1. ALIH KODE DAN CAMPUR KODE BAHASA SAMBAS PADA TINDAK
TUTUR SISWA KELAS VIIIA SMP NEGERI 1 TEKARANG
KABUPATEN SAMBAS
PROPOSAL
O
L
E
H
YUSNANI
NIM: 511100060
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
PONTIANAK
2014
2. 1
BAB I
RENCANA PENELITIAN
A. Latar Belakang
Bahasa adalah alat berkomunikasi dalam kehidupan manusia. Hal
ini tidak dapat ditolak oleh siapa pun yang hidup didunia dan beraktivitas
dalam berbagai ranah kehidupan didunia. Oleh karena itu keberadaan
bahasa menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa
memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia. Bahasa tidak hanya
digunakan dalam kehidupan sehari-hari tetapi bahasa juga diperlukan
untuk menjalankan segala aktivitas manusia seperti komunikasi, bahasa
peneliti, penyuluhan, pemberitaan, dan bahkan untuk menyampaikan
pikiran, pandangan serta perasaan. Pemakaian bahasa yang memiliki
berbagai ragam dan bervariasi bahasa, baik dialek, idiolek, slank, pidgin,
dan creol tentu memiliki keterkaitan dengan budaya masyarakat
pemakainya. Demikian juga dengan bahasa-bahasa humor yang dipakai
dalam wacana humor dimedia cetak, televise dan radio. Tentu juga tidak
terlepas dari budaya masyarakat pemakai dan pendengarnya. Keterikatan
humor dengan budaya masyarakat ini akan melatarbelakangi dan
memberikan inspirasi dalam penciptaan wacana humor secara keratif dan
terikat konteks.
Berbahasa yang baik dan benar sepertinya dianjurkan pemerintah
bukanlah berarti harus selalu menggunakan bahasa baku atau resmi dalam
setiap kesempatan, waktu dan tempat melainkan harus menggunakan satu
ragam bahasa tertentu yang sesuai dengan fungsi ragam tersebut unruk
satu situasi dan keperluan tertentu. Dalam situasi dan keperluan resmi,
seperti dalam pendidikan sekolah, dalam rapat dinas, dan surat menyurat
dinas, haruslah digunakan ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Dalam studi sosiolinguistik, bidang kajian yang mempelajari berbagai
macam ragam bahasa berkenaan dengan fungsi pemakaiannya masing-
3. 2
masing disebut sosiolinguistik, yang merupakan ragam kajian antara
sosiologi dan linguistik. Oleh karena itu ada juga yang menyebutnya
sosiologi bahasa. Dalam ranah pendidikan seharusnya anak
smenggunakan bahasa Indonesia agar agar mereka terbiasa. Bahasa daerah
sangat berpengaruh terhadap bahasa Indonesia karena bahasa daerah
merupakan bahasa pertama yang didapatkan oleh seorang anak sejak ia
lahir hingga terbiasa ke sekolah, salah satu pengaruh bahasa daerah
terhadap bahasa Indonesia yaitu eksistensi bahasa Indonesia akan
berkurang karena masyarakat lebih senang menggunakan bahasa daerah
dan masyarakat lebih seringgunakan bahasa ibu sehingga bahasa Indonesia
di anggap tidak begitu penting . Oleh karena itu untuk mengatasi masalah
tersebut sebaiknya kita mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah
di mulai sejak kelas 4 SD, SMP dan SMA. Karena masih banyak dijumpai
khusu nya di SMP Negeri 1 tekarang siswa dan siswi nya masih
menggunakan bahasa daerah baik pada saat proses belajar mengajar dan
pada saat berbicara dengan teman-temannya, siswa jarang sekali berbicara
menggunakan bahasa Indonesia kecuali pada saat berbicara dengan Guru.
Dengan adanya kenyataan tersebut peneliti berkeinginan untuk melakukan
penelitan di SMP negeri 1 terakarang. Peneliti ingin mengetahui alih kode
dan campur kode bahasa sambas pada tindak tutur siswa kelas VIIIA SMP
Negeri 1 tekarang kabupaten sambas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka masalah umum
dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana alih kode dan campur kode
bahasa sambas pada tindak tutur siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1
tekarang kabupaten sambas”. Sedangkan sub-sub masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Variasi alih kode dan campur kode bahasa pada tindak tutur
siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1 tekarang kabupaten sambas ?
4. 3
2. Bagaimana bentuk alih kode dan campur kode bahasa sambas pada
tindak tutur siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1 tekarang kabupaten
sambas?
3. Apakah dampak penggunaan bahasa daerah siswa kelas VIIIA SMP
Negeri 1 tekarang kabupaten samabas terhadap eksistensi bahasa
indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian diatas , maka secara umum
penelitian ini adalah “Untuk mengetahui Bagaimanaalih kode dan campur
kode bahasa sambas pada tindak tutur siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1
tekarang kabupaten sambas”. Secara khusus penelitian bahasa diatas
dijabarkan dalam sub-sub tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana Variasi alih kode dan campur kode
bahasa pada tindak tutur siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1 tekarang
kabupaten sambas?
2. Untuk mengetahui alih kode dan campur kode bahasa pada tindak tutur
siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1 tekarang kabupaten sambas ?
3. Untuk mengetahui apakah terdapat Dampak penggunaan bahasa daerah
siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1 tekarang kabupaten samabas terhadap
eksistensi bahasa Indonesia?
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan,
referensi, dan menambah pengetahuan tentang pentingnya
membiasakan diri berbahasa Indonesia.
b. Dapat meningkatkan pengetahuan pembelajaran siswa pada
umumnya dan guru pendidikan bahasa Indonesia pada khususnya.
5. 4
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1. Menumbuhkan motivasi siswa untuk menggunakan bahasa
indonesia
2. Meningkatkan pembendaharaan siswa terhadap bahasa
indonesia
3. Meningkatkan keterampilan siswa untuk berbicara
b. Bagi Guru
1. Mengetahui kemampuan siswa dan meningkatkan
pembelajaran pada saat berinteraksi di diluar dan dalam kelas
2. Mendapatkan solusi yang tepat untuk meningingkatkan
kemampuan siswa dalam berkomunikasi
3. Menjadi informasi atau salah satu alternatif dalam
meningkatkan kemampuan menggunakan bahasa indonesia
c. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesadaran
kepada siswa bahwa kita harus membiasakan diri menggunakan
ahasa Indonesia di luar dan dalam kelas agar eksistensi bahasa
Indonesia tetap terjaga dan tidak akan punah karena pengaruh
bahasa slank atau bahasa asing , serta mengaplikasikan ilmu yang
telah didapatkan selama menjalani perkuliahan, agar apa yang
didapatkan bermanfaat bagi peneliti maupun bagi orang lain.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup pada penelitian in untuk mengetahui alih kode dan
campur kode bahasa sambas pada tindak tutur siswa kelas VIIIA SMP
Negeri 1 Tekarang Kabupaten Sambas. Pada tataran input ruang lingkup
penelitian antara lain siswa, guru, factor internal dan factor ekternal yang
dapat berpengaruh besar pada penggunaan alih kode dan campur kode
yang di gunakan penutur.
6. 5
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu disiplin antara sosiologi dan
linguistik, dua bidang empiris yang mempunyai kaitan sangat erat.
Sosiolinguistik berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi,
berlangsung dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial
dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan mengetahui cara-
cara manusia menyesuaikan diri dalam tempatnya masing-masing di dalam
masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari
tentang bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya. Dengan demikian secara mudah dapat dikatakan bahwa
sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari tentang
bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu didalam
masyarakat.
1. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri
dan berbagai variasi bahasa,serta hubungan diantara para bahasawan
dengan ciri fungsi variasi bahasa itu dalam suatu masyarakat bahasa
(Kridalaksana 1978:94) .
2. Sosiolinguistik merupakan pengkajian bahasa dengan dimensi
kemasyarakatan (Nababan1984:2).
3. (J.A. Fishman 1972:2) “sosiolinguistics is the study of the
characteristics of language varieatie, the characteristics of their
funcsions, and characteristics of their speakers as these
threeconstantly interact, change and change one another within a
speech communit”.( sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas
variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa dan pemakaian bahasa
karena ketiga unsur-unsur tersebut selalu berinteraksi, berubah, dan
saling mengbah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.
7. 6
Berdasarkan pengertian di atas dapat di sintesiskan bahwa kajian
sosiolinguistik adalah cabang ilmu sosiolinguistik yang bersifat
interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan
antarabahasa dengan factor-faktor sosial didalam suatu masyarakat tutur.
B. Alih Kode dan Campur Kode
1. Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam
hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa
(seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada
variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas,
Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau
sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum
dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian
kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak)
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan
dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode
yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
2. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu
kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa
Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah
satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam
masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit
seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih
kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi
masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya
bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko
merubah ke krama.
Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1. Penutur
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap
8. 7
mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi
menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan
penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra
tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa
alih bahasa .
3. Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur
ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar
belakang kebahasaan mereka berbeda.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan
dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang
bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya
netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal
disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba
seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor
Biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya
bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-
situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode,
sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak
komunikatif.
C. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur
menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan
disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan
karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa
9. 8
keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi
informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam
bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan
menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic
convergence). latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan
identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan
atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi
bahasa.
Beberapa wujud campur kode :
1. penyisipan kata
2. menyisipan frasa
3. penyisipan klausa
4. penyisipan ungkapan atau idiom
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing) .
D. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin
terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau
lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi
dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi
masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab
tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar
yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain
yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan
(pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa
lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh
penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur
bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
10. 9
E. Tindak tutur
Austin dalam How to Do Things with Words (1962) membedakan
tuturan deskriptif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Saat itu
Austin berpendapat bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar-
salah yang tradisional (dengan menggunkan pengetahuan tentang dunia),
sedangkan performatif tidak dievaluasi sebagai benar-salah yang tradisional
tetapi sebagai tepat atau tidak tepat (dengan prinsip kesahihan). Austin
(1962: 26-36) mengemukakan adanya empat syarat kesahihan, yaitu:
1. harus ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional
dan prosedur itu harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu oleh
orang-orang tertentu pada peristiwa tertentu.
2. orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu harus
berkelayakan atau yang patut melaksanakan prosedur itu.
3. prosedur itu harus dilaksanakan oleh para peserta secara benar
4. prosedur itu harus dilaksanakan oleh para peserta secara lengkap.
Menurut Austin semua tuturan adalah performatif dalam arti bahwa semua
tuturan merupakan sebuah bentuk tindakan dan tidak sekadar mengatakan
sesuatu. Kemudian Austin ke pemikiran berikutnya (1962: 109) yaitu,
Austin membedakan antara tindak lokusi (tindak ini kurang-lebih dapat
disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna dan
acuan) dengan tindak ilokusi (tuturan yang mempunyai daya konvensional
tertentu). Kemudian Austin melengkapi kategori-kategori ini dengan
menambah kategori „tindak perlokusi‟ (tindak yang mengacu pada apa yang
kita hasilkan atau kita capai dengan mengatakan sesuatu). Namun ide yang
mendorong Austin untuk kemudian membuat klasifikasi mengenai tindak-
tindak ilokusi ialah asumsinya bahwa performatif merupakan batu ujian
yang eksplisit buat semua ilokusi.
Ketika Searle mengemukakan klasifikasi yang serupa dalam „A
Taxonomy of Illocutionary Acts‟, ia sengaja memisahkan diri dari asumsi
Austin tadi, yaitu yang mengatakan bahwa terdapat kesepadanan antara
verba dan tindak ujar. Searle berpendapat bahwa: „perbedaan-perbedaan
11. 10
yang ada antara verba-verba ilokusi merupakan pedoman yang baik tetapi
sama sekali bukan pedoman yang pasti untuk membedakan tindak-tindak
ilokusi‟ (defferences in illocutionary verb are a good guide, but by no means
a sure guide to defferences in illocutionary acts). Walaupun begitu, cukup
jelas bahwa dasar pemikiran Searle ini bertolak dari verba ilokusi. Kita
memang harus mengakui taksonomi Searle lebih berhasil dan lebih
sistematis daripada taksonomi Austin, namun kita dapat mengamati bahwa
Searle pun lagi-lagi menyebut performatif eksplisit yang terdapat pada
masing-masing kategori ini. Searle tidak berusaha mengemukakan dasar-
dasar prosedurnya ini, tetapi menerima begitu saja. Ia bertolak dari prinsip
keekspresifan (principle of expressibility), yang menyatakan bahwa apapun
yang mempunyai makna dapat diucapkan. Prinsip ini juga digunakannya
dalam Speech Acts (1969: 19-21) yang menjelaskan tindak tutur merupakan
entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik. Prinsip keekspresifan ini
memang merupakan tesis yang sangat memudahkan dan membantu
penjelasan kita, terutama bila kita ingin menunjukkan bahwa dengan
membubuhkan awalan performatif yang sesuai, daya ilokusi tuturan selalu
dapat dibuat lebih jelas. Selanjutnya Searle (dalam Gunarwan 1994: 47-48)
secara lebih operasional merinci syarat kesahihan untuk tindak tutur menjadi
lima, yaitu:
1. penutur mestilah bermaksud memenuhi apa yang ia janjikan
2. penutur harus berkeyakinan bahwa lawan tutur percaya bahwa tindakan
yang dijanjikan menguntungkan pendengar
3. penutur harus berkeyakinan bahwa ia mampu memenuhi janji itu,
4. penutur mestilah memprediksi tindakan yang akan dilakukan pada
prediksi tindakan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang
5. penutur harus mampu memprediksi tindakan yang akan dilakukan oleh
dirinya sendiri.
Pembedaan-pembedaan yang dibuat oleh Austin, Searle dan lain-
lainya dalam mengklasifikasi tindak tutur akan sangat berguna bila kita
mengkaji verba tindak tutur. Pernyataan ini didasarkan atas fakta bahwa
12. 11
sebetulnya filsuf-filsuf tindak tutur cenderung memusatkan perhatian
mereka pada makna verba tindak tutur, walaupun kelihatannya mereka
seakan-akan mengkaji tindak tutur. Tambahan lagi, tanpa bersikap terlalu
teoretis (doktriner) dapat diasumsikan bahwa ada kemungkinan terdapat
kesamaan antara berbagai perbedaan yang penting bagi analisis verba tindak
tutur dengan berbagai perbedaan yang penting untuk perilaku tindak tutur
yang diperikan oleh verba-verba tindak tutur.
Sebaliknya, kita akan sangat anti-Worf bila kita mengansumsikan bahwa
verba-verba yang disediakan oleh bahasa untuk membahas perilaku
komunikatif mengandung perbedaan-perbedaan yang tidak signifikan buat
perilaku sendiri; dan asumsi ini juga tidak didukung oleh teori fungsional.
Tetapi ada satu perbedaan besar antara pembicaraan tentang tindak tutur
dengan pembicaraan tentang verba tindak tutur, yaitu perbedaan-perbedaan
yang ada pada tindak tutur bersifat nonkategorikal, sedangkan pada verba
tindak tutur perbedaannya bersifat kategorikal. Searle (1979: 2) mengatakan
bahwa „perbedaan-perbedaan di antara verba-verba ilokus merupakan
petunjuk yang baik tetapi sama sekali bukan petunjuk yang pasti akan
mengetahui perbedaan-perbedaan yang ada antara tindak-tindak ilokus.
Perbedaan yang lain adalah bila kita membahas verba tindak tutur, kita harus
membatasi diri pada verba-verba tertentu dalam bahasa-bahasa tertentu.
F. Variasi Bahasa
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi
sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1994) mendefinisikan
sosiolinguistik sebagai cabang lingistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri
variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut
dengan cir-ciri sosial kemasyarakatan. Sebagai sebuah lingue sebuah bahasa
mempunyai system dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur
bahasa itu. Namun karena semua penutur bahasa tersebut, meski berada dala
masyarakat tutur , tidak merupakan kumpulan manusia yang homogeny,
maka wujud bahasa yang konkret,yang disebut parole, menjadi tidak
13. 12
seragam. Bahasa itu menjadi beagam dan bervariasi (catatan: istilah variasi
sebagai pedanaan kata ingris varienty bukan variation).
14. 13
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Bentuk Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode berasal dari bahasa yunani (methodus) adalah cara atau
jalan. Dalam suatu penelitian diperlukan suatu metode yang tepat agar
mampu memecahkan masalah untuk mencapai tujuan penelitian yang
akan dilaksanakan. Metode dan prosedur yang tepat harus berisikan
cara-cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Metode yang
digunakan dalam suatu penelitian relevan dengan permasalahan yang
akan diteliti. Sejalan dengan uraian diatas Sugiyono (2013:3)
mengatakan: “ secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara
ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode Deskriptif, karena
metode ini dapat memberikan gambaran yang secermat mungkin
mengenai individu,keadaan bahasa, gejala atau kelompok tertentu.
Dengan demikian metode ini relevan oleh peneliti untuk
mengungkapkan keadaan yang sebenarnya mengenai terjadinya alih
kode dan campur kode pada tindak tutur siswa kelas VIIIA SMP Negeri
1 Tekarang Kabupaten Sambas. Metode deskriptif yaitu untuk
menggambaran keadaan atau kejadian pada saat melakukan
penelitian dan mendeskripsinya dalam bentuk tulisan.
2. Bentuk penelitian
Bentuk penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
Penelitian kualitatif, karena penulis ingin menggambarkan secara
jelas mengenai bentuk alih kode dan campur kode pada tindak tutur
siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1 Tekarang Kabupaten Sambas. .
Penelitian kualitatif adalah bentuk penelitian yang menggambarkan
15. 14
suatu keadaan dengan uraian. Menurut Djajasudarma (2003 : 17 )
penelitian kualitatif adalah data data yang dikumpulkan bukanah
anga-angka, dapat berupa kata-kata atau gambaran sesuatu yang
mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan laporan, foto,
video, tape,dokumen pribadi dan yang lainnya. Penggunaan bentuk
penelitian kualitatif terdapat suatu bacaan.
B. Subjek Penelitian
Setiap melakukan penelitian penulis terlebih dahulu membuat
rencana penelitian. Maka yang menjadi subjek penelitian ini adalah siswa
kelas VIIIA SMP Negeri 1 tekarang sebanyak 30 orang yang terdiri 18
siswa perempuan dan 12 siswa laki-laki.
C. Lokasi Penelitian
Berdasarkan penelitian yang peneliti tetapkan, alih kode dan
campur kode bahasa sambas pada tindak tutur siswa kelas VIIIA SMP
Negeri 1 tekarang kabupaten sambas. Penelitian ini dilakukan pada
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tekarang Kelas VIIIA.
D. Jadwal Waktu Penulisan Kegiatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama Enam bulan, terhitung dari bulan
juli 2014 sampai bulan Desember 2014. Rincian dalam penelitian ini di
lihat dalam tabel penelitian sebagai berikut :
16. 15
TABEL 1.1
RINCIAN WAKTU PENELITIAN
No Jenis kegiatan
Bulan atau Minggu ke
Juli Agustus Septemb
er
Oktober November Desember
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pengajuan judul
2. Pembahasan
3. Konsultasi
4. Rencana seminar
5. Pengumplan data
6. Analisis data
7. Pengujian data
8. Pembuatan draf laporan
9. Persiapan Pendaftaran
Ujian
10. Rencana ujian skipsi
E. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpul data dalam suatu penelitian,selain diperlukan
metode dan bentuk penelitian yang tepat, diperlukan juga teknik dan alat
pengumpulan data yang tepat pula. Ketepatan dan kecermatan peneliti
memilih teknik dan alat pengumpul data yang tepat akan memungkinkan
tercapainya pemecahan masalah secara efektif dan efesien yang pada
gilirannya akan diperoleh rumusan generalisasi penelitian yang objektif
pula. Adapun teknik dan alat pengumpulan data yang peneliti gunakan
dalah sebagai berikut :
1. Observasi
Observasi digunakan untuk melihat secara langsung penggunaan
bahasa yang digunakan oleh siswa saat berbicara dengan guru maupun
teman bermain.
2. Wawancara
Warawancara ditunjukan kepada guru sebagai pembimbing dalam
mengolah data.
17. 16
3. Angket
Angket digunakan untuk mengolah data yang ditunjukan kepada
responden kepada objek penelitian.
F. Teknik Analisis Data
Analisi data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data kedalam pola, kategori dan satuan uruian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja. Data yang
terkumpul dapat berupa naskah wawancara, catatan laporan, video, tape,
dokumen pribadi dan yang lainnya. Analisis data yang digunakan adalah
analisis secara dekripsitif kualitaltif yaitu suatau teknik menggambarkana
keadaan yang sebenarnya.
18. 17
DAFTAR PUSTAKA
Agustina,Leonie.2010.sosiolinguistik perkenalan awal.jakarta.Rineka
Cipta.
Fisham, J.A. 1968. Reading in the sociology of language. Den Haag –
Paris : Mounton.
Kridalaksana.1975.Beberapa Ciri Bahasa Indonesia Standar.Yogyakarta.
Kanisius.
Nababan, P.W.J.1984. sosiolinguistik. Jakarta. Gramedia.
Sugiyono.2013 Metode Penelitian Pendidikan pendekatan
kuantitatif,kualitatif,dan R&D. Bandung.Alfabeta.
Sumarsono.2002.sosiolinguiatik.Yogyakarta.pustaka pelajar.