Makalah ini membahas tentang evaluasi kinerja sumber daya manusia (SDM) dan audit kinerja. Topik utama yang dibahas meliputi pengertian kinerja SDM, faktor yang mempengaruhinya, pengukuran kinerja menggunakan HR Scorecard, penilaian kinerja, motivasi dan kepuasan kerja, pengelolaan potensi kecerdasan dan emosi SDM, peningkatan kompetensi, konsep audit kinerja, dan pelaksanaan audit kinerja. Tujuan
1. MAKALAH
EVALUASI KINERJA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Evaluasi Kinerja dan Kompensasi
Dosen Pengampu : Ade Fauji, SE., MM
Di Susun Oleh
EVI OKTAVIANI
11140833
7P-MSDM
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS BINA BANGSA
BANTEN
2017
2. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat
menyusun Makalah ini sebagai tugas dari Matakuliah Evaluasi Kinerja.
Makalah ini diharapkan Sebagai sumbangan pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu pengembangan sumber daya manusia dan
matakuliah evaluasi kinerja dan menjadi masukan informasi bagi perusahaan
dalam meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kinerja.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini
memberikan manfaat yang besar bagi kita semua, Amin.
Serang, 19 November 2017
Penulis
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kinerja SDM .............................................................................................. 3
2.2 Pengukuran Kinerja (HR Scorecard) ......................................................... 7
2.3 Motivasi dan Kepuasan.............................................................................. 13
2.4 Mengelola Potensi Kecerdasan dan Emosional SDM................................ 17
2.5 Membangun Kapabilitas Kompetensi SDM ............................................. 21
2.6 Konsep Audit Kinerja ................................................................................ 25
2.7 Pelaksanaan Audit Kinerja......................................................................... 27
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 35
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu persoalan penting dalam pengelolaan sumber daya manusia
(dalam tulisan ini disebut juga dengan istilah pegawai) dalam organisasi
adalah evaluasi kinerja pegawai dan pemberian kompensasi. Ketidak tepatan
dalam melakukan evaluasi kinerja akan berdampak pada pemberian
kompensasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku dan sikap
karyawan, karyawan akan merasa tidak puas dengan kompensasi yang
didapat sehingga akan berdampak terbalik pada kinerja pegawai yang
menurun dan bahkan karyawan akan mencoba mencari pekerjaan lain yang
memberi kompensasi baik. Hal ini cukup berbahaya bagi perusahaan apabila
pesaing merekrut atau membajak karyawan yang merasa tidak puas tersebut
karena dapat membocorkan rahasia perusahaan atau organisasi.
Evaluasi kinerja pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana kadar profesionalisme karyawan serta seberapa tepat pegawai telah
menjalankan fungsinya. Penilaian kinerja dimaksudkan untuk menilai dan
mencari jenis perlakuan yang tepat sehingga karyawan dapat berkembang
lebih cepat sesuai dengan harapan. Ketepatan pegawai dalam menjalankan
fungsinya akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian kinerja organisasi
secara keseluruhan. Tidak sedikit di perusahaan-perusahaan swasta maupun
negeri yang melakukan evaluasi kinerja pegawai tidak tepat, tidak sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada, pada akhirnya akan berdampak pada
pemberian kompensasi. Oleh karena itu, banyak para karyawan yang
kinerjanya menurun dan pada akhirnya harus mengundurkan diri karena
kompensasi yang tidak sesuai. Dengan adanya kasus seperti inilah bagi
instansi pemerintahan, maupun perusahaan swasta, evaluasi kinerja sangat
berguna untuk menilai kuantitas, kualitas, efisiensi perubahan, motivasi para
aparatur serta melakukan pengawasan dan perbaikan. Kinerja aparatur yang
optimal sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga
5. 2
kelangsungan hidup instansi ini. Setiap instansi tidak akan pernah luput dari
hal pemberian balas jasa atau kompensasi yang merupakan salah satu
masalah penting dalam menciptakan motivasi kerja aparatur, karena untuk
meningkatkan kinerja aparatur dibutuhkan pemenuhan kompensasi untuk
mendukung motivasi para aparatur. Dengan terbentuknya motivasi yang
kuat, maka akan dapat membuahkan hasil atau kinerja yang baik sekaligus
berkualitas dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah kinerja SDM ?
2. Seperti apakah HR Scorecard ?
3. Apakah pengertian motivasi dan kepuasan kerja ?
4. Bagaimana mengelola potensi kecerdasan dan emosional SDM ?
5. Bagaimana membangun kapabilitas kompetensi SDM ?
6. Seperti apakah konsep audit kinerja ?
7. Bagaiman pelaksanaan Audit Kinerja ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari penulisan makalah ini
yaitu n:
1. Untuk mengetahui apakah kinerja SDM ?
2. Untuk mengetahui seperti apakah HR Scorecard ?
3. Untuk mengetahui apakah pengertian motivasi dan kepuasan kerja ?
4. Untuk mengetahui bagaimana mengelola potensi kecerdasan dan
emosional SDM ?
5. Untuk mengetahui bagaimana membangun kapabilitas kompetensi
SDM ?
6. Untuk mengetahui seperti apakah konsep audit kinerja ?
7. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Audit Kinerja ?
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kinerja Sumber Daya Manusia
2.1.1 Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang
pegawai diartikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun
pendapat para ahli mengenai pengertian kinerja, sebagai berikut :
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2009:67) mengemukakan
bahwa:
”Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya”
Menurut Sedarmayanti (2011:260) mengungkapkan bahwa :
“Kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti Hasil
kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi
secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat
ditunjukkan buktinya secara konkrit dan dapat diukur (dibandingkan
dengan standar yang telah ditentukan).”
Menurut Wibowo (2010 : 7) mengemukakan bahwa :
“Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai
dari pekerjaan tersebut.”
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat dikemukakan bahwa
kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai
sesuai dengan standar dan kriteria yang telah ditetapkan dalam kurun
waktu tertentu.
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Tinggi rendahnya kinerja seorang pegawai tentunya ditentukan
oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya baik secara langsung
ataupun tidak langsung.
Anwar Prabu Mangkunegara (2009:67) menyatakan bahwa:
7. 4
“Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Sedangkan
menurut Keith Davis dalam Anwar prabu Mangkunegara (2009:67)
dirumuskan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja
adalah :
Human Performance = Ability + Motivation
Motivation = Attitude + Situation
Ability = Knowledge + Skill
1. Faktor Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan (Ability) pegawai terdiri dari
kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge +
Skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ rata-rata (IQ 110 – 120)
dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil
dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka ia akan lebih
mudah mencapai prestasi kerja yang diharapkan. Oleh karena itu,
pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan
keahliannya (the right man on the right place, the right man on the
right job).
2. Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi
situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri
pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan
kerja). Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong
diri pegawai untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara
maksimal. Sikap mental seorang pegawai harus sikap mental yang
siap secara psikofisik (sikap secara mental, fisik, tujuan dan
situasi). Artinya seorang pegawai harus siap mental, mampu secara
fisik, memahami tujuan utama dan target kerja yang akan dicapai
serta mampu memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi
kinerja dapat bersumber dari dalam individu pegawai maupun dari
8. 5
luar individu. Tinggal bagaimana kebijakan organisasi mampu
menyelaraskan antara faktor-faktor tersebut.
2.1.3 Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja merupakan faktor kunci dalam mengembangkan
potensi pegawai secara efektif dan efisien karena adanya kebijakan
atau program yang lebih baik atas sumberdaya manusia yang ada di
dalam suatu organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat
bagi pertumbuhan organisasi secara keseluruhan.
Menurut Bernardin dan Russel yang diterjemahkan oleh Khaerul
Umam (2010:190-191), mengemukakan bahwa:
“Penilaian kinerja adalah cara mengukur kontribusi individu
(karyawan) pada organisasi tempat mereka bekerja”.
Menurut Sedarmayanti (2011:261), mengemukakan bahwa:
“Penilaian kinerja adalah sistem formal untuk memeriksa/mengkaji
dan mengevaluasi secara berkala kinerja seserang.”
2.1.4 Tujuan Penilaian Kinerja
Menurut Syafarudin Alwi yang dikutip oleh Khaerul Umam
(2010:191), mengemukakan bahwa: Secara teoritis, tujuan penilaian
kinerja dikategorikan sebagai suatu yang bersifat evaluation dan
development. Suatu yang bersifat evaluation harus menyelesaikan:
a) Hasil penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi
b) Hasil penilaian digunakan sebagai staffing decision
c) Hasil penilaian digunakan sebagai dasar mengevaluasi sistem
seleksi
Sedangkan yang bersifat development Penilai harus menyelesaikan:
a) Prestasi real yang dicapai individu
b) Kelemahan-kelemahan individu yang menghambat kinerja
c) Prestasi-prestasi yang dikembangkan
Menurut Sedarmayanti (2011:262) menjelaskan bahwa tujuan
penilaian kinerja adalah:
9. 6
1. Meningkatkan kinerja karyawan dengan cara membantu mereka
agar menyadari dan menggunakan seluruh potensi mereka dalam
mewujudkan tujuan organisasi.
2. Memberikan informasi kepada karyawan dan pimpinan sebagai
dasar untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan
pekerjaan.
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa penilaian kinerja
merupakan serangkaian proses untuk mengevaluasi proses atau
hasil kerja seorang pegawai untuk memudahkan pimpinan (Kepala
Bidang dan Kepala Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan
Perdagangan) dalam menentukan kebijakan bagi pegawai tersebut
yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatannya.
2.1.5 Manfaat Penilaian Kinerja
Menurut Khaerul Umam (2010:101), mengemukakan bahwa:
Kontribusi hasil penilaian merupakan suatu yang sangat bermanfaat
bagi perencanaan kebijakan organisasi.secara terperinci, penilaian
kinerja bagi organisasi adalah:
a) Penyesuaian-penyesuaian kompensasi
b) Perbaikan kinerja
c) Kebutuhan latihan dan pengembangan
d) pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi,
pemecatan, pemberhentian, dan perencanaan tenaga kerja
e) Untuk kepentingan penelitian pegawai
f) Membantu diagnosis terhadap kesalahan desain pegawai.
Berdasarkan beberapa uraian diatas maka kinerja individual dapat
diukur, dimana pada tingkat individu ini berhubungan dengan
pekerjaan, mengacu kepada tanggungjawab utama. Bidang kegiatan
utama atau tugas kunci yang merupakan bagian dari pekerjaan
seseorang. Fokusnya kepada hasil yang diharapkan dapat dicapai
seseorang dan bagaimana kontribusi mereka terhadap pencapaian
10. 7
target per orang, tim, departemen dan instansi serta penegakan nilai
dasar Instansi.
2.2 Pengukuran Kinerja (HR Scorecard)
Human Resources Scorecard adalah suatu alat untuk mengukur dan
mengelola kontribusi stategik dari peran human resources dalam
menciptakan nilai untuk mencapai strategi perusahaan.
Menurut Brian E. Becker, Mark A Huselid & Dave Ulrich (2009:7)
human resource scorecard adalah kapasitas untuk merancang dan
menerapkan sistem pengukuran SDM yang strategis dengan
merepresentasikan “alat pengungkit yang penting” yang digunakan
perusahaan untuk merancang dan mengerahkan strategi SDM yang lebih
efektif secara cermat.
Menurut Gary Desler (2006:16) human resource scorecard adalah
mengukur keefektifan dan efisiensi fungsi human resource dalam
membentuk perilaku karyawan yang dibutuhkan untuk mecapai tujuan
strategis perusahaan.
Menurut Nurman (2008:1) human resources scorecard adalah suatu alat
untuk mengukur dan mengelola kontribusi strategic dari peran human
resources dalam menciptakan nilai untuk mencapai strategi perusahaan.
Menurut Riana Sitawati, Sodikin Manaf, & Endah Winarti (2009:5)
human resource scorecard adalah pendekatan yang digunakan dengan
sedikit memodifikasi dari model balance scorecard awal yang saat ini paling
umum digunakan pada tingkat korporasi yang di fokuskan pada strategi
jangka panjang dan koneksi yang jelas pada hasil bisnisnya.
Human resources scorecard adalah suatu sistem pengukuran sumber
daya manusia yang mengaitkan orang – strategi – kinerja untuk
menghasilkan perusahaan yang unggul. Human resources scorecard
menjabarkan misi, visi, strategi menjadi aksi human resources yang dapat di
ukur kontribusinya. Human resources scorecard menjabarkan sesuatu yang
tidak berwujud / intangible (leading / sebab) menjadi berwujud / tangible
11. 8
(lagging/akibat). Human resources scorecard merupakan suatu sistem
pengukuran yang mengaitkan sumber daya manusia dengan strategi dan
kinerja organisasi yang akhirnya akan mampu menimbulkan kesadaran
mengenai konsekuensi keputusan investasi sumber daya manusia, sehingga
investasi tersebut dapat dilakukan secara tepat arah dan tepat jumlah. Selain
itu, human resources scorecard dapat menjadi alat bantu bagi manajer
sumber daya manusia untuk memastikan bahwa semua keputusan sumber
daya manusia mendukung atau mempunyai kontribusi langsung pada
implementasi strategi usaha.
2.2.1 HR Scorecard Sebagai Model Pengukuran Kinerja Sumber Daya
Manusia
Human resources scorecard mengukur keefektifan dan efisiensi
fungsi sumber daya manusia dalam mengerahkan perilaku karyawan
untuk mencapai tujuan strategis perusahaan sehingga dapat
membantu menunjukan bagaimana sumber daya manusia memberikan
kontribusi dalam kesuksesan keuangan dan strategi perusahaan.
Human Resources Scorecard merupakan bagian dari perusahaan.
Human resources scorecard ibarat sebuah bangunan, yang menjadi
bagian dari apa yang kita turunkan dari strategi perusahaan.
Menurut Becker et al. (2001), dasar dari peran sumber daya
manusia yang strategis terdiri dari tiga dimensi rantai nilai (value
chain) yang dikembangkan oleh arsitektur sumber daya manusia
perusahaan, yaitu fungsi, sistem dan perilaku karyawan. Arsitektur
SDM dapat dilihat pada Gambar dibawah ini :
Gambar 2.1 Arsitektur Strategi Sumber Daya Manusia
12. 9
1. Fungsi sumberdaya manusia (The HR Function).
Dasar penciptaan nilai strategi sumber daya manusia adalah mengelola
infrastruktur untuk memahami dan mengimplementasikan strategi
perusahaan.
Biasanya profesi dalam fungsi sumber daya manusia diharapkan dapat
mengarahkan usaha ini. Becker et al (2001) menemukan bahwa
kebanyakan manajer sumberdaya manusia lebih memusatkan
kegiatannya pada penyampaian (delivery) yang tradisional atau kegiatan
manajemen sumber daya manajemen teknis, dan kurang memperhatikan
pada dimensi manajemen sumber daya manusia yang stratejik.
Kompetensi yang perlu dikembangkan bagi manajer sumber daya
manusia masa depan dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
kinerja organisasi adalah kompetensi manajemen sumber daya manusia
stratejik dan bisnis.
2. Sistem sumber daya manusia (The HR System).
Sistem sumber daya manusia adalah unsur utama yang berpengaruh
dalam sumber daya manusia stratejik. Model sistem ini yang disebut
sebagai High performance work system (HPWS). Dalam HPWS setiap
elemen pada sistem The HR Functin sumber daya manusia dirancang
untuk memaksimalkan seluruh kualitas human capital melalui organisasi.
Untuk membangun dan memelihara persediaan human capital yang
berkualitas, HPWS melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Mengembangkan keputusan seleksi dan promosi untuk memvalidasi
model kompetensi.
b. Mengembangkan strategi yang menyediakan waktu dan dukungan
yang efektif untuk ketermpilan yang dituntut oleh implementasi
strategi organisasi.
c. Melaksanakan kebijaksanaan kompensasi dan manajemen kinerja yang
menarik, mempertahankan dan memotivasi kinerja karyawan yang
tinggi. Hal diatas merupakan langkah penting dalam pembuatan
13. 10
keputusan peningkatan kualitas karyawan dalam organisasi, sehingga
memungkinkan kinerja organisasi berkualitas. Agar sumber daya
manusia mampu menciptakan value, organisasi perlu membuat
struktur untuk setiap elemen dari sistem sumber daya manusia dengan
cara menekankan, mendukung HPWS.
3. Perilaku karyawan (Employee Behaviour).
Peran sumber daya manusia yang stratejik akan memfokuskan pada
produktivitas perilaku karyawan dalam organisasi. Perilaku stratejik
adalah perilaku produktif yang secara langsung mengimplementasikan
strategi organisasi. Strategi ini terdiri dari dua kategori umum seperti :
a. Perilaku inti (core behaviour) adalah alur yang langsung berasal dari
kompetensi inti perilaku yang didefinisikan organisasi. Perilaku
tersebut sangat fundamental untuk keberhasilan organisasi.
b. Perilaku spesifik yang situasional yang essential sebagai key point
dalam organisasi atau rantai nilai dari suatu bisnis. Mengintegrasikan
perhatian pada perilaku kedalam keseluruhan usaha untuk
mempengaruhi dan mengukur kontribusi sumber daya manusia
terhadap organisasi merupakan suatu tantangan.
2.2.2 Manfaat Human Resource Scorecard
Human resources scorecard memberikan manfaat yaitu
menggambarkan peran dan kontribusi sumber daya manusia kepada
pencapaian visi perusahaan secara jelas dan terukur, agar profesional
sumber daya manusia mampu dalam mengendalikan biaya yang
dikeluarkan dan nilai yang dikontribusikan dan memberikan gambaran
hubungan sebab akibat. Adapun menurut Bryan E.Becker (2009:80-
82) sebagai
berikut :
1. Memperkuat perbedaan antara HR do able dan HR deliverable
Sistem pengukuran SDM harus membedakan secara jelas antara
deliverable, yang mempengaruhi implementasi strategi, dan do able
14. 11
yang tidak. Sebagai contoh, implementasi kebijakan bukan suatu
deliverable hingga ia menciptakan perilaku karyawan yang
mendorong implementasi strategi. Suatu sistem pengukuran SDM
tepat secara kontinu mendorong professional SDM untuk berfikir
secara strategis serta secara operasional.
2. Mengendalikan biaya dan menciptakan nilai
SDM selalu di harapkan mengendalikan biaya bagi perusahaan.
Pada saat yang sama, memainkan peran strategis berarti SDM harus
pula menciptakan nilai. HR Scorecard membantu para manajemen
sumber daya manusia untuk menyeimbangkan secara efektif kedua
tujuan tersebut. Hal itu bukan saja mendorong para praktisi untuk
menghapus biaya yang tidak tepat, tetapi juga membantu mereka
mempertahankan “investasi” dengan menguraikan
manfaatpotensial dalam pengertian kongkrit.
3. HR Scorecard mengukur leading indicators
Model kontribusi strategis SDM kami menghubungkan keputusan-
keputusan dan sistem SDM dengan HR deliverable, yang
selanjutnya mempengarui pendorong kinerja kunci dalam
implementasi perusahaan. Sebagaimana terdapat leading dan
lagging indicator dalam sistem pengukuran kinerja seimbang
keseluruhan
perusahaan, di dalam rantai nilai SDM terdapat pendorong (deliver)
dan hasil (outcome). Hal ini bersifat essensial untuk memantau
keselarasan antara keputusan-keputusan SDM dan unsur-unsur
sistem yang mendorong HR deliverable. Menilai keselarasan ini
memberikan umpan balik mengenai kemajuan SDM menuju
deliverable tersebut dan meletakan fondasi bagi pengaruh strategi
SDM.
HR Scorecard menilai kontribusi SDM dalam implementasi strategi
dan pada akhirnya kepada “bottom line”. Sistem pengukuran
kinerja strategi apapun harus memberikan jawaban bagi chief HR
15. 12
officer atas pertanyaannya, “apa kontribusi SDM terhadap kinerja
perusahaan?” efek kumulatif ukuran - ukuran HR
deliverable pada scorecard harus memberikan jawaban itu. Para
manajer SDM harus memiliki alasan strategi yang ringkas, kredibel
dan jelas, untuk semua ukuran deliverable. Jika alasan itu tidak ada,
begitu pula pada ukuran itu tidak ada. Pada manajer lini harus
menemukan ukuran deliverable ini sekredibel seperti yang
dilakukan manajer SDM, sebab matrik-matriks itu
merepresentasikan solusi - solusi bagi persoalan bisnis, bukan
persoalan SDM.
4. HR Scorecard memungkinkan professional SDM mengelola secara
efektiftanggung jawab strategi mereka. HR Scorecard mendorong
sumber daya manusia untuk fokus secara tepat pada bagaimana
keputusan mereka mempengaruhi keberhasilan implementasi
strategi perusahaan. Sebagaimana kami menyoroti pentingnya
“fokus strategis karyawan” bagi keseluruhan perusahaan, HR
Scorecard harus memperkuat fokus
strategis para manajer SDM dan karena para professional SDM
dapat mencapai pengaruh strategis itu sebagian besar dengan cara
mengadopsi perspektif sistemik dari pada dengan cara memainkan
kebijakan individual, scorecard mendorong mereka lebih jauh
untuk berfikir secara sistematis mengenai strategi SDM.
5. HR Scorecard mendorong Fleksibilitas dan perubahan.
Kritik yang umum terhadap sistem pengukuran kinerja ialah sistem
ini menjadi terlembagakan dan secara actual merintangi perubahan.
Strategi - strategi tumbuh, organisasi perlu bergerak dalam arah
yang berbeda, namun sasaran - sasaran kinerja yang sudah
tertinggal menyebabkan manajer dan karyawan ingin memelihara
status quo. Memang, salah satu kritik terhadap manajemen
berdasarkan pengukuran ini ialah bahwa orang-orang menjadi
trampil dalam mencapai angka-angka yang diisyaratkan dalam
16. 13
sistem nama dan mengubah pendekatan manajemen mereka ketika
kondisi yang bergeser menuntutnya. HR Scorecard memunculkan
fleksibilitas dan perubahan, sebab ia fokus pada implementasi
strategi perusahaan, yang akan secara konstan menuntut perubahan.
Dengan pendekatan ini, ukuran-ukuran mendapat makna yang baru.
2.3 Motivasi dan Kepuasan Kerja
Motivasi menurut Luthans (1992) berasal dari kata latin movere,
artinya “bergerak”. Motivasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan
adanya kekurang psikologis atau kebutuhan yang menimbulkan suatu
dorongan dengan maksud mencapai suatu tujuan atau insentif. Pengertian
proses motivasi ini dapat difahami melalui hubungan antara kebutuhan,
dorongan dan insentif (tujuan).
Motivasi di dalam dunia kerja adalah sesuatu yang dapat menimbulkan
semangat atau dorongan kerja. Menurut As’ad (2004) motivasi kerja dalam
psikologi karya biasa disebut pendorong semangat kerja. Kuat dan
lemahnya motivasi seseorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya
prestasinya.
Menurut Munandar (2001) motivasi kerja memiliki hubungan dengan
prestasi kerja. Prestasi kerja adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja,
kemampuan dan peluang. Keterkaiatan antara motivasi dan prestasi kerja
dapat di rumuskan sebagai berikut:
Prestasi Kerja = Motivasi Kerja + Kemampuan + Peluang
Motivasi kerja seseorang dapat bersifat proaktif atau reaktif. Pada
motivasi kerja yang proaktif seseorang akan berusaha meningkatkan
kemampuan-kemampuannya sesuai dengan yang dituntut oleh pekerjaannya
atau akan berusaha untuk mencari, menemukan atau menciptakan peluang di
mana ia akan menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat
berprestasi yang tinggi. Sebaliknya, motivasi kerja yang bersifat reaktif,
cenderung menunggu upaya atau tawaran dari lingkungannya.
17. 14
Motivasi kerja merupakan pemberian dorongan. Pemberian dorongan
ini dimaksudkan untuk mengingatkan orang-orang atau karyawan agar
mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil sesuai dengan tuntutan
perusahaan. Oleh karena itu seorang manajer dituntut pengenalan atau
pemahaman akan sifat dan karateristik karyawannya, suatu kebutuhan yang
dilandasi oleh motif dengan penguasaan manajer terhadap perilaku dan
tindakan yang dibatasi oleh motif, maka manajer dapat mempengaruhi
bawahannya untuk bertindak sesuai dengan keinginan organisasi.
Motivasi atau dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja bersama
demi tercapainya tujuan bersama ini terdapat dua macam, yaitu:
1. Motivasi finansial, yaitu dorongan yang dilakukan dengan memberikan
imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan tersebut sering disebut
insentif.
2. Motivasi nonfinansial, yaitu dorongan yang diwujudkan tidak dalam
bentuk finansial/ uang, akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian,
penghargaan, pendekatan manusia dan lain sebagainya.
2.3.1 Teori Motivasi
Teori motivasi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu teori
kepuasan (content theory) dan teori proses (process theory). Teori ini
dikenal dengan nama konsep Higiene, yang mana cakupannya adalah:
1. Isi Pekerjaan, Hal ini berkaitan langsung dengan sifat-sifat dari
suatu pekerjaan yang dimiliki oleh tenaga kerja yang isinya
meliputi: Prestasi, upaya dari pekerjaan atau karyawan sebagai aset
jangka panjang dalam menghasilkan sesuatu yang positif di dalam
pekerjaannya, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab,
pengembangan potensi individu.
2. Faktor Higienis, suatu motivasi yang dapat diwujudkan seperti
halnya : gaji dan upah, kondisi kerja, kebijakan dan administrasi
perusahaan, hubungan antara pribadi, kualitas supervisi.
18. 15
Pada teori tersebut bahwa perencanaan pekerjaan bagi karyawan
haruslah menunjukkan keseimbangan antara dua faktor.
Penelitian Herzberg menghasilkan dua kesimpulan khusus
mengenai teori tersebut yaitu:
1) Serangkaian kondisi ekstrinsik, yaitu kondisi kerja ekstrinsik
seperti upah dan kondisi kerja tersebut bersifat ekstren tehadap
pekerjaan sepeti: jaminan status, prosedur, perusahaan, mutu
supervisi dan mutu hubungan antara pribadi diantara rekan kerja,
atasan dengan bawahan.
2) Serangkaian kondisi intrinsik, yaitu kondisi kerja intrinsik seperti
tantangan pekerjaan atau rasa berprestasi, melakukan pekerjaan
yang baik, terbentuk dalam pekerjaan itu sendiri. Faktor-faktor dari
rangkaian kondisi intrinsik dsebut pemuas atau motivator yang
meliputi: prestasi (achivement), pengakuan (recognation),
tanggung jawab (responsibility), kemajuan (advencement), dan
kemungkinan berkembang (the possibility of growth).
2.3.2 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah sikap suatu umum terhadap suau pekerjaan
seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang
pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Pendapat lain bahwa kepuasaan kerja merupakan suatu sikap yang
dimiliki oleh para individu sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan
mereka. juga pendapat Siagian (1999) bahwa kepuasan kerja
merupakan suatu cara pandang seorang yang bersifat positif maupun
negatif tentang pekerjaannya. Pendapat lain bahwa kepuasan kerja
yaitu keadaan emosional yang meyenangkan dan yang tidak
menyenangkan dengan mana para pegawai memandang pekerjaan
mereka. Kepuasan kerja ini mencerminkan perasaan seseorang
terhadap pekerjaannya (Handoko.2000). selain itu pendapat
Indrawidjaja (2000) bahwa kepuasan kerja secara umum menyangkut
19. 16
sika seseorang mengenai pekerjaannya. Karena menyangkut sikap,
maka pengertian kepuasan kerja menyangkut berbagai hal seperti
kognisi, emosi dan kecendrungan perilaku seseorang.
2.3.3 Menentukan Kepuasan Kerja
Apa yang menetukan kepuasan kerja sebagaimana dikemukakan
oleh Robbins (2001) adalah Pertama Kerja yang secara mental
menantang pegawai yang cenderung menyukai pekerjaan yang
memberikan kesempatan menggunakan ketrampilan dan kemampuan
dalam bekerja. Kedua Gagasan yang pantas pegawai menginginkan
sistem upah/gaji dan kebijakan promosi yang adil, tidak meragukan
dan sesuai degan pengharapan mereka. Ketiga Kondisi kerja yang
mendukung pegawai peduli lingkungan kerja baik untuk kenyamanan
pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik.
Keempat Rekan sekerja yang mendukung adanya interaksi sosial
antara sesama pegawai yang saling mendukung menghatar
meningkatkan kepuasan kerja. Kelima Jangan lupakan kesesuaian
antara kepribadian pekerjaan. Holand dalam Robbins (2001)
mengemukakan bahwa kecocokan yang tinggi antara kepribadian
seorang pegawai dan pengharapan akan menghasilkan individual yang
lebih terpuaskan. Keenam Ada dalam gen bahwa 30 % dari kepuasan
individual dapat dijelaskan oleh keturunan. Hasil riset lainnya
megemukakan bahwa sebagian besar kepuasan beberapa orang
diketemukan secara genetis.
Selain itu ada 5 (lima) dimensi yang berkaitan dengan kepuasan
kerja (Winardi.1992) yaitu :
1) Gaji dan upah yang diterima ( Jumlah gaji atau upah yang diterima
dan kelayakan imbalan tersebut)
2) Pekerjaan (Tugas Pekerjaan dianggap menarik dan memberikan
peluang untuk belajar dan menerima tanggung jawab).
20. 17
3) Peluang promosi.( Terjadinya peluang untuk mencapai kemajauan
dalam jabatan).
4) Supervisor (Kemampuan untuk menunjukkan perhatian terhadap
para pegawai/karyawan)
5) Para rekan sekerja. (dimana rekan sekerja bersikap bersahabat,
kompeten, saling Bantu membantu, dan berkomitmen untuk
mencapai misi dan visi organisasi.
Pemahaman yang lebih tepat tentang kepuasan kerja dapat terwujud
jika analisa tentang kepuasan kerja dihubungkan dengan prestasi
kerja, tingkat kemangkiran, keinginan pindah, usia pekerja, tingkat
jabatan dan besar kecilnya organisasi.
2.4 Mengelola Potensi Kecerdasan dan Emosi
Menurut Derk dalam Scott (1996), kecerdasan adalah kemampuan
memproses informasi dan memecahkan masalah. Kecerdasan emosi (EQ)
adalah suatu kecerdasan yang merujuk kepada kemampuan mengenali
perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungannya dengan orang lain (Goleman, 2000). Sedangkan
Salovey dan Mayer dalam Goleman (2000) mendefinisi kecerdasan emosi
sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan
orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan
tindakan. Dan secara lebih praktis, Scott (1996) menyatakan bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan memecahkan masalah yang
berhubungan dengan situasi sosial dan hubungan antara manusia.
Penemuan konsep EQ telah mengubah pandangan para praktisi sumber
daya manusia bahwa keberhasilan kerja bukan semata-mata didasarkan pada
kecerdasan akademik yang diukur dengan IQ yang tinggi tetapi lebih pada
kecerdasan emosinya. Peran IQ dalam mendukung keberhasilan di dunia
kerja hanya menempati posisi kedua sesudah EQ. Menurut Goleman (2000),
beberapa konsep yang perlu diperhatikan adalah:
21. 18
1. Kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah.” Pada saat-saat
tertentu yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah melainkan sikap
tegas.
2. Kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan perasaan untuk
berkuasa, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga
terekspresi dengan tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerja
sama dengan lancar menuju sasaran bersama.
Dalam sebuah perusahaan yang banyak mengandalkan kerja kelompok
atau tim, EQ mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung
keberhasilan tim. Menurut Druskat dan Wolf (2001) hasil studi
menunjukkan bahwa sebuah tim akan lebih kreatif dan produktif ketika di
dalam tim tersebut tercipta suatu partisipasi, kooperasi dan kolaborasi di
antara anggotanya. Akan tetapi perilaku interaktif tersebut memerlukan tiga
kondisi yang harus dipenuhi, yaitu pertama, adanya saling percaya di antara
anggota (mutual trust among member) , kedua, setiap anggota mempunyai
sense of identity, yaitu bahwa timnya adalah suatu yang unik, kemudian
yang ketiga, setiap anggota tim mempunyai sense of efficacy, yaitu suatu
kepercayaan bahwa tim akan bekerja lebih efektif jika setiap anggota
bekerjasama dibandingkan apabila setiap anggota bekerja sendiri-sendiri
tanpa ada koordinasi yang cukup baik. Syarat tersedianya kondisi tersebut di
atas adalah adanya emosi. Ketiga hal tersebut akan muncul dalam suatu
lingkungan yang dalam hal ini emosi dikelola dengan baik.
EQ sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ). EQ memberi
kita kesadaran mengenai perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain.
Goleman (2000) menyatakan bahwa EQ merupakan persyaratan dasar untuk
menggunakan IQ secara efektif.
Menyusul temuan tentang EQ ini, pada akhir abad kedua puluh
ditemukan lagi jenis kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan spiritual, yang
melengkapi gambaran utuh mengenai kecerdasan manusia. Zohar dan
Marshall (2000) mendefinisi kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kecerdasan
untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk
22. 19
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ merupakan landasan
yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, dan SQ ini
merupakan kecerdasan manusia yang paling tinggi tingkatannya.
SQ digunakan untuk menghadapi masalah-masalah eksistensial, yaitu
ketika orang secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan,
kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. SQ
dapat juga menjadikan orang lebih cerdas secara spiritual dalam beragama,
artinya seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalankan agamanya
tidak secara picik, eksklusif, fanatik atau prasangka. SQ juga
memungkinkan orang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal
dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan
orang lain. Seseorang yang memiliki SQ tinggi cenderung menjadi seorang
pemimpin yang penuh pengabdian, bertanggung jawab untuk membawakan
visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain, dan bisa memberi
inspirasi kepada orang lain.
2.4.1 Peran ESQ Dalam Perbaikan Kualitas Sumber Daya Manusia
Efek yang akan merugikan perusahaan apabila kecerdasan emosi
tidak dikelola dengan baik adalah moral yang buruk dari sumber daya
manusia yang ada di perusahaan, munculnya pemimpin yang arogan,
banyaknya pekerja yang diintimidasi dan sebagainya. Sangat
dimungkinkan efek tersebut tidak bisa segera dirasakan secara
langsung oleh manajemen, tetapi efek tersebut akan muncul dalam
bentuk yang berbeda misalnya produktivitas yang menurun, tidak
tercapainya target waktu yang telah ditentukan dan sebagainya (Scott,
1996).
Peran manajemen sumber daya manusia menjadi semakin
kompleks karena harus selalu mengembangkan kompetensi untuk
membentuk budaya dan kebiasaan masing-masing individu yang ada
23. 20
dengan cara membangun EQ yang baik untuk individu, tim maupun
organisasi melalui pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia
(Harrison, 1997).
Pfeffer (1995), mengemukakan praktek-praktek pengelolaan
karyawan, yang mencakup:jaminan kerja, selektif dalam perekrutan,
upah yang tinggi, pemberian insentif, kepemilikan karyawan, sharing
informasi, partisipasi dan pemberdayaan, self-managed team,
pelatihan dan pengembangan skill, cross-utilization dan cross-training,
egalitarianisme simbolik, penekanan upah, dan promosi dari dalam
perusahaan.
Secara konsep fungsi manajemen sumber daya manusia di suatu
perusahaan tidak mengalami perubahan. Fungsi-fungsi tersebut
tergambar seperti berikut ini:
Managing
the human
resource
environ-
ment
Acquiring and
preparing
human
resource
Assesment and
development of
human resource
Competitiveness
Compen-sating
human resource
Di dalam praktek, aktivitas-aktivitas dalam masing-masing fungsi
tersebut sangat dinamis dan selalu mengalami banyak perubahan.
Aktivitas tersebut harus selalu terkait dengan manajemen strategis
yang dimiliki perusahaan. Tiga pertanyaan strategis yang harus
dijawab oleh perusahaan sebagaimana diungkapkan Noe, et al. (2000)
adalah:
1. Di mana kita berkompetisi
2. Bagaimana kita berkompetisi
3. Dengan apa kita berkompetisi
Kecerdasan emosi merupakan bagian kapabilitas sumber daya
manusia. Menurut Goleman (2000) kemampuan kecerdasan emosi
terdiri atas:
1. Mandiri: masing-masing menyumbang secara unik kepada
performa kerja.
24. 21
2. Saling tergantung: masing-masing sampai batas tertentu
memerlukan hal-hal tertentu pada yang lain, dengan interaksi
intensif.
3. Hirarki:kemampuan kecerdasan emosi membentuk bangun yang
bertingkat. Sebagai contoh, kesadaran diri penting sekali untuk
pengaturan diri dan empati. Pengaturan diri dan kesadaran diri ikut
membangun motivasi.
4. Perlu, tapi tidak cukup: artinya dengan memiliki kemampuan
kecerdasan emosi sebagai dasar, belum menjamin orang akan
mengembangkan atau memperlihatkan kecakapan-kecakapan
terkait, misalnya dalam hal kerjasama dan kepemimpinan. Faktor-
faktor seperti iklim perusahaan, atau minat seseorang terhadap
pekerjaannya, juga akan menentukan apakah kecakapannya akan
terwujud.
5. Generik: walaupun daftar umum ini sampai batas tertentu berlaku
bagi semua pekerjaan, pekerjaan berbeda memerlukan kecakapan
yang berbeda pula.
2.5 Mengukur Kapabilitas dan Kompetensi
Keunggulan bersaingan sebuah perusahaan harus didasarkan pada
sumberdaya khusus yang menjadi penghalang (barriers) aktivitas peniruan
dan ancaman pengganti (imitation and substitution) produk atau jasa
perusahaan. Meningkatnya tekanan persaingan dapat menurunkan
keunggulan bersaing perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa bagi
sebuah perusahaan, agar tetap bertahan hidup (survive) di tengah tekanan
persaingan yang semakin tajam, perusahaan harus mengambil tindakan yang
dapat mempertahankan dan memperkuat kompetensinya yang unik (Reed
and DeFillipi, 1990). Sumberdaya dan kompetensi perusahaan dapat
ditempatkan dalam sebuah kontinum untuk melihat bahwa sumberdaya dan
kampetensi tersebut tahan lama dan tidak dapat ditiru. Kontinum
keberlanjutan (continuum of sustainability).
25. 22
Bogner and Thomas (1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai
keahlian khusus yang dimiliki perusahaan dan pengetahuan yang diarahkan
untuk mencapai tingkat kepuasan konsumen yang lebih tinggi dibandingkan
pesaingnya. Selanjutnya kompetensi adalah keahlian yang memungkinkan
perusahaan mencapai dasar-dasar customer benefits (Hamel and Heene,
1994:87) melalui pembentukan, peningkatan, pembaharuan dan penggunaan
sumberdaya yang membawa pada keunggulan bersaing yang berkelanjutan.
Pendekatan RBV menyatakan bahwa perusahaan dapat mencapai
keunggulan bersaing yang berkesinambungan dan memperoleh keuntungan
superior dengan memiliki atau mengendalikan aset-aset strategis baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud. Menurut pendekatan RBV,
perusahaan merupakan sekumpulan sumberdaya strategis dan produktif
yang unik, langka, kompleks, saling melengkapi dan sulit untuk ditiru para
pesaing yang dapat dimanfaatkan sebagai elemen untuk mempertahankan
strategi bersaingnya.
Perkembangan teori dan empiris sekarang ini membuktikan bahwa
perusahaan dengan kompetensi superior akan menghasilkan informasi yang
lebih baik mengenai kebutuhan dan keingginan pelanggannya dan juga lebih
baik dalam membangun dan memasarkan barang atau jasa melalui aktivitas
yang terkordinasi dengan baik. Lebih lanjut, kompetensi superior juga
memberi perusahaan kemampuan untuk menghasilkan dan bertindak
berdasarkan pengetahuan mengenai aksi dan reaksi pesaing, yang akan
membantunya membangun keunggulan bersaing.
Dimensi kompetensi dari pendapat Oliver (1997) dan Barney (1991)
yang terdiri dari: kompetensi yang bernilai, langka, sulit ditiru, dan sulit
digantikan.
1. Bernilai (valuable)
Kompetensi bernilai (valuable competencies) adalah kompetensi yang
menciptakan nilai bagi suatu perusahaan dengan mengeksploitasi
peluangpeluang atau menetralisir ancaman-ancaman dalam lingkungan
eksternal perusahaan. Kompetensi dapat menjadi sumber keunggulan
26. 23
bersaing yang berkesinambungan hanya ketika kompetensi tersebut
bernilai (valuable). Kompetensi dikatakan bernilai ketika kompetensi
tersebut menyebabkan perusahaan mampu menyusun dan
mengiplementasikan strategi-strategi yang dapat meningkatkan nilai bagi
pelanggan khususnya.
2. Langka (rareness)
Kompetensi langka adalah kompetensi yang dimiliki oleh sedikit, jika
ada, pesaing saat ini atau potensial. Kompetensi perusahaan yang bernilai
namun dimiliki oleh sebagian besar pesaing yang ada atau pesaing
potensial tidak dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang
berkesinambungan. Sebuah perusahaan dikatakan menikmati keunggulan
bersaing ketika perusahaan tersebut dapat mengimplementasikan strategi
penciptaan nilai yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian besar
perusahaan lainnya. Dengan kata lain, keunggulan bersaing dihasilkan
hanya ketika perusahaan mengembangkan dan mengeksploitasi
kompetensi yang berbeda dari pesaingnya. Jika kompetensi yang bernilai
tadi dimiliki oleh sebagian besar perusahaan, dan tiap-tiap perusahaan
memiliki kemampuan untuk menggunakannya dengan cara dan teknik
yang sama, dan selanjutnya mengimplementasikan strategi yang hampir
sama maka dapat dikatakan tidak ada satupun perusahaan yang memiliki
keunggulan bersaing.
3. Sulit Ditiru (inimitability)
Kompetensi yang bernilai dan langka tersebut hanya dapat menjadi
sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan jika perusahaan
lain yang tidak memilikinya, tidak dapat memperoleh kompetensi
tersebut. Dalam istilah yang dibangun oleh Lippman and Rumelt (1982)
dan Barney (1986a; 1986b), kompetensi ini disebut sangat sulit ditiru
(imperfectly imitable).
Kompetensi dapat dikatakan sulit ditiru karena satu atau kombinasi dari
tiga alas an berikut:
27. 24
a. kemampuan perusahaan untuk memperoleh kompetensi tergantung
pada kondisi historis yang unik. Ketika perusahaan berevolusi, mereka
mengambil keahlian, kemampuan, dan sumberdaya yang unik bagi
mereka, mencerminkan jalan setapak yang dilalui dalam sejarah
(Barney, 1995). Cara lain untuk mengatakan ini adalah bahwa kadang-
kadang perusahaan mampu mengembangkan kompetensi karena
berada pada tempat yang tepat dan saat yang tepat (Barney, 1999).
b. hubungan antara kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan dengan
keunggulan bersaing yang berkesinambungan bersifat ambigu
(causally ambiguous). Para pesaing tidak mampu memahami dengan
jelas bagaimana suatu perusahaan menggunakan kompetensi intinya
sebagai dasar dari keunggulan bersaingnya. Akibatnya para pesaing
tidak pasti tentang kompetensi-kompetensu yang harus mereka
kembangkan untuk meniru manfaat dari strategi penciptaan nilai
perusahaan yang disainginya itu.
c. kompetensi yang menghasilkan keunggulan perusahaan tersebut
bersifat kompleksitas social (socially complex). Kompleksitas sosial
berarti bahwa setidaknya beberapa, dan sering kali banyak,
kompetensi perusahaan adalah produk dari fenomena sosial yang
kompleks. Contoh kompetensi yang komples secara sosial meliputi
relasi antar pribadi, kepercayaan, dan persahabatan di antara manajer
dan antar manajer dengan pegawai serta reputasi perusahaan dengan
pemasok dan pelanggan.
4. Sulit Digantikan (Insubstitutability) Kompetensi yang sulit digantikan
adalah kompetensi yang tidak memiliki ekuivalen strategis. Dua
sumberdaya perusahaan yang bernilai (atau dua kumpulan sumberdaya
perusahaan) ekuivalen secara strategis ketika tiap sumberdaya itu dapat
dieksploitasi secara terpisah untuk mengimplementasikan strategi-strategi
yang sama. Secara umum, nilai strategis dari kompetensi meningkatkan
kesulitan untuk menggantikannya. Semakin tidak terlihat suatu
kompetensi, semakin sulit bagi perusahaan untuk mencari penggantinya
28. 25
dan semakin besar tantangan bagi para pesaing untuk meniru strategi
penciptaan nilai perusahaan.
2.6 Konsep Audit Kinerja
Istilah Audit Kinerja terdiri atas dua kata :
Audit = Kegiatan pengumpulan dan evaluasi terhadap bukti-bukti yang
dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen untuk
menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara kondisi
yang ditemukan dan kriteria yang ditetapkan (Arens)
Kinerja = Hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan
dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama
(Stephen P.Robbings).
Tujuan dasar audit kinerja adalah menilai kinerja suatu organisasi,
program, atau kegiatan yang meliputi audit atas aspek ekonomi, efisiensi,
dan efektivitas.
Audit Kinerja merupakan perluasan dari audit laporan keuangan, dalam
hal prosedur dan tujuan. Fungsi Audit Kinerja adalah memberikan review
indepnden dari pihak ketiga atas kinerja manajemen dan menilai apakah
kinerja organisasi dapat memenuhi harapan.
2.6.1 Istilah Konsep Audit Kinerja
1. Value For Money (VFM) Audit
Penilaian apakah manfaat yang dihasilkan oleh suatu program lebih
besar dari biaya yang dikeluarkan (spending well) atau masih
mungkinkah melakukan suatu pengeluaran/belanja dengan lebih
baik/bijak.
2. Performance Audit
Ini adalah istilah baku secara Internasional
3. Audit Manajemen, Audit Operasional Atau Audit Ekonomi dan
Efisiensi.
Menilai aspek ekonomi dan efisiensi dari pengelolaan organisasi.
29. 26
4. Audit Program atau Audit Efektivitas.
Menilai manfaat atau pencapaian suatu program.
Perbedaan Audit Kinerja dan Audit Keuangan
Karakteristik
1. Audit kinerja berusaha mencari jawaban atas dua pertanyaan dasar
berikut :
a. Apakah sesuatu yang benar telah dilakukan (doing the right
things)?
b. Apakah sesuatu telah dilakukan dengan cara yang benar (doing the
things right)
2. Proses audit kinerja dapat dihentikan apabila pengujian terinci dinilai
tidak akan memberikan nilai tambah yang signifikan bagi perbaikan
manajemen atau kondisi internal lembaga audit dinilai tidak mampu
untuk melaksanakan pengujian terinci
3. Karakteristik lainnya (Professor Soermardjo Tjitrosidojo (1980)) :
Pemeriksaaan operasional, dengan menggunakan perbandingan
Pemeriksa haruslah wajar(fair) , objektif dan realistis
Pemeriksa (atau setidak-tidaknya tim pemeriksa secara kolektif) harus
mempunyai pengetahuan keterampilan dari berbagai macam bidang
Agar pemeriksaan dapat berhasil dengan baik, pemeriksa harus dapat
berpikir dengan menggunakan sudut pandang pejabat pimpinan
organisasi yang diperiksanya, pemeriksasan operasional harus dapat
berfungsi sebagai suatu “early warning system”
2.6.2 Perkembangan Audit Kinerja
Evolusi audit kinerja :
financial statement auditing (1930)
Management auditing (1950)
Program Auditing (1970)
Performance Audit diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Elmer B.
Staat pada Kongres INTOSAI di Montreal
30. 27
Merupakan perluasan dari lingkup audit kinerja
Dilaksanakan dalam audit sektor publik oleh Lembaga Audit Tertinggi
di seluruh dunia. Di Indonesia mulai diperkenalkan pada tahun 1976,
degan dimulainya management audit course di BPK kerja sama
dengan US-GAO
Manfaat
1. Mengidentifikasi permasalahan dan alternative penyelesainnya
2. Mengidentifikasi sebab-sebab actual dari suatu permasalahan
yang dapat diatasi oleh kebijakan manajemen atau tindakan
lainnya
3. Mengidentifikasi peluang atau kemungkinan untuk mengatasi
ketidakefisienan
4. Mengidentifikasi criteria untuk menilai pencapaian tujuan
organisasi
5. Melakukan evaluasi atas sistem pengendalian internal
6. Menyediakan jalur komunikasi antara operasional dan manajemen
7. Melaporkan ketidakberesan.
2.7 Pelaksanaan Audit Kinerja
Secara umum, prosedur pelaksanaan audit adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Audit Kinerja
2. Pengujian Pengendalian Manajemen
3. Pengukuran dan Pengujian Key Performance Indicator (KPI) atau yang
disebut Indikator Kinerja Kunci (IKK).
4. Review Operasional
5. Pembuatan Kertas Kerja Audit (KKA)
6. Pelaporan
7. Pemantauan Tindak Lanjut
Dalam Pedoman Pelaksanaan Audit Kinerja, Perencanaan audit
merupakan langkah penting yang dilakukan untuk memenuhi standar audit.
Dalam perencanaan audit perlu memperhatikan perkiraan waktu dan petugas
31. 28
audit, selain itu juga mempertimbangkan perencanaan lainnya yang
meliputi:
1. Sumber dan cara memperoleh informasi yang cukup mengenai auditan
2. Hasil audit yang diperoleh pada tahap sebelumnya.
Pengertian Prosedur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:
703) adalah tahap-tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas.
Menurut Setyawan (1988: 35), prosedur adalah langkah-langkah yang
harus dilaksanakan guna mencapai tujuan pemeriksaan. Pelaksanaan
Audit Kinerja oleh kantor akan berdasarkan prosedur yang terdiri dari
tahapan Audit Kinerja yang menguraikan tentang bagaimana langkah
kerja Audit Kinerja itu dilakukan.
A. Persiapan Audit Kinerja
Dalam tahap ini dilakukan kegiatan-kegiatan yang merupakan tahap
awal dari rangkaian Audit Kinerja sebagai dasar penyusunan Program
Kerja Audit Tahap berikutnya. Tahap ini meliputi:
a. Pembicaraan pendahuluan dengan auditan
b. Pengumpulan informasi umum dalam pengenalan terhadap
kegiatan yang diaudit
c. Pengidentifikasian aspek manajemen atau bidang masalah yang
menunjukkan kelemahan dan perlu dilakukan pengujian lebih
lanjut.
d. Pembuatan ikhtisar hasil persiapan Audit Kinerja.
Dalam pengumpulan informasi kegiatan persiapan Audit Kinerja
mencakup:
1. Organisasi
2. Peraturan perundangan yang berlaku
3. Tujuan, Visi, Misi, sasaran, strategi dan kegiatan usaha
4. Sistem dan prosedur
5. Data keuangan
6. Informasi lainnya yang relevan
32. 29
Simpulan Hasil Persiapan Audit Kinerja yang disusun setelah kegiatan
persiapan Audit Kinerja selesai. Simpulan hasil Audit Kinerja ini antara
lain meliputi mengenai kelemahan-kelemahan yang harus
dikembangkan lebih lanjut dalam tahap audit berikutnya. Dari simpulan
tersebut dibuat program audit tahap pengujian pengendalian
manajemen. (Deputi Bidang Akuntan Negara, 2001: 8-15).
B. Pengujian Pengendalian Manajemen
Pada tahap ini harus dilakukan pengujian atas:
1. Sistem pengendalian manajemen
2. Penerapan good cooperate governance (GCG) oleh manajemen
auditan dan jajarannya
Pengendalian manajemen adalah suatu proses yang dijalankan oleh
dewan komisaris, manajemen dan personil lain dalam perusahaan yang
dirancang untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian
tiga kelompok tujuan utama yaitu:
a) Efektivitas dan efisiensi operasi
b) Keandalan pelaporan keuangan
c) Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
Dalam Pengujian penerapan Good Cooperate Governance (GCG) oleh
manajemen, Auditor wajib melakukan pengujian penerapan prinsip-
prinsip GCG oleh manajemen dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Prinsip dasar GCG yang harus diterapkan oleh manajemen auditan
sesuai dengan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-
117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 adalah sebagai berikut:
1. Transparansi dalam mengemukakan informasi material dan
relevan mengenai perusahaan
2. Kemandirian
3. Akuntabilitas
4. Pertanggungjawaban
5. Kewajaran
33. 30
b. Dalam melakukan pengujian penerapan GCG oleh manajemen,
auditor minimal perlu memanfaatkan dan mengembangkan
indikator/parameter yang relevan. Dan dari hasil pengujian tersebut
kemudian dibuat simpulan mengenai penerapan GCG.
c. Jika ditemukan kelemahan yang signifikan segera dibuat
manajemen letter (ML). (Deputi Bidang Akuntan Negara: 15-18)
C. Pengukuran dan Pengujian Indikator Kinerja Kunci
Dalam tahap ini dilakukan penilaian atas proses penetapan indikator
kinerja, juga membandingan antara pencapaiaan indicator kinerja
dengan target. Kesenjangan yang ada harus dianalisis sehingga
diperoleh penyebab sebenarnya. Indikator Kinerja adalah diskripsi
kuantitatif dan kualitatif dari kinerja yang dapat digunakan oleh
manajemen sebagai salah satu alat untuk menilai dan melihat
perkembangan yang dicapai selama ini atau dalam jangka waktu
tertentu.
Tujuan pengujian atas pengukuran capaian indikator kinerja kunci yaitu
untuk menilai efisiensi dan efektifitas beberapa aktivitas utama, guna
menyarankan dan mendorong pengembangan rencana aksi untuk
peningkatan kinerja. Rencana aksi dikembangkan oleh manajemen
auditan (Focus Group), dan kemajuan yang dibuat dalam implementasi
rencana akan direview secara periodik.
Diharapkan manajemen auditan mampu meningkatkan kinerja
perusahaan. Tujuan akhir tersebut akan dicapai melalui berbagai tujuan
setiap kegiatan review yaitu:
1. Menentukan kekuatan dan kelemahan utama yang dimiliki perusahaan
2. Menentukan implikasi operasional dan strategis dari kekuatan dan
kelemahan tersebut diatas
3. Mengidentifikasi area-area yang perlu perbaikan
4. Mengembangkan rencana aksi perbaikan atas area-area tersebut diatas.
34. 31
D. Review Operasional
Pada tahap ini dilakukan review yang sistematis atas prosedur metode,
organisasi, program atau kegiatan-kegiatan dengan tujuan untuk
mengevaluasi sejauh mana pencapaiaan suatu tujuan/sasaran secara
ekonomis, efisien, dan efektif.
Informasi mengenai praktek terbaik (best practice) pada perusahaan
sejenis perlu diperoleh sebagai pembanding (benchmark). Selain itu
perlu perlu dilakukannya pula penilaian tingkat kesehatan dengan
mengacu pada ketentuan yang berlaku dan evaluasi perkembangan
usaha perusahaan.
Tujuan dari fase ini adalah untuk mendapatkan informasi detail/rinci
untuk menguji kinerja dari aktivitas yang direview dibandingkan
dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Review operasional dapat mengarah pada beberapa atau seluruh sasaran
berikut:
1. kehematan, efisiensi dan/atau efektivitas
2. keandalan dan integritas sistem dan prosedur
3. Pengendalian manajemen dan akuntabilitas
4. Perlindungan terhadap aktiva
5. Kepatuhan pada peraturan, kebijakan dan prosedur, dan/atau
6. Aspek-aspek lingkungan
Terdapat dua pendekatan review pokok:
a) Review hasil secara langsung
Pendekatan ini berfokus pada outcome dan output (berfokus pada
penilaian hasil yang ingin dicapai). Pendekatan ini secara khusus
layak dimana terdapat data yang tersedia untuk menghitung
indikator kinerja kunci bagi aktivitas. Jika hasil memuaskan, resiko
karena kesalahan yang serius dalam dan mengimplementasikan
aktivitas menjadi minimal.
35. 32
b) Review Sistem pengendalian
Pendekatan ini berfokus pada sistem dan pengendalian. Pendekatan
ini dirancang untuk menentukan apakah organisasi telah memiliki
sistem pengendalian yang cukup untuk menyediakan jaminan yang
layak atas pencapaian hasil yang diinginkan. Review dirancang
untuk melakukan analisis, review dan pengujian atas komponen
kunci dari sistem pengendalian untuk meyakinkan bahwa hal itu
telah dirancang dan diterapkan secara layak.
Hasil akhir dari review operasional adalah merekomendasikan
peningkatan dan solusi praktis yang dapat dimplementasikan
manajemen.
E. Kertas Kerja Audit
Kertas Kerja Audit adalah catatan yang dibuat dan data yang
dikumpulkan pemeriksa secara sistematis pada saat melaksanakan tugas
pemeriksaan. Kertas kerja audit memuat informasi yang memadai dan
bukti yang mendukung kesimpulan dan pertimbangan auditor.
Manfaat Kertas kerja audit adalah:
1. Memberikan dukungan utama terhadap Laporan Audit Kinerja.
2. Merupakan alat bagi atasan untuk mereview dan mengawasi
pekerjaan para pelaksana audit.
3. Merupakan alat pembuktian yang mendukung kesimpulan dan
rekomendasi signifikan dari auditor.
4. Menyajikan data untuk keperluan referensi.
Syarat pembuatan Kertas kerja audit:
a. Lengkap
b. Bebas dari kesalahan, baik kesalahan hitung/kalimat maupun
kesalahan penyajian informasi.
c. Didasarkan pada fakta dan argumentasi yang rasional.
d. Sistematis, bersih, mudah diikuti, dan rapi.
e. Memuat hal-hal penting yang relevan dengan audit.
36. 33
f. Dalam kertas kerja audit harus mencantumkan kesimpulan hasil
audit dan komentar atau catatan dari reviewer.
F. Pelaporan Hasil Audit
Laporan hasil Audit Kinerja merupakan laporan hasil analisis dan
interprestasi atas keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam
menjalankan kegiatan usahanya yang dilaporkan oleh auditor.
Pelaporan Audit Kinerja meliputi:
1. Hasil penilaian atas kewajaran IKK
2. Hasil Review Operasional beserta kelemahan yang ditemukan
3. Rekomendasi yang telah disepakati
4. Hasil pengujian atas laporan (hasil) pengujian tingkat kesehatan
perusahaan
5. Analisis perkembangan usaha
G. Pemantauan Tindak Lanjut hasil Audit Kinerja
Tindak lanjut adalah pelaksanaan atas rekomendasi hasil Audit Kinerja
yang telah disampaikan dan disetujui oleh manajemen auditan. Suatu
hasil Audit Kinerja baru dikatakan berhasil apabila rekomendasi praktis
yang dikembangkan bersama dilaksanakan oleh manajemen.
Pelaksanaan tindak lanjut itu sendiri merupakan tanggung jawab
manajemen, akan tetapi auditor berkewajiban memantau pelaksanaan
rekomendasi yang telah dikembangkan bersama tersebut, guna
mendorong percepatan pelaksanaan tindak lanjut sesuai dengan yang
telah rekomendasikan. (Deputi Bidang Akuntan Negara: 63)
37. 34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penilaian kinerja memang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
pemberian imbalan/kompensasi. Penilaian kinerja dapat merupakan umpan balik
atau masukan bagi organisasi untuk menentukan langkah selanjutnya, misalnya
memberitahukan kepada karyawan tentang pandangan organisasi atas kinerja
mereka.
Penilaian kinerja dapat digunakan untuk mendeteksi kebutuhan pelatihan
karyawan, yakni pelatihan apakah yang sebenarnya dibutuhkan oleh karyawan
agar kenerja organisasi dapat optimal. Penilaian kinerja juga dapat digunakan
untyuk menilai apakah pelatihan yang pernah diadakan efektiv atau tidak. Hasil
dari penilaian kinerja dapat membantu manajer untuk mengambil keputusan siapa
yang layak dipromosikan, dipertahankan, atau bahkan harus dikeluarkan dari
organisasi.
Penilaian kinerja dapat digunakan untuk membuat sebuah perencanaan
(pengembangan) SDM, untuk mengidentifikasi siapa layak duduk dimana, dengan
tingkat gaji berapa. Diluar daripada itu, perusahaan melaksanakan evaluasi/
penilaian kinerja kadang juga bertujuan untuk melaksanakan riset saja.
38. 35
DAFTAR PUSTAKA
Ika UT,2009. “Makalah Evaluasi Kinerja 1” Ikatan Alumni Universitas Terbuka
Jakarta.http://ika-utjakarta.blogspot.com/2009/11/makalah-evaluasi-
kinerja-1.html
Dewitri,2011. “Kompensasi dan Evaluasi Kinerja” Manajemen SDM Lanjutan
http://dewiramli.blogspot.com/2011/11/kompensasi-dan-evaluasi-
kinerja.html
Prassetya Aridha,2009. “Pengaruh Antara Kompensasi dan Gaji ”. Papan Putih
Kuliah Umum Online. http://www.papanputih.com/2010/12/evaluasi-
kinerja.html
Spectra Jumadi Madi,2012. “Pengaruh Kompensasi Terhadap Kinerja Karyawan”.
Perpustakaan Ilmu.
http://jumadibismillahsukses.blogspot.com/2012/12/pengaruh-
kompensasi-terhadap-kinerja.html
Azmi Haral,2012. “Makalah Kompensasi”. Teorinya Manajemen.
http://blogharalazmi.blogspot.com/2012/06/makalah-kompensasi.html
Dr. Priyono, MM,2013. “Tugas Makalah MSDM I Evaluasi Kinerja”.
http://priyonodr.com/index.php/arsip-tugas-mahasiswa/metode-
penelitian/penelitian-kualitatif/1463-tugas-makalah-msdm-i-evaluasi-
kinerja.html?showall=1