SlideShare a Scribd company logo
1 of 43
Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya. Laporan kasus ini
disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Karawang.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Budowin, Sp.PD
yang telah membimbing penulis dalam mengerjakan laporan kasus ini, serta kepada seluruh
dokter yang telah membimbing penulis selama di kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di
RSUD Karawang. Tak lupa juga ucapan terima kasih penulis haturkan kepada teman-teman
seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan
bantuan kepada penulis.
Dengan penuh kesadaran dari penulis, meskipun telah berupaya semaksimal mungkin
untuk menyelesaikan laporan kasus ini, namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis
mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita
semua.
Karawang, Agustus 2014
Eva Natalia Br. Manullang
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama : Ny. N
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Teluk Jambe
Agama : Islam
Suku : Sunda
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai Alfamart
Tanggal masuk RS : 20Agustus 2014
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 23 Juli 2014 di
bangsal Rengasdengklok.
a. Keluhan Utama
Muntah-muntah sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
b. Keluhan Tambahan
Mual, tenggorokan terasa panas, sesak,
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang ke IGD RSUD Karawang pada tanggal 20 Agustus 2014 dengan keluhan
muntah-muntah sejak 2 jam yang lalu. Sebelum 2 jam datang ke RSUD Karawang Os.
Mengaku minum pembersih cat kuku sebanyak 1 botol. Os. Muntah sebanyak lebih dari
10x dan berisi air dan makanan. Os juga mengatakan selama perjalanan ke rumah sakit
os pingsan. Os juga mengeluh tenggorokan terasa panas dan sesak.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Os. Memiliki riwayat penyakit maag sejak 6 tahun yang lalu. Os tidak memiliki riwayat
penyakit hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru, pinyakit liver, penyakit ginjal dan
penyakit Diabetes Melitus
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Os mengatakan dikeluarga tidak memiliki penyakit hipertensi, penyakit jantung,
penyakit paru, penyakit ginjal dan penyakit Diabetes Melitus
f. Riwayat Kebiasaan
Os memiliki kebiasaan mengkonsumsi minum kopi tiap pagi hari. Os tidak memiliki
kebiasaan merokok, mengkonsumsi minuman alkohol, minum-minuman berenergi dan
jamu-jamuan.
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2014. Hasilnya adalah sebagai berikut:
I. Keadaan Umum
a. Kesan sakit : TSR
b. Kesadaran : Compos mentis
II. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 100/60 mmHg
b. Frek. Nadi : 83x/ menit
c. Frek. Nafas : 24 x/ menit
d. Suhu : 35,3 °C
III. Kepala :
Normocephali, rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
IV. Mata :
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
V. Telinga :
Bentuk normal, NT auricular (-/-), secret (-/-).
VI. Hidung :
Bentuk normal, septum deviasi (-), secret (-), pernafasan cuping hidung (-).
VII. Leher :
KGB dan tiroid tidak teraba membesar.
VIII. Thorax
 Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis teraba pada linea midclavicula sinistra ICS 5
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi :BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo :
Inspeksi : gerak dada simetris saat statis dan dinamis.
Palpasi : vocal fremitus simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronki (-/-), Wheezing (-/-).
IX. Abdomen
Inspeksi : Datar, sagging of the flank (-), smiling umbilicus (-), tidak
tampak efloresensi yang bermakna.
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium, Hepar dan lien tidak teraba
membesar
Perkusi : Shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
X. Ekstermitas
Pitting Oedem
_ _
- -
akral hangat
+ +
+ +
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah :
20Agustus2014
Hematologi
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Hemoglobin 11,2 g/dL 12 – 16 
Leukosit 10.410/uL 3800 – 10600 Normal
Trombosit 385.000/uL 150.000 – 450.000 Normal
Hematokrit 34 % 35 - 45 
Kimia
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Glukosa Darah Sewaktu 106 mg/dl < 140 Normal
Ureum 19,8 mg/dl 15,0 – 50,0 Normal
Kreatinin 0,35 mg/dl 0,50 – 0,90 
V. Diagnosis Kerja
Pada kasus ini diagnosis kerjanya adalahIntoksikasi Aseton
VI. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus ini adalah :
 Gastritis Kronis
VII. Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan di IGD
 Bilas Lambung
 NaCl 20 tpm
 Omeprazole 2 x 1 ampul
 Ondansentron 3 x 2 ampul
VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : Bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IX. Follow Up
21 Agustus 2014
S Mual, muntah, nyeri ulu hati
O TD : 110/60 mmHg, nadi : 100x/mnt, napas : 22x/mnt, suhu : 37,3ºC
Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+
Wajah : Malar rash (+)
Bibir : ulcer di bibir atas (+)
Leher : dbn
Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas
vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen : Supel, BU (+), nyeri tekan (+) di epigastrium
Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-
Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem +/+
A Intoksikasi Aseton
P  NaCl 20 tpm
 Simavastatin 1x1
 Ranitidin 2x1
 Lasix 1x1
22Agustus 2014
S
O TD : 130/60 mmHg, nadi : 120x/mnt, napas : 24x/mnt, suhu : 39ºC
Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+
Wajah : Malar rash (+)
Bibir : ulcer di bibir atas (+)
Leher : dbn
Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas
vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen : Supel, BU (+), nyeri tekan (+) di epigastrium
Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-
Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/-
A Intoksikasi Aseton
P  Nacl 20 tpm
 Pamol 4 x 500mg
 Pantoprazole 2 x 1
 Ondansentron 3 x 1
23 Agustus 2014
S
O TD : 100/70 mmHg, nadi : 92x/mnt, napas : 20x/mnt, suhu : 38,3ºC
Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+
Wajah : Malar rash (+)
Bibir : ulcer di bibir atas (+)
Leher : dbn
Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas
vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen : Supel, BU (+) meningkat, nyeri tekan (+) di epigastrium dan kuadran
kanan atas
Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie +/+
Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie -/-
A Intoksikasi Aseton
P  Aminofluid 16 tpm
 Inj. Ceftriakson 2 x 1
 Pamol 3 x 1
 Inj. Pantoprazole 2 x 1
24 Agustus 2014
S
O TD : 100/60 mmHg, nadi : 75x/mnt, napas : 28x/mnt, suhu : 39ºC
Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+
Wajah : Malar rash (+)
Bibir : ulcer di bibir atas (+)
Leher : dbn
Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas
vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen : Supel, BU (+) meningkat, nyeri tekan (+) di epigastrium
Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie +/+
Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie -/-
A Intoksikasi Aseton
P  Aminofluid 16 tpm
 Inj. Ceftriakson 2 x 1
 Pamol 3 x 1
 Inj. Pantoprazole 2 x 1
25 Agustus 2014
S
O TD : 130/60 mmHg, nadi : 120x/mnt, napas : 24x/mnt, suhu : 39ºC
Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+
Wajah : Malar rash (+)
Bibir : ulcer bibir atas (+)
Leher : dbn
Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas
vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen : Supel, BU (+), nyeri tekan (+) di epigastrium
Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie +/+
Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie -/-
A Intoksikasi Aseton
P  Metil Prednisolon 4 x 125mg
 Inj. Ceftriakson
 Pamol 3 x 1
BAB II
ANALISA KASUS
Seorang priausia 28 tahun dirawat di RSUD Karawang dengan keluhan demam
dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Demam dirasakan meningkat pada malam hari dan
menurun pada pagi hari. Pasien juga mengeluh kejang diseluruh tubuh 1 hari SMRS.
Pasien juga mengeluh bengkak dikedua kelopak mata atas dan mengeluh bibir sariawan
sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh bintik-bintik merah disekitar pipi dan
hidung serta di tangan kanan dan kiri. Pasien mengeluh mual, muntah dan diare. Pasien
mengeluh badan terasa lemas dan pegal-pegal. Pasien juga merasa nafsu makan
menurun. Pada pemeriksaan laboratorium untuk darah rutin dan kimia darah,
didapatkan Hemoglobin, trombosit, leukosit dan hemotrokit menurun. Ditemukan
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan, maka didapatkan diagnosis suspect SLE ( Systemic Lupus Eritemaous).
Penatalaksanaan pada pasien ini dengan bed rest dan pemberian obat – obatan
Masalah Pembahasan
Demam Demam disebabkan karena adanya reaksi inflamasi sehingga merangsang
pembentukan dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang.
Kejang Pada demam tinggi dapat meningkatkan metabolisme basal sehingga
terjadi perbedaan potensial membran sel neuron diotak dan terjadi
pelepasan muatan listrik di sel neuron yang akan menyebabkan terjadinya
kejang.
Kedua kelopak
mata bengkak
Terjadi akibat peradangan, maka dinding pembuluh darah kapiler menjadi
lebih permeabelsehingga meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan
ekstravaskuler (cairan interstitium) yang disertai dengan penimbunan
cairan dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa (jaringan ikat longgar).
Ulcer mukosa Terjadi dikarenakan system pertahanan imun tubuh yang menurun
sehingga rentan terjadi infeksi.
Bintik-bintik
merah disekitar
pipi ( Malar
Rash)
Adanya eritema berbatas tegas, datar, berelevasi pada wilayah pipi sekitar
hidung
Mual dan
muntah
Perut terasa mual disebabkan peningkatan sekresi asam lambung atau
adanya iritasi pada lambung sehingga perut terasa mual dan merasa ingin
muntah.
Diare Disebabkan karena infeksi pada traktus gastrointestinal sehingga
makanan/zat tidak dapat diserap mengakibatkan tekanan osmotik dalam
rongga usus meninggi dan terjadinya pergeseran air dan elektrolit sehingga
merangsang usus untuk mengeluarkan dan terjadi kehilangan elektrolit dan
cairan.
Lemas  Kurangnya asupan nutrisi sehinggatubuh kekurangan energi
 Disebabkan karena kadar hemoglobin dan eritrosit menurun yang
akan menyebabkan O2ke jaringan menurun sehingga dapat terjadi
penurunan metabolisme sel dan penurunan energi.
Nafsu makan
menurun
Terjadi karena perut terasa mual.
Gangguan
Hematologi
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin : ( Hb , Leukosit Hemotrokit
, Trombosit ) disebabkan karena produksi pembentukan sel darah
menurun sehingga terjadi gangguan hematologi.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Systemic lupus erythematosus (SLE)adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai
oleh produksi antibodi terhadap komponen- komponen inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas. SLE adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi
dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
2.2 Epidemiologi
90% pasien SLE adalah wanita umur subur, walaupun semua jenis kelamin, umur, dan
kelompok ras dapat terkena. Perbandingan antara penderita perempuan dan laki-laki adalah
8:1. Kemungkinan terjadi pada ras negro 3 kali lebih besar dibandingkan ras Caucasoid. Suatu
survei epidemiologi di Amerika menunjukkan bahwa angka kematian dan kesakitan
tertinggi berada di kalangan Negro, kemudian diikuti oleh orang-orang dari Puerto
Ricans baru oleh orang-orang kulit putih. Perbedaan ras, disebabkan oleh variasi normal
dari g globulin, di mana kadar ini lebih tinggi di kalangan kaum Negro.
Prevalensi SLE ada tendesi familiar. Faktor keluarga berkisar 10%, di mana anggota
keluarga yang menderita SLE, mempunyai angka insidens yang meningkat untuk penyakit
ini. SLE sering terjadi pada usia dewasa muda dengan puncaknya pada perempuan pada usia
30-an, dan pada laki-laki pada usia 40-an. Walaupun insidensi SLE masih tidak diketahui dan
SLE dapat ditemukan pada semua usia namun didapatkan bahawa 20% kasus SLE mulai pada
masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun.
Pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris dilaporkan bahawa kelainan
ginjal pada SLE lebih sering ditemukan di populasi Asia. Prevalensi penyakit SLE di Indonesia
belum dapat dipastikan secara tepat, karena system pelaporan masih berupa laporan kasus
dengan jumlah penderita terbatas. Isidensi dan prevalensi penyakit SLE telah berubah secara
dramatis menjadi semakin meningkat sejak 1970. Hal ini disebabkan karena tersedianya sarana
diagnostic yang lebih baik yaitu criteria ACR 1997 untuk diagnosis penyakit SLE dan
pemeriksaan laboratorium penunjang yang lebih baik.
2.3 Patofisiologi dan Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan.
Pada wanita respons imun selular maupun humoral lebih besar dibandingkan pada
pria. Wanita yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih
hormone memiliki peningkatan risiko SLE. Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit
T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel ini, sehingga
menunjang respons imun yang memanjang.
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan
peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan
2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin
(IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda
genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan
transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+.
Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus dan terbentuknya kompleks
imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan
sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari
komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida
vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan
sel imun akan memicu pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim
perusak. Selain itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan
terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan
lainnya.
Pada SLE, sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada SLE
adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel
nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai
antigen maka akan muncul berbagai macam autoantibodi pada penderita SLE. Peran
antibodi-antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui. Beberapa
ahli melaporkan kerusakan organ disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui
pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk
melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif
amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan
memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan
terdeposit pada organ sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ tersebut. Sistem
komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat
kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis SLE
tergantung dari organ mana yang terkena. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first
degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-
69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-
DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan
komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel
T, imunoglobulin, dan sitokin.
Faktor penyebab dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui. Beberapa faktor
pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah, stress fisik maupun mental,
infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia
atau obat-obatan.
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE. Paparan
terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien,
kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis pada sel kulit atau adanya perubahan
DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenik. Sepertinya, beberapa
infeksi memicu respons imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang
mengenal self-antigen. Pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi
autobodi kemudian terjadi. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi yang dapat
memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetik. Anak dan orang dewasa
dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin,
dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut
dalam beberapa dekade.
Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum
gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun
untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang
patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis.
GAMBAR 1: Hipotesis pathogenesis penyakit SLE. (Dikutip dari: Nguyen et al “Hypothetical
pathways involved in the pathogenesis of SLE” Arthritis Research 2002, Vol.4:3, pp.S255.)
2.4 Mortalitas dan Morbiditas
Perjalanan alamiah penyakit SLE sangat bervariasi dari penyakit dengan gejala ringan
hingga penyakit yang progresif cepat dan fatal. Sebagian besar pasien yang terdiagnosis berusia
antara 14-64 tahun, dan gejala SLE biasanya hilang timbul selama hidup penderita. Pasien
dengan kelainan kulit dan muskuloskeletal saja memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi
dibanding penyakit dengan keterlibatan renal dan susunan saraf pusat. Meski terdapat perbaikan
angka harapan hidup, pasien dengan SLE tetap memiliki risiko kematian 3 kali lebih tinggi
dibanding populasi umum.
Angka harapan hidup 10 tahun saat ini telah mendekati 90%, lebih baik dibanding
sebelum tahun 1955, angka harapan hidup 5 tahun tidak sampai 50%. Penurunan angka kematian
ini kemungkinan adanya perbaikan dalam kriteria diagnosis, sehingga penderita yang
terdiagnosis lebih dini akan lebih mudah diterapi. Perbaikan sistem penatalaksanaan dan semakin
baiknya pelayanan medik juga merupakan faktor yang berpengaruh. Sepertiga kasus terkait SLE
yang meninggal di Amerika Serikat terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 45 tahun.
Kematian terkait SLE spesifik, seperti nefritis, biasanya terjadi pada onset 5 tahun
pertama sejak gejala SLE muncul. Komplikasi infeksi yang berhubungan dengan SLE aktif,
sekarang juga telah menjadi penyebab penting pada awal-awal penyakit. Penyakit kardiovaskular
dan keganasan, yang mungkin berhubungan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik,
menjadi penyebab utama kematian jangka panjang. The Framingham Offspring Study
mendemonstrasikan bahwa wanita berusia 35-44 tahun dengan SLE memiliki risiko miokard
infark 50 kali lebih besar dibanding wanita sehat. Penyebab percepatan penyakit arteri koroner
sebenarnya multifaktorial, yaitu disfungsi endotel, mediator inflamasi, atherogenesis akibat
steroid, dan dislipidemia akibat gangguan renal. Lupus aktif (34%), infeksi (22%), penyakit
kardiovaskular (16%), dan keganasan (6%) menjadi penyebab kematian pada 144 dari 408
pasien dengan SLE yang dimonitoring selama 11 tahun.
2.5 Manifestasi Klinis
Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga kemunculan dan perjalanan
penyakitnya bervariasi. SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem
kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun
virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati,
sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda.
Jika ditemukan trias demam, nyeri sendi dan rash pada wanita usia subur, harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan manifestasi
klinis yang paling sering pada penderita SLE.
GAMBAR 2: Manifestasi klinis SLE
Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ. Dalam selang
waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat ditemukan
pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparahan SLE beragam mulai dari ringan dan
intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh
masa yang relatif tenang. Remisi permanen sempurna yaitu hilangnya gejala tanpa pengobatan
jarang terjadi.
Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan menjadi manifestasi
umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ targetnya. Manifestasi SLE adalah sebagai
berikut:
2.5.1 Manifestasi Umum
Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE. Demam pada SLE dapat
mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam pada penyakit ini biasanya tidak disertai dengan
menggigil. Penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat demam dan menurunnya nafsu
makan. Gejala konstitusional lain yang sering dijumpai pada penyakit SLE, yang timbul sebelum
ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan
hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit kepala.
2.5.2 Manifestasi Muskuloskeletal
Kebanyakan pasien SLE memiliki poliarthritis intermitten, berderajat mulai ringan
hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling
sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi
hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran X-Ray sendi jarang ditemukan. Keberadaannya
menandakan peradangan arthropati non lupus seperti rheumatoid arthritis. Beberapa ahli
memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi,
seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan,
terutama jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya.
Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien yang
ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan
kadar kreatinin kinase, MRI Scan positif, nekrosis otot dan peradangan pada biopsi dapat terjadi,
walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi
glukokortikoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan kelemahan otot. Efek samping ini mesti
dibedakan dari penyakit aktif.
2.5.3 Manifestasi Penyakit Kulit
Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE),
bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau lainnya. Lesi diskoid
merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa
hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal
secara permanen rusak. Lesi dapat memperburuk estetik, terutama pada wajah dan kulit kepala.
Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria
sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE, walaupun setengahnya memiliki ANA
yang positif. Namun, di antara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan
bercak SLE yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah
terutama pada pipi dan sekitar hidung, juga dikenali sebagai “buterfly rash”, telinga, dagu,
daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini
kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik.
SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar
kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi
terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-
like, bullar, dan pannikulitis atau lupus profundus. Bercak dapat ringan atau berat, dan dapat
menjadi manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum
pada SLE, lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.
GAMBAR 3: Malar rash3 GAMBAR 4: Discoid rash7
2.5.4 Manifestasi Renal 1,3,8,12
Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan
infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama penyakit ini. Lupus nephritis
diperkirakan terjadi pada 50% pasien SLE. Pada kebanyakan pasien ini, lupus nephritis terjadi
pada awal perjalanan penyakit SLE. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien
SLE, urinalisis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari
lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis.
Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis
Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak
dengan immunofluoresensi.
Class II: Mesangial Proliferative Lupus Nephritis
Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matriks mesangial
dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan
subendotel samar dapat terlihat dengan immunofluoresensi atau mikroskop elektron
namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.
Class III: Focal Lupus Nephritis
Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau
ekstrakapiler terjadi pada <50%.
Class III (A) : Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis.
Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis.
Class III (C) : Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular-focal
sclerosing lupus nephritis.
Class IV: Diffuse Lupus Nephritis
Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau
ekstrakapiler yang melibatkan >50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan deposit
imun yang difus, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus
nephritis segmental difus (IV-S) jika >50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi
yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika >50% dari glomerulus yang
terlibat memiliki lesi yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang
melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus
dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi
glomerulus.
Class IV-S (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative
Class IV-G (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative
Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental
proliferative dan lupus nephritis sclerosing
Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative
dan lupus nephritis sclerosing.
Class IV-S (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse
segmental sclerosing
Class IV-G (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse
global sclerosing
Class V: Membranous Lupus Nephritis
Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari
pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop elektron,
disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan
kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus
nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.
Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis
>90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual.
TABEL 1: Klasifikasi nefritis lupus menurut International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003.
Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau di masa akan datang. Pasien
dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki
hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam). Sekitar setengah pasien
mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis
proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami End Stage Renal
Disease (ESRD) dalam 2 tahun diagnosis. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan
lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu
tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif.
Segelintir pasien SLE dengan proteinuria memiliki perubahan glomerulus membranous
tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsi ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka
dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai
dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk
kebanyakan orang dengan lupus nephritis, terjadi percepatan pada proses aterosklerosis sehingga
untuk mengendalikan tekanan darah, hiperlipidemia, dan hiperglikemia pada pasien ini.
2.5.5 Manifestasi Sistem Saraf
Terdapat banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE. Pada
beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas. Manifestasi
klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan
memberikan alasan. Sakit kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini
menandakan serangan SLE, jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala
tipe tegang. Kejang juga dapat disebabkan oleh lupus dan penanganannya seringkali
membutuhkan obat anti kejang dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi manifestasi
dominan pada SLE. Hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Psikosis
biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg
harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan
atau dihentikan. Myelopati tidak jarang terjadi dan seringkali menimbulkan kecacatan. Terapi
immunosupresif harus segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi.
2.5.6 Oklusi Vaskuler
Prevalensi dari transient ischemic attack, stroke, dan infark myokard meningkat pada
pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE dengan
antibodi terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibodi antifosfolipid ini berkaitan dengan
hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan
percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal, baik
noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis, atau dengan embolisasi dari plak arteri karotid
atau dari vegetasi fibrinous dari Libman-Sack endokarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL
dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan
kebutuhan, intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan antikoagulasi. Pada SLE, infark
myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan risiko kejadian
vaskuler dapat mencapai 7 hingga 10 kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada wanita.
Peran dari terapi statin pada SLE masih dalam penelitian.
2.5.7 Manifestasi Pulmoner
Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau
tanpa efusi pleural. Pasien SLE dengan presentasi tachypneu, batuk, hemoptysis dan deman
harus diurigai adanya manifestasi di paru. Gejala ini, jika ringan, dapat berespons dengan
pemberian terapi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs). Jika lebih berat, pasien
membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi sebagai manifestasi
SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang
membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom
paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar. Semua kemungkinan ini membutuhkan terapi
immunosuppresif yang agresif secara dini, begitu pula dengan perawatan suportif.
2.5.8 Manifestasi Penyakit Jantung
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi. Biasanya
pericarditis ini berespon dengan terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade
jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah miokarditis dan endocarditis Libman-Sacks
fibrinous. Keterlibatan endokardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakannya
pada katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid
atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus miokarditis atau endocarditis, namun
umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang tepat
untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Pasien dengan SLE mengalami peningkatan
risiko infark miokard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana
kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada
organ.
2.5.9 Manifestasi Hematologik
Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya
normokromik normositik, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolisis dapat cepat dalam
onset dan beratnya, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi, dan ini efektif
pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu mengandung limfopenia,
bukan granulositopenia. Keadaan ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak
membutuhkan terapi. Trombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet
>40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi, terapi glukokortikoid dosis tinggi biasanya
efektif.
2.5.10 Manifestasi Gastrointestinal
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan
SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis autoimun. Peningkatan
serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE
sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi
glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi,
iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressif
dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya
rekurensi merupakan indikasi dari terapi tambahan.
2.5.11 Manifestasi Okuler
Sindrom Sicca atau Sindrom Sjögren dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada
SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis
optik yang merupakan manifestasi berat. Kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau
minggu. Manifestasi okuler pada SLE disebabkan oleh pelbagai mekanisme. Antaranya adalah
deposit kompleks imun, vaskulitis dan thrombosis. Antibodi anti fosfolipid dapat menyebabkan
penyakit vasooklusif pada retina. Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara lain
adalah pada:
A. Palpebra : Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang tak
jarang mengenai pipi dan hidung.
B. Konjungtiva : Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis
nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Pada
permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang mukoid disusul dengan
hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa. Reaksi ini dapat lokal atau
difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat menyebabkan pengerutan konjungtiva.
C. Sklera : Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler yang
makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan bertambah
berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi skleritis nekrotik yang
melanjut dari tempat lesi semula ke segala jurusan sampai dihentikan dengan
pengobatan.
D. Uvea : Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia.
E. Retina : Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati
merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses peradangan.
Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak kedua setelah
keratokonjungtivitis sicca. Penderita retinopati SLE memiliki penyakit sistemik yang
aktif dan penurunan angka kesembuhan yang signifikan. Oleh karena itu, monitoring
ketat dan pengobatan yang aggresif pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah
penting.
Keluhan nyeri pada mata atau gangguan penglihatan pada pasien SLE memerlukan
tindakan yang segera dan specialistik. Skeleritis dan retinopati lupus biasanya diterapi dengan
immunosuppresif agresif walaupun belum ada penelitian untuk membuktikan efektivitasnya.
Manifestasi pada mata juga dapat terjadi akibat komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk
katarak dan glaucoma.
2.6 Diagnosis
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan criteria American College of Rheumatology
(ACR) 1982 yang telah direvisi pada tahun 1997, yaitu jika paling sedikit ditemukan 4 dari 11
kriteria yang ada.
Gejala Penjelasan
Malar Rash
(Butterfly rash)
Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung
(wilayah malar)
Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai
dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut
atropi dapat terjadi.
Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat
menimbulkan bercak-bercak
Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat
ditemukan
Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer
disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi
Serositis Pleurits atau perikarditis yang ditemukan melalui
ECG atau bukti adanya efusi pleura
Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atau ditemukan
corak seluler, tubuler atau campuran dalam sedimen
urin.
Gangguan neurologik Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas
Gangguan hematologik Anemia hemolisis dengan retikulositosis atau
leukopenia < 4000/mm3 atau limfopenia <1500/mm3
atau thrombositopenia <100 000/mm3 tanpa
pemberian obat-obatan yang menyebabkan
thrombositopenia.
Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid
Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika
diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat
memicu ANA sebelumnya.
TABEL 2: Kriteria diagnostik untuk SLE menurut American College of Rheumatology.
Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibodi.
Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien,
membuat pasien cenderung memiliki SLE dengan spesifitas 95% dan sensitivitas 75% menurut
Hahn et al, 2005.
Pada beberapa pasien, gejala semakin berat dalam selang waktu tertentu. Antinuclear
antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien SLE selama perjalanan penyakit. Pemeriksaan
ANA berulang yang negatif menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibodi
lainnya ditemukan. Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibodi pada antigen
Sm spesifik untuk SLE mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis.
Keberadaan beberapa autoantibodi pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak
didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko, karena SLE secara
klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibodi.
Pemeriksaan penunjang antibodi anti nuclear (ANA) merupakan uji penyaring yang
terbaik untuk menegakkan diagnosis SLE. ANA hampir selalu positif pada lebih dari 95% pasien
SLE dan pemeriksaan ANA harus selalu dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai SLE. ANA
tidak selalu spesifik untuk SLE karena ANA dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti
skeloderma, artritis rematoid, atau drugs induced lupus erythematosus seperti isoniazid.
Antibodi yang lebih spesifik untuk SLE adalah antibodi anti ds-DNA dan anti SM, walaupun
sensitivitasnya pada SLE masing-masing adalah 75% (anti ds-DNA) dan 25% (anti SM).
Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan positif 1/40, titer yang tinggi anti dsDNA ( positif
949 iu/ml ), C3 adan C4a yang menurun, serta LED meningkat menandakan proses penyakit
pada pasien ini sedang aktif dan berat. Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat
proses penyakit yang sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi.
Pemeriksaan serologis untuk deteksi ANA dalam serum penderita SLE dapat dilakukan
dengan beberapa metode, antara lain metode imunofluoresens (direk dan indirek),
immunodiffusion, immunoprecipitation (Farr assay), ELISA dan immunoblotting.Penderita
penyakit SLE cenderung mempunyai ANA dengan titer tinggi. Hasil ANA positif palsu dapat
dijumpai pada penyakit infeksi kronis, seperti endokarditis bakterialis subakut, tuberculosis,
hepatitis dan malaria.
Menurut Tim Reumatologi Rumah Sakit Hasan Sadikin, criteria ACR 1997 mempunyai
sensitivitas 85% dan specifisitas 95% dalam penegakan diagnosis penyakit SLE. Menurut
penelitian Wallach pada tahun 2000, hasil pemeriksaan serologis ANA dan dsDNA positif,
disertai hipokomplemennemia mempunyai arti diagnostic SLE 100%.
GAMBAR 5: Algoritme Diagnosis SLE. (Dikutip dari: Gill J et al, “Diagnosis of
Systemic Lupus Erythematosus” American Family Physian 2003, Vol.68:11, pp.2179-
2186.)
2.7 Penatalaksanaan
Secara garis besar, penatalaksanaan SLE meliputi penatalaksanaan non farmakologis atau
penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan farmakologis seperti berikut:
Penatalaksanaan Umum
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi,
sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan
kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan
mencegah kerusakan organ. Penatalaksanaan mencakup penatalaksanaan umum dan terapi
konservatif. Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain :
 Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit
dengan perjalanan yang kronik. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup memadai tentang
berbagai macan manifestasi klinis yang dapat terjadi, dan derajat keparahan penyakit yang
berbada-beda, sehingga penderita SLE memahami dan dapat mengurangi rasa cemas yang
berlebihan.
 Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu
anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi dari pengobatan dan emotional
stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam
proses inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi.
Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah cukup istirahat, batasi aktivitas,
dan mampu mengubah gaya hidup.
 Merokok
Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok.
Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang
disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada rokok.
 Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua
musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya
menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.
 Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat
mempengaruhi sistem imun melalui penurunan respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi
sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stress tidak selalu
mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan
aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahawa stress dan trauma fisik
sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang primaakan memperbaiki penyakitnya.
 Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien SLE. Makanan yang berimbang dapat
memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan yang
mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi
trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada
penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.
 Sinar ultra violet
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga
gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini
terpapar terutama pada pukul 10 pagi sehingga pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE
dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut.
 Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat SLE,
akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE
yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung
estrogen.
Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien
menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
 NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID)
NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi.
Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah
salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Dapat diberikan aspirin 500 mg per oral, 3
kali sehari. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama
pendarahan dan ulserasi. NSAID golongan baru, COX2 inhibitor dengan efek samping yang
lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai
efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi hipersensitivitas,
gangguan renal, retensi cairan dan meningitis aseptik.
 Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui,
dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama Lupus
Erithematosus Diskoid dan Lupus Erithematosus Kutaneus Subakut. Obat ini bekerja dengan
cara mengganggu pemprosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan
meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi neutrofil
dan metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi
sinar UV. Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Hidroksiklorokuin juga
dapat menurunkan kadar lipid dan kemungkinan juga bersifat sebagai anti trombotik.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia iaitu hidroksiklorokuin (dosis 200 mg 2x per
hari), klorokuin (250 mg per hari) dan kuinarkrin (100 mg 4x per hari). Hidroksiklorokuin lebih
efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang
paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah, timbulnya
ruam, toksisitas retina dan toksisitas neurologis. Perlu pemantauan kelainan mata setiap 3 bulan
untuk memantau efek samping antimalaria.
 Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan
topical atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intraartikuler digunakan untuk arthritis,
sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian peroral dosisnya
bervariasi antara 5 mg-30 mg prednisone atau metil prednisolon per hari, secara tunggal maupun
dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan
serositis. Sering kali, kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria atau
imunomodulator dengan tujuan mendapatkan induksi yang cepat kemudian dapat segera
diturunkan dosisnya. Keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi
atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari.
Kortikosteriod parenteral juga dapat digunakan dengan dosis sesuai ekuivalennya. Pada keadaan
sangat berat yang mengancam jiwa, bolus metilprednisolone 1000 mg dapat digunakan selama 3
hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang lama antara lain habitus
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirtutism,
percepatan osteoporosis, osteonekrosis, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, miopati,
hipokalemia, menstruasi tidak teratur, iritabilitas, insomnia dan psikosis. Oleh itu, setelah
aktivitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan. Prednisone dengan
dosis 15 mg/hari diberikan pada pagi hari tidak menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat
meminimalisasi beberapa efek samping. Untuk meminimalkan efek samping osteoporosis, dapat
diberikan suplemen kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D 50,000 unit 1-3 kali seminggu. Dalam
mencegah osteoporosis dapat juga diberikan calcitonin dan bisfosfonat.
Terapi Imunomodulator
 Cyclophosphamide
Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ yang berat, terutama
lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid dan cyclosphosphamide bolus intravena 0,5-
1,0 g/mm2 lebih efektif disbanding hanya kortikosteriod saja dalam pencegahan sequel ginjal,
mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Menurut WHO dengan evidence
base tingkat 4, respon paling baik adalah pada lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi
nonrenal yang efektif dengan cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan system saraf
pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan sampai 2,5-3,0 mg/kg
dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit
dievaluasi setiap 2 minggu.
Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi. Rambut rontok kadang
kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat dihentikan. Leukopenia yang bersifat dose
dependent biasanya timbul 8-12 hari setelah pengobatan. Perlu dilakukan penyesuaian dosis
dengan jumlah leukosit. Juga terdapat resiko terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus terutama
herpes zoster. Efek samping pada gonad dapat menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan
azoospermia.
Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide yang dapat menyebabkan
iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan terjadinya sistitis hemoragik, fibrosis dan karsinoma
sel skuamosa transitional pada penggunaan jangka panjang. Pada pemberian cyclophosphamide
bolus intravena diberikan hidrasi yang adekuat dan Mesna sebagai pengikat acrolein dengan
dosis 20% dari total dosis cyclophosphamide. Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika
urinaria juga perlu dilakukan.
 Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversible inosine monophosphate dehydrogenase, suatu
enzim yang penting untuk sintesis purine. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan sel T dan
mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF merupakan pengobatan yang efektif terhadap lupus
nefritis. MMF dapat mengurangkan proteinuria dan memperbaiki serum kreatinin pada penderita
SLE dan nefritis yang resisten dengan cyclophosphamide. Efek samping MMF pada umumnya
adalah leucopenia, nausea dan diare. MMF diberikan dengan dosis antara 500-1000 mg, 2 kali
per hari.
 Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle, obat ini digunakan sebagai
alternative cyclophosphamide untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent
untuk manofestasi nonrenal. Azathioprine diindikasikan untuk miositis dan sinovitis yang
refrakter. Pemberian dimulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval
waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3
dan neutrofil > 1000/mm3.
Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan efek samping
gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan eksresinya di ginjal, fungsi hati dan
ginjal harus diperiksa secara periodic. Penyesuaian dosis diperlukan pada gangguan fungsi hati
dan ginjal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensifitas dengan manifestasi
demam, rash di kulit dan peningkatan serum tranaminase. Keluhan biasanya bersifat reversible
dan menghilang setelah obat dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya keganasan, seperti
limfoma non Hodgkin pernah dilaporkan pada penderita SLE yang mendapat azathioprine.
 Leflunomide
Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan pada
pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat pada pasien SLE yang mulai
ketergantungan steroid. Pemberiannya dimulai dengan loading dose 100 mg/hari untuk 3 hari,
kemudian diikuti dengan dosis 20 mg/hari.
 Methotrexate
Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase,
memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis
15-20 mg secara oral satu kali seminggu. Methotrexate terbukti efektif terutama untuk keluhan
kulit dan sendi. Efek samping methotrexate antara lain adalah peningkatan serum transaminase,
keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer.
 Cyclosporine
Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma
nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan
menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi seperti C3,
C4 dan anti-ds DNA serta aktivitas penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi,
hyperplasia gingival, hipertrichosis dan peningkatan serum kreatinin.

Agen Biologis
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam
mengambil autoantigen dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel
T di permukaan sel yang selanjutnya akan mempengaruhi respon imun dependen sel T. Anti CD
20 adalah suatu antibody monoclonal chimeric yang melawan reseptor DC 20 yang
dipresentasikan sel B limfosit. Anti CD 20 atau Rituximab memiliki potensi terapi untuk SLE
yang refrakter, antara lain pada system saraf sentral, renal, vaskulitis dan gangguan hematologic.
LJP 394 atau Abetimus sodium dapat mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan
mengurangi antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif.
Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoxyribonukleotida
yang terikat pada rangka trietilen glikol. Stimulator limfosit B atau BlyS merupakan bagian dari
keluarga tumor necrosis factor (TNF) cytokine yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB
merupakan antibody monoclonal human terhadap BlyS.
 Terapi Hormon
Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin
terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE. Dehydroepiandrosterone (DHEA)
bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan dan sedang. Danazole, sejenis sintetik
kortikosteroid dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia
autoimmune terutama trombositopenia dan anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti
(Estrogen Replacement Therapy) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause.

Terapi Lain
Thalidomide dapat digunakan untuk pengobatan lupus discoid dengan dosis maintenance
25-50 mg/hari. Thalidomide dapat menginduksi remisi partial sebanyak 30% dan remisi lengkap
sebanyak 60%. Thalidomide berguna pada kasus lupus discoid yang refrakter dengan
kortikosteroid dan antimalaria. Neuropati perifer dapat terjadi pada penggunaaan thalidomide
dan obat ini tidak boleh digunakan pada kehamilan karena efek teratogeniknya.
Dapsone merupakan suatu sulfone yang efektif untuk mengatasi beberapa kelainan kulit
termasuk lupus discoid. Retinoid yang memiliki efek anti inflamasi dan immunosuppressive
telah digunakan luas baik secara oral maupun topical untuk pengobatan lupus cutaneous yang
kronis.
Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator dengan mekanisme kerja
yang luas, meliputi blockade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti
immunosuppressant, IVIgG tidak mempunyai efek meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Dengan dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut terjadi perbaikan trombositopenia,
arthritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang
terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika.
Kontraindikasinya adalah penderita SLE yang disertai defisiensi IgA.
TABEL 3: MEX LESDAI Score.
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya sendiri atau
komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri yang paling sering
terjadi adalah infeksi sekunder karena system immune penderita yang immunocompromised.
Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatan
antiphospholidip antibody.
Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi
imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan infark miokard
prematur.
2.10 Prognosis
Prognosis dari perjalanan penyakit SLE bervariasi. Sebelum steroid ditemukan, 52%
penderita meninggal dalam 2 tahun dan sisanya bertahan sampai 11 tahun. Pada tahun 1977, 91%
penderita dilaporkan hidup hingga 5 tahun. Sekarang, 75% penderita mampu hidup hingga 15
tahun dan lebih dari 90% dilaporkan hidup hingga 10 tahun. Prognosis penderita tergantung dari
organ-organ yang terkena. Keterlibatan organ ginjal dan sistem saraf pusat memberikan
prognosis yang buruk. 84% penderita tanpa kelainan pada ginjal mampu bertahan hidup
hingga 15 tahun dibandingkan dengan penderita yang mengalami kelainan (57%). Penderita
yang mengalami remisi spontan sebanyak 35% dapat hidup hingga 20 tahun. Prognosis yang
lebih baik pada penderita tidak hanya karena pemberian kortikosteroid, tetapi juga karena
adanya penegakan diagnosis yang dini.
Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan ginjal yang
parah, bronchopneumonia, atau peritonitis spontan yang merupakan komplikasi dari lupus
nephritis yang dapat diterapi dengan kortiosteroid. Selain itu, dapat juga terjadi karena
vaskulitis pada sistem saraf pusat yang muncul dengan kejang, psikosis dan paralisis pada
penderita. Penderita yang meninggal awal, biasanya terjadi pada fase aktif dari lupus
erythematosus disertai kelainan pada organ ginjal, menerima dosis tinggi dari steroid, serta
mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit infeksi. Sedang pada penderita yang
meninggal belakangan mempunyai angka insiden yang tinggi karena atherosclerotic heart
disease dan infarct myocardial. Walaupun penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan,
namun prognosisnya lebih buruk pada penderita laki-laki
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL. Harrison’s
principles of internal medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill;2005.
3. Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet Encyclopedia.2005.
4. American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research. Education.
Atlanta:Rheumatology; 2012.
5. Warrell DA, Cox TM, Firth JD, Edward J, Benz, editors. Oxford textbook of medicine. 4th
ed. Oxford: Oxford Press;2002.
6. Rheumatology Image Bank [homepage on the Internet]. Atlanta: American College of
Rheumatology; c2012 [cited 2012 Mar 28]. Rheumatology; [about 2 screens]. Available
from:
http://images.rheumatology.org/viewphoto.php?imageId=2861621&albumId=75674
7. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Systemic Lupus
Erythematosus Guidelines. Guidelines for referral and management of systemic lupus
erythematosus in adults. Arthritis and Rheumatism. 1999:42(9).p. 1785-96.
8. WebMD [homepage on the Internet]. Lupus Health Center; c2005-2012 [cited 2012 Apr
2]. Drug induced lupus; [about 2 screens]. Available
from:http://lupus.webmd.com/tc/drug-induced-lupus-topic-overview
9. Monica RP, Derrick TJ. Pulmonary manifestation of systemic lupus erythematosus. US
Respiratory disease. 2011:7(1): 43-8

More Related Content

What's hot

Kelompok 1 makalah
Kelompok 1 makalahKelompok 1 makalah
Kelompok 1 makalahtika putri
 
Responsi sirosis hati rkg
Responsi sirosis hati  rkgResponsi sirosis hati  rkg
Responsi sirosis hati rkgRudy Kg
 
Atypical Manifestations dengue virus infection
Atypical Manifestations dengue virus infection Atypical Manifestations dengue virus infection
Atypical Manifestations dengue virus infection Soroy Lardo
 

What's hot (8)

Laporan kasus
Laporan kasusLaporan kasus
Laporan kasus
 
Laporan kasus ppok
Laporan kasus ppokLaporan kasus ppok
Laporan kasus ppok
 
Preskas dhf
Preskas dhfPreskas dhf
Preskas dhf
 
Kelompok 1 makalah
Kelompok 1 makalahKelompok 1 makalah
Kelompok 1 makalah
 
Responsi sirosis hati rkg
Responsi sirosis hati  rkgResponsi sirosis hati  rkg
Responsi sirosis hati rkg
 
Borang puskes
Borang puskesBorang puskes
Borang puskes
 
PPOK Case
PPOK CasePPOK Case
PPOK Case
 
Atypical Manifestations dengue virus infection
Atypical Manifestations dengue virus infection Atypical Manifestations dengue virus infection
Atypical Manifestations dengue virus infection
 

Viewers also liked

PresentaciónTrancas de Acero LATAM 2006
PresentaciónTrancas de Acero LATAM 2006PresentaciónTrancas de Acero LATAM 2006
PresentaciónTrancas de Acero LATAM 2006Pablo Jalvo Johnson
 
Www.tvcskyshop.net
Www.tvcskyshop.netWww.tvcskyshop.net
Www.tvcskyshop.nettvcskyshopbd
 
Diagramación y composición jonathan olalla s2
Diagramación y composición jonathan olalla s2Diagramación y composición jonathan olalla s2
Diagramación y composición jonathan olalla s2dj vas olalla ayala
 
視知覺注意力訓練20100723
視知覺注意力訓練20100723視知覺注意力訓練20100723
視知覺注意力訓練20100723宜燁 吳
 
лялькова вистава
лялькова виставалялькова вистава
лялькова виставаsemyurihor
 
Літературно-музична композиція «Дай мені, мамо, хустку на згадку»
Літературно-музична композиція «Дай мені, мамо, хустку на згадку»Літературно-музична композиція «Дай мені, мамо, хустку на згадку»
Літературно-музична композиція «Дай мені, мамо, хустку на згадку»nvktereb
 

Viewers also liked (13)

Sebosea
SeboseaSebosea
Sebosea
 
PSORIASIS
PSORIASISPSORIASIS
PSORIASIS
 
Sindrom nefrotik
Sindrom nefrotikSindrom nefrotik
Sindrom nefrotik
 
PresentaciónTrancas de Acero LATAM 2006
PresentaciónTrancas de Acero LATAM 2006PresentaciónTrancas de Acero LATAM 2006
PresentaciónTrancas de Acero LATAM 2006
 
Sectores económicos
Sectores económicos Sectores económicos
Sectores económicos
 
Www.tvcskyshop.net
Www.tvcskyshop.netWww.tvcskyshop.net
Www.tvcskyshop.net
 
Valores de marca
Valores de marcaValores de marca
Valores de marca
 
La Teoría del color
La Teoría del colorLa Teoría del color
La Teoría del color
 
Diagramación y composición jonathan olalla s2
Diagramación y composición jonathan olalla s2Diagramación y composición jonathan olalla s2
Diagramación y composición jonathan olalla s2
 
Aqueous Humour Dynamics
Aqueous Humour DynamicsAqueous Humour Dynamics
Aqueous Humour Dynamics
 
視知覺注意力訓練20100723
視知覺注意力訓練20100723視知覺注意力訓練20100723
視知覺注意力訓練20100723
 
лялькова вистава
лялькова виставалялькова вистава
лялькова вистава
 
Літературно-музична композиція «Дай мені, мамо, хустку на згадку»
Літературно-музична композиція «Дай мені, мамо, хустку на згадку»Літературно-музична композиція «Дай мені, мамо, хустку на згадку»
Літературно-музична композиція «Дай мені, мамо, хустку на згадку»
 

Similar to 237622675 case-intoksikasi-aseton-docx

Case eki 1 sle fix ya
Case eki 1 sle fix yaCase eki 1 sle fix ya
Case eki 1 sle fix yabeequeen_30
 
216781903 case-anestesi
216781903 case-anestesi216781903 case-anestesi
216781903 case-anestesihomeworkping8
 
Case Thyroid Heart Disease
Case Thyroid Heart DiseaseCase Thyroid Heart Disease
Case Thyroid Heart DiseaseDondy Juliansyah
 
213112145 contoh-case
213112145 contoh-case213112145 contoh-case
213112145 contoh-casehomeworkping8
 
245494656-LAPORAN-KASUS-thypoid-fever-ppt.ppt
245494656-LAPORAN-KASUS-thypoid-fever-ppt.ppt245494656-LAPORAN-KASUS-thypoid-fever-ppt.ppt
245494656-LAPORAN-KASUS-thypoid-fever-ppt.pptImamMulyadi4
 
kejang demam sederhana dehidrasi akut
kejang demam sederhana dehidrasi akut kejang demam sederhana dehidrasi akut
kejang demam sederhana dehidrasi akut Nuzulul Laras
 
Longcase Demam Dengue Dr Galuh - Nadya Rahma Indarti.pptx
Longcase Demam Dengue Dr Galuh - Nadya Rahma Indarti.pptxLongcase Demam Dengue Dr Galuh - Nadya Rahma Indarti.pptx
Longcase Demam Dengue Dr Galuh - Nadya Rahma Indarti.pptxnadyarahma111
 
BAB II CH 2 Jongga print (AutoRecovered).docx
BAB II CH 2 Jongga print (AutoRecovered).docxBAB II CH 2 Jongga print (AutoRecovered).docx
BAB II CH 2 Jongga print (AutoRecovered).docxabdulrazak928000
 
Hepatitis drug induced
Hepatitis drug inducedHepatitis drug induced
Hepatitis drug induceddewisieait
 
PPT LAPKAS ANAK DEMAM TIOID (SELI).pptx
PPT LAPKAS ANAK  DEMAM TIOID (SELI).pptxPPT LAPKAS ANAK  DEMAM TIOID (SELI).pptx
PPT LAPKAS ANAK DEMAM TIOID (SELI).pptxRiskiSyahputra4
 
221840205 neuro-case
221840205 neuro-case221840205 neuro-case
221840205 neuro-casehomeworkping9
 
SJS TEN Lapkas.pptx
SJS TEN Lapkas.pptxSJS TEN Lapkas.pptx
SJS TEN Lapkas.pptxDellaSepta
 
172428176 kejang-demam-case-surjo
172428176 kejang-demam-case-surjo172428176 kejang-demam-case-surjo
172428176 kejang-demam-case-surjohomeworkping8
 
Dokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2d
Dokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2dDokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2d
Dokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2dnajmiatulislami
 
Case Report ITP
Case Report ITPCase Report ITP
Case Report ITPKharima SD
 
PRESUS ASTER HANA KALITA NADA SHAUTI.pptx
PRESUS ASTER HANA KALITA NADA SHAUTI.pptxPRESUS ASTER HANA KALITA NADA SHAUTI.pptx
PRESUS ASTER HANA KALITA NADA SHAUTI.pptxnananurdahlia
 
LAPKAS CHF.pptx
LAPKAS CHF.pptxLAPKAS CHF.pptx
LAPKAS CHF.pptxIvanOnggo1
 

Similar to 237622675 case-intoksikasi-aseton-docx (20)

Case eki 1 sle fix ya
Case eki 1 sle fix yaCase eki 1 sle fix ya
Case eki 1 sle fix ya
 
216781903 case-anestesi
216781903 case-anestesi216781903 case-anestesi
216781903 case-anestesi
 
Case Thyroid Heart Disease
Case Thyroid Heart DiseaseCase Thyroid Heart Disease
Case Thyroid Heart Disease
 
213112145 contoh-case
213112145 contoh-case213112145 contoh-case
213112145 contoh-case
 
245494656-LAPORAN-KASUS-thypoid-fever-ppt.ppt
245494656-LAPORAN-KASUS-thypoid-fever-ppt.ppt245494656-LAPORAN-KASUS-thypoid-fever-ppt.ppt
245494656-LAPORAN-KASUS-thypoid-fever-ppt.ppt
 
kejang demam sederhana dehidrasi akut
kejang demam sederhana dehidrasi akut kejang demam sederhana dehidrasi akut
kejang demam sederhana dehidrasi akut
 
Kolelitiasis lapsus Rezza.docx
Kolelitiasis lapsus Rezza.docxKolelitiasis lapsus Rezza.docx
Kolelitiasis lapsus Rezza.docx
 
Longcase Demam Dengue Dr Galuh - Nadya Rahma Indarti.pptx
Longcase Demam Dengue Dr Galuh - Nadya Rahma Indarti.pptxLongcase Demam Dengue Dr Galuh - Nadya Rahma Indarti.pptx
Longcase Demam Dengue Dr Galuh - Nadya Rahma Indarti.pptx
 
BAB II CH 2 Jongga print (AutoRecovered).docx
BAB II CH 2 Jongga print (AutoRecovered).docxBAB II CH 2 Jongga print (AutoRecovered).docx
BAB II CH 2 Jongga print (AutoRecovered).docx
 
Hepatitis drug induced
Hepatitis drug inducedHepatitis drug induced
Hepatitis drug induced
 
Pneumonia
PneumoniaPneumonia
Pneumonia
 
PPT LAPKAS ANAK DEMAM TIOID (SELI).pptx
PPT LAPKAS ANAK  DEMAM TIOID (SELI).pptxPPT LAPKAS ANAK  DEMAM TIOID (SELI).pptx
PPT LAPKAS ANAK DEMAM TIOID (SELI).pptx
 
221840205 neuro-case
221840205 neuro-case221840205 neuro-case
221840205 neuro-case
 
SJS TEN Lapkas.pptx
SJS TEN Lapkas.pptxSJS TEN Lapkas.pptx
SJS TEN Lapkas.pptx
 
172428176 kejang-demam-case-surjo
172428176 kejang-demam-case-surjo172428176 kejang-demam-case-surjo
172428176 kejang-demam-case-surjo
 
Dokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2d
Dokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2dDokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2d
Dokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2d
 
Case Report ITP
Case Report ITPCase Report ITP
Case Report ITP
 
PRESUS ASTER HANA KALITA NADA SHAUTI.pptx
PRESUS ASTER HANA KALITA NADA SHAUTI.pptxPRESUS ASTER HANA KALITA NADA SHAUTI.pptx
PRESUS ASTER HANA KALITA NADA SHAUTI.pptx
 
LAPKAS CHF.pptx
LAPKAS CHF.pptxLAPKAS CHF.pptx
LAPKAS CHF.pptx
 
194978819 case-anak
194978819 case-anak194978819 case-anak
194978819 case-anak
 

More from homeworkping3

238304497 case-digest
238304497 case-digest238304497 case-digest
238304497 case-digesthomeworkping3
 
238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2homeworkping3
 
238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeeding238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeedinghomeworkping3
 
238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elx238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elxhomeworkping3
 
238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-set238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-sethomeworkping3
 
238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-full238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-fullhomeworkping3
 
238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-water238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-waterhomeworkping3
 
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadingshomeworkping3
 
237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7homeworkping3
 
237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-case237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-casehomeworkping3
 
237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studies237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studieshomeworkping3
 
237754196 case-study
237754196 case-study237754196 case-study
237754196 case-studyhomeworkping3
 
237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnover237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnoverhomeworkping3
 
237712710 case-study
237712710 case-study237712710 case-study
237712710 case-studyhomeworkping3
 
237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6homeworkping3
 

More from homeworkping3 (20)

238304497 case-digest
238304497 case-digest238304497 case-digest
238304497 case-digest
 
238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2
 
238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeeding238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeeding
 
238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elx238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elx
 
238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-set238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-set
 
238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-full238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-full
 
238057402 forestry
238057402 forestry238057402 forestry
238057402 forestry
 
238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-water238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-water
 
238056086 t6-g6
238056086 t6-g6238056086 t6-g6
238056086 t6-g6
 
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
 
237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7
 
237968686 evs-1
237968686 evs-1237968686 evs-1
237968686 evs-1
 
237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-case237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-case
 
237922817 city-cell
237922817 city-cell237922817 city-cell
237922817 city-cell
 
237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studies237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studies
 
237768769 case
237768769 case237768769 case
237768769 case
 
237754196 case-study
237754196 case-study237754196 case-study
237754196 case-study
 
237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnover237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnover
 
237712710 case-study
237712710 case-study237712710 case-study
237712710 case-study
 
237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6
 

Recently uploaded

Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024budimoko2
 
Model Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public RelationsModel Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public RelationsAdePutraTunggali
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxc9fhbm7gzj
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxarnisariningsih98
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxnerow98
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfKelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfmaulanayazid
 
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxErikaPuspita10
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 

Recently uploaded (20)

Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
 
Model Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public RelationsModel Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public Relations
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfKelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
 
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 

237622675 case-intoksikasi-aseton-docx

  • 1. Get Homework/Assignment Done Homeworkping.com Homework Help https://www.homeworkping.com/ Research Paper help https://www.homeworkping.com/ Online Tutoring https://www.homeworkping.com/ click here for freelancing tutoring sites KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Karawang. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Budowin, Sp.PD yang telah membimbing penulis dalam mengerjakan laporan kasus ini, serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penulis selama di kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Karawang. Tak lupa juga ucapan terima kasih penulis haturkan kepada teman-teman
  • 2. seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis. Dengan penuh kesadaran dari penulis, meskipun telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan laporan kasus ini, namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. Karawang, Agustus 2014 Eva Natalia Br. Manullang BAB I LAPORAN KASUS I. Identitas Nama : Ny. N Umur : 20 tahun
  • 3. Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Teluk Jambe Agama : Islam Suku : Sunda Status : Menikah Pendidikan : SMA Pekerjaan : Pegawai Alfamart Tanggal masuk RS : 20Agustus 2014 II. Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 23 Juli 2014 di bangsal Rengasdengklok. a. Keluhan Utama Muntah-muntah sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. b. Keluhan Tambahan Mual, tenggorokan terasa panas, sesak, c. Riwayat Penyakit Sekarang Os datang ke IGD RSUD Karawang pada tanggal 20 Agustus 2014 dengan keluhan muntah-muntah sejak 2 jam yang lalu. Sebelum 2 jam datang ke RSUD Karawang Os. Mengaku minum pembersih cat kuku sebanyak 1 botol. Os. Muntah sebanyak lebih dari 10x dan berisi air dan makanan. Os juga mengatakan selama perjalanan ke rumah sakit os pingsan. Os juga mengeluh tenggorokan terasa panas dan sesak.
  • 4. d. Riwayat Penyakit Dahulu Os. Memiliki riwayat penyakit maag sejak 6 tahun yang lalu. Os tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru, pinyakit liver, penyakit ginjal dan penyakit Diabetes Melitus e. Riwayat Penyakit Keluarga Os mengatakan dikeluarga tidak memiliki penyakit hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit ginjal dan penyakit Diabetes Melitus f. Riwayat Kebiasaan Os memiliki kebiasaan mengkonsumsi minum kopi tiap pagi hari. Os tidak memiliki kebiasaan merokok, mengkonsumsi minuman alkohol, minum-minuman berenergi dan jamu-jamuan. III. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2014. Hasilnya adalah sebagai berikut: I. Keadaan Umum a. Kesan sakit : TSR b. Kesadaran : Compos mentis II. Tanda Vital a. Tekanan darah : 100/60 mmHg b. Frek. Nadi : 83x/ menit c. Frek. Nafas : 24 x/ menit d. Suhu : 35,3 °C III. Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut. IV. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), V. Telinga : Bentuk normal, NT auricular (-/-), secret (-/-). VI. Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), secret (-), pernafasan cuping hidung (-). VII. Leher :
  • 5. KGB dan tiroid tidak teraba membesar. VIII. Thorax  Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak. Palpasi : ictus cordis teraba pada linea midclavicula sinistra ICS 5 Perkusi : batas jantung dalam batas normal Auskultasi :BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)  Pulmo : Inspeksi : gerak dada simetris saat statis dan dinamis. Palpasi : vocal fremitus simetris Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronki (-/-), Wheezing (-/-). IX. Abdomen Inspeksi : Datar, sagging of the flank (-), smiling umbilicus (-), tidak tampak efloresensi yang bermakna. Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium, Hepar dan lien tidak teraba membesar Perkusi : Shifting dullness (-) Auskultasi : Bising usus (+) X. Ekstermitas Pitting Oedem _ _ - - akral hangat + +
  • 6. + + IV. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium darah : 20Agustus2014 Hematologi Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan Hemoglobin 11,2 g/dL 12 – 16  Leukosit 10.410/uL 3800 – 10600 Normal Trombosit 385.000/uL 150.000 – 450.000 Normal Hematokrit 34 % 35 - 45  Kimia Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan Glukosa Darah Sewaktu 106 mg/dl < 140 Normal Ureum 19,8 mg/dl 15,0 – 50,0 Normal Kreatinin 0,35 mg/dl 0,50 – 0,90  V. Diagnosis Kerja Pada kasus ini diagnosis kerjanya adalahIntoksikasi Aseton VI. Diagnosis Banding Diagnosis banding pada kasus ini adalah :  Gastritis Kronis VII. Penatalaksanaan
  • 7. Terapi yang diberikan di IGD  Bilas Lambung  NaCl 20 tpm  Omeprazole 2 x 1 ampul  Ondansentron 3 x 2 ampul VIII. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : Bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam IX. Follow Up 21 Agustus 2014 S Mual, muntah, nyeri ulu hati O TD : 110/60 mmHg, nadi : 100x/mnt, napas : 22x/mnt, suhu : 37,3ºC Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+ Wajah : Malar rash (+)
  • 8. Bibir : ulcer di bibir atas (+) Leher : dbn Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/- Abdomen : Supel, BU (+), nyeri tekan (+) di epigastrium Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/- Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem +/+ A Intoksikasi Aseton P  NaCl 20 tpm  Simavastatin 1x1  Ranitidin 2x1  Lasix 1x1 22Agustus 2014 S O TD : 130/60 mmHg, nadi : 120x/mnt, napas : 24x/mnt, suhu : 39ºC Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+ Wajah : Malar rash (+) Bibir : ulcer di bibir atas (+) Leher : dbn Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/- Abdomen : Supel, BU (+), nyeri tekan (+) di epigastrium Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/- Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/- A Intoksikasi Aseton P  Nacl 20 tpm  Pamol 4 x 500mg  Pantoprazole 2 x 1
  • 9.  Ondansentron 3 x 1 23 Agustus 2014 S O TD : 100/70 mmHg, nadi : 92x/mnt, napas : 20x/mnt, suhu : 38,3ºC Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+ Wajah : Malar rash (+) Bibir : ulcer di bibir atas (+) Leher : dbn Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/- Abdomen : Supel, BU (+) meningkat, nyeri tekan (+) di epigastrium dan kuadran kanan atas Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie +/+ Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie -/- A Intoksikasi Aseton P  Aminofluid 16 tpm  Inj. Ceftriakson 2 x 1  Pamol 3 x 1  Inj. Pantoprazole 2 x 1 24 Agustus 2014 S O TD : 100/60 mmHg, nadi : 75x/mnt, napas : 28x/mnt, suhu : 39ºC Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+ Wajah : Malar rash (+) Bibir : ulcer di bibir atas (+) Leher : dbn
  • 10. Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/- Abdomen : Supel, BU (+) meningkat, nyeri tekan (+) di epigastrium Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie +/+ Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie -/- A Intoksikasi Aseton P  Aminofluid 16 tpm  Inj. Ceftriakson 2 x 1  Pamol 3 x 1  Inj. Pantoprazole 2 x 1 25 Agustus 2014 S O TD : 130/60 mmHg, nadi : 120x/mnt, napas : 24x/mnt, suhu : 39ºC Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra +/+ Wajah : Malar rash (+) Bibir : ulcer bibir atas (+) Leher : dbn Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/- Abdomen : Supel, BU (+), nyeri tekan (+) di epigastrium Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie +/+ Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/-, petekie -/- A Intoksikasi Aseton P  Metil Prednisolon 4 x 125mg  Inj. Ceftriakson  Pamol 3 x 1
  • 11. BAB II ANALISA KASUS Seorang priausia 28 tahun dirawat di RSUD Karawang dengan keluhan demam dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Demam dirasakan meningkat pada malam hari dan menurun pada pagi hari. Pasien juga mengeluh kejang diseluruh tubuh 1 hari SMRS.
  • 12. Pasien juga mengeluh bengkak dikedua kelopak mata atas dan mengeluh bibir sariawan sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh bintik-bintik merah disekitar pipi dan hidung serta di tangan kanan dan kiri. Pasien mengeluh mual, muntah dan diare. Pasien mengeluh badan terasa lemas dan pegal-pegal. Pasien juga merasa nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan laboratorium untuk darah rutin dan kimia darah, didapatkan Hemoglobin, trombosit, leukosit dan hemotrokit menurun. Ditemukan Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, maka didapatkan diagnosis suspect SLE ( Systemic Lupus Eritemaous). Penatalaksanaan pada pasien ini dengan bed rest dan pemberian obat – obatan Masalah Pembahasan Demam Demam disebabkan karena adanya reaksi inflamasi sehingga merangsang pembentukan dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Kejang Pada demam tinggi dapat meningkatkan metabolisme basal sehingga terjadi perbedaan potensial membran sel neuron diotak dan terjadi pelepasan muatan listrik di sel neuron yang akan menyebabkan terjadinya kejang. Kedua kelopak mata bengkak Terjadi akibat peradangan, maka dinding pembuluh darah kapiler menjadi lebih permeabelsehingga meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan interstitium) yang disertai dengan penimbunan cairan dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa (jaringan ikat longgar). Ulcer mukosa Terjadi dikarenakan system pertahanan imun tubuh yang menurun sehingga rentan terjadi infeksi. Bintik-bintik merah disekitar pipi ( Malar Rash) Adanya eritema berbatas tegas, datar, berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung Mual dan muntah Perut terasa mual disebabkan peningkatan sekresi asam lambung atau adanya iritasi pada lambung sehingga perut terasa mual dan merasa ingin
  • 13. muntah. Diare Disebabkan karena infeksi pada traktus gastrointestinal sehingga makanan/zat tidak dapat diserap mengakibatkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi dan terjadinya pergeseran air dan elektrolit sehingga merangsang usus untuk mengeluarkan dan terjadi kehilangan elektrolit dan cairan. Lemas  Kurangnya asupan nutrisi sehinggatubuh kekurangan energi  Disebabkan karena kadar hemoglobin dan eritrosit menurun yang akan menyebabkan O2ke jaringan menurun sehingga dapat terjadi penurunan metabolisme sel dan penurunan energi. Nafsu makan menurun Terjadi karena perut terasa mual. Gangguan Hematologi Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin : ( Hb , Leukosit Hemotrokit , Trombosit ) disebabkan karena produksi pembentukan sel darah menurun sehingga terjadi gangguan hematologi. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Systemic lupus erythematosus (SLE)adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen- komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. SLE adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
  • 14. diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. 2.2 Epidemiologi 90% pasien SLE adalah wanita umur subur, walaupun semua jenis kelamin, umur, dan kelompok ras dapat terkena. Perbandingan antara penderita perempuan dan laki-laki adalah 8:1. Kemungkinan terjadi pada ras negro 3 kali lebih besar dibandingkan ras Caucasoid. Suatu survei epidemiologi di Amerika menunjukkan bahwa angka kematian dan kesakitan tertinggi berada di kalangan Negro, kemudian diikuti oleh orang-orang dari Puerto Ricans baru oleh orang-orang kulit putih. Perbedaan ras, disebabkan oleh variasi normal dari g globulin, di mana kadar ini lebih tinggi di kalangan kaum Negro. Prevalensi SLE ada tendesi familiar. Faktor keluarga berkisar 10%, di mana anggota keluarga yang menderita SLE, mempunyai angka insidens yang meningkat untuk penyakit ini. SLE sering terjadi pada usia dewasa muda dengan puncaknya pada perempuan pada usia 30-an, dan pada laki-laki pada usia 40-an. Walaupun insidensi SLE masih tidak diketahui dan SLE dapat ditemukan pada semua usia namun didapatkan bahawa 20% kasus SLE mulai pada masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun. Pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris dilaporkan bahawa kelainan ginjal pada SLE lebih sering ditemukan di populasi Asia. Prevalensi penyakit SLE di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena system pelaporan masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Isidensi dan prevalensi penyakit SLE telah berubah secara dramatis menjadi semakin meningkat sejak 1970. Hal ini disebabkan karena tersedianya sarana diagnostic yang lebih baik yaitu criteria ACR 1997 untuk diagnosis penyakit SLE dan pemeriksaan laboratorium penunjang yang lebih baik. 2.3 Patofisiologi dan Etiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan. Pada wanita respons imun selular maupun humoral lebih besar dibandingkan pada pria. Wanita yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih
  • 15. hormone memiliki peningkatan risiko SLE. Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel ini, sehingga menunjang respons imun yang memanjang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Selain itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya. Pada SLE, sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada SLE adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan muncul berbagai macam autoantibodi pada penderita SLE. Peran antibodi-antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui. Beberapa ahli melaporkan kerusakan organ disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ tersebut. Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis SLE
  • 16. tergantung dari organ mana yang terkena. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24- 69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA- DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin. Faktor penyebab dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE. Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien, kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis pada sel kulit atau adanya perubahan DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenik. Sepertinya, beberapa infeksi memicu respons imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal self-antigen. Pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi autobodi kemudian terjadi. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetik. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam beberapa dekade. Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun
  • 17. untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis. GAMBAR 1: Hipotesis pathogenesis penyakit SLE. (Dikutip dari: Nguyen et al “Hypothetical pathways involved in the pathogenesis of SLE” Arthritis Research 2002, Vol.4:3, pp.S255.) 2.4 Mortalitas dan Morbiditas Perjalanan alamiah penyakit SLE sangat bervariasi dari penyakit dengan gejala ringan hingga penyakit yang progresif cepat dan fatal. Sebagian besar pasien yang terdiagnosis berusia antara 14-64 tahun, dan gejala SLE biasanya hilang timbul selama hidup penderita. Pasien dengan kelainan kulit dan muskuloskeletal saja memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi dibanding penyakit dengan keterlibatan renal dan susunan saraf pusat. Meski terdapat perbaikan
  • 18. angka harapan hidup, pasien dengan SLE tetap memiliki risiko kematian 3 kali lebih tinggi dibanding populasi umum. Angka harapan hidup 10 tahun saat ini telah mendekati 90%, lebih baik dibanding sebelum tahun 1955, angka harapan hidup 5 tahun tidak sampai 50%. Penurunan angka kematian ini kemungkinan adanya perbaikan dalam kriteria diagnosis, sehingga penderita yang terdiagnosis lebih dini akan lebih mudah diterapi. Perbaikan sistem penatalaksanaan dan semakin baiknya pelayanan medik juga merupakan faktor yang berpengaruh. Sepertiga kasus terkait SLE yang meninggal di Amerika Serikat terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 45 tahun. Kematian terkait SLE spesifik, seperti nefritis, biasanya terjadi pada onset 5 tahun pertama sejak gejala SLE muncul. Komplikasi infeksi yang berhubungan dengan SLE aktif, sekarang juga telah menjadi penyebab penting pada awal-awal penyakit. Penyakit kardiovaskular dan keganasan, yang mungkin berhubungan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik, menjadi penyebab utama kematian jangka panjang. The Framingham Offspring Study mendemonstrasikan bahwa wanita berusia 35-44 tahun dengan SLE memiliki risiko miokard infark 50 kali lebih besar dibanding wanita sehat. Penyebab percepatan penyakit arteri koroner sebenarnya multifaktorial, yaitu disfungsi endotel, mediator inflamasi, atherogenesis akibat steroid, dan dislipidemia akibat gangguan renal. Lupus aktif (34%), infeksi (22%), penyakit kardiovaskular (16%), dan keganasan (6%) menjadi penyebab kematian pada 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitoring selama 11 tahun. 2.5 Manifestasi Klinis Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga kemunculan dan perjalanan penyakitnya bervariasi. SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda. Jika ditemukan trias demam, nyeri sendi dan rash pada wanita usia subur, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan manifestasi klinis yang paling sering pada penderita SLE.
  • 19. GAMBAR 2: Manifestasi klinis SLE Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ. Dalam selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparahan SLE beragam mulai dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang. Remisi permanen sempurna yaitu hilangnya gejala tanpa pengobatan jarang terjadi.
  • 20. Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan menjadi manifestasi umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ targetnya. Manifestasi SLE adalah sebagai berikut: 2.5.1 Manifestasi Umum Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE. Demam pada SLE dapat mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam pada penyakit ini biasanya tidak disertai dengan menggigil. Penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat demam dan menurunnya nafsu makan. Gejala konstitusional lain yang sering dijumpai pada penyakit SLE, yang timbul sebelum ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit kepala. 2.5.2 Manifestasi Muskuloskeletal Kebanyakan pasien SLE memiliki poliarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran X-Ray sendi jarang ditemukan. Keberadaannya menandakan peradangan arthropati non lupus seperti rheumatoid arthritis. Beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, terutama jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya. Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan kadar kreatinin kinase, MRI Scan positif, nekrosis otot dan peradangan pada biopsi dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glukokortikoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan kelemahan otot. Efek samping ini mesti dibedakan dari penyakit aktif.
  • 21. 2.5.3 Manifestasi Penyakit Kulit Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau lainnya. Lesi diskoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanen rusak. Lesi dapat memperburuk estetik, terutama pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE, walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif. Namun, di antara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah terutama pada pipi dan sekitar hidung, juga dikenali sebagai “buterfly rash”, telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus- like, bullar, dan pannikulitis atau lupus profundus. Bercak dapat ringan atau berat, dan dapat menjadi manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE, lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.
  • 22. GAMBAR 3: Malar rash3 GAMBAR 4: Discoid rash7 2.5.4 Manifestasi Renal 1,3,8,12 Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama penyakit ini. Lupus nephritis diperkirakan terjadi pada 50% pasien SLE. Pada kebanyakan pasien ini, lupus nephritis terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE, urinalisis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis. Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan immunofluoresensi. Class II: Mesangial Proliferative Lupus Nephritis Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matriks mesangial dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samar dapat terlihat dengan immunofluoresensi atau mikroskop elektron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.
  • 23. Class III: Focal Lupus Nephritis Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau ekstrakapiler terjadi pada <50%. Class III (A) : Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis. Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis. Class III (C) : Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular-focal sclerosing lupus nephritis. Class IV: Diffuse Lupus Nephritis Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan >50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan deposit imun yang difus, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika >50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika >50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus. Class IV-S (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative Class IV-G (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis sclerosing Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis sclerosing.
  • 24. Class IV-S (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse segmental sclerosing Class IV-G (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse global sclerosing Class V: Membranous Lupus Nephritis Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop elektron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat. Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis >90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual. TABEL 1: Klasifikasi nefritis lupus menurut International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003. Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau di masa akan datang. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam). Sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami End Stage Renal Disease (ESRD) dalam 2 tahun diagnosis. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsi ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk
  • 25. kebanyakan orang dengan lupus nephritis, terjadi percepatan pada proses aterosklerosis sehingga untuk mengendalikan tekanan darah, hiperlipidemia, dan hiperglikemia pada pasien ini. 2.5.5 Manifestasi Sistem Saraf Terdapat banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE. Pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE, jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang. Kejang juga dapat disebabkan oleh lupus dan penanganannya seringkali membutuhkan obat anti kejang dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi manifestasi dominan pada SLE. Hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Psikosis biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan. Myelopati tidak jarang terjadi dan seringkali menimbulkan kecacatan. Terapi immunosupresif harus segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi. 2.5.6 Oklusi Vaskuler Prevalensi dari transient ischemic attack, stroke, dan infark myokard meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE dengan antibodi terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibodi antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal, baik noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis, atau dengan embolisasi dari plak arteri karotid atau dari vegetasi fibrinous dari Libman-Sack endokarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan, intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan antikoagulasi. Pada SLE, infark myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan risiko kejadian
  • 26. vaskuler dapat mencapai 7 hingga 10 kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada wanita. Peran dari terapi statin pada SLE masih dalam penelitian. 2.5.7 Manifestasi Pulmoner Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural. Pasien SLE dengan presentasi tachypneu, batuk, hemoptysis dan deman harus diurigai adanya manifestasi di paru. Gejala ini, jika ringan, dapat berespons dengan pemberian terapi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs). Jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar. Semua kemungkinan ini membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini, begitu pula dengan perawatan suportif. 2.5.8 Manifestasi Penyakit Jantung Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi. Biasanya pericarditis ini berespon dengan terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah miokarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endokardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakannya pada katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus miokarditis atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Pasien dengan SLE mengalami peningkatan risiko infark miokard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ.
  • 27. 2.5.9 Manifestasi Hematologik Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya normokromik normositik, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolisis dapat cepat dalam onset dan beratnya, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi, dan ini efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu mengandung limfopenia, bukan granulositopenia. Keadaan ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Trombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi, terapi glukokortikoid dosis tinggi biasanya efektif. 2.5.10 Manifestasi Gastrointestinal Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis autoimun. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi tambahan. 2.5.11 Manifestasi Okuler Sindrom Sicca atau Sindrom Sjögren dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis optik yang merupakan manifestasi berat. Kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Manifestasi okuler pada SLE disebabkan oleh pelbagai mekanisme. Antaranya adalah deposit kompleks imun, vaskulitis dan thrombosis. Antibodi anti fosfolipid dapat menyebabkan penyakit vasooklusif pada retina. Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara lain adalah pada: A. Palpebra : Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang tak jarang mengenai pipi dan hidung.
  • 28. B. Konjungtiva : Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa. Reaksi ini dapat lokal atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat menyebabkan pengerutan konjungtiva. C. Sklera : Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan bertambah berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi skleritis nekrotik yang melanjut dari tempat lesi semula ke segala jurusan sampai dihentikan dengan pengobatan. D. Uvea : Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia. E. Retina : Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses peradangan. Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak kedua setelah keratokonjungtivitis sicca. Penderita retinopati SLE memiliki penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan yang aggresif pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting. Keluhan nyeri pada mata atau gangguan penglihatan pada pasien SLE memerlukan tindakan yang segera dan specialistik. Skeleritis dan retinopati lupus biasanya diterapi dengan immunosuppresif agresif walaupun belum ada penelitian untuk membuktikan efektivitasnya. Manifestasi pada mata juga dapat terjadi akibat komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk katarak dan glaucoma. 2.6 Diagnosis
  • 29. Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan criteria American College of Rheumatology (ACR) 1982 yang telah direvisi pada tahun 1997, yaitu jika paling sedikit ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Gejala Penjelasan Malar Rash (Butterfly rash) Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar) Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut atropi dapat terjadi. Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan bercak-bercak Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi Serositis Pleurits atau perikarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atau ditemukan corak seluler, tubuler atau campuran dalam sedimen urin. Gangguan neurologik Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas Gangguan hematologik Anemia hemolisis dengan retikulositosis atau leukopenia < 4000/mm3 atau limfopenia <1500/mm3 atau thrombositopenia <100 000/mm3 tanpa
  • 30. pemberian obat-obatan yang menyebabkan thrombositopenia. Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya. TABEL 2: Kriteria diagnostik untuk SLE menurut American College of Rheumatology. Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibodi. Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE dengan spesifitas 95% dan sensitivitas 75% menurut Hahn et al, 2005. Pada beberapa pasien, gejala semakin berat dalam selang waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien SLE selama perjalanan penyakit. Pemeriksaan ANA berulang yang negatif menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibodi lainnya ditemukan. Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibodi pada antigen Sm spesifik untuk SLE mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibodi pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko, karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibodi. Pemeriksaan penunjang antibodi anti nuclear (ANA) merupakan uji penyaring yang terbaik untuk menegakkan diagnosis SLE. ANA hampir selalu positif pada lebih dari 95% pasien SLE dan pemeriksaan ANA harus selalu dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai SLE. ANA tidak selalu spesifik untuk SLE karena ANA dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti skeloderma, artritis rematoid, atau drugs induced lupus erythematosus seperti isoniazid. Antibodi yang lebih spesifik untuk SLE adalah antibodi anti ds-DNA dan anti SM, walaupun sensitivitasnya pada SLE masing-masing adalah 75% (anti ds-DNA) dan 25% (anti SM).
  • 31. Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan positif 1/40, titer yang tinggi anti dsDNA ( positif 949 iu/ml ), C3 adan C4a yang menurun, serta LED meningkat menandakan proses penyakit pada pasien ini sedang aktif dan berat. Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat proses penyakit yang sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi. Pemeriksaan serologis untuk deteksi ANA dalam serum penderita SLE dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain metode imunofluoresens (direk dan indirek), immunodiffusion, immunoprecipitation (Farr assay), ELISA dan immunoblotting.Penderita penyakit SLE cenderung mempunyai ANA dengan titer tinggi. Hasil ANA positif palsu dapat dijumpai pada penyakit infeksi kronis, seperti endokarditis bakterialis subakut, tuberculosis, hepatitis dan malaria. Menurut Tim Reumatologi Rumah Sakit Hasan Sadikin, criteria ACR 1997 mempunyai sensitivitas 85% dan specifisitas 95% dalam penegakan diagnosis penyakit SLE. Menurut penelitian Wallach pada tahun 2000, hasil pemeriksaan serologis ANA dan dsDNA positif, disertai hipokomplemennemia mempunyai arti diagnostic SLE 100%.
  • 32. GAMBAR 5: Algoritme Diagnosis SLE. (Dikutip dari: Gill J et al, “Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus” American Family Physian 2003, Vol.68:11, pp.2179- 2186.)
  • 33. 2.7 Penatalaksanaan Secara garis besar, penatalaksanaan SLE meliputi penatalaksanaan non farmakologis atau penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan farmakologis seperti berikut: Penatalaksanaan Umum Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi, sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Penatalaksanaan mencakup penatalaksanaan umum dan terapi konservatif. Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain :  Edukasi Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit dengan perjalanan yang kronik. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup memadai tentang berbagai macan manifestasi klinis yang dapat terjadi, dan derajat keparahan penyakit yang berbada-beda, sehingga penderita SLE memahami dan dapat mengurangi rasa cemas yang berlebihan.  Kelelahan Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi dari pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup.  Merokok
  • 34. Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada rokok.  Cuaca Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.  Stres dan trauma fisik Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui penurunan respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahawa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang primaakan memperbaiki penyakitnya.  Diet Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien SLE. Makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.  Sinar ultra violet Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi sehingga pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut.  Kontrasepsi oral
  • 35. Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen. Penatalaksanaan Farmakologis Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.  NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID) NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Dapat diberikan aspirin 500 mg per oral, 3 kali sehari. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. NSAID golongan baru, COX2 inhibitor dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan dan meningitis aseptik.  Antimalaria Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama Lupus Erithematosus Diskoid dan Lupus Erithematosus Kutaneus Subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemprosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi neutrofil dan metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi
  • 36. sinar UV. Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Hidroksiklorokuin juga dapat menurunkan kadar lipid dan kemungkinan juga bersifat sebagai anti trombotik. Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia iaitu hidroksiklorokuin (dosis 200 mg 2x per hari), klorokuin (250 mg per hari) dan kuinarkrin (100 mg 4x per hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah, timbulnya ruam, toksisitas retina dan toksisitas neurologis. Perlu pemantauan kelainan mata setiap 3 bulan untuk memantau efek samping antimalaria.  Kortikosteroid Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topical atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intraartikuler digunakan untuk arthritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian peroral dosisnya bervariasi antara 5 mg-30 mg prednisone atau metil prednisolon per hari, secara tunggal maupun dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Sering kali, kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan mendapatkan induksi yang cepat kemudian dapat segera diturunkan dosisnya. Keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari. Kortikosteriod parenteral juga dapat digunakan dengan dosis sesuai ekuivalennya. Pada keadaan sangat berat yang mengancam jiwa, bolus metilprednisolone 1000 mg dapat digunakan selama 3 hari berturut-turut. Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirtutism, percepatan osteoporosis, osteonekrosis, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, miopati, hipokalemia, menstruasi tidak teratur, iritabilitas, insomnia dan psikosis. Oleh itu, setelah aktivitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan. Prednisone dengan dosis 15 mg/hari diberikan pada pagi hari tidak menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat meminimalisasi beberapa efek samping. Untuk meminimalkan efek samping osteoporosis, dapat
  • 37. diberikan suplemen kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D 50,000 unit 1-3 kali seminggu. Dalam mencegah osteoporosis dapat juga diberikan calcitonin dan bisfosfonat. Terapi Imunomodulator  Cyclophosphamide Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ yang berat, terutama lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid dan cyclosphosphamide bolus intravena 0,5- 1,0 g/mm2 lebih efektif disbanding hanya kortikosteriod saja dalam pencegahan sequel ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Menurut WHO dengan evidence base tingkat 4, respon paling baik adalah pada lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi nonrenal yang efektif dengan cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan system saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis. Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan sampai 2,5-3,0 mg/kg dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi setiap 2 minggu. Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi. Rambut rontok kadang kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat dihentikan. Leukopenia yang bersifat dose dependent biasanya timbul 8-12 hari setelah pengobatan. Perlu dilakukan penyesuaian dosis dengan jumlah leukosit. Juga terdapat resiko terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus terutama herpes zoster. Efek samping pada gonad dapat menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azoospermia. Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide yang dapat menyebabkan iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan terjadinya sistitis hemoragik, fibrosis dan karsinoma sel skuamosa transitional pada penggunaan jangka panjang. Pada pemberian cyclophosphamide bolus intravena diberikan hidrasi yang adekuat dan Mesna sebagai pengikat acrolein dengan dosis 20% dari total dosis cyclophosphamide. Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika urinaria juga perlu dilakukan.
  • 38.  Mycophenolate mofetil (MMF) MMF merupakan inhibitor reversible inosine monophosphate dehydrogenase, suatu enzim yang penting untuk sintesis purine. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan sel T dan mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF merupakan pengobatan yang efektif terhadap lupus nefritis. MMF dapat mengurangkan proteinuria dan memperbaiki serum kreatinin pada penderita SLE dan nefritis yang resisten dengan cyclophosphamide. Efek samping MMF pada umumnya adalah leucopenia, nausea dan diare. MMF diberikan dengan dosis antara 500-1000 mg, 2 kali per hari.  Azathioprine Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle, obat ini digunakan sebagai alternative cyclophosphamide untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manofestasi nonrenal. Azathioprine diindikasikan untuk miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian dimulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan neutrofil > 1000/mm3. Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan efek samping gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan eksresinya di ginjal, fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodic. Penyesuaian dosis diperlukan pada gangguan fungsi hati dan ginjal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensifitas dengan manifestasi demam, rash di kulit dan peningkatan serum tranaminase. Keluhan biasanya bersifat reversible dan menghilang setelah obat dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya keganasan, seperti limfoma non Hodgkin pernah dilaporkan pada penderita SLE yang mendapat azathioprine.
  • 39.  Leflunomide Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan pada pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat pada pasien SLE yang mulai ketergantungan steroid. Pemberiannya dimulai dengan loading dose 100 mg/hari untuk 3 hari, kemudian diikuti dengan dosis 20 mg/hari.  Methotrexate Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 15-20 mg secara oral satu kali seminggu. Methotrexate terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping methotrexate antara lain adalah peningkatan serum transaminase, keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer.  Cyclosporine Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi seperti C3, C4 dan anti-ds DNA serta aktivitas penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hyperplasia gingival, hipertrichosis dan peningkatan serum kreatinin.  Agen Biologis Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoantigen dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel yang selanjutnya akan mempengaruhi respon imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibody monoclonal chimeric yang melawan reseptor DC 20 yang dipresentasikan sel B limfosit. Anti CD 20 atau Rituximab memiliki potensi terapi untuk SLE yang refrakter, antara lain pada system saraf sentral, renal, vaskulitis dan gangguan hematologic. LJP 394 atau Abetimus sodium dapat mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan
  • 40. mengurangi antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoxyribonukleotida yang terikat pada rangka trietilen glikol. Stimulator limfosit B atau BlyS merupakan bagian dari keluarga tumor necrosis factor (TNF) cytokine yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibody monoclonal human terhadap BlyS.  Terapi Hormon Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE. Dehydroepiandrosterone (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan dan sedang. Danazole, sejenis sintetik kortikosteroid dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia autoimmune terutama trombositopenia dan anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti (Estrogen Replacement Therapy) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause.  Terapi Lain Thalidomide dapat digunakan untuk pengobatan lupus discoid dengan dosis maintenance 25-50 mg/hari. Thalidomide dapat menginduksi remisi partial sebanyak 30% dan remisi lengkap sebanyak 60%. Thalidomide berguna pada kasus lupus discoid yang refrakter dengan kortikosteroid dan antimalaria. Neuropati perifer dapat terjadi pada penggunaaan thalidomide dan obat ini tidak boleh digunakan pada kehamilan karena efek teratogeniknya. Dapsone merupakan suatu sulfone yang efektif untuk mengatasi beberapa kelainan kulit termasuk lupus discoid. Retinoid yang memiliki efek anti inflamasi dan immunosuppressive telah digunakan luas baik secara oral maupun topical untuk pengobatan lupus cutaneous yang kronis. Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blockade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosuppressant, IVIgG tidak mempunyai efek meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Dengan dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut terjadi perbaikan trombositopenia, arthritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang
  • 41. terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika. Kontraindikasinya adalah penderita SLE yang disertai defisiensi IgA. TABEL 3: MEX LESDAI Score. 2.9 Komplikasi
  • 42. Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya sendiri atau komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri yang paling sering terjadi adalah infeksi sekunder karena system immune penderita yang immunocompromised. Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatan antiphospholidip antibody. Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan infark miokard prematur. 2.10 Prognosis Prognosis dari perjalanan penyakit SLE bervariasi. Sebelum steroid ditemukan, 52% penderita meninggal dalam 2 tahun dan sisanya bertahan sampai 11 tahun. Pada tahun 1977, 91% penderita dilaporkan hidup hingga 5 tahun. Sekarang, 75% penderita mampu hidup hingga 15 tahun dan lebih dari 90% dilaporkan hidup hingga 10 tahun. Prognosis penderita tergantung dari organ-organ yang terkena. Keterlibatan organ ginjal dan sistem saraf pusat memberikan prognosis yang buruk. 84% penderita tanpa kelainan pada ginjal mampu bertahan hidup hingga 15 tahun dibandingkan dengan penderita yang mengalami kelainan (57%). Penderita yang mengalami remisi spontan sebanyak 35% dapat hidup hingga 20 tahun. Prognosis yang lebih baik pada penderita tidak hanya karena pemberian kortikosteroid, tetapi juga karena adanya penegakan diagnosis yang dini. Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan ginjal yang parah, bronchopneumonia, atau peritonitis spontan yang merupakan komplikasi dari lupus nephritis yang dapat diterapi dengan kortiosteroid. Selain itu, dapat juga terjadi karena vaskulitis pada sistem saraf pusat yang muncul dengan kejang, psikosis dan paralisis pada penderita. Penderita yang meninggal awal, biasanya terjadi pada fase aktif dari lupus erythematosus disertai kelainan pada organ ginjal, menerima dosis tinggi dari steroid, serta mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit infeksi. Sedang pada penderita yang meninggal belakangan mempunyai angka insiden yang tinggi karena atherosclerotic heart
  • 43. disease dan infarct myocardial. Walaupun penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan, namun prognosisnya lebih buruk pada penderita laki-laki DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. 2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill;2005. 3. Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet Encyclopedia.2005. 4. American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research. Education. Atlanta:Rheumatology; 2012. 5. Warrell DA, Cox TM, Firth JD, Edward J, Benz, editors. Oxford textbook of medicine. 4th ed. Oxford: Oxford Press;2002. 6. Rheumatology Image Bank [homepage on the Internet]. Atlanta: American College of Rheumatology; c2012 [cited 2012 Mar 28]. Rheumatology; [about 2 screens]. Available from: http://images.rheumatology.org/viewphoto.php?imageId=2861621&albumId=75674 7. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Systemic Lupus Erythematosus Guidelines. Guidelines for referral and management of systemic lupus erythematosus in adults. Arthritis and Rheumatism. 1999:42(9).p. 1785-96. 8. WebMD [homepage on the Internet]. Lupus Health Center; c2005-2012 [cited 2012 Apr 2]. Drug induced lupus; [about 2 screens]. Available from:http://lupus.webmd.com/tc/drug-induced-lupus-topic-overview 9. Monica RP, Derrick TJ. Pulmonary manifestation of systemic lupus erythematosus. US Respiratory disease. 2011:7(1): 43-8