SlideShare a Scribd company logo
1 of 49
Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
LAPORAN KASUS
DIARE KRONIK ET CAUSA TUBERKULOSIS PARU
Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi
Pembimbing :
dr. Rivai Usman, Sp.A
Penyusun :
Anindya Dinovita
(030.07.021)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 4 NOVEMBER 2013 – 11 JANUARI 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Telah diterima dan disetujui "Laporan Kasus Diare Kronik et causa Tuberkulosis
Paru" sebagai salah satu syarat guna mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Umum Daerah
Kota Bekasi periode 4 November 2013 - 11 Januari 2013.
2
Bekasi, Desember 2013
Pembimbing,
dr. Rivai Usman, Sp.A
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat petunjuk,
karunia, dan rahmat-Nya sehingga tugas laporan kasus yang berjudul “Diare Kronik et
causa Tuberkulosis Paru” ini dapat terselesaikan.
Penulisan laporan kasus ini dibuat guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Bekasi. Penulis berharap pembuatan laporan kasus ini berfungsi
sebagai apa yang telah disebut di atas. Dalam penulisan laporan kasus akan sulit
3
terselesaikan tanpa dukungan berbagai pihak. Untuk itu dengan segenap ketulusan hati,
penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Rivai Usman, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan tugas laporan
kasus ini.
2. Kedua orang tua dan keluarga yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan
moril dan materiil selama mengikuti Kepaniteraan Klinik.
3. Teman-teman yang mengikuti kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Bekasi atas dukungan dan bantuan dalam penyusunan tugas laporan kasus ini.
Semoga semua pihak yang telah disebutkan tadi mendapat anugerah yang berlimpah
dari ALLAH SWT atas segala kebaikan yang diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa hasil laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun serta bermanfaat
untuk perkembangan ilmu kesehatan anak.
Bekasi, Desember 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut
dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam
tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Tuberkulosis anak mempunyai
permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan
4
yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengan
keadaan khusus.1,2
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga
penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka
tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan
masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju.
Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan
kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Menurut perkiraan WHO
pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan
menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.3
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen
diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering
terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga
underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB
umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga
penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya
penanganan TB anak kurang diperhatikan.2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien dan Orangtua
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. NAN Tn. H Ny. R
Umur 1 tahun 6 bulan 38 tahun 22 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Jl. Banteng RT 02/15, Kranji, Bekasi Barat
5
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa - Jawa Jawa
Pendidikan - SMA SMP
Pekerjaan - Supir Truk IRT
Keterangan Hubungan dengan
orang tua : Anak
kandung
Ayah kandung Ibu kandung
II. Anamnesis
Dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien pada hari Selasa, 17 Desember
2013 pukul 12.00 WIB di Ruang Melati.
Keluhan Utama :
Os datang ke Poliklinik RSUD Kota Bekasi dengan keluhan mencret sejak 3
mingguSMRS.
Keluhan Tambahan :
Demam sumeng-sumeng, batuk
Riwayat Penyakit Sekarang :
Anak NAN usia 1 tahun 6 bulan datang ke Poliklinik RSUD Kota Bekasi dengan
keluhan mencret sejak 3 minggu SMRS. BAB konsistensi cair berampas, warna kuning
kecoklatan, tidak ada darah maupun lendir. bau tidak khas, 4-6 kali perhari, sebanyak
seperempat gelas aqua setiap kalinya. Pasien juga mengeluh demam sumeng-sumeng sejak
3 minggu SMRS, terus menerus sepanjang hari. Dua minggu SMRS, pasien sudah pernah
berobat ke puskesmas, keluhan berkurang saat pengobatan tapi kambuh kembali.
Gangguan BAK, mual, muntah disangkal. Ibu pasien mengaku bahwa pasien juga
mengalami batuk tapi jarang, keluhan pilek disangkal. Sejak 3 bulan terakhir berat badan
pasien tidak naik dan malah turun. Nafsu makan pasien juga menurun. Tetangga pasien
yang sering kontak dengan pasien didiagnosis TB paru 2 bulan yang lalu dengan hasil tes
dahak positif.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal -
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru -
6
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Operasi - Morbili -
Kesan : Os belum pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada yang menderita sakit seperti ini di keluarga.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :
KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan
Perawatan antenatal Setiap bulan periksa ke
bidan
KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah bidan
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Spontan
Masa gestasi ± 37 minggu
Keadaan bayi
Berat lahir 2600 g
Panjang badan 48 cm
Lingkar kepala tidak ingat
Langsung menangis
Nilai apgar tidak tahu
Tidak ada kelainan bawaan
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Pertumbuhan gigi I : 8 bulan (normal: 5-9 bulan)
Psikomotor
Mengangkat kepala : 2 bulan (normal: 1-3 bulan)
Tengkurap : 4 bulan (normal: 2-5 bulan)
Duduk : 7 bulan (normal: 6 bulan)
Berdiri : 10 bulan (normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 14 bulan (normal: 13 bulan)
Bicara : 10 bulan (normal: 9-12 bulan)
Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai usia.
Riwayat Makanan :
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
7
0-2 ASI - - -
2-4 ASI - - -
4-6 ASI - - -
6-8 ASI + Susu
formula
Buah + biskuit Bubur susu Nasi tim
8-10 ASI + Susu
formula
Buah + biskuit Bubur susu Nasi tim
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik
Riwayat Imunisasi :
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG 2 bulan x x
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan
CAMPAK 9 bulan x x
HEPATITIS B Setelah lahir 1 bulan 6 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
Riwayat Keluarga :
Data Ayah Ibu
Nama Tn. R Ny. RS
Perkawinan ke Pertama Pertama
Umur 30 28
Keadaan kesehatan Baik Baik
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik
Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Tinggal di rumah sendiri. Terdapat tiga kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air
minum dan air mandi berasal dari air tanah.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik
III. Pemeriksaan fisik
• Keadaan umum : Tampak sakit sedang
• Tanda Vital
- Kesadaran : compos mentis
- Frekuensi nadi : 120x/menit
- Tekanan darah : Tidak dihitung
8
- Frekuensi pernapasan : 28x/menit
- Suhu tubuh : 37,8˚C
• Data antropometri
- Berat badan : 7 kg
- Panjang badan : 82 cm
- Status gizi menurut WHO :
o BB/U < -3 SD = gizi buruk
o TB/U < 2 SD s/d > 0 SD = gizi baik
o BB/TB < -3 SD = gizi buruk
o Kesan = gizi buruk
- Lingkar kepala : 45 cm
- Lingkar dada : 47 cm
- Lingkar lengan atas : 21 cm
• Kepala
- Bentuk : Normocephali
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi baik
- Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil
isokor,
RCL +/+, RCTL +/+, lakrimasi +/+, injeksi
konjungtiva +/+, sekret +/+ warna putih
kekuningan
- Telinga : Normotia, serumen -/-
- Hidung : Septum deviasi (-), sekret +/+
warna kehijauan, nafas cuping hidung -/-
- Mulut : Bibir tampak kering (+), bibir berdarah
(+), faring hiperemis (+), koplik’s spot (-), tonsil
T2/T2, kripta -/-, detritus -/-
- Wajah : Makulopapular rash (+)
• Leher : KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, makulopapular rash (+)
• Thorax
9
Paru-paru
- Inspeksi : pergerakan napas statis dan dinamis,
makulopapular rash (+)
- Palpasi : vocal fremitus sama pada kedua paru
- Perkusi : sonor pada kedua paru
- Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi basah
halus +/+, wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
- Palpasi : Teraba iktus cordis pada ICS V, 1 cm medial linea
midklavikula kiri
- Perkusi
Batas kanan : Sela iga V linea parasternalis kanan.
Batas kiri : Sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula
kiri.
Batas atas : Sela iga II linea parasternal kiri.
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, gallop (-),
murmur (-)
• Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, makulopapular rash (+)
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Palpasi: Supel, turgor kulit baik, hepar dan lien tidak
teraba membesar
- Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
• Kulit : Ikterik (-), petechie (-), makulopapular rash (+)
• Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis
(-), edema (-), CRT < 2
IV. Pemeriksaan Neurologis
1. Tanda Rangsang Selaput Otak
Kaku kuduk : -
Brudzinski I : -
10
Lasegue : >70˚/>70˚
Kernig : >135˚/>135˚
Brudzinski II : -/-
2. Nervus Kranialis
N. I : Tidak valid dinilai
N. II
Acies visus : Tidak dilakukan
Visus campus : Tidak dilakukan
Lihat warna : Tidak dilakukan
Funduskopi : Tidak dilakukan
N. III, N. IV, dan N. VI
Kedudukan bola mata : Ortoposisi +/+
Gerak bola mata : Kesan baik ke segala arah +/+ (nasal, temporal, superior,
inferior, nasal atas, nasal bawah, temporal atas, temporal bawah)
Exophtalmus : -/-
Nystagmus : -/-
Pupil
Bentuk : Bulat, isokor Ø 3mm/3mm
Reflex cahaya langsung : +/+
Reflex cahaya tidak langsung : +/+
N. V
Cabang motorik : Baik/baik
Cabang sensorik
Ophtalmikus : Tidak valid dinilai
Maksilaris : Tidak valid dinilai
Mandibularis : Tidak valid dinilai
N. VII
Motorik orbitofrontalis : Simetris
Motorik orbikularis okuli : Baik/baik
Lipatan nasolabial : Baik/baik
Pengecapan lidah : Tidak dilakukan
N. VIII
11
Nistagmus : Tidak dilakukan
Koklearis : Tuli konduktif : Tidak dilakukan
Tuli perseptif : Tidak dilakukan
Tinnitus : Tidak dilakukan
N. IX dan N. X
Arkus faring simetris, uvula ditengah
N. XI
Mengangkat bahu : Tidak dilakukan
Menoleh : Baik/baik
N. XII
Pergerakkan lidah : Simetris, tidak ada deviasi
Atrofi : -
Fasikulasi : -
Tremor : -
a. Sistem Motorik
Ekstremitas atas proksimal-distal : Bergerak aktif
Ekstremitas bawah proksimal-distal : Bergerak aktif
b. Gerakan Involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
: -/-
c. Trofik : Eutrofi +/+
d. Tonus : Normotonus +/+
e. Sistem Sensorik
Propioseptif : Tidak dapat dinilai
Eksterioseptif : Tidak dapat dinilai
f. Fungsi Serebelar
Ataxia : Tidak dilakukan
Tes Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokokinesia : Tidak dilakukan
Jari-jari : Tidak dilakukan
12
Jari-hidung : Tidak dilakukan
Tumit-lutut : Tidak dilakukan
Rebound phenomenon : Tidak dilakukan
g. Fungsi Luhur
Astereognosia : Tidak dilakukan
Apraxia : Tidak dilakukan
Afasia : Tidak dapat dinilai
h. Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi keringat : Baik
i. Refleks
V. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 02/12/2013, pukul 07.00 WIB
13
Pemeriksaan Kanan Kiri
Bicep +2 +2
Tricep +2 +2
Patella +2 +2
Achilles +2 +2
Hoffmann-Tromner Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Babinsky - -
Rooting -
Grasp -
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI RUTIN
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
LED
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Index Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
KIMIA DARAH
Gula Darah Sewaktu
IMUNOSEROLOGI
CRP Kualitatif
ELEKTROLIT
Natrium
Kalium
Klorida
6,1 ribu/μL
4,61 juta/uL
14 g/dL
39 %
207 ribu/ μL
30 mm/jam
0
1
3
25
60
4
81,5 fL
28,9 pg
35,4 %
118 mg/dL
Reaktif
137 mmol/L
4,7 mmol/L
99 mmol/L
5,5-15,5
4-5
10,8-12,8
35-43
229-553
0-10
0-1
1-5
3-6
25-60
25-50
1-6
75-87
24-30
31-37
50-80
Non reaktif
135-155
3,6-5,5
98-109
Tanggal 03/12/2013, pukul 07.00 WIB
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI RUTIN
Leukosit
Hemoglobin
5,8 ribu/μL
13,3 g/dL
5,5-15,5
10,8-12,8
14
Hematokrit
Trombosit
37,6 %
201 ribu/ μL
35-43
229-553
Pemeriksaan Foto Rontgent Thoraks PA (2/12/2013)
Skeletal normal
Cor, sinuses, dan diafragma normal
Pulmo : Corakan normal. Tampak infiltrat di parakardial
Kesan : Bronkopneumonia duplex
VI. Resume
Anak APR usia 9 tahun datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan demam
sejak 4 hari SMRS, demam terjadi mendadak, terus menerus sepanjang hari, dan hanya
turun ketika diberi obat penurun panas. Batuk dan pilek (+) sejak 3 hari SMRS. Sejak 2
hari SMRS mata pasien merah, keluar belek warna putih kekuningan. Nyeri menelan (+).
Nafsu makan os berkurang. Mual (+). Pada hari pertama perawatan di RS, demam (+)
tinggi dan mulai muncul bintik-bintik merah dari belakang telinga yang kemudian
menyebar ke wajah, leher, badan, dan lengkap sampai ke kaki pada perawatan hari ke
empat. Pada perawatan hari ke lima bintik-bintik merah mulai menghitam mulai dari
15
belakang telinga, makin lama kulit seperti bersisik. Selain itu demam berangsur-angsur
turun dan kemudian menghilang. Riwayat kontak dengan penderita campak (+).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran umum pasien tampak sakit sedang,
takikardi, febris, mata injeksi konjungtiva +/+, sekret +/+ warna putih kekuningan, bibir
tampak kering, bibir berdarah (+), faring hiperemis (+), koplik's spot (-), paru rhonki basah
halus +/+, kulit wajah, leher, dada, perut, dan ekstremitas makulopapular rash (+). Pada
pemeriksaan laboratorium tanggal 2 dan 3 Desember 2013, leukosit 6100/μL dan 5800/μL,
hemoglobin 14 g/dl dan 13,3 g/dl, hematokrit 39 % dan 37,6%, LED 30 mm/jam, hitung
jenis leukosit 0/1/1/25/60/4, GDS 118 mg/dl, CRP kualitatif reaktif. Foto rontgent thoraks
PA kesan bronkopneumonia duplex.
VII. Diagnosis Kerja
• Morbili dengan infeksi sekunder bronkopneumonia
VIII. Diagnosis Banding
• Morbili
o Eksanthema Subitum
o Rubella
o Demam berdarah dengue
• Bronkopneumonia
o TB paru
IX. Penatalaksanaan
Non medikamentosa :
1. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien
2. Rawat inap di ruang isolasi, tirah baring
3. Observasi tanda-tanda vital
Medikamentosa :
1. Tatalaksana cairan rumatan
Kebutuhan cairan BB 23 kg = 1000 + 500 + 30 = 1530 cc
IVFD RL = 1530x20 = 20 tpm makro
16
24x60
2. Vitamin A 1x200.000 IU selama 3 hari
3. Ceftriaxone 2x1 gram IV
4. Parasetamol 250 mg IV k/p
5. Dexamethasone 3x2,5 mg
6. Cendo xytrol 2 dd I gtt ODS
7. Inhalasi/8jam
X. Prognosis
• Ad vitam : ad bonam
• Ad fungsionam : ad bonam
• Ad sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
2/12/2013
Perawatan
hari II
• Demam (+)
• Batuk (+)
bertambah,
dahak (+)
• Pilek (+)
ingus warna
kehijauan
• Mata merah
(+), belek (+)
• Mulut kering
(+), bibir
berdarah
mulai
mengering
• Nyeri
menelan (+)
• Bintik merah
menyebar
dari belakang
telinga ke
wajah, leher,
• TD: 100/70
mmHg
• N: 115x/menit
• S: 390
C
• RR: 28x/menit
• Mata injeksi
konjungtiva +/+,
sekret +/+
• Hidung sekret +/
+ kehijauan
• Mulut faring
hiperemis (+)
• Paru SN
vesicular +/+, rh
+/+, wh -/-
• Kulit
maculopapular
rash di belakang
telinga, leher,
wajah, dada,
perut
Morbili stadium
erupsi dengan
infeksi sekunder
bronkopneumonia
• Cairan
intravena RL
20 tpm makro
• Vitamin A
1x200.000 IU
• Parasetamol
250 mg k/p
• Ceftriaxone
2x1 mg IV
• Dexamethaso
ne 3x2,5 mg
IV
• Cendo xytrol
2 dd I gtt
ODS
• Inhalasi/8jam
17
badan
3/12/2013
Perawatan
hari III
• Demam (+)
• Batuk (+),
dahak (+)
• Pilek (+)
ingus warna
kekuningan
• Mata merah
<<, belek <<
berkurang
• Mulut kering
(+), bibir
berdarah
mulai
mengering
• Nyeri
menelan (+)
• Bintik merah
(+)
• TD: 110/80
mmHg
• N: 115x/menit
• S: 38,50
C
• RR: 27x/menit
• Mata injeksi
kojungtiva +/+,
sekret +/+
• Hidung sekret +/
+ kekuningan
• Mulut hiperemis
(+)
• Paru SN
vesicular +/+, rh
+/+, wh -/-
• Kulit
maculopapular
rash (+)
Morbili stadium
erupsi dengan
infeksi sekunder
bronkopneumonia
• Cairan
intravena RL
20 tpm makro
• Vitamin A
1x200.000 IU
• Parasetamol
250 mg k/p
• Ceftriaxone
2x1 mg IV
• Dexamethaso
ne 3x2,5 mg
IV
• Cendo xytrol
2 dd I gtt
ODS
• Inhalasi/8 jam
4/12/2013
Perawatan
hari IV
• Demam (+)
• Batuk (+),
dahak (+)
berkurang
• Pilek (+)
• Mata merah
(-), belek (-)
• Mulut kering
(+), bibir
berdarah (-)
• Nyeri
menelan <<
• Bintik merah
(+) lengkap
sampai ke
ekstremitas
• TD: 110/80
mmHg
• N: 105x/menit
• S: 380
C
• RR: 25x/menit
• Mata injeksi
konjungtiva -/-,
sekret -/-
• Hidung sekret -/-
• Paru SN
vesicular +/+, rh
+/+, wh -/-
• Kulit
maculopapular
rash di belakang
telinga, leher,
wajah, dada,
perut, punggung,
ekstremitas
Morbili stadium
erupsi dengan
infeksi sekunder
bronkopneumonia
• Cairan
intravena RL
20 tpm makro
• Parasetamol
250 mg k/p
• Ceftriaxone
2x1 mg IV
• Dexamethaso
ne 3x2,5 mg
IV
• Cendo xytrol
2 dd I gtt
ODS
• Inhalasi/8 jam
5/12/2013
Perawatan
• Demam (+)
• Batuk (+)
• TD: 110/80
mmHg
Morbili stadium
konvalesensi
• Cairan
intravena RL
18
hari V >>, dahak
(+)
berkurang
• Pilek (+)
• Mata merah
(-), belek (-)
• Mulut kering
(+), bibir
berdarah (-)
• Nyeri
menelan (-)
• Bintik merah
menghitam
mulai dari
belakang
telinga,
leher, dan
wajah
• N: 105x/menit
• S: 37,50
C
• RR: 25x/menit
• Mata injeksi
konjungtiva -/-,
sekret -/-
• Hidung sekret +/
+
• Paru SN
vesicular +/+, rh
+/+, wh -/-
• Kulit
hiperpigmentasi
di belakang
telinga, leher,
wajah, dan
maculopapular
rash di dada,
perut, punggung,
ekstremitas
dengan infeksi
sekunder
bronkopneumonia
20 tpm makro
• Parasetamol
250 mg k/p
• Ceftriaxone
2x1 mg IV
• Dexamethaso
ne 3x2,5 mg
IV
• Cendo xytrol
2 dd I gtt
ODS
• Inhalasi/8 jam
6/12/2013
Perawatan
hari VI
• Demam (+)
• Batuk (+),
dahak (+)
• Pilek (+) <<
• Bibir
berdarah (-)
• Bintik merah
menghitam
sampai ke
badan
• TD: 110/80
mmHg
• N: 105x/menit
• S: 37,30
C
• RR: 24x/menit
• Mata injeksi
konjungtiva -/-,
sekret -/-
• Hidung sekret -/-
• Paru SN
vesicular +/+, rh
+/+, wh -/-
• Kulit
maculopapular
rash dan
hiperpigmentasi
Morbili stadium
konvalesensi
dengan infeksi
sekunder
bronkopneumonia
• Cairan
intravena RL
20 tpm makro
• Parasetamol
250 mg k/p
• Ceftriaxone
2x1 mg IV
• Dexamethaso
ne 3x2,5 mg
IV
• Cendo xytrol
2 dd I gtt
ODS
• Inhalasi/8 jam
7/12/2013
Perawatan
hari VII
• Demam (-)
• Batuk (+),
dahak (-)
• Pilek (-)
• TD: 110/80
mmHg
• N: 107x/menit
• S: 36,90
C
Morbili stadium
konvalesensi
dengan infeksi
sekunder
• Cairan
intravena RL
20 tpm makro
• Parasetamol
19
• Mulut kering
(-)
• Bintik merah
menghitam
lengkap
sampai
ekstremitas
dan kulit
bersisik
• RR: 24x/menit
• Mata injeksi
konjungtiva -/-,
sekret -/-
• Hidung sekret -/-
• Paru SN
vesicular +/+, rh
-/-, wh -/-
• Kulit
Hiperpigmentasi
bronkopneumonia 250 mg k/p
• Ceftriaxone
2x1 mg IV
• Dexamethaso
ne 3x2,5 mg
IV
• Cendo xytrol
2 dd I gtt
ODS
• Inhalasi/8 jam
20
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada pasien ini diagnosis morbili dengan infeksi sekunder bronkopneumonia
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis pasien anak berusia 9 tahun datang dengan keluhan demam sejak 4 hari SMRS,
demam terjadi mendadak, terus menerus sepanjang hari, dan hanya turun ketika diberi
obat penurun panas. Pasien mengaku batuk dan pilek sejak 3 hari SMRS. Batuk berdahak
tapi dahak tidak bisa dikeluarkan, pilek dengan ingus warna kehijauan. Sejak 2 hari SMRS
mata pasien mulai memerah, berair, dan keluar belek warna putih kekuningan. Dari
riwayat sakit di atas, diagnosis dapat diarahkan ke penyakit morbili. Pada morbili stadium
prodromal didapatkan gambaran klinis demam, dan gejala khas cough, coryza,
conjungtivitis. Pada stadium ini dapat ditemukan gejala patognomonik morbili yaitu
bercak koplik yang merupakan suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir dengan
areola tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Bercak ini ditemukan
pada mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada bagian
lain dari rongga mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan karunkula
lakrimalis. Bercak koplik muncul 1 - 2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang
dengan cepat yaitu sekitar 12-18 jam kemudian. Pasien juga mengeluh nyeri menelan.
Pada akhir masa prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan
timbul keluhan nyeri tenggorokan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran umum
pasien tampak sakit sedang, takikardi, febris. Pada mata terdapat gejala morbili
konjunctivitis, dengan sekret warna putih kekuningan. Kemudian bibir tampak kering,
bibir berdarah (+), faring hiperemis (+) yang bisa terjadi pada morbili stadium prodromal
akhir. Pada kulit wajah, leher, dada, perut, dan ekstremitas terdapat makulopapular rash.
Pemeriksaan laboratorium leukosit 5900/μL, pada infeksi virus leukosit bisa normal atau
turun. hematokrit 37,6%, LED 30 mm/jam, hitung jenis leukosit 0/1/1/25/60/4, GDS 118
mg/dl, CRP kualitatif reaktif.
Pada hari pertama perawatan di RS, demam pasien makin tinggi dan mulai muncul
bintik-bintik merah dari belakang telinga yang kemudian menyebar ke wajah, leher,
21
badan, dan lengkap sampai ke kaki pada perawatan hari ke empat. Keluhan batuk makin
bertambah. Keluhan pasien sesuai dengan stadium erupsi morbili, dimana terdapat
penyebaran ruam yang khas, demam makin tinggi, dan gejala pernafasan bertambah.
Ruam dengan demam ini dapat di diagnosis banding dengan demam berdarah dengue dan
eksanthema subitum. Demam berdarah dengue dapat disingkirkan dari pola demamnya
dimana pola demam seperti pelana kuda. Pada hari ke 3-5 suhu turun yang menjadi tanda
awal penyembuhan pada infeksi ringan atau tanda awal syok pada DBD berat. Ruam pada
DBD penyebaran tidak khas. Pada eksanthema subitum ruam muncul setelah demam reda.
Pada rubella, ruam berwarna merah muda dan timbul lebih cepat dari campak. Gejala yang
timbul tidak seberat campak.
Pada perawatan hari ke lima bintik-bintik merah mulai menghitam mulai dari
belakang telinga, makin lama kulit seperti bersisik. Selain itu demam berangsur-angsur
turun dan kemudian menghilang. Pada morbili, stadium terakhir adalah stadium
konvalesensi dimana terdapat tanda patognomonik yaitu hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi
akan menghilang dalam waktu 1-2 minggu. Pada stadium ini demam akan menghilang.
Pada eksantema subitum, rubella, dan demam dengue, ruam akan menghilang tanpa ada
hiperpigmentasi. Selain itu, pasien mempunyai riwayat kontak dengan penderita morbili,
adik pasien juga mengalami demam dan muncul bintik merah beberapa hari setelah pasien
demam.
Bronkopneumonia timbul akibat infeksi sekunder pada morbili. Diagnosis
bronkopneumonia ditegakkan dari anamnesis pasien mengeluh batuk sampai kadang agak
sesak, demam mendadak, tidak ada penurunan berat badan, riwayat keluarga batuk lama
disangkal, pemeriksaan fisik pernafasan 30 kali per menit, paru suara nafas vesicular +/+,
rhonki +/+, wheezing -/-. Pada foto rontgent didapatkan gambaran infiltrat di parakardial
yang menunjukkan bronkopneumonia duplex. Bronkopneumonia pada morbili dapat
terjadi karena invasi langsung virus campak maupun infeksi sekunder oleh bakteri
(Pneumococcus, Streptococcus, Staphylococcus, dan Haemophyllus influenza).
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
22
A. Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut
dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam
tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak
dan sistem saraf pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi
hampir seluruh organ tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot,
usus, kulit, disebut TB milier atau TB ekstrapulmoner.1
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak
< 15 tahun. Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang
signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test
tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup
droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler
pada jaringan paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa
normal atau hanya terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan
limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang
dikatakan sakit TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh
gambaran kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita
tuberkulosis.1,4
TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika
penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau
basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah
kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat
menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari
populasi dunia sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB
belum tentu menjadi sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama
bertahun-tahun dengan membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila
sistem kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih
besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap
dan teratur.2
23
B. Epidemiologi
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga
penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka
tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan
masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju.
Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan
kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju.3
Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993)
didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per
tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada anak berusia
<15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih
rendah yaitu 5-7%.2
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia
adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per
tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia
selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia terbanyak
adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.3
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi
TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB
positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tempat
penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak
terdapat pasien TB dewasa aktif.3
Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Faktor risiko yang
dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB adalah usia, infeksi baru
yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1
tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal
kronik.2
C. Etiologi
24
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang
merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang
paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M.
Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling
penting dari penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu
varian humanus, bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi
manusia M. Tuberkulosis varian humanus.5
M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul,
nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki ukuran
panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh
optimal pada suhu 37-410
C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak
secara optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru.
Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari
antibodi dan komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%),
peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga
disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena
ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil
antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl
methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di
udara yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan
dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.1
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam
sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman
ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi
mengandung oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru
karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya.4
M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan
glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu
generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid
membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan
tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam
25
1- 3 minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji
sensitivitas terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.5
D. Patogenesis
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak
dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB
membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan
di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer.3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung
selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6
Pada saat terbentuknya kompleks
primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer,
imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa
inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma.
26
Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan
segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus
primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus
akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat
menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit
pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.6
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk
ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.3
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai
berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
27
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya,
kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari
dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.2
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama)
biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.
Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam
fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak
tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.6
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB
pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem
skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun,
tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-
25 tahun setelah infeksi primer.2
28
Gambar. Patogenesis tuberkulosis3
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,
sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB
di berbagai organ.3
Gambar. Kalender perjalanan penyakit TB primer3
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya
positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya
infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan
kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi
kapan saja pada tahap ini.2
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6
bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura
terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi
pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis
ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar
manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama,
dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.3
29
E. Manifestasi klinis
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi
dan bergantung pada faktor kuman TB, pejamu serta interaksi diantara keduanya. Faktor
kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor pejamu
bergantung pada usia dan kompetensi imun serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya
infeksi.2
Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan
gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok
dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent disease.3
Manifestasi sistemik
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik
yang dapat dialami anak yaitu:3
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat
disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada
pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak
bukan merupakan gejala utama.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Manifestasi Spesifik Paru
• TB Asimptomatis
30
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang diasosiasikan
dengan hipersensitivitas tuberkulin dan tes tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan
manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe di rongga dada,
walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang, demam subfebris ditemukan
pada onset penyakit. Apabila anak berkontak dengan individu dengan TB menular dimana
tes tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah
rontgen foto thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.4
• TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan
limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis yang
relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara
predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai
paling terafeksi.4
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan terlihat
jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe
membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut
kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan
oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi
bersamaan.3
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan diameter
saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk
non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan
tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.6
• TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer. Kompleks
primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan
stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent
membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB,
merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M.
tuberkulosis kepada individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke
lobus lain dan ke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah
31
bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang sampai berat, keringat malam,
dullness pada perkusi, rales, dan penurunan bunyi nafas.4
• TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat jarang
ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak yang
mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak dengan
diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja
berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran
infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami
demam, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif,
nyeri dada dan hemoptisis.3
• Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau digeneralisir,
unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun
dan hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy
berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak
nafas, perkusi dullness dan penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat
dapat berlangsung beberapa minggu.7,8
F. Diagnosis
Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan
diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda
klinis yang dijumpai.9,10
32
Catatan:
• Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.
• Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.
33
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas - Laporan
keluarga (BTA
negatif atau
tidak jelas)
BTA(+)
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10 mm
atau ≥ 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan /
Status Gizi
- BB/TB < 90%
atau
BB/U < 80%
Klinis gizi
buruk
atau BB/TB <
70%
atau BB/U <
60%
-
Demam tanpa
sebab yang jelas
- ≥ 2 minggu - -
Batuk - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran
kelenjar koli,
aksila, inguinal
- ≥ 1 cm, jumlah
> 1, tidak nyeri
- -
Pembengkakan
tulang / sendi
panggul, lutut,
falang
- Ada
pembengkakan
- -
Foto Thorak Normal/kelainan
tidak jelas
Gambaran
sugestif TB
- -
• Berat badan dinilai saat datang.
• Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
• Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat;
atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena
diperlakukan secara khusus.
• Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka
sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
• Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari)
harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat
diagnostik.
• Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13).
• Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan
kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat
inap di RS.
34
Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis11
Pemeriksaan penunjang
• Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik
yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB,
maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux
dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar
lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran
dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya
dilaporkan sebagai negatif.2,5
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan
positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh
infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M.
35
atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan
uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih
mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat
mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji
tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan
imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil
positif yang digunakan 5mm.2,5
• Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,
diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi
dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian
di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan antara
infeksi TB dan sakit TB.5
• Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis
pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
- Konsolidasi segmental/lobar
- Milier
- Kalsifikasi dengan infiltrat
- Atelektasis
- Kavitas
- Efusi pleura
36
- Tuberkuloma
• Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot,
Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum
ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit
TB.5
• Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik
apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis
dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung
didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan
positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih
digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis
rutin.2,5
• Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,
terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut
mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma.
Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.2
G. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan
obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat
37
lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin
terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin,
gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika
terjadi MDR.5
• Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat
efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang
diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh
jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan
memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,5
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup
100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan
penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai
dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme
melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang
dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa.
Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,3
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis
perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan
frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang
menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak
terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat.
Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang
menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan,
kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.2
• Rifampisin
38
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat
ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis
maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan
dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10
mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.3
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,
menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya
ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin
diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil
dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.
Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi
oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,
siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin.
Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga
kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat
dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum
bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.2,5
• Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan
tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik
pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam.
Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada
saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak.
Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan
pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat
39
hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek
samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi
hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500
mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.2,3
• Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan
dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini
dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-
20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg
dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan
dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada
keadaan meningitis.5
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol
tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-
hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa
tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB
anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat
jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.2,3
• Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler
pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman
intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi
penggunaannya penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-
TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari,
maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam.5
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan
40
cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan
pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.2,5
Tabel. Obat Anti Tuberkulosis dan Dosisnya2,5
Nama Obat Dosis harian
(mg/kgBB/hari
)
Dosis
maksimal
(mg/hari)
Efek Samping
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik
melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan
sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase
intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).
Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan
ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT
41
diberikan pada anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika
obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus
TB pada anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif
diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya
diberikan rifampisin dan isoniazid.2,3
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier,
meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal
empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin).
Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB
tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4
mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4
minggu.3,5
Tabel. Paduan Obat Antituberkulosis2,5
2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Prednison
Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2
bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak
jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting
adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang
42
sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya
demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan
baik, maka pengobatan dilanjutkan.3,5
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,
kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura
atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang
setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB
pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat
digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.5
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak
terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut
mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,
mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana
kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru
anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT,
keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi
asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan
dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan
secara rutin.5,6
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi
persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan
mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari
6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak
berbeda bermakna dengan pengobatan 6 bulan5
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering
terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu
diperhatikan adalah hepatotoksisitas.2,5
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi
10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam
kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic
Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5
43
kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan
bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai
beberapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.1,3
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.
Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi.
Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu
tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan
peningkatan ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala
memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan
tetapi mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya
penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin
cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan
pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.1,5
Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas
normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim
transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali
apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara
memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan
harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas
dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung
secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.5
• Putus obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2
minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat
pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat
telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.2
• Multi Drug Resistance (MDR) TB
Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua
atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan
adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan.
Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa
44
dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat
tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang
tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.9
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat
tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui
bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB
akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang
resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar,
prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu
dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka
prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja.2
Nonmedikamentosa
• Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat
sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam
menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya
resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan
pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly
observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh
WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan
angka kesembuhan yang tinggi.2
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai
berikut :2,12
- Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.
- Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
- Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung
oleh pengawas minum obat (PMO).
- Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
- Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB.
45
• Sumber penularan dan case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber
infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji
tuberkulin.2
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau
yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal).
Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang yaitu uji tuberkulin.3,5
• Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB
memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka
biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik,
meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi
yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal.
Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien
TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada
orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB
berat.3,5
• Pencegahan
• Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan.
Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di
daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh
tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan
46
pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens
TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan,
pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis
TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier,
meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat
dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di
beberapa negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk
Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek
samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif)
dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi
imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh.
Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan optimal.5
• Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi
menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10
mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak
dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji
tuberkulin negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin
ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA
sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif,
evaluasi status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah
dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi
lebih lanjut.2,3
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum
sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak
semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
47
kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada
keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia
balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama
(sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin
dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis
sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB,
tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.3,5
H. Komplikasi dan Prognosis
• Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran
ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua
yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan
pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.13,14
• Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi
ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada
pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang
berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi
multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena
para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien
dalam menjalanin pengobatan. 14
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama
isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi
OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.12,14
48
DAFTAR PUSTAKA
49

More Related Content

What's hot (16)

237768769 case
237768769 case237768769 case
237768769 case
 
127608810 case-tb
127608810 case-tb127608810 case-tb
127608810 case-tb
 
Program ispa di puskesmas
Program ispa di puskesmasProgram ispa di puskesmas
Program ispa di puskesmas
 
Rumah subkelompok b
Rumah subkelompok bRumah subkelompok b
Rumah subkelompok b
 
Blok 18
Blok 18Blok 18
Blok 18
 
Asuhan keperawtan keluarga
Asuhan keperawtan keluarga Asuhan keperawtan keluarga
Asuhan keperawtan keluarga
 
118552056 case-sn-resti
118552056 case-sn-resti118552056 case-sn-resti
118552056 case-sn-resti
 
preskripsi ispa
preskripsi ispapreskripsi ispa
preskripsi ispa
 
Askep hematuri
Askep hematuriAskep hematuri
Askep hematuri
 
Tbc pada anak
Tbc pada anak Tbc pada anak
Tbc pada anak
 
Pneumonia
PneumoniaPneumonia
Pneumonia
 
Lk
LkLk
Lk
 
Lapsus tbc rossy
Lapsus tbc rossyLapsus tbc rossy
Lapsus tbc rossy
 
Tugas konsep kebidanan 1
Tugas konsep kebidanan 1Tugas konsep kebidanan 1
Tugas konsep kebidanan 1
 
Bronkopneumonia
BronkopneumoniaBronkopneumonia
Bronkopneumonia
 
Bab 4
Bab 4Bab 4
Bab 4
 

Similar to 194370103 case-tb-anak-neno

172428176 kejang-demam-case-surjo
172428176 kejang-demam-case-surjo172428176 kejang-demam-case-surjo
172428176 kejang-demam-case-surjohomeworkping8
 
Presentasi kasus nefrologi
Presentasi kasus nefrologiPresentasi kasus nefrologi
Presentasi kasus nefrologivyamignonette
 
Persalinan Sungsang (Pembimbing : dr. Arie Widiyasa, spOg)
Persalinan Sungsang (Pembimbing : dr. Arie Widiyasa, spOg)Persalinan Sungsang (Pembimbing : dr. Arie Widiyasa, spOg)
Persalinan Sungsang (Pembimbing : dr. Arie Widiyasa, spOg)Adeline Dlin
 
177141336 case-status-asmatikus
177141336 case-status-asmatikus177141336 case-status-asmatikus
177141336 case-status-asmatikushomeworkping9
 
PPT LAPSUS LAPKAS TB DENGAN DM ISHIP PKC CAKUNG 1.pptx
PPT LAPSUS LAPKAS TB DENGAN DM ISHIP PKC CAKUNG 1.pptxPPT LAPSUS LAPKAS TB DENGAN DM ISHIP PKC CAKUNG 1.pptx
PPT LAPSUS LAPKAS TB DENGAN DM ISHIP PKC CAKUNG 1.pptxDivia Oktari Khairunnisa
 
Lapkas ISIP - Ensefalopati Dengue - Maria Gabriella Ananta.pdf
Lapkas ISIP - Ensefalopati Dengue - Maria Gabriella Ananta.pdfLapkas ISIP - Ensefalopati Dengue - Maria Gabriella Ananta.pdf
Lapkas ISIP - Ensefalopati Dengue - Maria Gabriella Ananta.pdfgabriella946536
 
CASE REPORT engla.pptx
CASE REPORT engla.pptxCASE REPORT engla.pptx
CASE REPORT engla.pptxssuser33348c
 
Buku panduan Kader TB Paru
Buku panduan Kader TB ParuBuku panduan Kader TB Paru
Buku panduan Kader TB Paruhanglaho
 
Askeb_kebidanan_pada_balita.docx
Askeb_kebidanan_pada_balita.docxAskeb_kebidanan_pada_balita.docx
Askeb_kebidanan_pada_balita.docxFebySischa
 
TUBERKULOSIS PARU - DIANA FADHILAH SARI 2110221100.pptx
TUBERKULOSIS PARU - DIANA FADHILAH SARI 2110221100.pptxTUBERKULOSIS PARU - DIANA FADHILAH SARI 2110221100.pptx
TUBERKULOSIS PARU - DIANA FADHILAH SARI 2110221100.pptxDianaFadhilahSari2
 
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Operator Warnet Vast Raha
 
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Operator Warnet Vast Raha
 
220920557 case-anak-ii
220920557 case-anak-ii220920557 case-anak-ii
220920557 case-anak-iihomeworkping9
 
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptCase Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptSyscha Lumempouw
 

Similar to 194370103 case-tb-anak-neno (20)

237346908 case
237346908 case237346908 case
237346908 case
 
172428176 kejang-demam-case-surjo
172428176 kejang-demam-case-surjo172428176 kejang-demam-case-surjo
172428176 kejang-demam-case-surjo
 
Presentasi kasus nefrologi
Presentasi kasus nefrologiPresentasi kasus nefrologi
Presentasi kasus nefrologi
 
Persalinan Sungsang (Pembimbing : dr. Arie Widiyasa, spOg)
Persalinan Sungsang (Pembimbing : dr. Arie Widiyasa, spOg)Persalinan Sungsang (Pembimbing : dr. Arie Widiyasa, spOg)
Persalinan Sungsang (Pembimbing : dr. Arie Widiyasa, spOg)
 
208548844 case-fix
208548844 case-fix208548844 case-fix
208548844 case-fix
 
177141336 case-status-asmatikus
177141336 case-status-asmatikus177141336 case-status-asmatikus
177141336 case-status-asmatikus
 
PPT LAPSUS LAPKAS TB DENGAN DM ISHIP PKC CAKUNG 1.pptx
PPT LAPSUS LAPKAS TB DENGAN DM ISHIP PKC CAKUNG 1.pptxPPT LAPSUS LAPKAS TB DENGAN DM ISHIP PKC CAKUNG 1.pptx
PPT LAPSUS LAPKAS TB DENGAN DM ISHIP PKC CAKUNG 1.pptx
 
111693541 askeb-bbl-asfiksia-dengan-ibu-tbc
111693541 askeb-bbl-asfiksia-dengan-ibu-tbc111693541 askeb-bbl-asfiksia-dengan-ibu-tbc
111693541 askeb-bbl-asfiksia-dengan-ibu-tbc
 
REFKAS (2).docx
REFKAS (2).docxREFKAS (2).docx
REFKAS (2).docx
 
Lapkas ISIP - Ensefalopati Dengue - Maria Gabriella Ananta.pdf
Lapkas ISIP - Ensefalopati Dengue - Maria Gabriella Ananta.pdfLapkas ISIP - Ensefalopati Dengue - Maria Gabriella Ananta.pdf
Lapkas ISIP - Ensefalopati Dengue - Maria Gabriella Ananta.pdf
 
3.1. pengkajian
3.1. pengkajian3.1. pengkajian
3.1. pengkajian
 
CASE REPORT engla.pptx
CASE REPORT engla.pptxCASE REPORT engla.pptx
CASE REPORT engla.pptx
 
Buku panduan Kader TB Paru
Buku panduan Kader TB ParuBuku panduan Kader TB Paru
Buku panduan Kader TB Paru
 
Askeb_kebidanan_pada_balita.docx
Askeb_kebidanan_pada_balita.docxAskeb_kebidanan_pada_balita.docx
Askeb_kebidanan_pada_balita.docx
 
TUBERKULOSIS PARU - DIANA FADHILAH SARI 2110221100.pptx
TUBERKULOSIS PARU - DIANA FADHILAH SARI 2110221100.pptxTUBERKULOSIS PARU - DIANA FADHILAH SARI 2110221100.pptx
TUBERKULOSIS PARU - DIANA FADHILAH SARI 2110221100.pptx
 
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
 
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Klompk anc 2013 AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
 
220920557 case-anak-ii
220920557 case-anak-ii220920557 case-anak-ii
220920557 case-anak-ii
 
Ppt case bp david
Ppt case bp davidPpt case bp david
Ppt case bp david
 
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptCase Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
 

More from homeworkping3

238304497 case-digest
238304497 case-digest238304497 case-digest
238304497 case-digesthomeworkping3
 
238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2homeworkping3
 
238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeeding238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeedinghomeworkping3
 
238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elx238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elxhomeworkping3
 
238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-set238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-sethomeworkping3
 
238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-full238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-fullhomeworkping3
 
238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-water238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-waterhomeworkping3
 
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadingshomeworkping3
 
237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7homeworkping3
 
237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-case237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-casehomeworkping3
 
237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studies237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studieshomeworkping3
 
237754196 case-study
237754196 case-study237754196 case-study
237754196 case-studyhomeworkping3
 
237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnover237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnoverhomeworkping3
 
237712710 case-study
237712710 case-study237712710 case-study
237712710 case-studyhomeworkping3
 
237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6homeworkping3
 
237622675 case-intoksikasi-aseton-docx
237622675 case-intoksikasi-aseton-docx237622675 case-intoksikasi-aseton-docx
237622675 case-intoksikasi-aseton-docxhomeworkping3
 

More from homeworkping3 (20)

238304497 case-digest
238304497 case-digest238304497 case-digest
238304497 case-digest
 
238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2
 
238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeeding238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeeding
 
238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elx238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elx
 
238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-set238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-set
 
238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-full238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-full
 
238057402 forestry
238057402 forestry238057402 forestry
238057402 forestry
 
238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-water238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-water
 
238056086 t6-g6
238056086 t6-g6238056086 t6-g6
238056086 t6-g6
 
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
 
237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7
 
237968686 evs-1
237968686 evs-1237968686 evs-1
237968686 evs-1
 
237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-case237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-case
 
237922817 city-cell
237922817 city-cell237922817 city-cell
237922817 city-cell
 
237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studies237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studies
 
237754196 case-study
237754196 case-study237754196 case-study
237754196 case-study
 
237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnover237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnover
 
237712710 case-study
237712710 case-study237712710 case-study
237712710 case-study
 
237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6
 
237622675 case-intoksikasi-aseton-docx
237622675 case-intoksikasi-aseton-docx237622675 case-intoksikasi-aseton-docx
237622675 case-intoksikasi-aseton-docx
 

Recently uploaded

MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 5.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 5.pdfMODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 5.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 5.pdfAndiCoc
 
Aksi Nyata Cegah Perundungan Mulai dari Kelas [Guru].pptx
Aksi Nyata Cegah Perundungan Mulai dari Kelas [Guru].pptxAksi Nyata Cegah Perundungan Mulai dari Kelas [Guru].pptx
Aksi Nyata Cegah Perundungan Mulai dari Kelas [Guru].pptxAgusSuarno2
 
E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)
E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)
E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)Ammar Ahmad
 
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaanprinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaanaji guru
 
Power point materi IPA pada materi unsur
Power point materi IPA pada materi unsurPower point materi IPA pada materi unsur
Power point materi IPA pada materi unsurDoddiKELAS7A
 
Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerak
Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerakAksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerak
Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerakDianPermana63
 
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdfMODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdfAndiCoc
 
Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitik
Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitikObat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitik
Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitikNegustinNegustin
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptxperwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptxMas PauLs
 
Materi Kimfar Asam,Basa,Buffer dan Garam
Materi Kimfar Asam,Basa,Buffer dan GaramMateri Kimfar Asam,Basa,Buffer dan Garam
Materi Kimfar Asam,Basa,Buffer dan GaramTitaniaUtami
 
Materi: Mengapa tidak memanfaatkan Media ?
Materi: Mengapa tidak memanfaatkan Media ?Materi: Mengapa tidak memanfaatkan Media ?
Materi: Mengapa tidak memanfaatkan Media ?AdePutraTunggali
 
Mekanisme Mendengar Pada Manusia dan Hewan.pptx
Mekanisme Mendengar Pada Manusia dan Hewan.pptxMekanisme Mendengar Pada Manusia dan Hewan.pptx
Mekanisme Mendengar Pada Manusia dan Hewan.pptxEkoPoerwantoe2
 
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdfUAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdfssuser29a952
 
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI RUPA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
MATERI Projek Kreatif Kewirausahaan kelas XI SMK.pptx
MATERI Projek Kreatif Kewirausahaan kelas XI SMK.pptxMATERI Projek Kreatif Kewirausahaan kelas XI SMK.pptx
MATERI Projek Kreatif Kewirausahaan kelas XI SMK.pptxrandikaakbar11
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI RUPA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI TARI KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 

Recently uploaded (20)

MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 5.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 5.pdfMODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 5.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 5.pdf
 
Aksi Nyata Cegah Perundungan Mulai dari Kelas [Guru].pptx
Aksi Nyata Cegah Perundungan Mulai dari Kelas [Guru].pptxAksi Nyata Cegah Perundungan Mulai dari Kelas [Guru].pptx
Aksi Nyata Cegah Perundungan Mulai dari Kelas [Guru].pptx
 
E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)
E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)
E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)
 
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaanprinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
 
Power point materi IPA pada materi unsur
Power point materi IPA pada materi unsurPower point materi IPA pada materi unsur
Power point materi IPA pada materi unsur
 
Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerak
Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerakAksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerak
Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerak
 
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdfMODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdf
 
Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitik
Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitikObat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitik
Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitik
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptxperwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
 
Materi Kimfar Asam,Basa,Buffer dan Garam
Materi Kimfar Asam,Basa,Buffer dan GaramMateri Kimfar Asam,Basa,Buffer dan Garam
Materi Kimfar Asam,Basa,Buffer dan Garam
 
Materi: Mengapa tidak memanfaatkan Media ?
Materi: Mengapa tidak memanfaatkan Media ?Materi: Mengapa tidak memanfaatkan Media ?
Materi: Mengapa tidak memanfaatkan Media ?
 
Mekanisme Mendengar Pada Manusia dan Hewan.pptx
Mekanisme Mendengar Pada Manusia dan Hewan.pptxMekanisme Mendengar Pada Manusia dan Hewan.pptx
Mekanisme Mendengar Pada Manusia dan Hewan.pptx
 
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdfUAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
 
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI RUPA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MATERI Projek Kreatif Kewirausahaan kelas XI SMK.pptx
MATERI Projek Kreatif Kewirausahaan kelas XI SMK.pptxMATERI Projek Kreatif Kewirausahaan kelas XI SMK.pptx
MATERI Projek Kreatif Kewirausahaan kelas XI SMK.pptx
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI RUPA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI TARI KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 

194370103 case-tb-anak-neno

  • 1. Get Homework/Assignment Done Homeworkping.com Homework Help https://www.homeworkping.com/ Research Paper help https://www.homeworkping.com/ Online Tutoring https://www.homeworkping.com/ click here for freelancing tutoring sites LAPORAN KASUS DIARE KRONIK ET CAUSA TUBERKULOSIS PARU Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi
  • 2. Pembimbing : dr. Rivai Usman, Sp.A Penyusun : Anindya Dinovita (030.07.021) KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 4 NOVEMBER 2013 – 11 JANUARI 2013 HALAMAN PENGESAHAN Telah diterima dan disetujui "Laporan Kasus Diare Kronik et causa Tuberkulosis Paru" sebagai salah satu syarat guna mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi periode 4 November 2013 - 11 Januari 2013. 2
  • 3. Bekasi, Desember 2013 Pembimbing, dr. Rivai Usman, Sp.A KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat petunjuk, karunia, dan rahmat-Nya sehingga tugas laporan kasus yang berjudul “Diare Kronik et causa Tuberkulosis Paru” ini dapat terselesaikan. Penulisan laporan kasus ini dibuat guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi. Penulis berharap pembuatan laporan kasus ini berfungsi sebagai apa yang telah disebut di atas. Dalam penulisan laporan kasus akan sulit 3
  • 4. terselesaikan tanpa dukungan berbagai pihak. Untuk itu dengan segenap ketulusan hati, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada : 1. dr. Rivai Usman, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan tugas laporan kasus ini. 2. Kedua orang tua dan keluarga yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan moril dan materiil selama mengikuti Kepaniteraan Klinik. 3. Teman-teman yang mengikuti kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi atas dukungan dan bantuan dalam penyusunan tugas laporan kasus ini. Semoga semua pihak yang telah disebutkan tadi mendapat anugerah yang berlimpah dari ALLAH SWT atas segala kebaikan yang diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa hasil laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun serta bermanfaat untuk perkembangan ilmu kesehatan anak. Bekasi, Desember 2013 Penulis BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan 4
  • 5. yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.1,2 Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.3 Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang diperhatikan.2 BAB II LAPORAN KASUS I. Identitas Pasien dan Orangtua Data Pasien Ayah Ibu Nama An. NAN Tn. H Ny. R Umur 1 tahun 6 bulan 38 tahun 22 tahun Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan Alamat Jl. Banteng RT 02/15, Kranji, Bekasi Barat 5
  • 6. Agama Islam Islam Islam Suku bangsa - Jawa Jawa Pendidikan - SMA SMP Pekerjaan - Supir Truk IRT Keterangan Hubungan dengan orang tua : Anak kandung Ayah kandung Ibu kandung II. Anamnesis Dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien pada hari Selasa, 17 Desember 2013 pukul 12.00 WIB di Ruang Melati. Keluhan Utama : Os datang ke Poliklinik RSUD Kota Bekasi dengan keluhan mencret sejak 3 mingguSMRS. Keluhan Tambahan : Demam sumeng-sumeng, batuk Riwayat Penyakit Sekarang : Anak NAN usia 1 tahun 6 bulan datang ke Poliklinik RSUD Kota Bekasi dengan keluhan mencret sejak 3 minggu SMRS. BAB konsistensi cair berampas, warna kuning kecoklatan, tidak ada darah maupun lendir. bau tidak khas, 4-6 kali perhari, sebanyak seperempat gelas aqua setiap kalinya. Pasien juga mengeluh demam sumeng-sumeng sejak 3 minggu SMRS, terus menerus sepanjang hari. Dua minggu SMRS, pasien sudah pernah berobat ke puskesmas, keluhan berkurang saat pengobatan tapi kambuh kembali. Gangguan BAK, mual, muntah disangkal. Ibu pasien mengaku bahwa pasien juga mengalami batuk tapi jarang, keluhan pilek disangkal. Sejak 3 bulan terakhir berat badan pasien tidak naik dan malah turun. Nafsu makan pasien juga menurun. Tetangga pasien yang sering kontak dengan pasien didiagnosis TB paru 2 bulan yang lalu dengan hasil tes dahak positif. Riwayat Penyakit Dahulu : Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur Alergi - Difteria - Jantung - Cacingan - Diare - Ginjal - DBD - Kejang - Darah - Thypoid - Maag - Radang paru - 6
  • 7. Otitis - Varicela - Tuberkulosis - Parotis - Operasi - Morbili - Kesan : Os belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada yang menderita sakit seperti ini di keluarga. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran : KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan Perawatan antenatal Setiap bulan periksa ke bidan KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah bidan Penolong persalinan Bidan Cara persalinan Spontan Masa gestasi ± 37 minggu Keadaan bayi Berat lahir 2600 g Panjang badan 48 cm Lingkar kepala tidak ingat Langsung menangis Nilai apgar tidak tahu Tidak ada kelainan bawaan Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan : Pertumbuhan gigi I : 8 bulan (normal: 5-9 bulan) Psikomotor Mengangkat kepala : 2 bulan (normal: 1-3 bulan) Tengkurap : 4 bulan (normal: 2-5 bulan) Duduk : 7 bulan (normal: 6 bulan) Berdiri : 10 bulan (normal: 9-12 bulan) Berjalan : 14 bulan (normal: 13 bulan) Bicara : 10 bulan (normal: 9-12 bulan) Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai usia. Riwayat Makanan : Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim 7
  • 8. 0-2 ASI - - - 2-4 ASI - - - 4-6 ASI - - - 6-8 ASI + Susu formula Buah + biskuit Bubur susu Nasi tim 8-10 ASI + Susu formula Buah + biskuit Bubur susu Nasi tim Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik Riwayat Imunisasi : Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur) BCG 2 bulan x x DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan CAMPAK 9 bulan x x HEPATITIS B Setelah lahir 1 bulan 6 bulan Kesan : Imunisasi dasar lengkap Riwayat Keluarga : Data Ayah Ibu Nama Tn. R Ny. RS Perkawinan ke Pertama Pertama Umur 30 28 Keadaan kesehatan Baik Baik Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik Riwayat Perumahan dan Sanitasi : Tinggal di rumah sendiri. Terdapat tiga kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air minum dan air mandi berasal dari air tanah. Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik III. Pemeriksaan fisik • Keadaan umum : Tampak sakit sedang • Tanda Vital - Kesadaran : compos mentis - Frekuensi nadi : 120x/menit - Tekanan darah : Tidak dihitung 8
  • 9. - Frekuensi pernapasan : 28x/menit - Suhu tubuh : 37,8˚C • Data antropometri - Berat badan : 7 kg - Panjang badan : 82 cm - Status gizi menurut WHO : o BB/U < -3 SD = gizi buruk o TB/U < 2 SD s/d > 0 SD = gizi baik o BB/TB < -3 SD = gizi buruk o Kesan = gizi buruk - Lingkar kepala : 45 cm - Lingkar dada : 47 cm - Lingkar lengan atas : 21 cm • Kepala - Bentuk : Normocephali - Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi baik - Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+, lakrimasi +/+, injeksi konjungtiva +/+, sekret +/+ warna putih kekuningan - Telinga : Normotia, serumen -/- - Hidung : Septum deviasi (-), sekret +/+ warna kehijauan, nafas cuping hidung -/- - Mulut : Bibir tampak kering (+), bibir berdarah (+), faring hiperemis (+), koplik’s spot (-), tonsil T2/T2, kripta -/-, detritus -/- - Wajah : Makulopapular rash (+) • Leher : KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar, makulopapular rash (+) • Thorax 9
  • 10. Paru-paru - Inspeksi : pergerakan napas statis dan dinamis, makulopapular rash (+) - Palpasi : vocal fremitus sama pada kedua paru - Perkusi : sonor pada kedua paru - Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi basah halus +/+, wheezing -/- Jantung - Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis - Palpasi : Teraba iktus cordis pada ICS V, 1 cm medial linea midklavikula kiri - Perkusi Batas kanan : Sela iga V linea parasternalis kanan. Batas kiri : Sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri. Batas atas : Sela iga II linea parasternal kiri. - Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, gallop (-), murmur (-) • Abdomen - Inspeksi : Perut datar, makulopapular rash (+) - Auskultasi : Bising usus (+) - Palpasi: Supel, turgor kulit baik, hepar dan lien tidak teraba membesar - Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen • Kulit : Ikterik (-), petechie (-), makulopapular rash (+) • Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-), edema (-), CRT < 2 IV. Pemeriksaan Neurologis 1. Tanda Rangsang Selaput Otak Kaku kuduk : - Brudzinski I : - 10
  • 11. Lasegue : >70˚/>70˚ Kernig : >135˚/>135˚ Brudzinski II : -/- 2. Nervus Kranialis N. I : Tidak valid dinilai N. II Acies visus : Tidak dilakukan Visus campus : Tidak dilakukan Lihat warna : Tidak dilakukan Funduskopi : Tidak dilakukan N. III, N. IV, dan N. VI Kedudukan bola mata : Ortoposisi +/+ Gerak bola mata : Kesan baik ke segala arah +/+ (nasal, temporal, superior, inferior, nasal atas, nasal bawah, temporal atas, temporal bawah) Exophtalmus : -/- Nystagmus : -/- Pupil Bentuk : Bulat, isokor Ø 3mm/3mm Reflex cahaya langsung : +/+ Reflex cahaya tidak langsung : +/+ N. V Cabang motorik : Baik/baik Cabang sensorik Ophtalmikus : Tidak valid dinilai Maksilaris : Tidak valid dinilai Mandibularis : Tidak valid dinilai N. VII Motorik orbitofrontalis : Simetris Motorik orbikularis okuli : Baik/baik Lipatan nasolabial : Baik/baik Pengecapan lidah : Tidak dilakukan N. VIII 11
  • 12. Nistagmus : Tidak dilakukan Koklearis : Tuli konduktif : Tidak dilakukan Tuli perseptif : Tidak dilakukan Tinnitus : Tidak dilakukan N. IX dan N. X Arkus faring simetris, uvula ditengah N. XI Mengangkat bahu : Tidak dilakukan Menoleh : Baik/baik N. XII Pergerakkan lidah : Simetris, tidak ada deviasi Atrofi : - Fasikulasi : - Tremor : - a. Sistem Motorik Ekstremitas atas proksimal-distal : Bergerak aktif Ekstremitas bawah proksimal-distal : Bergerak aktif b. Gerakan Involunter Tremor : -/- Chorea : -/- Atetose : -/- : -/- c. Trofik : Eutrofi +/+ d. Tonus : Normotonus +/+ e. Sistem Sensorik Propioseptif : Tidak dapat dinilai Eksterioseptif : Tidak dapat dinilai f. Fungsi Serebelar Ataxia : Tidak dilakukan Tes Romberg : Tidak dilakukan Disdiadokokinesia : Tidak dilakukan Jari-jari : Tidak dilakukan 12
  • 13. Jari-hidung : Tidak dilakukan Tumit-lutut : Tidak dilakukan Rebound phenomenon : Tidak dilakukan g. Fungsi Luhur Astereognosia : Tidak dilakukan Apraxia : Tidak dilakukan Afasia : Tidak dapat dinilai h. Fungsi Otonom Miksi : Baik Defekasi : Baik Sekresi keringat : Baik i. Refleks V. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 02/12/2013, pukul 07.00 WIB 13 Pemeriksaan Kanan Kiri Bicep +2 +2 Tricep +2 +2 Patella +2 +2 Achilles +2 +2 Hoffmann-Tromner Tidak dilakukan Tidak dilakukan Babinsky - - Rooting - Grasp -
  • 14. Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal HEMATOLOGI RUTIN Leukosit Eritrosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit LED Hitung Jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit Index Eritrosit MCV MCH MCHC KIMIA DARAH Gula Darah Sewaktu IMUNOSEROLOGI CRP Kualitatif ELEKTROLIT Natrium Kalium Klorida 6,1 ribu/μL 4,61 juta/uL 14 g/dL 39 % 207 ribu/ μL 30 mm/jam 0 1 3 25 60 4 81,5 fL 28,9 pg 35,4 % 118 mg/dL Reaktif 137 mmol/L 4,7 mmol/L 99 mmol/L 5,5-15,5 4-5 10,8-12,8 35-43 229-553 0-10 0-1 1-5 3-6 25-60 25-50 1-6 75-87 24-30 31-37 50-80 Non reaktif 135-155 3,6-5,5 98-109 Tanggal 03/12/2013, pukul 07.00 WIB Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal HEMATOLOGI RUTIN Leukosit Hemoglobin 5,8 ribu/μL 13,3 g/dL 5,5-15,5 10,8-12,8 14
  • 15. Hematokrit Trombosit 37,6 % 201 ribu/ μL 35-43 229-553 Pemeriksaan Foto Rontgent Thoraks PA (2/12/2013) Skeletal normal Cor, sinuses, dan diafragma normal Pulmo : Corakan normal. Tampak infiltrat di parakardial Kesan : Bronkopneumonia duplex VI. Resume Anak APR usia 9 tahun datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan demam sejak 4 hari SMRS, demam terjadi mendadak, terus menerus sepanjang hari, dan hanya turun ketika diberi obat penurun panas. Batuk dan pilek (+) sejak 3 hari SMRS. Sejak 2 hari SMRS mata pasien merah, keluar belek warna putih kekuningan. Nyeri menelan (+). Nafsu makan os berkurang. Mual (+). Pada hari pertama perawatan di RS, demam (+) tinggi dan mulai muncul bintik-bintik merah dari belakang telinga yang kemudian menyebar ke wajah, leher, badan, dan lengkap sampai ke kaki pada perawatan hari ke empat. Pada perawatan hari ke lima bintik-bintik merah mulai menghitam mulai dari 15
  • 16. belakang telinga, makin lama kulit seperti bersisik. Selain itu demam berangsur-angsur turun dan kemudian menghilang. Riwayat kontak dengan penderita campak (+). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran umum pasien tampak sakit sedang, takikardi, febris, mata injeksi konjungtiva +/+, sekret +/+ warna putih kekuningan, bibir tampak kering, bibir berdarah (+), faring hiperemis (+), koplik's spot (-), paru rhonki basah halus +/+, kulit wajah, leher, dada, perut, dan ekstremitas makulopapular rash (+). Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 2 dan 3 Desember 2013, leukosit 6100/μL dan 5800/μL, hemoglobin 14 g/dl dan 13,3 g/dl, hematokrit 39 % dan 37,6%, LED 30 mm/jam, hitung jenis leukosit 0/1/1/25/60/4, GDS 118 mg/dl, CRP kualitatif reaktif. Foto rontgent thoraks PA kesan bronkopneumonia duplex. VII. Diagnosis Kerja • Morbili dengan infeksi sekunder bronkopneumonia VIII. Diagnosis Banding • Morbili o Eksanthema Subitum o Rubella o Demam berdarah dengue • Bronkopneumonia o TB paru IX. Penatalaksanaan Non medikamentosa : 1. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien 2. Rawat inap di ruang isolasi, tirah baring 3. Observasi tanda-tanda vital Medikamentosa : 1. Tatalaksana cairan rumatan Kebutuhan cairan BB 23 kg = 1000 + 500 + 30 = 1530 cc IVFD RL = 1530x20 = 20 tpm makro 16
  • 17. 24x60 2. Vitamin A 1x200.000 IU selama 3 hari 3. Ceftriaxone 2x1 gram IV 4. Parasetamol 250 mg IV k/p 5. Dexamethasone 3x2,5 mg 6. Cendo xytrol 2 dd I gtt ODS 7. Inhalasi/8jam X. Prognosis • Ad vitam : ad bonam • Ad fungsionam : ad bonam • Ad sanationam : dubia ad bonam FOLLOW UP Tanggal Subjective Objective Assesment Planning 2/12/2013 Perawatan hari II • Demam (+) • Batuk (+) bertambah, dahak (+) • Pilek (+) ingus warna kehijauan • Mata merah (+), belek (+) • Mulut kering (+), bibir berdarah mulai mengering • Nyeri menelan (+) • Bintik merah menyebar dari belakang telinga ke wajah, leher, • TD: 100/70 mmHg • N: 115x/menit • S: 390 C • RR: 28x/menit • Mata injeksi konjungtiva +/+, sekret +/+ • Hidung sekret +/ + kehijauan • Mulut faring hiperemis (+) • Paru SN vesicular +/+, rh +/+, wh -/- • Kulit maculopapular rash di belakang telinga, leher, wajah, dada, perut Morbili stadium erupsi dengan infeksi sekunder bronkopneumonia • Cairan intravena RL 20 tpm makro • Vitamin A 1x200.000 IU • Parasetamol 250 mg k/p • Ceftriaxone 2x1 mg IV • Dexamethaso ne 3x2,5 mg IV • Cendo xytrol 2 dd I gtt ODS • Inhalasi/8jam 17
  • 18. badan 3/12/2013 Perawatan hari III • Demam (+) • Batuk (+), dahak (+) • Pilek (+) ingus warna kekuningan • Mata merah <<, belek << berkurang • Mulut kering (+), bibir berdarah mulai mengering • Nyeri menelan (+) • Bintik merah (+) • TD: 110/80 mmHg • N: 115x/menit • S: 38,50 C • RR: 27x/menit • Mata injeksi kojungtiva +/+, sekret +/+ • Hidung sekret +/ + kekuningan • Mulut hiperemis (+) • Paru SN vesicular +/+, rh +/+, wh -/- • Kulit maculopapular rash (+) Morbili stadium erupsi dengan infeksi sekunder bronkopneumonia • Cairan intravena RL 20 tpm makro • Vitamin A 1x200.000 IU • Parasetamol 250 mg k/p • Ceftriaxone 2x1 mg IV • Dexamethaso ne 3x2,5 mg IV • Cendo xytrol 2 dd I gtt ODS • Inhalasi/8 jam 4/12/2013 Perawatan hari IV • Demam (+) • Batuk (+), dahak (+) berkurang • Pilek (+) • Mata merah (-), belek (-) • Mulut kering (+), bibir berdarah (-) • Nyeri menelan << • Bintik merah (+) lengkap sampai ke ekstremitas • TD: 110/80 mmHg • N: 105x/menit • S: 380 C • RR: 25x/menit • Mata injeksi konjungtiva -/-, sekret -/- • Hidung sekret -/- • Paru SN vesicular +/+, rh +/+, wh -/- • Kulit maculopapular rash di belakang telinga, leher, wajah, dada, perut, punggung, ekstremitas Morbili stadium erupsi dengan infeksi sekunder bronkopneumonia • Cairan intravena RL 20 tpm makro • Parasetamol 250 mg k/p • Ceftriaxone 2x1 mg IV • Dexamethaso ne 3x2,5 mg IV • Cendo xytrol 2 dd I gtt ODS • Inhalasi/8 jam 5/12/2013 Perawatan • Demam (+) • Batuk (+) • TD: 110/80 mmHg Morbili stadium konvalesensi • Cairan intravena RL 18
  • 19. hari V >>, dahak (+) berkurang • Pilek (+) • Mata merah (-), belek (-) • Mulut kering (+), bibir berdarah (-) • Nyeri menelan (-) • Bintik merah menghitam mulai dari belakang telinga, leher, dan wajah • N: 105x/menit • S: 37,50 C • RR: 25x/menit • Mata injeksi konjungtiva -/-, sekret -/- • Hidung sekret +/ + • Paru SN vesicular +/+, rh +/+, wh -/- • Kulit hiperpigmentasi di belakang telinga, leher, wajah, dan maculopapular rash di dada, perut, punggung, ekstremitas dengan infeksi sekunder bronkopneumonia 20 tpm makro • Parasetamol 250 mg k/p • Ceftriaxone 2x1 mg IV • Dexamethaso ne 3x2,5 mg IV • Cendo xytrol 2 dd I gtt ODS • Inhalasi/8 jam 6/12/2013 Perawatan hari VI • Demam (+) • Batuk (+), dahak (+) • Pilek (+) << • Bibir berdarah (-) • Bintik merah menghitam sampai ke badan • TD: 110/80 mmHg • N: 105x/menit • S: 37,30 C • RR: 24x/menit • Mata injeksi konjungtiva -/-, sekret -/- • Hidung sekret -/- • Paru SN vesicular +/+, rh +/+, wh -/- • Kulit maculopapular rash dan hiperpigmentasi Morbili stadium konvalesensi dengan infeksi sekunder bronkopneumonia • Cairan intravena RL 20 tpm makro • Parasetamol 250 mg k/p • Ceftriaxone 2x1 mg IV • Dexamethaso ne 3x2,5 mg IV • Cendo xytrol 2 dd I gtt ODS • Inhalasi/8 jam 7/12/2013 Perawatan hari VII • Demam (-) • Batuk (+), dahak (-) • Pilek (-) • TD: 110/80 mmHg • N: 107x/menit • S: 36,90 C Morbili stadium konvalesensi dengan infeksi sekunder • Cairan intravena RL 20 tpm makro • Parasetamol 19
  • 20. • Mulut kering (-) • Bintik merah menghitam lengkap sampai ekstremitas dan kulit bersisik • RR: 24x/menit • Mata injeksi konjungtiva -/-, sekret -/- • Hidung sekret -/- • Paru SN vesicular +/+, rh -/-, wh -/- • Kulit Hiperpigmentasi bronkopneumonia 250 mg k/p • Ceftriaxone 2x1 mg IV • Dexamethaso ne 3x2,5 mg IV • Cendo xytrol 2 dd I gtt ODS • Inhalasi/8 jam 20
  • 21. BAB III ANALISIS KASUS Pada pasien ini diagnosis morbili dengan infeksi sekunder bronkopneumonia ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien anak berusia 9 tahun datang dengan keluhan demam sejak 4 hari SMRS, demam terjadi mendadak, terus menerus sepanjang hari, dan hanya turun ketika diberi obat penurun panas. Pasien mengaku batuk dan pilek sejak 3 hari SMRS. Batuk berdahak tapi dahak tidak bisa dikeluarkan, pilek dengan ingus warna kehijauan. Sejak 2 hari SMRS mata pasien mulai memerah, berair, dan keluar belek warna putih kekuningan. Dari riwayat sakit di atas, diagnosis dapat diarahkan ke penyakit morbili. Pada morbili stadium prodromal didapatkan gambaran klinis demam, dan gejala khas cough, coryza, conjungtivitis. Pada stadium ini dapat ditemukan gejala patognomonik morbili yaitu bercak koplik yang merupakan suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir dengan areola tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Bercak ini ditemukan pada mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada bagian lain dari rongga mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan karunkula lakrimalis. Bercak koplik muncul 1 - 2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang dengan cepat yaitu sekitar 12-18 jam kemudian. Pasien juga mengeluh nyeri menelan. Pada akhir masa prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan timbul keluhan nyeri tenggorokan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran umum pasien tampak sakit sedang, takikardi, febris. Pada mata terdapat gejala morbili konjunctivitis, dengan sekret warna putih kekuningan. Kemudian bibir tampak kering, bibir berdarah (+), faring hiperemis (+) yang bisa terjadi pada morbili stadium prodromal akhir. Pada kulit wajah, leher, dada, perut, dan ekstremitas terdapat makulopapular rash. Pemeriksaan laboratorium leukosit 5900/μL, pada infeksi virus leukosit bisa normal atau turun. hematokrit 37,6%, LED 30 mm/jam, hitung jenis leukosit 0/1/1/25/60/4, GDS 118 mg/dl, CRP kualitatif reaktif. Pada hari pertama perawatan di RS, demam pasien makin tinggi dan mulai muncul bintik-bintik merah dari belakang telinga yang kemudian menyebar ke wajah, leher, 21
  • 22. badan, dan lengkap sampai ke kaki pada perawatan hari ke empat. Keluhan batuk makin bertambah. Keluhan pasien sesuai dengan stadium erupsi morbili, dimana terdapat penyebaran ruam yang khas, demam makin tinggi, dan gejala pernafasan bertambah. Ruam dengan demam ini dapat di diagnosis banding dengan demam berdarah dengue dan eksanthema subitum. Demam berdarah dengue dapat disingkirkan dari pola demamnya dimana pola demam seperti pelana kuda. Pada hari ke 3-5 suhu turun yang menjadi tanda awal penyembuhan pada infeksi ringan atau tanda awal syok pada DBD berat. Ruam pada DBD penyebaran tidak khas. Pada eksanthema subitum ruam muncul setelah demam reda. Pada rubella, ruam berwarna merah muda dan timbul lebih cepat dari campak. Gejala yang timbul tidak seberat campak. Pada perawatan hari ke lima bintik-bintik merah mulai menghitam mulai dari belakang telinga, makin lama kulit seperti bersisik. Selain itu demam berangsur-angsur turun dan kemudian menghilang. Pada morbili, stadium terakhir adalah stadium konvalesensi dimana terdapat tanda patognomonik yaitu hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi akan menghilang dalam waktu 1-2 minggu. Pada stadium ini demam akan menghilang. Pada eksantema subitum, rubella, dan demam dengue, ruam akan menghilang tanpa ada hiperpigmentasi. Selain itu, pasien mempunyai riwayat kontak dengan penderita morbili, adik pasien juga mengalami demam dan muncul bintik merah beberapa hari setelah pasien demam. Bronkopneumonia timbul akibat infeksi sekunder pada morbili. Diagnosis bronkopneumonia ditegakkan dari anamnesis pasien mengeluh batuk sampai kadang agak sesak, demam mendadak, tidak ada penurunan berat badan, riwayat keluarga batuk lama disangkal, pemeriksaan fisik pernafasan 30 kali per menit, paru suara nafas vesicular +/+, rhonki +/+, wheezing -/-. Pada foto rontgent didapatkan gambaran infiltrat di parakardial yang menunjukkan bronkopneumonia duplex. Bronkopneumonia pada morbili dapat terjadi karena invasi langsung virus campak maupun infeksi sekunder oleh bakteri (Pneumococcus, Streptococcus, Staphylococcus, dan Haemophyllus influenza). BAB IV TINJAUAN PUSTAKA 22
  • 23. A. Definisi Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB milier atau TB ekstrapulmoner.1 Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak < 15 tahun. Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.1,4 TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur.2 23
  • 24. B. Epidemiologi Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju.3 Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993) didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.2 Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.3 Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.3 Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Faktor risiko yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.2 C. Etiologi 24
  • 25. Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus, bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis varian humanus.5 M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki ukuran panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh optimal pada suhu 37-410 C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.1 Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya.4 M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 25
  • 26. 1- 3 minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.5 D. Patogenesis Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2 Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.3 Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6 Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. 26
  • 27. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3 Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2 Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3 Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.6 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.3 Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga 27
  • 28. bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.2 Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.6 Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5- 25 tahun setelah infeksi primer.2 28 Gambar. Patogenesis tuberkulosis3
  • 29. Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ.3 Gambar. Kalender perjalanan penyakit TB primer3 Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2 Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.3 29
  • 30. E. Manifestasi klinis Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, pejamu serta interaksi diantara keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi.2 Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent disease.3 Manifestasi sistemik Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:3 1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus. 2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan. 3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat (failure to thrive). 4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel. 5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. 6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare. 7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Manifestasi Spesifik Paru • TB Asimptomatis 30
  • 31. Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulin dan tes tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang, demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Apabila anak berkontak dengan individu dengan TB menular dimana tes tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.4 • TB Paru Primer Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis yang relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.4 Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.3 Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.6 • TB Paru Progresif TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer. Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB, merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis kepada individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah 31
  • 32. bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang sampai berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan penurunan bunyi nafas.4 • TB Paru Kronis/Reaktivasi Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.3 • Efusi pleura Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa minggu.7,8 F. Diagnosis Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.9,10 32
  • 33. Catatan: • Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter. • Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis. 33 Parameter 0 1 2 3 Kontak TB Tidak jelas - Laporan keluarga (BTA negatif atau tidak jelas) BTA(+) Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10 mm atau ≥ 5 mm pada keadaan imunosupresi) Berat badan / Status Gizi - BB/TB < 90% atau BB/U < 80% Klinis gizi buruk atau BB/TB < 70% atau BB/U < 60% - Demam tanpa sebab yang jelas - ≥ 2 minggu - - Batuk - ≥ 3 minggu - - Pembesaran kelenjar koli, aksila, inguinal - ≥ 1 cm, jumlah > 1, tidak nyeri - - Pembengkakan tulang / sendi panggul, lutut, falang - Ada pembengkakan - - Foto Thorak Normal/kelainan tidak jelas Gambaran sugestif TB - -
  • 34. • Berat badan dinilai saat datang. • Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku. • Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus. • Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan. • Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik. • Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13). • Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS. 34
  • 35. Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis11 Pemeriksaan penunjang • Uji tuberkulin Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif.2,5 Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M. 35
  • 36. atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.2,5 • Uji interferon Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5 • Radiologi Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah: - Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat - Konsolidasi segmental/lobar - Milier - Kalsifikasi dengan infiltrat - Atelektasis - Kavitas - Efusi pleura 36
  • 37. - Tuberkuloma • Serologi Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5 • Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR. Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5 • Patologi Anatomik Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.2 G. Penatalaksanaan Medikamentosa Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat 37
  • 38. lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.5 • Isoniazid Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,5 Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,3 Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.2 • Rifampisin 38
  • 39. Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.3 Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.2,5 • Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat 39
  • 40. hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.2,3 • Etambutol Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15- 20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.5 Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah- hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.2,3 • Streptomisin Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR- TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam.5 Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan 40
  • 41. cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.2,5 Tabel. Obat Anti Tuberkulosis dan Dosisnya2,5 Nama Obat Dosis harian (mg/kgBB/hari ) Dosis maksimal (mg/hari) Efek Samping Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik * Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari. ** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan. Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT 41
  • 42. diberikan pada anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.2,3 Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.3,5 Tabel. Paduan Obat Antituberkulosis2,5 2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin Prednison Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang 42
  • 43. sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.3,5 Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.5 Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.5,6 Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6 bulan5 OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.2,5 Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 43
  • 44. kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.1,3 Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.1,5 Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.5 • Putus obat Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2 minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.2 • Multi Drug Resistance (MDR) TB Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa 44
  • 45. dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.9 Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja.2 Nonmedikamentosa • Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2 Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai berikut :2,12 - Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana. - Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis. - Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO). - Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. - Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. 45
  • 46. • Sumber penularan dan case finding Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2 Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.3,5 • Aspek edukasi dan sosial ekonomi Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.3,5 • Pencegahan • Imunisasi BCG Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan 46
  • 47. pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5 Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan optimal.5 • Kemoprofilaksis Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.2,3 Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam 47
  • 48. kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.3,5 H. Komplikasi dan Prognosis • Komplikasi Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.13,14 • Prognosis Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan. 14 Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.12,14 48