”. Penggunaan suatu bahasa ke bahasa lain memiliki berbagai ciri-ciri tertentu. Jendra (1991) memberikan ciri-ciri campur kode tersebut yaitu sebagai berikut : 1) Campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan seperti dalam gejala alih kode, tetapi bergantung kepada pembicaraan (fungsi bahasa). 2) Campur kode terjadi karena kesantaian pembicara dan kebiasaanya dalam pemakaian bahasa. 3) Campur kode pada umumnya terjadi dalam situasi tidak resmi (informal). 4) Campur kode berciri pada ruang lingkup klausa pada tingkat tataran yang paling tinggi dan kata pada tataran yang paling terendah. 5) Unsur bahasa sisipan dalam peristiwa campur kode tidak lagi mendukung fungsi bahasa secara mandiri tetapi sudah menyatu dengan bahasa yang sudah disisipi. Berdasarkan unsur serapan yang menimbulkan campur kode, Jendre (2001) membagi campur kode menjadi tiga bagian. Berikut uraiannya : 1) Campur Kode ke Luar (outer code mixing) Campur kode keluar adalah campur kode yang menyerap unsur- unsur bahasa asing (Jendre, 2001:132). Misalnya, seorang tokoh dalam novel melakukan peristiwa bahasa dengan menggunakan bahasa Indonesia kemudian memasukkan sisipan bahasa asing seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, bahasa Cina, dan lain sebagainya. 2) Campur Kode ke Dalam (Inner Code Mixing) Mengenai campur kode ke dalam ada beberapa linguis yang memiliki pandangan seputar itu. Suwito (1983) mengatakan bahwa seorang yang dalam pemakaian bahasa Indonesianya banyak menyisipkan unsur-unsur bahasa daerah, atau sebaliknya. Maka, penutur tersebut bercampur kode ke dalam. Sementara itu, Jendre (1991) menyatakan campur kode ke dalam adalah jenis kode yang menyerap unsur-unsur bahasa daerah yang sekerabat. Umpamanya gejala campur kode pada
  • 6. peristiwa tuturan bahasa Indonesia terdapat di dalamnya unsur-unsur bahasa daerah seperti bahasa Sumbawa, Lombok, Bima, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Misalnya, SPG dan Pembeli terlibat percakapan mengunakan bahasa Indonesia karena kedua berasal dari daerah yang sama pelaku menyisipkan bahasa daerahnya. 3) Campur Kode Campuran Campur kode campuran terjadi akibat adanya campur kode yang di dalamnya ada unsur klausa atau kalimat yang telah menyerap unsur bahasa Sumbawa, Lombok, Jawa (bahasa daerah) dan bahasa asing (Jendra, 1991:132). Selanjutnya Jendra (1991) menegaskan bahwa campur kode campuran merupakan unsur serapan yang diterima oleh bahasa penyerap dengan pembagian menjadi dua bagian seperti (inner dan outer code mixing) telah pula dilakukan. Misalnya, dalam dialog percakapan menggunakan santai Pada penjelasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai ciri-ciri peristiwa campur kode, yaitu tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan, adanya ketergantungan bahasa yang mengutamakan peran dan fungsi kebahasaan yang biasanya terjadi pada situasi yang santai. Berdasarkan hal tersebut, Suwito (1983) memaparkan tiga faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu (1) faktor peran, (2) faktor ragam, dan (3) faktor keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Faktor peran meliputi status sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta bicara atau penutur bahasa tersebut. Faktor ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur pada waktu melakukan campur kode, yang akan menempat pada hirarki status sosial. Faktor keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan adalah yang nampak pada peristiwa campur kode yang menandai sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang lain terhadapnya. Faktor keinginan, menjelaskan, dan menafsirkan berupa: (1) karena menghormati lawan tutur, (2) karena kebutuhan kosa kata, (3) karena ingin mencari jalan termudah ingin menyampaikan maksud, (4) karena membicarakan topik tertentu, (5) menunjukkan identitas, (6) menunjukkan terpelajar, (7) mempertegas sesuatu, (8) memperhalus tuturan, (9) menunjukkan keakraban, (10) sebagai pengisi dan penyambung kalimat.
  • 7. 3. Interferensi Bahasa Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik). Menurut Nababan (1984) dalam (Suwito,1985:55), Interferensi merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih. Untuk memantapkan pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sosiolinguistik yang telah mendefinisikan peristiwa ini. Menurut pendapat Chaer (1998:159), interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chaer (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan- kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Pendapat lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakupi pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata. Suhendra Yusuf (1994:67) menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi antara lain perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
  • 8. Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187) menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima. Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima. Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi. Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165). Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan. Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
  • 9. Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa. a. Kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan. b. Interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain c. Unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif, dan d. Interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech). Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Chaer dan Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi. Suwito (1983:54), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim. Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54).Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna. Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu:
  • 10. a. Bahasa sumber atau bahasa donor b. Bahasa penyerap atau resipien c. Unsur serapan atau importasi Mengacu dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa interferensi adalah masuknya kosakata atau suatu bahsa kedalam bahasa lain, namun interferensi bahasa sangatlah berpengaruh besar pada perubahan bahasa karena interferensi kebahasaan dapat terjadi dalam bidang fonologi (tata bunyi), morfologi (tata bentukan kata), sintaksis (tata kalimat), leksikon (tata kosakata), dan semantik ( makna kata). a. Interferensi dalam bidang fonologi Interferensi dalam bidang fonologi dapat dilihat pada contoh berikut, jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/, /nJambi/, dan /nGgombong/. b. Interferensi dalam bidang morfologi Interferensi morfologi dipandang oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang paling banyak terjadi. Interferensi ini terjadi dalam pembentukan kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada kata kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan. Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk- bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah (bubar), dan berdua. Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-afiks dari bahasa daerah atau bahasa asing. c. Interferensi dalam bentuk kalimat Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi. Hal ini memang perlu dihindari karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah
  • 11. dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin. Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor, misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya. d. Interferensi Semantik Berdasarkan bahasa resipien (penyerap) interferensi semantis dapat dibedakan menjadi dua: 1) Jika interferensi terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain, yang disebut sebagai perluasan (ekspansif). Contohnya kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari bahasa Yunani- Latin. 2) Yang perlu mendapat perhatian, interferensi harus dibedakan dengan alih kode dan campur kode. Alih kode menurut Chaer dan Agustina (1995:158) adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu, dan dilakukan dengan sengaja. Sementara itu, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Interferensi merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur yang mengenal lebih dari satu bahasa. Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain (Chaer,1995:158). Biasanya interferensi terjadi dalam penggunaan bahasa kedua, dan yang menginterferensi adalah bahasa pertama atau bahasa ibu. 4. Integrasi Bahasa
  • 12. Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chaer dan Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan. Contoh, airport yang biasa digunakan untuk bandara. Mackey dalam Mustakim (1994:13) mengungkapkan bahwa masalah interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat diukur. Menurutnya, interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan adanya integrasi, yang juga bersifat nisbi. Dalam hal ini, kenisbian integrasi itu dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang menganggap bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah orang yang lain menganggap belum. Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi. Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu penyesuaian unsur integrasi
  • 13. tergantung pada tiga faktor antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya. C. LATIHAN Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan tepat dan jelas! 1. Apa yang Anda ketahui tentang bilingualisme? 2. Apa perbedaan antara bilingual dan multilingual? 3. Apa yang Saudara pahami tentang diglosia? 4. Apa yang Anda ketahui tentang campur kode? Berikan contohnya! 5. Apa yang Anda ketahui tentang alih kode? Berikan contohnya! 6. Apa yang Anda ketahui tentang interferensi? 7. Jelaskan bentuk-bentuk interferensi dan sertakan dengan contoh! 8. Jelaskan tentang integrasi! D. DAFTAR PUSTAKA 1. Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Linguistik Suatu Pengantar.Bandung: Angkasa. 2. Alwasilah, Chaedar.1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa 3. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. 4. Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. 5. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics, Harlow Essex: Longman Group U.K Limited. 6. Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar.Bandung:Angkasa. 7. Sumarsono. 2014. Sosiolinguitik. Yogyakarta : Sabda 8. Todd, Loreto. An Introduction to Linguistics. New York: Longman York Press, 1987. 9. Verhaar, J.W.M.2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 10. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell Ltd.