Dokumen tersebut membahas tentang feature audiovisual. Feature audiovisual adalah varian karya film dokumenter yang menganut pembatasan kode etik jurnalistik dan prinsip berita. Feature audiovisual dapat berupa program televisi yang membahas satu topik secara mendalam dengan berbagai sudut pandang dan format penyajian.
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Menurut Hamzah (1981:11), alat-alat audio-visual adalah alat-alat yang “
audible “ artinya dapat didengar dan alat-alat yang “ visible “ artinya dapat dilihat.
Penggunaan media audio visual dapat membuat komunikasi menjadi lebih efektif
karena berdasarkan prinsip psikologis dinyatakan bahwa komunikan akan
memperoleh pengertian yang lebih baik dari sesuatu yang dilihat daripada sesuatu
yang didengar atau dibacanya. Hal tersebut disebabkan 75 % dari pengetahuan
manusia sampai otak melalui mata dan selebihnya dengan cara mendengar dan
juga menggunakan indera yang lain.
Media audio-visual dapat digunakan sebagai alat untuk menyampaikan
pesan atau informasi dengan cara yang lebih konkrit dan nyata daripada dengan
kata-kata yang diucapkan. Dengan melihat sesuatu yang diperlukan, komunikan
akan lebih tertarik dan terdorong untuk mengetahui lebih lanjut akan pesan atau
informasi yang dilihat tersebut. Dalam hal ini, media audio-visual memberikan
dorongan dan motivasi serta membangkitkan keinginan komunikan untuk
mengetahui pesan atau informasi yang akhirnya pesan dapat dimengerti dan
dipahami dengan lebih baik oleh komunikan.
Dilihat dari segi bentuk dan pengelolaannya, jurnalistik itu dibagi ke dalam
tiga bagian besar: jurnalistik media cetak (newspaper and magazine journalism),
jurnalistik media elektronik auditif (radio broadcast journalism), jurnalistik media
audiovisual (television journalism), Jurnalistik media cetak meliputi jurnalistik
surat kabar harian, jurnalistik surat kabar mingguan, jurnalistik tabloid harian,
jurnalistik tabloid mingguan, dan jurnalistik majalah. Jurnalistik media elektronik
1
2. auditif adalah jurnalistik radio siaran. Jurnalistik media elektronik audiovisual
adalah jurnalistik televisi siaran dan jurnalistik media online (internet).
Dalam jurnalisme media cetak, yang dimaksud dengan "feature" adalah
sebuah tulisan khas, yang ditulis secara luwes dan menarik, dan relatif tak lekang
oleh waktu (saat pemuatannya tidak harus diburu-buru seperti berita biasa). Tidak
ada aturan yang mengikat berapa persisnya panjang sebuah feature, sejauh feature
itu masih menarik untuk dibaca.
Secara singkat, struktur, gaya penulisan dan kemasan feature memang
berbeda dengan berita biasa (spot news, straight news, hard news). Unsur
subyektifitas si penulis bisa lebih terasa dalam tulisan feature. Sebaliknya, dalam
penulisan berita biasa, subyektifitas si penulis sangat dihindari.
Dalam media audiovisual seperti televise dan media onlinenya senidri,
feature dikemas berbeda dari paket berita, baik dari segi proses, tahapan
pembuatan, maupun gaya pengemasan.
Istilah feature sendiri berangkat dari tradisi jurnalisme cetak yang
menggambarkan jenis laporan jurnalistik yang memberikan kebebasan bagi
penulisnya untuk mengemas laporan dengan teknik pemaparan kreatif sehingga
tulisan lebih nyaman dibaca dan tidak kaku. Untuk itu, feature audiovisual pada
media tv itu dapat bermacam-macam.
Sebagai karya jurnalistik, feature cetak kental dengan pembatasan kode etik
dan prinsip nilai-nilai berita. Berdasarkan logika tersebut, penulis berpendapat
feature televisi adalah varian karya film documenter yang secara ketat menganut
pembatasan kode etik jurnalistik dan prinsip nilai berita. Tentu saja seperti halnya
feature cetak, nilai human interest biasanya lebih menarik untuk dijadikan daya
2
3. tarik utama. Selain itu feature televisi harus pula memperhatikan keterbatasan
dan karakteristik khas medium televisi.
Untuk itu, penulis akan menjabarkan apa itu feature audiovisual, cara
penulisan dan contoh hasil karya feature audiovisual sendiri. Karena dalam dunia
jurnalistik, feature audiovisual mempunyai karakteristik tersendiri sebagai salah
satu hasil karya jurnalistik.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Mengetahui feature audiovisual.
2. Mengetahui cara penulisan feature audiovisual.
3. Mengetahui contoh karya feature audiovisual.
1.3 TUJUAN
Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas
kelompok dalam mata kuliah penulisan feature dan artikel, serta mampu
menjawab dan memahami rumusan masalah dalam makalah ini.
3
4. BAB II
PEMBAHASAN
Dalam komunikasi, produk audio-visual melibatkan lebih banyak elemen
media dan lebih membutuhkan perencanaan agar dapat mengkomunikasikan
sesuatu. Film cerita, iklan, media pembelajaran adalah contoh media audio-visual
yang lebih menonjolkan fungsi komunikasi. Namun, iklan tidak merupakan karya
jurnalistik. Audio-visual itu mengedepankan efek pendengaran dan penglihatan.
Jurnalistik media elektronik audiovisual adalah jurnalistik televisi siaran
dan jurnalistik media online (internet).
Jurnalistik media elektronik audiovisual, atau jurnalistik televisi siaran,
merupakan gabungan dari segi verbal, visual, teknologikal, dan dimensi
dramatikal.
1. Verbal, berhubungan dengan kata-kata yang disusun secara singkat,
padat, efektif.
2. Visual, lebih banyak menekankan pada bahasa gambar yang tajam, jelas,
hidup, memikat.
3. Teknologikal, berkaitan dengan daya jangkau siaran, kualitas suara, dan
gambar yang dihasilkan serta diterima oleh pesawat televisi penerima di
rumah-rumah.
4. Dramatikal, berarti bersinggungan dengan aspek serta nilai dramatik
yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan secara simultan.
Aspek dramatik televisi inilah yang tidak dipunyai media massa radio
dan surat kabar. Aspek dramatik televisi menggabungkan tiga kekuatan
sekaligus; kekuatan gambar, suara, dan kata-kata. Inilah yang disebut
efek bersamaan dan efek simultan televisi.
Sehingga, feature audiovisual tersebut adalah feature televisi.
4
5. Feature merupakan format acara yang panjang lebar dan menyoroti segi-segi
tertentu secara lebih tajam dengan pembahasan lebih mendalam.
Dalam penyajiannya sebuah feature memerlukan kreativitas dalam
menuangkan pesan ataupun informasi yang akan disajikan dalam bentuk audio-
visual maka dibutuhkan ketelatenan dan ketekunan seorang penulis dalam
mencari sesuatu yang unik, khas dan jarang terungkap. Sedangkan aspek
informasi yang ada dalam feature bersifat lebih mendalam dan menghibur. Hal ini
dikarenakan informasi yang dikemas dalam feature terdapat pendapat dari
seorang pakar ataupun situasi serta kondisi sekitar yang dapat diungkap menjadi
sesuatu hal yang memikat.
Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat dari Haris (2005:151) yang
menyatakan bahwa feature adalah cerita khas kreatif yang berpijak pada
jurnalistik sastra tentang suatu situasi, keadaan, atau aspek kehidupan dengan
tujuan memberikan informasi dan sekaligus menghibur khalayak media massa.
Menurut Haris (2005:150), feature adalah cerita atau karangan khas yang
berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik. Feature
dikatakan sebagai sebuah cerita karena feature bukan laporan fakta seperti berita
langsung. Berdasarkan hal tersebut feature didefinisikan sebagai cerita khas
kreatif yang berpijak pada jurnalitik sastra tentang suatu situasi, keadaan, atau
aspek kehidupan dengan tujuan untuk memberi informasi dan sekaligus
menghibur khalayak media massa.
Pesan atau informasi dalam format feature merupakan informasi yang tidak
basi. Hal tersebut disebabkan informasi disajikan dengan warna, kedalaman,
komentar, pendapat dan fakta-fakta yang mendukung. Selain itu dampak pesan
atau informasi yang dikemas secara feature adalah laksana “ gigi taring ” tajam
5
6. yang dikemas sedemikian matang dan penuh kehati-hatian sehingga argumentasi
yang disajikan dapat diterima oleh komunikan.
Feature adalah program yang membahas satu pokok bahasan, satu tema
diungkapkan lewat berbagai pandangan yang saling melengkapi, mengurai,
menyoroti secara kritis dan disajikan dengan berbagai format.
Feature merupakan gabungan antara unsure documenter, opini dan
ekspresi.
Unsur ekspresi karena biasanya dipakai untuk menciptakan suasana,
unsure opini yakni dalam bentuk uraian, vox-pop atau wawancara dapat
merupakan sajian yang dapat memperkaya pandangan dan mempertajam pokok
bahasan yang disajikan. Unsure documenter karena program ini berdasarkan
kejadian-kejadian yang memunyai nilai factual dan memberikan bukti serta
argumentasi terhadap pokok bahasan.
1. RISET
Riset dilakukan untuk mengetahui pokok bahasan tema apa yang ingin
dibahas oleh penonton. Intinya semakin actual pokok bahasan yang
disajikan dan semakin factual bahan-bahan yang menjadi isi sajian, semakin
bermanfaat program ini.
2. PENGEMBANGAN GAGASAN
Tema dalam feature dapat berupa benda, tumbuh-tubuhan, binatang, tempat
kejadian, hasil karya atau manusia. Misalnya seorang produser program
feature tentang flora dan fauna berkesimpulan bahwa banyak penonton
ingin mengetahui tentang harimau Sumatra, maka binatang tersebut adalah
6
7. materi produksinya. Berdasarkan materi produksinya tersebut, ia kemudian
bisa mencari tema atau pokok bahasan yang menarik.
Tema yang menarik bisa diperoleh dengan menjawab pertanyaan seperti:
apa yang ingin diketahui penonton tentang harimau Sumatra?, populasinya?
Kehidupanya? Habitatnya, bagaimana sifat-sifatnya?. Kemudian dari
beberapa pertanyaan inilah maka disimpulkan dari hasil riset sebuah tema
yang manerik, misalnya: “Populasi dan perkembangbiakan harimau
Sumatra”
Untuk memperoleh tema seperti ini biasanya dilakukan dalam dua kali riset.
Riset yang pertama, biasanya tidak terlalu ilmiah, yakni dengan
mengajukan pertanyaan sederhana tentang permasalahan ini dengan
beberapa orang misalnya dengan teman, penggemar binatang/harimau,
mahasiswa biologi dsb.
Riset yang kedua, sesudah menemukan tema, kemudian dilakukan secara
serius dengan mengumpulkan data factual, hasil penelitian para ahli dan
pengamat langsung ke habitat harimau yang sesungguhnya.
Data yang lengkap ini akan memudahkan dalam penulisan naskah
berikutnya, yakni dalam pembuatan synopsis. Misal untuk program features
sepanjang 30 menit, penulisan sinopsis setidaknya 25 kalimat.
Kemudian berdasarkan synopsis itu, penulis kemudian dapat menyusun
sebuah treatment. Dalam treatment ini terdiri dalam berbagai macam
format yang saling berbeda.
Misalnya:
JUDUL: Yang Gagah yang Hampirr Punah
Duration: 30 menit
7
8. Format 1: Dokumenter tentang daya tarik harimau Sumatra terhadap
masyarakat, para pecinta binatang dan para ahli dewasa ini (tiga
menit)
Format 2: Vox-Pop Pendapat masyarakat mengenai harimau Sumatra
(satu menit)
Format 3: Wawancara dengan berbagai ahli tentang populasi dan cara
pengembangbiakan harimau Sumatra (tiga menit)
Format 4: Visual tentang bukti-bukti beberapa habitat binatang dan
kebaradaanya (sepuluh menit).
Format 5: pernyataan kesaksian dari penduduk dilingkugan habitat
mengenai keberadaan binatang itu (dua menit)
Format 6: Wawancara dengan pemburu tentang pengalaman
perbutuannya (tiga menit)
Format 7: Visual pasar penjualan kulit binatang yang dikeringkan
serta bagaimana binatang itu dipajang dirumah-rumah orang kaya
(tiga menit)
Format 8: pernyataan para ahli tentang upaya-upaya yang seharusnya
dilakukan untuk menyelamatkan harimau Sumatra (tiga menit)
Format 9: Link (dua menit)
Proses Produksi
Secara umum produksi karya video/film untuk televisi dapat digolongkan dalam 3
kategori berdasarkan faktor perencanaan, dan proses ini secara umum sama
dengan feature audiovisual media TV yaitu:
1. Scripted – Produksi berpedoman berdasarkan naskah dan storyboard yang
sudah dibuat sebelumnya. Naskah tersebut mengatur semua aspek produksi
dan hampir tidak ada ruang untuk berimprovisasi. Semua dialog, narasi,
8
9. pergerakan kamera, properti, set dan sebagainya telah diatur secara ketat
dalam naskah. Contoh: film cerita dan sinetron .
2. Semi scripted – Produksi berpedoman pada naskah dan storyboard yang
dibuat berdasarkan informasi awal. Namun naskah dan storyboard lebih
bersifat arahan garis besar. Produser/Sutradara memiliki cukup banyak
ruang untuk mengembangkan cerita dan teknik produksi sesuai
perkembangan dilapangan. Contoh: feature & dokumenter, realityshow, kuis.
3. Non Scripted – Produksi hanya berpedoman pada storyline kasar atau
wishlist. Teknik pengambilan dan pemilihan gambar juga pengembangan
cerita benar-benar berdasarkan temuan di lapangan. Teknik ini biasanya
digunakan untuk menangkap/merekam situasi nyata sesuai apa adanya.
Contoh: Liputan berita TV.
Topik sebuah feature bisa beragam, tetapi umumnya menyangkut human
interest. Segala sesuatu yang menyangkut manusia, dengan segala perilakunya
dan aspek kehidupannya (kegembiraan, kebahagiaan, kesedihan, penderitaan,
perjuangan, keberhasilan, dan sebagainya), memang selalu menarik untuk
dituliskan.
Topik-topik itu, misalnya: profil seorang guru yang mengabdi di daerah
terpencil; kehidupan nelayan miskin di Indramayu; upaya seorang pecandu untuk
lepas dari jeratan narkoba; nasib tenaga kerja Indonesia yang terlunta-lunta di
luar negeri; dan sebagainya.
Membandingkan dengan feature di media cetak, maka ketika kita bicara
tentang bagaimana memproduksi feature untuk media televisi, tampak ada
beberapa ciri yang sama. Seperti: sifatnya yang relatif tak lekang oleh waktu,
keluwesan dalam gaya pengemasan, serta variasi pilihan topiknya.
9
10. Yang jelas, memproduksi suatu paket feature untuk media TV, tidaklah
sama dengan membuat paket berita (spot news), baik dari segi proses, tahapan
pembuatan, maupun gaya pengemasan. Feature untuk media TV sendiri bisa
berbentuk macam-macam.
Contoh Feature
Feature Budaya
Feature (dibaca ficer), sebenarnya adalah berita berbentuk laporan
(reportase) yang ditulis dengan gaya bercerita. Feature banyak ditulis orang
sebagai bacaan menarik dan ringan, akan tetapi feature bukanlah cerita fiksi,
melainkan menceritakan fakta suatu objek yang mengandung nilai-nilai
kemanusiaan (human). Adapun objek-objek yang ditulis dalam bentuk feature itu
misalnya, objek wisata, kisah perjalanan, peninggalan-peninggalan sejarah atau
budaya, atau tentang sesuatu yang menarik untuk diketahui. Film dokumenter
yang bernilai budaya, pada dasarnya adalah feature budaya yang divisualisasikan.
Meskipun feature bukanlah karya fiksi, akan tetapi teknik penulisannya
haruslah disusun seperti halnya plot cerita yang menarik. Unsur-unsur cerita
dalam sebuah feature antara lain, bagian pembuka, bagian inti, dan penutup.
Selain itu adalah detail-detail penting untuk diceritakan sebagai penguat. Tiap-
tiap bagian harus fokus pada inti atau ide cerita yang diangkat dari fakta di
lapangan. Setelah sebuah naskah feature budaya disiapkan, lalu dibaca ulang
untuk mencari elemen-elemen penting yang mungkin belum termasuk, dan perlu
dilakukan penyuntingan, barulah diolah menjadi naskah berbentuk film script.
Sekurang-kurangnya, ada empat macam objek yang dijadikan feature
budaya untuk dijadikan bahan dasar (ide) film dokumenter. Pertama, peristiwa
budaya yang dalam waktu tertentu muncul, misalnya, prosesi perkawinan, batagak
10
11. penghulu, turun mandi, batagak kudo-kudo (prosesi mendirikan rumah), pesta
tabuik di Pariaman, Basapa di Ulakan Pariaman, menjaring ikan dengan pukat
secara kolektif, berburu babi, dan seterusnya. Kedua, objek-objek peninggalan
budaya seperti benda-benda bersejarah, tempat-tempat bersejarah yang dijadikan
juga sebagai objek wisata, dan lainnya. Ketiga, sosok manusia, baik perorangan
maupun kelompok yang melakukan kegiatan tradisi yang unik, misalnya, perajin
pandai besi dengan peralatannya yang tetap sederhana, sekelumit kisah seorang
penangkap burung balam dengan cara unik, perajin kue tradisi yang sudah langka,
semisal kue penyaram, dan lainnya. Keempat, tentang sesuatu yang unik, langka,
merupakan peninggalan tradisi masa lalu, tapi masih tetap eksis, misalnya kincir
air untuk menumbuk padi, atau tentang bagaimana proses membuat gula aren
secara tradisional, mulai dari menyadap nira, memasaknya hingga menghasilkan
gula bewarna coklat.
Model ketiga dan keempat sepertinya saling tumpang tindih, namun
sebenarnya berbeda. Model ketiga difokuskan pada orangnya (sosok), sementara
model keempat difokuskan pada how to do (bagaimana cara melakukan). Dengan
adanya keempat model ini, calon-calon pembuat film dokumenter budaya, boleh
melakukan survey awal untuk mencari ide cerita feature untuk dijadikan naskah
sebagai bahan dasar. Selanjutnya, untuk menjadikan naskah feature menjadi
naskah film siap shooting berupa film script, nanti akan dijelaskan oleh ahlinya.
Dari Naskah ke Film
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa tidak semua naskah cerita
dapat diangkat menjadi film. Naskah yang baik untuk difilmkan adalah naskah
yang mengandung peristiwa-peristiwa yang bergerak (action) yang bersifat aktif,
bukan naskah yang penuh dengan monolog yang miskin citraan konkret. Oleh
sebab itu, cerita silat yang penuh dengan pergerakan (action) lebih gampang
diangkat menjadi karya film. Dengan demikian, naskah yang disiapkan untuk
menggarap sebuah film dokumenter budaya, haruslah merupakan narasi
11
12. (pemaparan) yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan
dalam sebuah kesatuan peristiwa yang utuh.
Dunia naskah adalah dunia kata-kata, sedangkan dunia film adalah dunia
gambar-gambar yang merupakan visualisasi dari naskah. Ketika sudah diangkat
menjadi gambar-gambar hidup, kata-kata tidak diperlukan lagi, kecuali narasi
secukupnya sebagai pengantar dari narator. Selebihnya adalah dialog yang
terdapat di sela-sela peristiwa antara pelaku atau narasumber dengan host, atau
cuma sekedar penjelasan tentang sesuatu oleh pelaku/narasumber jika itu memang
diperlukan. Contoh-contoh mengenai narasi tersebut dapat dilihat pada acara
Jejak Petualang Trans 7, Aku Ingin Menjadi Trans TV dan Potret di SCTV.
J-A-M (Jika Aku Menjadi) adalah program majalah berita, yang
menyuguhkan informasi langsung seputar kehidupan kalangan kelas bawah
(pemulung, nelayan, buruh panggul pasar, kuli panggul pelabuhan, petani
penggarap, penangkap kalong, buruh pemetik jamur, tukang kayu, tukang ojek
sepeda, dll.). Informasi dalam J-A-M ditujukan untuk memberi pemahaman,
empati atau simpati pada masyarakat bawah. Tidak dengan cara karitas atau
membagi-bagi uang/barang/renovasi rumah (seperti program di stasiun-stasiun TV
lain), tetapi dengan menampilkan keseharian mereka di rumah, di lingkungan
sekitar, di tempat kerja, dan sebagainya.
12
13. BAB III
PENUTUP
Dalam jurnalistik, baik itu jurnalistik cetak maupun elektronik terdapat
salah satu hasil karya jurnalistik, yakninya feature. Feature pada pada media
cetak hamper sama dengan media elektronik, namun bentuk dan proses
pembuataannya berbeda. Berbicara feature pada media elektronik, maka feature
tersebut disebut dengan feature audio visual.
Dalam jurnalisme media cetak, yang dimaksud dengan "feature" adalah
sebuah tulisan khas, yang ditulis secara luwes dan menarik, dan relatif tak lekang
oleh waktu (saat pemuatannya tidak harus diburu-buru seperti berita biasa). Tidak
ada aturan yang mengikat berapa persisnya panjang sebuah feature, sejauh feature
itu masih menarik untuk dibaca. Sehingga, feature tersebut tak lepas dari kata
kreatif. Dalam feature audiovisual dituntutlah kreativitas dalam penampilan
gambar dan efek suara yang mendukung.
Setiap topik-topik dalam feature tersebut beraneka ragam, namun lebih
banyak mengangkat unsure human interest, seperti pada stasiun Trans TV ; Jika
Aku Menjadi. Selain Human interest juga ada mengenai budaya dan pariwisata.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari segi konten feature itu sendiri, feature
audiovisual memiliki hal lebih unggul dalam pempublikasinya, sehingga penonton
dapat langsung melihat dan merasakan isi dari feature itu sendiri.
13