1. Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Cecep M. Hermawan (9919917008)
2. Muhamad Sartibi (NIM. 9919917019)
3. Lu’luil Maknun (NIM. 9919917017)
2. Secara Etimoligi (asal usul kata) : Istilah diglosia ini pertama
kali digunakan dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap
dari bahasa Yunani διγλωσσία, 'dwibahasa') oleh bahasawan
Yunani Ioannis Psycharis. Ahli bahasa Arab William
Marçais lalu juga menggunakannya pada tahun 1930 untuk
menuliskan situasi bahasa di dunia Arab.
Secara istilah (gabungan kata yang dengan cermat
mengungkapkan suatu makna): Diglosia adalah suatu
situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas
variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di
masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat
perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi
atau non-formal. Contohnya: di Indonesia terdapat
perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan.
3. 1. Menurut (Aslinda, dkk., 2007:26) : Permasalahan mengenai
kedwibahasaan kiranya terasa erat sekali dengan perkembangan
kebahasaan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia
menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka (bahasa
daerah) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Penggunaan
bahasa daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama,
sementara penggunaan bahasa Indonesia disebut juga sebagai
penggunaan bahasa kedua. Penggunaan bahasa yang seperti itu disebut
sebagai diglosia.
2. Menurut Ferguson (Alwasilah, 1990:136) : menggunakan istilah diglosia
untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua
variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson
dengan mengetangahkan sembilan topic, yakni : 1) Fungsi (merupakan
kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam
masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi
pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang
kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R), 2)
Prestise, 3) Warisan kesusastraan, 4) Pemerolehan, 5) Standarisasi, 6)
Stabilitas, 7) Gramatika, 8) Leksikon, dan 9) Fonologi .
4. 3) Menurut Fishman dalam Sumarsono (2007:39) : diglosia adalah obyek
sosiolinguistik yang mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu
ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai tugas-tugas komunikasi
berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada perbedaan
linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan
gaya dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang
sangat berbeda. Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah
masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam
ranah yang berbeda pula. Dicontohkan Sumarsono (2007:40), di sebuah
kota besar di Indonesia terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa
daerah masing-masing di samping bahasa Indonesia. Menurut
Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan
masing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah
membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai
dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan
bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan
dipakai misalnya dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar),
ranah kerja (bahasa resmi dalam rapat), dan dalam ranah keagamaan
(khotbah).
5. 3) Pakar sosiologi, Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini
menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di
dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara
dua bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara binern
melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan
demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya
ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga
muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk
yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan
linear polyglosia (Chaer, 2004:98) :
a. Double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan
derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Misalnya saja dalam
masyarakat Indonesia, pada suatu siuasi, bahasa Indonesia
adalah bahasa T, dan yang menjadi bahasa R-nya adalah bahasa
daerah. Pada situasi lain bahasa Indonesia menjadi bahasa R,
dan bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi, bahasa Indonesia
mempunyai status ganda.
6. b. Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat
multilingual, di mana terdapat dua bahasa yang diperbedakan, satu
sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa
R maupun T masing-masing mempunyai ragam atau dialek yang juga
diberi status R atau T. Contohnya, bahasa Jawa dianggap sebagai
bahasa R dan bahasa T-nya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Jawa
sebagai bahasa T mempunyai ragam bahasa seperti basa krama yang
diberi status ragam T dan basa ngoko yang berstatus R. Dalam bahasa
Indonesia juga seperti itu, ragam baku dianggap T, dan ragam non-
baku dianggap ragam R.
c. Linear polyglosia adalah situasi kebahasaan yang pembedaan
kederajatannya tidak menggunakan model biner, tetapi berdasarkan
sikap penutur. Misalnya saja, masyarakat Cina di Indonesia.
Berdasarkan sikap orang Cina yang terdidik, bahasa Indonesia
dianggap bahasa T, bahasa Mandarin dianggap bahasa DH (dummy
high) yang berarti walaupun termasuk ragam T, tetapi penggunaanya
terbatas, dan bahasa Daerah termasuk ragam R.
7. Persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia
adalah persoalan dialek yang terdapat dalam
masyarakat tutur, misalnya dalam suatu bahasa
terdapat dua variasi bahasa yang masing-masing
ragamnya mempunyai peranan dan fungsi
tertentu. Penggunaan ragam-ragam variasi
tersebut bergantung kepada situasi.
8. Masyarakat bilingual dan diglosis yaitu masyarakat yang
menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara
bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai
peranannya masing-masing. Contohnya masyarakat Indonesia
dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa
daerah sebagai bahasa intrakelompok. Seperti dalam data di
bawah ini.
Sabar, pertanyaan Panjenengan pasti terjawab semua!
(Dalam kalimat tersebut penutur mengetahui ragam dan
fungsinya dengan baik. Kata panjenengan termasuk ragam
bahasa Jawa T dan digunakan untuk menghormati orang
yang lebih tua maupun yang lebih tinggi kedudukannya.
Contoh lain misalnya, seorang artis yang sedang melakukan
wawancara, sering menggunakan bilingualisme dan juga
diglosia. Faktor diglosia lebih pada hal prestise.)
9. • Saya berencana akan go international tahun ini (Go
international menunjukkan prestise seorang artis yang
menganggap bahwa bahasa Inggris adalah bahasa T, dan
bahasa Indonesia adalah bahasa R-nya. Selain contoh di atas,
orang Madura yang berkomunikasi dengan orang Jawa sering
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dengan
menggunakan logat Madura. Seperti pada data berikut).
• Sampeyan mau beli sate berapa tusuk? (Kata sampeyan dalam
bahasa Madura dan bahasa Jawa fungsinya sama, yaitu untuk
komunikasi dengan orang yang tidak dikenal, maupun orang
yang lebih muda tetapi tetap disegani. Hal ini sudah termasuk
pada diglosia, dan untuk mendukung ke-diglosia-nya ini,
penutur mengucapkan tuturan tersebut dengan logat Madura.
Selanjutnya penutur menggunakan bahasa Indonesia yang
menunjukkan ke-bilingual-nya)
10. Anak merupakan pribadi yang unik dan menarik.
Mereka memiliki sisi-sisi perkembangan emosi, intelektual,
dan linguistik yang sangat luar biasa. Perkembangan
tersebut terus tumbuh dengan pesatnya ketika usia balita,
karena pada masa-masa ini sebenarnya otak anak sudah
tumbuh 80% dari otak orang dewasa. Oleh karena itu
mereka butuh perlakuan khusus karena sisi emosional dan
psikologis mereka tidaklah sama dengan orang dewasa.
Perbedaan sisi emosional dan juga psikologis inilah yang
juga membedakannya dalam proses pembelajaran.
Sehingga tidaklah bijak bagi orang tua dan guru
memperlakukan anak-anak sama dengan memperlakukan
orang dewasa ketika proses belajar, sebab anak-anak
memiliki karakteristik yang berbeda.
11. Demikian juga dalam pembelajaran bahasa (khususnya
bahasa kedua), anak-anak perlu mendapatkan perlakuan
khusus. Artinya dari sisi kurikulum, materi ajar, dan juga
metode yang digunakan harus berorientasi pada kondisi
emosional dan psikologis anak. Orang tua dan juga guru di
sekolah seyogianya memperhatikan metode-metode
pembelajaran bahasa pada anak secara menyeluruh dengan
memerhatikan berbagai aspek tersebut, Sehingga anak-anak
merasa nyaman dan senang dalam belajar bahasa. “Senang” dan
“nyaman” merupakan kata kunci dalam proses pembelajaran
bahasa untuk anak. Jadi dalam proses pembelajaran tersebut
anak haruslah merasa senang dengan materi ajar yang
disampaikan oleh guru maupun orang tua, dan kunci
kesenangan tersebut terletak pada metode ajar yang digunakan
oleh guru dan orang tua. Sebab dengan kondisi belajar yang
menyenangkan, secara otomatis anak-anak akan merasa nyaman
dalam proses pembelajaran bahasa.
12. Dengan demikian, guru maupun orang tua
perlu untuk memberikan situasi dan kondisi yang
menyenangkan dan senyaman mungkin ketika
proses pembelajaran. Kondisi dan situasi yang
menyenangkan bisa diciptakan melalui penataan
ruang dan juga alat-alat peraga, serta metode
yang digunakan. Oleh karena itu persiapan
sebelum mengajar bagi guru sangat penting,
karena hal ini akan memberikan guidline atau rel
dalam proses pembelajaran bahasa kedua.
13. 1. Mereka cenderung belajar secara tidak langsung.
Mereka lebih menyukai belajar dari lingkungan
sekitar, daripada harus fokus pada topik yang
diajarkan di kelas, oleh karena itu lingkungan
belajar harus mendukung proses pembelajaran
bahasa kedua/ Indonesia.
2. Mereka memahami sebuah materi bukan semata-
mata dari penjelasan yang diberikan oleh gurunya,
tetapi dari apa yang mereka lihat dan mereka
dengar. Karena itu alat peraga sangat diperlukan
untuk mendorong proses pemahaman mereka.
14. 3. Umumnya mereka memiliki semangat yang luar biasa
dalam mengenal hal-hal yang baru dan juga memiliki
rasa keingintahuan yang besar. Guru yang baik harus
mampu melayani rasa antusias dan keingintahuan
murid-murid dengan baik, melalui seperangkat
kegiatan.
4. Mereka membutuhkan perhatian secara individu dan
juga pendekatan secara personal. Oleh sebab itu, guru
harus mengenal karakter murid-muridnya dengan
baik.
5. Mereka biasanya menyukai topik yang berkaitan
dengan dunia mereka. Guru harus meresponnya
dengan memberikan topik yang sesuai dengan alam
kehidupan mereka, misalnya cerita bergambar.
15. 6. Mereka gampang bosan, rata-rata konsentrasinya
hanya sekitar 10 menit. Sehingga guru harus
mengubah teknik pengajaran setiap 10 menit.
7. Mereka mampu memahami makna kata, meskipun
mereka tidak mengerti terjemahannya.
8. Oleh sebab itu kegiatan-kegitan yang sesuai untuk
mereka, antara lain adalah menemukan sesuatu
(finding something), kegiatan yang imajinatif,
puzzle, membuat sesuatu, menggambar,
mewarnai, games yang melibatkan gerakan fisik,
dan juga lagu-lagu berbahasa Indonesia.