11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
PENDIDIKAN SEBAGAI BARANG PUBLIK
1. PENDIDIKAN SEBAGAI BARANG PUBLIK
Yefta Nowo Christiono
Program Diploma IV Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan
email: yefta7@gmail.com
Abstract
Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah telah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945
yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa pada saat ini pendidikan menjadi kebutuhan pokok bagi
setiap warga negara. Isu yang juga menjadi bahan pembicaraan saat ini adalah mengenai pembiayaan
pendidikan yang kemudian memunculkan perdebatan apakah pendidikan ini termasuk kedalam kelompok
barang pulik (public goods) atau kelompok barang privat (private goods)
Tulisan ini membahas mengenai isu-isu yang ada dan berkembang perihal penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia, juga mengenai karakteristik pendidikan di Indonesia sebagai barang publik yang diselenggarakan
oleh pemerintah, dan menjadi bahan pertimbangan untuk semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan
di Indonesia, untuk kemudian mengambil kesimpulan bagaimana seharusnya kita menempatkan pendidikan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kata kunci: pendidikan, barang publik
PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi dan kompetisi saat ini,
pendidikan menjadi senjata sekaligus
kebutuhan manusia untuk bertahan hidup
karena hampir setiap pekerjaan mengharuskan
pendidikan sebagai syarat utama untuk bisa
bertahan hidup, bekerja dan mendapat
penghidupan yang layak. Sehingga masyarakat
mau tidak mau harus mendapatkan pendidikan
yang kemudian bisa digunakan untuk
mendapat penghidupan yang layak dan
menaikkan derajat hidup mereka, karena
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
semakin tinggi pula kesempatannya untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Pendidikan menghasilkan individu yang
mandiri, terampil dan mampu berperan sosial.
Pendidikan di Indonesia diselenggarakan oleh
pemerintah sebagaimana amanat yang telah
tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945
(amandemen) pasal 31 ayat (1) “Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan” dan pada
pasal 31 ayat (2) “Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”. Amanat ini menjadikan
karakteristik pendidikan sebagai barang publik
yang bisa diperoleh oleh setiap warga negara
karena tertulis bahwa pendidikan adalah hak
dan sekaligus kewajiban setiap warga negara.
Yang menjadi bahasan selanjutnya adalah
bagaimana pemerintah menyelenggarakan
pendidikan sebagai barang publik yang dapat
diterima secara merata untuk semua warga
negara tanpa terkecuali untuk memenuhi amanat
yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar,
kebijakan-kebijakan apa yang diambil
pemerintah mengingat pentingnya pendidikan ini
bagi perkembangan bangsa Indonesia, dan
bagaimana pemerintah menetapkan pendidikan
ini sebagai prioritas dalam pembangunan.
LANDASAN TEORI
1. Pemahaman Terhadap Barang Publik dan
Barang Privat
Secara umum barang publik bisa dipahami
sebagai sesuatu yang dibutuhkan atau dapat
dinikmati oleh semua orang. Secara teori
Barang publik (public goods) adalah barang
yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu
tidak akan mengurangi konsumsi orang lain
akan barang tersebut. Suatu barang publik
merupakan barang-barang yang tidak dapat
dibatasi siapa penggunanya dan sebisa
mungkin bahkan seseorang tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya.
Barang publik memiliki dua sifat atau
karakteristik, yaitu non rivalry dan non
excludability. Non rivalry berarti bahwa barang
tersebut akan dapat dikonsumsi oleh sejumlah
orang secara bersama-sama, tanpa mengurangi
jumlah yang dapat dikonsumsi oleh konsumen
yang lainnya. Contoh barang publik dengan
sifat ini adalah jalan raya dan pertahanan
2. nasional dimana konsumsi terhadap barang
tersebut oleh seseorang tidak mengurangi
kesempatan bagi orang lain untuk ikut
mengkonsumsinya. Sedangkan sifat non
excludability berarti tidak ada yang dapat
menghalangi siapapun untuk memperoleh
manfaat dari barang tersebut. Barang publik
sempurna atau pure public goods adalah
barang yang harus disediakan dalam jumlah
dan kualitas yang sama terhadap seluruh
anggota masyarakat. Sedangkan barang
privat mempunyai sifat yang berkebalikan
dengan barang publik. Sifat- sifat tersebut
adalah rivalrous consumption, artinya
konsumsi oleh satu konsumen akan
mengurangi atau menghilangkan kesempatan
pihak lain untuk melakukan hal yang serupa.
Rivalitas antar calon konsumen dalam
mengkonsumsi barang ini sering terjadi. Sifat
lainnya adalah excludable consumption,
artinya konsumsi suatu barang dapat diatasi
hanya pada mereka yang memenuhi
persyaratan tertentu (contohnya harga), dan
mereka yang tidak membayar atau tidak
memenuhi syarat dapat dikecualikan dari
akses untuk mendapatkan barang tersebut.
Misalnya, pakaian yang dijual di toko hanya
bisa dinikmati oleh mereka yang membayar
atau membeli, dan mereka yang tidak
membayar tidak dapat menikmati pakaian
tersebut. Scarcity, adalah kelangkaan atau
keterbatasan dalam jumlah. Sifat langka ini
yang kemudian menimbulkan kedua sifat
sebelumnya.
Barang privat pada umumnya memang
sengaja diadakan untuk mencari laba atau
profit, karena sifat-sifat seperti yang
disebutkan sebelumnya, barang privat ini
dapat menjaga efisiensi pasar dalam
pengadaannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya mengenai definisi umum barang
publik yaitu suatu jenis barang yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi tidak ada
seorangpun yang bersedia menghasilkannya,
dan juga mengenai sifat pokok barang publik
yaitu non-rivalrous consumption dan non-
excludable consumption. Dari penjelasan
tersebut dapat diambil suatu pemahaman
bahwa pendidikan harus dapat memenuhi
syarat untuk digolongkan sebagai barang
publik. Syarat-syarat tersebut antara lain harus
merupakan barang atau jasa konsumsi,
dibutuhkan oleh semua orang, dan pihak swasta
tidak bersedia untuk menghasilkannya. Sesuai
dengan persyaratan tersebut, jenis pendidikan
yang memenuhi syarat untuk digolongkan
sebagai barang publik adalah pendidikan wajib
belajar yang terdiri dari SD dan SLTP. Karena
pada tingkat ini pengadaan pendidikan hampir
secara menyeluruh di Indonesia disediakan oleh
pemerintah dengan didorong oleh amanat dalam
UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 “Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”. Arti
dari ayat ini adalah setiap warga negara
memiliki kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pendidikan. Juga bisa disimpulkan
bahwa pendidikan disini bersifat non-excludable
consumption. Berikutnya pada pasal 31 ayat (2)
UUD 1945 “Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”. Dari bunyi pasal tersebut
sudah jelas tertulis, dan dapat ditarik pengertian
tentang bagaimana upaya pemerintah
mewajibkan pendidikan dasar bagi setiap warga
negaranya termasuk juga kewajiban pemerintah
untuk membiayainya. Pengertian ini
menunjukkan bahwa pendidikan dasar bersifat
non-excludable consumption. Di Indonesia
sendiri sudah dilakukan penyelenggaraan
pendidikan dasar oleh pemerintah ini antara lain
melalui program Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dan penggratisan biaya di SD dan SMP
negeri.
Masalah yang banyak terjadi dalam
penyelenggaraan pendidikan wajib belajar ini
antara lain adalah tidak mampunya pemerintah
dalam menjamin kualitas yang sama dalam
penyelenggaraan pendidikan, selain karena
tenaga kerja yang kurang dalam hal kualitas
maupun kuantitas, juga karena karakter
geografis Indonesia yang begitu luas sehingga
banyak daerah yang belum terjangkau oleh
sistem pendidikan yang memadai. Solusi yang
diambil pemerintah pun tidak banyak menjawab
tantangan yang ada, sejauh ini mungkin yang
bisa dilakukan oleh pemerintah pusat hanyalah
menyeragamkan kurikulum yang ada sehingga
tercipta standar pendidikan secara merata.
Selanjutnya untuk pendidikan tingkat
lanjut yang dimulai dari tingkat SMA sampai
dengan perguruan tinggi, apakah pendidikan
tinggi ini dapat digolongkan sebagai barang
publik?
Pada penyelenggaraan pendidikan tinggi
terdapat beberapa faktor yang membedakan
dengan pendidikan wajib belajar. Satu hal yang
menjadi faktor utama adalah jauh lebih
3. tingginya biaya untuk penyelenggaraan
pendidikan tinggi dibanding pendidikan dasar
dan menengah, hal ini mungkin terjadi karena
adanya penggunaan fungsi teknologi yang
berbeda dan juga tuntutan akan kualitas hasil
yang lebih baik dalam pendidikan tinggi.
Masyarakat memiliki banyak motivasi untuk
mendapatkan pendidikan tinggi, ada yang
menggunakannya untuk mendapatkan posisi
dan status sosial yang cukup terhormat dalam
tatanan sosial, ada pula yang mendapatkan
pendidikan tinggi karena memang merasa
dirinya memang membutuhkan itu, dan
berbagai motif lainnya. Hal ini kemudian
memunculkan kompetisi yang harus dilakukan
karena daya tampung perguruan tinggi yang
terbatas dan tidak mungkin sebuah negara
dapat membangun banyak perguruan tinggi
karena akan membutuhkan biaya yang sangat
besar, sehingga perguruan tinggi ini
mempunyai sifat yang eksklusif. Tapi
meskipun bersifat rivalry, pendidikan tinggi
ini masih memiliki peran atau bagian dari
proses pendidikan secara utuh yang
merupakan public good. Artinya sifat dan nilai
yang ada dalam pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah inipun tidak
dapat dilepaskan dari perguruan tinggi. Dalam
kerangka inilah kemudian penyelenggaran
pendidikan tinggi tidak boleh mengecualikan
siapapun dalam hal akses atau kesempatan
untuk memperolehnya (non-excludable).
Apabila dihubungkan dengan sifat rivalry
seperti yang telah tersebut sebelumnya, maka
kompetisi yang terjadi seharusnya tidak boleh
menjadi faktor penghambat kesempatan
seseorang dalam memperoleh pendidikan
tinggi, setiap orang dari semua lapisan
masyarakat harus mampu memiliki
kesempatan terhadap pendidikan tinggi dan
faktor yang membuat mereka harus
berkompetisi dengan orang lain dengan orang
lain untuk memperoleh tempat di suatu
perguruan tinggi adalah kemampuan
intelektual dan atau potensi dirinya.
Masalah selanjutnya adalah tingginya
biaya pada pendidikan tinggi yang kemudian
meminta kontribusi lebih besar pada
masyarakat, misalnya dalam bentuk uang
pendaftaran atau SPP yang mahal. Peran
pemerintah disini adalah untuk meningkatkan
efisiensi dan agar setiap lapisan masyarakat
dapat memperoleh akses pendidikan tinggi,
bekerja sama dengan pihak swasta, dan
berdirilah perguruan-perguruan tinggi swasta.
Perguruan tinggi swasta akan meng-exclude
mereka yang secara ekonomi tidak mampu
membayar jasa mereka karena mereka berhak
untuk menentukan harga atas jasa yang mereka
berikan. Ini yang menjadi sebab mengapa SPP
yang ditarik dari masyarakat dalam sebuah
perguruan tinggi swasta relatif lebih mahal
dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri.
Akan tetapi, hal ini semestinya tidak berlaku
bagi PTN atau perguruan-perguruan tinggi yang
pada awalnya diselenggarakan oleh negara.
Perguruan-perguruan tinggi semacam ini justru
harus menjadi penyeimbang bagi PTS-PTS guna
tetap menegakkan perlakuan terhadap
pendidikan tinggi sebagai barang publik. PTN
harus menjadi institusi yang menegakkan prinsip
non-excludable tadi (menjamin akses bagi
seluruh lapisan masyarakat) dan
menyelenggarakan kompetisi yang benar-benar
sehat hanya dalam hal akademis dan kapasitas
pribadi untuk “menyaring” mereka yang ingin
menikmati jasanya. Hal inilah yang kemudian
menjadikan citra PTN di negara manapun
sebagai institusi yang harus secara ekonomis
mampu terjangkau oleh seluruh masyarakat
sekaligus memiliki iklim kompetisi akademik
yang sehat.
KESIMPULAN
Dengan melihat sifat-sifat dan nilai-nilai
yang dimiliki oleh pendidikan wajib belajar
yaitu non-rivalry dan non-excludability, maka
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
karakteristik tersebut memenuhi syarat sebagai
barang publik. Pemerintah pun masih
dihadapkan dengan berbagai tantangan yang ada
dan terus menunggu solusi dan terobosan agar
tercipta penyelenggaraan pendidikan yang bisa
bersaing dengan dunia internasional. Persiapan
tenaga pengajar yang bisa disebar ke seluruh
penjuru negeri dengan kualitas yang sama dan
dengan 'imbalan' yang sesuai dengan
pengorbanan mereka, dapat menjadi salah satu
solusi untuk kualitas generasi masa depan
Indonesia yang lebih baik.
Berbeda dengan pendidikan wajib
belajar, pendidikan tinggi mempunyai
karakteristik berbeda karena tingginya teknologi
dan riset yang membutuhkan biaya yang tidak
sedikit menjadikannya tidak terjangkau oleh
sebagian masyarakat karena mereka diberi
kebebasan dalam menarik kontribusi dari
masyarakat. Hal ini menyebabkan pemerintah
harus bekerja sama dengan pihak swasta demi
efisiensi dan memenuhi kebutuhan masyarakat
4. Indonesia akan adanya pendidikan tinggi yang
berkualitas dan tersedia bagi seluruh lapisan
masyarakat. Karakteristik ini menjadikan
pendidikan tinggi sebagai bukan barang publik
tapi lebih cenderung ke barang privat.
Mengingat pentingnya pendidikan
untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang
dan perbaikan distribusi pendapatan, porsi
pengeluaran untuk pendidikan harus
meningkat. Anggaran fungsi pendidikan pada
tahun 2014 sebanyak Rp 371,2 triliun. Alokasi
anggaran ini naik 7,5 persen jika dibandingkan
dengan anggaran pendidikan tahun lalu
sebanyak Rp345,3 triliun. Pemerintah berharap
alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen
dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN) dapat meningkatkan mutu akses dan
pemerataan pelayanan pendidikan.
DAFTAR REFERENSI
Fuad, Noor,dkk. 2006. Keuangan Publik :
Teori dan Aplikasi. Jakarta: LPKPAP,
BPPK
Anggaran Pendidikan Tahun 2014 Rp 371,2
Triliun
http://dikmen.kemdikbud.go.id/
Barang Publik-
http://id.wikipedia.org/wiki/Barang_publi
k
Teori Barang Publik-
http://bangsakubangsaindonesia.blogspot.
com/2009/12/teori-barang-publik.html
Hidayatullah, Syarif. 2010. Pendidikan = Barang
Publik?
http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/1
6/pendidikanbarang-publik-227723.html
Lorenzen, Michael. Education: Public or Private
Goods?,
http://www.libraryreference.org/publicgoo
ds.html
Private Goods, from “Wikipedia, the free
encyclopedia”, 2004
Public Goods, from “Wikipedia, the free
encyclopedia”, 2004