Makalah ini membahas tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh. Pertumbuhan ushul fiqh dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga sahabat dan tabi'in, di mana sumber hukum Islam masa itu berasal dari Al-Quran dan sunnah beserta ijtihad para sahabat. Periode selanjutnya adalah zaman kejayaan dengan munculnya imam-imam mujtahid besar dan penulisan kitab-kitab fiqh
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
tugas ushul fiqh
1. 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan
makalah SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai apa itu USHUL FIQH, Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari
apa yang kami harapkan.
Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kemajuan ilmu pengetahuan ini.Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa
memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.
MUARA BUNGO, 20 Feb 2014
2. 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ………………………………………........................... 3
B. Rumusan masalah …………………………………………………….. 4
C. Tujuan ………………………………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ushul fiqh …………………………………………………. 5
B. Sejarah pertumbuhan ushul fiqh ……………………………………… 6
C. Sejarah perkembangan ushul fiqh …………………………………….. 9
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN ……………………………………………………….. 13
SARAN …………………………………………………………. 13
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. 14
3. 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi sarana
untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai dalil-dalilnya
yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu
ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan
menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.
Tumbuhnya hukum-hukum fiqih itu bersama-sama tumbuhnya agama Islam. Karena agama
Islam pada hakikatnya adalah himpunan daripada aqidah, akhlak dan hukum amaliyah.
Hukum-hukum amaliyah ini pada masa Rasullullah SAW telah dibentuk dari beberapa
hukum yang telah ada didalam al-Qur’an termasuk pula hukum-hukum yang keluar dari
Rasulullah SAW dalam fatwanya terhadap sesuatu kejadian atau keputusan terhadap suatu
perselisihan, dan atau jawaban terhadap suatu soal. Jadi hukum-hukum fiqih itu dalam
periode pertamanya terjadi dari hukum Allah SWT dan Rasulnya.
Sedangkan sumbernya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pada masa sahabat, ditemukan kejadian-kejadian baru yang tidak pernah terjadi pada masa
Rasulullah SAW, maka berijtihadlah ahli ijtihad diantara mereka dan mereka pun
menetapkan beberapa hukum syari’at Islam yang disandarkan kepada hukum-hukum dalam
periode pertama, sesuai dengan hasil ijtihadnya. Maka perwujudan hukum-hukum fiqih
dalam periode keduanya adalah terjadi dari hukum Allah SWT dan Rasulnya, serta fatwa
sahabat dan keputusannya. Jadi sumbernya ialah al-Qur’an al-Sunnah dan Ijtihad pada para
sahabat. Tetapi pada dua periode ini, hukum-hukum itu belum dikodifikasikan dan belum
pula disyariatkan hukum-hukum mengenai kejadian-kejadian yang masih bersifat
kemungkinan, kecuali hanya mengenai kejadian yang sudah terjadi pada masa itu. Belum
pula menjelma sebagai bentuk ilmu pengetahuan, karena hanya merupakan bagian daripada
kejadian yang bersifat perbuatan. Himpunan ilmu ini juga belum disebut ilmu fiqih. Dan
tokohnya dikalangan para sahabat nabi disebut fuqoha (ahli hukum).
Akan tetapi pada masa Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in serta imam-imam mujtahid yaitu sekitar
4. 4
dua abad hijriyah sudah makin berkembang dan sudah banyak pengikut-pengikut Islam dari
selain bangsa Arab, Maka makin luas pula lapangan pembentukan hukum-hukum syariat
Islam (hukum fiqih) dan beberapa hukum mengenai beberapa peristiwa dan kejadian yang
masih bersifat kemungkinan.
Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal dan dibukukan
dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu produk telah ada maka tidak mungkin tidak
ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu,
pembahasan pada makalah ini mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul
fiqh. Sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian ushul fiqh?
2. Bagaimana sejarah pertumbuhan ushul fiqh?
3. Bagaimana sejarah perkembangan ushul fiqh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian ushul fiqh
2. Untuk mengetahui sejarah pertumbuhan ushul fiqh, serta
3. Untuk mengetahui Dn memahami perkembangan ushul fiqh
5. 5
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN USHUL FIQH
Ushul fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari fiqh adalah ushul fiqh, berarti ushul
fiqh itu asas atau dalil fiqh yang di ambil dari al-Quran dan sunnah. Ushul fiqh ini
sebenarnya sudah ada semenjak Rasulullah.
Ilmu Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh
hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dan usaha
untuk memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan ijtihad.
Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (Al-
Hadits). Dalam pada itu kita temui diantara sunnah-sunnahnya ada yang memberi kesan
bahwa beliau melakukan ijtihad.
Ushul fiqh merupakan pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi
sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai
dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah
data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.
Tumbuhnya hukum-hukum fiqih itu bersama-sama tumbuhnya agama Islam. Karena
agama Islam pada hakikatnya adalah himpunan daripada aqidah, akhlak dan hukum
amaliyah. Hukum-hukum amaliyah ini pada masa Rasullullah SAW telah dibentuk dari
beberapa hukum yang telah ada didalam al-Qur’an termasuk pula hukum-hukum yang
keluar dari Rasulullah SAW dalam fatwanya terhadap sesuatu kejadian atau keputusan
terhadap suatu perselisihan, dan atau jawaban terhadap suatu soal. Jadi hukum-hukum
fiqih itu dalam periode pertamanya terjadi dari hukum Allah SWT dan Rasulnya.
Sedangkan sumbernya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pada masa sahabat, ditemukan kejadian-kejadian baru yang tidak pernah terjadi pada
masa Rasulullah SAW, maka berijtihadlah ahli ijtihad diantara mereka dan mereka pun
menetapkan beberapa hukum syari’at Islam yang disandarkan kepada hukum-hukum
dalam periode pertama, sesuai dengan hasil ijtihadnya. Maka perwujudan hukum-hukum
fiqih dalam periode keduanya adalah terjadi dari hukum Allah SWT dan Rasulnya, serta
fatwa sahabat dan keputusannya.
6. 6
B. Sejarah pertumbuhan ushul fiqh
Para Ahli membagi sejarah pertumbuhan ilmu fiqh kepada beberapa periode.
Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan (Bi’tsah) Nabi Muhammad
sampai beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih
diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah
al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode
Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena
disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak
pada masalah ketauhidan dan keimanan.
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat
dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah
permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya,
dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad
mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi
Muhammad saw.
Kedua, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin)
sampai dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada periode ini didasari
pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih
hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-
Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya
ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisiyang
terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih
berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang
jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di
Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita
memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.
Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah
islamiyah pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-
7. 7
350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan pembukuan
hokum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat sekali. Penulisan dan
pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis nabi,
fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-
imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqh.
Pada masa ini lahirlah pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya besarnya, seperti
Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu Yusuf(Penyusun
kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’, Imam Syafe’I
dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan
beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya masing-masing.
Diantara factor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya
atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
2. Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para
ulama.
3. Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah
rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad
pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-
kitab lainnya.
Keempat, periode kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena hanya
menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang dimulai pada
pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat
al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876M.
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah-akibat berbagai konflik politik dan
berbagai factor sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari
kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai
tingkat umjtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode
kejayaan. Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu ternyata
sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran Islam langsung dari
sumber aslinya;Al-Qur’an dan hadist. Mereka puas hanya dengan mengikuti pendapat-
pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke dalam mazhab-
mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian mengantarakan umat islam terperangkap
kea lam pkikiran yang jumud.
8. 8
Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai
sekarang. Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah
berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali
muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir
ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul
peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan
pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat
islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam
islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social, dan gerakan intelektual lainnya.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak di
antara pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih
itu sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-
Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat dan tabi’in terdahulu. Mereka
inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul Wahab di Saudi Arabia, Muhammad
Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad
asyid Rida, dimesir, dan lain sebagainya.
9. 9
C. Sejarah perkembangan ushul fiqh
Sejarah Perkembagan Ilmu Ushul Fiqh
Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan
dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun
keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti
problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-
bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum
dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam
mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam
jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka
saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu
(iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”, maka
beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil,
(maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil
dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-
orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka
selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin
Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir menggugurkan
nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak menjelaskannya.
Pada umumnya, sesuatu itu ada baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan
keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu
Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul dalam
setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu,
sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal
yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya
dibukukan.
Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada
sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi
saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad
SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri
adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang
10. 10
mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah
pencetusan hukum.
Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan
dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) danSunnah. Akan tetapi
ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode
dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan
seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya.
Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan
datangnya sunnah.
Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka
mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika
belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang
maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak
menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka
benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan
menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang
tajam,jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat.
Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa
tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in tidak merasa
perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi
dan telah belajar banyak dari sahabat.
Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru
muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul
banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan
meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian
menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat
menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan.
Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan
rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari
semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.
11. 11
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad Idris al-Syafi’i(150 H-
204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan Ushul Fiqh.
Upaya pembukuan Ushul Fiqh ini, seperti disimpulkan Abd al-Wahhab Abu Sulaiman,
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di masa itu. Perkembangaan pesat
ilmu-ilmu keislaman dimulai dari masa Harun Al-Rasyid` (145 H-193 H), khalifah kelima
Dinasti Abbasiyah yang memerintah selama 23 tahun (170 H-193 H) dan dilanjukan dalam
perkembangan yang lebih pesat lagi pada masa putranya bernama Al-Ma’mun (170 H-218 H)
khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198 H-218 H).
Pada masa ini ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan keislaman, bahkan
dikenal sebagai masa keemasan Islam. Dengan didirikannya “ Baitul-Hikmah”, yaitu sebuah
perpustakaan terbesar di masanya, kota Baghdad menjadi menara ilmu yang didatangi dari
berbagai penjuru wilayah Islam. Lembaga ini, di samping sebagai perpustakaan juga
berfungsi sebagai balai penerjemah buku-buku yang berasal dari Yunani ke dalam bahasa
Arab. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman ini, secara disiplin ilmu menghendaki
adanya pemisahan antara satu bidang ilmu dengan bidang yang lain. Ushul Fiqh
dirumuskannya di samping untuk mewujudkan metode istinbat yang jelas dan dapat
dipedomani oleh peminathukum Islam, juga dengan itu ia membangun mazhab fikihnya serta
ia ukur kebenaran hasil ijtihad di masa ssebelumnya. Maka oleh Imam Syafi’i disusunlah
sebuah buku yang diberi judul Al-Kitab’dan kemudian dikenal dengan sebutan Al-Risalah
yang berarti sepucuk surat. Muncunya buku Al-Risalah merupakan fase awal dari
perkembangan Ushul Fiqh sebagai satu`disiplin ilmu.
Setelah kitab al-Risalah oleh Imam Syafi’i, masih dalam abad ketiga bermunculan karya-
karya ilmiah dalam bidang ini. Antara lain, buku khabar al-wahid karya ‘Iasa inbu Aban ibn
Shadaqah (w. 220 H) dari kalangan hanafiyah, buku al-Nasikh wa al-Mansukh oleh Ahmad
bin Hambal (164H-241H) pendiri mashap Hambali, dan buku ibtal al-Qiyas oleh Daud al-
Zahiri (200 H – 270 H) pendiri mashab Zahiri.
Selanjutnya, pertengahan abad keempet, menurut abd al-Wahhab Khallaf, ahli ushul fiqh
berkebangsan mesir, dalam bukunya khulasat tarikh al-tasry al-islam, ditandai, dengan
kemunduran dalam kegiatan ijtihat di bidang fikih, dalam pengertian tidak lagi ada orang
yang mengkhususkan diri dari membentuk mazhab baru, namun seperti dicatat Abd al-
Wahhab Abu Sulaiman, pada saat yang sama kegiatan ijtihat di bidang Ushul Fiqh
berkembang pesat karena ternyata Ushul Fiqh tidak kehilangan fungsinya. Ushul Fiqh
12. 12
berperan sebagai alat pengukur kebesaran pendapat-pendapat yang telah terbentuk
sebelumnya, dan dijadikan alat untuk berdebat dalam diskusi-diskusi ilmiah. Pertemuan-
pertemuan ilmiah diadakan dalam rangka mengkaji hasil-hasil ijtihat dari mashab yang
mereka anut.
Di antar buku Ushul Fiqh yang disusun pada periode ini adalah istbat al-Qiyas oleh Abu al-
Hasan al-Asya’ari (w.324 H) pendiri aliran teologi al-Asy’ariah, dan buku al-Jadalfi Ushul al-
Fiqh oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 334 H) pendiri aliran teologi Maturidiyah.
13. 13
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Unshul fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari fiqh adalah ushul fiqh, berarti ushul
fiqh itu asas atau dalil fiqh yang di ambil dari al-Quran dan sunnah. Ushul fiqh ini sebenarnya
sudah ada semenjak Rasulullah.
Ilmu Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh
hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.Sumber hukum
pada masa Rasulullah SAW hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (Al-Hadits).
Orang yang mula-mula menciptakan ilmu ushul fiqh adalah Imam Syafi’i yang meninggal di
mesir pada tahun 204 H. Beliau menulis sebuah risalah yang dijadikannya sebagai
Mukaddima bukunya yang bernama kitab al-Um.
Pada masa tabi’in, penggunaan ushul al-fiqh ini lebih luas. Periode awal pertumbuhan fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini
merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam.
Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-
4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan.
Tujuan yang ingin dicapai dari sejarah ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-
kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai pada hukum-hukum syara’
yang bersifat amali. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai pertimbangan tentang sebab
terjadinya perbedaan madzhab diantara para Imam mujathid.
SARAN
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua untuk mengetahui dan memahami sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqh, adapun kekurangan dalam penyampaian makalah
ini kami mohon kritik dan saran yang membangun untuk makalah ini.
14. 14
DAFTAR PUSTAKA
Djuzi dkk. Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. Cetakan IV. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Satria Efendu, M. Zein. Ushul Fiqh. Jakarta, Prenada Media Group, 2005