1. BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin.
Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat, ilmu kalam dan tasawuf. Memiliki pengaruh
dan pemikiran yang telah menyebar ke seluruh dunia Islam. Namun sejarah dan
perjalanan hidupnya masih terasa asing, sehingga banyak kaum muslimin yang
belum mengenal beliau. Oleh karena hal tersebut, saya akan mencoba untuk
menguraikan tentang kehidupan beliau khususnya dalam bidang tasawuf. Sehingga
setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari
sejarah hidup beliau.
Imam Al-Ghazali adalah seorang pemikir islam yang hidup antara tahun 450
H/ 1508 M – 505 H/ 1111 M, ketika suasana pemikiran di dunia islam sedang
memperlihatkan perkembangan dan keragaman yang tinggi. Sejarah hidupnya
menunjukkan bahwa ia dalam mencari kebenaran yang diyakininya, menempuh
proses yang panjang dengan jalan mepelajari hampir seluruh sistem pemahaman ilmu
keagamaan yang ada dan berkembang pesat pada waktu itu. Ia mempelajari empat
sistem pemahaman keagamaan, yaitu : ilmu kalam,bathiniyyat, filasafat dan tasawuf.
Beliau adalah seorang pemikir terpenting di dunia islam. Meskipun ia hidup
sembilan abad yang lalu, namun hasil pemikirannya masih banyak diwarisi oleh
umat islam. Itu semua terlihat dari gelarnya sebagai ―Hujjat al-Islam‖ yang berarti
Pembela Islam, dan sebutan sebagai muslim terbesar sesudah Nabi Muhammad
SAW.
Di kalangan para sufi, Imam Ghazali adalah ikon tersendiri. Ia sangat
produktif, sementara karya-karyanya sungguh luar biasa. Dalam beberapa tulisannya,
tasawuf disuguhkan dalam penalaran dan argumentasi yang sungguh
mencengangkan. Hampir semua karyanya menjadi rujukan dan bahan penelitian
hingga kini. Bagi Al-Ghazali, tasawuf merupakan himpunan antara akidah, syariat
dan akhlak. Baginya perjalanan spritual seseorang mampu menjernihkan hati secara
berkesinambungan sehingga mencapai tingkat Musyahadah (kesaksian).
1
2. BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Imam Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ta‘us Ath-Thusi Asy Syafi‘i Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-
Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di
Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H/ 1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk
mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ketika menjelang kewafatan ayahnya, Al-
Ghazali dan adiknya Ahmad dititipkan kepada seorang sufi
Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-
Rizkani di Thus. Lalu melanjutkannya di Jurjan kepada Syekh Abi Al-Qasim Isma‘il
bin Mas‘adah Al-Islamy Al-Jurjani, seorang pengikut madzhab Syafi‘i dan seorang
satrawan. Kemudian pada tahun 473 Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi
Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia belajar kepada Imam Haramain hingga
menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqih-ushul fiqih, tasawuf, dan retorika
perdebatan.
Setelah Imam Haramain wafat (478 H / 1086 M), Al-Ghazali pergi ke
Baghdad, yaitu kota tempat berkuasanya Nizham Al-Muluk. Kegiatan perdebatan
dan penyelaman berbagai aliran menimbulkan pergolakan dalam diri Al-Ghazali
karena tidak ada yang memberikan kepuasan bathinnya. Ia pun memutuskan
melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan
kemudian ke Mekkah untuk mencari kebenaran. Ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir pada usia 54 tahun di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi atau
pada hari senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah dengan banyak meninggalkan
karya tulisnya.
B. Suasana Pemikiran
Dalam pemikiran Al-Ghazali mempunyai kaitan yang erat dari segi historis
dengan pemikiran para pendahulunya, yang dinyatakan sendiri di dalam Al-Munqidz
min al-Dhalal dan diperoleh melalui isyaratnya di dalam Tahafut al-Falasifat. Di
2
3. dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal, Al-Ghazali secara eksplisit menyebut
sumber-sumber pengetahuannya tentang tasawuf, yaitu buku-buku Abu Thalib al-
Maliki, al-Muhasibi, dan pengalaman-pengalaman para sufi lainnya seperti al-Junaidi
al-Baghdadi, al-Syibli, dan Abu Yazid al-Bushtami.
Beliau hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada pada tingkat
perkembangan yang tinggi. Dimana banyak bermunculan aliran-aliran terutama di
bidang teolog. Setiap aliran menurut Al-Ghazali, mengklaim kebenaran pada dirinya,
yang dengan sendirinya menempatkan aliran lain pada kedudukan yang tidak benar.
Ada anggapan bahwa tasawuf adalah sebagaia bagian dari pemahaman yang
muncul akibat perkenalan ummat Islam dengan kebudayaan asing yang cenderung
memiliki unsur mistik. Pandangan lain menganggap tasawuf sebagai sistem yan tg
murni Islami. Namun dalanm kenyataannya, kecenderungan kearah mistik timbul di
kalangan sebagian masyarakat Islam ketika penguaasa dianggap tidak lagi
mencerminkan kesederhanaan hidup dan akhlak yang ada pada masa Nabi.
Usaha para Sufi adalah mempertajam daya al-Dzawq dengan membersihkan
diri dari dorongan-dorongan duniawi untuk dapat bersatu dengan hakikat yang
Mutlak, Tuhan. Persatuan dengan Tuhan akan menyingkap segala rahasia dan
hakikat-hakikat.
Dalam pemikiran ummat Isalam pada masa Al-Ghazali terdapat empat
pemahaman yang secara umum mewarnai suasana pemikiran mereka, yaitu dari
sistem pemahaman Ilmu Kalam, Bathiniyyat, Filsafat dan Tasawuf. Keragaman
sistem pemahaman ini disertai dengan kecenderungan monolitik melihat kebenaran.
Hal ini jelas turut mempertajam batas antara sistem yang satu dengan sistem yang
lain. Dari sudut yang lain, keadaan ini memperbesar kemungkinan munculnya
kebingungan di kalangan sebagian masyarakat awam.
C. Sumber Pemikiran Al-Ghazali
Sebagai seorang muslim, Al-Ghazali senantiasa mendasari pandangan-
pandangannya pada al-Qur‘an al-Karim dan Hadits, baik secara langsung maupun
tidak. Seperti pemikir-pemikir muslim lainnya, pendasaran pemikirannya kepada al-
Qur‘an dan Hadits, terlihat lebih banyak tidak bersifat langsung, khusus yang
berkaitan dengan konsep manusia. Artinya, ketika berhadapan dengan teks-teks al-
3
4. Qur‘an dan Hadits tidak dalam keadaan kosong. Di dalam dirinya kecenderungan
dan pikiran-pikiran dasar yang selanjutnya mempengaruhi pemahamannya terhadap
teks-teks al-Qur‘an dan Hadits. Kecenderungan dan pikiran dasar itu, pada
prinsipnya adalah milik yang menjadi ciri khas pemikirannya. Namun demikian tidak
berarti bahwa ia terlepas dari pemikiran-pemikiran yang ada sebelum atau yang
berkembang pada masanya.
Pandangannya yang lain berasal dari filsafat Yunani--melalui filosof-filosof
islam—tentang pokok-pokok keutamaan (ummahat al-fadha’il). Sumber lain yang
turut memberikan sumbangan kepada pemikirannya adalah pandangan dan
pengalaman para sufi. Pandangan tasawuf yang paling utama tampak pada al-Ghazali
adalah penempatan al-Dzawq diatas akal yang diikuti sikapnya yang memperkecil
arti kehidupan dunia bagi manusia dalam upaya mencapai kesempuranaan diri.
Pandangannya yang lain bersumber dari para filosof adalah logika dan etika.
Di dalam al-Muqidz, ia menyatakan bahwa logika termasuk didalam kelompok ilmu
yang semestinya tidak diingkari, sebab, tidak ada hubungannya dengan dasar-dasar
keimanan. Sikapnya tehadap logika, pada dasarnya sama dengan sikapnya terhadap
etika, yang meliputi bahasan pada sifat-sifat jiwa, akhlak, jenis-jenis dan pembagian,
serta cara memperbaiki dan menyempurnakannya.
Dari berbagai sumber yang disebutkan, tampaknya, pikiran-pikiran al-Ghazali
terbentuk. Betapapun ia menentang para filosof dalam Tahafut al-Falasifah, ia tetap
banyak mengambil pandangan-pandangan mereka, terutama yang menyangkut jiwa,
hakikat manusia. Dari tasawuf, ia banyak banyak mengambil cara pendekatan diri
kepada Tuhan, yang sekaligus merupakan tujuan hidup. Dari ilmu kalam Asy-‗ariyah
ia mengambil pandangan tentang kekuasaan mutlak Tuhan.
D. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam hal ilmu tasawuf, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang
berdasarkan Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlus Sunnah
Wal Jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan
gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran syiah, Ikhwan
As-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari faham ketuhanan Aristoteles,
4
5. seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-
Ghazali benar-benar bercorak Islam dan termasuk kedalam tokoh Tasawuf Akhlaqi.
Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral.
Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti Ihya‘ Ulum Al-Din, Minhaj Al-
‗Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi‘raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad.
Dalam tasawuf, cara yang ditempuh untuk menemukan hakikat, menurut al-
Ghazali, terdiri atas dua tahap, yaitu ilmu dan amal, ilmu yang dimaksud disini
adalah pengetahuan tentang konsep dan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
tasawuf, seperti zuhud, faqr, tawakkul, mahabat, ma’rifat, dan sebagainya. selain itu
diharuskan pula mengetahui syari‘at, ilmu ‗aqliyyat keimanan yang kuat terhadap
tiga dasar keimanan.
Yang dimaksud dengan amal adalah mengalami secara langsung konsep dan
langkah-langkah yang harus dilalui tadi, Ilmu dan amal harus menyatu. Kelihatannya
al-Ghazali menganggap bahwa pada sistem pemahaman lainnya ada keterpisahan
antara ilmu dan amal, khususnya pada filsafat dan ilmu kalam. Kesan ini terlihat
pada pernyataan al-Ghazali bahwa para sufi adalah arbab al-ahwal (orang-orang yang
memiliki pengalaman langsung), bukan ashab al-Aqwal (orang-orang yang hanya
berbicara).
ketika ia menguji tasawuf, pada dasarnya ia tidak menghadapi persoalan
tentang validitas sumber pengetahuan yang digunakan tasawuf, sebab sebelumnya ia
telah yakin adanya intuisi (al-Dzawq) sebagai .sumber pengetahuan diatas akal. Yang
menjadi persoalan adalah penyelesaian konflik bathin antara memasuki pengalaman
tasawuf dan mempertahankan kedudukan dan fasilitas kehidupan duniawinya.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara
mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang
tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat
Allah.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap bahwa
syathahat mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal
lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan
kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua,
syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan
5
6. demikian ia menolak tasawuf dan filsafat meskipun ia mau memaafkan Al-Hallaj dan
Yazid al-Bushtami.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia
menyodorkan paham baru tentang ma‘rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Ma‘rifat menurut versi Al-
Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-
fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam.
Dialah yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni
tasawuf, fiqih dan ilmu kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya
ketegangan. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk mengolah rasa
dan jiwa sehingga sampai kepada ma‘rifat yang membantu menciptakan sa’adah.
a) Pandangan Al-Ghazali tentang Ma‘rifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, Ma’rifat
adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang
segala yang ada. Alat memperoleh ma‘rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh.
Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat al-Ghazali yang
dikutip dari al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika
dilimpahi cahaya Tuhan, qalb akan mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir,
qalb dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah, ketiganya
akan menerima iluminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah
menmurunkan cahaya-Nya kepada sufi sehingga yang terlihat sang sufi hanylah
Allah. Disini, sampailah ia ke tingkat makrifat.
Ma‘rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab. Ringkasnya, ma‘rifat
menurut Al-Ghazali tidak seperti ma‘rifat menurut orang awam maupun ma‘rifat
ulama/mutakallim, tetapi ma‘rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan
kasyf Illahi. Ma‘rifat semacam ini dapat dicapai oleh para Khawas Auliya’ tanpa
melalui perantara atau langsung dari Allah sebagaimana ilmu kenabian yang
diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berbeda antara
nabi dan wali. Namun keduanya sama-sama memperoleh ilmu melalui Allah.
6
7. b) Pandangan Al-Ghazali tentang As-sa‘adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi dan
melihat Allah. Di dalam kitab Kimiya’ As’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa‘adah
atau (kebahagian) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu
sesuai dengan ciptaan-Nya.
Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma‘rifat terletak ketika melihat
Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan agung yang tiada taranya karena
ma‘rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi
kenikmatan lainnya. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan
akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat
Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati.
Hal ini karena, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat
keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang.
7
8. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari seluruh uraian dalam pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan
bahawa, Al-Ghazali adalah seorang tokoh tasawuf Akhlaki yang sangat besar jasanya
dalam mengembangkan ilmu tasawuf dan sebagai pembela bagi umat islam pada
zamannya.
Dari seluruh pandangannya yang telah banyak diuraikan oleh para penulis
dan pada pembahasan ini, kelihatan bahwa orisinalitas Al-Ghazali yang
sesungguhnya terletak pada penggabungan dari berbegai pemikiran yang tidak lepas
dari pengaruh-pengaruh pemahaman yang berasal dari Ilmu Kalam (Asy‘ariyah)
dengan syara‘, Filsafat, Bathiniyyat, dan Tasawuf, yang menjadikan satu system
tersendiri.
Dalam pemahaman tasawufnya, Al-Ghazali tidak sepakat bahkan menolak
ajaran-ajaran dari Al-Hallaj dan Yazid al-Bushtami. Untuk itu, ia menyodorkan
paham baru tentang ma‘rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila
Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang selanjutnya akan memperoleh As-
Sa’adah yaitu kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi dan melihat Allah.
8
9. DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
Jamil,M. Cakrawala Tasawuf (Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas). Jakarta: GP
Press. 2007.
Nasution, Muhammad Yasir. Manusia menurut Al-Ghazali. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002.
9
10. KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala puji dan Keagungan hanya tertuju kepada Allah SWT,
Tuhan semesta alam. Dia-lah yang telah menganugerahkan Al-Qur‘an sebagai
Hudan li an-nas dan Rahmatan lil ‘alamin. Shalawat serta salam tak lupa terucap
dan semoga tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang tak akan ada
lagi nabi setelahnya.
Dengan pertolongan dan karunia-Nya-lah, saya dapat menyusun Makalah
―Ajaran dan Pemikiran Tasawuf Imam Abu Hamid Al-Ghazali” ini. Sebagaimana
tugas yang telah diberikan oleh Dosen kami Bapak Didi Junaedi, M.Ag.
Saya sadar bahwa ― Tak ada gading yang tak retak‖, maka dari itu, saya
memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekeliruan. Maka dari itu, Segala bentuk kritik dan saran yang membangun
terciptanya makalah yang lebih baik sangat saya butuhkan.
Akhir kata, Saya ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi saya khususnya dan pembaca umumnya, Amiin.
Penulis,
i
10
11. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 2
A. Biografi Singkat Imam Al-Ghazali ...................................................... 2
B. Suasana Pemikiran ............................................................................... 2
C. Sumber Pemikiran Al-Ghazali.............................................................. 3
D. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali ................................................................. 4
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 8
Kesimpulan .................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 9
ii
11
12. MAKALAH
AJARAN DAN PEMIKIRAN TASAWUF
IMAM ABU HAMID AL-GHAZALI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen : Didi Junaedi, M.A.
Disusun Oleh :
AHMAD RIFA’I : 14113450001
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI
CIREBON
2011
12