Makalah ini membahas tentang evaluasi kinerja sumber daya manusia, termasuk pengertian kinerja SDM, faktor yang mempengaruhinya, tujuan dan metode penilaian kinerja."
1. MAKALAH
EVALUASI KINERJA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Evaluasi Kinerja dan Kompensasi
Dosen Pengampu : Ade Fauji, SE., MM
Di Susun Oleh
Vita Rasmini
11140592
7Y-MSDM
UNIVERSITAS BINA BANGSA
BANTEN
2017
2. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat
menyusun Makalah ini sebagai tugas dari Matakuliah Evaluasi Kinerja.
Makalah ini diharapkan Sebagai sumbangan pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu pengembangan sumber daya manusia dan
matakuliah evaluasi kinerja dan menjadi masukan informasi bagi perusahaan
dalam meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kinerja.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini
memberikan manfaat yang besar bagi kita semua, Amin.
Serang, 19 November 2017
Penulis
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kinerja SDM .............................................................................................. 3
2.2 Motivasi dan Kepuasan.............................................................................. 10
2.3 Mengelola Potensi Kecerdasan dan Emosional SDM................................ 14
2.4 Membangun Kapabilitas Kompetensi SDM ............................................. 18
2.5 Konsep Audit Kinerja ................................................................................ 21
2.6 Pelaksanaan Audit Kinerja......................................................................... 26
2.7 Pengukuran Kinerja (HR Scorecard) ......................................................... 27
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 38
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu persoalan penting dalam pengelolaan sumber daya manusia
(dalam tulisan ini disebut juga dengan istilah pegawai) dalam organisasi
adalah evaluasi kinerja pegawai dan pemberian kompensasi. Ketidak tepatan
dalam melakukan evaluasi kinerja akan berdampak pada pemberian
kompensasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku dan sikap
karyawan, karyawan akan merasa tidak puas dengan kompensasi yang
didapat sehingga akan berdampak terbalik pada kinerja pegawai yang
menurun dan bahkan karyawan akan mencoba mencari pekerjaan lain yang
memberi kompensasi baik. Hal ini cukup berbahaya bagi perusahaan apabila
pesaing merekrut atau membajak karyawan yang merasa tidak puas tersebut
karena dapat membocorkan rahasia perusahaan atau organisasi.
Evaluasi kinerja pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana kadar profesionalisme karyawan serta seberapa tepat pegawai telah
menjalankan fungsinya. Penilaian kinerja dimaksudkan untuk menilai dan
mencari jenis perlakuan yang tepat sehingga karyawan dapat berkembang
lebih cepat sesuai dengan harapan. Ketepatan pegawai dalam menjalankan
fungsinya akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian kinerja organisasi
secara keseluruhan.
Tidak sedikit di perusahaan-perusahaan swasta maupun negeri yang
melakukan evaluasi kinerja pegawai tidak tepat, tidak sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada, pada akhirnya akan berdampak pada pemberian
kompensasi. Oleh karena itu, banyak para karyawan yang kinerjanya
menurun dan pada akhirnya harus mengundurkan diri karena kompensasi
yang tidak sesuai. Dengan adanya kasus seperti inilah bagi instansi
pemerintahan, maupun perusahaan swasta, evaluasi kinerja sangat berguna
untuk menilai kuantitas, kualitas, efisiensi perubahan, motivasi para aparatur
serta melakukan pengawasan dan perbaikan. Kinerja aparatur yang optimal
5. 2
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga
kelangsungan hidup instansi ini. Setiap instansi tidak akan pernah luput dari
hal pemberian balas jasa atau kompensasi yang merupakan salah satu
masalah penting dalam menciptakan motivasi kerja aparatur, karena untuk
meningkatkan kinerja aparatur dibutuhkan pemenuhan kompensasi untuk
mendukung motivasi para aparatur. Dengan terbentuknya motivasi yang
kuat, maka akan dapat membuahkan hasil atau kinerja yang baik sekaligus
berkualitas dari pekerjaan yang dilaksanakannya..
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah kinerja SDM ?
2. Apakah pengertian motivasi dan kepuasan kerja ?
3. Bagaimana mengelola potensi kecerdasan dan emosional SDM ?
4. Bagaimana membangun kapabilitas kompetensi SDM ?
5. Seperti apakah konsep audit kinerja ?
6. Bagaiman pelaksanaan Audit Kinerja ?
7. Seperti apakah HR Scorecard ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari penulisan makalah ini
yaitu n:
1. Untuk mengetahui apakah kinerja SDM ?
2. Untuk mengetahui seperti apakah HR Scorecard ?
3. Untuk mengetahui apakah pengertian motivasi dan kepuasan kerja ?
4. Untuk mengetahui bagaimana mengelola potensi kecerdasan dan
emosional SDM ?
5. Untuk mengetahui bagaimana membangun kapabilitas kompetensi
SDM ?
6. Untuk mengetahui seperti apakah konsep audit kinerja ?
7. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Audit Kinerja ?
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kinerja Sumber Daya Manusia
2.1.1 Pengertian Kinerja
Kinerja adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia dari kata
dasar "kerja" yang menterjemahkan kata dari bahasa asing prestasi.
Bisa pula berarti hasil kerja.
Pengertian Kinerja Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban
dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Para atasan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah
amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering
manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot
sehingga perusahaan / instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan –
kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan
tanda – tanda peringatan adanya kinerja yang merosot.
Kinerja menurut Anwar Prabu Mangkunegara “Kinerja (prestasi
kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Kemudian menurut Ambar Teguh Sulistiyani “Kinerja seseorang
merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang
dapat dinilai dari hasil kerjanya”. Maluyu S.P. Hasibuan
mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang
dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan
kesungguhan serta waktu”.
Menurut John Whitmore “Kinerja adalah pelaksanaan fungsi-
fungsi yang dituntut dari seseorang,kinerja adalah suatu perbuatan,
suatu prestasi, suatu pameran umum ketrampikan”.
7. 4
Menurut Barry Cushway “Kinerja adalah menilai bagaimana
seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah
ditentukan”.
Menurut Veizal Rivai mengemukakan kinerja adalah :
“merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang
sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan
perannya dalam perusahaan”.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson Terjamahaan
Jimmy Sadeli dan Bayu Prawira “menyatakan bahwa kinerja pada
dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan”.
John Witmore dalam Coaching for Perfomance “kinerja adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu
perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan”.
Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan
dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat
pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang
diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak
positif dan negative dari suatu kebijakan operasional. Mink
mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja
yang tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya:
(a) Berorientasi pada prestasi,
(b) Memiliki percaya diri,
(c) Berperngendalian diri,
(d) Kompetensi.
2.1.2 Faktor – Faktor Yang Memengaruhi Kinerja.
Beberapa teori menerangkan tentang faktor-faktor yang
memengaruhi kinerja seorang baik sebagai individu atau sebagai
individu yang ada dan bekerja dalam suatu lingkungan. Sebagai
individu setiap orang mempunyai ciri dan karakteristik yang bersifat
fisik maupun non fisik. Dan manusia yang berada dalam lingkungan
8. 5
maka keberadaan serta perilakunya tidak dapat dilepaskan dari
lingkungan tempat tinggal maupun tempat kerjanya.
Menurut Gibson yang dikutip oleh Ilyas (2001), secara teoritis
ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi perilaku kerja dan
kinerja, yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel
psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut memengaruhi
kelompok kerja yang pada akhirnya memengaruhi kinerja personel.
Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan
dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai
sasaran suatu jabatan atau tugas.
Diagram teori perilaku dan kinerja digambarkan sebagai berikut :
Variabel individu dikelompokkan pada sub-variabel kemampuan
dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Sub-variabel
kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang
memengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis
mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.
Variabel psikologik terdiri dari sub-variabel persepsi, sikap,
kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson
(1987), banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman
9. 6
kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel psikologis seperti
persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek
dan sulit untuk diukur, juga menyatakan sukar mencapai kesepakatan
tentang pengertian dari variabel tersebut, karena seorang individu
masuk dan bergabung dalam organisasi kerja pada usia, etnis, latar
belakang budaya dan keterampilan berbeda satu dengan yang lainnya.
Variabel organisasi, menurut Gibson (1987) berefek tidak
langsung terhadap perilaku dan kinerja individu. Variabel organisasi
digolongkan dalam sub-variabel sumber daya, kepemimpinan,
imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
2.1.3 Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja adalah suatu sistem yang digunakan untuk
menilai dan mengetahui apakah seseorang karyawan telah
melaksanakan pekerjaannya dalam suatu organisasi melalui instrumen
penilaian kinerja. Pada hakikatnya, penilaian kinerja merupakan suatu
evaluasi terhadap penampilan kerja individu (personel) dengan
membandingkan dengan standard baku penampilan. Menurut Hall,
penilaian kinerja merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai
kualitas kerja personel dan usaha untuk memperbaiki kerja personel
dalam organisasi. Menurut Certo, penilaian kinerja adalah proses
penelusuran kegiatan pribadi personel pada masa tertentu dan menilai
hasil karya yang ditampilkan terhadap pencapaian sasaran sistem
manajemen (Ilyas, 2001).
2.1.4 Tujuan Penilaian Kinerja
Menurut Syafarudin Alwi yang dikutip oleh Khaerul Umam
(2010:191), mengemukakan bahwa:
Secara teoritis, tujuan penilaian kinerja dikategorikan sebagai
suatu yang bersifat evaluation dan development.
Suatu yang bersifat evaluation harus menyelesaikan:
a) Hasil penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi
10. 7
b) Hasil penilaian digunakan sebagai staffing decision
c) Hasil penilaian digunakan sebagai dasar mengevaluasi sistem
seleksi
Sedangkan yang bersifat development Penilai harus menyelesaikan:
a) Prestasi real yang dicapai individu
b) Kelemahan-kelemahan individu yang menghambat kinerja
c) Prestasi-prestasi yang dikembangkan
Menurut Sedarmayanti (2011:262) menjelaskan bahwa tujuan
penilaian kinerja adalah:
1. Meningkatkan kinerja karyawan dengan cara membantu mereka
agar menyadari dan menggunakan seluruh potensi mereka dalam
mewujudkan tujuan organisasi.
2. Memberikan informasi kepada karyawan dan pimpinan sebagai
dasar untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan
pekerjaan.
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa penilaian kinerja
merupakan serangkaian proses untuk mengevaluasi proses atau hasil
kerja seorang pegawai untuk memudahkan pimpinan (Kepala Bidang
dan Kepala Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan)
dalam menentukan kebijakan bagi pegawai tersebut yang berkaitan
dengan pekerjaan atau jabatannya.
2.1.5 Metode Penilaian Kinerja
Pada dasarnya ada dua model penilaian kinerja:
a. Penilaian sendiri (Self Assesment).
Penilaian sendiri adalah pendekatan yang paling umum digunakan
untuk mengukur dan memahami perbedaaan individu. Ada dua
teori yang menyarankan peran sentral dari penilaian sendiri dalam
memahami perilaku individu. Teori tersebut adalah teori kontrol
dan interaksi simbolik.
11. 8
Menurut teori kontrol yang dijelaskan oleh Carver dan Scheier
(1981) yang dikutip oleh Ilyas (2001), individu harus
menyelesaikan tiga tugas untuk mencapai tujuan mereka. Mereka
harus (1) menetapkan standar untuk perilaku mereka, (2)
mendeteksi perbedaan antara perilaku mereka dan standarnya
(umpan balik), dan (3) berperilaku yang sesuai dan layak untuk
mengurangi perbedaan ini. Selanjutnya, disarankan agar individu
perlu melihat dimana dan bagaimana mereka mencapaitujuan
mereka. Dengan pengenalan terhadap kesalahan yang dilakukan,
mereka mempunyai kesempatan melakukan perbaikan dalam
melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan mereka.
Inti dari teori interaksi simbolik adalah preposisi yaitu kita
mengembangkan konsep sendiri dan membuat penilaian sendiri
berdasarkan pada kepercayaan kita tentang bagaimana orang
memahami dan mengevaluasi kita. Teori ini menegaskan
pentingnya memahami pendapat orang lain disekitar mereka
terhadap perilaku mereka. Interaksi simbolik juga memberikan
peran sentral bagi interpretasi individu tentang dunia sekitarnya.
Jadi individu tidak memberikan respon secara langsung dan
naluriah terhadap kejadian, tetapi memberikan interpretasi
terhadap kejadian tersebut Preposisi ini penting sebagai pedoman
interpretasi tentang penilaian sendiri yang digunakan dalam
mengukur atau menilai kinerja personel dalam organisasi.
Penilaian sendiri dilakukan bila personel mampu melakukan
penilaian terhadap proses dari hasil karya yang mereka
laksanakan sebagai bagian dari tugas organisasi. Penilaian sendiri
ditentukan oleh sejumlah faktor kepribadian, pengalaman, dan
pengetahuan, serta sosio-demografis seperti suku dan pendidikan.
Dengan demikian, tingkat kematangan personel dalam menilai
hasil karya sendiri menjadi hal yang patut dipertimbangkan (Ilyas,
2001).
12. 9
b. Penilaian 360 derajat (360 Degree Assessment).
Teknik ini akan memberikan data yang lebih baik dan dapat
dipercaya karena dilakukan penilaian silang oleh bawahan, mitra
dan atasan personel Data penilaian merupakan nilai kumulatif dari
penilaian ketiga penilai. Hasil penilaian silangdiharapkan dapat
mengurangi kemungkinan terjadi kerancuan, bila penilaian
kinerja hanya dilakukan oleh personel sendiri saja (Ilyas, 2001).
Penilaian atasan, pada organisasi dengan tingkat manajemen
majemuk, personel biasanya dinilai oleh manajer yang tingkatnya
lebih tinggi. Penilaian ini termasuk yang dilakukan oleh penyelia
atau atasan langsung yang kepadanya laporan kerja personel
disampaikan. Penilaian ini dapat juga melibatkan manajer lini unit
lain. Sebaiknya penggunaan penilaian atasan dari bagian lain
dibatasi, hanya pada situasi kerja kelompok dimana individu
sering melakukan interaksi.
Penilaian mitra, biasanya penilaian mitra lebih cocok digunakan
pada kelompok kerja yang mempunyai otonomi yang cukup
tinggi, dimana wewenang pengambilan keputusan pada tingkat
tertentu telah didelegasikan oleh manajemen kepada anggota
kelompok kerja. Penilaian mitra dilakukan oleh seluruh anggota
kelompok dan umpan balik untuk personel yang dinilai dilakukan
oleh komite kelompok kerja dan bukan oleh penyelia. Penilaian
mitra biasanya lebih ditujukan untuk pengembangan personel
dibandingkan untuk evaluasi. Yang perlu diperhatikan pada
penilaian mitra adalah kerahasiaan penilaian untuk mencegah
reaksi negatif dari personel yang dinilai.
Penilaian bawahan, terhadap kinerja personel dilakukan dengan
tujuan untuk pengembangan dan umpan balik personel. Program
ini meminta kapada manajer untuk dapat menerima penilaian
bawahan sebagai umpan balik atas kemampuan manajemen
mereka. Umpan balik bawahan berdasarkan kriteria sebagai
13. 10
berikut: pencapaian perencanaan kinerja strategik, pencapaian
komitmen personel, dokumentasi kinerja personel, umpan balik
dan pelatihan personel, pelaksanaanpenilaian kinerja, dan imbalan
kinerja. Manajer diharapkan mengubah perilaku manajemen
sesuai dengan harapan bawahan.
2.2 Motivasi dan Kepuasan Kerja
2.2.1 Pengertian Motivasi
Motivasi merupakan fungsi dari berbagai macam variabel yang
saling mempengaruhi. Ia merupakan suatu proses yang terjadi dalam
diri manusia atau suatu proses psikologis. Pada dasarnya motivasi
sesungguhnya merupakan proses psikologis dalam mana terjadi
interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, proses belajar, dan
pemecahan persoalan.
Menurut Martoyo (2007), motivasi kerja adalah sesuatu yang
menimbulkan dorongan atau semangat kerja dengan kata lain
pendorong semangat kerja. Motivasi yang tinggi akan mendorong
seseorang untuk mencapai tujuannya namun apabila motivasi yang
dimiliki rendah maka orang tersebut kurang mampu untuk mencapai
tujuannya.
Menurut Denny (1992), pribadi yang menentukan motivasi kerja
yang tinggi adalah pribadi yang memperlihatkan karakteristik bersikap
positif, memiliki dorongan untuk mencapai tujuan, dan memiliki
harapan untuk membuahkan hasil yang sebaik mungkin..
Menurut Munandar (2001) motivasi kerja memiliki hubungan
dengan prestasi kerja. Prestasi kerja adalah hasil dari interaksi antara
motivasi kerja, kemampuan dan peluang. Keterkaiatan antara motivasi
dan prestasi kerja dapat di rumuskan sebagai berikut:
Prestasi Kerja = Motivasi Kerja + Kemampuan + Peluang
Motivasi kerja seseorang dapat bersifat proaktif atau reaktif. Pada
motivasi kerja yang proaktif seseorang akan berusaha meningkatkan
14. 11
kemampuan-kemampuannya sesuai dengan yang dituntut oleh
pekerjaannya atau akan berusaha untuk mencari, menemukan atau
menciptakan peluang di mana ia akan menggunakan kemampuan-
kemampuannya untuk dapat berprestasi yang tinggi. Sebaliknya,
motivasi kerja yang bersifat reaktif, cenderung menunggu upaya atau
tawaran dari lingkungannya.
Motivasi menurut Luthans (1992) berasal dari kata latin movere,
artinya “bergerak”. Motivasi merupakan suatu proses yang dimulai
dengan adanya kekurang psikologis atau kebutuhan yang
menimbulkan suatu dorongan dengan maksud mencapai suatu tujuan
atau insentif. Pengertian proses motivasi ini dapat difahami melalui
hubungan antara kebutuhan, dorongan dan insentif (tujuan).
Motivasi atau dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja
bersama demi tercapainya tujuan bersama ini terdapat dua macam,
yaitu:
1. Motivasi finansial, yaitu dorongan yang dilakukan dengan
memberikan imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan tersebut
sering disebut insentif.
2. Motivasi nonfinansial, yaitu dorongan yang diwujudkan tidak
dalam bentuk finansial/ uang, akan tetapi berupa hal-hal seperti
pujian, penghargaan, pendekatan manusia dan lain sebagainya.
2.2.2 Teori Motivasi
Teori motivasi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu teori
kepuasan (content theory) dan teori proses (process theory). Teori ini
dikenal dengan nama konsep Higiene, yang mana cakupannya adalah:
1. Isi Pekerjaan, Hal ini berkaitan langsung dengan sifat-sifat dari
suatu pekerjaan yang dimiliki oleh tenaga kerja yang isinya
meliputi: Prestasi, upaya dari pekerjaan atau karyawan sebagai aset
jangka panjang dalam menghasilkan sesuatu yang positif di dalam
15. 12
pekerjaannya, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab,
pengembangan potensi individu.
2. Faktor Higienis, suatu motivasi yang dapat diwujudkan seperti
halnya : gaji dan upah, kondisi kerja, kebijakan dan administrasi
perusahaan, hubungan antara pribadi, kualitas supervisi.
Pada teori tersebut bahwa perencanaan pekerjaan bagi karyawan
haruslah menunjukkan keseimbangan antara dua faktor.
Penelitian Herzberg menghasilkan dua kesimpulan khusus mengenai
teori tersebut yaitu:
1) Serangkaian kondisi ekstrinsik, yaitu kondisi kerja ekstrinsik
seperti upah dan kondisi kerja tersebut bersifat ekstren tehadap
pekerjaan sepeti: jaminan status, prosedur, perusahaan, mutu
supervisi dan mutu hubungan antara pribadi diantara rekan kerja,
atasan dengan bawahan.
2) Serangkaian kondisi intrinsik, yaitu kondisi kerja intrinsik seperti
tantangan pekerjaan atau rasa berprestasi, melakukan pekerjaan
yang baik, terbentuk dalam pekerjaan itu sendiri. Faktor-faktor dari
rangkaian kondisi intrinsik dsebut pemuas atau motivator yang
meliputi: prestasi (achivement), pengakuan (recognation), tanggung
jawab (responsibility), kemajuan (advencement), dan kemungkinan
berkembang (the possibility of growth).
2.2.3 Kepuasan Kerja
Salah satu sarana penting pada manjemen sumber daya manusia
dalam sebuah organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja para
pegawai/ karyawan. Kepuasan kerja menurut Susilo Martoyo (1992:
115), pada dasarnya merupakan salah satu aspek psikologis yang
mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya, ia akan
merasa puas dengan adanya kesesuaian antara kemampuan,
keterampilan dan harapannya dengan pekerjaan yang ia hadapi.
Kepuasan sebenarnya merupakan keadaan yang sifatnya subyektif
16. 13
yang merupakan hasil kesimpulan yang didasarkan pada suatu
perbandingan mengenai apa yang diterima pegawai dari pekerjaannya
dibandingkan dengan yang diharapkan diinginkan, dan dipikirkannya
sebagai hal yang pantas atau berhak atasnya. Sementara setiap tenaga
kerja/ pegawai secara subyektif menentukan bagaimana pekerjaan itu
memuaskan. Dalam tulisannya Jewell & Siegell (M. Idrus, 2006: 96)
mengungkap bahwa kepuasan kerja merupakan sikap yang timbul
berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Lebih lanjut diungkap
oleh Jewell & Siegell bahwa karyawan yang puas lebih menyukai
situasi kerjanya dibandingkan yang tidak. Lebih lanjut diungkap oleh
Jewell & Siegell, mengingat kepuasan kerja adalah sikap, dan
karenanya merupakan konstruksi hipotesis sesuatu yang tidak dilihat,
tetapi ada atau tidak adanya diyakini berkaitan dengan pola perilaku
tertentu.
Kepuasan kerja secara umum menyangkut sikap seseorang
mengenai pekerjaannya. Karena menyangkut sikap, pengertian
kepuasan kerja mencakup berbagai hal, seperti kognisi, emosi dan
kecenderungan perilaku seseorang. Kepuasan itu tdak Nampak secara
nyata, tetapi dapat berwujud dalm suatu hasil pekerjaan. Oleh karena
itu, kepuasan kerja, walaupun sulit dan abstrak tetap perlu
mendapatkan perhatian. Berikut ini adalah beberapa diantara alasan
tersebut adalah
a. Alasan nilai
Para pegawai menggunakan sebagian waktu bangunnya dalam
pekerjaannya. Oleh sebab itu, baik manager maupun bawahan,
menginginkan agar waktu tersebut dapat digunakan dengan penuh
kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan.
b. Kesehatan jiwa
Sudah dikemukakan bahwa pekerjaan, khususnya dan organisasi
merupakan factor yang dapat menimbulkan tekanan psikologis.
17. 14
Juga sudah umum diketahui bahwa seorang yang melihat
pekerjaannya sebagai sesuatu yang tdak berharga atau sebaga
sesuatu yang tidak penting, cenderung membawanya ke
lingkungan keluarganya dan masyarakat disekitarnya.
c. Kesehatan jasmaniah
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palmore (1969) di AS
membuktikan bahwa manusia yang menyenangi pekerjaannya
cenderung berumur lebih panjang dibandingkan dengan yang
menghadapi pekerjaan yang kurang mereka senangi.
2.3 Mengelola Potensi Kecerdasan dan Emosional
Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa
Inggris: emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima,
menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di
sekitarnya.Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi
akan suatu hubungan.Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada
kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan.
Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting
dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan
bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan
intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang
(Monty P. Satiadarma, Fidelis E. Waruwu, 2003, hal:45).
Menurut Howard Gardner (1983) terdapat empat pokok utama dari
kecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola
emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu
merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat
menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri.
Contohnya, terkadang jika kita sedang marah biasanya ingin melempar
suatu barang misalnya buku, tetapi jika orang yang memiliki kecerdasan
dalam emosi biasa nya selalu berfikir dahulu, untuk apa kita melepar
barang, dampak nya kedepan akan seperti apa, dan apa manfaatnya,
18. 15
sehingga orang yang memiliki kecerdasan emosi bisa mengendalikan emosi
nya. (Coky Aditya Z, 2013. Hal:15)..
Goleman (2003) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional terbagi ke
dalam lima wilayah utama, yaitu kemampuan mengenali emosi diri,
mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain,
dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Secara jelas hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Kesadaran Diri (Self Awareness)
Self Awareness adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan
dalam dirinya dan menggunakannya untuk memandu pengambilan
keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas
kemampuan diri sendiri dan kepercayaan diri yang kuat.
b) Pengaturan Diri (Self Management)
Self Management adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan
dan menangani emosinya sendiri sedemikian rupa sehingga berdampak
positif pada pelaksanaan tugas, memiliki kepekaan pada kata hati, serta
sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan
mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
c) Motivasi (Self Motivation)
Self Motivation merupakan hasrat yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu
pengambilan inisiatif serta bertindak sangat efektif, dan mampu untuk
bertahan dan bangkit dari kegagalan dan frustasi.
d) Empati (Empathy/Social awareness)
Empathy merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakakan orang
lain, mampu memahami perspektif orang lain dan menumbuhkan
hubungan saling percaya, serta mampu menyelaraskan diri dengan
berbagai tipe hubungan.
e) Ketrampilan Sosial (Relationship Management)
Relationship Management adalah kemampuan untuk menangani emosi
dengan baik ketika berhubungan sosial dengan orang lain, mampu
19. 16
membaca situasi dan jaringan sosial secara cermat, berinteraksi dengan
lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, serta bekerja sama dalam
tim.
2.3.1 Faktor-Faktor Kecerdasan Emosional
a. Faktor otak
Joseh LeDoux, seorang ahli saraf di Center For Neural Socience di
New York Univercity adalah orang pertama yang menemukan
peran kunci Amigdala dalam otak emosional. LeDoux adalah
bagian dari kelompok ilmuawan- ilmuawan saraf yang mau
memanfaatkan metode dan teknologi inovatif yang dapat memberi
tingkat ketepatan yang belum pernah dicapai sebelumnya unutk
memetakan otak yang sedang bekerja, dan dengan demikian
mampu mengungkapkan misteri-misteri pikiran yang tak mampu
ditembus oleh generasi-generasi ilmuawan sebelumnya. Temuan-
temuan tentang jaringan otak emosional menumbangkan gagasan
lam tentang sistem limbik, dengan menempatkan amigdala pada
pusat tindakan dan menempatkan strukturstruktur limbik lainnya
pada peran yang amat berbeda. Amigdala berfungsi sebagai
semacam gudang ingatan emosional, dan dengan demikian makna
emosional itu sendiri, hidup tanpa amigdala merupakan kehidupan
tanpa makna pribadi sama sekali.
b. Keluarga
Orang tua memegang peranan penting terhadap perkembangan
kecerdasan emosional anak, karena lingkungan keluarga
merupakan sekolah pertama bagi anak dalam mempelajari emosi,
pengalaman masa kanak-kanak dapat mempengaruhi
perkembangan otak. Oleh karena itu, jika anak-anak mendapatkan
perhatian emosi yang tepat maka kecerdasan emosionalnya akan
meningkat, begitu pula sebaliknya. Ada beberapa prinsip dalam
20. 17
mendidik dan melatih emosi anak sebagai peluang kedekatan dan
mengajar, mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan
empati anak, menentukan batas-batas emosi dan membantu anak
dalam masalah yang dihadapi anak.
c. Lingkungan masyarakat dan dukungan sosial
Dalam mengembangkan kecerdasan emosi, dukungan sosial juga
berpengaruh yaitu dengan pelatihan, penghargaan, pujian, nasehat,
yang pada dasarnya memberi kekuatan psikologi pada seseorang
sehingga merasa dan membuatnya mampu menghadapi situasi yang
sulit, dapat juga berupa hubungan interpersonal yang didalamnya
terdapat satu atau lebih bantuan dalam bentuk fisik, informasi dan
pujian.
d. Lingkungan sekolah
Sekolah memegang peran penting dalam pengembangan potensi
anak didik melalui tehnik gaya kepemimpinan dan metode
mengajar guru sehingga EQ dapat berkembang secara maksimal.
Jadi sistem pendidikan hendaknya tidak mengabaikan
perkembangan emosi dankonasi seseorang. Pemberdayaan
pendidikan disekolah hendaknya mampu memelihara
keseimbangan antara perkembangan intelektual dan psikologi anak
segingga dapat berekspresi bebas tanpa perlu banyak diatur dan
diawasi secara ketat.
2.3.2 Pengukuran Kompetensi Emosional
EI Kemampuan biasanya diukur menggunakan tes kinerja
maksimum dan memiliki hubungan yang kuat dengan kecerdasan
tradisional, sedangkan EI sifat biasanya diukur dengan menggunakan
kuesioner laporan diri dan memiliki hubungan yang kuat dengan
kepribadian.
Dua alat pengukuran didasarkan pada model Goleman:
21. 18
1. Inventory Emotional Kompetensi (ECI), yang diciptakan pada
tahun 1999, dan Inventarisasi Kompetensi Emosional dan Sosial
(ESCI), yang diciptakan pada tahun 2007.
2. The Appraisal Kecerdasan Emosional, yang diciptakan pada tahun
2001 dan yang dapat diambil sebagai laporan diri atau 360 derajat
penilaian.
2.4 Mengukur Kapabilitas dan Kompetensi
Perkembangan teori dan empiris sekarang ini membuktikan bahwa
perusahaan dengan kompetensi superior akan menghasilkan informasi yang
lebih baik mengenai kebutuhan dan keingginan pelanggannya dan juga lebih
baik dalam membangun dan memasarkan barang atau jasa melalui aktivitas
yang terkordinasi dengan baik. Lebih lanjut, kompetensi superior juga
memberi perusahaan kemampuan untuk menghasilkan dan bertindak
berdasarkan pengetahuan mengenai aksi dan reaksi pesaing, yang akan
membantunya membangun keunggulan bersaing.
Pendekatan RBV menyatakan bahwa perusahaan dapat mencapai
keunggulan bersaing yang berkesinambungan dan memperoleh keuntungan
superior dengan memiliki atau mengendalikan aset-aset strategis baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud. Menurut pendekatan RBV,
perusahaan merupakan sekumpulan sumberdaya strategis dan produktif
yang unik, langka, kompleks, saling melengkapi dan sulit untuk ditiru para
22. 19
pesaing yang dapat dimanfaatkan sebagai elemen untuk mempertahankan
strategi bersaingnya.
Dimensi kompetensi dari pendapat Oliver (1997) dan Barney (1991) yang
terdiri dari: kompetensi yang bernilai, langka, sulit ditiru, dan sulit
digantikan.
1. Bernilai (valuable)
Kompetensi bernilai (valuable competencies) adalah kompetensi yang
menciptakan nilai bagi suatu perusahaan dengan mengeksploitasi
peluangpeluang atau menetralisir ancaman-ancaman dalam lingkungan
eksternal perusahaan. Kompetensi dapat menjadi sumber keunggulan
bersaing yang berkesinambungan hanya ketika kompetensi tersebut
bernilai (valuable). Kompetensi dikatakan bernilai ketika kompetensi
tersebut menyebabkan perusahaan mampu menyusun dan
mengiplementasikan strategi-strategi yang dapat meningkatkan nilai bagi
pelanggan khususnya.
2. Langka (rareness)
Kompetensi langka adalah kompetensi yang dimiliki oleh sedikit, jika
ada, pesaing saat ini atau potensial. Kompetensi perusahaan yang bernilai
namun dimiliki oleh sebagian besar pesaing yang ada atau pesaing
potensial tidak dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang
berkesinambungan. Sebuah perusahaan dikatakan menikmati keunggulan
bersaing ketika perusahaan tersebut dapat mengimplementasikan strategi
penciptaan nilai yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian besar
perusahaan lainnya. Dengan kata lain, keunggulan bersaing dihasilkan
hanya ketika perusahaan mengembangkan dan mengeksploitasi
kompetensi yang berbeda dari pesaingnya. Jika kompetensi yang bernilai
tadi dimiliki oleh sebagian besar perusahaan, dan tiap-tiap perusahaan
memiliki kemampuan untuk menggunakannya dengan cara dan teknik
yang sama, dan selanjutnya mengimplementasikan strategi yang hampir
sama maka dapat dikatakan tidak ada satupun perusahaan yang memiliki
keunggulan bersaing.
23. 20
3. Sulit Ditiru (inimitability)
Kompetensi yang bernilai dan langka tersebut hanya dapat menjadi
sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan jika perusahaan
lain yang tidak memilikinya, tidak dapat memperoleh kompetensi
tersebut. Dalam istilah yang dibangun oleh Lippman and Rumelt (1982)
dan Barney (1986a; 1986b), kompetensi ini disebut sangat sulit ditiru
(imperfectly imitable).
Kompetensi dapat dikatakan sulit ditiru karena satu atau kombinasi dari
tiga alas an berikut:
a. kemampuan perusahaan untuk memperoleh kompetensi tergantung
pada kondisi historis yang unik. Ketika perusahaan berevolusi, mereka
mengambil keahlian, kemampuan, dan sumberdaya yang unik bagi
mereka, mencerminkan jalan setapak yang dilalui dalam sejarah
(Barney, 1995). Cara lain untuk mengatakan ini adalah bahwa kadang-
kadang perusahaan mampu mengembangkan kompetensi karena
berada pada tempat yang tepat dan saat yang tepat (Barney, 1999).
b. hubungan antara kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan dengan
keunggulan bersaing yang berkesinambungan bersifat ambigu
(causally ambiguous). Para pesaing tidak mampu memahami dengan
jelas bagaimana suatu perusahaan menggunakan kompetensi intinya
sebagai dasar dari keunggulan bersaingnya. Akibatnya para pesaing
tidak pasti tentang kompetensi-kompetensu yang harus mereka
kembangkan untuk meniru manfaat dari strategi penciptaan nilai
perusahaan yang disainginya itu.
c. kompetensi yang menghasilkan keunggulan perusahaan tersebut
bersifat kompleksitas social (socially complex). Kompleksitas sosial
berarti bahwa setidaknya beberapa, dan sering kali banyak,
kompetensi perusahaan adalah produk dari fenomena sosial yang
kompleks. Contoh kompetensi yang komples secara sosial meliputi
relasi antar pribadi, kepercayaan, dan persahabatan di antara manajer
24. 21
dan antar manajer dengan pegawai serta reputasi perusahaan dengan
pemasok dan pelanggan.
4. Sulit Digantikan (Insubstitutability) Kompetensi yang sulit digantikan
adalah kompetensi yang tidak memiliki ekuivalen strategis. Dua
sumberdaya perusahaan yang bernilai (atau dua kumpulan sumberdaya
perusahaan) ekuivalen secara strategis ketika tiap sumberdaya itu dapat
dieksploitasi secara terpisah untuk mengimplementasikan strategi-strategi
yang sama. Secara umum, nilai strategis dari kompetensi meningkatkan
kesulitan untuk menggantikannya. Semakin tidak terlihat suatu
kompetensi, semakin sulit bagi perusahaan untuk mencari penggantinya
dan semakin besar tantangan bagi para pesaing untuk meniru strategi
penciptaan nilai perusahaan.
2.5 Konsep Audit Kinerja
Pelaksanaan audit kinerja di seluruh dunia, termasuk di Indonesia
terus mengalami pasang surut. Sebagai gambaran pada Netherland Court of
Audit (BPK Belanda), perkembangan audit dimulai dengan pemberian
mandat untuk melakukan audit kinerja pada tahun 1976. Pada awalnya,
audit kinerja berfokus pada efisiensi. Kemudian, mereka mulai
menyusun dan menyempurnakan manual audit kinerja yang ada. Pada
perkembangannya, mereka mengintegrasi teknologi informasi dan
komunikasi dalam audit kinerja (antara lain untuk menganalisis data)
serta menggunakan pendekatan strategis dalam menyusun tema audit. Pada
BPK Belanda, tema audit yang berfokus pada mutu dan akuntabilitas
kebijakan pemerintah merupakan perluasan dari audit keuangan yang
berfokus pada penganggaran.
Menurut Mardiasmo dalam Anantawikrama, etc (2013) pengukuran
kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud:
1. Pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu
memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja yang dimaksudkan
untuk dapat membantu pemerintah berfokus kepada tujuan dan sasaran
25. 22
program unit kerja. Hal ini pada akhirnya dapat meningkatkan efesiensi
dan efektivitas organisasi sektor publik.
2. Ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber
daya dan pembuatan keputusan.
3. Ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan
pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi
kelembagaan.
Menurut Anantawikrama, etc (2013) pengukuran kinerja sektor publik
merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik
dalam menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non
finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat
pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja diperkuat dengan
menetapkan reward and punishment system.
Oleh pihak legislatif, ukuran kinerja digunakan untuk menentukan
kelayakan biaya pelayanan (cost of service) yang dibebankan kepada
masyarakat pengguna jasa publik. Masyarakat tentu tidak mau terus
menerus ditarik pungutan sementara pelayanan yang mereka terima tidak
ada peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Oleh karena itu pemerintah
berkewajiban untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas pelayanan
publik.
Menurut Rai dalam Anantawikrama, etc (2013) pengukuran kinerja
pada sektor publik memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Menciptakan akuntabilitas publik. Dengan melakukan pengukuran
kinerja, akan diketahui apakah sumber daya digunakan secara
ekonomis, efesien, sesuai dengan peraturan, dan dapat mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
2. Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi. Pengukuran kinerja
sangat penting untuk melihat apakah suatu organisasi berjalan sesuai
dengan yang direncanakan atau menyimpang dari tujuan yang
ditetapkan.
26. 23
3. Memperbaiki kinerja periode berikutnya. Pengukuran kinerja akan
sangat membantu pencapaian tujuan organiasi dalam jangka panjang
serta membentuk upaya pencapaian budaya kerja yang lebih baik di
masa mendatang.
4. Menyediakan sarana pembelajaran pegawai. Dengan adanya
pengukuran kinerja atas pegawai, dapat diketahui apakah mereka telah
bekerja dengan baik atau tidak. Pengukuran kinerja dapat menjadi
media pembelajaran bagi pegawai untuk meningkatkan kinerja masa
datang.
5. Memotivasi pegawai. Pengukuran kinerja dapat dijadikan alat untuk
memotivasi pegawai dengan memberikan imbalan kepada pegawai
yang memiliki kinerja baik.
2.5.1 Prosedur Audit Kinerja
Tahap perencanaan sudah sangat dikenal oleh organisasi dan
dalam rincian program audit dinyatakan bahwa auditor dalam
mengukur kinerja dan mengembangkan temuan dasar untuk
dibandingkan dengan pengukuran kinerja harus berdasarkan pada
kriteria yang ditetapkan. Perencanaan audit seharusnya mencakup :
1. Sasaran, luas, dan metodolog audit.
2. Kriteria pengukuran kinerja.
3. Koordinasi dengan auditor pemerintah lain jika dibutuhkan.
4. Pengetahuan dan keterampilan staf audit.
5. Kepatuhan dengan hukum, peraturan, dan aturan.
6. Pengukuran pengendalian internal.
Survei pendahuluan seharusnya digunakan dalam menyusun
perencanaan audit. Survei pendahuluan akan menyediakan informasi
mengenai metode dan sistem yang digunakan untuk mengevaluasi
kinerja dan mengelola operasi serta keuangan organisasi. Informasi ini
dapat digunakan untuk dikembangkan untuk pemahaman atas
organisasi, sehingga audit dapat dilaksanakan dengan efesien,
27. 24
termasuk penggunaan sumber daya audit di daerah yang penting.
Pelaksanaan pekerjaan selama tahap ini lebih berupa mencari
gambaran dibandingkan dengan analisis.
Salah satu cara untuk memperoleh pemahaman atas entitas adalah
melalui survei pendahuluan, di mana auditor mulai memeriksa sistem
pengendalian internal. Tahap ini sejenis dengan peninjauan atas
pengendalian internal pada audit keuangan. Sistem pengendalian
manajemen adalah bagaimana entitas dapat menjamin bahwa sasaran
dapat tercapai atau entitas beroperasi secara ekonomis, efisien, dan
patuh pada hukum dan peraturan. Dalam audit kinerja, dibutuhkan
peninjauan terhadap pengendalian internal dan fokus pada tinjauan
terhadap berbagai variasi sasaran.
Menurut Dista Amalia (2012) prosedur audit kinerja sektor publik
dibagi menjadi 4 tahap:
1. Tahap pengenalan dilakukan survei pendahuluan dan review
sistem pengendalian manajemen. Pekerjaan yang dilakukan pada
survei pendahuluan dan review sistem pengendalian manajemen
bertujuan untuk menghasilkan rencana penelitian yang detail yang
dapat membantu auditor dalam mengukur kinerja dan
mengembangkan temuan berdasarkan perbandingan antara kinerja
dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Tahap pengauditan dalam audit kinerja terdiri dari tiga elemen,
yaitu: telaah hasil-hasil program, telaah ekonomi dan efesiensi,
dan telaah kepatuhan, disusun untuk membantu auditor dalam
mencapai tujuan audit kinerja. Review atas hasil-hasil program
akan membant auditor untuk mengetahui apakah entitas telah
melakukan sesuatu yang benar. Review ekonomis dan efisiensi
akan mengarahkan auditor untuk mengetahui apakah entitas telah
melakukan sesuatu yang benar. Review ekonomis dan efesiensi
akan mengarahkan auditor untuk mengetahui apakah entitas telah
melakukan sesuatu yang benar secara ekonomis dan efesien.
28. 25
Review kepatuhan akan membantu auditor untuk menentukan
apakah entitas telah melakukan segala sesuatu dengan cara-cara
yang benar, sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku.
Masing-masing elemen tersebut dapat dijalankan sendiri-sendiri
atau secara bersama-sama, tergantung pada sumber daya yang ada
dan pertimbangan waktu.
3. Tahap pelaporan merupakan tahapan yang harus dilaksanakan
karena adanya tuntutan yang tinggi dari masyarakat atas
pengelolaan sumber daya publik. Hal tersebut menjadi alasan
utama untuk melaporkan keseluruhan pekerjaan audit kepada
pihak manajemen, lembaga legislatif dan masyarakat luas.
Penyampaian hasil-hasil pekerjaan audit dapat dilakukan secara
formal dalam bentuk laporan tertulis kepada lembaga legislati
maupun secara informal melalui diskusi dengan pihak
manajemen.
4. Tahapan yang terakhir adalah tahap penindaklanjutan, dimana
tahap ini didesain untuk memastikan/memberikan pendapat
apakah rekomendasi yang diusulkan oleh auditor sudah
diimplementasikan. Prosedur penindaklanjutan dimulai dengan
tahap perencanaan melalui pertemuan dengan pihak manajemen
untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi organisasi dalam
mengimplementasikan rekomendasi auditor. Selanjutnya, auditor
mengumpulkan data-data tersebut untuk kemudian disusun dalam
sebuah laporan.
Menurut Indra Bastian (2006) ketika standar audit menyajikan
kerangka berpikir yang umum mengenai audit kinerja, maka perilaku
nyata dari standar aplikasi praktis audit yang diperlukan pada
organisasi pemerintahan atau program diperiksa. Tahap audit dapat
dikategorikan menjadi tahap perencanaan, tahap pekerjaan lapangan,
dan tahap pelaporan.
29. 26
2.6 Pelaksanaan Audit
Audit manajemen seringkali diartiksan sama dengan audit operasional.
Pengertian sederhana dari audit manajemen adalah investigasi dari suatu
organisasi dalam semua aspek kegiatan manajemen dari yang paling tinggi
sampai dengan ke bawah dan pembuatan laporan audit mengenai
efektifitasnya atau dari segi profitabilitas dan efisiensi kegiatan bisnisnya.
Sedangkan pengertian sederhana audit operasional adalah uraian aktifitas
perusahaan yang sistematis dalam hubungannya dengan tujuan untuk
melihat, mengidentifikasikan peluang perbaikan, atau mengembangkan
rekomendasi untuk perbaikan. Jelas kedua pengertian serupa karena
pemeriksaan manajemen dilakukan saat manajemen beroperasi.
Pengertian manajemen audit tersirat dalam definisi kalangan akademisi.
Berikut beberapa definisi menurut :
1. Holmes dan Overmyer: The management audit means the examination
and valuation of all information gathering functions and all phases of
management functions and activities, in order to ascertain if operating
are conducted in a effective and efficient manner.Definisi di atas dalam
terjemahannya sebagai berikut : Manajemen audit mencakup penelitian
dan evaluasi atas semua fungsi dari Manajemen, untuk memastikan
bahwa pelaksanaan operasi perusahaan telah dijalankan dengan cara
yang efektif dan efisien.
2. Sedangkan American Institute of Certified Public Accountant /AICPA :
Management audit is a systematic review of an organization’s activities
or of a stipulated segment of them, in relation to specified objectives for
the purpose of :
· assesing performance
· identifying opportunities for improvement
· developing recommendations for improvement or further action
Definisi tersebut dalam terjemahannya adalah pemeriksaan manajemen
adalah suatu penelaahan yang sistematis terhadap aktivitas suatu organisasi,
30. 27
atau suatu segmen tertentu daripadanya, dalam hubungannya dengan tujuan
tertentu, dengan maksud untuk :
· Menilai kegiatan
· Mengidentifikasikan berbagai kesempatan untuk perbaikan
· Mengembangkan rekomendasi bagi perbaikan atau tindakan lebih
lanjut.
Dari definisi yang dikumpulkan maka diperoleh beberapa karakteristik
pemeriksaan manajemen yaitu :
a) Memberikan informasi tentang efektifitas , efisiensi dan ekonomisasi
operasional perusahaan kepada manajemen.
b) Penilaian efektivitas, efisiensi dan ekonomisasi didasarkan pada
standar-standar tertentu.
c) Audit diarahkan kepada operasional sebagian atau seluruh struktur
organisasi.
d) Hasil audit manajemen berupa rekomendasi perbaikan kepada
manajemen.
2.7 Pengukuran Kinerja (HR Scorecard)
Human Resource Scorecard, sebuah bentuk pengukuran Human
Resources yang mencoba memperjelas peran sumber daya manusia sebagai
sesuatu yang selama ini dianggap intangible untuk diukur perannya terhadap
pencapaian misi, visi dan strategi perusahaan.“What Gets Measured, Get
Managed, Gets Done”, itulah dasar pemikiran dari konsep HR Scorecard.
Becker, Huselid dan Ulrich (2001) telah mengembangkan suatu sistem
pengukuran yang dinamakan Human Resource (HR) Scorecard. Pengukuran
ini merupakan pengembangan dari konsep Balanced Scorecard, dimana
pengukuran Human Resource Scorecard lebih menfokuskan pada kegiatan
SDM atau menilai kontribusi strategic yang terdiri dari 3 (tiga) dimensi
rantai nilai yang diwakili oleh Fungsi SDM, Sistem SDM, dan perilaku
karyawan yang strategik.
31. 28
Human Resource Scorecard, merupakan salah satu mekanisme yang
secara komprehensif mampu mengambarkan dan mengukur bagaimana
sistem pengelolaan SDM dapat menciptakan value atau kontribusi bagi
organisasi. Becker et.al (2001) mengungkapkan beberapa manfaat HR
Scorecard bagi perusahaan sebagai berikut :
1. Memperjelas perbedaan antara HR Doables (kinerja) SDM yang tidak
mempengaruhi implementasi strategi perusahaan dengan HRD
Deliverable (kinerja SDM yang mempunyai pengaruh terhadap
implementasi strategi perusahaan).
2. Menyeimbangkan proses penciptaan nilai (HR Value proposition)
dengan pengendalian biaya disatu sisi dan investasi yang diperlukan
disisi lainnya.
3. Menggunakan leading indikator (indikator yang menilai status faktor
kunci kesuksesan yang mendorong implementasi strategi perusahaan).
Model SDM strategik memberi kontribusi yang menghubungkan
keputusan SDM dan sistim dengan HR Deliverable, dimana
mempengaruhi key performance driver dalam implementasi strtaegi
perusahaan (misalnya: kepuasan pelanggan atau fokus peningkatan
kompetensi karyawan).
4. Menilai kontribusi SDM terhadap implementasi strategi.
5. Mengarahkan profesional SDM secara aktif mengelola tanggung jawab
terhadap implementasi strategi perusahaan.
6. Mendukung perubahan dan fleksibilitas.
2.2.1 HR Scorecard Sebagai Model Pengukuran Kinerja Sumber Daya
Manusia
Human resources scorecard mengukur keefektifan dan efisiensi
fungsi sumber daya manusia dalam mengerahkan perilaku karyawan
untuk mencapai tujuan strategis perusahaan sehingga dapat membantu
menunjukan bagaimana sumber daya manusia memberikan kontribusi
dalam kesuksesan keuangan dan strategi perusahaan. Human
32. 29
Resources Scorecard merupakan bagian dari perusahaan. Human
resources scorecard ibarat sebuah bangunan, yang menjadi bagian
dari apa yang kita turunkan dari strategi perusahaan.
Menurut Becker et al. (2001), dasar dari peran sumber daya
manusia yang strategis terdiri dari tiga dimensi rantai nilai (value
chain) yang dikembangkan oleh arsitektur sumber daya manusia
perusahaan, yaitu fungsi, sistem dan perilaku karyawan. Arsitektur
SDM dapat dilihat pada Gambar dibawah ini :
Gambar 2.1 Arsitektur Strategi Sumber Daya Manusia
1. Fungsi sumberdaya manusia (The HR Function).
Dasar penciptaan nilai strategi sumber daya manusia adalah
mengelola infrastruktur untuk memahami dan
mengimplementasikan strategi perusahaan.
Biasanya profesi dalam fungsi sumber daya manusia diharapkan
dapat mengarahkan usaha ini. Becker et al (2001) menemukan
bahwa kebanyakan manajer sumberdaya manusia lebih
memusatkan kegiatannya pada penyampaian (delivery) yang
tradisional atau kegiatan manajemen sumber daya manajemen
teknis, dan kurang memperhatikan pada dimensi manajemen
sumber daya manusia yang stratejik. Kompetensi yang perlu
dikembangkan bagi manajer sumber daya manusia masa depan
dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kinerja
organisasi adalah kompetensi manajemen sumber daya manusia
stratejik dan bisnis.
33. 30
2. Sistem sumber daya manusia (The HR System).
Sistem sumber daya manusia adalah unsur utama yang
berpengaruh dalam sumber daya manusia stratejik. Model sistem
ini yang disebut sebagai High performance work system (HPWS).
Dalam HPWS setiap elemen pada sistem The HR Functin sumber
daya manusia dirancang untuk memaksimalkan seluruh kualitas
human capital melalui organisasi. Untuk membangun dan
memelihara persediaan human capital yang berkualitas, HPWS
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Mengembangkan keputusan seleksi dan promosi untuk
memvalidasi model kompetensi.
b. Mengembangkan strategi yang menyediakan waktu dan
dukungan yang efektif untuk ketermpilan yang dituntut oleh
implementasi strategi organisasi.
c. Melaksanakan kebijaksanaan kompensasi dan manajemen
kinerja yang menarik, mempertahankan dan memotivasi
kinerja karyawan yang tinggi.
Hal diatas merupakan langkah penting dalam pembuatan
keputusan peningkatan kualitas karyawan dalam organisasi,
sehingga memungkinkan kinerja organisasi berkualitas. Agar
sumber daya manusia mampu menciptakan value, organisasi perlu
membuat struktur untuk setiap elemen dari sistem sumber daya
manusia dengan cara menekankan, mendukung HPWS.
3. Perilaku karyawan (Employee Behaviour).
Peran sumber daya manusia yang stratejik akan memfokuskan
pada produktivitas perilaku karyawan dalam organisasi. Perilaku
stratejik adalah perilaku produktif yang secara langsung
mengimplementasikan strategi organisasi. Strategi ini terdiri dari
dua kategori umum seperti :
a. Perilaku inti (core behaviour) adalah alur yang langsung
berasal dari kompetensi inti perilaku yang didefinisikan
34. 31
organisasi. Perilaku tersebut sangat fundamental untuk
keberhasilan organisasi.
b. Perilaku spesifik yang situasional yang essential sebagai key
point dalam organisasi atau rantai nilai dari suatu bisnis.
Mengintegrasikan perhatian pada perilaku kedalam
keseluruhan usaha untuk mempengaruhi dan mengukur
kontribusi sumber daya manusia terhadap organisasi
merupakan suatu tantangan.
2.2.2 Manfaat Human Resource Scorecard
Human resources scorecard memberikan manfaat yaitu
menggambarkan peran dan kontribusi sumber daya manusia kepada
pencapaian visi perusahaan secara jelas dan terukur, agar profesional
sumber daya manusia mampu dalam mengendalikan biaya yang
dikeluarkan dan nilai yang dikontribusikan dan memberikan gambaran
hubungan sebab akibat. Adapun menurut Bryan E.Becker (2009:80-
82) sebagai berikut :
1. Memperkuat perbedaan antara HR do able dan HR deliverable
Sistem pengukuran SDM harus membedakan secara jelas antara
deliverable, yang mempengaruhi implementasi strategi, dan do
able yang tidak. Sebagai contoh, implementasi kebijakan bukan
suatu deliverable hingga ia menciptakan perilaku karyawan yang
mendorong implementasi strategi. Suatu sistem pengukuran SDM
tepat secara kontinu mendorong professional SDM untuk berfikir
secara strategis serta secara operasional.
2. Mengendalikan biaya dan menciptakan nilai
SDM selalu di harapkan mengendalikan biaya bagi perusahaan.
Pada saat yang sama, memainkan peran strategis berarti SDM
harus pula menciptakan nilai. HR Scorecard membantu para
manajemen sumber daya manusia untuk menyeimbangkan secara
efektif kedua tujuan tersebut. Hal itu bukan saja mendorong para
35. 32
praktisi untuk menghapus biaya yang tidak tepat, tetapi juga
membantu mereka mempertahankan “investasi” dengan
menguraikan manfaatpotensial dalam pengertian kongkrit.
3. HR Scorecard mengukur leading indicators
Model kontribusi strategis SDM kami menghubungkan
keputusan-keputusan dan sistem SDM dengan HR deliverable,
yang selanjutnya mempengarui pendorong kinerja kunci dalam
implementasi perusahaan. Sebagaimana terdapat leading dan
lagging indicator dalam sistem pengukuran kinerja seimbang
keseluruhan
perusahaan, di dalam rantai nilai SDM terdapat pendorong
(deliver) dan hasil (outcome). Hal ini bersifat essensial untuk
memantau keselarasan antara keputusan-keputusan SDM dan
unsur-unsur sistem yang mendorong HR deliverable. Menilai
keselarasan ini memberikan umpan balik mengenai kemajuan
SDM menuju deliverable tersebut dan meletakan fondasi bagi
pengaruh strategi SDM.
HR Scorecard menilai kontribusi SDM dalam implementasi
strategi dan pada akhirnya kepada “bottom line”. Sistem
pengukuran kinerja strategi apapun harus memberikan jawaban
bagi chief HR officer atas pertanyaannya, “apa kontribusi SDM
terhadap kinerja perusahaan?” efek kumulatif ukuran - ukuran HR
deliverable pada scorecard harus memberikan jawaban itu. Para
manajer SDM harus memiliki alasan strategi yang ringkas,
kredibel dan jelas, untuk semua ukuran deliverable. Jika alasan itu
tidak ada, begitu pula pada ukuran itu tidak ada. Pada manajer lini
harus menemukan ukuran deliverable ini sekredibel seperti yang
dilakukan manajer SDM, sebab matrik-matriks itu
merepresentasikan solusi - solusi bagi persoalan bisnis, bukan
persoalan SDM.
36. 33
4. HR Scorecard memungkinkan professional SDM mengelola
secara efektiftanggung jawab strategi mereka. HR Scorecard
mendorong sumber daya manusia untuk fokus secara tepat pada
bagaimana keputusan mereka mempengaruhi keberhasilan
implementasi strategi perusahaan. Sebagaimana kami menyoroti
pentingnya “fokus strategis karyawan” bagi keseluruhan
perusahaan, HR Scorecard harus memperkuat fokus
strategis para manajer SDM dan karena para professional SDM
dapat mencapai pengaruh strategis itu sebagian besar dengan cara
mengadopsi perspektif sistemik dari pada dengan cara
memainkan kebijakan individual, scorecard mendorong mereka
lebih jauh untuk berfikir secara sistematis mengenai strategi
SDM.
5. HR Scorecard mendorong Fleksibilitas dan perubahan.
Kritik yang umum terhadap sistem pengukuran kinerja ialah
sistem ini menjadi terlembagakan dan secara actual merintangi
perubahan. Strategi - strategi tumbuh, organisasi perlu bergerak
dalam arah yang berbeda, namun sasaran - sasaran kinerja yang
sudah tertinggal menyebabkan manajer dan karyawan ingin
memelihara status quo. Memang, salah satu kritik terhadap
manajemen berdasarkan pengukuran ini ialah bahwa orang-orang
menjadi trampil dalam mencapai angka-angka yang diisyaratkan
dalam sistem nama dan mengubah pendekatan manajemen
mereka ketika kondisi yang bergeser menuntutnya. HR Scorecard
memunculkan fleksibilitas dan perubahan, sebab ia fokus pada
implementasi strategi perusahaan, yang akan secara konstan
menuntut perubahan. Dengan pendekatan ini, ukuran-ukuran
mendapat makna yang baru.
37. 37
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penilaian kinerja adalah suatu sistem yang digunakan untuk menilai dan
mengetahui apakah seseorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya
dalam suatu organisasi melalui instrumen penilaian kinerja. Pada
hakikatnya, penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap
penampilan kerja individu (personel) dengan membandingkan dengan
standard baku penampilan. Menurut Hall, penilaian kinerja merupakan
proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja personel dan usaha
untuk memperbaiki kerja personel dalam organisasi.
Human resources scorecard memberikan manfaat yaitu menggambarkan
peran dan kontribusi sumber daya manusia kepada pencapaian visi
perusahaan secara jelas dan terukur, agar profesional sumber daya manusia
mampu dalam mengendalikan biaya yang dikeluarkan dan nilai yang
dikontribusikan dan memberikan gambaran hubungan sebab akibat
Menurut Fisher, Schoenfeldt dan Shaw evaluasi kinerja merupakan
suatu proses dimana kontribusi karyawan terhadap organisasi dinilai dalam
suatu periode tertentu. GT. Milkovich dan Bourdreau mengungkapkan
bahwa evaluasi/penilaian kinerja adalah suatu proses yang dilakukan dalam
rangka menilai kinerja pegawai, sedangkan kinerja pegawai diartikan
sebagai suatu tingkatan dimana karyawan memenuhi/mencapai persyaratan
kerja yang ditentukan.
Dengan demikian, evaluasi kinerja dapat dikatakan sebagai suatu sistem
dan cara penilaian pencapaian hasil kerja individu pegawai, unit kerja
maupun organisasi secara keseluruhan...
38. 38
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Prabu Mangkunegara. 2005. Evaluasi Kinerja. Bandung : Refika Aditama
Simanjuntak, Payaman J. 2005. Manajemen dan Evaluasi Kerja. Lembaga
Penerbit FEUI, Jakarta.
http://endangagustini1234.blogspot.co.id/2015/01/evaluasi-kinerja-msdm.html
Spectra Jumadi Madi,2012. “Pengaruh Kompensasi Terhadap Kinerja Karyawan”.
Perpustakaan Ilmu. http://jumadibismillahsukses. blogspot.com/2012/12/
pengaruh-kompensasi-terhadap-kinerja.html
Audit Manajemen, Makalah Pelaksanaan Audit Manajemen Terhadap
Produktivitas Sumber Daya Manusia Dalam Meningkatkan Kualitas
Manajemen.Organisasihttp://lullabyecca03.blogspot.co.id/2014/10/makal
ah-pelaksanaan-audit-manajemen.html