SlideShare a Scribd company logo
1 of 31
Download to read offline
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
173
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
Ikhtishar
A. Pengertian
1. Qawaid
2. Makna Fiqih
B. Proses Pembentukan Qawaid Fiqhiyah
C. Manfaat, Objek dan Keuatamaan
1. Manfaat
2. Objek
3. Keutamaan
D. Hubungan Dengan Ilmu Lainnya
E. Perkembangan Kaidah
F. Kaidah Kubra dan Turunannya
1. Kaidah Kubra Pertama
2. Kaidah Kubra Kedua
3. Kaidah Kubra Ketiga
4. Kaidah Kubra Keempat
5. Kaidah Kubra Kelima
A. Pengertian
1. Qawaid
Kata qawa'id (‫ﻗﻮاﻋﺪ‬) adalah bentuk jamak dari kata qaidah
(‫ﻗﺎﻋﺪة‬) yang arti secara bahasa bermakna asas, dasar, atau pondasi.
Makna ini bisa dalam arti yang konkret maupun yang
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
174
abstrak, seperti kata-kata qawa'id al-bait, yang artinya pondasi
rumah, atau qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, atau
qawa'id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu.
‫وإذ‬ِْ‫ﻓﻊ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬ُ ْ‫اﻫﻴﻢ‬‫ﺮ‬‫إﺑ‬ُ
ِ
ِْ‫اﻋﺪ‬‫ﻮ‬‫اﻟﻘ‬ِ ْ‫ﻣﻦ‬ِ‫اﻟﺒﻴﺖ‬ِ
ْ ْ‫وإﲰﺎﻋﻴﻞ‬ُ
ِ ْ ِ
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah
bersama Ismail. (QS. al-Baqarah : 127)
‫ﻗﺪ‬ْ‫ﻣﻜﺮ‬‫اﻟﺬﻳ‬ِّ‫ﻦ‬‫ﻣﻦ‬ْ
ِ‫ﻗﺒﻠﻬﻢ‬ْ
ِِ
ْ‫ﻓﺄﺗﻰ‬‫اﻟﻠﻪ‬ُّ‫ﻢ‬ ‫ـﻨﻴﺎ‬‫ﺑ‬ُْ ُْ‫ﻣﻦ‬ِ‫اﻋﺪ‬‫ﻮ‬‫اﻟﻘ‬ِ ِ ْ
Allah menghancurkan bagunan mereka dari pondasi-
pondasinya"(QS. al-Nahl : 26)
Dari dua ayat di atas, bisa disimpulakan bahwa arti kaidah
adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri
suatu bagunan.
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-
ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu nahwu (grammer) bahasa
Arab, seperti maf'ul itu manshub dan fa'il itu marfu'. Inilah yang
disebut dengan al-qawaid an-nahwiyyah (kaidah nahwu).
Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang
bersifat menyeluruh, yang mencakup banyak bagian dan cabang
yang ada di bawahnya.
Dengan demikian, maka al-Qawa'id al-Fiqihiyah secara
etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian
dengan masalah-masalah atau jenis-jenis Fiqih.
2. Kaidah Fiqih
Para ulama memang berbeda dalam mendefinisikan ilmu
Kaidah Fiqih secara istilah. Ada yang mendefinisikannya
dengan makna yang luas tetapi juga ada yang
mendefinisikannya dengan mana yang sempit. Akan tetapi,
substansinya tetap sama.
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
175
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan kaidah
sebagai berikut:
‫ﳚﻤﻌﻬﺎ‬ ‫اﺣﺪ‬‫و‬ ‫ﻗﻴﺎس‬ ‫إﱃ‬ ‫ﺗﺮﺟﻊ‬ ‫اﻟﱵ‬ ‫اﻟﻤﺘﺸﺒﻬﺎت‬ ‫اﻷﺣﻜﺎم‬ ‫ﳎﻤﻮﻋﺔ‬ُ ْ
ٍ ِ ِِ ٍِ ِ
ُ ْ ْْ
ِّ ‫ﱢ‬ ُْ ُْ ِ ْ ُ ْ
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa berdasarkan qiyas
(analogi) yang mengumpulkannya."
b. Al-Jurjani
Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa Kaidah
Fiqih adalah:
‫ﻗﻀﻴ‬ّ
ِ‫ﺎ‬ ‫ﺋﻴﺎ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬ ‫ﲨﻴﻊ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫ﻣﻨﻄﺒﻘﺔ‬ ‫ﻛﻠﻴﺔ‬‫ﺔ‬ِ
ّ ّ
ِ
ُْ ُِْ
ِ ٌ ٌ ُ ٌِ ْ ‫ﱢ‬
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup
seluruh bagian-bagiannya"
c. As-Subki
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan kaidah
fiqhiyah sebagai :
‫ﻳﻨ‬ ‫اﻟﺬي‬ ‫اﻟﻜﻠﻲ‬ ‫اﻷﻣﺮ‬ْ ْ
ِ ّ ‫ﱡ‬ ‫ﱢ‬ُ ْ ُْ ْ‫ﻣﻨﻬﺎ‬ ‫أﺣﻜﺎﻣﻬﺎ‬ ‫ـﻔﻬﻢ‬‫ﻳ‬ ‫ﻛﺜﲑة‬‫ﱢﻴﺎت‬‫ـ‬‫ﺋ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬ ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ﻄﺒﻖ‬ِْ ِ ِ
ُ ُ ُْ ُْ ْ ٌ ْ ٌ ّ ُْ ِ
"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi
bagian yang banyak sekali, yang dipahami hukum bagian
tersebut dengan kaidah tadi"
d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim
Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu
Nuzaim (w.970 H) dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair
dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
‫ﻋﻠﻴﻬﺎ‬ ‫اﻷﺣﻜﺎم‬ ‫ا‬‫ﻮ‬‫وﻓﺮﻋ‬ ‫إﻟﻴﻬﺎ‬ ‫ﺗﺮد‬ ‫اﻟﱵ‬ ‫اﻋﺪ‬‫ﻮ‬‫اﻟﻘ‬ ‫ﻓﺔ‬‫ﺮ‬‫ﻣﻌ‬ْ ْ ْْ ُّْ
ِ ‫ﱡ‬ ُ ُْ
ِّ ِ ِ ِْ
"Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan hukum
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
176
tersebut dirinci dari padanya"
e. Al-Suyuthi
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya al-
asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah:
‫ﺋﻴﺎﺗﻪ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫ﻳﻨﻄﺒﻖ‬ ‫ﻛﻠﻲ‬‫ﺣﻜﻢ‬ِِ ِ
ّ ُُْ ُِ ْ ‫ﱞ‬ ‫ﱢ‬ُ ٌ ْ
"Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi bagian-
bagiannya"
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu
bersifat menyeluruh meliputi bagian-bagian dalam arti bisa
diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kesimpulan
Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah fiqhiyah
adalah:
‫ﻣﻨﻪ‬ ‫أﺣﻜﺎﻣﻬﺎ‬ ‫ـﻌﺮف‬‫ﺘ‬‫ﻟ‬ ‫ﺋﻴﺎﺗﻪ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬ ‫ﻣﻌﻈﻢ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫ﻳﻨﻄﺒﻖ‬ ‫أﻏﻠﱯ‬ ‫ﺣﻜﻢ‬ُ ْْ ِْ ِِ ِ
ُ ُ ُ ُْ ُْ
ِ
ّ ُْ ِ ِ ‫ﱞ‬ِ ْ ٌ ْ
“Hukum yang bersifat mayoritas dan mencakup sebagian besar
bagian-bagiannya supaya dapat diketahui hukum-hukumnya.”
Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu
kalimat mayoritas bukan menyeluruh.
Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum
yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih yang ada, sehingga
sifatnya mayoritas. Artinya menampung banyak hukum dari
permasalahan fiqih namun tidak mencakup secara keseluruhan.
Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang
sifatnya memang mencakup secara keseluruhan.
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam
kaidah, yaitu kaidah ushul (‫اﻷﺻﻮﻟﯿﺔ‬ ‫اﻟﻘﻮاﻋﺪ‬) dan kaidah fiqih ( ‫اﻟﻘﻮاﻋﺪ‬
‫اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‬):
 Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab-
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
177
kitab ushul fiqih, yang digunakan untuk menyimpulkan
hukum (takhrij al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran
dan Al-Hadits.
 Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang
disimpulkan secara general dari materi fiqih, kemudian
digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-
kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di
dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih maupun
kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai bagian dari metodologi
hukum Islam.
Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah ushul sering
digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu mengeluarkan hukum
dari dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah
Fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu
penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam
bidang kehidupan manusia.
Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan Turki
Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang
yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah (‫اﻟﻌﺪﻟﯿﺔ‬ ‫اﻷﺣﻜﺎم‬ ‫ﻣﺠﻠﺔ‬) yang
merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99
kaidah Fiqih di bidang muamalah dengan 1.851 pasal.
B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih
Sulit diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih, yang jelas
dengan meneliti kitab-kitab kaidah Fiqih dan masa hidup
penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk sekaligus,
tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum
Islam.
Walaupun demikian, kalangan ulama di bidang kaidah
Fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari
mazhab Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad
ke-4 Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi
sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang kaidah
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
178
tersebut di masjid, sebelum para jamaah pulang ke rumahnya
masing-masing.
Kemudian Abu Sa'id al-Harawi, seorang ulama mazhab
Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah Fiqih
yang dihafalkan Abu Thahir. Diantara kaidah tersebut adalah
lima kaidah besar di atas.
Setelah seratus tahun kemudian, datang ulama besar Imam
Abu Hasan al-Karkhi, yang menambahkan kaidah Fiqih yang
sudah dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37 kaidah.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah Fiqih
muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah.
Seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam, bahwa
kitab-kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan kitab-kitab Fiqih pada
masa itu telah dibukukan. Dengan demikian materi tentang
tafsir, hadits, dan Fiqih telah cukup banyak.
Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita
untuk mempermudah menentukan hukum pada masalah-
masalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka para ulama’
telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat
memahami hukum Islam ini dengan mudah.
Oleh karena itu, bahwa proses pembentukan kaidah Fiqih
adalah sebagai berikut :
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
179
1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;
2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam
penarikan hukum (istibath al-ahkam). Dengan metodologi
ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif
menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak
itu kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di
bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan
pola piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap
kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah
yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah
Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan
menggunakan banyak ayat dan banyak hadits, terutama
untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-
Quran dan hadits nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan
banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut
menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka
ulama-ulama Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk
menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial,
ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan
hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama
memberikan fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang
praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan
kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-
Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat
undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185
pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu Taimiyah
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
180
dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin",
memunculkan kaidah :
‫ـﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺗﻐ‬ُ‫ﱡ‬‫اﻷزﻣﻨﺔ‬ ‫ﺗﻐﲑ‬ ‫ﲝﺴﺐ‬ ‫اﺧﺘﻼﻓﻬﺎ‬‫و‬ ‫اﻟﻔﺘﻮى‬ِ ِ ِْ ْ ِ‫ﱡ‬ ِ
ْ
ِ ُ ْ ْ ْ‫اﻷ‬‫و‬ْ‫ـﻴﺎت‬‫ﻨ‬‫اﻟ‬‫و‬ ‫ال‬‫ﻮ‬‫اﻷﺣ‬‫و‬ ‫ﻣﻜﻨﺔ‬ِ ِ ِ
ّ‫ﱢ‬ ِ
ْ ْْ
‫اﺋﺪ‬‫ﻮ‬‫اﻟﻌ‬‫و‬ِِ ْ
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman,
tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut,
demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya
Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan
perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas maksimal
kehamilan, beliau berkesimpulan dengan kaidah :
‫ﺑﺎﻟﻨﺎدر‬ ‫ﻻ‬ ‫ﺑﺎﻟﻤﻌﺘﺎد‬ ‫ﻳﻜﻮن‬ ‫أن‬ ‫ﳚﺐ‬ ‫إﳕﺎ‬ ‫اﳊﻜﻢ‬‫و‬ِِ ِّ ِ ِ ِْ ُْ ُْ ّْ ُ
ِ
ُ ْ ُْ
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi
bukan dengan apa yang jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa
kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-kata :
‫ﲝﻖ‬ ‫إﻻ‬ ‫أﺣﺪ‬ ‫ﻳﺪ‬ ‫ﻣﻦ‬ ‫ﺷﻴﺌﺎ‬ ‫ِج‬‫ﺮ‬‫ﳜ‬ ‫أن‬ ‫ﻟﻺﻣﺎم‬ ‫ﻟﻴﺲ‬‫ﱟ‬ ِ ّ ِْ ٍ ِ ِ
ْ
ِ
ًْ ُْْ ِ ِ
"Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk
mengambil sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan cara
yang dibenarkan"
Contoh lain:
‫ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﺤﺔ‬ ‫ـﻮط‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫اﻋﻴﺔ‬‫ﺮ‬‫اﻟ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫اﻹﻣﺎم‬ ‫ﺗﺼﺮف‬ِ ِ ِ
ْ ْ ِ ٌ ُْ ّ
ِ ِ ْ ُ ‫ﱡ‬
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus
berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
181
berbunyi :
‫اﻟﻴﺘﻴﻢ‬ ‫ﻣﻦ‬ ‫اﻟﻮﱄ‬ ‫ﻟﺔ‬‫ﺰ‬‫ﻛﻤﻨ‬‫اﻋﻴﺔ‬‫ﺮ‬‫اﻟ‬ ‫ﻣﻦ‬ ‫اﱄ‬‫ﻮ‬‫اﻟ‬ ‫ﻟﺔ‬‫ﺰ‬‫ﻣﻨ‬ِ ِ ِْ
ِ ِ ِ ِ ِ ِْ ْ ْ‫ﱢ‬ِ ِْ ّْ ْ ُ
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti
kedudukan wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama
lain, terutama ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya
memunculkan kaidah tersebut di atas.
Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan
dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber
dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih bahkan
dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab
kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-
Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah dengan hadits, maka
hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫اﻟﻤﺪﻋﻰ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫اﻟﻴﻤﲔ‬‫و‬ ‫اﻟﻤﺪﻋﻲ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫اﻟﺒﻴﻨﺔ‬ِ ِ
ْ ّ ّ ُُ ُْ ْ ْ ُْْ
ِ
ْ ‫ﱢ‬
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan
sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR.
Muslim dari Ibnu 'Abbas), atau juga hadits:
‫ار‬‫ﺮ‬‫ﺿ‬ ‫وﻻ‬ ‫ﺿﺮر‬ ‫ﻻ‬ِ
"Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. Al-
Hakim).
Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:
‫ال‬‫ﺰ‬‫ﻳ‬ ‫اﻟﻀﺮر‬ُ ُ ُ ّ
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok
yang lima)
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
182
Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam
Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur
akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits,
selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa
dijadikan sebagai kaidah yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode)
dalam menjawab problem-problem di masyarakat dan
memunculkan hukum-hukum Fiqih baru.
Misalnya kaidah:
‫ﲟﻘﺎﺻﺪﻫﺎ‬ ‫اﻷﻣﻮر‬ِ ِ ِ
ُُُْ ْ
“Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di
dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada niatnya.
Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah,
dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha.
Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan
niat memberi (hibah) atau meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan
karena kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat)
dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan kepada niat,
maksud dan tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-
masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut
dirujukkan kepada hadits:
‫ـﻴﺎت‬‫ﻨ‬‫ﺑﺎﻟ‬ ‫اﻷﻋﻤﺎل‬ ‫إﳕﺎ‬ِ
ّ‫ﱢ‬ ِ ُِ ّْ ْ
"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari
Umar bin Khattab)
Juga kepada Hadits:
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
183
‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫اﺳﺘﻜﺮﻩ‬ ‫وﻣﺎ‬ ‫اﻟﻨﺴﻴﺎن‬‫و‬ ‫اﳋﻄﺄ‬ ‫ُﻣﱵ‬‫أ‬ ‫ﻋﻦ‬ ‫ﻓﻊ‬‫ر‬ِ
ْ ِ ْ ُْ ُّ ْ ُ‫ﱢ‬ ُ ْ ْ
ِ ْ
ِ
"Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan
karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu
'Abbas)
Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan
kepada ayat-ayat Al-Quran yang berubungan dengan niat,
seperti ayat berikut :
"Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5)
Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang
menyatakan adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat)
dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau
buruk, apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan
baik untuk memberi manfaat kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa;
 Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata
hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa
menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih.
 Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-
nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman
itulah yang jadi kaidah.
Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah
yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali materi-
materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa
yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan
kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-
Suyuthi menjelaskan kaidah:
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
184
‫ﲟﻘﺎﺻﺪﻫﺎ‬ ‫اﻷﻣﻮر‬ِ ِ ِ
ُُُْ ْ
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"
Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub
poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di
kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah tersebut,
seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan
jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat
kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal
perbuatan-perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh
(melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka
yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan
yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al-
Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:
‫اﻟﻠ‬ ‫ﲣﺼﺺ‬ ‫اﻟﻴﻤﲔ‬ ‫ﰲ‬ ‫ـﻴﺔ‬‫ﻨ‬‫اﻟ‬ّ ُ ‫ﱢ‬ ُ ِْ
ِ ْ ِ ُّ‫ﱢ‬‫اﳋﺎص‬ ‫ﺗﻌﻤﻢ‬ ‫وﻻ‬ ‫اﻟﻌﺎم‬ ‫ﻔﻆ‬ّ ْ ُ ‫ﱢ‬ ُ ّ ْ ْ
"Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan
kata-kata yang umum dan tidak bisa mengumumkan kata-kata
yang khusus"
Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama orang atau
sesuatu secara khusus maka harus dijelaskan apa yang diniatkan
itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di niatkan kepada
seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
185
8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus
yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu Rajab al-
Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:
‫ﲝﺮﻣﺎﻧﻪ‬ ‫ﻋﻮﻗﺐ‬ ‫ﳏﺮم‬ ‫وﺟﻪ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫وﻗﺘﻪ‬ ‫ﻗﺒﻞ‬ ‫ﻟﻪ‬ ‫ُﺑﻴﺢ‬‫أ‬ ‫ﻣﺎ‬ ‫أو‬ ‫ﺣﻘﻪ‬ ‫ﺗﻌﺠﻞ‬ ‫ﻣﻦ‬ِِ ِ ٍ ِِ
ْ ْ
ِ ِ
ُ
ٍ
ّ ُ ْ ْ ُ ْ ُْ ِ
ْ ّْ ّ
"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang
membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram,
maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak
tersebut"
Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang
membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan warisan
tersebut.
Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum habis masa
iddah-nya, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita
tersebut.
Atau ada orang yang memburu binatang dalam keadaan
ihram, maka ia diharamkan memburu binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang
dianggap lebih mapan dengan ungkapan:
‫ﲝﺮﻣﺎﻧﻪ‬ ‫ﻋﻮﻗﺐ‬ ‫اﻧﻪ‬‫و‬‫أ‬ ‫ﻗﺒﻞ‬ ‫ﺑﺸﻲء‬ ‫ﺗﻌﺠﻞ‬ ‫ﻣﻦ‬ِِ ِ ِِ
ْ ْ
ِ ِ
ُ ْ
ٍ ِ ّ ْ
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya,
diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut"
C. Manfaat, Objek dan Keutamaan
1. Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah
memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum
untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya
dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
186
Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih
memudahkan kita dalam menentukan hukum.
2. Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah
perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi Fiqih itu sendiri yang
dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan yang
tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran
atau Sunnah atau Ijma (konsensus para ulama).
3. Keutamaan
Orang yang ingin memahami ilmu fiqih, akan mencapai
kemahirannya dalam bidang fiqih apabila dibekali dengan ilmu
kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai
kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai kaidah-
kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya"
D. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari ilmu fiqih. Ia memiliki
hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan
Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi
oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat dan
hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat
Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil kulli (general),
maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih yang
sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran dan
Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran
dan Hadits juga.
E. Perkembangan Kaidah
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
187
Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah Fiqih adalah
ulama-ulama yang sangat dalam ilmu dan wawasannya dalam
ilmu fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang
hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang
baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang menjadi
pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar yang
bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam (w.660 H), beliau
telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al-
'Anam (kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya menjelaskan tentang maksud Allah mensyariatkan
hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada kaidah pokok
yaitu:
‫اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ‬ ‫ودرء‬ ‫اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ‬ ‫ﺟﻠﺐ‬ِ ِِ ْ ُْ ُْ ِ ْ
"Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah"
Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al-
ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram)
tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah di
dunia dan akhirat.
Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak akan menambah apa-
apa kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan
mengurangi apapun terhadap kemahakuasaan dan
kemahasempurnaan Allah.
F. Kaidah Kubra dan Turunannya
Para ulama yang menyusun berbagai kaidah fiqhiyah
mengumpulkan berbagai kaidah sesuai dengan tema utamanya,
yang disebut dengan kaidah kubra.
Masing-masing kaidah kubra ini memiliki kaidah-kaidah
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
188
turunan, yang menjelaskan lebih detail tiap pengembangan dari
masing-masing kaidah kubra.
1. Kaidah Kubra Pertama
‫اﻷ‬ُ‫ﻣ‬ُ‫ﻮر‬ُ‫ﲟ‬َِ‫ﻘ‬َ‫ﺎﺻ‬َ‫ﺪ‬ِ‫ﻫ‬َ‫ﺎ‬
Segala sesuatu tergantung tujuannya
a. Kaidah Turunan Pertama
‫اﻟﻌ‬ِ‫ـ‬‫ﺒ‬ْ‫ﺮ‬َ‫ة‬ُ‫ﰲ‬ِ‫اﻟﻌ‬ُ‫ﻘ‬ُ‫ﻮد‬ِ‫ﺑ‬ِ‫ﺎﳌ‬‫ـ‬َ‫ﻘ‬َ‫ﺎﺻ‬ِ‫ﺪ‬ِ‫و‬َ‫اﳌ‬‫ـ‬َ‫ﻌﺎ‬َ‫ﱐ‬ِ‫ﻻ‬َ‫ﺑ‬ِ‫ﺎﻷ‬َ‫ﻟ‬ْ‫ﻔ‬َ‫ﺎظ‬ِ‫و‬َ‫اﳌ‬‫ـ‬َ‫ﺒ‬َ‫ﺎﱐ‬ِ
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan
makna; bukan lafadz dan bentuk perkataan”
Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada temannya,
“Aku hadiahkan mobil ini kepadamu dengan catatan berikan
mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi disini bukanlah
hadiah, walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad tersebut sudah jelas, yaitu
jual beli (barter). Dan dalam akad, yang dijadikan pijakan adalah
maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah
pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam bentuk apa
pun.
b. Kaidah Turunan Kedua
‫اﻟﻨﻴﺔ‬‫ﰲ‬‫اﻟﻴﻤﲔ‬‫ﲣﺼﺺ‬‫اﻟﻠﻔﻆ‬‫اﻟﻌﺎم‬‫و‬‫ﻻ‬‫ﺗﻌﻤﻢ‬‫اﳋﺎص‬
“Dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih
umum namun tidak bisa merubah kata yang bermakna khusus
menjadi umum”
Contoh
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
189
Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena kaidah ini
memiliki dua bagian yang berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi
An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam kasus seperti
ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak berbicara
dengan siapapun, namun dalam hatinya dia meniatkan hanya
tidak berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap
melanggar sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab,
meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu; tidak berbicara
dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus yaitu tidak
mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat
mampu menspesifikasi kata yang masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-Khas bi an-
Niyyah bisa diterapkan dalam kasus berikut; Jika ada seseorang
yang bersumpah untuk tidak meminum air si Fulan jika merasa
haus, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil
manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka berdasarkan
kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar sumpahnya dengan
memanfaatkan air si Fulan itu untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat yaitu; minum
karena haus. Sedangkan niat dalam hatinya yang umum yaitu;
tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa membuat lafadz
khusus itu menjadi umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam madzhab
syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun beberapa madzhab
yang lain menganggap si pengucap sumpah telah melanggar
sumpahnya karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat
yang umum dalam hati tersebut -menurut madzhab ini- bisa
membuat lafadz sumpah yang khusus itu menjadi umum.
c. Kaidah Turunan Ketiga
‫ﻣﻘﺎﺻﺪ‬‫اﻟﻠﻔﻆ‬‫ﻋﻠﻰ‬‫ﻧﻴﺔ‬‫اﻟﻼﻓﻆ‬‫إﻻ‬‫ﰲ‬‫اﻟﻴﻤﲔ‬‫ﻋﻨﺪ‬‫اﻟﻘﺎﺿﻲ‬
“Maksud atau kandungan makna suatu perkataan akan
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
190
diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, kecuali
dalam masalah sumpah diahadapan qadhi (hakim)”
Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz sumpah diserahkan
maksud dan maknanya langsung kepada orang yang
mengucapkan. Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain,
sumpah juga berpeluang untuk diinterpretasikan beragam
sesuai kehendak orang yang mengucapkan.
Namun, ketika sumpah dijadikan oleh fiqih sebagai salah
satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa, maka penafsiran
lafadz sumpah -yang diucapkan oleh salah satu pihak yang
bersengketa di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena
pengadilan adalah institusi yang rawan akan intrik, manipulasi
fakta dengan kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta kepada terdakwa
untuk bersumpah, penafsiran lafadz sumpahnya diserahkan
sepenuhnya kepada sang Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus piutang telah
bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada pendakwa
sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa maksudnya
adalah tidak berhutang pada tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia tetap
dianggap telah melanggar sumpahnya itu. Sebab, meski maksud
atau kandungan makna suatu perkataan pada dasarnya
diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan,
hanya saja hal tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa
sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja Hijau.
2. Kaidah Kubra Kedua
‫اﻟﻴﻘﲔ‬‫ﻻ‬‫ال‬‫ﺰ‬‫ﻳ‬‫ﺑﺎﻟﺸﻚ‬
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan”
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
191
a. Kaidah Turunan Pertama
‫اﻷﺻﻞ‬‫ﺑﻘﺎء‬‫ﻣﺎ‬‫ﻛﺎن‬‫ﻋﻠﻰ‬‫ﻣﺎ‬‫ﻛﺎن‬
“Hukum Asal adalah ketetapan yang telah ada/dimiliki
sebelumnya”
Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat fardhu, dan
setelah shalat ia masih merasa yakin dalam kedaan suci, namun
ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah
batal atau belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci.
Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada sebelumnya.
Dan hukum asal adalah ketetapan awal itu.
b. Kaidah Turunan Kedua
‫اﻷﺻﻞ‬‫ﰲ‬‫اﻷﺷﻴﺎء‬‫اﻹﺑﺎﺣﺔ‬
“Hukum Asal segala sesuatu adalah boleh”
Contoh penerapannya :
Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram perkaranya,
maka hewan tersebut dianggap halal dimakan. Contoh hewan
seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti- adalah
Jerapah. Menurut Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah
bahwa Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala
sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika
kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum
diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang
tersebut dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung
kaidah ini. Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya
masih ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha seputar
hukum asal segala sesuatu.
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
192
c. Kaidah Turunan Ketiga
‫اﻷﺻﻞ‬‫ﰲ‬‫اﻷﺑﻀﺎع‬‫اﻟﺘﺤﺮﱘ‬
“Hukum Asal Abdha’(farji) adalah haram”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai empat istri kemudian
dia mantalak salah satunya, tapi di kemudian hari dia lupa siapa
istri yang telah ia talak? Maka haram baginya untuk
berhubungan intim dengan mereka semua karena adanya
keraguan akut tentang siapa yang telah menjadi haram baginya.
Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun hukum asal
Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman ini berlangsung sampai
jelas siapa yang telah ditalaknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyelesaikan kasus
seperti diatas. Ada yang berpendapat dengan cara diundi dan
ada yang berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar jelas.
d. Kaidah Turunan Keempat
‫اﻷﺻﻞ‬‫ﰲ‬‫اﻟﻜﻼم‬‫اﳊﻘﻴﻘﺔ‬
“Hukum Asal dalam perkataan adalah makna hakiki”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak akan menjual
rumahnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika
mewakilkan ke orang lain untuk menjualnya. Karena makna
hakiki menjual adalah dirinya sendiri yang menjual langsung
bukan orang lain yang menjual atas nama dirinya. Dan hukum
asal dalam perkataan adalah makna hakikinya.
e. Kaidah Turunan Kelima
‫اﻷﺻﻞ‬‫اءة‬‫ﺮ‬‫ﺑ‬‫اﻟﺬﻣﺔ‬
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
193
“Hukum Asal adalah bebas dari tanggungan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang milik orang lain yang
harga belinya -sejauh pengetahuan si perusak- sekitar sekian
rupiah. Namun ternyata si pemilik mengatakan bahwa harga
belinya diatas harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik
tidak bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya itu.
Maka klaim yang diterima adalah klaim si perusak dengan
disertai sumpah. Karena hukum asalnya adalah terbebasnya si
perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga yang
diklaim si pemilik.
3. Kaidah Kubra Ketiga
‫اﳌﺸﻘﺔ‬‫ﲡﻠﺐ‬‫اﻟﺘﻴﺴﲑ‬
“Kesulitan itu akan mendorong kemudahan”
a. Kaidah Turunan Pertama
‫إذا‬‫ﺿﺎق‬‫اﻷﻣﺮ‬‫اﺗﺴﻊ‬‫و‬‫إذا‬‫اﺗﺴﻊ‬‫اﻷﻣﺮ‬‫ﺿﺎق‬
“Ketika sesuatu menyempit, maka hukumnya menjadi luas
(ringan), dan Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi
sempit (ketat)”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang yang
sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia benar-benar
belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya
wajib untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara
kontan maka pembayarannya boleh dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika menyempit, hukumnya jadi
luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba mendapatkan rizki yang
dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya, maka wajib
baginya untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
194
sudah lapang, maka hukumnya kembali menyempit (ketat).
b. Kaidah Turunan Kedua
‫ات‬‫ر‬‫اﻟﻀﺮو‬‫ﺗﺒﻴﺢ‬‫ات‬‫ر‬‫اﶈﻈﻮ‬
“Kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula
dilarang”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena kelaparan,
dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai yang
diharamkan, maka baginya diperbolehkan untuk memakan
bangkai tersebut untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat.
Karena kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia
diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan seseuatu
yang semula dilarang.
c. Kaidah Turunan Ketiga
‫اﻟﻀﺮورة‬‫ﺗﻘﺪر‬‫ﺑﻘﺪرﻫﺎ‬
“Dharurat harus diukur kadar dharuratnya”
Contoh penerapannya :
Contoh kaidah ini hampir mirip dengan contoh kasus pada
kaidah sebelumnya. Bahwa seseorang boleh makan bangkai
yang awalnya diharamkan itu ketika dalam kondisi dharurat itu.
Hanya saja, ia perlu mencukupkan diri dalam memakannya
pada porsi yang kira-kira sudah cukup untuk menyambung atau
menyelamatkan hidupnya. Karena diperbolehkannya
mengonsumsi makanan haram tersebut, hanya dalam kondisi
dharurat. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya.
Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis disini adalah
ketika ada pasien yang harus membuka auratnya demi
terlaksananya terapi atau pengobatan, maka si pasien hanya
diperbolehkan untuk membuka aurat yang memang dibutuhkan
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
195
untuk dibuka dalam pengobatan tersebut.
Dan dokter juga hanya diperbolehkan untuk melihat aurat
yang memang dibutuhkan untuk dilihat. Lebih dari itu, maka
tetap diharamkan. Karena pembolehan membuka aurat bagi
pasien dan atau melihat aurat bagi dokter hanyalah dalam
kondisi dharurat saja. Dan dharurat harus diukur kadar
dharuratnya.
d. Kaidah Turunan Keempat
‫ار‬‫ﺮ‬‫اﻻﺿﻄ‬‫ﻻ‬‫ﻳﺒﻄﻞ‬‫ﺣﻖ‬‫اﻟﻐﲑ‬
“Keadaan darurat tidak mambatalkan hak orang lain”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah kapal hampir-hampir tenggelam karena
terlalu beratnya beban muatan kapal, kemudian untuk
menyelamatkan kapal dari tenggelam, ada penumpang yang
melempar beberapa barang-barang penumpang lain untuk
meringankan kapal tersebut, maka si pelempar tadi wajib untuk
menggantinya.
Sebab, keadaan dharurat tidak bisa membatalkan hak orang
lain. Dalam kaidah ini ada pembahasan yang lebih mendalam.
e. Kaidah Turunan Kelima
‫اﳊﺎﺟﺔ‬‫ﻗﺪ‬‫ﻟﺖ‬‫ﺰ‬‫ﻧ‬‫ﻟﺔ‬‫ﺰ‬‫ﻣﻨ‬،‫اﻟﻀﺮورة‬‫ﻋﺎﻣﺔ‬‫ﻛﺎﻧﺖ‬‫أو‬‫ﺧﺎﺻﺔ‬
“Suatu kebutuhan terkadang bisa naik menempati posisi dharurat,
baik kebutuhan umum maupun khusus”
Contoh penerapannya :
Para pedagang membutuhkan gugurnya hak khiyar ru’yah
para pembeli untuk melihat semua barang dagangan yang
hendak dibelinya. Gugurnya khiyar ru’yah ini diganti dengan
melihat sample komoditas yang hendak dibeli.
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
196
Maka gugurnya khiyar ru’yah ini diperbolehkan, karena
jika khiyar ru’yah tetap wajib dilakukan, maka itu akan
memberatkan para pedagang, apalagi jika komoditas yang
hendak dijual berjumlah banyak dan dikemas dengan kemasan
yang membukanya cukup menyita waktu.
Maka hadirlah keringanan berupa gugurnya khiyar ru’yah
ini dalam kebutuhan mendesak yang naik menempati posisi
dharurat.
4. Kaidah Kubra Keempat
‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ُ‫ـ‬‫ﻳ‬ُ‫ﺰ‬َ‫ال‬ُ
“Bahaya harus dihilangkan”
a. Kaidah Turunan Pertama
‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ُ‫ﻳ‬ُ‫ﺪ‬ْ‫ﻓ‬َ‫ﻊ‬ُ‫ﺑ‬ِ‫ﻘ‬َ‫ﺪ‬ْ‫ر‬ِ‫اﻹ‬ِ‫ﻣ‬ْ‫ﻜﺎ‬َ‫ن‬ِ
“Bahaya harus ditolak semampu mungkin”
Contoh penerapannya :
Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan
saja. Maka perlu dilakukan sebuah tindakan untuk menolak
bahaya tersebut. Jika kita tidak berhasil menolak semuanya,
maka setidaknya kita menolak sebagiannya.
Dan jika kita sudah berusaha menolaknya, namun bahaya
tersebut terjadi juga maka setidaknya kita bisa mengurangi efek
bahaya tersebut setelah terjadinya.
Maka penolakan bahaya bisa dibagi secara waktu menjadi
penolakan sebelum terjadi dan penolakan setelah terjadi.
Sedangkan secara prosentase penolakan bisa dibagi menjadi
penolakan secara keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya.
Contoh penolakan sebelum terjadi adalah pensyariatan
khiyar majlis dan khiyar syart dalam transaksi jual beli. Untuk
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
197
menolak bahaya yang mungkin bisa terjadi setelah
dilakukannya transaksi jual beli.
Contoh penolakan setelah terjadi adalah adanya khiyar
ghibn, khiyar aib dan khiyar tadlis setelah transaksi jual beli
selesai dilakukan. Untuk menolak bahaya kerugian yang telah
dialami oleh salah satu pihak setelah transaksi tersebut.
Dua contoh diatas sekaligus sebagai contoh untuk
penolakan bahaya secara keseluruhan.
Sedangkan contoh penolakan bahaya sebagian adalah jika
ada seseorang yang suka mencelakai orang lain dan dia tidak
akan berhenti kecuali jika diberi uang, maka pemberian uang
dalam hal ini merupakan sebagian dari bahaya yang tidak
mungkin ditolak demi menolak bahaya yang lebih besar sebisa
mungkin.
b. Kaidah Turunan Kedua
‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ار‬ُ‫ﻻ‬َ‫ـ‬‫ﻳ‬ُ‫ﺰ‬َ‫ال‬ُ‫ﲟ‬ِِ‫ﺜ‬ْ‫ﻠ‬ِ‫ﻪ‬ِ
“Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa dan
setara”
Contoh penerapannya :
Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang dalam
tanggungannya yang juga faqir, maka keduanya tidak
berkewajiban untuk memberi nafkah bagi yang lain jika
memang dia bahkan susah menafkahi dirinya sendiri.
Karena kondisi faqir adalah baya bagi dirinya, dan
kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain yang tidak
bisa menghilangkan bahaya pertama.
Atau dengan contoh lain misalnya ada orang yang dipaksa
untuk membunuh orang lain, dan jika tidak mau maka ia yang
akan dibunuh, maka dia tetap tidak boleh membunuh orang lain
tersebut.
Karena ancaman pembunuhan atasnya adalah bahaya
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
198
serupa dan setara dengan bahaya pembunuhan terhadap orang
lain. Dan bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa
atau setara.
c. Kaidah Turunan Ketiga
‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ار‬ُ‫اﻷ‬َ‫ﺷ‬َ‫ﱡ‬‫ﺪ‬‫ـ‬‫ﻳ‬ُ‫ﺰ‬َ‫ال‬ِ‫ﺑﺎ‬ِ‫ﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ِ‫اﻷ‬َ‫ﺧ‬َ‫ﻒ‬‫ﱢ‬
“Bahaya yang lebih berat harus dihilangkan dengan mengerjakan
bahaya yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika bahayanya tidak setara, maka bahaya yang lebih berat
bisa dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
Contohnya adalah jika ada dua kerabat yang salah satunya
faqir dan yang lain berkecukupan, maka wajib bagi yang
berkecukupan untuk memberi nafkah kepada si Faqir.
Karena meskipun kewajiban memberi nafkah oleh yang
berkecukupan adalah bentuk bahaya atasnya, tapi ketiadaan
nafkah bagi si Faqir adalah bahaya yang lebih besar.
Dan bahaya yang lebih besar harus dihilangkan dengan
menempuh bahaya yang lebih ringan.
d. Kaidah Turunan Keempat
‫ﳜ‬ُْ‫ﺘ‬َ‫ﺎر‬َُ‫أ‬‫ﺧ‬َ‫ﻒ‬‫ﱡ‬‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬َ‫ﻳ‬ْ‫ﻦ‬ِ
“Yang harus dipilih adalah bahaya/resiko yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang memiliki luka ditubuhnya dan luka
itu akan mengalirkan darah jika dibawa sujud, maka ia shalat
dengan meninggalkan sujud. Karena ia sedang menghadapi dua
bahaya; meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat dengan
bernajis.
Dan shalat bernajis adalah bahaya yang lebih besar
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
199
daripada shalat tanpa sujud. Maka harus ditempuh bahaya yang
lebih ringan.
Begitu pula, meninggalkan sujud dalam hal ini juga bisa
menolak bahaya yang lain yaitu keluarnya banyak darah. Maka
yang dipilih adalah bahaya atau resiko yang lebih ringan.
e. Kaidah Turunan Kelima
‫د‬َ‫ر‬ْ‫ء‬ُ‫اﳌ‬‫ـ‬َ‫ﻔ‬َ‫ﺎﺳ‬ِ‫ﺪ‬ِ‫ﻣ‬ُ‫ﻘ‬َ‫ﱠ‬‫ﺪ‬‫م‬ٌ‫ﻋ‬َ‫ﻠﻰ‬َ‫ﺟ‬َ‫ﻠ‬ْ‫ﺐ‬ِ‫اﳌ‬‫ـ‬َ‫ﺼ‬َ‫ﺎﻟ‬ِ‫ﺢ‬ِ
“Mencegah mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya
maslahah”
Contoh penerapannya :
Jika ada wanita yang wajib mandi jinabah, namun ia tidak
menemukan sarana untuk menutupinya dari pandangan laki-
laki, maka wajib baginya untuk mengakhirkan mandi jinabah.
Karena meski dalam mandi janabah terdapat maslahah,
namun terbukanya aurat wanita di depan laki-laki adalah
mafsadah atau kerusakan yang jauh lebih besar. Dan mencegah
mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya maslahah.
f. Kaidah Turunan Keenam
‫ـ‬‫ﻳ‬َ‫ﺘ‬َ‫ﺤ‬َ‫ﻤ‬‫ﱠ‬‫ﻞ‬ُ‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ُ‫اﳋﺎ‬َ‫ص‬‫ﱡ‬‫ﻟ‬ِ‫ﺪ‬َ‫ﻓ‬ْ‫ﻊ‬ِ‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ِ‫اﻟﻌ‬َ‫ﺎم‬ِ
“Bahaya khusus harus ditanggung demi menolak bahaya umum”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon dengan dahan
dan ranting yang tumbuh lebat hingga mengganggu para
pengguna jalan, maka dahan dan ranting yang mengganggu itu
wajib untuk dipotong.
Sebab, meski dalam pemotongan tersebut terdapat resiko
kerugian bagi si pemilik pohon, hanya saja kerugian tersebut
adalah kerugian atau bahaya khusus. Dan gangguan pengguna
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
200
jalan adalah bahaya umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh
dan ditanggung demi menolak bahaya umum.
5. Kaidah Kubra Kelima
‫اﻟﻌ‬َ‫ﺎد‬َ‫ة‬ُ‫ﳏ‬َُ‫ﻜ‬‫ﱠ‬‫ﻤ‬َ‫ﺔ‬ٌ
“Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum”
Adat atau apa yang dianggap sebagai kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan hukum Allah dan sudah berlaku secara
umum di tengah masyarakat, bisa dijadikan salah satu pedoman
dalam hukum.
a. Kaidah Turunan Pertama
‫ا‬ِ‫ﺳ‬ْ‫ﺘ‬ِ‫ﻌ‬ْ‫ﻤ‬َ‫ﺎل‬ُ‫ﱠ‬‫ﻨ‬‫اﻟ‬‫ﺎس‬ِ‫ﺣ‬ُ‫ﺠ‬‫ﱠ‬‫ﺔ‬ٌ‫ﳚ‬َِ‫ﺐ‬ُ‫اﻟﻌ‬َ‫ﻤ‬َ‫ﻞ‬َِ
ِ‫ﺎ‬
“Tradisi masyarakat (dalam berbahasa) adalah hujjah yang harus
dijadikan pijakan dalam beramal”
Contoh Penerapan :
Kaidah ini memiliki kemiripan makna dengan kaidah
kubranya. Maka sebagian ulama ada yang menyamakan antara
keduanya, sedangkan sebagian yang lain ada yang
membedakan.
Bagi yang membedakan, perbedaannya adalah bahwa
kaidah kubra bersifat umum, sedangkan kaidah ini bersifat
khusus, yaitu khusus berlaku dalam tradisi berbahasa saja.
Perbedaan tersebut dipicu oleh perbedaan mereka dalam
memaknai kata isti’mal yang terdapat di awal kaidah.
Contohnya adalah ketika ada seseorang yang bersumpah
untuk tidak minum dari air sungai A. Dan sudah jamak
diketahui bahwa masyarakat di sekitar orang tersebut
menggunakan makna majazi lebih banyak dari pada
menggunakan makna hakiki.
Makna hakiki ‘minum dari sungai’ disini adalah langsung
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
201
meneguk dari sungai tersebut tanpa sarana apapun. Sedangkan
makna majazi ‘minum dari sungai’ adalah minum dari air yang
diambil atau bersumber dari sungai tersebut.
Jika orang tersebut kemudian minum dari sungai itu setelah
bersumpah untuk tidak minum darinya, maka hukumnya terjadi
perbedaan diantara para ulama menjadi tiga pendapat :
Pertama, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika
meminumnya dengan sarana seperti minum air dirumahnya
yang bersumber dari sungai tersebut, bukan langsung meneguk
dari sungai.
Kedua, dia dianggap melanggar sumpahnya baik
meneguknya langsung dari sungai seperti para musafir
pedalaman, atau minum di rumahnya yang air minumnya
memang bersumber dari sungai tersebut.
Ketiga, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika
meneguk langsung dari sungai sebagaimana para musafir
pedalaman.
b. Kaidah Turunan Kedua
‫اﳊ‬َ‫ﻘ‬ِ‫ـ‬‫ﻴ‬ْ‫ﻘ‬َ‫ﺔ‬ُ‫ـ‬‫ﺗ‬ُ‫ـ‬‫ﺘ‬ْ‫ﺮ‬َ‫ك‬ُ‫ﺑ‬ِ‫ﺪ‬َ‫ﻻ‬َ‫ﻟ‬َ‫ﺔ‬ِ‫اﻟﻌ‬َ‫ﺎد‬َ‫ة‬ِ
“Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi
masyarakat menggunakan makna majazi”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak
menunjukkan ‘batang hidung’nya di depan bosnya, maka ia
tetap dianggap melanggar sumpahnya jika ia menunjukkan
dirinya dihadapannya. Karena, walaupun secara hakiki ‘batang
hidung’ hanya menunjukkan salah satu anggota badan, namun
yang menjadi tradisi berbahasa masyarakat adalah makna secara
majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika
tradisi masyarakat menggunakan makna majazi.
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1
202
c. Kaidah Turunan Ketiga
‫إ‬ِ‫ﳕ‬َ‫ﱠ‬‫ﺎ‬‫ـ‬‫ﺗ‬ُ‫ﻌ‬ْ‫ﺘ‬َ‫ـ‬‫ﺒ‬َ‫ﺮ‬ُ‫اﻟﻌ‬َ‫ﺎد‬َ‫ة‬ُ‫إ‬ِ‫ذ‬َ‫ا‬‫اﻃ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫د‬َ‫ت‬َْ‫أ‬‫و‬ْ‫ﻏ‬َ‫ﻠ‬َ‫ﺒ‬َ‫ﺖ‬ْ
“Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai pijakan hukum
ketika tradisi tersebut sudah berjalan berulang-ulang dan
mendominasi”
Contoh penerapannya :
Jika ada dua orang di dua negara yang sedang bertransaksi
dalam suatu bisnis internasional dan mereka sepakat bahwa
pembayarannya menggunakan mata uang dollar tanpa
menyebutkan dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud
adalah dollar amerika. Karena transaksi dengan mata uang
tersebut sudah berulang-ulang dan mendominasi.
d. Kaidah Turunan Keempat
‫اﻟﻌ‬ِ‫ـ‬‫ﺒ‬ْ‫ﺮ‬َ‫ة‬ُ‫ﻟ‬ِ‫ﻠ‬ْ‫ﻐ‬َ‫ﺎﻟ‬ِ‫ﺐ‬ِ‫اﻟﺸ‬‫ﱠ‬‫ﺎﺋ‬ِ‫ﻊ‬ِ‫ﻻ‬َ‫ﻟ‬ِ‫ﱠ‬‫ﻨ‬‫ﻠ‬‫ﺎد‬ِ‫ر‬ِ
“Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer
bukan kebiasaan yang langka”
Contoh penerapannya :
Syariat telah menetapkan bahwa umur lima belas adalah
batasan dimulainya usia baligh bagi mereka yang tidak memiliki
tanda-tanda baligh. Karena usia lima belas adalah usia yang
secara kebiasaan dominan manusia sudah mengalami baligh di
usia tersebut.
Sedangkan ‘belum mengalami baligh’ pada usia tersebut
adalah kejadian yang sangat jarang terjadi. Sesuatu yang jarang
ini, dalam syariat sama sekali tidak dilirik untuk dijadikan
sandaran hukum.
Justru yang belum mengalami tanda-tanda baligh di usia
lima belas tetap dihukumi sudah baligh hanya dengan
menginjak usia lima belas. Karena yang dijadikan sandaran
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah
203
adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan langka.
e. Kaidah Turunan Kelima
‫ﻻ‬َ‫ـ‬‫ﻳ‬ُ‫ﻨ‬ْ‫ﻜ‬َ‫ﺮ‬ُ‫ـ‬‫ﺗ‬َ‫ﻐ‬َ‫ـ‬‫ﻴ‬‫ﱡ‬‫ﺮ‬ُ‫اﻷ‬َ‫ﺣ‬ْ‫ﻜ‬َ‫ﺎم‬ِ‫ﺑ‬ِ‫ـ‬‫ﺘ‬َ‫ﻐ‬َ‫ﲑ‬ِ‫ﱡ‬‫اﻷ‬َ‫ز‬ْ‫ﻣ‬َ‫ﺎن‬ِ
“Perubahan hukum ijtihadi karena adanya perubahan zaman
sama sekali tidak boleh dicela”
Contoh penerapannya :
Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu bahwa masjid tidaklah
ditutup pada saat kapan pun. Karena masjid adalah tempat suci
yang dipersiapkan untuk beribadah.
Namun, ketika zaman berubah, kejahatan merajalela, maka
para ulama kemudian menfatwakan bolehnya mengunci masjid
di luar waktu shalat, demi menjaga masjid dari kesia-sian atau
pencurian. Dan perubahan hukum ini sama sekali tidak boleh
untuk dicela.


More Related Content

What's hot

Al-aam dan Khos Fiqh Muamalah
Al-aam dan Khos Fiqh MuamalahAl-aam dan Khos Fiqh Muamalah
Al-aam dan Khos Fiqh MuamalahYusuf Darismah
 
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5NavenAbsurd
 
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)Izzatul Ulya
 
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
Tasyri'  masa nabi Muhammad SawTasyri'  masa nabi Muhammad Saw
Tasyri' masa nabi Muhammad SawMarhamah Saleh
 
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)Khusnul Kotimah
 
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyadMarhamah Saleh
 
Presentasi syirkah & mudharabah
Presentasi syirkah & mudharabahPresentasi syirkah & mudharabah
Presentasi syirkah & mudharabahMarhamah Saleh
 
Makalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhumMakalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhumrismariszki
 
Fiqih Muamalah - Pengantar Fiqih Muamalah
Fiqih Muamalah - Pengantar Fiqih MuamalahFiqih Muamalah - Pengantar Fiqih Muamalah
Fiqih Muamalah - Pengantar Fiqih MuamalahHaristian Sahroni Putra
 
4. mujmal, mubayyan, musykil, mutasyabih
4. mujmal, mubayyan, musykil, mutasyabih4. mujmal, mubayyan, musykil, mutasyabih
4. mujmal, mubayyan, musykil, mutasyabihMarhamah Saleh
 
Macam-macam Qaulan
Macam-macam QaulanMacam-macam Qaulan
Macam-macam QaulanRatih Aini
 

What's hot (20)

Al-aam dan Khos Fiqh Muamalah
Al-aam dan Khos Fiqh MuamalahAl-aam dan Khos Fiqh Muamalah
Al-aam dan Khos Fiqh Muamalah
 
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
 
Jual beli dalam islam
Jual beli dalam islamJual beli dalam islam
Jual beli dalam islam
 
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
 
Tasyri' masa sahabat
Tasyri'  masa sahabatTasyri'  masa sahabat
Tasyri' masa sahabat
 
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
Tasyri'  masa nabi Muhammad SawTasyri'  masa nabi Muhammad Saw
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
 
Ppt muamalah
Ppt muamalah Ppt muamalah
Ppt muamalah
 
Fiqh - Muamalah
Fiqh - MuamalahFiqh - Muamalah
Fiqh - Muamalah
 
Hukum Taklifi Wadh'i
Hukum Taklifi Wadh'iHukum Taklifi Wadh'i
Hukum Taklifi Wadh'i
 
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
 
01.3 MULTI AKAD
01.3 MULTI AKAD01.3 MULTI AKAD
01.3 MULTI AKAD
 
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
 
Presentasi syirkah & mudharabah
Presentasi syirkah & mudharabahPresentasi syirkah & mudharabah
Presentasi syirkah & mudharabah
 
Makalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhumMakalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhum
 
Fiqh Muamalah Akad kafalah
Fiqh Muamalah Akad kafalahFiqh Muamalah Akad kafalah
Fiqh Muamalah Akad kafalah
 
Fiqih Muamalah - Pengantar Fiqih Muamalah
Fiqih Muamalah - Pengantar Fiqih MuamalahFiqih Muamalah - Pengantar Fiqih Muamalah
Fiqih Muamalah - Pengantar Fiqih Muamalah
 
4. mujmal, mubayyan, musykil, mutasyabih
4. mujmal, mubayyan, musykil, mutasyabih4. mujmal, mubayyan, musykil, mutasyabih
4. mujmal, mubayyan, musykil, mutasyabih
 
Naskh mansukh
Naskh mansukhNaskh mansukh
Naskh mansukh
 
Macam-macam Qaulan
Macam-macam QaulanMacam-macam Qaulan
Macam-macam Qaulan
 
Ppt jual beli
Ppt jual beliPpt jual beli
Ppt jual beli
 

Similar to Kaidah Fiqih

makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docxmakalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docxAmeliaJonson1
 
Agama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah FiqhiyahAgama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah FiqhiyahFahmiIbrahim10
 
Qawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagaiQawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagaiAndi Amin
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Jingga Matahari
 
Kata pengantar.studi hukum islamdocx
Kata pengantar.studi hukum islamdocxKata pengantar.studi hukum islamdocx
Kata pengantar.studi hukum islamdocxRaja Aidil Angkat
 
KELOMPOK 8 USHUL FIQIH.pptx
KELOMPOK 8 USHUL FIQIH.pptxKELOMPOK 8 USHUL FIQIH.pptx
KELOMPOK 8 USHUL FIQIH.pptxhalimyusri
 
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptxSlide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptxsucihandayani23
 
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul FiqhSlide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul FiqhRachmaRusdi
 
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptxSlide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptxJimatul Arrobi
 
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik danFilsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik danratnasuraiya
 
64-248-1-PB.pdf
64-248-1-PB.pdf64-248-1-PB.pdf
64-248-1-PB.pdfmediapro5
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Amiruddin Ahmad
 
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)Miftah Iqtishoduna
 

Similar to Kaidah Fiqih (20)

01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan
 
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docxmakalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
 
Agama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah FiqhiyahAgama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
 
Qawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagaiQawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagai
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
 
Kata pengantar.studi hukum islamdocx
Kata pengantar.studi hukum islamdocxKata pengantar.studi hukum islamdocx
Kata pengantar.studi hukum islamdocx
 
KELOMPOK 8 USHUL FIQIH.pptx
KELOMPOK 8 USHUL FIQIH.pptxKELOMPOK 8 USHUL FIQIH.pptx
KELOMPOK 8 USHUL FIQIH.pptx
 
7 ilmu ushul fiqih
7 ilmu ushul fiqih7 ilmu ushul fiqih
7 ilmu ushul fiqih
 
1 pengertian fiqih
1 pengertian fiqih1 pengertian fiqih
1 pengertian fiqih
 
Syariah,fikih dan hukum islam
Syariah,fikih dan hukum islamSyariah,fikih dan hukum islam
Syariah,fikih dan hukum islam
 
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptxSlide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
 
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul FiqhSlide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh
 
Qawaid fiqh pt 1
Qawaid fiqh  pt 1Qawaid fiqh  pt 1
Qawaid fiqh pt 1
 
al-qawaid.pptx
al-qawaid.pptxal-qawaid.pptx
al-qawaid.pptx
 
al-qawaid.pptx
al-qawaid.pptxal-qawaid.pptx
al-qawaid.pptx
 
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptxSlide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
Slide Presentasi Fiqh dan Ushul Fiqh PPT.pptx
 
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik danFilsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
 
64-248-1-PB.pdf
64-248-1-PB.pdf64-248-1-PB.pdf
64-248-1-PB.pdf
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1
 
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
 

Kaidah Fiqih

  • 1. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 173 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Ikhtishar A. Pengertian 1. Qawaid 2. Makna Fiqih B. Proses Pembentukan Qawaid Fiqhiyah C. Manfaat, Objek dan Keuatamaan 1. Manfaat 2. Objek 3. Keutamaan D. Hubungan Dengan Ilmu Lainnya E. Perkembangan Kaidah F. Kaidah Kubra dan Turunannya 1. Kaidah Kubra Pertama 2. Kaidah Kubra Kedua 3. Kaidah Kubra Ketiga 4. Kaidah Kubra Keempat 5. Kaidah Kubra Kelima A. Pengertian 1. Qawaid Kata qawa'id (‫ﻗﻮاﻋﺪ‬) adalah bentuk jamak dari kata qaidah (‫ﻗﺎﻋﺪة‬) yang arti secara bahasa bermakna asas, dasar, atau pondasi. Makna ini bisa dalam arti yang konkret maupun yang
  • 2. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 174 abstrak, seperti kata-kata qawa'id al-bait, yang artinya pondasi rumah, atau qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, atau qawa'id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. ‫وإذ‬ِْ‫ﻓﻊ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬ُ ْ‫اﻫﻴﻢ‬‫ﺮ‬‫إﺑ‬ُ ِ ِْ‫اﻋﺪ‬‫ﻮ‬‫اﻟﻘ‬ِ ْ‫ﻣﻦ‬ِ‫اﻟﺒﻴﺖ‬ِ ْ ْ‫وإﲰﺎﻋﻴﻞ‬ُ ِ ْ ِ Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (QS. al-Baqarah : 127) ‫ﻗﺪ‬ْ‫ﻣﻜﺮ‬‫اﻟﺬﻳ‬ِّ‫ﻦ‬‫ﻣﻦ‬ْ ِ‫ﻗﺒﻠﻬﻢ‬ْ ِِ ْ‫ﻓﺄﺗﻰ‬‫اﻟﻠﻪ‬ُّ‫ﻢ‬ ‫ـﻨﻴﺎ‬‫ﺑ‬ُْ ُْ‫ﻣﻦ‬ِ‫اﻋﺪ‬‫ﻮ‬‫اﻟﻘ‬ِ ِ ْ Allah menghancurkan bagunan mereka dari pondasi- pondasinya"(QS. al-Nahl : 26) Dari dua ayat di atas, bisa disimpulakan bahwa arti kaidah adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri suatu bagunan. Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu- ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu nahwu (grammer) bahasa Arab, seperti maf'ul itu manshub dan fa'il itu marfu'. Inilah yang disebut dengan al-qawaid an-nahwiyyah (kaidah nahwu). Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat menyeluruh, yang mencakup banyak bagian dan cabang yang ada di bawahnya. Dengan demikian, maka al-Qawa'id al-Fiqihiyah secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis Fiqih. 2. Kaidah Fiqih Para ulama memang berbeda dalam mendefinisikan ilmu Kaidah Fiqih secara istilah. Ada yang mendefinisikannya dengan makna yang luas tetapi juga ada yang mendefinisikannya dengan mana yang sempit. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
  • 3. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 175 a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan kaidah sebagai berikut: ‫ﳚﻤﻌﻬﺎ‬ ‫اﺣﺪ‬‫و‬ ‫ﻗﻴﺎس‬ ‫إﱃ‬ ‫ﺗﺮﺟﻊ‬ ‫اﻟﱵ‬ ‫اﻟﻤﺘﺸﺒﻬﺎت‬ ‫اﻷﺣﻜﺎم‬ ‫ﳎﻤﻮﻋﺔ‬ُ ْ ٍ ِ ِِ ٍِ ِ ُ ْ ْْ ِّ ‫ﱢ‬ ُْ ُْ ِ ْ ُ ْ "Kumpulan hukum-hukum yang serupa berdasarkan qiyas (analogi) yang mengumpulkannya." b. Al-Jurjani Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa Kaidah Fiqih adalah: ‫ﻗﻀﻴ‬ّ ِ‫ﺎ‬ ‫ﺋﻴﺎ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬ ‫ﲨﻴﻊ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫ﻣﻨﻄﺒﻘﺔ‬ ‫ﻛﻠﻴﺔ‬‫ﺔ‬ِ ّ ّ ِ ُْ ُِْ ِ ٌ ٌ ُ ٌِ ْ ‫ﱢ‬ "Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya" c. As-Subki Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan kaidah fiqhiyah sebagai : ‫ﻳﻨ‬ ‫اﻟﺬي‬ ‫اﻟﻜﻠﻲ‬ ‫اﻷﻣﺮ‬ْ ْ ِ ّ ‫ﱡ‬ ‫ﱢ‬ُ ْ ُْ ْ‫ﻣﻨﻬﺎ‬ ‫أﺣﻜﺎﻣﻬﺎ‬ ‫ـﻔﻬﻢ‬‫ﻳ‬ ‫ﻛﺜﲑة‬‫ﱢﻴﺎت‬‫ـ‬‫ﺋ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬ ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ﻄﺒﻖ‬ِْ ِ ِ ُ ُ ُْ ُْ ْ ٌ ْ ٌ ّ ُْ ِ "Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi" d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ‫ﻋﻠﻴﻬﺎ‬ ‫اﻷﺣﻜﺎم‬ ‫ا‬‫ﻮ‬‫وﻓﺮﻋ‬ ‫إﻟﻴﻬﺎ‬ ‫ﺗﺮد‬ ‫اﻟﱵ‬ ‫اﻋﺪ‬‫ﻮ‬‫اﻟﻘ‬ ‫ﻓﺔ‬‫ﺮ‬‫ﻣﻌ‬ْ ْ ْْ ُّْ ِ ‫ﱡ‬ ُ ُْ ِّ ِ ِ ِْ "Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan hukum
  • 4. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 176 tersebut dirinci dari padanya" e. Al-Suyuthi Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya al- asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah: ‫ﺋﻴﺎﺗﻪ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫ﻳﻨﻄﺒﻖ‬ ‫ﻛﻠﻲ‬‫ﺣﻜﻢ‬ِِ ِ ّ ُُْ ُِ ْ ‫ﱞ‬ ‫ﱢ‬ُ ٌ ْ "Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi bagian- bagiannya" Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh meliputi bagian-bagian dalam arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-bagiannya). Kesimpulan Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah fiqhiyah adalah: ‫ﻣﻨﻪ‬ ‫أﺣﻜﺎﻣﻬﺎ‬ ‫ـﻌﺮف‬‫ﺘ‬‫ﻟ‬ ‫ﺋﻴﺎﺗﻪ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬ ‫ﻣﻌﻈﻢ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫ﻳﻨﻄﺒﻖ‬ ‫أﻏﻠﱯ‬ ‫ﺣﻜﻢ‬ُ ْْ ِْ ِِ ِ ُ ُ ُ ُْ ُْ ِ ّ ُْ ِ ِ ‫ﱞ‬ِ ْ ٌ ْ “Hukum yang bersifat mayoritas dan mencakup sebagian besar bagian-bagiannya supaya dapat diketahui hukum-hukumnya.” Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu kalimat mayoritas bukan menyeluruh. Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih yang ada, sehingga sifatnya mayoritas. Artinya menampung banyak hukum dari permasalahan fiqih namun tidak mencakup secara keseluruhan. Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang sifatnya memang mencakup secara keseluruhan. Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu kaidah ushul (‫اﻷﺻﻮﻟﯿﺔ‬ ‫اﻟﻘﻮاﻋﺪ‬) dan kaidah fiqih ( ‫اﻟﻘﻮاﻋﺪ‬ ‫اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‬):  Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab-
  • 5. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 177 kitab ushul fiqih, yang digunakan untuk menyimpulkan hukum (takhrij al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.  Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih, kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus- kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash. Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih maupun kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai bagian dari metodologi hukum Islam. Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah Fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia. Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah (‫اﻟﻌﺪﻟﯿﺔ‬ ‫اﻷﺣﻜﺎم‬ ‫ﻣﺠﻠﺔ‬) yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah Fiqih di bidang muamalah dengan 1.851 pasal. B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih Sulit diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih, yang jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah Fiqih dan masa hidup penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam. Walaupun demikian, kalangan ulama di bidang kaidah Fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang kaidah
  • 6. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 178 tersebut di masjid, sebelum para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing. Kemudian Abu Sa'id al-Harawi, seorang ulama mazhab Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah Fiqih yang dihafalkan Abu Thahir. Diantara kaidah tersebut adalah lima kaidah besar di atas. Setelah seratus tahun kemudian, datang ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang menambahkan kaidah Fiqih yang sudah dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37 kaidah. Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah Fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah. Seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam, bahwa kitab-kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan kitab-kitab Fiqih pada masa itu telah dibukukan. Dengan demikian materi tentang tafsir, hadits, dan Fiqih telah cukup banyak. Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita untuk mempermudah menentukan hukum pada masalah- masalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum Islam ini dengan mudah. Oleh karena itu, bahwa proses pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :
  • 7. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 179 1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits; 2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan Fiqih; 3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah Fiqih; 4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al- Quran dan hadits nabi; 5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan; 6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan hukum-hukum Fiqih baru; 7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberikan fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al- Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal; 8. Seperti telah disinggung di muka. Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu Taimiyah
  • 8. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 180 dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah : ‫ـﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺗﻐ‬ُ‫ﱡ‬‫اﻷزﻣﻨﺔ‬ ‫ﺗﻐﲑ‬ ‫ﲝﺴﺐ‬ ‫اﺧﺘﻼﻓﻬﺎ‬‫و‬ ‫اﻟﻔﺘﻮى‬ِ ِ ِْ ْ ِ‫ﱡ‬ ِ ْ ِ ُ ْ ْ ْ‫اﻷ‬‫و‬ْ‫ـﻴﺎت‬‫ﻨ‬‫اﻟ‬‫و‬ ‫ال‬‫ﻮ‬‫اﻷﺣ‬‫و‬ ‫ﻣﻜﻨﺔ‬ِ ِ ِ ّ‫ﱢ‬ ِ ْ ْْ ‫اﺋﺪ‬‫ﻮ‬‫اﻟﻌ‬‫و‬ِِ ْ "Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan" Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan dengan kaidah : ‫ﺑﺎﻟﻨﺎدر‬ ‫ﻻ‬ ‫ﺑﺎﻟﻤﻌﺘﺎد‬ ‫ﻳﻜﻮن‬ ‫أن‬ ‫ﳚﺐ‬ ‫إﳕﺎ‬ ‫اﳊﻜﻢ‬‫و‬ِِ ِّ ِ ِ ِْ ُْ ُْ ّْ ُ ِ ُ ْ ُْ "Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang terjadi" Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-kata : ‫ﲝﻖ‬ ‫إﻻ‬ ‫أﺣﺪ‬ ‫ﻳﺪ‬ ‫ﻣﻦ‬ ‫ﺷﻴﺌﺎ‬ ‫ِج‬‫ﺮ‬‫ﳜ‬ ‫أن‬ ‫ﻟﻺﻣﺎم‬ ‫ﻟﻴﺲ‬‫ﱟ‬ ِ ّ ِْ ٍ ِ ِ ْ ِ ًْ ُْْ ِ ِ "Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan cara yang dibenarkan" Contoh lain: ‫ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﺤﺔ‬ ‫ـﻮط‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫اﻋﻴﺔ‬‫ﺮ‬‫اﻟ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫اﻹﻣﺎم‬ ‫ﺗﺼﺮف‬ِ ِ ِ ْ ْ ِ ٌ ُْ ّ ِ ِ ْ ُ ‫ﱡ‬ “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan.” Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang
  • 9. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 181 berbunyi : ‫اﻟﻴﺘﻴﻢ‬ ‫ﻣﻦ‬ ‫اﻟﻮﱄ‬ ‫ﻟﺔ‬‫ﺰ‬‫ﻛﻤﻨ‬‫اﻋﻴﺔ‬‫ﺮ‬‫اﻟ‬ ‫ﻣﻦ‬ ‫اﱄ‬‫ﻮ‬‫اﻟ‬ ‫ﻟﺔ‬‫ﺰ‬‫ﻣﻨ‬ِ ِ ِْ ِ ِ ِ ِ ِ ِْ ْ ْ‫ﱢ‬ِ ِْ ّْ ْ ُ "Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak yatim" Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas. Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan. Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al- Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti: ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫اﻟﻤﺪﻋﻰ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫اﻟﻴﻤﲔ‬‫و‬ ‫اﻟﻤﺪﻋﻲ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫اﻟﺒﻴﻨﺔ‬ِ ِ ْ ّ ّ ُُ ُْ ْ ْ ُْْ ِ ْ ‫ﱢ‬ "Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas), atau juga hadits: ‫ار‬‫ﺮ‬‫ﺿ‬ ‫وﻻ‬ ‫ﺿﺮر‬ ‫ﻻ‬ِ "Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. Al- Hakim). Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah: ‫ال‬‫ﺰ‬‫ﻳ‬ ‫اﻟﻀﺮر‬ُ ُ ُ ّ "Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang lima)
  • 10. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 182 Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits, selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan sebagai kaidah yang mapan. Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-problem di masyarakat dan memunculkan hukum-hukum Fiqih baru. Misalnya kaidah: ‫ﲟﻘﺎﺻﺪﻫﺎ‬ ‫اﻷﻣﻮر‬ِ ِ ِ ُُُْ ْ “Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya” Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha. Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan. Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan kepada niat, maksud dan tujuannya. Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing- masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits: ‫ـﻴﺎت‬‫ﻨ‬‫ﺑﺎﻟ‬ ‫اﻷﻋﻤﺎل‬ ‫إﳕﺎ‬ِ ّ‫ﱢ‬ ِ ُِ ّْ ْ "Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab) Juga kepada Hadits:
  • 11. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 183 ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫اﺳﺘﻜﺮﻩ‬ ‫وﻣﺎ‬ ‫اﻟﻨﺴﻴﺎن‬‫و‬ ‫اﳋﻄﺄ‬ ‫ُﻣﱵ‬‫أ‬ ‫ﻋﻦ‬ ‫ﻓﻊ‬‫ر‬ِ ْ ِ ْ ُْ ُّ ْ ُ‫ﱢ‬ ُ ْ ْ ِ ْ ِ "Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas) Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang berubungan dengan niat, seperti ayat berikut : "Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5) Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat). Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa;  Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih.  Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash- nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah. Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali materi- materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah. Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al- Suyuthi menjelaskan kaidah:
  • 12. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 184 ‫ﲟﻘﺎﺻﺪﻫﺎ‬ ‫اﻷﻣﻮر‬ِ ِ ِ ُُُْ ْ "Setiap perkara tergantung kepada niatnya" Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan: 1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat; 2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri; 3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat; 4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang serupa; 5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati; 6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan dengan niat; 7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat. Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al- Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu: ‫اﻟﻠ‬ ‫ﲣﺼﺺ‬ ‫اﻟﻴﻤﲔ‬ ‫ﰲ‬ ‫ـﻴﺔ‬‫ﻨ‬‫اﻟ‬ّ ُ ‫ﱢ‬ ُ ِْ ِ ْ ِ ُّ‫ﱢ‬‫اﳋﺎص‬ ‫ﺗﻌﻤﻢ‬ ‫وﻻ‬ ‫اﻟﻌﺎم‬ ‫ﻔﻆ‬ّ ْ ُ ‫ﱢ‬ ُ ّ ْ ْ "Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus" Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus dijelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di niatkan kepada seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;
  • 13. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 185 8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i. Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu Rajab al- Hanbali, ada kaidah yang berbunyi: ‫ﲝﺮﻣﺎﻧﻪ‬ ‫ﻋﻮﻗﺐ‬ ‫ﳏﺮم‬ ‫وﺟﻪ‬ ‫ﻋﻠﻰ‬ ‫وﻗﺘﻪ‬ ‫ﻗﺒﻞ‬ ‫ﻟﻪ‬ ‫ُﺑﻴﺢ‬‫أ‬ ‫ﻣﺎ‬ ‫أو‬ ‫ﺣﻘﻪ‬ ‫ﺗﻌﺠﻞ‬ ‫ﻣﻦ‬ِِ ِ ٍ ِِ ْ ْ ِ ِ ُ ٍ ّ ُ ْ ْ ُ ْ ُْ ِ ْ ّْ ّ "Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram, maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak tersebut" Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan warisan tersebut. Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum habis masa iddah-nya, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita tersebut. Atau ada orang yang memburu binatang dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu binatang tersebut. Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan ungkapan: ‫ﲝﺮﻣﺎﻧﻪ‬ ‫ﻋﻮﻗﺐ‬ ‫اﻧﻪ‬‫و‬‫أ‬ ‫ﻗﺒﻞ‬ ‫ﺑﺸﻲء‬ ‫ﺗﻌﺠﻞ‬ ‫ﻣﻦ‬ِِ ِ ِِ ْ ْ ِ ِ ُ ْ ٍ ِ ّ ْ "Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut" C. Manfaat, Objek dan Keutamaan 1. Manfaat Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi
  • 14. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 186 Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih memudahkan kita dalam menentukan hukum. 2. Objek Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi Fiqih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran atau Sunnah atau Ijma (konsensus para ulama). 3. Keutamaan Orang yang ingin memahami ilmu fiqih, akan mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih apabila dibekali dengan ilmu kaidah-kaidah Fiqih. Oleh karena itu ulama berkata : "Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai kaidah- kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya" D. Hubungannya dengan Ilmu lain Kaidah Fiqih adalah bagian dari ilmu fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan Akhlak. Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan substansinya. Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil kulli (general), maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan. Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga. E. Perkembangan Kaidah
  • 15. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 187 Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmu dan wawasannya dalam ilmu fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih. Di kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang menjadi pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah Fiqih. Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam (w.660 H), beliau telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al- 'Anam (kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia). Intinya menjelaskan tentang maksud Allah mensyariatkan hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada kaidah pokok yaitu: ‫اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ‬ ‫ودرء‬ ‫اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ‬ ‫ﺟﻠﺐ‬ِ ِِ ْ ُْ ُْ ِ ْ "Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah" Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al- ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat. Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak akan menambah apa- apa kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah. Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi apapun terhadap kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah. F. Kaidah Kubra dan Turunannya Para ulama yang menyusun berbagai kaidah fiqhiyah mengumpulkan berbagai kaidah sesuai dengan tema utamanya, yang disebut dengan kaidah kubra. Masing-masing kaidah kubra ini memiliki kaidah-kaidah
  • 16. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 188 turunan, yang menjelaskan lebih detail tiap pengembangan dari masing-masing kaidah kubra. 1. Kaidah Kubra Pertama ‫اﻷ‬ُ‫ﻣ‬ُ‫ﻮر‬ُ‫ﲟ‬َِ‫ﻘ‬َ‫ﺎﺻ‬َ‫ﺪ‬ِ‫ﻫ‬َ‫ﺎ‬ Segala sesuatu tergantung tujuannya a. Kaidah Turunan Pertama ‫اﻟﻌ‬ِ‫ـ‬‫ﺒ‬ْ‫ﺮ‬َ‫ة‬ُ‫ﰲ‬ِ‫اﻟﻌ‬ُ‫ﻘ‬ُ‫ﻮد‬ِ‫ﺑ‬ِ‫ﺎﳌ‬‫ـ‬َ‫ﻘ‬َ‫ﺎﺻ‬ِ‫ﺪ‬ِ‫و‬َ‫اﳌ‬‫ـ‬َ‫ﻌﺎ‬َ‫ﱐ‬ِ‫ﻻ‬َ‫ﺑ‬ِ‫ﺎﻷ‬َ‫ﻟ‬ْ‫ﻔ‬َ‫ﺎظ‬ِ‫و‬َ‫اﳌ‬‫ـ‬َ‫ﺒ‬َ‫ﺎﱐ‬ِ “Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan bentuk perkataan” Contoh Jika ada seseorang yang mengatakan kepada temannya, “Aku hadiahkan mobil ini kepadamu dengan catatan berikan mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi disini bukanlah hadiah, walaupun dia mengatakan itu hadiah. Karena makna dan maksud akad tersebut sudah jelas, yaitu jual beli (barter). Dan dalam akad, yang dijadikan pijakan adalah maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk perkataan. Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam bentuk apa pun. b. Kaidah Turunan Kedua ‫اﻟﻨﻴﺔ‬‫ﰲ‬‫اﻟﻴﻤﲔ‬‫ﲣﺼﺺ‬‫اﻟﻠﻔﻆ‬‫اﻟﻌﺎم‬‫و‬‫ﻻ‬‫ﺗﻌﻤﻢ‬‫اﳋﺎص‬ “Dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum namun tidak bisa merubah kata yang bermakna khusus menjadi umum” Contoh
  • 17. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 189 Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena kaidah ini memiliki dua bagian yang berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah. Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam kasus seperti ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak berbicara dengan siapapun, namun dalam hatinya dia meniatkan hanya tidak berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab, meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu; tidak berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus yaitu tidak mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum. Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-Khas bi an- Niyyah bisa diterapkan dalam kasus berikut; Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak meminum air si Fulan jika merasa haus, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka berdasarkan kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu untuk mandi. Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat dalam hatinya yang umum yaitu; tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa membuat lafadz khusus itu menjadi umum. Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam madzhab syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun beberapa madzhab yang lain menganggap si pengucap sumpah telah melanggar sumpahnya karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat yang umum dalam hati tersebut -menurut madzhab ini- bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu menjadi umum. c. Kaidah Turunan Ketiga ‫ﻣﻘﺎﺻﺪ‬‫اﻟﻠﻔﻆ‬‫ﻋﻠﻰ‬‫ﻧﻴﺔ‬‫اﻟﻼﻓﻆ‬‫إﻻ‬‫ﰲ‬‫اﻟﻴﻤﲔ‬‫ﻋﻨﺪ‬‫اﻟﻘﺎﺿﻲ‬ “Maksud atau kandungan makna suatu perkataan akan
  • 18. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 190 diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, kecuali dalam masalah sumpah diahadapan qadhi (hakim)” Contoh Penerapannya : Pada dasarnya ucapan atau lafadz sumpah diserahkan maksud dan maknanya langsung kepada orang yang mengucapkan. Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain, sumpah juga berpeluang untuk diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang yang mengucapkan. Namun, ketika sumpah dijadikan oleh fiqih sebagai salah satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa, maka penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh salah satu pihak yang bersengketa di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena pengadilan adalah institusi yang rawan akan intrik, manipulasi fakta dengan kata-kata ataupun tipu muslihat. Maka, ketika seorang hakim meminta kepada terdakwa untuk bersumpah, penafsiran lafadz sumpahnya diserahkan sepenuhnya kepada sang Hakim. Sebagai contoh, si Terdakwa kasus piutang telah bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada pendakwa sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa maksudnya adalah tidak berhutang pada tahun yang lalu. Maka niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia tetap dianggap telah melanggar sumpahnya itu. Sebab, meski maksud atau kandungan makna suatu perkataan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja Hijau. 2. Kaidah Kubra Kedua ‫اﻟﻴﻘﲔ‬‫ﻻ‬‫ال‬‫ﺰ‬‫ﻳ‬‫ﺑﺎﻟﺸﻚ‬ “Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan”
  • 19. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 191 a. Kaidah Turunan Pertama ‫اﻷﺻﻞ‬‫ﺑﻘﺎء‬‫ﻣﺎ‬‫ﻛﺎن‬‫ﻋﻠﻰ‬‫ﻣﺎ‬‫ﻛﺎن‬ “Hukum Asal adalah ketetapan yang telah ada/dimiliki sebelumnya” Contoh Penerapannya: Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat fardhu, dan setelah shalat ia masih merasa yakin dalam kedaan suci, namun ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci. Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada sebelumnya. Dan hukum asal adalah ketetapan awal itu. b. Kaidah Turunan Kedua ‫اﻷﺻﻞ‬‫ﰲ‬‫اﻷﺷﻴﺎء‬‫اﻹﺑﺎﺣﺔ‬ “Hukum Asal segala sesuatu adalah boleh” Contoh penerapannya : Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram perkaranya, maka hewan tersebut dianggap halal dimakan. Contoh hewan seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti- adalah Jerapah. Menurut Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala sesuatu adalah boleh. Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang tersebut dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini. Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya masih ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.
  • 20. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 192 c. Kaidah Turunan Ketiga ‫اﻷﺻﻞ‬‫ﰲ‬‫اﻷﺑﻀﺎع‬‫اﻟﺘﺤﺮﱘ‬ “Hukum Asal Abdha’(farji) adalah haram” Contoh penerapannya: Jika ada seseorang yang mempunyai empat istri kemudian dia mantalak salah satunya, tapi di kemudian hari dia lupa siapa istri yang telah ia talak? Maka haram baginya untuk berhubungan intim dengan mereka semua karena adanya keraguan akut tentang siapa yang telah menjadi haram baginya. Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun hukum asal Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman ini berlangsung sampai jelas siapa yang telah ditalaknya. Para ulama berbeda pendapat dalam menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang berpendapat dengan cara diundi dan ada yang berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar jelas. d. Kaidah Turunan Keempat ‫اﻷﺻﻞ‬‫ﰲ‬‫اﻟﻜﻼم‬‫اﳊﻘﻴﻘﺔ‬ “Hukum Asal dalam perkataan adalah makna hakiki” Contoh penerapannya: Jika ada seseorang bersumpah tidak akan menjual rumahnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika mewakilkan ke orang lain untuk menjualnya. Karena makna hakiki menjual adalah dirinya sendiri yang menjual langsung bukan orang lain yang menjual atas nama dirinya. Dan hukum asal dalam perkataan adalah makna hakikinya. e. Kaidah Turunan Kelima ‫اﻷﺻﻞ‬‫اءة‬‫ﺮ‬‫ﺑ‬‫اﻟﺬﻣﺔ‬
  • 21. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 193 “Hukum Asal adalah bebas dari tanggungan” Contoh penerapannya : Jika ada seseorang merusak barang milik orang lain yang harga belinya -sejauh pengetahuan si perusak- sekitar sekian rupiah. Namun ternyata si pemilik mengatakan bahwa harga belinya diatas harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik tidak bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya itu. Maka klaim yang diterima adalah klaim si perusak dengan disertai sumpah. Karena hukum asalnya adalah terbebasnya si perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga yang diklaim si pemilik. 3. Kaidah Kubra Ketiga ‫اﳌﺸﻘﺔ‬‫ﲡﻠﺐ‬‫اﻟﺘﻴﺴﲑ‬ “Kesulitan itu akan mendorong kemudahan” a. Kaidah Turunan Pertama ‫إذا‬‫ﺿﺎق‬‫اﻷﻣﺮ‬‫اﺗﺴﻊ‬‫و‬‫إذا‬‫اﺗﺴﻊ‬‫اﻷﻣﺮ‬‫ﺿﺎق‬ “Ketika sesuatu menyempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)” Contoh penerapannya : Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang yang sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia benar-benar belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya wajib untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka pembayarannya boleh dengan cara diangsur. Karena sebuah perkara jika menyempit, hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba mendapatkan rizki yang dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya, maka wajib baginya untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika
  • 22. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 194 sudah lapang, maka hukumnya kembali menyempit (ketat). b. Kaidah Turunan Kedua ‫ات‬‫ر‬‫اﻟﻀﺮو‬‫ﺗﺒﻴﺢ‬‫ات‬‫ر‬‫اﶈﻈﻮ‬ “Kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang” Contoh penerapannya : Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena kelaparan, dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai yang diharamkan, maka baginya diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan seseuatu yang semula dilarang. c. Kaidah Turunan Ketiga ‫اﻟﻀﺮورة‬‫ﺗﻘﺪر‬‫ﺑﻘﺪرﻫﺎ‬ “Dharurat harus diukur kadar dharuratnya” Contoh penerapannya : Contoh kaidah ini hampir mirip dengan contoh kasus pada kaidah sebelumnya. Bahwa seseorang boleh makan bangkai yang awalnya diharamkan itu ketika dalam kondisi dharurat itu. Hanya saja, ia perlu mencukupkan diri dalam memakannya pada porsi yang kira-kira sudah cukup untuk menyambung atau menyelamatkan hidupnya. Karena diperbolehkannya mengonsumsi makanan haram tersebut, hanya dalam kondisi dharurat. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya. Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis disini adalah ketika ada pasien yang harus membuka auratnya demi terlaksananya terapi atau pengobatan, maka si pasien hanya diperbolehkan untuk membuka aurat yang memang dibutuhkan
  • 23. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 195 untuk dibuka dalam pengobatan tersebut. Dan dokter juga hanya diperbolehkan untuk melihat aurat yang memang dibutuhkan untuk dilihat. Lebih dari itu, maka tetap diharamkan. Karena pembolehan membuka aurat bagi pasien dan atau melihat aurat bagi dokter hanyalah dalam kondisi dharurat saja. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya. d. Kaidah Turunan Keempat ‫ار‬‫ﺮ‬‫اﻻﺿﻄ‬‫ﻻ‬‫ﻳﺒﻄﻞ‬‫ﺣﻖ‬‫اﻟﻐﲑ‬ “Keadaan darurat tidak mambatalkan hak orang lain” Contoh penerapannya : Jika ada sebuah kapal hampir-hampir tenggelam karena terlalu beratnya beban muatan kapal, kemudian untuk menyelamatkan kapal dari tenggelam, ada penumpang yang melempar beberapa barang-barang penumpang lain untuk meringankan kapal tersebut, maka si pelempar tadi wajib untuk menggantinya. Sebab, keadaan dharurat tidak bisa membatalkan hak orang lain. Dalam kaidah ini ada pembahasan yang lebih mendalam. e. Kaidah Turunan Kelima ‫اﳊﺎﺟﺔ‬‫ﻗﺪ‬‫ﻟﺖ‬‫ﺰ‬‫ﻧ‬‫ﻟﺔ‬‫ﺰ‬‫ﻣﻨ‬،‫اﻟﻀﺮورة‬‫ﻋﺎﻣﺔ‬‫ﻛﺎﻧﺖ‬‫أو‬‫ﺧﺎﺻﺔ‬ “Suatu kebutuhan terkadang bisa naik menempati posisi dharurat, baik kebutuhan umum maupun khusus” Contoh penerapannya : Para pedagang membutuhkan gugurnya hak khiyar ru’yah para pembeli untuk melihat semua barang dagangan yang hendak dibelinya. Gugurnya khiyar ru’yah ini diganti dengan melihat sample komoditas yang hendak dibeli.
  • 24. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 196 Maka gugurnya khiyar ru’yah ini diperbolehkan, karena jika khiyar ru’yah tetap wajib dilakukan, maka itu akan memberatkan para pedagang, apalagi jika komoditas yang hendak dijual berjumlah banyak dan dikemas dengan kemasan yang membukanya cukup menyita waktu. Maka hadirlah keringanan berupa gugurnya khiyar ru’yah ini dalam kebutuhan mendesak yang naik menempati posisi dharurat. 4. Kaidah Kubra Keempat ‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ُ‫ـ‬‫ﻳ‬ُ‫ﺰ‬َ‫ال‬ُ “Bahaya harus dihilangkan” a. Kaidah Turunan Pertama ‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ُ‫ﻳ‬ُ‫ﺪ‬ْ‫ﻓ‬َ‫ﻊ‬ُ‫ﺑ‬ِ‫ﻘ‬َ‫ﺪ‬ْ‫ر‬ِ‫اﻹ‬ِ‫ﻣ‬ْ‫ﻜﺎ‬َ‫ن‬ِ “Bahaya harus ditolak semampu mungkin” Contoh penerapannya : Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Maka perlu dilakukan sebuah tindakan untuk menolak bahaya tersebut. Jika kita tidak berhasil menolak semuanya, maka setidaknya kita menolak sebagiannya. Dan jika kita sudah berusaha menolaknya, namun bahaya tersebut terjadi juga maka setidaknya kita bisa mengurangi efek bahaya tersebut setelah terjadinya. Maka penolakan bahaya bisa dibagi secara waktu menjadi penolakan sebelum terjadi dan penolakan setelah terjadi. Sedangkan secara prosentase penolakan bisa dibagi menjadi penolakan secara keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya. Contoh penolakan sebelum terjadi adalah pensyariatan khiyar majlis dan khiyar syart dalam transaksi jual beli. Untuk
  • 25. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 197 menolak bahaya yang mungkin bisa terjadi setelah dilakukannya transaksi jual beli. Contoh penolakan setelah terjadi adalah adanya khiyar ghibn, khiyar aib dan khiyar tadlis setelah transaksi jual beli selesai dilakukan. Untuk menolak bahaya kerugian yang telah dialami oleh salah satu pihak setelah transaksi tersebut. Dua contoh diatas sekaligus sebagai contoh untuk penolakan bahaya secara keseluruhan. Sedangkan contoh penolakan bahaya sebagian adalah jika ada seseorang yang suka mencelakai orang lain dan dia tidak akan berhenti kecuali jika diberi uang, maka pemberian uang dalam hal ini merupakan sebagian dari bahaya yang tidak mungkin ditolak demi menolak bahaya yang lebih besar sebisa mungkin. b. Kaidah Turunan Kedua ‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ار‬ُ‫ﻻ‬َ‫ـ‬‫ﻳ‬ُ‫ﺰ‬َ‫ال‬ُ‫ﲟ‬ِِ‫ﺜ‬ْ‫ﻠ‬ِ‫ﻪ‬ِ “Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa dan setara” Contoh penerapannya : Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang dalam tanggungannya yang juga faqir, maka keduanya tidak berkewajiban untuk memberi nafkah bagi yang lain jika memang dia bahkan susah menafkahi dirinya sendiri. Karena kondisi faqir adalah baya bagi dirinya, dan kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain yang tidak bisa menghilangkan bahaya pertama. Atau dengan contoh lain misalnya ada orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain, dan jika tidak mau maka ia yang akan dibunuh, maka dia tetap tidak boleh membunuh orang lain tersebut. Karena ancaman pembunuhan atasnya adalah bahaya
  • 26. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 198 serupa dan setara dengan bahaya pembunuhan terhadap orang lain. Dan bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa atau setara. c. Kaidah Turunan Ketiga ‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ار‬ُ‫اﻷ‬َ‫ﺷ‬َ‫ﱡ‬‫ﺪ‬‫ـ‬‫ﻳ‬ُ‫ﺰ‬َ‫ال‬ِ‫ﺑﺎ‬ِ‫ﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ِ‫اﻷ‬َ‫ﺧ‬َ‫ﻒ‬‫ﱢ‬ “Bahaya yang lebih berat harus dihilangkan dengan mengerjakan bahaya yang lebih ringan” Contoh penerapannya : Jika bahayanya tidak setara, maka bahaya yang lebih berat bisa dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan. Contohnya adalah jika ada dua kerabat yang salah satunya faqir dan yang lain berkecukupan, maka wajib bagi yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada si Faqir. Karena meskipun kewajiban memberi nafkah oleh yang berkecukupan adalah bentuk bahaya atasnya, tapi ketiadaan nafkah bagi si Faqir adalah bahaya yang lebih besar. Dan bahaya yang lebih besar harus dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan. d. Kaidah Turunan Keempat ‫ﳜ‬ُْ‫ﺘ‬َ‫ﺎر‬َُ‫أ‬‫ﺧ‬َ‫ﻒ‬‫ﱡ‬‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬َ‫ﻳ‬ْ‫ﻦ‬ِ “Yang harus dipilih adalah bahaya/resiko yang lebih ringan” Contoh penerapannya : Jika ada seseorang yang memiliki luka ditubuhnya dan luka itu akan mengalirkan darah jika dibawa sujud, maka ia shalat dengan meninggalkan sujud. Karena ia sedang menghadapi dua bahaya; meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat dengan bernajis. Dan shalat bernajis adalah bahaya yang lebih besar
  • 27. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 199 daripada shalat tanpa sujud. Maka harus ditempuh bahaya yang lebih ringan. Begitu pula, meninggalkan sujud dalam hal ini juga bisa menolak bahaya yang lain yaitu keluarnya banyak darah. Maka yang dipilih adalah bahaya atau resiko yang lebih ringan. e. Kaidah Turunan Kelima ‫د‬َ‫ر‬ْ‫ء‬ُ‫اﳌ‬‫ـ‬َ‫ﻔ‬َ‫ﺎﺳ‬ِ‫ﺪ‬ِ‫ﻣ‬ُ‫ﻘ‬َ‫ﱠ‬‫ﺪ‬‫م‬ٌ‫ﻋ‬َ‫ﻠﻰ‬َ‫ﺟ‬َ‫ﻠ‬ْ‫ﺐ‬ِ‫اﳌ‬‫ـ‬َ‫ﺼ‬َ‫ﺎﻟ‬ِ‫ﺢ‬ِ “Mencegah mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya maslahah” Contoh penerapannya : Jika ada wanita yang wajib mandi jinabah, namun ia tidak menemukan sarana untuk menutupinya dari pandangan laki- laki, maka wajib baginya untuk mengakhirkan mandi jinabah. Karena meski dalam mandi janabah terdapat maslahah, namun terbukanya aurat wanita di depan laki-laki adalah mafsadah atau kerusakan yang jauh lebih besar. Dan mencegah mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya maslahah. f. Kaidah Turunan Keenam ‫ـ‬‫ﻳ‬َ‫ﺘ‬َ‫ﺤ‬َ‫ﻤ‬‫ﱠ‬‫ﻞ‬ُ‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ُ‫اﳋﺎ‬َ‫ص‬‫ﱡ‬‫ﻟ‬ِ‫ﺪ‬َ‫ﻓ‬ْ‫ﻊ‬ِ‫اﻟﻀ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫ر‬ِ‫اﻟﻌ‬َ‫ﺎم‬ِ “Bahaya khusus harus ditanggung demi menolak bahaya umum” Contoh penerapannya : Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon dengan dahan dan ranting yang tumbuh lebat hingga mengganggu para pengguna jalan, maka dahan dan ranting yang mengganggu itu wajib untuk dipotong. Sebab, meski dalam pemotongan tersebut terdapat resiko kerugian bagi si pemilik pohon, hanya saja kerugian tersebut adalah kerugian atau bahaya khusus. Dan gangguan pengguna
  • 28. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 200 jalan adalah bahaya umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh dan ditanggung demi menolak bahaya umum. 5. Kaidah Kubra Kelima ‫اﻟﻌ‬َ‫ﺎد‬َ‫ة‬ُ‫ﳏ‬َُ‫ﻜ‬‫ﱠ‬‫ﻤ‬َ‫ﺔ‬ٌ “Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum” Adat atau apa yang dianggap sebagai kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum Allah dan sudah berlaku secara umum di tengah masyarakat, bisa dijadikan salah satu pedoman dalam hukum. a. Kaidah Turunan Pertama ‫ا‬ِ‫ﺳ‬ْ‫ﺘ‬ِ‫ﻌ‬ْ‫ﻤ‬َ‫ﺎل‬ُ‫ﱠ‬‫ﻨ‬‫اﻟ‬‫ﺎس‬ِ‫ﺣ‬ُ‫ﺠ‬‫ﱠ‬‫ﺔ‬ٌ‫ﳚ‬َِ‫ﺐ‬ُ‫اﻟﻌ‬َ‫ﻤ‬َ‫ﻞ‬َِ ِ‫ﺎ‬ “Tradisi masyarakat (dalam berbahasa) adalah hujjah yang harus dijadikan pijakan dalam beramal” Contoh Penerapan : Kaidah ini memiliki kemiripan makna dengan kaidah kubranya. Maka sebagian ulama ada yang menyamakan antara keduanya, sedangkan sebagian yang lain ada yang membedakan. Bagi yang membedakan, perbedaannya adalah bahwa kaidah kubra bersifat umum, sedangkan kaidah ini bersifat khusus, yaitu khusus berlaku dalam tradisi berbahasa saja. Perbedaan tersebut dipicu oleh perbedaan mereka dalam memaknai kata isti’mal yang terdapat di awal kaidah. Contohnya adalah ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak minum dari air sungai A. Dan sudah jamak diketahui bahwa masyarakat di sekitar orang tersebut menggunakan makna majazi lebih banyak dari pada menggunakan makna hakiki. Makna hakiki ‘minum dari sungai’ disini adalah langsung
  • 29. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 201 meneguk dari sungai tersebut tanpa sarana apapun. Sedangkan makna majazi ‘minum dari sungai’ adalah minum dari air yang diambil atau bersumber dari sungai tersebut. Jika orang tersebut kemudian minum dari sungai itu setelah bersumpah untuk tidak minum darinya, maka hukumnya terjadi perbedaan diantara para ulama menjadi tiga pendapat : Pertama, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meminumnya dengan sarana seperti minum air dirumahnya yang bersumber dari sungai tersebut, bukan langsung meneguk dari sungai. Kedua, dia dianggap melanggar sumpahnya baik meneguknya langsung dari sungai seperti para musafir pedalaman, atau minum di rumahnya yang air minumnya memang bersumber dari sungai tersebut. Ketiga, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meneguk langsung dari sungai sebagaimana para musafir pedalaman. b. Kaidah Turunan Kedua ‫اﳊ‬َ‫ﻘ‬ِ‫ـ‬‫ﻴ‬ْ‫ﻘ‬َ‫ﺔ‬ُ‫ـ‬‫ﺗ‬ُ‫ـ‬‫ﺘ‬ْ‫ﺮ‬َ‫ك‬ُ‫ﺑ‬ِ‫ﺪ‬َ‫ﻻ‬َ‫ﻟ‬َ‫ﺔ‬ِ‫اﻟﻌ‬َ‫ﺎد‬َ‫ة‬ِ “Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan makna majazi” Contoh penerapannya : Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak menunjukkan ‘batang hidung’nya di depan bosnya, maka ia tetap dianggap melanggar sumpahnya jika ia menunjukkan dirinya dihadapannya. Karena, walaupun secara hakiki ‘batang hidung’ hanya menunjukkan salah satu anggota badan, namun yang menjadi tradisi berbahasa masyarakat adalah makna secara majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan makna majazi.
  • 30. Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 202 c. Kaidah Turunan Ketiga ‫إ‬ِ‫ﳕ‬َ‫ﱠ‬‫ﺎ‬‫ـ‬‫ﺗ‬ُ‫ﻌ‬ْ‫ﺘ‬َ‫ـ‬‫ﺒ‬َ‫ﺮ‬ُ‫اﻟﻌ‬َ‫ﺎد‬َ‫ة‬ُ‫إ‬ِ‫ذ‬َ‫ا‬‫اﻃ‬‫ﱠ‬‫ﺮ‬َ‫د‬َ‫ت‬َْ‫أ‬‫و‬ْ‫ﻏ‬َ‫ﻠ‬َ‫ﺒ‬َ‫ﺖ‬ْ “Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai pijakan hukum ketika tradisi tersebut sudah berjalan berulang-ulang dan mendominasi” Contoh penerapannya : Jika ada dua orang di dua negara yang sedang bertransaksi dalam suatu bisnis internasional dan mereka sepakat bahwa pembayarannya menggunakan mata uang dollar tanpa menyebutkan dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud adalah dollar amerika. Karena transaksi dengan mata uang tersebut sudah berulang-ulang dan mendominasi. d. Kaidah Turunan Keempat ‫اﻟﻌ‬ِ‫ـ‬‫ﺒ‬ْ‫ﺮ‬َ‫ة‬ُ‫ﻟ‬ِ‫ﻠ‬ْ‫ﻐ‬َ‫ﺎﻟ‬ِ‫ﺐ‬ِ‫اﻟﺸ‬‫ﱠ‬‫ﺎﺋ‬ِ‫ﻊ‬ِ‫ﻻ‬َ‫ﻟ‬ِ‫ﱠ‬‫ﻨ‬‫ﻠ‬‫ﺎد‬ِ‫ر‬ِ “Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan yang langka” Contoh penerapannya : Syariat telah menetapkan bahwa umur lima belas adalah batasan dimulainya usia baligh bagi mereka yang tidak memiliki tanda-tanda baligh. Karena usia lima belas adalah usia yang secara kebiasaan dominan manusia sudah mengalami baligh di usia tersebut. Sedangkan ‘belum mengalami baligh’ pada usia tersebut adalah kejadian yang sangat jarang terjadi. Sesuatu yang jarang ini, dalam syariat sama sekali tidak dilirik untuk dijadikan sandaran hukum. Justru yang belum mengalami tanda-tanda baligh di usia lima belas tetap dihukumi sudah baligh hanya dengan menginjak usia lima belas. Karena yang dijadikan sandaran
  • 31. Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 203 adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan langka. e. Kaidah Turunan Kelima ‫ﻻ‬َ‫ـ‬‫ﻳ‬ُ‫ﻨ‬ْ‫ﻜ‬َ‫ﺮ‬ُ‫ـ‬‫ﺗ‬َ‫ﻐ‬َ‫ـ‬‫ﻴ‬‫ﱡ‬‫ﺮ‬ُ‫اﻷ‬َ‫ﺣ‬ْ‫ﻜ‬َ‫ﺎم‬ِ‫ﺑ‬ِ‫ـ‬‫ﺘ‬َ‫ﻐ‬َ‫ﲑ‬ِ‫ﱡ‬‫اﻷ‬َ‫ز‬ْ‫ﻣ‬َ‫ﺎن‬ِ “Perubahan hukum ijtihadi karena adanya perubahan zaman sama sekali tidak boleh dicela” Contoh penerapannya : Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu bahwa masjid tidaklah ditutup pada saat kapan pun. Karena masjid adalah tempat suci yang dipersiapkan untuk beribadah. Namun, ketika zaman berubah, kejahatan merajalela, maka para ulama kemudian menfatwakan bolehnya mengunci masjid di luar waktu shalat, demi menjaga masjid dari kesia-sian atau pencurian. Dan perubahan hukum ini sama sekali tidak boleh untuk dicela. 