Seri Penelitian Administrasi Negara
Bidang Kajian Aparatur, PKP2A III LAN Samarinda
2008
(mendokumentasikan hasil kerja lebih 1 dekade yang lalu, sebagai salah satu legacy agar tetap bisa memberi kemanfaatan bagi publik)
LAPORAN TRIWULAN I _JAN_MRT_PMI SLEMAN 2024 halamn 1-3.pdf
Kajian ”Pola Kemitraan Pemerintah Kota Dengan Swasta Dalam Pembangunan Daerah di Kalimantan
1. vi
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kemitraan antara pemerintah daerah dengan swasta merupakan satu langkah yang bisa
dilakukan dalam rangka menutupi keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah
dalam memberikan pelayanan publik dan pembangunan daerah. Keterbatasan
pemerintah daerah tidak hanya dalam pengertian keterbatasan dana, tetapi juga
keterbatasan jumlah tenaga, kemampuan/keahlian dan pengalaman. Maka untuk
menutupi keterbatasan itu dan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku maka pemerintah daerah bisa melibatkan peran sector
swasta. Berbagai varian model kemitraan bisa dilakukan oleh pemerintah daerah, yang
meliputi 3 kelompok pelayanan publik yaitu pelayanan administratif, pelayanan barang
dan pelayanan jasa.
Penelitian ini mengambil sampel 7 kota di Kalimantan, yaitu Samarinda, Tarakan,
Banjarmasin, Banjarbaru, Palangkaraya, Pontianak, dan Singkawang. Di beberapa
pemerintah kota yang dijadikan sampel penelitian ini, kecenderungan yang terjadi
adalah kemitraan masih sebatas pada pelayanan barang dan pelayanan jasa. Belum ada
kemitraan yang masuk pada ranah pelayanan administrasi. Hal ini disebabkan antara
lain karena sebagian aparat daerah masih beranggapan bahwa kemitraan dengan swasta
adalah dalam pembangunan proyek fisik. Bahkan ada juga daerah/kota yang belum
melakukan kemitraan dengan swasta dalam pelayanan publik dan pembangunan daerah,
yaitu Kota Singkawang. Pertimbangan awal dalam pengambilan sampel yang
difokuskan pada kota ternyata dengan asumsi bahwa di kota lebih banyak pelaku usaha
sehingga kemungkinan terjadi kemitraan lebih besar. Hal tersebut ternyata tidak
terbukti di lapangan karena penerapan kemitraan tidak hanya banyak atau sedikitnya
pelaku usaha swasta tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa factor lain seperti potensi di
daerah yang bisa dimitrakan dan juga komitmen pemerintah daerah dalam melibatkan
sector swasta dalam pembangunan dan pelayanan public.
Kendala lain yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan kemitraan di adanya persyaratan
minimal 5 perusahaan dalam mekanisme tender bagi perusahaan yang akan mengikuti
kerjasama pemanfaatan barang milik daerah, seperti tercantum pada Permendagri No.
17 Tahun 2007 serta terbatasnya prasarana/infrastruktur dasar di daerah, seperti jalan
dan listrik, yang menjadikan pihak swasta enggan untuk melakukan investasi. Maka
untuk mempermudah dan meningkatkan pelaku usaha di daerah diperlukan adanya
revisi terhadap ketentuan yang mensyaratkan jumlah minimal 5 perusahaan dalam
proses tender tersebut, yang tentunya juga memperhatikan Keppres No. 80 tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Juga diperlukan
kebijakan yang memberdayakan dan memberikan kesempatan kepada para pelaku
usaha lokal dalam proses pelayanan public dan pembangunan daerah.
Kemitraan dengan swasta bisa membuka peluang munculnya inovasi dan alih teknologi
di daerah dan ini bisa dijadikan referensi bagi daerah lain dengan tetap memperhatikan
karakteristik masing-masing daerah. Beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari praktek
kemitraan adalah teratasinya sebagian kebutuhan sarana dan prasarana dalam pelayanan
publik yang tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah, dalam hal ini yang menjadi sasaran
utama adalah masyarakat bahwa kemitraan selayaknya bisa membawa kemanfaatan
bagi masyarakat. Manfaat lain adalah bahwa kemitraan bisa digunakan sebagai sarana
partisipasi dan mengembangkan sektor swasta dalam pembangunan daerah, sebagai
2. vii
upaya pengembangan perekonomian daerah, berpeluang membuka peluang penyerapan
tenaga kerja, sebagai media pembelajaran dan alih teknologi bagi daerah serta sebagai
upaya dalam meningkatkan pendapatan daerah. Namun dari 12 praktek kemitraan yang
ada di beberapa kota di Kalimantan, ternyata masih minim inovasi, karena kemitraan
yang dilakukan pada umumnya adalah proyek yang sudah biasa, dan sebenarnya bisa
dilakukan tanpa adanya kemitraan. Kecuali satu kemitraan yang cukup inivatif adalah
pembanguan bersih dalam pengelolaan sampah yang dilakukan di Kota Pontianak.
Proyek ini merupakan implementasi Protokol Kyoto dan memerlukan teknologi tinggi.
Dalam proyek kemitraan ini, pengelolaan sampah kota dilakukan dengan
memanfaatkan gas yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah menjadi energi
(waste to energy) sehingga mengurangi pelepasan gas metan di udara yang merupakan
gas penyebab rumah kaca.
Dari 12 praktek kemitraan itu bisa dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis pekerjaan
yang dilakukan dalam proyek-proyek kemitraan di Kalimantan yaitu pembangunan,
renovasi dan pengelolaan. Pekerjaan pembangunan dan renovasi yang dimitrakan
dalam hal ini merupakan pengadaan atau perbaikan fasilitas publik. Sedangkan
pengelolaan merupakan pelaksanaan atau operasionalisasi proyek yang dimitrakan.
Secara umum pemerintah mengambil peran sebagai regulator, pemberi dukungan akses
dan penyedia lahan dalam. Sedangkan pihak swasta sebagai investor dan
operasionalisasi proyek. Namun pemerintah bisa juga ikut terlibat dalam operasional,
seperti pada proyek pembangunan bersih dalam pengelolaan sampah di Kota Pontianak,
pemerintah kota ikut terlibat dalam pengangkutan sampah ke tempat pengolahan
sampah. Dan peran swasta dalam operasionalisasi adalah pengelolaan lebih lanjut
setelah sampah tersebut tiba di tempat pengolahan.
Dengan mempertimbangkan kendala yang dihadapi oleh daerah dalam pelaksanaan
kemitraan maka disamping merevisi kebijakan tentang persyaratan minimal jumlah
peserta tender, disarankan juga agar dilakukan beberapa hal, yaitu pertama bahwa
kemitraan antara pemerintah daerah dengan swasta perlu dikembangkan tidak hanya
dalam pelayanan barang dan jasa tetapi juga dalam pelayanan administratif, misalnya
proses uji kendaraan bermotor. Kedua, perlu disusun standar kualitas pelayanan publik
yang akan dimitrakan, terutama untuk pelayanan administratif. Ketiga, meningkatkan
kemitraan yang juga melibatkan usaha kecil menengah agar lebih berkembang serta
masyarakat, seperti pengelolaan ruang publik kota, kawasan pantai, dan sebagainya.
Keempat, perlu diperjelas hak dan kewajiban masing-masing, termasuk juga profit
sharing dan resiko yang mungkin timbul dalam setiap praktek kemitraan untuk
meminimalkan kemungkinan terjadinya perselisihan. Kelima, pemerintah harus bisa
memilih mitra yang tepat, memiliki integritas, pengalaman dan track record yang baik.
Keenam, pemerintah daerah perlu menyusun sebuah detail management design
program kemitraan sebagai panduan yang mengatur tentang perencanaan, pengadaan,
penganggaran, pengelolaan, kepemilikan, dan sebagainya. Ketujuh, menyederhanakan
prosedur dan birokrasi daerah untuk mempermudah pelayanan investasi pelaku usaha.
Kedelapan, memperbaiki prasarana/infrastruktur dasar di daerah, seperti jalan,
jembatan, listrik, dan sebagainya. Dan kesembilan, bahwa daerah perlu meningkatkan
sosialisasi dan promosi potensi daerah yang berpeluang dimitrakan dengan swasta.
Akhirnya, kemitraan yang pertimbangan awalnya merupakan upaya mencari solusi
terhadap keterbatasan sumber daya pemerintah dalam pembangunan dan pelayanan
publik maka pemerintah perlu lebih aktif dan membuka diri untuk melibatkan swasta
dalam proses pembangunan daerah.
3. ii
KATA PENGANTAR
Pelibatan masyarakat khususnya dunia usaha atau swasta dalam penyelenggaraan
pembangunan sebenarnya sejalan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan prinsip tata
kepemerintahan yang baik atau good governance yang dewasa ini telah menjadi trend atau
kecenderungan global sebagai model dalam penyelenggaraan pemerintahan secara umum
dimana konsep tersebut menekankan bahwa penyelenggaraan kepemerintahan negara harus
merupakan keseimbangan interaksi dan keterlibatan antara pemerintah, dunia usaha (swasta),
dan masyarakat (civil society).
Dalam pidato pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional
(Musrenbangnas) Tahun 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa
dengan adanya financial gap dimana kebutuhan anggaran untuk pembangunan yang besar
sedangkan kemampuan pemerintah sangat terbatas maka dibutuhkan peran serta swasta, baik
dari swasta lokal, nasional maupun asing dalam proses pelaksanaan pembangunan. Dan
pemerintah bertekad untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada swasta dalam
negeri. Lebih jauh Presiden menegaskan bahwa pola pikir selama ini hanya pemerintah yang
menjadi pelaku dan bertanggung jawab melakukan sendiri semuanya atas kegiatan
pembangunan perlu diubah. Karena pelaku pembangunan bukan hanya pemerintah, tetapi
meliputi 5 (lima) plus 1 (satu). Yakni (1) Pemerintah, (2) Pihak Legislatif, (3) Swasta, (4)
Masyarakat, dan (5) Akademisi sebagai think tank pembangunan, serta (6) Partner (mitra)
internasional. Dan ke depan pemerintah hanya berperan sebagai pembuat kebijakan,
peraturan, dan fasilitator. Sedangkan peran swasta harus tumbuh dalam berbagai sektor
pembangunan, sebagaimana terjadi di negara yang telah maju, peran swasta lebih besar
daripada peran pemerintah.
Kemudian seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah maka perlu kiranya melibatkan peran
serta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah. Pembanguan bukan hanya
dalam konteks pembangunan fisik tetapi juga pembangunan non fisik, seperti pembangunan
SDM, peningkatan kualitas pelayanan publik dan sebagainya. Maka kajian ”Pola Kemitraan
Pemerintah Kota Dengan Swasta Dalam Pembangunan Daerah di Kalimantan” ini
diharapkan bisa menggambarkan kemitraan yang telah dilakukan di daerah serta menggali
berbagai potensi daerah dan kemungkinan pola-pola kemitraan yang potensial untuk bisa
diterapkan di daerah sesuai dengan karakterisitik masing-masing daerah.
Akhirnya, kami berharap semoga hasil kajian ini bisa memberikan setetes kontribusi
pemikiran bagi pembangunan daerah khususnya di Kalimantan.
Samarinda, Desember 2008
PKP2A III
Lembaga Administrasi Negara
4. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
RINGKASAN EKSEKUTIF vi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Kerangka Berpikir
D. Ruang Lingkup
E. Tujuan dan Kegunaan
F. Target/Hasil yang Diharapkan
G. Metode Penelitian
H. Jangka Waktu dan Tahapan Penelitian
1
2
3
6
6
7
7
8
BAB II KERANGKA TEORITIS KEMITRAAN ANTARA PEMERINTAH
DAERAH DENGAN SWASTA
9
A. Kemitraan Pemerintah dan Swasta
B. Bentuk-Bentuk Kemitraan
C. Pra Kondisi Penerapan Kemitraan
D. Model-Model Kelembagaan Kemitraan
9
12
16
26
BAB III PRAKTEK KEMITRAAN ANTARA PEMERINTAH DAERAH DAN
SWASTA DI BEBERAPA KOTA
32
A. Potret Kemitraan di Beberapa Kota
B. Kecenderungan Kemitraan di Daerah
C. Manfaat dan Kendala Kemitraan di Daerah
32
116
119
BAB IV PENUTUP 120
A. Kesimpulan
B. Saran
120
120
DAFTAR PUSTAKA 122
***
5. iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kota-kota Sampel Kajian
Tabel 2.1. Perbedaan Antar Tipe Kemitraan 13
Table 2.2. Model ragam kemitraan 15
Tabel 2.3. Contoh Analisis Prospek Restrukturisasi Fungsi Pelayanan Kebersihan 20
Table 2.4. Contoh Analisis Prospek Restrukturisasi Fungsi Pelayanan Pekerjaan
Umum
22
Tabel 2.5. Tingkat Intervensi Pemerintah Terhadap Jenis Barang 25
Tabel 2.6. Perbandingan Manfaat dan Resiko Kemitraan Pemerintah - Swasta 26
Tabel 2.7. Pilihan Model Kelembagaan Pengelola Layanan Publik dan
Karakteristiknya
29
Tabel 3.1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Samarinda Menurut Sektor Tahun
2000-2004
33
Tabel 3.2. Volume Sampah di Kota Tarakan 50
Tabel 3.3. Jumlah Penduduk dan Rata-Rata Pertumbuhan Penduduk Tahun 1990 –
2006
59
Tabel 3.4. Jumlah Penduduk dan Kepadatannya Berdasarkan wilayah per Kecamatan 60
Tabel 3.5. Pertumbuhan PDRB Kota Banjarbaru Tahun 2005-2007 69
Tabel 3.6. Distribusi Persentase PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga
Berlaku Kota BanjarbaruTahun 2005-2007
69
Tabel 3.7. Tingkat Penggunaan Lahan Terhadap Luasan Kota Palangka Raya 73
Tabel 3.8. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Kota Palangka
Raya
74
Tabel 3.9. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga
Berlaku Kota Palangka Raya
77
Tabel 3.10. PDRB Kecamatan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2006 ( Harga
Konstan)
83
Tabel 3.11. PDRB Kecamatan Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2002-2006 (Harga Berlaku)
84
Tabel 3.12. Jumlah Pedagang dan PKL ditiap Pasar Tradisional di Kota Pontianak
Tahun 2005
86
Tabel 3.13. Penertiban Pedagang Kaki Lima Periode 2002-2005 86
Tabel 3.14. Pasar /Kawasan Yang di Peruntukkkan Untuk Menampung PKL 88
Tabel 3.15. Perbandingan Data Inti Kependudukan Kota Singkawang dan Provinsi
Kalimantan Barat
107
Tabel 3.16. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Tahun 2006 108
Tabel 3.17. Persentase Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Tahun 2004-2006 109
Table 3.18 Peran Pemerintah dan Swasta Dalam Praktek Kemitraan 116
6. v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Karakteristik Good Governance 3
Gambar 1.2. Komponen Good Governance 4
Gambar 2.1. Tipe-Tipe Public Private Partnership 12
Gambar 2.2. Alur Penalaran Strategis Kebijakan Kemitraan Penyelenggaraan
Pelayanan Umum (Prior Option Review)
19
Gambar 2.3. Klasifikasi Barang Publik dan Privat 25
Gambar 3.1. Skema Kemitraan Pemkot Samarinda dengan PT. PI IV 38
Gambar 3.2. Skema Kerja Sama dan Alur Keuangan 40
Gambar 3.3. Diagram Tingkat Pendapatan Regional Perkapita dan Laju
Pertumbuhannya Atas Dasar Harga Berlaku di Kota Palangka Raya
76
Gambar 3.4. Model/Pola Pembiayaan PER 110
7. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah daerah pada saat ini memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar
dalam pembangunan daerah setelah penerapan otonomi berdasarkan UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini merupakan koreksi atas pola sentralisasi yang
dilakukan dalam proses pelaksanaan pembangunan selama Orde Baru. Namun ternyata
berbagai permasalahan seringkali dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan di daerahnya. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh
pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam menjalankan kegiatan pembangunan di
daerah adalah keterbatasan sumber daya yang dimiliki, yaitu keterbatasan
anggaran/dana dan sumber daya manusia. Hal tersebut tidak sesuai dengan semakin
besarnya tuntutan masyarakat terhadap peningkatan kualitas pembangunan. Di sisi lain,
untuk daerah-daerah tertentu terutama untuk daerah-daerah yang dianggap kaya ke
depan akan mengalami penurunan jumlah pendapatan yang disebabkan oleh kebijakan
pengurangan Dana Alokasi Umum (DAU).
Selain pembiayaan pembangunan yang bersifat rutin, peningkatan kualitas pelayanan
kepada masyarakat dewasa ini juga dituntut lebih baik. Hal ini kemudian berimplikasi
kepada bertambahnya tanggung jawab yang ditangani oleh permerintah daerah terutama
dalam penyediaan fasilitas (sarana dan prasarana) pelayanan umum. Tentunya hal
tersebut juga berimplikasi kepada peningkatan alokasi sumber daya yang harus
disediakan.
Keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi tersebut diatas, baik dari segi anggaran
maupun sumber daya lainnya menuntut pemerintah khususnya pemerintah di daerah
untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat luas dalam proses penyelenggaraan
pembangunan. Adapun komponen masyarakat yang memungkinkan untuk berpartisipasi
dalam penyelengaraan pembangunan tersebut terutama adalah masyarakat dunia usaha
atau swasta.
Pelibatan masyarakat khususnya dunia usaha atau swasta dalam penyelenggaraan
pembangunan sebenarnya sejalan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan prinsip
tata kepemerintahan yang baik atau good governance yang dewasa ini telah menjadi
trend atau kecenderungan global sebagai model dalam penyelenggaraan pemerintahan
secara umum dimana konsep tersebut menekankan bahwa penyelenggaraan
kepemerintahan negara harus merupakan keseimbangan interaksi dan keterlibatan antara
pemerintah, dunia usaha (swasta), dan masyarakat (civil society).
Dalam pidato pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional
(Musrenbangnas) Tahun 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan
bahwa dengan adanya financial gap dimana kebutuhan anggaran untuk pembangunan
yang besar sedangkan kemampuan pemerintah sangat terbatas maka dibutuhkan peran
serta swasta, baik dari swasta lokal, nasional maupun asing dalam proses pelaksanaan
pembangunan. Dan pemerintah bertekad untuk memberikan peluang yang lebih besar
kepada swasta dalam negeri. (http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/0405/14/0104.htm).
8. 2
Lebih jauh Presiden menegaskan bahwa pola pikir selama ini hanya pemerintah yang
menjadi pelaku dan bertanggung jawab melakukan sendiri semuanya atas kegiatan
pembangunan perlu diubah. Karena pelaku pembangunan bukan hanya pemerintah,
tetapi meliputi 5 (lima) plus 1 (satu). Yakni (1) Pemerintah, (2) Pihak Legislatif, (3)
Swasta, (4) Masyarakat, dan (5) Akademisi sebagai think tank pembangunan, serta (6)
Partner (mitra) internasional. Dan ke depan pemerintah hanya berperan sebagai pembuat
kebijakan, peraturan, dan fasilitator. Sedangkan peran swasta harus tumbuh dalam
berbagai sektor pembangunan, sebagaimana terjadi di negara yang telah maju, peran
swasta lebih besar daripada peran pemerintah.
Kemudian untuk mendorong keterlibatan swasta dalam pembangunan, pemerintah
menetapkan tiga kebijakan utama, yakni membangun dasar hukum yang kuat untuk
mengurangi ketidakpastian berusaha, menghapus regulasi yang menghambat kompetisi
bebas, dan mengembangkan kebijakan penentuan harga oleh pasar.1
Di kota-kota metropolitan dan kota-kota besar, kontribusi swasta dan masyarakat dalam
kegiatan pembangunan perkotaan di berbagai sektor bisa mencapai 60-70 persen bahkan
lebih. Namun pelibatan dunia usaha (swasta) dalam penyelenggaraan pembangunan di
daerah masih belum optimal diterapkan. Padahal jika memperhatian berbagai
keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, pola kerjasama tersebut sangat
strategis dan memungkinkan untuk di terapkan oleh pemerintah daerah, terutama
pemerintah kota dimana keberadaan dan kemampuan dunia usaha (swasta) cukup
memadai.
Pelaksanaan kemitraan di tingkat pusat telah dirintis sejak awal tahun 1990-an, dan telah
menghasilkan pelaksanaan kemitraan di bidang pembangunan dan pengelolaan jalan tol,
pelayanan kesehatan, pembangunan dan pengelolaan pasar, pengelolaan taman umum,
pengelolaan sampah dan air limbah, serta pengelolaan air bersih.
Memperhatikan kondisi tersebut diatas, maka dipandang perlu adanya suatu kajian
mengenai kemitraan antara pemerintah daerah, yaitu pemerintah kota dengan sektor
swasta dalam pembangunan daerah di Kalimantan. Kajian ini mengambil judul: ”Pola
Kemitraan Pemerintah Kota Dengan Swasta Dalam Pembangunan Daerah di
Kalimantan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan
yang terkait dengan kemitraan pemerintah kota dengan swasta dalam pembangunan
daerah, sebagai berikut:
1. Keterbatasan kemampuan dan sumber daya pemerintah daerah khususnya dari segi
anggaran dalam melaksanakan pembangunan daerah.
1
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/11/ekonomi/2572782.htm
9. 3
2. Belum optimalnya pelibatan sektor swasta dalam penyelenggaraan pembangunan di
daerah.
3. Belum adanya pola pelibatan pihak swasta yang dapat dijadikan sebagai rujukan
oleh pemerintah daerah dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
oleh daerah.
C. Kerangka Berpikir
Dalam proses pelaksanaan pembangunan daerah dan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kepada publik, pemerintah daerah perlu melibatkan peranan sektor swasta.
Pelibatan masyarakat dan swasta dalam pembangunan daerah sesuai dengan
karakteristik penerapan good governance (tata pemerintahan yang baik). United Nations
Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (Unescap) merumuskan
delapan karakterisitik dalam penerapan tata pemerintahan yang baik yaitu adanya
partisipasi publik, penghormatan aturan hukum, transparansi, responsif, berorientasi
konsensus, kesamaan/keadilan dan keterbukaan, efisiensi dan efektifitas, serta
akuntabilitas (UNESCAP, 2008). Ke delapan karakteristik itu bisa digambarkan dalam
model sebagai berikut:
Gambar 1.1.
Karakteristik Good Governance
1. Partisipasi, artinya bahwa orang yang terkena dampak suatu kebijakan harus
dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
2. Penghormatan atas aturan hukum, bukan atas dasar kekuasaan atau kepentingan
kelompok elit politik. Dengan demikian harus ada aturan hukum yang jelas.
3. Efektifitas dan Efisiensi, yaitu adanya pemanfaatan segala sumber daya secara
optimal
4. Keadilan/kesamaan dan Keterbukaan, yaitu adanya akses yang sarna bagi setiap
orang terhadap kesempatan dan aset.
Consensus Oriented Accountable
Partcipatory
Folows the
Rule of Law
Effective and Efficient Equity and Inclusiveness
Responsive
Transparent
Sumber: UNESCAP, 2008
GOOD
GOVERNANCE
10. 4
5. Responsif, yaitu tanggap terhadap kebutuhan orang dan stakeholders.
6. Transparan, yaitu adanya informasi yang luas atas suatu program;
7. Akuntabilitas, yaitu pengambilan keputusan oleh pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat umum dan
seluruh stakeholders;
8. Berorientasi pada Konsensus, yaitu bahwa perbedaan kepentingan harus
dimusyawarahkan untuk mencipakan kepentingan orang banyak.
Untuk mewujudkan praktek good governance dalam lembaga pemerintah harus
ditopang oleh tiga pilar atau komponen yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat.
Pemerintah memainkan peran menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan
hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam governance. Dunia usaha swasta
berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pendapatan. Masyarakat berperan dalam
penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik. Ketiga unsur tersebut dalam
memainkan perannya masing-masing harus sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam tata kepemerintahan yang baik.
Gambar 1.2.
Komponen Good Governance
Bentuk keterlibatan sektor swasta tersebut adalah dalam konsep kemitraan antara
pemerintah daerah (kota) dan swasta (Kerjasama Pemerintah dan Swasta, KPS) atau
public-private partnership (PPP) yang diterapkan terhadap program-program
pemerintah yang masih terkait dengan penyelenggaraan pelayanan umum tertentu. KPS
atau PPP tersebut diterapkan karena sumber daya pemerintah terbatas sehingga
pemerintah tidak mampu membiayai sepenuhnya progam tersebut, atau akan lebih
efisien apabila diselenggarakan dengan melibatkan swasta.
Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelengaraan
Pelayanan Publik mengelompokkan pelayanan umum menjadi 3 (tiga) kelompok
sebagai berikut:
a. Kelompok Pelayanan Administratif yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status
kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap
suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik
11. 5
Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspior, Sertifikat
Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.
b. Kelompok Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon,
penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.
c. Kelompok Pelayanan Jasa yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa
yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan,
penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya.
Kemudian dalam kajian ini, pelayanan umum yang dimitrakan adalah pelayanan-
pelayanan umum yang menjadi kewenangan pemerintah kota dan yang memungkinkan
untuk dilakukan kerjasama dengan swasta. Terkait dengan itu, keterlibatan sektor swasta
dalam proses pembangunan daerah dalam bentuk KPS atau PPP tersebut setidaknya
mempunyai beberapa alasan pertama adalah sebagai alternatif untuk menyelesaikan
masalah keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah, yaitu anggaran pemerintah
dalam menyediakan pelayanan publik. Kedua, keterlibatan atau partisipasi swasta
merupakan bentuk kontribusi sektor swasta dalam pembangunan daerah. Ketiga,
keterlibatan sektor swasta bisa menciptakan transparansi dalam proses pembangunan di
daerah. Dan keempat, pelibatan sektor swasta dalam pembangunan daerah merupakan
upaya untuk menumbuhkan sektor swasta agar bisa lebih berkembang.
Ke depan peran pemerintah akan semakin berkurang, dan peran swastalah yang justru
menjadi lebih besar dalam menggerakkan perekonomian dan pembangunan. Pemerintah
lebih menjalankan fungsi regulator dan fasilitator yang mengarahkan proses dan tujuan
pembangunan, dan tidak lagi menjalankan pekerjaan mengayuh.2
Pemerintah tidak lagi
menjadi inisiator maupun operator dalam pembangunan. Selanjutnya peran inisiator dan
operator harus dilakukan oleh masyarakat dan kalangan usaha swasta. Dengan
demikian, masyarakat bukan lagi sekedar menjadi obyek tetapi menjadi subyek
pembangunan.
Kemitraan didasari atas hubungan antar pelaku yang betumpu pada ikatan usaha yang
saling menunjang dan saling menguntungkan, serta saling menghidupi berdasarkan asas
kesetaraan dan kebersamaan. Dalam kaitannya dengan hal ini, di samping sharing
keuntungan, melekat juga resiko yang ditanggung bersama atau sharing resiko.
Kemitraan dalam pembangunan pada dasarnya mengandung hakekat keadilan dalam
perolehan keuntungan. Namun demikian, pemerintah tetap harus mengambil prakarsa
paling tidak untuk menciptakan iklim yang mendorong bagi usaha kemitraan, yaitu:3
a. Mengembangkan kebijakan dan strategi pembangunan yang jelas, tercermin pada
tujuan, arah dan indikator-indikator (policy indicators)
b. Menetapkan prioritas pembangunan yang realistis dan diikuti oleh semua pihak, baik
pemerintah maupun dunia usaha dan masyarakat. Maka diperlukan kesepakatan di
antara berbagai pelaku pembangunan tersebut, yaitu melalui forum dialog.
2
David Osborne & Ted Gaebler, 2005, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta: PPM
3
Ginandjar Kartasasmita, Kemitraan dalam Pembangunan Nasional,
http://www.ginandjar.com/public/02KemitraanDalamPembangunanNasional.pdf dikutip tanggal 1 Maret 2008
12. 6
c. Memantapkan mekanisme komunikasi yang lancar dan transparan, dan dalam
kaitannya dengan tingkat partisipasi, maka sejak tahap awal mekanisme kemitraan
yang transparan harus dikembangkan dan dimantapkan.
d. Mengembangkan pilihan-pilihan atas pola-pola kemitraan yang dapat mencakup
kepentingan-kepentingan yang ada di berbagai lapisan dan golongan masyarakat
luas.
e. Menyiapkan rencana pengembangan kemitraan yang mencakup rencana investasi
pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan.
f. Menyiapkan kerangka peraturan dan arahan serta pedoman yang dapat dijadikan
acuan bagi swasta dan menjamin kepastian usaha.
Namun demikian pola kemitraan tidak bisa diperlakukan secara seragam antara satu
daerah dengan daerah lain. Untuk itu perlu dicari pola-pola kemitraan yang paling sesuai
dengan daerah yang bersangkutan. Demikian juga tentang jenis dan mekanisme sharing
yang bisa dilakukan, karena kemitraan bukan hanya menyangkut sharing keuntungan
tetapi juga sharing resiko.
D. Ruang Lingkup
Kajian ini dilakukan untuk melihat pola-pola pelibatan swasta dalam proses
pembangunan daerah di perkotaan. Dengan asumsi bahwa di daerah perkotaan,
industrialisasi dan usaha-usaha swasta tumbuh lebih banyak daripada di daerah
kabupaten. Kemudian fokus kajian ini diarahkan kepada dua kelompok responden yaitu
aparatur pemerintah kota dan kalangan usaha swasta.
Sedangkan wilayah jangkauan atau locus yang menjadi kajian ini adalah meliputi 7
(tujuh) wilayah pemerintah kota yang tersebar di 4 propinsi di Kalimantan, seperti pada
tabel berikut:
Tabel 1.1.
Kota-kota Sampel Kajian
E. Tujuan dan Kegunaan
Kajian ini dapat diharapkan mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kemitraan antara pemerintah kota dengan
swasta dalam pembangunan daerah
2. Untuk mengidentifikasi optimalisasi (efektifitas dan kendala) kemitraan pemerintah
kota dengan swasta dalam pembangunan daerah
No Wilayah Daerah Sampel
1. Kalimantan Timur 1. Kota Samarinda
2. Kota Tarakan
2 Kalimantan Barat 3. Kota Pontianak
4. Kota Singkawang
3 Kalimantan Tengah 5. Kota Palangkaraya
4 Kalimantan Selatan 6. Kota Banjarmasin
7. Kota Banjarbaru
13. 7
3. Untuk merumuskan rekomendasi pola-pola kemitraan dengan swasta dalam
pembangunan daerah yang mungkin diterapkan oleh pemerintan kota.
Sedangkan kegunaan dari kajian ini yaitu tercapainya optimalisasi penyelenggaraan
pembangunan di daerah dengan melibatkan dunia usaha (swasta), yang pada akhirnya
akan terwujudnya prinsip-prinsip penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik (good
governance) dan percepatan pembangunan di daerah dapat tercapai. Kemudian hasil
kajian ini diharapkan bisa menjadi referensi bagi pemerintah kota daerah dalam
merumuskan pola-pola kemitraan yang sesuai dengan kondisi daerahnya masing-
masing.
F. Target / Hasil yang diharapkan
Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya sebuah laporan yang
berisi tentang permasalahan, kondisi dan arah kebijakan pemerintah daerah dalam
menerapkan pola kemitraan antara pemerintah kota dengan swasta dalam
penyelenggaraan pembangunan daerah.
G. Metode Penelitian
1. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Peneliti
menguraikan bagaimana proses pengambilan kebijakan kemitraan dilakukan, siapa
aktor-aktor yang terlibat, bagaimana pola-pola kemitraan yang diterapkan, profit
sharing, konsekuensi apabila terjadi kerugian (sharing resiko) serta tindak lanjut
operasionalisasi dan sustainability program kemitraan. Penelitian kualitatif
menitikberatkan kreatifitas berpikir peneliti sebagai alat untuk mengolah data-data,
baik data-data kualitatif maupun data-data kuantitatif.
2. Responden
Responden penelitian ini terdiri atas 2 (pihak) key informen. Pihak pertama adalah
aparat pemerintah kota yang relevan dan terlibat dalam proses pengambilan
kebijakan dan operasionalisasi pembangunan daerah, yaitu Walikota, Sekretaris
Kota, Asisten II atau Kepala Bappeda. Dan pihak yang kedua adalah para pelaku
usaha kemitraan.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Kuesioner
Penyebaran angket/kuesioner kepada para responden untuk mengetahui
pelaksanaan/praktek penyelenggaraan kemitraan di lapangan.
b. Interview
Interview atau wawancara yaitu penggalian data melalui metode tanya jawab
dengan para key informen yang terkait dengan proses kemitraan. Wawancara
dilakukan sebagai konfirmasi dan untuk menggali informasi secara lebih
mendalam terhadap kebijakan dan implementasi kemitraan.
c. Data Sekunder
Data sekunder adalah data-data kualitatif maupun kuantitatif yang ada berupa
buku, jurnal, laporan, dokumen, laporan media dan sebagainya yang
14. 8
menginformasikan kondisi eksisting kemitraan pelayanan publik di daerah yang
menjadi lokus kajian. Data sekunder bisa menjadi data pendukung dan
pelengkap bagi peneliti dalam melakukan analisis.
Untuk menentukan responden dalam penyebaran kuesioner dilakukan dengan
metode snowball. Yaitu dengan terlebih dulu melakukan interview terhadap para key
informen di tingkat Pemerintah Kota (Walikota, Sekretaris Kota, Asisten II atau
Kepala Bappeda). Informasi dari para key informen tersebut menjadi petunjuk untuk
melakukan penyebaran kuesioner dan interview selanjutnya kepada para pelaku
kemitraan.
H. Jangka Waktu dan Tahapan Penelitian
Pelaksanaan kajian ini direncanakan memerlukan waktu selama 1 tahun anggaran yakni
periode Januari – Desember 2008, dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Tahapan I: persiapan penelitian yang meliputi penyusunan proposal penelitian atau
term of reference (TOR) dan instrumen penelitian (questionnaire); penetapan lokasi
dan sampel penelitian; penyempurnaan desain penelitian (reseacrh design); serta
persiapan administratif lainnya (pembentukan tim, rapat-rapat pembahasan, rencana
survei lapangan, persuratan, dll).
b. Tahapan II: kegiatan pengumpulan dan penggalian data-data di lapangan melalui
kuesioner, wawancara dan pengumpulan data-data sekunder dari responden mapun
dari sumber lain.
c. Tahapan III: kegiatan analisis terhadap data-data yang diperoleh dari lapangan. Jika
masih diperlukan, data aktual yang terolah perlu dilakukan klarifikasi ulang ke lokus
penelitian untuk memperoleh akurasi informasi, sehingga analisis dapat dijamin
lebih akurat.
d. Tahapan IV: penyusunan laporan penelitian. Hasil analisis dalam bentuk draft
laporan akhir diseminarkan untuk memperoleh pandangan dan pengukuhan para
pakar, selanjutnya disusun laporan akhir dan dilakukan pencetakan untuk dijadikan
bahan pengambilan keputusan, pegangan konsultasi manajemen kebijakan di daerah,
serta pegangan bagi daerah obyek penelitian.
***
15. 10
BAB II
KERANGKA TEORITIS KEKEMITRAAN ANTARA
PEMERINTAH DENGAN SWASTA
A. Kemitraan Pemerintah Dan Swasta
Kemitraan adalah kerjasama yang saling menguntungkan antara dua pihak atau lebih
untuk mencapai tujuan tertentu. Praktek kemitraan bisa diwujudkan apabila ada
kepentingan yang saling bertemu dalam suatu obyek yang dijadikan sebagai media
serta kesepakatan terhadap pembagian atau sharing hasil dari kerjasama tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemitraan diartikan sebagai hubungan
kerjasama sebagai mitra. Sedangkan istilah mitra sendiri diartikan sebagai sahabat,
teman; kawan kerja, pasangan kerja.1
Kemitraan bisa dilakukan dalam unit yang kecil
seperti antar individu, atau unit yang lebih besar seperti antar lembaga/organisasi.
Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah
Good Governance begitu popular. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang
menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Bahkan dalam
pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good
Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat.
Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa
oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu
dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai
kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau
organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian
kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret
demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas
demokrasi itu sendiri.
Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh berbagai pihak.
Seperti yang didefinikan oleh World Bank dalam MTI, 2008: Good Governance
adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung
jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran
salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Komite Nasional Kebijakan Governance mengemukakan, secara umum paling tidak
ada beberapa karakteristik yang melekat dalam praktek good governance. Pertama,
praktek good governance harus memberi ruang kepada pihak diluar penyelenggara
negara untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara
mereka. Kedua, dalam praktek good governance terkandung nilai-nilai yang membuat
penyelenggara negara maupun swasta dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan
1
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Press, tanpa tahun
16. 11
kesejahteraan rakyat. Ketiga, praktek good governance adalah praktek bernegara yang
bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik.
Dengan berkembangnya paradigma governance, pola hubungan antar sektor (publik –
privat) dan juga hubungan Pusat – Daerah berubah menjadi lebih sejajar (egaliter) dan
demokratis. Dengan kondisi ini, redefinisi terhadap para pelaku penyelenggara
pemerintahan menjadi sangat penting. Reposisi dan pergeseran peran pemerintah yang
semula memegang kendali utama pemerintahan yang cenderung mengatur dan
mendikte mau tidak mau akan bergeser ke arah peran yang hanya memfasilitasi
(fasilitator). Demikian juga dengan peran dunia usaha dan pemilik modal yang selama
ini berupaya mengurangi otoritas negara dan dinilai cenderung menghambat perluasan
aktifitas bisnis, harus mulai menyadari akan pentingnya regulasi yang melindungi
kepentingan publik. Sementara masyarakat yang selama ini menjadi penerima manfaat,
kini harus menyadari bahwa eksistensinya sebagai pemilik kepentingan sekaligus
sebagai pelaku utama.
Untuk menjembatani terakomodasinya semua kepentingan baik dari sudut pandang
pemerintah maupun masyarakat dan dunia usaha maka penyelenggaraan jasa layanan
atau fungsi pemerintahan tertentu tidak lagi di dominasi oleh satu pihak (cq.
Pemerintah). Ini berarti pula bahwa proses kemitraan dan kerjasama antara pemerintah
dengan masayrakat dan dunia usaha atau yang lebih dikenal dengan Public Private
Partnership (PPP) harus lebih digalakkan. PPP adalah kerjasama yang dilakukan oleh
pemerintah dengan perusahaan swasta dalam pembangunan mulai dari proses
perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, hingga pengoperasiannya. Kemitraan
dilakukan untuk mengoptimalkan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah.
Bagi swasta sebagai pelaku ekonomi, praktek kemitraan dengan pemerintah
merupakan wujud kontribusi swasta dalam membangun.
Lebih jauh, definisi tentang PPP juga dikemukanan oleh Vincent, dimana dia
menyatakan yang dimaksud dengan PPP atau suatu aktifitas bisa kategorikan sebagai
sebuah bentuk PPP yaitu;
… if there is interaction between government and business, the focus in achieving
convergent objectives is synergy the objective have both social and commercial
characteristics, and the respective identities and responsibilities of the parties
involved remain intact. (Vincent, 1993, hal 119-130)
Secara sederhana ciri-ciri dari sebuahbentuk PPP dikemukakan oleh Wahyudi, 1999,
diantaranya yaitu :
• Terdapat dua pelaku yang terlibat, yakni pemerintah dan swasta;
• Keduanya bekerjasama sebagai mitra, dalam hal ini tidak ada pihak yang bersifat
membawahi pihak lain;
• Adanya tujuan bersama berdasarkan komitmen yang hendak dicapai;
• Setiap tujuan bersama berdasarkan komitmen tanggungjawab sendiri;
• Setiap pihak memberikan input, bisa finansial atau sumber daya lainnya;
• Kedua belah pihak bersedia menanggung resiko;
17. 12
• Pembagian keuntungan berdasarkan pertimbangan input yang diberikan (share)
dalam kesepakatan perjanjian.
PPP merupakan pengaturan antara pemerintah dan sektor swasta untuk menyediakan
berbagai jenis pelayanan publik, seperti pembangunan infrastruktur, penyediaan
fasilitasfasilitas komunitas, dan berbagai jenis pelayanan lainnya. PPP bercirikan
adanya pembagian investasi, risiko, pertanggungjawaban, dan penghargaan antara
pemerintah dengan sector swasta yang menjadi mitranya. Alasan yang
melatarbelakangi lahirnya model tersebut umumnya berkaitan dengan pembiayaan,
perancangan, konstruksi, operasionalisasi, dan pemeliharaan pelayanan infrastruktur.
Dengan adanya kemitraan, maka kelebihan yang dimiliki oleh pemerintah maupun
sektor swasta dapat dipadukan. Peran dan pertanggungjawaban dari kemitraan bisa
beragam, bisa jadi peran pemerintah lebih banyak atau sebaliknya, peran swastalah
yang lebih banyak dalam suatu bentuk kemitraan. Namun, peran pemerintah yang kuat
dan efektif tetap diperlukan dalam pembuatan kebijakan. Pemerintah tetap menjadi
pihak yang bertanggung jawab dan akuntabel untuk menjamin kualitas pelayanan
publik.
Pada prinsipnya, dalam PPP, terdapat dua pelaku yang terlibat, yakni pemerintah dan
swasta. Keduanya bekerjasama sebagai mitra, dalam hal ini tidak ada pihak yang
bersifat membawahi pihak lain. Dalam PPP ada tujuan bersama berdasarkan komitmen
yang hendak dicapai, dan berdasarkan komitmen tanggungjawab sendiri. Setiap pihak
memberikan input, bisa finansial atau sumber daya lainnya. Kedua belah pihak
bersedia menanggung risiko dan pembagian keuntungan berdasarkan pertimbangan
input yang diberikan (share) dalam kesepakatan perjanjian.
B. Bentuk – Bentuk Kemitraan
Terdapat sejumlah tipe kemitraan (PPP) yang didasarkan pada derajat risiko yang
ditanggung kedua belah pihak; jumlah keahlian yang diperlukan dari setiap pihak
untuk menegosiasikan perjanjian; serta implikasi yang muncul dari hubungan tersebut.
Berikut ini gambaran singkat mengenai berbagai tipe PPP.
Gambar 2.1.
Tipe-Tipe Public Private Partnership
Sumber: Adaptasi dari Kumar dan Prasad, 2004
18. 13
Gambar diatas menunjukkan 5 (lima) tipe umum dari model kemitraan yang
diklasifikasikan berdasarkan spektrum investasi dan peran pemerintah. Bentuk kontrak
pelayanan (service contract) merupakan bentuk kemitraan yang lebih banyak
menitikberatkan pada peran pemerintah, baik dari sisi investasi maupun penyediaan
jasa layanan. Sebaliknya, model build operates own secara lepas merupakan bentuk
PPP yang menitikberatkan investasi dan penyediaan pelayanan pada sektor swasta.
Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator.
Perbedaan yang lebih rinci dari tiap tipe kemitraan diuraikan dalam tabel 2.1 berikut
ini:
Tabel 2.1.
Perbedaan Antar Tipe Kemitraan
Sumber: Adaptasi dari Kumar dan Prasad, 2004
Selain kelima model tersebut, terdapat beberapa varian lain dari bentuk-bentuk
kemitraan antara lain seperti dikemukakan oleh Ministry of Municipal Affairs (1999)
yang mengklasifikasikan tipe PPP ke dalam 10 varian, yakni:
1. Operasionalisasi dan Pemeliharaan (operations and maintenance)
No
Aspek
Kontrak
Pelayanan
Kontrak
Pengelolaan
Sewa
Konsesi
BOT
BOO
Tranfer /
BOO Lepas
1 Kepemilikan
Aset
Publik Publik Publik Publik Publik/Swasta
2 Operasi dan
Manajemen
Publik Swasta Swasta Swasta Swasta
3 Investasi
Modal
Publik Publik Publik Swasta Swasta
4 Resiko
Komesil
Swasta Publik Bersama Swasta Swasta
5 Periode
Waktu
3-5 Tahun 3-5 Tahun 8-15
Tahun
25-30
Tahun
20-30 Tahun
6 Keahlian
Teknis
Ya Ya Ya Ya Ya
7 Kebijakan
Manajerial
Tidak Ya Ya Sebagian Ya
8 Efisiensi Tidak Sebagian Sebagian Sebagian Ya
9 Investasi
Tidak
Langsung
Tidak Tidak Tidak Ya Ya
10 Investasi
Langsung
Tidak Tidak Tidak Tidak Ya
11 Komitmen
Politik
Rendah Cukup Cukup Cukup Tinggi
12 Tarif
Pelayanan
Rendah Cukup Tinggi Tinggi Tinggi
13 Kerangka
Peraturan
Rendah Cukup Tinggi Tinggi Tinggi
14 Informasi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi
19. 14
Model ini didasari oleh kontrak antara pemerintah dan swasta untuk
mengoperasikan dan memelihara fasilitas public.
2. Perencanaan dan Pengembangan (design-build)
Didasari oleh kontrak pemerintah dan swasta untuk merencanakan dan
mengembangkan fasilitas yang memenuhi standar dan prasyarat kinerja
pemerintah. Ketika fasilitas itu telah dibentuk, maka pemerintah akan menjadi
pemilik yang bertanggung jawab terhadap penggunaan fasilitas tersebut.
3. Pengoperasian (turnkey operation)
Pemerintah menyediakan dana untuk melaksanakan kegiatan, tapi melibarkan
sektor swasta untuk mendesain, membangun, dan mengoperasikan fasilitas utnuk
jangka waktu tertentu. Sasaran kinerja ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah
yang menjadi pemilik dari fasilitas tersebut.
4. Penambahan dalam Dasilitas yang Sudah Ada (wrap arround addition)
Pihak swasta membiayai dan membangun fasilitas tambahan pada fasilitas yang
sudah ada. Selanjutnya, pihak swasta dapat mengoperasikan fasilitas tambahan ini
untuk jangka waktu tertentu sampai dapat mengembalikan investasi dan
keuntungan dari investasi tersebut.
5. Sewa-Beli (lease-purchase)
Kontrak pemerintah dengan pihak swasta untuk mendesain, membiayai, dan
membangun fasilitas pelayanan publik. Pihak swasta kemudian menyewakan
fasilitas tersebut pada pemerintah untuk jangka waktu tertentu. Setelah jangka
waktu itu habis, maka fasilitas akan menjadi milik pemerintah. Model ini dapat
diterapkan bila pemerintah memerlukan suatu fasilitas tapi tidak punya cukup
biaya untuk membangunnya.
6. Privatisasi Sementara (temporary privatization)
Kepemilikan fasilitas publik yang sudah ada diberikan pada pihak swasta untuk
meningkatkan dan/atau mengembangkan fasilitas. Fasilitas itu kemudian dimiliki
dan dioperasikan oleh pihak swasta dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam
kontrak atau sampai pihak swasta sudah dapat mengembalikan modal investasi
ditambah keuntungannya.
7. Sewa–Pengembangan-Operasionalisasi (lease-evelopoperate) atau Beli-
Pengembangan-Operasionalisasi (buy-develop-operate)
Mitra swasta menyewa atau membeli sebuah fasilitas dari pemerintah, kemudian
mengembangkan atau memodernisasikannya, selanjutnya mengoperasikannya
sesuai dengan kontrak yang dibuat bersama pemerintah. Pihak swasta diharapkan
untuk berinvestasi dalam pengembangan fasilitas dan diberi jangka waktu yang
pasti untuk mengembalikan dan memperoleh keuntungan dari investasi tersebut.
8. Pembangunan-Pengalihan-Pengoperasian (Build-Transfer-Operate)
Didasari kontrak pemerintah dengan swasta untuk membiayai dan membangun
fasilitas, di mana setelah fasilitas itu selesai dibangun, maka pihak swasta
mengalihkan kepemilikan fasilitas itu pada pemerintah. Pemerintah kemudian
menyewakan fasilitas itu lagi kepada swasta berdasarkan sewa jangka panjang
yang memungkinkan swasta mengembalikan investasi dan memperoleh
keuntungan.
9. Pembangunan-Kepemilikan-Pengoperasian-Pengalihan (Build-Own-Operate-
Transfer)
20. 15
Pihak pengembang swasta memperoleh hak franchise secara ekslusif untuk
membiayai, membangun, mengoperasikan, memelihara, mengelola, dan
mengumpulkan biaya pungutan selama periode tertentu untuk mengembalikan
investasi. Di akhir hak franchise, kepemilikan dialihkan kembali pada pemerintah.
10. Pembangunan-Kepemilikan-Pengoperasian (Build-Own-Operate)
Pemerintah dapat mengalihkan kepemilikan dan tanggung jawab atas suatu fasilitas
yang sudah ada, atau mengadakan kontrak dengan swasta untuk membangun,
memiliki, dan mengoperasikan fasilitas yang baru dibangun. Pihak swasta
menyediakan dana untuk pembangunan fasilitas tersebut.
Disamping itu Richardus, 2006 juga mencoba memetakan model-model kemitraan
antara pemerintah dengan swasta bisa dilihat berdasarkan peran yang dimainkan oleh
masing-masing aktor, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah sebagai
pemegang otoritas pelayanan publik dapat melakukan peran sebagai inisiator, investor,
atau pelaksana pelayanan. Swasta berperan sebagai investor atau operator. Sedangkan
keterlibatan masyarakat bisa dilakukan pada tahapan pelaksanaan operasional program
kemitraan.
Tabel 2.2.
Model Ragam Kemitraan
Catatan: G = Government; B = Business; P = Public
Sumber: Dikutip dari makalah Richardus Eko Indrajit, 2006
21. 16
Selain itu, pemerintah juga sudah mengatur lebih lanjut tentang beberapa pola
kemitraan yang melibatkan swasta dalam pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan,
yaitu diantaranya diatur dalam Permendagari No 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah menyatakan bahwa dalam pengelolaan
barang milik daerah, pemerintah daerah dapat mengembangkan beberapa pola
kemitraan dengan pihak swasta dengan 2 (dua) model; Pertama Bangun Guna Serah
(Build Operate Transfer) adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya,
kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang
telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu; Kedua, Bangun
Serah Guna (Build Transfer Operate) adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa
tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan
oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.
C. Pra Kondisi Penerapan Kemitraan
Salah satu alasan utama perlunya pola kemitraan swasta dengan pemeriantah karene
berbagai keterbatasan, dimana pemerintah menghadapi keterbatasan baik dana maupun
sumber daya manusia yang kompeten dalam menyediakan pelayanan tersebut, maupun
(The Stationery Office : 2000) ;
• Pihak swasta dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang lebih baik
dibandingkan bila diberikan oleh pemerintah;
• Pihak swasta dapat menjamin bahwa pelayanan dapat diberikan lebih cepat
dibandingkan bila disediakan oleh pemerintah;
• Ada dukungan dari pengguna jasa untuk melibatkan pihak swasta sebagai
penyedia pelayanan;
• Ada peluang kompetisi di antara para calon mitra swasta;
• Tidak ada ketentuan perundang-undangan yang melarang pelibatan pihak
swasta dalam penyediaan jasa pelayanan;
• Luaran dari pelayanan dapat dengan mudah diukur dan ditetapkan tarifnya
dengan rasional;
• Biaya pelayanan dapat diperoleh kembali melalui penetapan tarif penggunaan
jasa layanan;
• Ada peluang inovasi dalam penyediaan pelayanan;
• Ada rekam jejak (track record) atau pengalaman kemitraan antara pemerintah
dan swasta yang sudah dilakukan sebelumnya;
• Ada peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kemitraan
tersebut.
Jika salahsatu dari alasan-alasan tersebut tidak terpenuhi, maka model PPP sebaiknya
tidak diterapkan karena model tersebut, rentan dengan risiko-risiko finansial maupun
politis yang dapat membebani masyarakat pengguna jasa layanan di kemudian hari.
Sebelum memutuskan untuk menerapkan PPP, ada sejumlah prakondisi yang perlu
dipersiapkan agar PPP dapat mencapai hasil yang dikehendaki. Untuk menjamin
keberhasilan PPP, diperlukan kondisi-kondisi di bawah ini yang juga dikenal sebagai
“process conditions” (Kouwenhoven, 1993: 119-130), yaitu: (1) mutual trust; (2)
22. 17
unambiguity and recording of objectives and strategy; (3) unambiguity and recording
of the division of cost, risks and returns; (4) unambiguity and recording of the division
of responsibilities and authorities; (5) phasing of the project; (6) conflict regulation
laid down beforehand; (7) legality; (8) protection of the third parties’ interests and
rights; (9) adequate support and control facilities; (10) business and market oriented
thinking and acting; (11) internal coordination; dan (12) adequate project organization.
Sementara itu dari perspektif administrasi publik, pra kondisi (perencanaan) program
kerjasama dengan swasta dan / atau masyarakat dapat dilakukan paling tidak dengan 2
(dua) metode, yakni teknik penalaran strategis dalam penetapan kebijakan melalui
pengkajian pilihan-pilihan strategis (prior option review), serta teknik analisis barang
publik dan barang privat (public and private goods) (Tri Widodo, 2008)
1. Metode Prior Option Review (POR)
Metode prior option review ini secara garis besar bertujuan untuk menentukan apakah
fungsi-fungsi atau jenis-jenis urusan pelayanan umum tertentu yang selama ini
dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah masih diperlukan atau tidak; dan apakah
dengan demikian penyelenggaraan pelayanan umum tersebut perlu dipertahankan, atau
sebaiknya dialihkan saja kepada pihak swasta (masyarakat). Adapun hasil dari analisis
POR ini berupa model-model restrukturisasi pemerintahan atau model-model
kemitraan / kerjasama sebagai berikut:
• Kebijakan Penghapusan: analisa penalaran strategis dimulai dengan analisis dan
identifikasi jenis-jenis pelayanan/jasa yang diselenggarakan dan dibiayai oleh
pemerintah. Dari analisis ini dapat disimpulkan apakah pelayanan atau jasa-jasa
tersebut masih dibutuhkan atau tidak. Jika tidak, maka instansi-instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pelayanan tersebut dapat dipertimbangkan untuk dihapus
• Swastanisasi: jika jenis-jenis pelayanan tersebut masih dibutuhkan, pertanyaan
selanjutnya adalah apakah pemerintah masih harus mendanai pelayanan tersebut.
Jika tidak, maka jenis-jenis pelayanan/jasa tersebut dapat dipertimbangkan untuk
diswastanisasi. Pertimbangan kemungkinan swastanisasi pelayanan tertentu antara
lain ada tidaknya kegagalan pasar (Market failures).
• Kemitraan: apabila pemerintah masih berkepentingan menyelenggarakan
pelayanan umum tertentu, namun dana atau anggaran pemerintah terbatas,
pertanyaan selanjutnya diajukan untuk mencari kemungkinan mengikutsertakan
dana pihak swasta/masyarakat dalam penyediaan pelayanan/jasa tersebut.
Pengikutsertaan dana pihak swasta ini bisa dilakukan dalam bentuk swadaya
masyarakat, BOT atau BOOT dan sebagainya yang dikenal dengan istilah Private
Funding Initiatives (PFI). Contoh inisiatif swasta dalam bidang pelayanan umum
antara lain: Pembangunan dan Pengelolaan Jalan Tol Jakarta-Cikampek; Angkutan
Umum Bis antar kota dan antar Propinsi, angkutan umum perkotaan dan
perdesaan; Rumah sakit swasta, Sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi swasta;
Penyediaan dan pembangunan Perumahan oleh swasta; Panti asuhan anak-anak
terlantar dan Rumah Jompo yang diselenggarakan oleh badan-badan amal swasta;
dan lalin-lain.
• Kontrak Kerja / Karya: apabila dana/anggaran pemerintah masih dibutuhkan,
selanjutnya dipertanyakan juga apakah pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan
umum tersebut juga harus dilakukan oleh pemerintah. Jika tidak, maka
pelayanan/jasa pemerintah tersebut dapat dipertimbangkan untuk dikontrakkan
23. 18
Model kebijaksanaan ini telah lama diterapkan di Indonesia, terutama untuk
pekerjaan konstruksi dan pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah. Strategi ini
bisa dikembangkan untuk pelaksanaan pekerjaan pelayanan umum bagi
masyarakat oleh kontraktor swasta; contohnya: PT SGS atau PT SI melaksanakan
kegiatan survey kepabeanan berdasarkan kontrak dengan Ditjen Bea dan Cukai;
Perusahaan cleaning service untuk pemeliharaan gedung-gedung perkantoran
pemerintah; Perusahaan catering swasta untuk melayani makan siang PNS; dan
lain-lain.
• Market Testing: jika ternyata terdapat keraguan pemerintah atas kemampuan
sendiri untuk menyelenggarakan jenis pelayanan umum tertentu secara efisien dan
efektif, maka dapat dipertimbangkan pola “Uji Pasar” (Market testing) melalui
proses tender kompetitif antara team intern (In-house bidder) dengan pihak swasta
atau team kerja dari unit departemen/instansi lainnya. Konsep ini masih baru bagi
Indonesia, khususnya mengenai kebijaksanaan In-house bidder, yaitu kelompok
kerja intern departemen atau lembaga pemerintahan tertentu yang dibentuk untuk
mengikuti tender kompetitif dalam rangka memperoleh kontrak kerja
penyelenggaraan pelayanan umum tertentu. Kelompok ini jika berhasil
memenangkan tender akan bertindak sebagi kontraktor dan status kepegawaian
para anggotanya akan dialihkan menjadi swasta. Hak-hak kepegawaian mereka
selanjutnya bukan lagi menjadi tanggungan pemerintah, tetapi menjadi tanggungan
organisasi kelompok yang bersangkutan dan menjadi beban biaya yang tercantum
dalam kontrak kerja. Sedangkan hak pensiun dan jaminan sosial lainnya akan
dialihkan ke Perusahaan Swasta di bidang itu. Kebijaksanaan yang hampir mirip
"Market Testing" adalah pembentukan unit-unit swadana berdasarkan Keppres
Nomor 38 tahun 1991 untuk menyelenggarakan pelayanan umum kepada
masyarakat dengan menerapkan konsep "Self Funding Institution" dalam
penyelenggaraan pelayanan umum, misalnya: Pelayanan Rawat Inap kelas Utama
dan Kelas I di Rumah Sakit Umum Pemerintah di Pusat maupun di Daerah;
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Universitas Negeri; dan sebagainya.
• Program Efisiensi Internal: setelah berbagai pertimbangan tersebut dilakukan
ternyata dinilai lebih baik jika penyelenggaraan pelayanan umum tertentu itu tetap
dilaksanakan oleh pemerintah pusat ataupun oleh pemerintah daerah; maka unit
kerja yang bersangkutan harus melaksanakan program efisiensi, melalui misalnya:
kegiatan Benchmarking, Business Process Reengineering (BPR), Restrukturisasi,
Rasionalisasi, Standarisasi Kinerja dan Pola Evaluasi / Penilaiannya, dan
sebagainya.
Pilihan kebijakan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa kinerja pelayanan umum
(efisiensi, kualitas, efektifitas, maupun produktivitasnya) dapat dicapai atau
ditingkatkan melalui pendekatan mekanisme dan kompetisi. Sedangkan pada pilihan
kebijakan nomor 6, upaya peningkatan kinerja pelayanan umum dilakukan melalui
program efisiensi intern dengan penyempurnaan dan perubahan cara kerja atau proses
produksi, sehingga mampu menghasilkan kinerja dan kualitas yang diharapkan.
Dengan itu maka daya saing (Competitiveness) sektor publik dapat dibentuk dengan
tingkat biaya / pengorbanan yang lebih rendah.
24. 19
MITRAAN
Gambar 2.2.
Alur Penalaran Strategis
Kebijakan Kemitraan Penyelenggaraan Pelayanan Umum
(Prior Option Review)
MUNGKIN
MARKET
TESTING
Tetap selenggarakan
seperti biasa
Laksanakan program
efisiensi:
Benchmarking, dsb.
Sepakati standar
kinerja
Penuhi standar kinerja
pelayanan melalui
kompetisi
Apakah Pemerintah
masih berminat
menyelenggarakan
pelayanan tersebut?
KONTRAK
KERJA
TIDAK
YA
YA
TIDAK
KEMITRAAN
Adakah potensi Swasta
untuk membiayai
pelayanan tersebut?
TIDAK
TIDAK
HAPUSKAN
Apakah jenis dan urusan
pelayanan umum tertentu
masih dibutuhkan?
PRIVATISASI
Apakah Pemerintah
yang harus membiayai
pelayanan tersebut?
TIDAK
TIDAK
YA
YA
25. 20
Table 2.3.
Contoh Analisis Prospek Restrukturisasi Fungsi Pelayanan Kebersihan
JENIS LAYANAN
PERTANYAAN
KEBIJAKAN
JAWA-
BAN
ANALISIS / KRITERIA KEPUTUSAN
1 2 3 4 5
Core Service:
Menciptakan lingkungan kota
yang bersih, sehat, tertib, rapi
dan indah
Non Core Service:
1. Pemeliharaan kebersihan
Kota (penyapuan jalan dan
trotoar di perkotaan)
2. Pengumpulan sampah di
TPS
3. Pengangkutan dan
pembuangan sampah ke
TPA
4. Pengelolaan dan
pengolahan sampah di TPA
5. Penyediaan tong sampah
umum
6. Pengelolaan sampah Bahan
Beracun dan berbahaya
7. Pendauran ulang sampah
Apakah pelayanan
ini masih
dibutuhkan?
Apakah pemerintah
yang harus
mendanai
pelayanan (jasa)
tersebut?
YA
YA
• Kepedulian pemerintah terhadap lingkungan
perumahan, perkantoran dan perdagangan yang
bersih, sehat indah dan nyaman.
• Volume produksi sampah (rumah tangga, kantor,
industri) makin meningkat
• Kehidupan warga masyarakat dengan berbagai
aktivitas masih membutuhkan adanya suatu instansi
khusus menangani kebersihan.
• Kemungkinan muncul dan tersebarnya virus penyakit
yang bersumber dari sampah
• Teknologi daur ulang sampah masih sangat tradisional.
• Keindahan, kebersihan, kenyamanan lingkungan
merupakan kebutuhan dasar dan pemenuhannya tidak
dapat dilakukan perindividu tetapi harus terkoordinasi
Jasa pelayanan
kebersihan masih
dibutuhkan dan perlu
diadakan
Pemerintah tetap
mendanai pelayanan
kebersihan
26. 21
Adakah potensi
swasta mendanai
pelayanan tersebut?
Apakah Pemerintah
masih berminat
menyelenggarakan
pelayanan tersebut
YA
TIDAK
TIDAK
• Volume / produk sampah (masyarakat/ kantor/industri)
semakin meningkat.
• Prospek pelayanan persampahan sangat besar.
• Swasta memiliki armada transportasi (persampahan)
yang lebih lengkap.
• Tidak terlalu membutuhkan dana investasi dalam
jumlah besar.
• Tabungan sektor swasta makin meningkat.
• Pelayanan persampahan belum menjanjikan
keuntungan ekonomis yang tinggi.
• Swasta belum banyak berminat untuk berpartisipasi.
• Swadaya masyarakat belum optimal.
• Penyelenggaraan lebih efektif dan efisien dilakukan
oleh swasta.
• Swasta memiliki minat untuk ikut berpartisipasi.
Laksanakan Kemitraan
dengan Swasta dalam
rangka pelayanan
persampahan.
Di contracting-out kan
atau Market Testing,
misalnya dalam hal:
- Pengangkutan
Sampah dari Rumah
ke TPS dan dari TPS
ke TPA
- Pengolahan TPA
27. 22
Table 2.4.
Contoh Analisis Prospek Restrukturisasi Fungsi Pelayanan Pekerjaan Umum
JENIS LAYANAN
PERTANYAAN
KEBIJAKAN
JAWA-
BAN
ANALISIS / KRITERIA KEPUTUSAN
1 2 3 4 5
Core Service:
Penyediaan fasilitas umum
kepada masyarakat jalan,
jembatan, drainase dan irigasi.
Non Core Service:
1. Pelaksanaan pembangunan
dan perbaikan jaringan utama
& bangunan pelengkapnya.
2. Pelaksanaan eksploitasi /
pemeliharaan jaringan irigasi
dan drainase & bangunan
pelengkapnya.
3. Pengamanan untuk menjamin
kelangsungan fungsi irigasi &
bangunan pelengkapnya.
4. Perencanaan teknis dan
pembangunan Jalan Kolektor.
Apakah pelayanan
ini masih
dibutuhkan?
Apakah pemerintah
yang harus
mendanai
pelayanan (jasa)
tersebut?
Adakah potensi
Swasta untuk
membiayai
pelayanan tersebut?
YA
YA
YA
• Masyarakat sangat membutuhkan fasilitas jalan,
jembatan, drainase dan irigasi untuk mendukung
setiap aktivitasnya.
• Jalan, jembatan, drainase dan irigasi merupakan
prasarana dasar kehidupan manusia.
• Pelayanan penyediaan jalan, jembatan, drainase
dan irigasi pada dasarnya hak bagi setiap warga
untuk mendapatkannya tanpa harus mengeluarkan
biaya.
• Memiliki prospek yang sangat besar.
• Swasta banyak berminat untuk berpartisipasi.
• Potensi swasta sangat mendukung.
Jasa pelayanan
penyediaan jalan,
jembatan, drainase dan
irigasi masih dibutuhkan
dan perlu diadakan.
Pemerintah mendanai
pelayanan jasa tersebut.
Kemitraan dapat
dilakukan untuk
pembangunan /
penyediaan sarana jalan
dan jembatan.
28. 23
5. Pemeliharaan Jalan Kolektor.
6. Pelaksanaan Pembangunan
Konstruksi Bangunan Milik
Pemerintah.
7. Penyediaan Fasilitas Penyehatan
Lingkungan (MCK, Jamban
Umum).
8. Pengaturan Perumahan.
9. Pengaturan Tata Ruang Wilayah.
Apakah Pemerintah
masih berminat
menyelenggarakan
pelayanan tersebut?
TIDAK
TIDAK
YA
• Swadaya masyarakat dapat lebih diharapkan pada
waktu mendatang.
• Pemerintah cukup bertindak sebagai penentu kebijakan,
menetapkan standar mutu serta pengawas.
• Penyelenggaraan lebih efektif dan efisien dilakukan oleh
swasta.
• Potensi swasta sangat mendukung.
• Penyelenggaraan oleh Swasta tidak memberikan nilai
tambah.
• Swasta tidak berminat menyelenggarakan.
• Pemerintah memiliki sarana dan prasarana lebih
lengkap.
• Tetapkan Standar Kerja.
• Lakukan Program Efisiensi Misalnya dengan
Bechmarking.
Di Kontrakkan atau di
Market Testingkan dalam
penyediaan dan
pemeliharaan sebagian
sarana jalan, jembatan,
drainase dan irigasi.
Tetap selenggarakan
seperti biasa.
29. 24
2. Metode Analisis Barang Publik – Barang Privat
Klasifikasi barang dan jasa dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu barang publik
(public goods) dan barang privat (private goods). Secara dikotomis dapat dilakukan
pemisahan bahwa barang-barang publik wajib disediakan oleh lembaga publik
(pemerintah), sementara swasta-lah yang semestinya menyediakan barang-barang
privat. Namun dalam prakteknya, dikotomi seperti itu tidak berlaku. Bisa jadi,
barang-barang yang tergolong private goods murni harus disediakan oleh
pemerintah melalui mekanisme kontrol dan regulasi. Misalnya, kebutuhan beras
harus dipenuhi oleh pemerintah dengan sistem operasi pasar, pada saat terjadi
kelangkaan (shortage) beras. Dalam kondisi seperti itu, status beras sebagai private
goods bergeser menjadi public goods, atau paling tidak semi-public goods.
Sebaliknya, jasa pemadam kebakaran justru cenderung beralih dari public goods
menjadi private goods.
Dalam bentuk bagan, klasifikasi dan variasi barang publik dan barang privat dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3.
Klasifikasi Barang Publik dan Privat
Dengan demikian, penggunaan teknik analisis barang publik – barang privat ini
hanya untuk memudahkan dalam melakukan penilaian terhadap suatu fungsi
pemerintahan atau jenis layanan tertentu, serta menentukan kebijakan tentang model
kelembagaan atau pola kerjasama yang terbaik untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan atau jenis layanan tersebut. Dengan teknik analisis ini, akan dapat
diperoleh gambaran tentang banyak sedikitnya peranan atau keharusan campur
1 2
3 4
Excludable Non-Excludable
Divisible
Non-Divisible
Private goods
Public goods
30. 25
tangan pemerintah terhadap penyelenggaraan fungsi pemerintahan atau jenis
layanan tertentu. Semakin kecil intervensi pemerintah dibutuhkan dalam suatu jenis
layanan tertentu, maka semakin besarlah peluang kerjasama atau kemitraan antara
sektor publik dengan swasta.
Tabel dibawah ini menggambarkan jenis dari setiap barang dan tingkat intervensi
pemerintah. Selanjutnya, di bawah Tabel disajikan kasus tentang jasa layanan
kesehatan (Puskesmas) dan model kerjasama yang dapat (mestinya) dipilih.
Tabel 2.5.
Tingkat Intervensi Pemerintah Terhadap Jenis Barang
Kuadran /
Jenis
Barang
Definisi
Tingkat Intervensi
Pemerintah
Contoh
1
Private
Goods
Barang yang dikonsumsi
secara individual
(excludable),
penggunaannya dapat
dibagi-bagi (divisible), dan
untuk memperolehnya
diperlukan biaya.
Peran pemerintah
sangat kecil, dan
penyelenggaraan
sebagian besar urusan
diserahkan kepada
swasta melalui
mekanisme pasar
Makanan,
pakaian, rumah,
ikan, air minum
botolan, dsb.
2
Toll Goods
Barang yang dikonsumsi
secara bersama-sama (non-
excludable), penggunaannya
dapat dibagi-bagi
(divisible), dan untuk
memperolehnya diperlukan
biaya.
Peran pemerintah
cukup besar, namun
jika kemampuan
masyarakat sudah
memadai, maka perlu
dilakukan transfer of
power.
Telepon umum,
pipa air minum,
kabel dan
satelit TV, dsb.
3
Common
Pool Goods
Barang yang dikonsumsi
secara individual
(excludable) dan
penggunaannya tidak dapat
dibagi-bagi (non-divisible),
dan untuk memperolehnya
tidak diperlukan biaya.
s.d.a Kekayaan laut,
udara, dsb.
4
Collective /
Public
Goods
Barang yang dikonsumsi
secara bersama-sama (non-
excludable) dan
penggunaannya tidak dapat
dibagi-bagi (non-divisible),
dan untuk memperolehnya
tidak diperlukan biaya.
Peranan pemerintah
sangat dominan, dan
penyelenggaraan
urusan harus
dilakukan sendiri
oleh pemerintah.
Urusan
pertahanan,
patroli polisi,
pemadam
kebakaran,
pemasyarakatan
residivis, dsb.
Kasus: Layanan Puskesmas
Puskesmas sesungguhnya tidak cukup efisien dan oleh karena itu sebaiknya “dijual”
kepada dokter-dokter swasta agar dapat berkembang menjadi klinik-klinik kesehatan
31. 26
swasta. Sebab, pelayanan Puskesmas pada dasarnya merupakan “barang privat”
(private goods) yang harus disediakan oleh sektor privat pula. Barang publik (public
goods) di bidang kesehatan seperti pencegahan penyakit (menular), penanggulangan
wabah, atau perbaikan gizi sendiri menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas
Kesehatan, bukannya Puskesmas. Lagi pula, jika Puskesmas di privatisasi, jelas
akan menghemat anggaran pemerintah, dapat menjadi sumber baru pendapatan
daerah, sekaligus dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Disamping berbagai keuntungan dari pelaksanaan sebuah program kemitraan, juga
harus dicermati berbagai potensi kerugian atau kekurangan yang berpotensi timbul
dari sebuah kegiatan kemitraan. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas
tentang kelebihan (manfaat) atau kekurangan (resiko) yang mungkin timbul dapat
dilihat dalam tabel 2.5 berikut :
Tabel 2.6.
Perbandingan Manfaat dan Resiko Kemitraan Pemerintah - Swasta
Diadopsi dari : British Columbia, Ministry of Municipal Affairs
D. Model-Model Kelembagaan Kemitraan
Political will pemerintah (daerah) untuk memperluas desentralisasi internal serta
mengembangkan kerjasama dengan masyarakat dan swasta akan berdampak secara
langsung maupun tidak langsung pada format lembaga pelayanan publik. Hal ini
sangatlah logis, mengingat setiap pengurangan peran / fungsi pemerintah di satu
pihak, dan penguatan peran / fungsi swasta atau masyarakat di pihak lain, secara
otomatis menuntut dilakukannya restrukturisasi kelembagaan. Dengan demikian,
kelembagaan atau perangkat daerah konvensional yang kita kenal selama ini
Manfaat Yang Bisa Didapat Resiko Yang Mungkin Terjadi
Penghematan biaya, melalui
penyatuan jasa-jasa pelayanan
Berkurangnya kontrol pemerintah, karena
kewenangan yang diberikan ke swasta.
Berbagi resiko, swasta ikut
menanggung resiko
Standar akuntabilitas publik menjadi kurang jelas,
karena sebagian ditanggung swasta.
Peningkatan standar pelayanan
melalui inovasi
Pelayanan yang tidak memuaskan, bila kualitas
mitra swasta tidak baik.
Peningkatan pendapatan dari
penyediaan jasa layanan baru
Peningkatan biaya pelayanan, bila kebijakan tarif
lemah.
Pelayanan yang lebih efisien,
dalam hal waktu dan atau biaya
Resiko politik, protes masyarakat yang tidak
terbiasa menerima pelayanan publik oleh swasta.
Manfaat ekonomi, dalam hal
penyerapan tenaga kerja, dll.
Bias dalam seleksi mitra swasta, terkait proses
tender dan kompetisi antar pihak swasta.
Penolakan pegawai negeri, yang merasa terancam
posisinya
32. 27
berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, boleh jadi
menjadi kurang relevan dengan tuntutan riil di lapangan.
Dalam hal ini, model alternatif kelembagaan sebagai implikasi dari pengembangan
desentralisasi dan kerjasama publik dan privat (public – private partnership)
meliputi bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Lembaga Semi-Publik/Semi-Privat atau Government-Initiated Private
Management.
Pengertian lembaga semi publik atau semi-privat disini dimaksudkan sebagai
sebuah model kerjasama dimana sektor publik (pemerintah daerah) dan sektor
privat (swasta) memiliki kedudukan dan peran yang berbeda, namun sinergis,
dalam pengelolaan suatu urusan atau asset tertentu. Biasanya, pemerintah
memegang fungsi regulasi dan pengawasan, sementara investor
menyelenggarakan fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaannya.
2. Pengelolaan Bersama (Joint Management)
Untuk mengantisipasi munculnya konflik yang makin beragam dan makin
kompleks, maka saling pengertian antar daerah melalui penguatan kerjasama
regional sangat diperlukan. Dan untungnya, kesadaran untuk membangun
kerjasama antar daerah melalui sistem pengelolaan bersama (joint management)
ini sudah mulai nampak, antara lain melalui kesepakatan antara beberapa Kepala
Daerah di wilayah tertentu, yakni:
• Surat Keputusan Bersama (SKB) lima Bupati, yakni Bupati Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kabumen pada tanggal 28 Juni 2003
tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management yang
diorientasikan pada Regional Marketing yang diberi nama
“Barlingmascakeb” (lihat di http://www.barlingmascakeb.com/)
• SKB Walikota Surakarta, Bupati Boyolali, Bupati Sukoharjo, Bupati
Karanganyar, Bupati Wonogiri, Bupati Sragen dan Bupati Klaten tentang
Kerjasama Antar Daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen dan Klaten. Bahkan sebagai tindak lanjut dari SKB ini,
telah dikeluarkan Keputusan Koordinator Badan Kerjasama Antar Daerah
Subosuka Wonosraten No. 136/06/BKAD/VII/02 tentang Rincian Tugas
Sekretariat Badan Kerjasama Antar Daerah Subosuka Wonosraten (lihat di
http://www.gtzsfdm.or.id/documents/laws_n_regs/others/Subosuka_Wonosraten.p
df).
Meskipun demikian perlu ditekankan bahwa kerjasama regional atau
pengelolaan bersama suatu urusan tidak selamanya harus terdiri dari banyak
daerah dan meliputi semua hal. Bisa jadi, joint management hanya terjadi
antara 2 daerah otonom dan untuk satu urusan tertentu. Sebagai contoh,
Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi bekerjasama hanya dalam masalah
persampahan dan TPA Bantargebang. Demikian juga antara Pemkot
Bandung dan Pemkot Cimahi, keduanya harus bekerjasama dan memiliki
kesepakatan (MoU) dalam pengelolaan sampah kota dan pengaturan TPA
Leuwigajah.
33. 28
3. Kawasan Otorita
Pengelolaan suatu kewenangan pemerintahan berbasis otoritas khusus
(authority-based management) sesungguhnya merupakan sebuah model yang
lumrah dan sering diyakini memiliki efektivitas tinggi. Hanya saja dalam
konteks Indonesia, penetapan kawasan otorita selama ini masih menjadi
wewenang pemerintah Pusat, sebagaimana terlihat dalam pembentukan Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Otorita Jatiluhur, dan sebagainya.
4. Tim / Komisi
Model tim atau kepanitiaan sesungguhnya juga merupakan fenomena yang
sangat lumrah dalam administrasi negara modern. Bahkan harus diakui bahwa
“tim” sering kali dapat bekerja lebih cepat dan efisien dari pada lembaga induk
yang membentuknya. Disamping itu, “tim” lebih bersifat fungsional sehingga
mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan dan kendala struktural yang menjadi
ciri khas dari sistem birokrasi publik. Namun jika tradisi membentuk satu tim
untuk satu kasus (one team one case) ini berkelanjutan dan berlebihan, dalam
kaca mata administrasi negara jelas merupakan suatu bentuk dari kegagalan
birokrasi publik (bureaucracy failure), atau dapat dipandang juga sebagai mal-
administrasi.
Karakteristik beserta keuntungan dan kerugian dari masing-masing model
kelembagaan pengelola layanan publik diatas dapat dilihat dalam matriks dibawah
ini.
34. 29
Tabel 2.7.
Pilihan Model Kelembagaan Pengelola Layanan Publik dan Karakteristiknya
Model
Kelembagaan
Karakteristik Keuntungan Kerugian
Semi Publik / Semi
Privat atau atau
Government-Initiated
Private Management
• Model kelembagaan dimana pengelolaan
suatu kawasan atau asset dilakukan oleh
manajemen swasta namun tunduk
sepenuhnya oleh regulasi dan
pengawasan Pemda yang khusus dibuat
untuk mengatur kelembagaan tersebut.
• Dapat dibentuk untuk mengelola sentra-
sentra industri kecil yang cukup spesifik
seperti sepatu dan tas, pakaian, kain,
kerajinan dan makanan, gerabah, dll.
• Menjadi sumber pendapatan daerah
melalui penarikan retribusi.
• Mengurangi beban Pemda, karena
urusan-urusan tertentu seperti kebersihan
dan keamanan di kawasan tersebut
ditangani oleh swasta.
• Pengelolaan suatu urusan lebih
professional, sehingga dapat menciptakan
mutu pelayanan yang jauh lebih baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.
• Ada potensi menimbulkan disparitas
regional (antar wilayah).
• Pelayanan publik cenderung menjadi
lebih mahal dan eksklusif.
Joint Management • Model kerjasama regional atau
pengelolaan bersama suatu urusan yang
terdiri dari 2 atau lebih daerah atau
instansi, serta meliputi semua hal atau
satu urusan tertentu.
• Dapat menghindari kesalahpahaman
antar Pemda atau antar unit kerja.
• Kendala teknis berupa keterbatasan
sumber daya atau kelemahan manajemen
dapat teratasi dengan cara sharing antar
Pemda atau antar unit kerja.
• MoU yang kurang jelas dan
koordinasi yang kurang baik
seringkali menjadi sumber kegagalan
model kelembagaan ini.
35. 30
Model
Kelembagaan
Karakteristik Keuntungan Kerugian
Otorita • Dapat diterapkan di daerah
yang memiliki kawasan-
kawasan khusus seperti
pelabuhan, bandar udara,
industri (industrial estate),
perkebunan, pertambangan,
kehutanan, pariwisata, jalan
bebas hambatan dan
sebagainya.
• Penyelenggaraan suatu
urusan atau suatu kawasan
menjadi lebih terfokus.
• Pelayanan bidang tertentu
dapat meningkat.
• Lebih bersifat independen
sehingga mengurangi kadar
intervensi birokrasi.
• Ada potensi menimbulkan disparitas sektoral atau regional (antar
wilayah).
• Membutuhkan alokasi sumber-sumber daya khususnya dana
secara spesifik dalam jumlah yang sangat besar.
• Dalam beberapa hal sering menjadikan fungsi kontrol /
pengawasan melemah, serta menimbulkan mis-koordinasi dan
disharmoni dalam hubungan antar lembaga.
Tim / Komisi • Dapat dibentuk untuk urusan
yang bersifat tidak
permanen/rutin
• Dibentuk untuk satu satuan
waktu tertentu.
• Dapat bekerja lebih cepat,
flexible dan efisien
dibanding lembaga induk
yang membentuknya.
• Lebih bersifat fungsional
sehingga mampu
melepaskan diri dari jeratan-
jeratan dan kendala
struktural yang menjadi ciri
khas dari sistem birokrasi
publik.
• Mudah dibentuk dan mudah
pula dibubarkan.
• Menunjukkan tidak efektifnya kelembagaan dan fungsi
manajemen yang ada, sehingga perlu dibentuk lembaga yang
bersifat ekstra struktural.
• Menggambarkan kurang adanya sense of recognition pejabat
birokrasi terhadap permasalahan yang dihadapi atau kebijakan /
keadaan yang mengandung potensi permasalahan.
• Setiap kasus tidak diselesaikan secara preventive melainkan
curative. Ini menunjukkan kelemahan manajerial dari sistem
administrasi publik yang parsial, piecemeal, dan tidak
komprehensif dalam menyikapi persoalan.
• Cenderung menggunakan sumber daya terpisah dari sumber
daya yang telah ada di instansi induk. Oleh karenanya,
keberadaan “tim” akan menyebabkan timbulnya pembiayaan
ganda (double financing), sehingga mendorong terjadinya
pemborosan.
• Adanya tumpang tindih kewenangan dan sumber daya serta
kekurangakuratan dalam antisipasi dampak kebijakan.
36. 31
Bermacam varian pola kemitraan baik dari sisi kelembagaan maupun pola kerjasama yang
telah diuraikan diatas bisa menjadi referensi bagi praktek kemitraan yang diterapkan di
daerah. Karena keterlibatan swasta dan juga masyarakat dalam pembangunan daerah
berpotensi membantu mengoptimalkan pelayanan public dan meningkatkan transparansi
penyelenggaraan pembangunan di daerah. Sedangkan dari sisi pemerintah daerah sendiri,
pelibatan pihak swasta merupakan solusi dalam menghadapi keterbatasan sumber daya
yang dimiliki pemerintah.
***
37. 32
BAB III
PRAKTEK KEMITRAAN ANTARA PEMERINTAH DAERAH DAN SWASTA DI
BEBERAPA KOTA
Pada Bab ini dipaparkan praktek kemitraan yang diterapkan di beberapa kota di
Kalimantan. Dari paparan tersebut akan terlihat variasi model-model kemitraan antara
pemerintah kota dengan swasta yang diharapkan bisa menjadi bahan acuan bagi daerah
lain dengan tetap memperhatikan karakteristik masing-masing daerah. Terlepas dari
kelemahan atau kekurangan yang ada, penerapan variasi model kemitraan di beberapa kota
tersebut merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam membangun
daerah dan memberikan pelayanan publik dengan melibatkan swasta.
A. POTRET KEMITRAAN DI BEBERAPA KOTA
1. KOTA SAMARINDA
a. Gambaran Umum Kota Samarinda
Amandemen keempat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasal 18 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi dimaksudkan untuk mempercepat proses
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan
dan peran serta masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan pemerintah
daerah selain mampu meningkatkan daya saing, melali prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan dalam pembangunan juga mampu meningkatkan daya guna potensi dan
keanekaragaman sumber daya daerah.
Walaupun undang-undang secara jelas menyatakan bahwa pemerintah daerah
mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri,
namun dalam penyusunan perencanaan daerah tetap harus memperhatikan keterkaitan
antara perencanaan pemerintahan pusat, propinsi dan antar pemerintah daerah,
sehingga pencapaian tujuan daerah mendukung pencapaian tujuan nasional. Aspek
hubungan tersebut memperhatikan kewenangan yang diberikan terkait dengan
hubungan sumber daya alam dan sumber daya lainnya maupun dengan pelayanan
umum serta keuangan.
Kota Samarinda merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki luas
sekitar 718 Km2
dan secara astronomis terletak diantara 00’19’02’’ - ’’00’42’34’’
Lintang Selatan dan 117’03’00’’ – 117’18’14’’ Bujur Timur. Sebagian besar wilayah
Kota Samarinda merupakan dataran dengan ketinggian 0 – 200 meter di atas
permukaan air laut. Batas wilayah Kota Samarinda yaitu sebelah Utara berbatasan
dengan Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara, sebelah Timur
berbatasan dengan Kecamatan Muara Badak, Anggana dan Sanga-sanga Kabupaten
Kutai Kartanegara, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Loa Janan
Kabupaten Kutai Kartanegara dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Muara
Badak, Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. Populasi penduduk Kota
Samarinda berdasarkan hasil pendataan tahun 2006 mencapai 588.135 jiwa dengan
38. 33
luas wilayah 783 Km2 yang dibelah oleh dua sungai, yaitu sungai Mahakam dan
sungai Karang Mumus.
Secara administrasi pemerintah Kota Samarinda dikepalai oleh Walikota yang juga
membawahi koordinasi atas wilayah, administrasi kecamatan yang dikepalai oleh
Camat. Jumlah kecamatan yang ada di Kora Samarinda sebanyak 6 kecamatan dan
jumlah kelurahan sebanyak 42 kelurahan. Secara topografi Kota Samarinda merupakan
daratan rendah yang terdiri dari lembah alluvial 9,02 % daerah dataran 15,94 %,
dataran berombak 8,15 %, dataran bergelombang 14,59 %, daerah patahan 2,31%,
daerah berbukit 44.73 %, lain-lain 4,47 % yang mempunyai luas kemiringan lahan
datar (0 – 2 %) 20.011 Ha, bergelombang (2 – 5 %) 18.276 Ha, curam (15- 40 %)
15.540 Ha, sangat curam (>40 %) 2.469 Ha.
Jenis tanah di wilayah Kota Samarinda sebagian besar berupa tanah podsolik
selebihnya berupa tanah alluvial, podsolik dan gambut, sebagaimana daerah tropis
lainnya. Samarinda mengenal 2 musim yaitu musim hujan dan kemarau. Curah hujan
rata-rata 208 mm dengan temperatur berkisar maksimum 32,2o
C dan minimum 23,9o
C.
Perkembangan kondisi umum ekonomi, sosial, prasarana pendukung sektor serta
lingkungan Kota Samarinda yang merupakan gambaran kinerja makro dari
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pada beberapa tahun terakhir ini
menunjukkan perkembangan yang positif, meskipun pada beberapa indikator
perkembangannya terjadi penurunan, namun secara umum sebagian besar sasaran yang
telah dicapai sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam renstra dapat memberikan
warna dalam menyertai dinamika pembangunan sesuai dengan Visi Kota Samarinda.
Perkembangan kondisi makro ekonomi Kota Samarinda selama periode 2000-2004
relatif menunjukkan adanya peningkatan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar
7,87%. Pertumbuhan tersebut pada tahun 2000 sebesar 5,26%, meningkat menjadi
sebesar 9,19% pada tahun 2004. perkembangan tersebut sangat ditentukan oleh
peranan sektoral perekonomian daerah kota Samarinda, dimana pada taun 2000 nilai
PDRB sebesar Rp. 5,807 trilyun meningkat menjadi Rp. 11.421 trilyun pada tahun
2004. Namun pada periode tersebut terjadi pergeseran kontribusi sektor yang dominan,
jika pada periode tahun 2002-2003 peranan yang sangat dominan adalah industri
pengolahan, maka sejak periode tahun 2004 telah bergeser pada sektor perdagangan,
hotel dan restoran. Tentunya hal ini menjadikan ketergantungan terhadap sektor
industri pengolahan terutama industri perkayuan menjadi semakin berkurang.
Gambaran perekonomian daerah yang ditunjukkan dengan perkembangan PDRB
secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.1.
Produk Domestik Regional Bruto Kota Samarinda Menurut Sektor
Tahun 2000-2004 (dalam Juta Rp.)
Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004
1. Sektor primer 202.300 426.251 551.363 721.630 909.347
1. Pertanian 144.608 157.486 194.509 220.677 259.247
2. Pertambangan
dan Penggalian
57.692 268.765 356.854 500.953 650.100
39. 34
2. Sektor Sekunder 2.286.011 2.503.796 2.773.759 3.042.944 3.298.697
1. Industri
Pengolahan
1.938.723 2.107.931 2.286.275 2.420.966 2.526.839
2. Listrik, Air
Minum
94.460 102.413 116.714 143.531 162.018
3. Bangunan dan
Konstruksi
252.828 292.452 370.770 478.447 609.840
3. Sektor Tersier 3.319.221 4.064.362 5.064.223 6.005.173 7.213.900
1. Perdagangan,
Restoran, Hotel
1.312.346 1.580.083 1.927.821 2.416.416 2.973.351
2. Pengangkutan
dan Komunikasi
669.541 806.863 943.535 1.058.250 1.262.509
3. Keuangan,
Persewaan dan Jasa
Perusahaan
780.745 872.294 1.028.165 1.179.739 1.484.211
4. Jasa-jasa 556.589 805.122 1.164.702 1.350.768 1.493.829
Jumlah 5.807.532 6.993.409 8.389.345 9.769.747 11.421.944
Sumber: PDRB Kota Samarinda
Samarinda berkembang menjadi pusat jasa, industri dan perdagangan serta pemukiman
di Kalimantan Timur. Perkembangan ini disebabkan oleh kedudukan kota Samarinda
sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Timur dan secara geografis berada pada posisi
yang sangat strategis terletak diantara kabupaten yang memiliki sumber daya alam
yang sangat potensial. Sebagai kota industri, perdagangan dan jasa, secara pararel
Samarinda menjadi daya tarik luar biasa terhadap migrasi penduduk dari berbagai
penjuru daerah di Kalimantan Timur bahkan dari luar Kalimantan Timur, berbagai
suku bangsa, bahkan dari berbagai negara.
Pembangunan Samarinda sama sekali tidak bisa melepaskan dirinya dari karakter
dasar sebagai kota jasa dan perdagangan. Tuntutan era dan warga kota dengan
mempertimbangkan posisi geografis dan geostrategis terutama dalam lima tahun ke
depan, memerlukan berbagai inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Tantangan Samarinda ke depan sangat berat dan komplek, mulai dari
masalah transfortasi, banjir, kependudukan, ketenagakerjaan, sektor informal,
investasi, berbagai infrastruktur dan rendahnya kualitas daya dukung regulasi dan
birokrasi serta budaya masyarakat yang mampu mensejajarkan Samarinda dengan
kota-kota besar di indonesia bahkan dunia.
Otonomi daerah dengan desentralisasi kewenangan yang ada meniscayakan Good
practices (inovasi penyelenggaraan emerintah)terhadap pengembangan ekonomi,
pelayanan publik dan pembangunan politik dan hukum kearah yang lebih baik dan
konstruktif dalam rangka mewujudkan perbaikan kesejahteraan warga kota.
Mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas kehidupan melalui
pemenuhan hak-hak dasar masyarakat merupakan agenda strategis yang dalam
pencapaiannya harus didukung oleh percepatan pembangunan infrastruktur,
pengelolaan dan pengembangan aset sebagai pembiayaan alternatif, reformasi
birokrasi dan sistem pengawasan yang konstruktif dan bertanggung jawab. Agenda
inilah yang akan menjadi bagian penting dalam mewujudkan “Samarinda Sebagai
Kota Jasa, Industri, Perdagangan Dan Pemukiman Yang Berwawasan Lingkungan”.
40. 35
Untuk mewujudkan Visi Samarinda sebagai kota jasa, industri, perdagangan dan
pemukiman yang berwawasan lingkungan, Kepala Daerah/Walikota Samarinda
terpilih telah merumuskan 4(empat) pernyataan Misi sebagai berikut :
1. meningkatkan fasilitas dan utilitas penunjang sektor jasa, industri, perdagangan
dan pemukiman. Maksudnya adalah substansi yang dikandung dalam misi ini
adalahmenyiapkan dan meningkatkan kapasitas fasilitas-fasilitas sektor jasa,
industri, perdagangan dan pemukiman serta utilitis pendukungnya untuk
meningkatkan pertumbuhan sektor jasa, industri, perdagangan dan pemukiman.
2. meningkatkan kualitas produksi unggulan dan mencari alternatif komoditi yang
dapat dikembangkan untuk ekspor guna meningkatkan PAD. Maksudnya adalah
meningkatkan daya saing produk unggulan agar dapat bersaing dengan produk-
produk dari daerah lain di luar Kalimantan Timur bahkan di pasar global, dan
mencari alternatif komoditi yang dapat dikembangkan untuk ekspor guna
meningkatkan PAD dengan memaksimalkan pemanfaatan potensi dan peluang
yang ada.
3. mempersiapkan sumber daya manusia mengarah kepada tenaga siap pakai.
Maksudnya adalah meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih
berkualitas sesuai dngan kompetensi yang dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja
di Kota Samarinda agar mampu bersaing dengan tenaga kerja dari luar daerah.
4. meningkatkan peran serta masyarakat, swasta, perbankan dan lembaga lainnya
untuk medukung serta jasa, industri perdagangan dan permukiman yang
berwawasan lingkungan. Maksudnya adalah merupakan upaya-upaya yang
dilakukan untuk mendorong peningkatan partisipasi masyarakat, swasta, perbankan
dan lembaga lainnya untuk berperan aktif dalam proses pembangunan untuk
mewujudkan visi Kota Samarinda.
b. Kemitraan di Kota Samarinda
Sebagai pusat pemerintahan Provinsi, Kota Samarinda didukung oleh sarana dan
prasarana yang cukup memadai seperti Transportasi (jalan, pelabuhan, terminal),
telekomunikasi, kelistrikan, air bersih, fasilitas kesehatan, dan lembaga keuangan bank
dan non bank. Kondisi ini menjadikan Samarinda sebagai pusat distribusi barang dan
jasa, sehingga sektor perdagangan dan jasa menjadi cukup dominan. Indikator
ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Samarinda pada tahun 2003
atas dasar harga berlaku mencapai Rp 8,37 triliun dan atas dasar harga konstan Rp
3,55 triliun. Sedang pertumbuhan berkisar sekitar 9,49% dengan pendapatan per kapita
Rp 14,02 juta. Ekspor non migas yang terealisir mencapai US$ 578,53 juta, impor
migas yang terealisir mencapai US$ 259,72 ribu, impor non migas US$ 218,91 juta,
keuangan daerah Rp 480,73 milyar dan inflasi mencapai 10,26%.
Dengan daya dukung anggaran pembangunan tersebut, pembiayaan pembangunan
daerah Kota Samarinda bersumber dari APBD, juga melibatkan investasi swasta.
Untuk investasi swasta, diharapkan peran PMA/PMDN dominan -dengan mengacu
pada Provinsi Kalimantan Timur- dengan kontribusi sebesar 73% dari nilai investasi
swasta atau sebesar 64 % dari total investasi Pemerintah dan swasta (Keunggulan
Kalimantan Timur dalam Menarik Minat Investasi, BPID Pemprov Kaltim, 2004).
Dengan keunggulan kompetitif yang dimiliki Samarinda seperti iklim investasi yang
kondusif tersebut, Pemerintah Daerah sedang memperbaharui sistem informasi
penanaman modal serta terus melakukan pengkajian untuk memberikan insentif untuk
41. 36
penanaman modal selain terus melakukan pembinaan, pemantauan dan pengawasan
pada setiap proyek yang dipercayakan pada swasta. Disamping itu, Pemda berupaya
menciptakan iklim investasi dengan pelayanan yang lebih baik tidak hanya berupa izin
investasi (pre investment service) juga pada tahap realisaasi pelaksanaan proyek (post
investment) dalam rangka kesinambungan kemitraan dengan pelaku usaha serta
promosi mencari investor baru di Samarinda.
Umumnya kemitraan yang dibangun selama ini lebih tertarik pada sektor bisnis yang
padat modal daripada padat karya, dengan basis pemanfaaatan kehutanan,
pertambangan migas dan non mogas, sepeti industri kayu, industri LNG, industri kimia
(amoniak dan urea dengan derivatnya) industri mineral non logam, industri barang
logam, industri makanan (coldstorage, CPO dan inti sawit) serta industri lainnya.
Sektor lain yang sedang dilirik adalah pertanian tanaman pangan dan hortikultura,
perikanan dan kelautan serta perkebunan yang memanfaatkan ketersediaan lahan
demikian pula sektor jasa seperti perhotelan dan restoran, konstruksi, angkutan dan
telekomunikasi lebih memberikan peluang yang lebih besar di masa yang akan datang.
Pemerintah Daerah sering kali tidak dapat menyelesaikan problem pembangunan yang
kompleks. Kontribusi dalam pengelolaan kepemerintahan membutuhkan kemitraan
Pemerintah dengan pihak luar (stakeholder). Meski demikian, jika ingin keberhasilan
dalam kontribusi kemitraan itu terwujud, maka yang pertama kali disiapkan adalah
akuntabilitas dan tata pemerintahan yang bekerja efektif.
b.1. Pembangunan dan Pengelolaan Pelabuhan Palaran
Kerjasama kemitraan antara Pemerintah Kota Samarinda dengan PT. Pelabuhan
Indonesia (Persero) serta PT. Pelabuhan Samudera Palaran ini merupakan pola
kemitraan tiga stakeholder. Beberapa alasan yang melatarbelakangi terjadinya pola
kemitraan antara tiga stakeholder di atas adalah sebagai berikut :
a. Kondisi operasional pelabuhan Samarinda khususnya volume peti kemas saat ini
cukup tinggi, sehingga kualitas pelabuhan yang ada khususnya daya tampung
lapangan penumpukan petikemas sudah tidak memadai lagi. Mengingat kapasitas
daya tampung sebesar 120.000 teu’s per tahun dengan luas CY kurang lebih 4
hektar dan angka traffic tahun 2006 sebesar 137.000 teu’s.
b. Fasilitas pelabuhan tidak didesain untuk melayani petikemas sehingga angka
produktifitas pelabuhan rendah hanya 8 – 10 box per jam.
c. Keterbatasan lahan pelabuhan yang ada sehingga tidak memungkinkan perluasan /
pengembangan fasilitas pelabuhan di lokasi eksisting. Lokasi pelabuhan langsung
berbatasan dengan kota Samarinda dan tidak tersedianya back up area
pengembangan.
d. Studi tim JICA tahun 2001, merekomendasikan pemindahan pembangunan
terminal petikemas baru di daerah Palaran tepatnya di Kelurahan Bukuan. Dengan
master plan pelabuhan yang telah ditetapkan oleh Menteri Perhubungan melalui
KM No.28 tahun 2006 tanggal 7 Juni 2006.
e. Adanya rencana pembangunan Jembatan Mahkota II yang mempunyai tinggi
bebas hanya 25 meter sehingga menyebabkan sebagian besar kapal tidak dapat
masuk ke pelabuhan Samarinda (pelabuhan eksisting).
42. 37
Hal – hal strategis dalam perjanjian awal dan hal – hal pokok yang telah disepakati
antara PT. Pelindo IV dengan Pemkot Samarinda sebagai berikut :
1. Penyelenggara pelabuhan Samarinda adalah PT. Pelindo IV
2. Obyek perjanjian kerja sama adalah pembangunan Terminal Petikemas (TPK)
Palaran di Palaran Samarinda Seberang
3. Terminal Palaran merupakan bagian dari pelabuhan umum Samarinda
4. Bentuk ikatan kerja sama adalah perjanjian investasi dan bagi hasil dengan jangka
waktu perjanjian selama 50 tahun.
5. Secara bertahap pelayanan jasa kepelabuhan akan dipindahkan ke Terminal
Palaran Samarinda Seberang.
6. PT. Pelabuhan Indonesia IV (Persero) dan Pemerintah Kota Samarinda sepakat
bekerja sama membangun TPK Palaran melalui pembentukan Badan Pelaksana
(BP) untuk koordinasi kegiatan pembangunan.
7. Pembangunan infra struktur termasuk dalam pembebasan lahan dan pengadaan
supra struktur akan dilaksanakan dalam 1 paket dengan melibatkan investor
melalui pelelangan umum.
8. Investor yang terpilih nantinya akan membentuk Special Purpose Company (SPC)
untuk mengoperasikan TPK Palaran selama periode kerja sama.
9. PT. Pelindo IV menerima manajemen fee sebesar 10% dari pendapatan kotor
(gross revenue) sebagai bentuk kompensasi atas penguasaan pasar yang
selanjutnya akan dilimpahkan pengelolaannya kepada SPC.
10. Struktur bagi hasil keuntungan adalah sebagai berikut :
Gross Revenue – Management Fee – Operating Cost = Profit (Laba)
Profit merupakan obyek sharing oleh 2 pihak (investor dan PT Pelindo termasuk
Pemkot Samarinda).
11. Komposisi bagi hasil antara PT Pelindo IV dan Pemkot Samarinda adalah 50% -
50%.
12. Pada akhir periode kerja sama dilakukan transfer asset infrastruktur kepada
Pemerintah.
Investor swasta yang berhasil menjadi pemenang dalam tender proyek kemitraan ini
adalah PT. Samudra Indonesia, Tbk sebagai salah satu stake holder setelah
memperhitungkan jenis dan perkiraan nilai investasi untuk kebutuhan pembangunan
terminal petikemas (bekerja sama dengan investor) yaitu sebagai berikut :
Pada tahun estimasi 2005 sebesar Rp 380 milyar dengan rincian sebagai berikut :
▪ Dermaga 3 berth : Rp 71,0 milyar
▪ Trestle : Rp 18,5 milyar
▪ CY : Rp 54,0 milyar
▪ CFS : Rp 5,7 milyar
▪ M/E : Rp 9,0 milyar
▪ Peralatan (2 cc, dll) : Rp 127,0 milyar
▪ Pematangan lahan 14 ha : Rp 28,0 milyar
▪ Lain- lain dan contingency : Rp 66,8 milyar
Perkiraan nilai investasi meningkat menurut perhitungan terakhir tahun 2008 sebesar
Rp 401 milyar dengan asumsi inflasi 2005 sampai dengan 2008 sebesar 2 % per tahun.
Pola kemitraan ini dapat dijelaskan dalam bagan berikut :
43. 38
Gambar 3.1.
Skema Kemitraan Pemkot Samarinda dengan PT. PI IV
Kondisi atau persyaratan kerja sama kemitraan yang disepakati antara kedua pihak
adalah sebagai berikut:
a. Investor melaksanakan pembebasan lahan seluas 13, 635 hektar (12, 135 hektar
untuk TPK Petikemas dan 1,5 ha untuk term penumpang). Tanah seluas 12, 135
hektar adalah Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama investor di atas HPL atas
nama PT. Pelindo IV
b. Investor (PT. Samudera Indonesia, Tbk) membentuk SPC yaitu PT Pelabuhan
Samudera Palaran
c. Pengoperasian terminal oleh SPC yang telah dibentuk melalui kontrak operasi
dengan PT. Pelindo IV.
d. PT. Pelindo IV menutup terminal lama untuk kegiatan pelayanan petikemas.
e. PT. Pelindo IV atau Pemerintah memelihara alur pelayanan minimal -5 m lws.
f. PT. Pelindo IV melakukan pelayanan jasa kapal antara lain pemanduan dan
penundaan.
g. Penetapan tarif pelayanan petikemas untuk petikemas 20’ minimal sebesar Rp
500.000 per box.
h. Jangka waktu kerja sama pengoperasian selama 50 tahun dengan system BOT dan
pada akhir kerja sama dilakukan transfer asset dari SPC (PT Pelabuhan Samudera
Palaran) kepada Pemerintah untuk fasilitas infra struktur.
i. PT. Pelindo IV memperoleh manajemen fee sebesar 10% dari gross revenue
selama 30 tahun dengan justifikasi Manajemen fee sebesar 10%.
j. PT. Pelindo IV dan Pemerintah Kota Samarinda memperoleh profit sharing selama
50 tahun.
k. SPC yang telah dibentuk tersebut memprioritaskan untuk memperkerjakan SDM
dari PT Pelindo IV sesuai dengan kebutuhan.
Perjanjian Kerja Sama Pembangunan dan Pengoperasian
Terminal Petikemas Palaran Pelabuhan Samarinda
PEMKOT
SAMARINDA
PT. PELINDO IV
(PERSERO)
INVESTOR
(PT SAMUDRA INDONESIA, Tbk)
- BOT (Build Operate Transfer) selama 50 tahun kepada Pemerintah
- Management fee = 10% dari Gross Revenue selama 30 tahun kepada PT.
Pelindo IV (Persero)
- Nisbah / Rasio Profit Sharing ditetapkan antara kepada PT. Pelindo IV dan
Pemkot Samarinda
SPECIAL PURPOSE
COMPANY
- Dibentuk oleh investor
- Sebagai operator terminal
KONTRAK OPERASI
TPK PALARAN
PRIORITAS MEMPERKERJAKAN
SDM PT.PELINDO IV SAMARINDA
PT. PI IV
44. 39
Persiapan dan perijinan yang telah dilakukan dalam rangka kerja sama pembangunan
Terminal Petikemas Palaran:
1. Master Plan pelabuhan Samarinda dimana lokasi TPK berada di Palaran telah
disahkan oleh Menteri Perhubungan dengan KM 28 tahun 2006 tanggal 07 Juni
2006.
2. Lay out desain dermaga telah diajukan ke Ditjen HUBLA
3. Penetapan harga tanah telah ditetapkan oleh Pemkot Samarinda dengan Surat
Sekda No. 590 / 0412 / Perk.3/V/2006, tanggal 02 Mei 2006.
4. Rekomendasi AMDAL ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Kalimantan
Tomur Nomor 660.1/K.25/2008 tanggal 22 Januari 2008
5. Rencana kerja sama dan pengoperasian Terminal Petikemas Palaran
mengikutsertakan Swasta telah disetujui Menteri Perhubungan dengan Surat
No.A.107/PR.102/MPHB, tanggal 03 Juli 2006.
6. Walikota Samarinda telah mendukung dan menyetujui usulan pemenang
pelelangan kerja sama dengan surat nomor. 500/0182/Proda.II/II/2007 tanggal 27
Februari 2007.
Pada skema kerja sama dan alur keuangan dari kemitraan ini yang tergambar di bawah
ini, dimana pada perjanjian kerja sama sudah dilaksanakan pada tanggal 20 Juli 2007.
Tahap perijinan pembangunan sudah dilaksanakan dan masih dalam proses, sedangkan
pada tahap pembangunan dan pengadaan fasilitas terminal oleh investor sedang akan
dilaksanakan pembangunannya pada tahun 2008 ini, tetapi menemui sedikit kendala
disebabkan kenaikan harga BBM yang berimplikasi pada term perkiraan nilai
investasi.
Evaluasi Kelayakan dan attractiveness proyek kemitraan ini adalah :
a. Manfaat Ekonomis (infrastruktur pelabuhan)
1. Dapat tersedia fasilitas pelabuhan yang memadai sehingga memnuhi kebutuhan
masyarakat luas.
2. Jembatan Mahkota II dapat terealisasi menunjang perekonomian provinsi
Kalimantan Timur.
3. Mewujudkan keikutsertaan pihak swasta dalam penyediaan fasilitas pelabuhan
sehingga tercipta efisiensi dan efektifitas kegiatan (program public private
partnership).
4. Menyerap tenaga kerja pada proses pembangunan.
5. Transfer asset setelah 50 tahun.
b. Manfaat Finansial (aspek pengusahaan)
1. Oppurtunity loss akibat penutupan pelabuhan lama dapat terkompensasi
dengan adanya manajemen fee sebesar 10% (± Rp 8 milyar per tahun) →
eksisting sebesar ± Rp 8 milyar per tahun.
2. Adanya rasio profit sharing dengan nilai nominal yang terus meningkat selama
50 tahun.
3. Sumber daya manusia PT.Pelindo IV di cabang Samarinda dapat tetap
diperkerjakan di TPK Palaran sesuai kualitas dan kwantitas yang dibutuhkan.
45. 40
c. Tingkat Atraktif Proyek
1. Kelayakan proyek secara total dengan Interest Rate of Return = 16,15% dan
Net Present Value = Rp.252,97 milyar
2. Kelayakan proyek dari sisi investor dengan Interest Rate of Return = 11,70%
dan Net Present Value = Rp. 57,07 milyar.
Gambar 3.2.
Skema Kerja Sama dan Alur Keuangan
INVESTOR PEMKOT SMD PT PELINDO IV
MANAGEMENT FEE 10%x GR
BIAYA PENYUSUTAN + OPERASIONAL
LABA
PENGOPERASIAN
PENDAPATAN
IJIN PEMBANGUNAN
PEMBANGUNAN DAN PENGADAAN FASILITAS TERMINAL OLEH INVESTOR
IJIN OPERASI
PERJANJIAN KERJA SAMA DAN PENGOPERASIAN TPK PALARAN
PEMKOT SAMARINDA
PT.PELINDO IV INVESTOR
PELELANGAN UMUM / SELEKSI INVESTOR
BADAN PELAKSANA
PERJANJIAN AWAL
RUANG LINGKUP :
1. PEMBENTUKAN BADAN PELAKSANA
2. PENYELESAIAN STUDY-STUDY YANG TERKAIT (M/P
DAN DED)
3. PROSES PERIJINAN
4. KOORDINASI PELAKSANAAN AMDAL
5. HAL-HAL STRATEGIS TENTANG PEMBANGUNAN
DAN PENGOPERASIAN TPK PALARAN
PT.PELINDO IV PEMKOT SAMARINDA