Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas perdebatan makna dan eksistensi Ahli Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) antara komunitas NU yang memahaminya sebagai metode berdasarkan hadis dan Prof. Dr. Said Aqil Siraj yang mengartikannya sebagai manhaj berpikir. Dokumen ini juga menjelaskan pandangan penulis yang cenderung menyatukan kedua pemahaman tersebut.
1. PUSAT BELAJAR LINTAS KADER
Pusat
Belajar
Lintas
Kader
PuBLiKa
Diterbitkan oleh: PC PMII Kota Jayapura Edisi: 1, Maret 2010
AHL AS SUNNAH WA AL JAMA’AH
(Perdebatan Makna Dan Eksistensi)
Oleh: Suryono (Ketua Umum PMII Kota Jayapura)
1.Pendahuluan
Perdebatan eksistensi aswaja mulai mengemuka, diperkirakan pada
akhir dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an ditangan-terutama-generasi
muda NU yang tergabung dalam pergerakan mahasiswa islam Indonesia
(PMII). Kemudian fenomena tersebut semakin dipertajam sejak munculnya
Prof. Dr. Said Aqil Siraj dengan segudang kontroversinya pada pertengahan
dasa warsa 1990-an.
Gugatan said terutama tentang pemaknaan aswaja NU selama ini
yang menurutnya sangat ekslusif dan begitu sederhana. Kemudian ia
2. berkesimpulan bahwa bukanlah hal yang tepat meletakkan aswaja sebagai
madzhab, karena akan terjadi pola madzhab dalam madzhab sehingga
menjadilah aswaja tak lebih sebagai Manhaj Al Fikr (Metode Berpikir).
2.Perdebatan makna dan eksistensi
Selama ini, dalam masyarakat NU selalu di dengungkan-dengungkan,
bahwa ahll as sunnah wa al jama’ah adalah golongan umat Islam yang dalam
aqidahnya berpedoman pada Al Asy’ary dan Al-Maturdy, dalam fiqih
mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali)
serta dalam tasawuf mengikuti Al Junaidi dan Al Ghozali.
Kemudian, akan menjadi sebuah terobosan brilian ketika misalnya
PMII yang notabene adalah komunitas anak muda NU memahami aswaja
sebagai metode, bukan saja sebagai madzhab. Dengan catatan, bahwa
pendekatan sebagai metode itu melalui ungkapan hadist: Ma Ana Alaihi Al
Yauma Wa Ashaby (metodeku adalah para sahabatku saat ini) .
Ini berarti, komunitas muda NU menjadikan hadist tentang
penggolongan Muslimin, sebagai landasan legitimasi keberadaan aswaja.
Memang istilah Ma Ana Alaihi Al Yauma Wa Ashaby, bukanlah satu-satunya
identitas keselamatan. Yang sebanding denganya misalnya adalah: As
Sawad Al A’dham , Al Jama’ah, Ahl As Sunnah Wal Jamaah. Namun
kesemuanya mengarah pada identitas keselamatan yang saling menopang
sebagai istilah.
Sementara itu, diluar pemaknaan diatas, prof.dr. Said Aqil Siraj yang
notabene katib syuriyah PBNU kala itu, mendobrak dua pemaknaan tersebut
mengidentifikasikan golongan yang selamat dari umat Islam dengan istilah ahl
as sunnah wal jamaah. Menurutnya, Aswaja tidak lebih dari pernyataan
semangat pendobrakan terhadap banyaknya penyimpangan-penyimpangan.
Ringkasnya, ia adalah istilah sejarah, bukan muatan hadist. Kedua, Aswaja
dipahami sebagai Manhaj Al Fikr, bukan sebagai Madzhab. Sebab
semangatnya adalah pencaraian jalan tengah, untuk menjadi moderat dari
berbagai aliran.
Agaknya, pendapat dua kubu tadi memang berbeda secara diametral.
Mayoritas komunitas NU untuk melegitimasi paham Aswajanya merujuk ke
hadist, yang memang jelas menggunakan istilah ahl as sunnah wal jamaah.
Terutamanya riwayat At-Thabrani. Sedangkan menurut Said memahami
Aswaja sebagai identitas aliran yang pernah muncul dalam kurun sejarah.
Konsekwensinya Said tak terlalu terikat dengan makna kebahasaan Aswaja.
Hadits tentang sekte tersebut memang bukan hadist yang lepas dari
banyak kritik. Artinya masih kontroversi. Baik di tinjau dari segi sanad maupun
dari makna matan hadist tersebut. Namun dalam hal ini penulis sependapat
dengan golongan yang menerima pendapat yang menerima hadits tersebut,
dengan beberapa alasan. Pertama, hadist ini didukung oleh Ashab As Sunan,
yakni; At-Turmudzi, Abu Daud, kemudia At-Thabrani dan Ahmad Bin
Hanbal. Yang disebut terakhir ini memiliki kedudukan istimewa, karena Ibnu
3. Hanbal adalah tokoh Aswaja versi Salafiyun, tokoh yang sangat teguh atas
goncangan faham Mu’tazilah. Kedua, hadist-hadist tersebut cukup banyak,
sehingga saling menguatkan. Katiga, walaupun secara tegas tak memakai
istilah Ahl As Sunnah Wal Jamaah, namun dalam soal interprestasi ajaran
dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, menunjukan adanya
indikasi perpecahan umat, dengan pemecahan agar mengikuti sunnah Nabi
saw.
Sehingga, mengartikan Aswaja sebagai cerminan Ma Ana Alaihi Al
Yauma Wa Ashaby adalahdapat diterima. Disisi lain pendekatan Manhaj Al
Fikr dari SaidAqilSiraj juga dapat diterima, karena dalam realiatas historis,
golongan umat Islam yang diberi identitas Aswaja, adalah golongan yang
tidak ekstrim, moderat, toleran dan lurus. Misalnya ajaran Al-Asy’ari yang
dianggap peletup Aswaja merupakan jalan tengah, antara faham Qodaraiyah
dan Jabariyah, juga antara golongan liberalis (mu’tazilah) dengan golongan
literalis (mujassimah). Al-Ghozali ajaranya begitu menengahi antara filosofi
yang rasionalis dengan kaum battiniyah yang non-rasional. Sehingga
kecendrungan untuk menggabungkan pandangan komunitas NU yang
menerima hadist Ma Ana Alaihi Al Yauma Wa Ashaby dengan pendekatan
Manhaj Al Fikr. Maka rumusan kyai Imam Ghozali : “komunitas muslim yang
karena semangat mereka untuk menegakkan islam yang ideal seperti pada
masa rosul dan masa sahabat, dan sebagai akibat dari pergumulan mereka
dengan berbagai aliran pemikiran, baik internal maupun eksternal, mereka
memilih bersikap dan berpola pikir moderat dan menengahi, harmonis dalam
arti serasi dan seimbang, toleran, serta bertindak adil dan berani, adalah
sangat disetujui.
Namun, meskipun demikian secara praktis apa yang selama ini di
dengung-dengungkan sebagai Aswaja model NU, tetap saja dapat di
aplikasikan, selagi melihat adanya kesesuain dan aslah.
Kita sangat fleksibel, dalam mengikuti arus pemikiran para ulama ahli
tauhid dan tasawuf dengan alasan.
Pertama, dalam anggaran dasar NU ditegaskan bahwa tujuan
didirakanya NU adalah menegakan faham Aswaja dan menganut salah satu
dari empat madzhab. Artinya penekanan aspek amaliahnya memang tertuju
pada salah satu madzhab empat, terutama Syafi’i, sehingga ijtihad dan
pengambilan pendapat dari aspek tauhid dan tasawuf dapat luas lagi.
Kedua, dalam Qonun Asasi (tata institusi), yang dianggap sebagai
pihak ortodoksi Aswaja, ternyata tak pernah tercantum sama sekali batasan
sama sekali batasan-batasan dan defenisi Aswaja. KH. Hasyim Asy’ari hanya
mengemukakan mengenaii keharusan warga NU untuk berpegang dari salah
satu madzhab empat. Jadi kia Hasyim tidak pernah menyebutkan landasan
teologis dan taswuf yang harus dipegang oleh pengikut Aswaja NU.
Sehinmgga nam-nama Al Asy’ari, Al Mathuridy, Al Junaidy tidak disebutsebut dalam Qonun Asasi.
4. Kenapa, dalam qonun tidak tercantum nama-nama tokoh dalam bidang
theologi dan tasawuf. Kita tau persis. Namun, kalau kita lihat pendapat tokoh
tersebut, akan terlihat, betapa misalnya, Al-Asy’ari dalam mengkaji
persoalan-persoalan aqidah itu banyak yang tak terlepas dari logika filosifis.
Apalagi memang memang sebelumnyal Asy’ari dikenal sebagai tokoh
Mu’tazilah. Sedangkan Al Junaidy, ada pandangan theologis yang sama
dengan mu’tazilah dalam hal penafsiran segala sifat Allah. Pendapatpendapat pengikut Al Asy’ary yang mudah dipahami khalayak umum juga
banyak. Jadi kita lebih leluasa untuk memilah-milah. Demikian juga kita harus
lebih selektif dalam mengikuti taswuf Al Junaidy. Sedangkan tasawufnya AlGhozali memang banyak dikaji dan cocok bagi komunitas NU, walau dalam
kitab-kitab lain, corak tasawuf falsafi juga begitu tampak.
3.penutup
Sehubungan dengan sifat ilmu yang dinamis, maka tiada patut diskusi
ilmiah jika hal ini dikebiri dan dinilai subjektif sepihak. Demikian juga dalam
aplikasi keilmuan, kita berusaha mengaplikasikan pendapat yang lebih layak
diikuti sehingga perkembangan penafsiran, diarahkan dalam rangka
mendapatkan pendapat yang lebih benar dan maslahah. Waluhu ‘alam...
SALAM
http://expedisipassompa.blogspot.com/2010/03/pusat-belajar-lintas-kader_14.html