Siapakah an nafs al-muthmainnah tafsir qs al-fajr ayat 27-30
1. Siapakah an-Nafs al-Muthmainnah?
Tafsir QS al-Fajr/89: 27-30
(Disampaikan dalam acara Pengajian Ba’da Subuh, Ahad 24 November
2013, di Masjid Margo Mulyo, Nagan Tengah, Kelurahan Patehan,
Kecamatan Kraton, Yogyakarta)
Iftitâh
An-Nafs (Jiwa) adalah potensi yang terdapat dalam diri setiap
manusia. Semua orang akan mengalami perkembangan jiwanya, selaras
dengan berjalannya waktu. Setiap orang yang senantiasa berkesediaan
untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dirinya akan merasakan
ketenangan dan ketenteraman dalam jiwanya, tenang dan tenteram baik
ketika ditimpa musibah maupun mendapatkan nikmat. Jika ia mendapatkan
musibah, ia ridha terhadap taqdir Allah dan jika kehilangan sesuatu, ia tidak
berputus asa. Bahkan jika ia mendapatkan nikmat, tidak lupa diri, Ia
senantiasa berada dalam sikap sabar dan syukur. Inilah yang oleh Allah
disebut sebagai an-Nafs al-Muthmainnah, jiwa yang tenang dan tenteram
dalam keimanan, dan tak pernah tergoyahkan oleh keragu-raguan (syubhat).
Jiwa yang senantiasa memiliki kerinduan untuk bertemu dengan Allah,
Tuhan yang selalu ada di dalam hatinya.
Dalam kaitannya dengan hal ini Allah berfirman,
﴿ ي ا﴿ أيته ا﴿ النفا ُ لطمئنة﴿ ﴿٧٢﴾﴿ ارجعع ي
جِْعِّنِع
ُ ﴿٢َِّئَمِْئَمِْئَّنِة
ُ ﴿٢ةَِّئَمْس﴿ ا
َتَّ٢﴿ ُ ا
َِئ
﴿ ل﴿ اَِبك﴿ راضية﴿ مرضية﴿ ﴿٨٢﴾﴿ فع ادخل ي﴿ يِع
ىَع جْ٢﴿ ُّنِ ف
ً ﴿٢َّىَ ر ِكّّنِ اَ ّنِِئَ٢﴿ ً تَّجّْنِت
ٰ إبَر
٣٠﴿ ﴿﴿ ﴾عب اد ي﴿ ﴿٩٢﴾﴿ وادخل ي﴿ جنت
ِِئَ جْ٢﴿ ُّنِ اَةَّي
ِّنِِئَ ّن
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha (puas)
lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke
dalam surga-Ku.” (QS al-Fajr/89: 27-30)
Tafsir Mufradat:
ُ ةَِّئَمْا
النفس
Kata nafs merupakan satu kata yang memiliki banyak makna atau
lazim disebut lafazh musytarak dan harus difahami sesuai dengan
penggunaannya. Menjadi satu catatan penting bagi siapa pun yang ingin
memahami lafazh musytarak untuk bisa memahami makna yang
sebenarnya dituju hingga tidak mengurangi kualitas penafsirannya, juga
1
2. tidak menggunakan satu makna saja dalam berbagai kondisi yang berbeda.
Lafazh musytarak terkadang digunakan dan mengandung pengertian
beberapa makna, namun terkadang pula mengandung pengertian semua
makna yang mewakilinya.
Kata nafs dalam al-Quran memiliki beberapa makna.
Pertama, artinya jiwa atau sesuatu yang memiliki eksistensi dan
hakikat. Nafs dalam pengertian ini terdiri atas tubuh dan ruh, sebagaimana
tampak dalam al-Quran, QS al-Mâidah/5: 45,
ِةَِّئَمْس﴿ ِعِع ةَِّئَمِْع
﴿ ِئَكتبن ا﴿ عليهم﴿ فيه ا﴿ أن﴿ النفِئَ ِبع النفس
َّة
َوىَىَف ْىَ اَىَف ِْعِف ْ ّنِ ا
َِئَ ِئَمْ يع ِبع ِئَمْ ِئَمْ ِئَ أْل ِفنع ف﴿ ِعِ ع اىَ ّنِ وا٢﴿ ُ٢﴿ ُى
﴿ وال اَِئَمْ ع﴿ ِعِ ع ال اَي﴿ واىَ ع اَ ِبع أْل ِفنف﴿ ِئَ أْلذن
ِعّن
َعى
﴿ ِعِ أْلذن﴿ ِئَ ِسةَّ ِب ال ِكِّن﴿ ِئَ لروح﴿ قص ا ۚ﴿ ﴿ فمِن
َِئَمْ َحوُ ِئَ ّنِِئَ ص ىَِئ
ٌ
ُ ﴿٢ِب ا٢﴿ ُ٢﴿ ُِعِ وال ِكِّن﴿ ِعِ ِساَو ّ وا
﴿ تصدىَ ِبه﴿ فهو﴿ كف ارة﴿ ل ۚ﴿ ﴿ ِئَِئَ ةَّ ي٢﴿ ُ ب ا
َىَِئَقَّق﴿ ِعِّنِ ىَ َحوُِئَ ىَةَّ اَل ٌ ةَّه ومِن﴿ ِئَمْ ىَكم﴿ ى
ِِع
ْل﴿ ِئَم
ُ َحو
َّنِ ى
أ ِفنزىَ لل﴿ فُأولعئك﴿ هم﴿ الةَّ لون
ُ ﴿٢ظ ا
ُ ةَّ ىَ ىَبَر ّٰنِىَ َحوُا
ُ ﴿٢ىَل﴿ ا
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa
yang melepaskan (hak qishash)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus
dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
Atau pada QS as-Sajdah/32: 13,
ْوىَف ْ ّنِِئَمْىَ آَىَف ْىَ ٢﴿ ُل﴿ ىَِئَمْه ٍ َحوُ اَ اَ ِئَىَبَر ٰ كِئَم
﴿ ِئَلو﴿ شئن ا﴿ لتين ا﴿ كةَّ ِفنفس﴿ هداه ا﴿ ولععّنِِن
ِِئَمْةَّ ّن
﴿ اَق﴿ القعول﴿ ّنِِنع أَلف ْأَلن﴿ جهنعم﴿ معىَ لنعة
ِحقَّ ِئَمْىَ ف ْ٢﴿ ُ مل يّع﴿ ىَمىَةَّ اَ اَةَّ ِئَ ّنِعِن﴿ اّن
َِئَمّْنِى
﴿ ﴿ والن اِعِ جعي
َِئَ ةَّ س﴿ أى
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa
petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu: "Sesungguhnya akan
aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama."
Kedua, artinya nyawa yang memicu adanya kehidupan. Apabila
nyawa hilang maka kematian pun menghampiri. Nafs dalam makna ini
tampak dalam QS al-An'âm/6: 93,
ْ ف
للع﴿ كعّنِِب ا﴿ أو
ًةَّع ىَ ذ ا
ِ﴿ ِئَِئَِن﴿ أظلا ُ ّنِِن﴿ اِئَمْتى﴿ علع ى﴿ اّن
ىَلَع ٰ اَىَع
َومِئَمْ ِئَمْىَ مِعِ فى
َّم﴿ ة
﴿ ق ال﴿ أوحِئَ ل﴿ ِئَل﴿ يوح﴿ إليعه﴿ شع يء﴿ ومعِن
ىَ ىَ ا ُ ِئَ ىَف ْ ّنِ ىَعف ْل ٌ ِئَِئَع
ّْنِ ي﴿ إةَّ وِئَم
َىَ ى
ٰ لل ِئَىَف ْ ىَ اَلَع
﴿ ق ال﴿ سُأ ِفنزل﴿ مثل﴿ م ا﴿ أ ِفنزىَ ۗ﴿ ﴿ ولو﴿ تععرى
ُ ﴿٢ىَل﴿ ا
َّة
َىَ ىَ ِئَ ِعِ٢﴿ ُ ّنِِئَمْىَ ِئ
2
3. ُ ﴿٢ َِئَمْآَّنِى
﴿ إذ﴿ الةَّ لون﴿ ف﴿ غمعراّنِ لعوت﴿ ِئَ للئكعة
َِئَمْ ف ّْنِ واى
َّنِ ىَ يِ ىَِئَ اَ ت﴿ اى
ُ ﴿٢ظ ا
ِّن
َفِئَ٢﴿ ُم ِئَمِْئَ ف ِْئ
﴿ ِب اسطو﴿ أيديهم﴿ أخرجوا﴿ أ ِفن٢﴿ ُِسك ۖ﴿ ﴿ اليععوم
ُ ا
ُف ّْنِ ِعِف ْ ِئَمِْعِ َحو
ُ ﴿٢ِِئَ ّن
٢﴿ ُزون﴿ عذاِئَ لوِعِ ب ا﴿ كنتم﴿ تقولون﴿ علع ى
ِعِ ٢﴿ ُ ٢﴿ ُف ْ ىَ٢﴿ ُ ٢﴿ ُ ىَ اَىَع
َِئَمْ ن﴿ ى
ُ ﴿٢﴿ ِئَمْىَف ْىَ اَىَ ب﴿ ا
ت
َةَّ غىَ ِئَمْل يّ ِئَ٢﴿ ُ ٢﴿ ُف ْ عِئَمْ ِئَ ّنِّنِ تف ْىَ ِعِ ى
لل﴿ ىَجْ لق﴿ وكنتم﴿ اَِن﴿ آي اته﴿ ىَِستِئَمْبون
ُ ﴿٢ك
َاّنِ ي﴿ اى
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap
Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada yang
diwahyukan sedikit pun pun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan
menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah dahsyatnya sekiranya
kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakaratul
maut, sedang para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
"Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat
menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang
tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.”
Ketiga, berarti diri atau suatu tempat di mana hati nurani
bersemayam. Nafs dalam artian ini selalu dinisbatkan kepada Allah dan juga
kepada manusia sebagaimana tampak dalam QS Âli ‘Imrân/3: 28,
﴿ ل﴿ يتخّنِ لؤمنون﴿ الك افِعِ ِن﴿ أولي اء﴿ معِن
ِئَمْجّْنِ٢﴿ ُ ىَ ِئَمْىَ ّنِريىَ ف ّْنِِئَ ىَ ّنِع
ُ ﴿٢ّ ِئَةَّّنِذ﴿ ا
َِئَمْجّْنِّنِي ِئَِئَ ِئَِئَمْ اَ بَر ٰلىَ ىَىَيع ِئَ ّنِ عى
﴿ دوِعِ لؤمن ۖ﴿ ﴿ ومِن﴿ يفعِئَمْ ذّنِك﴿ فلف ْ عس﴿ مع ِن
َل﴿ ى
َى
ُ ﴿٢ َحوُ ن﴿ ا
﴿ۗ ﴿ لل﴿ ف﴿ ىَ يء﴿ إل﴿ أن﴿ تتق عوا﴿ منه عم﴿ تق ع ا
ً ﴿٢ ّنِِئَمْ َحوُ ف ْ ٢﴿ ُىَع
ة
ىَةَّ٢﴿ ُع
ّ ٍ ةَّ يِ شف ْإ
ِاّن
ُلل﴿ ىَفِئَه ِئَ ل﴿ اّنِ ِئَمّْنِ َحو
ِئَيذركا ُ ةَّ ِفنِئَمِْس ۗ﴿ ﴿ وإىَ ةَّ لصي
َلل﴿ اى
ُ َحو
ُ ﴿٢٢﴿ ُاَو ّ َحوُ٢﴿ ُم﴿ ا
َوى
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali [Wali
jamaknya auliyâ’: berarti teman yang akrab; juga bisa berarti pemimpin, pelindung
atau penolong] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali-(mu).”
Atau pada QS al-Mâidah/5: 116,
َ ا
ِبعِن﴿ مجْيع﴿ أأ ِفنعت
﴿ وإذ﴿ ق اىَ لل﴿ ي ا﴿ ّنِ ِس ى﴿ اف ْعىَ ِئَ اَع
َرى
َةَّ ِئَ عيِئ
ُ ﴿٢ِئَ ِئَمْ ىَ ل﴿ ا
ِةَّذوّنِ ِئَ مِئَ ىَبَر ٰ ِئَمْ ّنِ َحوُ ِع
﴿ قلت﴿ للن اِعِ ت٢﴿ ُ ِفن ي﴿ وأ ِكّ ي﴿ إلع اَي﴿ مِن﴿ دون
ِهّن
ِ٢﴿ ُِئَمْ اَ ّنِ ةَّ س﴿ اّن
َلل ىَ ىَ ا ُف ْح اىَىَ ِئَ ِئَ٢﴿ ُ ٢﴿ ُ لع ِئَمْ قع ى
﴿ ۖ﴿ ﴿ ق ال﴿ سب اَ ِفنك﴿ م ا﴿ يكون﴿ يِ ع﴿ أن﴿ أ٢﴿ ُ عول
ِاّن
َّة
﴿ۚ ﴿ م ا﴿ ليس﴿ يِ ب ۚ﴿ ﴿ إن﴿ كنت﴿ قلته﴿ فقد﴿ علمت
ُ َحو
٢﴿ ُ َحوُ ٢﴿ ُِئَمْ٢﴿ ُ َحوُ ىَىَجْ اَّنِف ْىَه
ّ ۚ ِئَ ىَف ِْئَ ل﴿ ىَِإ
ِعِق
3
4. َ َۚن تعلمَن م اَن فَن نفس يَن ولَن أعلمَن م اَن فَن نفَكِ س
ۚ ََلْۚ َم ُ اَ يِ ۚ َِسَْكِ اَ اَ َلْۚ َم ُ اَ يِ ۚ َِسْسس ك
ِ ُ لَ لَاَّم ُ ِسُْيُم
إنكَن أنتَن علمَن الغيبوب
َ َّۚك
َۚن
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Hai Isa putera Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain
Allah? Isa menjawab: Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah
Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang
ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui semua perkara
yang ghaib.”
Keempat, berarti suatu sifat pada diri manusia yang memiliki
kecenderungan kepada kebaikan dan juga kejahatan, sebagaimana tampak
pada QS al-Mâidah/5: 30,
َۚ َطعَّلََلْ ۚ َف ُ ۚ َِسْم ُف ُ ۚ َِسْۚ َ َكِ َكِ ۚ َۚ َۚ َۚ َف ُ ۚ َ َبْاَل
َن فۚ َبوعتَن لهَن نفسهَن قتلَن أخيهَن فقتلهَن فَأصبح
َ ۚ ِِِسْ َك
مۚ َ ل اسرنين
َ َۚكِنَن ا
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh
saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orangorang yang merugi.”
Kelima, berarti sifat pada diri manusia yang berupa perasaan dan
indera yang ditinggalkannya ketika ia tertidur, sebagaimana tampak pada
QS az-Zumar/39: 42,
كَّ نيۚ َبوكَّ أْلنفسَن َكِنيَن مَبْت اَن واليِ ۚ َ تتَن فس
ِللَن اَتاَفَن اۚ َ ُيُاَ حۚ َ اَ ِ اَ كَّتَن ِسْ ۚ ََلْ ي
ُلَن ُي
َ ۚبو
َُن اُي
َِسْ سَبْل
لس بوت
َ َۚن اَن املَ َۖن َن فيمسكَن التَن قضىَن لَليلَ س اَن ا
مۚ َ َكِه ا ۚ َم َُبَْكُِيُ كَّيِ ۚ َلَع ٰ عۚ ََبْهس
َ ۚ ِجَأ َٰك
َن اَنيرسُيُ أْلخرع ٰ لَن أجلَن مسىًّ َۚن َن إنَن يِ َذلسسك
َ ۚ ۚ َ لَم ٍ ُّاَمى كَّ فَن
ٰ وم َُلَْكِلَن اُيُِسْلَىَن إجَأ
َ ۚ ُ لاَ ٍ َقّقَبْمَن اَۚ َۚ َكَّف
اَني اتَن لۚ َبوي ٍ نيتفكرون
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di
waktu tidurnya; naka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia
melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan [Maksudnya: orang-orang yang mati itu
ruhnya ditahan Allah sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya; dan orang-orang yang tidak
mati hanya tidur saja, ruhnya dilepaskan sehingga dapat kembali kepadanya lagi]. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”
Keenam, berarti satu gaya bahasa majemuk yang berarti 'saling'. Bila
dikatakan 'Hormatilah dirimu' maka yang dimaksud adalah satu anjuran
agar satu dengan yang lainnya saling menghormati. Nafs dalam bentuk
seperti ini terdapat pada QS al-Baqarah/2: 54,
4
5. ْوإِسْ ۚ َ ۚ َ م ُ اَع ٰ َكِقسَبَْكِهَن اَس قسَبْيِ كَُّيُ َب
َن اَ َذَن ق الَن مبوسىَن لۚ َ بومَكِ نيس اَن ۚ َ بومَن إنكسم
َن ۚ َلمتمَن أنفسكمَن ِ َقّ َذكمَن العجلَن فتبوبسبوا
ِت اَكُِيُم ُ ِسَْكَِلْۚ َ ۚ َُيُ م ُس
َ ُۚيُاَُيُ ب ا
ْظۚ ََبُْيَُب
لَن ب ارئكمَن ف اقتلبواَن أنفسُيَُبْ َذلكسمَن ۚ ََلْس
ٌ ُيُاَك جَأ َٰكُِيُ َبْ خَّل
ي
َ ۚ مَن
ُۚ َ اَ َِكُِيَُبْ ۚ َ ِسُْيُُي
ٰ َن إجَأ
َلُيَُبْ َكِ لَ اَ َِكُِيَُبْ ۚ َۚ َ اَ لَۚ ََبُْيُم كَّف ُ هسسا
َن كَّكمَن عندَن ب ارئكمَن فت ابَن عليك َۚن َن إنهَن ف ُ بو
َْب
ُ ََّكِ م
الكَّبوابَن الرحيم
ُ تعَّ م
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: Hai kaumku,
sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah
menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang
menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu [Membunuh dirimu ada yang mengartikan:
orang-orang yang tidak menyembah anak lembu itu membunuh orang yang
menyembahnya. Adapula yang mengartikan: orang yang menyembah patung anak
lembu itu saling bunuh-membunuh, dan apa pula yang mengartikan: mereka
disuruh membunuh diri mereka masing-masing untuk bertaubat]. Hal itu adalah
lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan
menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang.”
Atau QS al-Baqarah/2: 85,
َ ۚ ُيُاَُيَُبْ ُيُِف ُس
ثَن أنتمَن هسؤلءَن تقتلبونَن أنفسكمَن اَِترجسبون
ْوِس
َ ۚ ُُيَُبْ لَجَأ ٰف ُ اََكِ ۚ َِسُْيُُي
ََّن ك
ُُي
َن فرنيق اَن منكمَن منَن َكِني ارهمَن تظ اهرونَن عليهم
ِْۚ َِ اً نّ ُيُ نّ داَ َِكَِبْ ۚ َۚ َ لَف ُ ۚ َ لَۚ ََب
ٰ َن ِ إْثَن والعسدوانَن وإنَن اَ ُيُ ُيَُبْ اَس لَع
نيسْأتبوكمَن أسس ارى
َبس اَكِِسْ اَ ِسْف ُ َلْاَ ِ ا
ِلَك
َن ُيُف ادوهمَن وه ساَ م سرمَن عليك سمَن إخراجه س َۚن
تۚ َ ف ُ ف َُبْ اَف ُس ف ُ ََّع ٌ لَۚ ََبُْيُ َبْ ِسْلَ ف ُف ُ م
َْب
َ ۚ بوَن
َن أفتؤمنبونَن ببعضَن الكت ابَن اَتكفرونَن ببع َۚن
ۚ َُيَُلَْكُِيُ ۚ َ ِاََلِْ ِسَْكِۚ َ ِ وۚ َِسُْيُف ُ ۚ َ ِاََلْض
ٍ م
ِفاَ لَۚ َ ُيُ منَن اَِسْلَ جَأ َٰكِۚ َ َكِ ُيَُبْ اَّ َكِِسَْع ٌ ي
َن ۚ َم اَن جزاءَن اَ نيفعُيُ َذلكَن منكمَن إلَن خزيَن ف
َ ۚ لَن
َ ۚ َُُِّّسْي ا اَنيَبْاَ ِسَْكِاَ مس َكِ نيس ل
َن لي اةَن الدناَ َۖن َن واَبومَن القي ااَ سةَن م ُ سردون
ِِسْاَ َك
َ ۚا
كَّ سَن بغ اَكِ سلَن ععَّ س ا
للس ِۚ َ فس م ٍ لَمس
َُن لَن أشدَن العذا َۗن َن وم اَن اُي
َۚ َ ۚ َلا ّ ِسْلَۚ َ ب اَا
ِ
ٰ إجَأ
َ ۚ ُۚ ََلْاَُي
تعملبون
“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan
mengusir segolongan darimu dari kampung halamannya, kamu saling membantu
terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang
kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu
(juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang
5
6. yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak
lengah dari apa yang kamu perbuat [Ayat ini berkenaan dengan cerita orang
Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi Bani Quraizhah bersekutu
dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang
Khazraj. Antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi
persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus
dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. Sampai antara kedua suku
Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan-menawan, karena membantu
sekutunya. Tetapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, maka kedua
suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya, kendatipun mereka tadinya
berperang-perangan].”
Ketujuh, berati satu kata umum yang berlaku untuk laki-laki,
wanita dan juga kaum (kabilah), sebagaimana tampak dalam QS arRûm/30: 21,
ُْيَُكِ ُيَُب
َن اَمِسْ ني اتهَن أنَن خلسقَن لكسمَن مسنَن أنفسسكم
ْوَكِنَن آاَ َكَِكِ ِسْ ۚ َۚ َ لَ ۚ َُيُس نّ ِس
َن أزواج اَن لتسكنبواَن إليهس اَن وجعسلَن بينكسم
ۚ ََبْلَس اَلَلَ ۚ َ اََبْۚ َُيُس
ُِسْاَ اً َقّۚ ََبُْيُُي
ٍ ماََّاً اَ ِسْ اً كَّ يِ جَأ َٰكِ ۚ َ اَنيس ٍ َقّۚ َ سَبْي
َن عَّبودةَن ولَح سةَۚن َن إنَن فس َذل سكَن لاَ س اتَن لقس بوم
َ ۚ سَن
َ ۚر
َ ۚ ُ اَۚ َۚ َكَّف
نيتفكرون
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Atau pada QS an-Nahl/16: 72,
َ ۚ َُيَُكُِيَُبْ ِسْاَ اً اَلَل
َن اَ للَن جعلَن لكمَن منَن أنفسكمَن أزواج اَن وجعسل
ْكَّ لَلَۚ َ ۚ َُيُ نِّس
ُواُي
َ ّۚۚ َُيُ نِّسْ ِسْاَ ُِيُ اَنۚ َ اَلَۚ َلَاً اَلَۚ َۚ َُيُ ن
َن لكمَن منَن أزواجكمَن بَكِنيَن وحفدةَن ورزقكمَن من
ِكَّ نّاَ ت ۚ َِ ِسْاَ َكِلَن م َُلَْكِنس ۚ َ اََِكَِلْمس َك
َن الطيب ا َۚن َن أفب الب اطِ نيؤمُيُ سبونَن وبنعاَ ست
َِك
َ ۚ ُ كَّ ف ُمَن اَِسُْيُف
للَن هَبْ نيكفرون
ِاَك
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki
dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah?
Kedelapan, berarti seseorang tertentu (Nabi Adam a.s.), sebagaimana
tampak pada QS an-Nisâ’/4: 1,
6
7. ا يُساا أيهلُساا النلُساسا اتقلاواا ربكلما اللذ ي
ِبَكَّ ُمُ ا ُ َّ خ ي
َُّل ا ُ َّ ُم
َهُّب
َ
ا خلقكما من نا نفسا واحدةا وخلقا منهُساا زوجهُسا
َوَوَوَ ُمُ نّ ََّهْو ٍ َ خ يِبَو ٍ َوَوَبَ خ يَِهْبَ وََجْبَب
ا َبثا منهمُساا رجُسالا كخ يِرياا ونسُسا ۚا ا واتقللاوا
ُوََّ خ يَِهَْمَُ جِبَ اً وَثو اً َخ يَِ ء َ َّ ُم
ً
ا للا الذ يا تسُساءلاونا بها َ أْلرحُسا ۚا ا إَّ لللل
ََّ َّخ يِ وََ وَ ُمُ وَ جِخ يِ واوَماَحْبَ م نا او
َّ
َ
َاو
كُسانا عوَبيكما رقبيبُسا
ًوَ وَ بَلَجْ ُمَُجْ بَخ يِ ا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari dirinya [Maksud dari kata minhâ (dari dirinya),
menurut jumhur mufassirin, ialah: dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s.,
berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim. Di samping itu ada pula yang
menafsirkan dari dirinya ialah: dari unsur yang serupa, yakni tanah yang darinya
Adam a.s. diciptakan] Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah
menembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain [Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau
memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti: as-aluka
billâh, artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah], dan
(peliharalah) hubungan tali persaudaraan (silaturrahim). Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Semua makna inilah yang tersirat dalam al-Quran. Namun apabila
kita mengamati dan menganalisisnya lebih jauh, maka sesungguhnya
makna tersebut dapat disimpulkan menjadi dua makna utama: Pertama,
satu kata umum mencakup semua makna yang ada dalam diri manusia.
Kebalikan kata ini dalam al-Qurân adalah Al-Âfâq atau semesta. Kedua,
satu kata khusus yang berarti jiwa atau ruh. Kebalikan kata ini dalam alQuran adalah tanah atau fisik. (Disarikan dari buku 'Panduan Lengkap
Praktis Psikologi Islam', terbitan PT Gema Insani Press).
َُهَْهَْخ يَِّ ُم
لطمئنة
ُا ُم
Muthmainnah berasal dari kata ithmaanna, yathmainu ithmi’nân, yang
berarti: tenang, tenteram atau aman. Muthmainnah ini merupakan sifat dari
Nafs, sehingga An-Nafs al-Muthmainnah adalah nafs (pribadi, seseorang atau
jiwa) yang merasa tenang ketika menghadap ke haribaan Allah SWT. Nafs
yang merasa tenteram dengan mengingat-Nya. Nafs yang senantiasa
kembali (dengan bertobat) kepada-Nya. Nafs yang senantiasa rindu untuk
bertemu dengan-Nya dan nafs yang merasa tenteram, karena kedekatan
dengan-Nya.
Penjelasan
7
8. BUYA HAMKA, dalam magnus opusnya: “Tafsir al-Azhar”,
menjelaskan tentang siapa yang disebut an-Nafs al-Muthmainnah dalam QS
al-Fajr/89: 27-30. Al-Quran sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh
oleh nafs atau diri manusia. Pertama an-Nafs al-Ammârah, yang selalu
mendorong akan berbuat sesuatu di luar pertimbangan akal yang tenang.
Maka terlalu sering manusia terjerumus ke dalam lembah kesesatan karena
an-Nafs al-Ammârah ini, sebagaimana firman Allah dalam QS Yûsuf/12: 53,
ٌ ََّهْ سا وَكَّ بَب
ا َملُساا أبلِرئا نفخ يِ ۚا ا إنا النفلَ أَلملُسارة
َّ
َل ُئّ ُمُ وََهْسل ي
َو
ٌ َّ بَ نّ وَ ُمُل
ا بُسالساوءا إلا مُساا رحما ر نّ ۚا ا إنا رب يا غفلاور
جِ هُّ خ يِ اَّ َ بَخ يَِ بَب ي
ٌ ِّخ ي
رحبيم
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ketika langkah seseorang manusia telah terdorong, tibalah
penyesalan diri atas tindakan cerobohnya. Itulah yang dinamai an-Nafs alLawwâmah, yang dalam bahasa kita sehari-hari dinamai “tekanan batin”,
atau perasaan berdosa”. An-Nafs al-Lawwâmah ini dijadikan sumpah kedua
oleh Allah, sesudah sumpah pertama tentang ihwal hari kiamat,
sebagaimana firman Allah dalam QS al-Qiyâmah/75: 2,
ُ ََ َهْخ يِ ا
ا لا أقسما جِبيلاوما الخ يِبيُساملةا ﴿١﴾ا ولا أقسلم
َِ َهْخ يِا ُ بَلَجْا ِ َهْقَ َ خ ي
٢﴿ ﴾بُسالنفسا الَّاوامةا
ِلكَّ َخ ي
ِجِ ََّهْج
“Aku bersumpah demi hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat
menyesali (dirinya sendiri) [Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal
kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan].”
Demikian pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila kita
telah sampai kepada an-Nafs al-Lawwâmah, artinya kita telah tiba di
persimpangan jalan akan menjadi orang yang jelek atau akan menjadi orang
yang baik. Pengalaman mengajar diri,kita bisa menjadi orang yang
beruntung, karena bisa belajar dari pengalaman atau menjadi orang celaka,
karena sesal yang tumbuh tidak dijadikan pengajaran, lalu timbul sikap
yang dinamai penyeselan karena“keterlanjuran”.
Karena pengalaman dari dua tingkat nafs itu, kita dapat naik
mencapai “an-Nafs al-Muthmainnah”, yakni jiwa yang telah mencapai
ketenangan dan ketenteraman. Jiwa yang telah digembleng oleh
pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan
8
9. berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik
pendakian pasti ada penurunan. Dan tidak gembira melonjak lagi ketika
menurun, karena sudah tahu pasti bahwa di balik penurunan akan bertemu
lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai puncak keimanan! Karena
telah matang oleh berbagai ujian dan cobaan.
Jiwa inilah yang memunyai dua sayap. Sayap pertama adalah
syukur ketika mendapat kenikmatan apa pun, bukan ‘menepuk dada’. Dan
sabar ketika mendapatkan musibah, bukan ‘mengeluh’. Yang keduanya telah
tersebut dalam QS al-Fajr/89: 15-16,
َُجْوَََمُ بَبل َم
لنَ لُسانا إذاا َ لُساا ابتلها رهُّ له
إْ سل ُمُ وَ مل
ِا فَأكَّ لُساا اخ ي
وَ مل
﴿ فَأَهِْرمها ونعملها وَبيقلاولا ربل يا أَهِْرملن نا
ِكبََلج
ّوَ كبَََمُ َوََّ َمُ فَ ُمُل ُمُ بَ ن
َِجْوَََمُ وَوَ بَبَ بَلَجْ خ ي
ا ٥١﴾ا وأمُساا إذاا ملُساا ابتلها فقلدرا عوَبيله
وَ َل
ََّ ك
١٦﴿ ﴾رزقها وَبيقاولا رب يا أهُساوَن نا
ِبَ نج
ّجَِهْوََمُ فَ ُمُ ُمُ بَ ن
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka Dia akan berkata: Tuhanku telah memuliakanku.
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata:
Tuhanku menghinakanku[ Maksudnya: ialah Allah menyalahkan orang-orang
yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan
adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada QS al-Fajr/89: 15-16. Tetapi
sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hambaNya].”
Jiwa inilah yang tenang menerima segala khabar gembira (basyîran)
ataupun khabar yang menakutkan (nadzîran). Jiwa inilah yang diseru oleh
ayat ini:
َُهَْهَْخ يَِّ ُم
يُساا أيتهُساا النفا ُ لطمئنة
ََُّهْسا ا ُم
َكَّ ُمُب
َ
“Wahai jiwa yang telah mencapai ketenteraman.” (QS al-Fajr/89: 27). Yang telah
menyerah penuh dan tawakkal hanya kepada Tuhannya, telah memiliki
ketenangan, karena telah mencapai keyakinan terhadap perjumpaan dengan
Tuhannya.
Berkata Ibnu ‘Atha’, dalam menafsirkan ayat ini: “yaitu jiwa yang
telah mencapai ma’rifah, sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya
walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya,
sebagaimana tersebut dalam QS ar-Ra’d/13: 38,
9
10. ْ وهَهََسْ َسْجََنْهَ سًُلُ اً نّ هَزَأ َْكِهَ جَْلَْلََنْهَ هَ زَأ
جَلقد أرسلن ا رسل ِمق ن قبلك وجعلن ا للم
ُ ْم
أزوجاج ا وذريل ۚ جَِمل ا هَ ن لرسللول أ ن
ٍ َنْجَ اً جَ ْمَُّيًّةَّ ة وجَل كل اهَ َكِْلًَلُل
ً ۚ
ٌ َجَ َكِجَ ا ِ جَإ ٍ اَّ ا ِ ذا ِ هَّ َكِ ْمَُأ ّ ْلَ ٍ َكِه
يْأتي بيآية إل بِإَنْ ن لل لكل أجل كت اب
ۗ
ِجاَك
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah.
Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu) [Tujuan ayat ini ialah pertama-tama
untuk membantah ejekan-ejekan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dari pihak
musuh-musuh beliau, karena hal itu merendahkan martabat kenabian. Keduanya
untuk membantah pendapat mereka bahwa seorang Rasul itu dapat menunjukkan
mukjizat yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya bilamana diperlukan, bukan
untuk dijadikan permainan. Bagi tiap-tiap Rasul itu ada kitabnya yang sesuai
dengan keadaan masanya].”
Berkata Hasan al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan
Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman,
tenteramlah jiwanya – karena ridha -- terhadap Allah, dan tenteram pula
Allah – karena ridha -- terhadapnya.”
Berkata sahabat Rasulullah s.a.w., ‘Amr bin al-‘Ash (dalam hadis
mauqûf): “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus
Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu
bingkisan dari dalam surga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan
katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai ketenteramannya,
dengan ridha dan diridhai Allah. Keluarlah kepada Ruh dan Raihan. Tuhan
senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” Maka keluarlah Ruh itu,
lebih harum daripada kasturi.”
ً ۚ َّهَ ْلَ نَّكِ ْلَ َكِجَ ۚ ً ًةََّسَْكًِة
جارجعي ل ربك رجاضية ِمرضية
ٰ َسْا َِكِ إبَر
“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha (puas) dan diridhai.” (QS alFajr/89: 28). Maknanya: “Setelah bersusah-payah dirimu dalam perjuangan
hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada
Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhanmu pun
ridha, karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepadaNya dengan
penuh sikap syukurmu dan tak pernah mengeluh, karena sikap sabarmu.
ف ادخلي ف عب ادي
ِهَ َسْ ْمَُكِ يِ َكِجَ َك
“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (QS al-Fajr/89: 29). Di
sana telah menunggu hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf
10
11. perjuangan hidup mereka dengan kamu; bersama-sama di tempat yang
tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, shidîqqin dan syuhadâ’.
“Wa hasuna ulâika rafîqâ”. Sebagaimana firman Allah,
َوجَ ًلَُكِ يِ هَّ جَ ًَّلُ هَ هَ هَبَر ٰ َكِهَ جَ ْل
جَِمق ن يطلع للل وجالرسللول فُأولللئك ِملع
َجاه
جالَكِ ق ن أنعلم للل عليهلم ِملق ن جالنب نّنيل
َهَّا ِيه
َ نّله
ِ هَّذيهَ َنْْلَ جَ هَّ ْلَهَزَأ ْا
ُجا ْم
َجَ نَّّيّ قهَ جَ شل ْلَْلَ َكِ جَ ًةَّ لهَ جَْلًَلُ له
وجالصديَكِني وجالُّ لهدجاء وجالصل َكِنيۚ وحسل ق ن
ِل اَك
أوللئك رفيق ا
ً ۚ ِهَبَر َٰكِهَ ْلََك
“Dan barangsiapa yang tata kepada Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para
nabi, shiddîqîn [orang-orang yang amat teguh keyakinannya kepada kebenaran
rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut
dalam QS al-Fâtihah/1: 7], orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS an-Nisâ’/4: 69)
ِجَ َسْ ْمَُكِ ْلَهَّي
وجادخلي جنت
“Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS al-Fajr/89: 30). Di situlah kamu
berlepas menerima cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada
Tuhan; Nikmat yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga
mendengarnya, dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati
manusia.
Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu an-nafs
diartikan dengan ruh manusia, dan rabbiki diartikan sebagai tubuh tempat
ruh itu bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai ruh yang telah
mencapai ketenteraman, kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu
tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat
nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli. Penafsiran ini didasarkan
kepada qirâah (bacaan) Ibnu Abbas, Fî ‘Abdî, dan qirâah umum Fî ‘Ibâdî.
Khâtimah
Simpulan terpenting dari pembahasan di atas adalah: An-Nafs alMuthmainnah artinya Jiwa yang Tenang. Inilah jiwa/nafs yang tenang dan
tenteram karena senantiasa mengingat Allah. Jiwa/nafs yang tenang dan
tenteram karena senantiasa gemar berdekatan dengan Allah. Jiwa/nafs yang
tenang dan tenteram dalam ketaatan kepada Allah. Jiwa/nafs yang tenang
dan tenteram baik ketika ditimpa musibah maupun mendapatkan nikmat.
Jika mendapatkan musibah, ia ridha terhadap taqdir Allah. Jika kehilangan
11
12. sesuatu, ia tidak putus asa. Dan jika ia mendapatkan nikmat, ia tidak lupa
daratan.
Inilah jiwa/nafs yang tenang dan tenteram dalam kesempurnaan
iman. Tidak pernah tergoyahkan oleh keragu-raguan dan syubhat.
Jiwa/nafs yang rindu untuk bertemu dengan Tuhannya. Dan inilah
jiwa/nafs yang ketika wafat dikatakan kepadanya: “Wahai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai.” (QS al-Fajr: 2728)
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
12