Tugas 1 Mata Kuliah Penetapan dan Penegasan Batas Laut (3 SKS), Nama : Saiful Mukminin, NIM : 1310210008, Dosen Pengampu: Luhur Moekti Prayogo, S.Si., M.Eng, Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban 2023
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Sengketa Wilayah Kepulauan Spartly di Laut Cina Selatan (By. Saiful Mukminin)
1. TUGAS MATA KULIAH
PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT
“Sengketa Wilayah Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan”
Dosen Pengampu:
Luhur Moekti Prayogo, S.Si., M.Eng
Nama : Saiful Mukminin
NIM : 1310210008
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS PGRI RONGGOLAWE
TUBAN
2023
2. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat dengan rahmat
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini dibuat hasil dari
penyusunan berbagai literatur yaitu buku-buku maupun jurnal yang berkaitan dengan tema
yang penulis ambil dan data-data dari internet.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempirnaan pembuatan makalah ini.
Pati, 13 April 2023
Penulis
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
1.3. Tujuan..............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1. Profil Kepulauan Spratly.............................................................................................3
2.2. Proses Persengketaan Menjadi Konflik ...................................................................4
2.3. Proses Klaim Penuh dari Sudut Pandang Beberapa Negara ..............................5
2.4. Dampak Persengketaan Terhadap Pihak Negara yang Terlibat .......................7
2.5. Usaha menyelesaikan Sengketa dan Konflik antara Pihak Negara yang
Terlibat.......................................................................................................................................8
BAB III PENUTUP................................................................................................................10
3.1. Kesimpulan ...................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Laut Cina Selatan terletak di antara Samudra Pasifik di sebelah Timur dan Samudra
Hindia di sebelah Barat. Laut Cina Selatan dikelilingi oleh 9 Negara antara lain Republik
Rakyat Cina, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei
Darussalam dan Filipina. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai
potensi yang sangat besar karena di dalamnya kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan
gas serta memiliki peranan penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan dan
pelayaran internasional. Di dalam kawasan Laut Cina Selatan terdapat Kepulauan Spratly,
Kepulauan Paracel, Kepulauan Pratas dan Kepulauan Maccalesfield. Tetapi yang tergolong
titik rawan dalam soal klaim territorial adalah Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel, yang
kemudian menjadi fokus perebutan antara negara-negara pengklaim.
Kepulaun Spratly memiliki letak yang strategis baik dari segi militer dan pertahanan
maupun sebahai jalur perdagangan internasional. Selain itu Kepulauan Spratly disinyalir
memiliki kekayaan sumber daya minyak dan gas alam yang melimpah. Fakta-fakta yang
menyebabkan kepulauan ini diperebutkan oleh negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan
adalah Laut Cina Selatan terpetakan menyimpan cadangan minyak sekitar 1,2 km3
(7,7 milyar
barel), sedangkan secara keseluruhan terdapat cadangan minyak 4,5 km3
(28 milyar barel).
Adapun potensi gas alam yang dimilikinya sekitar 7.500 km3
. Status-quo (keberadaan)
kepulauan-kepulauan di wilayah Laut Cina Selatan menyebabkan tumpang tindihnya klaim
dari negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara atas kepulauan yang berada di wilayah
tersebut. Kepulauan Spratly diklaim oleh 6 negara, yakni Republik Rakyat Cina, Taiwan,
Filipina, Brunei dan Malaysia. Tumpang tindihnya klaim tersebut disebabkan oleh
permasalahan kedaulatan territorial yang membahas tentang kepemilikan wilayah daratan yang
ada di kawasan Laut Cina Selatan dan kedulatan maritim yang berhubungan dengan penetapan
batas yang diizinkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS III) 1982. Dalam UNCLOS
tersebut, kedaulatan territorial laut ditetapkan 12 mil dari tepi pantai dan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil. Akan tetapi, semua negara yang mengklaim bahwa Laut Cina
Selatan merupakan kedaulatan wilayahnya baik daratan maupun maritim, tidak ada yang
mampu memenuhi aturan yang ditetapkan PBB tersebut. Dengan demikian, konflik Laut Cina
5. 2
Selatan terus berlangsung hingga saat ini dan banyak negara yang mengklaim atas kepemilikan
Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan masalah yang timbul
sebagai berikut:
1. Apa itu Kepulauan Spratly?
2. Siapa yang mengklaim kepemilikan atas Kepulauan Spratly?
3. Apa saja faktor yang memicu sengketa wilayah di Kepulauan Spratly?
4. Apa saja dampak yang dihasilkan dari sengketa wilayah di Kepulauan Spratly?
5. Apa upaya yang dilakukan oleh negara-negara terkait untuk menyelesaikan
sengketa wilayah di Kepulauan Spratly?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui Kepulauan Spratly dan dimana letaknya.
2. Mengetahui siapa saja pihak yang mengklaim kepemilikan atas Kepulauan Spratly.
3. Mengetahui faktor-faktor yang memicu sengketa wilayah di Kepulauan Spratly.
4. Mengetahui dampak yang dihasilkan dari sengketa wilayah di Kepulauan Spratly.
5. Mengetahui upaya yang dilakukan oleh negara-negara terkait untuk menyelesaikan
sengketa wilayah di Kepulauan Spratly.
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Profil Kepulauan Spratly
Kepulauan Spratly adalah sebuah gugusan kepulauan yang terletak di Laut Cina
Selatan, antara Vietnam dan Filipina, serta di sebelah timur laut Pulau Natuna, Indonesia.
Kepulauan ini terdiri dari sekitar 100 buah pulau dan karang yang tersebar di atas seluas sekitar
425.000 km2
. Sebagian besar wilayah kepulauan ini berupa terumbu karang dan pulau-pulau
kecil yang rawan akan perubahan iklim dan kegiatan manusia. Kepulauan ini sebenarnya bukan
merupakan yang layak bumi, akan tetapi pulai ini memiliki banyak potensi sumber daya alam
dan geografis yang sangat strategis. Kekayaan alam yang dimiliki membuat beberapa negara
bersikeras untuk mengakui dan mengklaim wilayah tersebut. Kepulauan Spratly juga
merupakan salah satu jalur perairan internasional yang penting dan juga menjadi tempat hidup
bagi banyak spesies laut.
Gambar 1. Letak Kepulauan Spratly
Penemuan minyak dan gas bumi pertama di kepulauan ini adalah pada tahun 1968.
Menurut data The Geology and Mineral Resources Ministry of the People’s Republic of China
(RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di Kepulauan Spratly adalah
sekitar 17,7 milyar ton, sehingga dengan itu menempatkan Kepulauan Spratly sebagai tempat
tidur cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Letak strategis lintas laut kapal dan kekayaan
7. 4
sumber daya alam lainnya seperti ikan menjadi faktor yang juga sangat mempengaruhi
sengketa dan konflik diantara negara-negara bersengketa. Kapal-kapal penangkap ikan yang
menangkap ikan disana menjadi salah satu penyebab konflik akibat perbedaan pemahaman dan
prinsip antara beberapa negara yang mengklaim wilayah tersebut. Kepulauan Spratly menjadi
sangat penting karena bernilai ekonomi, politik dan strategik. Hal ini karena Kepulauan Spratly
berpotensi geografi sebagai laluan kapal-kapal penjagaan dan laluan kapal-kapal minyak dan
gas maupun berpotensi sebagai sumber alam yang dimilikinya. Minyak menjadi faktor yang
paling penting yang menyebabkan pertikaian di Kepulauan Spratly menjadi lebih sukar
diselesaikan.
2.2. Proses Persengketaan Menjadi Konflik
Kepulauan Spratly menjadi sumber sengketa wilayah antara beberapa negara termasuk
Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. Masing-masing negara mengklaim
kepulauan ini sebagai miliknya berdasarkan berbagai argumen sejarah, geografis, dan hukum
internasional. Sengketa wilayah ini telah berlangsung selama beberapa dekade dan
menimbulkan ketegangan di kawasan Asia Tenggara. Letak strategis lintas laut kapal dan
kekayaan sumber daya alam lainnya seperti ikan menjadi faktor yang juga sangat
mempengaruhi sengketa dan konflik diantara negara-negara bersengketa. Kepulauan Spratly
memiliki nilai strategis yang tinggi karena letaknya yang dekat dengan jalur perdagangan
utama dan kayak akan sumber daya alam seperti ikan, gas dan minyak bumi, karena itu,
sengketa wilayah di Kepulauan Spratly menjadi perhatian dunia internasional dan upaya
diplomasi terus dilakukan untuk mencari solusi damai atas sengketa ini. Setidaknya ada 6
negara yang mengklaim wilayah Kepulauan Spratly yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina,
Malaysia, dan Brunei Darussalam. Kelima negara tersebut, kecuali Brunei mempunyai klaim
dan pemberian nama terhadap pulau-pulau di Kepulauan Spratly, sementara Brunei hanya
mengklaim wilayah laut di Kepulauan Spratly sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) negaranya.
Cina (Republik Rakyat Cina) adalah negara pertama yang mengklaim Laut Cina Selatan
dengan membuat peta resmi yang tidak hanya mengklaim pulau-pulau, tetapi juga memberi
tanda sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan. Meskipun demikian,
belum ada tanda-tanda kependudukan yang dilakukan oleh Cina di wilayah tersebut. Negara
yang lebih dahulu melakukan pendudukan justru antara lain Vietnam, Filipina, Malaysia dan
Taiwan. Vietnam mengklaim dan langsung melakukan pendudukan di Kepulauan Paracel dan
Kepulauan Spratly setelah perang dunia kedua berakhir. Hal yang sama juga dilakukan oleh
8. 5
Taiwan setelah perang dunia kedua. Filipina juga melakukan klaim dengan menduduki
Kepulauan Spratly pada tahun 1971, dengan alasan bahwa kepulauan tersebut merupakan
wilayah bebas. Filipina juga merujuk pada perjanjian San Francisco 1951 yang menyatakan
bahwa Jepang telah melepas haknya terhadap Kepulauan Spratly. Hal tersebut tak lepas
kaitannya dengan asas laut tertutup yang menyatakan bahwa laut dapat dikuasai oleh suatu
bangsa dan negara saja pada periode tertentu saja. Malaysia melakukan klaim terhadap
beberapa pulau di Kepulauan Spratly yang kemudian diberi nama Terumbu Layang yang
kemudian pulau tersebut termasuk dalam wilayah landas kontinen Malaysia atas dasar
pemetaan wilayah negara yang dilakukan Malaysia pada tahun 1979. Brunei Darussalam juga
melakukan klaim namun bukan terhadap gugusan, yakni hanya wilayah laut di Kepulauan
Spratly. Hal itu dilakukan setelah Brunei merdeka dari jajahan Inggris pada tahun 1984.
Konflik akibat sengketa ini cukup banyak terjadi. Dimulai pada konflik bersenjata 1974
antara Cina dan Vietnam yang terjadi kedua kalinya pada 1988. Selain itu juga pernah terjadi
tembak menembak kapal perang antara Cina (RRC) dan Filipina di dekat Pulau Campones pada
tahun 1996. Situasi yang dapat berujung konflik kembali terjadi pada tahun 2011. Pada waktu
itu pasukan militer RRC gencar melakukan pendudukan dan latihan militer di sekitar pulau
sengketa. Kemudian Vietnam melayangkan protes kepada Cina atas tindakan tersebut, namun
situasi semakin memanas setelah kapal minyak Petro Vietnam dirusak oleh militer Cina pada
Mei dan Juni 2011. Vietnam pun melakukan pembalasan dengan mengadakan kegiatan militer
rutin tahunan di sekitar Laut Cina Selatan pada Juni 2011.
2.3. Proses Klaim Penuh dari Sudut Pandang Beberapa Negara
Klaim yang dilakukan Cina adalah atas dasar sejarah. Secara geografis jarak antara Cina
(RRC) dengan Kepulauan Spratly sangat jauh dan tidak terjangkau dengan menggunakan
konsep landas kontinen dan ZEE, tetapi Cina melakukan klaim terhadap gugusan pulau di
Kepulauan Spratly atas dasar sejarah. Menurut Cina, Kepulauan Spratly sudah menjadi jalur
perdagangan Cina sejak 2000 tahun lalu. RRC sudah melakukan klaim sejak tahun 1876 namun
terjadi tumpang tindih klaim saat terjadi perang dunia lantaran Prancis, Inggris dan Jepang yang
melakukan ekspansi ke Laut Cina Selatan. RRC melakukan ekspansi ke Kepulauan Spratly
dengan mengadakan instalasi militer secara besar-besaran di Kepulauan Spratly. Pada tahun
1988 klaim Cina yang lebih kuat adalah penerbitan peta dengan memasukkan hampir seluruh
wilayah Laut Cina Selatan ke dalam peta wilayah RRC baru. Pada tahun tersebut pula tercatat
konflik Cina-Vietnam dimana pada saat itu terjadi pendudukan di Kepulauan Spratly dan
Paracel dengan mengusir paka tentara Vietnam, dan hal seperti tersebut terus gencar dilakukan
9. 6
RRC bahkan hingga sekarang. Berbagai upaya yang dicoba oleh RRC diantaranya adalah
perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral.
Taiwan melakukan klaim terhadap Kepulauan Spratly dibuktikan dengan pendudukan
pada tahun 1956 di Kepulauan Spratly. Sebelumnya pada tahun 1947 Taiwan telah menerbitkan
peta wilayah yang memasukkan Kepulauan Spratly di dalam wilayahnya. Salah satu klaimnya
adalah pulau terbesar di Kepulauan Spratly yaitu Pulau Aba alias Taiping Island.
Vietnam melakukan klaim atas dasar historis. Vietnam menyatakan sudah menduduki
Kepulauan Spratly dan Paracel pada abad ke-17 serta terdapat fakta sejarah yang menunjukkan
bahwa wilayah tersebut masuk ke dalam distrik Binh Son Vietnam, Vietnam Selatan.
Kemudian Vietnam mulai menyatakan kepemilikannya atas Kepulauan Spratly pada tahun
1975 dengan menempatkan tentaranya di 13 pulau di Kepulauan tersebut. Konflik-konflik yang
terjadi melibatkan Vietnam telah berlangsung beberapa kali yang disebabkan bersikeras antara
para pihak terutama Vietnam dan RRC hingga sekarang Vietnam terus memperkuat militer di
wilayah Kepulauan Spratly.
Filipina mulai menduduki Kepulauan Spratly diawali pada tahun 1970. Prinsip utama
yang digunakan dalam klaim Filipina adalah hukum Res Nullius. Filipina berpendapat klaim
mereka Res Nullius karena tidak ada kedaulatan efektif atas pulau-pulau sampai tahun 1930,
sejak Prancis dan kemudian Jepang mengambil alih pulau. Ketika Jepang meninggalkan
kedaulatan mereka atas pulau-pulau dengan perjanjian San Francisco, ada pelepasan hak atas
pulau-pulau tanpa penerima khusus. Klaim juga dilakukan karena prinsip ZEE yang dianggap
Filipina bahwa Kepulauan Spratly termasuk di dalamnya.
Malaysia melakukan klaim terhadap Kepulauan Spratly atas dasar Peta Batas Landas
Kontinen yang secara jelas bahwa sebagian wilayah Kepulauan Spratly masuk kedalam
wilayah landas kontinen Malaysia. Selain itu Malaysia juga melakukan upaya-upaya lain
seperti pendudukan, klaim serta penamaan terhadap gugusan pulau di Kepulauan Spratly.
Pendudukan yang dilakukan Malaysia oleh pasukan militernya dimulai pada tahun 1997.
Kemudian pada September 1983 Malaysia mengirim sekitar 20 Pasukan Komando ke Terumbu
Layang dan pada tahun yang sama Malaysia melakukan survey dan kembali menyatakan
bahwa kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia. Penguatan basis militer di pulau-pulau
tersebut semakin gencar dilakukan Malaysia hingga saat ini mengingat kencangnya upaya
klaim dari negara-negara lain.
Klaim yang dilakukan Brunei Darussalam bukan terhadap gugusan pulau tetapi hanya
pada wilayah laut Kepulauan Spratly. Brunei merupakan satu-satunya negara yang menahan
diri untuk klaim dan pendudukan militer di wilayah gugusan Kepulauan Spratly. Brunei
10. 7
melakukan klaim atas dasar konsep ZEE dimana sebagian wilayah dari Kepulauan Spratly
masuk dalam ZEE Brunei Darussalam.
Negara-negara yang tidak terlibat langsung dalam sengketa Kepulauan Spratly menjadi
aktor lain yang berusaha mengambil keuntungan dari konflik tersebut. Amerika Serikat
memiliki kepentingan militer dan komersial. Amerika Serikat memiliki strategi
mempertahankan Kepulauan Spratly masuk di wilayah Filipina karena Filipina merupakan
pertahanan militer Amerika Serikat dari Cina. Selain Amerika Serikat, Jepang juga memiliki
kepentingan di Kepulauan Spratly yang hampir sama dengan Amerika Serikat dimana Jepang
berusaha melindungi jalur perdagangan minyaknya dan juga Jepang memiliki perusahaan yang
terlibat dalam eksplorasi di wilayah sengketa Kepulauan Spratly. India juga menjadi aktor
eksternal dan menambah permasalahan baru di Kepulauan Spratly. Aktor-aktor eksternal lahir
karena aktor internal menarik mereka untuk terlibat dalam konflik tersebut. Alasan komersial
menjadi pemicu utama semakin ramainya dan panjang konflik di Laut Cina Selatan.
2.4. Dampak Persengketaan Terhadap Pihak Negara yang Terlibat
Persengketaan Kepulauan Spratly merupakan sumber ketegangan diantara negara-
negara yang terlibat, yaitu Brunei Darusssalam, Cina, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.
Persengketaan ini memiliki dampak yang cukup besar dalam beberapa aspek. Konflik antar
negara di dalam wilayah Laut Cina Selatan dapat dilihat dari berbagai perspektif kepentingan
dari aktor-aktor negara yang terlibat dalam konfrontasi ini, baik itu karena masalah kedaulatan
wilayah, kepentingan ekonomi ataupun bahkan politik. Konflik yang terjadi di wilayah perairan
Laut Cina Selatan setiap negara yang terlibat di dalamnya memiliki kepentingannya masing-
masing yang ingin diwujudkan agar negara tersebut mendapatkan keuntungan dari konflik yang
terjadi. Dampak yang dipengaruhi dari konflik di Laut Cina Selatan ini sebenarnya lebih masuk
terhadap ranah internasional dan juga negara yang berada di kawasan Asia Tenggara dimana
permasalahan tersebut merupakan akar ketegangan antar negara walaupun setiap negara
memiliki caranya masing-masing dalam menanggapi konflik tersebut agar hubungan antar
negara dapat berjalan dengan motif ekonomi, politik dan sosial bagi setiap negara. Dampak
terhadap militer dititik beratkan terhadap pengawasan lebih dan juga alutsista militer setiap
negara di bagian udara dan juga maritim untuk mengontrol setiap aktivitas pertahanan negara
terutama di Laut Cina Selatan yang menjadi daerah konflik. Lalu adapun dampak terhadap
warga sipil yang bermukim di dekat dengan jalur konflik Laut Cina Selatan ini dimana adanya
ketegangan jika nelayan dalam kawasan ZEE bertemu dengan patroli militer dari negara lain
yang masuk pada zona konflik yang bisa berakibat buruk seperti pengusiran di daerah yang
11. 8
sebenarnya sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Dampak lain yang cukup besar
karena persengketaan ini diantaranya adalah potensi konflik bersenjata, gangguan
perdagangan, sumber daya alam terancam, kerugian ekonomi, dampak psikologis masyarakat
yang tinggal di wilayah tersebut, hubungan antar negara terganggu, serta masalah kedaulatan
serta hak-hak maritim antar negara yang terlibat sehingga dapat memperburuk situasi hukum
dan diplomasi di wilayah tersebut.
2.5. Usaha menyelesaikan Sengketa dan Konflik antara Pihak Negara yang Terlibat
Negara-negara yang terlibat sengketa dalam rangka meredakan konflik mengenai
kepemilikan Spratly berusaha melakukan perundingan dan dialog bilateral. Pertemuan bilateral
dilakukan oleh negara-negara yang berkonflik sejak 1988 untuk menyelesaikan sengketa
tersebut melalui diskusi dan konsultasi.
Rencana penyelesaian yang sudah dilakukan, diantaranya adalah pada tahun 1991 RRC
melakukan perundingan bilateral dengan Taiwan mengenai eksplorasi minyak bersama yang
berlangsung di Singapura. Pada tahun 1992, Cina mengadakan pertemuan bilateral dengan
Vietnam dan menghasilkan kesepakatan pembentukan kelompok khusus dalam menangani
sengketa perbatasan territorial. Pada bulan Juni 1993, Malaysia dan Filipina melakukan hal
yang sama dengan menandatangani perjanjian kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi
selama 40 tahun di wilayah yang dipersengketakan. RRC dan Filipina juga melakukan
pertemuan untuk bersama-sama mengeksplorasi dan mengembangkan wilayah Spratly.
Beberapa perjanjian multilateral yang pernah dilakukan dalam upaya penyelesaian
sengketa Kepulauan Spratly, antara lain Deklarasi Kuala Lumpur 1971 yang membahas tentang
kawasan damai, bebas, dan netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrallity) atau ZOPFAN;
Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara yang dihasilkan dan disetujui pada KTT
ASEAN 1 pada tahun 1976; Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) pada tahun 1994;
KTT ASEAN V tahun 1995 yang menghasilkan traktat mengenai kawasan bebas senjata nuklir
di Asia Tenggara. Dari pertemuan-pertemua ini, terlihat bahwa negara-negara tersebut setuju
untuk mencari penyelesaian secara damai melalui konsultasi, membangun rasa percaya,
membentuk berbagai kerja sama, dan berusaha untuk tidak menggunakan kekuatan senjata.
Selain itu, ketiga negara tersebut (Cina, Vietnam dan Filipina) setuju untuk mengakui dan
menyelesaikan sengketa mereka atas dasar prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk
Konvensi Hukum Laut 1982.
Upaya-upaya tersebut cukup efektif dalam penyelesaian sengketa jika dilihat dari
situasi setelah perjanjian. Selain itu beberapa perjanjian multilateral juga berupa mediasi yang
12. 9
dipelopori oleh mediator sehingga perjanjian dapat berjalan lebih baik. Namun tidak
sepenuhnya berjalan dengan baik karena tidak dicapainya peta kepemilikan pulau, dan
banyaknya pihak yang melanggar sendiri perjanjian tersebut, seperti terjadinya perusakan
kapal oleh pihak-pihak tertentu. Salah satu yang belum dilakukan dalam perjanjian multilateral
itu adalah kemungkinan untuk melakukan pengelolaan minyak dan gas bumi secara bersama
yang mana perjanjian itu dapat menjadi usaha alternatif untuk meredam konflik di Kepulauan
Spratly.
13. 10
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Kepulauan Spratly adalah sebuah gugusan kepulauan yang terletak di Laut Cina
Selatan, antara Vietnam dan Filipina, serta di sebelah timur laut Pulau Natuna,
Indonesia. Kepulauan Spratly memiliki nilai strategis karena letaknya yang dekat
dengan jalur pelayaran internasional dan kaya akan sumber daya alam seperti
minyak, gas, ikan, dan batu bara.
2. Kepulauan Spratly diklaim oleh 6 negara, yakni Republik Rakyat Cina, Taiwan,
Filipina, Brunei dan Malaysia. Selain ke-6 negara internal tersebut, terdapat aktor
negara eksternal, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan India.
3. Letak strategis lintas laut kapal dan kekayaan sumber daya alam lainnya seperti ikan
menjadi faktor yang juga sangat mempengaruhi sengketa dan konflik diantara
negara-negara bersengketa. Kepulauan Spratly memiliki nilai strategis yang tinggi
karena letaknya yang dekat dengan jalur perdagangan utama dan kayak akan
sumber daya alam seperti ikan, gas dan minyak bumi.
4. Dampak signifikan dari persengketaan Kepulauan Spratly pada negara-negara yang
terlibat meliputi beberapa aspek, diantaranya politik, ekonomi, lingkungan, sosial,
dan hukum.
5. Penyelesaian sengketa dan konflik antar negara yang terlibat dilakukan dengan
perundingan, dialog bilateral, perjanjian multilateral untuk mencari penyelesaian
secara damai melalui konsultasi, membangun rasa percaya, membentuk berbagai
kerja sama, dan berusaha untuk tidak menggunakan kekuatan senjata.
14. 11
DAFTAR PUSTAKA
Arifah, A. 2018. Kepentingan China Dalam Pengklaiman Kepulauan Spratly dan Paracel
Terhadap Konflik di Laut China Selatan (Doctoral dissertation, Perpustakaan).
Dahalan, W.S.A.W., H. Y. Ab Rahim dan M. Nasir, 2020. Kepentingan Ciri-Ciri Maritim Di
Kepulauan Spratly dan Isu Pencemaran Marin yang Berlaku. Jurnal Ilmu Hukum
Reusam, 8(1): 42-51.
Djuyandi, Y., A. Q. Illahi dan A. C. H. Aurel. 2021. Konflik Laut China Selatan Serta
Dampaknya Atas Hubungan Sipil Militer di Asia Tenggara. Jurnal Ilmiah Muqoddimah,
5(1): 112-124.
Junef, M. 2018. Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Penelitian Hukum
DE JURE, 18(2): 219-240
Muzwardi, A. 2016. Konflik Negara-Negara ASEAN dan China Terhadap Kepulauan Spratly.
Prosiding Seminar Nasional Perbatasan dan Kemaritiman, 1-9.
Nasir, M dan W. S. A. W. Dahalan. 2017. Penyelesaian Pertikaian Kepulauan Spratly
Memanfaatkan Perjanjian Pembangunan Bersama di Bawah UNCLOS 1982. Jurnal Ilmu
Hukum Reusam, 6(1): 19-40.
Nigsih, O. A., M. Indra dan W. Edorita. Sengketa Kepemilikan Kepulauan Spratly di Laut Cina
Selatan Berdasarkan UNCLOS III (United Nations Convention on the Law of the Sea)
Tahun 1982. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Hukum, 3(2): 1-14.
Nugraha, A. A. 2011. Manuver Politik Cina dalam Konflik Laut Cina Selatan. Jurnal
Pertahanan, 1(3): 56.
Samosir, W. A. 2017. Peran ASEAN Regional Forum (ARF) dalam Penyelesaian Konflik Laut
Cina Selatan (Doctoral dissertation, UNIMED).
https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict Diakses
pada 15 April 2023
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220511135122-118-795477/sejarah-konflik-
laut-china-selatan-yang-jadi-rebutan/2 Diakses pada 15 April 2023