Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
1. 1
Memahami Ikhtilâf
Mengenai Takbir Shalat Hari Raya dan Menyikapinya Secara Bijak
Dalam beberapi kali pengajian, saya mendapatkan pertanyaan dari
para jamaah tentang ‘ikhtilâf’ takbir shalat hari raya. Dan sejuh ini saya
belum memberikan jawaban tuntas atas pertanyaan itu.
Nah, sebelum menjawab masalah ini, kita perlu membedakan
terlebih dahulu jenis dan nama takbir. Kita mengenal ada tiga jenis atau tiga
nama takbir.
1. Takbîr al-Ihrâm
Takbir ini sering kita sebut dengan digabungkan
menjadi takbîratulihrâm. Takbir itu artinya mengucapkan lafazh Allâhu Akbar.
Dan kata ‘ihrâm’ berarti mengharamkan. Sehingga makna takbîratulihrâm
adalah takbir untuk mengharamkan. Mengharamkan apa? Maksudnya
mengharamkan diri kita dari hal-hal yang merusak shalat, seperti: makan,
minum, berbicara dan lainnya. Jadi fungsi dasar dari takbîratulihrâm adalah
sebagai pembuka atau garis 'start' sebuah shalat. Dengan lafazh
takbiratulihram itu maka shalat secara sah telah dimulai.
Secara status dan kedudukannya, hukum takbîratulihrâm bukan
sunnah, juga bukan wajib, melainkah merupakan rukun dari suatu shalat. Di
mana tanpa takbir ini, shalat menjadi tidak sah.
Dalilnya adalah:
"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang mengharamkannya (dari segala
hal di luar shalat) adalah takbir dan yang menghalalkannya (tanda selesainya)
adalah salam." (HR Abu Daud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi dari Ali bin Abi
Thalib dan Abu Sa’id al-Khudriy)
Rasulullah SAW juga bersabda,
“Jika kamu berdiri shalat maka sempurnakanlah wudhu kemudian menghadaplah
kiblat lalu bertakbirlah.” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
2. Takbîr al-Qiyâm
2. 2
Takbir jenis kedua disebut dengan istilah takbîr al-qiyâm. Qiyâm
artinya bangun. Maksudnya takbir ini diucapkan pada saat seseorang bangun
untuk berdiri setelah sebelumnya berada dalam posisi sujud atau duduk
tahiyat pada rakaat sebelumnya. Dan termasuk ke dalam jajaran takbîr al-
intiqâl, yaitu takbir yang mengiringi perpindahan gerakan shalat.
Secara status, hukum takbir ini sunnah bukan merupakan kewajiban
atau rukun shalat. Artinya, ketika seseorang tidak mengucapkannya, maka
tidak merusak shalat tersebut.
Dalilnya adalah:
"Aku melihat Nabi SAW bertakbir setiap bangun atau turun, baik berdiri atau
duduk." (HR Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmidzi -- dengan status shahih --
dari Abdullah bin Mas'ud).
Kecuali pada saat bangun dari ruku’, maka bacaannya adalah
"sami’allâhu liman hamidah." Maknanya, “Allah Maha Mendengar orang
yang memuji-Nya”.
3. Takbir Khusus Shalat ‘Ied
Di luar kedua takbir di atas, adalah lagi jenis takbir yang ketiga.
Takbir itu adalah takbir sunnah, bukan wajib, yang secara khusus dianjurkan
untuk dilafazhkan pada saat kita sedang melakukan shalat ‘Iedul Fithr atau
‘Iedul Adha.
Sekali lagi ditegaskan, takbir ini berbeda dan bukan termasuk kedua
takbir di atas.
Dalilnya secara khusus adalah hadits berikut ini:
“Takbir ketika shalat Ied 7 kali di rakaat yang pertama dan 5 kali di rakaat yang
kedua, nan membaca (ayat al-Quran) sesudah takbir pada keduanya”” (HR Ad-
Daruquthni dan Al-Baihaqi dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash).
3. 3
Lihat juga kitab Sunan Abu Daud dan Sunan Ibnu Majah,
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dan dari kakeknya radhiyallahu ‘anhum
berkata bahwa Nabi SAW bersabda, "Takbir di shalat Iedul Fithri tujuh kali di
rakaat pertama dan lima kali di rakaat yang kedua. Dan membaca ayat Al-Quran
sesudah takbir pada keduanya” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash)
Para ulama, antara lain asy-Syafi’i, mengatakan bahwa sunnahnya
diucapkan 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat kedua. Tempatnya
bila dalam rakaat pertama adalah setelah takbîratulihrâm dan sebelum
membaca doa iftitah dan bacaan al-Fatihah.
Sedangkan bila di dalam rakaat kedua, tempatnya setelah takbir al-
qiyâm dari rakaat pertama, sebelum membaca surat al-Fatihah.
Mudah-mudahan -- dengan tulisan ringkas ini -- perdebatan di
seputar takbir shalat hari raya ini diharapkan 'selesai' dengan penjelasan ini.
Jadi, disunnahkan untuk melafazhkan takbir 7 kali di rakaat
pertama DI LUAR takbîratulihrâm dan sebelum membaca doa iftitah dan
bacaan al-Fatihah. Bukan delapan kali tetapi 7 kali. Sedangkan
takbîratulihrâm tidak dihitung. Tetapi kalau mau dihitung dengan
menyertakan t takbîratulihrâmnya juga, 'ya' menjadi 8 kali takbir'.
Dan disunnahkan juga melafazhkan takbir 5 kali DI LUAR takbîr
al-qiyâm. Dengan syarat, takbîr al-qiyâm (bangun dari sujud) tidak dihitung.
Tetapi kalau dihitung juga, 'ya' menjadi 6 kali takbir.
Tetapi kalau 'kita' sepakat bahwa takbîratulihrâm dan takbîr al-qiyâm
(bangun dari sujud) tidak diikutkan dalam hitungan, maka permasalahnya
jadi 'clear' (jelas). Begitu!
Nah, itulah wacana fiqihnya. Mudah-mudahan bermanfaat.
Wallâhu a'lamu bish-Shawâb.
(Salam khusus buat guru saya yang terhormat: "Al-Mukarram Ustadz Toto
Budi Santosa")