Teks tersebut membahas tentang Pengertian Qawaid Fiqhiyyah atau Kaidah-Kaidah Hukum Islam yang bersifat umum. Qawaid Fiqhiyyah dijelaskan sebagai aturan-aturan dasar yang mengatur perbuatan manusia dan dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum. Lima Qawaid Fiqhiyyah Utama (Qawaid Asasiyyah al-Khams) diuraikan sebagai dasar dari kaidah-kaidah hukum
1. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari – hari beragam
macamnya. Tentunya ini mengharuskan kita agar mencari jalan keluar untuk
penyelesaiannya. Maka disusunlah kaidah kaidah secara umum yang diikuti
cabang – cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan
kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan
terhadap penyelesaian masalah – masalah yang muncul ditengah – tengah
kehidupan ini.
Seperti pada pembahasan kali ini terdapat kaidah fiqh (qowaid fiqhiyyah)
merupakan kaidah yang bersifat umum dan biasa digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari – hari. Kaidah ini
menggolongkan masalah – masalah yang serupa menjadi satu kaidah, untuk
mempermudah penyimpulan hukum dari suatu masalah. Kaidah fiqh ini tentunya
bersumber dari Al – Quran dan sunnah yang merupakan sumber dari terciptanya
hukum – hukum Islam. Denga adanya kaidah fiqh (qowaid fiqhiyyah) ini tentunya
mempermudah kita dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
perbuatan (amaliyah) manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari qowaid fiqhiyyah ?
2. Apa saja fungsi dan peranan qowaid fiqhiyyah ?
3. Apa itu qawaid asasiyyah al-khams ?
4. Bagaimana contoh penerapan dari qawaid asasiyyah al-khams ?
C. Tujuan
Dari perumusan masalah di atas, diharapkan akan dapat dicapai beberapa
sasaran sebagai tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
2. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
2
1. Mengetahui dengan jelas pengertian qowaid fiqhiyyah
2. Mengetahui fungsi serta peranan dari qowaid fiqhiyyah bagi kehidupan
3. Mengetahui pengertian qawaid asasiyyah al-khams
4. Mengetahui gambaran dari penerapan qawaid asasiyyah al-khams
3. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid fiqhiyyah merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu
kata qawaid dan fiqhiyyah, masing-masing memiliki pengertian tersendiri.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qa’idah yang secara etimologi diartikan
dasar-dasar (fondasi) sesuatu, baik yang bersifat konkret, materi, atau inderawi
seperti fondasi rumah, maupun yang bersifat abstrak, non-materi dan non-
inderawi seperti ushuludin (dasar-dasar agama).1
Kaidah yang berarti dasar-dasar yang bersifat materi telah dijelaskan dalam
al-Quran surah al-Baqarah (2) ayat 127 dan surah an-Nahl (16) ayat 26 yang
artinya “Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar (fondasi)
Baitullah beserta Ismail.” Dan yang artinya “Maka Allah menghancurkan rumah-
rumah mereka dari fondasinya.”
Itulah arti qawa’id secara bahasa, sedangkan arti kata fiqhiyyah yang berasal
dari kata fiqh secara bahasa berarti pengetahuan, pemahaman, mengetahui
kebaikan dan keburukan dalam memahaminya, dan memahami maksud pembicara
dan perkataannya.2 Sedangkan pengertian fiqh menurut istilah, para ulama ahli
fikih mutakhir memberikan arti fikih secara ekslusif, yaitu berkisar pada hukum-
hukum yang amaly (praktis) yang diambi dari dalil-dalil yang tafshily (terperinci).
3 Menurut Jamaluddin al Asnawy (w. 722 H), fikih adalah: “Ilmu tentang hukum-
hukum syara’ yang bersifat amaly (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalilnya
yang terperinci.”4
1
Muhammad bin Abi Bakar al-Razi, mukhtar al Shahah, (Mesir Dar al-Nahdah, t.th.), h. 544, al
Raghib al Ashfahani,al Mufradat fi Gharib al Quran ,(Mesir Mushthafa al Babi al Halabi, 1961), h.
409, Majma al Lughah al’Arabiyah, al Mu’jam al Wajiz, (t.t: Wuzarah al Tarbiyah wa al Ta’lim,
t.th.), h. 509.
2 Ibnu Manzhur, Lisan al ‘Arab, t.t: Dar al Ma’arif, t.th.), jilid IV, h. 3450. Lihat pula: Ali
Muhammad al Jurjani , al T’rifat, (Mesir Musthafa al Babi al Halabi wa Auladuhu, 1938), h. 147.
3 Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqh, (t.t: Dar al Fikr al Araby,t.th.), h. 6.
4 Al-Asnawy, Nihayah al-Shul fi Sharh Minhaj al Wushul fi Ilmi al Ushul,(Mesir Mathbahah
Muhammad Ali Shabih wa Auladih,t.th.), h. 19
4. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
4
Secara etimologi kata fiqh lebih dekata kepada makna ilmu sebagaimana
firman Allah dalam surah at-Taubah (9) ayat 122 yang artinya “Tidak sepatutnya
bagi mukminin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” Juga telah tertulis dalam hadis nabi yang artinya “Siapa yang
dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikannya pemahaman dalam
agama.”5 (HR. Muslim dari Muawiyyah).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa qawaid fiqhiyyah menurut
etimologi (bahasa) berarti dasar-dasar atau fondasi ilmu atau pemahaman.
Pengertian qawaid fiqhiyyah menurut istilah dalam hukum Islam menurut
al-Taftazany (w. 791 H) adalah “Bahwasannya qawaid fiqhiyyah adalah suatu
hukum yang bersifat universal (kully) yang dapat diaplikasikan kepada seluruh
juz’inya (bagiannya) agar dapat diidentifikasi hukum-hukum juz’i (bagian)
tersebut darinya”. Definisi yang dikemukakan oleh al-Taftzany ini sama dengan
definisi yang dikemukakan oleh ulama lainnya, seperti al-Jurjany (w. 816 H), dan
al Kafawy al Hanafi (w. 1094 H).6
Adapun menurut sebagian ulama lainnya, mendefinisikan qawaid fiqhiyyah
sebagai sesuatu yang bersifat universal (kulliyat), dan adapula yang
mengartikannya sebagai sesuatu yang bersifat mayoritas (aghlabiyyah atau
aktsariyyah).
Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, mayoritas ulama
memandang bahwa qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan yang menampung
perbuatan-perbuatan mukallaf. Qawaid fiqhiyyah merupakan aturan-aturan yang
berkaitan langsung dengan perbuatan para mukallaf, artinya bahwa yang menjadi
ruang lingkup qawaid fiqhiyyah adalah perbuatan mukallaf.7 Dan, dapat dipahami
juga bahwa qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan dasar tentang perbuatan-
perbuatan mukallaf yang dapat menampung hukum-hukum syarak.8
5 Muslim,Shahih Muslim,Hadis No.1037, BAB al Nahyi An Mas’alah,Jilid IV,h. 108
6 Al Taftazany, al Talwih ‘Ala al Taudhih,(Mesir:Mathba’ahSyan al Huriyyah,t.th.), Jilid I,h. 20
7 Ade Dedi Rohayana,Ilmu Qawaid Fiqhiyyah,(Jakarta:Gaya Media Pratama),h.12.
8 Ibid
5. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
5
B. Fungsi dan Peranan Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid fiqhiyyah adalah salah satu cabang dari ilmu syariah, oleh
karenanya qawaid fiqhiyyah ini menjadi ilmu yang penting untuk kita perhatikan.
Namun terkadang kebanyakan orang tidak memerhatikan atau tidak mempelajari
sama sekali cabang ilmu syariah ini. Salah satu penyebabnya mungkin karena
keterbelakangan pemahaman (fikih). Sebab seseorang tidak paham akan
pentingnya, manfaatnya, peranannya, dan pengaruhnya, ia menjadi acuh tak acuh
terhadap sesuatu yang sebenarnya penting. Berikut kami rangkum keistimewaan
qawaid fiqhiyyah:
1. Memelihara dan menghimpun berbagai masalah pokok yang sama, juga
sebagai barometer dalam mengindentifikasi berbagai hukum yang masuk
dalam ruang lingkupnya.
2. Dapat menunjukan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun
berbeda-beda merupakan satu jenis ‘illat dan maslahat.
3. Sebagian besar masalah ushul fiqh tidak mengkaji hikmah tasyri’ dan
maksudnya, tetapi mengkaji bagaimana mengeluarkan hukum dari lafaz-
lafaz syar’i dengan menggunakan kaidah yang mungkin dapat
mengeluarkan furu’ dari lafaz-lafaz syar’i tersebut. Sebaliknya, qawaid
fiqhiyyah mengkaji maksud-maksud syara’ secara umum maupun khusus,
juga sebagai parameter dalam mengidentifikasi rahasia-rahasia hukum dan
hikmah-hikmahnya.9
Adapun fungsi dan peranan qawaid fiqhiyyah ialah sebagai berikut:
1. Untuk memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga
sebagai barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang masuk
dalam ruang lingkupnya.
2. Untuk menunjukan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun
berbeda-beda merupakan satu jenis illat dan maslahat.
3. Untuk memudahkan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang
mukallaf.
9 Al-Nadawy, al-Qawaid al-Fiqhiyyah,h.70, Ade Dedi Rohayana,Ilmu qawaid Fiqhiyyah,h.33
6. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
6
Selain yang tertulis di atas, adapula pendapat beberapa ulama, antara lain:
1. Ibnu Nujam berpendapat bahwa sebenarnya qawaid fiqhiyyah merupakan
ushul fiqh, tetapi kemudian derajatnya meningkat kepada derajat ijtihad
meskipun dalam berfatwa.
2. Imam al-Sarakhsy berpendapat bahwa siapa saja yang menghukumi
suatu masalah cabang dengan asal, dan ia benar-benar memahaminya,
maka akan mudah baginya untuk mengambil kesimpulan.10
3. Imam al-Qarafi (w. 684 H) berpendapat bahwa kaidah ini sangat penting
bagi fikih dan besar sekali manfaatnya. Orang yang benar-benar
mempelajarinya akan menjadi fakih dan mendapat kemuliaan, serta akan
mendapatkan rahasia-rahasia fikih. Ilmu ini juga akan memberi
kemudahan dalam berfatwa siapa yang memutuskan suatu cabang
permasalahan dan hanya berpegang pada juzz’iyat, serta tidak
memerhatikan kulliyat, dapat dipastikan cabang tersebut akan bertentangan
dengan cabang-cabang yang lain. Hal ini akan menimbulkan kebingungan
dan menyulitkan dirinya. Siapa yang berhujjah dengan hanya menghapal
juzz’iyat saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan
menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-citanya. Sebaliknya
siapa yang memperdalam fikih menggunakan kaidah-kaidah fikih tidak
harus menghafalkan berbagai macam cabang fikih, karena telah tercakup
oleh kulliyah. Di samping itu iapun dapat menyelesaikan berbagai macam
perpecahan dan pertentangan. Dengan demikian ia dapat menjawab
berbagai macam permasalahan yang rumit dalam waktu singkat, sehingga
dadanya menjadi lapang karena dapat menemukan pemecahan berbagai
pemecahan masalah yang diinginkannya.11
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan qawaid fiqhiyyah
adalah sebagai berikut:
1. Bagi orang yang mendalami qawaid fiqhiyyah, maka ia akan dapat
menemukan pemecahan masalah degan menganalisa permasalahan
10Ibnu Nujaim, al-Asybah wa al-Nazhair,h.10
11 Al-Qarafi,al-Furuq,h.2,3.
7. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
7
tersebut kemudian dari pemecahan yang didapat akan didapatkan
hukumnya.
2. Dengan menggunakan qawaid fiqhiyyah sebagai pijakan dan/atau
legitimasi dari penetapan hukum maka proses penetapan hukum dapat
dilakukan dengan mudah dan tidak memerlukan waktu yang lama.
3. Membantu memecahkan permasalahan yang ada di zaman yang
modern ini. Perkembangan teknologi yang tidak dapat terbendung
sehingga lahirlah berbagai permasalahan yang kompeks. Dengan
penggunaan qawaid fiqhiyyah pada permasalahan yang kompleks di
era modern ini, penyelesaian permasalahannya akan dirumuskan
dengan mudah. Contoh permasalah di era sekarang ialah persoalan
transaksi keuangan syariah kontemporer, misalnya tentang hukum giro
di bank.
C. Qawaid Fiqhiyyah al-Kubra (Qawaid Fiqhiyyah Assasiyyah)
Pada dasarnya kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama berpangkal dan
menginduk kepada lima kaidah pokok (qawaid asasiyyah al-khams). Kelima
kaidah pokok (asasiyyah) ini yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang
bersifat cabang (non asasiyyah). Sebagian ulama menyebut kelima kaidah
asasiyyah ini dengan istilah al-qawaidu al-khams (kaidah-kaidah yang lima) dan
adapula menamakannya dengan al qawaidu al-kubra. Tetapi Ibnu Nujaim
menambah satu kaidah dan menyebutnya dengan istilah al qawaidu al asasiyyah
(kaidah-kaidah pokok).12
Adapun kaidah-kaidah pokok tersebut ialah:13
1. بما االمورقاصدها
“Segala urusan tergantung pada tujuannya”
2. بالشك اليزالو اليقين
“Keyakinan atau yang yakin tidak dapat dihapuskan dengan keraguan”
3. التيسر تجلب المشقة
12 Al-Suyuthy Al-Asybah wa al-Nazha’ir fi al-Furu’,h.7- Ibnu Nujaimal-Asybah wa al-Nazhair,h.
115.
13 Al-Suyuthy Al-Asybah wa al-Nazha’ir fi al-Furu’,h.7, 38, 56,60, 64.
8. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
8
“Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan”
4. الضرريزال
“Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan”
5. العادةمحكمه
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Dasar Kaidah dari Ayat al-Quran dan Hadis
1. Dasar kaidah yang pertama “segala urusan tergantung pada tujuannya”
a. QS. Al-Bayyinah (98): 5
اال امرو وما"....حنفاء الين له مخلصين هللا ليعبدوا ”
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama
yang lurus….”
b. QS. an-Nisa’ (4): 100
بيت من ىخرج ومناللهورسوله الي مهاجرا هوقع فقد يدركهالموت ثم
هللا وكان هللا اجرهوعلئغفورارحيما
Artinya: “…Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan rasulnya, kemudian kematian menimpaNya (sebelum
sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi
Allah. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
c. QS. Al-Baqarah (2): 225
قلو كسبت بما يؤاخذكم ولكن ايمنكم فئ باللغو هللا يؤاخذكم الوهللا بكم
حليم غفور
Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja untuk bersumpah oleh hatimu. Dan Allah
maha pengampun lagi maha penyantun.”
9. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
9
d. QS. An-Nisa’ (4): 114
ب اواصالح معروف او بصدقة امر من اال نجونهم من كثير فئ خير الين
الناومن سذالك يفعلم ابتغاءعظيم اجرا ياته فسوف هللا رضات
Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi
sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamain di antara
manusia. Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan
Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
e. Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khatab, Rasulullah bersabda:
هللا الئ هجرته كانت فمن نوئ ما ارئ لكل وانم بالنيات االعمال انماو
ا يصيبها هجرتهلدنيا كانت ومن ورسوله هللا الئ فهجرته رسولهوامراه
اليه هاجر ما الي فهجرته ينكحها
Artinya: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung kepada niatnya.
Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Siapa yang berhijrah
kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya tersebut kepada Allah dan
RasulNya. Siapa yang berhijrah karena ingin memperleh harta dunia atu
keran perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu karena hal
tersebut.”
2. Dasar kaidah yang kedua “Keyakinan (yang yakin) tidak dapat dihapuskan
oleh keraguan”
a. QS. Yunus (90): 36
ومايتبععل هللا ان شيءا الحق من اليغنئ انالظن الظنا اال اكثرهمبما يم
تفعلون
Artinya: “Dan kebanyakan dari mereka tidak mengikuti kecuali
persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaaan itu tidak sedikitpun yang
10. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
10
berguna untu mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
apa yang mereka kerjakan.”
b. Hadis riwayat Muslim dari Abi Hurairah, Rasullulah bersabda:
يسم حتئ المسجد من يخرجن فال ال ام شيءا بطنه فئ احدكم وجد اذاع
ريحا يجد او صوتا
Artinya: “Apabila eseorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam
perutnya, kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya
ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar
suara atau mendapatkan bau (memperoleh bukti tentang telah batalnya
wudhu’).”
c. Hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Khidriy
فليطر اربعا ام اثالثا صلئ يدركم فلم صالته في احدكم شك اذاالشك ح
ماستيقن علئ واليبن
Artinya: “Apabila seseorang dari kamu ragu-ragu di dalam shalatnya,
tidak tahu sudah berapa rakaaat yang telah ia kerjakan tiga rakaatkah
atau empat rakaa, maka buangkan keraguan-raguan itu dan berpeganglah
kepada apa yang meyakinkan.”
3. Dasar kaidah yang ketiga “Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan”
a. QS. Al-Baqarah (2): 185
..العسر بكم يريد وا اليسر بكم هللا يريد
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu…”
b. QS. Al-Baqarah (2): 286
...وسعها ال نفسا هللا يكلف ال
11. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
11
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”
c. Hadis riwayat an-Nasai dari Abi Hurairah
اليسر الدين
Artnya: “Agama itu mudah”
d. Hadis riwayat Ahmad dari Anas bin Malik
...والتنفروا وبشروا تعسروا والا يسيروا
Artinya: “Mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan
menakuti”
4. Dasar kaidah yang keempat “Kemadharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan”
a. QS.Al-A’raf (7): 56
واصالحها بعد االرض فى تفسدون ال
Artinya: “Dan janganlah kam membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya.”
b. QS. Al-Baqarah (2): 60
المفسدين يحب ال هللا ان االرض فى الفساد تبغ وال
Artinya: “dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat
kerusakan.”
c. Hadis riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas
ضرار وال ضرار ال
Artinya: “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling
membahayakan (merugikan).”
12. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
12
5. Dasar kaidah kelima “Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
a. QS. Al-Baqarah (2): 233
تس ان اردتم وانسل اذا عليكم جناح فال اوالدكم ضعوا ترمءاتي تمبا تم
بصير تعملون بما هللا ان واعلموا هللا والتقوا المعرف
Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran kepada
yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa llah maha
melihat apa yang kamu kerjakan.”
b. QS. An-Nisa (4): 19
...المعوف با وعاشروهن
Artinya: “Dan gaulilah dengan mereka secara patut…”
c. QS. Al-Maidah (5): 89
اال عقدتم بما يئخذكم والكن ايمانكم فى اللغو بل هللا يئخذكم الفكفرته يمان
تحرير او كسوهم او اهليكم تطعمون ما اوسط من مساكين عشرة اطعامو
....رقبه
Artinya: “Alah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang tidak bermaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah meberi makan sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.”
d. Hadis riwayat Bukhary dan Muslim dari Aisyah ra, Rasululah bersabda
kepada Hindun.
يكف ما خذييكالمعروف با ولدك و
Artinya: “Ambilah secukupnya untuk kamu dan anamu dengan cara yang
makruf.”
13. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
13
Contoh Penerapan:
Penerapan kaidah pertama:
1. Jika seseorang menemukan di jalan sesuatu harta yang berharga lalu ia
mengambilnya dengan niat/tujuan mengembalikannya kepada pemiliknya
maka hal ini dianggap sebagai amanah di tangannya, karena itu ia tidak
menggantinya jika barang itu rusak tanpa sengaja dan bukan Karena kelalaian
dalam menjaganya. Tetapi jika ia mengambilnya dengan niat atau tujuan untuk
memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghasib (orang yang
merampas harta orang). Jika barang itu rusak maka ia harus menggantinya
secara mutlak.
2. Jika seseorang membeli anggur dengan niat atau tujuan memakannya atau
menjualnya hukumnya boleh, tetapi jika ia membelinya dengan niat atau
tujuan menjadikannya khamr, atau menjualnya kepada orng yang akan
menjadikannya khamr, maka hukumnya haram atau tidak diperbolehkan.
Demikian pula jika ia menjual senjata kepada orang yang berjuang dijalan
Allah, maka hukumnya boleh. Namun jika ia menjualnya kepada orang yang
menyebarkan fitnah, atau membunuh seseorang dengan senjata itu, maka
hukumnya tidak boleh atau haram.14
Contoh penerapan kaidah fikih yang kedua:
1. Seandainya dua orang melakukan transaksi jual beli, lalu setelah itu salah
seorang mensyaratkan sendiri khiyar dalam akad, ia hendak
menfasakh/membatalkan jual beli itu dengan mengembalikan barang,
sementara seorang yang lainnya mngingkari atau menyanggah adanya syarat
itu , maka perkataan yang diambil/dipercaya adalah perkataan orang yang
menyanggah itu disertai sumpahnya sehingga ada bukti yang menetapkan
khiyar orang yang mendakwakannya. Demikian itu karena syarat tersebut
suatu hal yang terjadi belakangan. Pada dasarnya dalam akad adalah
kosong/bebas dari syarat-syarat tambahan, maka tidak adanya syarat
14 ‘Athiyah ‘Adlan, Mausu’ah al Qawaid al Fiqhiyyah,h.37
14. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
14
tambahan, itulah yang yakin dan yang yakin tidak dapat dihapuskan oleh
keraguan dan pada dasarnya (hukum asal) tidak ada tambahan syarat. Maka
yang dipegang adalah ketentuan asal, sehingga adaketetapan yang sebaliknya,
yaitu dengan adanya bukti dari pendakwa, atau penolakan/penyanggahan yang
lainnya disertai sumpahnya.
2. Jika seseorang membeli sesuatu, kemudian ia mengatakan, bahwa sesuatu
yang dibelinya itu cacat dan ia ingin mengembalikannya, lalu penjual menolak
ucapan pembeli yang mengatakan adanya cacat itu, maka si pembeli tidak
boleh mengembalikannya, karena pada asalnya barang itu yakin utuh (tidak
cacat). Cacat tidak boleh ditetapkan dengan adanya keraguan, sebab yang
yakin tidak boleh dihapuskan oleh keraguan.15
Contoh penerapan kaidah fikih yang ketiga:
1. Dibolehkan membatalkan sewa menyewa (,)الءجرة karena uzur safar dan
dibolehkan mudharib (orang yang diberi modal untuk berdagang dengan
perjanjian bagi hasil) membiayai dirinya dalam safar (bepergian) dari harta
mudharabah (yang didagangkan dengan system bagi hasil).
2. Dibolehkan menurut kesepakatan ulama menjual barang yang dalam tanah
jika sebagianya dapat dilhat sebagai sampel dari yang belum kelihatan
karena susah melihatkeseluruhannya, sama halnya dengan menjual barang-
baranag yang tidak bergerak.
3. Demikian pula halnya apa yang dapat membawakan kepada kesulitan
untuk mengetahui seluruhnya, dibolehkan hanya melihat apa yang
mungkin dapat diliha, seperti menjual apa yang dalam kaleng/botol, apa
yang dimakan ada didalamnya dan lain-lain. Maka pendapat yang benar
adalah dibolehkan jual-beli seperti ini disertai adanya “gharar yasir”
(ketidak jelasan yang ringan/sedikit), karena jual-beli sepertinya ini,
membawa maslahat bagi manusia.16
Contoh penerapan kaidah fikih yang keempat
15 ‘Athiyah ‘Adlan, Mausu’ah al Qawaid al Fiqhiyyah,h.45
16 Ali Ahmad al Nadawy, Mausu’ah al qawa’id wa al dhawabith al fiqhiyyah,Jilid 1 h. 132
15. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
15
1. Jika seandainya seseorang meminjam uang dengan kadar tertentu,
kemudian uang tersebut tidak berlaku lagi karena penggantian uang, atau
yang lainya, maka menurut dua sahabat Abu Hanifah (w. 150 H), yaitu
Abu Yusuf (w. 182 H)dan Muhmmad bin Hasan al Syaibany (w. 189 H),
orang tersebut wajib mengembalikannya sesuai dengan harga uang
tersebut. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah harga tersebut
ditentukan pada hari terakhir lakunya uang tersebut, atau pada waktu
peminjaman uang tersebut. Menurut Abu Yusuf, harga tersebut ditentukan
pada hari terakhir berlakunya uang pinjaman tersebut. Sedangkan menurut
Muhammad bin Hasan al Syaibany, nilai uang pinjaman tersebut
ditentukan sesuai dengan niali uang pada waktu mengambil uang
pinjaman.17 Perbedaan pendapat ini semuanya bertujuan untuk
menghilangkan mudharat sesuai dengan kaidah “.”الضرريزال
Jika seandainya seseorang berhutang makanan, kemudian orang yang
menghutangkan makanan tersebut menagih hutang di Makkah misalnya,
sedangkan harga makanan yang dihutangkan itu mahal, atau murah disana.
Menurut Abu Yusuf, orang yang berhutang itu hanya wajib membayar sesuai
dengan nilai uang waktu berhutang dari orang yang menghutangkan di negaranya.
Hal ini untuk menghilangkan mudharat bagi yang menghutangkan dana yang
berhutang.18
Hakim berhak mencegah orang yang berhutang untuk safar (bepergian) atas
permintaan yang punya piutang sehingga ia menunjuk seorang wakil yang
mewakilinya dan ia tidak boleh memberhentikan wakilnya selama ia dalam
bepergian (,)مسافرا untuk menghilangkan mudharat (bahawa) bagi yang punya
piutang.19
Contoh penerapan kaidah fikih yang kelima
1. Jual-beli dianggap sah dengan setiap lafadz yang biasa berlaku dikalangan
manusia, atau yang telah mereka ketahui dan sudah menjadi adat
17 Ahmad Muhammad al Zarqa’, Syarh al Qawa’id al fiqhiyyah, h. 179
18 Ahmad Muhammad al Zarqa’, Syarh al Qawai al Fiqhiyyah, h. 180
19 Athiyah ‘Adhlan, Mausu’ah al Qawaid al Fiqhiyyah, h. 50
16. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
16
kebiasaan mereka meskipun tidak dengan akad ijab-qabul. Karena itu apa
yang dipandang manusia sebagai jual-beli, atau sewa menyewa, atau
hibah, maka itu dianggap sebagai jual-beli, atau atau senya menyewa, atau
hibah, karena nama-nama ini tidak ada batasanya dalam bahasa dan syara’.
Oleh sebab itu, setiap nama yang tidak ada batasanya dalam bahasa dan
syara’, maka dikembalikan batasanya kepada adat dan kebiasaan.
2. Cacat pada barang yang dibeli, adalah disesuaikan dengan kebiasaan yang
berlaku dikalangan manusia (masyarakat). Maka apa yang dipandang
masyarakat sebagai cacat, itu adalah cacat yang karenanya barang itu
dikembalikan, tetapi jika itu tidak dipandang oleh masyarakat sebagai
cacat, maka barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan.20
3. Bank berhak dalam akad murabaha menambahkan ongkos-ongkos yang
telah dikenal dan telah biassa dilakukan oleh para pedagang
penambahannya pada harga, seperti biaya penyimpanan (gudang),
memelihara/menjaga, mengangkut dan lain lain.21
20 Athiyah ‘Adhlan Mausu’ah al qawaid al fiqhiyyah, h. 66
21 Ali Ahmad al Nadawy, Mausu’ah al Qawaid al Fiqhiyyah wa al Dhawabith al Fiqhiyyah, h. 214
17. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa qawaid fiqhiyyah menurut
etimologi (bahasa) berarti dasar-dasar atau fondasi ilmu atau pemahaman.
Pengertian qawaid fiqhiyyah menurut istilah dalam hukum Islam menurut
al-Taftazany (w. 791 H) adalah “Bahwasannya qawaid fiqhiyyah adalah suatu
hukum yang bersifat universal (kully) yang dapat diaplikasikan kepada seluruh
juz’inya (bagiannya) agar dapat diidentifikasi hukum-hukum juz’i (bagian)
tersebut darinya”. Definisi yang dikemukakan oleh al-Taftzany ini sama dengan
definisi yang dikemukakan oleh ulama lainnya, seperti al-Jurjany (w. 816 H), dan
al Kafawy al Hanafi (w. 1094 H).
Adapun fungsi dan peranan qawaid fiqhiyyah ialah sebagai berikut:
1. Untuk memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga
sebagai barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang masuk
dalam ruang lingkupnya.
2. Untuk menunjukan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun
berbeda-beda merupakan satu jenis illat dan maslahat.
3. Untuk memudahkan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang
mukallaf.
Adapun kaidah-kaidah pokok tersebut ialah:
1. قاصدها بما االمور
“Segala urusan tergantung pada tujuannya”
2. بالشك اليزالو اليقين
“Keyakinan atau yang yakin tidak dapat dihapuskan dengan keraguan”
3. التيسر تجلب المشقة
“Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan”
4. الضرريزال
18. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
18
“Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan”
5. العادةمحكمه
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Bahwasanya kaidah-kaidah pokok tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-
Hadits.
19. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
19
QAWAID FIQHIYYAH : Pengertian dan Sejarah
Qawaid ialah bahasa Arab kata jama’ dari Qa`idah yang
memberi erti asas rumah dan sebagainya sepertimana firman
Allah S.W.T.;
َتْنَأ َكَّنِإ اَّنِم ْلَّبَقَت اَنَّبَر ُليِعاَمْسِإَو ِتْيَبْلا َنِم َدِعاَوَقْلا ُميِهاَرْبِإ ُعَف ْرَي ْذِإَو
( ُميِلَعْلا ُعيِمَّسال127)
Dan (ingatlah) ketika Nabi Ibrahim bersama- sama Nabi Ismail
meninggikan binaan asas-asas (tapak) Baitullah (Ka`abah) itu.”
(Al-Baqarah : 127)
Qaidah menurut para fuqaha’ ialah : Hukum kulliy yang dipraktik
ke atas keseluruhan masalah juziyyah (detail).
Hukum yang terpakai ke atas kebanyakan masalah-masalah
juziyyah (detail).
QAWAID FIQH
20. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
20
IYYAH prinsip-prinsip umum dalam fiqh islami yang merangkumi
hukum-hukum syara’ yang umum,selaras dengan masalah-
masalah yang telah berlaku dan baru muncul yang termasuk di
bawah tajuk prinsip berkenaan.
ىَسوُم يِبَأ ىَلإ ِباَّطَخْلا ُنْب ُرَمُع َبَتَك : َلاَق ِيِلَذُهْلا ِيحِلَمْلا يِبَأ َْنع
ِرَف َءَاضَقْلا َّنِإَف : ُدْعَب اَّمَأ : ِي ِرَعْشَ ْاْلاَذإ ْمَهْافَف ٌةَعَبَّتُم ٌةَّنُسَو ٌةَمَكْحُم ٌَةضي
، ُهَتْيَضَق ٌءَاضَق َكُعَنْمَي ََل ، ُهَل َذاَفَن ََل ٍّقَحِب ٌمُّلَكَت ُعَفْنَي ََل ُهَّنِإَف َكْيَلإ َيِلْدُأ
َّنِإَف ، َّقَحْلا َع ِاجَرُت ْنَأ ، َِكدْشُرِل ِهيِف َيتِدُهَو ، َكَسْفَن ِهيِف َتْعَجاَرَّقَحْلا
اَميِف َمْهَفْلا َمْهَفْلا ، ِلِاطَبْلا يِف ِيداَمَّتال ْنِم ٌرْيَخ ِقَحْلا ُةَعَجاَرُمَو ، ٌميِدَق
َلاَثْمَ ْاْل ْف ِرْعا ، ِةَّنُّسالَو ِباَتِكْلا يِف َكْغُلْبَي ْمَل اَّمِم ، َك ِرْدَص يِف ُجِلَتْخَي
ََكدْنِع َورُمُ ْاْل ْسِق َّمُث َهاَبْشَ ْاْلَواَهِهَبْشَأَو ِ َّاَّلل ىَلإ اَهِبَحَأ ىَلإ ْدِمْعاَف ،
. " ىَرَت اَميِف ، ِقَحْلاِب
Dari Abu Malih al-Huzalli berkata ; Umar al-Khattab telah menulis kepada Abu
Musa al-As'ari fahamilah benar-benar masalah yang engkau hadapi yang mana
hukum-hukumnya engkau tidak temui di dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah
SAW. Ketahuilah persamaan dan sebanding serta menujulah ke arah yang lebih
disukai oleh Allah SWT dan lebih hampir kepada yang benar.
Qaidah-Qaidah itu suatu gambaran yang menarik terhadap prinsip-prinsip fiqh
yang umum,membuka ufuk- ufuk dan landasan prinsip itu dari segi
teorinya.seterusnya ia memantapkan hukum-hukum furu‟ yang amali•
Kalau tidak wujud qawaid ini maka hukum-hukum fiqh akan merupakan hukum-
hukum furu yang terpisah-pisah dan kadang kala pada zahirnya boleh
menimbulkan pertentangan antara satu sama lain tanpa dasar-dasar yang dipegang
dalam pemikiran yang menerangkan alasan - alasan konkrit yang menentukan
arah perundangan dan menyediakan cara-cara mengukur dan membandingkannya.
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan qawaid fiqhiyah dapat dibagi
kepada tiga fasa berikut:
Fasa Pertumbuhan dan Pembentukan
21. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
21
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari
zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi fasa sejarah
hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman.
A. Zaman Rasululah SAW
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu
:
1. الخرجبالضمان (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
2. جبار جرحها العجماء ( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri
tidak dikenakan ganti rugi), dll.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan
menyatakan dengan hadits jawami’ al-kalam (singkat padat) Nabi Muhammad
SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan
merosakkan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah
benda tersebut berjenis makanan atau minuman. Ini adalah ketetapan Nabi
Muhammad SAW, iaitu hukum meminum minuman yang memabukkan adalah
haram.
B. Zaman Sahabat
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah
fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu
mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi
turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawaid
fiqhiyyah di antaranya adalah sebagai berikut:
Pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w.
256 H) dalam kitabnya Shahih al-Bukhari: الشروط عند الحقوق مقاطع (penerimaan
hak berdasarkan kepada syarat-syarat).
Pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq
(w.211 H) :عليه ضمان فال الزبح قاسم من (orang yang membagi keuntungan tidak
harus menanggung kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali
bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang persoalan harta benda,
seperti mudharabah dan syirkah.
22. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
22
C. Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.
Di antara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in:
Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182)
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait
al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai
salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah
atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan fikih Imam Asy-Syafi’i,
Pada fasa kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang
dibentuknya, iaitu
”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan
ketika tidak terpaksa”
Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, di antaranya
اْلمنه أصغر هو ما سق النا عن سق اذا عمم
(apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur).
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),
Di antara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal yang Abu Daud
dalam kitabnya al-Masail, yaitu :
والرهن والصدقة الهبة فيه تجوز البيع فيه جاز ما كل
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan
digadaikan”
Ulama berikutnya ialah Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H),
Ia mengemukakan apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul
keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal) atau belum, dan keraguan
ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi waudhunya. Apabila ia
tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta keraguaannya itu, menurut kami
boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats
(batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau muslimah yang terpercaya,
23. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
23
merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur
terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum
mangulangi wudhu). Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah: اليقين
بالشك يزول َل (keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan) .
Fasa Perkembangan dan Kodifikasi
Awal mula qawaid fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan
terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi
ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah
kerana saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dan ulama pada saat
itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu.
Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan
pendapat yang terjadi di antara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka,
sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada
pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-
persoalan baru.
Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan
semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat
kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama
tersebut. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam
risalahnya (ushul al-Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya
Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup
berbagai masalah fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup
satu masalah fiqh , disebut dhabit.
Menurut Dr. An Nadwi bahwa golongan Hanafiah merupakan yang pertama kali
mempelajari kaidah fiqhiyah. Beberapa informasi yang menyatakan hal tersebut
termaktub dalam beberapa literatur di antaranya, Alaby (761 H), As Suyuthi (911
H) dan Ibnu Najm (970 H) dalam Al Qawaid menyatakan bahwa Imam Ad Dibas
pada abad 4 Hijriyah telah mengumpulkan beberapa kaidah-kaidah Mazhab
Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad Dibas membaca kaidah-kaidah tersebut
berulang kali setiap malam di masjid yang kemudian Abu Said al Harawi Al
Syafii menukil dari Ad Dibas beberapa kaidah-kaidah tersebut.
Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan yang berisi 37 kaidah,
kemudian dari golongan Hanafiyah muncul Imam al Khusyni (361 H) dengan
24. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
24
karyanya ushul al fataya. Dan setelah itu muncul Abi Laits Al Samarqandi (373
H) dengan karyanya ta’sis al nadhri yang identik dengan karya Abi Zaid Ad
Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan.
Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat rancak.
Di antara ulama yang menulis kitab qawaid pada abad ini adalah al-‘Allamah
Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab dengan
judul “al-Qawaid fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin Abd al-
Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang
sempat menjadi kitab terkenal. dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin
Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid al-
Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid
fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid
fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah mengalami masa keemasan, dengan
banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah. Perkembangan ini terbatas
hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di
kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-
Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk
yang paling kreatif. Di antara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini
adalah:
Al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)
Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqhiyah yang disusun pada abad IX H
banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di antara karya-karya
tersebut adalah:
Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-
Zubairi (w. 808 H)
Kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)
Dengan demikian, ilmu qawaid fiqhiyah berkembang secara beransur-ansur.
Pada abad X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyah semakin berkembang. Imam al-
Sayuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyah yang paling
penting dari karya al-‘Alai, al-Subaki dan al-Zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-
kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadhair. Kitab-kitab karya ketiga
25. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
25
tokoh ulama tersebut masih mencakup qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah,
kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang. Dengan
demikian, fasa kedua dari ilmu qawaid fiqhiyah adalah fasa perkembangan dan
pembukuan. Fasa ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para
ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat
menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyah.
Fasa Kematangan dan Penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun
demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman
sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari
pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-
kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin.
Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat
al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan
al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-
‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
Pertanyaan
Amelia : Kodifikasi Qawaid?
Faaizah :Fase Qawaid Fiqhiyyah dan Kapan benar2 di masy?
Syicon : Peranan Qawaid dalam perkembangan Hukum Islam?
Saniyyah : Adanya kaitan qawaid dengan ekonomi?
Yani : KItab Qawaid dalam MAzhab Syafiie
Dira : Tingkatan Qawaid Fiqhiyyah
26. PENGANTAR FIKIH || QAWAID FIQH
26
II : Qawaid dan Dawabith bedanya trus kenapa qawaid banyak
penyimpangan?
Syifa as : Pengecualian dalam ruang lingkup?
Evi : Apakah setiap adat bisa jadi hukum?...landasan dail
Ulfah F : Dalil hukum yang todak disepakati masuk nggak?
Bakrie : Penerapan dalam ekonomi
Aziz : Makna daful mafasid wal jalbu mashalih
Sarda : Perbedaan musyaqqoh dan kemudhorotan… dan apakah
musyaqqoh masuk?
Fika : Jelaskan pembagian qawaid dari fungsi mustasnayad dan kualitas
Lisa : dua contoh sama ilat dan solusi qawaid
Fariha : Kaitan qawaid dan qiyas
Aisyah : Qaidah juziyyah dan hubungan istihsan dan qawaid
Desya : Pertama kali pembukuan, dan mazhab apa yg masih bertahan
Fiqoh : Beda objek qawaid dan fiqh
Andi : peranan qawaid dalam fiqh kontemporer…. Umum khusus?
Richad : Kami…. Dan Konsep niat
Amik : Qiyas dalam qawaid..
Alen : Apakah qawaid asasiyah berurutan… trus kenapa umuru di awal
Ferdian : sebut jelas dasar2 pengambilan perumusan qawaid
Rizki : Apakah hanya lima?....beda antara qawaid fiqhiyyah dan
ushuliyyah