Diglosia (diglossia) adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas varian-varian bahasa yang ada. Satu varian diberi status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan resmi atau pengggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, varian lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan.
2. DEFINISI DIGLOSIA
Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap
dari bahasa Yunani oleh bahasawan Yunani Ioannis Psycharis. Ahli bahasa Arab William
Marçais lalu juga menggunakannya pada tahun 1930 untuk menuliskan situasi bahasa
di dunia Arab.
Diglosia (diglossia) adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas varian-
varian bahasa yang ada. Satu varian diberi status “tinggi” dan dipakai untuk
penggunaan resmi atau pengggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih
kompleks dan konservatif, varian lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan
untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi
lisan. ( Kridalaksana,2008:50)
Fishman:
Diglosia mengacu pada penggunaan bahasa yang berbeda dengan fungsi yang berbeda.
Henscyber:
Diglosia adalah penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat, tetapi masing-
masing bahasa mempunyai fungsi atau peranan yang berbeda dalam konteks sosial.
3. Diglosia adalah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa
atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk suasana
resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana tidak resmi di rumah).
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas
varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat.
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas
varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud
bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dangan tidak resmi atau
non-formal.
Diglosia adalah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa
atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk suasana
resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana tidak resmi di rumah).
DEFINISI DIGLOSIA
4. fenomena
penggunaan ragam
bahasa yang dipilih
sesuai dengan
fungsinya.
Ferguson
Definisi diglosia menurut Ferguson adalah:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang
relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah
dialek-dialek utama dari satu bahasa, terdapat
juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa
sebuah dialek standar, atau sebuah standar
regional.
3. Ragam lain itu memiliki ciri:
· Sudah terkodifikasi
· Gramatikalnya lebih kompleks
· Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang
sangat luas dan dihormati
·Dipelajari melalui pendidikan formal
·Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa
lisan formal
·Tidak digunaakan dalam percakapan sehari-hari
Istilah diglosia untuk
menyatakan keadaan
suatu masyarakat
dimana terdapat dua
variasi dari satu bahasa
yang hidup
berdampingan dan
masing-masing punya
peranan tertentu.
5. Chaer dan Agustina (1995: 148) menerangkan bahwa Ferguson menggunakan istilah diglosia
untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa
yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.
Bila disimak, definisi Ferguson memberikan pengertian:
1. diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat
sejumlah dialek-dialek utama ( lebih tepat ragam-ragam utama) dari suatu bahasa,
terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu diantaranya bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah
standar regional.
3. Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
• Sudah sangat terkodifikasi
• Gramatikalnya lebih komplek
• Merupakan wahana kesusatraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
• Dipelajari melalui pendidikan formal
• Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
• Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.
6. LATAR BELAKANG SITUASI DIGLOSIA
– Fenomena diglosia pada umumnya hanya bisa ditemukan dalam komunitas masyarakat
bahasa yang bilingual dan multilingual. Dalam masyarakat bahasa tersebut kadangkala
terdapat ragam bahasa yang ditinggikan ‘ragam H’ (High Variation) dan ragam lain yang
dianggap lebih rendah (Low Variation) ‘ragam L’. Fenomena inilah yang disebut dengan
diglosia.
– Fenomena bilingualisme dan diglosia itu merupakan itu merupakan pokok kajian yang
menarik, bukan saja karena aspek teorinya, melainkan juga aspek aplikasinya dalam
kenyataan penggunaan bahasa.Contoh-contoh konkrit dapat anda temukan dalam
kehidupan anda sehari-hari. Masing-masing fenomena bilingualisme dan diglosia akan
dibahas dari segi hakikat atau acuan konseptual dan dari segi profilnya. Bilingualism dan
diglosia adalah pokok yang sangat berhubungan, kadang-kadang ada tumpang tindih
jika terhadap dua fenomena ini.
– Dilihat dari jumlah yang digunakan dalam masyarakat bahasa, ada masyarakat bahasa
yang menggunakan satu bahasa atau lebih.Masyarakat bahasa yang menggunakan satu
bahasa dan ada yang menggunakan bahasa yang dua atau lebih.Masyarakat bahasa
yang menggunakan satu bahasa disebut monolingual dan masyarakat bahasa yang
menggunakan dua bahasa atau labih disebut biligualisme. Menurut Ferguoso, diglosia
adalah fenomena penggunaan ragam bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya.
Diglosia dalam masyarakat bahasa yang memiliki satu bahasa dengan dua ragam(tinggi
dan rendah) yang memiliki peranya masing-masing.
7. Situasi diglosia di berbagai negara
1. Paraguay
Fishman mengemukakan kasus di Paraguay di mana masyarakat mengenal dua
bahasa, yaitu bahasa Guarani, yang termasuk rumpun bahasa Indian, dan bahasa
Spanyol, yang termasuk rumpun bahasa Roman.
Di Paraguay bahasa Spanyol dianggap sebagai bahasa T (variasi pertama),
sedangkan bahasa Gurani adalah bahasa R (variasi kedua). Lebih dari separuh
penduduk Paraguay merupakan penutur bilingual.
2. Tanzania
Di Tanzania digunakan bahasa Inggris, bahasa Swahili, dan sejumlah bahasa
daerah. Pada satu situasi, bahasa Swahili adalah bahasa T, dan yang menjadi
bahasa R-nya adalah sejumlah bahasa daerah. Pada situasi lain, bahasa Swahili
menjadi bahasa R, sedangkan bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi, bahasa
Swahili mempunyai status ganda: sebagai bahasa T terhadap bahasa-bahasa
daerah, dan sebagai bahasa R terhadap bahasa Inggris.
8. Situasi diglosia di berbagai negara
3. India
Dalam masyarakat tutur Khalapur ada dua bahasa, yaitu bahasa Hindi dan
bahasa Khalapur, yaitu salah satu variasi bahasa Hindi dengan sejumlah
persamaan dan perbedaam dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan
leksikon. Bahasa Khalapur dipelajari di rumah, dan digunakan oleh setiap orang
di desa untuk hubungan local sehari-hari. Sedangkan bahasa Hindi dipelajari di
sekolah, atau melalui warga yang bermukim di kota, maupun melalui kontak
luar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Khalapur adalah masyarakat
diglosis dengan bahasa Hindi sebagai bahasa T, dan bahasa Khalapur sebagai
bahasa R.
9. Situasi diglosia di berbagai negara
– Double overlapping diglosia, adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi
bahasa secara berganda. Contoh keadaan semacam ini bisa kita temukan di negara
Tanzania, dimana di negara tersebut digunakan Bahasa Inggris, Swahili dan beberapa
bahasa daerah. Pada satu saat tertentu Bahasa Swahili merupakan ragam H dimana
ragam Lnya adalah bahasa-bahasa daerah. Di situasi yang berbeda, Bahasa swahili
menjadi ragam L dan Bahasa Inggris berperan sebagai ragam H.
– Double-nested diglosia, adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, terdapat dua
bahasa yang diperbedakan satu sebagai ragam H, dan yang lain sebagai ragam L.
Fenomena semacam ini ditemukan di desa Khalapur, salah satu desa di India. Di desa
tersebut terdapat dua macam bahasa yang digunakan, yakni Bahasa Khalapur dan
Bahasa Hindi. Bahasa Khalapur sebagai bahasa daerah memiliki ragam H dan L. Begitu
pula dengan Bahasa Hindi yang digunakan juga memiliki ragam H dan L.
– Linear polyglosia, bisa tergambarkan dengan jelas pada masyarakat Cina Malaysia. Pada
masyarakat Cina Malaysia yang terpelajar dan mampu berbahasa Inggris, Bahasa
Melayu ragam H, yaitu bahasa Malaysia merupakan variasi linguistik tertinggi kedua
yang digunakan dalam masyarakat itu. Bahasa Melayu informal yang disebut bahasa
Melayu Bazar mempunyai kedudukan yang sangat rendah, berada di bawah bahasa
manapun. Bahasa Inggris dan variasi bahasa Cina kedudukannya lebih tinggi dari bahasa
Melayu Bazar ini. Di samping itu terdapat bahasa Cina Mandarin yang mempunyai
kedudukan khusus, dan harus dimasukkan dalam deretan khasanahbahasa tersebut
10. Situasi diglosia di Indonesia
– Situasi diglosia di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu situasi pilihan bahasa dan situasi
penggunaan varian bahasa
1. Situasi pilihan bahasa disini membandingkan kedudukan yang tinggi dalam bahasa Indonesia
dan bahasa daerah. Bahasa tinggi dan bahasa rendah ditentukan oleh konteks dan situasi
kebutuhan alat komunikasi yang dikaitkan dengan fungsi bahasa pilihan. (Situasi pilihan bahasa
yaitu antara pilihan bahasa Indonesia dan bahasa daerah).
2. Situasi bahasa yang terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada dalam
masyarakat. (Situasi penggunaan varian bahasa yaitu situasi yang dikenakan pada pilihan ragam
dalam bahasa Indonesia yakni ragam baku dan tidak baku).
– Contoh:
Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah
di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama.
Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang
mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar),
basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes (ragam
halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat
tinggi). Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.
11. – dan (2) Tampaknya di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari antara bahasa Indonesia
dan bahasa daerah masing-masing memiliki kedudukan tinggi dan rendahnya sesuai
dengan situasinya. Dalam situasi resmi personal bahasa tinggi jatuh kepada bahasa
Indonesia. Kemudian dalam penggunaan ragam baku dan tidak baku tampak ragam
baku merupakan ragam tinggi dan ragam tidak baku merupakan ragam rendah.
– Contoh:
– Ragam-ragam tersebut menduduki fungsi sosial, walaupun sekarang fungsi sosial
tersebut sulit dicari. Dahulu, ragam bahasa seperti dalam bahasa Sunda dan bahasa
Jawa benar-benar digunakan sesuai dengan tingkatan sosial masyarakatnya juga sesuai
situasi. Dalam bahasa Jawa misalnya, krama inggil dipakai untuk sastra (termasuk
tembang), sedangkan untuk percakapan sehari-hari menggunakan bahasa ngoko.
Begitu juga dalam bahasa Sunda, ketika seorang anak berbicara dengan seorang guru
tidak bisa menggunakan bahasa loma, tetapi harus menggunakan bahasa lemes.
Namun, sekarang hal tersebut sulit sekali untuk dicari.
– Pemakaian suatu ragam dalam bahasa-bahasa daerah itu bukan didasarkan atas topik
pembicaraan, melainkan oleh siapa (golongan atau kelas) dan untuk siapa. Dalam
masayarakat Bali, terdapat kasta-kasta dalam masyarakatnya, ada suatu aturan
pemakaian ragam bahasa. Misalnya, kasta rendah harus menggunakan bahasa rendah
untuk sesamanya dan bahasa tinggi untuk kasta yang lebih tinggi.
12. Menurut Kridalaksana(1976)
ragam baku sebagai ragam tinggi
digunakan dalam:
1. Komunikasi resmi
2. Wacana teknis
3. Pembicaraan di depan umum
4. Pembicaraan dengan orang
yang dihormati
Sedangkan dalam ragam tidak
baku sebagai ragam rendah
digunakan dalam:
1. Tawar-menawar di toko
2. Ceramah dalam suasana tidak
resmi
3. Percakapan dengan sejawat
4. Percakapan dengan anggota
keluarga
Pada intinya, Diglosia menitik beratkan pada logat/dialeg ciri khas suatu
daerah.Bahasa yang digunakan sudah bercampur dengan variasi bahasa
suatu daerah.Misalnya : dialeg, variasi yang lebih dimunculkan. Contoh
dioglosia dalam bahasa jawa : go, re, to, tah, leh, dsb
13. Di Indonesia juga ada pembedaan ragam T dan ragam R bahasa Indonesia,
ragam R digunakan dalam situasi formal seperti di dalam pendidikan;
sedangkan ragam R digunakan dalam situasi nonformal seperti dalam
pembicaraan dengan tema karib, atau sebagainya.
Dalam masyarakat Indonesia pun ragam bahasa Indonesia baku dianggap
lebih bergengsi daripada ragam bahasa Indonesia nonbaku. Dalam
masyarakat Melayu/Indonesia beberapa puluh tahun yang lalu juga ada
perbedaan bahasa Melayu dan bahasa Melayu R, di mana yang pertama
menjadi bahasa sekolah, dan yang kedua menjadi bahasa pasar.
Di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahsa lisan. Diglosia
adalah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa
atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk
suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana tidak resmi
di rumah).
Situasi diglosia di Indonesia