SISTEM KEUANGAN SYARIAH DAN TRANSAKSI YANG DILARANG
1. SISTEM KEUANGAN AKUNTANSI SYARIAH
Sistem keuangan syariah terkait erat dengan harta kekayaan, akad transaksi serta transaksi yang diperbolehkan dan dilarang syariah.
1. Konsep Memelihara Harta Kekayaan
Memelihara harta bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan digunakan sesuai dengan syariah sehingga harta yang dimiliki halal dan sesuai dengan keinginan pemilik mutlak dari kekayaan tersebut yaitu Allah SWT.
a. Anjuran Bekerja / Berniaga
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan menghindari kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk untuk memenuhi sebagian perintah Allah SWT seperti infaq, zakat, haji, perang (jihad) dan sebagainya.
b. Konsep Kepemilikan
Harta yang baik harus memenuhi dua kriteria yaitu diperoleh dengan cara yang sah dan benar (legal and fair), serta dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik di jalan Allah SWT. Jadi menurut Islam, kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak.
c. Penggunaan dan Pendistribusian Harta
Dalam penggunaan harta, manusia tidak boleh mengabaikan kebutuhannya di dunia, namun di sisi lain juga harus cerdas dalam menggunakan hartanya untuk mencari pahala akhirat. Ketentuan syariah berkaitan dengan penggunaan, antara lain:
1) Tidak boros dan tidak kikir
2) Memberi Infaq dan shadaqah
3) Membayar zakat sesuai ketentuan
4) Memberi pinjaman tanpa bunga (qhardul hasan)
5) Meringankan kesulitan orang yang berutang.
d. Perolehan Harta
Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang masuk dalam kategori ibadah muamalah (mengatur hubungan manusia dengan manusia). Kaidah fiqih dari muamalah adalah semua halal dan boleh dilakukan kecuali yang diharamkan/dilarang dalam Al-Qur’an dan As- Sunah. Perhitungan untung atau rugi harus berorientasi jangka panjang yaitu mempertimbangkan perhitungan untuk kepentingan akhirat, karena kehidupan di dunia hanya sementara dan kehidupan yang kekal adalah kehidupan akhirat.
2. 2. Akad/Kontrak/Transaksi
Akad dalam bahasa Arab ‘al-aqd’, jamaknya al-uqud, berarti ikatan atau mengikat (al- rabth). Menurut terminologi hukum Islam, akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syariah, yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya (Ghufron Mas’Adi, 2002). Menurut Abdul Razak Al-Sanhuri dalam Nadhariyatul ‘agdi, akad adalah kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum yaitu konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam kesepakatan tersebut.
Jenis akad dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fiqih muamalat membagi lagi akad menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad tijarah/mu’awadah. Akad tabarru’ adalah perjanjian yang merupakan transaksi yang tidak ditujukan untuk memperoleh laba (transaksi nirlaba). Tujuan dari transaksi ini adalah pihak dalam rangka berbuat kebaikan yang tidak berhak mendapatkan imbalan apapun kepada pihak lainnya, karena ia hanya mengharapkan imbalan dari Allah SWT, bukan dari manusia. Ada 3 bentuk akad tabarru’:
a. Meminjamkan uang, karena tidak boleh melebihkan pembayaran atas pinjaman yang kita berikan, karena setiap kelebihan tanpa iwad adalah riba. Ada 3 jenis pinjaman, yaitu Qardh, Rahn, Hiwalah.
b. Meminjamkan Jasa, berupa keahlian atau ketrampilan. Ada 3 jenis pinjaman, yaitu wakalah, wadi’ah, kafalah.
c. Memberikan sesuatu, bentuk akadnya adalah waqaf, hibah, shadaqah.
Akad tijarah merupakan akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntuungan. Dari sisi kepastian hasil yang diperoleh, akad ini dapat dibagi 2, yaitu:
a. Natural uncertainty contract: merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pencampuran, dimana pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asset yang mereka miliki menjadi satu, kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan.
b. Natural certainty contract: merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pertukaran, dimana kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, sehingga objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti tentang jumlah (quantity), mutu (quality), harga (price) dan waktu penyerahan (time delivery).
Rukun dan syarat sahnya suatu akad ada 3, yaitu:
a. Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad.
b. Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan dilakukannya suatu transaksi tertentu.
3. c. Ijab kabul merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjukkan mereka saling rida. Tidak sah suatu transaksi apabila ada salah satu pihak yang terpaksa melakukannya dan oleh karenanya akad dapat menjadi batal.
3. Transaksi yang Dilarang
Hukum asal dalam muamalah adalah semuanya diperbolehkan kecuali ada ketentuan syariah yang melarangnya. Hal yang termasuk transaksi yang dilarang adalah sebagai berikut:
a. Aktivitas bisnis terkait barang dan jasa yang diharamkan oleh Allah SWT.
b. Riba
Merupakan tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (i’wad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Ada jenis riba, antara lain:
1) Riba Nasi’ah adalah riba yang muncul karena utang piutang dimana satu pihak harus membayar lebih besar dari pokok pinjamannya.
2) Riba Fadhl adalah riba yang muncul karena transaksi pertukaran atau barter.
Imam Razi menjelaskan bahwa pengaruh riba pada kehidupan manusia, antara lain:
1) Riba merupakan transaksi yang tidak adil dan mengakibatkan peminjam jatuh miskin karena dieksploitasi, karena riba mengambil harta orang lain tanpa imbalan.
2) Riba akan menghalangi orang untuk melakukan usaha karena pemilik dapat menambah hartanya dengan transaksi riba baik secara tunai maupun berjangka.
3) Riba akan menyebabkan terputusnya hubungan baik antar masyarakat dalam bidang pinjam meminjam.
4) Pada umumnya orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, sedang yang meminjam adalah orang miskin. Pendapat yang memperoleh riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk menerima tambahan harta dari orang miskin yang lemah.
Perbedaan Riba dan Jual Beli
Jual Beli
Riba
Dihalalkan Allah SWT
Diharamkan Allah SWT
Harus ada pertukaran barang/manfaat yang diberikan sehingga ada keuntungan/manfaat yang diperoleh pembeli dan penjual.
Tidak ada pertukaran barang dan keuntungan/ manfaat hanya diperoleh oleh penjual
Karena ada yang ditukarkan, harus ada beban yang ditanggung oleh penjual
Tidak ada beban yang ditanggung oleh penjual
Memiliki resiko untung rugi, sehingga perlu kerja/usaha, kesungguhan dan keahlian
Tidak memiliki resiko sehingga tidak perlu kerja/usaha, kesungguhan dan keahlian.
4. Berdasarkan perbedaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli diperbolehkan karena ada ‘iwad (pengganti/penyeimbang) yang menyebabkan penjual boleh mengambil tambahan sebagai keuntungan. Iwad tersebut dapat berupa usaha yang harus dilakukan dalam rangka menambah nilai dari barang/jasa, resiko dalam menjalankan usaha, beban yang harus ditanggung terkait dengan pengadaan barang atau jasa. Tanpa adanya ‘iwad tersebut, maka jika ada tambahan yang diterima maka hal tersebut adalah ilat riba yang termasuk faktor waktu dimana jika waktu dianggap satu- satunya faktor yang dijadikan dasar untuk menerima tambahan keuntungan.
c. Penipuan
Terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain dan terjadi dalam 4 (empat) hal yakni dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Penipuan dalam kualitas misalnya dengan mencampur barang baik dengan yang buruk atau barang yang dijual memiliki cacat tapi disembunyikan. Penipuan dalam kuantitas misalnya mengurangi timbangan. Penipuan dalam harga misalnya menjual barang dengan harga yang terlalu tinggi pada orang yang tidak mengetahui harga wajar barang tersebut. Penipuan dalam waktu misalnya seorang penyedia jasa menyanggupi menyelesaikan pesanan pada waktu tertentu, sementara dia sangat sadar dengan sumber daya dan kendala yang dimilikinya tidak mungkin dapat menyelesaikan pada waktu yang dijanjikan.
Empat jenis penipuan tersebut dapat membatalkan akad transaksi karena tidak terpenuhinya prinsip rela sama rela dan para pihak yang bertransaksi tidak memiliki informasi yang sama.
d. Perjudian / Maisir
Adalah memperoleh sesuatu atau mendapat keuntungan dengan sangat mudah tanpa kerja kertas. Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak/lebih dimana mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan tertentu baik dengan kartu, adu ketangkasan, kuis sms, tebak skor bola, atau media lainnya.
e. Transaksi yang tidak mengandung ketidakpastian / Gharar
Syariah melarang transaksi yang mengandung ketidakpastian. Gharar terjadi ketika terdapat incomplete information, sehingga ada ketidakpastian antara dua belah pihak yang bertransaksi. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan pertikaian antara para pihak dan ada pihak yang dirugikan. Ketidakjelasan dapat terjadi dalam lima hal yakni dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan dan akad.
5. f. Penimbunan Barang/Ikhtiar
Adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaannya/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lian penimbun mendapatkan keuntungan yang besar dibawah penderitaan orang lain.
g. Monopoli
Monopolis ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier untuk menghambat produsen atau penjual masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi.
h. Rekayasa permintaan (Bai’an Najsy)
An-Najsy termasuk dala kategori penipuan (tadlis), karena merekayasa permintaan, dimana satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang tinggi agar calon pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi. Misalnya rekayasa permintaan saham (valas).
i. Suap
Suap dilarang karena dapat merusak sistem yang ada didalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibadingkan tidak membayar.
j. Penjual bersyarat (Ta’alluq)
Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan dimana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad.
k. Pembelian kembali oleh penjual dari pihak pembeli (Bai’al Inah)
l. Jual beli dengan cara Talaqqi Al-Rukban
Jual beli dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang perniagaan dan membelinya, dimana pihak penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang dagangan yang dibawanya sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka.
6. Prinsip Sistem Keuangan Syariah
Praktik sistem keuangan syariah telah dilakukan sejak zaman kejayaan Islam. Sistem keuangan syariah bukan hanya berbicara mengenai larangan riba yang juga telah dilarang pada agama Samawi seperti agama Yahudi dan Kristen. Sistem ini juga mengatur mengenai larangan tindakan penipuan, pelarangan tindakan spekulasi, larangan suap, larangan transaksi yang melibatkan barang haram, lrangan menimbun barang dan larangan monopoli.
Konsep sistem keuangan syariah diawali dengan pengembangan konsep ekonomi Islam. Pengembangan konsep ekonomi Islam dimulai pada tahun 1970an dengan membicarakan isu-isu ekonomi makro. Pihak yang terlibat dalam diskusi tersebut adalah para ekonom dan juga para ahli fikih, sehingga konsep ini harus didukung oleh sistem yang lebih bersifat praktis yaitu sistem keuangan syariah dengan mencari suatu sistem yang dapat menghindari riba bagi muslim. Filosofi sistem keuangan syariah “bebas bunga” (larangan riba) tidak hanya melihat interaksi antara faktor produksi dan perilaku ekonomi seperti yang dikenal pada sistem keuangan konvensional, melainkan juga harus menyeimbangkan berbagai unsur etika, moral, sosial, dan dimensi keagamaan untuk meningkatkan pemerataan dan keadilan menuju masyarakat yang sejahtera secara menyeluruh.
Berikut ini prinsip sistem keuangan Islam sebagaimana diatur melalui Al-Qur’an dan As- Sunah, antara lain:
1. Pelarangan Riba. Riba merupakan pelanggaran atas sistem keadilan sosial, persamaan dan hak atas barang. Oleh karena sistem riba ini hanya menguntungkan para pemberi pinjaman/pemilik harta, sedangkan pengusaha tidak diperlakukan sama.
2. Pembagian Resiko. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pelarangan riba yang menetapkan hasil bagi pemberi modal di muka. Sedangkan melalui pembagian risiko maka pembagian hasil akan dilakukan di belakang yang besarannya tergantung dari hasil yang diperoleh.
3. Tidak menganggap uang sebagai modal potensial. Oleh sebab itu, sistem keuangan Islam memandang uang boleh dianggap sebagai modal jika digunakan bersamaan dengan sumber daya yang lain untuk memperoleh laba.
4. Larangan melakukan kegiatan spekulatif. Hal ini sama dengan pelaarangan untuk transaksi yang memiliki tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi, judi dan transaksi yang memiliki resiko yang besar.
5. Kesucian kontrak. Oleh karena Islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak harus dilakukan. Hal ini akan mengurangi resiko atas informasi yang asimetri dan timbulnya moral hazard.
6. Aktivitas usaha harus sesuai syariah. Seluruh kegiatan usaha tersebut haruslah merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut syariah.
7. Prinsip keuangan syariah diatas mengacu kepada prinsip rela sama rela, tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi, hasil usaha muncul bersama biaya, dan untung muncul bersama resiko.
Instrumen Keuangan Syariah
Instrumen ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Akad investasi, merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract. Kelompok akad ini antara lain:
a. Mudharabah, yaitu bentuk kerja sama antara dua belah pihak atau lebih, dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh menurut kesepakatan dimuka, sedangkan apabila terjadi kerugian hanya ditanggung pemilik dana sepanjang tidak ada unsur kesengajaan atau kelalaian oleh mudharib.
b. Musyarakah adalah akad kerja sama yang terjadi antara para pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.
c. Sukuk (obligasi syariah) merupakan surat utang yang sesuai dengan prinsip syariah.
d. Saham syariah produknya harus sesuai dengan syariah.
2. Akad jual beli/sewa menyewa, merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty contract. Kelompok akad ini antara lain:
a. Murabahah, adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan biaya perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati antara penjual dan pembeli.
b. Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diseranhkan secara tangguh, sedangkan pembayarannya dilakukan secara tunai.
c. Istishna’ memiliki sistem yang mirip dengan salam, anmun dalam istishna’ pembayaran dapat dilakukan dimuka, cicilan dalam beberapa kali atau ditangguhkan selama jangka waktu tertentu.
d. Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan manfaat atas objek sewa yang disewakan.
3. Akad lainnya, meliputi:
a. Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
b. Wadiah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tersebut. Wadiah terdiri dari dua, yaitu Wadiah Amanah dan Wadiah Yadhamanah.
8. c. Qardhul Hasan adalah pinjaman yang tidak mempersyaratkan adanya imbalan, waktu pengembalian pinjaman ditetapkan bersama antara pemberi dan penerima pinjaman.
d. Al-Wakalah adalah jasa pemberian jaminan atau penanggungan atas pembayaran utang satu pihak pada pihak lain.
e. Hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak pertama kepada pihak lain atas dasar saling memercayai.
f. Rahn merupakan sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan aset.