SlideShare a Scribd company logo
1 of 161
Download to read offline
Membaca Ulil Dari Depan




Ulil
Abshar-Abdalla
                          2011
Membaca Ulil Dari Depan




Ulil
Abshar-Abdalla
                          2011
«
Pengantar Bajakan
Tulisan ini diambil dan dikumpulkan berdasarkan hasil
pencarian dari beberapa tulisan Ulil Abshar-Abdalla di situs
Jaringan Islam Liberal (JIL) dan diurut berdasarkan dari
tulisan yang terkini ditampilkan lebih awal dan selanjutnya
— karena bajakan, tentunya pengumpulan tulisan ini tanpa
sepengetahuan dari penulis maupun pengelola situs.
Judul ‘Membaca Ulil Dari Depan’, tidak dengan maksud
khusus, semua didasarkan hanya sekedar urutan tanggal/
tahun penulisan. Tetapi, pembaca diberi kebebasan seluas-
luasnya untuk memberikan arti yang lebih bermakna dan
dalam semampu-batas imajinasi pembaca.
Seperti dijelaskan diatas bahwa tulisan ini dikumpulkan
tanpa adanya ijin, sudah sepantasnya bila ada pihak yang
berkeberatan atas pengumpulan tulisan ini nantinya.
Apapbila hal ini terjadi, setiap keberatan/klaim/protes
atau sekedar ingin memaki, harap dikirimkan ke alamat
email: idul.choliq@atheist.com, sesuai dengan ketersediaan
waktu, pembaca akan segera medapatkan tanggapan yang
mencukupi.
Tetapi, besar harapan saya sebagai pengumpul tulisan ini
sejalan dengan keinginan penulis yang menginginkan
tulisannya lebih terbaca secara luas oleh semua kalangan yang
setuju maupun yang tidak terhadap pemikiran penulis, atau
bahkan yang membenci secara individu-emosional maupun
secara intelektual.
Apappun jadinya, pembukuan tulisan sudah terjadi, maka
untuk selanjutnya saya serahkan pada ‘nanti!’.
Semoga pengumpulan ini bermanfaat.


Jakarta Juli 2011
I. C.




                            —3—
«
           Daftar Isi
Pengantar Bajakan	                            3

Merawat Agama dengan Penafsiran	              6

Radikalisasi dan Deradikalisasi	              9

Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan
Superioritas Budaya	                   13

Membunuh “Tersangka” Terorisme?	             21

Teks dan Kontradiksi: Kasus Ibn Hazm al-
Andalusi	26

Kritik atas Argumen Aktivis Hizbut Tahrir	   33

Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal	 38

Melihat Dunia (Islam) setelah Olimpiade
Beijing	49

Kontradiksi dalam Cara Berpikir Abu Bakar
Ba’asyir	54

Citra Keliru tentang Bahasa Arab	            60

Mengapa Justifikasi Agama	                   65

Poligami, Monogami, dan Kontradiksi
Modernitas	68

Ibn Khaldun dan Sejumlah Observasinya	       72

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam
Islam	84

NU, Ru’yah, dan Reformasi Penanggalan	       88


                     —4—
«
Amran dan Beberapa Kekeliruan	           94

Meninjau Ulang Teori Kenabian	           99

Benarkah Islam Agama “Jalan Tengah”?	   102

Sekularisme Sukarela	                   105

Uluran Tangan Watt	                     109

Masjid dan Peradaban yang Merosot	      111

Bush, Israel, dan Hezbollah	            114

Nasib Demokrasi di Timur Tengah	        116

Alquran Sebagai Wahyu dan Data Sejarah	 120

Kenapa Kajian Islam Mandeg?	            123

Masih Tentang Ahmadiyah	                126

Kemurtadan yang Niscaya dan Globalisasi
Dakwah	129

Ujian untuk Konstitusi Kita	            133

Hamas dan Era Islam Politik	            137

Nabi, Dukun, dan Penyair	               141

Genealogi Gerakan Islam di Indonesia	   145

Tentang Iman	                           149

In Memoriam: Masykur Maskub: Penggerak
“Silent Transformation” di NU	       151

Tentang Penulis	                        160




                      —5—
«                        12/07/2011

Merawat Agama dengan
Penafsiran
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
  “Kegiatan membaca atau membaca ulang pada dasarnya
  adalah tindakan teoritis (al-‘amal al-nadzari). Tradisi
  intelektual Islam sangat kaya dengan tindakan teoritis
  semacam ini. Setiap pembaharuan (tajdid) dalam sejarah
  Islam juga selalu dimulai dari tindakan teoritis dalam
  bentuk membaca dan menafsir kembali tradisi tekstual yang
  ada. Sejarah agama menjadi menarik karena adanya tradisi
  membaca dan menafsir ulang seperti itu. Suatu agama di
  mana di dalamnya kita jumpai kehidupan menafsir yang
  terus-menerus tanpa henti, pertanda bahwa ia adalah
  agama yang hidup, bukan dead religion, agama yang mati,
  agama yang telah menjadi mumi.”

Assalamu’alaikum, selamat malam,


M      alam ini kita akan mendengarkan pidato kebudayaan
       yang akan disampaikan oleh teman saya Dr. Abdul
Moqsith Ghazali, berjudul “Menegaskan Kembali Pembaruan
Pemikiran Islam”. Ini adalah acara tahunan yang digagas
oleh Forum Pluralisme Indonesia. Ini adalah pidato seri
kedua. Saya berharap setiap tahun pidato seperti ini terus bisa
diselenggarakan dan menjadi tradisi yang terawat hingga di
masa depan yang jauh.
Apa tujuan sebuah pidato seperti ini? Bukankah yang
dibutuhkan oleh umat Islam saat ini bukan pidato, tetapi
sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah?
Menurut saya, baik orasi dan aksi, teori dan aksi,
keduanya sama penting. Saya kurang begitu suka untuk
memperlawankan teori dan aksi. Mengikuti pandangan
para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Sina dan Al-Farabi,
kebahagiaan manusia diperoleh karena kombinasi yang
seimbang antara teori dan aksi, antara ilmu-ilmu teoritis
(al-‘ulum al-nazariyyah) dan ilmu-ilmu praktis (al-
‘ulum al-‘amaliyyah). Baik kehidupan kontemplatif (vita
contemplativa) dan kehidupan aktif (vita activa), keduanya
sama-sama penting untuk mencapai –meminjam istilah dalam
filsafat Yunani—eudemonia, kehidupan yang bahagia.
Gagasan tentang perkawinan antara teori dan aksi sebetulnya
                            —6—
«
tak asing bagi umat Islam. Dalam al-Qur’an, kata iman kerap
disebut secara berbarengan dengan amal –alladzina amanu
wa ‘amilu al-shalihat. Suatu tindakan sosial akan memiliki
bobot moral yang tinggi jika didorongkan oleh motivasi
mendalam; jika disertai niat yang menyokongnya. Itulah
iman. Innama ‘l-a’mal bi ‘l-niyyat, sebagaimana disebutkan
dalam sebuah hadis yang terkenal: tindakan haruslah dilandasi
oleh niat. Jika tindakan sosial dikerjakan tanpa suatu landasan
motivasional yang kuat di baliknya, tanpa dasar-dasar
teoritis yang kokoh, ia hanyalah menjadi pekerjaan arbitrer:
sembarang dan semena-mena, yang tak bernilai apa-apa.
Perkembangan sosial-politik yang cepat saat ini memaksa
umat Islam, juga umat-umat agama lain, untuk melakukan
pembacaan kembali atas tradisi panjang yang mereka warisi
dari generasi yang lalu. Pembacaan ulang adalah kata kunci di
sini.
Kenapa kita memakai kata “membaca” di sini? Sebab, setiap
agama, termasuk Islam, pada akhirnya terlembagakan dalam
sebuah tradisi, yakni tradisi penafsiran. Sementara setiap
tradisi selalu berwatak tekstual. Ia pada akhirnya adalah
sebuah teks, tekstur yang terdiri dari jalinan gagasan yang
terkait dengan situasi tertentu. Setiap teks selalu membuka
diri pada kegiatan mental yang disebut dengan membaca.
Sementara itu, kegiatan membaca bukanlah tindakan yang
sekali terjadi sesudah itu mati dan berhenti. Membaca adalah
tindakan mental dan intelektual yang tak pernah berhenti –
kegiatan yang sifatnya perenial, abadi, non-stop. Oleh karena
itu, setiap teks, termasuk teks-teks yang terbentuk melalui
tradisi Islam, akan selalu terbuka terhadap pembacaan dan
pembacaan ulang secara terus-menerus.
Kegiatan membaca atau membaca ulang pada dasarnya adalah
tindakan teoritis (al-‘amal al-nadzari). Tradisi intelektual Islam
sangat kaya dengan tindakan teoritis semacam ini. Setiap
pembaharuan (tajdid) dalam sejarah Islam juga selalu dimulai
dari tindakan teoritis dalam bentuk membaca dan menafsir
kembali tradisi tekstual yang ada. Sejarah agama menjadi
menarik karena adanya tradisi membaca dan menafsir ulang
seperti itu. Suatu agama di mana di dalamnya kita jumpai
kehidupan menafsir yang terus-menerus tanpa henti, pertanda
bahwa ia adalah agama yang hidup, bukan dead religion,
agama yang mati, agama yang telah menjadi mumi.
Di sinilah letak pentingnya sebuah “pidato” seperti yang akan
kita dengarkan dari Sdr. Abdul Moqsith Ghazali malam ini.
                             —7—
«
Pidato semacam ini adalah sarana untuk menyatakan suatu
kegiatan membaca ulang kepada publik luas.
Kegiatan membaca ulang memang mengandung resiko,
dan biasanya kurang disukai oleh kalangan yang menjaga
tradisi atau kaum ortodoks. Sebab, setiap pembacaan ulang
memang biasanya berujung pada evaluasi atas status quo.
Sementara itu, evaluasi akan berujung pada perubahan. Dan
setiap perubahan biasanya kurang disukai oleh power that
be, kekuasaan yang ada. Ini bukan hal yang aneh. Ini adalah
hukum besi perubahan (iron law of change) yang lazim kita
jumpai di mana-mana. Dalam setiap tradisi akan selalu ada
dua impetus atau dorongan –dorongan ke arah perubahan
dan penolakan atas perubahan itu.
Saya ingin menutup pengantar saya ini dengan menegaskan
kembali pentingnya usaha memperluas secara terus-menerus
“ruang mental/intelektual” dalam umat. Apa yang saya
sebut sebagai ruang mental di sini adalah ruang di mana
tersedia kesempatan yang cukup bagi umat untuk melakukan
penafsiran dan penafsiran ulang. Perubahan-perubahan
ke arah yang positif dalam level kehidupan riil biasanya
dimungkinkan karena adanya ruang mental yang cukup
dalam sebuah masyarakat/umat untuk memperdebatkan
sejumlah alternatif penafsiran dan pembacaan.
Ruang mental semacam ini hanya bisa hidup jika ada orang-
orang yang mau mendedikasikan dirinya pada kehidupan
teoritis –kelompok yang oleh al-Qur’an disebut sebagai kelas
sosial yang melakukan tindakan “yatafaqqahu fi al-din”,
mendalami dan merefleksikan soal-soal keagamaan. Inilah
kelas kaum terpelajar yang hidupnya didedikasikan untuk
menelaah dan membaca ulang tradisi; kaum yang menjalani
vita contemplativa. Kawan saya Abdul Moqsith Ghazali
adalah contoh orang yang menjalani hidup kontemplatif
dan teoritis semacam ini. Sialnya, memang, dalam setiap
masyarakat, kelas yang menjalani vita contemplativa semacam
ini akan selalu berhadapn dengan status quo. Dan ini
tampaknya memang kutukan tak terhindarkan bagi setiap
kelas terpelajar di manapun. Dan ini pula tampaknya kutukan
yang dihadapi para nabi di masa lampau.
Malam ini, kita sejenak akan menikmati kehidupan
kontemplatif itu. Besok, anda bisa kembali menjalani vita
activa, kehidupan aktif yang normal, kehidupan yang penuh
dengan gebalau dan kebisingan. Sekian.


                           —8—
«                       03/05/2011

Radikalisasi dan Deradikalisasi
Oleh Ulil Abshar-Abdalla*
Dimuat di Jurnal Nasional, 3 Mei 2011
  .... dibutuhkan “jihad intelektual” yang sungguh-sungguh
  untuk mengembangkan pemahaman keagamaan yang
  toleran, pluralistik, dan berwawasan terbuka. Sikap
  keagamaan yang tertutup dan membenci perbedaan
  potensial berkembang lebih jauh menjadi sikap mengeras
  melawan mereka yang dianggap “di luar” kelompok sendiri.


J  ihad ini membutuhkan topangan dari dua pihak sekaligus.
   Pertama, dari pihak pemerintah dalam bentuk dukungan
terhadap golongan-golongan keagamaan yang moderat, serta
tindakan tegas bagi mereka yang hendak mengembangkan
“wacana kebencian” terhadap kelompok yang berbeda. Kedua,
pihak tokoh-tokoh agama dan kelompok-kelompok sipil
dalam masyarakat. Mereka juga mempunyai peran penting
untuk menyediakan lahan subur bagi berkembangnya paham
yang toleran.
ADA beberapa rangkaian peristiwa yang mengejutkan kita
akhir-akhi ini. Yang pertama, sejumlah bom buku yang
dikirim kepada sejumlah orang, termasuk saya sendiri, 15
Maret. Kemudian, sebulan kemudian, bom meledak di kantor
Mapolresta Cirebon, 15 April.
Beberapa saat setelah itu, sebuah bom diletakkan di dekat
sebuah gereja di Serpong dan berhasil digagalkan oleh pihak
kepolisian, 21 April. Keberhasilan polisi untuk menggagalkan
bom Serpong itu dimungkinkan karena ada 19 terduga pelaku
bom buku yang berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian.
Dari merekalah rencana pemboman gereja di Serpong itu
terungkap, persis sehari sebelum upacara Paskah.
Apa yang bisa kita pelajari dari rangkaian peristiwa ini?
Sekurang-kurangnya ada dua pelajaran penting. Pertama,
seberhasil apa pun usaha pemerintah untuk memerangi
terorisme dan jaringannya selama ini, sumber terorisme
belum bisa “dikeringkan” secara menyeluruh. Munculnya
generasi baru dalam kelompok ini, seperti diperlihatkan
oleh 19 orang (beberapa di antaranya adalah lulusan dari
Universitas Islam Negeri [UIN] Jakarta), menunjukkan
bahwa regenerasi di kalangan para teroris terus berjalan.
Kedua, meski tidak secepat yang kita harapkan, pihak
                            —9—
«
kepolisian akhirnya berhasil menangkap sejumlah orang yang
diduga terlibat dalam tiga pemboman terakhir.
Keberhasilan kepolisian ini menepis sejumlah skeptisisme
masyarakat tentang kemampuan pihak kepolisian untuk
mengungkap “otak” tiga aksi pemboman terakhir.
Kita tentu patut memberikan apresiasi yang tinggi pada pihak
kepolisian karena pada akhirnya berhasil menangkap para
tersangka tersebut. Ini memperlihatkan bahwa negara hadir
untuk memastikan terciptanya keamanan bagi masyarakat
luas. Kita tentu berharap, pemerintah akan melakukan
tindakan yang cepat dan tegas dalam kasus-kasus lain, secepat
dalam menangani masalah pemboman tersebut.
Perayaan Paskah tahun ini, akhirnya, bisa diselenggarakan
dengan aman—keadaan yang tentu sangat diharapkan oleh
umat Kristiani yang selama ini mengalami banyak kesulitan
di beberapa tempat untuk membangun rumah ibadat. Kita
tidak bisa membayangkan apa keadaan yang terjadi jika “bom
Paskah” di Serpong itu gagal diungkap dan akhirnya meledak
saat upacara Paskah pada esok harinya. Sudah pasti hal ini
akan menimbulkan kepanikan di kalangan umat Kristiani,
dan juga hilangnya rasa percaya masyarakat pada kemampuan
pemerintah untuk menyediakam rasa aman bagi masyarakat.
Kritik beberapa pihak terhadap penerapan Siaga I setelah
terjadinya beberapa rentetan bom beberapa waktu lalu
sebetulnya kurang beralasan. Ancaman bom jelas sangat
nyata akhir-akhir ini. Jika tidak ditangani secara serius, hal
ini akan menimbulkan implikasi dan ramifikasi masalah yang
rumit, baik dari sudut keamanan yang sangat dibutuhkan
bagi pertumbuhan ekonomi kita, atau dari segi jaminan bagi
kehidupan keagamaan yang plural dan damai.
Penerapan Siaga I menunjukkan bahwa pemerintah
bersungguh-sungguh dalam menangani masalah terorisme,
lebih khusus lagi masalah pemboman. Fakta bahwa pada
akhirnya perayaan Paskah bisa berlangsung dengan aman
tidak bisa dilepaskan dari kesungguhan pemerintah dalam
menangani masalah ini. Kesungguhan dengan kualitas Siaga
I inilah yang sebetulnya kita harapkan dari pemerintah
untuk menangani kasus-kasus kekerasan lain yang menimpa
sejumlah kaum minoritas di negeri ini. Jika kesungguhan
semacam ini ditunjukkan oleh pemerintah dalam menangani
kasus tersebut, maka jelas “reputasi politik” pemerintahan
Presiden SBY akan meroket kembali, baik secara domestik

                            — 10 —
maupun internasional.
                            «
Deradikalisasi
Sumber terorisme jelas kompleks dan bermacam-macam.
Tetapi, jika kita mau memerasnya dalam satu kata kunci,
masalah pokoknya ada pada satu hal: yaitu indoktrinasi
melalui ideologi radikal-teroristik. Indoktrinasi ini
dipermudah, antara lain, karena ideologi tersebut memakai
bahasa agama yang dengan mudah bisa memukau kalangan
anak muda yang sedang dalam fase pecarian jati-diri dan
pancaroba. Kita melihat gejala radikalisasi di kalangan
sejumlah anak muda.
Data terakhir yang dilakukan LaKIP (Lembaga Kajian Islam
dan Perdamaian) baru-baru ini sangat mengejutkan: 48,9
persen pelajar di tingkat SMP dan SMA di DKI Jakarta
menyatakan bersedia melakukan kekerasan terkait dengan
isu agama dan moral. Meski survei ini bisa dipersoalkan dari
segi metodenya, tetapi kita harus menjadikan data ini sebagai
wake-up call, sebagai peringatan dini mengenai tren yang
harus diwaspadai yang tengah menggejala di kalangan pelajar
kita: yakni tren radikalisme yang diilhami oleh pandangan
keagamaan.
Gejala radikalisasi ini bisa menjadi ladang subur untuk
rekrutmen bagi kader-kader yang siap melakukan tindakan
pemboman di kemudian hari. Saya tidak menyatakan
bahwa seseorang yang terpapar ideologi keagamaan yang
radikal dengan sendirinya akan menjadi seorang “pengantin”
yang siap meledakkan diri. Tidak. Saya hanya mengatakan
bahwa radikalisme ini potensial menjadi bumi subur untuk
perekrutan kader-kader kekerasan di masa depan.
Menurut saya, tren radikalisme merupakan salah satu
ancaman keamanan yang utama yang dihadapi pemerintah
kita. Apalagi jika kita ingat magnet agama begitu besar
dalam masyarakat kita. Ideologi kekerasan yang dilandasi
argumen keagamaan bisa dengan mudah menyediakan
daya tarik bagi anak-anak muda. Pemerintah tidak bisa
main-main menghadapi gejala ini. Baik masa depan falsafah
kebhinnekaan kita, bentuk negara Pancasila, juga keamanan
yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi kita, sangat
tergantung pada kesungguhan pemerintah untuk mengatasi
masalah radikalisasi di kalangan sejumlah anak muda kita ini.
Pendekatan keamanan tok tidak cukup. Dibutuhkan

                           — 11 —
«
pendekatan budaya terhadap masalah radikalisasi ini, yaitu
melalui apa yang selama ini sering disebut deradikalisasi.
Inti deradikalisasi adalah gagasan yang dengan efektif bisa
mengimbangi gagasan-gagasan yang menyuburkan kekerasan.
Di sini, dibutuhkan “jihad intelektual” yang sungguh-
sungguh untuk mengembangkan pemahaman keagamaan
yang toleran, pluralistik, dan berwawasan terbuka. Sikap
keagamaan yang tertutup dan membenci perbedaan potensial
berkembang lebih jauh menjadi sikap mengeras melawan
mereka yang dianggap “di luar” kelompok sendiri.
Jihad ini membutuhkan topangan dari dua pihak sekaligus.
Pertama, dari pihak pemerintah dalam bentuk dukungan
terhadap golongan-golongan keagamaan yang moderat, serta
tindakan tegas bagi mereka yang hendak mengembangkan
“wacana kebencian” terhadap kelompok yang berbeda. Kedua,
pihak tokoh-tokoh agama dan kelompok-kelompok sipil
dalam masyarakat. Mereka juga mempunyai peran penting
untuk menyediakan lahan subur bagi berkembangnya paham
yang toleran.
Kita tahu, wacana kebencian selama ini kerap dimulai dan
bersumber dari elit keagamaan, bukan dari masyarakat.
Elit yang berwawasan toleran dan terbuka sangat penting
untuk menangkal penyebaran ideologi radikal, terutama elit
keagamaan yang selama ini menjadi kiblat umat.
Kita mempunyai kepentingan besar agar Indonesia benar-
benar menjadi contoh yang kemilau untuk “Islam yang
moderat” di gelanggang dunia saat ini.
* Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan (PPSK)
DPP Partai Demokrat




                          — 12 —
«                        14/07/2010

Tentang Quran, Konsep
Kelengkapan, dan Superioritas
Budaya
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
    Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian
    dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan,
    maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih
    merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan
    penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena
    dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan
    baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya
    perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan.


I SLAM adalah agama yang bisa kita kategorikan sebagai
  “agama berkitab suci” (scriptured religion). Semula kitab
suci ini bersifat oral atau teks lisan yang tidak dituangkan
dalam bentuk tulisan, tetapi pada perkembangan belakangan
kitab suci itu “diresmikan” dalam bentuk dokumen tertulis.
Apa yang disebut dengan “kitab suci” umumnya adalah
teks tertulis, dan karena itulah dalam bahasa Inggris disebut
sebagai “scripture” atau tulisan.
Dalam Islam, kitab suci utama, sebagaimana kita tahu semua,
adalah Quran, istilah Arab yang secara harafiah artinya
adalah “bacaan. Di samping Quran, ada kitab suci lain yang
keududukannya bisa disebut sebagai tafsir atau penjelasan
atas Quran, dan disebut hadis atau sunnah. Hadis adalah
istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “omongan”
atau “ujaran”. Sementara “sunnah” artinya tindakan yang
dibiasakan sehingga menjadi suatu tradisi. Baik hadis atau
sunnah adalah ujaran, tindakan atau penetapan (taqrir,
confirmation) yang berasal dari Nabi Muhammad.
Kalau mau, kita bisa menyebut Quran sebagai Kitab Suci
Perdana (primary Scripture), sementara Hadis atau Sunnah
adalah Kitab Suci Kedua. Sebagai teks, jelas hadis lebih
banyak jumlahnya ketimbang Quran. Dari segi isi dan tema,
hadis memiliki cakupan pembahasan yang jauh lebih luas
ketimbang Quran. Oleh karena itu, penggambaran bahwa
hadis atau sunnah semata-mata sebagai “penjelas teks Quran”
sebetulnya tidak tepat. Hadis dan sunnah tidak sekedar
menjelaskan Quran. Dalam banyak hal, hadis juga membuka

                              — 13 —
«
tema baru yang sama sekali tidak ada dalam Quran.
Contoh yang sederhana, dalam Quran tidak kita temukan
pembahasan tentang jenis-jenis kegiatan manusia dalam
perdagangan atau sejenisnya. Yang kita baca dalam Quran
hanyalah penegasan umum yang tertuang dalam sebuah ayat
yang terkenal, “wa ahallal-Lahu al-bai’a wa harrama al-riba”,
Tuhan membolehkan perdagangan, dan mengharamkan
riba. Dalam Quran tidak disebutkan sejumlah transaksi-
transaksi lain yang kita kenal melalui hadis dan kemudian
dikembangkan lebih lanjut dalam disiplin pengetahuan
yang disebut fiqh atau hukum Islam. Transaksi itu misalnya:
syirkah (kongsi dagang), mudarabah (permodalan), musaqah/
muzara’ah (penggarapan tanah), salm (biasa diterjemahkan
sekarang sebagai “future trading”), hawalah (penjualan surat
hutang), dsb.
Itu hanya contoh-contoh transaksi yang disebutkan dalam
hadis tetapi tidak kita temukan dalam Quran. Contoh-contoh
itu saya pakai untuk menunjukkan bahwa hadis atau sunnah
tidak semata-mata menjelaskan Quran, tetapi juga membawa
tema baru yang tidak disebutkan di sana. Cakupan hadis
lebih luas ketimbang Quran.
BAIK Quran dan sunnah bisa dikategorikan sebagai
“foundational text”, teks dasar yang menjadi fondasi Islam.
Karena kehidupan umat Islam terus berkembang, dan isu-isu
baru yang dihadapi oleh mereka juga terus bermunculan,
sementara itu tidak semua hal dan isu ada jawabannya dalam
Quran dan sunnah, maka dibutuhkan “teks baru”. Teks itu,
untuk mudahnya, kita sebut saja sebagai “interpretational
text”, teks-teks tafsiran yang tentu didasarkan pada kedua
teks fondasi di atas. Ribuan teks diproduksi atau ditulis oleh
ulama, sarjana, dan intelektual Muslim sejak abad pertama
Hijriyah hingga sekarang. Selama umat Islam ada, kegiatan
untuk memproduksi teks-teks tafsiran ini tak akan berhenti.
Tafsir Quran, misalnya, ditulis oleh sarjana Islam sejak dahulu
hingga sekarang, dalam berbagai bahasa, dan dengan berbagai
ragam pendekatakan. Imam Ghazali, salah satu sarjana
besar Islam dari abad ke-12 Masehi, menganalogikan Quran
dengan samudera luas yang tak pernah kering. Analogi ini,
sebetulnya, bisa kita pakai pula untuk kitab-kitab suci agama
lain. Semua kitab suci dalam agama-agama manapun adalah
seperti samudera luas yang tak bertepi. Dalam setiap agama,
kitab suci selalu menjadi sumber inspirasi dan tafsiran yang
tak kering-keringnya. Dalam agama Yahudi atau Kristen,
                            — 14 —
«
teks-teks tafsiran atas kitab suci kedua agama itu terus
diproduksi hingga sekarang. Dalam setiap agama, kitab suci
selalu menjadi “foundational text”, teks dasar yang kemudian
melahirkan sejumlah “interpretational text” yang jumlahnya
terus berkembang, nyaris tanpa henti. Selama agama
bersangkutan masih menjadi “a living religion” atau agama
yang hidup, bukan “dead religion” (agama yang sudah mati),
maka kegiatan memproduksi teks-teks tafsiran itu tak akan
pernah berhenti.
Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian
dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan,
maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih
merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan
penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena
dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan
baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya
perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan.
SALAH satu gagasan yang populer di kalangan umat Islam
adalah konsep tentang Quran sebagai kitab suci yang lengkap
dan sempurna . Konsep “kesempurnaan/kelengkapan” ini
menjadi kian penting pada saat umat Islam merasakan adanya
semacam “ancaman peradaban” yang datang dari luar saat
ini. Kalau kita telaah tradisi penafsiran Quran pada periode
klasik (yaitu antara abad ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode
di mana kegiatan intelektual dalam dunia Islam mencapai
puncak kreativitasnya), sebetulnya konsep “kelengkapan/
kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang
khusus. Saat itu, sebagai sebuah peradaban, Islam sedang naik
daun dan kemudian mencapai titik apek tertinggi. Karena
sebagai peradaban Islam berada pada posisi yang dominan,
maka konsep kelengkapan dan kesempurnaan tidak terlau
ditonjol-tonjolkan oleh sarjana Islam ketika itu. Sebagai
peradaban, Islam memang sudah unggul, jadi, kenapa pula
mesti dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna,
dan Quran adalah kitab yang lengkap?
Abad ke-20 menyaksikan perkembangan yang lain sama
sekali. Umat Islam mundur dalam semua lapangan
kehidupan. Sebagai peradaban, dunia Islam kalah jauh di
banding dengan peradaban Barat. Dengan kata lain, sebagai
peradaban, Islam disalip oleh peradaban lain. Bahkan,
belakangan, ada perasaan bahwa umat Islam berada dalam
ancaman dari luar. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang
cendekiawan Muslim Mesir, Dr. Muhammad Husain Mu’nis,

                           — 15 —
«
menyandang judul seperti ini, Hushununa Muhaddah Min
Dakhiliha (Benteng Kita Terancam Dari Dalam). Pada
periode sebelum revolusi Iran pecah pada 1979 dulu, salah
satu istilah yang populer adalah “gharb zadegi” atau “west-
toxification” atau keracunan kebudayaan Barat. Di kalangan
umat Islam revivalis (contoh yang bagus adalah PKS atau
golongan tarbiyah), ada istilah populer, yaitu “al-ghazw al-
fikri” atau serbuan pemikiran.
Istilah-istilah itu menandakan satu hal: bahwa dunia Islam
merasa diancam oleh suatu “musuh besar” yang datang dari
luar. Musuh dari luar itu kemudian “meracuni” pemikiran
anak-anak Islam sehingga dalam tubuh umat Islam muncul
juga apa yang sering disebut sebagai “musuh-musuh dalam
selimut”. Ancaman dari dalam inilah yang dengan baik
digambarkan oleh judul buku yang ditulis oleh Dr. Mu’nis di
atas. Keadaan ini menciptakan mentalitas-serangan atau “siege
mentality” yang ciri-cirinya, antara lain, adalah menguatnya
dorongan untuk menegaskan identitas diri. Penegasan
identitas terjadi karena adanya dorongan untuk menciptakan
semacam “benteng” sebagai perlindungan diri dari serangan
luar. Di sinilah, konsep tentang “kesempurnaan dan
kelengkapan” Islam dan Quran muncul ke permukaan sebagai
sarana simbolik untuk melindungi identitas umat.
Tak ada yang mengherankan dalam proses tersebut. Itu adalah
proses yang wajar dalam semua masyarakat umat manusia.
Di mana-mana, saat suatu masyarakat terancam, tentu
mereka akan membuat “self-defense mechanism,” mekanisme
pertahanan-diri. Pertahanan itu bisa bersifat inderawi,
misalnya pertahanan militer, tetapi juga bisa simbolik, dalam
bentuk pertahanan budaya. Konsep tentang kelengkapan dan
kesempurnaan Quran adalah salah satu bentuk “pertahanan
budaya” yang dimobilisasi oleh umat Islam untuk menangkal
serangan budaya dari luar.
MESKIPUN wajar, ada beberapa akibat negatif dari dari
gagasan tentang kelengkapan dan kesempuraan itu. Salah
satunya adalah sikap-sikap eksklusivistik atau tertutup
terhadap golongan-golongan di luar agama sendiri, bahkan
golongan dalam agama yang sama tetapi memiliki pandangan
yang berbeda. Kenapa konsep tentang kelengkapan ini
kemudian membuahkan sikap ketertutupan? Ini adalah
pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Esai
pendek ini jelas tidak memadai untuk menejelaskan gejala
kejiwaan semacam itu. Mungkin butuh artikel tersendiri yang

                           — 16 —
«
panjang dan mendalam untuk menjelaskan kecenderungan
tersebut.
Namun, secara umum dan mungkin agak spekulatif, dapat
dikatakan bahwa anggapan tentang kelengkapan dan
kesempurnaan suatu budaya bisa membawa akibat lain, yaitu
rasa superior budaya. Perasaan superior atau unggul bisa
menyebabkan seseorang atau golongan tertentu memiliki rasa
“cukup diri” (self sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak
perlu belajar dari golongan lain. Jika saya atau kami sudah
cukup, kenapa mesti mengambil dari yang lain? Dari sanalah,
sikap tertutup itu muncul ke permukaan.
Tidak dalam semua kasus tentunya rasa superior membuat
seseorang atau golongan tertutup dan eksklusif. Dalam kasus
lain, seseorang atau golongan dengan penuh keyakinan
membuka diri pada dunia luar justru karena dia merasa
unggul dan di atas angin. Ini terjadi pada periode Islam
klasik, saat peradaban Islam mencapai titik apek atau puncak.
Pada periode itulah, umat Islam dengan tanpa khawatir dan
was-was membuka diri pada peradaban lain, menyerapnya,
dan mengolahnya kembali menjadi budaya milik sendiri,
tanpa merasakan adanya ancaman yang datang dari luar.
Pada zaman di mana umat Islam merasakan ancaman dari
luar di segala sektor kehidupan, terutama sektor kebudayaan,
perasaan superior itu bukan mendorong keterbukaan,
sebaliknya ketertutupan. Ini tercermin dalam hal-hal kecil
seperti larangan untuk mengucapkan ucapan selamat hari
raya kepada golongan dari agama lain, atau bahkan ketakutan
bahkan untuk sekedar mengucapkan “al-salamu ‘alaikum”
kepada mereka.
Literatur polemis yang mencoba membuktikan keunggulan
Islam dan kesalahan ajaran-ajaran agama lain juga banyak
bermunculan akhir-akhir ini. Yang kadang terjadi dalam
perjumpaan antara umat Islam dengan umat lain adalah
bukan perjumpaan dialogis, tetapi perjumpaan polemis. Yang
saya maksud dengan perjumpaan polemis adalah perjumpaan
yang hanya ditandai oleh usaha untuk “self-justification”
atau menjustifikasi diri sebagai lebih benar dari sistem
kepercayaan lain. Dalam konteks inilah kita berhadapan
dengan “fenomena Deedat”, yakni fenomena debat Islam-
Kristen yang dilakukan oleh seorang polemis kondang dari
Afrika Selatan, Ahmad Deedat. Sikap serupa juga muncul
dari kalangan di luar Islam, seperti kita saksikan dari sejumlah
literatur polemis yang ditulis oleh kalangan Kristen evangelis
                            — 17 —
di Amerika, misalnya.
                           «
Pandangan lain yang menurut saya kurang sehat yang muncul
dari gagasan tentang kelengkapan/kesempuraan Quran ini
adalah gagasan tentang “kemanunggalan tafsir” (uniformity
of interpretation). Pandangan ini menganggap bahwa
Quran adalah teks yang tembus pandang, transparan, jelas
sekali, sehingga maknanya tidak mengandung ambivalensi.
Quran dianggap sebagai kitab dengan tafsir tunggal, tidak
mengandung kemungkinan banyak tafsir. Jika suatu ayat
dikutip dalam sebuah diskusi, maka ayat itu diandaikan akan
menghentikan perbedaan dan menyelesaikan masalah sebab
tafsirnya satu dan tidak mengandung kemungkinan tafsir lain.
Pandangan semacam ini berbahaya, sebab ujungnya adalah
memaksanakan satu tafsir yang diikuti oleh pihak tertentu
kepada pihak-pihak lain. Secara historis, gagasan ini juga
tidak benar dan tidak terbukti sama sekali, sebab dalam
sejarah tafsir kitab suci Islam, tidak pernah kita temui
ketunggalan tafsir. Sarjana Islam sejak dahulu mendekati
Quran dengan berbagai pendekatan, dan setiap pendekatan
membawa tafsir yang berbeda. Pendekatan filsafat terhadap
Quran akan membawa tafsir yang berbeda dengan
pendekatan mistik, hukum, teologi, atau kesejarahana. Dalam
sejarah tafsir Quran, kita mengenal berbagai corak tafsir
beragam.
Karena Quran dipandang sebagai teks dengan tafsir yang
tunggal, maka kecenderungan lain juga muncul, yaitu
menyesatkan tafsir yang dianggap berbeda dari tafsir ortodoks
yang telah dianggap baku, pakem, dan mencerminkan satu-
satunya kebenaran. Fenomena “menyesatkan” yang akhir-
akhir ini sering kita lihat di kalangan umat Islam, menurut
saya, akibat lanjutan dari cara gagasan tentang kelengkapan/
kesempurnaan Quran itu.
JIKA demikian, apakah gagasan tentang kelengkapan/
kesempurnaan itu salah? Jelas tidak. Hanya saja, konsep
tentang kelengkapan/kesempurnaan itu harus ditafsir ulang
agar tidak menimbulkan sikap-sikap keagamaan yang kurang
tepat. Apakah yang dimaksud dengan kelengkapan dan
kesempurnaan di sana? Apakah Quran dianggap sebagai kitab
suci yang sempurna dalam pengertian memuat segala hal,
dan memberikan jawaban atas segala-rupa masalah? Ataukah
kelengkapan di sana artinya adalah kelengkapan dalam aspek
akidah, etika pokok, dan norma umum?


                           — 18 —
«
Dalam pandangan saya, jika konsep kelengkapan Quran
dipahami dalam pengertian yang pertama, yaitu Quran
memuat segala hal dan menjawab segal hal, jelas tidak benar
. Dengan membaca Quran secara sekilas saja, kita akan tahu
bahwa banyak hal yang tidak dimuat dalam Quran. Contoh
yang sederhana adalah perdebatan soal status rokok: boleh
atau tidak, haram, halal, atau makruh (tidak dianjurkan)?
Fatwa terakhir yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah,
salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan
bahwa merokok adalah haram. Tetapi, di lingkungan
Muhammadiyah sendiri, fatwa itu tidak disetujui oleh semua
kalangan, apalagi di luar Muhammadiyah.
Kalau kita merujuk kepada Quran, jelas tidak ada jawaban
mengenai status rokok. Yang ada hanyalah norma umum
yang tertuang dalam sebuah ayat yang populer, “wa la tulqu
bi aidikum ila al-tahlukah,” jangan menjerumuskan diri
kalian ke dalam tindakan yang membawa kerusakan. Ayat ini
hanya memuat norma umum saja, dan tidak bisa langsung
dan serta-merta dipahami sebagai deklarasi tentang haramnya
merokok. Contoh ini hanya untuk memperlihatkan bahwa
Quran tidak memuat semua hal, dan tidak menjawab semua
masalah. Oleh karena itu, jika yang dimaksud dengan gagasan
kelengkapan Quran adalah bahwa kitab suci itu memuat
segala hal, sempurna dalam pengertian yang harafiah, maka
jelas anggapan itu tidak benar. Contoh status rokok di atas
adalah ilustrasi yang baik.
Kesempurnaan Quran harus dipahami dengan cara lain,
yakni kesempurnaan pada aspek akidah dan norma umum.
Norma-norma umum inilah yang kemudian dikembangkan
lebih jauh oleh para sarjana Islam menjadi norma khusus.
Salah satu contoh bagus sebagai ilustrasi adalah ayat yang
sering dikutip, yaitu “wa amruhum shura bainahum,” dan
urusan mereka dibicarakan secara musyawarah di antara
mereka sendiri. Ayat ini hanya mengandung norma umum
tentang pujian terhadap tindakan musyawarah. Ayat ini
tidak secara khusus mendukung atau menolak, misalnya,
konsep demokrasi, terutama demokrasi parlementer. Quran
sendiri tidak memuat jawaban yang sifatnya khusus tentang
demokrasi. Karena itu, ada banyak perbedaan di kalangan
Islam sendiri, apakah demokrasi sesuai dengan ajaran Islam
atau tidak. Ada kalangan, jumlahnya sangat sedikit, yang
berpandangan bahwa demokrasi tidak Islami. Salah satu
yang berpandangan seperti ini adalah pemikir asal Pakistan,
Abul Ala al-Maududi. Kalangan aktivis Hizbut Tahrir juga
                           — 19 —
«
mempunyai pandangan yang serupa.
Tetapi, sebagian besar umat Islam berpandangan bahwa Islam
dan demokrasi tidak saling bertentangan, bahkan demokrasi
dianggap sebagai perwujudan dari etika musyawarah (syura)
yang dengan tegas disebut dalam Quran di atas.
Pemahaman tentang kelengkapan yang kedua ini lebih
bersifat terbuka dan juga membuka diri pada perbedaan.
Kelengkapan Quran bukan pada aspek norma khusus, tetapi
norma umum. Sementara itu, terjemahan norma umum
yang terdapat dalam Quran pada situasi kongkrit harus
dilakukan sendiri oleh sarjana Muslim. Proses penerjemahan
itu disebut dengan ijtihad atau penalaran berdasarkan akal,
konteks, dan kerangka etika umum Quran/sunnah, berikut
tradisi penalaran/penafsiran yang sudah berkembang sejauh
ini dalam Islam. Dalam proses penerjemahan itu, jelas
akan terjadi perbedaan di kalangan umat Islam sendiri.
Norma umum dalam Quran hanyalah panduan umum saja;
terjemahannya dalam situasi yang kongkret tidak serta merta
mudah, dan juga tidak serta merta menimbulkan kesatuan
pandangan. Dalam contoh rokok dan demokrasi di atas kita
melihat bagaimana norma umum dalam Quran dipahami
secara berbeda-beda oleh berbagai-bagai kalangan dalam Islam
saat mereka harus menjawab suatu kasus atau situasi kongkrit.
Selebihnya, yang harus dibangun adalah etika perbedaan
(adab al-ikhtilaf ). Karena perbedaan dalam menerjemahkan
etika umum Quran tidak terhindarkan, maka tidak
selayaknya masing-masing pihak yang berbeda saling “adu”
kleim kebenaran, dan menyesatkan pihak lain yang berbeda.
Sikap saling-menyesatkan, bahkan lebih jauh lagi meng-
kafir-kan, jelas tidak sehat dalam rangka membangun iklim
pemikiran-kebudayaan yang dialogis dalam tubuh umat
Islam. Etika syura atau musyawarah yang dianjurkan dalam
Quran mengajarkan agar perbedaan disikapi secara positif.
Terjemahan sikap yang positif terhadap perbedaan adalah
“diskursus” atau saling bercakap dan bertukar pikiran dan
ujaran. Itulah yang disebut dengan praktek syura atau
musyawarah sebagaimana dikehendaki oleh Quran. Sudah
tentu, dalam diskursus itu, bisa terjadi proses saling kritik,
koreksi, oto-kritik, dan sebagainya.
Inilah tafsiran tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran
yang menurut saya lebih sehat, sebab tidak mengandaikan
rasa superioritas yang pada akhirnya mengarah kepada sikap
tertutup.****
                            — 20 —
«                        12/10/2009

Membunuh “Tersangka”
Terorisme?
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
  Mereka yang memang memiliki “concern” atau perhatian
  besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi-manusia, was-
  was kalau-kalau tindakan Densus 88 dalam menangani
  isu terorisme itu melanggar HAM dan kebebasan sipil.
  Saya tidak punya keberatan apapun terhadap kelompok ini.
  Kritik-kritik mereka dalam soal penanganan terorisme perlu
  didengar oleh pemerintah.


D     engan ramainya berita para teoris yang berhasil
      ditembak dan ditewaskan oleh Densus 88 dan aparat
kepolisian, banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa kaum
teroris itu mesti dibunuh? Bukankah mereka belum tentu
sunguh-sungguh teroris? Bukankah keputusan mereka sebagai
teroris haruslah ditentukan oleh pengadilan? Sebelum ada
ketuk palu Pak Hakim yang memutuskan bahwa Saifuddin
Jaelani, “tersangka” terorisme yang tewas Jumat (9/10) yang
lalu di Ciputat, bukankah dia tak bisa disebut sebagai teroris?
Paling jauh dia hanya bisa disebut sebagai “tersangka.”
Bukankah dalam dunia hukum kita kenal asas praduga tak
bersalah yang beraku universal? Apakah polisi tidak melanggar
ini saat membunuh tersangka terorisme?
Pertanyaan-pertanyaan ini sebetulnya dengan sembunyi-
sembunyi sudah mengarahkan kita kepada kesimpulan
tertentu: seseorang yang masih dalam status “tersangka
teroris” belum atau tidak boleh dibunuh. Karena itu, tindakan
Densus 88 membunuh Saifuddin Jaelani dan Syahrir salah
sama sekali dari segi hukum.
Kalau dibaca secara sekilas, logika atau cara berpikir di atas
seolah-olah benar dan masuk akal. Mereka yang tak berpikir
kritis, akan langsung “manggut-manggut” meng-iya-kan cara
berpikir seperti itu. Tetapi, kalau kita mau berpikir sedikit
lebih jauh, maka akan terlihat sejumlah bolong-bolong
di dalamnya. Marilah kita lihat di mana-mana bolong-
bolongnya itu. Saya berharap anda sabar membaca tulisan
saya ini hingga tuntas.
Marilah kita ambil contoh yang sekarang sedang populer di
masyarakat, yaitu pengadilan mantan Ketua KPK, Antasari
                            — 21 —
«
Azhar. Sebelum ada keputusan dari pengadilan yang bersifat
definitif (maksudnya sampai ke tingkat terakhir, yaitu
pengadilan tingkat kasasi), maka Antasari belumlah bisa
disebut bersalah melakukan tindakan melawan hukum
atau kejahatan (dhi. pembunuhan). Saat polisi menangkap
Antasari, itu bukanlah pertanda bahwa yang bersangkutan
sudah pasti bersalah. Dia ditangkap oleh pihak aparat penegak
hukum bukan karena sudah pasti bersalah, tetapi semata-
mata karena akan disidik guna diajukan ke pengadilan. Asas
praduga tak bersalah tak dilanggar di sini.
Keputusan salah-tidaknya yang bersangkutan akan ditentukan
di Pengadilan Negeri. Jika dia tak puas dengan keputusan
di tingkat pengadilan pertama, ada hak pada dia untuk
mengajukan banding ke pengadilan tingkat kedua. Kalau
masih tak puas, dia bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Di sanalah keputusan hukum terakhir ditentukan.
Andaikan saja Antasari melawan saat hendak ditangkap
oleh pihak kepolisian untuk tindakan penyidikan, entah
dengan cara lari atau bahkan mengancam nyawa aparat,
maka menurut prosedur hukum yang berlaku, pihak aparat
diberikan otoritas untuk melumpuhkannya. Jika saja
Antasari mengancam akan menembak polisi saat hendak
ditangkap, maka polisi boleh membela diri dengan cara
melumpuhkan atau—dalam situasi terdesak—membunuh
yang bersangkutan. Walaupun Antasari masih berstatus
“tersangka”, tetapi dia boleh ditembak, karena mengancam
dan melawan aparat hukum. Ini andaian saja.
Tindakan polisi, dalam hal ini, sah secara hukum. Polisi tidak
bisa disebut sebagai “membunuh” orang yang sedang dalam
status “tersangka”. Tujuan polisi bukanlah hendak membunuh
yang bersangkutan, tetapi menangkap si tersangka untuk
disidik dan diajukan ke pengadilan. Pengadilan bisa saja
menganggap bahwa data yang diajukan polisi dan selanjutnya
jaksa untuk mendukung tuduhan atas si tersangka lemah
sama sekali, sehingga yang terakhir itu dinyatakan tak
bersalah.
Tentu saja istilah “tersangka” di sini tidak bisa kita maknai
dalam pengertian sehari-hari kata itu. Kata “tersangka” di sini
tak sama kedudukannya dengan, misalnya, sangkaan saya
bahwa tetangga saya di sebelah rumah adalah maling. Seorang
polisi tidak bisa sembarangan melakukan “sangkaan” dan
menangkap seseorang.


                            — 22 —
«
Saat polisi menyangka seseorang berbuat kejahatan, dia
haruslah memiliki data yang cukup, dan kemudian setelah
itu dia menangkap. Seseorang juga tidak bisa ditangkap dan
disidik dalam waktu yang tak terbatas. Polisi hanya memiliki
waktu yang terbatas untuk menyidik. Setelah lewat batas
waktu itu, si tersangka haruslah dilepaskan. Mereka yang
belajar hukum acara pidana, tentu paham mengenai soal ini.
Apa relevansi semua ini dengan soal pembunuhan “tersangka”
teroris Saifuddin Jaelani dan Syahrir di Ciputat kemaren?
Saat menggrebek dua tersangka teroris, jelas pihak kepolisian
sudah memiliki data yang cukup untuk menyangka dua orang
itu sebagai teroris. Tujuan pertama polisi adalah menangkap
keduanya untuk disidik dan kemudian diajukan ke
pengadilan. Keputusan terakhir apakah Saifuddin Jaelani dan
Syahrir benar-benar teroris atau tidak tentu ada di pengadilan.
Jika dua orang itu tak melawan saat hendak ditangkap oleh
Densus 88, sudah pasti keduanya akan selamat, hidup, dan
tidak dibunuh. Mereka dibunuh karena melawan aparat. Jika
mereka bertindak “kooperatif ” seperti dalam kasus Antasari
Azhar, sudah pasti polisi tak akan membunuh mereka berdua.
Membunuh bagi polisi adalah tindakan “the last resort”,
alternatif terakhir setelah alternatif yang lain buntu.
Dalam kasus pembunuhan dua tersangka teroris yang
terakhir kemaren, kita mendapatkan informasi dari pihak
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Nanan Sukarna, bahwa dua
orang itu mengancam polisi dengan cara melemparkan bom.
Sesuai dengan prosedur yang berlaku, polisi berhak untuk
melumpuhkan dan membunuh yang bersangkutan.
Kasus para teroris yang melawan dengan cara menyerang
polisi saat mau ditangkap sudah sering kita dengar.
Pertanyaan saya adalah: jika Saifuddin Jaelani, Syahrir, atau
Ibrohim (aka Boim) dalam kasus penyergapan di Temanggung
dulu, benar-benar merasa tidak bersalah, kenapa mereka tak
menyerah saja? Kenapa mereka melawan?
Banyak teroris lain yang langsung menyerah saat ditangkap
polisi, dan karena itu mereka tidak ditembak. Contoh yang
baik adalah Mukhlas, Imam Samudra dan Amrozi—para
pelaku bom Bali pertama. Ketiganya tidak dibunuh oleh
polisi, karena saat ditangkap tidak melawan dengan cara
menembak balik aparat hukum. Akhirnya ketiganya dihukum
mati, tetapi setelah melalui proses pengadilan.


                            — 23 —
«
Oleh karena itu, cara berpikir yang terselip dalam pertanyaan-
pertanyaan di awal tulisan ini tidak bisa dibenarkan. Saat
membunuh Saifuddin Jaelani, Syahrir, Ibrohim, Nurdin M
Top dll, polisi telah melakukan langkah yang benar. Polisi
tidak melakukan tindakan yang melawan hukum.
Pertanyaan berikutnya: apakah informasi polisi bahwa
tersangka teroris itu melawan saat mau ditangkap, benar?
Apakah polisi tidak berbohong dalam hal ini?
Sangkaan bahwa polisi berbohong bisa saja benar. Tetapi
mereka yang meragukan informasi polisi, haruslah
menunjukkan bukti yang kuat. Berdasarkan itu, mereka bisa
menuntut polisi ke PTUN, misalnya.
Dalam pandangan saya, informasi polisi itu benar adanya.
Pertama, setiap tersangka teroris dibunuh di sebuah tempat,
selalu ditemukan senjata, bom, dan amunisi lain yang
siap diolah menjadi bom. Artinya, mereka memang sudah
mempunyai “niat jahat” sejak awal. Kedua, dalam beberapa
kasus penangkapan tersangka teroris, seperti di Temanggung,
beberapa media elektronik melaporkan langsung dari
lapangan, dan kita bisa melihat sendiri terjadinya baku-
tembak antara polisi dan tersangka terorisme.
Ketiga, taruhlah laporan media itu kita ragukan
kebenarannya. Pertanyaannya: kasus perlawanan terhadap
polisi tidak hanya berlangsung di Temanggung saja, tetapi
juka di Jatiasih, di Solo saat penangkapan Noordin M Top,
di Batu (Malang) saat penangkapan Dr. Azahari, dan terakhir
di Ciputat kemaren. Ratusan (kalau malah tak ribuan) orang
di sekitar perumahan Dr. Azahari di Batu menyaksikan
terjadinya baku-tembak antara dia dan polisi, sebab
penangkanpan ketika itu berangsung pada waktu siang hari,
dan karena itu banyak yang menonton.
Dengan kata lain, ada pola yang berlangsung dengan
konsisten di sini: tersangka terorisme itu membawa senjata
saat mau ditangkap dan melawan. Sekali lagi, tidak semua
tersangka terorisme melawan saat ditangkap. Tetapi yang
melawan jelas ada, dan kasusnya berlangsung berkali-kali.
Artinya, hal itu bukan merupakan sesuatu yang tanpa bukti
empiris.
Memang banyak yang tak suka pada Densus 88 karena
mereka bertindak tegas dan keras pada pelaku terorisme.
Mereka yang tak suka ini bisa digolongkan ke dalam dua
kategori.
                           — 24 —
«
Pertama, mereka yang memang memiliki “concern” atau
perhatian besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi-
manusia, sehingga mereka was-was kalau-kalau tindakan
Densus 88 dalam menangani isu terorisme itu melanggar
HAM dan kebebasan sipil. Saya tidak punya keberatan
apapun terhadap kelompok pertama ini. Kritik-kritik mereka
dalam soal penanganan terorisme perlu didengar oleh
pemerintah.
Kedua, mereka yang sebetunya dari awal setuju dengan
ideologi, doktrin, dan ajaran para pelaku terorisme itu, atau
lebih spesifik ajaran jihad ala Abu Bakar Ba’asyir. Mereka ini
menunggangi isu HAM untuk menyembunyikan simpati
dan dukungan mereka terhadap ideologi terorisme. Inilah
“musang berbulu ayam” yang harus diwaspadai!
Semoga tulisan ini bermanfaat. In uridu illa ‘l-islah wa taufiqi
illa bi l-Lah.




                            — 25 —
«                          17/08/2009

Teks dan Kontradiksi: Kasus Ibn
Hazm al-Andalusi
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
  Ibn Hazm membuat pembedaan antara teks dengan
  penafsiran. Secara ontologis, sebuah teks jelas benar, tetapi
  pemahaman/penafsiran atas teks itu bisa salah. Pendapat
  Ibn Hazm ini mengingatkan kita pada pendapat serupa
  yang juga pernah dikemukakan oleh sarjana Mesir Nasr
  Hamid Abu Zayd. Yang terakhir ini membedakan antara
  agama (din, religion) dan wacana atau pembicaraan
  manusia tentang agama (al-khithab al-dini, discourse
  on religion). Agama, dalam pendapat Abu Zayd, bersifat
  absolut (tentu bagi mereka yang mempercayainya),
  sementara pembicaraan/ penafsiran/ pemahaman mengenai
  agama oleh manusia bersifat relatif, dan karena itu bisa
  keliru.


A    PA yang terjadi ketika seseorang menulis sebuah teks?
     Apakah yang terjadi saat proses “tekstualisasi” (yakni
menjadikan sesuatu yang a-tekstual menjadi tekstual)
berlangsung? Jawabannya sederhana: saat kita mengubah
sesuatu yang semula a-tekstual menjadi tekstual, maka di
sana terjadi sebuah proses yang, agar sedikit keren, sebut saja
“strukturasi”—proses memberikan struktur/bentuk kepada
sesuatu yang semula tak berbentuk. Dalam tekstualisasi, kita
berjumpa dengan suatu proses di mana sebuah peristiwa
prabentuk berubah menjadi ber-bentuk. Hasil yang muncul
pada fase pascabentuk itu biasa kita sebut teks atau narasi
tekstual. Prosesnya sendiri kita sebut tekstualisasi dengan
elemen-elemen sebagai berikut: peristiwa-prabentuk
=>bentuk=>pascabentuk.
Kalimat di atas seolah-olah abstrak dan mengerikan, tetapi
kalau kita letakkan dalam ilustrasi yang kongkret, sebetulnya
sederhana saja maknanya. Bayangkanlah keadaan berikut ini.
Saat berhadapan dengan suatu peristiwa, seorang wartawan
sebetulnya berjumpa dengan keadaan yang tanpa bentuk.
Peristiwa yang ia jumpai itu tak memiliki struktur, cair,
sebuah bahan mentah yang bisa ia tulis dengan banyak
sudut-pandang. Saat menulis laporan mengenai peristiwa itu,
si wartawan haruslah bergulat dengan sebuah proses yang
kadang mudah, tetapi seringkali juga tidak: yakni menjadikan

                             — 26 —
«
peristiwa pra-bentuk itu menjadi berbentuk dalam sebuah
laporan yang bisa dinikmati oleh pembaca.
Saat menulis laporan, si wartawan sebetulnya sedang
melakukan proses “tekstualisasi” atas peristiwa tersebut
– proses strukturasi (ingat konsep Paul Ricoeur tentang
waktu dan narasi). Bentuk bisa dicapai karena si wartawan
menuliskan peristiwa itu berdasarkan sudut pandang tertentu.
Masing-masing wartawan biasanya akan menuliskan peristiwa
yang sama dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
Hasilnya sudah bisa kita duga: dari peristiwa yang sama,
muncul laporan yang berbagai-bagai. Dari bahan mentah
yang sama, muncul sejumlah bentuk yang beragam.
Itulah yang kita baca dalam setiap berita di koran atau
majalah. Kita membaca peristiwa yang sama, misalnya ihwal
meninggalnya Mbah Surip. En toch demikian, masing-masing
koran memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Yang
muncul adalah berita yang meski bahan mentahnya sama,
tetapi menyuguhkan informasi yang beragam, persis karena
sudut pandang yang dipakai dalam setiap laporan itu tidak
sama.
Dalam setiap proses “tekstualisasi/strukturasi”, biasanya
berlangsung sejumlah proses lain yang bersifat ikutan.
Misalnya, dalam tekstualisasi, biasanya akan kita jumpai
proses pencocokan—proses di mana elemen-elemen dalam
peristiwa yang semula tak berbentuk itu menjadi saling cocok
satu dengan yang lain. Dengan kata lain, membuat sesuatu
menjadi koheren dan logis. Dalam tekstualisasi juga kita
jumpai proses penyelarasan atau harmonisasi antara unsur-
unsur yang semula tak saling bersesuaian menjadi saling
sesuai.
Kedua proses itu seolah-olah sama, tetapi tidak. Proses
pencocokan secara spesifik berkaitan dengan usaha
menjadikan beberapa elemen menjadi saling berkaitan
secara logis. Jika elemen-elemen dalam suatu narasi tekstual
tidak saling cocok, maka narasi itu menjadi tak masuk akal.
Sementara proses harmonisasi lebih umum sifatnya, tidak
terbatas pada pelogisan elemen-elemen yang berserakan.
Dengan kata lain, proses tekstualisasi adalah usaha untuk
menghindar dari kontradiksi. Suatu narasi tekstual disebut
sebagai sebuah “narasi” manakala ia koheren dan harmonis,
terhindar dari unsur-unsur yang tak logis, kontradiktoris, dan
janggal (lawan harmoni).

                           — 27 —
«
Itulah sebabnya, teks yang mengandung kontradiksi biasanya
akan diejek sebagai teks jelek. Sementara teks yang logis dan
koheren dipandang sebagai teks baik. Para polemikus Muslim,
entah dari masa klasik (seperti Ibn Hazm) atau modern
(seperti Ahmad Deedat), misalnya, biasa menyerang Injil
karena mereka memandang teks itu mengandung sejumlah
kontradiksi yang parah. Sebaliknya, kalangan polemikus
Kristen juga menyerang balik dengan menunjukkan bahwa
justru Qur’an lah yang mengandung kontradiksi (Quran
adalah teks gado-gado, “jumble-mumble”, istilah para
orientalis awal). Kedua belah pihak sebetulnya memiliki
kesamaan—mereka sama-sama berpandangan bahwa suatu
teks yang baik, apalagi suci, haruslah bersih sebersih-bersihnya
dari suatu kontradiksi. Teks yang mengandung kontradiksi
tak mungkin dianggap sebagai teks yang baik, apalagi suci.
Teks yang mengandung kontradiksi adalah teks di mana
proses tekstualisasi di dalamnya gagal.
TETAPI, apakah ambisi untuk membuat suatu narasi tekstual
menjadi sepenuhnya koheren itu bisa tercapai dalam semua
kasus? Saya khawatir jawabannya: tidak. Seringkali saya
menjumpai suatu narasi tekstual yang secara sadar ingin
membangun suatu bentuk yang koheren, tetapi nyatanya
gagal sama sekali. Alih-alih mampu seluruhnya koheren,
narasi itu tiba-tiba saja memuat hal-hal yang membatalkan
klaimnya sebagai sesuatu yang sepenuhnya koheren dan logis.
Saya akan mengambil sebuah teks yang menarik dari Ibn
Hazm (w. 456 H/1064 M) sebagai sebuah contoh.
Ibn Hazm adalah seorang alim dan sarjana fikih dari
Andalusia (nama untuk Spanyol saat negeri itu di bawah
kekuasaan Islam) yang hidup pada abad ke-12 Masehi. Nama
lengkapnya: Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Andalusi.
Sarjana ini dikenal karena kritik-kritiknya yang tajam atas
sejumlah pandangan yang sudah mapan di lingkungan
ortodoksi Sunni. Gaya berargumen dia memang lugas,
tangkas, dan kadang nylekit. Dia juga seorang polemikus
ulung yang gemar berdebat dengan kalangan Kristen. Kritik
literer dia atas Injil, konon menurut seorang sarjana, menjadi
inspirasi untuk munculnya Biblical literary criticism di Barat.
Meskipun pernah mengikuti mazhab Maliki dan Syafii, tetapi
ia pada akhirnya dikenal sebagai salah satu ikon penting dari
mazhab zahiri atau mazhab tekstualistis. Ia menulis sejumlah
buku, antara lain yang dikenal luas adalah al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam (dalam bidang teori hukum Islam, ushul al-fiqh),
al-Fishal fi al-Ahwa’ wa al-Milal wa al-Nihal (tentang sejarah
                            — 28 —
«
kemunculan sekte-sekte dalam Islam), dan al-Muhalla (dalam
bidang fikih).
Contoh yang akan saya jadikan ilustrasi di sini diambil dari
karya Ibn Hazm yang terakhir itu, al-Muhalla, terutama
pada bagian pembukaan dalam jilid pertama (karya itu
sendiri terdiri dari 11 jilid dalam edisi yang dikerjakan oleh
Ahmad Muhammad Shakir). Dalam pembukaan buku itu,
kita jumpai pembahasan yang menarik mengenai dua pokok
masalah: pertama di bidang teologi dan terangkum dalam
pasal yang diberi tajuk “Masa’il al-Tauhid” (pembahasan
mengenai tauhid atau teologi), dan kedua, pembahasan yang
berkenaan dengan teori hukum Islam dengan tajuk “Masa’il
min al-Ushul” (Pembahasan tentang Pokok-Pokok) . Dalam
pembahasan yang kedua itu, Ibn Hazm berusaha meletakkan
semacam dasar-dasar metodologis untuk proyek intelektual
dia di bidang hukum Islam sebagaimana tercermin dalam
karyanya itu.
Salah satu fondasi dari ijtihad dia adalah penolakan yang
begitu gigih terhadap metode qiyas atau analogi (Contoh
qiyas yang sering dipakai dalam literatur fikih biasanya
mengikuti pola ini: A diharamkan/dibolehkan karena
mengandung unsur B; C mengandung unsur B, maka ia juga
haram/boleh) . Empat mazhab hukum Islam di lingkungan
Sunni hampir seluruhnya sepakat memperlakukan qiyas/
analogi sebagai fondasi keempat dalam perumusan hukum
setelah Quran, sunnah dan ijma’ (konsensus). Ciri-ciri
kelompok Sunni biasanya ditengarai oleh cara berpikir di
bidang hukum yang bertopang pada empat fondasi di atas.
Kritik Ibn Hazm terhadap metode qiyas jelas bertentangan
dengan fondasi intelektual kalangan Sunni ortodoks. Pada
bagian berikut ini, saya akan mencoba meringkaskan
argumen-argumen Ibn Hazm untuk menolak metode qiyas.
Setelah itu, saya akan mencoba menunjukkan sejumlah
kontradiksi dalam argumen-argumen Ibn Hazm tersebut.
Dari sana, saya hendak memperlihatkan bahwa ambisi
tekstualisasi yang mencoba mengoherenkan semua elemen
dalam narasi tekstual kadang bisa “mrucut” (elusive).
Sekurang-kurangnya ada tiga argumen utama yang
dikemukakan Ibn Hazm untuk menolak metode qiyas.
Pertama, saat terjadi perselisihan dalam suatu soal, Quran
memberikan petunjuk yang jelas, yakni kembali kepada
Tuhan dan rasul-Nya (QS 4:59). Tidak ada perintah untuk
merujuk kepada qiyas sebagai metode untuk menyelesaikan
                            — 29 —
«
perselisihan pendapat. Kedua, dalam Quran, Tuhan
menegaskan bahwa semua hal bisa dijumpai di sana, tak ada
satupun yang terlewat (QS 6:38). Dengan kata lain, semua
hal ada jawabannya dalam Kitab Suci, dan karena itu sama
sekali tak dibutuhkan lagi metode lain, misalnya qiyas.
Ketiga, Ibn Hazm, dengan sikap yakin yang agak berlebihan,
menunjukkan bahwa dalam semua qiyas yang diajukan oleh
para sarjana fiqh yang lain, ia bisa menunjukkkan qiyas lain
yang lebih unggul. Dengan kata lain, qiyas sebetulnya tidak
menyodorkan jawaban yang tunggal, sebab masing-masing
sarjana fikih bisa mengajukan qiyas yang berbeda-beda untuk
kasus yang sama. Dengan mangajukan qiyas yang lebih
baik dari qiyas fuqaha yang lain, bukan berarti Ibn Hazm
setuju dengan metode itu. Dia hanya ingin memakai teknik
“mematahkan lawan dengan senjata mereka sendiri”.
Ibn Hazm menutup kritiknya atas metode qiyas dengan
sebuah pernyataan menarik berikut ini. Katanya, “Jika para
pendukung metode qiyas menunjukkan teks tertentu (nass,
teks dalam Quran atau sunnah) yang menyokong pendapat
mereka, maka jawaban saya adalah jelas: teks itu benar,
tetapi pendapat yang hendak kalian tambahkan/lekatkan
(adlaftum) pada teks tersebut melalui sebuah penafsiran
sama sekali keliru.” Dengan kata lain, dalam pandangan Ibn
Hazm, sejumlah ayat atau hadis yang kerap dipakai oleh para
pendukung qiyas untuk menyokong pendapat mereka adalah
benar, sebab tak mungkin ada kekeliruan dalam Quran dan
sunnah. Yang keliru adalah penafsiran atas ayat dan hadis
tersebut.
Yang menarik di sini, Ibn Hazm membuat pembedaan antara
teks dengan penafsiran. Secara ontologis, sebuah teks jelas
benar, tetapi pemahaman/penafsiran atas teks itu bisa salah.
Pendapat Ibn Hazm ini mengingatkan kita pada pendapat
serupa yang juga pernah dikemukakan oleh sarjana Mesir
Nasr Hamid Abu Zayd. Yang terakhir ini membedakan antara
agama (din, religion) dan wacana atau pembicaraan manusia
tentang agama (al-khithab al-dini, discourse on religion).
Agama, dalam pendapat Abu Zayd, bersifat absolut (tentu
bagi mereka yang mempercayainya) , sementara pembicaraan/
penafsiran/ pemahaman mengenai agama oleh manusia
bersifat relatif, dan karena itu bisa keliru.
Pernyataan Ibn Hazm ini, dalam pandangan saya,
sangat mengagetkan, persis karena pernyataan itu ia
kemukakan sebagai semacam “statemen pamungkas” yang

                           — 30 —
«
bisa memukul pihak lawan. Alih-alih menjadi senjata
pamungkas, pernyataan itu justru menjadi boomerang yang
merontokkan seluruh argumen yang telah susah-payah ia
bangun sebelumnya. Mengikuti dari awal seluruh argumen
yang dibangun oleh Ibn Hazm untuk menolak qiyas, kita
akan menjumpai suatu arsitektur argumentasi yang logis
dengan elemen-elemen yang koheren dan harmonis. Tetapi,
pernyataan dia yang terakhir itu justru membuat arsitektur
tersebut menjadi berantakan. Bagaimana?
Ibn Hazm membedakan antara teks dan penafsiran yang
dilekatkan (idlafah, istilah yang dipakai oleh Ibn Hazm) atas
teks. Teks (maksudnya ayat atau hadis) akan selalu benar,
sementara penafsiran mungkin keliru. Teks bersifat ilahiah
dan karena itu absolut, sementara penafsiran/pemahama
n bersifat insaniah dan karena itu mungkin meleset. Jika
demikian halnya, maka pertanyaan yang harus diajukan
adalah: Apakah Ibn Hazm juga tidak melakukan hal yang
sama seperti yang dilakukan oleh lawan-lawannya? Bukankah
Ibn Hazm juga memakai sejumlah ayat untuk mendukung
penolakannya atas qiyas, sebagaimana lawan-lawan dia juga
memakai ayat untuk mendukungnya? Apakah ayat yang ia
kutip itu dengan tegas menolak qiyas? Bukankah Ibn Hazm
hanya menafsirkan saja ayat-ayat yang ia kutip itu untuk
mendukung pendapatnya, persis seperti yang dilakukan oleh
lawan-lawan yang ia kritik? Jika penafsiran lawan-lawannya ia
anggap keliru, bukankah penafsiran dia juga mungkin keliru?
“Kesalahan” Ibn Hazm, jika boleh disebut demikian,
adalah menganggap bahwa semua ayat yang ia kutip untuk
mendukung penolakannya atas qiyas mempunyai pengertian
yang unifokal, artinya memiliki satu pengertian saja, yaitu
pengertian sebagaimana yang ia pahami (ingat prinsip
perspicuitas dalam memahami Kitab Suci sebagaimana dianut
oleh umumnya kalangan fundamentalis) . Kalau kita telaah
ayat-ayat yang ia pakai untuk menolak qiyas, jelas sekali tak
mengandung penegasan yang eksplisit tentang hal itu. Tak
ada satu ayat pun yang menegaskan, misalnya, “Wahai orang-
orang beriman, janganlah kalian memakai qiyas.” Seluruh ayat
yang dikutip Ibn Hazm hanya berisi penegasan yang bersifat
umum, ekwifokal, dan sama sekali tak ada sangkut-pautnya
dengan perdebatan mengenai soal qiyas. Sebagaimana lawan-
lawan polemiknya, Ibn Hazm juga melakukan penafsiran atas
ayat yang bersifat umum, sementara ayat itu sendiri tak secara
eksplisit mendukung pendapat dia.


                           — 31 —
«
Lawan-lawan Ibn Hazm bisa saja mengatakan hal yang sama
kepada dia, “Ayat yang anda (maksudnya Ibn Hazm) pakai
jelas benar adanya, tetapi pengertian dan penafsiran yang
anda lekatkan pada ayat tersebut untuk mendukung pendapat
anda sendiri, jelas keliru.” Senjata Ibn Hazm bisa balik
menyerang dirinya sendiri.
Contoh ini saya pakai sekedar untuk menunjukkan bahwa
dalam proses tekstualisasi, seringkali ada momen-momen
“kepleset” di mana seseorang gagal mengontrol semua
elemen dalam proses tersebut agar seluruhnya koheren dan
harmonis. Momen itulah yang menyebakan timbulnya sebuah
kontradiksi dalam sebuah teks. Tekstualisasi justru berubah
menjadi de-tekstualisasi. Dengan mengatakan ini, bukan
berarti saya menolak adanya sebuah teks-baik yang seluruhnya
konsisten dan koheren. Yang hendak saya katakan adalah
ada momen tak terkontrol yang justru bisa menggagalkan
keinginan untuk menjadikan sebuah teks seluruhnya koheren.
Yang menarik, momen kepleset seperti itu kerap tak disadari
oleh si penyusun teks. Apakah ini bisa disebut sebagai “efek
Freudian” dalam proses penulisan teks? Saya tak tahu. Yang
saya cemaskan, jangan-jangan efek itu juga ada dalam teks
yang saya tulis ini. []




                          — 32 —
«                       31/08/2008

Kritik atas Argumen Aktivis
Hizbut Tahrir
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
  Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama
  bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus
  didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini,
  dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan
  menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks
  sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan
  “bayan” atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada.


S  AYA kerap mendengar pernyataan aktivis Hizbut Tahrir
   (HT), gerakan Islam yang dikenal dengan “mimpi besar”
untuk menegakkan negara Islam internasional itu (dikenal
dengan negara khilafah), bahwa fakta sosial tak bisa menjadi
dasar landasan penetapan hukum.
Pernyataan ini pertama kali saya dengar dari jubir Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, saat saya dan dia
berbicara dalam sebuah diskusi di Bogor sekitar enam tahun
yang lalu. Belakangan, aktivis HTI kerap mengulang-ulang
argumen serupa. Rupanya, statemen ini menjadi semacam
“refrain” di kalangan mereka.
Bagi yang kurang akrab dengan ilmu ushul fikih (teori hukum
Islam), mungkin statemen ini kurang begitu jelas. Supaya
sederhana dan mudah dipahami, saya akan berikan contoh
kecil berikut ini.
Kita tahu, bahwa Sunan Kudus membangun masjid dengan
menara yang berbentuk seperti pura Hindu. Taruhlah,
anda terlibat dalam sebuah diskusi tentang boleh tidaknya
membangun masjid dengan arsitektur yang menyerupai
tempat ibadah agama lain. Misalkan saja anda berpendapat
bahwa hal itu boleh. Saat lawan diskusi anda bertanya, apa
“hujjah” atau argumen anda, anda menjawab, “Tuh, buktinya
Sunan Kudus membangun masjid dengan arsitektur yang
menyerupai tempat ibadah agama Hindu.”
Ini hanya contoh anekdotal yang sangat sederhana. Anda bisa
mengembangkan contoh ini dengan kasus-kasus lain.
Menurut aktivis HTI, cara berargumen seperti ini mereka
anggap salah, sebab fakta sosial, yaitu tindakan Sunan Kudus,

                           — 33 —
«
tidak bisa dijadikan sebagai landasan penetapan hukum
tentang boleh tidaknya membangun masjid dengan gaya
arsitektur yang mirip tempat ibadah agama lain. Hukum,
menurut mereka, hanya bisa disandarkan atas dalil agama
(dalil syar’i). Dalil atau teks agama mengatasi segala-galanya.
Tindakan Sunan Kudus atau tokoh manapun, selain Nabi
Muhammad, tidak bisa menjadi standar normatif. Yang bisa
menjadi standar hanyalah teks agama.
Apakah argumen aktivis HTI ini tepat, terutama dilihat dari
tradisi teori hukum Islam klasik sendiri? Esei pendek ini saya
tulis untuk memberikan kritik atas cara berpikir aktivis HTI
yang, jujur saja, merupakan ciri-khas kaum “tekstualis” di
manapun.
Dalam pandangan saya, argumen semacam ini sama sekali
tak tepat. Memang, dalam teori hukum Islam, dikenal empat
sumber hukum utama, yaitu Quran, hadis, ijma’ (konsensus
sarjana hukum Islam atau “juris”) dan qiyas atau analogi
(dalam tradisi fikih Syiah, sumber keempat bukan qiyas tetapi
akal).
Tetapi, sumber hukum bukan hanya empat, sebab ada
sumber-sumber lain yang kedudukannya memang
diperselisihkan oleh para sarjana Islam (al-adillah al-mukhtalaf
fiha). Statemen aktivis HTI bahwa fakta sosial tidak bisa
menjadi sumber hukum, sama sekali tidak tepat, sebab di luar
empat sumber utama di atas, ada sumber-sumber lain yang
diakui oleh ulama fikih, termasuk fakta sosial sebagaimana
akan saya tunjukkan nanti.
Argumen kalangan HTI ini sengaja mereka pakai untuk
menepis sanggahan yang diajukan oleh para pengkritik teori
negara khilafah yang antara lain disandarkan pada fakta-fakta
historis dalam sejarah Islam.
Para pengkritik teori negara khilafah, antara lain, mengatakan
praktek negara khilafah tidak “secemerlang” yang dikira oleh
para penyokong ide itu. Banyak “khalifah” dalam dinasti-
dinasti Islam masa lampau yang bertindak otoriter, despotik,
dan kejam. Sebagaimana dalam sejarah negara-negara kuno,
pertumpahan darah selalu menandai peralihan kekuasaan dari
satu dinasti Islam ke dinasti yang lain.
Terhadap kritik semacam ini, aktivis HTI akan mengatakan
bahwa fakta sejarah tidak bisa menjadi dasar untuk
menetapkan hukum. Menurut mereka, negara khilafah
adalah satu-satunya bentuk negara yang sah menurut dalil
                            — 34 —
«
agama; fakta sejarah yang menunjukkan bahwa bentuk negara
khilafah tak seideal yang dibayangkan, menurut mereka, tak
bisa dijadikan argumen untuk menyanggah dalil agama.
Dalam pandangan aktivis HTI, dalil agama sudah cukup
dalam dirinya sendiri; fakta sosial harus tunduk pada dalil
agama, bukan sebaliknya.
DALAM standar ilmu ushul fikih klasik, argumen ala HT
ini jelas sama sekali salah. Dalam hukum fikih, fakta sosial
jelas bisa menjadi dasar penetapan hukum. Karena itulah ada
kaidah terkenal, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati
wa al-amkan,” hukum berubah sesuai dengan waktu dan
tempat.
Perbedaan mazhab dalam Islam jelas terkait dengan perbedaan
konteks sosial di mana pendiri mazhab itu hidup. Kenapa
mazhab Abu Hanifah sering disebut sebagai mazhab ahl al-
ra’y, pendapat yang cenderung rasional, karena mereka hidup
di Kufah, kota tempat persilangan budaya, kota di mana kita
jumpai warisan dari banyak peradaban besar sebelum Islam.
Sementara mazhab Maliki lebih cenderung berpegang pada
“sunnah” penduduk Madinah (dikenal dengan ‘amal ahl
al-Madinah) karena memang itulah kota tempat Nabi dan
sahabatnya hidup, sehingga sunnah penduduk Madinah
dianggap sebagai norma.
Sudah tentu, fakta sosial semata-mata memang tak cukup
untuk menetapkan sebuah hukum dalam pandangan teori
hukum Islam klasik. Fakta sosial tetap harus ditimbang
berdasarkan teks. Tetapi teks saja juga tak cukup, karena teks
juga dipahami berdasarkan perubahan-perubahan lingkungan
sosial yang ada. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis
antara teks dan konteks sosial. Dengan demikian, argumen
aktivis HTI itu jelas sama sekali tak benar.
Seorang ulama mazhab Hanafi, Najm al-Din al-Thufi (w.
1324 M), malah berpendapat lebih jauh lagi. Dalam kitabnya
yang kurang banyak dibaca luas, “Kitab al-Ta’yin fi Sharh
al-Arba’in” (komentar atas kumpulan empat puluh hadis
karya Imam Nawawi), al-Thufi melontarkan sebuah pendapat
yang menjadi kontroversi dari dulu hingga sekarang, bahwa
jika terjadi pertentangan antara maslahat atau kepentingan
umum dengan teks atau dalil agama, maka maslahat harus
didahulukan.
Saya kutipkan teks Thufi yang langsung berkaitan dengan hal

                            — 35 —
ini:
                            «
“Wa in khaalafaaha wajaba taqdim ri’ayat al-masalahati
‘alaihima bi thariq al-takhsis wa al-bayan lahuma, la bi thariq
al-iftiyat ‘alaihima wa al-ta’thil lahuma, kama tuqaddam al-
sunnah ‘ala al-Qur’an bi thariq al-bayan” (hal. 238, edisi yang
diedit oleh Ahmad Haj Muhammad ‘Uthman, 1998).
Secara ringkas, teks itu menegaskan, jika terjadi pertentangan
antara teks (nass) dan konsensus ulama (ijma’) dengan
maslahat, maka kemaslahatan umum harus didahulukan di
atas teks dan ijma’.
Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama
bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus
didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini,
dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan
menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial
dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan”
atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada.
Ini memang pembahasan yang kompleks. Yang tidak pernah
belajar ushul fikih, penjelasan ini mungkin terlalu teknis
dan kurang jelas. Intinya adalah: jika dalil dalam Quran atau
hadis mengatakan A, lalu konteks sosial justru menunjukkan
B, maka teks Quran/hadis itu bisa “dispesifkasi” atau
“diterangkan” oleh konteks itu. Dengan kata lain, konteks
didahulukan atas teks.
Pendapat al-Thufi ini memang banyak diserang oleh ulama-
ulama lain, karena dianggap terlalu berani. Dia bahkan
diisukan sebagai seorang penganut sekte Syi’ah rafidah (Syi’ah
yang ekstrim). Biasa, ini adalah semacam “black campaign“.
Seolah-olah jika seseorang menganut sekte Syi’ah maka
pendapatnya otomatis salah.
Apapun, pendapat al-Thufi ini sangat menarik dan
memperlihatkan bahwa di kalangan ulama fikih dan ushul
fikih klasik sendiri sudah ada pendapat yang menyatakan
tentang kedudukan penting dari konteks sosial. Sekali lagi,
pernyataan kalangan aktivis HTI bahwa fakta sosial tak bisa
menjadi sumber hukum, sama sekali tak tepat, untuk tak
mengatakan keliru sama sekali.
Sementara itu, banyak sekali ketentuan hukum dalam fikih
yang digantungkan pada adat dan kebiasaan masyarakat
setempat. Itulah sebabnya, dalam fikih dikenal kaidah yang
sangat populer, “al-’adah muhakkamah“, kebiasaan sosial bisa

                            — 36 —
menjadi sumber hukum.
                            «
Sudah tentu adat bukan sumber hukum yang mandiri, sebab
harus ditimbang berdasarkan parameter teks agama. Tetapi,
teks agama juga tak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan adat
sosial. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis antara adat
dan teks agama. Adat dan teks agama, dua-duanya menjadi
sumber hukum.
Contoh sederhana adalah mengenai mas kawin atau mahar.
Quran menegaskan bahwa seorang lelaki harus memberikan
mas kawin kepada perempuan yang dinikahinya (wa aatu
al-nisa’a shaduqatihinna nihlah, QS 4:4). Tetapi Quran tidak
menerangkan, berapa jumlah mahar yang harus diberikan
oleh suami kepada isterinya.
Di sini, ada ruang “legal” yang dibiarkan terbuka oleh teks
agama. Adat masuk untuk mengisinya. Jumlah mahar,
menurut ketentuan yang kita baca dalam literatur fikih,
diserahkan saja pada adat dan kebiasaan sosial yang ada. Oleh
karena itu, jumlah mahar berbeda-beda sesuai dengan adat
yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang dikenal dalam
fikih sebagai “mahr al-mitsl“, yakni mas kawin yang sepadan
dengan kedudukan sosial seorang isteri dalam adat dan
kebiasaan masyarakat setempat.
Fakta ini dengan baik menunjukkan bahwa kebiasaan sosial
bisa menjadi sumber hukum. Teks saja tidak cukup kalau tak
dilengkapi dengan konteks sosial.
Kalangan santri yang belajar di pesantren-pesantren NU
tentu sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa hukum bisa
berubah-ubah karena perubahan konteks. Fatwa beberapa
kiai berubah-ubah dari waktu ke waktu karena perubahan
konteks sosial. Pada zaman kolonial Belanda dulu, banyak
kiai yang berfatwa bahwa memakai celana dan jas hukumnya
haram, karena menyerupai adat kebiasaan kaum kolonial
yang “kafir”. Setelah zaman merdeka, kiai-kiai mulai berubah
pendapat dan bisa menerima “baju kolonial” itu, karena
konteksnya sudah berbeda.
Jadi, sekali lagi, apa yang dikatakan oleh aktivis HT itu sama
sekali keliru![]




                            — 37 —
«                        25/08/2008

Menjadi Muslim dengan
Perspektif Liberal
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
  PERBEDAAN mendasar antara saya berserta teman-teman
  Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada
  umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif
  pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak
  semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang
  bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua
  hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata-
  mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar
  rasionalisasinya, tak bisa dinalar.


S   EJAK Mei 2001, bersama dengan teman-teman muda
    di Jakarta, saya mendirikan sebuah kelompok bernama
Jaringan Islam Liberal, disingkat JIL. Kata “jil” selain enak
diucapkan sebagai akronim, juga merupakan kata Arab yang
artinya “generasi”. JIL adalah sebuah generasi pemikiran yang
muncul di tengah-tengah masyarakat.
Tujuan utama kelompok ini secara umum ada dua.
Pertama, melakukan kritik atas pemahaman keislaman yang
fundamentalistis, radikal dan cenderung pada kekerasan.
Paham-paham semacam ini muncul bak cendawan setelah
era reformasi di Indonesia sejak 1998. Bagi saya, paham
Islam yang radikal, eksklusif, dan pro-kekerasan ini sangat
berbahaya bukan saja bagi masyarakat Indonesia yang plural,
tetapi juga bagi Islam sendiri. Sebagai seorang Muslim,
saya tidak mau agama saya”dibajak” oleh kaum radikal-
fundamentalis untuk mengesahkan kekerasan atas nama
agama.
Kedua, untuk menyebarkan pemahaman Islam yang lebih
rasional, kontekstual, humanis, dan pluralis. Di mata saya
dan teman-teman yang menggagas JIL, Islam harus terus-
menerus dikonfrontasikan dengan realitas sosial yang terus
berubah. Jawaban yang diberikan oleh agama atau ulama di
masa lampau, belum tentu tepat untuk zaman sekarang. Oleh
karena, sikap kritis dalam membaca pemikiran Islam yang
kita warisi dari ulama masa lampau sangat penting.
Tidak semua hal yang tertera dalam Quran dan hadis harus
dimaknai secara harafiah. Quran dan hadis dibentuk oleh

                           — 38 —
«
konteks yang spesifik, dan karena itu harus terus-menerus
dikontekstualisasikan, terutama ajaran-ajaran yang berkenaan
dengan kehidupan sosial-politik. Bagi saya dan teman-teman
JIL, misalnya, sistem pengelolaan “negara” yang pernah
dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat sesudahnya di
Madinah tidak mesti kita contoh mentah-mentah untuk
dipraktekkan pada zaman sekarang, sebab kita berhadapan
dengan konteks sejarah yang berbeda.
JIL sama sekali tidak mengungkit-ungkit masalah ibadah.
Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan.
Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa
sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik
adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah
ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering
disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti
salat, puasa dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut
saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan.
Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan
ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara
ibadah bersifat “harga mati”. Misalnya, saat saya kecil di
kampung dulu, ada diskusi hangat antara kalangan NU dan
Muhammadiyah mengenai boleh tidaknya menyampaikan
khutbah Jumat dalam bahasa selain Arab. Kiai-kiai NU
berkeras bahwa khutbah Jumat harus disampaikan dalam
bahasa Arab, sebab Nabi dulu memakai bahasa itu dalam
khutbah.
Kalangan Muhammadiyah berpandangan lain: khutbah
tujuan pokoknya adalah untuk memberi pengertian
dan informasi kepada jamaah. Bagaimana pengertian
itu bisa sampai kepada mereka jika tak memakai bahasa
yang bisa mereka pahami? Dalam hal ini, cara berpikir
Muhammadiyah, menurut saya, cenderung liberal, sementara
kiai-kiai NU cenderung konservatif.
Sekarang, praktek khutbah dengan bahasa non-Arab sudah
diterima secara umum baik oleh kiai NU maupun, apalagi,
tokoh-tokoh Muhammadiyah. Meskipun di kampung
saya, hingga sekarang masih ada beberapa kiai yang tak bisa
menerima khutbah dalam bahasa Indonesia atau Jawa. Paman
saya di kampung yang mengelola sebuah pesantren, masih
tetap memakai bahasa Arab dalam khutbah Jumat. Dia tetap
berpandangan bahwa khutbah yang disampaikan dalam
bahasa lokal, bukan Arab, tidak sah dan karena itu salat Jumat
juga menjadi tidak sah pula.
                           — 39 —
«
Masalah serupa sekarang muncul dalam konteks salat:
apakah kita boleh memakai bahasa non-Arab dalam salat?
Sebagaimana kita tahu, salat adalah kata Arab yang secara
harafiah artinya doa. Apakah kita harus berdoa hanya dalam
bahasa Arab saja, atau bolehkah berdoa dalam salat dengan
bahasa lain, misalnya Jawa, Madura, Sunda, atau Batak?
Bukankah doa dengan bahasa lokal yang kita pakai sehari-hari
lebih baik ketimbang bahasa Arab yang untuk beberapa orang
sama sekali tak dipahami?
Umumnya umat Islam tidak bisa menerima ide tentang salat
memakai bahasa non-Arab. Bahkan kalangan Muhammadiyah
yang cukup “liberal” dalam kasus khutbah Jumat, umumnya
bersikap konservatif dalam masalah yang satu ini.
Itu adalah beberapa contoh tata cara ibadah yang masih
terbuka untuk didiskusikan. Tetapi, pada umumnya, tata
cara ibadah bersifat “fixed” alias harga mati. Jumlah rakaat
salat, misalnya, tidak bisa kita diskusikan lagi. Waktu salat
juga sudah ditentukan oleh agama. Kita tak usah terlalu
jauh mempersoalkan kenapa salat Magrib berjumlah tiga
rakaat, Isya empat rakaat, Subuh dua rakaat, dan seterusnya.
Boleh saja kita mereka-reka alasan di balik tata cara itu. Pada
akhirnya, hal-hal yang berkaitan dengan ritual itu bersifat
ta’abbudi, alias tidak bisa dirasionalkan.
Sebagai seorang Muslim liberal, saya tak pernah
mempersoalkan masalah-masalah yang masuk dalam wilayah
ibadah murni itu. Sebuah hadis terkenal menegaskan, “al-
salah mukh-kh al-’ibadah”, salat atau berdoa adalah “the crux”
atau inti ibadah. Hadis ini dengan tepat sekali memotret
fenomena keberagamaan bukan saja dalam Islam, tetapi juga
dalam semua agama. Kalau kita telaah agama-agama dunia,
berdoa, meditasi, sembahyang atau praktek-praktek serupa
adalah unsur pokok di sana yang tak bisa dihindarkan.
Oleh karena itu, sembahyang buat saya memiliki kedudukan
yang penting dalam keislaman yang saya pahami.
Sembahyang di sini saya mengerti dalam dua makna
sekaligus, yaitu sembahyang secara teknis yang sering disebut
salat dengan tata-cara yang sudah ditetapkan dalam Islam,
maupun sembahyang dalam pengertian berdoa dan meditasi
secara umum. Saya melakukan dua hal itu sekaligus.
Spiritualitas menempati kedudukan penting dalam modus
keberagamaan saya. Meminjam istilah William James yang
dikenal luas melalui bukunya The Varieties of Religious

                            — 40 —
«
Experience” itu, beragama yang “genuine” ditandai oleh
semacam gejala seperti “flu berat” (acute fever). Beragama
yang hanya mengikuti tradisi saja tanpa pengalaman
spiritualitas yang mendalam oleh James disebut sebagai
pengalaman yang menyerupai “baju bekas”, (istilah yang
dipakai oleh James adalah second hand religious life).
Dengan demikian, salat atau sembahyang menempati
kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberal
saya. Entah dari mana sumbernya, ada suatu persepsi di
sebagian kalangan masyarakat bahwa Islam liberal sama
dengan tidak salat, tidak puasa, dan mengabaikan ibadah
sama sekali. Ini jelas persepsi yang keliru sama sekali.
PERBEDAAN mendasar antara saya berserta teman-teman
Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada
umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif
pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak
semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang
bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua
hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata-
mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar
rasionalisasinya, tak bisa dinalar.
Islam memang berarti ketundukan. Muslim berarti orang
yang tunduk. Kalangan Islam konservatif, dengan interpretasi
tertentu, hendak mengatakan bahwa sebagai Muslim, kita
harus tunduk pada perintah Tuhan tanpa reserve, tanpa ba-bi-
bu. Kita tak diperbolehkan untuk mempertanyakan kenapa
Tuhan memerintahkan hal ini, melarang itu. Tugas manusia
nyaris seperti “budak” yang taat tanpa berpikir pada sebuah
perintah.
Pemahaman keislaman seperti ini, dalam pandangan saya,
jelas sama sekali tak tepat. Dalam Quran sendiri, berkali-
kali kita menjumpai ayat-ayat yang disudahi dengan sebuah
pertanyaan retoris berbunyi “afala ta’qilun“, apakah kalian
tak memakai akal, atau “la’allakum tatafakkarun” atau “afala
tatafakkarun“, apakah kalian tak berpikir.
Ayat yang menarik perhatian saya sejak dulu adalah berikut
ini, “inna syarra al-dawabbi ‘inda al-Lahi al-shumm al-bukm
al-lazina la ya’qilun.” (QS 8:22). Terjemahan bebas ayat
itu: seburuk-buruk binatang melata di muka bumi adalah
orang-orang tuli dan bisu yang sama sekali tak memakai akal
mereka.
Ayat di atas bukan semacam kutukan bagi mereka yang
                           — 41 —
«
secara fisik menderita cacat tuli dan bisu. Dua kata itu
dipakai dalam ayat di atas secara metaforis. Ayat itu sudah
menjelaskan dirinya sendiri: tuli dan bisu di sana merujuk
kepada orang-orang yang tak memakai akal. Yakni mereka
yang hanya tunduk pada tradisi dan pemahaman yang sudah
berlaku umum, tanpa memeriksa pemahaman itu secara kritis
dengan akal sehat.
Memakai akal adalah perintah Tuhan itu sendiri. Jika
seseorang mengikuti perintah agama dengan sikap kritis, itu
bukan berarti ia tak tunduk pada perintah tersebut, tetapi
justru ia melaksanakan perintah itu sendiri. Sebab, dalam
banyak ayat Tuhan mengkritik perilaku mereka yang hanya
mengikuti apa yang sudah ada tanpa berpikir kritis. Bacalah
ayat berikut ini: qalu wajadna aba’ana kazalika yaf ’alun (QS
26:74). Terjemahan bebas: mereka berkata, kami hanya
mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh bapak-bapak
kami sebelumnya.
Ayat itu adalah kritik terhadap masyarakat pada masa Nabi
Ibrahim yang “ngotot” merawat tradisi keagamaan mereka
tanpa berpikir kritis. Mereka menolak dakwah Ibrahim
dengan alasan yang sangat “tipikal” pada semua masyarakat
manapun: kami hanya mengikuti tradisi yang sudah dijamin
teruji; kami tak mau ambil resiko mengikuti anda yang belum
jelas reputasinya. Masyarakat manapun memang cenderung
konservatif, alias menjaga tradisi dan merawatnya secara
membabi-buta, walaupun bukti-bukti rasional menunjukkan
bahwa praktek yang ada itu sudah tak tepat sama sekali dan
berlawanan dengan semangat zaman.
Ayat itu relevan sebagai kritik bukan saja untuk masyarakat
pada masa Nabi Ibrahim, tetapi juga keadaan umat Islam
sendiri saat ini. Semangat taklid buta tanpa berpikir kritis
sangat dikecam dalam banyak ayat di Quran.
Itulah “tuli” dan “bisu” yang dikritik oleh Quran: sikap
keras kepala, tak rasional, tak mau membuka diri pada
perkembangan baru yang ada dalam masyarakat. Orang-
orang seperti ini mempunyai prinsip yang khas: pokoknya
agama mengatakan A, ya sudah, saya mengikutinya tanpa
bertanya apapun. Orang-orang semacam ini merasa tunduk
pada perintah Tuhan, padahal mereka mengabaikan perintah
Tuhan yang lain untuk berpikir kritis.
Oleh Quran, orang-orang semacam ini disebut sebagai
“syarr al-dawabb”, binantang melata yang paling buruk.

                            — 42 —
«
Kata “dabbah” (bentuk tunggal dari kata “dawabb”) secara
harafiah berarti “kullu ma yadibbu ‘ala al-ard”, segala hewan
yang merangkak atau melata di muka bumi. Meskipun kata
“dabbah” biasa dipakai untuk menyebut hewan yang biasa
dikendarai sebagai alat transportasi (seperti kuda, keledai,
atau unta), yang dimaksud dengan kata itu dalam ayat di atas
adalah manusia. Dengan kata lain, seburuk-buruk manusia
adalah mereka yang tak memakai akal mereka.
Dengan bersembunyi di balik alasan “tunduk pada perintah
Tuhan”, orang-orang yang disebut “syarr al-dawabb” itu
menolak untuk memakai pendekatan yang kritis dalam
memahami perintah-perintah agama.
Pemahaman Islam liberal yang saya kembangkan ingin
mengajukan cara pandang yang lain. Berpikir kritis, termasuk
dalam memahami perintah-perintah Tuhan, adalah bagian
dari keislaman itu sendiri. Berpikir secara rasional dalam
masalah agama adalah bagian dari perintah agama itu sendiri.
Berpikir kritis dalam agama bukan berarti membangkang
terhadap agama.
DENGAN mengecualikan aspek ibadah murni, saya
cenderung mengembangkan pemamahan keislaman yang
rasional, kontekstual, dan humanis. Banyak hal yang selama
ini dianggap sebagai perintah agama, sebetulnya, jika kita
telaah dengan kritis, hanyalah cerminan dari keadaan sosial
pada masa tertentu yang makin tak relevan dengan berlalunya
zaman.
Sejumlah contoh bisa saya sebutkan di sini.
Hingga sekarang, masih banyak negeri-negeri Arab
teluk, termasuk Saudi Arabia, yang menolak mengangkat
perempuan sebagai anggota parlemen. Berdasarkan “petuah”
dan “fatwa” ulama konservatif di negeri-negeri itu, mereka
berpandangan bahwa praktek mengangkat perempuan
menjadi anggota parlemen berlawanan dengan Islam. Sebuah
hadis terkenal sering dijadikan sebagai sandaran argumen,
“ma aflaha qawmun wallau amrahum imra’atan.” Terjemahan
bebasnya: bangsa yang menyerahkan urusan mereka kepada
seorang perempuan tak akan beruntung, alias akan gagal.
Beragama secara rasional dan kritis seperti saya pahami dalam
kerangka Islam liberal akan mencoba mengajukan sejumlah
pertanyaan berikut ini.
Benarkah perempuan tak mampu menjadi pemimpin?

                           — 43 —
«
Apakah secara empiris itu dibuktikan dalam realitas
empiris? Bukankah banyak perempuan yang sukses menjadi
pemimpin? Kalau perempuan dalam masyarakat tertentu tak
mampu menjadi pemimpin, apakah hal itu karena faktor
intrinsik dalam diri mereka, atau karena masyarakat tak
memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh
ketrampilan sebagai pemimpin? Taruhlah hadis itu benar
diucapkan oleh Nabi, apakah ia tetap relevan diberlakukan
hingga sekarang, ataukah itu terkait dengan keadaan spesifik
pada zaman Nabi saja? Apakah masuk akal ajaran agama
yang konon berasal dari Tuhan menghalangi hak perempuan
untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat, padahal jumlah
mereka adalah separoh dari penduduk bumi? Tuhan macam
apa yang memberikan ajaran semacam ini? Ataukah kita
sendiri yang tak tepat memahami ajaran Tuhan itu?
Bertanya secara kritis semacam ini bukan melawan esensi
Islam sebagai agama ketundukan. Sebagaimana sudah saya
tunjukkan di muka, bertanya secara kritis adalah bagian
dari perintah agama itu sendiri. Sekali lagi, kita tunduk
pada perintah Tuhan bukan seperti “budak bego” yang sama
sekali tak berpikir. Kita tunduk tetapi harus dengan cara-cara
yang rasional. Tunduk secara membabi-buta tanpa berpikir
disebut oleh Quran sebagai tindakan orang-orang yang masuk
kategori “syarr al-dawabb”, “the ugliest animal“, binatang
yang teramat buruk.
Contoh lain yang relevan untuk keadaan yang kita saksikan di
sejumlah negeri-negeri Islam saat ini adalah masalah hukum
hudud yaitu hukum pidana Islam seperti potong tangan,
cambuk, dan lontar batu. Sebagaimana kita tahu, hukuman
bagi pidana pencurian yang memenuhi syarat-syarat tertentu
menurut Quran adalah potong tangan (QS 5:38). Saat ini,
muncul sejumlah gerakan Islam yang ingin menerapkan
syariat Islam sebagai hukum negara. Hukum potong tangan
adalah salah satu ajaran yang hendak mereka perjuangkan
untuk menjadi hukum negara yang tentu bisa di-enforce
melalui aparat pemerintah.
Membaca ayat di atas, kita bisa mengajukan sejumlah
pertanyaan: apakah teknik menghukum pidana
pencurian bersifat statis? Bukankah teknik pemidanaan
dan penghukuman berkembang terus sesuai dengan
perkembangan peradaban dan kematangan mental manusia?
Bukankah hukum potong tangan itu warisan dari praktek-
prektek penghukuman pada masyarakat kuno yang sangat

                           — 44 —
«
kejam? Bukankah Islam hanya meminjam saja praktek-
praktek penghukuman yang sudah ada? Jika perkembangan
teknik penghukuman berkembang terus, apakah kita tak
perlu meninjau “hukum Tuhan” itu? Bukankah yang penting
adalah esensi penghukuman, bukan cara menghukum?
Sekali lagi, bertanya seperti itu adalah bagian dari perintah
agama, bukan melawan perintah agama seperti dikesankan
oleh kaum Islam fundamentalis di mana-mana.
Sikap kritis semacam ini perlu kita kembangkan untuk
memahami sejumlah ajaran dalam Islam. Sekali lagi, saya
menganjurkan sikap ini di luar masalah ibadah murni. Dalam
masalah ritual murni, saya menjalankan saja perintah agama
dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Meskipun detil-detil
ketentuan itu masih bisa tetap diperdebatkan.
Kenapa sikap kritis saya berhenti pada saat berhadapan
dengan masalah ibadah murni? Ini pertanyaan yang diajukan
oleh beberapa teman kepada saya. Tidak mudah menjawab
pertanyaan ini, dan saya tak memiliki pretensi untuk bisa
menjawabnya secara memuaskan. Secara umum, jawaban
saya adalah sebagai berikut. Masalah-masalah ibadah murni
cenderung bersifat arbitrer, alias acak dan tanpa alasan yang
jelas.
Sebagai perbandingan, kita bisa mengambil sejumlah contoh
tindakan arbitrer dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
contoh adalah praktek berlalu-lintas di sebelah kiri seperti
kita jumpai di Indonesia. Kita bisa bertanya, kenapa kita
tak memakai sistem lain, yaitu lalu-lintas dari sebelah kanan
seperti berlaku di banyak negeri Eropa atau Amerika. Tentu
kita bisa memberikan alasan pembenar untuk masing-masing
praktek itu. Tetapi, pada akhirnya, jawaban yang paling
masuk akal adalah: itu semua adalah pilihan suka-suka saja,
alias arbitrer. Baik kanan atau kiri tidak mengandung alasan
yang subtansial. Yang penting, lalu-lintas aman dan tertib.
Masalah ibadah murni kurang-lebih sama dengan hal itu,
meskipun tidak persis. Kita bisa bertanya, kenapa salat
Magrib berjumlah tiga rakaat, kenapa tida empat, kenapa
tidak lima; kita juga bisa mencoba memberikan alasan-alasan
pembenar. Tetapi, pada akhirnya, tak ada alasan yang masuk
akal kecuali bahwa hal itu bersifat arbitrer. Tuhan sudah
menentukan demikian, kita tinggal menjalankannya saja.
Bagi saya, semua jenis ibadah yang dipraktekkan oleh agama
apapun, sama statusnya: yaitu arbitrer. Yang penting di mata

                            — 45 —
«
saya adalah bukan bagaimana cara beribadah, tetapi apakah
anda bisa menghayati spiritualitas yang “genuine” dengan cara
ibadah yang anda ikuti itu atau tidak.
Semua orang beribadah dengan tujuan yang sama:
membangun komunikasi dengan Tuhan sebagai Sumber,
Pemberi, dan Pemelihara Kehidupan. Masing-masing agama
memiliki cara ibadah yang “arbitrer”. Tak ada alasan yang
substansial di balik tata-cara ibadah itu.
Inilah pemahaman Islam liberal yang ingin saya kembangkan;
yakni beragama yang secara individual menekankan
spirtualitas yang mendalam, dan secara sosial memakai
pendekatan yang rasional dan kontekstual. Inilah corak agama
yang memenuhi definisi Islam sebagaimana saya pernah
pelajari waktu duduk di madrasah ibtida’iyah (setara dengan
SD) puluhan tahun yang lalu.
Waktu kecil dulu, Islam, menurut buku pelajaran tauhid
yang saya pakai saat itu, adalah agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membawa kebahagiaan di dunia
sekarang dan akhirat kelak. Hingga sekarang saya masih ingat
teks Arab definisi itu: al-Islam huwa al-din al-lazi ja’a bihi
Muhammadun SAW li sa’adat al-insani fi al-’ajili wa al-ajili.
Kebahagiaan ukhrawi, dalam pandangan saya, dicapai melalui
pengembangan spirtualitas yang mendalam. Sementara itu,
kebahagiaan duniawi dicapai melalui usaha membangun
kehidupan sosial-politik yang masuk akal. Definisi Islam
seperti saya pelajari waktu kecil itu menarik sekali karena
relevan untuk kita terapkan pada hampir semua agama. Inti
definisi itu menggambarkan dengan baik sekali fungsi agama:
yaitu mencapai kebahagiaan, entah di dunia sekarang, atau
dalam kehidupan kelak. Tekanan ingin saya letakkan pada
kata “kebahagiaan”.
Mereka yang belajar filsafat Islam, akan dengan mudah
menemukan relevansi konsep kebahagiaan ini dalam tradisi
filsafat Islam yang sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat
Yunani. Kalau kita telaah karya-karya Al-Farabi (w. 950 M),
Ibn Sina (w. 1037 M) atau Ibn Miskawayh (w. 1030 M),
kita akan menjumpai pembahasan yang menarik tentang
konsep kebahagiaan. Dalam pandangan mereka, ada dua
jenis kebahagiaan, yaitu kebahagiaan teoretis (al-sa’adah
al-nazariyyah) yang diajarkan oleh filsafat, dan kebahagiaan
praktis (al-sa’adah al-’amaliyyah) yang diajarkan oleh para
nabi. Dua-duanya sangat vital dalam mencapai hidup yang

                           — 46 —
bahagia.
                            «
Dalam filsafat Yunani, terutama dalam tradisi Plato, kita
kenal konsep eudaimonia, yaitu kombinasi antara “kebajikan”
(arete) dan “pengetahuan” (episteme). Dalam konsepsi ini,
kebahagiaan sudah mengandung dua elemen sekaligus, yaitu
pengetahuan (antara lain mengenai yang baik dan buruk) dan
kebajiikan atau “virtue“. Istilah “virtue” ini diterjemahkan
dalam tradisi filsafat etika Islam sebagai “akhlaq”. Sementara
itu, istilah akhlak sendiri sering didefinisikan dalam filsafat
Islam klasik sebagai “malakah” atau “habitus”, yakni kebiasaan
yang terbentuk dalam fakultas mental kita dan kemudian
diterjemahkan menjadi suatu tindakan praktis. Akhlak atau
“virtue” dalam pengertian “malakah” adalah semacam “etika
yang tertubuhkan” (embodied ethics).
Dengan kata lain, agama adalah jalan menuju kepada
kebahagiaan itu. Kebahagiaan akan dicapai jika seluruh
fakultas mental kita diberi keleluasaan untuk bekerja, bukan
dikekang atas nama tradisi atau pemahaman tertentu. Oleh
karena itu, etika kebebasan menjadi sangat vital dalam usaha
mencapai kebahagiaan itu. Mereka yang tak bebas secara
mental jelas mengalami depressi, dan itu sama sekali tidak
bahagia.
Tetapi kebahagiaan juga tidak cukup hanya dengan
mengembangkan fakultas mental belaka. Kita harus bertindak
secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Saat berbuat
sesuatu yang benar dan baik, seseorang akan mengalami
perasaan bahagia dan bebas. Sebaliknya, seseorang yang
bertindak salah akan merasa resah, tertekan, dan tidak
bahagia.
Agama adalah jalan mencapai kebahagiaan “teoretis” dan
“praktis” semacam itu.
Oleh karena itu, mereka yang mengajarkan keislaman dengan
cara merepresi kebebasan akal dan berpikir secara kritis,
sama saja mengajarkan kebahagiaan yang tak seimbang,
seperti burung dengan satu sayap saja. Tak ada gunanya
kita tunduk pada perintah harafiah Tuhan jika kita tak bisa
mempertanyakan perintah itu. Bertanya secara kritis adalah
bagian integral dalam proses menuju kebahagiaan atau
sa’adah.
Inilah perpsepektif Islam liberal yang ingin saya kembangkan.
Inilah cara saya memahami Islam. Saya merasa tenteram
dan bahagia dengan pemahaman semacam itu. Sebetulnya,
                            — 47 —
«
pandangan semacam ini sudah ada pada banyak kalangan
dalam masyarakat. Hanya saja, jarang orang yang berani
mengatakannya dengan terus terang, entah khawatir “diteror”
oleh kalangan Islam radikal-fundamentalis, takut di-cap sesat,
atau khawatir kehilangan “posisi sosial” tertentu.[]




                           — 48 —
«                        19/08/2008

Melihat Dunia (Islam) setelah
Olimpiade Beijing
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
  Kepada kaum Islamis yang “sok yakin” dan “ge-er”
  bahwa Islam akan menjadi kekuatan dunia baru, saya
  mengatakan: tengoklah India dan Cina itu! Mereka bekerja
  keras untuk membangun ekonomi, merebut peluang dalam
  pasar global, bukan mengumbar retorika semata. Jika
  Islam hendak maju, tiada cara lain kecuali bekerja keras
  seperti dua negeri tersebut, bukan bekerja keras untuk
  mendirikan sebuah “khilafah” yang tak jelas juntrungannya
  itu. Kesampingkan mimpi kalian itu, wahai kaum Islamis!
  Bangunlah, sebab negeri-negeri lain mencapai kemajuan
  bukan dengan mimpi semata, tetapi dengan kerja keras.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Koran Tempo, 16
Agustus 2008


P   ADA tahun 80an, setelah hancurnya Uni Soviet, banyak
    kalangan ideolog gerakan Islamisme yang meramal bahwa
kapitalisme di mana Amerika menjadi simbol utamanya akan
segera rontok. Dari reruntuhan dua “ideologi” dan kekuatan
besar itu, mereka meramalkan (atau “wishful thinking”?)
bahwa Islam akan tampil sebagai kekuatan baru yang
menggantikan keduanya.
Apakah mimpi mereka itu sudah mulai memperlihatkan
tanda-tanda akan terwujud? Marilah kita tengok dunia
sekitar. Yang paling gampang adalah dengan melihat event
yang sekarang sedang digelar di Cina, yaitu Olimpiade Beijing
2008. Pembukaan Olimpiade di Beijing pada 8/8/08 yang
lalu begitu megah sekali, seolah-olah negeri Cina hendak
mendeklarasikan diri bahwa kami adalah kekuatan baru di
panggung dunia. Apa yang dikatakan oleh negeri Cina itu
bukan sekedar mimpi atau “wishful thinking”, tetapi kata-
kata yang disokong dengan sebuah bukti nyata.
Sekarang kita lihat sendiri, kekuatan baru yang akan menjadi
pesaing utama Amerika Serikat tampaknya bukan negeri-
negeri Islam atau “Islam” secara umum. Pesaing baru itu
datang dari dua negeri yang jauh dari tradisi Islam, yakni
Cina dan India.
Fareed Zakaria menulis buku baru (yang tampaknya kurang
                           — 49 —
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM
MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM

More Related Content

What's hot

Sejarah kelahiran ilmu kalam
Sejarah kelahiran ilmu kalamSejarah kelahiran ilmu kalam
Sejarah kelahiran ilmu kalamabdullahtamlikha
 
Makalah ilmu kalam
Makalah ilmu kalamMakalah ilmu kalam
Makalah ilmu kalamelmaryam
 
Ahlu Sunah Waljama'ah (Aswaja)
Ahlu Sunah Waljama'ah (Aswaja)Ahlu Sunah Waljama'ah (Aswaja)
Ahlu Sunah Waljama'ah (Aswaja)Aliem Masykur
 
Aswaja an-nahdliyah
Aswaja an-nahdliyahAswaja an-nahdliyah
Aswaja an-nahdliyahAhmad Rouf
 
ASWAJA + NDP + PKT
ASWAJA + NDP + PKTASWAJA + NDP + PKT
ASWAJA + NDP + PKTPMII
 
Buku Panduan Sekolah Aswaja
Buku Panduan Sekolah AswajaBuku Panduan Sekolah Aswaja
Buku Panduan Sekolah AswajaPMII
 
Sejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalamSejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalamoonx
 
Fikih kel 9
Fikih kel 9Fikih kel 9
Fikih kel 9Ltfltf
 
Makalah karateristik islam
Makalah karateristik islamMakalah karateristik islam
Makalah karateristik islamHaubibBro
 
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1Hulu Kujang
 
1 ijtihad al ilmi mutamam oke
1 ijtihad al ilmi mutamam oke1 ijtihad al ilmi mutamam oke
1 ijtihad al ilmi mutamam okeAgus Muqtafiy
 
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu KalamMu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalamade orreo
 

What's hot (20)

1.aswj perdebatan makna dan eksistensi
1.aswj perdebatan makna dan eksistensi1.aswj perdebatan makna dan eksistensi
1.aswj perdebatan makna dan eksistensi
 
Sejarah kelahiran ilmu kalam
Sejarah kelahiran ilmu kalamSejarah kelahiran ilmu kalam
Sejarah kelahiran ilmu kalam
 
Asy’ariyah
Asy’ariyahAsy’ariyah
Asy’ariyah
 
Aliran asy'ariah
Aliran asy'ariahAliran asy'ariah
Aliran asy'ariah
 
Makalah ilmu kalam
Makalah ilmu kalamMakalah ilmu kalam
Makalah ilmu kalam
 
Ahlu Sunah Waljama'ah (Aswaja)
Ahlu Sunah Waljama'ah (Aswaja)Ahlu Sunah Waljama'ah (Aswaja)
Ahlu Sunah Waljama'ah (Aswaja)
 
Aswaja an-nahdliyah
Aswaja an-nahdliyahAswaja an-nahdliyah
Aswaja an-nahdliyah
 
ASWAJA + NDP + PKT
ASWAJA + NDP + PKTASWAJA + NDP + PKT
ASWAJA + NDP + PKT
 
Makalah Ilmu Kalam
Makalah Ilmu KalamMakalah Ilmu Kalam
Makalah Ilmu Kalam
 
Buku Panduan Sekolah Aswaja
Buku Panduan Sekolah AswajaBuku Panduan Sekolah Aswaja
Buku Panduan Sekolah Aswaja
 
Sejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalamSejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalam
 
Bahan ajar
Bahan ajarBahan ajar
Bahan ajar
 
Resensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalamResensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalam
 
Rasionalisme mu'tazilah
Rasionalisme mu'tazilahRasionalisme mu'tazilah
Rasionalisme mu'tazilah
 
Fikih kel 9
Fikih kel 9Fikih kel 9
Fikih kel 9
 
Makalah karateristik islam
Makalah karateristik islamMakalah karateristik islam
Makalah karateristik islam
 
Bab i v gooooooooooood
Bab i   v goooooooooooodBab i   v gooooooooooood
Bab i v gooooooooooood
 
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
 
1 ijtihad al ilmi mutamam oke
1 ijtihad al ilmi mutamam oke1 ijtihad al ilmi mutamam oke
1 ijtihad al ilmi mutamam oke
 
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu KalamMu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
 

Viewers also liked

Islam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIslam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIdul Choliq
 
Titik temu islam kristen
Titik temu islam kristenTitik temu islam kristen
Titik temu islam kristenIdul Choliq
 
Musyawarah burung
Musyawarah burungMusyawarah burung
Musyawarah burungIdul Choliq
 
Membumikan al qur'an
Membumikan al qur'anMembumikan al qur'an
Membumikan al qur'anIdul Choliq
 
Asal usul kitab suci
Asal usul kitab suciAsal usul kitab suci
Asal usul kitab suciIdul Choliq
 
Study: The Future of VR, AR and Self-Driving Cars
Study: The Future of VR, AR and Self-Driving CarsStudy: The Future of VR, AR and Self-Driving Cars
Study: The Future of VR, AR and Self-Driving CarsLinkedIn
 
Hype vs. Reality: The AI Explainer
Hype vs. Reality: The AI ExplainerHype vs. Reality: The AI Explainer
Hype vs. Reality: The AI ExplainerLuminary Labs
 

Viewers also liked (7)

Islam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIslam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradaban
 
Titik temu islam kristen
Titik temu islam kristenTitik temu islam kristen
Titik temu islam kristen
 
Musyawarah burung
Musyawarah burungMusyawarah burung
Musyawarah burung
 
Membumikan al qur'an
Membumikan al qur'anMembumikan al qur'an
Membumikan al qur'an
 
Asal usul kitab suci
Asal usul kitab suciAsal usul kitab suci
Asal usul kitab suci
 
Study: The Future of VR, AR and Self-Driving Cars
Study: The Future of VR, AR and Self-Driving CarsStudy: The Future of VR, AR and Self-Driving Cars
Study: The Future of VR, AR and Self-Driving Cars
 
Hype vs. Reality: The AI Explainer
Hype vs. Reality: The AI ExplainerHype vs. Reality: The AI Explainer
Hype vs. Reality: The AI Explainer
 

Similar to MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM

tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)Aina Sofieyah
 
Corak penafsiran al qur
Corak penafsiran al qurCorak penafsiran al qur
Corak penafsiran al qurAna Laku
 
Pemikiran muhammad iqbal
Pemikiran muhammad iqbalPemikiran muhammad iqbal
Pemikiran muhammad iqbalMaman Med
 
Pergumulan jaringan intelektual keislaman
Pergumulan jaringan intelektual keislamanPergumulan jaringan intelektual keislaman
Pergumulan jaringan intelektual keislamanQowim Musthofa
 
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)Edi Awaludin
 
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdfb-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdfTriomediaCenter
 
Antologi islam nusantara book
Antologi islam nusantara bookAntologi islam nusantara book
Antologi islam nusantara bookAgus Setiawan
 
Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Ltfltf
 
Filsafat al ghazali dan ibnu rusyd
Filsafat al ghazali dan ibnu rusydFilsafat al ghazali dan ibnu rusyd
Filsafat al ghazali dan ibnu rusydDwi Andriani
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6Ltfltf
 
Makalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat JumatMakalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat Jumatmujibzunari
 
MAKALAH MODERASI BERAGAMA MUI.pdf
MAKALAH MODERASI BERAGAMA MUI.pdfMAKALAH MODERASI BERAGAMA MUI.pdf
MAKALAH MODERASI BERAGAMA MUI.pdfDMI
 

Similar to MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM (20)

tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
 
Corak penafsiran al qur
Corak penafsiran al qurCorak penafsiran al qur
Corak penafsiran al qur
 
Tantangan Aswaja.pptx
Tantangan Aswaja.pptxTantangan Aswaja.pptx
Tantangan Aswaja.pptx
 
Ahlul ra'yi
Ahlul ra'yiAhlul ra'yi
Ahlul ra'yi
 
ISLAM LIBERAL
ISLAM LIBERALISLAM LIBERAL
ISLAM LIBERAL
 
Pemikiran muhammad iqbal
Pemikiran muhammad iqbalPemikiran muhammad iqbal
Pemikiran muhammad iqbal
 
Pergumulan jaringan intelektual keislaman
Pergumulan jaringan intelektual keislamanPergumulan jaringan intelektual keislaman
Pergumulan jaringan intelektual keislaman
 
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
 
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdfb-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
 
Antologi islam nusantara book
Antologi islam nusantara bookAntologi islam nusantara book
Antologi islam nusantara book
 
Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6
 
Filsafat al ghazali dan ibnu rusyd
Filsafat al ghazali dan ibnu rusydFilsafat al ghazali dan ibnu rusyd
Filsafat al ghazali dan ibnu rusyd
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6
 
Makalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat JumatMakalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat Jumat
 
Bahaya_liberal.pptx
Bahaya_liberal.pptxBahaya_liberal.pptx
Bahaya_liberal.pptx
 
MAKALAH MODERASI BERAGAMA MUI.pdf
MAKALAH MODERASI BERAGAMA MUI.pdfMAKALAH MODERASI BERAGAMA MUI.pdf
MAKALAH MODERASI BERAGAMA MUI.pdf
 
Metodologi studiislam2010
Metodologi studiislam2010Metodologi studiislam2010
Metodologi studiislam2010
 
Al ghozali
Al ghozaliAl ghozali
Al ghozali
 
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahmanIslamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
 
Kitab al ^aqidah-print3
Kitab al ^aqidah-print3Kitab al ^aqidah-print3
Kitab al ^aqidah-print3
 

Recently uploaded

aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmeunikekambe10
 
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfKelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfmaulanayazid
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxSyaimarChandra1
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASreskosatrio1
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023DodiSetiawan46
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
polinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..pptpolinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..pptGirl38
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxRioNahak1
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxsyafnasir
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxalalfardilah
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 

Recently uploaded (20)

aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
 
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfKelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
polinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..pptpolinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 

MEMBUKA ULANG PENGAMPILAN ISLAM

  • 1. Membaca Ulil Dari Depan Ulil Abshar-Abdalla 2011
  • 2. Membaca Ulil Dari Depan Ulil Abshar-Abdalla 2011
  • 3. « Pengantar Bajakan Tulisan ini diambil dan dikumpulkan berdasarkan hasil pencarian dari beberapa tulisan Ulil Abshar-Abdalla di situs Jaringan Islam Liberal (JIL) dan diurut berdasarkan dari tulisan yang terkini ditampilkan lebih awal dan selanjutnya — karena bajakan, tentunya pengumpulan tulisan ini tanpa sepengetahuan dari penulis maupun pengelola situs. Judul ‘Membaca Ulil Dari Depan’, tidak dengan maksud khusus, semua didasarkan hanya sekedar urutan tanggal/ tahun penulisan. Tetapi, pembaca diberi kebebasan seluas- luasnya untuk memberikan arti yang lebih bermakna dan dalam semampu-batas imajinasi pembaca. Seperti dijelaskan diatas bahwa tulisan ini dikumpulkan tanpa adanya ijin, sudah sepantasnya bila ada pihak yang berkeberatan atas pengumpulan tulisan ini nantinya. Apapbila hal ini terjadi, setiap keberatan/klaim/protes atau sekedar ingin memaki, harap dikirimkan ke alamat email: idul.choliq@atheist.com, sesuai dengan ketersediaan waktu, pembaca akan segera medapatkan tanggapan yang mencukupi. Tetapi, besar harapan saya sebagai pengumpul tulisan ini sejalan dengan keinginan penulis yang menginginkan tulisannya lebih terbaca secara luas oleh semua kalangan yang setuju maupun yang tidak terhadap pemikiran penulis, atau bahkan yang membenci secara individu-emosional maupun secara intelektual. Apappun jadinya, pembukuan tulisan sudah terjadi, maka untuk selanjutnya saya serahkan pada ‘nanti!’. Semoga pengumpulan ini bermanfaat. Jakarta Juli 2011 I. C. —3—
  • 4. « Daftar Isi Pengantar Bajakan 3 Merawat Agama dengan Penafsiran 6 Radikalisasi dan Deradikalisasi 9 Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan Superioritas Budaya 13 Membunuh “Tersangka” Terorisme? 21 Teks dan Kontradiksi: Kasus Ibn Hazm al- Andalusi 26 Kritik atas Argumen Aktivis Hizbut Tahrir 33 Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal 38 Melihat Dunia (Islam) setelah Olimpiade Beijing 49 Kontradiksi dalam Cara Berpikir Abu Bakar Ba’asyir 54 Citra Keliru tentang Bahasa Arab 60 Mengapa Justifikasi Agama 65 Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas 68 Ibn Khaldun dan Sejumlah Observasinya 72 Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam 84 NU, Ru’yah, dan Reformasi Penanggalan 88 —4—
  • 5. « Amran dan Beberapa Kekeliruan 94 Meninjau Ulang Teori Kenabian 99 Benarkah Islam Agama “Jalan Tengah”? 102 Sekularisme Sukarela 105 Uluran Tangan Watt 109 Masjid dan Peradaban yang Merosot 111 Bush, Israel, dan Hezbollah 114 Nasib Demokrasi di Timur Tengah 116 Alquran Sebagai Wahyu dan Data Sejarah 120 Kenapa Kajian Islam Mandeg? 123 Masih Tentang Ahmadiyah 126 Kemurtadan yang Niscaya dan Globalisasi Dakwah 129 Ujian untuk Konstitusi Kita 133 Hamas dan Era Islam Politik 137 Nabi, Dukun, dan Penyair 141 Genealogi Gerakan Islam di Indonesia 145 Tentang Iman 149 In Memoriam: Masykur Maskub: Penggerak “Silent Transformation” di NU 151 Tentang Penulis 160 —5—
  • 6. « 12/07/2011 Merawat Agama dengan Penafsiran Oleh Ulil Abshar-Abdalla “Kegiatan membaca atau membaca ulang pada dasarnya adalah tindakan teoritis (al-‘amal al-nadzari). Tradisi intelektual Islam sangat kaya dengan tindakan teoritis semacam ini. Setiap pembaharuan (tajdid) dalam sejarah Islam juga selalu dimulai dari tindakan teoritis dalam bentuk membaca dan menafsir kembali tradisi tekstual yang ada. Sejarah agama menjadi menarik karena adanya tradisi membaca dan menafsir ulang seperti itu. Suatu agama di mana di dalamnya kita jumpai kehidupan menafsir yang terus-menerus tanpa henti, pertanda bahwa ia adalah agama yang hidup, bukan dead religion, agama yang mati, agama yang telah menjadi mumi.” Assalamu’alaikum, selamat malam, M alam ini kita akan mendengarkan pidato kebudayaan yang akan disampaikan oleh teman saya Dr. Abdul Moqsith Ghazali, berjudul “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam”. Ini adalah acara tahunan yang digagas oleh Forum Pluralisme Indonesia. Ini adalah pidato seri kedua. Saya berharap setiap tahun pidato seperti ini terus bisa diselenggarakan dan menjadi tradisi yang terawat hingga di masa depan yang jauh. Apa tujuan sebuah pidato seperti ini? Bukankah yang dibutuhkan oleh umat Islam saat ini bukan pidato, tetapi sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah? Menurut saya, baik orasi dan aksi, teori dan aksi, keduanya sama penting. Saya kurang begitu suka untuk memperlawankan teori dan aksi. Mengikuti pandangan para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Sina dan Al-Farabi, kebahagiaan manusia diperoleh karena kombinasi yang seimbang antara teori dan aksi, antara ilmu-ilmu teoritis (al-‘ulum al-nazariyyah) dan ilmu-ilmu praktis (al- ‘ulum al-‘amaliyyah). Baik kehidupan kontemplatif (vita contemplativa) dan kehidupan aktif (vita activa), keduanya sama-sama penting untuk mencapai –meminjam istilah dalam filsafat Yunani—eudemonia, kehidupan yang bahagia. Gagasan tentang perkawinan antara teori dan aksi sebetulnya —6—
  • 7. « tak asing bagi umat Islam. Dalam al-Qur’an, kata iman kerap disebut secara berbarengan dengan amal –alladzina amanu wa ‘amilu al-shalihat. Suatu tindakan sosial akan memiliki bobot moral yang tinggi jika didorongkan oleh motivasi mendalam; jika disertai niat yang menyokongnya. Itulah iman. Innama ‘l-a’mal bi ‘l-niyyat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang terkenal: tindakan haruslah dilandasi oleh niat. Jika tindakan sosial dikerjakan tanpa suatu landasan motivasional yang kuat di baliknya, tanpa dasar-dasar teoritis yang kokoh, ia hanyalah menjadi pekerjaan arbitrer: sembarang dan semena-mena, yang tak bernilai apa-apa. Perkembangan sosial-politik yang cepat saat ini memaksa umat Islam, juga umat-umat agama lain, untuk melakukan pembacaan kembali atas tradisi panjang yang mereka warisi dari generasi yang lalu. Pembacaan ulang adalah kata kunci di sini. Kenapa kita memakai kata “membaca” di sini? Sebab, setiap agama, termasuk Islam, pada akhirnya terlembagakan dalam sebuah tradisi, yakni tradisi penafsiran. Sementara setiap tradisi selalu berwatak tekstual. Ia pada akhirnya adalah sebuah teks, tekstur yang terdiri dari jalinan gagasan yang terkait dengan situasi tertentu. Setiap teks selalu membuka diri pada kegiatan mental yang disebut dengan membaca. Sementara itu, kegiatan membaca bukanlah tindakan yang sekali terjadi sesudah itu mati dan berhenti. Membaca adalah tindakan mental dan intelektual yang tak pernah berhenti – kegiatan yang sifatnya perenial, abadi, non-stop. Oleh karena itu, setiap teks, termasuk teks-teks yang terbentuk melalui tradisi Islam, akan selalu terbuka terhadap pembacaan dan pembacaan ulang secara terus-menerus. Kegiatan membaca atau membaca ulang pada dasarnya adalah tindakan teoritis (al-‘amal al-nadzari). Tradisi intelektual Islam sangat kaya dengan tindakan teoritis semacam ini. Setiap pembaharuan (tajdid) dalam sejarah Islam juga selalu dimulai dari tindakan teoritis dalam bentuk membaca dan menafsir kembali tradisi tekstual yang ada. Sejarah agama menjadi menarik karena adanya tradisi membaca dan menafsir ulang seperti itu. Suatu agama di mana di dalamnya kita jumpai kehidupan menafsir yang terus-menerus tanpa henti, pertanda bahwa ia adalah agama yang hidup, bukan dead religion, agama yang mati, agama yang telah menjadi mumi. Di sinilah letak pentingnya sebuah “pidato” seperti yang akan kita dengarkan dari Sdr. Abdul Moqsith Ghazali malam ini. —7—
  • 8. « Pidato semacam ini adalah sarana untuk menyatakan suatu kegiatan membaca ulang kepada publik luas. Kegiatan membaca ulang memang mengandung resiko, dan biasanya kurang disukai oleh kalangan yang menjaga tradisi atau kaum ortodoks. Sebab, setiap pembacaan ulang memang biasanya berujung pada evaluasi atas status quo. Sementara itu, evaluasi akan berujung pada perubahan. Dan setiap perubahan biasanya kurang disukai oleh power that be, kekuasaan yang ada. Ini bukan hal yang aneh. Ini adalah hukum besi perubahan (iron law of change) yang lazim kita jumpai di mana-mana. Dalam setiap tradisi akan selalu ada dua impetus atau dorongan –dorongan ke arah perubahan dan penolakan atas perubahan itu. Saya ingin menutup pengantar saya ini dengan menegaskan kembali pentingnya usaha memperluas secara terus-menerus “ruang mental/intelektual” dalam umat. Apa yang saya sebut sebagai ruang mental di sini adalah ruang di mana tersedia kesempatan yang cukup bagi umat untuk melakukan penafsiran dan penafsiran ulang. Perubahan-perubahan ke arah yang positif dalam level kehidupan riil biasanya dimungkinkan karena adanya ruang mental yang cukup dalam sebuah masyarakat/umat untuk memperdebatkan sejumlah alternatif penafsiran dan pembacaan. Ruang mental semacam ini hanya bisa hidup jika ada orang- orang yang mau mendedikasikan dirinya pada kehidupan teoritis –kelompok yang oleh al-Qur’an disebut sebagai kelas sosial yang melakukan tindakan “yatafaqqahu fi al-din”, mendalami dan merefleksikan soal-soal keagamaan. Inilah kelas kaum terpelajar yang hidupnya didedikasikan untuk menelaah dan membaca ulang tradisi; kaum yang menjalani vita contemplativa. Kawan saya Abdul Moqsith Ghazali adalah contoh orang yang menjalani hidup kontemplatif dan teoritis semacam ini. Sialnya, memang, dalam setiap masyarakat, kelas yang menjalani vita contemplativa semacam ini akan selalu berhadapn dengan status quo. Dan ini tampaknya memang kutukan tak terhindarkan bagi setiap kelas terpelajar di manapun. Dan ini pula tampaknya kutukan yang dihadapi para nabi di masa lampau. Malam ini, kita sejenak akan menikmati kehidupan kontemplatif itu. Besok, anda bisa kembali menjalani vita activa, kehidupan aktif yang normal, kehidupan yang penuh dengan gebalau dan kebisingan. Sekian. —8—
  • 9. « 03/05/2011 Radikalisasi dan Deradikalisasi Oleh Ulil Abshar-Abdalla* Dimuat di Jurnal Nasional, 3 Mei 2011 .... dibutuhkan “jihad intelektual” yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan pemahaman keagamaan yang toleran, pluralistik, dan berwawasan terbuka. Sikap keagamaan yang tertutup dan membenci perbedaan potensial berkembang lebih jauh menjadi sikap mengeras melawan mereka yang dianggap “di luar” kelompok sendiri. J ihad ini membutuhkan topangan dari dua pihak sekaligus. Pertama, dari pihak pemerintah dalam bentuk dukungan terhadap golongan-golongan keagamaan yang moderat, serta tindakan tegas bagi mereka yang hendak mengembangkan “wacana kebencian” terhadap kelompok yang berbeda. Kedua, pihak tokoh-tokoh agama dan kelompok-kelompok sipil dalam masyarakat. Mereka juga mempunyai peran penting untuk menyediakan lahan subur bagi berkembangnya paham yang toleran. ADA beberapa rangkaian peristiwa yang mengejutkan kita akhir-akhi ini. Yang pertama, sejumlah bom buku yang dikirim kepada sejumlah orang, termasuk saya sendiri, 15 Maret. Kemudian, sebulan kemudian, bom meledak di kantor Mapolresta Cirebon, 15 April. Beberapa saat setelah itu, sebuah bom diletakkan di dekat sebuah gereja di Serpong dan berhasil digagalkan oleh pihak kepolisian, 21 April. Keberhasilan polisi untuk menggagalkan bom Serpong itu dimungkinkan karena ada 19 terduga pelaku bom buku yang berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian. Dari merekalah rencana pemboman gereja di Serpong itu terungkap, persis sehari sebelum upacara Paskah. Apa yang bisa kita pelajari dari rangkaian peristiwa ini? Sekurang-kurangnya ada dua pelajaran penting. Pertama, seberhasil apa pun usaha pemerintah untuk memerangi terorisme dan jaringannya selama ini, sumber terorisme belum bisa “dikeringkan” secara menyeluruh. Munculnya generasi baru dalam kelompok ini, seperti diperlihatkan oleh 19 orang (beberapa di antaranya adalah lulusan dari Universitas Islam Negeri [UIN] Jakarta), menunjukkan bahwa regenerasi di kalangan para teroris terus berjalan. Kedua, meski tidak secepat yang kita harapkan, pihak —9—
  • 10. « kepolisian akhirnya berhasil menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat dalam tiga pemboman terakhir. Keberhasilan kepolisian ini menepis sejumlah skeptisisme masyarakat tentang kemampuan pihak kepolisian untuk mengungkap “otak” tiga aksi pemboman terakhir. Kita tentu patut memberikan apresiasi yang tinggi pada pihak kepolisian karena pada akhirnya berhasil menangkap para tersangka tersebut. Ini memperlihatkan bahwa negara hadir untuk memastikan terciptanya keamanan bagi masyarakat luas. Kita tentu berharap, pemerintah akan melakukan tindakan yang cepat dan tegas dalam kasus-kasus lain, secepat dalam menangani masalah pemboman tersebut. Perayaan Paskah tahun ini, akhirnya, bisa diselenggarakan dengan aman—keadaan yang tentu sangat diharapkan oleh umat Kristiani yang selama ini mengalami banyak kesulitan di beberapa tempat untuk membangun rumah ibadat. Kita tidak bisa membayangkan apa keadaan yang terjadi jika “bom Paskah” di Serpong itu gagal diungkap dan akhirnya meledak saat upacara Paskah pada esok harinya. Sudah pasti hal ini akan menimbulkan kepanikan di kalangan umat Kristiani, dan juga hilangnya rasa percaya masyarakat pada kemampuan pemerintah untuk menyediakam rasa aman bagi masyarakat. Kritik beberapa pihak terhadap penerapan Siaga I setelah terjadinya beberapa rentetan bom beberapa waktu lalu sebetulnya kurang beralasan. Ancaman bom jelas sangat nyata akhir-akhir ini. Jika tidak ditangani secara serius, hal ini akan menimbulkan implikasi dan ramifikasi masalah yang rumit, baik dari sudut keamanan yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi kita, atau dari segi jaminan bagi kehidupan keagamaan yang plural dan damai. Penerapan Siaga I menunjukkan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh dalam menangani masalah terorisme, lebih khusus lagi masalah pemboman. Fakta bahwa pada akhirnya perayaan Paskah bisa berlangsung dengan aman tidak bisa dilepaskan dari kesungguhan pemerintah dalam menangani masalah ini. Kesungguhan dengan kualitas Siaga I inilah yang sebetulnya kita harapkan dari pemerintah untuk menangani kasus-kasus kekerasan lain yang menimpa sejumlah kaum minoritas di negeri ini. Jika kesungguhan semacam ini ditunjukkan oleh pemerintah dalam menangani kasus tersebut, maka jelas “reputasi politik” pemerintahan Presiden SBY akan meroket kembali, baik secara domestik — 10 —
  • 11. maupun internasional. « Deradikalisasi Sumber terorisme jelas kompleks dan bermacam-macam. Tetapi, jika kita mau memerasnya dalam satu kata kunci, masalah pokoknya ada pada satu hal: yaitu indoktrinasi melalui ideologi radikal-teroristik. Indoktrinasi ini dipermudah, antara lain, karena ideologi tersebut memakai bahasa agama yang dengan mudah bisa memukau kalangan anak muda yang sedang dalam fase pecarian jati-diri dan pancaroba. Kita melihat gejala radikalisasi di kalangan sejumlah anak muda. Data terakhir yang dilakukan LaKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) baru-baru ini sangat mengejutkan: 48,9 persen pelajar di tingkat SMP dan SMA di DKI Jakarta menyatakan bersedia melakukan kekerasan terkait dengan isu agama dan moral. Meski survei ini bisa dipersoalkan dari segi metodenya, tetapi kita harus menjadikan data ini sebagai wake-up call, sebagai peringatan dini mengenai tren yang harus diwaspadai yang tengah menggejala di kalangan pelajar kita: yakni tren radikalisme yang diilhami oleh pandangan keagamaan. Gejala radikalisasi ini bisa menjadi ladang subur untuk rekrutmen bagi kader-kader yang siap melakukan tindakan pemboman di kemudian hari. Saya tidak menyatakan bahwa seseorang yang terpapar ideologi keagamaan yang radikal dengan sendirinya akan menjadi seorang “pengantin” yang siap meledakkan diri. Tidak. Saya hanya mengatakan bahwa radikalisme ini potensial menjadi bumi subur untuk perekrutan kader-kader kekerasan di masa depan. Menurut saya, tren radikalisme merupakan salah satu ancaman keamanan yang utama yang dihadapi pemerintah kita. Apalagi jika kita ingat magnet agama begitu besar dalam masyarakat kita. Ideologi kekerasan yang dilandasi argumen keagamaan bisa dengan mudah menyediakan daya tarik bagi anak-anak muda. Pemerintah tidak bisa main-main menghadapi gejala ini. Baik masa depan falsafah kebhinnekaan kita, bentuk negara Pancasila, juga keamanan yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi kita, sangat tergantung pada kesungguhan pemerintah untuk mengatasi masalah radikalisasi di kalangan sejumlah anak muda kita ini. Pendekatan keamanan tok tidak cukup. Dibutuhkan — 11 —
  • 12. « pendekatan budaya terhadap masalah radikalisasi ini, yaitu melalui apa yang selama ini sering disebut deradikalisasi. Inti deradikalisasi adalah gagasan yang dengan efektif bisa mengimbangi gagasan-gagasan yang menyuburkan kekerasan. Di sini, dibutuhkan “jihad intelektual” yang sungguh- sungguh untuk mengembangkan pemahaman keagamaan yang toleran, pluralistik, dan berwawasan terbuka. Sikap keagamaan yang tertutup dan membenci perbedaan potensial berkembang lebih jauh menjadi sikap mengeras melawan mereka yang dianggap “di luar” kelompok sendiri. Jihad ini membutuhkan topangan dari dua pihak sekaligus. Pertama, dari pihak pemerintah dalam bentuk dukungan terhadap golongan-golongan keagamaan yang moderat, serta tindakan tegas bagi mereka yang hendak mengembangkan “wacana kebencian” terhadap kelompok yang berbeda. Kedua, pihak tokoh-tokoh agama dan kelompok-kelompok sipil dalam masyarakat. Mereka juga mempunyai peran penting untuk menyediakan lahan subur bagi berkembangnya paham yang toleran. Kita tahu, wacana kebencian selama ini kerap dimulai dan bersumber dari elit keagamaan, bukan dari masyarakat. Elit yang berwawasan toleran dan terbuka sangat penting untuk menangkal penyebaran ideologi radikal, terutama elit keagamaan yang selama ini menjadi kiblat umat. Kita mempunyai kepentingan besar agar Indonesia benar- benar menjadi contoh yang kemilau untuk “Islam yang moderat” di gelanggang dunia saat ini. * Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan (PPSK) DPP Partai Demokrat — 12 —
  • 13. « 14/07/2010 Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan Superioritas Budaya Oleh Ulil Abshar-Abdalla Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan, maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan. I SLAM adalah agama yang bisa kita kategorikan sebagai “agama berkitab suci” (scriptured religion). Semula kitab suci ini bersifat oral atau teks lisan yang tidak dituangkan dalam bentuk tulisan, tetapi pada perkembangan belakangan kitab suci itu “diresmikan” dalam bentuk dokumen tertulis. Apa yang disebut dengan “kitab suci” umumnya adalah teks tertulis, dan karena itulah dalam bahasa Inggris disebut sebagai “scripture” atau tulisan. Dalam Islam, kitab suci utama, sebagaimana kita tahu semua, adalah Quran, istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “bacaan. Di samping Quran, ada kitab suci lain yang keududukannya bisa disebut sebagai tafsir atau penjelasan atas Quran, dan disebut hadis atau sunnah. Hadis adalah istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “omongan” atau “ujaran”. Sementara “sunnah” artinya tindakan yang dibiasakan sehingga menjadi suatu tradisi. Baik hadis atau sunnah adalah ujaran, tindakan atau penetapan (taqrir, confirmation) yang berasal dari Nabi Muhammad. Kalau mau, kita bisa menyebut Quran sebagai Kitab Suci Perdana (primary Scripture), sementara Hadis atau Sunnah adalah Kitab Suci Kedua. Sebagai teks, jelas hadis lebih banyak jumlahnya ketimbang Quran. Dari segi isi dan tema, hadis memiliki cakupan pembahasan yang jauh lebih luas ketimbang Quran. Oleh karena itu, penggambaran bahwa hadis atau sunnah semata-mata sebagai “penjelas teks Quran” sebetulnya tidak tepat. Hadis dan sunnah tidak sekedar menjelaskan Quran. Dalam banyak hal, hadis juga membuka — 13 —
  • 14. « tema baru yang sama sekali tidak ada dalam Quran. Contoh yang sederhana, dalam Quran tidak kita temukan pembahasan tentang jenis-jenis kegiatan manusia dalam perdagangan atau sejenisnya. Yang kita baca dalam Quran hanyalah penegasan umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang terkenal, “wa ahallal-Lahu al-bai’a wa harrama al-riba”, Tuhan membolehkan perdagangan, dan mengharamkan riba. Dalam Quran tidak disebutkan sejumlah transaksi- transaksi lain yang kita kenal melalui hadis dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam disiplin pengetahuan yang disebut fiqh atau hukum Islam. Transaksi itu misalnya: syirkah (kongsi dagang), mudarabah (permodalan), musaqah/ muzara’ah (penggarapan tanah), salm (biasa diterjemahkan sekarang sebagai “future trading”), hawalah (penjualan surat hutang), dsb. Itu hanya contoh-contoh transaksi yang disebutkan dalam hadis tetapi tidak kita temukan dalam Quran. Contoh-contoh itu saya pakai untuk menunjukkan bahwa hadis atau sunnah tidak semata-mata menjelaskan Quran, tetapi juga membawa tema baru yang tidak disebutkan di sana. Cakupan hadis lebih luas ketimbang Quran. BAIK Quran dan sunnah bisa dikategorikan sebagai “foundational text”, teks dasar yang menjadi fondasi Islam. Karena kehidupan umat Islam terus berkembang, dan isu-isu baru yang dihadapi oleh mereka juga terus bermunculan, sementara itu tidak semua hal dan isu ada jawabannya dalam Quran dan sunnah, maka dibutuhkan “teks baru”. Teks itu, untuk mudahnya, kita sebut saja sebagai “interpretational text”, teks-teks tafsiran yang tentu didasarkan pada kedua teks fondasi di atas. Ribuan teks diproduksi atau ditulis oleh ulama, sarjana, dan intelektual Muslim sejak abad pertama Hijriyah hingga sekarang. Selama umat Islam ada, kegiatan untuk memproduksi teks-teks tafsiran ini tak akan berhenti. Tafsir Quran, misalnya, ditulis oleh sarjana Islam sejak dahulu hingga sekarang, dalam berbagai bahasa, dan dengan berbagai ragam pendekatakan. Imam Ghazali, salah satu sarjana besar Islam dari abad ke-12 Masehi, menganalogikan Quran dengan samudera luas yang tak pernah kering. Analogi ini, sebetulnya, bisa kita pakai pula untuk kitab-kitab suci agama lain. Semua kitab suci dalam agama-agama manapun adalah seperti samudera luas yang tak bertepi. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi sumber inspirasi dan tafsiran yang tak kering-keringnya. Dalam agama Yahudi atau Kristen, — 14 —
  • 15. « teks-teks tafsiran atas kitab suci kedua agama itu terus diproduksi hingga sekarang. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi “foundational text”, teks dasar yang kemudian melahirkan sejumlah “interpretational text” yang jumlahnya terus berkembang, nyaris tanpa henti. Selama agama bersangkutan masih menjadi “a living religion” atau agama yang hidup, bukan “dead religion” (agama yang sudah mati), maka kegiatan memproduksi teks-teks tafsiran itu tak akan pernah berhenti. Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan, maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan. SALAH satu gagasan yang populer di kalangan umat Islam adalah konsep tentang Quran sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna . Konsep “kesempurnaan/kelengkapan” ini menjadi kian penting pada saat umat Islam merasakan adanya semacam “ancaman peradaban” yang datang dari luar saat ini. Kalau kita telaah tradisi penafsiran Quran pada periode klasik (yaitu antara abad ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode di mana kegiatan intelektual dalam dunia Islam mencapai puncak kreativitasnya), sebetulnya konsep “kelengkapan/ kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat itu, sebagai sebuah peradaban, Islam sedang naik daun dan kemudian mencapai titik apek tertinggi. Karena sebagai peradaban Islam berada pada posisi yang dominan, maka konsep kelengkapan dan kesempurnaan tidak terlau ditonjol-tonjolkan oleh sarjana Islam ketika itu. Sebagai peradaban, Islam memang sudah unggul, jadi, kenapa pula mesti dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan Quran adalah kitab yang lengkap? Abad ke-20 menyaksikan perkembangan yang lain sama sekali. Umat Islam mundur dalam semua lapangan kehidupan. Sebagai peradaban, dunia Islam kalah jauh di banding dengan peradaban Barat. Dengan kata lain, sebagai peradaban, Islam disalip oleh peradaban lain. Bahkan, belakangan, ada perasaan bahwa umat Islam berada dalam ancaman dari luar. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang cendekiawan Muslim Mesir, Dr. Muhammad Husain Mu’nis, — 15 —
  • 16. « menyandang judul seperti ini, Hushununa Muhaddah Min Dakhiliha (Benteng Kita Terancam Dari Dalam). Pada periode sebelum revolusi Iran pecah pada 1979 dulu, salah satu istilah yang populer adalah “gharb zadegi” atau “west- toxification” atau keracunan kebudayaan Barat. Di kalangan umat Islam revivalis (contoh yang bagus adalah PKS atau golongan tarbiyah), ada istilah populer, yaitu “al-ghazw al- fikri” atau serbuan pemikiran. Istilah-istilah itu menandakan satu hal: bahwa dunia Islam merasa diancam oleh suatu “musuh besar” yang datang dari luar. Musuh dari luar itu kemudian “meracuni” pemikiran anak-anak Islam sehingga dalam tubuh umat Islam muncul juga apa yang sering disebut sebagai “musuh-musuh dalam selimut”. Ancaman dari dalam inilah yang dengan baik digambarkan oleh judul buku yang ditulis oleh Dr. Mu’nis di atas. Keadaan ini menciptakan mentalitas-serangan atau “siege mentality” yang ciri-cirinya, antara lain, adalah menguatnya dorongan untuk menegaskan identitas diri. Penegasan identitas terjadi karena adanya dorongan untuk menciptakan semacam “benteng” sebagai perlindungan diri dari serangan luar. Di sinilah, konsep tentang “kesempurnaan dan kelengkapan” Islam dan Quran muncul ke permukaan sebagai sarana simbolik untuk melindungi identitas umat. Tak ada yang mengherankan dalam proses tersebut. Itu adalah proses yang wajar dalam semua masyarakat umat manusia. Di mana-mana, saat suatu masyarakat terancam, tentu mereka akan membuat “self-defense mechanism,” mekanisme pertahanan-diri. Pertahanan itu bisa bersifat inderawi, misalnya pertahanan militer, tetapi juga bisa simbolik, dalam bentuk pertahanan budaya. Konsep tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran adalah salah satu bentuk “pertahanan budaya” yang dimobilisasi oleh umat Islam untuk menangkal serangan budaya dari luar. MESKIPUN wajar, ada beberapa akibat negatif dari dari gagasan tentang kelengkapan dan kesempuraan itu. Salah satunya adalah sikap-sikap eksklusivistik atau tertutup terhadap golongan-golongan di luar agama sendiri, bahkan golongan dalam agama yang sama tetapi memiliki pandangan yang berbeda. Kenapa konsep tentang kelengkapan ini kemudian membuahkan sikap ketertutupan? Ini adalah pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Esai pendek ini jelas tidak memadai untuk menejelaskan gejala kejiwaan semacam itu. Mungkin butuh artikel tersendiri yang — 16 —
  • 17. « panjang dan mendalam untuk menjelaskan kecenderungan tersebut. Namun, secara umum dan mungkin agak spekulatif, dapat dikatakan bahwa anggapan tentang kelengkapan dan kesempurnaan suatu budaya bisa membawa akibat lain, yaitu rasa superior budaya. Perasaan superior atau unggul bisa menyebabkan seseorang atau golongan tertentu memiliki rasa “cukup diri” (self sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak perlu belajar dari golongan lain. Jika saya atau kami sudah cukup, kenapa mesti mengambil dari yang lain? Dari sanalah, sikap tertutup itu muncul ke permukaan. Tidak dalam semua kasus tentunya rasa superior membuat seseorang atau golongan tertutup dan eksklusif. Dalam kasus lain, seseorang atau golongan dengan penuh keyakinan membuka diri pada dunia luar justru karena dia merasa unggul dan di atas angin. Ini terjadi pada periode Islam klasik, saat peradaban Islam mencapai titik apek atau puncak. Pada periode itulah, umat Islam dengan tanpa khawatir dan was-was membuka diri pada peradaban lain, menyerapnya, dan mengolahnya kembali menjadi budaya milik sendiri, tanpa merasakan adanya ancaman yang datang dari luar. Pada zaman di mana umat Islam merasakan ancaman dari luar di segala sektor kehidupan, terutama sektor kebudayaan, perasaan superior itu bukan mendorong keterbukaan, sebaliknya ketertutupan. Ini tercermin dalam hal-hal kecil seperti larangan untuk mengucapkan ucapan selamat hari raya kepada golongan dari agama lain, atau bahkan ketakutan bahkan untuk sekedar mengucapkan “al-salamu ‘alaikum” kepada mereka. Literatur polemis yang mencoba membuktikan keunggulan Islam dan kesalahan ajaran-ajaran agama lain juga banyak bermunculan akhir-akhir ini. Yang kadang terjadi dalam perjumpaan antara umat Islam dengan umat lain adalah bukan perjumpaan dialogis, tetapi perjumpaan polemis. Yang saya maksud dengan perjumpaan polemis adalah perjumpaan yang hanya ditandai oleh usaha untuk “self-justification” atau menjustifikasi diri sebagai lebih benar dari sistem kepercayaan lain. Dalam konteks inilah kita berhadapan dengan “fenomena Deedat”, yakni fenomena debat Islam- Kristen yang dilakukan oleh seorang polemis kondang dari Afrika Selatan, Ahmad Deedat. Sikap serupa juga muncul dari kalangan di luar Islam, seperti kita saksikan dari sejumlah literatur polemis yang ditulis oleh kalangan Kristen evangelis — 17 —
  • 18. di Amerika, misalnya. « Pandangan lain yang menurut saya kurang sehat yang muncul dari gagasan tentang kelengkapan/kesempuraan Quran ini adalah gagasan tentang “kemanunggalan tafsir” (uniformity of interpretation). Pandangan ini menganggap bahwa Quran adalah teks yang tembus pandang, transparan, jelas sekali, sehingga maknanya tidak mengandung ambivalensi. Quran dianggap sebagai kitab dengan tafsir tunggal, tidak mengandung kemungkinan banyak tafsir. Jika suatu ayat dikutip dalam sebuah diskusi, maka ayat itu diandaikan akan menghentikan perbedaan dan menyelesaikan masalah sebab tafsirnya satu dan tidak mengandung kemungkinan tafsir lain. Pandangan semacam ini berbahaya, sebab ujungnya adalah memaksanakan satu tafsir yang diikuti oleh pihak tertentu kepada pihak-pihak lain. Secara historis, gagasan ini juga tidak benar dan tidak terbukti sama sekali, sebab dalam sejarah tafsir kitab suci Islam, tidak pernah kita temui ketunggalan tafsir. Sarjana Islam sejak dahulu mendekati Quran dengan berbagai pendekatan, dan setiap pendekatan membawa tafsir yang berbeda. Pendekatan filsafat terhadap Quran akan membawa tafsir yang berbeda dengan pendekatan mistik, hukum, teologi, atau kesejarahana. Dalam sejarah tafsir Quran, kita mengenal berbagai corak tafsir beragam. Karena Quran dipandang sebagai teks dengan tafsir yang tunggal, maka kecenderungan lain juga muncul, yaitu menyesatkan tafsir yang dianggap berbeda dari tafsir ortodoks yang telah dianggap baku, pakem, dan mencerminkan satu- satunya kebenaran. Fenomena “menyesatkan” yang akhir- akhir ini sering kita lihat di kalangan umat Islam, menurut saya, akibat lanjutan dari cara gagasan tentang kelengkapan/ kesempurnaan Quran itu. JIKA demikian, apakah gagasan tentang kelengkapan/ kesempurnaan itu salah? Jelas tidak. Hanya saja, konsep tentang kelengkapan/kesempurnaan itu harus ditafsir ulang agar tidak menimbulkan sikap-sikap keagamaan yang kurang tepat. Apakah yang dimaksud dengan kelengkapan dan kesempurnaan di sana? Apakah Quran dianggap sebagai kitab suci yang sempurna dalam pengertian memuat segala hal, dan memberikan jawaban atas segala-rupa masalah? Ataukah kelengkapan di sana artinya adalah kelengkapan dalam aspek akidah, etika pokok, dan norma umum? — 18 —
  • 19. « Dalam pandangan saya, jika konsep kelengkapan Quran dipahami dalam pengertian yang pertama, yaitu Quran memuat segala hal dan menjawab segal hal, jelas tidak benar . Dengan membaca Quran secara sekilas saja, kita akan tahu bahwa banyak hal yang tidak dimuat dalam Quran. Contoh yang sederhana adalah perdebatan soal status rokok: boleh atau tidak, haram, halal, atau makruh (tidak dianjurkan)? Fatwa terakhir yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan bahwa merokok adalah haram. Tetapi, di lingkungan Muhammadiyah sendiri, fatwa itu tidak disetujui oleh semua kalangan, apalagi di luar Muhammadiyah. Kalau kita merujuk kepada Quran, jelas tidak ada jawaban mengenai status rokok. Yang ada hanyalah norma umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang populer, “wa la tulqu bi aidikum ila al-tahlukah,” jangan menjerumuskan diri kalian ke dalam tindakan yang membawa kerusakan. Ayat ini hanya memuat norma umum saja, dan tidak bisa langsung dan serta-merta dipahami sebagai deklarasi tentang haramnya merokok. Contoh ini hanya untuk memperlihatkan bahwa Quran tidak memuat semua hal, dan tidak menjawab semua masalah. Oleh karena itu, jika yang dimaksud dengan gagasan kelengkapan Quran adalah bahwa kitab suci itu memuat segala hal, sempurna dalam pengertian yang harafiah, maka jelas anggapan itu tidak benar. Contoh status rokok di atas adalah ilustrasi yang baik. Kesempurnaan Quran harus dipahami dengan cara lain, yakni kesempurnaan pada aspek akidah dan norma umum. Norma-norma umum inilah yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para sarjana Islam menjadi norma khusus. Salah satu contoh bagus sebagai ilustrasi adalah ayat yang sering dikutip, yaitu “wa amruhum shura bainahum,” dan urusan mereka dibicarakan secara musyawarah di antara mereka sendiri. Ayat ini hanya mengandung norma umum tentang pujian terhadap tindakan musyawarah. Ayat ini tidak secara khusus mendukung atau menolak, misalnya, konsep demokrasi, terutama demokrasi parlementer. Quran sendiri tidak memuat jawaban yang sifatnya khusus tentang demokrasi. Karena itu, ada banyak perbedaan di kalangan Islam sendiri, apakah demokrasi sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Ada kalangan, jumlahnya sangat sedikit, yang berpandangan bahwa demokrasi tidak Islami. Salah satu yang berpandangan seperti ini adalah pemikir asal Pakistan, Abul Ala al-Maududi. Kalangan aktivis Hizbut Tahrir juga — 19 —
  • 20. « mempunyai pandangan yang serupa. Tetapi, sebagian besar umat Islam berpandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan, bahkan demokrasi dianggap sebagai perwujudan dari etika musyawarah (syura) yang dengan tegas disebut dalam Quran di atas. Pemahaman tentang kelengkapan yang kedua ini lebih bersifat terbuka dan juga membuka diri pada perbedaan. Kelengkapan Quran bukan pada aspek norma khusus, tetapi norma umum. Sementara itu, terjemahan norma umum yang terdapat dalam Quran pada situasi kongkrit harus dilakukan sendiri oleh sarjana Muslim. Proses penerjemahan itu disebut dengan ijtihad atau penalaran berdasarkan akal, konteks, dan kerangka etika umum Quran/sunnah, berikut tradisi penalaran/penafsiran yang sudah berkembang sejauh ini dalam Islam. Dalam proses penerjemahan itu, jelas akan terjadi perbedaan di kalangan umat Islam sendiri. Norma umum dalam Quran hanyalah panduan umum saja; terjemahannya dalam situasi yang kongkret tidak serta merta mudah, dan juga tidak serta merta menimbulkan kesatuan pandangan. Dalam contoh rokok dan demokrasi di atas kita melihat bagaimana norma umum dalam Quran dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai-bagai kalangan dalam Islam saat mereka harus menjawab suatu kasus atau situasi kongkrit. Selebihnya, yang harus dibangun adalah etika perbedaan (adab al-ikhtilaf ). Karena perbedaan dalam menerjemahkan etika umum Quran tidak terhindarkan, maka tidak selayaknya masing-masing pihak yang berbeda saling “adu” kleim kebenaran, dan menyesatkan pihak lain yang berbeda. Sikap saling-menyesatkan, bahkan lebih jauh lagi meng- kafir-kan, jelas tidak sehat dalam rangka membangun iklim pemikiran-kebudayaan yang dialogis dalam tubuh umat Islam. Etika syura atau musyawarah yang dianjurkan dalam Quran mengajarkan agar perbedaan disikapi secara positif. Terjemahan sikap yang positif terhadap perbedaan adalah “diskursus” atau saling bercakap dan bertukar pikiran dan ujaran. Itulah yang disebut dengan praktek syura atau musyawarah sebagaimana dikehendaki oleh Quran. Sudah tentu, dalam diskursus itu, bisa terjadi proses saling kritik, koreksi, oto-kritik, dan sebagainya. Inilah tafsiran tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran yang menurut saya lebih sehat, sebab tidak mengandaikan rasa superioritas yang pada akhirnya mengarah kepada sikap tertutup.**** — 20 —
  • 21. « 12/10/2009 Membunuh “Tersangka” Terorisme? Oleh Ulil Abshar-Abdalla Mereka yang memang memiliki “concern” atau perhatian besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi-manusia, was- was kalau-kalau tindakan Densus 88 dalam menangani isu terorisme itu melanggar HAM dan kebebasan sipil. Saya tidak punya keberatan apapun terhadap kelompok ini. Kritik-kritik mereka dalam soal penanganan terorisme perlu didengar oleh pemerintah. D engan ramainya berita para teoris yang berhasil ditembak dan ditewaskan oleh Densus 88 dan aparat kepolisian, banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa kaum teroris itu mesti dibunuh? Bukankah mereka belum tentu sunguh-sungguh teroris? Bukankah keputusan mereka sebagai teroris haruslah ditentukan oleh pengadilan? Sebelum ada ketuk palu Pak Hakim yang memutuskan bahwa Saifuddin Jaelani, “tersangka” terorisme yang tewas Jumat (9/10) yang lalu di Ciputat, bukankah dia tak bisa disebut sebagai teroris? Paling jauh dia hanya bisa disebut sebagai “tersangka.” Bukankah dalam dunia hukum kita kenal asas praduga tak bersalah yang beraku universal? Apakah polisi tidak melanggar ini saat membunuh tersangka terorisme? Pertanyaan-pertanyaan ini sebetulnya dengan sembunyi- sembunyi sudah mengarahkan kita kepada kesimpulan tertentu: seseorang yang masih dalam status “tersangka teroris” belum atau tidak boleh dibunuh. Karena itu, tindakan Densus 88 membunuh Saifuddin Jaelani dan Syahrir salah sama sekali dari segi hukum. Kalau dibaca secara sekilas, logika atau cara berpikir di atas seolah-olah benar dan masuk akal. Mereka yang tak berpikir kritis, akan langsung “manggut-manggut” meng-iya-kan cara berpikir seperti itu. Tetapi, kalau kita mau berpikir sedikit lebih jauh, maka akan terlihat sejumlah bolong-bolong di dalamnya. Marilah kita lihat di mana-mana bolong- bolongnya itu. Saya berharap anda sabar membaca tulisan saya ini hingga tuntas. Marilah kita ambil contoh yang sekarang sedang populer di masyarakat, yaitu pengadilan mantan Ketua KPK, Antasari — 21 —
  • 22. « Azhar. Sebelum ada keputusan dari pengadilan yang bersifat definitif (maksudnya sampai ke tingkat terakhir, yaitu pengadilan tingkat kasasi), maka Antasari belumlah bisa disebut bersalah melakukan tindakan melawan hukum atau kejahatan (dhi. pembunuhan). Saat polisi menangkap Antasari, itu bukanlah pertanda bahwa yang bersangkutan sudah pasti bersalah. Dia ditangkap oleh pihak aparat penegak hukum bukan karena sudah pasti bersalah, tetapi semata- mata karena akan disidik guna diajukan ke pengadilan. Asas praduga tak bersalah tak dilanggar di sini. Keputusan salah-tidaknya yang bersangkutan akan ditentukan di Pengadilan Negeri. Jika dia tak puas dengan keputusan di tingkat pengadilan pertama, ada hak pada dia untuk mengajukan banding ke pengadilan tingkat kedua. Kalau masih tak puas, dia bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di sanalah keputusan hukum terakhir ditentukan. Andaikan saja Antasari melawan saat hendak ditangkap oleh pihak kepolisian untuk tindakan penyidikan, entah dengan cara lari atau bahkan mengancam nyawa aparat, maka menurut prosedur hukum yang berlaku, pihak aparat diberikan otoritas untuk melumpuhkannya. Jika saja Antasari mengancam akan menembak polisi saat hendak ditangkap, maka polisi boleh membela diri dengan cara melumpuhkan atau—dalam situasi terdesak—membunuh yang bersangkutan. Walaupun Antasari masih berstatus “tersangka”, tetapi dia boleh ditembak, karena mengancam dan melawan aparat hukum. Ini andaian saja. Tindakan polisi, dalam hal ini, sah secara hukum. Polisi tidak bisa disebut sebagai “membunuh” orang yang sedang dalam status “tersangka”. Tujuan polisi bukanlah hendak membunuh yang bersangkutan, tetapi menangkap si tersangka untuk disidik dan diajukan ke pengadilan. Pengadilan bisa saja menganggap bahwa data yang diajukan polisi dan selanjutnya jaksa untuk mendukung tuduhan atas si tersangka lemah sama sekali, sehingga yang terakhir itu dinyatakan tak bersalah. Tentu saja istilah “tersangka” di sini tidak bisa kita maknai dalam pengertian sehari-hari kata itu. Kata “tersangka” di sini tak sama kedudukannya dengan, misalnya, sangkaan saya bahwa tetangga saya di sebelah rumah adalah maling. Seorang polisi tidak bisa sembarangan melakukan “sangkaan” dan menangkap seseorang. — 22 —
  • 23. « Saat polisi menyangka seseorang berbuat kejahatan, dia haruslah memiliki data yang cukup, dan kemudian setelah itu dia menangkap. Seseorang juga tidak bisa ditangkap dan disidik dalam waktu yang tak terbatas. Polisi hanya memiliki waktu yang terbatas untuk menyidik. Setelah lewat batas waktu itu, si tersangka haruslah dilepaskan. Mereka yang belajar hukum acara pidana, tentu paham mengenai soal ini. Apa relevansi semua ini dengan soal pembunuhan “tersangka” teroris Saifuddin Jaelani dan Syahrir di Ciputat kemaren? Saat menggrebek dua tersangka teroris, jelas pihak kepolisian sudah memiliki data yang cukup untuk menyangka dua orang itu sebagai teroris. Tujuan pertama polisi adalah menangkap keduanya untuk disidik dan kemudian diajukan ke pengadilan. Keputusan terakhir apakah Saifuddin Jaelani dan Syahrir benar-benar teroris atau tidak tentu ada di pengadilan. Jika dua orang itu tak melawan saat hendak ditangkap oleh Densus 88, sudah pasti keduanya akan selamat, hidup, dan tidak dibunuh. Mereka dibunuh karena melawan aparat. Jika mereka bertindak “kooperatif ” seperti dalam kasus Antasari Azhar, sudah pasti polisi tak akan membunuh mereka berdua. Membunuh bagi polisi adalah tindakan “the last resort”, alternatif terakhir setelah alternatif yang lain buntu. Dalam kasus pembunuhan dua tersangka teroris yang terakhir kemaren, kita mendapatkan informasi dari pihak Kadiv Humas Polri Irjen Pol Nanan Sukarna, bahwa dua orang itu mengancam polisi dengan cara melemparkan bom. Sesuai dengan prosedur yang berlaku, polisi berhak untuk melumpuhkan dan membunuh yang bersangkutan. Kasus para teroris yang melawan dengan cara menyerang polisi saat mau ditangkap sudah sering kita dengar. Pertanyaan saya adalah: jika Saifuddin Jaelani, Syahrir, atau Ibrohim (aka Boim) dalam kasus penyergapan di Temanggung dulu, benar-benar merasa tidak bersalah, kenapa mereka tak menyerah saja? Kenapa mereka melawan? Banyak teroris lain yang langsung menyerah saat ditangkap polisi, dan karena itu mereka tidak ditembak. Contoh yang baik adalah Mukhlas, Imam Samudra dan Amrozi—para pelaku bom Bali pertama. Ketiganya tidak dibunuh oleh polisi, karena saat ditangkap tidak melawan dengan cara menembak balik aparat hukum. Akhirnya ketiganya dihukum mati, tetapi setelah melalui proses pengadilan. — 23 —
  • 24. « Oleh karena itu, cara berpikir yang terselip dalam pertanyaan- pertanyaan di awal tulisan ini tidak bisa dibenarkan. Saat membunuh Saifuddin Jaelani, Syahrir, Ibrohim, Nurdin M Top dll, polisi telah melakukan langkah yang benar. Polisi tidak melakukan tindakan yang melawan hukum. Pertanyaan berikutnya: apakah informasi polisi bahwa tersangka teroris itu melawan saat mau ditangkap, benar? Apakah polisi tidak berbohong dalam hal ini? Sangkaan bahwa polisi berbohong bisa saja benar. Tetapi mereka yang meragukan informasi polisi, haruslah menunjukkan bukti yang kuat. Berdasarkan itu, mereka bisa menuntut polisi ke PTUN, misalnya. Dalam pandangan saya, informasi polisi itu benar adanya. Pertama, setiap tersangka teroris dibunuh di sebuah tempat, selalu ditemukan senjata, bom, dan amunisi lain yang siap diolah menjadi bom. Artinya, mereka memang sudah mempunyai “niat jahat” sejak awal. Kedua, dalam beberapa kasus penangkapan tersangka teroris, seperti di Temanggung, beberapa media elektronik melaporkan langsung dari lapangan, dan kita bisa melihat sendiri terjadinya baku- tembak antara polisi dan tersangka terorisme. Ketiga, taruhlah laporan media itu kita ragukan kebenarannya. Pertanyaannya: kasus perlawanan terhadap polisi tidak hanya berlangsung di Temanggung saja, tetapi juka di Jatiasih, di Solo saat penangkapan Noordin M Top, di Batu (Malang) saat penangkapan Dr. Azahari, dan terakhir di Ciputat kemaren. Ratusan (kalau malah tak ribuan) orang di sekitar perumahan Dr. Azahari di Batu menyaksikan terjadinya baku-tembak antara dia dan polisi, sebab penangkanpan ketika itu berangsung pada waktu siang hari, dan karena itu banyak yang menonton. Dengan kata lain, ada pola yang berlangsung dengan konsisten di sini: tersangka terorisme itu membawa senjata saat mau ditangkap dan melawan. Sekali lagi, tidak semua tersangka terorisme melawan saat ditangkap. Tetapi yang melawan jelas ada, dan kasusnya berlangsung berkali-kali. Artinya, hal itu bukan merupakan sesuatu yang tanpa bukti empiris. Memang banyak yang tak suka pada Densus 88 karena mereka bertindak tegas dan keras pada pelaku terorisme. Mereka yang tak suka ini bisa digolongkan ke dalam dua kategori. — 24 —
  • 25. « Pertama, mereka yang memang memiliki “concern” atau perhatian besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi- manusia, sehingga mereka was-was kalau-kalau tindakan Densus 88 dalam menangani isu terorisme itu melanggar HAM dan kebebasan sipil. Saya tidak punya keberatan apapun terhadap kelompok pertama ini. Kritik-kritik mereka dalam soal penanganan terorisme perlu didengar oleh pemerintah. Kedua, mereka yang sebetunya dari awal setuju dengan ideologi, doktrin, dan ajaran para pelaku terorisme itu, atau lebih spesifik ajaran jihad ala Abu Bakar Ba’asyir. Mereka ini menunggangi isu HAM untuk menyembunyikan simpati dan dukungan mereka terhadap ideologi terorisme. Inilah “musang berbulu ayam” yang harus diwaspadai! Semoga tulisan ini bermanfaat. In uridu illa ‘l-islah wa taufiqi illa bi l-Lah. — 25 —
  • 26. « 17/08/2009 Teks dan Kontradiksi: Kasus Ibn Hazm al-Andalusi Oleh Ulil Abshar-Abdalla Ibn Hazm membuat pembedaan antara teks dengan penafsiran. Secara ontologis, sebuah teks jelas benar, tetapi pemahaman/penafsiran atas teks itu bisa salah. Pendapat Ibn Hazm ini mengingatkan kita pada pendapat serupa yang juga pernah dikemukakan oleh sarjana Mesir Nasr Hamid Abu Zayd. Yang terakhir ini membedakan antara agama (din, religion) dan wacana atau pembicaraan manusia tentang agama (al-khithab al-dini, discourse on religion). Agama, dalam pendapat Abu Zayd, bersifat absolut (tentu bagi mereka yang mempercayainya), sementara pembicaraan/ penafsiran/ pemahaman mengenai agama oleh manusia bersifat relatif, dan karena itu bisa keliru. A PA yang terjadi ketika seseorang menulis sebuah teks? Apakah yang terjadi saat proses “tekstualisasi” (yakni menjadikan sesuatu yang a-tekstual menjadi tekstual) berlangsung? Jawabannya sederhana: saat kita mengubah sesuatu yang semula a-tekstual menjadi tekstual, maka di sana terjadi sebuah proses yang, agar sedikit keren, sebut saja “strukturasi”—proses memberikan struktur/bentuk kepada sesuatu yang semula tak berbentuk. Dalam tekstualisasi, kita berjumpa dengan suatu proses di mana sebuah peristiwa prabentuk berubah menjadi ber-bentuk. Hasil yang muncul pada fase pascabentuk itu biasa kita sebut teks atau narasi tekstual. Prosesnya sendiri kita sebut tekstualisasi dengan elemen-elemen sebagai berikut: peristiwa-prabentuk =>bentuk=>pascabentuk. Kalimat di atas seolah-olah abstrak dan mengerikan, tetapi kalau kita letakkan dalam ilustrasi yang kongkret, sebetulnya sederhana saja maknanya. Bayangkanlah keadaan berikut ini. Saat berhadapan dengan suatu peristiwa, seorang wartawan sebetulnya berjumpa dengan keadaan yang tanpa bentuk. Peristiwa yang ia jumpai itu tak memiliki struktur, cair, sebuah bahan mentah yang bisa ia tulis dengan banyak sudut-pandang. Saat menulis laporan mengenai peristiwa itu, si wartawan haruslah bergulat dengan sebuah proses yang kadang mudah, tetapi seringkali juga tidak: yakni menjadikan — 26 —
  • 27. « peristiwa pra-bentuk itu menjadi berbentuk dalam sebuah laporan yang bisa dinikmati oleh pembaca. Saat menulis laporan, si wartawan sebetulnya sedang melakukan proses “tekstualisasi” atas peristiwa tersebut – proses strukturasi (ingat konsep Paul Ricoeur tentang waktu dan narasi). Bentuk bisa dicapai karena si wartawan menuliskan peristiwa itu berdasarkan sudut pandang tertentu. Masing-masing wartawan biasanya akan menuliskan peristiwa yang sama dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Hasilnya sudah bisa kita duga: dari peristiwa yang sama, muncul laporan yang berbagai-bagai. Dari bahan mentah yang sama, muncul sejumlah bentuk yang beragam. Itulah yang kita baca dalam setiap berita di koran atau majalah. Kita membaca peristiwa yang sama, misalnya ihwal meninggalnya Mbah Surip. En toch demikian, masing-masing koran memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Yang muncul adalah berita yang meski bahan mentahnya sama, tetapi menyuguhkan informasi yang beragam, persis karena sudut pandang yang dipakai dalam setiap laporan itu tidak sama. Dalam setiap proses “tekstualisasi/strukturasi”, biasanya berlangsung sejumlah proses lain yang bersifat ikutan. Misalnya, dalam tekstualisasi, biasanya akan kita jumpai proses pencocokan—proses di mana elemen-elemen dalam peristiwa yang semula tak berbentuk itu menjadi saling cocok satu dengan yang lain. Dengan kata lain, membuat sesuatu menjadi koheren dan logis. Dalam tekstualisasi juga kita jumpai proses penyelarasan atau harmonisasi antara unsur- unsur yang semula tak saling bersesuaian menjadi saling sesuai. Kedua proses itu seolah-olah sama, tetapi tidak. Proses pencocokan secara spesifik berkaitan dengan usaha menjadikan beberapa elemen menjadi saling berkaitan secara logis. Jika elemen-elemen dalam suatu narasi tekstual tidak saling cocok, maka narasi itu menjadi tak masuk akal. Sementara proses harmonisasi lebih umum sifatnya, tidak terbatas pada pelogisan elemen-elemen yang berserakan. Dengan kata lain, proses tekstualisasi adalah usaha untuk menghindar dari kontradiksi. Suatu narasi tekstual disebut sebagai sebuah “narasi” manakala ia koheren dan harmonis, terhindar dari unsur-unsur yang tak logis, kontradiktoris, dan janggal (lawan harmoni). — 27 —
  • 28. « Itulah sebabnya, teks yang mengandung kontradiksi biasanya akan diejek sebagai teks jelek. Sementara teks yang logis dan koheren dipandang sebagai teks baik. Para polemikus Muslim, entah dari masa klasik (seperti Ibn Hazm) atau modern (seperti Ahmad Deedat), misalnya, biasa menyerang Injil karena mereka memandang teks itu mengandung sejumlah kontradiksi yang parah. Sebaliknya, kalangan polemikus Kristen juga menyerang balik dengan menunjukkan bahwa justru Qur’an lah yang mengandung kontradiksi (Quran adalah teks gado-gado, “jumble-mumble”, istilah para orientalis awal). Kedua belah pihak sebetulnya memiliki kesamaan—mereka sama-sama berpandangan bahwa suatu teks yang baik, apalagi suci, haruslah bersih sebersih-bersihnya dari suatu kontradiksi. Teks yang mengandung kontradiksi tak mungkin dianggap sebagai teks yang baik, apalagi suci. Teks yang mengandung kontradiksi adalah teks di mana proses tekstualisasi di dalamnya gagal. TETAPI, apakah ambisi untuk membuat suatu narasi tekstual menjadi sepenuhnya koheren itu bisa tercapai dalam semua kasus? Saya khawatir jawabannya: tidak. Seringkali saya menjumpai suatu narasi tekstual yang secara sadar ingin membangun suatu bentuk yang koheren, tetapi nyatanya gagal sama sekali. Alih-alih mampu seluruhnya koheren, narasi itu tiba-tiba saja memuat hal-hal yang membatalkan klaimnya sebagai sesuatu yang sepenuhnya koheren dan logis. Saya akan mengambil sebuah teks yang menarik dari Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M) sebagai sebuah contoh. Ibn Hazm adalah seorang alim dan sarjana fikih dari Andalusia (nama untuk Spanyol saat negeri itu di bawah kekuasaan Islam) yang hidup pada abad ke-12 Masehi. Nama lengkapnya: Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Andalusi. Sarjana ini dikenal karena kritik-kritiknya yang tajam atas sejumlah pandangan yang sudah mapan di lingkungan ortodoksi Sunni. Gaya berargumen dia memang lugas, tangkas, dan kadang nylekit. Dia juga seorang polemikus ulung yang gemar berdebat dengan kalangan Kristen. Kritik literer dia atas Injil, konon menurut seorang sarjana, menjadi inspirasi untuk munculnya Biblical literary criticism di Barat. Meskipun pernah mengikuti mazhab Maliki dan Syafii, tetapi ia pada akhirnya dikenal sebagai salah satu ikon penting dari mazhab zahiri atau mazhab tekstualistis. Ia menulis sejumlah buku, antara lain yang dikenal luas adalah al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (dalam bidang teori hukum Islam, ushul al-fiqh), al-Fishal fi al-Ahwa’ wa al-Milal wa al-Nihal (tentang sejarah — 28 —
  • 29. « kemunculan sekte-sekte dalam Islam), dan al-Muhalla (dalam bidang fikih). Contoh yang akan saya jadikan ilustrasi di sini diambil dari karya Ibn Hazm yang terakhir itu, al-Muhalla, terutama pada bagian pembukaan dalam jilid pertama (karya itu sendiri terdiri dari 11 jilid dalam edisi yang dikerjakan oleh Ahmad Muhammad Shakir). Dalam pembukaan buku itu, kita jumpai pembahasan yang menarik mengenai dua pokok masalah: pertama di bidang teologi dan terangkum dalam pasal yang diberi tajuk “Masa’il al-Tauhid” (pembahasan mengenai tauhid atau teologi), dan kedua, pembahasan yang berkenaan dengan teori hukum Islam dengan tajuk “Masa’il min al-Ushul” (Pembahasan tentang Pokok-Pokok) . Dalam pembahasan yang kedua itu, Ibn Hazm berusaha meletakkan semacam dasar-dasar metodologis untuk proyek intelektual dia di bidang hukum Islam sebagaimana tercermin dalam karyanya itu. Salah satu fondasi dari ijtihad dia adalah penolakan yang begitu gigih terhadap metode qiyas atau analogi (Contoh qiyas yang sering dipakai dalam literatur fikih biasanya mengikuti pola ini: A diharamkan/dibolehkan karena mengandung unsur B; C mengandung unsur B, maka ia juga haram/boleh) . Empat mazhab hukum Islam di lingkungan Sunni hampir seluruhnya sepakat memperlakukan qiyas/ analogi sebagai fondasi keempat dalam perumusan hukum setelah Quran, sunnah dan ijma’ (konsensus). Ciri-ciri kelompok Sunni biasanya ditengarai oleh cara berpikir di bidang hukum yang bertopang pada empat fondasi di atas. Kritik Ibn Hazm terhadap metode qiyas jelas bertentangan dengan fondasi intelektual kalangan Sunni ortodoks. Pada bagian berikut ini, saya akan mencoba meringkaskan argumen-argumen Ibn Hazm untuk menolak metode qiyas. Setelah itu, saya akan mencoba menunjukkan sejumlah kontradiksi dalam argumen-argumen Ibn Hazm tersebut. Dari sana, saya hendak memperlihatkan bahwa ambisi tekstualisasi yang mencoba mengoherenkan semua elemen dalam narasi tekstual kadang bisa “mrucut” (elusive). Sekurang-kurangnya ada tiga argumen utama yang dikemukakan Ibn Hazm untuk menolak metode qiyas. Pertama, saat terjadi perselisihan dalam suatu soal, Quran memberikan petunjuk yang jelas, yakni kembali kepada Tuhan dan rasul-Nya (QS 4:59). Tidak ada perintah untuk merujuk kepada qiyas sebagai metode untuk menyelesaikan — 29 —
  • 30. « perselisihan pendapat. Kedua, dalam Quran, Tuhan menegaskan bahwa semua hal bisa dijumpai di sana, tak ada satupun yang terlewat (QS 6:38). Dengan kata lain, semua hal ada jawabannya dalam Kitab Suci, dan karena itu sama sekali tak dibutuhkan lagi metode lain, misalnya qiyas. Ketiga, Ibn Hazm, dengan sikap yakin yang agak berlebihan, menunjukkan bahwa dalam semua qiyas yang diajukan oleh para sarjana fiqh yang lain, ia bisa menunjukkkan qiyas lain yang lebih unggul. Dengan kata lain, qiyas sebetulnya tidak menyodorkan jawaban yang tunggal, sebab masing-masing sarjana fikih bisa mengajukan qiyas yang berbeda-beda untuk kasus yang sama. Dengan mangajukan qiyas yang lebih baik dari qiyas fuqaha yang lain, bukan berarti Ibn Hazm setuju dengan metode itu. Dia hanya ingin memakai teknik “mematahkan lawan dengan senjata mereka sendiri”. Ibn Hazm menutup kritiknya atas metode qiyas dengan sebuah pernyataan menarik berikut ini. Katanya, “Jika para pendukung metode qiyas menunjukkan teks tertentu (nass, teks dalam Quran atau sunnah) yang menyokong pendapat mereka, maka jawaban saya adalah jelas: teks itu benar, tetapi pendapat yang hendak kalian tambahkan/lekatkan (adlaftum) pada teks tersebut melalui sebuah penafsiran sama sekali keliru.” Dengan kata lain, dalam pandangan Ibn Hazm, sejumlah ayat atau hadis yang kerap dipakai oleh para pendukung qiyas untuk menyokong pendapat mereka adalah benar, sebab tak mungkin ada kekeliruan dalam Quran dan sunnah. Yang keliru adalah penafsiran atas ayat dan hadis tersebut. Yang menarik di sini, Ibn Hazm membuat pembedaan antara teks dengan penafsiran. Secara ontologis, sebuah teks jelas benar, tetapi pemahaman/penafsiran atas teks itu bisa salah. Pendapat Ibn Hazm ini mengingatkan kita pada pendapat serupa yang juga pernah dikemukakan oleh sarjana Mesir Nasr Hamid Abu Zayd. Yang terakhir ini membedakan antara agama (din, religion) dan wacana atau pembicaraan manusia tentang agama (al-khithab al-dini, discourse on religion). Agama, dalam pendapat Abu Zayd, bersifat absolut (tentu bagi mereka yang mempercayainya) , sementara pembicaraan/ penafsiran/ pemahaman mengenai agama oleh manusia bersifat relatif, dan karena itu bisa keliru. Pernyataan Ibn Hazm ini, dalam pandangan saya, sangat mengagetkan, persis karena pernyataan itu ia kemukakan sebagai semacam “statemen pamungkas” yang — 30 —
  • 31. « bisa memukul pihak lawan. Alih-alih menjadi senjata pamungkas, pernyataan itu justru menjadi boomerang yang merontokkan seluruh argumen yang telah susah-payah ia bangun sebelumnya. Mengikuti dari awal seluruh argumen yang dibangun oleh Ibn Hazm untuk menolak qiyas, kita akan menjumpai suatu arsitektur argumentasi yang logis dengan elemen-elemen yang koheren dan harmonis. Tetapi, pernyataan dia yang terakhir itu justru membuat arsitektur tersebut menjadi berantakan. Bagaimana? Ibn Hazm membedakan antara teks dan penafsiran yang dilekatkan (idlafah, istilah yang dipakai oleh Ibn Hazm) atas teks. Teks (maksudnya ayat atau hadis) akan selalu benar, sementara penafsiran mungkin keliru. Teks bersifat ilahiah dan karena itu absolut, sementara penafsiran/pemahama n bersifat insaniah dan karena itu mungkin meleset. Jika demikian halnya, maka pertanyaan yang harus diajukan adalah: Apakah Ibn Hazm juga tidak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh lawan-lawannya? Bukankah Ibn Hazm juga memakai sejumlah ayat untuk mendukung penolakannya atas qiyas, sebagaimana lawan-lawan dia juga memakai ayat untuk mendukungnya? Apakah ayat yang ia kutip itu dengan tegas menolak qiyas? Bukankah Ibn Hazm hanya menafsirkan saja ayat-ayat yang ia kutip itu untuk mendukung pendapatnya, persis seperti yang dilakukan oleh lawan-lawan yang ia kritik? Jika penafsiran lawan-lawannya ia anggap keliru, bukankah penafsiran dia juga mungkin keliru? “Kesalahan” Ibn Hazm, jika boleh disebut demikian, adalah menganggap bahwa semua ayat yang ia kutip untuk mendukung penolakannya atas qiyas mempunyai pengertian yang unifokal, artinya memiliki satu pengertian saja, yaitu pengertian sebagaimana yang ia pahami (ingat prinsip perspicuitas dalam memahami Kitab Suci sebagaimana dianut oleh umumnya kalangan fundamentalis) . Kalau kita telaah ayat-ayat yang ia pakai untuk menolak qiyas, jelas sekali tak mengandung penegasan yang eksplisit tentang hal itu. Tak ada satu ayat pun yang menegaskan, misalnya, “Wahai orang- orang beriman, janganlah kalian memakai qiyas.” Seluruh ayat yang dikutip Ibn Hazm hanya berisi penegasan yang bersifat umum, ekwifokal, dan sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan perdebatan mengenai soal qiyas. Sebagaimana lawan- lawan polemiknya, Ibn Hazm juga melakukan penafsiran atas ayat yang bersifat umum, sementara ayat itu sendiri tak secara eksplisit mendukung pendapat dia. — 31 —
  • 32. « Lawan-lawan Ibn Hazm bisa saja mengatakan hal yang sama kepada dia, “Ayat yang anda (maksudnya Ibn Hazm) pakai jelas benar adanya, tetapi pengertian dan penafsiran yang anda lekatkan pada ayat tersebut untuk mendukung pendapat anda sendiri, jelas keliru.” Senjata Ibn Hazm bisa balik menyerang dirinya sendiri. Contoh ini saya pakai sekedar untuk menunjukkan bahwa dalam proses tekstualisasi, seringkali ada momen-momen “kepleset” di mana seseorang gagal mengontrol semua elemen dalam proses tersebut agar seluruhnya koheren dan harmonis. Momen itulah yang menyebakan timbulnya sebuah kontradiksi dalam sebuah teks. Tekstualisasi justru berubah menjadi de-tekstualisasi. Dengan mengatakan ini, bukan berarti saya menolak adanya sebuah teks-baik yang seluruhnya konsisten dan koheren. Yang hendak saya katakan adalah ada momen tak terkontrol yang justru bisa menggagalkan keinginan untuk menjadikan sebuah teks seluruhnya koheren. Yang menarik, momen kepleset seperti itu kerap tak disadari oleh si penyusun teks. Apakah ini bisa disebut sebagai “efek Freudian” dalam proses penulisan teks? Saya tak tahu. Yang saya cemaskan, jangan-jangan efek itu juga ada dalam teks yang saya tulis ini. [] — 32 —
  • 33. « 31/08/2008 Kritik atas Argumen Aktivis Hizbut Tahrir Oleh Ulil Abshar-Abdalla Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini, dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada. S AYA kerap mendengar pernyataan aktivis Hizbut Tahrir (HT), gerakan Islam yang dikenal dengan “mimpi besar” untuk menegakkan negara Islam internasional itu (dikenal dengan negara khilafah), bahwa fakta sosial tak bisa menjadi dasar landasan penetapan hukum. Pernyataan ini pertama kali saya dengar dari jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, saat saya dan dia berbicara dalam sebuah diskusi di Bogor sekitar enam tahun yang lalu. Belakangan, aktivis HTI kerap mengulang-ulang argumen serupa. Rupanya, statemen ini menjadi semacam “refrain” di kalangan mereka. Bagi yang kurang akrab dengan ilmu ushul fikih (teori hukum Islam), mungkin statemen ini kurang begitu jelas. Supaya sederhana dan mudah dipahami, saya akan berikan contoh kecil berikut ini. Kita tahu, bahwa Sunan Kudus membangun masjid dengan menara yang berbentuk seperti pura Hindu. Taruhlah, anda terlibat dalam sebuah diskusi tentang boleh tidaknya membangun masjid dengan arsitektur yang menyerupai tempat ibadah agama lain. Misalkan saja anda berpendapat bahwa hal itu boleh. Saat lawan diskusi anda bertanya, apa “hujjah” atau argumen anda, anda menjawab, “Tuh, buktinya Sunan Kudus membangun masjid dengan arsitektur yang menyerupai tempat ibadah agama Hindu.” Ini hanya contoh anekdotal yang sangat sederhana. Anda bisa mengembangkan contoh ini dengan kasus-kasus lain. Menurut aktivis HTI, cara berargumen seperti ini mereka anggap salah, sebab fakta sosial, yaitu tindakan Sunan Kudus, — 33 —
  • 34. « tidak bisa dijadikan sebagai landasan penetapan hukum tentang boleh tidaknya membangun masjid dengan gaya arsitektur yang mirip tempat ibadah agama lain. Hukum, menurut mereka, hanya bisa disandarkan atas dalil agama (dalil syar’i). Dalil atau teks agama mengatasi segala-galanya. Tindakan Sunan Kudus atau tokoh manapun, selain Nabi Muhammad, tidak bisa menjadi standar normatif. Yang bisa menjadi standar hanyalah teks agama. Apakah argumen aktivis HTI ini tepat, terutama dilihat dari tradisi teori hukum Islam klasik sendiri? Esei pendek ini saya tulis untuk memberikan kritik atas cara berpikir aktivis HTI yang, jujur saja, merupakan ciri-khas kaum “tekstualis” di manapun. Dalam pandangan saya, argumen semacam ini sama sekali tak tepat. Memang, dalam teori hukum Islam, dikenal empat sumber hukum utama, yaitu Quran, hadis, ijma’ (konsensus sarjana hukum Islam atau “juris”) dan qiyas atau analogi (dalam tradisi fikih Syiah, sumber keempat bukan qiyas tetapi akal). Tetapi, sumber hukum bukan hanya empat, sebab ada sumber-sumber lain yang kedudukannya memang diperselisihkan oleh para sarjana Islam (al-adillah al-mukhtalaf fiha). Statemen aktivis HTI bahwa fakta sosial tidak bisa menjadi sumber hukum, sama sekali tidak tepat, sebab di luar empat sumber utama di atas, ada sumber-sumber lain yang diakui oleh ulama fikih, termasuk fakta sosial sebagaimana akan saya tunjukkan nanti. Argumen kalangan HTI ini sengaja mereka pakai untuk menepis sanggahan yang diajukan oleh para pengkritik teori negara khilafah yang antara lain disandarkan pada fakta-fakta historis dalam sejarah Islam. Para pengkritik teori negara khilafah, antara lain, mengatakan praktek negara khilafah tidak “secemerlang” yang dikira oleh para penyokong ide itu. Banyak “khalifah” dalam dinasti- dinasti Islam masa lampau yang bertindak otoriter, despotik, dan kejam. Sebagaimana dalam sejarah negara-negara kuno, pertumpahan darah selalu menandai peralihan kekuasaan dari satu dinasti Islam ke dinasti yang lain. Terhadap kritik semacam ini, aktivis HTI akan mengatakan bahwa fakta sejarah tidak bisa menjadi dasar untuk menetapkan hukum. Menurut mereka, negara khilafah adalah satu-satunya bentuk negara yang sah menurut dalil — 34 —
  • 35. « agama; fakta sejarah yang menunjukkan bahwa bentuk negara khilafah tak seideal yang dibayangkan, menurut mereka, tak bisa dijadikan argumen untuk menyanggah dalil agama. Dalam pandangan aktivis HTI, dalil agama sudah cukup dalam dirinya sendiri; fakta sosial harus tunduk pada dalil agama, bukan sebaliknya. DALAM standar ilmu ushul fikih klasik, argumen ala HT ini jelas sama sekali salah. Dalam hukum fikih, fakta sosial jelas bisa menjadi dasar penetapan hukum. Karena itulah ada kaidah terkenal, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan,” hukum berubah sesuai dengan waktu dan tempat. Perbedaan mazhab dalam Islam jelas terkait dengan perbedaan konteks sosial di mana pendiri mazhab itu hidup. Kenapa mazhab Abu Hanifah sering disebut sebagai mazhab ahl al- ra’y, pendapat yang cenderung rasional, karena mereka hidup di Kufah, kota tempat persilangan budaya, kota di mana kita jumpai warisan dari banyak peradaban besar sebelum Islam. Sementara mazhab Maliki lebih cenderung berpegang pada “sunnah” penduduk Madinah (dikenal dengan ‘amal ahl al-Madinah) karena memang itulah kota tempat Nabi dan sahabatnya hidup, sehingga sunnah penduduk Madinah dianggap sebagai norma. Sudah tentu, fakta sosial semata-mata memang tak cukup untuk menetapkan sebuah hukum dalam pandangan teori hukum Islam klasik. Fakta sosial tetap harus ditimbang berdasarkan teks. Tetapi teks saja juga tak cukup, karena teks juga dipahami berdasarkan perubahan-perubahan lingkungan sosial yang ada. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis antara teks dan konteks sosial. Dengan demikian, argumen aktivis HTI itu jelas sama sekali tak benar. Seorang ulama mazhab Hanafi, Najm al-Din al-Thufi (w. 1324 M), malah berpendapat lebih jauh lagi. Dalam kitabnya yang kurang banyak dibaca luas, “Kitab al-Ta’yin fi Sharh al-Arba’in” (komentar atas kumpulan empat puluh hadis karya Imam Nawawi), al-Thufi melontarkan sebuah pendapat yang menjadi kontroversi dari dulu hingga sekarang, bahwa jika terjadi pertentangan antara maslahat atau kepentingan umum dengan teks atau dalil agama, maka maslahat harus didahulukan. Saya kutipkan teks Thufi yang langsung berkaitan dengan hal — 35 —
  • 36. ini: « “Wa in khaalafaaha wajaba taqdim ri’ayat al-masalahati ‘alaihima bi thariq al-takhsis wa al-bayan lahuma, la bi thariq al-iftiyat ‘alaihima wa al-ta’thil lahuma, kama tuqaddam al- sunnah ‘ala al-Qur’an bi thariq al-bayan” (hal. 238, edisi yang diedit oleh Ahmad Haj Muhammad ‘Uthman, 1998). Secara ringkas, teks itu menegaskan, jika terjadi pertentangan antara teks (nass) dan konsensus ulama (ijma’) dengan maslahat, maka kemaslahatan umum harus didahulukan di atas teks dan ijma’. Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini, dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada. Ini memang pembahasan yang kompleks. Yang tidak pernah belajar ushul fikih, penjelasan ini mungkin terlalu teknis dan kurang jelas. Intinya adalah: jika dalil dalam Quran atau hadis mengatakan A, lalu konteks sosial justru menunjukkan B, maka teks Quran/hadis itu bisa “dispesifkasi” atau “diterangkan” oleh konteks itu. Dengan kata lain, konteks didahulukan atas teks. Pendapat al-Thufi ini memang banyak diserang oleh ulama- ulama lain, karena dianggap terlalu berani. Dia bahkan diisukan sebagai seorang penganut sekte Syi’ah rafidah (Syi’ah yang ekstrim). Biasa, ini adalah semacam “black campaign“. Seolah-olah jika seseorang menganut sekte Syi’ah maka pendapatnya otomatis salah. Apapun, pendapat al-Thufi ini sangat menarik dan memperlihatkan bahwa di kalangan ulama fikih dan ushul fikih klasik sendiri sudah ada pendapat yang menyatakan tentang kedudukan penting dari konteks sosial. Sekali lagi, pernyataan kalangan aktivis HTI bahwa fakta sosial tak bisa menjadi sumber hukum, sama sekali tak tepat, untuk tak mengatakan keliru sama sekali. Sementara itu, banyak sekali ketentuan hukum dalam fikih yang digantungkan pada adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Itulah sebabnya, dalam fikih dikenal kaidah yang sangat populer, “al-’adah muhakkamah“, kebiasaan sosial bisa — 36 —
  • 37. menjadi sumber hukum. « Sudah tentu adat bukan sumber hukum yang mandiri, sebab harus ditimbang berdasarkan parameter teks agama. Tetapi, teks agama juga tak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan adat sosial. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis antara adat dan teks agama. Adat dan teks agama, dua-duanya menjadi sumber hukum. Contoh sederhana adalah mengenai mas kawin atau mahar. Quran menegaskan bahwa seorang lelaki harus memberikan mas kawin kepada perempuan yang dinikahinya (wa aatu al-nisa’a shaduqatihinna nihlah, QS 4:4). Tetapi Quran tidak menerangkan, berapa jumlah mahar yang harus diberikan oleh suami kepada isterinya. Di sini, ada ruang “legal” yang dibiarkan terbuka oleh teks agama. Adat masuk untuk mengisinya. Jumlah mahar, menurut ketentuan yang kita baca dalam literatur fikih, diserahkan saja pada adat dan kebiasaan sosial yang ada. Oleh karena itu, jumlah mahar berbeda-beda sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang dikenal dalam fikih sebagai “mahr al-mitsl“, yakni mas kawin yang sepadan dengan kedudukan sosial seorang isteri dalam adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Fakta ini dengan baik menunjukkan bahwa kebiasaan sosial bisa menjadi sumber hukum. Teks saja tidak cukup kalau tak dilengkapi dengan konteks sosial. Kalangan santri yang belajar di pesantren-pesantren NU tentu sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa hukum bisa berubah-ubah karena perubahan konteks. Fatwa beberapa kiai berubah-ubah dari waktu ke waktu karena perubahan konteks sosial. Pada zaman kolonial Belanda dulu, banyak kiai yang berfatwa bahwa memakai celana dan jas hukumnya haram, karena menyerupai adat kebiasaan kaum kolonial yang “kafir”. Setelah zaman merdeka, kiai-kiai mulai berubah pendapat dan bisa menerima “baju kolonial” itu, karena konteksnya sudah berbeda. Jadi, sekali lagi, apa yang dikatakan oleh aktivis HT itu sama sekali keliru![] — 37 —
  • 38. « 25/08/2008 Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal Oleh Ulil Abshar-Abdalla PERBEDAAN mendasar antara saya berserta teman-teman Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata- mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar. S EJAK Mei 2001, bersama dengan teman-teman muda di Jakarta, saya mendirikan sebuah kelompok bernama Jaringan Islam Liberal, disingkat JIL. Kata “jil” selain enak diucapkan sebagai akronim, juga merupakan kata Arab yang artinya “generasi”. JIL adalah sebuah generasi pemikiran yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Tujuan utama kelompok ini secara umum ada dua. Pertama, melakukan kritik atas pemahaman keislaman yang fundamentalistis, radikal dan cenderung pada kekerasan. Paham-paham semacam ini muncul bak cendawan setelah era reformasi di Indonesia sejak 1998. Bagi saya, paham Islam yang radikal, eksklusif, dan pro-kekerasan ini sangat berbahaya bukan saja bagi masyarakat Indonesia yang plural, tetapi juga bagi Islam sendiri. Sebagai seorang Muslim, saya tidak mau agama saya”dibajak” oleh kaum radikal- fundamentalis untuk mengesahkan kekerasan atas nama agama. Kedua, untuk menyebarkan pemahaman Islam yang lebih rasional, kontekstual, humanis, dan pluralis. Di mata saya dan teman-teman yang menggagas JIL, Islam harus terus- menerus dikonfrontasikan dengan realitas sosial yang terus berubah. Jawaban yang diberikan oleh agama atau ulama di masa lampau, belum tentu tepat untuk zaman sekarang. Oleh karena, sikap kritis dalam membaca pemikiran Islam yang kita warisi dari ulama masa lampau sangat penting. Tidak semua hal yang tertera dalam Quran dan hadis harus dimaknai secara harafiah. Quran dan hadis dibentuk oleh — 38 —
  • 39. « konteks yang spesifik, dan karena itu harus terus-menerus dikontekstualisasikan, terutama ajaran-ajaran yang berkenaan dengan kehidupan sosial-politik. Bagi saya dan teman-teman JIL, misalnya, sistem pengelolaan “negara” yang pernah dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat sesudahnya di Madinah tidak mesti kita contoh mentah-mentah untuk dipraktekkan pada zaman sekarang, sebab kita berhadapan dengan konteks sejarah yang berbeda. JIL sama sekali tidak mengungkit-ungkit masalah ibadah. Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti salat, puasa dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan. Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara ibadah bersifat “harga mati”. Misalnya, saat saya kecil di kampung dulu, ada diskusi hangat antara kalangan NU dan Muhammadiyah mengenai boleh tidaknya menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa selain Arab. Kiai-kiai NU berkeras bahwa khutbah Jumat harus disampaikan dalam bahasa Arab, sebab Nabi dulu memakai bahasa itu dalam khutbah. Kalangan Muhammadiyah berpandangan lain: khutbah tujuan pokoknya adalah untuk memberi pengertian dan informasi kepada jamaah. Bagaimana pengertian itu bisa sampai kepada mereka jika tak memakai bahasa yang bisa mereka pahami? Dalam hal ini, cara berpikir Muhammadiyah, menurut saya, cenderung liberal, sementara kiai-kiai NU cenderung konservatif. Sekarang, praktek khutbah dengan bahasa non-Arab sudah diterima secara umum baik oleh kiai NU maupun, apalagi, tokoh-tokoh Muhammadiyah. Meskipun di kampung saya, hingga sekarang masih ada beberapa kiai yang tak bisa menerima khutbah dalam bahasa Indonesia atau Jawa. Paman saya di kampung yang mengelola sebuah pesantren, masih tetap memakai bahasa Arab dalam khutbah Jumat. Dia tetap berpandangan bahwa khutbah yang disampaikan dalam bahasa lokal, bukan Arab, tidak sah dan karena itu salat Jumat juga menjadi tidak sah pula. — 39 —
  • 40. « Masalah serupa sekarang muncul dalam konteks salat: apakah kita boleh memakai bahasa non-Arab dalam salat? Sebagaimana kita tahu, salat adalah kata Arab yang secara harafiah artinya doa. Apakah kita harus berdoa hanya dalam bahasa Arab saja, atau bolehkah berdoa dalam salat dengan bahasa lain, misalnya Jawa, Madura, Sunda, atau Batak? Bukankah doa dengan bahasa lokal yang kita pakai sehari-hari lebih baik ketimbang bahasa Arab yang untuk beberapa orang sama sekali tak dipahami? Umumnya umat Islam tidak bisa menerima ide tentang salat memakai bahasa non-Arab. Bahkan kalangan Muhammadiyah yang cukup “liberal” dalam kasus khutbah Jumat, umumnya bersikap konservatif dalam masalah yang satu ini. Itu adalah beberapa contoh tata cara ibadah yang masih terbuka untuk didiskusikan. Tetapi, pada umumnya, tata cara ibadah bersifat “fixed” alias harga mati. Jumlah rakaat salat, misalnya, tidak bisa kita diskusikan lagi. Waktu salat juga sudah ditentukan oleh agama. Kita tak usah terlalu jauh mempersoalkan kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, Isya empat rakaat, Subuh dua rakaat, dan seterusnya. Boleh saja kita mereka-reka alasan di balik tata cara itu. Pada akhirnya, hal-hal yang berkaitan dengan ritual itu bersifat ta’abbudi, alias tidak bisa dirasionalkan. Sebagai seorang Muslim liberal, saya tak pernah mempersoalkan masalah-masalah yang masuk dalam wilayah ibadah murni itu. Sebuah hadis terkenal menegaskan, “al- salah mukh-kh al-’ibadah”, salat atau berdoa adalah “the crux” atau inti ibadah. Hadis ini dengan tepat sekali memotret fenomena keberagamaan bukan saja dalam Islam, tetapi juga dalam semua agama. Kalau kita telaah agama-agama dunia, berdoa, meditasi, sembahyang atau praktek-praktek serupa adalah unsur pokok di sana yang tak bisa dihindarkan. Oleh karena itu, sembahyang buat saya memiliki kedudukan yang penting dalam keislaman yang saya pahami. Sembahyang di sini saya mengerti dalam dua makna sekaligus, yaitu sembahyang secara teknis yang sering disebut salat dengan tata-cara yang sudah ditetapkan dalam Islam, maupun sembahyang dalam pengertian berdoa dan meditasi secara umum. Saya melakukan dua hal itu sekaligus. Spiritualitas menempati kedudukan penting dalam modus keberagamaan saya. Meminjam istilah William James yang dikenal luas melalui bukunya The Varieties of Religious — 40 —
  • 41. « Experience” itu, beragama yang “genuine” ditandai oleh semacam gejala seperti “flu berat” (acute fever). Beragama yang hanya mengikuti tradisi saja tanpa pengalaman spiritualitas yang mendalam oleh James disebut sebagai pengalaman yang menyerupai “baju bekas”, (istilah yang dipakai oleh James adalah second hand religious life). Dengan demikian, salat atau sembahyang menempati kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberal saya. Entah dari mana sumbernya, ada suatu persepsi di sebagian kalangan masyarakat bahwa Islam liberal sama dengan tidak salat, tidak puasa, dan mengabaikan ibadah sama sekali. Ini jelas persepsi yang keliru sama sekali. PERBEDAAN mendasar antara saya berserta teman-teman Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata- mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar. Islam memang berarti ketundukan. Muslim berarti orang yang tunduk. Kalangan Islam konservatif, dengan interpretasi tertentu, hendak mengatakan bahwa sebagai Muslim, kita harus tunduk pada perintah Tuhan tanpa reserve, tanpa ba-bi- bu. Kita tak diperbolehkan untuk mempertanyakan kenapa Tuhan memerintahkan hal ini, melarang itu. Tugas manusia nyaris seperti “budak” yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah. Pemahaman keislaman seperti ini, dalam pandangan saya, jelas sama sekali tak tepat. Dalam Quran sendiri, berkali- kali kita menjumpai ayat-ayat yang disudahi dengan sebuah pertanyaan retoris berbunyi “afala ta’qilun“, apakah kalian tak memakai akal, atau “la’allakum tatafakkarun” atau “afala tatafakkarun“, apakah kalian tak berpikir. Ayat yang menarik perhatian saya sejak dulu adalah berikut ini, “inna syarra al-dawabbi ‘inda al-Lahi al-shumm al-bukm al-lazina la ya’qilun.” (QS 8:22). Terjemahan bebas ayat itu: seburuk-buruk binatang melata di muka bumi adalah orang-orang tuli dan bisu yang sama sekali tak memakai akal mereka. Ayat di atas bukan semacam kutukan bagi mereka yang — 41 —
  • 42. « secara fisik menderita cacat tuli dan bisu. Dua kata itu dipakai dalam ayat di atas secara metaforis. Ayat itu sudah menjelaskan dirinya sendiri: tuli dan bisu di sana merujuk kepada orang-orang yang tak memakai akal. Yakni mereka yang hanya tunduk pada tradisi dan pemahaman yang sudah berlaku umum, tanpa memeriksa pemahaman itu secara kritis dengan akal sehat. Memakai akal adalah perintah Tuhan itu sendiri. Jika seseorang mengikuti perintah agama dengan sikap kritis, itu bukan berarti ia tak tunduk pada perintah tersebut, tetapi justru ia melaksanakan perintah itu sendiri. Sebab, dalam banyak ayat Tuhan mengkritik perilaku mereka yang hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa berpikir kritis. Bacalah ayat berikut ini: qalu wajadna aba’ana kazalika yaf ’alun (QS 26:74). Terjemahan bebas: mereka berkata, kami hanya mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh bapak-bapak kami sebelumnya. Ayat itu adalah kritik terhadap masyarakat pada masa Nabi Ibrahim yang “ngotot” merawat tradisi keagamaan mereka tanpa berpikir kritis. Mereka menolak dakwah Ibrahim dengan alasan yang sangat “tipikal” pada semua masyarakat manapun: kami hanya mengikuti tradisi yang sudah dijamin teruji; kami tak mau ambil resiko mengikuti anda yang belum jelas reputasinya. Masyarakat manapun memang cenderung konservatif, alias menjaga tradisi dan merawatnya secara membabi-buta, walaupun bukti-bukti rasional menunjukkan bahwa praktek yang ada itu sudah tak tepat sama sekali dan berlawanan dengan semangat zaman. Ayat itu relevan sebagai kritik bukan saja untuk masyarakat pada masa Nabi Ibrahim, tetapi juga keadaan umat Islam sendiri saat ini. Semangat taklid buta tanpa berpikir kritis sangat dikecam dalam banyak ayat di Quran. Itulah “tuli” dan “bisu” yang dikritik oleh Quran: sikap keras kepala, tak rasional, tak mau membuka diri pada perkembangan baru yang ada dalam masyarakat. Orang- orang seperti ini mempunyai prinsip yang khas: pokoknya agama mengatakan A, ya sudah, saya mengikutinya tanpa bertanya apapun. Orang-orang semacam ini merasa tunduk pada perintah Tuhan, padahal mereka mengabaikan perintah Tuhan yang lain untuk berpikir kritis. Oleh Quran, orang-orang semacam ini disebut sebagai “syarr al-dawabb”, binantang melata yang paling buruk. — 42 —
  • 43. « Kata “dabbah” (bentuk tunggal dari kata “dawabb”) secara harafiah berarti “kullu ma yadibbu ‘ala al-ard”, segala hewan yang merangkak atau melata di muka bumi. Meskipun kata “dabbah” biasa dipakai untuk menyebut hewan yang biasa dikendarai sebagai alat transportasi (seperti kuda, keledai, atau unta), yang dimaksud dengan kata itu dalam ayat di atas adalah manusia. Dengan kata lain, seburuk-buruk manusia adalah mereka yang tak memakai akal mereka. Dengan bersembunyi di balik alasan “tunduk pada perintah Tuhan”, orang-orang yang disebut “syarr al-dawabb” itu menolak untuk memakai pendekatan yang kritis dalam memahami perintah-perintah agama. Pemahaman Islam liberal yang saya kembangkan ingin mengajukan cara pandang yang lain. Berpikir kritis, termasuk dalam memahami perintah-perintah Tuhan, adalah bagian dari keislaman itu sendiri. Berpikir secara rasional dalam masalah agama adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Berpikir kritis dalam agama bukan berarti membangkang terhadap agama. DENGAN mengecualikan aspek ibadah murni, saya cenderung mengembangkan pemamahan keislaman yang rasional, kontekstual, dan humanis. Banyak hal yang selama ini dianggap sebagai perintah agama, sebetulnya, jika kita telaah dengan kritis, hanyalah cerminan dari keadaan sosial pada masa tertentu yang makin tak relevan dengan berlalunya zaman. Sejumlah contoh bisa saya sebutkan di sini. Hingga sekarang, masih banyak negeri-negeri Arab teluk, termasuk Saudi Arabia, yang menolak mengangkat perempuan sebagai anggota parlemen. Berdasarkan “petuah” dan “fatwa” ulama konservatif di negeri-negeri itu, mereka berpandangan bahwa praktek mengangkat perempuan menjadi anggota parlemen berlawanan dengan Islam. Sebuah hadis terkenal sering dijadikan sebagai sandaran argumen, “ma aflaha qawmun wallau amrahum imra’atan.” Terjemahan bebasnya: bangsa yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan tak akan beruntung, alias akan gagal. Beragama secara rasional dan kritis seperti saya pahami dalam kerangka Islam liberal akan mencoba mengajukan sejumlah pertanyaan berikut ini. Benarkah perempuan tak mampu menjadi pemimpin? — 43 —
  • 44. « Apakah secara empiris itu dibuktikan dalam realitas empiris? Bukankah banyak perempuan yang sukses menjadi pemimpin? Kalau perempuan dalam masyarakat tertentu tak mampu menjadi pemimpin, apakah hal itu karena faktor intrinsik dalam diri mereka, atau karena masyarakat tak memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh ketrampilan sebagai pemimpin? Taruhlah hadis itu benar diucapkan oleh Nabi, apakah ia tetap relevan diberlakukan hingga sekarang, ataukah itu terkait dengan keadaan spesifik pada zaman Nabi saja? Apakah masuk akal ajaran agama yang konon berasal dari Tuhan menghalangi hak perempuan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat, padahal jumlah mereka adalah separoh dari penduduk bumi? Tuhan macam apa yang memberikan ajaran semacam ini? Ataukah kita sendiri yang tak tepat memahami ajaran Tuhan itu? Bertanya secara kritis semacam ini bukan melawan esensi Islam sebagai agama ketundukan. Sebagaimana sudah saya tunjukkan di muka, bertanya secara kritis adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Sekali lagi, kita tunduk pada perintah Tuhan bukan seperti “budak bego” yang sama sekali tak berpikir. Kita tunduk tetapi harus dengan cara-cara yang rasional. Tunduk secara membabi-buta tanpa berpikir disebut oleh Quran sebagai tindakan orang-orang yang masuk kategori “syarr al-dawabb”, “the ugliest animal“, binatang yang teramat buruk. Contoh lain yang relevan untuk keadaan yang kita saksikan di sejumlah negeri-negeri Islam saat ini adalah masalah hukum hudud yaitu hukum pidana Islam seperti potong tangan, cambuk, dan lontar batu. Sebagaimana kita tahu, hukuman bagi pidana pencurian yang memenuhi syarat-syarat tertentu menurut Quran adalah potong tangan (QS 5:38). Saat ini, muncul sejumlah gerakan Islam yang ingin menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara. Hukum potong tangan adalah salah satu ajaran yang hendak mereka perjuangkan untuk menjadi hukum negara yang tentu bisa di-enforce melalui aparat pemerintah. Membaca ayat di atas, kita bisa mengajukan sejumlah pertanyaan: apakah teknik menghukum pidana pencurian bersifat statis? Bukankah teknik pemidanaan dan penghukuman berkembang terus sesuai dengan perkembangan peradaban dan kematangan mental manusia? Bukankah hukum potong tangan itu warisan dari praktek- prektek penghukuman pada masyarakat kuno yang sangat — 44 —
  • 45. « kejam? Bukankah Islam hanya meminjam saja praktek- praktek penghukuman yang sudah ada? Jika perkembangan teknik penghukuman berkembang terus, apakah kita tak perlu meninjau “hukum Tuhan” itu? Bukankah yang penting adalah esensi penghukuman, bukan cara menghukum? Sekali lagi, bertanya seperti itu adalah bagian dari perintah agama, bukan melawan perintah agama seperti dikesankan oleh kaum Islam fundamentalis di mana-mana. Sikap kritis semacam ini perlu kita kembangkan untuk memahami sejumlah ajaran dalam Islam. Sekali lagi, saya menganjurkan sikap ini di luar masalah ibadah murni. Dalam masalah ritual murni, saya menjalankan saja perintah agama dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Meskipun detil-detil ketentuan itu masih bisa tetap diperdebatkan. Kenapa sikap kritis saya berhenti pada saat berhadapan dengan masalah ibadah murni? Ini pertanyaan yang diajukan oleh beberapa teman kepada saya. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, dan saya tak memiliki pretensi untuk bisa menjawabnya secara memuaskan. Secara umum, jawaban saya adalah sebagai berikut. Masalah-masalah ibadah murni cenderung bersifat arbitrer, alias acak dan tanpa alasan yang jelas. Sebagai perbandingan, kita bisa mengambil sejumlah contoh tindakan arbitrer dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh adalah praktek berlalu-lintas di sebelah kiri seperti kita jumpai di Indonesia. Kita bisa bertanya, kenapa kita tak memakai sistem lain, yaitu lalu-lintas dari sebelah kanan seperti berlaku di banyak negeri Eropa atau Amerika. Tentu kita bisa memberikan alasan pembenar untuk masing-masing praktek itu. Tetapi, pada akhirnya, jawaban yang paling masuk akal adalah: itu semua adalah pilihan suka-suka saja, alias arbitrer. Baik kanan atau kiri tidak mengandung alasan yang subtansial. Yang penting, lalu-lintas aman dan tertib. Masalah ibadah murni kurang-lebih sama dengan hal itu, meskipun tidak persis. Kita bisa bertanya, kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, kenapa tida empat, kenapa tidak lima; kita juga bisa mencoba memberikan alasan-alasan pembenar. Tetapi, pada akhirnya, tak ada alasan yang masuk akal kecuali bahwa hal itu bersifat arbitrer. Tuhan sudah menentukan demikian, kita tinggal menjalankannya saja. Bagi saya, semua jenis ibadah yang dipraktekkan oleh agama apapun, sama statusnya: yaitu arbitrer. Yang penting di mata — 45 —
  • 46. « saya adalah bukan bagaimana cara beribadah, tetapi apakah anda bisa menghayati spiritualitas yang “genuine” dengan cara ibadah yang anda ikuti itu atau tidak. Semua orang beribadah dengan tujuan yang sama: membangun komunikasi dengan Tuhan sebagai Sumber, Pemberi, dan Pemelihara Kehidupan. Masing-masing agama memiliki cara ibadah yang “arbitrer”. Tak ada alasan yang substansial di balik tata-cara ibadah itu. Inilah pemahaman Islam liberal yang ingin saya kembangkan; yakni beragama yang secara individual menekankan spirtualitas yang mendalam, dan secara sosial memakai pendekatan yang rasional dan kontekstual. Inilah corak agama yang memenuhi definisi Islam sebagaimana saya pernah pelajari waktu duduk di madrasah ibtida’iyah (setara dengan SD) puluhan tahun yang lalu. Waktu kecil dulu, Islam, menurut buku pelajaran tauhid yang saya pakai saat itu, adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk membawa kebahagiaan di dunia sekarang dan akhirat kelak. Hingga sekarang saya masih ingat teks Arab definisi itu: al-Islam huwa al-din al-lazi ja’a bihi Muhammadun SAW li sa’adat al-insani fi al-’ajili wa al-ajili. Kebahagiaan ukhrawi, dalam pandangan saya, dicapai melalui pengembangan spirtualitas yang mendalam. Sementara itu, kebahagiaan duniawi dicapai melalui usaha membangun kehidupan sosial-politik yang masuk akal. Definisi Islam seperti saya pelajari waktu kecil itu menarik sekali karena relevan untuk kita terapkan pada hampir semua agama. Inti definisi itu menggambarkan dengan baik sekali fungsi agama: yaitu mencapai kebahagiaan, entah di dunia sekarang, atau dalam kehidupan kelak. Tekanan ingin saya letakkan pada kata “kebahagiaan”. Mereka yang belajar filsafat Islam, akan dengan mudah menemukan relevansi konsep kebahagiaan ini dalam tradisi filsafat Islam yang sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Kalau kita telaah karya-karya Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M) atau Ibn Miskawayh (w. 1030 M), kita akan menjumpai pembahasan yang menarik tentang konsep kebahagiaan. Dalam pandangan mereka, ada dua jenis kebahagiaan, yaitu kebahagiaan teoretis (al-sa’adah al-nazariyyah) yang diajarkan oleh filsafat, dan kebahagiaan praktis (al-sa’adah al-’amaliyyah) yang diajarkan oleh para nabi. Dua-duanya sangat vital dalam mencapai hidup yang — 46 —
  • 47. bahagia. « Dalam filsafat Yunani, terutama dalam tradisi Plato, kita kenal konsep eudaimonia, yaitu kombinasi antara “kebajikan” (arete) dan “pengetahuan” (episteme). Dalam konsepsi ini, kebahagiaan sudah mengandung dua elemen sekaligus, yaitu pengetahuan (antara lain mengenai yang baik dan buruk) dan kebajiikan atau “virtue“. Istilah “virtue” ini diterjemahkan dalam tradisi filsafat etika Islam sebagai “akhlaq”. Sementara itu, istilah akhlak sendiri sering didefinisikan dalam filsafat Islam klasik sebagai “malakah” atau “habitus”, yakni kebiasaan yang terbentuk dalam fakultas mental kita dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu tindakan praktis. Akhlak atau “virtue” dalam pengertian “malakah” adalah semacam “etika yang tertubuhkan” (embodied ethics). Dengan kata lain, agama adalah jalan menuju kepada kebahagiaan itu. Kebahagiaan akan dicapai jika seluruh fakultas mental kita diberi keleluasaan untuk bekerja, bukan dikekang atas nama tradisi atau pemahaman tertentu. Oleh karena itu, etika kebebasan menjadi sangat vital dalam usaha mencapai kebahagiaan itu. Mereka yang tak bebas secara mental jelas mengalami depressi, dan itu sama sekali tidak bahagia. Tetapi kebahagiaan juga tidak cukup hanya dengan mengembangkan fakultas mental belaka. Kita harus bertindak secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Saat berbuat sesuatu yang benar dan baik, seseorang akan mengalami perasaan bahagia dan bebas. Sebaliknya, seseorang yang bertindak salah akan merasa resah, tertekan, dan tidak bahagia. Agama adalah jalan mencapai kebahagiaan “teoretis” dan “praktis” semacam itu. Oleh karena itu, mereka yang mengajarkan keislaman dengan cara merepresi kebebasan akal dan berpikir secara kritis, sama saja mengajarkan kebahagiaan yang tak seimbang, seperti burung dengan satu sayap saja. Tak ada gunanya kita tunduk pada perintah harafiah Tuhan jika kita tak bisa mempertanyakan perintah itu. Bertanya secara kritis adalah bagian integral dalam proses menuju kebahagiaan atau sa’adah. Inilah perpsepektif Islam liberal yang ingin saya kembangkan. Inilah cara saya memahami Islam. Saya merasa tenteram dan bahagia dengan pemahaman semacam itu. Sebetulnya, — 47 —
  • 48. « pandangan semacam ini sudah ada pada banyak kalangan dalam masyarakat. Hanya saja, jarang orang yang berani mengatakannya dengan terus terang, entah khawatir “diteror” oleh kalangan Islam radikal-fundamentalis, takut di-cap sesat, atau khawatir kehilangan “posisi sosial” tertentu.[] — 48 —
  • 49. « 19/08/2008 Melihat Dunia (Islam) setelah Olimpiade Beijing Oleh Ulil Abshar-Abdalla Kepada kaum Islamis yang “sok yakin” dan “ge-er” bahwa Islam akan menjadi kekuatan dunia baru, saya mengatakan: tengoklah India dan Cina itu! Mereka bekerja keras untuk membangun ekonomi, merebut peluang dalam pasar global, bukan mengumbar retorika semata. Jika Islam hendak maju, tiada cara lain kecuali bekerja keras seperti dua negeri tersebut, bukan bekerja keras untuk mendirikan sebuah “khilafah” yang tak jelas juntrungannya itu. Kesampingkan mimpi kalian itu, wahai kaum Islamis! Bangunlah, sebab negeri-negeri lain mencapai kemajuan bukan dengan mimpi semata, tetapi dengan kerja keras. Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Koran Tempo, 16 Agustus 2008 P ADA tahun 80an, setelah hancurnya Uni Soviet, banyak kalangan ideolog gerakan Islamisme yang meramal bahwa kapitalisme di mana Amerika menjadi simbol utamanya akan segera rontok. Dari reruntuhan dua “ideologi” dan kekuatan besar itu, mereka meramalkan (atau “wishful thinking”?) bahwa Islam akan tampil sebagai kekuatan baru yang menggantikan keduanya. Apakah mimpi mereka itu sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda akan terwujud? Marilah kita tengok dunia sekitar. Yang paling gampang adalah dengan melihat event yang sekarang sedang digelar di Cina, yaitu Olimpiade Beijing 2008. Pembukaan Olimpiade di Beijing pada 8/8/08 yang lalu begitu megah sekali, seolah-olah negeri Cina hendak mendeklarasikan diri bahwa kami adalah kekuatan baru di panggung dunia. Apa yang dikatakan oleh negeri Cina itu bukan sekedar mimpi atau “wishful thinking”, tetapi kata- kata yang disokong dengan sebuah bukti nyata. Sekarang kita lihat sendiri, kekuatan baru yang akan menjadi pesaing utama Amerika Serikat tampaknya bukan negeri- negeri Islam atau “Islam” secara umum. Pesaing baru itu datang dari dua negeri yang jauh dari tradisi Islam, yakni Cina dan India. Fareed Zakaria menulis buku baru (yang tampaknya kurang — 49 —