1. Prolog:
Memahami Kesatuan Islam
dan Keragaman Tafsir atas Islam
Satu Islam, Multi-Tafsir. Itulah pernyataan yang paling
mungkin dikatakan untuk membedakan antara Normativitas
Islam dan Historisitasnya. Kita akui, bahwa kita bertuhan
“satu” (Allah), bernabi “satu” (Muhammad saw.), berkitab
suci “satu” (al-Quran), namun siapa yang mampu menjamin
hanya akan ada satu “Tafsir (atas) Islam” dalam rentang
ruang dan waktu yang berbeda. Sejarah membuktikan bahwa
“kesatuan-Islam normatif”, tidak pernah mewujudkan
“kesatuan-Islam historis”.
A. Keragaman Pemikiran dan Pemahaman
Keberagamaan muslim dan umat Islam, baik dalam wilayah
pemikiran dan aksi di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia,
semakin tampak beragam seiring dengan proses perubahan sosial dalam
berbagai aspek kehidupan. Sebagian muslim dan umat Islam ada yang
berkelompok untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar berkehidupan
secara formal-skriptural. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang
bersikap moderat, yang memperjuangkan secara substantif nilai Islam
melalui jalur cultural, seperti melaui jalur pendidikan dan dakwah.
Namun, bersamaan dengan berkembangnya ragam pemikiran dan
aksi muslim dan umat Islam, juga muncul sikap-sikap keberagamaan –
yang dalam hal tertentu dapat dipandang – eksklusif. Muslim dan umat
Islam yang termasuk dalam species ini cenderung “mudah” menghakimi
kelompok lain. Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi, sikap seperti itu
justeru ditampilkan oleh kalangan Islam mayoritas. Ada pandangan
“absurd” terhadap asumsi bahwa ragam gerakan Islam bukan sebagai
sebuah proses dinamis-dialektik antara pemahaman agama dengan realitas
sosial yang terus berubah. Acap kali muncul tuduhan terhadap sebuah
pemikiran dan gerakan keagamaan tertentu sebagai penyimpangan dan
1
2. ancaman terhadap stabilitas kehidupan keislaman oleh sekelompok orang
yang merasa paling benar, bahkan seolah-olah mewakili kebenaran Tuhan.
Dan pada saat tertentu bahkan tampil – secara arogan – sebagai tuhan-
tuhan baru di samping Tuhan yang memeliki kebenaran absolut. Mereka
seolah-olah tidak sadar bahwa kebenaran yang mereka miliki adalah (juga)
“kebenaran” relatif, sebagaimana kebenaran-kebenaran yang dimiliki oleh
muslim dan umat Islam yang lain.
Sebagaimana yang sering kita saksikan, tiba-tiba saja muncul
sekelompok orang -- yang mengatasnamakan umat Islam – yang menilai
pemahaman orang lain sebagai penyimpangan dan penyesatan akidah.
Tidak jarang pula mereka menvonis “kafir” dan menghalalkan darah
sesama muslim dan umat Islam sendiri, hanya karena perbedaan tafsir atas
Islam yang mereka pahami. Lebih dari itu, mereka – bahkan dalam kurun
waktu tertentu – pernah meminta intervensi pemerintah untuk
membekukan seluruh kegiatan pemikiran dan dakwah yang dianggap
menyimpang itu. Fenomena seperti itu, secara sosiologis, bisa dipandang
sebagai salah satu bentuk gejala otoritarianisme. Kelompok tersebut secara
sadar telah melakukan hegemoni dan monopoli tafsir (atas) kebenaran
IIslam. Mereka tidak menyadari bahwa munculnya pemikiran dan aksi
baru tersebut – tidak kurang dan tidak lebih --merupakan bentuk
ketidakpuasan terhadap keberagamaan dan institusi agama lama yang
telah “mapan”.
Dengan kata lain, bisa dipahami bahwa dalam masyarakat kita
telah tertanam kesadaran bahwa “beragama yang benar” adalah yang
sesuai dengan apa yang telah diwariskan oleh para pendahulunya.
Keberagamaan tidak dilihat sebagai proses pencarian menuju kebenaran
yang sejati. Keberagamaan juga tidak dikaitkan dengan proses dialektik
antara pemeluk agama dengan keragaman persoalan yang mengitarinya.
Memang, bila kita mau bercermin pada sejarah, bahwa
pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dan gerakan keagamaan
“yang baru” – tanpa dukungan muslim mayoritas – selalu dianggap
sebagai gejala yang “aneh” di masyarakat mana pun, dan kehadiran
mereka sering kali hanya dianggap berguna oleh sekelompok “minoritas”
kritis di kalangan komunitas “beragama” apa pun, di mana pun dan kapan
pun dalam sebuah dunia yang sedang berubah dan mengalami masa
transisi. Di samping itu, pemikiran dan aksi “minoritas” biasanya hanya
efektif dapat mengenalkan “kebaruan” yang bermakna bagi kalangan
2
3. anggota mereka daripada komunitas beragama mayoritas. Secara sosiologis
sebagian dari gerakan-gerakan baru dalam komunitas beragama apa pun,
cenderung memilih “eksklusif”, meskipun tetap berupaya mengenalkan
jatidri dan gagasan-gagasan baru mereka kepada siapa pun, di mana pun
dan kapan pun, dan selalu menikmati keberbedaan mereka dengan corak
keberagamaan mayoritas. Sikap keberagamaan ini sedikit banyak akan
mempengaruhi keseimbangan sosial yang diciptakan oleh budaya
keagamaan mayoritas yang telah mapan. Atas dasar sikap keberagamaan
seperti itu, kelompok Islam minoritas dituduh menyimpang dari ajaran
agama Islam dan kadang-kadang – dalam banyak hal -- mendapat
perlakuan yang tidak manusiawi.
A. Satu Islam-Multi Tafsir
Setiap muslim seharusnya sadar, bahwa kesatuan Islam tidak
setiap saat dan tempat mengharuskan kesatuan “tafsir” (atas) Islam. Dalam
konteks ini, seharusnya setiap muslim dan umat Islam dapat memandang –
secara cerdas -- doktrin Islam tentang keragaman tafsir atas, sebagaimana
ketika mereka meyakini kebenaran “Islam”itu sendiri sabagai satu kesatuan
yang tidak terpilah-pilah. Al-Quran secara tegas mengeritik sikap arogan
dan intoleran sekelompok muslim yang “sama sekali” menafikan tafsir
muslim dan umat Islam lain yang berbeda dengan “manhaj dan produk
penafsiran mereka:
نَ يْ أَ تِ راَ يْ خَ لْ ا قواُ بِ تَ سْ فاَ هاَ ليّ وَ مُ وَ هُ ةٌ هَ جْ وِ لّ كُ لِ وَ
لّ كُ لىَ عَ هَ لّ ال نّ إِ عاً ميِ جَ هُ لّ ال مُ كُ بِ تِ أْ يَ نواُ كوُ تَ ماَ
رٌ ديِ قَ ءٍ يْ شَ
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam
berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS al-Baqarah/2:148).
مْ هُ لّ كُ ضِ رْ لَْ ا فيِ نْ مَ نَ مَ لَ كَ بّ رَ ءَ شاَ وْ لَ وَ
نَ نيِ مِ ؤْ مُ نواُ كوُ يَ تىّ حَ سَ ناّ ال هُ رِ كْ تُ تَ نْ أَ فَ أَ عاً ميِ جَ
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
3
4. memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya?” (QS Yunus/10: 99).
Perlu diketahu, bahwa al-Quran sangat menghargai perbedaan
pemahaman dalam beragama. Dalam konteks ruang dan waktu,
pemahaman itu tetap memiliki peluang kebenaran. Sebagaimana isyarat
Allah dalam firman-Nya:
رىَ صاَ نّ والَ دواُ هاَ نَ ذيِ لّ واَ نواُ مَ ءاَ نَ ذيِ لّ ا نّ إِ
لَ مِ عَ وَ رِ خِ لْ ا مِ وْ يَ لْ واَ هِ لّ بالِ نَ مَ ءاَ نْ مَ نَ ئيِ بِ صاّ والَ
فٌ وْ خَ لَ وَ مْ هِ بّ رَ دَ نْ عِ مْ هُ رُ جْ أَ مْ هُ لَ فَ حاً لِ صاَ
نَ نوُ زَ حْ يَ مْ هُ لَ وَ مْ هِ يْ لَ عَ
“Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-
orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (QS al-Baqarah/2: 62)
Ayat di atas mengisyaratkan perlunya kita memahami sebuah atau
serangkaian pemikiran dan gerakan keagamaan, baik yang bersifat pribadi
maupun kolektif. Kebenaran substantif setiap pemikiran dan gerakan
keagamaan -- pada hakikatnya – lebih tepat (terletak) pada komitmen
moral (keimanan dan amal saleh) setiap pemeluknya daripada format dan
simbolnya. Sehingga kita kita tidak perlu lagi memperdebatkan format-
format dan simbol-simbol yang kadang-kadang tidak menyentuh
sustansinya. Meskipun tidak (juga) dapat dikatakan bahwa format-format
dan simbol-simbol tersebut sama sekali tidak penting. Adakalanya format-
format dan simbol-simbol tersebut diperkukan untuk menyatakan
identitas, tanpa harus kehilangan makna substantifnya.
Pertumbuhan dan perkembangan keragaman penafsiran (atas)
Islam yang dilandasi oleh semangat keimanan dan intelektual, yang antara
lain bewujud tafsir atas teks al-Quran dan Hadis – dapat dipahami --
merupakan respons terhadap perubahan sosial. Keragaman pemahaman
keagamaan merupakan sunnatullah yang tak mungkin terbantahkan dan
mustahil pula kita lawan dan hindari. Respon positif dan konstruktif yang
dapat dan seharusnya selalu kita lakukan terhadapnya adalah:
“menghargai, mengakui dan berterimakasih.
4
5. Sudah saatnya kita menyayangkan tindakan “kekerasan” -- atas
nama kebenaran -- terhadap kelompok keagamaan minoritas yang pada
saat tertentu memiliki tafsir (yang) berbeda dengan tafsir muslim dan umat
Islam mayoritas, yang sudah dianggap “mapan” dan mendapatkan
pengakuan publik. Kekerasan atas nama kebenaran yang mengabaikan
keragama “tafsir Islam” sudak selayaknya dihentikan. Pengafiran (at-takfîr),
intimidasi dan penghakiman terhadap kelompok minoritas yang secara
kebetulan memiliki perbedaan tafsir atas Islam dengan kelompok
mayoritas muslim, padahal mereka memiliki sejumlah argumentasi yang
dapat dipertanggungjawabkan, sebaiknya segera dihentikan. Kecuali billa
terdapat sejumlah bukti yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa
kelompok minoritas ini benar-benar mengganggu tatanan-sosial, utamanya
“tatanan-siosial umat Islam”, dan cenderung melakukan tindakan
destruktif -- yang berakibat buruk bagi kepentingan Islam dan umat Islam.
Kita selamanya harus sadar, bahwa keberadaan suatu bentuk pemikiran
dan aksi komunitas muslim harus dihargai dan kehadirannya sama sekali
tidak memerlukan pengakuan dari siapa pun, termasuk kelompok
mayoritas umat Islam di mana pun dan kapan pun. Mereka hanya
memerlukan persyaratan: “memiliki akuntabiltas vertikal dan horisontal”.
Di samping itu, perlu dimaklumi bahwa dalam sejarah pelarangan
terhadap berbagai pemikiran dan gerakan keagamaan -- dalam
kenyataannya -- tidak pernah efektif. Sebab, hal ini menyangkut keyakinan
pribadi seseorang. Keyakinan tidak mungkin ditaklukkan dengan
kekuasaan minoritas atau kekuatan mayoritas. Hal ini merupakan prinsip
kebebasan ekspresi keagamaan atau penafsiran terhadap ajaran agama.
Pemaksaan dalam dalam konteks tafsir (atas) agama, termasuk di dlamnya
“Islam”, adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri dan secara
diametral juga bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk
yang memilki kemerdekaan untuk memilih dan bertanggung jawab atas
pilihannya. Penganut paham keagamaan yang berbeda dengan paham
mayoritas umat Islam merupakan hak yang harus dihormati. Dalam Islam,
keberagamaan menuntut keikhlasan. Dan keikhlasan hanya akan tumbuh
bila setiap muslim dan umat Islam memiliki freedom of choices (kebebasan
untuk memilih) tafsir atas Islam mana pun, kapan pun, di mana pun, dari
dan oleh siapa pun. Dengan kata lain, dapat dinyatakan juga bahwa setiap
bentuk pemebelengguan terhadap kebebasan untuk memilih corak
keberagamaan atau kemerdekaan beragama, sedikit atau banyak akan
menimbulkan kemunafikan, yang justeru akan mengurangi nilai keislaman
setiap muslim atau umat Islam itu sendiri.
5
6. C. Khatimah
Islam menawarkan kebenaran hakiki yang bersifat “tunggal”,
namun menjajakan pernik-pernik tafsir atasnya yang beragam. Islam dapat
diumpamakan seperti sebuah toko swalayan, yang menawarkan
seperangkat barang berkualitas unggul yang memungkinkan para
pemeluknya memilih barang apa pun yang diperlukannya, dalam konteks
yang berbeda-beda. Sehingga para pemeluknya diharapkan menjadi
manusia-manusia yang cerdas untuk memilih barang yang paling
berkualitas, yang diperlukan untuk dirinya dalam ruang dan waktu yang
berbeda-beda. Diharapkan, dengan pilihan-pilihan cerdas atas dasar tafsir
(atas) Islam, akan tercipta Muslim-muslim dan umat Islam yang
berkualitas, saling memahami dan memiliki sikap tasamuh yang tinggi.
Bukan Muslim-muslim dan umat Islam pecinta konflik dan saling
menghujat. Beragama secara cerdas, menawarkan semangat egaliter,
humanis dan kompetitif dalam kebaikan, selaras dengan semangat al-
Quran: “Fastabiqû al-Khairât”.
Memahami Makna Teks
al-Quran dan Hadis
Kekuatan para ulama dalam memahami teks antara lain terletak
pada kemampuan mereka dalam melakukan harmonisasi antara
pendekatan tekstual dan kontekstual, dengan mengandalkan pada
6
7. pemahaman terhadap Islam dengan bertumpu pada keimanan dan
intelektualitas mereka. Upaya harmonisasi tersebut dilakukan dengan
mengidentifikasi, memelihara, dan menaati batas-batas kebolehan dan
keharusan untuk memahami setiap teks dengan cermat. Tentu saja upaya
demikian merupakan keniscayaan yang harus dilakukan secara
berkelanjutan, karena pada tingkat perinciannyanya belum tergarap
dengan baik, termasuk tekstualisasi dan kontekstualisasi teks-teks al-Quran
maupun hadis.
A. Kontekstualitas dan Tekstualitas Nash (al-Quran dan Hadis)
Memahami teks-teks Islam secara kontekstual, artinya
memahaminya menurut atau sesuai dengan lingkungan sosiohistoris.
Bagaimana kemudian ketika lingkungan sosiohistoris tersebut berubah?
Dalam hal ini tentu saja harus diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan
lingkungan dan zaman barunya. Upaya demikian disebut dengan
kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam. Berbeda dengan ini,
memahami teks-teks Islam tanpa mengaitkannya dengan lingkungan
keberadaannya, semata-mata dengan melihat teks disebut memahaminya
secara tekstual. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, Memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan
mengidentifikasikan antara legal-spesifiknya dan moral-idealnya dengan
cara melihat kaitannya dengan melihat kaitannya dengan konteks
lingkungan awalnya pada saat teks-teks tersebut dinyatakan.
Kedua, Memahami lingkungan baru yang padanya teks-teks Islam
akan diaplikasikan, sekaligus membandingkannya dengan lingkungan
awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan persamaan-
persamaannya.
Ketiga, Jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih
esensial daripada persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada
legal- spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan barunya
sambil tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata
sebaliknya, diaplikasikan nash-nash tersebut tanpa diperlukan
penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan barunya.
7
8. Masalahnya ialah apakah kontekstualisasi pemahaman teks-teks
Islam tersebut absah? Jika absah, sampai di mana batas-batasnya serta apa
cukup signifikan bagi eksistensi pemahaman tersebut?
B. Dasar-dasar Kontekstualisasi Teks-teks Islam
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-
teks Islam tersebut menjadi niscaya, sekaligus absah. Alasan-alasan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Saw bukan lingkungan yang
sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak
dinafikan semuanya oleh kehadiran-kehadiran nash-nash (teks-teks)
yang menyebabkan sebagianya bersifat tipikal, pranata zhihar,
misalnya dengan ungkapan sebagai berikut: bagiku engkau seperri
punggung ibuku adalah sangat tipikal Arab.
2. Nabi Saw sendiri dalam beberapa kasus telah memberikan hukum
secara berlawanan satu sama lain atas dasar adanya konteks yang
berbeda-beda, misalnya ziarah kubur, yang semula dilarang
kemudian diperintahkan (Hadis Riwayat Muslim).
3. Di masa Umar bin Khattab talak tiga sekali ucap yang semula jatuh
satu, diputuskan jatuh tiga adalah cerminan adanya kontekstualisasi
pemahaman teks-teks Islam.
4. Implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual
seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi
reason d’tre kehadiran Islam itu sendiri.
5. Pemahaman secara membabibuta terhadap nash secara tekstual
berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman
yang justru diintrodusir oleh nash sendiri.
6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan
moral ideal nash berguna untu mengatasi keterbatasan teks
berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan
perumusan legal-spesifik yang baru.
7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih
dimungkinkan pada upaya pemahan teks-teks Islam secara
kontekstual dibanding secara tekstual yang justru menjadi trade
mark dari Islam itu sendiri yang dalam ungkapan M. Rasyid Ridha
(1935: 211) berbunyi: Islam itu agama rasional dan intelektual.
8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna
bahwa masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu
8
9. dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap
khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang
mengandung kemaslahatan) yang dirumuskan dengan kaedah:
Tradisi itu dipandang sebagai sesuatu yang legal (As-Suyuti, t.t., :
89).
9. Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari
langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di
dalam teksnya yang terbatas itu memiliki dinamika internal yang
sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi
melalui unterpretasi yang tepat. Jika interpretasi dilakukan secara
tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat teraktualisasikan
secara optimal. Aktualisasi secara optimal hanya dimungkinkan
melalui interpretasi kontekstual terus menerus.
Dengan alasan demikian, tampak bahwa kontekstualisasi
pemahaman teks-teks Islam itu memang merupakan keniscayaan dan
absah.
Keberatan terhadap kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam
sering diajukan dengan menyatakan jika pemahaman tersebut bersifat
kontektual tentu tidak universal, dan pada gilirannya nanti cetak biru (blue
print) Islam itu tidak akan ada lagi bekasnya. Keberatan semacam itu tidak
seluruhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar, jika
kontekstualisasi itu diberlakukan terhadap keseluruhan pemahaman teks-
teks Islam, maka Islam akan kehilangan cetak birunya. Salah, karena
kontekstualisasi itu tidak diberlakukan pada semua aspek pemahaman
teks-teks Islam, ada batas-batas yang harus dijaga. Kontekstualisasi
dilakukan dengan tetap berpegang pada moral-ideal nash, untuk
selanjutnya dirumuskan legal-spesifik yang baru yang menggantikan legal-
spesifik lamanya.
Signifikansi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam adalah
jelas yaitu agar interpretasi tersebut tetap eksis, tetap sesuai dengan
perkembangan dan perubahan sosial, sehingga tetap memiliki elan vital
dalam menjawab persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era
globalisasi dewasa ini.
C. Kontekstualisasi Pemahaman Atas Teks Muamalah
9
10. Prinsip penetapan dan pelaksanaan hukum (Islam) adalah
penegakan mashlahat; penegakan keadilan; peniadaan kesulitan;
meminimasi beban; dan berangsur-angsur. Dalam melaksanakan kegiatan
mu`amalah, umat Islam senantiasa berusaha memperoleh manfaat dan
menolak kesulitan. Perolehan manfaat dan penolakan kesulitan disebut al-
mashlahat.
Mashlahat dibedakan menjadi tiga, yaitu mashlahat mu`tabarat;
mashlahat mulghat; dan mashlahat mursalat. Mashlahat mu`tabarat dapat
diklasifikasi menjadi tiga tingkatan, yaitu dharûriyyat (primer), hâjiyyat
(sekunder), dan tahsîniyyat (tertier).
Mashlahat dharûriyyat terdiri atas lima tujuan agama (maqâshid al-
syarî`ah), yaitu pemeliharaan agama (hifzh al-dîn), pemeliharaan keturunan
(hifzh al-nasl); pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs); pemeliharaan akal (hifzh al-
`aql); dan pemeliharaan harta (hifzh al-mâl). Bahkan, para ulama saat ini, ada
menambahkan perlunya pelestarian lingkungan (hifzh al-bîah), karena
kesadaran umat manusia terhadapnya dianggap masih terlalu rendah.
Dalam kitab Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm, Izz al-Din Ibn
`Abd al-Salam menjelaskan bahwa “semua kandungan syari`ah adalah
mashlahat, baik dengan cara penolakan terhadap kerusakan-kerusakan
maupun dengan cara mendapatkan manfaat-manfaat”. Penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa pelaksanaan perintah Allah dan rasul-Nya dan
menjauhi larangan Allah dan rasul-Nya, akan melahirkan manfaat-manfaat
bagi manusia dan menghindarkan mereka dari kesulitan-kesulitan.
Penegakan keadilan (tahqîq al-`adâlah) adalah prinsip penegakkan
fikih yang kedua. Imam al-Jurjani menjelaskan beberapa pengertian adil
sebagai berikut: pertama, adil adalah pertengahan atau perseimbangan
(moderasi) antara berlebihan dan pelit; kedua, adil adalah menjauhi dosa-
dosa besar dan tidak mengerjakan dosa-dosa kecil secara terus-menerus;
dan ketiga, adil adalah kesederhanaan, bersikap tengah-tengah antara dua
hal, dan berdiri tegak, yaitu cenderung pada kebenaran.
Murtadha Muthahari -- sebagai dikutip oleh Nurcholish Madjid --
menjelaskan bahwa pengertian pokok keadilan adalah seimbang (mawzûn
[ism al-maf’ûl], dalam hal tertentu juga disebut dalam bentuk mashdarnya:
”at-tawâzun”), persamaan (al-musâwat), penunaian hak sesuai dengan
kewajiban yang diemban, dan keadilan Ilâhiy, yaitu kemurahan-Nya dalam
10
11. melimpahkan rahmat kepada seseorang sesuai dengan tingkat kesediaan
yang dimilikinya.
Peniadaan kesulitan (`adam al-haraj) adalah prinsip penegakan fikih
yang ketiga. Peniadaan kesulitan diantisipasi dengan penentuan adanya al-
`azîmah dan al-rukhshah, baik dengan cara pengguuguran kewajiban,
pengurangan kadar yang telah ditentukan (tanqîsh), penukaran (tabdîl),
mendahulukan (taqdîm), penangguhan (ta’khîr), dan perubahan (taghyîr).
Minimasi beban (taqlîl al-takâlîf) adalah prinsip penegakan fikih
yang keempat. Ia (taqlîl al-takâlîf) dilakukan dengan cara mememerintahkan
umat Islam agar tidak mempertanyakan sesuatu yang karena pertanyaan
itu, kehidupannya menjadi sulit.
Berangsur-angsur (tadrîj) adalah prinsip penegakan fikih yang
kelima. Fikih ditentukan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang
mengitari fikih itu sendiri. Pelarangan riba dan meminum khamr dilakukan
secara berangsur-angsur.
Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu mengatakan bahwa
pendapat yang paling râjih (kokoh) tentang hukum pokok muamalah
adalah kaedah yang digunakan Abu Hanifah, yaitu: “Pada dasarnya
semuanya mubâh (boleh)”.
Dasar-dasar kaedah tersebut menurut As-Suyuthi dan Ibn Nujaim
adalah: "Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal; yang diharamkan
Allah adalah haram, dan sesuatu yang dibiarkan --tidak dihalalkan dan
diharamkan-- adalah rahmat, terimalah rahmat dari Allah itu, dan
bukanlah berarti terlupakannya."
Ad-Dabusi dalam kitab Ta'sîs al-Nazhar menyatakan bahwa:
"Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara
penelitian dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh seginya,
hukumnya ditetapkan berdasarkan penelitian tersebut sebelum terdapat
bukti kuat yang mengingkarinya."
Dari kaedah tersebut tergambar bahwa ulama ---dalam bidang
ibadah yang tergolong mahdhat-- mengurangi atau menghindari ijtihad.
Sebaliknya, hukum pokok muamalah adalah kebolehan (al-ibâhah). Oleh
11
12. karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkan atau melarang,
umat Islam dibolehkan ---pada dasarnya--- mengonsumsi dan
memperjualbelikan benda-benda atau mengerjakan sesuatu. Cara yang
ditempuh dalam mengetahui hukum bidang muamalah adalah
penelusuran dalil, baik dari al-Quran, hadis, maupun pandangan ulama
(ijtihad).
Landasan muamalah sebagai telah dijelaskan adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan Imam al-Turmudzi. Hadis tersebut
adalah: “Salman al-Farisi mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw.
ditanya tentang (memakan) mentega, keju, dan keledai liar. Nabi
Muhammad s.a.w. menjawab: ”yang halal adalah apa-apa yang dihalalkan
oleh Allah dalam kitab-Nya; dan yang haram adalah apa-apa yang
diharamkan oleh Allah dalam kitab-Nya; sesuatu yang dibiarkan (tidak
dihalalkan dan tidak diharamkan) adalah dibolehkan untuk memakannya
sebagai ampunan bagimu.”
Dalam hadis tersebut terdapat tiga ketentuan: pertama, sesuatu
yang diperintahkan untuk dikerjakan melahirkan hukum halal; kedua,
sesuatu yang diperintahkan untuk tidak dikerjakan melahirkan hukum
haram; dan ketiga, sesuatu yang tidak diperintahkan untuk dikerjakan dan
juga tidak dilarang untuk dikerjakan yang melahirkan hukum mubâh.
D. Penutup
Berdasarkan paparan diatas disimpulkan bahwa oleh karena cetak
biru Islam itu terletak pada teks, maka tekstualisasi dilakukan untuk
memelihara dari segala penyimpangan makna. Sekalipun demikian, secara
terbatas terdapat aspek-aspek yang berkaitan dengannya yang memerlukan
kontekstualisasi.
Memahami Islam:
Antara Orisinalitas, Kontinuitas,
Perubahan dan Diskontinuitas
12
13. A. Prawacana
Keharusan taat kepada Allah dan Rasul-Nya -- bagi setiap muslim --
merupakan hal yang telah disepakati. Akan tetapi bagaimana cara
mengaktualisasikan ketaatan tersebut, tak terelakkan terjadinya perbedaan.
Akar perbedaan tersebut terletak pada masalah apakah cara taat tersebut
baru dipandang orisinal jika tetap sesuai dengan apa yang terdapat dalam
teks-teks Islam baik al-Quran maupun al-Sunnah sebagaimana
dipraktikkan oleh Nabi s.a.w., atau harus sama sekali berbeda, sesuai
dengan tuntutan perubahan, sehingga hilang orisinalitasnya. Dengan kata
lain, orisinalitas dan kontinuitas dipertentangkan dengan perubahan dan
diskontinuitas Ini berarti bahwa perubahan dan diskontinuitas merupakan
antitesa dari orisinalitas dan kontinuitas. Kemungkinan yang lain adalah
membuat sintesa dari keduanya, yakni bahwa dalam Islam terdapat hal-hal
yang harus tetap orisinal yang oleh karena itu berkelanjutan, tetapi juga
ada yang harus berubah sesuai dengan perubahan masa, keadaan, dan
tempat yang oleh karena itu diskontinuitas merupakan tuntutan yang logis.
Upaya untuk tetap melanjutkan pemeliharaan orisinalitas seraya
menafikan perubahan dan diskontinuitas akan menyebabkan agama ini
kehilangan konteks dengan ke-kini-an dan ke-di sini-an , sekaligus
merupakan pengingkaran terhadap hukum perubahan itu sendiri.
Sebaliknya pengabaian secara ekstrem terhadap orisinalitas, dan
pemihakan semata-mata pada perubahan, akan menyebabkan Islam
kehilangan identitasnya.
Oleh karena itu, untuk menghindarinya, upaya mensintesakan
antara orisinalitas-kontinuitas dan perubahan-diskontinuitas, merupakan
upaya moderasi yang mereduksi konsekuensi-konsekuensi logis yang
negatif tersebut.
Tulisan ini berusaha memaparkan sintesa antara orisinalitas-
kontinuitas dan perubahan-diskontinuitas Islam, dari sudut-pandang
metodologis.
13
14. B. Islam: Antara Orisinalitas dan Kontinuitas
Paradigma untuk mempertahankan orisinalitas dan kontinuitas
Islam telah dirumuskan oleh ahli Ushul Fiqh dalam kaedah:
الَلّ دُ يَ تىّ حَ مُ يْ رِ حْ تّ ال تِ داَ باَ عِ لْ ا فىِ لُ صْ
رُ مْ لَْ ا لىَ عَ لُ يْ لِ دّ ال
“Semula ibadah itu – pada prinsipnya -- dilarang, baru
diperbolehkan jika ada dalil – yang memerintahkannya -- untuk
itu.”
Dengan kaedah ini, format ritual Islam dipelihara dari segala
upaya penambahan atau pengurangan, sehingga orisinalitasnya tetap
terjaga, untuk selanjutnya kontinuitas dijalankan. Paradigma di atas
disusun berdasarkan ayat al-Quran dan hadis Nabi s.a.w.. Ayat tersebut,
misalnya:
مْ كُ هاههَ نَ هاهمَ وَ هُ ذوُ ههخُ فَ لُ سوُ رّ ال مُ كُ تاَ آ ماَ وَ
هواُ تَ فانَ هُ نْ عَ
Dan segala yang telah Rasul sampaikan kepada kalian,
kerjakanlah, dan segala yang ia larang, jauhilah. (QS al-
Hasyr/59: 7)
Sedang hadis Nabi s.a.w. dimaksud misalnya sebagai berikut:
كُ– رِ ناّ ال فيِ ةٍ لَ لَ ضَ لّ كَ وَ ةٌ لَ لَ ضَ ةٍ عَ دْ بِ لّ
مسلم رواه
”Segala bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat membawa ke
neraka.”– Riwayat Muslim.
–البخاري رواه لىّ صَ أُ نيِ وْ مُ تُ يْ أَ رَ ماَ كَ واْ لّ صَ
”Shalatlah sebagaimana kalian lihat aku lakukan.” – Riwayat al-
Bukhari.
–مسلم رواه مْ كُ كَ سِ ناَ مَ نيّ عَ واْ ذُ خُ
14
15. “Ambillah dariku manasik kalian.” - Riwayat Muslim.
Upaya untuk memelihara orisinalitas Islam juga dilakukan dengan
meniadakan ‘illat pada seluruh format ritual Islam. Ini tidak berarti bahwa
kajian terhadap format ritual tersebut tidak dilakukan. Kajian tersebut tetap
dilakukan, akan tetapi bukan ditujukan untuk menemukan ‘illat, kemudian
menerapkan kaedah:
الحُدماَ عَ وَ داً وْ جُ وُ ةِ لّ عِ لْ ا عَ مَ رُ وْ دُ يَ مُ كْ
"Ada atau tidaknya hukum tergantung pada ‘illat (sebab yang
melaatarbelakanginya)."
Kajian tersebut dilakukan untuk menemukan alas an yang paling
tepat -- baik filosofis maupun ilmiah -- untuk kepentingan pengokohan
terhadap semua format ritual Islam tersebut, sehingga keimanan intuitif
tersempurnakan oleh kepuasan intelektual.
Dalam kaitan dengan format ritual Islam ini, tampaknya Allah
tidak perlu menjelaskan mengapa Ia mensyari’atkan – misalnya – thawaf itu
harus dilakukan dengan menempatkan Ka’bah di sisi kiri dan
mengelilinginya tujuh kali putaran. Dengan demikian sikap yang dituntut
oleh Islam adalah ketaatan mutlak pada seluruh aturan yang berkenaan
dengan format ritual tersebut. Dengan kata lain Islam menuntut
pemeliharaan orisinalitas dan kontinuitas dari seluruh format ritual ini. Tak
ada lagi perubahan dan diskontinuitas sesudah masa formulasi usai
dengan wafatnya Nabi s.a.w..
Bagaimana dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-hal di
luar format ritual Islam? Apakah tuntutan memelihara orisinalitas dan
kontinuitas pelaksanaan ketentuan tersebut harus tetap dipelihara? Dalam
hal ini, tampaknya ’illat al-hukm memegang peranan penting bagi perlu
atau tidaknya keharusan memelihara orisinalitas dan kontinuitas tersebut.
Artinya, jika dapat dipahami ’illat suatu ketentuan, maka perubahan dan
diskontinuitas merupakan sebuah keniscayaan. Sebaliknya jika tidak dapat
ditemukan ‘illat, maka orisinalitas dan kontinuitas pelaksanaan sebuah teks
harus tetap dipelihara.
15
16. C. Islam: Antara Perubahan dan Diskontinuitas
Aspek ini terkait erat dengan upaya kontekstualisasi teks-teks
Islam, sehingga dengan demikian dapat terpelihara prinsip:
الِنٍ كاَ مَ وَ نٍ ماَ زَ لّ كُ لَ حٌ لِ صاَ مُ لَ سْ إ
”Islam itu sesuai bagi segala masa dan lokasi mana pun.”
Dalam bahasa Inggris kata context antara lain berarti circumstances
in which an event occurs [lingkungan di mana suatu peristiwa berlangsung]-,
sedang kata contextual diartikan sebagai according to the context [menurut
atau sesuai dengan konteks] (Hornby, 1979: 130). Memahami teks-teks Islam
secara kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan
lingkungan sosio-historis. Bagaimana kemudian ketika lingkungan sosio-
hitoris tersebut berubah? Dalam hal ini tentu saja harus diadakan
penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman barunya. Upaya
demikian disebut kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam. Berbeda
dengan ini, memahami teks-teks Islam tanpa mengaitkan dengan
lingkungan keberadaannya, semata-mata dengan melihat teks disebut
memahaminya secara tekstual. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks
Islam dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama,
memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan
antara legal-spesifiknya dan moral-idealnya dengan cara melihat kaitannya
dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah, Madinah dan
sekitarnya pada saat teks-teks tersebut turun; kedua, memahami lingkungan
baru yang padanya teks-teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus
membandingkan dengan lingkungan awalnya untuk menemukan
perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya; ketiga, jika ternyata
perbedaan-perbedaannya bersifat lebih essensial daripada persamaan-
persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legal-spesifik teks-teks
tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada
moral-idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, diaplikasikan nash-nash
tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan
barunya (Bandingkan dengan Rahman, 1982: 5-7).
16
17. Masalahnya ialah apakah kontekstualisasi pemahaman teks-teks
Islam ini absah? Jika absah, sampai di mana batas-batasnya serta apakah
signifikan bagi eksistensi pemahaman tersebut?
D. Kontekstualisasi Pemahaman Teks-teks Islam
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-
teks Islam itu menjadi niscaya, sekaligus absah. Alasan-alasan tersebut
ialah sebagai berikut:
1. Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi s.a.w. bukan lingkungan yang
sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan
semuanya oleh kehadiran nash-nash yang menyebabkan sebagiannya
bersifat tipikal, pranata zhihar misalnya dengan ungkapan sebagai
berikut: أنتعليكظههههرأمى [anti ‘alayya ka zhahri ummi] -- bagiku engkau
seperti punggung ibuku -- adalah sangat tipikal Arab.
2. Nabi s.a.w. sendiri dalam beberapa kasus telah memberikan hukum
secara berlawanan satu sama lain atas dasar adanya konteks yang
berbeda-beda; misalnya: “ziarah kubur”, yang semula dilarang
kemudian diperintahkan (Hadis Riwayat Muslim).
3. Di masa Umar bin Khaththab talak tiga sekali ucap yang asalnya jatuh
satu, diputuskan jatuh tiga adalah cermin adanya kontekstualisasi
pemahaman teks-teks Islam.
4. Implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual
seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justeru menjadi
raison d'etre kehadiran Islam itu sendiri.
5. Pemahaman secara membabibuta terhadap nash secara tekstual berarti
mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang
justeru diintroduksi oleh nash sendiri.
6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan
(konsep) moral-ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks
berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan
perumusan legal-spesifik yang baru.
7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih
dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara
kontekstual dibanding secara tekstual yang justru menjadi trade mark
dari Islam itu sendiri yang dalam ungkapan Muhammad Rasyid Ridha
17
18. (1935: 211): السههلمدينالعقههلوالفههكر [Islam itu agama rasional dan
intelektual].
8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna
bahwa masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu
dipandang positif optimistis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap
khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang
mengandung kemaslahatan) yang telah dirumuskan dalam kaedah
العادةمحهكمة [tradisi itu dipandang legal] (Suyuthi, t.t.: 89).
9. Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit
yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam
teksnya yang terbatas itu memiliki dinamika internal yang sangat kaya,
yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi
yang tepat. Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika
internalnya tidak dapat teraktualisasikan secara optimal. Aktualiasi
secara optimal hanya dimungkinkan melalui interpretasi kontekstual
terus menerus.
Dengan alasan-alasan demikian, tampak bahwa kontekstualisasi
pemahaman teks-teks Islam itu memang merupakan keniscayaan dan
absah.
Keberatan terhadap kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam
sering diajukan dengan menyatakan jika pemahaman tersebut bersifat
kontekstual tentu tidak universal, dan pada gilirannya nanti cetak biru
(blue print) Islam itu akan tidak ada lagi bekasnya. Keberatan seperti ini
tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar, jika
kontektualisasi itu diberlakukan terhadap keseluruhan pemahaman teks-
teks Islam, maka Islam akan kehilangan cetak birunya. Salah, karena
kontekstualisasi itu tidak diberlakukan pada semua aspek pemahaman
teks-teks Islam, ada batas-batas yang harus tetap dijaga. Batas-batas ini
adalah sebagai berikut: Pertama, untuk bidang ibadah murni ('ibadah
mahdhah) tidak ada kontekstualisasi, dalam arti penambahan maupun
pengurangan untuk kepentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan
tertentu, karena yang demikian berarti membuat bid'ah yang jelas-jelas
dilarang dalam Islam; kedua, untuk bidang di luar ibadah murni,
kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral-ideal nash,
untuk selanjutnya dirumuskan legal-spesifik baru yang menggantikan legal
spisifik lamanya.
18
19. Dengan batas-batas seperti itu, tampak bahwa teks-teks Islam tidak
akan kehilangan cetak birunya yang terletak pada norma-norma bidang
ibadah murninya serta terletak pada moral-ideal bidang di luar ibadah
murni. Demikian pula pemahaman teks-teks Islam tidak akan kehilangan
sifat universalnya, karena tetap terpeliharanya cetak biru tersebut yang
memang bersifat universal.
Signifikansi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam adalah
jelas yaitu agar interpretasi tersebut tetap eksis, tetap sesuai dengan
perkembangan dan perubahan sosial, sehingga tetap memiliki elan vital
dalam menjawab persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era
globalisasi dewasa ini.
E. Kemashlahatan: Pilar Utama Perubahan dan Diskontinuitas
Al-Quran (QS al-Anbiya'/21: 107) menyatakan bahwa Muhammad
diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Al-Quran (QS Yunus/10: 57) juga
mengemukakan bahwa telah datang mau'izhah, terapi kejiwaan, petunjuk,
dan rahmat dari Tuhan bagi orang-orang mukmin. Dengan merujuk
pernyataan al-Quran tersebut, ulama memformulasikan paradigma bahwa
syari'at Islam diturunkan sebagai rahmat bagi umat manusia. Dalam hal ini
Muhammad Abu Zahrah (1974: 36) menyatakan bahwa dalam hukum
Islam senantiasa didapati kemashlahatan bagi umat manusia. Pernyataan
lain dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (1973: 3), (ia katakan)
bahwa maksud utama syari'at Islam ialah: “mewujudkan kebaikan bagi
manusia di dunia dan akhirat, keadilan, rahmat, kemashlahatan, dan
kebijaksanaan”. Dengan kata lain, prinsip hukum Islam -- di antaranya --
ialah memelihara kemashlahatan manusia. Berdasarkan hal tersebut dapat
dipahami jika kemudian para ahli ushul menjadikan mashlahat sebagai
dasar pembentukan hukum Islam.
Mashlahat dapat didefinisikan sebagai berikut:
19
20. الحكيم الشارع قصدها التى المنفعة
وعقولهم ونفوسهم دينهم حفظ من لعباده
فيما معين ترتيب طبق واموالهم ونسلهم
, ,وسيلة اوماكان اللذة هي والمنفعة بينها
,او اللم ودفع اليهااليه وسيلة ماكان
, )البوطي۲:۱۹۹۷ ).
“Kemanfaatan yang dimaksudkan oleh Pembuat Syari'at Yang
Mahabijaksana bagi hamba-hambaNya [Allah SWT] berupa
pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda
mereka, berdasarkan skala prioritas urutan penyebutan; sedang
manfaat ialah kelezatan atau media ke arahnya, dan
penghindaran dari derita atau media ke arahnya).”
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya persesuaian, serta ada
atau tidak adanya pertentangan dengan ayat al-Quran dan atau hadis Nabi
s.a.w.., mashlahat dibedakan menjadi empat, yaitu:
1. Mashlahat yang species ()نوع nya didukung oleh syara', yang disebut
sebagai: المعتبرة المصلحة
2. Mashlahat yang genus ()جنس nya didukung oleh syara', biasanya
diberikan sebutan sebagai: الشرع تصرفات لجنس ملئمة مصلحة (mashlahat
yang sesuai dengan jenis tindakan syara'),
3. Mashlahat yang bertentangan dengan nash syar'iy, yang biasanya
disebut: المصلحةالباطلةاوالملغاة (mashlahat yang batil atau
menyimpang), dan
4. Mashlahat yang oleh syara' didiamkan, dinamakan المصلحةالغريبة
(mashlahat yang asing).
Pembagian demikian didasarkan atas teori Ghazali, sebagai mana
dikemukakan oleh Hassan (1971:18-9).
20
21. Sekalipun terdapat pembagian mashlahat seperti itu, namun
perhatian ahli ushul fiqh banyak tercurah pada bagian kedua dan keempat
saja. Demikian ini karena kedua bagian tersebut lebih rumit dibanding
kedua bagian yang lain. Kedua bagian yang lebih rumit tersebut biasanya
disebut al-mashlahah al-mursalah. Mashlahah demikian oleh Muhammad
Abu Zahrah (t.t.: 279) didefinisikan sebagai: berbagai mashlahat yang selaras
dengan maksud-maksud syari'at Islam yang tidak didapatkan dalil khusus yang
menjadi legitimasi (syahid) terhadapnya, baik dalam arti mendukung maupun
menolak.
Sekalipun perhatian ahli ushul fiqh banyak tertuju pada kajian
mashlahah mursalah, namun mereka tidak dapat begitu saja mengabaikan
dirasah (kajian) terhadap mashlahah yang bertentangan dengan nash. Hal
demikian terutama ketika mereka berhadapan dengan pendirian al-Thufi
yang hidup pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah. Ia
berpendirian bahwa dalam bidang mu'amalah yakni selain ibadah,
manusia mengetahui kemaslahatan-kemashlahatan bagi mereka sendiri.
Berpegang pada kemashlahatan harus diutamakan, sekalipun bertentangan
dengan nash. Demikian inti pendirian al-Thufi (Hassan, 1971: 534-5). Teori
al-Thufi tersebut ditegakkan atas empat prinsip, yaitu:
1. Semata-mata dengan akalnya, manusia memiliki kemampuan untuk
mengetahui kemashlahatan dan kemafsadatan;
2. Mashlahah merupakan dalil syar'i yang berdiri sendiri, tidak
memerlukan legitimasi nash;
3. Objek aplikasi teori mashlahah adalah bidang mu'amalah dan adat,
bukan bidang ibadah;
4. Mashlahah merupakan dalil syara' yang terkuat.
Konsekuensi prinsip yang keempat ini ialah didahulukannya
mashlahah atas nash dan ijma', namun dengan ketentuan diterapkan
metode التخصيصوالبيان bukan diterapkan metode التعطيلوالفتئات (Hassan,
1971: 530-6). Metode pertama bermakna bahwa nash menghendaki sesuatu
yang khusus dan terdapat penjelasan untuk itu. Sedangkan metode kedua
berarti pengabaian sama sekali terhadap keberadaan nash. Thufi tidak
membagi mashlahah berdasarkan ada tidaknya legitimasi nash, tidak pula
berdasarkan kuat lemahnya, tidak juga berdasarkan sesuai tidaknya
dengan nash. Ia sama sekali tidak memberikan syarat bagi persesuaian
21
22. mashlahah dengan maksud-maksud umum syara'. Baginya mashlahah
dipandang sebagai dalil syara', cukup jika bersesuaian dengan tujuan-
tujuan syara'.
Berbeda dengan al-Thufi, al-Ghazali membagi mashlahah ditinjau
dari ada tidaknya legitimasi syara' menjadi: الملغاة,المعتبرة dan .المرسلة
Mashlahah terakhir dibagi menjadi: الملئمة dan .الغريبة Al-Ghazali menolak
sama sekali al-mashlahah al-gharibah dan al-mashlahah al-mulghah sebagai
dalil syara'. Bahkan terhadap al-mashlahah al-mulaimah pun tidak semuanya
ia terima. Ia hanya menerimanya sepanjang berkenaan dengan hal-hal yang
primer (dharuriyyah) atau yang setingkat. Golongan Malikiyyah sepaham
dengan pendirian al-Ghazali ini, hanya bedanya mereka menerima
keseluruhan al-mashlahah al-mulâimah, baik yang berkenaan dengan hal-hal
primer maupun skunder (hajjiyyah). Demikian uraian Hassan (1971: 10).
Mengenai mashlahah ini Malik bin Anas memberikan batasan -- seperti
dikemukakan al-Ghazali (t.t.: 241) -- sebagai berikut:
1. Mashlahah harus masuk akal sehat;
2. Aplikasi mashlahah tersebut dapat menghindarkan kesukaran yang
realistis dalam urusan agama;
3. Walaupun tidak langsung, mashlahah tersebut harus sejalan dengan
maksud-maksud umum syara'.
Kajian moderen dalam bidang ushul, dapat diwakili oleh dua
orang yang sama-sama menulis disertasi tentang mashlahah, yaitu
Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi dan Husain Hamid Hassan. Buthi
mengemukakan tesis bahwa mashlahah dapat menjadi hujjah al-tasyrî' jika
mendukung maksud-maksud umum syara', tanpa disyaratkan adanya
kesesuaian dengan jenis tindakan syara', cukup dengan kriteria umum
yaitu tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan al-Sunnah; berada
pada lingkup maksud umum dari syara'; dan tidak berlawanan dengan
qiyas atau mashlahah yang lebih penting. Sementara itu Hassan memiliki
tesis bahwa mashlahah yang patut menjadi dalil ialah mashlahah yang
sesuai dengan jenis yang dilegitimasi syara' secara global, tanpa dalil
spesifik. Mashlahah tersebut bukan al-mashlahah al-gharibah yang didiamkan
oleh syara'. Mashlahah demikian tidak patut dijadikan dalil syara', apalagi
jika mashlahah bertentangan dengan nash atau zhahir syara' (Hassan,1971:
12-4).
22
23. Sekalipun mashlahah dikaji cukup mendalam dalam bidang ushul
fiqh, namun satu hal sering terabaikan, yaitu apakah mashlahah itu tetap,
tidak pernah berubah. Jawabannya adalah jelas bahwa mashlahah itu bisa
berubah-ubah karena perubahan sosial. Jawaban demikian adalah sangat
sederhana, namun konsekwensinya terhadap teori mashlahah sangat besar.
Misalnya, apakah nash-nash al-Quran atau al-Sunnah itu harus
diaplikasikan seperti aplikasi pada masa Nabi s.a.w.. yang jelas-jelas pada
waktu itu menimbulkan kemashlahatan untuk [kepentingan] tegaknya
tujuan-tujuan umum syara' yang disebut al-maqashid al-khamsah, yaitu
terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, serta harta benda? Jika
jawabannya adalah “ya”, berarti terdapat pengabaian terhadap prinsip
bahwa kemashlahatan itu dapat berubah karena perubahan sosial.
Sebaliknya jika jawabannya “tidak”, maka pada gilirannya agama akan
kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu perlu adanya pemilah-milahan,
antara nash-nash yang harus diaplikasikan sebagaimana dipraktikkan Nabi
s.a.w.. dan nash-nash yang aplikasinya memerlukan modifikasi baru sesuai
dengan tuntutan perubahan. Tentu saja hasil modifikasi tersebut harus
tetap efektif dapat memelihara al-maqashid al-khamsah di atas.
Dari apa yang telah dilakukan para ahli ushul ketika mereka
mengkaji mashlahah tampak adanya kehati-hatian yang luar biasa untuk
tidak jatuh pada sikap pengabaian terhadap syara'. Bahkan demikian ini
juga tampak pada sikap al-Thufi -- yang oleh Yamani (1970: 17) dinilai
berpendirian terlalu jauh -- yang memegangi metode al-takhshîsh dan al-
bayân, tidak al-ta'thîl dan al-iftiât ketika mendahulukan mashlahah daripada
nash. Demikian pula kehati-hatian tersebut juga tampak, ketika ia
membatasi aplikasi teori mashlahah hanya pada bidang mu'amalah dan
adat saja, tidak pada bidang ibadah. Bahkan kajian yang dilakukan Hassan
sampai pada kesimpulan bahwa nash yang diakui adanya kemungkinan
berlawanan dengan mashlahah -- yang kemudian diutamakan mashlahah
daripada nash -- tersebut adalah nash yang zhanniy. Adapun nash yang dari
segala aspeknya adalah qath'iy, al-Thufi menolak terjadinya pertentangan
dengan mashlahah, lebih-lebih lagi untuk mendahulukan mashlahah atas
nash tersebut (Hassan,1971: 538). Tentu saja kehati-hatian tersebut tampak
lebih nyata lagi pada ahli-ahli ushul fiqh yang lain yang tidak seekstrem al-
Thufi.
Teori mashlahah jelas-jelas jika diaplikasikan secara benar akan
banyak membantu penyelesaian masalah kontemporer hukum Islam, lebih-
23
24. lebih jika nash sama sekali tidak menjelaskannya. Demikian pula jika nash
zhanniy justru ternyata berlawanan dengan tuntutan perubahan, maka tak
pelak lagi teori mashlahah perlu dipertimbangkan penggunaannya. Salah
satu contoh adanya pertentangan antara nash zhanniy dan mashlahah yang
perwujudannya dituntut oleh perubahan sosial ialah adanya nash yang
melarang wanita bepergian sejarak sehari semalam, tanpa bersama seorang
mahram seperti diriwayatkan oleh Bukhari (18: 4) dan Muslim (15: 74) dari
Abu Hurairah ra. bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
نْ أَ رِ ههخِ ال مِ وْ ههيَ لْ واَ هِ لّ بالِ نُ مِ ؤْ تُ ةٍ أَ رَ مْ لِ لّ حِ يَ لَ
ةٌ مَ رْ حُ هاَ عَ مَ سَ يْ لَ ةٍ لَ يْ لَ وَ مٍ وْ يَ ةَ رَ سيِ مَ رَ فِ ساَ تُ .
“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk bepergian sehari semalam tanpa disertai mahram.”
Bahkan hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Bukhari (65: 140)
dan Muslim 15:74) dari Abu Ma'bad -- pembantu Ibn 'Abbas -- bahwa Ibnu
'Abbas pernah mendengar Nabi s.a.w.. Bersabda:
مٌ رَ حْ مَ هاَ عَ مَ وَ لّ إِ ةٌ أَ رَ مْ ا نّ رَ فِ ساَ تُ لَ
“Sungguh jangan bepergian seorang wanita tanpa disertai
seorang mahram.”
Perubahan sosial -- lebih-lebih dewasa ini -- untuk kemashlahatan
wanita itu sendiri menuntut adanya mobilitas tinggi mereka dalam
berbagai hal, yang salah satunya dalam kaitannya dengan kepentingan --
misalnya – studi: “masihkah harus didampingi mahram selama studi di
luar daerah mereka?”
Dalam kaitannya dengan masalah ini, tentu teori mashlahah perlu
dipertimbangkan penggunaannya agar masalah kontemporer seperti itu
terpecahkan sesuai dengan tuntutan perubahan, sekaligus tetap berada
dalam lingkup upaya mewujudkan tujuan-tujuan umum syara'.
Tampaknya berbagai persoalan kontemporer dewasa ini -- utamanya jika
nash tidak memberikan penjelasan tentangnya -- akan terpecahkan melalui
aplikasi metode mashlahah, tentu saja tanpa mengabaikan adanya berbagai
metode pemecahan yang lain.
24
25. F. Khatimah
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan sebagai berikut. Bahwa
dalam Islam terdapat aspek-aspek yang harus diaplikasikan dengan tetap
memelihara orisinalitas dan keberlanjutannya. Aspek ini akan menjadikan
Islam tetap tampak memiliki identitas sendiri di tengah-tengah terjadinya
akselerasi perubahan. Disamping itu Islam juga memiliki dimensi
perubahan dan diskontinuitas sebagai suatu keniscayaan dan suatu yang
absah. Perubahan dan diskontinuitas ini didasarkan atas prinsip
pemeliharaan terhadap kemashlahatan, sepanjang dapat ditemukan dan
dipahami ‘illatnya. Dengan dimensi ini, Islam tetap eksis dan berkembang
sesuai dengan perkembangan ke-kini-an dan ke-di sini-an.
Bahan Bacaan:
Bukhari, Muhammad bin Ismail al-. Tanpa Tahun. Shahih al-Bukhariy. Tanpa
Tempat: al-Sya'b
Buthi, Muhammad Sa'id Ramadhan. 1977. Dhawabith al-Mashlahah fi al-
Syari'ah al-Islam iyyah. Beirut: Muassasah al-Risalah.
Coulson, Noel J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence.
Chicago and London: The University of Chicago Press.
-------------- . 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: The University Press.
Departemen Agama RI. 1977. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran.
Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-. Tanpa Tahun. al-
Mushtasyfa. Jilid I. Tanpa Tempat: al-Amiriyyah.
Hassan, Husain Hamid. 1971. Nadhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy.
Beirut: Dar al-Nahdhah al-'Arabiyyah.
Jauziyyah, Ibn Qayyim al-. 1973. I'lam al-Muwaqqi'in. Jilid III. Beirut: Dar al-
Jail.
Khayyath, 'Abd al-'Aziz. 1977. Nadhariyyah al-'Urf. Omman: Maktabah al-
Aqsha.
Muslim, Tanpa Tahun. al-Jami' al-Shahih. Jilid IV. Mesir: al-Babi al-Halabi.
25
26. Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual
Tradition. Chicago and London: The University of Chicago Press.
-------------- . 1986. “Interpreting the Qur'an" dalam Inquiry. Mei 1986.
Ridha, Muhammad Rasyid. 1935. al-Wahy al-Muhammadiy. Mesir:
Mathba'ah al-Manar.
Suyuthi, Jalal al-Din al-. Tanpa Tahun. al-Asybah wa al-Nazha-ir. Mesir: al-
Babi al-Halabi.
Voll, John Obert. 1982. Islam: Continuity and Change in the Modern
World.Colorado: Westview Press.
Yamani, Ahmad Zaki. 1970. al-Syariah al-Khalidah wa Musykilah al-'Ashr.
Saudi: al-Dar al-Sa'udiyyah li al-Nasyr wa al-Tauzi'.
Zahrah, Muhammad Abu. 1974. al-'Uqubah. Tanpa Tempat: Dar al-Fikr
al-'Arabiy.
----------. Tanpa Tahun. Ushul al-Fiqh. Tanpa Tempat: Dar al-Fikr.
Khalîfah Dalam Kajian Tafsir
Tulisan ini akan mencoba melihat beberapa aspek dari ayat-
ayat al-Quran dan Hadis Rasulullah s.a.w. yang berbicara
tentang khalîfah dengan menggunakan metode tematik.
Namun, tidak dengan mengangkat seluruh ayat-ayat al-
Quran dan Hadis-hadis Rasulullah s.a.w. yang berbicara
26
27. tentang persoalan ini dalam berbagai redaksinya, karena hal
tersebut memerlukan penelitian yang sangat rumit dan
waktu yang cukup lama.
A. Arti Kata Khalîfah
Kata khalîfah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam al-
Quran, yaitu dalam QS al-Baqarah, 2: 30 dan QS Shâd, 38: 26.
ضِ رْ لَْ ا فيِ لٌ عِ جاَ نيّ إِ ةِ كَ ئِ لَ مَ لْ لِ كَ بّ رَ لَ قاَ ذْ إِ وَ
كُ فِ سْ يَ وَ هاَ فيِ دُ سِ فْ يُ نْ مَ هاَ فيِ لُ عَ جْ تَ أَ لواُ قاَ ةً فَ ليِ خَ
نيّ إِ لَ قاَ كَ لَ سُ دّ قَ نُ وَ كَ دِ مْ حَ بِ حُ بّ سَ نُ نُ حْ نَ وَ ءَ ماَ دّ ال
نَ موُ لَ عْ تَ لَ ماَ مُ لَ عْ أَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalîfah di muka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalîfah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
نَ يْ بَ مْ كُ حْ فاَ ضِ رْ لَْ ا فيِ ةً فَ ليِ خَ كَ ناَ لْ عَ جَ ناّ إِ دُ وُ داَ ياَ
لِ بيِ سَ نْ عَ كَ لّ ضِ يُ فَ وىَ هَ لْ ا عِ بِ تّ تَ لَ وَ قّ حَ لْ باِ سِ ناّ ال
بٌ ذاَ عَ مْ هُ لَ هِ لّ ال لِ بيِ سَ نْ عَ نَ لوّ ضِ يَ نَ ذيِ لّ ا نّ إِ هِ لّ ال
بِ ساَ حِ لْ ا مَ وْ يَ سواُ نَ ماَ بِ دٌ ديِ شَ
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalîfah (penguasa)
di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.
Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh al-Quran, yaitu:
(a) Khalâif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah QS
al-An'âm, 6: 165, QS Yûnus, 10: 14, 73, dan QS Fâthir, 35: 39.
27
28. (b) Khulafâ' terulang sebanyak tiga kali pada surah-surah: QS al-
A'râf, 7:69, 74, dan QS al-Naml, 27:62.
Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafâ' yang pada
mulanya berarti "di belakang". Dari sini, kata khalîfah seringkali diartikan
sebagai "pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada atau datang
di belakang, sesudah yang digantikannya).
Al-Raghib al-Isfahani, dalam Mufradât fî Gharîb al-Qur'ân,
menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu
atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun
sesudahnya. Lebih lanjut, al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan
tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau
ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat
penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan.
Tidak dapat disangkal oleh para mufasir bahwa perbedaan bentuk-
bentuk kata di atas (khalîfah, khalâif, khulafâ') masing-masing mempunyai
konteks makna tersendiri, yang sedikit atau banyak berbeda dengan yang
lain.
Kalau kita bermaksud merujuk kepada al-Quran untuk mengetahui
kandungan makna kata khalîfah (karena ayat al-Quran berfungsi pula
sebagai penjelas terhadap ayat-ayat lainnya), maka dari kata khalîfah yang
hanya terulang dua kali itu serta konteks-konteks pembicaraannya, kita
dapat menarik beberapa kesimpulan makna --khususnya dengan
memperhatikan ayat-ayat surah Shâd yang menguraikan sebagian dari
sejarah kehidupan Nabi Dawud.
Nabi Dawud a.s. sebagaimana diceritakan oleh al-Quran [QS al-
Baqarah, 2: 251), berhasil membunuh Jalut:
... كَ لْ مُ لْ ا هُ لّ ال هُ تاَ ءاَ وَ تَ لوُ جاَ دُ وُ داَ لَ تَ قَ وَ
ءُ شاَ يَ ماّ مِ هُ مَ لّ عَ وَ ةَ مَ كْ حِ لْ واَ
… dan Dawud membunuh Jalut. Allah memberinya
kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta mengajarkan-nya apa yang
Dia kehendaki ...
Jika demikian, kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Dawud a.s.
bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini
diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-
hikmah dan ilmu pengetahuan.
28
29. Makna "pengelolaan wilayah tertentu", atau katakanlah bahwa
pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik, dipahami pula
pada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafâ’: (Perhatikan ketiga ayat
yang ditunjuk di atas). Ini, berbeda dengan kata khalâ'if, yang tidak
mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita
dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan
politik dinamai oleh al-Quran khalâ'if; tanpa menggunakan bentuk mufrad
(tunggal). Tidak digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut
agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap
orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan
khalîfah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat
mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk
otoriter atau diktator.
Kalau kita kembali kepada ayat Al-Baqarah 30, yang menggunakan
kata khalîfah untuk Adam as., maka ditemukan persamaan-persamaan
dengan ayat yang membicarakan Dawud a.s., baik persamaan dalam
redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian.
Adam juga dinamai khalîfah. Beliau, sebagaimana Dawud, juga diberi
pengetahuan -- Wa 'allama Âdama al-asmâa kullahâ -- yang kekhalifahan
keduanya berkaitan dengan al-Ardh:
Innî jâ'ilun fi al-ardhi khalîfatan (Âdam) dan Ya Dâwûda innâ
ja'alnâka khalîfatan fi al-ardhi (Dâwûd).
Adam dan Dawud keduanya digambarkan oleh al-Quran sebagai
pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan. (Baca masing-masing QS al-
Baqarah, 2: 36, 37, dan QS Shâd, 38:22-25).
Sampai di sini, kita dapat mengambil kesimpulan sementara, yaitu:
(1) Kata khalîfah digunakan oleh al-Quran untuk siapa yang diberi
kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam
hal ini Dawud (947-1000 S.M.) mengelola wilayah Palestina,
sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas
mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah
kemanusiaan.
(2) Bahwa seorang khalîfah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat
melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu.
Karena itu, baik Adam maupun Dawud diberi peringatan agar tidak
mengikuti hawa nafsu. (Baca QS Thâhâ, 20: 16, dan QS Shâd, 38:
261).
29
30. B. Arti Kekhalifahan di Bumi
Muhammad Baqir al-Shadr, dalam bukunya, al-Sunan al-Târîkhiyyah
fî al-Qur'ân, yang antara lain mengupas ayat QS al-Baqarah, 2: 30 dengan
menggunakan metode tematik, mengemukakan bahwa kekhalifahan
mempunyai tiga unsur yang saling berkait. Kemudian, ditambahkannya
unsur keempat yang berada di luar, namun amat menentukan arti
kekhalifahan dalam pandangan al-Quran.
Ketiga unsur pertama adalah:
1. Manusia, yang dalam hal ini dinamai khalîfah.
2. Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat al-Baqarah sebagai ardh.
3. Hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk
dengan manusia.
Hubungan ini, walaupun tidak disebutkan secara tersurat dalam
ayat di atas, tersirat karena penunjukan sebagai khalîfah tidak akan ada
artinya jika tidak disertai dengan penugasan atau istikhlâf.
Itulah ketiga unsur yang saling kait-berkait, sedangkan unsur
keempat yang berada di luar adalah yang digambarkan oleh ayat tersebut
dengan kata innî jâ’ilun/innâ ja'alnâka khalîfatan yaitu yang memberi
penugasan, yakni Allah SWT. Dialah yang memberi penugasan itu dan
dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang
menugasinya.
Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam
sebagai khalîfah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal innî
(sesungguhnya Aku) dan dengan kata jâ'il yang berarti akan mengangkat.
Sedangkan pengangkatan Dawud dijelaskan dengan menggunakan kata
innâ (sesungguhnya Kami) dan dengan bentuk kata kerja masa lampau
ja'alnâka (Kami telah menjadikan kamu).
Kalau kita dapat menerima kaedah yang menyatakan bahwa
penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung
makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang
ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Dawud sebagai
khalîfah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat
(pengikut-pengikutnya). Adapun Adam, maka di sini wajar apabila
pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk tunggal, bukan saja disebabkan
karena ketika itu kekhalifahan yang dimaksud baru berupa rencana (Aku
30
31. akan mengangkat) tetapi juga karena ketika peristiwa ini terjadi tidak ada
pihak lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan tersebut.
Ini berarti bahwa Dawud -- dan semua khalîfah -- yang terlibat
dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk
memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena mereka ketika itu
termasuk pula sebagai mustakhlif.
Tidak dikkhawatirkan adanya perlakuan sewenang-wenang dari
khalîfah yang diangkat Tuhan itu, selama ia benar-benar menyadari arti
kekhalifahannya. Karena, Tuhan sendiri memerintahkan kepada para
khalîfah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta berlaku adil.
Memang, dalam sejarah, terdapat khalîfah-khalîfah yang berlaku
sewenang-wenang dengan alasan bahwa ia adalah wakil Tuhan di bumi.
Namun, di sini ia sangat keliru dalam memahami dan mempraktikkan
kekhalifahan itu.
Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia
dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara Penakluk dan
yang ditaklukkan, atau antara Tuan dengan hamba, tetapi hubungan
kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Karena, kalaupun
manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat
kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk
manusia.
Ini tergambar antara lain dalam firman-Nya, pada surah Ibrâhim, 14:
32 dan al-Zukhruf, 43: 13.
Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut adanya interaksi
antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai
dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya.
Semua itu harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil
memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya.
Dalam QS al-Zukhruf, 43: 32 ditegaskan:
مْ هُ نَ يْ بَ ناَ مْ سَ قَ نُ حْ نَ كَ بّ رَ ةَ مَ حْ رَ نَ موُ سِ قْ يَ مْ هُ أَ
مْ هُ ضَ عْ بَ ناَ عْ فَ رَ وَ ياَ نْ دّ ال ةِ ياَ حَ لْ ا فيِ مْ هُ تَ شَ عيِ مَ
ضاً عْ بَ مْ هُ ضُ عْ بَ ذَ خِ تّ يَ لِ تٍ جاَ رَ دَ ضٍ عْ بَ قَ وْ فَ
نَ عوُ مَ جْ يَ ماّ مِ رٌ يْ خَ كَ بّ رَ ةُ مَ حْ رَ وَ ياّ رِ خْ سُ
31
32. Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain (agar mereka dapat saling
mempergunakan). Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.
Adalah keliru, menurut hemat penulis, memahami arti: sukhriyyan
sebagai menundukkan. Tetapi, hubungan satu sama lain adalah hubungan
al-taskhîr, dalam arti semua dalam kedudukan yang sama dan yang
membedakan mereka hanyalah partisipasi dan kemampuan masing-
masing. Adalah logis apabila yang "kuat" lebih mampu untuk memperoleh
bagian yang melebihi perolehan yang lemah.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa keistimewaan tidak dimonopoli
oleh suatu lapisan atau bahwa ada lapisan masyarakat yang ditundukkan
oleh lapisan yang lain. Karena, jika demikian maknanya, maka ayat
tersebut di atas tidak akan menyatakan agar mereka dapat saling
mempergunakan.
Ayat di atas menggunakan kata sukhriyyan bukannya sikhriyyan,
seperti antara lain dalam surah al-Mu'minûn yang menggambarkan ejekan
dan tekanan yang dilakukan oleh satu kelompok kuat terhadap kelompok
lain yang dinamai oleh al-Quran: mustadh'afîn. Ayat yang menjelaskan
hubungan interaksi yang diridhai Allah adalah ayat yang menggunakan
kata sukhriyyan.
Al-Baydhawi menafsirkan QS al-Zukhruf, 43: 32 di atas dengan
menyatakan bahwa: "Sebagian manusia menjadikan sebagian yang lain secara
timbal-balik sebagai sarana guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka."
Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antar
sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi
tujuan dari segala etika agama. Keharmonisan hubungan inilah yang
menghasilkan etika itsar, sehingga etika agama tidak mengenal prinsip
"Anda boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain",
tetapi memperkenalkan "Mereka mendahulukan pihak lain atas diri mereka
walaupun mereka sendiri dalam kebutuhan." (QS al-Hasyr, 59: 9)
Di atas juga telah dikemukakan bahwa hanya kemampuan
(kekuatan) yang dapat membedakan seseorang dari yang lain, dan dari
keistimewaan inilah segala sifat terpuji dapat lahir.
32
33. Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau sikap terpuji,
karena ia adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang dalam menanggung
beban atau menahan gejolak keinginan negatif. Keberanian merupakan
kekuatan karena pemiliknya mampu melawan dan menundukkan
kejahatan. Dan kasih sayang dan uluran tangan adalah juga kekuatan;
bukankah ia ditujukan kepada orang-orang yang membutuhkan dan
lemah?
Demikianlah segala macam sikap terpuji atau etika agama.
Benar bahwa semakin kokoh hubungan manusia dengan alam raya
dan semakin dalam pengenalannya terhadapnya, akan semakin banyak
yang dapat diperolehnya melalui alam itu. Namun, bila hubungan itu
sampai disitu, pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan
penindasan manusia atas manusia. Inilah antara lain kandungan pesan
Tuhan yang diletakkan dalam rangkaian wahyu pertama.
Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan
interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti
akan semakin banyak yang dapat diman faatkan dari alam raya ini. Karena,
ketika itu mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama dan
Tuhan di atas mereka akan merestui. Hal ini terungkap antara lain melalui
surah al-Jin, 72: 16:
مْ هُ ناَ يْ قَ سْ لََ ةِ قَ ريِ طّ ال لىَ عَ مواُ قاَ تَ سْ ا وِ لَ نْ أَ وَ
ءً ماَ
Dan bahwasanya, jika mereka tetap berjalan lurus di jalan itu
(petunjuk petunjuk Ilahi), niscaya pasti Kami akan memberi mereka
air segar (rezeki yang melimpah).
Demikian itu dua dari hukum-hukum kemasyarakatan
(kekhalifahan) dari sekian banyak hukum kemasyarakatan yang
dikemukakan al-Quran sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi kekhalifahan,
yang sekaligus menjadi etika pembangunan.
Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan perkembangan
masyarakat, demikian kandungan ayat di atas. Perkembangan inilah yang
merupakan arah yang dituju oleh masyarakat religius yang Islami
sebagaimana digambarkan oleh al-Quran pada akhir surah al-Fath, yang
mengibaratkan masyarakat Islam yang ideal:
33
34. لىَ عَ ءُ داّ شِ أَ هُ عَ مَ نَ ذيِ لّ واَ هِ لّ ال لُ سوُ رَ دٌ مّ حَ مُ
نَ غوُ تَ بْ يَ داً جّ سُ عاً كّ رُ مْ هُ راَ تَ مْ هُ نَ يْ بَ ءُ ماَ حَ رُ رِ فاّ كُ لْ ا
مْ هِ هِ جوُ وُ فيِ مْ هُ ماَ سيِ ناً واَ ضْ رِ وَ هِ لّ ال نَ مِ لً ضْ فَ
مْ هُ لُ ثَ مَ وَ ةِ راَ وْ تّ ال فيِ مْ هُ لُ ثَ مَ كَ لِ ذَ دِ جوُ سّ ال رِ ثَ أَ نْ مِ
هُ رَ زَ فآَ هُ أَ طْ شَ جَ رَ خْ أَ عٍ رْ زَ كَ لِ جيِ نْ لِْ ا فيِ
عَ راّ زّ ال بُ جِ عْ يُ هِ قِ سوُ لىَ عَ وىَ تَ سْ فاَ ظَ لَ غْ تَ سْ فاَ
نواُ مَ ءاَ نَ ذيِ لّ ا هُ لّ ال دَ عَ وَ رَ فاّ كُ لْ ا مُ هِ بِ ظَ غيِ يَ لِ
ماً ظيِ عَ راً جْ أَ وَ ةً رَ فِ غْ مَ مْ هُ نْ مِ تِ حاَ لِ صاّ ال لواُ مِ عَ وَ
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka
tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat
mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak
lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-
penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar (QS al-
Fath, 48:29)
Keharmonisan tidak mungkin tercipta kecuali jika dilandasi oleh
rasa aman. Karena itu pula, setiap aktivitas istikhlâf (pembangunan) baru
dapat dinilai sesuai dengan etika agama apabila rasa aman dan sejahtera
menghiasi setiap anggota masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan
yang dihiasi oleh etika agama adalah "yang mengantar manusia menjadi
lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut".
Kalau hal ini dikaitkan dengan kisah kejadian manusia, maka dapat
pula dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan dalam pandangan
agama adalah pada saat manusia berhasil mewujudkan bayang-bayang
surga di persada bumi ini.
34
35. Adam dan Hawa sebelum diperintahkan turun ke bumi, hidup
dalam ketenteraman dan kesejahteraan. Tersedia bagi mereka sandang,
pangan, dan papan; dan ketika itu mereka diperingatkan agar jangan
sampai terusir dari surga karena akibatnya mereka akan bersusah payah
memperolehnya (QS Thâhâ, 20: 117-119). Mereka juga diharapkan agar
mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi, karena dengan demikian mereka tidak
akan merasa takut atau merasa sedih.
Agama tidak mendefinisikan perkembangan masyarakat dan tujuan
pembangunan sebagai pertambahan barang atau kecepatan pelayanan.
Dalam hal ini Nabi s.a.w.. bersabda:
Barangsiapa yang tidak berpendapat bahwa Tuhan memiliki
anugerah untuknya selain dari makanan, minuman dan kendaraan,
maka sesungguhnya ia telah membatasi usahanya dan mempercepat
kehadiran ajalnya.
Arah yang dituju oleh istikhlâf adalah kebebasan manusia dari rasa
takut, baik dalam kehidupan dunia ini atau yang berkaitan dengan
persoalan sandang, pangan dan papan, maupun ketakutan-ketakutan
lainnya yang berkaitan dengan masa depannya yang dekat atau yang jauh
di akhirat kelak. Ayat-ayat yang berbicara tentang: lâ khauf 'alayhim wa lâ
hum yahzanûn tidak harus selalu dikaitkan dengan ketakutan dan kesedihan
di akhirat, tetapi dapat pula mencakup ketakutan dan kesedihan dalam
kehidupan dunia ini.
Untuk mencapai rasa aman tersebut, ada sekian banyak sikap yang
dituntut oleh agama dari para pemeluknya. Prof. Mubyarto
mengemukakan lima hal pokok untuk mencapai hal tersebut:
1. Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan ia harus
bebas dari ancaman dan bahaya pemerkosaan.
2. Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan
menghabiskan tenaganya.
3. Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya
sesuai dengan cita-citanya.
4. Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan
kemampuannya.
5. Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak
semata-mata menjadi objek penentuan orang lain.
35
36. Di sisi lain harus pula diingat bahwa kekhalifahan seperti telah
dikemukakan di atas mengandung arti bimbingan agar setiap makhluk
mencapai tujuan penciptaannya.
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa unsur keempat yang disebut
di atas, digambarkan oleh al-Quran dalam dua bentuk:
(1) Penganugerahan dari Allah (Innî jâ’il fi al-ardh khalîfah).
(2) Penawaran dari-Nya yang disambut dengan penerimaan dari
manusia, sebagaimana yang tergambar dalam surah al-Ahzab, 33:
72:
ضِ رْ لَْ واَ تِ واَ مَ سّ ال لىَ عَ ةَ نَ ماَ لَْ ا ناَ ضْ رَ عَ ناّ إِ
هاَ نْ مِ نَ قْ فَ شْ أَ وَ هاَ نَ لْ مِ حْ يَ نْ أَ نَ يْ بَ أَ فَ لِ باَ جِ لْ واَ
لً هوُ جَ ماً لوُ ظَ نَ كاَ هُ نّ إِ نُ ساَ نْ لِْ ا هاَ لَ مَ حَ وَ
Sesungguhnya kami menawarkan al-amanah kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, namun mereka semua enggan dan kuatir, lalu
(Kami tawarkan kepada manusia) maka mereka pun menerimanya,
sesungguhnya mereka sangat aniaya lagi bodoh.
Tentu yang dimaksud dengan kecaman di atas adalah sebagian
manusia, dan dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa dalam
tugas kekhalifahan ada yang berhasil dengan baik dan ada pula yang gagal.
Kesimpulan ini diperkuat pula oleh isyarat yang tersirat dari jawaban Allah
atas pertanyaan malaikat:
... ءَ ماَ دّ ال كُ فِ سْ يَ وَ هاَ فيِ دُ سِ فْ يُ نْ مَ هاَ فيِ لُ عَ جْ تَ أَ
نيّ إِ لَ قاَ كَ لَ سُ دّ قَ نُ وَ كَ دِ مْ حَ بِ حُ بّ سَ نُ نُ حْ نَ وَ
نَ موُ لَ عْ تَ لَ ماَ مُ لَ عْ أَ
… apakah engkau akan menjadikan di sana (bumi) siapa yang
merusak dan menumpahkan darah sedang kami bertasbih dan
memuji engkau? Tuhan berfirman (menjawab): "Aku tahu apa yang
kalian tidak ketahui." (QS al-Baqarah, 2: 30).
Dari sini kita dapat beralih untuk melihat lebih jauh apa saja sifat-
sifat khalîfah yang terpuji dan apa pula ruang lingkup tugas-tugas mereka.
36
37. C. Sifat-sifat Terpuji Seorang Khalîfah
Al-Tabrasi, dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa kata Imâm
mempunyai makna yang sama dengan khalîfah. Hanya saja --katanya lebih
lanjut -- kata Imâm digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari
kata yang mengandung arti "depan" yang berbeda dengan khalîfah yang
terambil dari kata "belakang".
Ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi tentang sifat-sifat
terpuji dari seorang khalîfah dengan menelusuri ayat-ayat yang
menggunakan kata Imâm.
Dalam al-Quran, kata Imâm terulang sebanyak tujuh kali dengan
makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu pada arti
"sesuatu yang dituju dan atau diteladani" Arti-arti tersebut adalah:
(a) Pemimpin dalam kebajikan, yaitu pada al-Baqarah, 2: 124 dan al-
Furqân, 25: 74.
(b) Kitab amalan manusia, yaitu pada al-Isrâ', 17: 71.
(c) Al-Lawh Al-Mafhuzh, yaitu pada Yâsîn, 36: 12.
(d) Taurât, yaitu pada Hûd, 11: 17 dan al-Ahqâf, 46: 12.
(e) Jalan yang jelas, yaitu pada al-Hijr, 15: 79.
Dari makna-makna di atas terlihat bahwa hanya dua ayat yang
dapat dijadikan rujukan dalam persoalan yang sedang dicari jawabannya
ini, yaitu ayat al-Baqarah, 2: 124 yang berbunyi:
نيّ إِ لَ قاَ نّ هُ مّ تَ أَ فَ تٍ ماَ لِ كَ بِ هُ بّ رَ مَ هيِ راَ بْ إِ لىَ تَ بْ ا ذِ إِ وَ
لُ ناَ يَ لَ لَ قاَ تيِ يّ رّ ذُ نْ مِ وَ لَ قاَ ماً ماَ إِ سِ ناّ للِ كَ لُ عِ جاَ
نَ ميِ لِ ظاّ ال ديِ هْ عَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imâm bagi
seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-
orang yang zalim".
dan ayat QS al-Furqân, 25: 74, yang berbunyi:
37
38. ناَ تِ ياّ رّ ذُ وَ ناَ جِ واَ زْ أَ نْ مِ ناَ لَ بْ هَ ناَ بّ رَ نَ لوُ قوُ يَ نَ ذيِ لّ واَ
ماً ماَ إِ نَ قيِ تّ مُ لْ لِ ناَ لْ عَ جْ واَ نٍ يُ عْ أَ ةَ رّ قُ
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang
hati (kami), dan jadikanlah kami imâm bagi orang-orang yang
bertakwa.
Ayat yang terakhir ini, sebagaimana terlihat, hanya mengandung
permohonan untuk dijadikan Imâm (teladan) bagi orang-orang yang
bertakwa sehingga tinggal ayat al-Baqarah yang diharapkan dapat
memberikan informasi.
Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim a.s. dijanjikan Allah untuk
dijadikan Imâm (Innî jâ'ilûka li al-nâs imâmâ), dan ketika beliau bermohon
agar kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya, Allah SWT
menggarisbawahi suatu syarat, yaitu: lâ yanâlu 'ahdiya al-zhâlimîn (Janji-Ku
ini tidak diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).
Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan demikian, dari
ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat adil, baik terhadap diri,
keluarga, manusia dan lingkungan, maupun terhadap Allah.
Perlu sekali lagi diingatkan bahwa para khalîfah yang disebut
namanya dalam al-Quran (Adam dan Dawud a.s.) keduanya pernah
melakukan penganiayaan, baik terhadap diri maupun terhadap orang lain.
Namun, mereka berdua bertobat dan mendapat pengampunan.
Peristiwa Adam dan penyesalannya cukup populer (baca antara lain
QS al-A’râf, 7: 23), sedangkan "penganiayaan" yang dilakukan oleh Dawud
dapat terlihat pada kisah dua orang yang bertikai dan datang kepadanya
meminta putusan (QS Shad, 38: 22, dan seterusnya).
Menarik untuk dianalisis bahwa kedua orang yang bertikai itu
berkata kepada Dawud:
ءِ واَ سَ لىَ إِ ناَ دِ هْ واَ طْ طِ شْ تُ لَ وَ قّ حَ لْ باِ ناَ نَ يْ بَ مْ كُ حْ فاَ
طِ راَ صّ ال
Berilah keputusan antara kami dengan hak/adil dan janganlah
menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan lurus.
38
39. Dari ucapan kedua orang yang bertikai itu (yang pada hakikatnya
tidak bertikai tetapi cara yang dilakukan Tuhan untuk memperingatkan
Dawud), terlihat betapa Tuhan menekankan pentingnya keadilan sampai-
sampai permintaan untuk memberi putusan yang hak diikuti lagi dengan
peringatan agar tidak menyimpang dari kebenaran yang pada dasarnya
mengandung makna yang sama dengan permintaan pertama, bahkan
walaupun Dawud telah bertobat dan diterima tobatnya (QS 38:24-25).
Namun, perintah untuk berlaku adil yang dikaitkan dengan tidak
mengikuti hawa nafsu masih tetap ditekankan:
مْ كُ حْ فاَ ضِ رْ لَْ ا فيِ ةً فَ ليِ خَ كَ ناَ لْ عَ جَ ناّ إِ دُ وُ داَ ياَ
وىَ هَ لْ ا عِ بِ تّ تَ لَ وَ قّ حَ لْ باِ سِ ناّ ال نَ يْ بَ ...
Wahai Dawud, Kami telah menjadikan kamu khalîfah di bumi, maka
berilah putusan antara manusia dengan haq (benar) dan janganlah
mengikuti hawa nafsu ... (QS Shâd, 38: 26)
Memberi keputusan yang adil saja dan tidak mengikuti hawa nafsu,
belum memadai bagi seorang khalîfah. Tetapi, ia harus mampu pula untuk
merealisasikan kandungan permintaan kedua orang yang berselisih itu,
yakni Wa ihdinâ ilâ s.a.w.â' al-shirâth.
Memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya dengan sifat-sifat
terpuji seorang khalîfah, baru akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan ayat-
ayat yang berbicara tentang Imâm/aimmah, dalam kaitannya dengan
pemimpin-pemimpin yang menjadi teladan dalam kebaikan. Untuk
maksud tersebut, terlebih dahulu, kita akan membuka lembaran-lembaran
al-Quran untuk melihat ayat-ayat yang dimaksud.
Kata aimmah terdapat dalam lima ayat al-Quran. Dua di antaranya
dalam konteks pembicaraan tentang pemimpin-pemimpin yang diteladani
orang-orang kafir, yakni al-Taubah, 9: 9, dan al-Qashash, 28: 4. Sedangkan
tiga lainnya berkaitan dengan pemimpin-pemimpin yang terpuji, yaitu al-
Anbiyâ', 21: 73, al-Qashash, 28: 5, dan al-Sajdah, 32: 24.
Kalau ayat-ayat di atas diamati, nyatalah bahwa QS al-Qashash, 28: 5
tidak mengandung informasi tentang sifat-sifat pemimpin. Dan ini berbeda
dengan kedua ayat lainnya yang saling melengkapi.
Ada lima sifat pemimpin terpuji yang diinformasikan oleh gabungan
kedua ayat tersebut, yaitu:
1. Yahdûna bi amrinâ.
39
40. 2. Wa awhaynâ dayhim fi'la al-khayrât.
3. 'Âbidin (termasuk Iqâm al-Shalâh dan Îtâ' al-Zakâh).
4. Yüqinün.
5. Shabarü.
Dari kelima sifat tersebut al-shabr (ketekunan dan ketabahan),
dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan: wa ja’alnâhum aimmâtan
lammâ shabarû. Seakan-akan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang
khalîfah, sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang
melekat pada diri mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam
kenyataan.
Di atas telah dijanjikan untuk membicarakan arti: wa ihdinâ ilâ s.a.w.â
al-shirâth (QS Shâd, 38: 26), yang merupakan salah satu sikap yang dituntut
dari seorang khalîfah, setelah memperhatikan kandungan ayat-ayat yang
berbicara tentang aimmah. Dalam surah Shâd tersebut, redaksinya berbunyi:
wa ihdinâ ilâ ..., sedang dalam ayat-ayat yang berbicara tentang a'immât
yang dikutip di atas, redaksinya berbunyi: yahdûna bi amrinâ. Salah satu
perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdî. Yang pertama menggunakan
huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila. Al-Raghib al-Isfahani menjelaskan
bahwa kata hidayat apabila menggunakan ila, maka ia berarti sekadar
memberi petunjuk; sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi,
yakni "memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa
yang dikehendaki oleh yang diberi petunjuk". Ini berarti bahwa seorang
khalîfah minimal mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya
dan yang lebih terpuji adalah mereka yang dapat mengantarkan umatnya
ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau, dengan kata lain, seorang khalîfah
tidak sekadar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh
sosialisasinya.
Hal ini mereka capai karena kebajikan telah mendarah daging dalam
diri mereka. Atau, dengan kata lain, mereka memiliki akhlak luhur
sebagaimana yang dapat dipahami dari sifat kedua yang disebutkan di
atas, yakni: wa awhaynâ ilayhim fi'la al-khayrât.
Jika seorang berkata, "yu'jibunî an taqûma", maka ini berarti bahwa
lawan bicaranya ketika itu belum berdiri dan ia akan senang melihatnya
berdiri. Pengertian ini dipahami dari adanya huruf an pada susunan
redaksi tersebut. Sedangkan bila dikatakan, "yu'jibunî qiyâmuka", maka
redaksi yang tidak menggunakan an ini mengandung arti bahwa lawan
bicaranya sudah berdiri dan si pembicara menyampaikan kepadanya
40
41. kekagumannya atas berdirinya itu. Demikian uraian Abdul-Qadir Al-
Jurjani yang disederhanakan dari Dalâil al-I’jâz.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang
khalîfah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat luhur yang telah
membudaya pada dirinya.
Yûqinûn dan 'âbidin merupakan dua sifat yang berbeda. Yang
pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di dalam dada
mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan keadaan nyata mereka.
Kedua sifat ini sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu untuk diuraikan
lebih jauh.
D. Ruang Lingkup Tugas-tugas khalîfah
Di atas telah diuraikan bahwa seorang khalîfah adalah siapa yang diberi
kekuasaan mengelola suatu wilayah, baik besar atau kecil. Cukup banyak
ayat yang menggambarkan tugas-tugas seorang khalîfah. Namun, ada suatu
ayat yang bersifat umum dan dianggap dapat mewakili sebagian besar ayat
lain yang berbicara tentang hal di atas, yaitu:
ةَ لَ صّ ال مواُ قاَ أَ ضِ رْ لَْ ا فيِ مْ هُ ناّ كّ مَ نْ إِ نَ ذيِ لّ ا
نِ عَ واْ هَ نَ وَ فِ روُ عْ مَ لْ باِ رواُ مَ أَ وَ ةَ كاَ زّ ال واُ تَ ءاَ وَ
رِ كَ نْ مُ لْ ...ا
Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang
munkar ... (QS al-Hajj, 22:41)
Mendirikan shalat merupakan gambaran dari hubungan yang baik
dengan Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan gambaran dari
keharmonisan hubungan dengan sesama manusia. Ma'rûf adalah suatu
istilah yang berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh
agama, akal dan budaya, dan sebaliknya dari munkar.
Dari gabungan itu semua, seseorang yang diberi kedudukan oleh
Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan
suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan
masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara.
Islam dan Politik:
Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan
41
42. Prolog:
“Apakah selamanya politik itu kejam”, begitulah ungkapan Iwan Fals
dalam lagunya “Setan-setan politik”. Ternyata politik itu memang
kejam dan lebih kejam dari ibu kota, artinya, politik di kampung saya
saja kejam, apalagi politik di ibu kota, wajar saja jika saya
menganggap bahwa politik itu tidaklah kejam, melainkan karena ulah
sebagian besar Polytikus (Banyak Tikus) yang menggerogoti setiap
dapur, berlompat dan berlari di atas balkon, bahkan tidak pernah jijik
meski harus bersembunyi di dalam comberan yang menghambat
mengalirnya air yang menyebabkan rumahku kebanjiran oleh air mata
orang-orang yang tak berdosa,hingga politik itu kini berubah menjadi
limpah yang sangat mencemarkan lingkungan. Ternyata anggapan
saya sedikit keliru, namun kekeliruan tersebut malah diperkuat oleh
sebagian besar pendapat dan asumsi orang terhadap politik itu sendiri
berdasarkan hasil prakteknya dalam masyarakat, tidak heran jika
Polytikus akan mendapat sorotan sinis dan cibiran. Yang anehnya lagi,
meski politik telah tercap kotor, malah partai politik di Indonesia yang
berlabelkan islam semakin menjamur, hal itu adalah suatu
kebanggaan yang sangat besar yang pantas dibanggakan, dimana
semakin banyaknya peluang kursi yang akan diduduki oleh orang
muslim dalam mengurus negara,akan tetapi perlunya diingat, dimana-
mana orang apabila telah duduk maka ia akan malas untuk berdiri
dan apabila ia telah makan maka ia akan lemas dan nyenyak bersama
mimpi-mimpi indah. Olehnya itu, perlu kiranya dilirik kembali
bagaimana politik dalam islam itu sendiri agar terlepas dari sarang
tikus. (http://luluvikar.wordpress.com/2004/11/27/islam-dan-
politik/)
A. Mukadimah
Untuk kesekian kalinya kita akan coba bahas hubungan agama dan
politik dalam Islam. Ibaratkan menimba air Zamzam di Tanah Suci,
pembicaraan tentang masalah ini tidak akan ada habis-habisnya. Pertama,
disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah
akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan
peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap
pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau
beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh
42
43. akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga
kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke dalam
reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga,
pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus
berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan
pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan
kaum Muslim sendiri.
Sekali pun begitu, dorongan untuk terus melakukan pembahasan
tentang masalah ini tetap dirasakan penting dan punya relevansi dengan
perkembangan zaman. Tidak saja Dunia Islam sekarang mengenal berbagai
sistem politik yang berbeda-beda, jika tidak malah bertentangan, satu sama
lain. Lebih penting lagi, seperti tercermin dalam berbagai tema
pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta maupun
pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri tentang perlunya
memberi jawaban yang benar dan konstruktif terhadap tantangan zaman
mutakhir. Harapan untuk dapat melakukannya dengan baik antara lain
akan tumbuh jika ada kejelasan tentang persoalan yang amat prinsipil,
yaitu persoalan hubungan yang benar antara agama dan politik dalam
Islam.
Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan
meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah
sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak
terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat
dibedakan. Agama adalah wewenang shâhib al-syarî'ah (pemilik syari'ah),
yaitu Rasulullah s.a.w., melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya
dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang
kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis
struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran
ijtihadi manusia.
Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau
bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis,
khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk
apa" tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas
dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh
kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa
politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan
formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah
wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang
43
44. sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari
agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam
sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan
dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara
doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).
Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu
dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad
s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai
seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin
masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran
sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh
dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang
suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara,
beliau melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang
dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain
dan meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala
negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan
ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya
merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka
hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan
pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak
diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa
beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan
tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul
di pihak lain telah membuat seorang tokoh yang paling berhasil dalam
sejarah umat manusia.1
B. Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah
Pembicaraan tentang agama dan politik dalam Islam tidak
sepenuhnya absah tanpa pembicaraan tentang masyarakat Madinah,
khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu pembicaraan baru,
meskipun di sini akan dicoba tekankan segi-segi tertentu yang dirasa
paling relevan dengan persoalan kontemporer Islam dan politik.
Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan
oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota
itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama
Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-
1Misalnya, sebagaimana ditulis oleh Michael H. Hart dalam bukunya tentang
seratus tokoh dunia, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
44