Modul ini membahas konjugasi verba imperatif dalam bahasa Arab, terutama pada uslub al-amr (perintah) dan uslub al-nahy (larangan). Ada empat bentuk pembentukan uslub al-amr, yaitu fi'il amr, fi'il mudhari' majzum bi lam amr, isim fi'il amr, dan masdar. Konjugasi terjadi karena perubahan dhamir (kata ganti persona) pada akhr fi'il. Modul ini menjelaskan contoh
1. 57
A. PENDAHULUAN
Setelah membahas mengenai gaya imperatif dalam bahasa Arab yang
berisi kajian tentang fi’il amr dan fi’il nahy, kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan karakter fi’il amr dan fi’il nahy (gramatikal verba arab imperatif
dalam al-adab al-arabi), selanjutnya kita akan membahas kajian tentang tashrifu
al amri wa an-nahyi (konjugasi verba arab imperatif dalam al-adab al-arabi).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, fi’il amr dan fi’il nahy memiliki karakter
dasar mabni dengan beberapa karakter yang telah disebutkan pada modul
sebelumnya. Karakter amr mabni artinya dalam kondisi ketika disambungkan
dengan partikel tertentu, uslub amr ditetapkan pada sebuah harakat yang tidak
berubah dengan perubahan struktur kalimat (mabni).
Modul sebelumnya fokus pada karakter yang dimiliki uslub amr dan uslub
nahi, namun pada sub kajian ini akan dibahas mengenai perubahan bentuk amr
dan nahy ketika dihubungkan dengan pelaku dan waktu terjadinya komunikasi.
Dalam lingusitik umum, penurunan verba berdasar pada pelaku dan kala
terjadinya komunikasi itu disebut konjugasi. Pembahasan pada modul ini akan
mengikuti struktur anatomi pembahasan ilmu bahasa Arab (baca: ilmu balagah).
Karena pembahasan antara modul ini dan modul sebelumnya berkaitan, sangat
dimungkinkan akan ada kajian yang mirip baik dari segi konten maupun contoh
yang diambil. Namun fokus kajiannya berbeda, misalnya ketika ada pembahasan
yang menjelaskan bahwa fi’il amr itu mabni ‘alas sukun karena kemasukan nun-
niswah. Secara karakter, fokus kajiannya ada pada sifat mabni alas sukun yang
dimiliki oleh fi’il amr, namun dalam analisis konjugasi fokusnya pada tanda kata
ganti persona (dhamir) yang menyertainya, yaitu nun muannatsah mukhathabah.
Dalam bahan kajian ketiga dari modul sastra ini semua peserta PPG
diharapkan sudah bisa menginisiasi perubahan dhamair pada uslub al-amru dan
al-nahyu. Selain itu, peserta PPG juga diarahkan memiliki kompetensi dalam
menganalisis teks sastra dari perspektif gaya imperatif pada bahasa al-Qur’an, al-
Hadits dan karya sastra Arab yang lainnya. Dengan melihat contoh-contoh dan
analisisnya diharakan peserta PPG memiliki persepsi yang sama bahwa ilmu
bahasa dan ilmu sastra adalah sarana untuk memahami sebuah teks. Tujuan akhir
2. 58
dari kedua ilmu tersebut adalah memahami teks, bukan hanya berakhir pada
konten ilmu bahasa dan sastra. Karena banyak pebelajar ilmu bahasa yang fokus
pada pemahaman konten ilmu, namun lupa pada tujuan utama yaitu memahami
teks yang sedang dibaca.
Meskipun materi tentang al-amru dan al nahyu adalah materi dasar dalam
ilmu Bahasa Arab, namun materi ini sangat penting dalam komunikasi lisan dan
tulis. Karena hidup ini penuh dengan perintah dan larangan. Bacalah modul ini
dengan seksama untuk bisa memahami paparan materi yang ada di dalamnya. Jika
muncul masalah di sela-sela memahami materi, anda bisa mendisukusikannya
dalam kelompok diskusi di laman diskusi yang telah disediakan. Selamat
membaca, semoga diberi kemudahan dalam memahami dan memahamkan materi
bahasa Arab yang ada di dalamnya.
PETA KONSEP
KONJUGASI VERBA
ARAB IMPERATIF
DALAM AL-ADAB AL-
ARABI
Konjugasi pada Uslub
al-Amr ( أسلوب تصريف
األمر )
Konjugasi pada fi’il
Amr (األمر فعل تصريف )
Konjugasi Fi’il
Mudhari' Majzum bi
Lam Amr
Konjugasi Isim Fi’il
Amr
Konjugasi Masdar
yang mengganti fi’il
amar
Konjugasi Uslub Nahi
( النهي أسلوب تصريف )
3. 59
B. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Membedakan ungkapan terkait perintah (al-amr) dan melarang (al-
nahyu) melakukan suatu tindakan/kegiatan, dengan memperhatikan unsur
kebahasaan dari teks lisan dan tulis, sesuai dengan konteks penggunaannya.
C. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah pembelajaran modul ini, peserta PPG diharapkan dapat:
1. Memahami perubahan bentuk fi’il amr dan fi’il nahy (gramatikal verba arab
imperatif dalam al-adab al-arabi) karena perubahan dhamir (kata ganti
persona).
2. menyebutkan penurunan verba imperatif fi’il amr dan fi’il nahy dari
perspektif tadzkir (maskulin), ta’nits (feminin) dan dhamairnya.
3. membuat pola-pola ungkapan yang semisal dengan contoh konjugasi dalam
fi’il amr dan fi’il nahy.
4. menginisiasi dan menerapkan penurunan verba imperatif fi’il amr dan fi’il
nahy yang telah disusun dalam praktek menulis dan berbicara bahasa Arab
5. mengajarkan penurunan verba imperatif fi’il amr dan fi’il nahy dengan baik
sesuai dengan teori aplikasi pedagogik
6. memahami orientasi belajar dan mengajar ilmu bahasa dan sastra
D. MATERI
Kalimat perintah adalah bentuk kalimat atau verba untuk
mengungkapkan perintah atau keharusan atau larangan melaksanaan perbuatan.
Berbeda dengan lingusitik umum, dalam bahasa Arab kalimat perintah dan
larangan itu temanya dipisah. Perintah disebut al-amru dan larangan disebuat al-
nahyu. Untuk itu pembahasan dalam modul ini, sebagaimana juga modul
sebelumnya mengikuti pembagian pada dua tema besar al-amru dan al-nahyu.
Judul sub temanya adalah, perubahan konjugasi pada uslub al-amr dan perubahan
konjugasi pada uslub al-nahy.
4. 60
1. Konjugasi pada Uslub al-Amr ( أسلوب تصريفاألمر )
Konjugasi melihat penurunan verba berdasar pada pelaku dan kala
terjadinya komunikasi (Hadi, 2016: 34). Dilihat dari perspektif ini, analisis
konjugasi hanya bisa dilihat dari aspek perubahan pelaku atau kata ganti nomina
(dhamairnya). Dari aspek kala atau waktu terjadinya perintah, uslub al-amr terjadi
pada satu waktu yaitu waktu yang akan datang istiqbal. Sebagaimana karakter
seluruh kalam insya’ tahabi yang menyaran kepada kejadian yang belum terjadi
ketika perintah itu diminta, lam yakun haashilan waqta al-thalab (Abbas, 1997:
147 ).
Sebelum membahas konjugasi pada uslub al-amr, perlu difahami dan
dibedakan antara uslub al-amr dan fi’il amr. Uslub amr adalah kalimat perintah,
yaitu kalimat yang secara isi bertujuan untuk meminta dilakukannya sebuah
aktifitas yang diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur. Sedangkan fi’il amr
adalah salah satu bentuk dari empat cara dalam membentuk uslub al-amr (baca:
amr), yaitu (1) Fi’il Amr (2) fi’il mudhari' majzum bi lam amr, (3) isim fi’il amr,
(4) masdar yang mengganti fi’il amar (Abbas, 2000: 135).
Mengikuti cara pembentukan uslub amr, maka pembagian pembahasan
pada sub bahan kajian ini akan dibagi menjadi empat, yaitu: (1) perubahan
konjugasi pada Fi’il Amr (Kata Kerja Perintah), (2) perubahan konjugasi pada fi’il
mudhari' majzum bi lam amr, (3) perubahan konjugasi pada isim fi’il amr, (4)
perubahan konjugasi pada masdar yang mengganti fi’il amar. (Abbas, 2000: 135).
Untuk melihat karekter keempat variasi ini, masing-masing akan dibahas dalam
sub bab berikut ini:
a. Konjugasi pada fi’il Amr (األمر فعل تصريف )
Tashrif secara bahasa berarti at taghyiir (perubahan), secara istilah
tashrif adalah ilmu tentang tata cara bagaimana membentuk kalimat, membahas
kondisi kalimat apakah asli atau tambahan, shahih atau tidak, i’lal dan ibdal.
Tashrif mengacu pada dua tataran, (1) perubahan kata dari satu bentuk ke dalam
beragam bentuk karena perubahan makna, perubahan dari mashdar ke fi’il madhi,
mudhari, dan amr serta nisbah (2) perubahan kalimat bukan karena tuntutan
5. 61
makna, tetapi pada aspek selain makna seperti membuang huruf, menggantinya,
menukar posisinya dan menggabungkannya (al-Ghalayaini; juz 1: 140). Di atas
pengertian tashrif ini, masih terdapat bentuk tashrif yang terkait dengan makna.
Setelah terbentuk fi’il, masing-masing fi’il masih mengalami perubahan yang
disebabkan oleh perubahan dhamair. Untuk itulah ada istilah tashriifu fi’il madhi,
tashriifu fi’il mudhari’, dan tashriifu fi’il amr.
Perubahan fi’il amr dilihat dari perubahan dhamairnya dalam bahasa
Arab diistilahkan dengan istilah tashrif fi’l al-amr. Ketika mendengar istilah
tashrif, maka yang terbersit di fikiran pendengar adalah sederetan dhamair yang
tersusun berdasarkan rujukan kata ganti personanya. Konjugasi fi’il amr terjadi
pada perubahan dhamair yang menyebabkan perubahan pada bagian akhir dari
fi’il amr. Misalnya dari kata idhrib menjadi idhribi, penambahan ya’ di akhir fi’il
amr menunjuk pada perubahan kata ganti persona dari anta (kamu laki-laki)
menjadi anti (kamu perempuan).
اَياَهُتَّيَأُسْفَّنالُةَّنِئَمْطُمْال*يِع ِج ْارىَلِإِكِبَرةَي ِاض َرَّةي ِض ْرَم*
يِلُخْداَفيِفِيداَبِع*يِلُخْدا َويِتَّنَج(الفجر27-30)
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas
lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. 89:30)
Pada ayat di atas terdapat tiga fi’il amr, dimulai dari ayat yang ke 28.
Kata irji’ii dalam analisis tashrif al-amr atau disebut juga perspektif konjugasi
verba imperatif mengalami perubahan bentuk dengan menambahkan huruf ya’ di
akhir kata. Tanda ya’ di akhir kata menyaran kepada pelaku orang kedua
perempuan (mukhathabah), dalam ayat di atas yang dituju adalah munaada yang
ada pada ayat sebelumnya yaitu an nafs al muthmainnah. Kata an-nafs di atas
bermakna “jiwa” yang dalam bahasa Arab masuk kategori isim muannats.
Meskipun tidak menggunakan tanda muannats, kata an-nafs yang bermakna jiwa
(ruh) dihukumi muannats. Untuk itu sifat dari nafs selalu muannats, seperti: nafs
ammarah, nafs lawwamah, dan nafs muthmainnah.
Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap orang yang menjalankan perintah
Allah subhanahu wa ta’ala kelak akan kembali kepada-Nya dengan jiwa yang
6. 62
tenang. Tenang karena merasa puas dengan amalannya di dunia. Di saat kembali
kepada Tuhannya mereka akan dipanggil, Yaa ayyatuhan nafs al-muthmainnah,
hai jiwa yang tenang. Jawab nida’ dari ayat ini adalah tiga ayat setelahnya, (1)
kembalilah kepada Tuhan dengan keadaan ridho (dengan amalannya) dan diridhoi
(Allah subhanahu wa ta’ala), (2) maka masuklah kedalam golongan hambaku
(yang menyadari kehambaannya: ‘abd), (3) dan masuklah ke dalam surga-Ku.
Tiga verba imperatif (fi’il amr) di atas menyaran kepada pelaku yang sama yaitu
kamu (jiwa yang tenang), karena itulah tambahan konjugasinya sama yaitu huruf
ya’mukhathabah.
Dhamair (kata ganti persona) pada fi’il amr hanya terbatas pada orang
kedua (mukhatab) dengan berbagai variasi tadzkir, ta’nits serta mufrod, mutsanna,
dan jama’nya. Dengan begitu, seseorang tidak mungkin menyuruh orang ketiga
(dia) menggunakan fi’il amr. Untuk melihat perubahan fi’il amr di setiap kata
ganti persona yang menyertainya, lihatlah bagan tashrif fi’il amr di bawah ini (Al-
Khairain, 2008:95)
Perubahan fi’il amr pada kata ganti persona menyebabkan penambahan
huruf di akhir kata kerja perintah. Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya
perubahan ini sangat terkait dengan perubahan dhamair pada fi’il mudhari.
Bedanya, kalau dilihat dari perspektifnya fi’il amr yang berasal dari fi’il mudhari’,
maka penekanannya ada pada karakter fi’il amr yang mabni karena bersambung
dengan tambahan-tambahan huruf yang mewakili isim dhamir. Namun ketika
الزيادة ال األمر صيغةرباعي
المجرد
األمر صيغة
الثالثي
الضمائر النمرة
- َفِلْعْل ْلُعْفُا أنت 1
األلف َفِلْعَل َلُعْفُا أنتما 2
ععفعواألل ععاعالجم واو
النون عن نيابة
َفِلْعلا ْو لُعْفُاا ْو أنتم 3
المخاطبة الياء َفِلْعِلْي ِلُعْفُاْي أنت 4
االثنين األلف َفِلْعَل َلُعْفُا أنتما 5
النسوة نون َفِلْعْلَن ْلُعْفُاَن أنتن 6
7. 63
melihatnya dari perspektif konjugasi, maka fokusnya ada apada penambahan
huruf di akhir kata.
Tanda dhamir antara fi’il mudhari’ dan fi’il amr itu sama, karena fi’il
amr diderivasikan dari fi’il mudhari’ sebagaiaman yang telah kita pelajari pada
modul sebelumnya. Untuk melihat tanda dhamir pada fiil amr, marilah kita lihat
ayat al-Qur’an berikut ini:
اَياَهُّيَأَِينذَّالواُنَمَآواُنيِعَتْساِْربَّصالِبِة َلَّصال َوَّنِإَ َّّللاَاَمَين ِرِباَّصال(:البقرة153)
Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS.
2:153)
Kata ista’iinuu merupakan fi’il amr yang menyaran kepada
mukhatabuun, orang kedua jama’. Perubahan dari mufrad ke jama’ menyebabkan
perubahan kata dengan menambahkan huruf wawu dan nun di akhir kata yang
menyaran kepada orang kedua jama’. Dari perspektif ilmu ma’ani kalimat di atas
merupakan bentuk kalimat non berita (insyaiyyah), karena penutur dalam
komunikasi tersebut tidak mungkin dikatakan jujur atau bohong. Uslub al-amru
masuk bagian kalam insya’ karena ketika kita memerintah tidak mungkin respon
dari mitra tutur menyebut bahwa penutur sedang berbohong. Misalnya ketika
penutur memerintahkan mitra tutur dengan berkata, “jujurlah…!” maka tidak
mungkin mitra tutur akan menjawab, “kamu jujur” atau “kamu bohong”. Ini
berbeda kalau kalimat yang diucapkan adalah kalimat berita, misalnya, “saya
adalah orang paling jujur di kampung saya”. Maka sangat mungkin orang yang
mendengar akan bilang, “kamu jujur” atau “kamu bohong”. Inilah perbedaan
antara kalam insya’ (kalimat non berita) dan kalam khabar (kalimat berita).
Dalam ayat di atas, Allah menyeru kepada suluruh orang yang beriman
untuk meminta pertolongan dengan sabar dalam menjalani perintah Allah
subhananhu wa ta’ala dan memperbanyak shalat, memohon kepada Allah
subhanahu wa ta’ala. Khithab yang menjadi obyek perintah dari ayat ini adalah
orang kedua jama’. Obyek amr yang dimaksud adalah munada (alladzina amanu)
pada uslub nida’ yang ada di awal ayat, yaa ayyuhal ladzina amanu. Karena
obyek perintahnya jama’, maka fi’il amr yang digunakan juga jama’ (ista’iinu).
Fi’il madhi dan mudhari’ berbeda dengan fi’il amr, dilihat dari perpektif
8. 64
mutakallim dan mukhathab. Dhamir yang ada pada fi’il madhi dan fi’il mudhari
menyaran kepada semua subjek tuturan baik itu mutakallim (penutur),
mukhatahab (mitra tutur), maupun kepada ghaib (orang ketiga). Sedangkan fi’il
amr hanya menyaran kepada subjek mukhatab (mitra tutur), yaitu orang yang
menjadi sasaran perintah.
Jika saya berkata, “ana aqra’u al-Qur’an”, pada kata aqra’u terdapat
huruf mudhar’ah berupa alif yang menunjuk pada aku (mutakallim). Ketika
dirubah menjadi “anta taqra’u al-Qur’an”, maka huruf mudhar’ah berupa ta’
menunjuk pada kamu (mukhatab). Namun fi’il amr hanya menyaran kepada
mukhatahab (mitra tutur). Misalnya saya berkata kepada Amir, “iqra’ al-qur’an”,
fa’ il dalam kalimat itu adalah kamu yang posisinya adalah mukhatahab (mitra
tutur). Penutur tidak mungkin membalik kalimat itu sehingga menyaran kepada
dirinya sendiri, karena secara logika komunikasi lingusitis tidak mungkin terjadi.
Tidak ada kalimat perintah yang menyaran kepada dirinya sendiri, “bacalah (aku)
al-Qur’an”. Hal semacam ini hanya mungkin terjadi ketika seseorang berkata
kepada dirinya sendiri dan menjadikan dirinya sebagai penutur sekaligus mitra
tutur. Misalnya ketika Amir berkata pada dirinya sendiri, “Hai Amir, Sadarlah…
bukankah kamu sudah tua”. Meskipun berkata kepada dirinya sendiri, khithab
yang dipakai tetaplah kamu bukan aku. Narasi ini mirip dengan syair yang berisi
perintah kepada dirinya sendiri untuk bertaubat:
َياْفَؤِدايَمَتىْالَمَتُابأَملَّا*َتِصُّحَوَّشالْيُبَفْوَقَرْأِسَأَملَّا
Wahai hatiku, kapankah saat taubat itu (datang), belumkah engkau sehat?
Dan uban di atas kepala belumkah (tumbuh)
Khithab dari uslub nida’ di atas adalah dirinya sendiri yang secara tersirat
memerintahkan penuturnya bertaubat. Syair ini sekaligus menjadi penjelas, bahwa
perintah tidak selalu menggunakan kalimat perintah (uslub al-amr). Banyak
perintah yang secara tekstual (allafdz al-maudhu’) bentuknya bukan kalimat
perintah, seperti istifham (kalimat Tanya), khabar (kalimat berita), ataupun nida’
(kalimat panggilan). Bahasan detailnya akan kita bahas pada sub kajian
selanjutnnya.
b. Konjugasi Fi’il Mudhari' Majzum bi Lam Amr
9. 65
Subjek yang ada pada fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri
berkebalikan dengan fi’il amr. Jika fi’il amr hanya menyaran kepada subjek
mukhatab (mitra tutur), fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri hanya menyaran
kepada ghaib (orang ketiga). Kecuali apabila fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil
amri merupakan fi’il yang majhul, maka boleh menyaran kepada subjek mukhatab
(mitra tutur) sekaligus kepada subjek ghaib (orang ketiga). Perbedaan uslub amr
yang dibentuk dengan fi’il amr, lam amr, isim fi’il amr, dan al-mashdar an-naib
‘an fi’li al amr jika dibedakan dengan fi’il madhi dan mudhari’ dari aspek
penggunaan dhamair adalah ketidakmungkinan uslub amr untuk menyaran
kepada subjek mutakallim (ana dan nahnu). Untuk melihat konjugasi pada pada
fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri perhatikanlah tabel berikut ini (Al-
Khairain, 2008:95):
Konjugasi yang terjadi pada fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri tidak
berbeda dengan di fi’il mudhari’ dari aspek mufrad, mutsanna dan jamaknya yang
ditandai dengan penambahan huruf di belakang kata. Sedangkan untuk tadzkir dan
ta’nitsya mengikuti aturan pada fi’il mudhari’. Untuk melihat perubahan
الزيادة
ب األمرافي لالم
المعلوم فعل
ب األمرافي لالم
المعلوم فعل
الضمائر النمرة
- ْبَْرضُيِل ْب ِْرضَيِل هو 1
األلفاالثنين اَبَْرضُيِل اَب ِْرضَيِل هما 2
واأللف الجما واو
النون عن نيابة
واُبَْرضُيِل واُب ِْرضَيِل هم 3
المخاطبة الياء ْبَْرضُتِل ْب ِْرضَتِل هي 4
االثنين األلف اَبَْرضُتِل اَب ِْرضَتِل هما 5
النسوة نون َْنبَْرضُيِل َْنب ِْرضَيِل هن 6
- ْبَْرضُتِل - أنت 7
االثنين األلف اَبَْرضُتِل - أنتما 8
واأللف الجما واو
النون عن نيابة
واُبَْرضُتِل - أنتم 9
المخاطبة الياء ْيِبَْرضُتِل - أنت 10
االثنين األلف اَبَْرضُتِل - أنتما 11
النسوة نون َْنبَْرضُتِل - أنتن 12
10. 66
konjugasi pada fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri perhatikanlah ayat berikut
ini:
َّمُثُواضْقَيْلْمُهَثَفَتواُفوُيْل َوْمُهَورُذُنواُفَّوَّطَيْلَوِتْيَبْالِبِقيِتَعْال(:الحج
29)
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada
badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar
mereka dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang
tua itu (Baitullah). (QS. 22:29)
Pada ayat di atas terdapat tiga frasa yang merupakan uslub amr dengan
menggunakan fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri dengan dhamir hum (orang
ketiga jamak). Pertama kata liyaqdhu, dari fi’il madhi qadha, yaqdhi, qadha’an-
iqdhi, yang berarti menunaikan. Karena didahului oleh huruf hidup maka lam amr
pada kata liyaqdhu berubah menjadi sukun menjadi tsummalyaqdhu. Kedua kata
liyuufuu berasal dari kata awfa–yuufii-iifaa’an, awfi yang berarti
menyempurnakan. Karena didahului oleh huruf wawu, maka huruf lam pada kata
walyuufuu diharakati sukun. Demikian juga dengan perubahan dari
liyaththawwafu menjadi walyaththawwafu.
Karena khithab dari amr ini adalah jamak, maka tanda jamaknya diwakili
oleh huruf wawu yang ada di akhir kata. Subyek dari beberapa fi’il mudhari’ yang
ada di ayat tersebut adalah hum yang merujuk pada kata annas pada ayat
sebelumnya wa adzdina fin naas (ayat 27). Ayat ini memberi pesan kepada orang
yang hendak menunaikan haji untuk membersihkan dan mensucikan diri sebelum
menunaikan ibadah haji, memenuhi nadzar-nadzar yang pernah diucapkan. Ketika
sudah berada di tanah suci mereka diminta untuk berthawaf di baitullah.
c. Konjugasi Isim Fi’il Amr
Isim fi’il amar adalah isim (kata benda) yang bermakna fi’il amr (kata
perintah). Untuk melihat konjugasi penurunan verba amr (fi’il amr) berdasar pada
pelaku dan kala terjadinya komunikasi perlu dikemukakan bahwa isim fi’il amr
dibagi menjadi tiga:
11. 67
1) Isim fi’il murtajal, kata murtajal merupakan isim maf’ul dari kara irtajala
yang artinya berimprovisasi, jika dikaitkan dengan kalimat biasanya diartikan
spontan, irtajala fi al-kalam. Isim fi’il murtajal adalah kata yang sejak awal
memang terbentuk memang bermakna fi’il, bukan yang lainnya. Contohnya
adalah kata haihaata (isim fi’il madhi), uuh (isim fi’il mudhari’), dan shah
(isim fi’il amr).
2) Isim fi’il manquul, kata manquul berasal dari naqala artinya memindah. Kata
al-manquul artinya yang dinukil atau dipindah. Secara istilah isim fi’il
manquul adalah kata yang awalnya tidak ada untuk arti isim fi’il, namun
awalnya memiliki makna lain namun dinukil untuk makna isim fi’il. Seperti
kata ‘alaika, amaamaka, dan haa.
3) Isim fi’il ma’duul, sering juga disebut dengan isim fi’il qiyasi, artinya adalah
isim fi’il yang diambil dari seluruh fi’il tsulasi yang diikutkan wazan fa’aali
seperfti kata hadzaari, yang berarti ihdzar.
Isim fi’il amar pada dasarnya tidak berubah dalam setiap keadaan,
memiliki harakat yang sama dengan kondisi dhamir yang berbeda. Isim fi’il amr
selalu muncul dalam bentuk yang sama, baik mufrad mutsanna dan jama’,
perubahan hanya terjadi pada isim fi’il amr yang bersambung dengan kaf al-
khithob, seperti ‘alaika atau ‘alaikum, duunaka atau duunakaum, dan haaka dan
haakum. (Nikmah, tt: 129). Misalnya kata ‘alaikum pada ayat berikut ini:
اَياَهُّيَأَِينذَّالواُنَمَآْمُكْيَلَعْمُكَسُفْنَأَالْمُكُّرُضَيْنَمَّلَضاَذِإْمُتْيَدَتْهاىَلِإ
ِ َّّللاْمُكُع ِج ْرَمايعِمَجْمُكُئَِبنُيَفاَمِبْمُتْنُكَونُلَمْعَت(:المائدة105)
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.
Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. 5:105)
Perhatikanlah frasa ”alaikum” pada ayat di atas, frasa ’alaikum
merupakan paduan antara partikel ‘ala dan dhamir “kum”. Ketika kata ‘ala
bersambung dengan dhamir maka tanda dhamir akan mengalami perubahan sesuai
dengan perubahan subyek yang dituju. Perubahan dhamir pada isim fi’il amr
hanya terjadi paka isim fi’il amr manqul, yaitu isim fi’il amr yang dinukil dari
susunan jar majrur ataupun dharf untuk membentuk makna fi’il sebagaimana
dijelaskan pada pembahasan di atas.
12. 68
Pada ayat di atas terdapat uslub amr yang menyaran kepada orang-orang
yang beriman agar menjaga dirinya. Ayat di atas dimulai dengan uslub nida’,
yaa ayyuha alladzina aamanu, hai orang-orang yang beriman. Jumlah insya’iyyah
(kalam insya’) berupa nida’ di awal ayat kemudiam dilanjutkan dengan perintah
menggunakan isim fi’il amr, ‘alaikum anfusakum. Penggabungan dua kalimat ini
dalam analisis ilmu balagah masuk dalam kategori al-washl li bayaani al-ibham,
keduanya tersambung utuh dalam membentuk makna (kamalu al- ittishal). Setelah
diperintahkan untuk menjaga diri, kemudian diteruskan dengan alasan kenapa
orang beriman harus menjaga dirinya. Seolah-olah orang beriman akan bertanya,
kenapa kami harus menjaga diri?, jawabannya adalah, jika kalian menjaga diri
(dengan iman kalian) orang-orang sesat tidak akan jadi bahaya jika kalian telah
mendapatkan petunjuk kebenaran (hidayah). Model susunan kedua kalimat ini
disebut fashl karena syibhu kamaalil itutshal, jika ada dua kalimat yang mana
kalimat kedua menjadi jawaban dari penyataan yag muncul dari memahami
kalimat pertama.
d. Konjugasi Masdar yang mengganti fi’il amar
Mashdar yang yang mengganti fi’il amr adalah mashdar yang posisinya
ditempatkan pada posisi mengganti fi’il amr yang dilesapkan. Untuk melihat
konjugasi yang ada pada mashdar yang mengganti fi’il amr, perlu difahami
terlebih dahulu apa yang disebut mashdar. Mashdar adalah isim (kata benda) yang
menunjuk pada sebuah kejadian tanpa ada keterangan zaman. Dari pengertian ini,
pada dasarnya mashdar tidak mungkin bisa menjadi perintah, karena setiap
perintah mesti memiliki ruang dan waktu. Untuk itu pastinya ada hal yang
dilesapkan dalam perintah yang menggunakan mashdar sebagai pengganti fi’il
amr.
Untuk melihat pelesapan kata tersebut, susunan perintah dengan masdar
yang mengganti fi’il amr harus dikembalikan pada bentuk asal sebelum
menggantikan posisi fi’il amr berikut ini:
)َةَناَمَاأل اءَدَأ ِدَ(أ َةَناَمَاأل اءَدَأ
13. 69
Jika diperhatikan contoh di atas, maka terlihat bahwa sebenarnya
mashdar berupa kata adaa’an adalah pengganti dari fi’il amr addi. Karena
menggantikan fi’il amr, maka kata yang ada setelah mashdar diharakati sesuai
dengan harakat ketika didahului oleh fi’il amr. Seperti kata al-amanata di atas,
diharakati fathah sebagai ciri nashab pada maf’ul bih. Isim mashdar adaa’an
merupakan bentukan kata addaa- yuaddi- adaa’an- addi.
Mashdar sebagai maf’ul muthlaq adalah mashdar yang manshub.
Mashdar manshub ini secara struktur dipengaruhi oleh ‘amil. Dalam ilmu nahwu,
‘amil adalah sesuatu yang mempengaruhi posisi sebuah kata hingga kata itu
dibaca dengan i’rab tertentu. Dalam maf’ul muthlaq, (al-Funtukh, 1418 H: 58)
‘amil yang ashli adalah fi’il, sedangkan yang lain adalah pengganti yang
menyerupai fi’il seperti isim mashdar, shifat (seperti shifah musyabbahah bismi
al-fail, isim fa’il maupun isim maf’ul). Misalnya adalah kalimat berikut ini:
)(الفعل اْميِلْكَت ىَس ْوُم ُهللا َمَّلَك َو
وراُفوَم اءَزَج مُكُؤاَزَج َمَّنَهَج َّنِإَف)(المصدر
اداَهِتِجا ُهُنِبا ٌدِهَتجُم ٌدَّمَحُم)المشبهة (الصفة
)الفاعل (اسم اص َلْخِإ َكَل ٌصِلْخُم َانَأ
ٌةَّيِد ِهيِوَذِل ُاَفدُت ئاَطَخ تلَق ُلوُتقَمال)المفعول (اسم
Secara fungsional mashdar yang diposisikan sebagai maf’ul muthlaq dibagi
menjadi empat (al-Funtukh, 1420 H: 59), yaitu:
1. Menguatkan ‘amilnya, contoh:
اارَصِتْنِا َن ُْودِهاَجُمْال َرَصَتْنِا
2. Menjelaskan ragam atau bentuk ‘amilnya, contoh:
ِسْرُتَسْيَرِذُر يْشد)(باإلضافة
َعِمَلَعَملَصِلاحا)(بالوصف
3. Menjelaskan jumlah ‘amilnya, contoh:
َسَجْدُتِللَسْجَدةَأْوَسْجَدَتْيِنَأْوَسَجَدات
4. Menggantikan posisi fiil’nya, contohnya seperti kalimat yang dijelaskan di
atas:
)َةَناَمَاأل اءَدَأ ِدَ(أ َةَناَمَاأل اءَدَأ
14. 70
Dari keempat ragam fungsi maf’ul muthlaq, fokus kajian uslub amr
dengan al-mashdar annaib ‘an fi’li al amr ada pada bagian keempat, yaitu
menggantikan posisi fi’ilnya (an yakuuna na’iban munaaba fi’lihi). Dalam
kondisi ini, fi’il yang digantikan harus dilesapkan. Ketika berfungsi menjelaskan
jumlah ‘amil, isim mashdar diberi tanda konjugasi mufrad, mutsanna atau
jama’, tetapi dalam fungsi menggantikan posisi fi’il, isim mashdar bentuknya
tidak berubah yaitu mufrad manshub meskipun fi’il yang digantikan itu memiliki
tanda konjugasi mutsanna ataupun jama’, mudazakkar maupun muannats.
Contoh:
،ُبِلاَط اَيَسْعيِف اَس ىِبْيِلْالَخْيِرَاْسِا(َسْعيِف اَس ىِبْيِلْالَخْيِر)
،ِانَبِلاَط اَيَسْعيِف اَس ىِبْيِلْالَخْيِراَعْسِا(َسْعيِف اَس ىِبْيِلْالَخْيِر)
ُط اَي،ُبَّلَسْعيِف اَس ىِبْيِلْالَخْيِرْوَعْسِا(اَسْعيِف اَس ىِبْيِلْالَخْيِر)
،ُةَبِلاَط اَيَسْعيِف اَس ىِبْيِلْالَخْيِريِعْسِا(َسْعيِف اَس ىِبْيِلْالَخْيِر)
Karena isim mashdar posisinya menggantikan posisi fi’il amr yang
dilesapkan yang dalam teori nahwu bentuk awalnya adalah maf’ul muthlaq, maka
hukum i’rabnya mengikuti maf’ul muthlaq, selamanya dibaca nashab (manshub).
2. Konjugasi Uslub Nahi ( النهي أسلوب تصريف )
Konjugasi, sebagaimana dijelaskan sebelumnya melihat penurunan verba
berdasar pada pelaku dan kala terjadinya komunikasi. Dilihat dari perspektif ini,
analisis konjugasi pada uslub nahy hanya bisa dilihat dari aspek perubahan pelaku
atau kata ganti nomina (dhamairnya). Karena dari aspek kala atau waktu
terjadinya perintah, uslub nahy terjadi pada satu waktu yaitu waktu yang akan
datang istiqbal sebagaimana terjadi dalam semua uslub insya’ thalabi (kalam
insya’).
15. 71
Jika pada kajian sebelumnya, fokus kajiannya terdapat pada karakter fi’il
nahi berupa fi’il mudhari’ yang mabni ketika bersambung dengan la nahiyah. Kali
ini kita akan menginisiai tambahan-tambahan huruf ketika fi’il nahi
disambungkan dengan kata ganti nomina (dhamairnya). Untuk lebih jelasnya
marilah kita lihat perubahan fi’il mudhari’ ketika kata ganti nominanya berubah
dalam tabel berikut ini:
الزيادة النهي فعل الضمائر دالئل الضمائر
- َت الَْبهْذ–ال
َتْأَرْق
مخاطب َأنت
االثنين األلف ْذت الاَبَه–َال
َتاَأ َرْق
مخاطبان أنتما
الجما واو
عن نيابة واأللف
النون
َت َالُبَهْذا ْو–َال
َتا ُْوؤ َرْق
مخاطبون أنتم
المخاطبة الياء َت َالْيِبَهْذ–َال
َتْيِئَرْق
مخاطبة ِتأن
االثنين األلف َت َالاَبَهْذ–ال
َتاَأ َرْق
مخاطبان أنتما
النسوة نون َالَتَْنبَهْذ–ال
َتَنْأ َرْق
مخاطبات ُتأنَّن
Ketika bersambung dengan dhamir tertentu, fi’il nahy mengalami
perubahan dengan penambahan huruf di akhir kalimat. Misalnya frasa la taqra’,
kata taqra’ memiliki huruf ta’ di awal menunjuk pada mukhatab (orang kedua).
Karena bentukan dasar mukhatab ditujukan kepada kamu (laki-laki), maka tidak
ada lagi tambahan tanda konjugasi pada kata taqra’ selain tanda ta’ mudhara’ah
di awal kata. Tambahan konjugasi pelaku tadzkir-ta’nits dan mufrod-jama’
terlihat pada selain pelaku orang kedua tunggal, misalnya pada kata la taqra’uu,
pada kata taqra’uu terdapat dhamir berupa huruf wawu yang mencirikan bahwa
kata tersebut ada tanda konjugasi pelaku yang menyaran kepada pelaku antum
(kamu sekalian laki-laki). Untuk melihat praktek penggunaan amr, perhatikan
kedua ayat ayat di bawah ini:
16. 72
اَّي َِركَزَوْذِإَىداَنُهَّبَرِبَرَليِنْرَذَتًادْرَفَتْنَأ َوُرْيَخَينِث ِار َوْلا(:األنبياء
89)
Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabbnya:"Ya Rabbku
janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah
Waris Yang Paling Baik. (QS. 21:89)
اَياَهُّيَأَِينذَّلاواُنَمَآَلواُذ ِخَّتَتَدوُهَيْلاىََارصَّنالَوَءاَيِل ْوَأْمُهُضْعَبُءاَيِل ْوَأ
ضْعَبْنَم َوْمُهَّل َوَتَيْمُكْنِمُهَّنِإَفْمُهْنِمَّنِإَ َّّللاَلِيدْهَيَم ْوَقْلاَينِمِلاَّظال
(:المائدة51)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5:51)
Pada ayat pertama (Surah al-Abiya’, ayat 89), frasa “la tadzarnii”
merupakan uslub nahyi, terdiri dari partikel laa nahiyah yang bersambung dengan
fi’il mudhari’ yang majzum. Demikian juga ayat yang kedua (Surah al-Maidah,
ayat 51), pada frasa “la tattakhidhuu”. Pada ayat yang pertama subyek yang
dituju adalah Allah subhanahu wa ta’ala sebagai mukhathab. Di ayat yang
pertama terjadi ketidaklaziman larangan sebagaimana pengertian dasar dari
larangan, yaitu al isti’la’ ay minal a’la ila al adna. Pengertian larangan adalah
permintaan dihentikannya sebuah aktifitas dengan superioritas persona yang
meminta (dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah).
Namun pada ayat yang pertama, persona yang meminta (Nabi Zakariya ‘alaihis
salam) secara kedudukan jelas lebih rendah dibanding persona yang diminta untuk
melakukan aktifitas (subyek pelaku yang melakukan isi larangan). Dalam kondisi
permintaan dari yang rendah ke yang lebih tinggi (minal adna ila al ’ala), tujuan
uslub amr dan uslub nahy adalah do’a. Secara makna arti dari uslub nahy pada
ayat pertama di atas bukan Nabi Zakariya ‘alaihis salam melarang Allah
subbhanahu wa ta’ala, namun artinya Nabi Zakariya ‘alaihis salam
memohon/mengharap perlindungan dari Allah subbhanahu wa ta’ala.
Ketika membahas konjugasi pelaku dari amr dan nahy, ada satu hal yang
harus anda perhatikan yaitu pengertian mengenai pelaku (fa’il). Jika melihat uslub
pada ayat di atas, maka pelaku yang mengujarkan kalimat larangan adalah Nabi
17. 73
Zakariya ‘alaihis salam, namun subyek yang dimaksud oleh uslub amr bukanlah
Nabi Zakariya ‘alaihis salam, tetapi pelaku yang dimintai ujaran uslub nahy yaitu
Allah subbhanahu wa ta’ala. Untuk memudahkan analisis sesuai asli tujuan uslub
nahy yaitu meminta kepada yang lebih rendah posisinya, perhatikan uslub nahy
pada ayat yang kedua (Surah al-Maidah, ayat 51). Frasa la tattakhiduu, janganlah
kalian mengambil (menjadikan), secara komunikatif mutakallim-nya adalah Allah
subbhanahu wa ta’ala. Pada tataran makna kalimat lengkap, subjeknya adalah
Allah subhanahu wa ta’ala. Namun subjek dari aktifitas yang dilarang pelakunya
adalah orang-orang yang beriman. Dalam ayat di atas, makna yang terkandung
dalam ayat di atas adalah: “Allah berfirman, isi firmanya adalah: “Janganlah
kalian wahai orang-orang yang beriman, menjadikan orang Yahudi dan Nasrani
sebagai pemimpin kalian”. Subjek dari ayat di atas ada dua, subjek ujaran utuh
dan subjek pelaku dari verba larangan (fi’il nahy). Subyek mutakallim-nya adalah
Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan subyek yang dilarang untuk melakukan
sesuatu adalah orang-orang mukmin (fa’il dari fi’il nahy).
Konjugasi pelaku yang ada pada verba larangan (fi’il nahy) adalah pelaku
dari verba larangan, bukan pelaku mutakallim yang menyampaikan ujaran
larangan. Ketika Nabi Zakariya alaihis salam berdo’a dan meminta kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, subyek mutakallim yang meminta dan berdo’a kepada Allah
subhanahu wa ta’ala adalah Nabi Zakariya. Wa zakariyya idz naada rabbahu,
subyek yang tersimpan dari kata naada adalah Nabi Zakariya alaihis salam,
karena diposisikan sebagai orang ketiga tunggal (dia laki-laki) maka tidak ada
tanda konjugasi pada fi’il madhi. Makna yang terkandung adalah: “Dan Zakariya
ketika ia menyeru (memohon) kepada Tuhannya”. Kalimat pertama ini
merupakan kalimat berita (kalam khabar). Sedangkan lanjutannya “rabbii la
tadzarni fardan wa anta khairu al-waaritsiin” merupakan kalimat non berita
(kalam insya’) berupa uslub nahy yang tujuannya adalah berdo’a, memohon
kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Secara struktur kalimat, ayat ke-89 dari Surah al-Abiya’ di atas terdiri dari
tiga kalimat, jika dipisahkan penggalannya sebagai berikut:
الكالم نوع الجملة النمرة
خبر كالم اَّي َِركَزَوْذِإَىداَنُهَّبَر 1
إنشاء كالم)النهي و (النداء ِبَرَليِنْرَذَتًادْرَف 2
18. 74
خبر كالم َتْنَأَوُْريَخَينِث ِارَوْلا 3
Kalimat pertama diawali dengan wawu isti’naf (wawu ibtida’) yaitu wawu
yang berada di awal kalimat dan secara fungsional sebagai penanda memulai
kalimat baru. Kalimat kedua merupakan kalimat non berita berupa nida’ dan
jawabu an-nida’ yang berbentuk fi’il nahy liddu’aa’. Kata “rabbi” merupakan
munaada dari huruf nida’ yang dilesapkan (yaa rabbi). Sedangkan uslub nahy
berupa kalimat “la tadzarni fardan” merupakan jawaban dari nida’. Jika
dianalisis secara ketersambungan kalimat, kalimat pertama dan kedua tidak
dihubungkan dengan wawu (fashl) karena kalimat kedua merupakan penjelas
(bayaanu al-ibham) yang berisi do’a Nabi Zakariya ‘alaihis salam, keduanya
memiliki ketersambungan yang sempurna (kamaalu al-ittishal). Sedangkan huruf
wawu yang ada sebelum kalimat ketiga adalah wawu ist’naf dengan mengirakan
ada kalimat yang dilesapkan atau tidak. dari jumlah yang dilesapkan ‘warzuqni
waaritsan” wa “anta khoiri al waaritsin”. Konjugasi uslub nahy yang ada pada
fi’il nahy di atas adalah konjugasi dasar tanpa tambahan huruf karena yang dituju
adalah dhamir mukhatab sebagai bentuk pelaku dasar dalam bentukan fi’il nahy.
Sebelum melanjutkan pembahasan konjugasi uslub nahy, perlu dibedakan
antara uslub nahy dan fi’il nahy yang dimaksud dalam modul ini. Uslub nahy
pengertiannya lebih luas, menyangkut seluruh kata dalam membentuk kalimat
larangan. Sedangkan fi’il nahy pengertiannya lebih sempit, hanya menyaran pada
bentukan fi’il nahy yang terdiri dari la naahiyah yang disambung dengan fi’il
mudhari’ yang majzum setelahnya. Dalam ayat di atas, fi’il nahy adalah verba “la
tadzar” sedangkan uslub nahy adalah “la tadzarni fardan”. Ilmu nahwu lebih
menekankan pembahasan pada bentukan fi’il nahy dan i’rabnya sedangkan ilmu
balagah melihat pembentukan fi’il nahy hingga menjadi uslub nahy serta
bagaimana penggunaannya dalam komunikasi.
Untuk melihat perbedaan kajian karakter dan kajian konjugasi pada uslub
nahy, perhatikanlah dua ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan kata dasar di
bawah ini. Kajian karakter melihat perbedaan antara verba la takhaf dan la
takhafuu pada harakatnya yang mabni, mabni ‘ala as-sukuun dan mabni ‘ala al-
dhammah. Sedangkan kajian konjugasi melihat perbedaan bentuk keduanya dari
19. 75
aspek perubahan bentuk karena perbedaan pelaku. Perhatikanlah dua ayat berikut
ini:
اَّمَل َوْنَأْتَءاَجَانُلُسُراوطُلَءيِسْمِهِبَاقَض َوْمِهِباع ْرَذواُلاَق َوَلْفَخَت
َل َوْنَزْحَتاَّنِإَُّوكجَنُمَكَلْهَأ َوَّالِإَكَتَأ َرْامَْتناَكَنِمَين ِرِبَاغْال
(:العنكبوت33)
Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth,
dia merasa susah dengan (kedatangan) mereka, dan (merasa) tidak
mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka dan mereka
berkata:"Janganlah kamu takut dan jangan (pula) susah.Sesungguhnya
kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali
isterimu, dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)".
(QS. 29:33)
َّنِإَِينذَّالواُلاَقَانُّبَرُ َّّللاَّمُثواُماَقَتْساُل ََّزنَتَتُمِهْيَلَعُةَكِئ َلَمْالَّلَأواُفاَخَتَلَو
واُنَزْحَتواُِرشْبَأ َوِةَّنَجْالِبيِتَّالْمُتْنُكَُوندَعوُت(فصلت30)
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:"Rabb kami ialah Allah"
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka (dengan mengatakan):"Janganlah kalian merasa
takut dan janganlah kalian merasa sedih; dan bergembiralah kalian dengan
(memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu" (QS. 41:30)
Jika melihat kedua contoh di atas, terdapat perbedaan tanda konjugasi
antara dua fi’il nahy yang menyaran kepada pelaku yang berbeda la takhaf dan la
takhafuu serta la tahzan dan la tahzanuu, ada penambahan huruf wawu yang
mencirikan konjugasi pelaku jamak. Jika memperhatikan perubahan pada contoh-
contoh sebelumnya, ada asumsi awal yang mengarah pada pengertian bahwa fi’il
nahy sebagaimana fi’il amr hanya menyaran kepada pelaku orang kedua
(mukhatab) dan tidak bisa digunakan untuk orang ketiga (ghaib). Berbeda dengan
fi’il amr, fi’il nahy juga bisa menyaran kepada pelaku orang ketiga yang dalam
uslub amr dibentuk dengan lam amr. Untuk melihat perubahannya, perhatikanlah
perubahan konjugasi pelaku pada kalimat berikut berdasar pada kata ganti persona
di bawah ini:
الزيادة الجملة الضمائر النمرة
- َالَْفخَيَالَوْنَزْحَيِْرشْبُيِل َوِةَّنَجْالِبيِتَّال
َانَكُدَعوُي
ُهَو 1
االثنين األلف اَفَاخَي َالاَِرشْبُيِل َو َانَزْحَي َال َوِةَّنَجْالِبيِتَّال
ِانَدَعوُي َاناَك
هما 2
20. 76
واأللف الجما واو
النون عن نيابة
ا ْوَفَاخَي َالَال َوا ْوُِرشْبُيِل َو ا ْوُنَزْحَيِةَّنَجْالِب
يِتَّالَن ُْودَعوُي واُناَك
هم 3
التال اءغائبة َالَْفخَتَالَوْنَزْحَتِْرشْبُتِل َوِةَّنَجْالِبيِتَّال
َْتناَكُدَعوُت
ِهَي 4
االثنين األلف َالاَفَاخَتَال َوا َِرشْبُتِل َو َانَزْحَتِةَّنَجْالِبيِتَّال
ِانَدَع ْوُت اَتَناَك
هما 5
النسوة نون َنْفَخَي َالِْرشْبُيِل َو َّنَزْحَي َال َوَنِةَّنَجْالِب
يِتَّالَّنُكَنْدَعوُي
هن 6
- َالَْفخَتَال َوْنَزْحَتِْرشْبَأ َوِةَّنَجْالِبيِتَّال
َتْنُكُدَعوُت
انت 7
االثنين األلف َالاَفَاخَتَال َوَِرشْبَأ َو َانَزْحَتاِةَّنَجْالِبيِتَّال
اَمُتْنُكِانَدَعوُت
انتما 8
واأللف الجما واو
النون عن نيابة
َالا ْوُفَاخَتَال َوا ْوُِرشْبَأ َو ا ْوُنَزْحَتِةَّنَجْالِب
يِتَّالْمُتْنُكَن ُْودَعوُت
انتم 9
الياءالمخاطبة َاليِفَاخَتَال َوْي ِِرشْبَأ َو يِنَزْحَتِةَّنَجْالِب
يِتَّالِدَتْنُكَْنيِدَعوُت
انت 10
االثنين األلف َالاَفَاخَتَال َوَِرشْبَأ َو َانَزْحَتاِةَّنَجْالِبيِتَّال
اَمُتْنُكِانَدَعوُت
انتما 11
النسوة نون َالَنْفَخَتَال َوَّنَزْحَتِْرشْبَأ َوَنِةَّنَجْالِب
يِتَّالَّنُتْنُكَنْدَعوُت
انتن 12
Perbedaan antara fi’il amr yang menyaran kepada pelaku kedua dan ketiga
terletak pada huruf mudhara’ah sebagaimana bentukan asli fi’il mudhari’.
Diantara keempat huruf mudhara’ah yang dipakai dua huruf yaitu ta’ dan ya’.
Sedangkan alif dan nun tidak digunakan karena tidak ada larangan kepada ana
dan nahnu. Kalaupun seseorang menyuruh dirinya, maka mutakallim akan
mempersonifikasikan dirinya sebagai orang lain atau mempersonifikasi anggota
tubuhnya sebagai mukhatab, seperti cuplikan qasidah Umi Kultsum
(https://www.youtube.com/watch?v=wr3NXboWqlM) yang diadaptasi dari syair
al-Adhlal karya Ibrahim Naji berikut ini:
َيُف اَؤِداَال يَتَسْلَأْيَنْالَهَوَك ىَانَصْرِم حاْنَخَيَف الَهَوى
ِاْسِقِنَو يْشاَرْبَعَلَأ ىْطَلِلِهَوَأْرِوَع يِنَط يَلاَامَّدالْمُاَرَوى
َكْيَفَذَاكْالُحُّبَأْمَسَخ ىَبَو راَحِدْيِم ثاْنَأَحِداْيِثْالَجَوى
Wahai hatiku janganlah engkau bertanya si manakah cinta itu berada
Ia muncul dari angan-angan dan berubah menjadi cinta
21. 77
Berilah aku air dan akan kuminum di atas puing-puing cinta
Dan ceritakanlah kisahku sepanjang derasnya linangan air mata
Bagaimana cinta itu berlalu
Ia menjadi berita dan cerita nestapa
Perhatikanlah contoh qasidah di atas, di awal bait terdapat ungkapan yang
menunjukkan bahwa penulis menyeru kepada hatinya sendiri dengan
memanggilnya “yaa fuaadi”, dalam analisis balagah ada dua kemungkinan
maksud frasa yaa fuaadi, pertama termasuk isti’arah makniyah, menyamakan
fu’ad dengan person yang diajak berkomunikasi. Musyabbah bihnya dihilangkan
hanya disebutkan karakternya yaitu bisa berkomunikasi. Kedua, bisa masuk
kategori majaz mursal, menyebutkan fu’adi (hatiku) namun yang dimaksud adalah
engkau yang ada di hatiku (kekasihku). Namun jika dianalisis kelanjutan makna
dari qasidah ini, terlihat bahwa sebenatrnya yang dimaksud dengan kata fu’adi
adalah hati penyair yang dipersonifikasikan seperti jasad yang terpisah dari diri
penyair sehingga bisa diajak berkomunikasi.
E. RANGKUMAN
1. Konjugasi adalah penurunan verba berdasar pada pelaku dan kala terjadinya
komunikasi.
2. Tashrif secara bahasa berarti at taghyiir (perubahan), secara istilah tashrif
adalah ilmu tentang tata cara bagaimana membentuk kalimat, membahas
kondisi kalimat apakah asli atau tambahan, shahih atau tidak, i’lal dan ibdal.
3. Perubahan fi’il amr dilihat dari perubahan dhamairnya dalam bahasa Arab
diistilahkan dengan istilah tashrif fi’l al-amr
4. Dhamair (kata ganti persona) pada fi’il amr hanya terbatas pada orang kedua
(mukhatab) dengan berbagai variasi tadzkir, ta’nits serta mufrod, mutsanna,
dan jama’.
5. Subjek yang ada pada fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri berkebalikan
dengan fi’il amr. Jika fi’il amr hanya menyaran kepada subjek mukhatab (mitra
tutur), fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri hanya menyaran kepada ghaib
(orang ketiga).
22. 78
6. Isim fi’il amar pada dasarnya tidak berubah dalam setiap keadaan, memiliki
harakat yang sama dengan kondisi dhamir yang berbeda. Isim fi’il amr selalu
muncul dalam bentuk yang sama, baik mufrad mutsanna dan jama’, perubahan
hanya terjadi pada isim fi’il amr yang bersambung dengan kaf al-khithob,
seperti ‘alaika atau ‘alaikum, duunaka atau duunakaum, dan haaka dan
haakum.
7. Fokus kajian uslub amr dengan al-mashdar annaib ‘an fi’li al amr adalah
ketika bentuk maf’ul muthlaq dalam posisi menggantikan posisi fi’ilnya (an
yakuuna na’iban munaaba fi’lihi). Dalam kondisi ini, fi’il yang digantikan
harus dilesapkan.
8. Ketika berfungsi menjelaskan jumlah ‘amil, isim mashdar diberi tanda
konjugasi mufrad, mutsanna atau jama’, tetapi dalam fungsi menggantikan
posisi fi’il, isim mashdar bentuknya tidak berubah yaitu mufrad manshub
meskipun fi’il yang digantikan itu memiliki tanda konjugasi mutsanna ataupun
jama’, mudazakkar maupun muannats.
9. Ketika bersambung dengan dhamir tertentu, fi’il nahy mengalami perubahan
dengan penambahan huruf di akhir kalimat
10. Konjugasi pelaku yang ada pada verba larangan (fi’il nahy) adalah pelaku dari
verba larangan, bukan pelaku mutakallim yang menyampaikan ujaran larangan.
11. Dhamair (kata ganti persona) pada fi’il amr hanya terbatas pada orang kedua
(mukhatab) dengan berbagai variasi tadzkir, ta’nits serta mufrod, mutsanna,
dan jama’.
12. Subjek yang ada pada fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri berkebalikan
dengan fi’il amr. Jika fi’il amr hanya menyaran kepada subjek mukhatab (mitra
tutur), fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri hanya menyaran kepada ghaib
(orang ketiga).
13. Isim fi’il amar pada dasarnya tidak berubah dalam setiap keadaan, memiliki
harakat yang sama dengan kondisi dhamir yang berbeda. Isim fi’il amr selalu
muncul dalam bentuk yang sama, baik mufrad mutsanna dan jama’, perubahan
hanya terjadi pada isim fi’il amr yang bersambung dengan kaf al-khithob,
seperti ‘alaika atau ‘alaikum, duunaka atau duunakaum, dan haaka dan
haakum.
23. 79
14. Fokus kajian uslub amr dengan al-mashdar annaib ‘an fi’li al amr adalah
ketika bentuk maf’ul muthlaq dalam posisi menggantikan posisi fi’ilnya (an
yakuuna na’iban munaaba fi’lihi). Dalam kondisi ini, fi’il yang digantikan
harus dilesapkan.
15. Ketika berfungsi menjelaskan jumlah ‘amil, isim mashdar diberi tanda
konjugasi mufrad, mutsanna atau jama’, tetapi dalam fungsi menggantikan
posisi fi’il, isim mashdar bentuknya tidak berubah yaitu mufrad manshub
meskipun fi’il yang digantikan itu memiliki tanda konjugasi mutsanna ataupun
jama’, mudazakkar maupun muannats.
16. Ketika bersambung dengan dhamir tertentu, fi’il nahy mengalami perubahan
dengan penambahan huruf di akhir kalimat
17. Konjugasi pelaku yang ada pada verba larangan (fi’il nahy) adalah pelaku dari
verba larangan, bukan pelaku mutakallim yang menyampaikan ujaran larangan.
F. TES FORMATIF 3
Pilihlah salah satu jawaban a,b,c,d,atau e yang saudara anggap paling
benar!
1. Konjugasi dalam ilmu bahasa adalah:
a. penurunan verba berdasar pada pelaku dan kala terjadinya komunikasi.
b. penurunan verba berdasar pada karakter dasarnya yang sesuai struktur
c. penurunan verba berdasar pada perubahan bentukan dasar tashrifnya
d. penurunan verba berdasar pada makna tekstual dan makna kontekstual
e. penurunan verba berdasar pada kesesuaian bunyi akhir kata
2. Ilmu tentang tata cara bagaimana membentuk kalimat, membahas kondisi kalimat
apakah asli atau tambahan, shahih atau tidak, i’lal dan ibdal.
a. Tashrif
b. Nahwu
c. Ma’ani
d. Bayan
e. Badi’
3. Kalimat yang tidak benar karena menyalahi kaidah pembentukan kalimat adalah:
a. َيَال َو ْدَهْجَيِةَسا َِرالد يِف ْلَسْك
24. 80
b. ِةَساَِرالد يِف ْلَسْكَت َال َو ْدَهِْجا
c. دَهِْجاْيِلَسْكَت َال َوْيِةَساَِرالد يِف
d. ْدَهِْجاَنْلَسْكَت َال َوَنِةَساَِرالد يِف
e. ُدَهِْجاْواُلَسْكَت َال َوْواِةَساَِرالد يِف
4. Subjek yang ada pada fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri berkebalikan
dengan fi’il amr. Jika fi’il amr hanya menyaran kepada subjek mukhatab (mitra
tutur), fi’il mudhari’ al-majzum bi lamil amri hanya menyaran kepada ghaib
(orang ketiga). Misalnya:
a. ِرَطَملْا ِل ْوُزُن َلْبَق َةَّلَضِمْال ُةَبَلَّالط ِدِعَتْسَيِل
b. ِرَطَملْا ِل ْوُزُن َلْبَق َةَّلَضِمْال ُةَبَلَّالط ا ْدوِعَتْسَتِل
c. ِرَطَملْا ِل ْوُزُن َلْبَق َةَّلَضِمْال ُةَبَلَّالط ُوادِعَتْسَيِل
d. َملْا ِل ْوُزُن َلْبَق َةَّلَضِمْال ُةَبَلَّالط ِدِعَتْسَتِلِرَط
e. ِدِعَتْسَيِلَنِرَطَملْا ِل ْوُزُن َلْبَق َةَّلَضِمْال ُةَبَلَّالط
5. Isim fi’il amar pada dasarnya tidak berubah dalam setiap keadaan, memiliki
harakat yang sama dengan kondisi dhamir yang berbeda. Isim fi’il amr selalu
muncul dalam bentuk yang sama, baik mufrad mutsanna dan jama’, perubahan
hanya terjadi pada isim fi’il amr yang bersambung dengan:
a. kaf al-khithob
b. wawu jama’
c. ya’ mukhathabah
d. nun nuswah
e. alif al itsnaini.
6. Secara fungsional mashdar yang diposisikan sebagai maf’ul muthlaq dibagi
menjadi empat, diantara fungsi di bawah yang bukan termasukfungsi masdar
dalam maf’ul muthlaq:
a. Menghilangkan ambiguistas ‘amilnya
b. Menguatkan ‘amilnya
c. Menjelaskan ragam atau bentuk ‘amilnya
d. Menjelaskan jumlah ‘amilnya
e. Menggantikan posisi fiil’nya
7. Ketika berfungsi menjelaskan jumlah ‘amil, isim mashdar diberi tanda konjugasi
mufrad, mutsanna atau jama’, tetapi dalam fungsi menggantikan posisi fi’il, isim
mashdar bentuknya tidak berubah yaitu:
25. 81
a. mufrad manshub
b. jama’ manshub
c. mufrad marfu’
d. jama’ marfu’
e. mufrad majrur
8. Pada ayat berikut ini, pelaku dari fi’il nahy adalah:
َّنِإَِينذَّالواُلاَقَانُّبَرُ َّّللاَّمُثواُماَقَتْساُلََّزنَتَتُمِهْيَلَعُةَكِئ َلَمْالَّلَأواُفاَخَتَلَوواُنَزْحَت
واُِرشْبَأ َوِةَّنَجْالِبيِتَّالْمُتْنُكَُوندَعوُت
a. Antum (kamu sekalian)
b. Hum (mereka: alladdzina)
c. Huwa (dia: malaikat)
d. Huwa (Dia: Allah)
e. Hiya (dia: Malaikat)
9. Perhatikanlah ayat berikut ini:
اَياَهُّيَأَِينذَّالواُنَمَآْمُكْيَلَعْمُكَسُفْنَأَالْمُكُّرُضَيْنَمَّلَضاَذِإْمُتْيَدَتْهاىَلِإِ َّّللا
ْمُكُع ِج ْرَمايعِمَجْمُكُئَِبنُيَفاَمِبْمُتْنُكَونُلَمْعَت(:المائدة105)
antara kalimat اَياَهُّيَأَِينذَّالواُنَمَآْمُكْيَلَعْمُكَسُفْنَأ dan kalimat َالْمُكُّرُضَيْنَمَّلَضاَذِإ
ْمُتْيَدَتْها di fashl karena:
a. syibhu kamalul ittishal
b. syibhu kamalul inqitha’
c. kamalul ittishal
d. kamalul inqitha’
e. at-tawashshuth baina al-kamalaini
10. Dasar bentukan fi’il amr menyaran kepada dhamir:
a. َنتَأ
b. َامُتنَأ
c. ْمُتْنَأ
d. ِتْنَأ
e. َّنُتْنَأ
G. DAFTAR RUJUKAN
26. 82
Abbas, Fadhl Hasan. Al-Balagah: Ilmu al-Ma’ani. Yordania: Daru al-Furqan.
1997.
Abbas, Fadl Hasan, al-Balagah Funūnuhā wa Afnānuhā: Ilmu al-Ma’ani.
Yordania: Dar al-Furqan. 2000.
al-Ghulayaini, Musthafa, Jami’id durus al-Arabiyyah. Lebanon: Daru al-Kutub al-
Iliyyah. 2000.
Al-Khairain, Agus Shahib. Awdhahul Manahij fi Mu’jami Qawaidu al Luhah al-
Arabiyyah. 2008
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Depag. 2019
https://www.youtube.com/watch?v=wr3NXboWqlM. Diakses pada tanggal 25
Oktober 2019
Ni’mah, Fuad. tt. Mulakhkhash Qawa’id al-Lughah al-Arabiyyah. Damaskus:
Darul Hilmah. cet.7