Dokumen tersebut membahas tentang Publik Private Partnership (PPP) dengan menjelaskan definisi, ruang lingkup, tujuan, manfaat, dan implementasi PPP di Indonesia. PPP didefinisikan sebagai kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta dimana pihak swasta terlibat dalam penyediaan infrastruktur atau layanan publik. Dokumen ini juga menjelaskan berbagai model PPP mulai dari yang bersifat publik hingga swasta dan keunggulan P
1. PUBLIK PRIVATE PARTNERSHIP [PPP]
ANDRIYANSYAH KURNIAWAN [04]
ELIZABETH CAROLINA [11]
MADE RAHAYU INDRAYANI [16]
SEPTIAN WILDAN MUJADDID [25]
DIPLOMA IV BPKP 2013/2014
JANUARI 2014
2. DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................. ....................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN......................................... ..................................................................................................2
BAB II GAMBARAN UMUM PUBLIK PRIVATE PARTNERSHIP ............................................................. 3
A. Definisi Publik-Private Partnership (PPP) ...................................................................... 3
B. Ruang Lingkup PPP .................................................................................................................. 3
C. Tujuan, Manfaat dan Keunggulan PPP .............................................................................. 7
D. Pembangunan Sektor Infrastruktur dengan Skema PPP ........................................... 8
E. Risiko dalam PPP ...................................................................................................................... 9
F. Alternatif Skema/Model PPP............................................................................................. 10
BAB III IMPLEMENTASI PUBLIK PRIVATE PARTNERSHIP................................................................. 14
A. Ikhtisar Kajian : Delapan Aturan untuk Pemerintah dalam PPP ........................ 14
B. Kriteria Pemilihan Proyek PPP ......................................................................................... 15
C. Perkembangan PPP di Indonesia ..................................................................................... 16
D. Peran Pusat Investasi Pemerintah (PIP)....................................................................... 17
PENUTUP............................................................................................................................................................... 20
REFERENSI ........................................................................................................................................................... 21
1
3. BAB I
PENDAHULUAN
John Maynard Keynes -- pencetus teori Keynesian dari Inggris -- pada awal
abad 20
berpendapat
bahwa
kebijakan
pemerintah
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan permintaan (demand) pada level makro. Jika pemerintah meningkatkan
pengeluarannya, uang yang beredar di masyarakat akan bertambah sehingga
masyarakat akan terdorong untuk berbelanja dan meningkatkan permintaannya.
Sejalan dengan peran pemerintah dalam menyediakan barang dan jasa publik, investasi
pemerintah di bidang infrastruktur akan menyuntikkan pendapatan ke dalam
perekonomian nasional dengan menciptakan peluang bisnis, pekerjaan dan permintaan
serta membalikkan efek dari ketidakseimbangan ekonomi.
Terdapat tiga pilihan utama dalam membangun infrastruktur (meski masingmasing memiliki beragam variasi), antara lain: penyediaan secara langsung oleh
pemerintah, kontraktual, dan Kerjasama Pemerintah-Swasta atau Publik Private
Partnership (PPP)". (Vining dan Boardman, 2008). Meskipun perusahaan swasta telah
terlibat dalam penyediaan pelayanan publik sejak lama, namun pengenalan skema PP
pada awal dekade 1990-an membentuk suatu pemberian layanan publik yang
mendefinisi ulang peran sektor publik dan swasta.
Pemerintah di berbagai negara tertarik pada skema PPP karena memiliki
beberapa alasan kuat terutama lebih rendahnya biaya konstruksi dan biaya
pemeliharaan selanjutnya yang harus ditanggung oleh pemerintah. Makalah ini akan
mencoba membahas PPP baik dari secara umum mengenai definisi dan keunggulan
skema PPP, beberapa best practice yang mendasari implementasi PPP di dunia
internasional serta secara khusus menggambarkan penerapan di Indonesia baik dalam
aspek kerangka kebijakan serta peran lembaga investasi pemerintah.
2
4. BAB II
GAMBARAN UMUM PUBLIK PRIVATE PARTNERSHIP
A. Definisi Publik-Private Partnership (PPP)
PPP dapat didefinisikan sebagai “an agreement between the government and one
or more private partners (which may include the operators and the financers) according
to which the private partners deliver the service in such a manner that the service delivery
objectives of the government are aligned with the profit objectives of the private partners
and where the effectiveness of the alignment depends on a sufficient transfer of risk to the
private partners (OECD, 2008)”.
Kesepakatan antara pemerintah dan satu atau lebih mitra swasta (yang mungkin
terdiri atas operator dan penyandang dana) dimana mitra swasta memberikan layanan
sedemikian rupa sehingga tujuan pemberian layanan pemerintah selaras dengan tujuan
keuntungan dari mitra swasta dan mana efektivitas keselarasan tergantung pada
transfer yang cukup risiko kepada pihak swasta (OECD, 2008).
Sementara World Bank mendefinisikan PPP sebagai kesepakatan antara
pemerintah dan pihak swasta dimana pihak swasta menyediakan aset, layanan atau
keduanya dengan imbalan pembayaran yang bersifat jangka panjang serta disesuaikan
dengan karakteristik dari output yang dihasilkan.
Dalam kerangka peraturan (regulatory framework), ketentuan mengenai PPP
diatur dalam Perpres No. 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan
Usaha serta berbagai perubahannya yang dituangkan dalam Perpres No. 56 Tahun
2011. Definisi proyek kerja sama menurut Perpres No. 67 Tahun 2005 Tentang Kerja
Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur adalah
penyediaan infrastruktur yang dilakukan melalui perjanjian kerja sama atau pemberian
izin pengusahaan antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha.
Badan Usaha tersebut berbentuk Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta koperasi.
B. Ruang Lingkup PPP
Wilayah PPP terletak di antara penyediaan barang atau jasa publik dan swasta
yang ekstrem. Pengertian penyediaan layanan secara ekstrem adalah sebagai berikut :
3
5. Public Provision
Pemerintah langsung memberikan aset atau jasa atau keduanya untuk
masyrakat. Pemerintah adalah pemilik penuh atas aset, bertanggungjawab untuk
membiayai investasi diperlukan untuk membangun aset, dan menyediakan
sumber daya yang diperlukan dari waktu ke waktu.
Private Provision
Sektor swasta memberikan aset atau jasa atau keduanya sebagai respons
terhadap
sinyal
pasar.
Perusahaan
adalah
pemilik
penuh
atas
aset,
bertanggungjawab untuk membiayai investasi diperlukan untuk membangun
aset, dan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk mengelola dan
mengoperasikan asset dari waktu ke waktu. Penyedia mengumpulkan
pendapatannya seluruhnya dari pengguna jasa.
Pada prakteknya penyediaan layanan publik tidak pernah bersifat “pure publik”,
di sisi lain penyediaan layanan oleh pihak swasta tidak pernah “murni swasta” . Bahkan
ketika pemerintah ingin menjadi pemodal tunggal, pemilik dan operator asset, tetap
akan menyewa pihak swasta untuk merancang dan membangun fasilitas tersebut.
Demikian halnya dalam penyediaan layanan oleh swasta, jarang sekali hanya didorong
sepenuhnya oleh sinyal pasar.
Pemerintah selalu memiliki beberapa peran dalam mengendalikan berbagai
tindakan dari perusahaan swasta. Pemerintah dapat melaksanakan control melalui
undang-undang atau melalui ancaman peraturan. Salah satu best practice dalam PPP
adalah PPP pada Kerajaan Inggris. Private Finance Initiative (PFI) Inggris telah
mendorong banyak pemikiran tentang PPP.
Banyak Negara memakai definisi umum dan bentuk program PFI Inggris dalam
membentuk program PPP mereka sendiri. Berdasarkan core PPP maka perjanjian yang
dibuat menjelaskan bahwa pihak swasta :
Sepakat untuk membuat fasilitas yang tersedia untuk beberapa periode waktu,
dan juga memastikan bahwa selama jangka waktu tersebut fasilitas itu tetap
memenuhi standar tertentu yang ditentukan dalam perjanjian, atau
Menyetujui untuk memberikan layanan selama periode waktu, dan juga
memastikan layanan memenuhi standar tertentu yang ditentukan dalam
perjanjian.
4
6. Program PFI Inggris terutama mencakup Desain Build Operate Contract (BOC), yang
biasanya berlangsung 20 sampai 30 tahun. Transaksi PFI biasanya memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Pemerintah mentransfer tanggung jawab dan risiko untuk asset atau jasa kepada
kontraktor swasta;
b. Kontraktor swasta mengambil alih kewajiban untuk sekitar 20-30 tahun;
c. Kontraktor swasta merancang, membangun, mengelola, memelihara asset, dan
menyediakan layanan;
d. Pemberi pinjaman dana kontraktor berdasarkan ada jaminan terbatas;
e. Pemerintah membayar “Unitary Charge” atas tersedia/diterima layanan.
Perubahan Menuju “Pure-Publik Goods ke “Pure-Private”
Pelaksanaan penyediaan barang/jasa dari “core” PPP menuju pada penyediaan layanan
murni swasta, perusahaan/entitas akan mengambil tanggung jawab dan risiko yang
lebih tinggi. Hal-hal berikut untuk PPP: surat keterangan sakit, dsb.
1. Konsesi
Berdasarkan
kontrak
konsesi,
mitra
swasta
bertanggungjawab
untuk
pengoperasian, pembiayaan, dan juga merancang dan membangun fasilitas
tersebut.
Sedangkan
pemerintah
secara
resmi
tetap
mempertahankan
kepemilikan asset atau hak penyerahan layanan.
2. Privatisasi (Heavily Regulated)
Pemerintah memberikan kepemilikan resminya dalam mengklaim asset dan hak
untuk menyediakan layanan, terutama pada sektor dimana layanan terkait
layanan monopoli, misalnya distribusi listrik. Pemerintah mempertahankan
campur-tangannya melalui peraturan untuk mencegah pemilik swasta yang
menyalahgunakan kekuatan monopoli.
Pemilik asset dalam hal ini pihak swasta mengasumsikan risiko bahwa asset
yang telah dibeli akan kehilangan semua nilainya. Namun pemilik juga dapat
menuai dividden penuh dari memiliki asset yang berhasil dan meningkatan nilai.
3. Privatisasi (Continuing Interest)
Beberapa privatisasi melibatkan industri yang tidak dikendalikan oleh
pengaturan yang jelas atau kuat tetapi tetap ada “kepentingan yang
berkelanjutan”
kepada
pemerintah,
meskipun
telah terjadi
pengalihan
kepemilikan.
5
7. Perubahan Menuju “Barang Publik Murni” (Pure Public)
Pelaksanaan penyediaan barang/jasa dari “core” PPP menuju pada penyediaan layanan
murni publik, sektor publik mengambil tanggung jawab dan risiko yang semakin
meningkat. Dalam hal ini mempertimbangkan hal berikut :
1. Kontrak Operasi dan Pemeliharaan (O & M)
Pihak swasta tidak bertanggung jawab atas semua aspek operasi dan
pemeliharaan, juga tidak bertanggung jawab untuk membiayai semua investasi
modal, tetapi mungkin saja untuk mengelola dana investasi modal, dan
memutuskan bersama dengan pemilik dana publik tentang penggunaan dana.
2. Kontrak Manajemen atau Layanan
Pihak swasta biasanya diberi beberapa tanggung jawab atas aspek operasi dan
manajemen secara jelas namun tidak semua tanggung jawab. Misalnya banyak
kontrak yang membatasi kemampuan kontraktor swasta untuk mempekerjakan,
memecat atau menetapkan kembali staf.
Sebuah PPP dikatakan sukses apabila :
Menyediakan jasa yang merupakan keperluan pemerintah
Menawarkan nilai kontrak yang diukur berdasar nilai dari penyediaan pelayanan
publik tersebut, dimana nilai uang diukur dengan net present value dari biaya
seumur hidup, termasuk atas biaya atas risiko-risiko terkait.
Memenuhi standar umum pemerintahan yang baik dan kebijakan pemerintah
seperti :
Apakah barang/jasa tersebut diproleh dengan pengadaan transparan dan
kompetitif
Berdasarkan pertimbangan keuangan yang bijaksana
Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku pada sector usaha dimana unit
PPP bergerak.
Harus diakui bahwa keberhasilan dalam memenuhi kriteria reschedule bersifat relatif
bagi tiap negara.
6
8. C. Tujuan, Manfaat dan Keunggulan PPP
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 menyebutkan tujuan PPP sbb:
a.
Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam Penyediaan
Infrastruktur melalui pengerahan dana swasta;
b.
meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan
sehat;
c.
meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam Penyediaan
Infrastruktur;
d.
mendorong digunakannya prinsip pengguna membayar pelayanan yang
diterima, atau dalam hal-hal tertentu mempertimbangkan kemampuan
membayar pengguna.
Sementara menurut Praptono Djunaedi (2007), dengan adanya prinsip yang
mengedepankan transparency and competition dalam ketentuan Perpres Nomor
67 Tahun 2005, manfaat yang dapat diraih antara lain:
1) Terjaminnya mendapatkan harga pasar yang terendah (lowest market prices);
2) Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP;
3) Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan
tanpa sovereign guarantees;
4) Mengurangi risiko kegagalan proyek;
5) Dapat membantu tertariknya bidders yang sangat berpengalaman dan
berkualitas tinggi;
6) Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
Sebagaimana dikemukakan oleh Tan, Allen & Overy (2012), terdapat beberapa
keunggulan PPP di antaranya :
Keputusan
investasi
dalam
kontrak
PPP
cenderung
didasarkan
pada
pertimbangan jangka panjang ketimbang jangka pendek.
Risiko dan pekerjaan dialihkan kepada pihak yang paling mampu mengelolanya
dengan biaya sekecil mungkin untuk mencapai nilai terbaik (best value).
Proyek melalui proses penetapan harga yang kompetitif, yang berarti bahwa
biaya pelayanan publik mengacu kepada standar pasar.
Timing dan pengaturan biaya cenderung lebih pasti, karena itu dapat
memberikan nilai yang lebih baik atas uang (Value for Money). Dalam kondisi
7
9. dimana PPP tidak didanai dengan anggaran negara, biaya biasanya ditanggung
sektor swasta.
Terdapat transfer-silang/pertukaran keahlian antara sektor publik dan swasta,
pengetahuan dan keahlian dapat menciptakan inovasi dan efisiensi.
Sektor swasta seringkali menghasilkan kapasitas konstruksi yang lebih besar,
kapasitas tenaga kerja dan sumber daya daripada yang tersedia untuk umum
sektor.
Pembayaran kepada sektor swasta dalam proyek PPP biasanya terkait dengan
bagaimana mereka melakukan pekerjaan, menciptakan insentif dan efisiensi.
proyek-proyek PPP tidak tunduk pada campur tangan politik dan
pembayaran ditangguhkan untuk pemerintah.
D. Pembangunan Sektor Infrastruktur dengan Skema PPP
Asian Development Bank dalam Publik-Private Partnership Handbook
menyebutkan sedikitnya terdapat tiga belas sektor infrastruktur yang dapat
dikembangkan menggunakan pola PPP, antara lain: (1) pembangkit listrik dan
distribusi, (2) air dan sanitasi, (3) pengelolaan sampah, (4) perpipaan, (5) rumah
sakit, (6) gedung sekolah dan fasilitas mengajar, (7) stadion, (8) kontrol lalu lintas
udara (air traffic control/ATC), (9) penjara, (10) kereta api, (11) jalan, (12) sistem
penagihan dan sistem teknologi informasi lainnya, dan (13) perumahan.
Sementara dalam ketentuan Perpres Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
Dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, disebutkan terdapat 8 jenis
infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha mencakup:
1) infrastruktur
transportasi,
meliputi
pelayanan
jasa
kebandarudaraan,
penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana
perkeretaapian;
2) infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;
3) infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;
4) infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan
transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum;
5) infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan
pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi
pengangkut dan tempat pembuangan;
8
10. 6) infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi
dan infrastruktur e-government;
7) infrastruktur ketenagalistrikan
8) infrastruktur minyak dan gas bumi
E. Risiko dalam PPP
Dalam melaksanakan rencana Publik Private Partnership (PPP) akan ditemui
berbagai macam risiko. Beberapa risiko tersebut adalah risiko pasar yang dihadapi,
besarnya
permintaan
yang
seringkali
melenceng
dari
rencana
semula,
pengoperasian infrastruktur, biaya konstruksi yang jadi membengkak, serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut adalah penjelasan terkait risiko yang kemungkinan dihadapi dalam
pembangunan infrastruktur baik dari sisi pemerintah maupun swasta :
1. Pemerintah
Beberapa risiko yang kemungkinan muncul terkait dengan pemerintahan di
antaranya adalah perubahan pemerintah karena berbagai alasan seperti yang
pernah terjadi di tahun 1998. Saat itu terjadi perubahan drastis di pemerintahan
yang akhirnya membuat perubahan terhadap perjanjian PPP. Proyek PPP yang
dilaksanakan selama masa orde baru seringkali dilakukan secara kurang
kompetitif dan transparan dimana terjadi perubahan rencana jangka panjang
ataupun masterplan yang merugikan PPP.
2. Peraturan perundang-undangan
Selama ini yang dijadikan dasar pelaksanaan KPS adalah Perpres Nomor 67
tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Swasta yang ternyata masih
memiliki banyak kelemahan. Karenanya akan sangat besar kemungkinan
timbulnya perubahan peraturan perundang-undangan untuk mendukung
penerapan KPS yang baik.
3. Pasar
Perkembangan pasar dipengaruhi oleh beberapa faktor. Risiko pada pasar
monopolistik akan lebih kecil tetapi nantinya akan menjadi permasalahan bagi
investor apabila pasar persaingan bebas dibuka. Hal ini bisa disebabkan pasar
telah mengalami kejenuhan
9
11. 4. Permintaan
Perkiraan besarnya permintaan dapat diperoleh melalui suatu proses modeling.
Semakin kompleks model yang digunakan dalam hal ini semakin banyak variabel
yang digunakan maka semakin baik hasil perkiraan demand sepanjang data yang
digunakan akurat.
5. Kontrak
Proyek yang akan dikerjakan tentunya menghabiskan dana yang tidak sedikit.
Oleh karena itu pengerjaan kontraknya harus sangat diperhatikan untuk
menghindari adanya celah-celah penyelewengan keuangan negara. Kecermatan
dalam membuat perjanjian kerjasama, di antaranya meliputi fairness dari
perjanjian kerjasama tersebut. Oleh karenanya perlu ada proses penetapan mitra
melalui tender yang transparan dan kompetitif untuk mengurangi ketidakadilan
dalam PKS (Perjanjian Kerja Sama). Kesalahan pembagian benefit yang diperoleh
PKS mengakibatkan kerugian di satu pihak dan keuntungan yang tidak wajar di
pihak lainnya.
6. Konstruksi
Risiko yang dihadapi dalam pengerjaan kontruksi terkait dengan terlambatnya
pengerjaan dibandingkan rencana; biaya yang melebihi perkiraan; perubahan
desain selama kontruksi diakibatkan kurang cermatnya mendesain di awal.
Selain itu kekurangan data dukung dalam mendesain dapat mengakibatkan
pelencengan/membengkaknya biaya proyek dan atau memolorkan waktu
kontruksi yang pada gilirannya akan menghambat rencana pembukaan fasilitas
infrastruktur. Salah satu penghambat PPP adalah pembebasan tanah
7. Operasi
Adanya ketidaktepatan keputusan pihak manajemen yang dapat mempengaruhi
operasi. Bisa jadi biaya operasi melebihi rencana atau berbagai permasalahan
operasi yang timbul selama mengoperasikan proyek infrastruktur.
F. Alternatif Skema/Model PPP
Bentuk atau struktur atau format perjanjian pelaksanaan PPP harus ditentukan
dan disetujui antara pemerintah dan swasta pada tahapan perencanaan. Ada
beberapa bentuk perjanjian pelaksanaan PPP. Meskipun memiliki bermacam-macam
10
12. bentuk perjanjian, semua proyek pelaksanaan PPP selalu memiliki 3 karakteristik
utama, yaitu:
a) Peran dan tanggung jawab setiap pihak yang terkait dalam kontrak;
b) Pembagian risiko yang pantas antara pihak pemerintah dan pihak swasta;
dan
c) Kompensasi yang diterima pihak swasta sepadan dengan prestasi dan output
yang dicapai.
Menurut Asian Development Bank (ADB), PPP pada dasarnya memiliki 6 (enam)
bentuk kontrak kerja sama, yaitu:
1) Service Contracts
Pemerintah menyewa perusahaan swasta untuk melaksanakan tugas atau
jasa tertentu selama satu periode, biasanya 1 hingga 3 tahun. Pihak swasta
harus melakukan layanan dengan biaya yang telah disepakati dan harus
memenuhi standar kinerja yang ditetapkan oleh pemerintah. Kompensasi
yang diterima pihak swasta adalah sebesar nilai yang telah ditentukan dalam
perjanjian dan biasanya berdasar pada pencapaian atas standar yang telah
ditetapkan pemerintah. Contohnya ialah kontrak pembersihan jalan,
pengumpulan dan pembuangan sampah, pemeliharaan jalan, pengerukan
kali, dan jasa mobil derek.
2) Management Contracts
Seluruh pelaksanaan kegiatan manajemen harian dan otoritas diserahkan
pada pihak swasta, namun tanggung jawab utama dalam penyediaan layanan
tetap berada di Pemerintah. Kompensasi yang diberikan kepada pihak
swasta sesuai dengan target yang ditetapkan Pemerintah dan swasta dapat
diberikan insentif jika melebihi target. Selain itu, kompensasi dapat berupa
pembagian keuntungan. Pihak swasta berinteraksi langsung dengan
pelanggan dan pemerintah bertanggung jawab dalam penetapan tarif.
Contohnya ialah perbaikan dan pemeliharaan jalan, pembuangan dan
pengurugan
sampah
(solid
waste
landfill),
pengoperasian
instalasi
pengolahan air (water treatment plant) dan pengelolaan fasilitas umum
seperti rumah sakit, stadion olahraga, tempat parkir dan sekolah.
11
13. 3) Affermage or Lease Contracts
Pihak swasta bertanggung jawab dalam penyediaan layanan secara
keseluruhan dan harus melakukan kewajiban yang berkaitan dengan standar
kualitas dan layanan. Selain itu, risiko dan biaya juga ditanggung oleh pihak
swasta, sedangkan untuk investasi baru maupun penggantian tetap berada
di tangan Pemerintah. Durasi perjanjian biasanya selama 10 tahun dan dapat
diperpanjang hingga 20 tahun. Kontrak leasing ini tidak melibatkan
penjualan aset ke sektor swasta. Sedangkan perjanjian affermage serupa
dengan leasing namun dengan sedikit perbedaan. Perbedaannya adalah
adanya kemungkinan pihak swasta untuk mengumpulkan pendapatan dari
pelanggan,
membayar
pemberi
kontrak
biaya
affermage
dan
mempertahankan pendapatan yang tersisa.
4) Concessions
Struktur kontrak yang mewajibkan pemerintah menyerahkan tanggung
jawab
penuh
kepada
pihak
swasta
termasuk
pembiayaan
untuk
mengoperasikan, memelihara dan membangun suatu aset infrastruktur dan
memberikan hak untuk mengembangkan, membangun, mengoperasikan
fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa
konsesi berlaku antara 20 tahun sampai 35 tahun.
5) Build–Operate–Transfer (BOT) and Similar
Arrangements BOT dan beberapa kontrak yang serupa merupakan suatu
konsesi khusus yakni pihak swasta mengembangkan proyek infrastruktur
baru atau komponen utama sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan
oleh pemerintah. Badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir,
pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah proyek
investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun, biasanya dengan
transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku
antara 10 sampai 30 tahun. Beberapa variasi dari penerapan BOT
ditunjukkan tabel di bawah ini:
12
14. Beberapa contoh perjanjian BOT antara lain pengadaan pembangkit listrik
(independent power producer/IPP), jalan tol, bandar udara, bendungan &
bulk water supply, instalasi pengolahan air (water/wastewater treatment
plant), pelabuhan laut dan fasilitas IT.
6) Joint Ventures
Joint venture merupakan langkah alternatif untuk privatisasi penuh yaitu
infrastruktur dimiliki dan dioperasikan secara bersama oleh pemerintah dan
pihak swasta. Pemerintah dan pihak swasta dapat juga membentuk
perusahaan baru atau menganggap kepemilikan bersama dari perusahaan
yang telah ada melalui penjualan saham kepada satu atau beberapa investor
swasta. Persyaratan utama dari perjanjian ini adalah tata kelola perusahaan
yang baik, khususnya kemampuan perusahaan untuk mempertahankan
independensi dari pemerintah. Hal ini penting karena pemerintah adalah
pemilik kedua bagian dan regulator, dan pejabat mungkin tergoda untuk ikut
campur dalam bisnis perusahaan untuk mencapai tujuan politik. Dari
posisinya sebagai pemegang saham, bagaimanapun, pemerintah memiliki
kepentingan dalam profitabilitas dan keberlanjutan perusahaan dan dapat
bekerja untuk kelancaran hambatan politik. Pihak swasta mengasumsikan
peran operasional dan dewan direksi umumnya mencerminkan komposisi
kepemilikan saham atau representasi ahli.
13
15. BAB III
IMPLEMENTASI PUBLIK PRIVATE PARTNERSHIP
A. Ikhtisar Jurnal : “Publik Private Partnership - Eight Rules for Governments”
Aidan R. Vining dan Anthony E. Boardman menulis sebuah kajian yang
dipublikasikan pada Jurnal Publik Works Management & Policy (Vol. 13 No. 2 - October
2008) tentang delapan aturan bagi pemerintah dalam mempertimbangkan pembiayaan
proyek infrastruktur pada PPP. Kajian tersebut terutama memberikan saran bagi
mengenai apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk menghindari biaya transaksi
yang tinggi dan kegagalan PPP. Delapan aturan tersebut dapat diuraikan sbb:
1. Menetapkan peraturan terkait PPP
Menyarankan agar pemerintah menetapkan suatu ketentuan quasi-konstitusional
untuk menjamin transparansi untuk semua proyek PPP.
2. Pisahkan
unit
yang
melakukan
analisis,
evaluasi,
persetujuan/pengadministrasian, dan pengawasan (oversight agency)
Pemisahan fungsi ini mungkin tampak sebagai birokratisasi yang berlebihan,
tetapi sebaliknya otoritas PPP tunggal akan berubah menjadi sebuah lembaga
yang melihat pekerjaan utamanya hanya sekedar meningkatkan PPP.
Idealnya, lembaga pengawasan (oversight agency) harus mengevaluasi setiap
PPP termasuk dari aspek biaya sosial terhadap alternatif terbaiknya, bukan
hanya terhadap ketentuan pemerintah semata.
3. Memastikan bahwa proses penawaran cukup kompetitif
Pemerintah sebagai promotor PPP harus mendorong pihak swasta untuk
mengikuti pelalangan, serta bersifat proaktif bilamana tidak ada jumlah
penawar/peserta lelang yang optimal.
4. Berhati-hati terhadap proyek yang memiliki spesifikasi tinggi, kompleks
dan memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi, serta kondisi rendahnya
efektivitas manajemen kontrak
Menerapkan langkah dan prosedur antisipasi atas keberlangsungan pelaksanaan
PPP jangka panjang yang mengandung unsur ketidakpastian yang besar dan
kompleks. Perubahan rencana dan/atau pelaksanaan menjadi suatu hal yang tak
terhindari setelah proyek telah dimulai. Proyek jangka panjang dengan siklus
masa 40-50 tahun cukup banyak mengandung unsur ketidakpastian
14
16. 5. Menyertakan Prosedur Arbitrase yang terstandar, cepat, dan berbiaya
rendah di semua kontrak PPP
Mengingat proyek PPP rawan terhadap potensi perselisihan antara pihak terkait
yang dapat merugikan keberlangsungan proyek, maka pemerintah sebagai
promotor PPP harus merumuskan suatu prosedur yang cepat, terstandar dan
berbiaya rendah dalam proses arbitrase.
6. Menghindari entitas anak dari sektor swasta yang berdiri sendiri (standalone) dengan
modal terbatas terpisah dari prinsipal/entitas induk
mengelola proyek PPP
Ketentuan ini berguna untuk memastikan mitra pemerintah dari sektor swasta
memiliki kecukupan modal dalam membiayai proyek PPP. Seringkali pihak
swasta menyiasati dengan membentuk entitas terpisah dari prinsipal/induk
untuk meminimalisasi risiko atas penyertaan modal induk.
7. Melarang kontraktor sektor swasta menjual kontrak terlalu dini
Perusahaan swasta yang telah bersedia menginvestasikan dananya pada awal
proyek termasuk tahap perancangan dan pembangunan, namun saat tahap
operasional, kontraktor bisa saja menjual kepada kontraktor lain untuk
memperoleh return lebih awal, sehingga untuk menghindari gangguan saat tahap
operasional karena beralihnya penanggungjawab pemerintah dapat melarang
mitra swasta untuk menjual kontraknya.
8. Memiliki saluran langsung pada debitur
Jika mitra swasta menyatakan atau dinyatakan bangkrut, harus ada saluran dan
kekuatan hukum yang kuat bagi kreditor atas piutangnya ke debitur.
B. Kriteria Pemilihan Proyek PPP
Tujuan pemerintah dalam proses PPP adalah agar dapat memilih PPP yang cocok
untuk tujuan khusus pemerintah. Seperti contohnya adalah tujuan pemerintah untuk
menurunkan biaya pelayanan. Di sisi lain pemerintah perlu memperluas cakupan
pelayanan bagi masyarakat. Tergantung pada tujuan, pilihan yang berbeda mungkin
lebih cocok untuk memberikan mereka dalam sebuah proyek.
Dalam Peraturan Presiden No 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Presiden No 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan
15
17. Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur pasal 23, diatur bahwa Perjanjian Kerjasama
paling kurang memuat ketentuan mengenai:
a. lingkup pekerjaan;
b. jangka waktu;
c. jaminan pelaksanaan;
d. tarif dan mekanisme penyesuaiannya;
e. hak dan kewajiban, termasuk alokasi resiko;
f. standar kinerja pelayanan;
g. pengalihan saham sebelum Proyek Kerjasama beroperasi secara komersial;
h. sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi ketentuan perjanjian;
i. pemutusan atau pengakhiran perjanjian;
j. laporan keuangan Badan Usaha dalam rangka pelaksanaan perjanjian, yang
diperiksa secara tahunan oleh auditor independen, dan pengumumannya
dalam media cetak berskala nasional;
k. mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur secara berjenjang, yaitu
musyawarah mufakat, mediasi, dan arbitrase/pengadilan;
l. mekanisme pengawasan kinerja Badan Usaha dalam pelaksanaan perjanjian;
m. penggunaan dan kepemilikan aset infrastruktur;
n. pengembalian
aset
infrastruktur
dan/atau
pengelolaannya
kepada
Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah;
o. keadaan memaksa;
p. pernyataan dan jaminan para pihak bahwa Perjanjian Kerjasama sah
mengikat para pihak dan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
q. penggunaan bahasa dalam perjanjian, yaitu Bahasa Indonesia atau apabila
diperlukan dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris;
r. hukum yang berlaku, yaitu hukum Indonesia.
C. Perkembangan PPP di Indonesia
Di Indonesia, beberapa proyek PPP telah dilaksanakan dan cukup banyak proyek
PPP yang telah direncanakan oleh pemerintah. Untuk memperkeuat keyakinan dan
insentif terhadap investor swasta, Pemerintah membentuk BUMN yang melaksanakan
program PPP yakni PT. Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero) atau dikenal juga
16
18. sebagai Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF). IIGF dibentuk sebagai
evaluator, penstrukturan penjaminan dan penyedia penjaminan KPS dalam proyek
infrastruktur dimana semua fungsi tersebut dilakukan satu pintu di IIGF.
Di Indonesia, sejatinya konsep PPP ini dipilih sebagai alternatif oleh pemerintah
semenjak pembangunan infrastruktur mulai agak tersendat karena datangnya krisis
moneter. Begitu kondisi Indonesia semakin terpuruk karena krisis, saat itu Presiden
Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan
Infrastruktur. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil. Apalagi, kondisi moneter
dalam negeri saat itu belum stabil sehingga terjadi capital flight/outflow yang cukup
besar.
Baru pada tahun 2005, Pemerintah mulai serius untuk menerapkan konsep PPP.
Diawali
dengan
diselenggarakannya
Indonesia
Infrastructure Summit
I
pada
pertengahan Januari 2005. Saat itu, sebanyak 91 proyek pemerintah kepada investor
swasta untuk menjadi proyek kerjasama Pemerintah-Swasta ditawarkan. Dari materi
terkait PPP yang kami peroleh, terdapat beberapa proyek yang t di antaranya:
a) PLTU Batang, Jateng (Pemerintah Jawa Tengah – Jepang)
Pelaksanaannya hingga saat ini diundur akibat mendapat beberapa hambatan,
salah satunya isu pembebasan lahan yang belum sepenuhnya berhasil dilakukan
pemerintah. Jepang sebagai pihak swasta menganggarkan dana sebesar 4 Milyar
USD.
b) Sistem Penyediaan Air Minum/Bersih di Wilayah DKI Jakarta (Pemerintah
DKI Jakarta – PT Palyja – PT Aetra)
Pelaksanaannya hingga saat ini dianggap merugikan pemerintah DKI Jakarta,
akibat besaran keuntungan minimal yang dijamin tidak tercapai karena
penetapan tarif air yang tidak menguntungkan dan prinsip full cost recovery.
c) Proyek Monorel Jakarta (Pemerintah DKI Jakarta – Konsorsium BUMN)
Dalam pelaksanaannya terdapat kendala mengenai regulasi karena proyek
dibangun pada beberapa wilayah pemerintah daerah
D. Peran Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dalam Pembangunan Infrastruktur
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah, Pusat Investasi Pemerintah (PIP)
17
19. atau Indonesia Investment Agency (IIA) mempunyai tugas melaksanakan kewenangan
operasional dalam pengelolaan investasi Pemerintah Pusat sesuai dengan kebijakan
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pusat Investasi Pemerintah berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Menteri Keuangan dimana pembinaan teknis dilakukan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan dan pembinaan administratif dilakukan oleh Sekretaris Jenderal. Pusat
Investasi Pemerintah merupakan instansi yang menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU).
Pembentukan Pusat Investasi Pemerintah tersebut dilaksanakan dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 tanggal 16 Mei 2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah. Organisasi PIP dalam PMK
tersebut dinyatakan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU).
PIP merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) – seperti halnya Khazanah Berhad
di Malaysia dan Temasek Holding di Singapura – Indonesia dan menjadi operator
investasi pemerintah Indonesia. Adapun cakupan sektor investasi PIP meliputi bidang
infrastruktur dan bidang lainnya. Investasi di bidang pembangunan infrastruktur
sebagai salah satu fokus dari PIP, didasarkan pada alasan filosofis bahwa pembangunan
infrastruktur merupakan salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan
dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Infrastruktur juga
berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia,
antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja
dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran dan terwujudnya
stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar, dan
pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja.
Dengan demikian peran PIP dalam bidang pembangunan infrastruktur
diharapkan dapat meningkatkan likuiditas pembiayaan, menstimulasi pertumbuhan
ekonomi dan menyediakan kesempatan lapangan kerja (pro growth, pro job dan pro
poor), serta diharapkan mampu menjadi katalis dalam keterlibatan pihak swasta
bersama pemerintah dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Mitra Investasi
PIP, meliputi : (1) Badan Usaha Milik Negara (BUMN); (2) Pemerintah Daerah; (3)
Badan Layanan Umum (BLU) Lainnya, (4) Sektor Swasta, dan; (5) Lembaga Keuangan
Internasional.
18
20. Melalui Rancangan Bisnis Anggaran (RBA) yang disusun tiap tahunnya, PIP
berusaha mengembangkan instrumen portofolio investasinya. Dana kelolaan akan
dialokasikan pada investasi pinjaman, penyertaan modal, dan surat berharga. Dana ini
berasal dari Rekening Rekening Induk Dana Investasi yang pengelolaannya sesuai
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.05/2008 Tentang Tata Cara
Penyediaan, Pencairan, Dan Pengelolaan Dana Dalam Rekening Induk Dana Investasi.
Sebagai contoh investasi yang dilakukan PIP dalam bentuk investasi langsung adalah
1.
Investasi Pada Pembangunan Jalan dan Jembatan
2.
Investasi Pada Infrastruktur Pengairan
3.
Investasi Pada Pembangunan Sarpras Kesehatan Rumah Sakit
Pendirian PIP sebagai wakil pemerintah dalam mengelola investasi merupakan
langkah strategis untuk menyediakan barang publik sekaligus memanfaatkan kas
negara yang ‘idle’. Sampai saat ini kinerja keuangan PIP termasuk mengesankan. SAL
(Saldo Anggaran Lebih) pada PIP terus bertambah dan diupayakan oleh pemerintah
untuk investasi dalam rangka menjadi katalisator pembangunan.
19
21. BAB IV
PENUTUP
Public Private Partnership atau disingkat PPP atau P3 adalah bentuk perjanjian
jangka panjang antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta.
Pemerintah sebagai wakil rakyat yang memiliki tujuan untuk memberikan
kesejahteraan bagi rakyatnya sangat terbantu dengan kerjasama dengan swasta dalam
penyediaan fasilitas sarana dan prasarana layanan publik.
Namun pun demikian kemitraan pemerintah swasta (KPS) ini juga sudah diatur
dengan berbagai peraturan untuk menghindari terjadinya risiko-risiko yang mungkin
terjadi seperti monopoli oleh pihak swasta. Pemerintah tidak sembarangan dalam
memilih pihak swasta yang akan menyediakan infrastruktur. Pemilihan swasta yang
salah
akan
menyebabkan
gagalnya
proyek
penyediaan
infrastruktur
yang
mengakibatkan gagalnya pembangunan perekonomian masyarakat pada umumnya.
Dengan adanya KPS ini masyarakat tentunya dapat sangat terbantu dalam
memperoleh kenyamanan dan kemudahan penggunaan fasilitas publik. Masyarakat juga
dapat mengambil peran untuk ikut menjaga fasilitas yang sudah diberikan oleh
pemerintah. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan main yang menganut prinsip good
governance dan kompetitif dalam suatu penyelenggaraan PPP/KPS yang baik.
20
22. REFERENSI
1. EAASD, World Bank. “Public-Private Partnership Unit – Lessons for their Design and
Use in Infrastructure”.
2. Asian Development Bank. (2008). Public–Private Partnerships Handbook.Manila.
http://www.apec.org.au/docs/ADB%20Public%20Private%20Partnership%20Han
dbook.pdf
3. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
4. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang perubahan pertama Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan
Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur
5. Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang perubahan kedua Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan
Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur
6. “Bagaimana Aturan Main PPP di Indonesia” http://pppdiindonesia.blogspot.com/
7. Praptono Djunedi. “Implementasi Public-Private Partnerships dan Dampaknya ke
APBN”. Direktorat Jenderal Anggaran. Majalah Warta Anggaran Edisi 6 Tahun 2007.
8. Aidan R. Vining & Anthony E. Boardman. "PublicPrivate Partnerships: Eight Rules for
Governments". Public Works Management & Policy Journal, Vol. 13 No. 2 – October,
2008.
21