Tugas 1 Mata Kuliah Mitigasi Bencana Pesisir (3 SKS), Nama : Dewi Anggraeni, NIM : 1310190001, Dosen Pengampu: Luhur Moekti Prayogo, S.Si., M.Eng, Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban 2022
1. i
POTENSI BENCANA PESISIR DAN UPAYA MITIGASI BENCANA
WILAYAH PESISIR DI INDONESIA
MAKALAH MITIGASI BENCANA PESISIR
Dosen Pengampu:
Luhur Moekti Prayogo, S.Si., M.Eng
NAMA : DEWI ANGGRAENI
NIM : 1310190001
PRODI : ILMU KELUATAN / 2019
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS PGRI RONGGOLAWE
TUBAN
2022
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas taufik dan perkenan-Nya, karena berkat limpahan
rahmat, taufik, hidayah, serta inayahnya, penulis bisa menyelesaikan tugas penyusunan
Makalah Desalinasi dengan judul Potensi Bencana Di Wilayah Pesisir Sholawat serta salam
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan jalan
kebaikan dan kebenaran di dunia dan di akhirat pada umat manusia.
Penulis selaku penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada Bapak Luhur
Moekti Prayogo, S.Si., M.Eng selaku dosen pengampu mata kuliah Mitigasi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini.
Begitulah adanya, makalah ini masih jauh dari sempurna. Dengan segala
kerendahan hati, saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari pembaca
demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah dimasa yang akan datang.
Dan kami berharap, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi
kami penyusun dan para pembaca serta referensi bagi penyusun makalah yang senada di
waktu yang akan datang.
Tuban, 20 November 2022
Penulis
3. iii
DAFTAR ISI
Cover...........................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................2
2.1 Potensi Bencana Di Wilayah Pesisir ...........................................................................2
2.1.1 Bencana Tsunami ........................................................................................................2
2.1.2 Bencana Banjir ..............................................................................................................3
2.1.3 Bencana Sea Level Rise (Kenaikan Paras Muka Air Laut).....................................3
2.1.4 Bencana Erosi................................................................................................................4
2.1.5 Bencana Angin Topan/Badai.......................................................................................4
2.2 Mitigasi Bencana Di Wilayah Pesisir .........................................................................4
2.2.1 Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Di Wilayah Pesisir...........................................5
2.2.2 Strategi Mitigasi Bencana Alam Di Wilayah Pesisir ...............................................6
2.3 Mitigasi Bencana Tsunami..........................................................................................6
2.3.1 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Struktural............................................................6
2.3.2 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Non Struktural...................................................7
2.4 Mitigasi Bencana Banjir..............................................................................................8
2.4.1 Upaya Mitigasi Bencana Banjir Struktural................................................................8
2.4.2 Upaya mitigasi bencana banjir non struktural...........................................................9
2.5 Mitigasi Bencana Sea Level Rise/SLR (Kenaikan Paras Muka Air Laut)................10
2.5.1 Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise)
Struktural......................................................................................................................10
2.5.2 Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise) Non
Struktural......................................................................................................................10
2.6 Mitigasi Bencana Erosi .............................................................................................10
2.6.1 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Struktural....................................................10
2.6.2 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Non Struktural...........................................11
2.7 Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai ......................................................................11
4. iv
2.7.1 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Struktural ......................................11
2.7.2 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Non Struktural..............................11
BAB III PENUTUP .................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKAN ...........................................................................................................13
5. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ribuan pulaupulau kecil dan pantai
terpanjang di dunia. Karena kondisi geografis dan geologisnya, pesisir pantai dan pulau-pulau
kecil di Indonesia berpotensi mengalami bencana alam yang merupakan salah satu atau
kombinasi dari gempa bumi tektonik, tsunami, angin topan/badai, banjir, gunung berapi dan
tanah longsor, maupun oleh faktor non alam seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan
ulah manusia. Kesemuanya tidak dapat diprediksi sebelumnya secara tepat kapan terjadi di
suatu wilayah tertentu. Umumnya bencana yang terjadi tersebut menyebabkan penderitaan
bagi masyarakat, baik berupa korban jiwa manusia, kerugian harta benda, maupun kerusakan
lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Disisi lain, karena
berbagai potensi yang dikandung, wilayah pesisir pantai cenderung terus berkembang dengan
populasi yang juga terus meningkat. Aset berupa sumberdaya manusia dan infrastruktur yang
berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dilindungi dari bencana dan
perlindungan tersebut merupakan tanggung jawab nasional suatu Negara, utamanya
Pemerintah Daerah setempat dengan cara mengembangkan strategi mitigasi.
Bencana diartikan sebagai suatu kejadian yang diluar kebiasaan (kondisi normal).
Bencana dapat dibagi dalam bencana fisik dan bencana non fisik. Bencana selain disebabkan
oleh faktor alam yang diluar kondisi normal dapat juga disebabkan oleh tindakan manusia
yang secara simultan dapat mendatangkan bencana. Mitigasi, yang merupakan berbagai
tindakan/upaya preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana yang diantisipasi
akan terjadi di masa datang di suatu daerah tertentu, merupakan investasi jangka panjang bagi
kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Mitigasi dapat bersifat struktural ataupun non
struktural. Kedepan terdapat kecenderungan bahwa sudah menjadi kebutuhan untuk lebih
menitikberatkan pada upaya mitigasi ketimbang respon paska bencana.
1.2 Rumusan masalah
Potensi bencana apa saja yang ada di wilayah pesisir?
Apa yang dimaksud dengan mitigasi bencana di wilayah pesisir?
Bagaimana upaya upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui apa saja bencana yang ada di wilayah pesisir, apa yang dimaksud
dengan mitigasi bencana dan upaya upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir.
6. 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Potensi Bencana Di Wilayah Pesisir
2.1.1 Bencana Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu = pelabuhan dan nami = gelombang. Jadi
tsunami berarti pasang laut besar di pelabuhan. Dalam ilmu kebumian terminologi ini dikenal
dan baku secara umum. Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai gelombang laut
dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada
medium laut, seperti gempa bumi, erupsi vulkanik atau longsoran (land-slide).
Gangguan impulsif pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga sumber utama, yaitu :
Gempa didasar laut
Letusan gunung api didasar laut
Longsoran yang terjadi di dasar laut
Gelombang tsunami mempunyai panjang gelombang yang besar sampai mencapai
100 km. Kecepatan rambat gelombang tsunami di aut dalam mencapai antara 500
sampai 1000 km/ jam. Kecepatan penjalaran tsunami ini sangat tergantung dari
kedalaman laut dan penjalarannya dapat berlangsung mencapai ribuan kilometer.
Apabila tsunami mencapai pantai, kecepatannya dapat mencapai 50 km/jam dan
energinya sangat merusak daerah pantaiyang dil aluinya. Sedangkan tinggi tsunami dapat
mencapai 30 m. Dampaknegatif yang diakibatkan adalah dapat menyebabkan genangan,
kontaminasi air asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih. Disamping itu dapat merusak
bangunan, prasarana dan tumbuh- tumbuhan, dan dapat mengakibatkan korban jiwa
manusia. Tsunami yang terjadi di Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh gempa-
gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya (Puspito,
1994). Selama kurun waktu 1600 — 1999 terdapat 105 kejadian tsunami yang mana
909c disebabkan oleh g empa-gempa tektonik, 9 % disebabkan oleh letusan gunung api,
dan 1 % disebabkan oleh landslide (Latief et al, 2000). Di Indonesia terdapat beberapa
kelompok pantai yang rawan bencana tsunami, yaitu kelompok Pantai Barat Sumatera,
Pantai Selatan Pulau Jawa, Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-
pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Teluk
dan bagian yang melekuk dari pantai sangat rawan akan bencana ini. Apalagi biasanya
para nelayan mencari ikan dan bermukim di teluk. Selain itu daerah ini juga memiliki
pantai landai yang memungkinkan gelombang pasang merayap ke daratan.
7. 3
2.1.2 Bencana Banjir
Problem banjir secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan ulah campur
tangan manus ia, sehingga dalam pemecahan nya tidak hanya dihadapkan pada masalah-
masalah teknis saja tetapi juga oleh masalah- masalah yang berhubungan dengan kepadatan
penduduk yang melampaui batas. Yang dimaksud dengan gejala alam adalah karena
umumnya kota-kota pantai terletak di pantai berupa dataran yang cukup landai dan dilalui
oleh sungai -sungai dan ketika pasang sebagian di bawah permukaan air laut, di samping juga
dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi. Fenomena kenaikan paras mula air laut ‹sea level
rise) juga merupakan sebab yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir.
Hal tersebut dikarenakan oleh pembendungan akibat kenaikan paras air laut serta
bertambahnya intensitas curah hujan karena pemanasan global. Adanya reklamasi pantai di
daerah rawa-rawa di wilayah pesisir akan mengakibatkan hilangnya fungsi sebagai daerah
tampungan sehingga memper besar aliran permukaan . Reklamasi juga akan mengakibatkan
aliran sungaı makin lambat. Karena kecepatan berkurang maka laju sedimentasi di muara
akan bertambah yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara. Pendangkalan
muara akan menimbu1kan efek pembendungan yang cukup signifikan yang pada giIirann ya
akan meningkatkan frekuensi banjir karena kapasitas tampan g sungai yan g terlampaui oleh
debit sungai. Penggunaan air tanah yang berlebihan mengakibabk an land subsidence
(penurunan tanah) sehingga memperbesar potensi banjir. Daerah pesisir rawan banjir di
Indonesia meliputi Jakarta, pantura Jawa, Lampung, Palembang, Aceh, Sumatra Barat,
Manado, Minahasa, dan Pulau Sumbawa.
2.1.3 Bencana Sea Level Rise (Kenaikan Paras Muka Air Laut)
Peningkatan kegiatan manusia khususnya kegiatan transportasi, industri,
pembangunan gedung-gedung dengan seluruhnya hampir tertutup kaca akhir-akhir ini,
maka akan mengakibatkan pening katan efek rumah kaca (green house effect). Salah satu
dampak dari peningkatan efek rumah kaca ini adalah terjadinya pemanasan suhu di bumi
(globa1 warming) yang pada akhirnya akan mengakibatkan pemuaian air laut yang berakibat
pada Sea Leve1 Rise (selanjutnya disebut SLR). Menurut IPCC (1990) diperkirakan akan
terjadi SLR sebesar kira-kira 1 meter pada tahun 2100 dihitung mulai tahun 1990 Kejadian
SLR tersebut akan mengak ibatkan mundurnya garis pantai. Salah satu cara paling sederhana
untuk meperkirakan kemunduran garis pantai adalah dengan menganggap profil pantai
setelah SLR adalah tetap. Dengan anggapan seperti ini maka besarnya kemunduran garis
pantai adalah sebanding dengan SLR dibagi dengan kemiringan pantai.
8. 4
Apabila kita tinjau panjang garis pantai total ya ng di miliki oleh Indonesia adalah 81.000 km
dan kita anggap bahwa kemunduran garis pantai rerata akibat SLR sekitar 25 m, maka
dengan berarti lahan pantai yang hilang dalam 100 tahun mencapai 202.500 Ha atau per
tahunnya 2.025 Ha. Dampak lain akibat SLR adalah terjadinya peningkatan frekuehsi dan
intensitas banjir. Hal terse but dikarenakan efek pembendungan oleh adanya SLR. Pembe
ridungan ini mengakibatkan kecepatan berkurang dan laju sedimentasi di muara akan
bertambah yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara.
2.1.4 Bencana Erosi
Problem erosi di Indonesia telah mencapai tahapan kritis, karena banyak lahan yang
bernilai ekonomis yang hilang akibat erosi. Erosi pantai di Indonesia dapat diakibatkan oleh
proses alami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya. Akibat aktifitas man usia
misalnya pembangunan perlabuhan, reklamasi pantai (untuk permukiman, pelabuhan udara,
dan industri). Namun demikian penyebab utamanya adalah gerakan gelombang pada pantai
terbuka, seperti pantai selatan Jawa, Selatan Bali dan beberapa area Kepulauan Sunda.
Disamping itu, karena keterkaitan ekosistem, maka perubahan hidrologis dan oseanografis
juga dapat mengakibatkan erosi kawasan pesisir. Terdapat 17 propinsi dan 68 lokasi pantai
yang mengalami erosi di Indonesia yang memerlukan perhatian dan penanganan segera.
Erosi pantai tergantung pada kondisi angkutan sedimen pada lokasi tersebut, yang
dipengaruhi: angin, gelombang, arus, pasang surut, sedimen, dan kejadian lainnya, serta
adanya gangguan yang diakibatkan oleh ulah manusia yang mungkin berupa konstruksi
bangunan pada pantai, dan penambangan pasir.
2.1.5 Bencana Angin Topan/Badai
Karena posisi geografisnya, wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia
cukup rentan terhadap bencana angin topan/badai . Angin topan adalah suatu badai tropikal
yang hebat dari pelepasan banyak energi dalam satu hari sebanyak satu megaton bom
hydrogen. Angin topan/badai ini dapat mencapai kecepatan 200 km/jam dengan tekanan tiup
mencapai 200 kg/m2.
2.2 Mitigasi Bencana Di Wilayah Pesisir
Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan
bencana, karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang
dimaksudkan untuk mengantisipasi agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi. Mitigasi
bencana di wilayah pesisir dan pulau -pulau kecil dapat dilakukan secara struktural maupun
9. 5
secara non struktural Secara struktural yaitu dengan melakukan upaya teknis, baik secara
alami maupun buatan, seperti pembuatan breakwater dan penanaman mangrove untuk
mitigasi tsunami, pembangunan tanggul-tanggul, kanal-kanal diversi, pintu- pintu air
pengendali banjir, normalisasi sungai, dan sistem polder pada daerah rawan banjir, groin pada
wilayah pesisir yang tererosi, dan pembuatan struktur tahan bencana. Sedangkan mitigasi
secara non struktural adalah upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan
tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun
upaya lainnya. Mitigasi secara non struktural antara lain dengan membuat kebijakan tata guna
lahan, kebijakan mengenai standarisasi bangunan tahan bencana, kebijakan tentang
ekspIorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pesisir, penyadaran masyarakat,
serta penyuluhan dan sosialisasi mengenai mitigasi bencana. Untuk mengatasi masalah
bencana perlu dilakukan upaya mitigasi yang komprehensif yaitu kombinasi upaya struktur
(pembu atan prasarana dan sarana pengendali) dan non struktur dan pelaksanaannya harus
melibatkan instansi terkait. Seberapa besar pun upaya tersebut tidak akan dapat mem
bebaskan terhadap masa1ah bencana alam secara mutlak. Oleh karena itu kunci
keberhasilannya sebenarnya adalah adanya keharmonisan antara manusia/ masyarakat
dengan aIam lingkungannya.Selain hal tersebut diatas perlu dipikirkan pula penerapan
Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integ rated Coastal Management) untuk mitigasi bencana.
2.2.1 Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Di Wilayah Pesisir
Kebijakan Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan
suatu kerangka konseptual yang disusun untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana terutama di wilayah pesisir. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi
terhadap bahaya alam dan buatan manusia, serta kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi
atau menghilangkan resiko jangka pendek, menengah dan panjang, baik terhadap kehidupan
manusia maupun harta benda. Kebijakan Mitigasi Bencana di Wilayah pesisir ini adalah
sebagai berikut :
a. Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk
di wilayah pesisir, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan sumberdaya
alam.
b. Mengurangi dampak negatif terhadap kualitas keberlanjutan ekologi dan lingkungan
di wilayah pesisir akibat bencana alam maupun buatan.
c. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan wilayah pesisir.
10. 6
d. Meningkatkan pengetahuan masyarakat pesisir dalam menghadapi serta mengurangi
dampak/resiko bencana.
e. Meningkatkan peran serta pemerintah baik pusat maupun daerah, pihak swasta
maupun masyarakat dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir
2.2.2 Strategi Mitigasi Bencana Alam Di Wilayah Pesisir
Secara filosofis, penanggulangan bencana di wilayah pesisir dapat ditempuh melalui
beberapa strategi sebagai berikut :
a. Pola protektif, yaitu dengan membuat bangunan pantai secara langsung “menahan
proses alam yang terjadi”.
b. Pola adaptif, yakni berusaha menyesuaikan pengelolaan pesisir dengan perubahan alam
yang terjadi.
c. Pola mundur (retreat) atau do-nothing, dengan tidak melawan proses dinamika alami
yang terjadi, tetapi “mengalah” pada proses alam dan menyesuaikan peruntukan sesuai
dengan kondisi perubahan alam yang terjadi.
Untuk dua pola terakhir perlu dipandang sebagai strategi mitigasi bencana alam di wilayah
pesisir. Kajian ke arah tersebut perlu dilakukan agar kelestarian sumberdaya alam pantai
dapat terpelihara serta kemanfaatannya terus dapat dinikmati dari generasi ke generasi secara
berkelanjutan. Selain itu dapat pula dilakukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam
mitigasi bencana di wilayah pesisir sebagai pendekatan preventif dengan jalan memberikan
penyuluhan dan pengarahan kepada masyarakat.
2.3 Mitigasi Bencana Tsunami
2.3.1 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Struktural
Upaya struktural dalam menangani masalah bencana tsunami adalah upaya teknis
yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke
kawasan pantai. Mengingat tsunami menjalar secara frontal dengan arah tegak lurus terhadap
bidang subduksi, sedangkan secara garis besar teluk-teluk dan pelabuhan-pelabuhan yang
potensial terhadap bahaya tsunami (yaitu yang mengandung langsung ke zona subduksi)
dapat ditetapkan, dan trayek penjalaran tsunami ke teluk-teluk atau pelabuhan-pelabuhan
tersebut dapat diperkirakan. Berdasarkan pemahaman atas mekanisme terjadinya tsunami,
karakteristik gelombang tsunami, inventarisasi dan identifikasi kerusakan struktur bangunan,
maka upaya struktural tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Alami, seperti penanaman green belt (huran pantai atau mangrove), di sepanjang kawasan
pantai dan perlindungan terumbu karang.
11. 7
2. Buatan,
a) pembangunan breakwater, seawall, pemecah gelombang sejajar pantai untuk menahan
tsunami,
b) memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya dengan kaidah teknik bangunan
tahan bencana tsunami dan tata ruang akrab bencana, dengan mengembangkan beberapa
insentif, antara lain:
Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik
bangunan tahan tsunami,
Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah
kepadatan permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang
dapat dipergunakan untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah memindahkan sebagian pemukiman ke
lokasi lain, dan menata kembali pemukiman yang ada yang mengacu kepada
konsep kawasan pemukiman yang akrab bencana.
2.3.2 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan
pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya. Upaya non struktural tersebut meliputi antara lain :
1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam,
2. kebijakan tentang tata guna lahan / tata ruang/ zonasi kawasan pantai yang aman
bencana,
3. kebijakan tentang standarisasi bangunan (pemukiman maupun bangunan lainnya)
serta infrastruktur sarana dan prasarana,
4. mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal,
5. pembuatan Peta Potensi Bencana Tsunami, Peta Tingkat Kerentanan dan Peta Tingkat
Ketahanan, seingga dapat didesain komplek pemukiman “akrab bencana” yang
memperhatikan beberapa aspek :
a. bangunan permukiman tahan terhadap bencana tsunami,
b. mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana,
c. ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi, dan
d. aspek sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar kegiatan perekonomiannya
tergantung pada hasil dan budidaya kawasan pantai.
6. kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai,
12. 8
7. pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami,
8. penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami, dan
9. pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya tsunami.
Ancaman tsunami dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu ancaman tsunami
jarak dekat (local) dan ancaman tsunami jarak jauh. Kejadian tsunami di Indonesia pada
umumnya adalah tsunami lokal yang terjadi sekitar 10 – 20 menit setelah terjadinya gempa
bumi dirasakan oleh masyarakat setempat. Sedangkan tsunami jarak jauh terjadi 1 – 8 jam
setelah gempa dan masyarakat setempat tidak merasakan getaran gempa buminya.
2.4 Mitigasi Bencana Banjir
2.4.1 Upaya Mitigasi Bencana Banjir Struktural
Upaya struktural dalam menangani masalah bencana banjir adalah upaya teknis yang
bertujuan untuk menghambat laju air menuju muara sungai mulai dari daerah hulu,
memperlancar aliran secara proporsional dan mencegah adanya luapan air sungai atau
terjadinya genangan berlebihan air di daerah titik-titik rawan banjir. Upaya struktural tersebut
didasarkan pada pendekatan konservasi dan pembangunan :
1. pembangunan tanggul di pinggir titik-titik daerah rawan banjir serta waduk pada
daerah genangan air,
2. pembangunan kanal-kanal untuk menurunkan ketinggian air di daerah aliran sungai
dengan menambah dan mengalihkan arah aliran sungai sekaligus untuk irigasi,
3. membangun river side conservation area di daerah tengah dan hulu, bertujuan untuk
menahan air tidak segera menuju muara,
4. pembangunan poulder, bertujuan untuk mengumpulkan dan memindahkan air dari
tempat yang mempunyai elevasi lebih tinggi dengan menggunakan pompa,
5. normalisasi secara selektif sungai bertujuan untuk melancarkan dan mempercepat
aliran air sungai secara proporsional, dan
6. pembangunan pintu-pintu air pengendali banjir di ruasruas sungai sehingga debit
sungai akan sesuai dengan kapasitas sungai. Pemilihan jenis konstruksi dan prasarana
pengendali banjir khususnya untuk mitigasi bencana struktural tersebut dilakukan
melalui tahapan pengenalan/pengecekan kondisi lapangan (reconnaissance),
penyusunan masterplan, studi kelayakan rancang bangun dengan pertimbangan
ekologis dan teknis secara terpadu.
7. penghijauan (reboisasi) daerah-daerah yang rawan banjir.
13. 9
8. desain komplek permukiman yang “akrab bencana”, dengan memperhatikan beberapa
aspek: a) bangunan permukiman yang sesuai di daerah dataran banjir, b) mobilitas
dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana, c) ruang fasilitas umum untuk
keperluan evakuasi, d) aspek sosial ekonomi masyarakat, dan e) pembangunan
permukiman kembali yang sesuai dengan kaidah teknik bangunan tahan bencana
banjir dan tata ruang akrab bencana dengan beberapa insentif yang perlu
dikembangkan antara lain :
Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik
bangunan sesuai di dataran banjir
Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah
kepadatan permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik
yang dapat dipergunakan untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas
masyarakat.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memindahkan sebagian permukiman ke
lokasi lain dan menata kembali permukiman yang ada yang mengacu kepada konsep kawasan
permukiman akrab bencana.
2.4.2 Upaya mitigasi bencana banjir non struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan
pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural
maupun upaya lainnya. Upaya non struktural tersebut meliputi antara lain :
1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam,
2. kebijakan tentang tata guna lahan di dataran banjir dan daerah tangkapan air,
3. kebijakan tentang standarisasi bangunan (permukiman maupun bangunan lainnya) serta
infrastruktur sarana dan prasarana,
4. pembuatan Peta Potensi Bencana Banjir, Peta Tingkat Kerentanan dan Peta Tingkat
Ketahanan ,
5. mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal serta mikrozonasi sistem drainase
perkotaan dan sistem pengelolaan sampah.
6. kebijakan tentang penerapan batas sempadan sungai,
7. pelatihan dan simulasi serta sosialisasi mitigasi bencana banjir,
8. pengendalian curah hujan untuk mengurangi intensitas curah hujan.
9. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Banjir
14. 10
2.5 Mitigasi Bencana Sea Level Rise/SLR (Kenaikan Paras Muka Air Laut)
2.5.1 Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR)
Struktural
Upaya struktural dalam menangani bencana SLR adalah upaya teknis yang bertujuan
untuk melindungi lingkungan pesisir yang rawan terhadap bencana SLR. Upaya
penanggulangan secara fisik yang dapat dilakukan antara lain:
1. Membuat sistem pelindung pantai baik yang bersifat statis seperti pembangunan tanggul,
seawall, revetment, groin, dan detached breakwater maupun yang dinamis seperti
penanaman mangrove.
2. Mengangkat atau meninggikan segala bentuk fasilitas dan lahan pantai.
3. Memindahkan segala bentuk fasilitas dan lahan pantai ke arah darat yang aman dari
jangkauan air laut.
4. Penyesuaian sistem drainase.
2.5.2 Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) Non
Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan
pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural
maupun upaya lainnya. Upaya-upaya non struktural ini meliputi :
1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam,
2. penyusunan kebijakan untuk pemerintah terkait dan stakeholder tentang sistem
perlindungan pantai.
3. pengembangan garis pantai (shoreline setback), seperti penyusunan kebijakan yang
mengatur ijin bangunan terhadap lahan yang terkena erosi akibat SLR.
4. pengembangan Sistem Peringatan Dini Kenaikan Paras Muka Air Laut
2.6 Mitigasi Bencana Erosi
2.6.1 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Struktural
Upaya struktural dalam menangani masalah bencana erosi adalah upaya teknis yang
bertujuan untuk menjaga keseimbangan proses transpor sedimen di sepanjang garis pantai
melalui upaya antara mengurangi/menahan energi gelombang yang mencapai garis pantai,
memperkuat struktur geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen. Upaya
mitigasi struktural tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :
1. Secara alami, seperti penanaman green belt (hutan pantai atau mangrove), penguatan
gumuk pasir dengan vegetasi dan lain-lain.
15. 11
2. Secara buatan, seperti pembangunan dinding penahan gelombang, pembangunan groin
dan lain-lain. Upaya struktural mitigasi dengan cara buatan tersebut perlu direncanakan
secara cermat karena dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pola dan karakteristik
gelombang yang dalam jangka panjang mungkin dapat mengakibatkan terjadinya erosi di
tempat lain.
2.6.2 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan
pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya. Upaya mitigasi bencana erosi non struktural adalah
sebagai berikut : 1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam, 2.
pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai, 3. penyusunan sempadan garis
pantai, 4. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Erosi Pantai.
2.7 Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai
2.7.1 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Struktural
Upaya struktural dalam menangani bencana angin topan/badai adalah upaya teknis
yang bertujuan untuk mencapai lingkungan yang lebih tahan bencana angin topan/badai.
Upaya penanggulangan secara fisik yang dapat dilakukan antara lain: • low cost roof
retrofitting, terutama struktur atapnya yang rentan terhadap kerusakan akibat angin
topan/badai
2.7.2 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan
pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural
maupun upaya lainnya. Upaya penanggulangan secara non strukural yang dapat dilakukan
antara lain:
1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam,
2. pemetaan bahaya sentakan badai,
3. lifeline vulnerability audits untuk mempromosikan kesiagaan masyarakat terhadap
bencana,
4. sosialisasi peraturan pembangunan dan cara-cara konstruksi yang baik dan aman dan
lain-lain,
5. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Angin Topan/Badai
16. 12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa potensi bencana yang ada di wilayah pesisir meliputi :
bencana tsunami, bencana banjir, bencana kenikan para muka air laut (Sea Level Rise),
bencana erosi dan masih banyak lagi, dan adanya upaya-upaya mitigasi bencana di wilayah
pesisir yang amat penting dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan ini merupakan
kegiatan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar dampak
yang ditimbulkan dapat dikurangi. Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau -pulau kecil
dapat dilakukan secara struktural maupun secara non struktural.
17. 13
DAFTAR PUSTAKAN
Direktorat Jenderal Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan Dan Perikanan
2004. Pedoman Mitigasi Bencana Alam Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
Jakarta. 1-75
Diposaptono, S. D. (2014). Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dalam Kerangka
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Jurnal ALAMI: Jurnal Air, Lahan,
Lingkungan, dan Mitigasi Bencana. 8(2).